OptimalIsasi Prestasi Peserta Didik Melalui Sistem Pendidikan yang Humanis: Suatu Perbandingan Dengan Negara Maju RB Kasihadi Program Studi Teknologi Pendidikan dan PGSD FKIP Univet Bantara Sukoharjo Jl. Letjen S. Humardani No.1 Kampus Jombor Sukoharjo 57521 Telp. (0271) 593 156, Fax. (0271) 591065 Abstrak Artikel ini memberikan gambaran kepada para pemerhati dan pendamba pendidikan yang berkualitas. Tanpa pendidikan yang baik dan bermutu, kehidupan dalam berbangsa dan bernegara akan menemui berbagai permasalahan hidup, karena pendidikan adalah untuk, oleh dan dari manusia itu sendiri. Pendidikan yang humanis, yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang memperlakukan dan menghargai keberadaan manusia sebagaimana adanya. Pendidikan bagaimanapun juga harus dapat membantu seseorang untuk dapat menemukan jatidiri yang sebenarnya(learning to be), dan pendidikan adalah membantu mengembangkan potensi phisik dan psikologis setiap siswa semaksimal mungkin. Negara dalam artikel ini adalah contoh pendidikan yang humanis yang mampu mengantarkan para peserta didiknya mengembangkan potensi semaksimal mungkin dan mampu mengantarkan negaranya menjadi negara yang terbaik pendidikannya didunia. Kata-kata kunci: Pendidikan perbandingan, kualitas, humanis.
Pendahuluan Membaca hasil survey international PISA tahun 2003 yang menempatkan prestasi peserta didik di Finlandia, menarik untuk diterapkan atau dicontoh oleh Indonesia. Negara tersebut menempati urutan pertama dunia dalam bidang pendidikan. Mengapa demikian, ternyata pendidikan di negara tersebut tidak sulit untuk diikuti dalam penyelenggaraan sistem pendidikannya. Apabila dibandingkan dengan Indonesia dalam penyelenggaraan sistem pendidikannya, negara Finlandia menempati urutan teratas dunia, sedangkan Indonesia menempati urutan terbawah dunia. Jangankan dunia, dengan negara anggota ASEAN saja , peringkat Indonesia menempati urutan terbawah juga. Dari dua belas negara ASEAN yang di survey, mutu pendidikannya menempati urutan dua belas juga. Survey PISA tersebut diatas juga menunjukkan bahwa hanya satu diantara tujuh pelajar Indonesia yang mampu menunjukkan kompetensi higher order of thinking seperti problem solving , sementara di Finlandia ada lima yang lolos. Walaupun kadang pemimpin negeri ini mengatakan jangan membandingkan pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di negara yang dari segi ekonomi sudah maju, tetapi apa boleh dikata kalau memang perbedaannya terlalu menyolok. Apakah kita tidak mau berkiblat atau berkaca dengan negara yang memang maju segalanya?. Mengetahui posisi Indonesia dalam Indeks Pembangunan Pendidikan atau EDI (Education Development Index) yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) yang dipublikasikan dalam Global Monitoring Report 2008 oleh UNESCO sebenarnya malah semakin membktikan bahwa peringkat Indonesia memang rendah bahkan bila dibandingkan dengan negara tetangga sekalipun, umpama dengan Malaysia.
145
RB Kasihadi. Optimalisasi Prestasi Peserta Didik Melalui Sistem Pendidikan yang…..
Setiap orang mestinya ingin mengetahui mengapa negara yang begitu longgar dalam penyelenggaraan sistem pendidikannya dan perlakuannya terhadap peserta didik dapat meraih peringkat lebih tinggi dalam PISA dari pada Korea Selatan yang beban belajar bagi masing-masing peserta didiknya adalah 50 jam per minggu. Hal ini sangat padat bila dibandingkan dengan Finlandia yang anya 30 jam per minggu. Indonesia 42 jam per minggu. Terlebih lagi sistem pendidikan di Finlandia tidaklah mengenal sistem Ujian Nasional (Unas) sebagaimana Indonesia yang telah menjadikan Ujian Nasional (UN) sebagai tolok ukur mutu pendidikan secara nasional. Finlandia tidak mengenal juga sistem ranking, sistem tinggal kelas, tidak naik, tidak lulus, pengelompokan peserta didik (anak pandai, kurang pandai, bodoh dll. Indonesia sangat kental dan dikenal sehingga ditakuti oleh peserta didik. Melalui kajian ini akan dikemukakan perbandingan sistem pendidikan kedua negara secara ringkas berdasar literatur dan pustaka yang ditemukan. Terutama yang berkaitan dengan usaha-usaha atau upaya untuk mengoptimalkan prestasi peserta didik Indonesia melalui sistem pendidikan yang humanis, terutama yang menyangkut komponen-komponen pendidikannya. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Prinsip penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia tertuang dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pasal 4 ayat 1 sampai dengan 6. Namun pasal-pasal selanjutnya dalam UU tersebut ternyata memberlakukan peserta didik dengan cara yang sangat diskriminatif, sebagaimana pasal 5 ayat 2 hingga 4, yang menyatakan bahwa hanya warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial atau tinggal didaerah terpencil atau terkebelakang, masyarakat adat yang terpencil, serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus yang mekhanismenya tidak dipaparkan dengan jelas bahkan tanpa PP turunan. Landasan hukum inilah yang kemudian menjadi dasar bagi sekolah-sekolah untuk mengadakan kelas unggulan yang berisi peserta didik yang dianggap memiliki tingkat intelektual lebih baik dibandingkan dengan peswerta didik lainnya. Peserta didik dikelas unggulan biasanya mendapatkan fasilitas lebih, berupa tambahan mata pelajaran intensip dan juga tenaga pendidik dengan kapasitas lebih. Perlakuan khusus yang kemudian diterjemahkan dengan pendidikan khusus ini akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara peserta didik karena persaingan tidak sehat yang diciptakan oleh sekolah. Terlebih lagi dengan kemunculan label sekolah favorit, dan sekoah tidak favorit, label SSN dan SBI, yang telah mengkotak-kotakkan level sekolah sehingga juga memunculkan persaingan yang tidak sehat diantara masingmasing sekolah, yang tentu saja akan berimplikasi negatif pada peserta didik. Dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang demikian jelas kurang menempatkan siswa untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Bukankah sebenarnya hakikat belajar adalah mengembangkan potensi diri semaksimal mungkin, sehingga dapat membantu menemukan jati diri siswa peserta didik masing-masing yang sebenarnya. Sistem pendidikan di Finlandia tidak mengkotak-kotakkan peserta didik seperti di Indonesia. Tidak ada diskriminasi peserta didik yang didasarkan atas tingkat intelelektual mereka. Peserta didik hanya dikategorikan menjadi dua, yaitu peserta didik yang lambat belajar dan peserta didik yang cepat belajar. Indonesia dikenal banyak membedabedakan peserta didik. Inilah yang sebenarnya tidak manusiawi. Bukankah Emannuel
WIDYATAMA
146
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
Kant mengatakan bahwa pendidikan adalah pemanusiaan manusia atau memanusiakan manusia muda. Nampaknya hal demikian kurang dipahami oleh penyelenggara pendidikan di Indonesia. Peserta didik yang lambat belajar tentu mendapat bimbingan yang intensif. Namun bagi peserta didik lain juga disediakan kelas tambahan bila mereka ingin mengikuti kelas tambahan secara suka rela. Bahkan deskriminasi juga tidak terjadi pada peserta didik yang memiliki kasus psikologis khusus ataupun lemah mental. Memang tersedia kelas khusus bagi mereka, tetapi kelas tersebut tidak dihuni selamanya oleh peserta didik yang bermasalah tersebut, sebab mereka akan dikembalikan pada teman-teman sekelasnya apabila dirasa mereka sudah cukup siap. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar tidak timbul stigma negatif yang dapat mengganggu rasa percaya diri peserta didik sehingga mereka terhambat untuk berprestasi. Hal demikian mengantarkan Finlandia menjadi negara yang maju dan berpredikat terbaik dunia. Termasuk keberhasilannya mendidik peserta didik yang lemah mental ataupun dengan khasus psikologis khusus, prestasi mereka ternyata tidak jauh berbeda dengan peserta didik yang normal. Di Indonesia ya memang diselenggarakan pendidikan khusus dengan berbagai kelemahan, dari kelemahan fisik sampai lemah mental. Tuna fisik umpama tuna rungu, tuna netra, tuna laras, tuna daksa bahkan ada tuna susila. Ada SLB A, SLB B, SLB C, SLB D, SLB E dan lain-lain. Inilah sistem pengkotak-kotakan pendidikan di Indonesia. Sebagaimana tergambar dalam prinsip-prinsip penyelenggaraan sistem pendidikan Finlandia, negara ini menganut prinsip pendidikan humanis. Humanis berasal dari kata humanus yang merupakan kata sipat dari homo yang berarti manusia. Pendidikan humanis tersebut didefinisikan sebagai keseluruhan unsur dalam pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi dengan tiga prinsip sebagai berikut: (1) dalamm proses pendidikan, pengembangan hati dan pikiran harus berjalan secara bersama-sama; (2) peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang abadi dan universal; (3) dalam pendidikan harus ada kerja sama yang erat antara peserta didik dan pendidik, juga antara teori dan praktek pendidikan”. (Lichona T,1992) Sebenarnya konsep ‘humanizing human through education’ tersebut telah lama dikemukakan oleh banyak pakar pendidikan humanis beberapa abad yang lalu. Berbeda dengan konsep tabularasanya John Locke yang bertentangan dengan Schopenhauer, melainkan lebih mengarah pada aliran konvergensinya William Sterm dan Al-Ghazali. Pandangan konvergensi tersebut mengemukakan bahwa manusia memang sejak lahir sudah mempunyai bakat atau potensi. Namun potensi dan bakat tersebut tidak dapat berkembang dengan sendirinya secara maksimal tanpa mendapatkan bantuan dari proses pendidikan. Intinya pendidikan yang humanis dapat dipahami sebagai model pendidikan yang memuliakan manusia atas potensi-potensi kemanusiaan yang sudah ada dalam dirinya. Pada model pendidikan ini manusia dipandang sebagai subyek yang otonom, sehingga pendidikan harus berpusat pada peserta didik bukan pendidik. Selama tujuan pendidikan untuk mengenalkan peserta didik terhadap realitas yang ada disekitarnya dan menyadarkan mereka akan proses dihumanisasi yang terjadi atasnya, maka peserta didik tidak lagi dijejali dengan apalan teori melainkan dengan membawa mereka pada realitas itu sendiri, melainkan integrasi antara teori dan praktek. Para pendidik di Finlandia memahami betul kharakter, sifat para peserta didiknya, dan akhirnya mengerti anak harus dididik dengan cara seperti apa. Kami berharap para pendidik di Indonesia juga benarbenar dapat memahami dan mengerti karakter, sifat, potensi peserta didiknya agar dapat 147
WIDYATAMA
RB Kasihadi. Optimalisasi Prestasi Peserta Didik Melalui Sistem Pendidikan yang…..
membelajarkan secara optimal dan prestasi belajar diperoleh dengan cara yang benar pula. Finlandia menterjemahkan prinsip humanis dengan memberikan kesempatan yang sama pada seluruh anak yang telah berusia 7 tahun untuk mulai mengenyam bangku pendidikan dasar. Anak laki-laki maupun perempuan , dari keluarga dengan latar belakang ekonomi rendah hingga tinggi, anak imigran maupun penduduk asli, semuanya berkesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah dasar Finlandia tanpa dipungut beaya sepeserpun. Bahkan anak-anak lemah ingatan/mental maupun dengan kasus psikologis khusus juga memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya. Kurikulum Pendidikan Dasar Mata pelajaran inti dan distribusi mata pelajaran dalam silabus pendidikan dasar Finlandia ditetapkan melalui regulasi. Mata pelajaran inti yang ditetapkan di sekolahsekolah dasar adalah bahasa ibu dan sastra; bahasa resmi lainnya satu bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jerman, dan Italia; pendidikan lingkungan; pendidikan kesehatan; pendidikan agama atau etika; ilmu sejarah; ilmu sosial; matematika; fisika; kimia, biologi, geografi, psikologi, musik, seni dan kerajinan, serta ilmu ekonomi rumah tangga. Sementara di Indonesia kurikulum pendidikan dasar secara umum juga memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan atau kejuruan, dan muatan lokal. Perbedaan yang sangat terlihat dari kedua kurikulum tersebut adalah bahwa Finlandia lebih banyak menekankan penguasaan bahasa dan sastra termasuk bahasa asing pada peserta didiknya. Selain fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, tentu saja penguasaan bahasa dan sastra menjadi sangat penting kedudukannya sebagaimana keberadaan bahasa dalam struktur ilmu sebagai basis yang harus dikuasai peserta didik selain matematika tentunya. (Evelyn J. Sowel. 2000). The National Board of Education adalah dewan yang menerbitkan kurikulum inti secara nasional. Mereka menyusun kurikulum dengan tujuan dan materi utama kurikulum pendidikan dasar yang berfungsi sebagai guideline bagi sekolah. Namun pemerintah lokal dan sekolah dapat melakukan penyesuaian terhadap mata pelajaran yang akan diajarkan, berbasis pada kebutuhan peserta didik. Bahkan orang tua peserta didik juga diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menyusun kurikulum sekolah dan tujuan pendidikannya. Indonesia selintas memang menerapkan sistem yang hampir serupa. Acuan kurikulum pendidikan nasional dibuat oleh Depdiknas dan pengembanganya diserahkan pada masing-masing sekolah sebagaimana KTSP di implementasikan. Namun pada prakteknya, tidak semua pendidik memiliki kompetensi untuk mengembangkan KTSP sebab sudah terbiasa dengan pola kurikulum yang sentralistis. Dalam proses pembelajaran, peserta didik Finlandia tidak dipaksa oleh pendidik untuk mencapai target tertentu. Pendidik hanya memberi tahu mereka tentang nilai-nilai yang dapat dicapai oleh peserta didik bila mereka memenuhi taraf tertentu. Target pembelajaran dibuat sendiri oleh peserta didik dengan bantuan orang tua peserta didik. Sistem pendidikan Finlandia memahami belajar sebagai proses bertahap yang tidak bisa dipaksakan apalagi diberi target waktu pencapaiannya. Sehingga Finlandia yang tidak mengenal adanya sistem tinggal kelas ini memberikan kesempatan pada peserta didik usia sekolah dasar (kelas 1-9) untuk berada di sekolah hingga 10 tahun lamanya dan bagi peserta didik usia sekolah menengah (kelas 10-12) hingga 4 tahun.
WIDYATAMA
148
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
Sementara yang terjadi di Indonesia sangat jauh bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Finlandia. Sistem pendidikan di Indoesia mengenal adanya sistem tinggal kelas bagi peserta didik yang nilainya kurang sehingga dianggap tidak patut untuk melanjutkan ke kelas yang berikutnya. Finlandia memandang sistem yang seperti ini akan mengganggu rasa percaya diri peserta didik sehingga menghambat mereka untuk berprestasi. Namun yang terutama, sistem tinggal kelas ini sangat dehumanis, sebab tidak menghargai keunikan peserta didik sebagai individu yang memiliki kecepatan belajar berbeda satu sama lainnya. Bahkan tidak sedikit jumlah peserta didik asal Indonesia yang mengakhiri hidupnya hanya karena mereka tinggal kelas. Finlandia juga tidak mempunyai ranking sebagaimana Indonesia yang selalu meranking peserta didiknya dalam rapor penilaian akhir semester atau akhir tahun. Sebab peringkat atau nilai dianggap tidak penting oleh pendidik, yang penting adalah bagaimana peserta didik dapat menguasai materi pelajaran. Beban belajar peserta didik di Finlandia hanya 190 hari belajar per tahun sementara di Indonesia mencapi hampir 230 hari per tahun. Tiap minggunya peserta didik belajar hampir 40 jam. Namun beban belajar yang tinggi tersebut tidak hanya dialami oleh peserta didik asal Indonesia, namun juga peserta didik yang negaranya sangat ingin mengejar kemajuan secara kompetitif. Akibatnya peserta didik menjadi stress dan bahkan banyak yang mengalami school phobia. Sebagai prinsip pendidikan humanis, kurikulum Finlandia mengedepankan integrasi antara teori dan praktik pendidikan, terutama dalam pelajaran sains sehingga peserta didik dapat belajar banyak mengenai problem solving. Tidak seperti peserta didik di Indonesia yang rata-rata lebih banyakdijejali dengan hapalan teori yang sangat minim dengan praktek. Pendidik di Finlandia tidak menyampaikan materi dengan menggunakan metode ceramah sebagaimana halnya yang masih terjadi di Indonesia. Peserta didik mencari informasi sendiri yang mereka butuhkan. Pendidik menjadi fasilitator, tempat mereka bertanya bila mereka menemui kesulitan. Di Indonesia, dialog interaktif antara pendidik dan peserta didik rata-rata hanya terjadi bila pendidik memberikan kesempatan pada peserta didik, itupun di akhir ceramahnya saat jam pelajaran sudah nyaris berakhir. Di Finlandia peserta didik tidak hanya belajar dengan bimbingan pendidik di kelas namun bebas belajar dimana saja sehingga suasana kegiatan belajar mengajar menjadi sangat fleksibel dan lebih nyaman. Bahkan penjaga sekolah hingga kepala sekolah pun juga ikut andil dalam kegiatan belajar mengajar. Peserta didik bahkan juga dilibatkan untuk membantu menyiapkan makanan di dapur sekolah sebagai sarana interaksi mereka dengan orang-orang yang lebih dewasa. Hampir serupa dengan Indonesia , pendidik yang mengajar kelas 1-6 adalah guru kelas, sementara pendidik untuk kelas 7-9 adalah guru mata pelajaran. Bedanya sistem unifikasi menyebabkan pendidikan dasar Finlandia tidak terpisah-pisah antara sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Sarana Pendidikan Kualitas pendidikan tidak dapat direfleksikan dalam kualitas fisik bangunan sekolah. Hal ini dibuktikan oleh Fillandia. Salah satu sekolah berkualitas tinggi, bangunan sekolahnya bahkan mirip dengan gedung olah raga bulu tangkis atau mirip dengan gudang. Peserta didik tidak belajar dikelas-kelas, melainkan mereka diperbolehkan belajar disudut-sudut ruangan manapun dengan mempelajari materi pelajaran apapun. Peserta didik dengan kelas berapapun bahkan belajar diruangan yang 149
WIDYATAMA
RB Kasihadi. Optimalisasi Prestasi Peserta Didik Melalui Sistem Pendidikan yang…..
sama dengan mata pelajaran yang berbeda-beda. Bahkan bila mereka merasa penat maka pendidikpun memperkenankan mereka untuk bermain. Sementara itu proses belajar mengajar di Indonesia hampir seluruhnya diadakan didalam kelas, peserta didik duduk manis dibangkunya dan pendidik berceramah didepan kelas. Pemerintah Finlandia mewajibkan setiap sekolah untuk menjediakan fasilitas bimbingan konseling bagi peserta didiknya. Mereka memperhatian yang luar biasa besarnya pada peserta didik yang memiliki gangguan psikologis dan lemah mental dengan cara memberi mereka bantuan dengan segera. Di Indonesia pada umumnya sekolah umum tidak mau direpotkan dengan keberadaan peserta didik yang berkebutuhan khusus sehingga keberadaan mereka di isolasi dalam sekolah luar biasa. Sementara fasilitas bimbingan konseling yang ada di sekolah-sekolah Indonesia pun jumlah konselornya tidak sebanding dengan jumlah peserta didik di masing-masing sekolah, sehingga efektifitasnya belum terjamin. Pemerintah Finlandia juga percaya bahwa asupan gizi yang baik akan mempengaruhi kecerdasan peserta didik. Sehingga setiap peserta didik mendapatkan makan siang gratis dari sekolah setiap harinya. Makanan yang disediakan adalah makanan dengan menu bergizi tinggi, berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah di Indonesia yang mayoritas tidak menyediakan fasilitas tersebut secara cuma-cuma. Setiap peserta didik bahkan mendapat kan fasilitas bus sekolah antar jemput gratis. Bahkan peserta didik yang jarak rumahnya dengan sekolah lebih dari 5 km diberikan uang pengganti transfortasi. Masalah buku teks pelajaran tidak perlu dikecewakan oleh pesertra didik, sebab mereka juga tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk membeli buku teks pelajaran, sebab semuanya telah disediakan oleh sekolah. Terlebih lagi jaringan perpustakaan umum di Finlandia sangatlah lengkap sehingga menunjang warga Finlandia menjadi warga negara yang memiliki budaya membaca sangat tinggi. Di Indonesia pengadaan buku selalu menjadi proyek yang sering disalah gunakan oleh oknum birokrasi pendidikan bahkan dana BOS buku saja di korupsi. Harga buku menjadi tidak terjangkau oleh sebagaian besar kalangan, belum lagi berbagai paksaan dan pungutan liar dari pihak sekolah dan penerbit dalam bisnis perbukuan. Budaya membaca warga negara Indonesia tergolong rendah, penyebabnya bukan karena mereka tidak suka membaca, namun karena harga buku tidak terjangkau oleh mereka. Perhatian pemerintah Finlandia sangat besar dalam pendidikan generasi penerus bangsa tersebut, sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Sebab hanya peserta didik yang memiliki orang tua dengan penghasilan tinggi saja yang dapat menikmati sekolah-sekolah seperti di Finlandia. Di Indonesia sekolah-sekolah berkualitas tinggi identik dengan sekolah ber SPP mahal yang bangunnannya super mewah dan fasilitasnya super canggih sehingga tidak semua kalangan dapat mengaksesnya. Bahkan untuk sekolah-sekolah dengan kualitas yang biasa-biasa saja , orang tua siswa masih harus dibebani beaya SPP, uang gedung, maupun pungutanpungutan liar lainnya yang dilakukan oleh pihak sekolah. Finlandia telah berhasil membuat minimal tingkat pengangguran di negeri mereka, berbanding terbalik dengan Indonesia yang memiliki tingkat pengangguran yang selalu meningkat setiap tahunnya. Kreativitas para lulusan sekolah-sekolah di Finlandia juga sudah terbukti secara internasional dengan keberhasilan Nokia yang selalu menginovasi produknya dalam hitungan waktu yang sangat singkat. Sistem pendidikan yang diaplikasikan oleh negara maju dengan pendapatan perkapita penduduknya yang
WIDYATAMA
150
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
sangat tinggi ini sudah terbukti berhasil mengoptimalkan prestasi belajar peserta didik mereka hingga meraih predikat terbaik dunia. Perbedaan yang sangat prinsip antara sistem pendidikan di Finlandia dengan di Indonesia amatlah mencolok. Bila Finlandia menganut prinsip pendidikan humanis, maka Indonesia nampak sekali menganut prinsip behevioristik yang sangat dehumanis dalam sistem pendidikannya. Apabila penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia mau lebih banyak belajar dari sistem pendidikan di Finlandia , bukannya tidak mungkin bila lambat laun Indonesia yang kaya dengan potensi SDM dan SDA ini dapat segera bangkit dari krisis yang sedang dialami negeri ini. Penutup Pendidikan adalah investasi kemanusiaan yang paling menguntungkan. Kalau mau jaya dibidang pendidikannya, Indonesia harus mau berkaca dinegara yang maju dibidang pendidikannya, seperti halnya Finlandia. Harus tetap diposisikan bahwa pendidikan adalah lembaga sosial dan kemanusiaan, bukan lembaga politik dan bisnis. Kita dapat mengingat dan berani untuk sedikit memutar roda kebelakang pada waktu Indonesia jaya dibidang pendidikannya, yang ditandai dengan didapatkannya Avicena Medali (Medali penghargaan) dari UNESCO yang akhirnya banyak negara ASEAN pada berkiblat ke Indonesia dan meminjam guru-guru Indonesia untuk mengajar di negaranya. . Daftar Rujukan Evelyn J. Sowel. 2000. Curriculum, An Integrative Introduction; Prentice Hall, New Jersey. Thomas Lichona. 1992. Educating For Character: How Our School Can Teach Respect Responsibility. New York: Bantam Books.
151
WIDYATAMA