Wawancara: Hellen Kurniati Herpetofauna di Jalur Pendakian Leuser Tidakkah ada Kehidupan Amfibi di pulau Ndana? KSH Rhacophorus Si Newborn Kedatangan Herpetologer Mania
One Night with Ichthyophis Amplexus Jauh dari Air, Kenapa Bisa?
Edisi 6 | Nop 2014
SALAM REDAKSI Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarukatuh.
Pembimbing Ketua Departemen Biologi FMIPA USU Konsultan Kontribusi Mistar Kamsi, Giyanto, Munawar Kholis, Joko Guntoro Penanggung Jawab Herclus Tampubolon Pemimpin Redaksi Akhmad Junaedi Siregar Editor Chairunas Adha Putra Administrasi Desy Hikmatullah, Siska Handayani Kontributor Khairul Umri, Tengku Gilang Pradana, Herclus Tampubolon, Trisi Sanjaya Disainer Herpetologer Mania Diterbitkan oleh Herpetologer Mania Didukung oleh Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) Departemen Biologi FMIPA USU
2
Redaksi menerima tulisan & foto dengan mengirimkannya ke e-mail
[email protected].
DAFTAR ISI Hal. 6. Hadiah-hadiah Pengganti dari “One Night with Ichthyophis” 10. Herping di Pulau Ndana, Rote Ndao – NTT: Tidakkah ada Kehidupan Amfibi di Sini? 13. Mengenal Anakan Lindi-lindi (Ichthyophis sp) 14. Hellen Kurniati dan Koleksi Suara Kataknya, Inspirasi bagi Peneliti 18. Penurunan Populasi Kura-kura dan Labi-labi di Taman Nasional Berbak 24. Kodok Kolong Amplexus Jauh dari Air, Kenapa? 26. KSH Rhacophorus Si Newborn Kedatangan Herpetologer Mania 28. Sekilas Amfibi dan Reptil di Jalur Pendakian Puncak Leuser
Edisi kali ini redaksi mendapat sumbangan artikel dari dua pulau yang berbeda di Nusantara, yakni Sumatera dan pulau Ndana, NTT. Kedua pulau memiliki ciri khas yang berbeda baik luas dan keanekaraman hayatinya khususnya herpetofauna. Sumatera, selain luas juga sangat kaya amfibi dan reptil sedangkan pulau Ndana sebagai salah satu pulau terluar Indonesia bagian selatan, amfibi tidak ditemukan sama sekali. Walaupun demikian, artikel di sini cukup kaya. Aneka rubrik seperti riset, ekspedisi, image dan profil kami sajikan dari dapur redaksi untuk pembaca. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada M. Irfansyah Lubis, Andi Arya Fajar, Yassir Dzulfiqor, Farits Alhadi dan Zulfan Aris. Edisi keenam memiliki perubahan perwajahan yang kami anggap sebagai penyempurnaan dari edisi-edisi yang lalu. Herpetologer Mania akan sampai ke tangan Anda dalam program pdf dalam spread (halaman berhadapan) dengan masing-masing halaman ukuran A5. Dengan demikian, untuk membacanya
per halaman tidak mesti melakukan zoom karena huruf yang terlalu kecil. Ukuran ini menyesuaikan terhadap layar komputer atau laptop normal. Pembaca. Kami ingin mengajak Anda untuk menulis. Dalam hal ini relevansinya adalah melaporkan segala hal tentang seluk beluk herpetofauna. Menulis adalah salah satu kegiatan untuk mengabadikan momen sekaligus mempunyai dampak terhadap diri penulis sendiri. Christopher Columbus dicatat sebagai penemu benua Amerika. Sir Stamford Raffless dan Arnoldi diakui sebagai penemu bunga bangkai rafflesia. Betulkah mereka yang menemukan? Sebenarnya tidak. Suku Indian Amerika sudah beranak cucu di benua Amerika, dan nenek moyang merekalah semestinya yang tercatat sebagai penemunya. Begitu juga dengan penduduk Bengkulu, mereka sudah berinteraksi langsung dengan bunga bangkai, bahkan sebelum Sir Stamford Raffless lahir ke dunia.
dikatakan tulisan tersebut akan abadi. Tulisan bisa merambat lintas gene-rasi, dengan kata lain semua generasi berkesempatan membaca tulisan tangan itu. Tapi kenapa banyak orang menganggap menulis itu sulit? Belajar menulis hampir sama dengan belajar sepeda atau belajar membaca. Jika sudah terbiasa, maka akan biasa. Pakar penulis bahkan mengatakan bahwa siapa yang bisa membaca juga akan menulis. Dengan dasar inilah kami mengajak Sahabat Herpetologer agar lebih menggiatkan diri untuk menulis. Selamat mencoba.
Akhir kata, segenap redaksi Herpetologer Mania menyambut baik atas terbentuknya komunitas Tapi kenapa nama-nama baru di Universitas Prof. penemu itu yang justru Dr. Hamka, yakni KSH kemudian dikenal. Itulah Rhacophorus. Semoga salah satu keuntungan menulis. Menulis sifatnya tidak organisasi tersebut memberi warna sendiri bagi kelestarian sekali pakai. Sekali tulisan amfibi dan reptil. ditayangkan maka boleh Herpetologer Mania
3
S A L A M K O N S E R VA S I
Belakangan ada yang perlu kita sadari bahwa penelitian lingkungan tidak hanya identik lagi dengan universitas. Dengan kemajuan teknologi informasi saat ini, semua orang bisa dekat dengan sumber-sumber ilmu. Beberapa tahun sebelumnya, ilmu pengetahuan hanya terdistribusi di perpustakaan-perpustakaan dan area terbatas seperti universitas dan lembaga penelitian. Akses informasi yang sulit waktu itu membuat ilmu pengetahuan menjadi eksklusif. Nursahara Pasaribu Ketua Departemen Biologi FMIPA USU
Kini jaman sudah berubah. Mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah menjadi milik semua kalangan. Perpustakaan pun telah didominasi dunia digital. Dalam ponsel genggam, orang bisa melihat dunia yang luas dan satu sama lain terhubung seolaholah tak terbatas. Oleh karena itu, kalayak umum dengan mahasiswa hampir tidak jauh berbeda untuk mendapatkan pengetahuan alam. Saya telah melihatnya di komunitas Herpetologer Mania. Mereka tidak murni sebagai akademisi meski sebagiannya juga demikian. Komunitas ini bahkan memiliki data herpetofauna yang sudah mulai lengkap khususnya di Sumatera Utara. Dalam hal dokumentasi foto amfibi dan reptil, mereka tidak lagi saya ragukan. Akses informasi ke ilmu herpetofauna sudah cukup mudah. Banyak website lokal dan international yang bisa menuntun orang yang ingin belajar. Jika menemukan satu jenis herpetofauna yang belum diketahui, hanya dengan bermodalkan foto, orang tersebut dapat mengetahui jenisnya dalam beberapa menit setelah diunggah di grup terkait. Kalau masih ragu, dengan nama jenis yang diberi reviewer, kita masih bisa mengecek silang lagi ke situs pencari di internet untuk menguatkan keyakinan informasi yang kita dapatkan. Kemudahan-kemudahan itu juga sedang ada di depan Anda. Majalah digital ini adalah produk perkembangan jaman yang semakin serba mudah. Herpetologer Mania sudah mudah berbagi informasi tanpa mesti memakan biaya untuk cetak. Semua gratis dan boleh dibaca siapa saja. Oleh karena itu, saya menyambut baik dengan kehadiran majalah digital Herpetologer Mania edisi keenam ini. Selamat menikmati.
4
S A H A B AT H E R P E T O L O G E R
M Irfansyah Lubis
Andi Arya Fajar
Bagi Muhammad Irfansyah Lubis, herping adalah sebuah hobi. Kegiatan ini sekaligus sangat menantang dan menguji adrenalinnya. Betapa tidak, kegiatan ini mengharuskannya untuk keluar di malam hari untuk mencari satwa yang kebanyakan orang tidak suka melihatnya ataupun menyentuhnya. Justru di situlah beliau merasa daya tarik herping semakin tinggi.
Meskipun Andi Arya Fajar sewajarnya adalah mahasiswa jurusan Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam– Institut Pertanian Bogor, beliau tidak terlalu jauh dari herpetofauna. Semenjak tahun 2009 hingga sekarang, mahasiswa yang lahir pada 20 Maret 1990 lalu di Kendari ini adalah Anggota UKM Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB. Bahkan tahun 2010-2011, beliau sempat menjadi Ketua PSDM UKM Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB.
Irfansyah Lubis mulai akrab dengan herping sejak tahun 2004 saat bergabung dengan Kelompok Pemerhati Herpetofauna, Jurusan Konservasi SDH, Fahutan IPB. Di samping itu, beliau terlibat dalam kegiatankegiatan Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil Indonesia (K3AR) binaannya Mirza D. Kusrini. Meskipun begitu, usai lulus S1 IPB, Irfansyah tidak bekerja di bidang herpetofauna, tetapi hobi untuk herping ini selalu dilakukan pada saatsaat tertentu. Hingga setelah lulus S2 dari Australia, selama masih diberi kesempatan, beliau ingin terus terlibat dalam penelitianpenelitian tentang herpetofauna untuk memuaskan rasa keingintahuan yang besar tentang dunia reptil-amfibi khususnya di Indonesia. Saat ini Irfansyah Lubis bekerja di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB sebagai peneliti di divisi penelitian dan pengembangan. Harapannya adalah supaya bisa lebih dekat dan lebih bermanfaat untuk memajukan penelitian khususnya di bidang konservasi biodiversiti terutama di dunia reptil-amfibi.
Pada kesempatan yang baik ini, Andi Arya membagikan sebuah cerita ketika mengunjungi sebuah pulau terluar di Indonesia. Pulau Ndana yang mereka datangi tidaklah ramah bagi kehidupan amfibi. Tidak satupun jenis amfibi yang hidup di sana. Ada 11 jenis herpetofauna yang ditemukannya bersama tim namun itu semuanya diwakili jenis-jenis dari reptil saja. Kenapa itu bisa terjadi? Nah, kini saatnya Anda membuka halaman berikutnya.
Muhammad Zulfan Aris Zulfan Aris menuangkan tulisan yang Anda baca ini ketika dia mestinya merayakan ulang tahunnya. Beliau lahir di Meranti, 20 Oktober 1991 yang lalu. Zulfan adalah satu dari puluhan anggota komunitas Herpetologer Mania yang bermarkas di Kota Medan sekaligus masih menjadi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara, jurusan Biologi. Dept. Biologi FMIPA. Jurusan yang dipilihnya dan komunitas yang dimasuki memberinya sebuah sudut berpikir yang berbeda dari teman-temannya yang lain. Oleh karena itu obyek yang diperhatikannya juga sedikit berbeda. Bagaimana Zulfan bisa memahami perilaku amfleksus kodok kolong tanpa adanya ketersediaan air di sekitarnya adalah contohnya. Di edisi ini, amfleksus kodok kolong menjadi cerita perdananya untuk Herpetologer Mania. Mari kita nikmati sajiannya dan tentunya ceritanya yang lain pada edisi-edisi berikutnya.
Herpetologer Mania
5
EKSPEDISI
Hadiah-hadiah Pengganti dari “One Night with Ichthyophis”
Herpetologer Mania sedang mendokumentasikan Leptobrachium hendricksoni.
Nama kegiatan Herpetologer Mania, “One Night with Ichthyophis” tidak berbuah manis semanis judul yang telah dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya. Amfibi yang mirip cacing itu tak dijumpai meski pencarian sudah harus berhenti jam empat pagi. Sebagai jenis yang masih menjadi misteri dalam herpetologi, spesies lindi-lindi (Ichthyopis spp) dianggap seksi untuk diteliti. Lindi-lindi menjadi tema utama komunitas Herpetologer Mania untuk menyajikan kemping satu malam. Harapannya semua peserta yang bergabung pada malam itu dapat menyaksikan secara langsung salah satu jenis dari bangsa Gymnophiona ini.
S
(Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar)
abtu, 24 Agustus 2014 yang lalu, puluhan anggota Herpetologer Mania meninggalkan Kota Medan dan bertolak ke lereng Bukit
6
Barisan. Tak lebih dari satu jam perjalanan, rombongan menyinggahi salah satu desa di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara.
Di sini, mereka menjumpai pemilik sebidang ladang untuk izin pendirian tenda. Dua puluh meter di sampingnya ada sungai mengalir yang mirip dengan kondisi sungai Sembahe yang sudah menjadi destinasi wisata, tapi sungai yang ini lebih kecil dan hanya digunakan oleh penduduk untuk keperluan sehari-hari. Di ladang milik petani tempat berdiri tenda inilah pernah didapatkan enam ekor lindi-lindi saat Siska Handayani, salah satu anggota Herpetologer Mania
menemani peneliti dari luar negeri. Program ekspedisi ini juga berawal dari kemungkinan besar kembali untuk menemukan jenis yang sama. Cara kerja pencarian obyek juga disesuaikan dengan pengalaman Siska. Salah satu yang kami siapkan adalah tongkat besi bengkok yang cocok dipakai membalik kayu lapuk dan mencegah kontak langsung dengan satwa berbahaya di bawahnya. Masih sore sekitar jam empat, kami sudah memulai memutar-mutar di ladang karet berkemiringan 45 derajat itu. Semua kayu lapuk dan tumpukan serasah dibongkar. Hingga maghrib menyapa, satu-satunya temuan adalah ular kecil yang kemudian diidentifikasi sebagai ular pelangi. Usai sholat dan menyantap hidangan yang tergolong mewah untuk ukuran di lapangan, pencarian kembali berlanjut. Kali ini ketika siang sudah dibalut gelapnya malam, kami menjumpai jenis amfibi nocturnal dari jenis-jenisnya bangsa Anura. Jenis yang pertama menyapa kami adalah Leptobrachium hendricksoni. Golongan katak serasah ini ditemukan dalam jumlah besar. Mereka mengelilingi
Anakan Leptobrachium hendricksoni yang baru saja keluar dari air dalam tahap metamorfosis.
Herpetologer Mania
7
EKSPEDISI satu kolam dangkal dan melakukan ritual bunyi sahut-sahutan. Sebenarnya katak bermata merah ini sangat jarang ditemukan anggota Herpetologer Mania. Khususnya bagi saya, inilah pengalaman pertamaku. Postur tubuhnya mirip dengan Leptophryne borbonica, tapi Leptobrachium lebih kekar dan penghuni lantai hutan. Spesies ini dikelompokkan ke dalam marga Megophryidae yakni katak serasah. Kami dapat menyimpulkan bahwa katak bermata merah ini cukup menyukai habitat di sini. Di samping menemukannya dalam jumlah besar, kami juga banyak menemukan
Usai merasa cukup berkenalan dengan Leptobrachium hendricksoni, kami melanjutkan kegiatan survei. Hingga keringat kami yang kering dan basah bergantian, belum juga ada tanda kehadiran lindi-lindi. Kami memang menemukan ragam amfibi yang sudah langganan kami temukan seperti Rana erithraea, Rana chalconota, Rana hosii, Bufo melanostictus dan Polypedates lucomystax. Di luar itu temuan yang cukup menyenangkan hati di antaranya Rhacophorus achantharrhena,
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
8
berudunya di dalam air dan anaknya yang masih berekor, bertengger di ranting sedang menyesuaikan dirinya yang baru saja meninggalkan dunia air.
k
a). Rana erithraea, b) Rana debussyii, c) Rana hosii, d). Rana nicobariensis, e). Polypedates leucomystax, f). Microhyla berdmorei, g). M. berdmorei, h). Fejervarya sp, i). Leptobrachium hendricksoni, j). Bufo divergens, k). Bufo asper.
Nictyxalus pictus dan Gonocephalus grandis dewasa. Hingga jam empat pagi, lindi-lindi tak nampak juga. Hawa sudah menusuk tulang. Inilah mungkin yang menegur bahwa kegiatan ini sudahlah berakhir. Cukuplah sampai di situ. Kami kembali ke tenda untuk istirahat dan mencoba untuk memejamkan mata. Tapi kami tahu semuanya tidak bisa tidur pulas. Syukurlah meskipun judulnya “One Night with Ichthyophis”, paling tidak kami menemukan jenis lain yang bisa kami ceritakan kepada teman-teman kami yang tidak punya kesempatan pada malam ini.
Rhacophorus achantharrhena.
Herpetologer Mania
9
RISET
Herping di Pulau Ndana, Rote Ndao – NTT
Tidakkah ada Kehidupan Amfibi di Sini? Pulau Ndana, sebuah pulau terluar yang secara geografis terletak di wilayah Indonesia bagian Selatan dan berbatasan dengan negara Australia. Perhatian pemerintah pada pulau yang terbentuk beberapa juta tahun lalu ini dimulai pada tahun 1993. Ketika itu, pulau batu itu ditetapkan sebagai Taman Buru Pulau Ndana melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 38/Kpts-II/93. menggelar kegiatan bernama “Ekspedisi Batas Negeri” untuk menggali potensi keanekaragaman hayati, sosial dan budaya dari pulaupulau terluar.
B
erbekal rasa peduli pada wilayah perbatasan yang jarang terjangkau seperti halnya Pulau Ndana yang berstruktur coralite lime stone (karang), Uni Konservasi Fauna–IPB
10
itu. Kami melakukan kegiatan pengamatan pada pagi dan malam. Saat pengamatan, tim mengambil sampel herpetofauna untuk diawetkan jika satwa tersebut benar-benar tidak diketahui jenisnya.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada 11 jenis herpetofauna di pulau Ndana. Empat jenis berstatus dilindungi Tim kami terdiri atas berdasarkan PP No. 07 14 orang. Beberapa Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan orang ditugaskan dan Satwa, yaitu mengamati fauna Chelonia mydas (penyu yang salah satu cabangnya tentunya hijau), Eretmochelys imbricata (penyu sisik), herpetofauna. Herpetofauna adalah Liasis mackloti (sanca makloti), dan Varanus kelompok fauna yang terdiri atas reptil timorensis (biawak timor). Berdasarkan status dan amfibi. Menurut menurut red list IUCN, BBKSDA NTT, pulau terdapat 3 jenis yang Ndana cukup kaya akan jumlah flora dan faunanya membutuhkan perhatian termasuk herpetofauna lebih dari pemerintah agar karena menurut mereka spesies tersebut tetap kondisi pulau Ndana lestari. Spesies tersebut cukup mendukung adalah Varanus timoriensis kehidupan makhluk melata yang tergolong dalam
Herpetofauna pulau Ndana.
VU (Vulnerable / rentan punah), Chelonia mydas masuk ED (endangered/ genting) dan Eretmochelys imbricate masuk CR (Critically Endangered/ kritis), sedangkan 8 jenis lainnya termasuk kategori LC (Least Concern/kurang diperhatikan). Berdasarkan aturan konvensi internasional atau CITES (2014),
terdapat dua jenis yang tergolong dalam Apendiks I, yaitu flora dan fauna terancam punah, tidak boleh diperdagangkan secara internasional. Satwa yang tergolong dalam apendiks I adalah Chelonia mydas dan Eretmochelys imbricate. Dua jenis lainnya tergolong dalam Apendiks II yaitu flora dan fauna pada saat ini tidak termasuk
ke dalam kategori terancam punah namun memiliki kemungkinan untuk terancam punah jika perdagangannya tidak diatur. Satwa yang tergolong apendiks II adalah Varanus timoriensis dan Liasis mackloti. Herpetofauna yang ditemukan di pulau Ndana keseluruhannya merupakan satwa reptil.
Herpetologer Mania
11
RISET
IMAGE
Tim tidak menemukan satu pun amfibi di pulau ini. Hal ini diduga bahwa pulau ini tidak mendukung kehidupan amfibi. Dugaan ini diperkuat dengan tidak ditemukannya sumber air tawar yang menjadi habitat amfibi. Satu-satunya sumber air di pulau ini adalah dua buah sumur yang terdapat di tengah pulau
dan di bagian tepi pulau. Kedua sumur ini rasanya tidak tawar, melainkan payau sampai asin sehingga mustahil bagi amfibi untuk hidup. Selain sumber air, suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah menjadi faktor penyebab tidak adanya amfibi di pulau Ndana. Begitulah akhirnya kami menyimpulkan.
Mengenal Anakan Lindi-lindi (Ichthyophis sp) Kepala tampak bawah.
a
b
c
d
Kepala tampak samping.
(a) kumpulan batu-batu karang yang diduga sebagai tempat pemukiman kerajaan Thi, (b) Hamparan padang rumput yang mengelilingi pulau ndana, (c) Pos jaga TNI AD pelindung pertama pulau ndana dari serangan dari luar, (d) Patung Jendral Besar Soedirman senantiasa menjaga kedamaian pulau ndana siang-malam
a
c
12
b
d
Lokasi-lokasi herping: (a) batu karang yang ditumbuhi rumput dan pohon-pohon tumbuh di tengah padang rumput (b) tepi pantai pulau Ndana (c) danau merah yang terletak di tengah pulau Ndana (d) Pesisir pantai tempat lalar penyu, bukit karang yang nampak dinamakan pulau penyu oleh nelayan sekitar.
Ekor memiliki dayung.
Anakan lindi-lindi (Ichthyophis sp) merupakan jenis dan fase yang paling mudah ditemukan peneliti dari bangsa Gymnophiona. Lindi-lindi juga akrab dikenal dengan nama sesilia atau apoda. Amfibi yang bertubuh serupa cacing besar atau ular ini adalah hewan teramat langka. Selain karena hanya ditemukan di daerah hutan-hutan yang masih baik, sesilia hidup di dalam tanah yang gembur, di dekat sungai atau rawa-rawa; sehingga jarang sekali didapati oleh manusia. Foto ini diambil oleh Khairul Umri, seorang alumni mahasiswa Biologi FMIPA USU, kini beliau bekerja di salah satu LSM lingkungan di Kota Medan. Herpetologer Mania
13
PROFIL Hellen Kurniati di tengah koleksi spesimen herpetofauna Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) Bogor.
Hellen Kurniati dan Koleksi Suara Kataknya, Inspirasi bagi Peneliti Pada salah satu hari yang menyenangkan tepatnya 27 Oktober 2014 yang lalu, sesosok perempuan pekerja keras menyambut Herpetologer Mania (Desy Hikmatullah, Chairunas Adha Putra) di tempat kerjanya. Beliau adalah Hellen Kurniati yang belakangan mulai kita dengar dengan penelitiannya tentang suara katak dan kodok.
ini. Bank suara katak Indonesia itu akan dapat diakses secara bebas oleh seluruh pecinta katak di Indonesia. Nah, ketika duduk bersama dengan Oleh Desy Hikmatullah, foto oleh Chairunas Adha Putra Hellen Kurniati, kami menitipkan sedikit sapa aat ini Hellen Kurniati perempuan lain adalah dan tanya yang mungkin berguna untuk mengenal adalah salah satu sebuah keniscayaan. lebih dekat sosok tokoh di bidang Saat ini taksonomi buaya perempuan gesit ini. herpetofauna yang di Indonesia tidak lagi bisa dijadikan inspirasi menjadi masalah yang *** dalam semangat untuk berarti karena penelitian meneliti, khususnya spesies ini sudah lebih Sebagai peneliti bagi calon-calon peneliti dari cukup. perempuan. Pemerhati herpetofauna, bidang herpetofauna kelahiran Melengkapi suara katak ilmu apa yang Ibu 18 Agustus 1962 ini telah menjadi salah satu tangani sehari-hari? Hellen: Saat ini di LIPI, ada lama bergelut dengan kegiatan terbesar dari tujuh peneliti herpetofauna. buaya yang mungkin bagi Hellen Kurniati saat
S
14
Ibu terhadap penelitian katak di Indonesia? Hellen: Saya masih melihat adanya ketimpangan penelitian katak dengan herpetofauna yang lain di Indonesia. Jika taksonomi buaya sudah hampir selesai, beda dengan nasib katak yang masih perlu didalami. Misalnya saja, kelompok katak dari genus Limnonectes Saat wawancara. di Sulawesi sangat sulit seperti itu, saya banyak Ada yang berkonsentrasi dibedakan. Identifikasinya belajar kemudian bidang taksonomi harus dikerjakan dengan menyenanginya. Berselang cara yang agak berbeda. biawak dan taksonomi beberapa waktu, saya katak. Saya sendiri lebih Biasanya identifikasi kembali lagi ke Papua menyenangi ekologi yang pertama dilakukan dan selalu mengirimkan herpetofauna. adalah pendekatan laporan penelitian morfologi, disusul dengan ke IUCN Crocodyle Bagaimana pendekatan DNA. specialist group. Lembaga Namun untuk kasus ceritanya sampai Ibu berkecimpung di bidang konservasi itu tertarik, Limnonectes ini harus saya pun diangkat ilmu ini? dibalik. Pendekatan menjadi anggota IUCN Hellen: Awalnya saya DNA dulu baru analisis Crocodyle specialist group morfologi. Di samping geli dengan kodok, juga mewakili Indonesia di Asia itu, suara Limnonectes takut dengan ular apalagi buaya. Setelah bergabung Tenggara. Sulawesi tersebut sangat dalam jajaran peneliti LIPI bervariasi, sehingga tahun 90-an, saya sebagai Dari penelitian cukup membingungkan herpetofauna, bidang counterpart sering ikut jika dikerjakan dengan dengan peneliti asing yang apa yang paling menarik pendekatan morfologi bagi Ibu Hellen? mengobservasi buaya dan suara saja. Untuk Hellen: Saat ini, saya di Papua. Saat itu, saya pulau Sumatera, benar-benar memulai dari lebih senang mempelajari mungkin Limnonectes katak. Penelitian katak nol dan tidak ada latar kuhlii dinggap masih di Indonesia masih perlu belakang pengetahuan perlu menyelesaikan digali banyak, terlebihtentang reptil paling buas taksonominya. Jenis ini lebih untuk jenis katak itu. termasuk kategori spesies yang terancam punah. complex yang sulit juga Berangkat dari dibedakan berdasarkan pengalaman-pengelaman Bagaimana pandangan morfologi saja. Herpetologer Mania
15
PROFIL Perubahan lingkungan yang mulai mengkhawatirkan belakangan ini menjadi tantangan serius dalam menjaga kelestarian herpetofauana. Katak misalnya, sangat sensitif terhadap perubahan habitat. Oleh karena itu, amfibi digolongkan sebagai yang paling rentan dengan resiko kepunahan. Penelitian katak harus berlomba dengan laju perubahan yang terjadi saat ini.
Selamat atas terlaksananya Seminar dan Lokakarya Nasional untuk Konservasi Kodok Merah di Indonesia
suara yang khas, bahkan masing-masing daerah memiliki aksen yang berbeda. Suara kodok bisa dijadikan tool untuk mengindentifikasi jenis. Suara adalah bagian dari identifikasi.
Saya berharap database suara katak ini dapat membantu dan memudahkan banyak penelitian katak di Indonesia. Sampai saat ini, telah tersedia sekitar 55 jenis suara katak dan masih akan terus saya lengkapi Saat ini Ibu ke depannya. Merekam mengembangkan suara 300 jenis katak di database suara katak, apa yang Ibu lihat? Indonesia bukanlah hal yang mudah. Oleh karena Hellen: Indonesia belum itu, saya menunggu banyak yang meneliti suara kodok. Saya sendiri siapa saja yang ingin berkontribusi melengkapi sudah sejak lama ingin mempelajari suara kodok. database ini. Imel saya Setiap jenis kodok memiliki selalu terbuka bagi orang
yang ingin berkontribusi. File kiriman bisa menggunakan program wav atau mp3, disertai informasi penting yang bisa membantu seperti lokasi, jenis katak, waktu dan lainnya yang dianggap relevan. Ibu mempunyai pesan bagi peneliti muda herpetofauna? Hellen: Peneliti memiliki kemampuan yang terbatas. Oleh karena itu, mempelajari semua cakupan dikhawatirkan memecah fokus peneliti. Seorang ahli herpetofauna biasanya menguasai sedikit bidang tapi tajam. Selamat meneliti herpetofauna dengan mendalam.
16
Pada Tanggal 1-2 Oktober 2014 di CICO Resort, Cimahpar, Bogor Utara, Jawa Barat, oleh Direktorat KKH, Ditjen PHKA, PILIGreen Network dan Perhimpunan Herpetologi Indonesia (PHI) Semoga kegiatan ini memberi pengaruh positif terhadap kelestarian kodok merah. Dari Redaksi Herpetologer Mania
Herpetologer Mania
17
RISET
Bajuku (Orlitia borneensis)
Penurunan Populasi Kura-kura dan Labi-labi di Taman Nasional Berbak Prof. Djoko T. Iskandar dalam bukunya yang berjudul Kura-kura dan Buaya di Indonesia pernah memprediksi bahwa kura-kura di Indonesia kemungkinan besar akan punah sebelum tahun 2010. Menurut buku tersebut, salah satu penyebab yang paling memprihatinkan adalah adanya perdagangan yang sangat berlebihan. Iskandar menghitung kura-kura yang diperdagangkan mencapai puluhan ribu ton.
P
erdagangan satwa berbatok itu adalah untuk konsumsi dan binatang peliharaan. Pencegahan jual beli satwa berlebihan semakin tidak terkendali karena informasi yang jelas mengenai jumlah populasi dan sebarannya di habitat alaminya di seluruh Indonesia tidak Oleh M. Irfansyah Lubis (Pusat Penelitian Lingkungan diketahui secara pasti. Hidup - Institut Pertanian Bogor Kita juga lebih khawatir
18
ketika mengetahui bahwa perkembangbiakan sebagian besar jenis kura-kura sangatlah lambat. Satwa ini mencapai kematangan seksual setelah di atas umur 4-10 tahun. Jumlah telurnya tidak banyak dan tingkat keberhasilan hidup dari telur hingga dewasa sangatlah rendah (Iskandar, 2000). Dengan demikian, kemungkinan besar pemanfaatan yang tidak lestari akan menyebabkan kura-kura dan labi-labi akan punah dalam waktu dekat. Akan
lebih cepat lagi kepunahan ini terjadi jika laju konversi hutan masih belum menemukan titik temu . Kegiatan konservasi kura-kura di Indonesia sangat minim. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi mengenai jenis, populasi, habitat, reproduksi, dan distribusi jenis binatang purba ini (K3AR, 2005). Di samping itu, penelitian mengenai makhluk yang konon lebih tua dari buaya ini memang tidak semudah penelitian jenis satwa pada umumnya. Bahkan seorang peneliti kura-kura senior dari World Conservation Society (WCS) pernah menggerutu bahwa lebih mudah mendapatkan informasi jenis ini di pasar atau di restoran dibandingkan dengan melakukan survei langsung di habitat alaminya (K3AR, 2005). Hal ini disebabkan karena habitat alami kura-kura sangat beranekaragam, mulai dari yang hidup di laut, air payau, air tawar, hingga daratan, dari dataran rendah hingga perbukitan. Tingkat pertemuan di alam sangatlah rendah karena kebanyakan jenis ini hidup di daerah perairan seperti
dasar sungai yang sulit dijangkau. Beberapa saat lalu, seorang peneliti dari Alaskan Zoo dari Amerika dan beberapa peneliti lokal dari Institut Pertanian Bogor (IPB) didampingi oleh petugas TN Berbak dan pemandu lokal melakukan survei kurakura dan labi-labi di Taman Nasional Berbak (TNB), Provinsi Jambi. TNB merupakan salah satu taman nasional yang memiliki hutan rawa gambut terluas di kawasan Asia Pasifik dan menjadi salah satu kawasan Ramsar Site di Indonesia (Berbak, 2013). Kawasan konservasi ini memiliki hutan rawa gambut yang tidak terganggu seluas 110.000 ha, dan hutan rawa air tawar seluas 60.000 ha. Sisanya merupakan hutan dataran rendah bergambut yang memiliki kedalaman gambut mencapai 10 meter. Dengan kondisi tersebut, kawasan ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, khususnya pada jenisjenis satwa yang hidup di daerah perairan seperti kura-kura dan labi-labi.
Herpetologer Mania
19
RISET tahun 2000 sangat melimpah dan sangat mudah ditemukan di desa tersebut. Pada saat itu, beberapa pengumpul datang dan pergi membawa ribuan kura-kura untuk diperdagangkan
sepanjang sungai. Dengan jumlah mata pancing yang banyak dan menggunakan umpan yang tepat, tingkat keberhasilan penangkapan lebih tinggi dibanding dengan menggunakan perangkap. Namun, untuk tujuan konservasi, hanya metode perangkaplah Penggunaan metode yang tidak merusak atau penelitian sangat menyakiti jenis satwa ini. berpengaruh terhadap Namun keberhasillannya keberhasilan penangkapan sangat rendah. Dalam kura-kura dan labipenelitian ini, hingga labi di alam. Biasanya pemasangan trap yang para pencari kurake 300-an, kami hanya kura konvensional berhasil menangkap menggunakan long line 3-5 ekor saja. Selain bait yang di pasang di penggunaan umpan
yang dirasa kurang tepat (menggunakan daging ikan/ayam segar) dan penempatan perangkap yang acak, penelitian ini kurang berhasil mungkin disebabkan karena musim pencarian yang kurang tepat. Masyarakat biasanya menemukan banyak kura-kura atau labi-labi di musim kering di saat air sungai surut sehingga sebaran reptil ini terkonsentrasi pada daerah yang masih berair yang banyak ikannya. Beberapa jenis kurakura dan labi-labi yang
Amyda cartilaginea (kiri atas), juvenil kura-kura pipi putih - Siebenrockiella crassicollis (kiri bawah), kura-kura ambonCuora amboinensis (kanan).
Penelitian yang dilakukan selama kurang lebih 2 bulan (awal Juni–akhir July 2014) bertujuan untuk mengetahui jenis dan distribusi kurakura dan labi-labi di semenanjung pantai timur Pulau Sumatera, khususnya jenis yang terancam punah seperti labi-labi bintang (Chitra javanensis). Metode penelitian yang digunakan pun beragam, mulai dari wawancara dengan masyarakat setempat sampai penggunaan beberapa jenis dan model perangkap. Di samping itu,
20
penelitian ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat penyangga akan pentingnya melestarikan satwa liar dan habitatnya dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan ke beberapa sekolah di sekitar TNB. Jenis kura-kura dan labi-labi yang ditemukan tidaklah banyak, bahkan spesies labilabi raksasa yang lokasi penyebarannya diketahui di sepanjang pantai timur Sumatra ini juga tidak ditemukan. Hal yang
paling mengejutkan adalah adanya informasi dari masyarakat setempat yang mengatakan bahwa ada pemanenan labi-labi dan kura-kura yang berlebihan di sekitar TNB sebelum tahun 2000. Beberapa tahun setelah itu, jenis dan populasi kura-kura dan labi-labi merosot drastis sehingga kegiatan perburuan berhenti sendiri. Dari keterangan tokoh masyarakat di Desa Air Hitam Laut yang merupakan salah satu desa penyangga di kawasan TN Berbak, jumlah kura-kura sebelum
Salah satu kura-kura yang berhasil masuk perangkap.
Herpetologer Mania
21
RISET ditemukan pada penelitian ini antara lain adalah kura-kura gading (Orlitia borneensis), kura-kura ambon (Cuora amboinensis), kura-kura pipi putih (Siebenrockiella crassicollis), dan bulus (Amyda cartilaginea). Jenis kura-kura pipi putih dan kura-kura ambon lebih sering ditemukan di kolam-kolam atau rawa di sekitar pemukiman. Sementara kura-kura gading yang masuk dalam jenis dilindungi dan terancam punah dalam daftar IUCN biasanya ditemukan di daerah sungai besar yang masih berhutan. Jenis ini terkadang masuk dalam perangkap ikan yang dipasang oleh nelayan lokal dan terkadang dianggap menjadi hama karena memangsa ikan yang sudah ditangkap oleh mereka. Hasil penelitian ini setidaknya telah membuktikan bahwa adanya penurunan
RESENSI BUKU populasi spesies kura-kura dan labi-labi yang cukup drastis di kawasan TNB. Dengan jumlah populasi yang terus menurun karena perburuan yang tidak terkontrol, disertai dengan berkurangnya habitat binatang melata ini di alam bebas, menimbulkan kekhawatiran akan punahnya satwa ini dalam waktu yang relatif dekat. Ironisnya, masih banyak jenis yang mungkin belum teridentifikasi dengan baik atau menunggu untuk ditemukan namun terancam punah atau sudah punah karena kurangnya kepedulian masyarakat Indonesia dengan keberadaan satwa langka ini. Aksi-aksi konservasi hanya dapat terlaksana dengan meningkatkan perhatian dari berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Tentunya hal ini bisa terlaksana dengan adanya dukungan data dan informasi yang cukup mengenai kura-kura dan labilabi di Indonesia.
Tim Survei TN Berbak (dari kiri ke kanan): Timothy Lescher (Alaskan Zoo), Ako (pemandu lokal), Jumadi (pemandu lokal), Faisal (pemandu lokal), M. Irfansyah Lubis (IPB), Mediyansyah (IPB).
Pustaka Berbak, B. T. N. (2013). Amazon van Jambi: Buku Informasi Taman Nasional Berbak. In Nukman (Ed.). Jambi: Balai Taman Nasional Berbak. Iskandar, D. T. (2000). Kura-Kura & Buaya Indonesia & Papua Nugini. K3AR. (2005). Kura-Kura Asia Dalam Krisis. Warta Herpetofauna.
22
Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan: 107+ Ular Indonesia
Oleh Akhmad Junaedi Siregar
Salah satu buku yang pasti diidamkan semua orang yang punya perhatian terhadap keanekaragaman ciptaan Tuhan adalah Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan: 107+ Ular Indonesia karya fotografer tamatan jurusan biologi, Riza Marlon. Sesuai judul, buku ini sangat cocok dibawa ke lapangan untuk keperluan penelitian ataupun observasi hutan.
B
hasil jepretan biologiawan yang akrab dipanggil Mas Caca ini. Beliau masih meminta koleksi foto ular kawankawannya yang lain seperti Mistar Kamsi, Iwan Hunowu, Tata Mitra Setia, Fendra Trysanie dan Alfret Masala. Hal ini dinilai wajar karena seorang diri yang tinggal di hutan untuk luasan hutan Indonesia hampir mustahil menjumpai semua ular yang ada.
uku ini mengedepankan tampilan foto-foto eksklusif yang memanjakan mata. Deskripsi jenis sangat minimalis namun kekuatan foto seperti melebihi seribu kata. Meskipun begitu, buku ini cukup lengkap dengan penjelasan sederhana tentang sifat panas tubuh, mata, ukuran, makanan, motede pertahanan diri, reproduksi, hingga penanganan gigitan ular.
Dikemas dalam 251 halaman dengan kertas cetak yang baik dan layout yang menarik merupakan hasil karya keanekaragaman yang pasti ditunggutunggu. Karya buku-buku bertemakan lingkungan dinilai kalah pamor dengan keindahan destinasi wisata yang marak belakangan ini. Tanpa pendanaan dari luar, biasanya karya semacam ini sulit diterbitkan. Nah, dari segi kualitas buku ini bisa menjadi Sebagai fotografer alam bebas profesional alat “penolong” bagi kita yang banyak berkecimpung di tengah hutan. barang tentu Riza Marlon memiliki angle Sangat direkomendasikan khususnya tersendiri untuk mendeskripsikan 107+ untuk teman-teman Herpetologer ular Indonesia. Meskipun begitu, fotoMania. foto yang ditampilkan tidak semuanya Herpetologer Mania
23
RISET
Kodok Kolong Amplexus Jauh dari Air, Kenapa? yang sudah dibuahi dapat bertahan sampai tahap metamorfosis selanjutnya. Waktu amplexus pada amfibi secara umum berlangsung ketika turun hujan atau saat banyak air. Ada pula yang menyebut bahwa proses itu akan berlangsung secara massif saat bulan penuh (purnama). Amplexus dan pemilihan pasangan kawin pada amfibi merupakan salah satu perilaku sosial yang menarik untuk diamati. Wells (2007) menyebut 3 faktor yang mempengaruhi aktivitas kawin pada amfibi, yaitu: 1). Kompetisi berebut, 2). Frekuensi suara panggilan, 3). Dominansi teritori. Kompetisi berebut merupakan faktor yang paling sering terjadi di alam, dan hal tersebut Oleh Muhammad Zulfan Aris tentunya dipengaruhi oleh ketersediaan betinanya. membantu proses Pejantan yang kalah pengeluaran telur. bersaing tidak dapat Kemudian pejantan akan mengeluarkan spermanya melakukan amplexus sehingga tidak berhasil untuk membuahi telurmelanjutkan ke proses telur tersebut. Fertilisasi pembiakan/pemijahan. eksternal itu dilakukan di air yang tenang, tujuannya Di dunia amfibi, dikenal adalah supaya telur-telur
Duttaphrynus melanostictus atau dikenal juga dengan nama lain Bufo melanostictus merupakan salah satu spesies amfibi dari ordo Anura. Di Indonesia, khususnya di pulau Sumatera, kodok ini sangat mudah dijumpai di sekitar pemukiman penduduk bahkan sampai masuk ke dalam rumah-rumah warga. Walaupun demikian, kodok ini dilaporkan sangat sulit ditemukan di Papua (Karim, 2013). Inger & Stuebing (1999) mengatakan bahwa kodok ini hidup di habitat-habitat terganggu yang diciptakan manusia dan sangat sulit atau bahkan tidak ditemukan sama sekali di dalam hutan. Kodok yang umum dikenal dengan nama daerah bangkong kolong, kodok buduk atau kodok puru sejati ini ternyata memiliki satu kebiasaan unik, yaitu melakukan amplexus jauh dari air.
A
mplexus adalah proses penggendongan amfibi jantan oleh betinanya dengan tujuan pemijahan. Amfibi jantan akan memeluk si betina dalam proses ini untuk berpegangan seraya
24
ada 2 jenis pembiakan (pemijahan) yang biasa terjadi, yaitu: pembiakan peledak (explosive breeding) dan pembiakan berkesinambungan (prolonged breeding). Pembiakan peledak adalah proses pembiakan yang terjadi pada saatsaat tertentu. Umumnya terjadi pada saat musim hujan atau saat air sedang melimpah/banjir dan terjadi secara besar-besaran, ditandai dengan kehadiran telur mereka di perairan yang tergenang. Ketika air berkurang atau tinggal sedikit proses pembiakan tidak akan ditemukan lagi, hal ini umumnya terjadi pada amfibi dengan habitat dominannya di darat (amfibi terestrial dan fussorial). Sedangkan pada pembiakan berkesinambungan, prosesnya terjadi hampir terus menerus di mana jantan dan betina bertemu dalam satu habitat yang memiliki sumber air yang tidak habis dari waktu yang cukup lama, dan umum dijumpai pada amfibi dengan habitat dominannya di dekat air (amfibi akuatik). Pada pembiakan peledak, persaingan pejantan memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan pemilihan betina,
dapat terjadi seharian bahkan di siang hari yang notabene bukan aktivitasnya. Jika sudah bertemu air barulah mereka melakukan pembiakan dengan melakukan pembuahan Duttaphrynus melanostictus merupakan secara eksternal di air. Namun jika tidak, amfibi yang melakukan pembiakan jangka pendek kemungkinan yang dapat terjadi adalah: a. sehingga persaingan mereka tetap melakukan antar pejantan sangat pemijahan/pembiakan tinggi. Pejantan yang tanpa air, b. pejantan lebih kompetitif dalam hanya mengeluarkan memperebutkan spermanya saja tanpa betinanyalah yang akan diikuti pengeluaran berhasil melakukan telur oleh betina, c. amplexus. Proses amplexus tanpa adanya air pasangan tersebut hanya menunjukkan perilaku sedikit pun di sekitarnya amplexus semata. diduga merupakan Kemungkinan pertama salah satu upaya belum pernah saya temui para pejantan dalam untuk pasangan kodok menghindari persaingan ini, kemungkinan kedua ketat dengan pejantan pernah saya amati, namun lain untuk mendapatkan tidak jelas itu sperma betina. Hal tersebut juga atau hanya air seni saja. didukung oleh habitatnya Sedangkan yang ketiga, yang agak jauh dari mungkin kodok jantan air. Sehingga pejantan yang tidak ingin kehilangan yang menemukan betina yang disukainya, betina terlebih dahulu seperti makhluk lain pada akan segera melakukan umumnya. amplexus dan mungkin sedangkan pemilihan betina memainkan peranan utama dalam menentukan keberhasilan pejantan pada pembiakan berkesinambungan.
Herpetologer Mania
25
BARU
KSH Rhacophorus Si Newborn Kedatangan Herpetologer Mania
KSH Rhacophrous Uhamka.
Sharing pengenalan kegiatan Herpetologer Mania.
Jum’at tanggal 5 September 2014 yang lalu di TWA/CA Telaga Warna adalah hari lahirnya Kelompok Studi Herpet (KSH) Rhacophorus UHAMKA. KSH Rhacophorus ini dicetuskan oleh pelopor utamanya Farits Alhadi. Beliau adalah alumni Pendidikan Biologi UHAMKA dan sekarang sedang berkuliah di IPB sebagai mahasiswa pascasarjana jurusan Biosains Hewan. Teks oleh Yassir Dzulfiqor, foto oleh Farits Alhadi
F
arits Alhadi menekankan bahwa mahasiswa biologi seharusnya lebih memahami dan mengenal alam di sekitarnya. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang lebih kenal terhadap herpetofauna dan alam?”, katanya pada satu kesempatan. Hal
26
inilah yang mendasari terbentuknya komunitas ini. Komunitas ini diharapkan menjadi wadah bagi para mahasiswa Pendidikan Biologi UHAMKA untuk mengembangkan pengetahuan khususnya herpetofauna. Nama komunitas
Rhacophorus di belakang nama KSH diambil dari kecenderungan temuan saat melakukan herping di Telaga Warna. Waktu itu kami banyak sekali menemukan jenis Rhacophorus javanus. Jenis ini merupakan katak endemik pulau Jawa menurut IUCN dan kebetulan asal kami juga dari pulau Jawa sehingga nama tersebut mudah kami sepakati.. Berselang lima hari setelah terbentuk, tepatnya Jum’at 10 Oktober 2014 yang lalu, KSH Rhacophorus
yang newborn kedatangan tamu dari Herpetologer Mania untuk sharing pengalaman. Mereka diwakili tiga orang yang juga sedang melanjutkan studi di IPB, yakni Chairunas Adha Putra, Desy Hikmatullah, dan Eka Prasetiawan. Pengalaman mereka membawa angin sejuk buat kami untuk memulai kelompok ini. Bang Nchay, panggilan akrab dari Chairunas Adha Putra memberikan materi mengenai keanekaragaman amfibi di Jawa Barat serta pengalaman herping di Kota Medan, maskas besar dari Herpetologer Mania. Informasi yang diberikan sangat menginspirasi kami untuk terus melebarkan kelompok ini menjadi besar dan bermanfaat.
Beberapa hari setelah kedatangan Herpetologer Mania, kami merancang fondasi struktur KSH Rhacophorus dan rencana agenda ke depannya. Saat ini badan pengurus harian komunitas sudah tersusun yakni ketua oleh Agung Fadjar Anugrah dan kadiv oleh Ziyadatu Rizqah. Dalam waktu dekat ini, KSH Rhacophorus akan melaksanakan penelitian kembali untuk
menginventarisasi keanekaragaman herpetofauna di Telaga Warna pada tanggal 7-9 November 2014. Senang rasanya bila ada yang berminat untuk ikut bergabung pada tanggal tersebut. Kami berharap dapat selalu beriringan dengan komunitas yang lain seperti misalnya Herpetologer Mania untuk melakukan sesuatu yang positif terhadap amfibi dan reptil. Salam herping.
Suasana saat presentasi.
Herpetologer Mania
27
EKSPEDISI
Sungai Alas.
Sekilas Amfibi dan Reptil di Jalur Pendakian Puncak Leuser
A
gustus 2014 lalu, saya berkesempatan mendampingi penelitian kekayaan jenis lumut di Kawasan Ekosistem Leuser yang dilakukan oleh seorang teman, peneliti dari IPB, namanya Ria Windi Lestari. Kami memulai perjalanan ke lokasi menuju Dusun Kedah, Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Propinsi Aceh. Teks oleh Desy Hikmatullah, Dusun ini merupakan foto oleh Chairunas Adha Putra & salah satu pintu masuk Desy Hikmatullah dalam pendakian Puncak
Jalur pendakian ke puncak Gunung Leuser terkenal sebagai jalur pendakian terpanjang di Indonesia. Medannya cukup sulit dan melelahkan karena untuk menuju puncak, pendaki harus menapaki lusinan puncak dan lembah silih berganti. Pendakian ini dapat merepresentasikan Bukit Barisan yang sebenarnya.
28
Leuser.
Kami sepakat untuk melakukan pendakian selama 14 hari, seperti lama pendakian umumnya. Di sela-sela waktu penelitian yang sempit tersebut, saya menyempatkan diri untuk mengamati amfibi dan reptil. Dari total ekspedisi lumut selama itu, hanya 2 malam yang dapat saya gunakan untuk herping. Pengamatan di waktu pagi juga dilakukan di jalur pendakian. Waktunya
Variasi corak Rana kampeni.
Bufo juxtasper (atas) dan Dendragama boulengeri (bawah).
sangat sedikit tetapi tidak mengurangi niat saya untuk berbagi cerita dengan teman-teman Herpetologer Mania.
kedalaman rata-rata 50 cm dan terletak di tepi kawasan perkebunan warga, serta didominasi tanaman cengkeh. Selain herping ke sungai, kami juga menyusuri kolam dan genangan air yang berada di sekitar lokasi camp. Hasil catatan akhir menunjukkan bahwa ada 9 jenis amfibi yaitu Occidozyga sumatrana, Fejervarya limnocharis, Fejervarya
Kami melakukan pengamatan pada malam pertama karena tubuh masih terasa prima. Kami menyusuri sungai jernih berarus sedang di dekat camp yang kami dirikan. Sungai ini terlihat berbatu besar dengan
cancrivora, Phrynoidis juxtaspera, Duttaphrynus melanostictus, Leptoprhyne borbonica, Odorrana hosii, Hylarana kampeni dan Hylarana chalconota. Untuk menemukan alur air atau sungai kecil di jalur pendakian menuju puncak Leuser cukup sulit bahkan tidak ada sama sekali. Kebutuhan air dalam pendakian didapatkan dari
Herpetologer Mania
29
EKSPEDISI kolam kecil buatan di beberapa titik camp. Dengan kondisi tersebut, kami masih berharap bertemu setidaknya aneka reptil. Hingga setelah kami mencapai kawasan hulu sungai Alas, kami dimanjakan dengan dinginnya air sungai itu. Di sanalah kami mencoba pengamatan herpetofauna yang kedua. Sesaat sebelum mencapai camp di kawasan sungai Alas, kami dikejutkan oleh temuan bunglon Dendragama boulengeri yang eksotik dan merupakan salah satu jenis bunglon endemik
Sumatera. Selain jenis sebelumnya, beberapa reptil lain yang kami temukan adalah Bronchocela cristatella, Eutropis multifasciata dan Calotes versicolor. Dan sebagai informasi bagi sahabat news Herpetologer Mania yang ingin mencoba indahnya pendakian puncak Gunung Leuser, silahkan menemui salah satu pendamping pendakian terbaik untuk menemani pendakian Anda, yaitu Pak Jali di Desa Kedah. Selamat berpetualang!
Camp ke-3 di Kulit Manis 1, jalur pendakian Puncak Leuser.
30
Herpetologer Mania
31
EVENT
Ada Herpetologer Mania di PIKM USU 2014
S
abtu & Minggu, 18-19 Oktober 2014 yang lalu, tim Herpetologer Mania mencoba mengibarkan benderanya di tengahtengah orang yang bisa dikatakan minim pengetahuannya mengenai amfibi dan reptil. Kegiatan sosialisasi seputar Herpetologer Mania tersebut dilakukan pada event tahunan Pameran Ilmiah dan Kreativitas Mahasiswa (PIKM) di pendopo USU. Stan Herpetologer Mania bergabung dengan stan Glow Bag, sebuah usaha kreativitas mahasiswa dalam hal produksi aneka tas dan aksesoris lainnya
32
memperlihatkan hasilhasil karyanya, produkproduk yang dihasilkan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Herpetologer Mania sendiri dalam pameran ini memperlihatkan bukubuku koleksinya yang berhubungan dengan dunia amfibi dan reptil, majalah-majalah digital, menjual t-shirt serta mempromosikan paket Bumi Perkemahan Sibolangit Fun Herping. Di samping itu, stan ini
memiliki hiburan khusus yakni memanah dengan mendatangkan langsung instrukturnya dari komunitas Ksatria Wetan. Di antara kesemuanya itu, salah satu tujuan terpenting dari Herpetologer Mania mengikuti pameran ini adalah memperkenalkan kepada khalayak ramai bahwa di Sumatera Utara ada komunitas pecinta amfibi dan reptil yang bernama Herpetologer
Mania. Di sini Herpetologer Mania mengenalkan kepada setiap pengunjung bahwa amfibi itu bukanlah semata-mata hewan yang menjijikkan dan reptil bukanlah hewan yang menakutkan. Amfibi dan reptil sendiri mempunyai banyak peran ekologi dan ekonimis di alam, juga melekat nilai seni fotografi di dalam diri keduanya. Pose-pose dan warnawarninya sangat memukau bila difoto. (Siska Handayani)
Stan Terbaik PIKM itu Penuh dengan Katak dan Kodok yang sifatnya ramah lingkungan. Pemilik Glow Bag juga adalah anggota Herpetologer Mania. PIKM merupakan suatu event tahunan yang dilaksanakan oleh pihak Biro Kemahasiswaan dan Kealumnian (BKK) USU yang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kewirausahaan. PIKM tahun ini mengangkat tema: “Mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan”. Jenis
kegiatan dalam PIKM tersebut antara lain pameran karya Ilmiah dan teknologi tepat guna, bazar stand pameran, pameran fotografi dan poster, pengabdian kepada masyarakat, pentas seni dan hiburan. Selain itu, dalam event PIKM tersebut, ada juga beberapa perlombaan antara lain lomba stand ilmiah terbaik, lomba poster ilmiah, lomba fotografi, lomba vokal solo pop dan lomba stand up comedy.
unit kegiatan mahasiswa internal biologi tersebut terpilih sebagai stan terbaik pada program kreatifitas mahasiswa tahunan tersebut. Ada satu hal yang menarik bahwa predikat juara itu tak lepas dari katak dan kodok yang dipamerkan di bagian depan dari stan.
D
epartemen Biologi FMIPA USU yang mengikuti PIKM selama dua hari, 16-18 Oktober 2012 di Pendopo USU Sumatera Utara bolehlah berbangga hati. Pasalnya stan yang diisi
untuk memberi kenyamanan amfibi itu. Keberadaan katak-katak inilah yang membuat pengunjung sulit beranjak dari tempatnya atau pengunjung yang melintas di depan untuk menyinggahi stan tersebut.
Jenis-jenis katak hidup dalam terarium tersebut antara lain Dalam pantauan Rana hosii, Rana kampeni, Herpetologer Mania, stan Huia sumatrana, Bufo biologi tersebut membuat juxtasper dan Theloderma beberapa terarium kecil leprosum. Jenis yang terakhir dengan kondisi habitat disebut merupakan katak yang sesuai dengan alam yang sangat sulit ditemukan. di sekitar Sibolangit (± Katak-katak tersebut 40 km dari Kota Medan). dipungut pada satu malam Mereka mengatur suhu dan sebelum pameran. Selamat kelembaban sedemikian rupa juara. (Herpetologer Mania)
Setiap peserta pameran Herpetologer Mania
33
N 1 2D
Bumper Sibolangit Fun Herping
Herping | Amphibia | Reptile | River Adventure | Night | Camping | Tracking | Archery | Nature Concervation
Free ry
Arche
IDR 350.000
Only Min 6 pax GO!
Herpetologer Mania
Phone. 085275406179 (Siska), 085260316050 (Rahmi), 0811637746 (Juned) E-mail.
[email protected] www.herpetologermania.blogspot.com