Opini H ukum : Gugatan Ganti Kerugian dalam mekanisme Pengadilan Tipikor Disiapkan oleh: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
1. Apa itu Gugatan Ganti Kerugian? Tuntutan ganti kerugian sebagaimana diatur di dalam Bab XIII KUHAP adalah tuntutan ganti
kerugian, yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. Mekanisme ini berlaku untuk tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Dalam mekanisme pengadilan khusus, kita bisa temukan pada kasus pelanggaran HAM berat. Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyebutkan:
“ setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”. Namun dalam kasus pidana tipikor, mekanisme ini tidak disebut di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor maupun UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Pertanyaannya: apakah Pengadilan Tipikor berwenang menangani tuntutan ganti rugi akibat tindak pidana korupsi, seperti yang diatur di dalam bab XIII KUHAP? Untuk itu, mari kita lihat kewenangan Pengadilan Tipikor dan Hukum Acara di Pengadilan Tipikor. Pasal 6 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, intinya menyatakan bahwa ada tiga perkara pidana yang menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor, yaitu 1) tindak pidana korupsi; 2) tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tipikor dan 3) tindak pidana yang dalam UU lain disebut sebagi tindak pidana korupsi. Sedangkan pasal 25 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor menyebutkan: “Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Jika merujukan pada tafsir gramatikal pasal 25 ini, maka Pengadilan Tipikor berwenang mengadili tuntutan ganti rugi masyarakat korban tipikor.
1
2. Siapa yang dituntut membayar ganti kerugian? Tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana, ditujukan kepada Terdakwa (si pelaku tindak pidana).
Menurut M . Yahya Harahap (2003, hal 81), tuntutan ganti rugi yang dibebankan kepada Terdakwa, berpotensi menimbulkan kekecewaan dalam pelaksanaan ganti rugi tersebut. Hal ini karena belum tentu Terdakwa mampu membayar kerugian secara cepat. Untuk memberikan jaminan bahwa korban segera mendapatkan penggantian atas kerugiannya, Yahya Harahap menyarankan agar negara membayar terlebih dahulu, kemudian Terdakwa menggantinya dengan system reimburse. Kelemahan tersebut, pada PP Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi dan
Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, diatasi dengan membedakan antara kompensasi dan restitusi. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu (Vide pasal 1 angka 4 dan 5, PP Nomor 3 Tahun 2002).
3. Prinsip hukum yang melandasi Hak gugat ini didasarkan pada prinsip “keseimbangan” yang diatur dalam KUHAP, yang intinya bahwa hukum pidana bukan hanya mementingkan perlindungan hak dan martabat Terdakwa tetapi juga memberi perlindungan kepada kepentingan orang lain, dalam hal ini kepentingan orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
4. Tujuan Penggabungan tuntutan pidana dan perdata
2
a. Untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam asas peradilan yangs ederhana, cepat dan biaya ringan. b. Agar korban bisa segera mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugat perdata biasa. Serta tidak diharuskan terlebih dahulu menunggu putusan inkraht.
5. Bagaimana tata caranya? Tuntutan ganti rugi diajukan kepada Terdakwa digabung dan diperiksa serta diputus sekaligus bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada Terdakwa. Pasal 98 ayat (2) KUHAP menyebutkan: permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat -lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat -lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Penjelasannya: dalam hal jaksa penuntut umum hadir dalam persidangan, gugatan ganti kerugian hanya bisa diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Namun dalam hal JPU tidak hadir dalam persidangan, misalnya dalam kasus tindak pidana ringan (seperti perkara lalu lintas) tuntutan ganti kerugian dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Dalam memeriksa gugatan perdata ini, hakim melakukan pemeriksaan berdasarkan hokum acara perdata. Pertama, hakim memeriksa kompetensi absolut dan relatif. Kompetensi relative dalam hokum acara perdata ditentukan oleh tempat kediaman Tergugat. Dengan kata lain, pengadilan yang berwenang memeriksa gugatan ganti kerugian ini adalah Pengadilan yang sesuai dengan tempat tinggal Tergugat. Selanjutnya hakim memeriksa kebenaran gugatan ganti kerugian, apakah benar kerugian tersebut merupakan akibat langsung yang timbul dari tindak pidana yang dilakukan Terdakwa. Dalam menguji ini, hakim mempertanyakan kausalitas antara tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa dengan kerugian yang diderita, sebagaimana diatur di dalam pasal 1365 KUH Perdata.
3
Selanjutnya hakim memeriksa besarnya jumlah penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan (kerugian material). Putusan atas tuntutan ganti rugi ini melekat pada putusan perkara pidananya.
Pasal 99 ayat
(3) KUHAP menyebutkan: “Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap”. Sifat putusan yang assessor (melekat dan mengikuti putusan perkara pidana) ini mengandung dua implikasi. Pertama, selama putusan pidananya belum memperoleh kekuatan hukum tetap, selama itu pula putusan ganti kerugian belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua, jika ada upaya hokum (banding atau kasasi) terhadap perkara pidananya dan tidak terhadap perkara perdatanya, maka secara otomatis dianggap mencakup perkara perdata. Pasal 100 ayat (1) KUHAP menyatakan: “Apabila teriadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding”. Artinya hakim di tingkat banding maupun kasasi harus memeriksa perkara perdatanya.
Sebaliknya,
pengajuan
banding
hanya
untuk
perkata
perdata,
tidak
diperbolehkan. Pasal 100 ayat (2) KUHAP menyatakan: “Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan
ganti rugi tidak diperkenankan”.
6. Kerugian seperti apa yang bisa digugat menurut mekanisme ini? Kerugian yang bisa digugat hanya sebatas kerugiaan materiil, sedangkan kerugian imateriil harus digugat tersendiri melalui mekanisme gugatan perdata biasa. Pasal 99 ayat (2) KUHAP menyatakan : Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Pembatasan ini didasarkan pada pertimbangan praktis yaitu karena kerugian material lebih mudah dibuktikan dan tidak menghambat proses pembuktian perkara pidananya. Pembatasan ini berimplikasi pada putusan pengadilan jika ada tuntutan ganti kerugian immaterial. Terhadap tuntutan kerugian immaterial maka putusannya adalah “tidak bisa diterima”. Namun demikian, putusan “tidak bisa diterima” tersebut tidak berdampak pada “nebis in 4
idem”, artinya korban bisa mengajukan lagi gugatan ke pengadilan perdata untuk kerugian immaterial tersebut.
7.
Siapa yang memiliki legal standing? Pasal 98 ayat (1) K UHAP berbunyi : Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Selanjutnya
penjelasan pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan: Maksud Penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "kerugian bagi orang lain" termasuk kerugian pihak korban. Pertanyaannya siapakah korban dalam kasus korupsi? Pertanyaan ini membutuhkan jalan berputar untuk mendapatkan jawaban. Jika kita merujuk pada pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, maka yang disebut korban tindak pidana korupsi adalah negara. Pasal 2 intinya menyebutkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Sedangkan pasal 3 intinya bahwa korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Apakah dengan demikian, tidak ada kerugian bagi masyarakat atas tindak pidana korupsi? Dalam salah satu diskusi, wakil ketua KPK (Bambang W idjojanto) menyampaikan potret pelayanan publik di Indonesia, pada tahun 2011, yaitu : a. LISTRIK : 35 % (sekitar 84 juta) penduduk Indonesia setiap malam masih dirundung kegelapan - tanpa listrik (sumber : listrikindonesia.com)
5
b. ENERGI: 35,6% konsumsi energi di negeri ini sangat tergantung pada BBM ? subsidi untuk
BBM pada tahun 2011 menghabiskan hampir 14% APBN. (sumber :
bicaraenergi.com & jpnn.com)
c. KESEHATAN : 2/3 penduduk Indonesia masih mengkonsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori per hari ? sebagaian besar masyarakat k ita hidup di bawah standar garis kemiskinan. d. AIR : 85 juta penduduk miskin di perkotaan tidak memiliki akses terhadap air bersih. Penyediaan air bersih saat ini baru menjangkau 9% dari total penduduk Indonesia. (sumber : Kementerian PU)
e. KERUSAK AN ALAM : 3,8 juta hektar hutan di Indonesia dibabat setiap tahunnya, belum lagi yang disebabkan oleh kebakaran. Akibatnya, 39% habitat alami turut musnah. (sumber : isai.or.id) Selain itu, wakil ketua KPK juga menyampaikan potret kemiskinan di Indonesia, yang bisa dilihat dari angka-angka statistik berikut ini:
a. Angka malnutrisi Indonesia adalah 5 kali lebih buruk dibandingkan Brazil, 3 kali lebih buruk dari China. b. Lebih dari 80% anak dari keluarga miskin putus sekolah sebelum kelas 10.
c. Angka kematian ibu di Indonesia hamper 10 kali lebih tinggi dari Malaysia. d. Ada sekitar 4 juta anak terlantar di Indonesia.
e. Kebanyakan pekerja tidak memiliki pension. f. 92% pekerja bekerja di sector informal atau tanpa kontrak. g. Angka pengangguran pemuda jauh lebih tinggi dibandingkan angka pengangguran pekerja dewasa. Bambang W idjajanto menilai potret pelayanan public dan potret kemiskinan tersebut, ada hubungannya dengan pola korupsi yang sedikit terjadi pada enam bidang, yaitu :
a. Penerimaan non pajak, yang meliputi: Penyalahgunaan perizinan, tidak ada single data base, Penyelewenangan penyetoran b. Belanja barang dan jasa, yang meliputi: penyimpangan prosedur pengadaan 6
c. Bantuan Sosial, yang meliputi: Penyimpangan peruntukan, Penggelapan dan Fiktif d. Pungutan daerah, yang meliputi : PERDA tak mengacu pada perUU dan Penghasilan
aparat. e. DAU/ DAK/ Dekonsentrasi Masuk pada APBD, yang meliputi: Penyalahgunaan wewenang, penggelapan, Pelaporan tidak standar, Alokasi penggunaan tidak transparan f. Penerimaan pajak, yang meliputi : Penyelewengan dari target, Pemerasan kepada wajib pajak, Manipulasi data, Terjadi COI. Jika hubungan antara tingkat korupsi dengan tingkat kemiskinan dan kualitas pelayanan publik sudah nyata, sementara UU Tipikor baru mengadopsi hubungan korupsi dan kerugian negara, yang itu berimplikasi pada bagaimana lembaga Negara menegakkan hukum Tipikor, maka
gagasan tentang Popular legal Action, melalui gugatan perbarengan ini menjadi
menemukan urgensinya.
Bahan Bacaan : 1. Bambang W idjojanto, Road Map KPK: Pemberantasan Korupsi 2011 – 2023 serta Program KPK 2012 2. KUHAP Bab XIII, pasal 98-101. 3. M. Yahya Harahap, SH, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP , edisi kedua, Sinar Grafika, 2003. 4. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 5. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. 6. UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. 7. PP Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi Korban Pelanggaran HAM berat.
7