ON THE GROUND TEAM EMPLOYMENT AS A MODEL FOR CAPACITY BUILDING AND ADOPTION IN BALI CATTLE MANAGEMENT TECHNOLGY PENEMPATAN FASILITATOR SEBAGAI MODEL PENGUATAN KAPASITAS DAN ADOPSI TEKNOLOGI PENGELOLAAN SAPI BALI Rusnadi Padjung dan Rachmat Rachman Fakultas Petanian Universitas Hasanuddin Balai Pengakajian dan Penerapan Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRACT Pengusahaan ternak di Indonesia, termasuk pengelolaan sapi Bali umumnya dilakukan oleh masyarakat dalam suatu sistem pertanian terpadu yang mengintegrasikan pengusahaan ternak dan tanaman. Karena itu sistem pengelolaan ternak di masyarakat merupakan sistem yang kompleks. Selain itu, sumberdaya yang ada dipakai secara bersama untuk pengelolaan ternak dan untuk pengelolaan tanaman. Berhubung karena jenis dan jumlah sumberdaya yang dimiliki khas pada setiap rumah tangga petani, maka masalah dan teknologi pengelolaan usaha tani yang tepat bagi setiap rumah tangga petani juga khas. Penguatan kapasitas petani dan deseminasi teknologi secara konvensional melalaui penyuluhan nampaknya kurang tepat diterapkan pada sistem usaha tani seperti ini. Cara lain yang dapat dilakukan adalah melalui penempatan pendamping atau fasilitator di lapangan yang hidup dan bekerja bersama petani dalam mengidentifikasi masalah yang dimiliki oleh setiap keluarga petani dan selanjutnya bersama-sama menentukan teknologi yang tepat untuk masalah tersebut. Makalah ini menunjukkan bagaimana efektivitas penguatan kapasitas petani dan diseminasi teknologi pengelolaan sapi Bali dilakukan melalui penempatan fasilitator pendamping di Sulawesi Selatan dalam program penguatan kapasitas pengetahuan dan adopsi teknologi peningkatan produksi sapi Bali. Kata Kunci Sapi Bali, Penguatan Kapasitas, Adopsi Teknologi, Fasilitator.
PENDAHULUAN Di Indonesia, sapi Bali umumnya diusahakan oleh masyarakat, bukan oleh perusahaan. Pengelolaan sapi Bali oleh masyarakat umumnya dilakukan dalam sistem usahatani terpadu yang megkombinasikan antara ternak dan tanaman. Ternak yang diusahakan, tidak hanya sapi tetapi juga ternak lain seperti ayam, itik, dan semacamnya. Demikian juga tanaman yang diusahakan dapat bervariasi dari tanaman setahun (padi, palawija dan sayuran) yang ditanam di sawah, pekarangan dan lahan kering, hingga tanaman tahunan (kelapa, kakao, mete, dll) yang ditanam di kebun. Kombinasi jenis tanaman dan ternak khas untuk setiap rumah tangga, sesuai dengan kekhasan sumberdaya dan teknostruktur yang dimiliki setiap keluarga petani.
1
Pengelolaan ternak dan tanaman menggunakan sumberdaya yang sama, seperti sumberdaya lahan, alat produksi, modal, dan tenaga kerja, dengan pergiliran secara temporal dan spasial. Karena itu sistem pengelolaan ternak sapi berada dalam suatu sistem usaha tani ternbaktanaman yang kompleks. Setiap usaha perbaikan teknologi pengelolaan sapi Bali dalam sistem yang demikian pasti mempengaruhi bagian sistem yang lainnya. Karena itu pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi dan perubahan teknologi tidak serta merta dapat dilakukan oleh petani karena perlu mempertimbangkan berbagai hal, termasuk alokasi pemanfaatan sumberdaya dan dampak suatu perubahan terhadap pengusahaan komoditas (ternak dan tanaman) lainnya. Jenis dan jumlah sumberdaya yang dimiliki oleh setiap keluarga petani juga khas, seperti luas dan jumlah lokasi lahan sawah, ada atau tidaknya fasilitas irigasi pada lahan sawah yang dimiliki, luas dan penyebaran lahan kering dan kebun, jumlah anggota keluarga yang dapat bekerja dalam usaha tani, modal yang dapat disediakan, jenis dan jumlah alat dan mesin pertanian yang dimiliki. Dengan keunikan kombinasi jumlah dan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap rumah tangga petani tersebut, maka masalah yang dimiliki oleh setiap rumah tangga petani juga khas dan unik. Dengan demikian teknologi pengelolaan sapi Bali juga khas dan unik bagi setiap rumah tangga petani. Keunikan masalah dan alternatif pemecahan masalah yang dimiki setiap rumah tangga petani tidak memungkinkan dilakukannya teknik penguatan kapasitas melalui penyuluhan secara konvensional yang mengandalkan komunikasi satu arah. Perlu ada petugas yang mendampingi setiap individu petani untuk secara bersama menemukenali masalahnya dan selanjutnya juga secara bersama menentukan aleternatif solusinya sesuai dengan teknologi yang tersedia, baik yang diintroduksi dari luar maupun yang dikembangkan dari teknologi yang ada di lokasi, dan selanjutnya sama-sama menguji coba solusi tersebut. Pengalaman juga menunjukkan bahwa meskipun pada sistem usaha tani yang sederhana, usaha tani padi misalnya, introduksi teknologi melalui penyuluhan memerlukan waktu yang panjang untuk dapat diadopsi oleh petani. Dalam program intensifikasi padi, meskipun skema penyuluhan telah didesain sedemikian rupa, misalnya dengan skema satu PPL untuk 16 kelompok tani yang dikunjungi secara berkala, dan ditopang oleh plot demonstrasi (demplot) dan ‘field day’, program panca usaha tani nyatanya memerlukan waktu lama untuk dapat diadopsi secara menyeluruh. Dari hasil evaluasi terhadap program Sekolah Lapang-Penggerek Buah Kakao (FFS-CPB Farmer Field School-Cocoa Pod Borer), Padjung, dkk (2002) menemukan bahwa adopsi teknologi pengendalian penggrek buah kakao melalui SL-PBK belum berlangsung secara menyeluruh, bahkan beberapa petani menghentikan penerapan teknologi dimaksud setelah menjalankannya beberapa bulan, meskipun SL-PBK dilakukan secara intensif dengan 16 kali pertemuan selama 16 minggu (pertemuan sekali seminggu). Padjung, dkk (2002) selanjutnya menyimpulkan bahwa adopsi teknologi lebih mudah terjadi jika didahului dengan pengenalan 2
masalah sosial budaya petani dan diikuti pendampingan dan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, pada Program Pengembangan Kapasitas Adopsi dan Pengetahuan tentang Teknologi Perbaikan Pengelolaan Sapi Bali di Sulawesi Selatan, yang dilakukan di bawah payung program SADI (Smallholders Agribussiness Development Initiatives) pendekatan pendampingan petani dan pemberdayaan masyarakat ditempuh. Pada setiap desa dampingan, ditempatkan satu fasilitator (On The Ground Team = OGT). Program dilaksanakan di tiga kabupaten, yaitu masing-masing di kabupaten Gowa, Baru dan Bone, di mana terdapat 4 desa setiap kabuapaten sehingga seluruhnya ditempatkan 12 fasilitator (OGT) yang mendampingi 12 desa. Gambaran Umum tentang Pengelolaan Sapi di Sulawesi Selatan Padjung dan Natsir (2005) melaporkan bahwa sekitar 90% populasi sapi di Sulawesi Selatan merupakan sapi Bali dengan populasi sekitar 650.000 ekor. Sentra produksi utama sapi Bali adalah kabupaten Bone, Barru, Enrekang, Sidrap, Gowa, Sinjai, dan Bulukumba. Peternakan sapi Bali hampir seluruhnya diusahakan oleh masyarakat petani yang diintegrasikan dengan pengusahaan tanaman. Setiap petani memiliki rata-rata 2-3 ekor. Di Barru, Enfrekang dan Gowa sejumlah petani membentuk kelompok dan secara bersama-sama memelihara sapi Bali dalam skala yang lebih besar, hingga 30 ekor. Sekitar 70-80% sapi yang diperdagangkan di SulSel adalah untuk dipotong lokal, dan sebahagian kecil sisanya untuk penggemukan. Sapi-sapi yang melewati fase penggemukan tersebut selanjutnya diantar-pulaukan, umumnya ke Kalimantan, dan dijual langsung ke Makassar untuk memenuhi kebeutuhan akan daging. Tingkat pemotongan sapi berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir ini yang mengancam kebelanjutan penyediaan sapi potong yang berkualitas. Hal ini juga membawa konsekuensi pada meningkatnya kebutuhan terhadap teknologi peningkatan produksi (populasi dan berat badan). Masalah umum pengembangan Sapi Bali di Sulawesi Selatan meliputi ketersediaan pakan yang berkualitas terutama pada musim kemarau, interval kelahiran, kesehatan ternak, ketersediaan modal, pemasaran dan tenaga kerja. Karena peternakan sapi Bali diusahakan dalam sistem usaha tani terpadu, maka penyelesaian masalah tersebut menjadi kompleks. Penyediaan pakan melalui introduksi hijauan baru misalnya, bisa jadi akan mengorbankan lahan yang selama ini diusahakan untuk tanaman. Tetapi sebaliknya bisa juga terjadi, yaitu petani memiliki waktu yang lebih luang untuk bekerja pada tanamannya akibat introduksi hijauan baru di lokasi yang lebih mudah dan lebih cepat dijangkau, misalnya di pekarangan. Sebaliknya, introduksi hijauan baru tidak perlu dilakukan karena ada hijauan (misalnya rumput gajah) yang selama ini belum dikelola dengan baik, atau terdapat sisa tanaman seperti jerami kacang tanah yang belum dimanfaatkan karena belum diketahui cara penyimpanan dan penyediaannya.
3
Masalah ketersediaan pakan berkualitas, interval kelahiran, kesehatan ternak dan tenaga kerja tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, penyeleksian masalah itu dapat dimulai dari penyediaan pakan berkualitas. Pakan yang cukup dan berkualitas dapat dengan mudah diikuti dengan pengaturan waktu perkawinan, peningkatan kelahiran, dan perbaikan pengelolaan ternak secara keseluruhan. Sejatinya, masalah-masalah tersebut diatas tidaklah baru, dan penyelesain teknisnya jelas, meskipun belum semunya bisa dipraktekkan secara langsung di Sulawesi Selatan. Sejumlah penelitian dan pelatihan sebenarnya telah dilakukan untuk menjawab masalah-masalah tersebut, meskipun hasilnya belum signifikan. Seperti halnya pada kasus SL-PBK yang disebutkan di atas, belum diperolehnya hasil yang nyata dari sejumlah usaha penelitian dan penyuluhan tersebut dikarenakan karena penyelessaian masalah yang ditawarkan sangat bersifat teknis tanpa memperhatikan faktor sosial budaya petani dan perspektif petani. Selain itu masalah dilihat secara parsial, dan bukan secara holistik dalam totalitas usaha tani. Penempatan OGT Pendampingan dipilih sebagai alternatif dari penyuluhan konvensional yang selama ini dilakukan yang lebih memperhatikan aspek teknis dengan sedikit perhatian pada masalah sosial budaya dan konteks masyarakat petani. Pendampingan dilakukan oleh OGT (On the Ground Team) atau fasilitator. Langkah pertama yang dilakukan adalah merekrut OGT. Kualifikasi OGT yang diinginkan adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana pertanian (dalam arti luas; peternakan, pertanian, perikanan, kehutanan), memiliki kemampuan komunikasi yang baik, dapat bekerjasama dalam tim, memiliki kepedulian, keberpihakan, dan empati terhadap masyarakat kecil, suka dan bersedia bekerja dan hidup di desa bersama petani, serta memiliki komitmen yang tingi terhadap pekerjaan yang akan dilakukan. Untuk mendapatkan OGT dengan kulifikasi tersebut, maka dilkukan seleksi dengan beberapa tahap yaitu, tahap pertama seleksi administrasi untuk menilai kesesuaian latar belakang pendidikan, pengalaman organisasi kemahasiswaan, umur, dan keinginan bermukim di desa. Seluruh unsur tersebut diberi bobot yang dipakai untuk menjaring jumlah pelamar mejadi 250% dari jumlah OGT yang diperlukan. Karena jumlah OGT yang diperlukan adalah 13 orang (seorang sebagai kordinator ditambah 4 orang setiap kabupaten), maka tahap ini menyaring pelamar yang berjumlah 125 orang menjadi 32 orang. Seleksi tahap kedua adalah kelompok diskusi terarah (FGD) diantara calon OGT. Dalam kelompok yang terdiri atas 6-7 orang, OGT diberi beberapa issu dan ceritera tentang pembangunan petanian dan pemberdayaan masyarakat untuk mereka diskusikan. Secara partisipatif mereka memilih seorang diantara mereka sebagai moderator diskusi. Melalui FGD, calon OGT dinilai kemampuan dan )kepribadiannya dalam hal (i) kemampuan mengungkapkan pikirannya secara sistematis dan mudah dimengerti, serta cara meyakinkan orang lain dan menjustifikasi pendapatnya, (ii) sifat menerima pendapat orang lain dan mau menang sendiri atau egois, 4
termasuk kemampuan kerjasama tim, dan apakah ada kecenderungan interovert, dan (iii) kepedulian terhadap pembangunan pertanian dan empati terhadap kehidupan masyarakat petani. Tahap ini menyaring calon hingga menjadi 150% dari kebutuhan sehingga menjadi 20 orang. Tahap ketiga dalam seleksi adalah wawancara (interview) untuk menilai latar belakang pengetahuan calon dalam hal pertanian dan peternakan, pemberdayaan masyarakat dan yang lebih penting lagi adalah komitmen untuk bekerja dan hidup bersama petani di desa. Dalam wawancara ini terjadi semacam kontrak mental antara penginterview yang secara langsung juga akan menjadi Project Management Team (PMT) dengan OGT. Dengan demikian PMT akan lebih mudah menagih janji kepada OGT jika komitmen pelaksanaan kegiatan tidak dipenuhi. Tahap ketiga ini menjaring OGT hingga menjadi 125% dari kebutuhan (15 orang). Seleksi tahap ke empat dilakukan pada saat Pelatihan Pra Tugas (Pre Assignment Training). Selama masa pelaksaaan training tersedia kesempatan yang lebih luas untuk menilai karakter dan kepridian calon OGT, seperti ketekunan, disiplin, kerjasama, kejujuran, dan semacamnya. Pelatihan OGT Pelatihan OGT dilakukan beberapa kali sejalan dengan pelaksanaan tugas di lapangan. Pelatihan tersebut meliputi: (i) Pelatihan pratugas dan social Mapping, (ii) Pelatihan Pengelolaan Pakan (iii) Pelatihan Integrated Analysis Tool (IAT), Pelatihan (iv) Pelatihan Usaha Tani Terpadu. (v) Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif dan Benchmarking, dan (vi) Pelatihan Metode Survei Adopsi dan Diseminasi Teknologi. Pelatihan Pratugas dan Social Mapping diberikan sebelum OGT dimobilisasi ke lapangan. Pada pelatihan ini OGT diberi pemahaman tentang pendekatan, sifat, dan kerangka pelaksanaan program serta kemampuan untuk melakukan pemetaan sosial-budaya masyarakat. Di dalamnya juga termasuk tentang dasar-dasar teori komunikasi, pendampingan masyarakat serta adminstrasi keproyekan yang meliputi jenis dan cara pelaporan (Acion plan tiga bulan ke depan, Itinerary Mingguan, Laporan Bulanan, dan Catatan harian). Pada Projek SMAR 2006/061, pelatihan ini dilakukan pada bulan Desember 2007 di Makassar. Pelatihan Pengelolaan Pakan, dimaksudkan untuk memberi pemahaman dan kemampuan kepada OGT untuk menghitung kebutuhan pakan, menemukenali sumber-sumber pakan potensil yang tersedia (hijauan yang telah ada dan sisa tanaman), penyediaan dan penyimpanan sisa tanaman, pengelolaan hijauan, serta pengenalan jenis-jenis hijauan introduksi dan teknik bercocok tanamnya. Pelatihan ini dilakukan pada bulan April tahun 2008 di kabupaten Barru. Pelatihan Integrated Analysis Tool (IAT). Intergrated Analysis Tool adalah program komputer yang dikembangkan dari projek ACIAR sebelumnya dan merupakan integrasi dari tiga program simulasi yaitu, Simulasi pertumbuhan tanaman dan hijauan (APSIM), simulasi perkembangbiakan dan pertambahan berat badan ternak sapi, dan simulasi ekonomi. Program komputer ini dipakai untuk menjabarkan sejumlah skenario terbaik (best-bet) untuk 5
mengoptimalkan pemanfaatan sumbedaya yang dimiliki petani. Dengan program ini, petani dan penyuluh (termasuk OGT dan peneliti) dapat menemukenali sejumlah skenario sistem usaha tani ternak-hijauan-tanaman serta dampaknya bagi perekonoian dan kesejahteraan dalam konteks individu rumah tangga petani. Pelatihan IAT bagi OGT dimaksudkan untuk memberikan kemampuan bagi OGT dalam menggunakan IAT serta pemahaman atas filosofi dan proses biofisik-ekonomi yang bekerja dibalik program tersebut. Dengan demikian, OGT juga dapat mengapresiasi pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya dalam suatu sistem interkasi tanaman-tanah-hijauan-ternak-petani dalam Sistem Pertanian Terpadu. Pelatihan ini dilakukan di masing-masing kabupaten pada bulan Juni 2008. Pelatihan Sistem Pertanian Terpadu, dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kompleksitas sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat petani di Sulawesi Selatan, dan menunjukkan bagaimana produktivitas sistem dapat ditingkatkan, termasuk bagaimana subsistem yang lain akan terpengaruh dengan adanya perubahan pada suatu sub sistem. Pada kesempatan pelatihan ini juga ditambahkan tentang pengenalan penyakit ternak sapi Bali (untuk menjwab pertanyaan yang sering dilontarkan oleh petani ke OGT), dan teknik pembuatan bokashi dan penyiapan pakan dari sisa tanaman. Pelatihan dilakukan di Makssar dan Bone pada bulan Agustus 2008. Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif dan Benchmarking. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman dan kemampuan kepada OGT untuk mengembangkan data dasar sebagai benchmarking serta penelitian kualitatif. Selain itu juga dilatih menulis narasi dan essay untuk memberikan gambaran kualitatif tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada petani, lingkungan dan usaha taninya, termasuk juga teknik pengambilan gambar (foto). Gambaran kualitatif tentang petani dan lingkungannya yang ditulis oleh OGT ini diharapkan dapat menjadi ‘smart practice’ atau ‘lesson learned’ untuk petani dan program lain. Pelatihan ini dilakukan di Makassar dan di ke tiga lokasi pada bulan Desember 2008. Pelatihan Metode Survei Adopsi dan Diseminasi Teknologi. Untuk menilai bagaimana teknologi terdiseminasi dan diadopsi oleh petani, dilakukan penelitian adopsi dan diseminasi. Sebagai bagian dari penguatan kapasitas, OGT juga dilibatkan dalam survei ini, dan karena itu pelatihan ini perlu diberikan kepada OGT. Pelatihan ini dilakukan pada bulan Mai 2009. Pendampingan oleh OGT Setiap OGT bekerja dengan lima petani partner. Meskipun demikian OGT juga dituntut untuk memahami pola pertanian dan kehidupan sosial ekonomi di desa dampingannya. Karena itu langkah pertama yang dilakukan oleh OGT adalah melakukan pemetaan sosial (social mapping) dan memulai hidup menjadi bagian dari warga masyarakat di desa. Pada tahap ini, OGT berinterkasi dengan petani, melakukan obveservasi dan pencatatan, serta ikut mengalami kehidupan sehari-hari yang terjadi di desa. Selain itu, OGT juga melakukan wawancara dengan tokoh kunci masyarakat, serta melakukan lokakarya tingkat desa. Output dari tahap ini adalah pemahaman OGT terhadap kondisi sosial masyarakat, peta kalender 6
sistem usaha tani, OGT menjadi bagian dari masyarakat desa, dan terkumpulnya sejumlah data untuk parameter yang diperlukan dalam IAT serta data untuk benchmarking. Selanjutnya OGT mendampingi petani partner menemukenali sumberdaya yang dimiliki, cara pengusahaan sumberdaya tersebut, pendapatan yang diperoleh dan tingkat kesulitan dalam pengusahaan tersebut, keinginan dan hasrat untuk meningkatkan populasi sapi dan pendapatan, dan hambatan yang dihadapi dalam memenuhi hasrat tersebut. Dengan bantuan IAT dan fasiltasi OGT, petani selanjutnya menemukan sejumlah skenario perbaikan sistem usaha tani. Skenario-skenario tersebut didiskusikan dan selanjutnya disepakati untuk dipilih salah satunya dan diterapkan. OGT selanjutnya mendampingi petani menjalankan skenrio tersebut. Dalam perjalanan pelaksanaan skenario tersebut, apa yang dilaksanakan sering tidak sama dengan yang dijalankan, karena dilakukan modifikasi sesuai dengan kondisi ril lapangan yang terjadi. Dalam hal ini, maka IAT kembali dipakai untuk mengkonfirmasi langkah yang diambil tersebut dan menentukan implikasi dan dampak yang terjadi atas modifikasi skenario terhadap perubahan produktivitas sistem usaha tani dan pendapatan petani. Sebelum implementasi skenario dijalankan, para petani partner dibawa mengunjungi lahan dan sistem peternakan petani lain yang telah lebih dahulu mempraktekkan perubahan sistem usaha tani. Dalam hal ini, 20 petani dari setiap kabupaten dibawa berkunjung ke desa Lompo Tengnga kabupaten Barru, lokasi pelaksanaan LPS/2004/005. Petani-petani partner ini, umunya membawa oleh-oleh berupa bibit hijauan dari kunjungan tersebut, dan tentu saja juga tentang cara budidaya dan pemanfaatannya. Segera setelah petani partner mempraktekkan/megimplementasikan skenario perbaikan sistem usaha tani dan perbaikan manajemen pakan dan ternak, maka diseminasi secara bertahap akan terjadi. Di mulai dengan petani sekitar lahan atau rumah petani partner yang berinteraksi dan melihat langsung perubahan sistem usaha tani, selanjutnya menyebar ke petani yang lebih jauh dalam wilayah yang lebih luas. Pada tahap ini, OGT membantu memfasilitasi diseminasi tersebut agar diseminasi terjadi secara utuh dan adopsi dilakukan secara tepat. Terdapat beberapa kasus di mana seorang petani mengambil anakan hijauan dari lokasi petani partner untuk ditanam di lahannya tanpa pengetahuan tentang cara budidaya dan pemanfaatannya. Dalam hal ini OGT, bersama petani partner memfasilitasi agar diseminasi materi fisik (bahan tanaman) tersebut diikuti dengan diseminasi pengetahuan dan ketrampilan budidaya dan pemanfaatannya untuk ternak. Ketika jumlah petani yang menerima informasi tentang teknologi ini meningkat dan jumlah petani yang ingin melakukan adopsi bertambah, maka peran fasilitasi oleh OGT bergeser ke petani partner. Pada saat ini, kemampuan yang dimiliki oleh OGT sebahagian besar juga telah dimiliki oleh petani parter.
7
Sesuai dengan masalah umum yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas sapi Bali dan pendapatannya, maka paket teknologi yang diterapkan dan diadopsi oleh petani merupakan kombinasi dari keterampilan dan teknologi berikut: 1. Pemanfaatan dan pengelolaan pakan yang telah ada, meliputi manajemen pemotongan rumput gajah, pemupukan rumput gajah, pemanfaatan lamtoro dan gamal, amoniasi dan fermentasi jerami padi, pembuatan hay, serta cara penyediaan sisa tanaman kacang tanah, padi dan kacang hijau sebagai pakan. 2. Introduksi hijauan baru, seperti Paspalum, Molato, Setaria, Panicum dan Stylo. 3. Penyapihan dini (6-7 bulan). Hal ini dapat dilakukan dengan tersedianya pakan yang berkualitas. 4. Pengaturan perkawinan. Dengan tersedianya pakan yang lebih mudah diakses, maka petani tidak perlu lagi melepas sapinya ke tempat yang lebih jauh untuk digembalakan, sehingga sapi lebih mudah dikontrol, termasuk dalam hal kontrol perkawinan. Petani partner juga diperkenalkan mengetahui ciri-ciri sapi birahi, seperti gelisah, lendir putih keluar dari vulva, vulva kemerah-merahan. Petani membawa sapi jantan ke sapi betina yang birahi. 5. Perencanaan dan Penganggaran pakan. Bersama OGT, petani partner menghitung dan merencanakan kebutuhan pakan dalam setahun. Dengan demikian kekurangan pakan di musim kemarau dapat dihindari. 6. Selain itu sejumlah teknologi pendukung juga diberikan sesuai kebutuhan seperti pemanfaatan fases untuk biogas, pemanfaatan fases untuk pupuk kandang dan bokasi. Kerjasama dengan PPL dan Temu Lapang Untuk menjamin keberlanjutan program, maka PPL di setiap desa juga diikutkan dalam setiap pelatihan yang diikuti oleh OGT, kecuali pelatihan yang berhubungan dengan administasi projek. Dengan demikian, OGT memeliki partner kerja di lapangan. Untuk meningkatkan laju diseminasi teknologi dan keterampilan dan menjamin utuhnya paket teknologi yang terdiseminasi tersebut, pada tahun ini difasilitasi pelaksanaan temu lapang di lokasi petani partner. Temu lapang seperti ini telah dilakukan pada bulan Maret di kabupaten Bone dengan menghadirkan sejumlah petani dari desa-desa sekitar desa dampingan di kecamatan Libureng. Kegiatan Temu Lapang yang sama akan dilakukan di kabupaten Barru dan kabuoaten Gowa. Agar diseminasi yang terjadi tidak salah arah, pelatihan PPL dalam jumlah yang lebih luas juga dilakukan. Pelatihan seluruh PPL di kecamatan Libureng telah dilakukan pada bulan Juni 2009. Pelatihan yang sama juga akan dilakukan di kabupaten Baru dan Bone.
8
Diseminasi Teknologi dan Praktek Usaha Tani Skenario awal diseminasi teknologi dan praktek perbaikan sistem usaha tani dan manajemen ternak yang diharapkan terjadi adalah, setiap satu petani partner akan diikuti oleh lima petani lainnya, sehingga secara keseluruhan terdapat 25 petani yang mengadopsi teknologi tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Skenario diseminasi teknologi dari petani partner ke petani scale-out
Namun, dalam kenyataannya setelah lebih dari setahun implementasi oleh petani partner jumlah petani yang mendapatkan informasi dan yang mengadopsi teknologi lebih banyak dari rencana tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 2. Pada grafik tersebut, ditunjukkan jumlah petani scale-out pada empat desa di Bone yang mengadopsi teknologi setelah setahun pelaksanaan dan implemenasi perbaikan sistem Gambar 2. Jumlah petani scale-out di empat usaha tani dan pengelolaan ternak dimulai oleh desa di Bone setelah setahun pelaksanaan implementasi petani partner. Pelaksanaan implementasi skenario perbaikan sistem usaha tani oleh di Bone dilakukan pada bulan Mei 2008, dan petani partner setelah lebih dari setahun jumlah petani scale-out menjadi sekitar 190 orang, dari target 100 orang. Di kabupaten Barru dan Gowa, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, jumlah petani scale-out masih dibawah target 25 orang per desa, berhubung karena impelementasi skenario baru dimulai pada bulan Oktober 2008. 100
100
Gowa
80
Barru
80
60
60
40
40
20
20
0
0
Maccinibaji
Pa'bentengan Reached
Mangempang Targeted
Bontomanai
Mattirowalie
Lomporiaja Reached
Tompo
Anabanua
Targeted
Gambar 3. Jumlah petani scale-out di empat desa di kabupaten Barru dan Gowa setelah pelaksanaan sekitar 8 bulanimplementasi perbaikan sistem usaha tani oleh petani dimulai 9
Diseminasi dan adopsi teknologi memang memerlukan waktu, namun teknologi yang telah diadopsi diharapkan bisa lebih langgeng dan berlanjut, karena adopsi teknologi dilakukan atas kesadaran penuh oleh petani. Penambahan jumlah petani scale-out berlangsung secara konsisten hingga sebahagian besar petani didesa tersebut telah mengadopsi teknologi. Tipikal penambahan jumlah petani scale-out dari bulan ke bulan ditunjukkan pada gambar 4. Setiap bulan rata-rata terjadi penambahan satu petani scale-out dari setiap orang petani partner. Kesimpulan
Gambar 4. Grafik penambahan petani scale-out setiap bulan
Kompleksitas pengelolaan ternak sapi Bali yang dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk sistem pertanian terpadu membuat setiap individu rumah tangga dan usaha tani khas, termasuk masalah yang dihadapi dan alternatif solusinya. Perbaikan dan introduksi teknologi pengelolaan ternak sapi dalam sistem yang demikian tidak dapat hanya mengandalkan penyuluhan konvensional. Pendampingan petani melalui penempatan fasilitator atau OGT (On the Ground Team) yang hidup dan bekerja bersama petani di desa merupakan salah satu alternatif yang efektif untuk mengkomplementasi kelemahan yang terdapat pada penyluhan konvensional tersebut. Ucapan terimkasih Tulisan ini didasarkan pada pelaksanaan Projek “Building Capacity in the Knowledge and Adoption of Bali cattle Improvement Technology in South Sulawesi” yang dibiayai oleh program SADI dan ACIAR melalui projek No. SMAR/2006/061. Daftar Pusataka Padjung, R. 2002. Qqualitative Evaluation of Cocoa Pod Borer – farmer Field School (CPBFFS). Report of SUCCESS Sulawesi and Division of Regional Develoman of Hasanuddin University Padjung, R dan Natsir Asmuddin, 2005. Preliminary survey on beef cattle production in South Sulawesi. Hasanudin University Report.
10