Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
OPTIMALISASI SINTESIS KITOSAN DARI CANGKANG KEPITING SEBAGAI ADSORBEN LOGAM BERAT Pb (II) Nurul Asni1; M. Arif Saadilah2; Djonaedi Saleh2 1
Akademi Kimia Analis Caraka Nusantara Departemen Fisika Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected],
[email protected] 2
Abstrak Material Kitosan dibuat dari cangkang kepiting menggunakan metode kimia dengan demineralisasi HCL 1M selama 1 jam, deproteinasi NaOH 1M selama 2 jam dan variasi deasetilasi NaOH 30%, 40%, 50%, 60%, dan 70% selama 45 menit. Dari analisis FTIR didapat Derajat Deasetilasi kitosan terbaik pada NaOH 50%. Waktu reaksi terbaik untuk mendapatkan Derajat Deasetilasi maksimum dalah 30 menit. Hasil kitosan cangkang kepiting merupakan kitosan murni sesuai dengan database program Match!. Adsorbsi Pb dari larutan Pb(NO3)2 dilakukan pada konsentrasi Pb 10, 50, dan 100 ppm dengan pengadukan selama 30 menit. Dalam suasana asam Kitosan menyerap seluruh Pb untuk konsentrasi 10 ppm dan tidak menyerap Pb pada konsetrasi 50 dan 100 ppm. Sedangkan dalam suasana netral konsentrasi Pb 25 ppm terserap semua, pada konsetrasi 50 ppm terserap 44,77 ppm dan pada konsentrasi Pb 100 ppm terserap 97,04 ppm.
Abstract Chitosan has been made from the crab shells with a chemical method with 1M HCl demineralization for 1 hour, deproteination 1M NaOH for 2 hours and variations of deacetylation 30% NaOH, 40%, 50%, 60%, and 70% for 45 minutes. An analytical methode from FTIR showed that the best chitosan deacetylation degree obtained at 50% NaOH, and the best reaction time to get the best Chitosan is 30 minutes.Chitosan product from crab shells is a real chitosan agreed with database Match! program. Chitosan is known best Pb adsorption from Pb(NO 3)2 solution with concentrations of 10, 50, and 100 ppm acid dilution and neutral dilution of 25, 50, and 100 ppm for 30 minutes and tested variations chitosan residual liquid. Chitosan absorbed around 10 ppm Pb acid dilution and 25 ppm neutral dilution. No adsorption at 50 and 100 ppm Pb in acid dilution. Absorption of 44.77 ppm at 50 ppm and 97.04 ppm to 100 ppm.. Keywords: Chitosan,Adsorption, Pb
1. PENDAHULUAN Populasi manusia di dunia semakin banyak sehingga memberikan keuntungan sekaligus kerugian bagi lingkungan. Pertambahan jumlah manusia turut mendorong pertumbuh industriindustri besar untuk memberikan lapangan pekerjaan sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat. Diantara limbah industri baik berbentuk cair maupun asap mengandung Pb (timbal). Selain pada asap sisa pembakaran akibat penggunaan bahan bakar bernilai oktan rendah, timbal juga muncul dalam industri logam dalam limbah tailing atau limbah dari pemurnian batuan tambang (ore). Hingga saat ini Pb merupakan salah satu jenis logam kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun) [1]. Pb sedikit demi sedikit apabila masuk kedalam tubuh manusia akan memberikan efek buruk. Karena logam Pb tidak dibuang apabila sudah masuk ke dalam tubuh akan terjadi akumulasi. Salah satu gangguan kesehatan pada penderita adalah penurunan pada sistem saraf, ginjal, darah, bahkan reproduksi [2].
Beberapa tahun terakhir, telah dilakukan penelitian untuk menggunakan bahan polimer alam (biopolymer) yang mampu menjadi pengikat logam Pb untuk mengurangi kandungan di dalam limbah industri. Salah satu bahan polimer alam untuk keperluan tersebut adalah biopolimer Kitosan [3]. Kitosan merupakan biopolimer berasal dari pengolahan Kitin kandungan cangkang luar Crustaceae, serangga, dan beberapa jenis jamur [4]. Kitosan mempunyai berbagai sifat, salah satunya sebagai absorben, atau pengikat ion. Kepiting (Brachyura)merupakan salah satu jenis Crustaceae sebagai sumber Kitin. Kepiting merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia berasal dari produksi perairan. Dari data di Kementrian Kelautan dan Perikanan pada JanuariAgustus 2011, nilai ekspor Kepiting mencapai US$ 172 juta. Peningkatan terus terjadi dari tahun-ke tahun, terlihat dari data pada sepanjang tahun 2010 ekspor kepiting hanya mencapai US$ 208 juta [5]. Keuntungan dari hasil perairan berupa kepiting tersebut memunculkan masalah yaitu semakin banyak limbah kepiting yang dihasilkan. Limbah tersebut berupa cangkang kepiting yang semakin menumpuk dari tahun ke tahun.
18
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Limbah cangkang kepiting menjadi masalah karena limbah tersebut dapat menimbulkan pencemaran tanah dan udara. Selain bau busuk dari tumpukan cangkang kepiting tersebut dapat mengganggu kesehatan yaitu penyakit ISPA, juga dapat merusak lingkungan karena limbah cangkang kepiting dapat meningkatkan kadar BOD (Biological Oxygen Demand), dan COD (Chemical Oxygen Demand) [7]. Selama ini, limbah cangkang kepiting di Indonesia terutama di beberapa tempat hanya dilakukan pengolahan dengan memanfaatkan sebagai pupuk atau pakan ternak dengan nilai yang rendah. Di beberapa daerah, cangkang kepiting sudah mulai diekspor sebagai Kitin kotor. Dari data menyebutkan bahwa cangkang kepiting mempunyai sekitar 14-35% (berat kering) kandungan kitin. Di pasar dunia, harga kitin kering mencapai US$ 10 tiap kilogram [5]. Kandungan organik dari cangkang kepiting berbentuk kristalin terdiri dari kitin, material anorganik dan protein. Secara umum cangkang kepiting memiliki protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40 %) dan kitin (18,70% - 32,20%). Kandungan tersebut ditentukan oleh jenis kepiting dan tempat hidup kepiting [8]. Berbeda dengan kelas crustaceae lainnya, kandungan anorganik dari kepiting laut tidak mengandung kalsium karbonat (CaCO3), namun kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) [9]. Sehingga diperlukan metode tertentu untuk mengekstraksi kitin dari cangkang kepiting yaitu dengan penghilangan protein (deproteinasi), penghilangan pigmen warna (depigmentasi), dan penghilangan mineral (demineralisasi). Untuk meningkatkan kembali nilai jual dari cangkang kepiting selain dikeringkan dan dijual sebagai kitin, cangkang kepiting juga bisa diolah menjadi Kitosan. Kitosan merupakan rekayasa dari kandungan kitin pada cangkang kepiting. Kitosan selama ini digunakan sebagai bahan utama di dunia farmasi, kosmetik, bahkan penjernih air. Untuk nilai ekonomi, Kitosan berharga sekitar US$ 15700 setiap kilogram tergantung jenis dan kualitas. Kitin merupakan salah satu kandungan organik yang penting pada binatang orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematode. Selain terdapat pada cangkang dan kerangka, kitin biasa terdapat pada trakea, insang, dinding usus, dan pada bagaian dalam cangkang pada cumi-cumi [10].
Gambar 1.1 Struktur kimia Kitin [13]
Gambar 1.2 Sutruktur kimia Kitosan [13] Kitin mempunyai struktur poli-β-N-asetil-Dglukosamin berbentuk serupa dengan selulosa. Kitin memiliki monomer tersambung dengan ikatan glukosida pada posisi β (1-4), dan pada gugus karbon nomor dua digantikan oleh gugus asetamida (-NHCOCH3) [11] dan mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976) berupa zat padat berkristal (amorphous). Kitin termasuk jenis asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, tak larut dalam air namun larut dalam asam mineral pekat [12]. Demineralisasi dilakukan bertujuan untuk menghilangkan kandungan garam mineral dalam cangkang kepiting, yaitu kalsium fosfat (Ca3(PO4)2).[6] Secara singkat, tahap demineralisasi dituliskan sebagai: CaCO2(s) + 2HCl → CaCl2(aq) + H2(g) + CO2(g) Ca3(PO4)2(s) + 4HCl(aq) → 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)(aq) Deproteinasi adalah proses penghilangan protein yang terkandung dalam cangkang kepiting.[6] Kitin juga berkonjugasi dengan protein dalam cangkang kepiting dimurnikan dengan tahap deproteinasi. Saat dilakukan proses deproteinasi, protein akan ter-denaturasi. Denaturasi adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi karena ikatan hidrogen [14]. Denaturasi dapat terjadi akibat perubahan temperatur dan pH [6]. Seperti pada demineralisasi, deproteinasi juga dapat dilakukan dalam dua cara, secara kimiawi, atau secara biologis (enzim). Secara kimia, cangkang kepiting di campur dengan basa kuat dan dinaikkan temperaturnya hingga ke titik tertentu. Pada sebagian besar peneliti, basa kuat yang digunakan adalah NaOH. Namun ada beberapa juga menggunakan basa kuat KOH [15]. Cangkang kepiting dan Pb memang tidak memiliki suatu korelasi apapun selain sesama limbah dengan jumlah besar dan membahayakan lingkungan. Namun mengetahui Kitosan, hasil olahan cangkang kepiting, memiliki kemampuan untuk menyerap ion Pb merupakan hal sangat menggembirakan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengoptimalisasi Kitosan tersebut agar dapat memaksimalkan hasil kinerja. Kitosan (formula umum [C6H11O4N]n) adalah senyawa turunan dari kitin, yaitu merupakan polimer rantai panjang glukosamin (2-aminodeoksi-glukosa). Kitosan terbentuk dari proses deasetilasi kitin [16]. Lebih mudahnya, perbedaan Kitin dan Kitosan terletak pada penggantian gugus
19
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 asetamida (-NHCOCH3) menjadi gugus amida (NH2) [11].
Gambar 1.3 Mekanisme Perubahan Kitin menjadi Kitosan [3] Terdapat suatu istilah dalam proses deasetilasi, yaitu derajat deasetilasi (DD). Derajat deasetilasi adalah jumlah gugus amino bebas pada cincin polisakarida. Semakin tinggi prosentase derajat deasetilasi kitosan maka semakin baik kitosan tersebut. Deasetilasi kitin secara kimiawi dilakukan dengan cara mencampurkan kitin dengan basa kuat, proses deasetilasi dilakukan harus pada suhu lebih dari 65˚C. Telah dilakukan berbagai macam metode dan konsentrasi basa kuat terutama NaOH yang diberikan. [3]. Penggunaan konsentrasi NaOH dibawah 45% (b/v) tidak akan menghasilkan kitin yang terdeasetilasi [17]. Ikatan kimia yang terjadi antara gugus aktif amida dengan molekul PbNO3 dapat dijelaskan sebagai perilaku interaksi asam-basa Lewis yang kemudian menghasilkan senyawa kompleks pada permukaan padatan [18]. Jika mengikuti teori ini maka proses pengikatan Pb2+ dari cairan PbNO3 oleh gugus –NH2 menjadi: 2+
+
[NH2] + Pb → [NHPb] + H
Ada dua tipe adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan kimia. Adsorpsi kimia terjadi dari hasil interaksi kimia antara permukaan adsorben dan adsorbat. Sedangkan adsorpsi fisika terjadi akibat adanya gaya Van der Waals dan gaya elektrostatik antara molekul adsorbat dan atom penyusun adsorben [22]. Pada pH asam, kitosan dapat terprotonasi dan berasosiasi dengan polianion untuk membentuk kompleks [24]. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pH optimum untuk kitosan menjadi adsorben adalah dengan menggunakan pH larutan sebesar 4,5 [20]. Adsorpsi merupakan proses eksotermis, sehingga temperatur reaksi, terutama temperatur adsorbat sangat mempengaruhi jumlah adsorbat yang dapat diserap itu sendiri. Semakin rendah suhu adsorbat, maka akan semakin banyak adsorbat yang dapat diserap. Hal ini sesuai dengan prinsip Le‟chatelier bahwa pada reaksi fisika kenaikan temperatur dapat menurunkan tingkat adsorpsi. Sedangkan untuk perubahan tekanan, semakin tinggi tekanan akan meningkatkan tingkat adsorbsi.
Dengan qe merupakan konsentrasi adsorbat terserap, KF merupakan konstanta Freund, dan Ce konsentrasi Pb pada saat kesetimbangan dipangkatkan dengan konstanta energi isothermal adsorpsi. Persamaan ini menunjukkan bahwa kitosan akan tetap bisa menyerap Pb dalam konsentrasi yang tinggi sekalipun. Namun dikarenakan penyerapan Pb di kitosan terjadi seperti pada logam berat lainnya yaitu hanya pada gugus amida (-NH2) pada permukaan, maka jumlah logam berat terserap akan berhenti pada konsentrasi tertentu [6]. Hal ini ditunjukkan pada nilai konsentrasi kesetimbangan yang mana nilainya akan berbanding lurus dengan nilai konsentrasi awal Pb.
2. METODE PENELITIAN
+
Dalam teori lain menyebutkan situs aktif pada permukaan padatan dapat disebut sebagai ligan pengikat logam secara selektif [19]. Beberapa faktor dalam mempengaruhi daya adsorpsi. Jenis adsorbat, sifat adsorben, temperatur, tekanan reaksi, dan pH adsorben [20]. Kitosan untuk dijadikan adsorben, haruslah memiliki derajat deasetilasi hingga lebih dari 60%. [21]. Demi menjaga kualitas kitosanpemakaian suhu dan konsentrasi terlampau tinggi dapat merusak kitosan karena akan berubah struktur kimia kitosan tersebut. Selain itu suhu tinggi dan waktu lama akan menaikkan derajat deasetilasi namun mengecilkan ukuran molekul dan viskositas kitosan. [6].
Persiapan Cangkang kepiting sebanyak 500 gr didapat dari limbah hasil olahan rumah tangga dari kepiting yang telah dikukus tanpa campuran bahan atau bumbu apapun. Kepiting tersebut merupakan jenis Portunus pelagicus atau yang biasa disebut rajungan.dipisahkan dari sisa-sisa daging yang masih menempel. Kemudian dicuci dengan air, dikeringkan pada suhu 110˚C dan dihaluskan sehingga didapatkan serbuk berukuran 25 mesh. Demineralisasi
20
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Bubuk cangkang kepiting dipisahkan antara larutan
mineral dan crude kitin menggunakan cairan HCl 1M , dengan waktu reaksi 1 jam, pada suhu 60˚C. Hasil crude kitin dicuci menggunakan aquades hingga pH netral, dan dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam. 1.1 Deproteinasi Deproteinasi crude kitin dilakukan menggunakan NaOH 1M, dengan waktu reaksi 2 jam pada suhu 70˚C. Hasil saringan kitin dicuci menggunakan aquades bersuhu 60˚C hingga pH netral, dan kemudian dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam. 1.2 Deasetilasi Deasetilasi dilakukan dengan dua variasi, optimalisasi konsentrasi NaOH dan optimalisasi waktu reaksi. Perbandingan sample dan NaOH sebesar 1:15 (b:v), temperatur reaksi 100˚C, dan kecepatan stirring 500 rpm dibuat konstan untuk semua variasi konsentrasi larutan dan waktu reaksi. Konsentrasi larutan dan lama waktu reaksi divariasikan sebagai berikut ; a) Variasi konsentrasi larutan NaOH, yaitu pada 30%, 40%, 50%, 60 % dan 70% (b/v) dengan lama waktu 45 menit. b) Variasi lama waktu reaksi yaitu 30 menit, 45 menit, 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Hasil saringan kitosan dicuci dengan menggunakan aquades bersuhu 70˚C hingga pH netral, dan kemudian dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam. 1.3 Uji Unsur dengan XRD Analisis unsur dilakukan untuk membandingan kandungan unsur antara cangkang, kitin dan kitosan. Analisis unsur dilakukan dengan menggunakan XRD secara kontinyu (continous scan) denagn kecepatan 0.02˚/detik dimulai dari sudut 20˚ hingga 50˚.
reaksi dengan kecepatan 50 rpm dengan waktu kontak selama 30 menit dan kemudian disaring. Kedua Pb dengan konsentrasi 25, 50 dan 100 ppm melalui proses pelarutan dengan aquabidestilasi. Dilakukan proses pengadukan dengan kitosan hasil variasi lama reaksi dengan kecepatan 50 rpm dengan waktu kontak selama 30 menit dan kemudian disaring. Sisa hasil reaksi yang lolos saring kemudian dilakukan pengukuran dengan menggunakan AAS.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini telah menghasilkan kitosan dari cangkang kepiting. Cangkang kepiting terbukti memiliki kandungan mineral berupa kalsium fosfat yang berarti berasal dari limbah hasil laut. Hasil pola diffraksi gambar 3.1 terlihat jelas bahwa cangkang kepiting masih mengandung mineral Ca4O7P2 atau Ca4(PO3)2O. Mineral ini harus dihilangkan untuk mengambil kitin yang terdapat pada cangkang tersebut. Gambar 3.2 terlihat pada pola difraksi muncul puncak baru pada sudut lain. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kristalinitas. Pada sudut difraksi tersebut merupakan penunjuk adanya gugus kitin atau kitosan [25]. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil deproteinasi berhasil mengurangi gugus protein pada cangkang kepiting. 3.1.1 Optimasi Konsentrasi NaOH Optimasi kitosan dilakukan pada proses deasetilasi. Pada proses tersebut variasi Na dilakukan setelah variasi waktu reaksi. Untuk menentukan berat Na optimal sebelum melakukan variasi waktu reaksi, dilakukan pengukuran derajat deasetilasi dengan menggunakan alat analisis FTIR. Hasil analisis pengaruh NaOH terhadap derajat deasetilasi kitosan dapat dilihat pada gambar 3.7.
1.4 Uji Deasetilasi dengan FTIR Pengukuran derajat deasetilasi dilakukan dengan menggunakan FTIR. Shimadzu IR Prestige-21. Derajat deasetilasi pada kitosan dilihat dari absorpsi gelombang IR pada gelombang A1 yaitu 1655m-1 dan A2 3450 m-1. Kemudian dimasukkan pada persamaan Domzy dan Robert : %DD = 100 –[(A1/A2) x (100/1,33)] 1.5 Reaksi Adsorbsi Pb Proses adsorpsi dilakukan dengan mencampurkan cairan Pb(NO3)2 melalui dua tahap. Pertama Pb dengan konsentrasi 10, 50 dan 100 ppm melalui proses pelarutan dengan asam pekat HNO3 65% hingga 1000 ppm kemudian diencerkan menggunakan HNO3 0,5 M. Dilakukan proses pengadukan dengan kitosan hasil variasi lama
Gambar 3.1 Hasil pengolahan pola diffraksi sinar X cangkang kepiting.
21
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
Gambar 3.2 Pola difraksi XRD (a)Kitosan, (b)Kitin, dan (c)Cangkang
Gambar 3.3 Hasil FTIR variasi konsentrasi NaOH pada 3450m-1
dan 3450 m-1dengan menggunakan persamaan Domszy dan Robert. Pada grafik Derajat deasetilasi nilai yang didapatkan semua bernilai lebih besar dari 60%.. Sehingga dapat disimpulkan semua kitosan tersebut telah siap digunakan sebagai adsorben. Pada gambar 3.7 terlihat bahwa penggunaan NaOH 50% mendapatkan hasil terbaik dalam grafik DD yang cenderung bersifat polinomial. Untuk DD pada konsentrasi NaOH 60% dan 70% dikarenakan terjadi kerusakan gugus amida pada kitosan tersebut dikarenakan konsentrasi NaOH terlalu tinggi. Hal ini sangat mugin terjadi karena NaOH dapat memecah NH2 karena sifat NH2 yang mudah berikatan dengan unsur lain. Dengan tingginya kadar NaOH bisa saja amida yang sebelumnya telah terbentuk berbalik menyerap NaOH tersebut dengan melepas salah satu gugus H dan mengikat Na. kemudian H+ yang reaktif ini diikat oleh OHyang sebelumnya telah kehilangan ion Na. Variasi waktu reaksi dilakukan pada konsentrasi 50% Pada gambar 3.8 menunjukkan penurunan nilai DD setelah waktu reaksi 30 menit. Hal ini terjadi dikarenakan kembali terpecahnya gugus NH2 dan terikat dengan ion Na dari NaOH berlebih. Hasil reaksi 30 menit pada kitosan 50% dibandingkan dengan kitin terlihat kemiripan pada pola difraksi gambar 3.9 dan terjadi pergeseran puncak sudut difraksi
Gambar 3.4 Hasil FTIR variasi konsentrasi NaOH pada 1645m-1
Gambar 3.7 Kurva Pengaruh %NaOH terhadap Derajat Deasetilasi Tabel 3.1 Jarak antar atom dan sudut difraksi Kitin dan Kitosan
Gambar 3.5 Hasil FTIR variasi waktu reaksi pada 3450m-1
Kitin 2theta d (Å) 21.94 33.78 36.92
4.70 3.08 2.83
Kitosan 2theta d (Å) 22.22 4.64 34.02 3.06 37.18 2.81
. Gambar 3.6 Hasil FTIR variasi waktu reaksi 1645 m-1 Derajat deasetilasi (DD) diukur dari nilai absorpsi gelombang IR pada panjang gelombang 1655 m-1
22
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 tersebut, maka dilakukan penambahan konsentrasi untuk dapat menyerap Pb lebih banyak. Hasil adsorbsi pada konsentrasi Pb 50 dan 100 ppm menunjukkan tidak adanya Pb terserap pada reaksi tersebut. Hal ini dikarenakan untuk konsentrasi besar dibutuhkan energi besar untuk terserap kitosan. Hal ini dikarenakan konsentrasi Pb dalam suasan asam yang lebih bersar membuat larutan tersebut lebih stabil. Energi untuk adsorbsi ini teralihkan menjadi energi pembentukan protoinasi yaitu berikatannya ikatan amida dengan molekul H+ dari larutan HNO3 tersebut. Gambar 3.8 Kurva Pengaruh %NaOH terhadap Derajat Deasetilasi
3.2.2 Adsorpsi Pb pada Konsentrasi 25, 50, dan 100 ppm Pengenceran Netral Akibat tingkat keasaman larutan mempengaruhi hasil adsorbsi Pb maka diakukan reaksi adsorbsi lain dengan menggunakan cairan dengan pH lebih tinggi. Hal ini memberikan hasil positif seperti terlihat pada tabel 3.8. Disini terlihat bahwa seluruh Pb terserap pada konsentrasi 25 ppm. Sedangkan pada konsentrasi 50 ppm terserap sekitar 45 ppm, dan pada 100 ppm terserap sekitar 93 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa gugus amida yang terbentuk telah aktif sehingga dapat menyerap Pb. Hal ini juga mendukung teori sebelumnya bahwa tingkat keasaman tinggi membuat kitosan tersebut kehilangan kemampuan adsorbsi karena telah terprotonasi.
Gambar 3.9 Pola difraks XRD (a)Kitin dan (b)Kitosan.50% dengan waktu reaksi 30 menit Perbedaan pada sudut puncak difraksi tersebut mengindikasikan ada perbedaan jarak antar bidang kisi (d) (tabel 3.2). Pergeseran sudut puncak pada pola difraksi disin mengindikasikan adanya perbedaan pada ion penyusun material tersebut. Kitin dan kitosan memiliki perbedaan jumlah ion C, O dan H yaitu pada perbedaan gugus – NCOCH. Hal inilah yang membuat perbedaan pada besar jarak antar atom. Walaupun memiliki struktur yang sama, perbedaan jumlah ion yang banyak membuat Kristal menyusut sehingga mengurangi nilai jarak antar atom. Terlihat bahwa memang kitosan memiliki jarak antar atom lebih kecil daripada yang dimiliki oleh kitin. Data pada tabel diatas juga dapat mengindikasikan bahwa kitin tersebut telah sukses disintesis menjadi kitosan. 3.2 Optimasi adsorbsi Pb 3.2.1 Konsentrasi Pb dalam suasana asam Adsorsi Pb pada konsentrasi 25 ppm dapat terserap oleh kitosan (gambar 3.10). Hal ini menunjukkan bahwa ikatan amida pada kitosan tersebut telah aktif dan juga bisa menyerap lebih banyak ion Pb. Untuk mengetahui konsentrasi Pb maksimum yang dapat diserap oleh kitosan
Gambar 3.10 Hasil serapan AAS pada sisa absorpsi Pb Tabel 3.2Hasil Uji AAS Pengenceran Netral Konsentrasi
Absorpsi
Konsentrasi
Awal (ppm)
(x100%)
Akhir (ppm)
25
-0,0111
-1,12353
50
0,0859
4,235
0,0332
1,482 x 2
(pengenceran
= 2,964
100
2 kali)
23
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Terdapat perbedaan bahwa kitosan dapat menyerap lebih banyak Pb pada konsentrasi 100 ppm daripada 50 ppm. Hal ini sejalan dengan persamaan Freundlich menunjukkan bahwa nilai konsentrasi terserap sebanding lurus dengan konsentrasi awal Pb.
4. KESIMPULAN Penelitan adsorbsi Pb menggunakan kitosan hasil ekstrasi dari limbah cangkang kepiting dapat disimpulkan sebagai berikut. Cangkang kepiting terdeteksi memiliki kandungan Ca4O9P2 atau Ca4(PO4)2O menunjukkan bahwa kepiting yang dipergunakan berasal dari hasil laut. Kitosan dari cangkang kepiting dibuat dari reaksi demineralisasi dengan HCl 1 M dan deproteinasi dengan NaOH 1 M untuk menghasilkan kitin. Deasetialsi kitin divariasikan dengan konsentrasi 30, 40, 50, 60, dan 70 %. Dengan menggunakan FTIR pada gelombang 1655 m-1 dan 3450 m-1 semua kitin telah terdeasetilasi dengan derajat deasetilasi diatas 60%. Namun derajat tertinggi ada pada konsentrasi NaOH 50%. Hal ini diambil untuk memvariasikan lama reaksi pada 30, 45, 60, 90, dan 120 menit. Nilai tertinggi ada pada menit ke-30. Pada adsorbs Pb dalam suasana asam 10 ppm kesemua Pb terserap namun pada Pb 50 dan 100 ppm tidak ada Pb yang terserap. Sedangkan adsorpsi Pb pada suasana netral pada 25, 50 dan 100ppm. Pada 25 ppm seluruh Pb terserap, penyerapan tertinggi ada pada 100 ppm yaitu hingga 97 ppm, sedangkan pada 50 ppm hanya sebesar 45 ppm. Keadaan tersebut sesuai dengan persamaan Freundlich yang menyatakan konsentrasi Pb kesetimbangan sebanding dengan konsentrasi awal Pb.
5. SARAN Penelitian yang dilakukan di atas masih belum sempurna sehingga penulis menyarankan kepada penelitian selanjutnya melakukan beberapa analisis morfologi dan radikal bebas pada kitosan. Keadaan ini dipergunakan untuk mengetahui hubungan antara adsorbsi kitosan terhadap Pb dengan perubahan morfologi mikroskopis dan jumlah radikal bebas pada kitosan.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kami sampaikan kepada staf academika Akademi Kimia Analis Caraka Nusantara Kelapa Dua Depok dan staf academika Departemen Fisika FMIPA-UI yang telah memberikan izin menggunakan Laboratorium.
DAFTAR ACUAN [1] BAPEDAL (1995). Tata Cara dan Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun BAPEDAL, Jakarta. [2] Kawatu PAT (2008). Kadar timbal darah, hipertensi, dan perasaan kelelahan kerja pada petugas stasiun pengisian bahan baker umum di kota Manado [Tesis]. Yogjakarta: Universitas Gajah Mada. [3] Herwanto, Bimbing et al (2006) Adsorpsi Ion Logam Pb(II) Pada Membran SelulosaKhitosan Terikat Silang Akta Kimindo Vol. 2 No. 1 Oktober 2006: 9-24. [4] Roberts GAF. Structure of chitin and chitosan. In: Roberts GAF, editor. Chitin chemistry. Houndmills Macmillan; 1992. p. 1–53. [5] Kharisma, Wilujeng (2011, Desember). Meski Cangkang Rajungan, Pasar Ekspor Menanti. Pikiran Rakyat http://www.pikiranrakyat.com/node/170052. [6] Utami D, Wiwiek (2006). Optimasi sintesis kitosan dan studi awal pemanfaatannya sebagai adsorben logam Cu (II) pada air limbah. [Skripsi]. Program Studi Teknik Kimia UI. [7] Krissetiana, Henny (2005, Maret). “Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang”. Suara Merdeka. http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/ 31/ragam4.htm. [8] Focher, B. et al (1992). Structural Differences Between Chitin Polymorphs and Their Precipitates from Solution Evidence from CP-MAS 13 C-NMR, FT-IR and FT-Raman Spectroscopy. Charbohidrat Polymer. 17 (2) : 97 – 102. [9] Yamaguchi, Isamu et al (2002). The Chitosan Prepared from Crab Tendon I: The Characterization and The Mechanical Properties Biomaterials 24 (2003) 20312036. [10] Neely, M.C.H and William (1969). Chitin and Its Derivates in Industrial. Gums Kelco Company California. 193 – 212. [11] Marguerite, Rinaudo. (2006). Chitin and Chitosan: Properties and applications. Prog Polym. Sci. (31): 603-632. [12] Marganof (2003) Potensi limbah udang sebagai penyerap logam berat (Pb, Cd, dan Cu) di perairan. Makalah Pribadi. Pengantar ke Falsafah Sains. Program S3 IPB Bogor. [13] J.C.Y. Ng, W.H. Cheung, G. McKay Equilibrium studies for the sorption of lead from effluents using chitosan Chemosphere 52 (2003) 1021–1030.
24
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 [14] Fessenden, R.J dan Fessenden J.S (1995) Kimia Organik, Jilid 2, edisi 3. Erlangga. Jakarta. [15] Bough, W.A., Salter, W.L., Wu, A.C.M., & Perkins, B.E. (1978). Influence of Manufacturing Variables on the Characteristics and Effectiveness of Chitosan Products. I Chemical Composition, Viscosity and Molecular Weight Distribution of 106 P. M. O. ODOTE ET AL. Chitosan Products. Biotechnology Bioengineering.20: 19311942. [16] Knorr, D. (1984). Use of chitinous polymers in food.Food Technology, 38(1), 85–97. [17] Alimuniar, A. dan R. Zainuddin (1992). An. Economical Technique for Product Chitosan. In : ”Advances in Chitin and Chitosan”, Brine, C.J. P.A. Sanford J.P. Zikakis (Eds). Elsevier Applied Sciences, London, PP. 627-638. [18] Terada K., Matsumoto, K. & Kimura, H. (1983). Sorption of Copper (II) by some complexing agents loaded on various support. Anal. Chim. Acta 153: 273-247. [19] Pearson, R.G.1963. Hard and soft acids and bases. J. Am. Soc. 85:3533-3539. [20] Guibal, Eric (2004). Interactions of metal ions with chitosan-based sorbents: a review. Separation and Purification Technology 38 (2004) 43–74. [21] Suhardi (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Yogyakarta: UGM. [22] Treybal, Robert. E (1980). Mass-transfer operations. Mc Grawhill Inc. New York. [23] Yang, T. C. dan Zall, R. R. (1984). Adsorption of Metals by Natural Polymers Generated from Sea Food Processing Waste, Ind. Eng. Chem. Prod. Res. Dev., 23, pp. 168-172. [24] Widyanti, Adelina Putri (2009). Pemanfaatan kitosan dari cangkang rajungan pada proses adsorpsi logam nikel dari larutan NiSO4. Makalah Pribadi. Skripsi. Program Sarjana Teknik Kimia UI. [25] Hirano, S., Ohe, Y., & Ono, H. (1976). Selective N-acetylation of chitosan. Carbohydrate Research, 47, 315–320. [26] Ming-Tsung Yen, Joan-Hwa Yang, Jeng-Leun Mau (2009) Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells. Carbohydrate Polymers 75 (2009) 15–21
25