PEMBUATAN KITOSAN DARI LIMBAH CANGKANG KEPITING SEBAGAI BAHAN PENGAWET BUAH DUKU DENGAN VARIASI LAMA PENGAWETAN Elin Trisnawati, Dewid Andesti, Abdullah Saleh* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya Jl. Raya Palembang Prabumulih Km. 32 Inderalaya Ogan Ilir (OI) 30662 Email:
[email protected]
Abstrak Kitosan adalah salah satu bahan yang bisa digunakan untuk coating buah Lansium Domestic Corr (duku). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh laju pengeringan terhadap kadar air duku, pengaruh suhu penyimpanan terhadap penyusutan massa duku, jumlah total plate count (TPC). Cara percobaan yaitu duku dicelupkan dalam larutan kitosan (1% ,1,5%, 2%, 2,5%), kemudian dikeringkan pada suhu 25oC. Kadar air duku diamati sampai dengan 7 hari dengan suhu penyimpanan 10oC, 25oC dan 45oC. Derajat deasetilasi kitosan yang digunakan untuk coating buah duku pada percobaan ini sebesar 77,84%, kadar air 2,35%, kadar abu 1.56 %, kadar nitrogen 7,01%, berwarna kuning pucat, ukuran partikel 5 mesh, dan kadar protein 3.10%. Hasil yang diperoleh Laju pengeringan berkisar antara 0,00468 sampai dengan 0,0375gr air yang teruapkan /menit. Perlakuan coating menggunakan kitosan dapat memperkecil penyusutan massa duku selama penyimpanan, hal ini disebabkan karena adanya coating pada permukaan duku dapat menahan laju transmisi air agar dapat tertahan sementara untuk tidak keluar dari duku. Penyusutan massa paling besar terjadi pada suhu 45oC dan terendah pada suhu 10oC. Nilai TPC dari perlakuan memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan mikroba. Pada perlakuan duku tanpa coating, coating kitosan 1%, 1,5% dan 2% jumlah mikroba sampai dengan hari ke tujuh tidak dapat dihitung karena jumlah terlalu banyak. Penambahan coating kitosan 2,5% menunjukkan adanya peningkatan kemampuan penghambatan terhadap pertumbuhan mikroba. Mikroba antara 4.940 sampai dengan 9.887 log CFU/gr. Kata Kunci : Kitosan, buah duku, pelapisan, laju pengeringan.
Abstract Chitosan was substance which would have used as a coating on duku. The aim of this study was to examin the influence of drying rate on water content of duku, the influence of storage temperature, and the total plate count (TPC). Concentration of chitosan used in this research was varied from 1%, 1.5%, 2%, 2.5% w/v, storage duration was 7 days, and the storage temperature ranging from 10, 25, and 45oC. Characteristics of chitosan used on coating duku in this research had followed: deacetilation degree of 77.84 %, 2.35 % of water content, 1.56 % of ash, 7.01 % of nitrogen, particle size of 5 mesh, 3.10 % of protein, and yellow-pale in appearance. The results of this study are the drying rate was range from 0.00468 to 0.0375 g water/minute. Coating duku with chitosan decreasedthe mass lost of those during storage. This was probably due to the effect of coating on duku surface which would have restrained the migration rate of water temporarily within the fruit. The highest mass losses were obtained on 45oC temperature; while the lowest was obtained on 10oC. Duku without coating, coating chitosan 1%, 1,5% and 2% until seven days did not unpredictable microbe but with coating chitosan 2,5% ranging microbe from 4.940 to 9.887 log CFU/gr. Keywords: Chitosan, Lansium Domestic Corr (Duku), coating, drying rate.
Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
Page 17
1.
PENDAHULUAN
Buah duku (Lansium Domesticum Corr) sejenis buah – buahan anggota sukuMeliaceae. Tanaman ini dikenal pula dengan nama – nama yang lain seperti langsat, kokosan, pisitan, celoring dan lain – lain dengan berbagai variasinya. nama - namayang beraneka ragam ini sekaligus menunjukkan adanya aneka kultivar yang tercermin dari bentuk buah dan pohon yang berbeda – beda.Di Indonesia, sentra buah duku tersebar luas di wilayah Sumatra dan Jawa. Duku adalah tumbuhan identitas untuk Provinsi Sumatera Selatan (Erwin 2011). Buah duku dapat tumbuh subur di daerah beriklim basah dengan curah hujan tinggi.Tanaman ini termasuk jenis pohon buah musiman yang hanya berbuah setahun sekali.Disaat musimbuah duku akan melimpah sehingga harga duku pun akan menurun. Selain itu buah duku ini merupakan buah yang cepet busuk . Pada saat pemanenan duku harus benar – benar dijaga dari kontak fisik, karena apabila duku rusak maka akan terjadi reaksi browning yang disebabkan oleh enzim polifenol oksidase(Harianingsih 2010). Buah duku tergolong ke dalam buah yang memiliki masa simpan yang singkat. Buah duku akan berwarna coklat setelah 4 hari dalam penyimpanan konvensional pada suhu ruang (widodo dkk, 200; Widodo, 2004, 2005 a dan b). Buah duku yang disimpan tanpa kemasan apapun dirunag ber-AC, dengan suhu berkisar 20oC dan tanpa pelembab ruangan, kulit buahnya akan berubah coklat dalam semalam (Asni 2004). Tingkat kerusakan buah yang lain dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan luar buah yang terjadi melalui inti sel yang tersebar di permukaan, dan secara alami dihambat oleh lapisan lilin yang terdapat di permukaan buah. Salah satu metode yang digunakan untuk menghambat proses metabolisme pada buah adalah dengan cara penyimpanan atmosfer terkendali. Metode ini memerlukan biaya yang tinggi. Metode lain yang lebih praktis adalah dengan meniru mekanisme atmosfer termodifikasi, yaitu dengan penggunaan bahan pelapis (coating) (Krochta, 1992). Edible coating adalah suatu metode pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama buah.Kitosan adalah salah satu bahan yang bisa digunakan untuk coating buah, yang merupakan polisakarida berasal dari limbah kulit udang – Page 18
udangan (Crustaceae, kepiting dan Kepiting / Crab).Kitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis buah-buahan, misalnya pada tomat dan leci. Sifat lain kitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman. Enzim ini dapat mendegradasi kitin, yang menjadi penyusun utama dinding sel fungi, sehingga dapat digunakan sebagai fungisida (Wikipedia 2012). Beberapa penelitian lain sehubungan dengan pelapisan buah (coating) menggunakan kitosan, mengamati bahwa dengan penambahan 200 ppm- 1000 ppm kerusakan buah dapat dihambat. Kelemahan penelitian ini tidak ada penjelasan mengapa dosis kitosan optimum yang bisa digunakan pada buah. Ghaouth (1992) mengamati mikroba yang terdapat pada coating buah dengan kitosan dengan penambahan karboksimetil kitosan, kelemahan penelitian ini karena penambahan karboksimetil kitosan yang semakin lama semakin mengering akan mempercepat kematangan buah bagian dalam, produksi jadi lebih mahal dan tidak aman dikonsumsi tubuh (Harianingsih 2010). Limbah Cangkang Kepiting Setiap tahun, menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2000, Cold Storage (perusahaan pengolahan ikan) tanah air menghasilkan limbah kulit / kepala udang,cangkang kepiting dan hewan laut lainnya tidak kurang dari 56.200 metrik ton. Limbahtersebut terbukti kaya akan kitin, yang melalui proses tertentu akan dapat dihasilkan kitosan. Sebagai salah satu negara pengekspor kepiting, Indonesia tentu saja berpeluang memproduksi kitin atau kitosan.Dengan ekspor kepiting (umumnya kaleng) sekitar 4000 ton per tahun juga berpotensi menghasilkan kulit sebagai limbah sebanyak 1000 ton per tahun.Limbah tersebut berpotensi diolah menjadi kitin, dengan produksi sekitar 1700 ton per tahun. Sebaran ketersediaan kulit kepiting, mencakup Sumatera Utara, Pantai Timur Sumatera, Pantura Jawa, Kalimantan dan Sulawesi Selatan (Agus 2011). Dengan demikian jumlah hasil samping produksi yang berupa kepala, kulit, ekor maupun kaki kepiting yang umumnya 25-50 % dari berat, sangat berlimpah. Hasil samping ini, di Indonesia belum banyak digunakan sehingga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air (kandungan BOD 5 , COD dan TSS perairan disekitar pabrik chitin cukup tinggi) (Agus 2011). Kepiting mengandung persentase kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea, insekta, cacing maupun fungi Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
(Shahhidi, dkk. 1999).Kitin yang y terkanduung inilahh yang nanttinya dideasetilasi sehinngga menjaadi kitosan (A Agus 2011). Kitossan Pengeertian Kitosaan K Kitosan addalah suatu u polisakarrida berbenntuk linier yaang terdiri daari monomer Nasetilgglukosamin dan d D-glukossamin. Bentuukan derivaatif deasetilasii dari polimerr ini adalah kiitin. Kitin adalah jenis polisakarida p terbanyak t ke dua di buumi setelah seelulosa, kitin dapat diperooleh dari crustacean atau a berbagaii fungi. Ornnum (19922) menjelaskaan bahwa kitin k merupaakan polim mer linier yangg tersusun olleh 2000 – 30000 monoomer n-asetil D-glukosamiin dalam ikaatan ß(1-4)) atau 2-asetam mida-2-deokssi-D-glukopiraanol dengaan rumus molekul m (C8H13NO5)n. K Kitin mudahh mengalami degradasi secara bioloogis, tidak beracun, tiddak larut daalam air, assam anorgganik lemah, dan d asam-asam m organik, alkkali pekat,, alkohol dann aseton, tettapi larut dallam larutaan dimetil asettamida dan littium klorida aatau asam lemah sepertti asetat dan formiat (Kurrita, 1998)). Asam organnik seperti assam hidroklorride dan aasam netral dapat melarutk kan kitosan ppada pH tertentu dallam keadaan n hangat dan pengaadukan lama, tetapi den ngan temperaatur terbattas (Wikipediaa 2012). P Proses produuksi kitosan (dari sebellum terbenntuknya kitinn) meliputi demineralissasi, deprooteinasi, dan deasetilasi. Demineralissasi dilakuukan dengan menggunakaan larutan assam lemahh (HCl) yang berrtujuan unntuk menghhilangkan miineral yang teerkandung dallam bahann baku. Depproteinasi dillakukan denngan menggunakan laruttan basa lemaah (NaOH) unntuk menghhilangkan sisa-sisa proteein yang maasih terdappat dalam bahan b baku. Kitosan daapat ditem mukan secara alami a pada diinding – dindding sel ffilamen dann yeast karrena deasetiilasi enzym matis. Strukturr kimia kitosaan dapat kita liihat pada G Gambar 1.
Karena ko ondisi ekstrim m yang digu unakan pad da saat proses deasetilasi kkitosan memp punyai ran ntai yang lebih h pendek diban andingkan kitin n.Oleh karrena itu, jika kitosan dilar arutkan dalam m asam enccer, viskositaasnya bervariiasi menurut berat mo olekul dan derrajat deasetilassinya. Kitosan n dapat meengalami depo olimerisasi seelama penyim mpanan yan ng lama deng gan suhu tingggi. Depolim merisasi theermal kitosan maksimal terrjadi pada suh hu 280 o C. Degradasi enzimatis e terhhadap kitosan n dapat dilakukan untu uk enzim kkitonase (Bam mbang 200 03). Siffat Fisik dan Kimia Kitosaan Sifat dan penampilann produk kitosan k dip pengaruhi oleh h perbedaan kkondisi, sepertti jenis pellarut, konsen ntrasi, waktu,, dan suhu proses eksstraksi. Kitossan berwarnaa putih kecok klatan. Kittosan dapat diiperoleh denggan berbagai macam m ben ntuk morfolog gi diantaranyaa struktur yang g tidak teratur, bentukn nya kristalin atau semikristalin. Sellain itu dapatt juga berbenntuk padatan amorf berrwarna putih dengan strukttur kristal tetaap dari ben ntuk awal chiitin murni. Ch Chitin memilik ki sifat bio ologi dan meekanik yang tinggi diantaranya adaalah bioren newable, biiodegradable, dan bio ofungsional. Kitosan K mem mpunyai rantaii yang leb bih pendek daripada d ranta tai kitin. Kellarutan kitosan dalam larutan asam m serta visccositas larutannya tergaantung dari deerajat deasetilaasi dan derrajat degradassi polimer. Teerdapat dua metode m unttuk memperoleh kitin , kitosan dan oligomernya den ngan berbagaii derajad deasetilasi, pollimerisasi, daan berat moleekulnya (BM)) yaitu den ngan kimia daan enzimatis (W Wikipedia 2012). Suatu molekul dikaatakan kitin bila meempunyai deraajat deasetilassi (DD) sampaai 10% dan n kandungan nirogennya ku kurang dari 7% %. Dan dik katakan chitossan bila nitroggen yang terkaandung pad da molekulny ya lebih besarr dari 7% berrat dan derrajad deasettilasi (DD) lebih dari 70% (M Muzzarelli,1985). Tablle 1. Standard Kitosan Deasetilasi Kadar abu Kadar air Kelarutan Kadar nitrogen Warna Ukuran partikel Viscositas E.Coli Salmonella
≥ 70 % jeniss teknis dan > 95 % jenis pharmasikal Umuumnya < 1 % 2 – 10 % Hanyaa pada pH ≤ 6 7 - 8,4 % Putih sam mpai kuning pucatt 5 AS ASTM Mesh 3309 cps N Negatif N Negatif
Sum mber : Muzzarelli (1985) da dan Austin (19 988) Gambarr 1. Struktur Kitosan K
Jurnall Teknik Kimiia No. 2, Vol. 19, April 20113
Page 19
Dua faktor utama yang menjadi ciri dari kitosan adalah viskositas atau berat molekul dan derajat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengendalian kedua parameter tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan kitosan yang bervariasi dalam penerapannya di berbagai bidang. Derajat deasetilasi dan berat molekul berperan penting dalam kelarutan kitosan, sedangkan derajat deasetilasi sendiri berkaitan dengan kemampuan kitosan untuk membentuk interaksi isoelektrik dengan molekul lain. Kitosan dapat berinteraksi dengan bahan-bahan yang bermuatan, seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam empedu dan fosfolipid. Kitosan larut pada asam dan air mempunyai keunikan membentuk gel yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH. Menurut Wibowo, kelarutan kitosan dipengaruhi oleh tingkat ionisasinya, dan dalam bentuk terionisasi penuh, kelarutannya dalam air meningkat karena adanya jumlah gugus yang bermuatan(Wibowo, 2006). Pada pH asam, kitosan memiliki gugus amin bebas (-NH2) menjadi bermuatan positif untuk membentuk gugus amin kationik (NH3). Sehingga, dapat diketahui bahwa sifat larutan kitosan akan sangat tergantung pada dua kondisi di atas. Kitosan yang dilarutkan dalam asam maka secara proporsional atom hidrogen dari radikal amina primernya akan lepas sebagai proton, sehingga larutan akan bermuatan positif, dan bila ditambahkan molekul lain sebagai pembawa muatan negatif, maka akan terbentuklah polikationat, dan kitosan akan menggumpal. Sebagai contoh, natrium alginat (molekul pembawa bermuatan negatif) dan larutan-larutan bervalensi dua (sulfat, fosfat atau polianion) dari ion mineral atau protein dapat membentuk senyawa kompleks dengan kitosan(Wibowo, 2006). Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan, dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner, kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin, sehingga meningkatkan permeabilitas inner membran (IM). Naiknya permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel. Pada E. coli misalnya, setelah 60 menit, komponen enzim ß galaktosidase akan terlepas. Hal ini menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya, atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambat pembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan
Page 20
menyebabkan kematian sel (Hargono dan M. Djaeni 2010). Manfaat Kitosan Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber, karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer.Kitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di industri makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya (Suhardi 1992)
Kerusakan pada Buah Duku Kerusakan buah dapat terjadi sejak buah dipanen hingga proses penyimpanan. Beberapa proses kerusakan yang terjadi pada buah antara lain : a. Browning (Pencoklatan) Proses pencoklatan atau browning sering terjadi pada buah – buahan, seperti pisang, pir, salak, pala, stroberi dan apel begitu juga duku. Buah duku yang memar juga akan mengalami proses pencoklatan. Pada umumnya, proses pencoklatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu proses pencoklatan enzimatik dan non enzimatik. Perubahan warna yang utama pada duku disebabkan oleh reaksi browning (pencoklatan). Pencoklatan enzimatis disebabkan oleh aktivitas enzim phenolase dan oliphenolase. Pada buah duku utuh, sel-selnya masih utuh, dimana substrat yang terdiri atas senyawa - senyawa fenol terpisah dari enzim phenolase sehingga tidak terjadi reaksi browning. Apabila sel pecah akibat terjatuh / memar atau terkupas substrat dan enzim akan bertemu pada keadaan aerob (terdapat oksigen) sehingga terjadi reaksi browning enzimatis (Asni N 2004). Pembentukan warna coklat dikarenakan terjadinya oksidasi senyawa – senyawa fenol dan polifenol oleh enzim fenolase dan polifenolase membentuk quinon, yang selanjutnya berpolimerisasi membentuk melanin (pigmen berwarna coklat). Untuk terjadinya reaksi browning enzimatis diperlukan adanya 4 komponen fenolase dan polifenolase (enzim), senyawa-senyawa fenol dan polifenol (substrat), oksigen dan ion tembaga yang merupakan sisi aktif enzim. Untuk menghindari terjadinya reaksi browning enzimatis dapat dilakukan dengan mengeliminasi (menghilangkan) salah satu atau beberapa komponen tersebut (Asni N 2004).
Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
Browning non enzimatik terutama disebabkan reaksi Maillard, yaitu reaksi yang terjadi antara gula pereduksi (melalui sisi keton dan aldehid yang reaktif) dengan asam-amino (melalui gugus amina). Reaksi ini banyak terjadi selama penyimpanan bahan pangan. Reaksi non enzimatik yang lain adalah karamelisasi dan oksidasi asam askorbat (Harianingsih 2010). Reaksi browning dapat dicegah dengan menambahkan senyawa-senyawa anti pencoklatan, antara lain senyawa-senyawa sulfit, asam-asam organik dan dengan blanching / blansir. b. Loss Mass (Penyusutan Massa) Susut (losses) kualitas dan kuantitas dapat terjadi sejak pemanenan hingga saat dikonsumsi. Besarnya susut sangat tergantung pada jenis komoditi dan cara penanganannya selepas panen. Untuk mengurangi susut ini, petani / pedagang harus : (1) mengetahui faktor biologis dan lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan, (2) menguasai teknik penanganan pasca panen yang dapat menunda kelayuan atau kebusukan dan menjaga kualitas pada tingkatan tertentu yang mungkin dicapai. Pada prinsipnya, untuk mengurangi susut yang terjadi setelah pemanenan dapat dilakukan dengan cara memanipulasi faktor biologis atau lingkungan dimana produk pertanian tersebut disimpan (Asni N 2004). c. Laju Respirasi dan Produksi Etilen yang Tinggi Respirasi adalah proses pemecahan komponen organik (zat hidrat arang, lemak dan protein) menjadi produk yang lebih sederhana dan energi. Aktivitas ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi sel agar tetap hidup. Berdasarkan polanya, proses respirasi dan produksi etilen selama pendewasaan dan pematangan produk nabati dapat dibedakan menjadi dua, yaitu klimakterik dan nonklimakterik (Siti N 2012) d. Laju Transpirasi yang Tinggi Transpirasi adalah pengeluaran air dari dalam jaringan produk nabati. Laju transpirasi dipengaruhi oleh faktor internal (morfologis / anatomis, rasio permukaan terhadap volume, kerusakan fisik, umur panen) dan faktor eksternal (suhu, RH, pergerakan udara dan tekanan atmosfir). Transpirasi yang berlebihan akan menyebabkan produk mengalami pengurangan berat, penurunan daya tarik (karena layu), nilai tekstur dan nilai gizi. Pengendalian laju transpirasi dilakukan dengan pelapisan, penyimpanan dingin, atau memodifikasi atmosfir (Siti N 2012).
Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
e.
Sensitivitas Terhadap Suhu Pemaparan komoditi pada suhu yang tidak sesuai akan menyebabkan kerusakan fisiologis pada stroberi yang bisa berupa : (1) freezing injuries, karena produk disimpan di bawah suhu bekunya; (2) chilling injuries, umum pada produk tropis yang disimpan di atas suhu beku dan diantara 5 – 15oC, tergantung sensitivitas komoditi; (3) heat injuries, terjadi karena paparan sinar matahari atau panas yang berlebihan. Berdasarkan sensitivitasnya terhadap suhu, dikenal dua golongan produk, yaitu yang bersifat sensitif dan tidak sensitif terhadap pendinginan. Suhu kritis stroberi berkisar antara 36 – 38 oC jika disimpan melebihi suhu tersebut kerusakan yang dapat terjadi berupa pencoklatan di bagian dalam, bagian tengah coklat, lembek dan lepuh (Siti N 2012). Pelapis Buah (Coater) Coater merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang bisa dimakan. Bahan ini digunakan di atas atau di antara produk dengan cara membungkus, merendam, menyikat atau menyemprot, untuk memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air, serta memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Harianingsih 2010). Teknik Pelapisan Buah (Coating) Menurut Krochta (1992), teknik aplikasi pelapisan pada buah ( coating ), yaitu: 1) Pencelupan (dipping) Teknik ini biasanya digunakan pada produk yang memiliki permukaan yang kurang nyata. Setelah pencelupan, kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin sampai edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran. 2) Penyemprotan (spraying) Teknik ini dapat menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis dan lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan karena lebih efisien. 3) Pembungkusan (casting) Teknik ini digunakan untuk membuat lapisan film yang berdiri sendiri, terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non-coater. 4) Pengolesan (brushing) Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk.
Page 21
Perbandingan proses coating buah impor dengan coating yang kami lakukan. Coating buah impor lebih banyak menggunakan proses penyemprotan (spraying). Teknik yang lain juga di pakai tetapi untuk skla besar seperti pabrik itu lebih banyak menggunakan proses penyemprotan (spraying) karena teknik ini lebih efisien, dimana buah – buah yang telah siap di coating itu di jalankan di atas belt conveyer dan larutan coating nya disemprot dari atas. (Zola, 2012) Untuk penelitian kami menggunakan teknik pencelupan (dipping), proses coating ini kami pilih karena lebih mudah dilakukan untuk skala kecil (riset). Untuk membuat bahan coating itu tersendiri hanya melarutkan serbuk kitosan dengan larutan asam asetat dengan begitu buah yang ingin diawetkan dapat langsung dicelupkan ke dalam larutan tersebut. Kemampuan coater dalam mengurangi hilangnya air, oksigen, aroma, dan bahan terlarut pada beberapa produk telah banyak diteliti. Sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu metode paling efektif untuk menjaga kualitas makanan. Kemampuan ini dapat lebih ditingkatkan lagi dengan menambahkan antioksidan, antimikroba, pewarna, flavor, fortified nutrient dll (harianingsih 2010). Coater harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film. Kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah hilangnya kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan bergizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang dapat memperbaiki mutu bahan pangan. Penggunaan coater pada buah segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena metode tersebut dapat digunakan sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas. Keuntungan penggunaan coater untuk pelapis buah adalah dapat memperpanjang umur simpan produk serta tidak mencemari lingkungan, karena coater ini dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya (Krochta 1992).
Beberapa penelitian menyebutkan kemampuan film atau coating kitosan dalam memperpanjang masa simpan dan mengendalikan kerusakan buah dan sayuran dengan lebih baik, yaitu dengan cara menurunkan kecepatan respirasi, menghambat pertumbuhan kapang, dan/atau menghambat pematangan dengan mengurangi produksi etilen dan karbondioksida. Kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk film yang sesuai sebagai pengawet makanan dengan menghambat patogen psikotrofik membuktikan bahwa coating kitosan (2% kitosan dalam 5% asam asetat) mampu menghambat penurunan kandungan antosianin dan peningkatan aktivitas polyphenol oksidase pada penyimpanan leci. Ghaouth dkk juga melaporkan bahwa coating kitosan (1% dan 2 % dalam 0.25 N HCl) mengurangi kecepatan respirasi dan produksi etilen pada tomat. Tomat yang di-coating dengan kitosan akan lebih keras, titrasi keasamannya lebih tinggi, dan lebih sedikit pigmentasi merah jika dibandingkan dengan sampel kontrol, setelah disimpan selama 4 minggu pada suhu 20oC. P enelitian untuk memperbaiki sifat barrier terhadap uap air dan sifat mekanik dari coater kitosan, yaitu dengan menambahkan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat dalam pelarut asam asetat. Selain itu, penambahan zat lain seperti kunyit yang diketahui memiliki sifat antimikroba terbukti mampu meningkatkan daya hambat coater kitosan terhadap pertumbuhan mikroba (Siri N 2012).
2.
METODOLOGI
Alat dan Bahan Baku Penelitian Alat yang digunakan adalah : a. Fluid Mixing Aparatus b. Timbangan Analitik c. Kompor Listrik d. Spatula e. Beker Gelas 2000 ml f. Kain Saring g. Tabung Reaksi h. Gelas Ukur i. Pipet Tetes j. Oven k. Inkubator l. Botol Semprot Bahan yang digunakan adalah Bahan yang digunakan adalah duku, kitosan dari cangkang kepiting, asam asetat 1%, NaOH, HC1, aquades, medium kultur mikroba.
Page 22
Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
Prosedur Penelitian Berikut ini blok diagram pembuatan kitosan dari cangkang kepiting : Cangkang kepiting kering Penggilingan Pengayakan Deproteinasi (Larutan NaOH selama 2 jam pada 65oC) Penyaringan dan pencucian Demineralisasi (larutan HCl selama 30 menit pada temperatur kamar) Penyaringan dan pencucian (pH produk netral) Pengeringan Bubuk kitin Deasetilasi (Larutan NaOH selama ½ jam pada 100oC) Penyaringan dan pencucian (pH produk netral) Pengeringan Kitosan Analisa Derajat Deasetilasi Gambar 2. Blok Diagram Proses Pembuatan Kitosan Dari gambar blok diagram proses pembuatan kitosan tersebut ada tiga tahapan untuk menjadi serbuk kitosan yaitu : Deproteinasi Proses ini dilakukan pada suhu 65°C, dengan menggunakan larutan NaOH 1 M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1 : 10 (gr serbuk/ml NaOH ) sambil diaduk konstan selama 120 menit. Kemudian disaring dan endapan yang diperoleh dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral. Proses ini dilanjutkan dengan proses demineralisasi. Demineralisasi Proses demineralisasi pada suhu 25-30°C dengan menggunakan larutan HCl 2 M dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1 : 10 (gr serbuk/ml HCl ) sambil diaduk konstan selama 30 menit. Kemudian disaring dan endapan yang diperoleh dicuci dengan
Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
menggunakan aquadest sampai pH netral. Hasil dari proses ini disebut chitin. Deasetilasi Chitin kemudian dimasukkan dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 20%W pada suhu 90100°C sambil diaduk konstan selama 30 menit pada proses deasetilasi. Hasil yang berupa slurry disaring, lalu dicuci dengan aquadest sampai pH netral lalu dikeringkan.Hasil yang diperoleh disebut kitosan. Kemudian dilanjutkan dengan tahap aplikasi chitosan sebagai pengawet buah (duku). Kemudian di lanjutkan dengan : a. Persiapan Bahan Tahap persiapan ini merupakan tahap sortasi bahan baku duku. Duku yang telah dibersihkan tersebut kemudian dikeringkan dengan oven sampai massanya konstan.Pada tahap karakterisasi kitosan meliputi penentuan derajat deasetilasi, analisis proximat, Berat Molekul. Sifat proximat yang diuji seperti kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar nitrogen, ukuran partikel dan warna. b. Pembuatan Edible Coating Edible coating dari kitosan 0.5 % w/v dibuat dengan cara melarutkan 1,84 gram kitosan dalam 50 ml asam asetat 1%, diaduk pada suhu 40°C selama 60 menit. Larutan kemudian disaring dengan menggunakan alat vakum untuk memisahkan bagian – bagian yang tidak larut.Larutan yang tersaring diaduk dengan magnetic stirer selama 15 menit.Gelembung yang terbentuk bisa dihilangkan dengan alat vakum.Larutan disimpan pada suhu kamar. Perlakuan ini dilakukan juga pada pembuatan Edible coating dari kitosan 1 % ; 1.5% ; 2 % w/v. c. Proses Coating pada Duku Serbuk kitosan dengan konsentrasi 0.5%, 1%, 1.5%, 2%, w/v ditempatkan dalam beaker glass.dukulangsung dicelupkan kedalam larutan kitosan (0.5%, 1%, 1.5%, 2%) yang telah disediakan selama satu jam, kemudian dikeringkan pada suhu 30°C. Setelah itu disimpan sambil diamati kadar air duku, penyusutan massa duku serta kandungan gula reduksi sampai hari ke tujuh pada suhu kamar. Duku dengan coating kitosan paling baik diamati juga penyusutan massanya pada suhu penyimpanan 10°C, 30°C dan 45°C. d. Analisa Data 1. Pengukuran kadar air, metode oven 2. Penentuan derajat deaselisasi 3. Uji total bakteri [Total Plate count (TPC)]
Page 23
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
0,012
Tabel 2. Analisa Proximat Parameter
Sumber
Analisa
Kadar Abu
1.56 %
Kadar air
Umumnya < 2 % 2-10 %
Kadar Nitrogen
7-8,4%
7.01 %
Warna
Kuning pucat
Ukuran partikel
Putih-kuning pucat 5 ASTM Mesh
Kadar Protein
>3%
3.10 %
N (Laju Pengeringan)=gr/men
Duku tanpa Coating
a. Karakterisasi Kitosan sebagai Coating pada Duku Derajat deasetilasi (DD) adalah salah satu dari karakteristik kimia yang paling penting, dimana berpengaruh terhadap daya guna kitosan di berbagai aplikasinya.Derajat deasetilasi kitosan berkisar antara 56% sampai 99%.Derajat deasetilasi kitosan yang digunakan pada percobaan ini dihitung dengan analisa FTIR. Dari analisa FTIR derajat deasetilasi kitosan yang digunakan untuk coating buah duku pada percobaan ini sebesar 77,84%. Hal ini sesuai dengan standar derajat deasetilasi kitosan yang ada dimana menurut Muzzarelli (1985) bahwa kitin dengan derajat deasetilasi di atas 70% dianggap sebagai kitosan. Sedangkan menurut Kolodziejska (2000), kitin dengan derajat deasetilasi 75% digolongkan sebagai kitosan. Kitosan yang dapat digunakan sebagai coating juga mempunyai spesifikasi tertentu, analisa proximat kitosan dapat dilihat pada Tabel.
Duku + coating 1%
0,01
Duku + Coating 1,5% Duku + Coating 2% Duku + coating 2,5%
0,008 0,006 0,004 0,002 0 10,5
9,9
9,3
8,7
8,1
7,5
6,9
X (Kadar Air)
Gambar 3. Kurva Laju Pengeringan Pada Gambar 1 laju pengeringan lama kelamaan akan menurun. Laju pengeringan yang dihasilkan dari penelitian berkisar antara 0.8 sampai dengan 0.00468 gr air yang teruapkan /m2 jam. Duku yang tidak dicoating mengalami laju pengeringan paling besar. Duku yang dicoating dengan konsentrasi kitosan 1 %, 1,5%, 2 %, tidak memperlihatkan perubahan yang signifikan akan tetapi untuk duku yang dicoating 2,5% laju pengeringannya semakin lama semakin menurun.
2.35 %
5 mesh
Sumber : Muzzarelli (1985) dan austin (1988) Dari analisa proximat, spesifikasi kitosan yang digunakan pada percobaaan sesuai dengan standar spesifikasi kitosan menurut Muzzarelli (1985) dan Austin (1988), sehingga dapat disimpulkan kitosan pada percobaan bisa diaplikasikan sebagai coating buah duku.
c. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Penyusutan Massa Pengaruh suhu penyimpanan diamati dengan menggunakan duku yang telah dicoating kitosan 2,5%, digunakan duku ini karena pada pengamatan sebelumnya diperoleh data bahwa coating kitosan 2,5% paling baik digunakan sebagai coating duku. Hasil pengamatan dapat kita lihat pada Gambar 2 dimana penyusutan massa duku diamati pada suhu penyimpanan 10°C, 25°C dan 45°C selama tujuh hari penyimpanan. 12,55
b. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Laju Pengeringan Pada keadaan awal duku sangat basah, jika duku dikontakkan dengan udara yang relatif kering, maka penguapan akan terjadi pada permukaan. Air yang menguap di permukaan duku selalu tergantikan oleh air yang berada di dalam duku.Jumlah air di dalam duku relatif banyak sehingga permukaan selalu basah oleh air. Duku pada keadaan ini mengalami pengeringan konstan. Pengaruh konsentrasi kitosan terhadap laju pengeringan dapat dilihat pada Gambar.
Page 24
Massa Duku (gr)
12,5 12,45 12,4 12,35
T= 10 C T= 25 C
12,3
T= 45 C 12,25 0
2
4
6
8
Waktu Penyimpanan (hr)
Gambar 4. Kurva Penggaruh Suhu Penyimpanan vs Duku + Coating 2.5 %
Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
Pada kurva dapat diliha bahwa penyusutan massa paling besar terjadi pada suhu 45°C ( hari pertama massa duku 12.5 gr, pada hari ke tujuh massa duku 12.29 gr) dan terendah pada suhu 10°C (hari pertama massa duku 12.5 gr, pada hari ke tujuh massa duku 12.43 gr) Suhukritis penyimpanan duku pada suhu 36 - 38°C.Kerusakan buah duku pada suhu kritis ini berupa pelunakan, benyek dan busuk. Dari pengamatan suhu 10°C dan 25°C masuk ke dalam kategori aman untuk penyimpanan duku sedangkan untuk suhu 45°C sudah melewati suhu kritis duku. d. Kandungan Total Plate Count (TPC) Selama penyimpanan semua sampel diamati ketahanannya terhadap pertumbuhan mikroba.Dalam hal ini dilakukan analisis Total Plate Count (TPC).Hasil analisis TPC dapat dilihat pada table. Tabel 3. Total PlateCount ( TPC) Jumlah mikroba ( log CFU/g) hari kePerlakuan Tanpa coating Coating kitosan 1% Coating kitosan 1,5% Coating kitosan 2% Coating kitosan 2.5%
0
1
2
3
4
5
6
7
4.940
~
~
~
~
~
~
~
4.521
~
~
~
~
~
~
~
~
~
~
~
~
3.947 5.800 8.299 9.371 9.685 ~
~
~
4.094 9.773 ~
2.
3. 4.
Lama waktu pengawetan kitosan yang diaplikasikan pada buah (duku) yang telah kami lakukan bertahan selama tujuh hari atau satu minggu, dibandingkan dengan tanpa pengawetan yang satu hari sudah rusak. Konsentrasi kitosan yang optimal dalam pengawetan buah (duku) yaitu pada konsentrasi 2.5 %. Pengaruh kitosan terhadap pengawetan pada buah (duku) yaitu dengan adanya pengawetan maka buah duku lebih tahan lama dan kitosan merupakan pengawet makanan yang alami.
DAFTAR PUSTAKA Admin 2012.6 Manfaat Dan Khasiat Buah Duku Untuk Kesehatan Kita. http://e.lifestilenews. blogspot.com /2012/09/6- manfaat- dan-khasiat- buahduku- untuk.html, di akses 9 Juni 2012 Agus 2011.Pemanfaatan Limbah Udang dan Kepiting.http://blog.Unpad.ac.id/boanga/2 011/08/22/pemanfaatan-limbah-udangkepiting/, diakses 2 Januari 2012 Anonim. 2011. Klasifikasi Ilmiah Buah Duku. (http://id. Wikipedia.org/Wiki/Kitosan, diakses tanggal 29 Januari 2012. Asni N. 2004. Upaya Memperpanhanjang Masa Simpan Duku. Balai Pengkajian Jambi. Jambi
3.831 5.796 7.993 8.075 8.624 9.174 9.339 9.887
Ket :~ : TakTerhingga Nilai TPC dari perlakuan memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan mikroba. Pada perlakuan coating kitosan 2% dan coating kitosan 2,5% menunjukkanpenghambatan yang lebih lama dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu pada duku tanpa coating, coating kitosan 1% dan coating kitosan 1,5%. Penambahan coating kitosan 2,5% menunjukkan adanya peningkatan kemampuan penghambatan terhadap pertumbuhan mikroba.
Bambang, S., (2003), “Kajian Pengembangan Teknologi Proses Produksi Kitin dan Kitosan secara Kimiawi”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia. Dong, H., Cheng, L., Tan, J., Zheng, K., Jiang, Y. (2003). Effect of chitosan coating on quality and shelf life of peeled litchi fruit. Journal of Food Engineering. 64, 355358.
4.
KESIMPULAN
Erwin,2011.Duku.http://sumsel.litbang.deptan.go .id/index.php/plasma-nutfa/duku, diakses 3 maret 2012
1.
Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah : Kitosan dari cangkang kepiting dengan derajat deasetilasi 77,84% dapat digunakan sebagai coating buah duku.
Hanafi, M., Syahrul A., Efrina D., dan B. Suwandi,, (1999), ”Pemanfaatan Kulit Udang untuk Pembuatan Kitosan dan Glukosamin”, LIPI Kawasan PUSPITEK, Serpong.
Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
Page 25
Hargono dan M. Djaeni (2010), “Pemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang sebagai Pelarut Lemak”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia. H. S. Agnes, dkk 2000. Perbandingan Hasil Analisa Mutu Chito. Oligosakarida (Cos) Dari Limbah Kulit Udang Dan kulit Kepiting Sebagai Sumber Prebiotik Alami.http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurn al/411118_1979-035X.pdf, diakses 9 Desember 2011 Janesh, K.A., Alonso, M.J. (2003). Depolimerized chitosan nanoparticles for protein delivery : Preparation and characterization. Journal of applications of Polimer Science. 88, 2769-2776. Krocha 1992.Teknik Pelapisan Buah.http://krocha.blogspot.com/1992/04/ teknik-pelapisan-buah, diakses 4 Februari 2012 Muzzarelli, R.A.A., (1985), ”Chitin in the Polysaccharides”, vol. 3, pp. 147, Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego
Page 26
Siti N. 2012. Kerusakan dan penanganan pada buah dan sayur.http://sitinasiyah.blogspot.com/201 2/03/kerusakan.-dan-penanganan-padabuah-dan.html, diakses 3 Maret 2012 Suhardi, (1992), “Khitin dan Khitosan”, Pusat Antar Universitas Pangan&Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wibowo, S. (2006).Produksi kitin kitosan secara komersial.Prosiding seminar nasional Kitin-Kitosan. DTHP, Institut Pertanian Bogor. Widyastuti Y.E dan Regina 2000. Jenis Duku Dan Budaya, Penebar Swadaya. Jakarta Winarno,F.G., (1977), ”Kimia Pangan dan Gizi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.84-93, Jakarta. Zola. 2012. Teknik Pelapisan Pada Buah impor Untuk Pengawetan Buah.http://www.sehatnews.com/2012/08 /03/awas-buah-impor-gunakan-lapisansebagai-pengawet/
Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013