i
KEANEKARAGAMAN LUMUT DI JALUR PENDAKIAN CEMORO SEWU GUNUNG LAWU, JAWA TIMUR
ROMAWATI
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Lumut di Jalur Pendakian Cemoro Sewu Gunung Lawu, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Romawati NIM G34080091
ii
ABSTRAK ROMAWATI. Keanekaragaman Lumut di Jalur Pendakian Cemoro Sewu Gunung Lawu, Jawa Timur. Dibimbing oleh NUNIK SRI ARIYANTI dan HILDA AKMAL. Hutan tropik memiliki keanekaragaman dan kelimpahan lumut lebih besar dibandingkan kawasan lain di dunia. Keanekaragaman dan kelimpahan lumut bergantung pada ketinggian tempat. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi keanekaragaman taksa lumut di Gunung Lawu dan persebarannya berdasarkan ketinggian dan tipe substrat. Pengambilan sampel dilakukan di sepanjang jalur pendakian Cemoro Sewu. Lumut yang ditemukan sebanyak 85 jenis (34 suku, 56 marga), terdiri atas 55 jenis lumut sejati (17 suku, 35 marga), 28 jenis lumut hati berdaun (15 suku, 19 marga), satu jenis lumut hati bertalus, dan satu jenis lumut tanduk. Dua suku dengan keanekaragaman tertinggi di Gunung Lawu adalah lumut sejati Dicranaceae (19 jenis, tujuh marga), dan Bryaceae (delapan jenis, empat marga). Lumut yang dijumpai sebagian besar adalah lumut terestrial yang tumbuh pada substrat batuan. Lumut sejati tersebar merata pada zona pegunungan atas dan zona sub alpin. Lumut hati memiliki keanekaragaman lebih tinggi pada zona pegunungan atas (2000-3000 mdpl) dibandingkan pada zona sub alpin (3000-3265 mdpl). Kata kunci: Gunung Lawu, hutan tropik, lumut sejati, lumut hati, lumut tanduk.
ABSTRACT ROMAWATI. Bryophytes Diversity at Cemoro Sewu Track of Mount Lawu, East Java. Supervised by NUNIK SRI ARIYANTI and HILDA AKMAL. Tropical forests have higher diversity of bryophytes species than other regions in the world. Diversity and abundance of bryophytes depend on the altitude. This study aims to inventory the diversity of bryophytes of Mount Lawu and their distribution based on the altitude and type of substrate. Sampling was carried out along a hiking trail of Cemoro Sewu. Total of 85 species (34 families, 56 genera), consist of 55 species of mosses (17 families, 35 genera), 28 species of leafy liverworts (15 families, 19 genera), one thalloid liverworts, and one hornworts species were found in the study. Dicranaceae (19 species, seven genera) and Bryaceae (eight species, four genera) have higher much of species. Those mosses were found mostly terrestrial growing on rock substrate. Bryophytes distribution evenly on upper mountain zones as well as at sub-alpine zone. The diversity of leafy liverworts more higher in the mountain zone (2000-3000 masl) than in sub-alpine zone (3000-3265 masl). Keywords: Mount Lawu, tropical forests, mosses, liverworts, hornworts.
iii
KEANEKARAGAMAN LUMUT DI JALUR PENDAKIAN CEMORO SEWU GUNUNG LAWU, JAWA TIMUR
ROMAWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iv
v
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 ini ialah lumut, dengan judul Keanekaragaman Lumut di Jalur Pendakian Cemoro Sewu Gunung Lawu, Jawa Timur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Nunik Sri Ariyanti, MSi dan Dra Hilda Akmal, MSi selaku pembimbing serta Dr Kanthi Arum Widayati selaku penguji. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. H. Mirza Indra (LATIN) yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan PL sehingga bisa melaksanakan penelitian tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten Siak yang telah memberikan dukungan berupa beasiswa kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan masa perkuliahan di IPB. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada saudara-saudara seperjuangan, Biologi 45. Terimakasih kepada teman-teman Wisma Maharlika (Mbak Nonet, Mbak Wulan, Mbak Reni, Mbak Lia, Cikal, Rola, Rere, Dewi, Ires, Uci, dan Dita), kepada teman-teman di Laboratorium Sistematika Tumbuhan (Kak Fha, Dirga, Kak Tya, Titi, dan Ibu Eti) dan laboran (Pak Parman), kepada saudara-saudara BABUL, dan kepada Dafid Kurniawan dan Faizal Abdul Aziz yang telah mengantarkan penulis menjadi seorang peneliti lumut. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar LAWALATA-IPB yang telah memberikan banyak ilmu, kemampuan, dan pengalaman yang sangat berharga bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013 Romawati
vii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
9
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Pengambilan Sampel
3
Identifikasi Sampel
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Keanekaragaman Taksa
4
Lumut Sejati (Bryophyta)
4
Lumut Hati (Marchantiophyta)
6
Lumut Tanduk (Anthocerophyta)
9
Sebaran Lumut Berdasarkan Tipe Substrat
9
Sebaran Lumut Berdasarkan Ketinggian
11
SIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
13
RIWAYAT HIDUP
21
viii
DAFTAR TABEL 1
Keanekaragaman lumut di jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu, Jawa Timur
4
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
4
5
6 7 8 9 10 11 12
Peta Gunung Lawu, Jalur Cemoro Sewu Buxbaumia javanica, (a-b) habitus (seta dan kapsul), (c) kapsul, (d) gigi peristom, (e) operculum Keragaman tipe daun pada lumut hati berdaun, (a) daun sederhana dengan ujung rata pada Gottchelia schizopleura, (b) daun sederhana dengan ujung terbagi 2-3 lob pada Bazzania javanica, (c) daun sederhana dengan ujung terbagi menjadi dua bagian (lob) pada Blepharostoma trichophyllum, (d) daun sederhana dengan ujung terbagi 2-5 lob dan bergigi pada Chandonanthus hirtellus Tipe daun berlobul, lembaran daun terdiri atas lob (1) dan lobul (2), (a) Frullania sinuata dengan lobul rata; (b) Acrolejeunea pycnoclada dengan lobul bergigi 3 dan terdapat keel yang panjang (3); (c) Cheilolejeunea trifaria dengan lobul bergigi 2 dengan keel yang pendek (3); (d) Scapania javanica dengan lob dorsal (1) lebih kecil dari lob ventral (2) Tipe daun ventral, (a) berbentuk bulat dengan tepi rata pada Acrolejeunea pycnoclada, (b) berbentuk segi empat dengan tepi bergigi pada Bazzania javanica, (c) terbagi dua bagian (bilob) pada Frullania sinuata, (d) terbagi dua dengan ukuran sama dengan daun lateral pada Herbertus armitanus Tipe susunan daun lateral, (a) succubous pada Hattoriela subcrispa, (b), transverse pada Herbertus armitanus, (c) incubous pada Bazzania javanica Reboulia hemisphaerica, (a) habitus, (b) tepi talus, (c) sisik ventral, (d) apendiks, (e) talus dan receptacle betina, (f) involucre Phaeoceros laevis, (a) habitus, (b) talus, (c) spora Sebaran jumlah jenis lumut sejati, lumut hati, dan lumut tanduk berdasarkan tipe substrat Tipe substrat lumut pada jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu, (ab) zona sub alpin, (c-d) zona pegunungan atas Sebaran jumlah jenis lumut sejati, lumut hati, dan lumut tanduk berdasarkan ketinggian Peta sebaran lumut sejati, lumut hati, dan lumut tanduk di Gunung Lawu
3 6
6
7
7 7 8 9 10 10 11 12
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Keanekaragaman lumut di jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu Jawa Timur Gambar beberapa sayatan melintang berbagai daun, kapsul, dan kaliptra lumut sejati
16 18
ix
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropik terluas ketiga di dunia dan terbesar di daratan Asia, yang merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Indonesia memiliki kawasan hutan tropik dengan luas 131.279.115,98 ha (Kemenhut 2010). Hutan tropik memiliki keanekaragaman dan kelimpahan lumut lebih besar dibandingkan kawasan lain di dunia (Oliveira et al. 2011). Keanekaragaman dan kelimpahan lumut berbeda-beda, bergantung pada kondisi lingkungan, antara lain ketinggian tempat. Penelitian Gradstein dan Culmsee (2010) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah menemukan bahwa keanekaragaman jenis lumut di hutan hujan pegunungan atas lebih tinggi dari hutan hujan pegunungan bawah. Ketinggian tempat memberikan variasi iklim mikro, khususnya kelembapan udara dan arah angin pada bagian bawah gunung (Whitmore 1984). Penelitian lumut penting untuk dilakukan, karena hingga saat ini telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan manfaat dari tumbuhan tersebut. Manfaat yang saat ini telah diketahui antara lain lumut secara ekologi menjaga keseimbangan siklus air dan unsur hara hutan (Hofstede et al. 1994; Hölscher et al. 2004), untuk menentukan filogeni tumbuhan (Nishiyama et al. 2007), dan untuk menjaga kualitas udara melalui pertukaran gas karbondioksida dalam fotosintesis, serta kaitannya dengan perubahan iklim (Delucia et al. 2003). Selain itu lumut juga dimanfaatkan dalam bidang medis. Diplophyllum albicans dan D. taxifolium dilaporkan memiliki bahan aktif sebagai anti-kanker pada manusia (Ohta et al. 1977). Keanekaragaman lumut cukup tinggi namun kurang diperhatikan dan dianggap tidak terancam punah karena keberadaannya yang melimpah. Padahal lumut juga merupakan salah satu kekayaan hayati yang terancam punah dengan adanya deforestasi hutan, kebakaran hutan, dan bencana alam seperti letusan gunung berapi. Beberapa jenis lumut telah masuk daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status rentan atau vurnerable (VU) dan kritis atau critically endangered (CR). Jenis-jenis lumut yang berstatus rentan adalah Dendroceros japonicus (Anthocerotaceae), Sphagnum novo-caledoniae (Sphagnaceae), Nardia huerlimonnii (Jungermanniaceae), dan Personiella vitreocincta (Personiellaceae). Lumut yang berstatus kritis adalah Schistochila undulatifolia (Schistochilaceae) (IUCN 2008). Lumut merupakan bioindikator terhadap perubahan iklim dan lingkungan (Crites dan Dale 1998), seperti perubahan kelembapan lingkungan yang dapat menyebabkan perubahan struktur komunitas lumut (Acebey et al. 2003; Frego 2007). Jika terjadi kerusakan hutan, maka keberadaan lumut pun terancam. Oleh karena itu, saat ini sudah saatnya lumut menjadi perhatian dan dijaga keberadaannya. Penelitian lumut di Indonesia belum banyak dilakukan, bahkan hingga saat ini keanekaragaman lumut belum tereksplorasi seluruhnya. Meskipun penelitian tentang lumut telah dilakukan sejak masa penjajahan Belanda, namun sebatas inventarisasi keanekaragaman lumut yang banyak dilakukan di Pulau Jawa (Fleischer 1902). Penelitian lumut di Jawa akhir-akhir ini banyak dilakukan di
2 Jawa Barat, yakni di hutan primer (Tan et al. 2006; Haerida et al. 2010; Gradstein et al. 2010), di kebun raya dan hutan kota (Apriana 2010; Junita 2010; Wahyuni 2010; Putrika 2012), di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Ariyanti dan Sulistijorini 2009), dan di perkebunan monokultur (Akmal 2012). Bachri (2011) telah melaporkan keanekaragaman lumut di Jawa Tengah, yaitu di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, Suharti (2013) dan Musyarofah (2013) melaporkan keanekaragaman lumut pasca erupsi di Taman Nasional Gunung Merapi. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi keanekaragaman jenis lumut pada jalur pendakian Cemoro Sewu Kawasan Gunung Lawu, Jawa Timur.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 – Maret 2013. Lokasi pengambilan sampel lumut adalah di sepanjang jalur pendakian Cemoro Sewu Gunung Lawu, Jawa Timur. Gunung Lawu merupakan gunung ketiga tertinggi di pulau Jawa yang termasuk pegunungan vulkanik tidak aktif dengan luas keseluruhan lebih dari 15.000 ha. Secara geografi gunung Lawu terletak pada posisi 111°15' BT dan 7°30' LS. Lereng barat termasuk Provinsi Jawa Tengah, meliputi Kabupaten Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri. Sedangkan lereng timur termasuk Provinsi Jawa Timur, meliputi Kabupaten Magetan dan Ngawi. Gunung ini memanjang dari utara ke selatan, dipisahkan oleh jalan raya penghubung Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan Cemoro Sewu sebagai dusun teratas. Topografi bagian utara berbentuk kerucut dengan puncak Argo Dumilah (3265 mdpl), sedangkan bagian selatan sangat kompleks terdiri dari bukit dan jurang dengan puncak Jabolarangan (2298 mdpl) (US Army Map Service 1963). Hutan di lereng barat dikelola Perum Perhutani KPH Surakarta (Unit I Jawa Tengah), sedangkan lereng timur dikelola KPH Lawu dan sekitarnya (Unit II Jawa Timur). Pos Cemoro Sewu berada di wilayah Jawa Timur dengan ketinggian 1922 mdpl dan berada pada posisi 07° 39' 872" LS dan 111° 11' 498" BT. Pendakian menuju puncak gunung ini melewati lima pos, yaitu pos I (2213 mdpl), II (2577 mdpl), III (2803 mdpl), IV (3078 mdpl), V (3103 mdpl), dan sampai puncak (3265 mdpl) dengan jarak 4,9 km dari pos Cemoro Sewu. Gunung Lawu merupakan gunung yang memiliki medan terbuka dan sedikit vegetasi, terutama setelah Pos V (3103 mdpl), medan terbuka hanya ditumbuhi oleh rerumputan dan semak, banyak dijumpai cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Setelah pos IV pepohonan mulai rendah dan harus menyusur punggungan dengan jalan berupa tanah mendatar dan di sisi kanan terdapat jurang. Vegetasi yang banyak dijumpai pada jalur ini antara lain vegetasi savana yang didominasi oleh tumbuhan edelweis (Anaphalis javanicus) dan cantigi (Vaccinium varingifolium).
3
Gambar 1 Peta Gunung Lawu, Jalur Cemoro Sewu (sumber: Googleearth.com 26 September 2012) Pengambilan Sampel Inventarisasi lumut dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sampel secara persuasif, yaitu sampel diambil pada lokasi yang dapat dijangkau di sepanjang jalur pendakian dari berbagai substrat (pohon, kayu lapuk, tanah, batuan). Setiap jenis lumut yang berbeda diambil untuk dibuat spesimen herbarium dan dilengkapi dengan data lapangan, seperti nomor koleksi, jenis substrat, tipe habitat (tebing, tepi jalan, hutan), dan memetakan titik pengambilan sampel dengan GPS (Global Positioning System). Identifikasi Sampel Sampel lumut diidentifikasi dengan membandingkan ciri-ciri morfologi lumut dengan kunci identifikasi lumut dari buku dan beberapa pustaka yang sesuai. Identifikasi lumut sejati acrocarp menggunakan A Handbook of Malesian Mosses Volume I, II, dan III (Eddy 1988, 1990, 1996), lumut sejati pleurocarp dengan menggunakan Bartram (1939), dan revisi atau monografi taksa tertentu. Identifikasi lumut hati dan lumut tanduk menggunakan buku identifikasi Guide to the Liverworts and Hornworts of Java (Gradstein 2011). Analisis Hasil Hasil identifikasi lumut dibuat tabel checklist keragaman taksa (Tabel 1) dan tabel checklist keragaman jenis (Lampiran 1). Beberapa gambar ciri dari lumut sejati disajikan dalam daftar gambar (Lampiran 2). Sebaran lumut dibuat peta dengan menggunakan software ArcGIS 9.3.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Taksa Keanekaragaman lumut yang ditemukan di jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu meliputi 85 jenis (34 suku, 56 marga), terdiri dari 55 jenis lumut sejati (17 suku, 35 marga), 28 jenis lumut hati berdaun (15 suku, 19 marga), satu jenis lumut hati bertalus, dan satu jenis lumut tanduk (Tabel 1). Daftar jenis, persebaran dan tipe substrat lumut disajikan dalam Lampiran 1. Lumut sejati di Jawa telah dilaporkan sebanyak 628 jenis (Tan dan Iwatsuki 1999) dan lumut hati dan lumut tanduk di Jawa telah dilaporkan sebanyak 607 jenis (Söderström et al. 2010). Lumut sejati di dunia saat ini diperkirakan mencapai 12700 jenis (Cox et al. 2010), lumut hati mencapai 7500 jenis (Von Konrat et al. 2010), dan lumut tanduk 200-250 jenis (Villareal et al. 2010). Tabel 1 Keanekaragaman lumut di jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu, Jawa Timur Suku Lumut sejati Bartramiaceae Bryaceae Buxbaumiaceae Calymperaceae Dicranaceae Funariaceae Grimmiaceae Hypnaceae Meteoriaceae Neckeraceae Orthotrichaceae Polytrichaceae Pottiaceae Pterobryaceae Rhizogoniaceae Sematophyllaceae Thuidiaceae Moss sp. 1 Jumlah
Jumlah marga
Jumlah jenis
1 4 1 1 7 2 1 1 1 1 2 2 6 1 1 2 1 1 35
1 8 1 1 19 3 2 1 1 1 2 4 6 1 1 2 1 1 55
Suku Lumut hati Adelanthaceae Aytoniaceae Cephaloziaceae Fossombroniaceae Frullaniaceae Herbertaceae Jungermanniaceae Lejeuneaceae Lepidoziaceae Mastigophoraceae Plagiochilaceae Pseudolepicoleaceae Scapaniaceae Schistochilaceae Solenostomaceae Lophocoleaceae Lumut tanduk Anthocerotaceae Jumlah
Jumlah marga
Jumlah jenis
1 1 1 1 1 1 1 4 1 1 1 1 2 1 1 1
1 1 1 1 6 2 1 5 1 1 1 1 2 1 3 1
1 21
1 30
Lumut Sejati (Bryophyta) Lumut sejati yang ditemukan di jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu sebanyak 55 jenis (17 suku, 35 marga). Lumut sejati terdiri atas lumut sejati acrocarp dan lumut sejati pleurocarp. Lumut sejati acrocarp ditemukan sebanyak 49 jenis (11 suku, 28 marga) dan lumut sejati pleurocarp ditemukan sebanyak tujuh jenis (enam suku, tujuh marga). Sebagai perbandingan, dilaporkan sebanyak 25 suku lumut sejati ditemukan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (Tan et al. 2006). Sebanyak 14 suku lumut sejati yang ditemukan di Jalur Cemoro Sewu Gunung Lawu (Bartramiaceae, Bryaceae, Calymperaceae,
5 Dicranaceae, Orthotrichaceae, Polytrichaceae, Pottiaceae, Hypnaceae, Meteoriaceae, Neckeraceae, Pterobryaceae, Rhizogoniaceae, Sematophyllaceae, Thuidiaceae) sama dengan yang dilaporkan oleh Tan et al. (2006), sedangkan tiga suku lainnya (Buxbaumiaceae, Funariaceae, Grimmiaceae) tidak ada dalam laporan Tan et al. (2006). Selain itu, di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) dilaporkan sebanyak 48 jenis lumut sejati (Bachri 2011) dan di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dilaporkan sebanyak 45 jenis (22 marga, 12 suku) (Suharti 2013). Sebanyak 13 suku lumut sejati Gunung Lawu sama dengan yang dilaporkan oleh Bachri (2011) di TNGMb, sedangkan empat suku lainnya (Buxbaumiaceae, Calymperaceae, Rhyzogoniaceae, Pterobryaceae) tidak ada dalam laporan Bachri (2011). Tiga suku (Barchytheciaceae, Fissidentaceae, Leucobryaceae) tidak ditemukan di Gunung Lawu, tetapi ketiga suku tersebut ditemukan di TNGMb (Bachri 2011) dan di TNGM (Suharti 2013). Dua suku dengan keanekaragaman tertinggi di Gunung Lawu adalah Dicranaceae (19 jenis, tujuh marga), dan Bryaceae (delapan jenis, empat marga). Suku tersebut juga dilaporkan Tan et al. (2006) sebagai suku dengan keanekaragaman tertinggi di TNGHS, oleh Bachri (2011) sebagai suku dengan keanekaragaman tertinggi di TNGMb, dan oleh Suharti (2013) sebagai suku dengan keanekaragaman tertinggi di TNGM. Hasil yang berbeda dilaporkan Gradstein et al. (2010), suku dengan jumlah jenis terbanyak di Gunung Patuha Bandung adalah Dicranaceae dan Hookeriaceae. Suku-suku tersebut merupakan suku yang umum ditemukan di pegunungan wilayah Malesiana. Enroth (1990) juga melaporkan bahwa suku Dicranaceae, Bryaceae, Fissidentaceae dan Meteoriaceae merupakan suku yang umum ditemukan pada zona pegunungan atas Semenanjung Huon Papua New Guinea. Tiga jenis lumut sejati anggota Dicranaceae dilaporkan sebagai lumut yang berperan dalam suksesi primer maupun sekunder. Funaria hygrometrica dan Ceratodon purpureus adalah contoh lumut yang dapat hidup setelah terjadinya kebakaran hutan (Gradstein et al. 2003). Campylopus exasperatus dan Funaria hygrometrica adalah lumut perintis yang ditemukan setelah terjadinya letusan gunung berapi (Miller 1959). Funaria hygrometrica ditemukan di TNGM pasca erupsi tahun 2010 (Suharti 2013). Ketiga jenis lumut tersebut ditemukan di Gunung Lawu yang merupakan gunung vulkanik yang sudah lama tidak aktif. Buxbaumia javanica dari suku Buxbaumiaceae merupakan lumut yang menurut catatan terakhir ditemukan di Gunung Gede, Jawa Barat (Eddy 1990). Buxbaumia javanica yang ditemukan di Gunung Lawu ini merupakan catatan kedua di Pulau Jawa. Lumut ini ditemukan tumbuh pada substrat berupa akar di ketinggian 3223 mdpl. Lumut ini dapat dikenali ketika sporofit sudah berkembang karena hanya terdiri atas seta dan kapsul besar yang muncul ke permukaan substrat (Gambar 2). Buxbaumia javanica merupakan lumut yang unik. Sporofit tumbuh langsung dari protonema, berbeda dengan jenis lumut sejati lainnya sporofit tumbuh dari gametofit. Catatan menunjukkan B. javanica merupakan lumut endemik Malesia yang tersebar luas tetapi jarang ditemui. Biasanya spesimen ditemukan terisolasi atau dalam koloni kecil, terutama di daerah pegunungan dengan ketinggian antara 2500-3500 mdpl (Eddy 1990).
6
Gambar 2 Buxbaumia javanica, (a-b) habitus (seta dan kapsul), (c) kapsul, (d) gigi peristom, (e) operkulum Lumut Hati (Marchantiophyta) Lumut Hati Berdaun Lumut hati berdaun yang ditemukan di jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu terdiri atas 28 jenis (15 suku, 19 marga). Lumut hati berdaun lebih banyak ditemukan pada substrat terestrial yaitu di batu dan pada zona pegunungan atas dengan ketinggian 2000-3000 mdpl. lumut hati berdaun dicirikan dari lembaran daun yang tipis dengan ketebalan satu sel, kecuali Fossombronia; tulang daun (costa) tidak ada; daun umumnya tersusun dalam tiga baris, terdiri atas dua baris daun lateral dan satu baris daun ventral (underleaves). Daun lateral ada yang sederhana (tidak memiliki lob ventral) (Gambar 3a-b), terbagi kedalam dua atau lebih lob (cuping) (Gambar 3c-d), dan terbagi menjadi lob dorsal dan lob ventral. Lob dorsal dan lob ventral memiliki ukuran yang berbeda, lob ventral biasanya lebih kecil dari lob dorsal sehingga disebut lobul (Gambar 4a-c), namun ada lob ventral yang lebih besar dari lob dorsal (Gambar 4d). Bentuk daun ventral ada yang membulat (Gambar 5a), persegi dengan ujung bergelombang (Gambar 5b), atau berbagi (Gambar 5c-d). Tidak semua jenis lumut hati berdaun memiliki daun ventral dan lobul. Lobul ditemukan pada ordo Porellales yang termasuk dalam kelompok lumut hati epifit seperti Frullaniaceae, Lejeuneaceae, Porellaceae, dan Radulaceae. Posisi dari daun lateral bisa incubous, succubous, atau transverse (Gambar 6).
Gambar 3 Keragaman tipe daun pada lumut hati berdaun, (a) daun sederhana dengan ujung rata pada Gottchelia schizopleura, (b) daun sederhana dengan ujung bergigi 3 pada Bazzania javanica, (c) daun sederhana dengan ujung terbagi menjadi dua bagian (lob) pada Blepharostoma trichopyllum, dan (d) daun sederhana dengan ujung terbagi 2-5 lob dan bergigi pada Chandonanthus hirtellus
7
Gambar 4 Tipe daun berlobul, lembaran daun terdiri atas lob (1) dan lobul (2), (a) Frullania sinuata dengan lobul seperti balon; (b) Acrolejeunea pycnoclada dengan lobul bergigi 3 dan terdapat keel yang panjang (3); (c) Cheilolejeunea trifaria dengan lobul bergigi 2 dan terdapat keel yang pendek; (d) Scapania javanica dengan lob dorsal (1) lebih kecil dari lob ventral (2)
Gambar 5 Tipe daun ventral, (a) berbentuk bulat dengan tepi rata pada Acrolejeunea pycnoclada, (b) berbentuk segi empat dengan tepi bergigi pada Bazzania javanica, (c) terbagi dua bagian (bilob) pada Frullania sinuata, (d) terbagi dua dengan ukuran dan bentuk sama dengan daun lateral pada Herbertus armitanus
Gambar 6 Tipe susunan daun lateral, (a) succubous pada Hattoriela subcrispa, (b), transverse pada Herbertus armitanus, (c) incubous pada Bazzania javanica Frullaniaceae merupakan lumut dengan keanekaragaman tertinggi dalam penelitian ini (6 jenis). Jenis yang ditemukan adalah Frullania campanulata, F. gracilis, F. sinuata, F. tamarisci, F. ternatensis, dan F. trichodes. Frullaniaceae umumnya hidup secara epifit pada pohon (Gradstein 2011). Frullania yang ditemukan dalam penelitian ini sebanyak dua jenis hidup pada substrat batu, yaitu F. sinuata dan F. ternatensis. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pohon sebagai substrat bagi Frullania, sehingga beberapa jenis beradaptasi dengan substrat batu yang banyak tersedia di lokasi penelitian.
8 Tujuh jenis lumut hati berdaun (enam marga, lima suku) dilaporkan dijumpai di TNGMb (Bachri 2011). Bila hasil penelitian di Gunung Merbabu dibandingkan dengan hasil penelitian di Gunung Lawu, terdapat keanekaragaman yang lebih tinggi di Gunung Lawu. Hal ini kemungkinan terjadi karena Gunung Merbabu sering terjadi kebakaran sehingga vegetasi menjadi tidak stabil (Bachri 2012). sedangkan Gunung Lawu memiliki vegetasi hutan yang cukup stabil karena tidak adanya aktifitas vulkanik dalam jangka panjang (Setyawan 2001). Lumut Hati Bertalus
Gambar 7 Reboulia hemisphaerica, (a) habitus, (b) tepi talus, (c) sisik ventral, (d) apendiks, (e) talus dan reseptakel betina, (f) involukrum Lumut hati bertalus yang ditemukan di Gunung Lawu meliputi satu jenis, yaitu Reboulia hemisphaerica yang tumbuh pada substrat batu di ketinggian 2315 mdpl dan 2431 mdpl. Reboulia dari suku Aytoniaceae, merupakan lumut hati dengan talus menggarpu (dikotom), permukaan atas memiliki pori besar dan bagian bawah memiliki jaringan yang menyerupai spons (spongy). Talus R. hemisphaerica berwarna hijau dengan tepi talus berwarna ungu (Gambar 7a-b), berukuran sedang (panjang ± 8 mm), tebal (9-10 sel). Midrib tidak terlihat dengan jelas; sisik ventral kecil, tidak bertumpuk, tersusun dua baris (Gambar 7c). Sisik ventral meruncing hingga berbentuk bulat telur yang besar, berukuran lebar 0.5 mm, memiliki dua apendiks seperti pita (Gambar 7d). Talus tanpa gemma cup, sporofit terdapat pada reseptakel (Gambar 7e). reseptakel berbentuk kerucut dengan permukaan yang kasar, pada bagian bawah reseptakel betina terdapat 4-5 involukrum berisi sporangium (Gambar 7f). Reboulia hemisphaerica tersebar luas di wilayah beriklim sedang dan hangat di daerah pegunungan, tetapi tidak dijumpai pada ketinggian di atas 2500 mdpl. Lumut ini biasanya dijumpai pada substrat tanah dan batu (Dubayle et al. 1998). Wilayah persebarannya adalah Afrika, Amerika Selatan, Eropa, Asia, dan Australia. Reboulia di Asia ditemukan di Himalaya Timur, Himalaya Barat, India Selatan, India Barat, dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Borneo) (Asthana dan Sahu 2013).
9 Lumut hati bertalus di Pulau Jawa dilaporkan sebanyak 30 spesies dengan enam suku (Aytoniaceae, Cyathodiaceae, Marchantiaceae, Ricciaceae, Targioniaceae, Wiesnerellaceae) dan delapan genus (Asterella, Reboulia, Cyathodium, Dumortiera, Marchantia, Ricciocarpus, Targionia, Wiesnerella) (Gradstein 2011). Marchantiaceae dan Ricciaceae merupakan lumut yang umum ditemukan di Pulau Jawa. Suku Aytoniaceae merupakan lumut hati bertalus yang ditemukan pada penelitian ini yaitu Reboulia hemisphaerica. Suku ini juga dilaporkan ditemukan di TNGMb yaitu Asterella limbata (Bachri 2011).
Lumut Tanduk (Anthocerophyta) Lumut tanduk yang ditemukan adalah Phaeoceros laevis (Anthocerotaceae). Lumut ini hidup pada substrat batu lembap pada ketinggian 2236 mdpl. Jenis P. laevis (Gambar 8) mudah dikenali dengan gametofit bertalus, sporofit silindris panjang dengan ujungnya terlihat kekuningan, dan spora berwarna kuning. Lumut tanduk di Pulau Jawa ada tiga suku, yaitu Notothyladaceae (Notothylas), Anthocerotaceae (Anthoceros, Folioceros, Phaeoceros), dan Dendrocerotaceae (Dendroceros, Megaceros, Paraphymatoceros) (Gradstein 2011).
Gambar 8 Phaeoceros laevis, (a) habitus, (b) talus, (c) spora Lumut tanduk membutuhkan substrat yang lembap sebagai media tumbuhnya. Gunung Lawu merupakan gunung yang berada di kawasan yang lebih kering daripada kawasan di Jawa Barat dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun (Satyatama 2008). Oleh karena itu, kawasan ini kurang mendukung bagi tumbuhnya lumut tanduk. Phaeoceros laevis merupakan satu-satunya lumut tanduk yang ditemukan di Gunung Lawu (jalur pendakian Cemoro Sewu). Lumut ini juga merupakan satu-satunya lumut tanduk yang ditemukan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) (Bachri 2011). Sebaran Lumut Berdasarkan Tipe Substrat Keanekaragaman lumut dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tipe substrat. Kolonisasi lumut dipengaruhi oleh keberadaan substrat untuk tumbuh. Dalam Penelitian ini dilaporkan lebih banyak lumut yang ditemukan tumbuh terestrial pada substrat batu, tanah, serasah, dan akar daripada arboreal pada substrat pohon. Sebagian besar lumut yang ditemukan pada substrat terestrial adalah lumut sejati dan sebagian kecil lumut hati. Lumut di TNGMb juga dilaporkan sebagian besar lumut yang ditemukan pada substrat terestrial adalah lumut sejati (Bachri 2011).
10
45 39
40
Jumlah Spesies
35 30
25 20 15
11 12
14
12
10
5
5
2
1 1
2 1
0 Pohon Lumut sejati
Batu Lumut hati berdaun
Tanah
Sampah
Lumut hati bertalus
Akar lumut tanduk
Gambar 9 Sebaran jumlah jenis lumut sejati, lumut hati, dan lumut tanduk berdasarkan tipe substrat Sebanyak 39 jenis lumut sejati ditemukan pada batu, 11 jenis pada tanah, dua jenis pada serasah, dan dua jenis pada akar. Sebanyak 14 jenis Lumut hati berdaun ditemukan pada batu, lima jenis pada tanah, dan satu jenis pada akar. Lumut hati bertalus dan lumut tanduk hanya ditemukan pada batu dan tidak dijumpai pada substrat lainnya. Lumut yang ditemukan arboreal adalah lumut sejati (11 jenis) dan lumut hati berdaun (12 jenis) (Gambar 9). Ada beberapa lumut yang hidup terestrial maupun arboreal, yaitu Rhodobryum ontariense, Leucoloma celebesiae, Racomitrium lanuginosum, Orthotrichum hooglandii, Pogonatum neesii, Leptodontium flexifolium, dan Homaliodendron flabellatum.
Gambar 10 Tipe habitat lumut pada jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu, (a-b) zona sub alpin, (c-d) zona pegunungan atas
11 Lumut terestrial yang dijumpai banyak ditemukan pada substrat batu. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya substrat batu yang tidak tertutup oleh serasah atau tanah. Gunung Lawu (Jalur Cemoro Sewu) merupakan habitat yang didominasi oleh batuan dan kurang pepohonan (Gambar 10). Selain itu, tanah juga merupakan substrat yang sulit dijumpai pada jalur pendakian (2213-3265 mdpl) karena lebih banyak tertutup batu.
Sebaran Lumut Berdasarkan Ketinggian Penelitian di Gunung Lawu dilakukan pada zona pegunungan atas dan zona sub alpin (2213-3265 mdpl). Zona pegunungan bawah tidak menjadi objek penelitian karena pada zona tersebut terdapat perkebunan wortel milik masyarakat setempat (Dusun Cemoro Sewu). Sebaran lumut di jalur Pendakian Cemoro Sewu, sebagian besar lumut hati ditemukan pada zona pegunungan atas, sedangkan lumut sejati tersebar merata pada kedua zona pengamatan. Lumut tanduk dan lumut hati bertalus hanya ditemukan pada zona pegunungan atas. Lumut hati memiliki keanekaragaman lebih tinggi pada zona pegunungan atas daripada zona sub alpin (Gambar 11). Hal ini dapat terjadi karena pada zona sub alpin sudah tidak ditemukan pohon, hanya berupa semak (cantigi, edelweis) dan rerumputan, sedangkan lumut hati merupakan lumut yang umumnya hidup secara epifit. Selain itu, intensitas cahaya matahari cukup tinggi pada zona sub alpin. Paparan sinar matahari yang tinggi menyebabkan kerusakan pada klorofil sehingga beberapa jenis lumut hati tidak mampu beradaptasi (Glime 2007). 35
33
33
Jumlah Spesies
30 23
25
20 13
15 10
5
1
1
0
Zona peg. atas (2000-3000 mdpl) Lumut sejati
Lumut hati berdaun
Zona sub alpin (3000-3265 mdpl) Lumut hati bertalus
Lumut tanduk
Gambar 11 Sebaran jumlah jenis lumut sejati, lumut hati, dan lumut tanduk berdasarkan ketinggian Keanekaragaman lumut sejati merata pada zona pegunungan atas dan zona sub alpin. Ada beberapa jenis lumut yang ditemukan pada kedua zona, yaitu Bryum apiculatum, B. leucophyllum, Campylopus crispifolius, Ceratodon purpureus, Racomitrium lanuginosum, Orthotrichum hooglandii, dan Pogonatum neesii (Gambar 12). Jenis-jenis lumut tersebut merupakan lumut yang ditemukan pada daerah yang tinggi (2500-3500 mdpl) (Eddy 1988; Eddy 1990; Eddy 1996).
12
Gambar 12 Peta sebaran lumut sejati, lumut hati, dan lumut tanduk di Gunung Lawu
13
SIMPULAN Keanekaragaman jenis lumut yang ditemukan di jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu meliputi 85 jenis (34 suku, 56 marga), terdiri atas 55 jenis lumut sejati (17 suku, 35 marga), 28 jenis lumut hati berdaun (15 suku, 19 marga), satu jenis lumut hati bertalus, dan satu jenis lumut tanduk. Lumut sejati yang memiliki keanekaragaman tertinggi di Gunung Lawu adalah Dicranaceae (19 jenis, tujuh marga). Lumut hati yang memiliki keanekaragaman tertinggi adalah suku Frullaniaceae, ditemukan sebanyak enam jenis. Berdasarkan tipe substrat lumut banyak dijumpai tumbuh terestrial pada substrat batuan. Berdasarkan ketinggian, lumut sejati tersebar merata pada zona pegunungan atas (2000-3000 mdpl) dan zona sub alpin (3000-3265 mdpl). Lumut hati lebih banyak ditemukan pada zona pegunungan atas daripada zona sub alpin.
DAFTAR PUSTAKA Acebey C, Gradstein SR, Krömer T. 2003. Species richness and habitat diversification of bryophytes in submontane rain forest and fallows in Bolivia. J Trop Ecol 18:1-16. Asthana AK, Sahu V. 2013. Bryophyte diversity in Mukteshwar (Uttarakhand): an overview. Archive for Bryology 154: 1-11. Akmal H. 2012. Diversitas lumut epifit di perkebunan teh di Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Apriana D. 2010. Keanekaragaman dan kemelimpahan lumut hati epifit di Kebun Raya Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Ariyanti NS, Sulistijorini. 2009. Contrasting arboreal and terestrial Bryophytes communities of Mount Halimun Salak National Park, West Java. Biotropia vol. 18(2): 81-93). Bachri S. 2012. Keanekaragaman lumut di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bartram EB. 1939. The Philippine Journal of Science. Vol.68. Manila (TH): Bureau of Printing. Cox CJ, Goffinet B, Wickett NJ, Boles SB, Shaw AJ. 2010. Moss diversity: A molecular phylogenetic analysis of genera. Phytotaxa 9: 175-195. Crites S, Dale MRT. 1998. The moss flora of Sinop and its environs (Ayancik, Boyabat, Gerze). Turki J Bot 76:641-651. Delucia EH, Turnbull MH, Walcroft AS, Griffin KL, Tissue DT, Glenny D, McSeveny TM, dan Whitehead D. 2003. The contribution of bryophytes to the carbon exchange for a temperate rainforest. Global Change Biol 9: 1158-1170. Dubayle MCB, Lambourdiere J, Bischler H. 1998. Taxa delimitation in Reboulia investigated with morphological, cytological, and isoenzym markers. The Bryologist vol.101(1): 61-69. Eddy A. 1988. A Handbook of Malesian Mosses. Vol. 1. Spaghnales to Dicranales. London (GB): British Museum (Natural History).
14 Eddy A. 1990. A Handbook of Malesian Mosses. Vol. 2, Leucobryaceae to Buxbaumiaceae. London (GB): The Natural History Museum. Eddy A. 1996. A Handbook of Malesian Mosses. Vol. 3, Splachnobryaceae to Leptostomaceae. London (GB): The Natural History Museum. Enroth J, 1990. Altitudinal zonation of Bryophytes on the Huon Peninsula, Papua New Guinea. A floristic approach, with phytogeographic consideration. Trop Bryo 2: 61-90. Fleischer M. 1902. Die musci der flora von Butenzorg. Vol 1 Leiden: Buchandung und Druckerei. Frego KA. 2007. Bryophytes as potential indicators of forest integrity. Forest Ecol Manag 242:65-67. Glime JM. 2007. Bryophyte Ecology. Volume 1. Physiologycal Ecology. Ebook sponsored by Michigan Technological University and the International Association of Bryologists. http://www.bryoecol.mtu.edu. Gradstein SR, Nalini Mn, Krömer T, Holz I, Noske N. 2003. A protocol for rapid and representative sampling of vascular and non vascular ephyphyte diversity of tropical rain forest. Selbyana 24(1): 105-111. Gradstein SR, Culmsee H. 2010. Bryophyte diversity on tree trunks in montane forests of Central Sulawesi, Indonesia. Trop Bryol 31: 95-105. Gradstein et al. 2010. Bryophytes of Mount Patuha, West Java, Indonesia. Reindwartia 13:103-117. Gradstein SR. 2011. Guide to the Liverworts and Hornworts of Java. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP. Hofstede RGM, Wolf J, Benzing DH. 1994. Epiphytic biomass and nutrient status of a Colombian upper montane rain forest. Selbyana 14:37-45. Hölscher D, Köhler L, Van DA, Bruijinzeel S. 2004. The importance of epiphytes to total rainfall interception by a tropical montane rain forest in Costa Rica. J Hydrol 292:308-322. IUCN [International Union for Conservation of Nature]. 2008. Pacific Island Red List for plants, appendix 2 plants of the Pacific Island listed in the 2008 red list. Switzerland and Cambridge (UK): IUCN Species Survival Commission, Gland. Juanita N. 2010. Lumut sejati epifit pada pangkal pohon di Kebun Raya Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Lampiran peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta (ID): Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Miller HA. 1959. Remarks on the succession of Bryophytes on Hawaian lava flows: Bryophytes on lava flows. NSF Grant G7115 14:246-247. Musyarofah. 2013. Keanekaragaman lumut hati dan lumut tanduk pasca erupsi Merapi di Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta [skripsi]. Bogor (ID): Biologi, FMIPA-IPB. Nishiyama T et al. 2004. Chloroplast phylogeny indicates that bryophytes are monophyletic. Mol Biol Evol 21: 1813-1819. Ohta Y, Anderson NH, Liu CB. 1977. Sequiterpene constituents of two liverworts genus Diplophyllum. Novel eudesmanolides and cytotoxicity studies for enantiomeric methylene lactones. Tetrahedron 33:617-628.
15 Oliveira JRPM, Porto KC, Silva MPP. 2011. Richness preservation in a fragmented landscape: a study of epiphytic bryophytes in an Atlantic forest remnant in Northeast Brazil. Journal of Biology vol. 33(4): 279-290. Putrika A. 2012. Komunitas lumut epifit di Kampus Universitas Indonesia, Depok [tesis]. Depok (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Satyatama T. 2008. Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis [tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Setyawan AD. 2001. Potensi Gunung Lawu sebagai taman nasional. Biodiversitas vol. 2(2):163-168. Söderström L, Gradstein SR, and Hagborg A. 2010. Checklist of the hornworts and liverworts of Java. Phytotaxa 9:53-149. Suharti. 2013. Keanekaragaman lumut sejati pasca erupsi Merapi di Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta [skripsi]. Bogor (ID): Biologi, FMIPA-IPB. Tan BC, Iwatsuki Z. 1999. Four hot spots of moss diversity in Malesia. Bryobrothera 5:247-252. Tan BC et al. 2006. Mosses of Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Reindwartia. 12: 205-214. US Army Map Services. 1963. Sheet 5220 III (Karangpandan) & Sheet 5219 IV (Djurnapolo). Series T725. Edition 1-AMS (FE/Far East). Villarreal JC, Christine Cargill DC, Hagborg A, Söderström L, Renzaglia KS. 2010. A synthesis of hornwort diversity: Patterns, causes and future work. Phytotaxa 9: 150-166. Von Konnrat M et al. 2010. Early Land plants Today (ELPT): How many liverwort species are there? Phytotaxa 9:22-40. Wahyuni I. 2010. Lumut terestrial dan ganggang asosiasinya di Kebun Raya Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Whitmore TC. 1984. Tropical rain forest of the Far East. Oxford (DE): Clarendon press.
16
LAMPIRAN Lampiran 1 Keanekaragaman lumut di jalur pendakian Cemoro Sewu, Gunung Lawu Jawa Timur Suku
Lumut sejati acrocarp Bartramiaceae Bartramia aurescens Bryaceae Bryum apiculatum B. argenteum B. bicolor B. clavatum B. leucophyllum Brachymenium bryoides Pohlia flexuosa Rhodobryum ontariense Buxbaumiaceae Buxbaumia javanica Calymperaceae Syrrhopodon subulatus Dicranaceae Braunfelsia enervis Braunfelsia plicata Brothera leana Campylopus aureus C. austrosubulatus C. crispifolius C. comosus C. exasperatus var. Exasperatus C. hemitrichius C. involutus C. micholitzii C. umbelatus C. zollingerianus Ceratodon purpureus Dicranella brasiliensis D. coarctata Ditrichum flexicaule Leucoloma celebesiae L. mittenii Funariaceae Entostodon buseanus E. mittenii Funaria hygrometrica Grimmiaceae Racomitrium lanuginosum Racomitrium subsecundum Orthotrichaceae Macromitrium microstomum Orthotrichum hooglandii Polytrichaceae Pogonatum cirratum P.microstomum P. neesii Oligotrichum javanicum Pottiaceae Anoectangium subclarum Barbula louisiadum Hymenostylium recurvirastum Leptodontium flexifolium Trichostomum brachydontium Weissia controversa Rhizogoniaceae Pyrrhobryum latifolium
Ketinggian (mdpl)
Substrat
Jenis
3000-3265 Sub Alpin
No. Koleksi
Arboreal
Terestrial
2000-3000 Peg. Atas
─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ √ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
─ √ ─ ─ ─ √ ─ √ √ ─ √ ─ √ ─ ─ ─ √ √
√ √ √ √ √ √ √ ─ ─ √ ─ √ ─ √ √ √ √ ─
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18
─
√
√
─
R19
─ ─ ─ ─ √ ─ ─ ─ ─ √ ─ ─ ─ ─ √ ─ √ √ ─ ─ √ ─ ─ ─
√ √ √ √ ─ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ ─ √ √ √ √ √ √ √
─ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ ─ ─ ─ √ ─ √ √ √ ─ √ √ √ √
√ ─ ─ ─ ─ √ ─ ─ ─ ─ ─ √ √ √ √ √ √ √ ─ √ √ ─ ─ ─
R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 R29 R30 R31 R32 R33 R34 R35 R36 R37 R38 R39 R40 R41 R42 R43
√
─
√
─
R44
√
√
─
√
R45
─
√
─
√
R46
─ √
√ ─
─ √
√ ─
R47 R48
17 Lumut sejati pleurocarp Hypnaceae Stereodontopsis flagellifera Meteoriaceae Meteoriopsis squarrosa Neckeraceae Homaliodendron flabellatum Pterobryaceae Jaegerina luzonensis Sematophyllaceae Rhapidostichum piliferum Trismegistia calderensis Thuidiaceae Thuidium assimile Moss sp. 1
─ ─ √ ─ ─ ─ ─ ─
√ √ √ √ √ √ √ √
─ √ √ ─ √ √ ─ ─
√ ─ ─ √ ─ ─ √ √
R49 R50 R51 R52 R53 R54 R55 R56
Jamesoniella flexicaulis Cephalozia hamatiloba Fossombronia himalayensis Frullania campanulata F.gracilis F. sinuata F. tamarisci F. ternatensis F. trichodes Herbertus armitanus H. dicranus Hattoriella subcrispa Acrolejeunea pycnoclada A. tjibodensis Cheilolejeunea trifaria Metalejaunea cuculata Schiffneriolejeunea tumida Bazzania javanica Heteroscyphus suculentus Mastigophora sp. Pedinophyllum autoicum Blepharostoma trichophyllum Chandonanthus hirtellus Scapania javanica
─ ─ ─ √ √ ─ √ ─ √ ─ √ ─ √ √ √ √ √ ─ ─ ─ √
√ √ √ ─ ─ √ ─ √ ─ √ ─ √ ─ ─ ─ ─ ─ √ √ √ ─
√ ─ ─ ─ √ √ √ √ √ √ √ ─ √ √ √ √ √ ─ √ √ ─
─ √ √ √ ─ ─ ─ ─ ─ ─ √ √ ─ ─ ─ ─ ─ √ ─ ─ √
R57 R58 R59 R60 R61 R62 R63 R64 R65 R66 R67 R68 R69 R70 R71 R72 R73 R74 R75 R76 R77
─
√
√
─
R78
√ ─
─ √
√ √
√ √
R79 R80
Schistochilaceae
Gottschelia schizopleura
─
√
√
√
R81
Solenostomaceae
Solenostoma baueri
─
√
─
√
R82
S. javanicum
─
√
√
─
R83
S. strictum
─
√
√
─
R84
Lumut hati bertalus Aytoniaceae Lumut tanduk
Reboulia hemisphaerica
─
√
√
─
R85
Anthocerotaceae
Phaeoceros laevis
─
√
√
─
R86
23
70
56
42
86
Lumut hati berdaun Adelanthaceae Cephaloziaceae Fossombroniaceae Frullaniaceae
Herbertaceae Jungermanniaceae Lejeuneaceae
Lepidoziaceae Lophocoleaceae Mastigophoraceae Plagiochilaceae Pseudolepicoleaceae Scapaniaceae
Jumlah
18 Lampiran 2 Gambar beberapa sayatan melintang berbagai bentuk daun, kapsul, dan kaliptra lumut sejati
a. Sayatan melintang daun Oligotrichum javanicum, daun berlamela pada bagian adaksial dan abaksial
b. Sayatan melintang daun Pogonatum neesii, daun berlamela pada bagian adaksial
c. Sayatan melintang daun d. Sayatan melintang daun Pyrrobryum Campylopus ustrosubulatus, latifolium, daun tidak berlamela daun tidak berlamela dengan dengan tulang daun sempit tulang daun sangat lebar
e. Bentuk kapsul pyriform pada Funaria hygrometrica
f. Bentuk kapsul Entostodon mittenii
globose
pada
19
g. Bentuk kapsul strumose pada h. Bentuk kapsul ovoid, seta pendulous Brachymenium bryoides pada Bryum apiculatum
i. Bentuk kaliptra berlob dibagian basal (mitrate) pada Orthotricum hooglandii
j. Bentuk kaliptra seperti paruh (rostrate) dengan serabut halus dibagian basal pada Macromitrium microstomum
20
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Komari dan Siti Suprihatin. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN 024 Pangkalan Kerinci, lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Pangkalan Kerinci lulus pada tahun 2004, dilanjutkan ke SMA Negeri 1 Lubuk Dalam (SMA Negeri 9 Siak) dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Siak sebagai mahasiswa Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota perkumpulan mahasiswa pencinta alam IPB, yaitu LAWALATA-IPB. Pada tahun 2010, penulis melaksanakan Studi Lapangan di Pangandaran-Ciamis, Jawa Barat dengan judul “Lumut Epifit di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat”. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di LSM Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) di Situ Gede-Bogor, Jawa Barat dengan judul “Mempelajari peran LSM Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) dalam Upaya Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan”. Pada tahun 2012 penulis menjadi asisten lapangan untuk Studi Lapangan dengan topik Paku Pohon di Gunung Gede Jawa Barat. Pada tahun 2013 penulis mengikuti Pelatihan Pemetaan Partisipatif Kebencanaan yang dilakukan oleh Badan Informatika dan Geospasial (BIG) di Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.