Dokter Masa Depan Harus Menguasai Teknologi Mutakhir Sejak Dini UNAIR NEWS – Kiprah Prof. Dr. David Sontani Perdanakusumah, dr., Sp.BP-RE (K) di ranah bedah plastik Indonesia sudah tidak terbantahkan. Begitu banyak prestasi yang diukir pria yang sekarang menjabat Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran (FK) ini. Tak terhitung kasus bedah yang telah sukses ditanganinya. Keberhasilan yang merupakan buah dari kerja kerasnya tak lantas membuat pongah. Sebaliknya, ini merupakan motivasi bagi David untuk berbuat lebih banyak. Dia juga tak lelah merumuskan langkah-langkah strategis untuk kemajuan fakultas. Peningkatan mutu sivitas akademika terus dilaksanakan. Dengan harapan, FK UNAIR dapat bersaing dan menang di dunia global. “Kami ini levelnya bukan lagi nasional. Tapi, sudah antar negara,” kata dia saat ditemui seusai membuka acara Sosialisasai Pemutakhiran Data Website Kampus di FK pada pertengahan Maret 2017 silam. Yang tak kalah penting, imbuhnya, konsistensi penguasaan hitech di segala bidang. Sebab, kemajuan teknologi informasi yang sedemikian pesat merupakan sarana pengembangan potensi diri dan ilmu pengetahuan. “Dokter yang hebat di masa datang adalah dokter yang terpapar fasilitas berteknologi tinggi sejak dini. Mereka yang akan memenangkan persaingan,” ungkap dia. Dia yakin, dari Sumber Daya Manusia, Indonesia tidak kalah. Buktinya, tak sedikit orang Indonesia yang memiliki prestasi internasional. Bahkan secara khusus, ada banyak dokter dari FK UNAIR yang sudah kenyang berkiprah di tingkat global. Jadi, kualitas manusia di kampus ini tidak perlu diragukan lagi.
Di sisi lain, komitmen untuk mempertahankan akreditasi sempurna pun merupakan jalan yang mesti ditempuh. Karena itulah, pemutakhiran data yang saat ini lagi gethol digelorakan di FK mesti menjadi atensi. David mengatakan, arsip yang dimiliki fakultas mesti rapi dan gampang diakses. Apalagi, bersama RSUD dr Soetomo, FK sudah mencetak banyak rekor dan raihan mentereng. “Rekam jejak yang lengkap harus dimiliki fakultas,” papar dia. Prof David, Si Kolektor Penghargaan Sementara itu, Penelitian dan penemuan yang dihadirkan dokter kelahiran Singkawang ini memiliki manfaat kongkret di tengah masyarakat. Salah satunya, krim yang berfungsi untuk mengatasi keloid, jenis luka tubuh berserat, tebal dan berwarna kontras dengan kulit di sekitar. Dalam mengatasi keloid, pada umumnya dokter menggunakan berbagai cara, seperti operasi, suntikan kortison, cryotherapy, dan cara-cara lainnya. Namun, metode-metode itu tak dapat menghilangkan keloid. Bahkan, tindakan operasi justru memperbesar keloid. Tak jarang, keloid menjadi mimpi buruk bagi pasien ataupun dokter. Keloid
tumbuh
akibat
aktivitas
kolagen
yang
berlebih.
Pertumbuhan kolagen itu dipengaruhi enzim kolagenase yang kurang terkontrol. Enzim kolagenase adalah enzim yang mengatalisis hidrolisis kolagen. Melanin, pewarna pada kulit, memiliki sifat kimia asam. Agar kolagenase berfungsi, maka enzim tersebut harus bersifat basa. Pada orang yang tidak berkulit putih, banyaknya melanin membuat suasana kulit bersifat asam. Bertolak dari fakta itu, David merumuskan cara agar melanin itu turun dengan pemutih yang menggunakan pelarut basa. Agar keadaan asam dan basa tak membuat kulit kian sensitif, ia mengombinasikan pemutih dengan liposom sehingga sifat basa baru keluar ketika sudah memasuki lapisan dermis. Pemutih yang
ia gunakan adalah Hydroquinone dengan kadar empat persen. Ide yang dia dipatenkan adalah pemutih dalam suasana basa untuk keloid. Dituangkan dalam karya berjudul Penggunaan Hidrokuinon untuk Mencegah dan Mengobati Keloid. Yang akhirnya berhasil dipatenkan pada tanggal 17 Oktober 2012 dengan nomor paten ID P0031959. “Saya mengurus paten sekitar tahun 2004, tetapi baru keluar tahun 2012. Delapan tahun. Karena hydroquinone dianggap bukan barang baru. Itu sudah lama dipakai untuk pemutih, tapi hydroquinone untuk keloid tidak pernah ada di dunia. Itu riset saya orisinal,” tambahnya. Dia sudah sering mengaplikasikan temuan itu pada pasien yang telah melalui tindakan operasi dan meninggalkan keloid di tubuh. Hasilnya, keloid mengecil dan warna di kulit tersebut jadi lebih cerah. Untuk keloid yang bentuknya besar, pemberian krim perlu dikombinasikan dengan tindakan bedah. Selain pasien dengan keloid, dia pernah memberikan krim pemutihnya pada pasien dengan bekas cacar dan luka bakar. “Bekas luka bakar di tangan, saya kasih terus mulus. Ada luka trauma, bekas operasi, saya kasih kemudian memudar dan halus,” terang peraih penghargaan Science Achievement Award 2015 dari media Republika. Saat ini, melalui Institute of Tropical Disease UNAIR, krim milik David tengah dihilirisasi oleh salah satu industri farmasi. Uji produk sudah masuk tahap uji stabilitas. Setelahnya, uji klinik di berbagai pusat kesehatan. Kepiawaian ayah empat anak ini “memainkan” pisau bedah, membuatnya banyak diganjar penghargaan (lihat tabel). Baik dari asosiasi, pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Profesor yang pernah mengikuti training dan pelatihan di Singapura, Belgia, Australia, Amerika Serikat, dan Kanada ini juga rutin menjadi pembicara di banyak seminar, kongres, maupun event ilmiah lain. Mulai level nasional, hingga level
internasional. Selain mengajar, penulis setidaknya delapan buku ini aktif pula melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Tercatat di rentang 2006 hingga 2014, sekitar 10 aktifitas pengabdian masyarakat berskala regional/nasional dilaksanakannya. Selain itu, dia juga resmi didaulat sebagai penguji eksternal program S-3 (Doktor) pada Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran, serta Universitas Gajah Mada pada periode 2012-2015. Dia juga tak henti menelurkan paten maupun hak cipta. Kekayaan intelektual yang dimaksud antara lain Penggunaan Hidrokuinon untuk Mencegah dan Mengobati Keloid, Hak Cipta Manekin Luka, Hak Cipta Poster Luka, Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Pernafasan (Modul 1), dan Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Sirkulasi (Modul 2). Termasuk, Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Luka Bakar dan Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Pediatri. David mengatakan, aplikasi ilmu bedah plastik berawal dari upaya rekonstruksi struktur di bagian tubuh manusia. Misalnya, bagi mereka yang mendapat kecelakaan atau kondisi yang perlu dibenahi sejak lahir. Sebagai contoh, mereka yang lahir sumbing atau tanpa telinga. “Bedah plastik tidak mengubah kodrat dari Tuhan. Bidang ilmu ini hanya membuat struktur yang berbeda dari sebelumnya, sesuai permintaan yang bersangkutan. Dengan harapan, mendapatkan kondisi yang lebih bagus. Selayaknya penghias. Saya sering menganalogikan ini dengan seniman yang ingin membuat sesuatu menjadi lebih indah,” urai dia. Dalam perjalanannya, bedah plastik menyentuh bidang estetik. Ini berkaitan dengan orang yang secara subjektif ingin memperbaiki wajah atau bagian tubuhnya yang dirasa perlu dibenahi. Dengan catatan, dia berhasrat melakukannya tanpa paksaan dan dengan alasan yang logis. Ahli bedah plastik wajib
untuk taat pada rambu-rambu etik dan agama. Sehingga, tidak semua calon pasien bisa dilayani secara langsung. Sementara itu, prospek ilmu bedah plastik di Tanah Air sangat terang. Ini menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, kebutuhan akan ahli bedah plastik pun ikut naik. Maka itu, sudah menjadi tugas institusi pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya FK di semua kampus, untuk mencetak pakar-pakar muda di bidang ini. (*) Editor: Nuri Hermawan
Mudahnya Transfer Ilmu, Semudah Menyaksikan Live Streaming UNAIR NEWS – Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini membawa perubahan signifikan di bidang pendidikan. Lahirnya teknologi live streaming dan video conference membawa keuntungan bagi dosen dan mahasiswa agar selalu menambah wawasan baru secara cepat dan mudah. Menyadari manfaat live streaming, gabungan dokter spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas AirlanggaRumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, yang tergabung dalam Asia Pacific Medical Network Project, ikut serta dalam Telemedicine Development Center of Asia (TEMDEC) yang digelar Kyushu University Hospital, Kamis (19/1). Dalam
TEMDEC
bertema
“4th
Indonesian
Endoscopy
Case
Teleconference” yang digelar di Unit Pengelola Data Digital FK UNAIR, kasus kesehatan yang dibahas adalah gastroenterologi dan teknik tindakan endoskopi atau pemeriksaan medis untuk melihat kondisi saluran pencernaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Koordinator TEMDEC FK UNAIR Budi Widodo, dr., SpPD. Dalam telekonferensi itu, pemilik domain terbesar dan penyelenggara TEMDEC, Kyushu University Hospital berbagi pengalamannya menangani berbagai kasus gastroenterologi. “Kyushu University Hospital sudah dikenal bagus untuk urusan telemedicine, bahkan mereka pula yang mempopulerkan metode telemedicine di dunia kedokteran selama ini,” ungkapnya. Acara TEMDEC juga melibatkan partisipan dari sejumlah rumah sakit pendidikan dari fakultas kedokteran di Indonesia, di antaranya Universitas Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, dan RS Fatmawati. Setiap sebulan sekali, masing-masing institusi menggelar telekonferensi untuk berdiskusi seputar permasalahan saluran pencernaan. Fokus permasalahan yang dibahas berganti-ganti. Secara bergiliran, setiap perwakilan institusi mempresentasikan problem kasus yang sedang ditanganinya.
akan
Usai presentasi kasus, selanjutnya berlangsung diskusi antar institusi agar tercapai solusi untuk mengatasi permasalahan. Rencananya, TEMDEC kelima akan diselenggarakan pada Februari. Dalam TEMDEC kelima, dijadwalkan pihak dokter di India akan bergabung dalam telemedicine tersebut. Metode yang efektif Budi tak memungkiri, video conference maupun video streaming adalah metode yang efektif untuk pendidikan jarak jauh. Melalui video streaming, pertukaran pengetahuan bisa dilakukan di mana saja dan kapanpun. Selain itu, proses diskusi yang berlangsung dapat diputar ulang kapan saja. Fasilitas ini juga dapat menjangkau lebih banyak mahasiswa secara virtual dan
dapat berintegrasi dengan kampus lainnya. “Cara ini membuat masing-masing kami anggota TEMDEC saling berperan aktif satu sama lain. Tidak perlu jauh-jauh pergi ke Kyushu untuk belajar. Cukup duduk dan berkonsentrasi di depan layar monitor saja, kita sudah bisa belajar dan dapat banyak ilmu di waktu yang bersamaan. Ini cara yang efektif dan efisien. Serta hemat biaya biaya pertemuan dan tatap muka,” ungkapnya. Teknologi live streaming diperlukan kalangan dosen maupun mahasiswa sebagai media yang memfasilitasi kegiatan diskusi seputar kasus penyakit terbaru. Mengingat semakin berkembangnya kasus penyakit, maka dokter dituntut pula untuk senantiasa memperbarui keilmuan. (*) Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S
62 Tahun, Sosial
IIDI
Tebar
Aksi
UNAIR NEWS – Perayaan ulang tahun tak selalu harus dirayakan dengan acara hura-hura. Memaknai bertambahnya usia ke-62, organisasi Ikatan Istri Dokter Indonesia (IIDI) menggelar serangkaian acara edukatif. Seperti acara penyuluhan kesehatan dengan berbagai tema dan mengajak ratusan pelajar SMA serta masyarakat Surabaya. Puncak perayaan HUT ke-62 IIDI ini sekaligus memperingati Hari Ibu ke-88, Hari Kesetia Kawanan Sosial Nasional dan Hari Disabilitas Internasional. Berlangsung di Gedung Airlangga Medical Education Center (AMEC) FK UNAIR (18/1), keempat acara
tersebut dikemas dalam sebuah acara temu silaturahmi antar anggota IIDI, Komunitas Worokawuri, Dharmawanita Persatuan, Ikatan Dokter Indonesia, Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW) dan yayasan sosial. Ketua Organisasi IIDI Cabang Surabaya Ir. Heri Sri Totok Suhartoyo mengungkapkan, peringatan HUT IIDI kali ini dimeriahkan dengan serangkaian kegiatan sosial. Yaitu penyuluhan pencegahan HIV/Aids bekerjasama dengan BNN, di Grand City pada bulan November 2016 lalu. Dilanjutkan dengan acara sosialisasi Bahaya Narkoba dan obat terlarang yang diikuti oleh lebih dari 200 pelajar SMA 20 Surabaya, pada bulan Desember 2016. Setelah sukses mengagendakan kegiatan sosial, acara puncak peringatan HUT ini pun dimeriahkan dengan acara hiburan, seperti lomba kreasi menata tumpeng kue basah dengan peserta ranting kelompok IIDI, dan bazaar. Berlangsung pula penyerahan bantuan dana kepada Yayasan Anak Berkebutuhan Khusus Peduli Kasih, dan Panti Pondok Kasih Surabaya. IIDI merupakan satu-satunya wadah yang menghimpun para isteri dokter Indonesia. Organisasi ini bergerak di bidang medik sosial berdasarkan kekeluargaan dan gotong royong. Selain itu, IIDI Surabaya merupakan pendamping serta mitra yang sejajar dengan organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). ‘’Karena posisi kami di Surabaya, ya mitra kita IDI Surabaya. Yang membedakan antara IIDI dengan IDI adalah, kalau IIDI Surabaya hanya ada satu cabang saja tanpa pengurus wilayah (Jatim). Sementara IDI ada Cabang Surabaya dan ada IDI pengurus wilayah Jawa Timur,” ungkapnya. Di periode kepengurusan IIDI kali ini, Sri mencanangkan tujuh program unggulan. Yaitu penyuluhan penyakit menular HIV/Aids, penyuluhan penyakit tidak menular kanker serviks dan kanker payudara, penyuluhan narkoba dan obat-obatan terlarang, pola hidup sehat, penertiban jamban dan sanitasi, menekan angka
kematian ibu melahirkan dan bayi, sekaligus program menekan kekerasan pada perempuan dan anak. “Bersyukur sekali sebagian program unggulan kami sudah terlaksana dan mendapat respon positif dari masyrakat,” ungkapnya. Sri berharap, program kegiatan tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. IIDI pun tdiak bergerak sendiri, dalam pelaksanaanya, IIDI juga melibatkan peran serta masyarakat seperti kader posyandu, dan ibu PKK. (*) Penulis: Sefya Hayu Editor: Nuri Hermawan
Dokter Umum Baru: Pasien adalah Guru Terbaik bagi Kami UNAIR NEWS – “Pasien adalah guru terbaik bagi kami.” Itulah ungkapan yang disampaikan oleh dokter umum baru Indrianto Wiryo Pranoto, dr., ketika mewakili rekan-rekannya yang baru saja dilantik sebagai dokter umum baru, Rabu (18/1). Pelantikan itu dilangsungkan setelah mereka menjalankan praktik pendidikan dokter muda selama dua tahun di Rumah Sakit Dr. Soetomo (RSDS). Selama dua tahun itu, Indrianto dan rekanrekannya belajar melayani pasien di bawah bimbingan para konsulen di masing-masing departemen. Sebelumnya, mereka menjalani empat tahun pendidikan preklinik di program studi S-1 Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga. Ungkapannya mengenai pasien adalah guru terbaik itu diperkuat juga oleh pernyataan Pimpinan Badan Layanan Umum RSDS dokter Harsono. Dalam sambutannya, ia mengingatkan kepada para dokter
umum baru untuk senantiasa mengutamakan kepentingan pasien. “Pasien harus mendapatkan pengetahuan terbaik dari kami (dokter, -red). Mereka berhak mendapatkan pelayanan berkualitas. Serta, agar para dokter umum baru ini memberikan hak-hak kesehatan pasien dalam bentuk pelayanan prima,” tutur dokter Harsono dalam Pelantikan Dokter Periode I tahun 2017 di Aula FK. Dekan FK Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U, dalam sambutannya menerangkan, sejak satu abad berdirinya FK (sebelumnya dalam bentuk NIAS), FK UNAIR telah meluluskan sekitar sepuluh ribu mahasiswa didik. Menurut keterangan, jumlah dokter umum yang telah diluluskan FK berjumlah 9.765 orang hingga saat ini. Pada pelantikan kali ini, ada 14 dokter umum baru yang dilantik oleh Dekan FK. Wakil Rektor I UNAIR Prof. Djoko Santoso, Ph.D., dr., Sp.PD., K-GH., FINASIM, yang juga hadir dalam acara pelantikan dokter berharap agar para dokter umum baru bisa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. “Agendakan
juga
untuk
mengambil
subspesialis, dan doktor untuk kedokteran,” harap Djoko. (*)
pendidikan
spesialis,
mengembangkan
pendidikan
Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Binti Q. Masruroh
Setelah Dokter Turun ke Jalan PEMERINTAH melalui Kementerian Kesehatan dan Kemenristek Dikti telah membuka program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Pemerintah berharap DLP ini dapat meningkatkan kemampuan
dokter yang berada di layanan primer, sehingga mampu menekan angka rujukan ke rumah sakit, yang kemudian diharapkan berujung pada penekanan biaya pengobatan masyarakat. Namun dalam perjalanannya, program DLP ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak, utamanya para dokter yang menjadi subyek dari kebijakan pemerintah. Di mata Ikatan Dokter Indonesia (IDI), DLP ini ibarat menutup asap tanpa mematikan api. Hasilnya akan sia-sia. Mengapa dikatakan siasia? Karena akar permasalah kesehatan di Indonesia bukan terletak pada kemampuan dokter semata, melainkan dari banyak faktor. Ada keganjilan dalam UU No 20 Tahun 2013 karena memasukkan DLP sebagai spesialisasi baru di bidang kedokteran. Dalam UU tertulis program DLP merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis. Disisi lain, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Kita tidak mengenal istilah DLP, jadi secara hukum, kewenangan dan area pekerjaan akan rawan tumpang tindih dengan profesi dokter yang sudah ada. Keganjilan kedua, saat ini terdapat 114,602 dokter umum (data KKI, Oktober 2016), sedang yang boleh membuka sekolah DLP hanya Fakultas Kedokteran (FK) yang terakreditasi A, yang saat ini jumlahnya “hanya” 17 dari 75 FK yang ada di Indonesia (belum termasuk FK yang baru berdiri). Bisa diperhitungkan perlu waktu puluhan tahun untuk men-DLP-kan semua dokter umum yang akan bekerja di layanan primer. Itupun belum termasuk 8.000 dokter baru yang terus dihasilkan setiap tahunnya. Meskipun pemerintah menyatakan akan membiayai program DLP ini, hal itu sangat tidak efisien dan malah membebani negara. AKAR MASALAH KESEHATAN Masyarakat
perlu
tahu
bahwa
DLP
bermula
dari
tuduhan
pemerintah yang menyatakan bahwa tingginya angka rujukan ke rumah sakit disebabkan kompetensi dokter umum yang masih minim. Perlu dicatat bahwa kompetensi dokter memang salah satu faktor yang berperan dalam suatu rujukan, namun itu bukan hal utama yang dihadapi di Indonesia saat ini. Menurut Hendrik L. Blum, Guru Besar Administrasi Kesehatan dari University Of California Berkeley, terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan manusia; yaitu kesehatan lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan genetik. Faktor Pertama, kesehatan lingkungan. Baru-baru ini DPR mendesak pemerintah untuk memperkuat infrastruktur air bersih. Berdasarkan penilaian BPPSPAM, kondisi PDAM yang sehat hanya 50% dari total PDAM yang ada. Sisanya masuk katagori kurang sehat dan sakit. Padahal 60-70% komposisi tubuh manusia adalah air. Kemudian masalah kesediaan pangan. Dalam laporan FAO (Food and Agriculture Organization/Organisasi Pangan Dunia) pada tahun 2015 ditemukan hampir 37% atau 7,6 juta balita di Indonesia mengalami stunting (kekerdilan) karena terhambat pertumbuhannya akibat kekurangan gizi. Faktanya, Indonesia belum bisa menjadi negara swasembada pangan. Beras, kedelai, gula, dan daging saja kita masih impor. Ini sangat memprihatinkan para dokter. Untuk sekedar mendapatkan air bersih dan makanan yang sehat untuk kehidupan sehari-hari saja masih susah. Lantas dokterkah yang dipersalahkan ketika kondisi ini menyebabkan penyakit kronis yang berujung pada tingginya angka rujukan? Faktor kedua, perilaku manusia. Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan lengkap yang tanpa disertai perubahan perilaku manusia, akan sia-sia. Meningkatnya insiden penyakit metabolik seperti diabetes, stroke, dan penyakit jantung koroner disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup seperti makan makanan berlemak, merokok, minum alkohol, jarang berolahraga akan memicu penyakit metabolik kronis yang
berujung pada rujukan ke rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi penyakit metabolik itu. Faktor ketiga, pelayanan kesehatan. Setinggi apapun kompetensi dokter, tetap tidak akan bisa menangani penyakit yang jadi bidang keahliannya jika fasilitas dan obat tidak tersedia. Sudahkah kita melihat kondisi sarana dan prasarana kesehatan di Puskesmas atau fasilitas kesehatan layanan primer? Apakah alat kesehatan dan obat-obatan sudah tersedia lengkap sehingga dokter tidak perlu merujuk? Fakta menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan belum terdistribusinya dokter di Indonesia secara merata. Masih banyak Puskesmas belum memiliki dokter. Kekosongan Puskesmas ini yang semestinya menjadi prioritas pemerintah. Dibandingkan menyekolahkan dokter umum untuk mengikuti DLP, alangkah baiknya pemerintah memfasilitasi dan menjamin agar kekosongan ini dapat teratasi. Faktor keempat, faktor genetik. Faktor ini paling kecil perannya dibandingkan ketiga faktor lainnya. Namun bisa kita cermati lebih lanjut. Anak yang lahir dari orangtua penderita kanker memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker dibandingkan anak yang lahir dari orang tua bukan penderita kanker. Walau hal in dapat diminimalisasi dengan melakukan pola hidup sehat dan deteksi kanker secara dini. Semakin banyak penduduk memiliki penyakit bawaan akan semakin sulit pula upaya meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia. SOLUSI SELAIN DLP Pemerintah mengatakan, perbedaan dokter umum dan DLP adalah DLP memiliki kompetensi lebih dibandingkan dokter umum, karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan tambahan berupa dokter keluarga dan kesehatan masyarakat. Hodgetss dan Cascio membagi dua pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan, dimana pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh ahli kesehatan masyarakat dengan perhatian utama pada upaya memelihara kesehatan rakyat dan mencegah penyakit.
Lantas, mengapa kita tidak bekerjasama dengan teman-teman dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) untuk memperkuat layanan primer? Untuk apa pemerintah membuka FKM jika para tenaga kesehatan tidak bersatu memperkuat layanan primer? Dokter dan ahli kesehatan masyarakat serta tenaga kesehatan lain dapat bahu-membahu meningkatkan derajat kesehatan masyarat di level primer. Memperkuat kompetensi dokter di layanan primer adalah keharusan. Pemerintah perlu melihat masalah ini dari hulu hingga hilir. FK sebagai “pabrik” dokter umum ini kondisinya masih belum merata. Hanya 22,6% FK yang terakreditasi A. Sisanya masih B dan C (KKI dan BAN PT 2016). Bukannya malah berupaya meningkatkan kualitas FK yang ada, Kemenristek Dikti malah membuka moratorium dan mendirikan delapan FK baru tahun ini. Pemerintah perlu berkomitmen untuk lebih serius dalam meningkatkan kualitas, bukannya malah fokus pada kuantitas dalam pengembangan pendidikan kedokteran. Fakultas Kedokteran yang baik tentu akan menghasilkan dokter yang baik dan kompeten pula. IDI membawa usulan lebih realistis. Indonesia ini luas dan sangat beragam, hingga kebutuhan kompetensi dokter juga belum “seragam”. Misalnya DLP yang bekerja di daerah industri membutuhkan keterampilan berbeda dengan yang bekerja di daerah pesisir/pedalaman. Akan lebih realistis bila peningkatan kompetensi dokter yang bekerja di layanan primer menimba keterampilan dengan sistem “shopping” di Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) sesuai kebutuhannya. Disini, jelas penguatan P2KB lebih realistis. Semua solusi sudah tersedia, tinggal menunggu komitmen pemerintah. Ada pepatah yang mengatakan: “Di setengah kehidupan kita mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan uang. Di setengah lainnya kita mengorbankan uang untuk mendapatkan kembali kesehatan.” Tentu pembangunan infrastruktur itu penting, tetapi jangan lupa untuk juga membangun manusianya. (*)
Editor: Bambang Bes
Kelas Internasional FK UNAIR Luluskan Dokter Asal Malaysia UNAIR NEWS – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga kembali mencetak lulusan dokter baru. Pada periode pelantikan ke empat yang dilaksanakan Kamis (27/11), sebanyak 57 orang dokter dilantik oleh Dekan FK UNAIR Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U. Yang menarik, salah satu dokter yang dilantik berasal dari Malaysia. Ia adalah satu dari sepuluh mahasiswa angkatan ‘perintis’ kelas internasional FK UNAIR. Nurul Izzati kini dapat bernafas lega. Bagaimana tidak, menjadi mahasiswa asing menuntutnya untuk lebih banyak belajar dan beradaptasi. Namun, bagi perempuan asal Selangor Malaysia ini, kuliah enam tahun memberinya banyak tantangan. Selain itu, ia juga mendapat banyak pengalaman berharga. Bermula ketika ia lolos dalam ujian seleksi yang digelar FK UNAIR tahun 2010 lalu. Ia tetap memilih FK UNAIR meskipun pada saat yang bersamaan ia memiliki rencana lain hendak kuliah di Australia. Sebagai lulusan angkatan pertama kelas internasional FK UNAIR, Nurul bersama sembilan teman seangkatanya harus benar-benar struggle mengingat mereka adalah angkatan perintis. Ia merasakan betul perbedaan antara kurikulum di kelas internasional dengan mahasiswa kedokteran kelas regular. Kurikulum kelas regular memang sudah terarah. Sementara kelas internasional, lebih banyak menuntut adanya kemandirian. Mahasiswa kelas internasional angkatan pertama ini memang
terbatas jumlahnya, hanya sepuluh orang. Karena jumlah yang sedikit, membuat intensitas hubungan dosen dengan mahasiswa menjadi lebih intensif. “Kondisi ini yang benar-benar membuat hubungan pertemanan kami begitu erat karena memang sama-sama berjuang dari nol,” ungkap Nurul. Tantangan lainnya, bahan perkuliahan pun harus mereka cari sendiri. Dosen hanya memberi judul materi. Setelah bahan diperoleh, barulah kemudian didiskusikan secara berkelompok. Dalam hal ini, kegiatan pembelajaran lebih didominasi dengan kegiatan diskusi. Sempat Kikuk Tangani Pasien Asal Madura Sebagai mahasiswa asing, kendala bahasa sebenarnya tidak begitu masalah baginya. Toh selama perkuliahan berlangsung, antar mahasiswa dan dosen saling berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Hanya saja, kesabarannya teruji ketika masuk praktik jaga di RSUD Dr Soetomo. Di sanalah ia harus melayani banyak pasien dari berbagai daerah. “Pernah suatu ketika ketemu pasien asal Madura. Pasien menceritakan kondisinya tapi pakai bahasa lokalnya dia. Ya jelas saja saya nggak paham sama sekali ya. Cuman saya nggak nyerah begitu saja. Saya juga ndak mengalihkan pasien ini ke teman saya. Saya minta bantuan teman untuk menterjemahkan apaapa yang disampaikan si pasien. Sempat kikuk ya, tapi untungnya bisa teratasi,” ungkapnya. Walau bagaimanapun, Nurul merasa RSUD Dr. Soetomo telah memberinya banyak pembelajaran dan pengalaman berharga. Dari situ ia belajar menghadapi pasien dengan berbagai karakter dan sekaligus mengenal berbagai jenis penyakit. “Kasus penyakit di sini dengan di Malaysia hampir sama. Jadi rasanya tidak ada kesulitan ketika akan berpraktik di Malaysia, karena sudah belajar banyak di rumah sakit ini,”
jelasnya. Lantas apa rencana berikutnya setelah lulus? “Balik pulang ke Malaysia dan meniti karier disana,” jawabnya. Karena sesuai peraturan di Malaysia, lulusan dokter baru diwajibkan bekerja selama dua tahun di rumah sakit pemerintah. Setelah itu bisa memutuskan kembali kuliah spesialis atau membuka praktik sendiri. “Aku ikuti peraturan yang ada dulu, ke depannya belum tahu. Kalau di tengah jalan ketemu jodoh, ya nikah dulu kali ya. Hahaha,” kelakarnya. (*) Penulis : Sefya Hayu Editor : Binti Q. Masruroh
Pelantikan Dokter Spesialis I dan II Dihelat Bersama UNAIR NEWS – Universitas Airlangga (UNAIR) kembali melantik lulusan program studi Pendidikan Dokter Spesialis I, dan Spesialis II periode ke-118, Rabu pagi (21/9). Sebanyak 66 lulusan itu terdiri dari 58 orang lulusan Spesialis I, dan 8 orang lulusan Spesialis II. Acara yang dihelat di Aula Fakultas Kedokteran (FK) tersebut dihadiri oleh Wakil Rektor II Dr. Muhammad Madyan, S.E., M.Si., M.Fin, Dekan FK Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U (K), Direktur Rumah Sakit UNAIR Prof. Dr. Nasronudin, dr., Sp.PDKPTI, dan perwakilan dari RSUD Dr. Soetomo dr. Tri Wahyu Martanto. Jumlah lulusan spesialis FK UNAIR sejak tahun 2002 hingga
September 2016 mencapai 2.760. Sedangkan dari lulusan spesialis satu yang dilantik, jumlah lulusan prodi Obstetri dan Ginekologi, serta Kardiologi dan Kedokteran Vaskular masing-masing sebanyak 7 orang. Keduanya merupakan yang terbanyak dibandingkan prodi yang lain. Dalam kesempatan tersebut, Prof. Soetojo memberikan wejangan kepada lulusan spesialis, agar mampu mengabdi kepada negara dengan ikhlas. Pasalnya, banyak daerah-daerah tertinggal di Indonesia yang masih membutuhkan tenaga dokter. “Di Papua sana, empat puskesmas, dokternya hanya satu. Jadi masih banyak daerah yang membutuhkan jasa dokter,” ucapnya. “Jangan hanya kumpul di kota-kota besar saja,” imbuh Prof. Soetojo. Menambahkan pernyataan Prof. Soetojo, Wakil Rektor II mengingatkan kepada lulusan spesialis agar terus bersyukur dan menjalankan amanah dengan baik. Pasalnya, banyak calon mahasiswa yang mendaftarkan diri ke prodi pendidikan dokter spesialis UNAIR, namun tidak diterima. “Buktikan bahwa Anda adalah lulusan kedokteran UNAIR dengan kinerja yang berkualitas, hal tersebut juga sebagai bentuk persiapan untuk menghadapi MEA,” ujarnya. Jumlah meningkat Terkait pelantikan tersebut, untuk pertama kalinya pelantikan Spesialis-I dan Spesialis-II dihelat secara bersama-sama. Ketua Komite Koordinasi Pendidikan Dr. Tarmono, dr., Sp.U(K) mengungkapkan, jumlah lulusan prodi jenjang Spesialis-II dari waktu ke waktu meningkat. “Sekarang, program studi itu sudah banyak yang buka program spesialis dua. Maka dari itu, lulusan sekarang ini sudah banyak. Kalau dulu kan masih sedikit, masing-masing dilantik sendiri-sendiri. Sekarang program spesialis dua sudah dikoordinir oleh universitas, jadi lebih teratur,” terangnya.
Dokter Tarmono yakin, bahwa jumlah lulusan Spesialis-II akan terus meningkat. Pasalnya, tiap-tiap program studi akan berusaha untuk membuka program Spesialis-II. “Kalau ke depan jumlah lulusan memungkinkan, maka akan digabung (dengan Spesialis-I). Kalau bahkan lebih banyak lagi, bisa jadi dibikin acara pelantikan Spesialis-II sendiri,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Defrina Sukma S
Kelulusan Ujian Kompetensi Mahasiswa FK UNAIR Capai 98 Persen UNAIR NEWS – Satu lagi prestasi akademik yang membanggakan mencuat dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR). Dalam Uji Kompetensi Mahasiswa Profesi Pendidikan Dokter (UKMPPD) periode Mei 2016 yang lalu tingkat kelulusan mahasiswa FK UNAIR mencapai 98%. Untuk itu semua dari 136 dokter baru UNAIR tersebut dilantik oleh Dekan FK, Rabu (27/7) kemarin. “Ini merupakan peningkatan tingkat kelulusan yang sangat signifikan, melebihi universitas-universitas lain,” kata Dekan FK UNAIR Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U., ketika memberikan sambutan dalam pelaksanaan pelantikan di Aula FK UNAIR Jl. Prof. Dr. Moestopo Surabaya. Hadir dalam pelantikan ini antara lain Wakil Rektor III UNAIR Prof. M. Amin Alamsyah, Ir., M.Si., Ph.D., Wakil Direktur RSUD Dr. Soetomo Dr. Bangun Trapsila Purwaka, Sp.OG (K)., M.Kes.,
Direktur RS UNAIR Prof. Dr. Nasronuddin, dr., Sp.PD-KPTI., para mantan Dekan FK dan para Wakil Dekan. Seperti diketahui UKMPPD adalah ujian akhir yang harus dijalani oleh setiap mahasiswa Fakultas Kedokteran yang telah menyelesaikan seluruh materi dalam program pendidikan profesi dokter. Dalam UKMPPD ini terdapat dua komponen yang diujikan, yaitu Computer Based Test (CBT) berupa 200 soal dalam 200 menit, serta ujian Objective Structure Clinical Examination (OSCE) yang berupa soal dalam 12 station dan harus dikerjakan dalam waktu 15 menit per stationnya. Seiring dengan naiknya secara signifikan prestasi kelulusan UKMPPD tersebut, pinta Dekan FK Prof. Soetojo, hendaknya prestasi ini bisa dipertahankan pada masa yang akan datang. Kepada para dokter baru diharapkan prestasi demikian juga mengiringi saat-saat menjalani internship sebagai proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan penyelarasan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan dengan praktik di lapangan. “Dalam internship itulah Anda harus bekerjasama, berhubungan baik dengan sejawat, paramedis, karyawan, dan dengan manajemen. Selain itu juga jangan lupa untuk terus belajar dan berkonsultasi dengan senior, karena belajar itu tidak ada selesainya,” tandas Guru Besar Urologi FK UNAIR ini memberi nasihat. Sedangkan Wakil Rektor III UNAIR Prof. M Amin Alamsyah yang membacakan sambutan Rektor UNAIR menyampaikan pesan, hendaknya setelah dilantik ini dokter baru segera berkarya secara baik di masyarakat, sekaligus meningkatkan nama baik almamater. Sebagai insan berilmu, seorang dokjter hendaknya juga bisa mendatangkan kemanfaatan kepada orang lain. “Tantangan akan selalu bertambah, itu pasti. Sehingga harus dihadapi dengan sikap yang bijak, aktif berkontribusi dalam meningkatkan pemecahan persoalan dalam upaya untuk mewujudkan
masyarakat yang sehat. Untuk itu jangan pernah berhenti belajar karena masyarakat juga menanti perbaikan-perbaikan selanjutnya,” kata Prof. Moh Amin Alamsyah. Wakil Direktur RSUD Dr. Soetomo Bangun, Trapsila Purwaka, dr., Sp.OG (K)., M.Kes., kepada para dokter baru itu juga berpesan untuk segera melaksanakan internship, segera menyelesaikannya, dan segera menjadi dokter yang sesungguhnya, karena dengan demikian akan segera juga untuk mengabdi kepada masyarakat untuk membangun wahana kesehatan seperti yang kita harapkan. Dari berbagai wejangan itulah, maka dr. Moh Edwin Prasetyo, mewakili rekan sejawatnya yang siang itu dilantik, menyatakan terima kasih atas semula pembelajaran dan nasihat-nasihat bagus yang telah disampaikan. “Kami akan senantiasa memegang teguh kode etik dokter ini sampai di akhir hayat, karena dibalik ini terdapat tanggungjawab besar sebagai seorang dokter. Untuk itu juga tetap memohon doa dan dukungannya untuk kelak menjadi dokter yang baikd an ideal,” kata Edwin dalam sambutannya. Disampaikan Edwin, mereka menyadari bahwa kedokteran adalah ilmu yang selalu berkembang. Untuk itu pihaknya juga sadar bahwa dituntut untuk terus belajar meng-update ilmu yang pada akhirnya untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada masyarakat. (*) Penulis: Bambang Bes
dr. Indri Lakshmi Putri, Ahli
Bedah Rekonstruksi Langka di Indonesia
yang
UNAIR NEWS – Wajah adalah identitas seseorang. Prinsip itulah yang melatari dr. Indri Lakshmi Putri, Sp.BP-RE (KKF) untuk menjadi dokter ahli bedah plastik rekonstruksi kraniofasial. Profesi ini terbilang langka di Indonesia, mengingat ahli yang dimiliki baru berjumlah belasan. Dokter perempuan itu ditemui di tengah kesibukannya ketika menjalani praktik di Rumah Sakit Universitas Airlangga. Sambil mengenakan jas putih khas dokter, ia bercerita cukup banyak tentang minatnya terhadap bidang kraniofasial, praktik operasi, dan sejumput kehidupan di luar profesinya. “Wajah itu identitas seseorang. Jika orang bertemu Anda, pasti yang diingat adalah wajah. Mau tidak mau, orang akan melihat fisik terlebih dahulu dan itu diwakili oleh wajah. Secara tidak langsung, akibat wajah, seseorang bisa diterima atau tidak di suatu komunitas,” tutur perempuan yang akrab disapa dokter Putri ini. Kraniofasial adalah salah satu bidang kajian ilmu bedah plastik yang membentuk serta memperbaiki fungsi dan penampilan seseorang pada tulang wajah, tulang kepala, dan jaringan lunak. Misalnya, kelainan alat indera seperti telinga, atau bentuk wajah yang abnormal. Maka, tugas ahli kraniofasial adalah merekonstruksi wajah dan kepala sampai bentuk dan fungsinya mirip seperti normal. “Kita memperhatikan tampilan akhir supaya bisa memberikan kebahagiaan yang bisa dinilai secara psikis. Karena biasanya, orang datang ke kita dalam keadaan yang tidak happy,” tutur dokter Putri. Ia mengakui, bidang ilmu kraniofasial yang ditekuninya tak banyak diminati oleh rekan-rekan spesialis bedah plastik
sejawatnya. “Kalau sedang seminar kraniofasial, itu nanti masuk ke ruang untuk kajian estetika, hand and surgery, dan kraniofasial. Biasanya (dokter, -red) yang masuk ke kraniofasial hanya 10 – 20%. Itu sudah mencerminkan bahwa banyak yang tidak mau masuk ke kraniofasial karena operasinya cenderung njelimet. Kalau estetika, bentuk hidung dua jam udah selesai. Dibandingkan kami bikin kuping, 6 – 8 jam operasinya,” tutur dokter Putri. Beragam tantangan Merekonstruksi wajah dan kepala manusia merupakan tantangan tersendiri bagi dokter lulusan Fakultas Kedokteran UNAIR. Diperlukan ketelitian dan kehati-hatian agar pasien senang menerima ‘wajah baru’ yang dibuat sang dokter. Seperti contoh kasus operasi dua pasien kakak-beradik pada Kamis (17/3) silam. Dokter Putri bersama tim dokter yang terlibat berhasil mengoperasi dua pasien crouzon syndrome dengan teknik pemanjangan tulang wajah tengah. Teknik operasi ini pertama kali dilakukan di Indonesia. “Itu permasalahannya adalah pertumbuhan tulang dahi dan tulang wajah tengahnya terhambat. Bentuk wajahnya seperti neneknenek. Operasi tahap pertama menangani wajah atas (tulang dahi). Kita majukan ke depan tulang dahinya, karena apabila tulangnya tidak bisa tumbuh, otaknya akan tertekan. Kalau otak tertekan, dia tidak bisa berkembang. Matanya juga agak keluar,” tutur dokter 33 tahun ini. Pada operasi yang berkolaborasi dengan tim dokter Erasmus Medical Center, Belanda, dokter Putri membentuk tulang agar mirip seperti normal. Tantangannya adalah, membentuk tulang yang bersifat patologis. Tulang yang patologis biasanya cenderung tipis dan asimetris. Setelah tulang wajah atas terbentuk, tim dokter bertugas membentuk tulang wajah bawah agar jalan napas lebih mudah.
“Kalau tersumbat, pasti akan banyak problem. Operasi berakhir pada tahap estetika. Kita bentuk wajahnya agar dia bisa diterima oleh lingkungannya,” tutur dokter yang hobi bermain basket ini. Selain pemanjangan tulang wajah, dokter Putri juga pernah melakukan operasi terhadap pasien tanpa telinga (microtia). Tindakan untuk kasus sejenis ini dilakukan sebanyak dua tahap dengan risiko tinggi. Risiko terburuk adalah terjadinya pendarahan dan meninggal. Oleh karena itu, tindakan ini dilakukan dengan cukup hati-hati karena melibatkan pemindahan kulit. Dokter harus membuat sendiri telinga dengan menggunakan material dari tubuh pasien. Untuk membuat telinga, ia harus menyesuaikan pola telinga normal milik pasien. “Kita bikin patron. Patron itu digunting lalu kita sterilkan. Kita bikin telinga itu dengan menggunakan empat iga (tulang rusuk), dan akhirnya saya bentuk jadi kuping. Jadi, ada seni memahat dan menyerutnya juga. Udah kayak pengrajin bikin patung,” cerita dokter Putri. Rasa tidak puas terhadap berbagai operasi yang pernah dokter Putri lakukan, mendorongnya untuk terus meng-update ilmu kedokteran. Ibu dua anak itu bercerita, selama enam bulan pada tahun 2015 lalu, ia menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu rekonstruksi kraniofasial di tiga negara. Yaitu Craniofacial Center Erasmus Medical Center di Belanda, Chang Gung Craniofacial Center di Taiwan, dan Nagata Microtia and Reconstructive Plastic Surgery Clinic di Jepang. Ilmu kraniofasial yang ditekuninya membawa hasil. Contohnya, kasus microtia. Sambil menunjukkan berbagai contoh telinga yang pernah ia buat, dokter Putri merasa ada perbaikan terhadap bentuk telinga yang pernah ia buat selama ini. “Mereka bilang, Dok, kayaknya satu kali operasi aja udah cukup. Kita bilang, nggak bisa kan telingamu masih tertanam
aja. Tapi dia happy, karena akhirnya dia senang bersosialisasi dengan teman-temannya. Dia antusias pulang dari rumah sakit. Dia bilang kalau dia mau kasih tahu ke guru dan teman-temannya kalau dia punya kuping baru. Hal-hal itulah menurut saya nilainya tidak bisa dinilai dengan uang. Itu kepuasan pasien juga karena dia tidak minder lagi,” kenang dokter yang akan menempuh studi doktoralnya di FK UNAIR pada September 2016 nanti. Tantangan lainnya, dalam operasi kraniofasial adalah kurangnya informasi yang cukup di masyarakat, bahkan pada tenaga medis itu sendiri. Dokter Putri mengimbau agar mereka mencari kebenaran informasi kepada pihak yang berkompeten. Karena tak jarang, abnormalitas itu sudah diketahui sejak dalam kandungan, namun tak kunjung dirujuk ke rumah sakit yang memadai. “Jangan sepelekan pasien-pasien dengan kelainan pada wajah. Hubungi ahli bedah plastik, karena kita (ahli kraniofasial) Cuma ada di kota besar. Dan, cari informasi di internet. Kami berharap agar tidak ada pasien yang datang dengan late condition. Mereka (pasien) yang memiliki kelainan pada telinga, itu datang ke kami di usia lebih dari 16 tahun semua. Apa yang terjadi? Tulang rawannya susah dibengkokkan karena udah mengeras. Bentuk memahatnya jauh lebih susah dibandingkan operasi pada usia sembilan atau sepuluh tahun,” ungkap dokter yang pernah tampil di Java Jazz Festival. Operasi kraniofasial saat ini sudah bisa dilakukan di RS UNAIR. Selain dilengkapi dengan kamar serta peralatan operasi dan tim medis yang kompeten, operasi kraniofasial juga dijamin oleh asuransi kesehatan (BPJS Kesehatan). “Koordinasi mudah kita lakukan, karena baik di Soetomo (RSUD Dr. Soetomo) dan RS UNAIR, departemennya di bawah UNAIR. Kalau di Soetomo, loading pasiennya banyak sekali. Antrian BPJS tidak karu-karuan. Dengan adanya RS UNAIR, sedikit banyak bisa membantu pasien-pasien agar bisa dioperasi lebih cepat,” tutur
dokter Putri. Ia berharap, keberadaan RSUD Dr. Soetomo dan RS UNAIR bisa menjadi pusat rujukan tertinggi di Indonesia bagian timur, bahkan rujukan nasional untuk kasus kraniofasial. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor : Binti Q. Masruroh
Sumpah Profesi Bukan Sekadar Ucapan UNAIR NEWS – Sebanyak 84 dokter hewan baru dilantik dan diambil sumpahnya oleh Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, pada Kamis (31/3). Prosesi pelantikan dan pengambilan sumpah dokter hewan yang dihadiri oleh jajaran pimpinan UNAIR dan Persatuan Dokter Hewan Indonesia cabang Jawa Timur I. Dekan FKH UNAIR Prof. Dr. Pudji Srianto, M.Kes., Ph.D., pada kesempatan pertamanya dalam melantik dokter hewan baru tersebut menuturkan, bahwa dari 84 lulusan, 17 diantaranya merupakan penerima bantuan pendidikan Bidikmisi dengan lima orang meraih predikat cumlade. mantan ketua Ikatan Alumni (IKA) FKH UNAIR tersebut juga menyampaikan bahwa sumpah yang diambil ini merupakan bentuk bukti agar ketenangan batin dalam melaksanakan tugas sebagai dokter hewan. “Dalam waktu singkat kalian harus bisa mengamalkan ilmu kalian, tanggung jawab sebagai dokter hewan ini harus benarbenar mampu dilaksanakan dengan baik dan melaksanakan sumpah yang baru saja diucapkan,” jelas Prof. Pudji dalam sambutannya.
Wakil Rektor III UNAIR selaku Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D., turut memberikan sambutan dalam prosesi pelantikan dan pengambilan sumpah dokter hewan ke-156 bahwa tantangan ke depan yang akan dihadapi para dokter hewan baru akan semakin besar. “Sumpah itu janji penting, jadikanlah pegangan yang dengan itulah kalian bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan UNAIR. Sunaryo Hadi Warsito., drh., MP., selaku ketua pantia memberikan sambutan, bahwa menjadi dokter hewan tidaklah selalu harus menunggu adanya lapangan pekerjaan, bahkan ia menyarankan agar para lulusan ke depannya bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri. “Dunia kalian ini dekat dengan rezeki, lihatlah mulai dari kotoran, bulu, susu, daging semua jadi ladang rezeki, makanya saya akan lebih bangga kalau melihat kalian bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, buatlah piring untuk orang lain itu lebih baik dari pada berebut piring dengan orang lain,” ujarnya. Salah satu dokter hewan yang turut dilantik, drh. Andri Setiawan, turut memberikan kesempatan. Andri menuturkan tentang pentingnya kesiapan dokter hewan dalam memasuki dunia pekerjaan. Guna menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN, ia mengatakan agar para dokter hewan baru mampu memecahkan permasalahan di masyarakat. “Mari kita wujudkan kesehatan masyarakat melalui upaya kita untuk menjaga kesehatan hewan,” ujarnya yang dibarengi jargon andalan FKH UNAIR, “Viva Veteriner!”. Selamat untuk dokter hewan baru! Penulis: Nuri Hermawan Editor: Defrina Sukma S