ANALISIS MARJIN PEMASARAN DAN KETERPADUAN PASAR DAGING DOMBA DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT (Kasus Pasar Ternak Regional Pakowon Bojong Cideres, Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong)
Oleh : WEPPY YUNIAR ARIFIANTO A14102588
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ANALISIS MARJIN PEMASARAN DAN KETERPADUAN PASAR DAGING DOMBA DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT (Kasus Pasar Ternak Regional Pakowon Bojong Cideres, Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong)
Oleh : WEPPY YUNIAR ARIFIANTO A14102588
Skripsi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Dan sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Qs. Alam Nasyrah (94) : 5- 6.
"Ya Allah, jadikanlah aku ridho terhadap apa-apa yang Engkau tetapkan dan jadikan barokah apa-apa yang telah Engkau takdirkan, sehingga tidak ingin aku menyegerakan apa-apa yang engkau tunda dan menunda apa-apa yang Engkau segerakan... YA ALLAH BERILAH PAHALA DALAM MUSIBAHKU DAN GANTIKAN UNTUKKU YANG LEBIH BAIK DARINYA. Amiin…"
RINGKASAN
Weppy Yuniar Arifianto. “Analisis Marjin Pemasaran dan Keterpaduan Pasar Daging Domba di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat (Kasus Pasar Ternak Regional Pakowon Bojong Cideres, Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong)”. Dibawah bimbingan Sutara Hendrakusumaatmaja.
Kabupaten Majalengka merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat yang masyarakatnya banyak beternak domba. Budidaya domba di kabupaten Majalengka tiap tahun terus meningkat. Namun peningkatan budidaya domba ini tidak diikuti oleh semakin berkembangnya cara beternak dan perilaku peternak. Saat ini usaha ternak domba masih bersifat tradisional, skala usaha yang relatif kecil dengan lokasi menyebar di pedesaaan dan belum berorientasi pasar. Pemerintah daerah kabupaten Majalengka mengupayakan mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak melalui pengembangan sistem agribisnis berbasis peternakan yang berorientasi pada pasar dengan strategi membangun Pasar Ternak Regional (PTR) Pakowon Bojong Cideres yang merupakan pasar ternak terbesar di Jawa Barat yang peresmiannya dilakukan oleh menteri Pertanian pada tanggal 10 Pebruari 2003. Dengan berdirinya PTR tataniaga daging domba di kabupaten Majalengka sangat ditentukan oleh pedagang pemasok dari PTR yang mempunyai peran sangat signifikan terhadap pembentukkan harga daging domba. Selain itu, banyaknya perantara pada saluran distribusi daging domba dan kondisi yang dihadapi cukup beragam dapat menimbulkan permasalahan yang cukup rumit. Diantaranya tingginya biaya yang harus ditanggung oleh masing-masing lembaga pemasaran sehingga berpengaruh terhadap harga jual daging domba dan persaingan antara lembaga pemasaran. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi pola saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar daging domba (2) Menganalisis marjin pemasaran pada saluran pemasaran daging domba dan (3) Menganalisis keterpaduan pasar antara pemasok dan pasar pengecer daging domba di lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di tiga pasar berbeda, yang terdiri dari pasar pemasok (PTR) dan dua pasar pengecer, yaitu pasar Kadipaten dan pasar Cigasong. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Pelaksanaan pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2006. Alat analisis yang digunakan dalam menganalisis keterpaduan pasar yaitu metode integrasi pasar autoregresive distribution lag model Ravallion dan Heytens (1986). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan tataniaga daging domba melibatkan 3 lembaga tataniaga utama, yaitu pedagang pemasok, pedagang besar dan pedagang pengecer. Saluran pemasaran yang terbentuk yang dianalisis di lokasi penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu Saluran I : Pedagang Pemasok – Pedagang Besar Kadipaten – Pedagang Pengecer Kadipaten – Konsumen Akhir. Saluran II : Pedagang Pemasok – Pedagang Besar Cigasong – Pedagang Pengecer Cigasong –
Konsumen Akhir. Analisis struktur pasar menunjukkan struktur pasar yang dialami oleh pedagang pemasok cenderung oligopoli, sedangkan yang dialami oleh pedagang besar ketika berhadapan dengan pedagang pemasok cenderung oligopsoni. Struktur pasar di tingkat pedagang pengecer cenderung bersaing sempurna. Berdasarkan analisis sebaran marjin tataniaga dapat diketahui bahwa sebaran marjin kurang merata, sehingga pemasaran daging domba kurang efisien. Rasio keuntungan dengan biaya tataniaga tidak merata diperoleh oleh masingmasing lembaga tatniaga. Pedagang pemasok memperoleh rasio keuntungan terhadap biaya sangat besar dengan perbedaan cukup signifikan dengan pedagang besar dan pengecer, meskipun pedagang pemasok paling sedikit mengeluarkan biaya tataniaga dan sedikit melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Akan tetapi secara operasional, tataniaga daging domba dari PTR ke pasar Kadipaten lebih efisien daripada ke pasar Cigasong. Hal ini ditunjukkan dengan nilai marjin tataniaga yang lebih kecil. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan terjadinya keterpaduan pasar anatara pedagang pemasok di PTR dengan pedagang pengecer di pasar Kadipaten dalam jangka panjang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai b2 = 1,10 dapat diterima secara statistik dari hasil uji hipotesis (t hitung) dengan hipotesis nol (Ho) b2 = 1 pada taraf nyata 0,05. Sedangkan antara pedagang pemasok dengan pengecer di pasar Cigasong diperoleh hasil b2 = 0,444 dan ditolak secara statistik sehingga tidak terjadi keterpaduan pasar dalam jangka panjang. Sedangkan keterpaduan pasar dalam jangka pendek antara pasar pemasok (PTR) dengan kedua pasar pengecer tidak ada yang terpadu dalam jangka pendek. Akan tetapi pasar Kadipaten cenderung lebih mendekati terpadu dalam jangka pendek dibanding pasar Cigasong. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IMC pasar Kadipaten yang lebih mendekati nol, yaitu sebesar 0,869 dibanding pasar Cigasong dengan nilai IMC sebesar 2,378. Sehingga dapat disimpulkan informasi perubahan harga daging domba di tingkat pedagang pemasok tidak didistribusikan secara cepat dan tepat kepada pasar pengecer. Saran yang dapat diberikan adalah perlunya kontrol pemerintah daerah dalam monitoring harga daging domba dan perlunya kerjasama yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara lembaga pemasaran yang terlibat. Hal ini guna terciptanya efisiensi tatniaga dan keterpaduan pasar baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Selian itu perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan wilayah penelitian lebih luas, sehingga hasil analisis dapat mewakili seluruh wilayah kabupaten Majalengka.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Majalengka Jawa Barat, sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara dari keluarga H. Moch. Nurachman dan Hj. Tuti Susilawati. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri Babakan Jawa pada tahun 1988 dan lulus pada tahun 1993. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Majalengka pada tahun 1993 dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Majalengka dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan di program Diploma III Manajemen Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya juga telah memberikan kemudahan atas segala kesulitan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul “Analisis Marjin Pemasaran dan Keterpaduan Pasar Daging Domba di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat (Kasus Pasar Ternak Regional Pakowon Bojong Cideres, Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong)” ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun terutama untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Juni 2007
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdullilah penulis haturkan, bahwa akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat, membantu, memberi dukungan serta do’a yang diberikan selama menyelesaikan studi di IPB. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua Ayah dan Ibu tercinta, atas doa, dukungan dan kasih sayang yang tiada henti-hentinya dicurahkan. 2. Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, MSc. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta waktunya dalam penyelesaian skripsi. 3. Ir. Yayah K. Wagiono, MEc. selaku dosen penguji utama pada ujian sidang skripsi. 4. Bapak Ujang, sebagai mantan kepala pasar ternak regional Pakowon Bojong Cideres Majalengka yang talah banyak membantu memberikan informasi data-data dan memberikan kemudahan selama penelitian. 5. Kepala pasar ternak regional Pakowon Bojong Cideres, pasar Kadipaten dan pasar Cigasong yang telah memberikan ijin penulis melakukan penelitian. 6. Kakak dan Adikku, atas semangat dan do’a yang tulus. Cita-cita menjadi keluarga alumnus sarjana IPB akhirnya terwujud. 7. Nelli Aulia, atas perhatian, dukungan dan do’a yang tulus selama ini. 8. Maimun, sahabat dan teman seperjuangan yang telah banyak membantu juga atas semangat dan dukungannya. Kamu juga bisa…!
9. Endang, Ronni dan Ika teman ekstensi MAB se-angkatan yang telah membantu dan memberikan dukungan. 10. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penulisan skripsi ini dan rekan-rekan lain yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu. Terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta membalas segala kebaikan yang telah diberikan. Amiin.
Judul
Nama NRP
: Analisis Marjin Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Daging Domba di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat (Kasus Pasar Ternak Regional Pakowon Bojong Cideres, Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong) : Weppy Yuniar Arifianto : A14102588
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, MSc. NIP. 130 367 086
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS
MARJIN
PEMASARAN
DAN
KETERPADUAN
PASAR
DAGING DOMBA DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT (KASUS PASAR TERNAK REGIONAL PAKOWON BOJONG CIDERES, PASAR KADIPATEN DAN PASAR CIGASONG)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI HASIL KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
Bogor, Juni 2007
Weppy Yuniar Arifianto A14102588
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv BAB I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................ 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .......................
1 3 5 5 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Domba ............................................................ 2.1.1. Tipe Domba ............................................................... 2.1.2. Bangsa Domba .......................................................... 2.2. Penelitian Terdahulu ............................................................ 2.2.1. Analisis Saluran Pemasaran dan Marjin Tataniaga . 2.2.2. Analisis Keterpaduan Pasar .....................................
7 7 8 10 10 12
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................... 3.1.1. Definisi Pemasaran .................................................. 3.1.2. Lembaga dan Saluran Pemasaran ............................ 3.2.3. Fungsi Pemasaran .................................................... 3.1.4. Struktur Pasar .......................................................... 3.1.5. Perilaku Pasar .......................................................... 3.1.6. Keragaan Pasar ........................................................ 3.1.6.1. Marjin Pemasaran ...................................... 3.1.6.2. Keterpaduan Pasar ..................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual .........................................
16 16 16 18 18 19 20 20 22 27
BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 4.2. Metode Penarikan Contoh ................................................... 4.3. Jenis dan Sumber Data ........................................................ 4.4. Model dan Metode Penelitian .............................................. 4.4.1. Analisis Marjin Tataniaga ......................................... 4.4.2. Analisis Indeks Keterpaduan Pasar ........................... 4.4.3. Pengujian Hipotesa ....................................................
30 30 31 31 31 32 33
BAB V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Pasar Ternak Regional ........................................................... 36 5.2. Pasar Kadipaten ..................................................................... 38 5.3. Pasar Cigasong ...................................................................... 39
ii
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Saluran Pemasaran ................................................... 43 6.2. Analisis Fungsi Tataniaga ..................................................... 44 6.3. Analisis Struktur Pasar .......................................................... 47 6.3.1. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pemasok dan Pedagang Besar .............................................................. 48 6.3.1. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer ............. 49 6.4. Analisis Perilaku Pasar .......................................................... 50 6.4.1. Sistem Penentuan Harga ............................................... 50 6.4.2. Sistem Pembayaran Harga ............................................ 51 6.4.3. Kerjasama Lembaga Tataniaga .................................... 52 6.5. Analisis Marjin Tataniaga ..................................................... 53 6.5.1. Marjin Tataniaga Tingkat Pedagang Pemasok di PTR .. 53 6.5.2. Marjin Tataniaga Tingkat Pedagang Besar di Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong ..................................... 55 6.5.3. Majin Tataniaga Tingkat Pedagang Pengecer di Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong ........................... 59 6.5.4. Analisis Penyebaran Marjin Tataniaga Daging Domba di PTR dengan Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong .. 61 6.6. Analisis Keterpaduan Pasar ................................................... 66 6.6.1. Analisis Keterpaduan Pasar Antara PTR dengan Pasar Kadipaten ...................................................................... 66 6.6.2. Analisis Keterpaduan Pasar Antara PTR dengan Pasar Cigasong ....................................................................... 68 BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ............................................................................ 72 7.2. Saran ...................................................................................... 74 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 75 LAMPIRAN ................................................................................................ 77
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1 Jumlah Populasi Domba Menurut Provinsi Tahun 2001 – 2005 ...... 1 2 Jumlah Ternak Domba dan Produksi Daging Domba Kab. Majalengka Tahun 2003 – 2005 ........................................................ 3 3 Perbedaan Antara Domba dan Kambing ........................................... 9 4 Karakteristik (Ciri) Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Sudut Pembeli ............................................................................ 19 5
Fungsi Lembaga Pemasaran daging Domba di Kab. Majalengka ... 47
6
Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Pemasok Pasar Ternak Regional ...................................................... 54
7
Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Besar Pasar Kadipaten ..................................................................... 55
8
Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Besar Pasar Cigasong ....................................................................... 56
9
Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Pengecer Pasar Kadipaten ................................................................ 60
10 Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Pengecer Pasar Cigasong ................................................................. 60 11 Analisis Penyebaran Marjin Tataniaga Daging Domba Pasar Ternak Regional dan Pasar Kadipaten, Sep – Okt 2006 .................. 62 12 Analisis Penyebaran Marjin Tataniaga Daging Domba Pasar Ternak Regional dan Pasar Cigasong, Sep – Okt 2006 ................... 64 13 Persentase Penyebaran Marjin Tataniaga Daging Domba Pasar Ternak Regional, Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong dari Harga Jual Daging Domba per Kilogram, Sep-Okt 2006 ........................... 65 14 Hasil Analisis Keterpaduan Pasar PTR dengan Pasar Kadipaten ... 68 15 Hasil Analisis Keterpaduan Pasar PTR dengan Pasar Cigasong .... 70
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor 1
Halaman
Hubungan Antara Marjin Tataniaga dengan Nilai Marjin Tataniaga ........................................................................................... 21
2 Bagan Kerangka Pemikiran ............................................................. 29 3 Struktur Organisasi Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong ............... 42 4
Saluran Pemasaran Daging Domba di Kabupaten Majalengka ...... 44
v
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1 Perhitungan Rata-rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Pemasok di Pasar Ternak Regional, Sept – Okt 2006 ..................... 76 2 Perhitungan Rata-rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Besar di Pasar Kadipaten, Sept – Okt 2006 ..................................... 77 3 Perhitungan Rata-rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Besar di Pasar Cigasong, Sept – Okt 2006 ...................................... 78 4 Perhitungan Rata-rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Pengecer di Pasar Kadipaten, Sept – Okt 2006 ............................... 79 5 Perhitungan Rata-rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Pengecer di Pasar Cigasong, Sept – Okt 2006 ................................. 80 6 Perkembangan Rata-rata Mingguan Harga Daging Domba ............. 82 7
Hasil Regresi Pengecer Pasar Kadipaten dengan PTR ..................... 83
8
Hasil Regresi Pengecer Pasar Cigasong dengan PTR ...................... 84
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Daging domba merupakan salah satu pilihan dalam mengkonsumsi
kebutuhan akan protein hewani. Daging domba mempunyai peranan yang penting dan merupakan salah satu jenis protein hewani yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat di provinsi Jawa Barat. Tabel 1. Jumlah Populasi Domba Menurut Provinsi Tahun 2001–2005 No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Provinsi
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogyakarta Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sulteg Maluku Papua Bangka Belitung Banten Gorontalo Maluku Utara Indonesia
Sumber Keterangan
2001 (ekor) 121.067 199.312 2.101 45.700 54.825 2.050 48.723 4.069 3.087.038 1.873.659 71.389 1.347.087 157 17.302 52.074 113 3.350 3.602 1.177 6.091 1.334 259 7.433 1.175 4
2002 (ekor) 121.624 215.217 2.233 45.532 54.547 1.947 59.063 1.463 3.162.234 1.972.322 73.421 1.354.297 439 17.503 55.631 107 3.887 3.642 1.225 7.335 1.372 228 7.545 1.108 -
Tahun 2003 (ekor) 122.183 232.391 4.115 1.726 45.859 54.512 2.053 66.938 1.157 3.288.884 1.972.936 79.174 1.362.236 13 18.573 56.403 133 3.670 3.611 828 5.953 1.393 298 7.774 1.124 3
2004 (ekor) 137.039 250.935 5.128 1.726 45.916 58.273 6.256 67.909 1.556 3.529.456 1.948.084 97.339 1.380.366 216 17.037 56.506 133 4.210 3.419 835 5.351 1.408 232 13.082 1.755 51
2005*) (ekor) 138.300 268.500 6.392 1.726 51.426 60.167 6.256 68.806 1.392 3.691.458 1.978.243 98.312 1.394.170 216 17.889 56.602 133 4.296 3.522 852 5.556 1.680 240 13.291 1.764 52
Pertumbuhan 2005 thd 2004 (%) 0,92 7,00 24,65 0,00 12,00 3,25 0,00 1,32 -10,54 4,59 1,55 1,00 1,00 0,00 5,00 0,17 0,00 2,04 3,01 2,04 3,83 19,32 3,45 1,60 0,51 1,96
450.476 7.401.117
476.762 7.640.684
476.762 7.810.702
440.931 8.075.149
435.687 8.306.928
-1,19 2,87
: Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2006 : *) Angka sementara -) Data tidak tersedia
2
Apabila dilihat dari jumlah populasinya, penyebaran populasi domba banyak terdapat di Jawa Barat, angka sementara pada tahun 2005 menunjukkan angka hampir 3,7 juta ekor domba terdapat di Jawa Barat dari total kurang lebih sebesar 8,3 juta ekor populasi domba di Indonesia (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2006). Secara rinci jumlah populasi domba dan penyebarannya dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa ternak domba banyak terdapat di Pulau Jawa, khususnya di provinsi Jawa Barat dimana angka sementara pada tahun 2005 menunjukkan 44,43 persen dari seluruh populasi domba di Indonesia terdapat di Jawa Barat dengan tingkat pertumbuhan 4,59 persen terhadap tahun 2004. Dari tingkat pertumbuhannya, jumlah ternak domba di Jawa Barat selalu bertambah dari tahun ke tahun. Sementara apabila dilihat dari jumlah produksi daging domba, Jawa Barat menyumbang hampir 70 persen dari seluruh produksi daging domba nasional (Ditjen Peternakan, 2006). Hal ini menunjukkan masih rendahnya penyebaran produksi daging domba dan masih tingginya ketergantungan kebutuhan daging domba terhadap suatu daerah. Kabupaten Majalengka merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang masyarakatnya banyak beternak domba. Budidaya domba di Kabupaten Majalengka tiap tahun terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah ternak domba dan produksi daging domba yang terus meningkat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Pada tahun 2003 tercatat sebanyak 157.149 ekor dan menjadi sebesar 168.686 ekor pada tahun 2005, dengan jumlah produksi daging sebesar 947,85 ton.
3
Tabel 2.
Jumlah Ternak Domba dan Produksi Daging Domba Kabupaten Majalengka Tahun 2003 – 2005 Tahun Jumlah Ternak Jumlah Produksi Domba (ekor) Daging (ton) 658,19 157.149 2003 719,88 166.880 2004 947,85 168.686 2005 Sumber : Dinas Pertanian Majalengka, (laporan tahunan 2006) Saat ini usaha ternak domba di daerah Majalengka masih bersifat tradisional, skala usahanya relatif kecil dan lokasi menyebar di pedesaan. Usaha ternak domba juga banyak yang belum berorientasi pasar, peternak belum fokus mengelola usahanya untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kabupaten Majalengka sebagai salah satu Kabupaten sentra produksi daging domba di Jawa Barat, pemerintahnya mengupayakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak melalui pengembangan sistem agribisnis berbasis peternakan yang berorientasi pada pasar dengan strategi membangun Pasar Ternak Regional (PTR) “Pakowon Bojong Cideres” yang merupakan pasar ternak terbesar di Jawa Barat yang peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 10 Pebruari 2003. Pembangunan pasar ternak tersebut mempunyai arti yang sangat luas dan strategis bagi pemasaran ternak yang dihasilkan para petani ternak di wilayah Kabupaten Majalengka, Cirebon, Indramayu, Kuningan dan kota-kota lain antar provinsi.
1.2
Perumusan Masalah Saat ini tataniaga daging domba di wilayah konsumen Kabupaten
Majalengka sangat ditentukan oleh pedagang pemasok, dalam hal ini pemasok dari Pasar Ternak Regional (PTR) Bojong Cideres Kab. Majalengka dan pedagang pengecer di Kab. Majalengka. PTR Bojong Cideres berperan dalam menyalurkan
4
produksi daging domba ke konsumen di wilayah Kabupaten Majalengka melalui lembaga perantara. Lembaga perantara yang ada di Wilayah Kabupaten Majalengka diantaranya sebagian besar tersebar di Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong, sedangkan sebagian lagi dipasarkan ke berbagai daerah (kecamatan) lain. Kedua pasar tersebut diklasifikasikan sebagai pasar lokal terbesar di Kabupaten Majalengka yang ruang lingkup pelayanannya mencakup beberapa Kecamatan di Kabupaten Majalengka. Sejak berdirinya, PTR sangat berperan menjadi pemasok daging domba untuk dipasarkan di dalam kabupaten maupun keluar daerah. Pendirian PTR itu sendiri mempunyai peran yang signifikan terhadap mekanisme harga ma upun rantai tataniaga daging domba. Hal ini disebabkan PTR menjadi kiblat untuk penjualan hewan ternak, terutama ternak domba dimana tingkat transaksinya tercatat sekitar 150 – 400 ekor per hari. Keadaan saluran pemasaran tataniaga daging domba di Kabupaten Majalengka dengan berdirinya PTR cukup beragam. Banyaknya perantara pada saluran distribusi daging domba dan dengan kondisi yang dihadapi cukup beragam dapat menimbulkan permasalahan yang cukup rumit, diantaranya tingginya biaya yang harus ditanggung oleh masing-masing lembaga pemasaran sehingga meningkatkan harga jual dan persaingan antar lembaga pemasaran. Walau demikian saluran tataniaga yang pendek belum menjamin sistem pemasaran dalam kondisi efisien. Pola saluran dan marjin tataniaga daging domba di daerah ini belum diketahui dan analisis keterpaduan pasar antara pasar pemasok dan pasar pengecer
5
juga belum pernah dilakukan, sehingga diperlukan suatu penelitian tentang sistem tataniaga daging domba di Kabupaten Majalengka. Berdasarkan hal tersebut, perumusan masalah yang menarik untuk dikaji adalah : 1. Bagaimana saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar daging domba di lokasi penelitian? 2. Bagaimana penyebaran marjin pemasaran pada saluran pemasaran daging domba di lokasi penelitian? 3. Apakah terdapat keterpaduan pasar antara pemasok dan pasar pengecer daging domba di lokasi penelitian?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan,
maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi pola saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar daging domba di lokasi penelitian. 2. Menganalisis marjin pemasaran pada saluran pemasaran daging domba di lokasi penelitian. 3. Menganalisis keterpaduan pasar antara pemasok dan pasar pengecer daging domba di lokasi penelitian.
1.4
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini bagi penulis adalah untuk melatih
kemampuan analisis suatu masalah dan merupakan pengalaman belajar yang dapat menambah pengetahuan dalam bidang sosial ekonomi pertanian. Lebih dari itu,
6
kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pemasaran hasil ternak, terutama yang terjadi di Kabupaten Majalengka yang berkaitan dengan kesejahteraan peternak dan sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Saluran pemasaran daging domba yang diidentifikasi adalah saluran
pemasaran dengan tujuan konsumen di pasar Kadipaten dan pasar Cigasong, hal ini dilakukan mengingat kedua pasar tersebut merupakan pasar pengecer terbesar di Kabupaten Majalengka untuk pemasaran daging domba. Sedangkan saluran pemasaran di Kecamatan lain tidak dilakukan mengingat keterbatasan sumberdaya penulis dan umumnya diluar kedua pasar tersebut volume penjualan daging domba sedikit dan tersebar penjualannya di berbagai desa. Data harga yang digunakan guna menganalisis keterpaduan pasar adalah time series data (harga rata-rata mingguan) selama bulan Januari – November 2006. Data harga terdiri atas data harga di tingkat pedagang pemasok domba di PTR dan harga daging domba ditingkat pengecer di pasar Kadipaten dan Cigasong. Data harga di tingkat peternak tidak dilakukan mengingat peternak tidak melakukan pencatatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Karakteristik Domba Ternak domba di Indonesia kebanyakan diusahakan oleh peternak di
daerah pedasaan. Domba yang diusahakan umumnya dalam jumlah kecil, yaitu sekitar 3 – 10 ekor per peternak yang dipelihara secara tradisional sehingga pendapatan yang diperoleh relatif kecil. Di negara maju, seperti Australia dan di Eropa, ternak domba memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi karena dombadomba menghasilkan wol dan daging. Akan tetapi domba di Indonesia, khususnya di Kabupaten Majalengka diusahakan sebagai penghasil daging semata. Dikenal beberapa tipe dan bangsa domba dari penjuru dunia, terutama dari daratan Eropa dan sekitarnya. Sebagai peternak yang telah maju pasti akan memilih tipe dan bangsa domba yang sesuai tujuannya, sebab masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut adalah beberapa tipe dan bangsa domba baik lokal maupun yang berasal dari luar negeri (Sudarmono dan Sugeng, 2005) :
2.1.1
Tipe Domba Secara umum, ternak domba dikelompokkan menjadi domba tipe potong,
wol dan dual pupose (penghasil daging dan wol). a. Domba tipe potong Kelompok domba tipe potong atau pedaging memiliki cirri-ciri sebagai berikut : -
Bentuk badan padat, dada lebar dan dalam, leher pendek, garis punggung dan pinggul lurus.
8
-
Kaki pendek, seluruh tubuh berurat daging yang padat.
Termasuk domba tipe ini antara lain Southdown, Hampshire dan Oxford. b. Domba tipe wol Kelompok domba tipe wol memiliki ciri-ciri sebagai berikut : -
Bertubuh ringan, bulu lebat, kaki halus dan ringan, berdaging tipis, berperilaku lincah dan aktif.
-
Antara permukaan daging dan kulit agak longgar dan berlipat-lipat. Domba asli Indonesia belum dapat dikelompokan dalam salah satu tipe
yang ideal dari kedua tipe tersebut, namun umumnya mengarah kepada tipe potong/pedaging. Hal ini disebabkan pemasaran wol di Indonesia belum ramai karena iklim yang kurang sesuai untuk pemakaian wol dan dari segi konsumen domba di Indonesia lebih mengarah pada konsumsi daging.
2.1.2
Bangsa Domba Bangsa domba dibedakan menjadi bangsa domba Indonesia dan domba
luar negeri. a. Bangsa Domba Indonesia -
Domba asli Indonesia Bangsa domba asli Indonesia juga disebut domba kampung/ domba lokal.
Ciri-cirinya antara lain berbadan kecil, lamban dewasa dan hasil karkas rendah. Domba jenis ini yang kebanyakan dipelihara oleh peternak di Kabupaten Majalengka.
9
-
Domba ekor gemuk Domba jenis ini banyak ditemukan di Jawa Timur, Madura, Lombok dan
Sulawesi. Ciri-ciri domba ini antara lain bentuk badan besar, ekor panjang pada bagian pangkal besar dan menimbun lemak yang banyak. -
Domba priangan Domba ini juga dikenal sebagai domba Garut, yang merupakan
persilangan domba Indonesia dengan domba luar negeri. Ciri-ciri domba ini antara lain badan besar, leher kuat sehingga dapat digunakan sebagai domba aduan, tanduk jantan besar dan melengkung ke belakang dan bulu lebih panjang dari domba asli Indonesia. b. Bangsa Domba Luar Negeri Domba luar negeri sangat beragam, jenisnya antara lain Merino, Rambouillet, Southdown, Suffolk dan lain-lain. Mengenai bangsa domba luar negeri tidak diulas lebih lanjut dalam pembahasan ini. Selama ini kebanyakan orang masih menganggap sama antara domba dengan kambing. Meskipun dalam hal harga daging domba dan daging kambing sama, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan antara domba dan kambing. Perbedaan antara domba dan kambing dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 3. Perbedaan Antara Domba dan Kambing Kriteria Domba Kambing Perilaku Suka berkelompok sehingga Merupakan hewan mudah pengembalaannya. pegunungan yang cenderung kurang suka hidup bersama. Bentuk bulu Berbulu tebal Berbulu tipis Bentuk tanduk Berbentuk segi tiga dan Berbentuk pipih dan tumbuh membelit (spiral) kurang subur Ketahanan Lebih tahan haus karena bulu Kurang tahuan haus tubuh tebal, sehingga membantu dibanding domba karena menahan penguapan air bulunya tipis. Sumber : Sudarmono dan Sugeng, 2005
10
2.2
Penelitian Terdahulu Pada pembahasan ini akan diulas hasil penelitian terdahulu mengenai
analisis marjin tataniaga dan analisis keterpaduan pasar untuk berbagai komoditi pertanian. Dengan meninjau penelitian terdahulu diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi peneliti dan dapat menetapkan alat analisis yang tapat guna pembahasan pada penelitian ini.
2.2.1
Analisis Saluran Pemasaran, Struktur Pasar dan Marjin Tataniaga Hasil penelitian Muslikh (2000), mengenai analisis sistem tataniaga cabai
rawit merah di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta (PIKJ) mengungkapkan hasil analisis struktur pasar menunjukkan struktur pasar cabai rawit merah di PIKJ cenderung tidak bersaing sempurna (oligopoly). Hal ini ditunjukkan oleh pedagang grosir PIKJ yang mempunyai kekuatan tawar-menawar yang lebih tinggi dibanding pedagang pengecer, kebutuhan modal yang cukup tinggi karena pembelian dalam partai besar menjadi hambatan bagi pesaing baru dan produk yang bersifat homogen. Sedangkan struktur pasar pada tingkat pengecer cenderung bersaing sempurna. Berdasarkan hasil analisis sebaran marjin tataniaga dapat diketahui bahwa sebaran marjin kurang merata. Biaya tataniaga yang dikeluarkan paling besar ditanggung oleh pedagang besar dibanding pengecer karena fungsi tataniaga yang dilakukan lebih banyak dengan sebaran marjin yang kurang merata. Hal ini menunjukkan tataniaga cabai rawit merah di PIKJ belum efisien. Saluran tataniaga yang ada difokuskan pasa saluran tataniaga yang melibatkan pedagang grosir, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Analisis
11
struktur pasar dianalisis dengan melihat jumlah pelaku pasar yang terlibat, diferensiasi produk dan hambatan masuk bagi pesaing baru. Menurut Herawati (1997), hasil analisis keragaan tataniaga menunjukkan saluran tataniaga talas yang ditemukan di Desa Sukaharja, Kec. Cijeruk, Kab. Bogor dapat dikelompokkan dalam 3 saluran : -
Saluran I : Petani – Tengkulak Kebun – Pabrik Kripik
-
Saluran II : Petani – Tengkulak Kebun – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir
-
Saluran III : Petani – Tengkulak Kebun – Konsumen Akhir Struktur tataniaga talas dari petani ke tengkulak kebun bersifat oligopsoni,
sebab petani yang jumlahnya banyak berhadapan dengan beberapa tengkulak kebun. Sedangkan struktur pasar tataniaga talas dari tengkulak kebun ke konsumen bersifat bersaing sempurna, hal ini disebabkan tengkulak kebun berhadapan dengan banyak tengkulak kebun dari desa lainnya dalam menjual talas. Struktur pasar tataniaga talas dari pengecer ke konsumen akhir juga bersifat bersaing sempurna, sebab pedagang pengecer berhadapan dengan banyak pedagang pengecer lainnya. Sedangkan dari hasil analisis mengenai marjin tataniaga talas dapat disimpulkan bahwa dari ketiga saluran tersebut secara absolut tidak ada yang lebih menguntungkan petani, tetapi secara persentasi saluran I lebih menguntungkan petani ditunjukkan dengan nilai farmer’s share paling tinggi, yaitu sebesar 32,70 persen. Bagian yang diterima petani lebih kecil karena tidak adanya penanganan talas sebelum dijual, sehingga tengkulak kebun dapat mengambil marjin dengan leluasa.
12
Nugroho (1991) melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga melalui analisis marjin tataniaga dan keterpaduan pasar untuk komoditas mangga di Kabupaten Indramayu. Pola tataniaga yang diamati terbagi dua, yaitu pola I (Petani - Pedagang Pengumpul Tingkat Desa – Pedagang Pengumpul Tingkat Kecamatan (PPK) – Pedagang Besar – Pedagang Borongan – Pedagang Pengecer Jakarta) dan Pola II (Petani – PPK – Pengecer Lokal). Pola II memiliki saluran tataniaga yang lebih efisien dibandingkan dengan Pola I. Hal ini dapat dilihat dari marjin tataniaga Pola II yang lebih rendah dibandingkan dengan marjin tataniaga pada Pola I. Hasil analisis saluran tataniaga yang dilakukan oleh Mughni (1996) pada analisis tataniaga sapi potong di Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggola, Sulawesi Tengah menunjukkan 3 pola saluran tataniaga. -
Saluran I : Peternak – Pengumpul Desa – Pengumpul Kecamatan – Pedagang Besar
-
Saluran II : Peternak – Pengumpul Desa – Pengumpul Kecamatan – Pedagang Pemotong – Konsumen
-
Saluran III : Peternak – Pengumpul Desa –Pemotong – Konsumen
Struktur pasar sapi potong yang terbentuk pada tingkat kecamatan adalah oligopsoni. Pengumpul kecamatan mempunyai kekuatan untuk mengontrol fungsi dan aktifitas tataniaga sapi potong di Kecamatan Sigi Biromaru.
2.2.2
Analisis Keterpaduan Pasar Fatimah (1999) melakukan pengujian keterpaduan pasar minyak goreng
curah di DKI Jakarta. Pengolahan data dilakukan dengan model ekonometrika yang diduga dengan menggunkan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least
13
Square) dengan menggunakan analisis keterpaduan pasar model Ravallion dan Heytens (1986). Keterbatasan infomasi terhadap perubahan harga akan menyebabkan tidak adanya keterpaduan pasar baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dari tiga pola saluran pemasaran, menunjukkan bahwa hanya satu pola saluran pemasaran yang terpadu dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara itu, dua pola saluran pemasaran lainnya tidak terpadu baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal serupa juga dilakukan oleh Joenis (1999) dengan menggunakan analisis keterpaduan pasar model Ravallion dan Heytens (1986) menganalisis sistem tataniaga jeruk siam garut di Desa Cinta Rakyat, Garut. Dikemukakan bahwa pasar jangka pendek dan jangka panjang tidak terpadu pada keseimbangan dan jeruk siam garut belum bisa bersaing dengan buah-buahan impor. Analisis digunakan secara statistik dengan menggunakan model IMC melalui pendekatan model Autoregresif Distributed Lag yang diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa. Berdasarkan uji t baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, terlihat bahwa pasar tidak terpadu pada keseimbangan jangka pendek maupun jangka panjang. Uji hipotesis bersamaan, F hitung menunjukkan bahwa sekurangkurangnya ada satu peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pada taraf nyata 0,01. Berdasar nilai IMC pada kedua pola saluran pemasaran, nilai IMC lebih besar dari satu dan nyata tidak adanya keterpaduan pasar jangka pendek. Pada analisis keterpaduan pasar beras tradisional dan modern di Jakarta yang dilakukan oleh Nanang (2005) dianalisis dengan menggunakan model IMC
14
Ravallion dan Heytens (1986), menunjukkan bahwa pada pasar tradisional maupun pasar modern di DKI Jakarta tidak terpadu dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan pasar induk Cipinang. Hal ini menunjukkan tidak ada informasi tentang perubahan harga yang diterima antar pedagang di pasar induk Cipinang dengan pedagang pasar tradisional dan modern. Berbeda dengan analisis yang telah diuraikan di atas, penelitian yang dilakukan oleh Firtiadi (2004), mengenai pemasaran jagung muda di Payakumbuh, Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan Pasar Bukit Tinggi lebih terintegrasi dengan pasar Payakumbuh (pasar pengecer) baik jangka pendek dan jangka panjang dibandingkan dengan pasar Padang. Nilai elastisitas transmisi harga Bukit Tinggi sebesar 0,765 dan pasar Padang sebesar 0,481. Hal ini berarti perubahan harga jagung muda di pasar Bukit Tinggi ditransmisikan relatif lebih baik dari pada pasar Padang. Analisis keterpaduan pasar dianalisis dengan menggunakan analisis elastisitas transmisi harga (E). Dari hasil-hasil penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa pada umumnya sistem tataniaga hasil-hasil pertanian di Indonesia belum efisien. Hal ini dapat dilihat dari sebaran marjin yang tidak merata diantara lembaga tataniaga yang terlibat. Petani sebagai produsen memperoleh bagian yang lebih kecil dibandingkan dengan pedagang. Selain itu juga, informasi harga pasar dari tingkat pedagang tidak dapat disalurkan dengan baik kepada pasar di tingkat petani. Artinya, diantara kedua tingkat pasar tersebut tidak terdapat keterpaduan pasar. Alat analisis yang paling banyak untuk menganalisis tingkat keterpaduan pasar adalah dengan menggunakan model Ravallion dan Heytens (1986). Model ini dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang menganggap
15
perubahan harga di tingkat konsumen dengan produsen bergerak pada waktu yang sama. Dengan demikian diharapkan hasil analisis dengan mempertimbangkan perubahan (harga) pada waktu sebelumnya dapat lebih menunjukkan kondisi sebenarnya. Atas pertimbangan tersebut, untuk menganalisis tingkat keterpaduan pasar digunakan alat analisis model Ravallion dan Heytens (1986). Hal yang membedakan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah jenis komoditi yang diteliti, lokasi penelitian dan teknik pengumpulan data yang kebanyakan menggunakan teknik sampling terhadap responden, sedangkan peneliti menggunakan seluruh responden yang terlibat di lokasi penelitian.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Definisi Pemasaran Pemasaran mempunyai arti yang berbeda di masyarakat. Umumnya
pemasaran dikenal sebagai permintaan, penjualan dan harga. Menurut Kotler (1999), pemasaran dapat diartikan sebagai proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain. Definisi ini berdasarkan konsep inti kebutuhan, keinginan dan permintaan, produk, nilai, biaya dan kepuasan, pertukaran, transakasi dan hubungan, pasar dan pemasaran serta pemasar. Pemasaran sering juga disebut tataniaga atau distribusi. Menurut Dillon (1998), distribusi adalah suatu kegiatan ekonomi yang berperan menghubungkan kepentingan produsen dengan konsumen, baik untuk produksi primer, setengah jadi maupun produk jadi.
3.1.2
Lembaga dan Saluran Pemasaran Sebagian besar produsen tidak memasarkan produknya secara langsung
kepada konsumen, melainkan menggunakan perantara/ lembaga perantara untuk memasarkan produknya. Menurut Dillon (1998), saluran distribusi/ pemasaran adalah rute dan status kepemilikan yang ditempuh oleh suatu produk ketika produk ini mengalir dari penyedia bahan mentah melalui produsen sampai ke konsumen akhir. Saluran ini terdiri dari semua lembaga atau pedagang perantara yang memasarkan produk atau barang/ jasa dari produsen sampai ke konsumen.
17
Saluran pemasaran adalah seperangkat atau sekelompok organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses yang memungkinkan suatu produk atau jasa tersedia bagi pengguna atau konsumsi oleh konsumen atau pengguna industrial (Kotler, 1992). Anggota saluran pemasaran menjalankan beberapa fungsi pokok : 1. Informasi ; mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk perencanaan dan memudahkan pertukaran. 2. Promosi ; pengembangan dan penyebaran komunikasi yang persuasif mengenai tawaran 3. Hubungan ; pencarian dan komunikasi dengan calon pembeli. 4. Pemadanan ; Pembentukan dan penyesuaian tawaran dengan kebutuhan pembeli, meliputi kegiatan seperti pengolahan, grading, pengumpulan dan pengemasan. 5. Perundingan ; usaha untuk mencapai persetujuan akhir atas harga dan ketentuan lainnya mengenai tawaran agar peralihan pilihan dapat terjadi. 6. Distribusi fisik ; pengangkutan dan penyimpanan barang. 7. Pembiayaan ; perolehan dan penyebaran dana untuk menutup biaya pekerjaan saluran pemasaran 8. Pengambilan resiko ; menerima adanya resiko dalam hubungan dengan pelaksanaan saluran pemasaran. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), saluran pemasaran dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen.
18
3.1.3
Fungsi Pemasaran Agar proses penyampaian barang dan jasa dari tingkat produsen ke tingkat
konsumen dapat dilakukan dengan lancar diperlukan berbagai kegiatan, dimana kegiatan tersebut dinamakan fungsi-fungsi tataniaga. Funsi-fungsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (Limbong, 1985), yaitu : 1. Fungsi Pertukaran, adalah kegiatan yang memperlancar pemindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran terdiri dari 2 fungsi, yaitu (1) fungsi pembelian dan (2) fungsi penjualan. 2. Fungsi fisik, adalah semua tindakan
yang langsung berhubungan dengan
barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi fisik meliputi : (1) Fungsi penyimpanan (2) fungsi pengolahan dan (3) fungsi pengangkutan. 3. Fungsi Fasilitas, adalah semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi fasilitas terdiri dari : (1) Fungsi standarisasi (2) fungsi penanggungan resiko, (3) fungsi pembiayaan dan (4) fungsi informasi pasar.
3.1.4
Struktur Pasar Berdasarkan sifat dan bentuknya, pasar diklasifikasikan menjadi 2 struktur
pasar, yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna. Suatu pasar dapat digolongkan ke dalam struktur pasar bersaing sempurna jika memiliki ciri-ciri antara lain terdapat banyak jumlah pembeli maupun penjual, pembeli dan penjual hanya menguasai sebagian kecil dari barang atau jasa yang dipasarkan sehingga tidak dapat mempengaruhi harga (penjual dan pembeli hanya sebagai
19
penerima harga), barang atau jasa yang dipasarkan bersifat homogen, serta pembeli dan penjual bebas keluar-masuk pasar. Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar adalah sifat-sifat atau karakteristik pasar, dimana ada empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar (1) jumlah atau ukuran pasaran, (2) kondisi atau keadaaan produk, (3) kondisi keluar atau masuk pasar dan (4) tingkat pengetahuan informasi pasar yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antara partisipan. Tabel 4. Karakteristik (Ciri) Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Sudut Pembeli Karakteristik Struktur Pasar No Jml PenjualSifat Produk Sudut Penj Sudut Pemb Pembeli 1 Banyak Standar/homogen Persaingan Murni Persaingan Murni 2 Banyak Diferensiasi Persaingan Persaingan Monopolistik Monopolistik 3 Sedikit Standar Oligopoli murni Oligopsoni Murni 4 Sedikit Diferensiasi Oligopoli Oligopsoni Diferensiasi Diferensiasi 5 Satu Unit Monopoli Monopsoni Sumber : Dahl & Hammond, 1977.
3.1.5
Perilaku Pasar Menurut Poespowidjojo dalam Muslikh, 2003 yang dimaksud dengan
perilaku
pasar
adalah
pola
tindak-tanduk
pedagang
beradaptasi
dan
mengantisipasi setiap keadaaan pasar. Perilaku pasar dapat mencerminkan bagaimana suatu produk yang dipasarkan mengalir dari tangan produsen ke tangan konsumen. Perilaku suatu pemasar akan sangat jelas pada saat beroperasi, misalkan dalam penentuan harga, promosi, usaha dan pangsa pasar, penjualan, pembelian, siasat pemasaran dan lain
20
sebagainya. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya dan marjin pemasaran serta jumlah komoditas yang diperdagangkan (Dahl & Hammond, 1977).
3.1.6
Keragaan Pasar Keragaan pasar menunjukkan akibat dari keadaan struktur pasar dan
perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditinjukkan dalam variabel harga, biaya dan volume dari output yang pada akhirnya akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga (Dahl & Hammond, 1977). Deskripsi keragaan pasar dapat dilihat dari (1) harga dan penyebarannya di tingkat produsen dan tingkat konsumen (2) majin pemasaran dan penyebarannya pada setiap tingkat pasar. Selain itu analisis terhadap keragaan pasar dapat didekati melalui analisis perkembangan harga dan keterpaduan pasar.
3.1.6.1 Marjin Pemasaran Menurut Limbong dan Sitorus (1985), marjin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat petani dan harga di tingkat pengecer. Marjin tataniaga bisa dinyatakan secara absolut (harga mutlak) dan bisa juga dalam persentase. Sedangkan nilai marjin tataniaga adalah perbedaan harga pada dua tingkat sistem tataniaga dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Gambaran mengenai marjin tataniaga dan nilai marjin tataniaga dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Dari gambar tersebut dapat dilihat besarnya nilai marjin tataniaga yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (dalam hal ini selisih harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat pemasok) dengan jumlah produk yang dipasarkan. Besar
21
nilai marjin tataniaga yaitu sebesar daerah segi empat (Pr – Pf) x Qr,f. Sedangkan nilai (Pr – Pf) menunjukkan nilai marjin tataniaga suatu komoditi per satuan atau per unit. Marjin tataniaga pada dasarnya terdiri dari dua komponen, yaitu biaya dan keuntungan (marjin tataniaga = (Pr – Pf) x Qr,f = biaya ditambah keuntungan).
Harga Sr
Sf Pr Nilai Marjin TN (Pr-Pf)xQr,f Pf Dr
Df Qr,f
Jumlah
Gambar 1. Hubungan Antara Marjin Tataniaga dan Nilai Marjin Tataniaga Sumber : Dahl & Hammond, 1977. Keterangan : Pr : Harga tingkat eceran Pf : Harga tingkat pemasok Sr : Penawaran tingkat pengecer Sf : Penawaran tingkat pemasok Dr : Permintaan tingkat pengecer Df : Permintaan tingkat pemasok Qr,f : Jumlah keseimbangan di tingkat pemasok dan tingkat pengecer. Strategi
perbaikan
tataniaga
dapat
juga
ditembuh
dengan
cara
memperkecil marjin tataniaga, yaitu dengan cara mengurangi keuntungan yang berlebihan atau mengurangi biaya tataniaga yang dikenakan (efisiensi). Melalui analisa marjin dapat diketahui penyebab tingginya marjin, sehingga dapat
22
dicarikan pemecahan masalah agar distribusi marjin menyebar secara wajar di antara lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat.
3.1.6.2 Keterpaduan Pasar Menurut Ravallion (1986), model keterpaduan pasar dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar referensi (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain. Menurut Heytens (1986), dalam suatu sistem pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lain. Semakin cepat laju penyaluran, semakin terpadu kedua pasar tersebut. Keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya. Dengan demikian fluktuasi perubahan harga terjadi pada suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang sama (proporsional). Hal tersebut pada gilirannya merupakan faktor yang dapat digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan bagi produsen. Ravallion (1986), mengembangkan model integrasi pasar yang berupaya mengukur sejauh mana harga lokal dipengaruhi oleh harga di tempat lain. Sebagai titik awal, Ravallion menentukan kesenjangan hubungan distribusi autoregresif antara masing-masing harga lokal komoditas dan tingkat harga referensi yang
23
tepat (baik jenis harga nasional atau harga lokasi pasar sentral atau penentuan lokasi). Secara rinci ; Rumus : a i(L)Pit = ßi(L)Pt + ?i (L)Xit + µit, (i
= 1,2,…………,k)
(t
= 1,2,…………,n)
(1)
Di mana, Pit
= Harga dalam pasar i pada waktu t;
Pt
= Harga referensi pada waktu t;
X
= Vektor variabel musiman dan relevan lainnya di pasar i pada waktu t
(dengan himpunan variabel yang sama yang digunakan dalam semua vektor Xit , untuk semua pasar dan semua periode waktu); µit
= rentang waktu yang keliru (random error)
a i (L), ßi (L) dan yi (L) menggambarkan adanya polinomial dalam kesenjangan operator (Li Pt = Pt-i), ya ng didefinisika n seba gai ; a i (L)= 1 - a i1L - … - a in Ln, ßi(L) = ß io + ß i1L + … + ß imLm, yi (L) = yio + yi1 + … + yin Ln. Dalam bentuk ini, persamaan (1) kurang memiliki variabel bebas yang tepat terkait dengan estimasi ekonometrik. Untuk dapat digunakan secara empirik, persamaan tersebut harus dispesifikasi ulang. Sehubungan dengan alasan-alasan yang lebih jelas di bawah ini, persamaan (1) akan ditulis kembali dengan selisih pertama harga pasar lokal sebagai variabel bebas. Sebelum melakukan hal tersebut, sangat membantu untuk menentukan ? sebagai operator perbedaan
24
waktu (? Pit = P it - P it – 1) dan ? i sebagai diferensial harga spasial (? i = Pit - Pt). Untuk n = m, persamaan (I) menjadi ; n
? Pit = ((
m-1 j
?a
j
ij L )-
j=1
i
L) ? Pt + j=0
k=0
j
? (?
a ik +
?ß
ik –
1 ) Lj ? Pt +
k=0
(2) n
(
m
?a ? ij +
j=1
ß ij – 1) Pt-1 + yi (L) X + µit,
j=0
Dimana aio = 1. Persamaan (1), selanjutnya dapat diubah untuk mengungkapkan perubahan harga periode saat ini sebagai kesenjangan diferensial harga spasial dan temporal tahun lalu. Variabel harga dapat ditentukan dalam konteks absolut atau logaritmik, yang mana membuat ? mengalami perubahan harga absolut atau persentasi perubahan harga. Akan tetapi, persamaan (2) sangat tidak intuitif. Intuisi dan mudahnya perhitungan didukung oleh adanya pengurangan pada satu kesenjangan sehubungan dengan perbedaan harga pasar lokal dan referensial (n = m = 1) : ? Pit = (a iL – L) ? iPt + ß io ? Pt + (a i1 + ß io + ßi1 – 1)Pt-1 + yiX + µit
(3)
Dengan mengeluarkan ? persamaan (3) disederhanakan menjadi : (Pit – Pit-1 ) = (a i – 1) (Pit – Pt-1) + ß io (Pt – Pt-1) + (a i + ß io + ßi1 – 1)Pt-1 + yiX + µit (4) Model yang disimpulkan berdasarkan persamaan (4) menentukan perubahan dalam harga lokal sebagai fungsi perubahan harga referensial untuk periode yang sama, margin harga spasial periode lalu, harga pasar referensial periode lalu, dan karakteristik pasar lokal. Dalam persamaan (4), ßio mengukur seberapa besar pelaku pasar lokal (penjual, para pengecer, dan para petani)
25
mengetahui kondisi dalam pasar referensial cukup cepat mempengaruhi harga lokal pada periode waktu yang sama. Formula, a i-1 mengukur seberapa besar deferensial harga spasial periode lalu tercermin dalam perubahan harga pasar lokal pada periode saat ini. Contohnya, margin tersebut diperluas dalam periode lalu (katakanlah timbul tingkat harga nasional atau harga pasar sentral) dan harga transaksi diuji kembali, maka para pedagang akan memperoleh insentif untuk memindahkan komoditas menjauh dari pasar lokal ke tempat lain dalam suatu sistem, sehingga selanjutnya menekan harga pada periode saat ini. Faktor lainnya mungkin juga mempengaruhi perubahan harga setempat. Fluktuasi musiman dalam penawaran (contohnya kekurangan secara periodik) atau gangguan komunikasi karena hambatan setempat dapat mempengaruhi perubahan harga setempat dan menentukan hubungan dengan pasar referensial. Akhirnya tingkat harga secara umum dalam pasar referensial dapat memicu perubahan harga dalam pasar lokal. Hal ini kemungkinan terjadi dalam lingkungan yang sangat mengalami inflasi atau pada saat timbul biaya bunga sebagai komponen biaya pemasaran yang besar. Persamaan (4) dapat juga diubah untuk menghasilkan indikator integrasi pasar
secara
tak
langsung.
Dengan
demikian,
sangatlah
membantu
menyederhanakan Persamaan (4) dengan memberi nama kembali koefisien dalam Persamaan (4), yaitu ai-1 = b 1, = ßio = b 2, a i + ß io + ß i1 – 1 = b3 , dan seterusnya. (Pit – Pit-1) = b 1(Pit-1 – Pt-1) + b 2(Pt – Pt-1) + b3Pt-1 + b4 X + µit.
(5)
dan selanjutnya menyusun kembali variabel, menjadi : Pit = (1 + b1) P it-1 + b2 (Pt – Pt-1) + (b3 – b 1)Pt-1 + b4 X + µit
(6)
26
Diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan mempunyai pola musiman yang sama, sehingga tidak perlu memasukkan peubah samaran (dummy) untuk musim setempat (X). Untuk memudahkan interpretasi hasil, maka persamaan di atas disederhanakan lagi dengan merubah b1= 1+b1, b2=b2 dan b3=(b3- b 1), sehingga menjadi : Pit = b1 P it-1 + b 2 (Pt – Pt-1) + b 3 Pt-1 + et
(7)
Dengan asumsi bahwa pasar referensial merupakan ekuilibrium jangka panjang (yaitu, Pt-Pt-1 = 0) dan juga bahwa b 4=0, maka selanjutnya (1+b1) dan (b 3b1) tetap, dan menunjukan kontribusi secara relatif terhadap sejarah harga pasar lokal dan referensial. Pasar dimana harga referensial sebelumnya merupakan penentu pokok harga lokal (daripada harga lokal sebelumnya) terkoneksi dengan baik, dengan kata lain kondisi permintaan dan penawaran dalam pasar referensial terkomunikasi secara efektif terhadap pasar lokal dan mempengaruhi harga di pasar lokal tanpa memperhatikan kondisi lokal sebelumnya. Guna menentukan besarnya serangkaian dua dampak, dapat dilihat dengan indeks gabungan pasar / Index of Market Connection (IMC), yang mana didefinisikan sebagai rasio koefisien kesenjangan pasar setempat terhadap koefisien kesenjangan pasar referensial: 1 + b1 IMC =
b1 atau
b3 – b1
IMC =
(8) b3
Menurut Ravallion integrasi jangka pendek diterima (hipotesa 2), b1=-1, (a i-1), dan IMC =0. Pada waktu pasar disegmentasi (hipotesa 1), b1 dan b3 sama dan IMC = 8. Berdasarkan spesifikasi model, b 1 adalah antara 0 dan -1 dengan kondisi normal, dan indeks secara normal bersifat positif. Secara umum semakin
27
kecil indeks yaitu mendekati 0, semakin besar tingkat pasar integrasi. Koefisien kurang dari 1 adalah untuk menunjukan tingkat integrasi pasar jangka pendek yang tinggi. Pada dasarnya, ini menunjukan tingkatan seberapa besar pasar lokal terkoneksi dengan pasar referensial dalam jangka pendek (yaitu periode satu waktu). Indikator akhir integrasi pasar yang dapat ditarik dari model ini berasal dari hasil b2 (ßio) mendekati satu. Dalam hal ini, integrasi jangka pendek tak dapat diterima, tetapi kekuatan ekonomi yang menyebabkan adanya perubahan harga pasar referensial secara umum tercermin dalam tingkat harga lokal. Dalam hal ini, koefisien ß2 dipandang memiliki banyak persamaan dengan koefisien korelasi bivariat sederhana. Bentuk intergrasi dapat terjadi meskipun pasar referensial dan pasar lokal tidak memiliki keterkaitan dalam jangka pendek (yaitu perubahan dalam margin spasial tidak terjadi secara penuh).
3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual Sebagian besar produsen tidak memasarkan produknya secara langsung kepada konsumen, melainkan menggunakan perantara/lembaga perantara unutk memasarkan produknya. Dalam rangkaian kegiatan ini sering kali membentuk fungsi-fungsi pemasaran, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Kegiatan tataniaga adalah suatu kegiatan ekonomi yang berperan menghubungkan kepentingan produsen dengan konsumen. Melalui kegiatan tersebut para pelaku pemasaran memperoleh imbalan sesuai dengan volume dan harga produk pada saat transaksi berdasarkan biaya, resiko dan pengorbanan yang dikeluarkan.
28
Menurut Dillon, 1998 secara konseptual sistem tataniaga dapat dianggap efisien apabila memenuhi 2 syarat sebagai berikut : 1. Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya. 2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar oleh konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang tersebut. Dalam suatu sistem pemasaran sering terjadi tidak seimbangnya (adanya gap) antara penawaran dan permintaan, panjangnya alur pemasaran, serta sulitnya arus informasi. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakefisienan marjin tataniaga dan tidak terpadunya antara dua pasar atau lebih. Selain itu, besarnya penyebaran marjin sangat mempengaruhi mekanisme pasar dalam pembentukan harga. Dengan demikian analisis marjin pemasaran dan keterpaduan pasar sangat penting untuk diteliti, sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk memperbaiki mekanisme pasar. Untuk mengetahui seberapa besar marjin pemasaran daging domba di Kabupaten Majalengka dilakukan terlebih dahulu kajian secara keseluruhan, meliputi saluran pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar di lokasi penelitian. Hal ini dilakukan mengingat adanya jarak antara peternak dengan konsumen akhir yang membuat proses penyaluran produk (daging domba) dari peternak ke konsumen sering melibatkan beberapa lembaga perantara. Kajian ini dilaksanakan dari mulai sisi produsen (peternak) sampai dengan konsumen akhir, dimana di dalamnya terjadi fungsi-fungsi pemasaran dan arus perdagangan, yaitu arus produk, arus informasi dan arus uang.
29
Dari hasil kajian tersebut akan menghasilkan informasi mengenai bagaimana saluran pemasaran yang ada, bagaimana struktur pasar, bagaimana perilaku pasar dan seberapa besar biaya, keuntungan serta harga jual pada setiap tingkat pasar. Selanjutnya informasi tersebut akan dipergunakan untuk menganalisis marjin pemasaran dan analisis keterpaduan pasar sebagai peremeter dari keragaan pasar yang ada. Secara ringkas bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini : - Saluran Pemasaran yang Beragam - Jumlah Marjin Pemasaran yang tinggi - Distribusi marjin yang tidak proporsional
Rantai Tataniaga
Struktur, Perilaku Keragaan Pasar
Analisa Saluran Pasar Analisa Perilaku Pasar Analisa Struktur Pasar Analisa Keragaan Pasar
Distribusi Marjin Harga Rp/kg Daging Domba
Analisa Deskriptif
Mengetahui Keterpaduan Pasar Efisiensi Tataniaga
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di tiga pasar yang berada di Wilayah
Kabupaten Majalengka. Pasar yang diteliti dibagi menjadi dua bagian, yaitu pasar regional sebagai pasar acuan dan pasar lokal (pengecer). Pasar regional adalah Pasar Ternak Regional (PTR) Bojong Cideres. Pasar pengecer diambil dua pasar lokal, yaitu pasar Kadipaten dan pasar Cigasong. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi dimana PTR merupakan pasar pemasok utama daging domba, sedang pasar pengecer dipilih pasar Kadipaten dan pasar Cigasong karena kedua pasar tersebut merupakan pasar pengecer daging domba terbesar di Majalengka yang cakupan pelayanannya mencakup beberapa kecamatan disekitarnya. Penelitian dilakukan selama dua bulan, mulai bulan September sampai Oktober 2006.
4.2
Metode Penarikan Contoh Pemilihan responden guna perhitungan marjin tataniaga dilakukan secara
penuh dari tiap-tiap lokasi pasar, yaitu pedagang pemasok di PTR yang memasok domba untuk pedagang di pasar lokal yang diteliti, pedagang besar dan pedagang pengecer di tiap pasar pengecer (lokal). Jumlah pedagang pemasok yang memasok domba ke pasar Kadipaten dan Cigasong dari PTR sebanyak 9 orang. Pedagang besar yang terdapat di pasar Kadipaten berjumlah 12 orang dan di pasar Cigasong berjumlah 6 orang. Sedangkan jumlah pedagang pengecer di pasar Kadipaten terdapat 16 orang dan di pasar Cigasong terdapat 8 orang.
31
Guna perhitungan analisis keterpaduan pasar, data diperoleh dari data sekunder, yaitu pencatatan perkembangan rata-rata harga mingguan daging domba yang telah tercacat di masing-masing pasar pemasok dan pengecer.
4.3
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Data primer diperoleh dari observasi yaitu pengumpulan informasi atau data-data dengan cara mengamati, mencatat dan wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dan pelaku-pelaku tataniaga di pasar. Data primer selanjutnya digunakan untuk menganalisis struktur pasar, perilaku pasar dan marjin tataniaga. Data sekunder diperoleh dari laporan perkembangan harga komoditi di pasar, hasil penelitian terdahulu dan literatur-literatur yang relevan. Data sekunder yang diperoleh dari perkembangan harga (rata-rata harga mingguan) daging domba di masing-masing pasar selanjutnya digunakan untuk pengolahan analisis keterpaduan pasar.
4.4
Model dan Metode Penelitian
4.4.1
Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan biaya penjualan
dengan pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga hasil ternak di PTR dan pasar lokal. Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya tataniaga dan keuntungan yang diterima lembaga tataniaga. Secara matematis hubungan antara marjin tataniaga,
32
biaya tataniaga dan keuntungan lembaga tataniaga dapat dinyatakan sebagai berikut : Mi = Hji - Hbi dan Mi = Bi + ? i , sehingga Hji - Hbi = Bi + ? i Keterangan : Mi = Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) Hji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) Hbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) Bi = Biaya tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) ?i = Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) i = 1, 2, 3, ……n.
Penyebaran marjin tataniaga hasil ternak dapat pula dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus : Bi Rasio Biaya – Keuntungan (%) =
x 100 % ?i
Keterangan : Bi = Biaya tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) ?i = Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) 4.4.2
Analisis Indeks Keterpaduan Pasar Penggunaan analisis korelasi harga untuk mengetahui tingkat keterpaduan
pasar suatu komoditi terkadang kurang memberikan hasil yang memuaskan. Integrasi pasar dapat disebabkan oleh adanya inflasi maupun aktivitas-aktivitas lembaga tataniaga yang dapat merubah harga. Berdasar hal tersebut, Ravallion mengembangkan metode integrasi pasar yang disebut metode autoregresif distribution lag atau model autoregresi.
33
Model autoregresi dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dengan produsen bergerak pada waktu yang sama. Model autoregresi melihat hubungan harga di tingkat pasar acuan, baik tingkat harga sebelumnya maupun tingkat tingkat harga pada waktu yang sama dan ciri-ciri pasar setempat. Untuk mengetahui tingkat keterpaduan pasar antar pasar dianalisis secara statistik dengan menggunakan model Index of Market Connection (IMC) dengan pendekatan model Autoregressive Distributed Lag. Secara matematis model tersebut diduga dengan menggunakan model kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square, OLS) sebagai berikut: Pit = b1 Pit-1 + b2 (Pjt – Pjt-1) + b3 Pjt-1 + e t Keterangan : Pit = Harga daging domba di pasar pengecer pada minggu ke-t (Rp/kg) Pit-1 = Lag harga daging domba di pasar pengecer pada minggu ke-t (Rp/kg) Pjt = Harga daging domba di pasar acuan j (PTR) pada minggu ke-t (Rp/kg) Pjt-1 = Lag harga daging domba di pasar acuan j (PTR) pada minggu ke-t (Rp/kg) bi = Parameter estimasi (bi = 1, 2, 3…) et = Random error Dari persamaan di atas indeks keterpaduan pasar (Index of Market Connection, IMC) dapat dihitung sebagai berikut : b1 IMC = b2 4.4.3
Pengujian Hipotesa Untuk mengetahui apakah secara statistik peubah bebas yang dipilih
berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tak bebas digunakan uji statistik t dan uji f. Uji t untuk menguji koefisien regresi dari masing-masing peubah
34
sehingga dapat diketahui apakah peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebasnya. Sedangkan uji f untuk mengetahui koefisien regresi secara serentak apakah peubah-peubah bebas bersama-sama menjelaskan variasi peubah tak bebasnya. (1) Keterpaduan Pasar Jangka Panjang Pengujian hipotesa atas masing-masing koefisien regresi dilakukan dengan uji t. Hipotesanya adalah : Ho : b2 = 1 Ha : b2 ? 1 Pengujian dengan t hitungnya adalah : b2 – 1 t hitung
= S?(b2)
Jika t hitung < t tabel, maka hipotesa nol diterima secara statistik. Artinya, kedua pasar terpadu sempurna dalam jangka pendek. Sedangkan jika t hitung > t tabel, maka hipotesa nol ditolak dan hipotesa alternatif diterima secara statistik. Artinya kedua pasar tidak terpadu secara sempurna dalam jangka pendek. (2) Keterpaduan Pasar Jangka Pendek Hipotesanya adalah : Ho : b1 = 0 Ha : b1 ? 0 Pengujian dengan t hitungnya adalah : b1 – 0 t hitung
= S?(b1)
35
Jika t hitung < t tabel, maka hipotesa nol diterima secara statistik. Artinya, kedua pasar terpadu sempurna dalam jangka panjang. Sedangkan jika t hitung > t tabel, maka hipotesa nol ditolak dan hipotesa alternatif diterima secara statistik. Artinya kedua pasar tidak terpadu secara sempurna dalam jangka panjang.
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Pasar Ternak Regional (PTR) Pakuwon Bojong Cideres Pasar Ternak Regional (PTR) Pakowon Bojong Cideres berada di Jl. Raya
Kadipaten – Dawuan, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Majalengka. Dibangun pada tahun anggaran 2002 dalam rangka mewujudkan visi Kabupaten Majalengka, yaitu “Majalengka Kabupaten agribisnis termaju di Jawa Barat pada tahun 2010 berbasis masyarakat agamis dan partisipatif”. Diresmikan oleh menteri Pertanian pada tanggal 10 Pebruari 2003, pasar ini merupakan pasar ternak terbesar di Jawa Barat dengan luas 3,4 hektar. Pembangunan PTR tersebut mempunyai arti yang sangat strategis bagi pemasaran ternak yang dihasilkan para petani ternak di wilayah Kabupaten Majalengka, kawasan Jawa Barat dan antar provinsi. Tujuan pendirian PTR ini diharapkan dapat berperan memfasilitasi dan mendorong berkembangnya sub sistem pemasaran ternak, meningkatkan efisiensi pemasaran ternak dan meningkatkan posisi tawar peternak baik ternak besar maupun ternak kecil. Akan tetapi kondisi di lapangan menunjukkan masih kurangnya minat dan jumlah transaksi untuk ternak besar dan unggas, hanya ternak kecil (domba dan kambing) yang terlihat sangat ramai, dimana untuk transaksi domba setiap hari berkisar antara 150 - 400 ekor. Fasilitas PTR didukung oleh dana dari Gubernur Jawa Barat tahun anggaran 2003, guna pembangunan tempat pemotongan hewan dan sarana transportasi. Saat ini fasilitas yang terdapat di PTR antara lain sebagai berikut : -
Halaman parkir
- Rumah potong hewan (RPH)
37
-
Kantor pasar
- Kandang penitipan ternak
-
Masjid
- 4 los sapi terbuka @ kapasitas 36 ekor
-
Toilet umum
- 4 los sapi tertutup @ kapasitas 25 ekor
-
Penginapan pedagang
- 2 los domba tertutup @ kapasitas 95 ekor
-
Tempat penurunan ternak
- Lapangan adu domba
-
Lapangan kontes burung
- Dll.
Pembangunan PTR seluas 3,4 hektar dinilai cukup memadai guna memfasilitasi transaksi jual beli ternak untuk cakupan regional. Akan tetapi kondisi di lapangan sehari-hari menunjukkan masih kurangnya minat peternak di daerah Majalengka maupun dari daerah lain dan pembeli untuk melakukan transaksi di PTR. Dari luar lokasi PTR, keadaan PTR terlihat sepi karena tempat los ternak dan tempat transaksi agak masuk ke dalam letaknya beberapa meter dari jalan raya dan tertutup pagar beton sehingga tidak terlihat adanya aktivitas jual beli ternak, sehingga kurang menarik minat untuk singgah. Kondisi ini diperparah dengan adanya peran calo yang setiap harinya sekitar 35 - 50 orang calo menunggu dan menghampiri setiap penjual dan pembeli yang datang ke PTR di depan pintu gerbang masuk maupun di dalam PTR. Guna menarik minat penjual dan pembeli ternak, pemerintah daerah maupun pengurus pasar giat mempromosikan dan mengundang para peternak dengan mengadakan beberapa kegiatan. Diantaranya kontes burung berkicau dan beberapa bulan terakhir telah diadakan pertunjukkan adu domba yang rencananya akan diadakan rutin setiap bulan. Kegiatan ini baru dihadiri oleh beberapa peternak dan pemilik hewan ternak dari beberapa kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
38
5.2
Pasar Kadipaten Pasar Kadipaten bisa dikatakan merupakan pasar kabupaten yang paling
ramai. Di pasar ini tidak ada istilah hari pasaran, karena kegiatan setiap hari selalu ramai. Pasar Kadipaten terletak di pintu masuk kota Majalengka dari sebelah barat, tepatnya berada di Jl. Sadewa, Desa Kadipaten, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka. Keberadaan pasar Kadipaten dalam perjalanannya sampai saat ini telah mengalami beberapa kali perbaikan. Pada tahun 1985 pasar sempat dibangun kembali setelah terjadinya kebakaran dengan dana dari Inpres tahun 1985/1986. Kemudian pada tahun 2002 dibangun kembali oleh pemerintah Kabupaten Majalengka bekerja sama dengan pihak ketiga CV. Rizki Cikijing karena kondisi pasar sudah kurang layak huni. Pembangunan ini selesai dan diserahterimakan kepada Bupati Majalengka pada tanggal 16 Pebruari 2004 dan beroperasi pada tanggal 20 Pebruari 2004. Pasar Kadipaten dibangun di atas tanah seluas 11.115 m2, terdiri dari bangunan toko dengan ukuran berbeda diantaranya 4m x 7m, 3,5m x 7m, 3,35m x 7m, 3m x 7m, dan 2,35m x 11m. Namun diantara ukuran tersebut, luas toko yang paling banyak adalah ukuran 3,5m x 7m, yaitu sebanyak 45 toko. Toko-toko yang berdiri digunakan untuk jenis dagangan alat-alat listrik, pakaian, sepatu dan sandal, onderdil motor, peralatan olah raga dll. Selain toko juga terdapat kios-kios dan los. Jumlah kios terdapat 206 bangunan dengan ukuran bervariasi 4m x 4m, 3,5m x 4m, 3,35m x 4m, 3,5m x 3,5m, 3m x 3m, 3m x 4m dan 2,65m x 3m. Bangunan kios banyak digunakan oleh pedagang pakaian, sepatu dan sandal, sembako (kelontongan), buah-buahan,
39
peralatan rumah tangga, pedagang daging, pedagang ikan, dll. Sedangkan los merupakan tempat berjualan paling banyak dengan jumlah 1.080 los dengan ukuran rata-rata 1,5m x 2m yang banyak dipergunakan oleh pedagang sayurmayur dan buah-buahan. Di pasar Kadipaten tercatat jumlah pedagang tetap sebanyak 1.004 orang dan jumlah pedagang tidak tetap sebanyak 219 orang. Mereka yang termasuk pedagang tidak tetap banyak yang menggelar barang jualannya di pinggir jalan atau yang lebih dikenal dengan sebutan “emprakan”, selain itu juga termasuk penjual dengan gerobak sampai dengan pedagang asongan.
5.3
Pasar Cigasong Pasar Cigasong terletak di jalan Pasukan Sindangkasih, Kelurahan
Cigasong, Kabupaten Majalengka. Pasar ini merupakan alihan dari pasar sebelumnya yang berada di Kelurahan Tonjong yang dulu dikenal dengan sebutan Pasar Wetan yang telah lama berfungsi sejak jaman kolonial Belanda. Di pasar ini pula dulu dikenal dengan sebutan “istal” (tempat penyimpanan kuda-kuda milik kolonial Belanda). Saat ini tempat tersebut dijadikan sarana olah raga. Sesuai dengan rencana umum tata ruang kota (RUTK) Kabupaten Majalengka berdasarkan pengembangan pembangunan kota Majalengka, pasar wetan dialihkan ke sebelah timur yang terletak di Kelurahan Cigasong. Pengalihan pasar ini juga dalam rangka mengembangkan kota Majalengka di sebelah timur dan upaya mewujudkan kebersihan, ketertiban dan keindahan kota. Pasar ini selanjutnya diberi nama Pasar Sindangkasih, akan tetapi sebagian besar masyarakat Majalengka lebih mengenal pasar tersebut dengan sebutan pasar Cigasong. Hal ini disebabkan letaknya terdapat di Kelurahan Cigasong. Pasar ini
40
dibangun oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka bekerjasama dengan pihak ke tiga, yaitu PT. Bhakti – Bandung pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1996 dan beroperasi tepat pada tanggal 27 Pebruari 1997. Pasar Cigasong dibangun di atas tanah seluas 20.000 m2, terdiri dari 37 bangunan ruko (rumah toko) yang terletak disebelah depan pintu masuk utama pasar dengan ukuran ruang jualan 4m x 6m. Bangunan ini banyak digunakan oleh pedagang pakaian, elektronik, sepatu sandal, peralatan rumah tangga dan lain-lain. Selain ruko juga terdapat kios-kios dengan 4 tipe, yaitu 31 bangunan tipe B dengan ukuran 5 m x 4m, 104 bangunan kios tipe C dengan ukuran 4m x 4m, 44 bangunan kios tipe D dengan ukuran 3m x 4m dan 356 bangunan kios tipe E dengan ukuran 3m x 3m. Bangunan-bangunan kios tersebut dipergunakan oleh berbagai macam pedagang, diantaranya pakaian, peralatan olah raga, pakan ternak, tukang cukur, warung nasi, sembako dan lain-lain. Bangunan kios tipe B, C dan D tersebar mengelilingi lokasi pasar, sedangkan kios tipe E tersebar di dalam lokasi pasar. Berbeda dengan pasar Kadipaten, jumlah los tidak sebanyak yang terdapat di sana. Di pasar Cigasong jumlah los hanya sebanyak 80 bangunan dengan ukuran 1,5m x 2m. Los-los ini umumnya digunakan oleh pedagang sayur mayur dan buah-buahan. Jumlah pedagang di pasar Cigasong terdiri dari pedagang tetap dan pedagang tidak tetap. Jumlah pedagang tetap saat ini sebesar 583 orang, pedagang ini adalah para pedagang yang berjualan di ruko, kios dan los dan telah terdaftar sebagai anggota pasar Cigasong. Sedangkan jumlah pedagang tidak tetap kurang lebih terhitung sebanyak 115 pedagang.
41
Fasilitas yang tersedia di pasar Cigasong diantarannya penerangan/listrik, air bersih (PAM), tempat parkir, MCK, mushola dan TPS. Di pasar Cigasong kebersihan ditangani oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan baik sarana, personil maupun pemungutan retribusinya. Parkir ditangani oleh Dinas Perhubungan, sedangkan untuk keamanan dan ketertiban pasar telah dibentuk Satgas/ satpam yang bertanggungjawab terhadap jalannya ketertiban dan keamanan lingkungan pasar yang berada di bawah tanggung jawab Sub Seksi Ketertiban dan Penerangan Pasar. Letak pasar Cigasong juga bersebelahan dengan terminal angkutan kota. Terminal ini dilalui oleh angkutan kota jurusan Majalengka – Kadipaten, Cikijing – Kadipaten, Cikijing – Bandung, Rajagaluh – Majalengka, Rajagaluh – Bekasi dan trayek lainnya. Keberadaan terminal ini membuat pasar Cigasong terlihat ramai, meskipun menurut taksiran pengamatan peneliti besarnya transaksi harian di pasar Cigasong tidak lebih besar dari pasar Kadipaten. Pada era otonomi daerah saat ini, pasar bukan suatu unit kerja yang termasuk dalam susunan/ struktur organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan secara langsung. Akan tetapi hanya merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi Kepala Bidang Pengelolaan Pasar dan berada di bawah kinerja Seksi Retribusi dan Bina Pasar yang dipimpin oleh seorang staf selaku koordinator Pelaksana Pengelolaan Pasar. Posisi ini ditunjuk dan ditugaskan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Tugas pokok koordinator Pelaksana Pengelola Pasar selain mengkoordinir dan menyetorkan pungutan retribusi juga mengkoordinasikan pelaksanaan ketertiban dan kebersihan lingkungan pasar dengan dinas/instansi terkait setempat dan melaporkannya apabila ada hal-hal
42
yang tidak dapat diselesaikan kepada Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk ditindaklanjuti di tingkat Kabupaten. Untuk efektifitas pelaksanaan tugas di pasar, dibentuk petugas pelaksana dimana struktur organisasi untuk pasar Kadipaten dan pasar Cigasong sama, yaitu sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini : Gambar 3. Struktur Organisasi Pasar Kadipaten & Pasar Cigasong Koordinator Pelaksana
Pemegang Adm
Pemegang Kebersihan
Pemegang Ketertiban
Sumber : Pemegang Administrasi Pasar, 2006.
Pemegang Data Pasar
Pemegang Data Sembako
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1
Analisis Saluran Pemasaran Komoditi yang diteliti adalah daging domba. Pada penelitian ini, daging
domba diperoleh dari para peternak di berbagai Kecamatan di Kabupaten Majalengka, terutama dari Kadipaten, Majalengka, Maja, Rajagaluh dan Jatiwangi yang menjual ternaknya di PTR. Selain itu terdapat pula beberapa pasokan hewan ternak domba dari luar kota, seperti dari Kabupaten Sumedang dan Indramayu. Saluran pemasaran daging domba di Majalengka melibatkan berbagai pelaku pasar, yaitu pedagang pengumpul desa, penyalur/pemasok domba (valent domba), pedagang besar (jagal) dan pedagang pengecer. Hubungan pedagang pengumpul/valent domba dengan pedagang besar/ jagal adalah hubungan orang sekampung yang sudah terjalin lama. Saluran pemasaran daging domba ini sangat dipengaruhi oleh hubungan dagang dan saling percaya antara pelaku pemasaran, dan hubungan dagang seperti ini sangat sulit berubah karena telah terjalin selama bertahun-tahun. Tataniaga daging domba di Majalengka dimulai dari PTR yang merupakan pemasok utama daging domba untuk wilayah konsumen Majalengka. Di PTR terdapat sekitar 54 calo yang berperan dalam menghubungkan antara penjual dan pembeli ternak domba. Dari PTR pedagang pemasok memperoleh ternak domba untuk selanjutnya dijual kembali kepada pedagang besar. Di pedagang besar ternak domba dipotong untuk dijual dagingnya kepada pedagang pengecer di pasar lokal maupun kepada konsumen akhir. Saluran pemasaran daging domba secara rinci dapat dilihat pada Gambar 4 :
44
Peternak
Pedagang Pengumpul Desa
PTR
Calo
Pedagang Pemasok / Valent
Pedagang Besar Cigasong
Pedagang Besar Kadipaten
Pedagang Pengecer Cigasong
Pedagang Pengecer Kadipaten
Konsumen Akhir
Gambar 4. Saluran Pemasaran Daging Domba di Kab. Majalengka Sesuai dengan ruang lingkup penelitian yaitu menganalisis tataniaga daging domba dari pemasok di PTR sampai ke konsumen, maka pola saluran pemasaran yang dianalisis adalah sebagai berikut : Saluran I
: Pedagang Pemasok – Pedagang Besar Kadipaten – Pedagang Pengecer Kadipaten – Konsumen Akhir
Saluran II
: Pedagang Pemasok – Pedagang Besar Cigasong – Pedagang Pengecer Cigasong – Konsumen Akhir
6.2
Analisis Fungsi Tataniaga Fungsi-fungsi tataniaga merupakan tindakan yang dapat memperlancar
proses penyampaian barang dari tangan produsen sampai dengan konsumen akhir. Tindakan ini memberikan nilai tambah terhadap produk daging domba. Fungsi
45
tataniaga terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Lembaga pemasaran daging domba di Majalengka terdiri dari pedagang pengumpul, calo, pedagang pemasok/valent, pedagang besar/jagal dan pedagang pengecer. Setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi/aktivitas sesuai dengan peran dan kemampuan dengan mengharapkan balasan jasa atas fungsi yang diperankannya tersebut. Pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran fisik yang meliputi pembelian dan penjualan. Ternak domba dibeli dari peternak untuk kemudian dijual kembali di PTR. Pedagang pengumpul menjual ternak domba di PTR tidak berdasarkan permintaan tertentu, melainkan bisa sewaktu-waktu tergantung kepemilikan ternak dombanya. Pedagang pengumpul yang jaraknya jauh dari PTR mengangkut domba dengan menggunkan kendaraan sepeda motor atau mobil. Pedagang pengumpul juga membayar retribusi di PTR setiap kali menjual tiap domba serta menyampaikan informasi harga ke peternak. Di PTR terdapat peran calo sebagai penghubung antara penjual dan pembeli. Calo-calo di PTR jumlahnya tercatat 53 orang, baik yang terdapat di dalam
PTR
maupun
di
depan
pintu
gerbang
PTR.
Selain
berperan
menghubungakan penjual dan pembeli, calo ikut menyampaikan informasi harga dan informasi produk. Setiap calo biasanya mempunyai pengetahuan mengenai ternak domba berikut dapat memproyeksikan berapa jumlah daging yang akan dihasilkan dari setiap ekor domba, meskipun hasilnya tidak selalu akurat. Calo di PTR memperoleh keuntungan yang beragam atas tindakan yang dilakukan. Biasanya tiap calo memperoleh pendapatan sekitar 2-5 persen dari tiap harga jual ternak domba atas jasa yang mereka berikan.
46
Pedagang pemasok atau yang dikenal juga dengan sebutan valent domba adalah orang yang mencari hewan ternak domba kemudian membeli dan menjualnya kembali masih dalam keadaan hidup kepada pedagang besar/jagal. Para pedagang pemasok ini sudah berpengalaman bertahun-tahun dalam pengetahuan kualitas domba berikut dapat menilai dengan akurat berapa jumlah daging yang dihasilkan dari satu ekor domba. Penilaian jumlah daging ini tidak mudah, mengingat berat domba hidup belum tentu mencerminkan jumlah daging yang akan dihasilkan. Oleh sebab itu para jagal tidak mau mengambil resiko membeli daging domba secara langsung ke peternak atau di PTR, selain karena kesibukannya memotong dan menjual kembali daging domba. Pedagang pemasok melakukan fungsi pertukaran meliputi pembelian dan penjualan. Perlakuan fungsi fisik pemasaran untuk pengangkutan domba dan bongkar muat apabila dalam jumlah besar. Sedangkan fungsi fasilitas pemasaran meliputi fungsi standarisasi dan grading, penanggungan resiko dan fungsi informasi. Pedagang besar membeli ternak domba dalam keadaan hidup dari pedagang pemasok, kemudian memotong domba yang kebanyakan dilakukan di tempatnya masing-masing. Hanya beberapa orang yang memotong domba di RPH. Hal ini dilakukan oleh para jagal guna menghindari biaya potong (pajak/retribusi). Pedagang besar melakukan fungsi pertukaran, yaitu pembelian dan penjualan kepada pengecer dan sebagian ke konsumen. Perlakuan fungsi fisik pemasaran meliputi penyimpanan, pengolahan (pemotongan). Sedangkan fungsi fasilitas pemasaran meliputi penanggungan resiko, informasi pasar, retribusi pasar, retribusi potong dan sewa tempat.
47
Pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran, yaitu membeli daging domba dari pedagang besar kemudian menjualnya kepada konsumen. Fungsi fisik meliputi transportasi dan sewa tempat. Di Kabupaten Majalengka untuk pedagang pengecer jumlahnya tidak terlalu banyak, sebagian besar penjualan daging domba didominasi oleh pedagang besar baik di pasar Kadipaten maupun di pasar Cigasong. Fungsi pemasaran setiap pelaku pemasaran dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini : Tabel 5. Fungsi Lembaga Pemasaran Daging Domba di Kab. Majalengka Fungsi Pedagang Calo PemaPed. Ped. Tataniaga Pengumpul sok Besar Pengecer 1. F. Pertukaran a. Pembelian v X v v v b. Penjualan v X v v v 2. F. Fisik a. Penyimpanan v X v v v b. Pengangkutan v X v v v c. Pengolahan X X X v X (Pemotongan) 3. F. Fasilitas a. Standarisasi v X v v v b. Penanggungan v v v v v resiko c. Pembiayaan v X v v v d. Retribusi pasar v X v v v e. Retribusi potong X X X v X f. Informasi v v v v X g. Bongkar muat v X v v X Ket : v melakukan aktivitas fungsi pemasaran X tidak melakukan aktivitas fungsi pemasaran
6.3
Analisis Struktur Pasar Struktur pasar yang dihadapi oleh para pelaku tataniaga dianalisis dengan
melihat jumlah pelaku yang terlibat, diferensiasi produk dan hambatan masuk bagi para pesaing baru. Analisis struktur pasar tidak dilakukan kepada pelaku pasar
48
pengumpul dan calo. Hal ini disebabkan antara lain karena penelitian ini difokuskan pada 3 pelaku pasar sesuai pola saluran yang dianalisis, selain itu kedua pelaku pasar ini tidak sepenuhnya selalu aktif melakukan kegiatan di PTR. Pedagang pengumpul jumlahnya sangat banyak, sedangkan yang melakukan transaksi di pasar setiap hari selalu berbeda-beda dan lokasi pengumpul yang berjauhan (dari luar kota) menyulitkan penulis untuk menganalisis lebih lanjut. Begitu pula dengan calo, mereka tidak memiliki waktu yang pasti untuk melakukan kegiatan di PTR sebagai calo. Keterlibatannya dipandang sebagai pengisi waktu luang dan untung-untungan meski juga melakukan fungsi pemasaran. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis struktur pasar dilakukan pada pedagang pemasok, pedagang besar dan pengecer.
6.3.1
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pemasok dan Pedagang Besar Jumlah pedagang pemasok tercatat berjumlah 9 orang untuk memasok
ternak domba ke pasar Kadipaten dan Cigasong. Pedagang pemasok ini tersebar 6 orang yang biasa memasok untuk pasar kadipaten dan sebanyak 3 orang yang biasa memasok di pasar Cigasong. Dalam penjualan ternak domba harga cenderung ditetapkan oleh pedagang pemasok kepada pedagang besar. Hal ini disebabkan tingkat pengetahuan mengenai ternak domba yang dijual dan perkiraan jumlah daging yang akan dihasilkan lebih diketahui oleh pemasok. Hambatan untuk masuk pasar sebagai pedagang pemasok yaitu kebutuhan modal yang besar dan tingkat informasi/ pengetahuan terhadap ternak domba menjadi kendala bagi pemain baru. Selain itu, hubungan yang telah terjalin lama dan kepercayaan menjadi hambatan lain bagi pemain baru. Begitu pula sebaliknya untuk pedagang besar, dibutuhkan modal yang cukup besar dan tingkat informasi
49
serta hubungan dagang dengan pemasok yang telah terjalin lama menjadi kendala bagi pemain baru. Ternak domba yang dibeli oleh pedagang pemasok sebagian besar diperoleh dari PTR dan beberapa kecamatan di Majalengka. Ternak domba yang diperdagangkan oleh pedagang pemasok pada dasarnya bersifat homogen (seragam), dalam arti tidak ada diferensiasi harga karena penentuan harga jual ternak domba berdasarkan harga karkas (tulang daging) yang berlaku pada waktu tertentu. Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa struktur pasar di tingkat pemasok adalah tidak bersaing sempurna (oligopoli), sedangkan struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang besar ketika berhubungan dengan pedagang pengumpul adalah oligopsoni.
6.3.2
Stuktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer Pembelian daging domba oleh pedagang pengecer ( pasar Kadipaten dan
pasar Cigasong ) dilakukan dalam partai kecil sehingga kebutuhan modal relatif lebih kecil. Hal ini mengakibatkan rendahnya hambatan untuk masuk pasar. Selain itu produk daging domba yang diperjualbelikan di tingkat pedagang pengecer tidak terdapat perbedaan. Harga daging domba di tingkat pedagang pengecer biasanya sudah tetap berdasarkan harga yang berlaku di pasaran pada saat itu. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan terjadi tawar-menawar diantara pengecer dengan konsumen akhir. Oleh karena itu pedagang pengecer dan konsumen tidak dapat mempengaruhi pasar. Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat disimpulkan
50
bahwa struktur pasar di tingkat pedagang pengecer adalah cenderung bersaing sempurna.
6.4
Analisis Perilaku Pasar Tingkah laku lembaga pemasaran ditunjukan oleh perilaku pasar pada
struktur pasar tertentu dalam melakukan pembelian dan penjualan. Perilaku pasar dalam penelitian ini diamati dengan melihat sistem penentuan harga dan pembayaran harga daging domba serta kerjasama yang terjadi diantara lembaga yang terlibat.
6.4.1
Sistem Penentuan Harga Pedagang pemasok ternak domba melakukan pembelian langsung ke PTR
dari para peternak dan pedagang pengumpul. Kadang kala apabila harga domba kurang cocok atau kualitas domba dipandang kurang baik dan tidak akan memberikan hasil daging yang banyak, mereka melakukan pembelian domba langsung ke peternak di desa-desa. Penentuan harga ternak domba biasanya dilakukan berdasarkan harga karkas (tulang dan daging) per kilogram yang berlaku di PTR kemudian dikalikan dengan perkiraan berat karkas domba setelah pemasok menilai domba. Tidak ada metode khusus untuk menilai berat karkas dari domba hidup, para pedagang pemasok hanya melihat bentuk badan (dedegan) domba kemudian memegang bagian-bagian tertentu dari tubuh domba (dada, paha, dan punuk). Setelah itu mereka langsung bisa menentukan perkiraan berapa berat karkas yang akan dihasilkan.
51
Tidak jauh berbeda dengan penentuan harga domba di pedagang pemasok, penentuan harga di tingkat pedagang besar juga demikian. Penentuan harga juga dengan mengacu pada harga berat karkas di PTR, walaupun biasanya harga di tingkat pemasok menjadi lebih tinggi dengan pertimbangan jasa pemilihan domba dan biaya transportasi karena domba biasanya diantar langsung ke pedagang besar untuk dipotong. Penentuan harga di tingkat pedagang besar terkadang ditentukan setelah domba dipotong. Hal ini biasanya dilakukan guna menghindari kerugian oleh pedagang besar yang diakibatkan berat karkas kurang sesuai atau lebih rendah dari penilaian karkas domba hidup. Walaupun menurut pengalaman yang selama ini terjadi, berat karkas yang dihasilkan tidak jauh berbeda beratnya dari penilaian pedagang pemasok. Penentuan harga di tingkat pedagang pengecer dengan pedagang besar dilakukan dengan sistem sepihak. Hal ini mengingat daya tawar pedagang besar lebih besar, karena para pedagang besar juga menjual daging domba yang telah dipotong langsung ke konsumen dan mereka sudah mempunyai langganan tetap. Walaupun demikian harga yang diberikan lebih murah kepada pedagang pengecer karena mereka membeli dalam jumlah yang lebih besar dan pasti.
6.4.2
Sistem Pembayaran Harga Pedagang pemasok membeli ternak domba secara tunai berdasarkan harga
yang telah disepakati dengan peternak di PTR. Kemudian domba-domba diangkut langsung ke pedagang besar dengan menggunakan sepeda motor atau mobil apabila jumlahnya banyak. Pembayaran oleh pedagang besar biasanya dilakukan secara tertunda, yaitu pedagang besar membayar setelah daging domba laku
52
terjual atau dengan kata lain pembelian domba hari ini biasanya dibayar pada keesokan harinya. Selain itu, kadang kala sistem pembayaran dilakukan secara bertahap (kredit), yaitu setelah pedagang besar dan pemasok menyetujui harga domba lalu pembayaran dilakukan setengahnya. Sisa dari kewajiban dibayar oleh jagal pada saat pengiriman ternak domba berikutnya. Sistem pembayaran seperti ini juga dilakukan pada transaksi antara pedagang besar dengan pengecer.
6.4.3
Kerjasama Lembaga Tataniaga Berdasarkan ruang lingkup penelitian ini, lembaga-lembaga tataniaga yang
terlibat adalah pedagang pemasok, pedagang besar dan pedagang pengecer. Kerjasama yang terjadi antara pedagang pemasok dengan pedagang besar disebabkan karena hubungan dagang yang terjalin lama selama bertahun-tahun, tidak jarang pula adanya hubungan saudara antara pedagang pemasok dengan pedagang besar. Selain itu, adanya fluktuasi harga daging domba akibat tidak sesuainya antara penawaran dan permintaan daging domba mendorong perlunya hubungan kerjasama antar lembaga tersebut untuk stabilisasi pasar. Adapun bentuk kerjasama yang dilakukan dapat berbentuk kerjasama antar lembaga pemasaran yang berbeda maupun sesama lembaga pemasaran. Kerjasama antara lembaga pemasaran yang dilakukan antara pedagang pemasok dengan pedagang besar adalah pemberian keringanan pembayaran dengan cara pembayaran kemudian atau cicilan. Hal ini meringankan para pedagang besar mengingat daging domba yang dijual terkadang tidak laku seluruhnya dalam satu hari. Pemberian informasi perkembangan harga karkas oleh pemasok juga tidak kalah pentingnya dalam penentuan harga jual daging domba kepada konsumen.
53
Kerjasama antara pedagang besar dengan pedagang pengecer di masingmasing pasar dilakukan dengan pinjaman modal, sekaligus guna dijadikan pelanggan. Modal pinjaman dikembalikan berangsur pada setiap pengambilan daging domba. Kerjasama antar sesama lembaga pemasaran dilakukan oleh pedagang besar terutama dalam penetapan harga. Adanya kerjasama tersebut menyebabkan harga beli daging domba di masing-masing pasar menjadi relatif seragam.
6.5
Analisis Marjin Tataniaga Penelitian ini dilakukan di pasar ternak regional dan dua pasar lokal yang
merupakan lokal terbesar di Majalengka. Oleh karena itu analisis majin tataniaga daging domba dilakukan pada tingkat harga daging domba di PTR dan tingkat harga daging domba di pasar lokal, yaitu pada pedagang pemasok, pedagang besar dan pengecer. Nilai marjin tataniaga pada setiap tingkat pelaku pasar adalah jumlah dari biaya pemasaran yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil.
6.5.1
Marjin Tataniaga Tingkat Pedagang Pemasok di PTR Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pemasok tidak begitu
banyak jenisnya, hal ini disebabkan para pedagang pemasok tidak melakukan fungsi pemasaran sebanyak pedagang besar dan pedagang pengecer. Mereka hanya melakukan pembelian domba di PTR kemudian menjualnya kembali secara langsung kepada pedagang besar. Biaya tataniaga daging domba di tingkat pedagang pemasok terdiri atas biaya transportasi (biaya angkut), biaya retribusi PTR dan biaya bongkar muat. Perhitungan penyebaran marjin di tingkat pedagang pemasok dapat dilihat pada Tabel 6.
54
Biaya angkut merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut domba dari PTR ke tempat pedagang pemasok untuk ditampung atau langsung ke pedagang besar (jagal) untuk dipotong. Biaya angkut besarnya tergantung dari jarak lokasi pedagang pemasok dengan PTR. Biaya angkut yang dikeluarkan oleh pedagag pemasok adalah sebesar Rp. 76,38/kg. Nilai biaya angkut diperoleh berdasarkan rata-rata biaya angkut per kilogram daging domba yang ditetapkan oleh setiap pedagang pemasok. Tabel 6.
Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Pemasok Pasar Ternak Regional Biaya Harga % dari harga No. Unsur Biaya (Rp/kg) (Rp/kg) jual 1. PTR Harga Jual 28.612,50 2. Pedagang Pemasok Harga Beli 28.612,50 90,91 B. Angkut 76,38 0,24 B. Retribusi 52,91 0,17 B. Bongkar muat 264,56 0,84 ? 2.467,40 7,84 Marjin Tataniaga 2.861,25 Harga Jual 31.473,75 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2006 Biaya retribusi merupakan biaya parker dan lain-lain ketika membeli dombadi PTR yang dikeluarkan oleh pedagang pemasok. Biaya ini besarnya ratarata Rp. 52,91/kg daging domba. Sedangkan biaya bongkar muat merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pemasok ketika mengangkat domba-domba ke kendaraan. Pihak yang dibayar jasanya untuk mengangkat domba biasanya para calo yang ada di PTR. Biaya bongkar muat rata-rata yang ditetapkan oleh pedagang pemasok sebesar Rp. 264,56/kg.
55
Pada tingkat pedagang pemasok besarnya marjin tataniaga adalah sebesar Rp. 2.861,25 dimana terdiri dari biaya tataniaga sebesar Rp. 393,85 (13,74 persen) dan sisanya sebesar Rp. 2.467,40 (86,26 persen) merupakan keuntungan. Apabila dihitung rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga (Rasio ? /C), maka besarnya rasio untuk daging domba di tingkat pedagang pemasok adalah sebesar 6,26. Nilai ? /C lebih besar dari satu, artinya dari setiap satu unit biaya yang dikeluarkan pedagang pemasok memperoleh keuntungan lebih besar dari satu unit biaya yang dikeluarkan.
6.5.2
Marjin Tataniaga Tingkat Pedagang Besar di Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong Biaya tataniaga daging domba di tingkat pedagang besar pasar Kadipaten
dan Pasar Cigasong terdiri atas biaya angkut, biaya retribusi potong, biaya retribusi pasar, biaya penyusutan dan biaya pemeliharaan seperti terdapat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7.
Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Besar Pasar Kadipaten Biaya Harga % dari harga No. Unsur Biaya (Rp/kg) (Rp/kg) jual 1. Pedagang Pemasok Harga Jual 31.473,75 2. Pedagang Besar Harga Beli 31.473,75 90,40 B. Angkut 34,06 0,10 B. Retribusi Pasar 16,61 0,05 B. Retribusi Kebersihan 2,77 0,01 B. Retribusi Keamanan 4,15 0,01 B. Retribusi Potong 201,53 0,58 B. Penyusutan 1.441,58 4,14 B. Pemeliharaan 100,77 0,29 B. Bongkar muat 251,91 0,72 ? 1.287,87 3,70 Marjin Tataniaga 3.341,25 Harga Jual 34.815,00 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2006
56
Biaya angkut merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut domba dari pedagang pemasok atau mengangkut daging domba dari rumah pedagang besar untuk dijual di pasar. Biaya angkut yang dikeluarkan besarnya tergantung dari jarak antara tempat pedagang besar tinggal dengan pedagang pemasok atau dengan pasar dimana mereka berjualan. Besarnya biaya angkut yang dikeluarkan untuk pedagang besar di pasar Kadipaten sebesar Rp. 34,06/kg, sedangkan untuk pedagang besar di pasar Cigasong sebesar Rp. 61,81. Biaya bongkar muat adalah biaya yang dikeluarkan guna membayar jasa untuk menurunkan domba dan membereskan daging yang sudah dipotong. Besarnya biaya bongkar muat yang dikeluarkan oleh pedagang besar pasar Kadipaten sebesar Rp. 251,91/kg dan sebesar Rp. 244,71/kg untuk pedagang besar pasar Cigasong. Tabel 8. Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Besar Pasar Cigasong Biaya Harga % dari harga No. Unsur Biaya (Rp/kg) (Rp/kg) jual 1. Pedagang Pemasok Harga Jual 31.473,75 2. Pedagang Pemasok Harga Beli 31.473,75 87,07 B. Angkut 61,81 0,17 B. Retribusi Pasar 16,36 0,05 B. Retribusi Kebersihan 4,91 0,01 B. Retribusi Keamanan 4,91 0,01 B. Retribusi Potong 261,73 0,72 B. Penyusutan 1.400,36 3,87 B. Pemeliharaan 157,04 0,43 B. Bongkar muat 244,71 0,68 ? 2.522,86 6,98 Marjin Tataniaga 4.674,69 Harga Jual 36.148,44 100 Sumber : Data Primer (diolah), 2006 Biaya retribusi potong domba yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Majalengka sebesar Rp. 2.000/ ekor. Sehingga apabila dihitung rata-rata biaya
57
dengan jumlah daging domba yang terjual selama periode penelitian diperoleh angka Rp. 201,53/kg untuk pedagang besar pasar Kadipaten dan Rp. 261,73/kg untuk pedagang beasar pasar Cigasong. Pada masing-masing pasar lokal terdapat biaya-biaya retribusi yang harus dikeluarkan oleh setiap pedagang. Biaya-biaya retribusi tersebut terdiri dari retribusi pasar, retribusi kebersihan dan retribusi keamanan yang besarnya bervariasi untuk masing-masing pasar. Pada pasar Kadipaten biaya retribusi pasar yang harus dikeluarkan setiap hari sebesar Rp. 1.200, tambahan lain sebesar Rp. 200 untuk retribusi kebersihan dan sebesar Rp. 300 untuk retribusi keamanan. Sedangkan di pasar Cigasong besarnya biaya retribusi pasar yang harus dikeluarkan setiap hari sebesar Rp. 1.000, tambahan lain sebesar Rp. 300 untuk retribusi dan sebesar Rp. 300 untuk retribusi keamanan. Setelah dihitung besarnya rata-rata biaya retribusi untuk pedagang besar di masing-masing pasar, diperoleh besarnya total ketiga biaya retribusi yang dikeluarkan tersebut yaitu sebesar Rp. 23,53/kg untuk pedagang besar pasar Kadipaten dan Rp. 26,18/kg untuk pedagang besar pasar Cigasong. Pada tingkat pedagang besar, terjadi penyusutan produk daging domba. Penyusutan disini adalah nilai bobot timbang ketika setelah daging baru dipotong menjadi turun bobotnya setelah dipajang beberapa jam. Hal ini disebabkan tingkat kadar air di dalam daging menurun karena dipajang (digantung). Tingkat penyusutan bobot daging domba umumnya menurun 0,5 kg per 10 kg daging domba, sehingga didalam perhitungan biaya penyusutan dipergunakan penyusutan 0,5 kg per 10 kg daging. Hasil perhitungan diperoleh biaya penyusutan yang
58
dikeluarkan oleh pedagang besar pasar Kadipaten sebesar Rp. 1.441,58/kg dan Rp. 1.400,36 untuk pedagang besar di pasar Cigasong. Sebagaimana umumnya produk pertanian, daging domba merupakan produk yang cepat rusak. Umumnya daging domba hanya bisa bertahan selama satu hari tanpa perawatan. Guna menghindari kerugian yang berlebihan diluar akibat menurunnya kadar air, maka para pedagang melakukan perawatan sehingga diperlukan biaya. Perawatan daging domba dilakukan dengan cara diberi es atau disimpan di dalam lemari es. Dengan perawatan tersebut, apabila daging domba yang tidak seluruhnya habis dalam waktu satu hari dapat bertahan sampai dua hari untuk dijual keesokan harinya. Daging yang sudah lewat dari dua hari biasanya dibuat dendeng untuk kemudian dijual kembali meski demikian harganya menjadi turun. Biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pedagang besar di pasar Kadipaten dan pasar Cigasong masing-masing sebesar Rp. 100,77/kg dan Rp. 157,04/kg. Pada tingkat pedagang besar di pasar Kadipaten besarnya marjin tataniaga daging domba adalah sebesar Rp. 3.341,25. Dimana nilai marjin tersebut terdiri dari biaya tataniaga sebesar Rp. 2.053,38 (61.46 persen) dan sisanya sebesar Rp. 1.287,87 (38,54 persen) merupakan keuntungan. Pada tingkat pedagang besar pasar Cigasong besarnya marjin tataniaga daging domba sebesar Rp. 4.674,69. Nilai marjin tersebut terdiri dari biaya tataniaga sebesar Rp. 2.151,83 (46,03 persen) dan Rp. 2.522,86 (53,97 persen) merupakan keuntungan. Apabila dihitung rasio marjin keuntungan terhadap biaya tataniaga (Rasio ? /C), maka besarnya rasio untuk daging domba di tingkat pedagang besar untuk masing-masing pasar Kadipaten dan Cigasong adalah sebesar 0,63 dan 1,17. Nilai
59
? /C lebih besar dari nol menunjukkan bahwa masing-masing pedagang besar di kedua pasar tersebut memperoleh keuntungan dari kegiatan usahanya. Akan tetapi keuntungan yang diperoleh oleh pedagang besar di pasar Kadipaten dengan posisinya sebagai pedagang besar tidak lebih besar dari pedagang besar di pasar Cigasong, hal ini dapat dilihat dari nilai ? /C yang lebih besar dari satu, sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar dari satu unit biaya yang dikeluarkan.
6.5.3
Marjin Tataniaga Tingkat Pedagang Pengecer Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong Komponen biaya tataniaga daging domba di tingkat pedagang pengecer
tidak jauh berbeda dengan komponen biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar. Perbedaannya, pedagang pengecer tidak mengeluarkan biaya untuk retribusi potong, hal ini disebabkan pedagang pengecer tidak melakukan pemotongan ternak domba, malinkan melakukan pembelian dalam bentuk daging domba kepada pedagang besar. Selain itu pedagang pengecer tidak mengeluarkan biaya bongkar muat, mengingat volume penjualan tidak sebesar pedagang besar. Pada masing-masing pasar lokal terdapat biaya-biaya retribusi yang harus dikeluarkan oleh setiap pedagang pengecer. Biaya-biaya tersebut besarnya sebagaimana yang dipaparkan pada pedagang besar terdiri dari retribusi pasar, retribusi kebersihan dan retribusi keamanan yang besarnya bervariasi untuk masing-masing pasar. Total ketiga biaya retribusi yang dikeluarkan tersebut di pasar Kadipaten yaitu sebesar Rp. 58,41/kg dan sebesar Rp. 53,44/kg untuk pedagang pengecer pasar Cigasong, sebagaimana tercantum pada Tabel 9 dan Tabel 10.
60
Tabel 9. Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Pengecer Pasar Kadipaten Biaya Harga % dari harga No. Unsur Biaya (Rp/kg) (Rp/kg) jual 1. Pedagang Besar Harga Jual 34.815,00 2. Pedagang Pengecer 92,53 34.815,00 Harga Beli 0,22 82,26 B. Angkut 0,11 41,23 B. Retribusi Pasar 0,02 6,87 B. Retribusi Kebersihan 0,03 10,31 B. Retribusi Keamanan 1,58 594,63 B. Penyusutan 0,24 89,85 B. Pemeliharaan 7,47 1.984,85 ? 2.810,00 Marjin Tataniaga 100,00 37.625,00 Harga Jual Sumber : Data Primer (diolah), 2006 Biaya angkut merupakan biaya yang dikeluarkan untuk me ngangkut daging domba dari pedagang besar ke pasar. Biaya angkut besarnya tergantung dari jarak lokasi pedagang besar dengan pasar. Biaya angkut yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer pasar Kadipaten adalah sebesar Rp. 82,26/kg dan sebesar Rp. 129,99/kg oleh pedagang pengecer pasar Cigasong. Tabel 10. Analisis Marjin Tataniaga Daging Domba di Tingkat Pedagang Pengecer Pasar Cigasong Biaya Harga % dari harga No. Unsur Biaya (Rp/kg) (Rp/kg) jual 1. Pedagang Besar Harga Jual 36.148,44 2. Pedagang Pengecer Harga Beli 36.148,44 87,50 B. Angkut 129,99 0,31 B. Retribusi Pasar 33,40 0,08 B. Retribusi Kebersihan 10,02 0,02 B. Retribusi Keamanan 10,02 0,02 B. Penyusutan 603,74 1,46 B. Pemeliharaan 80,17 0,19 ? 4.296,72 10,40 Marjin Tataniaga 5.164,06 Harga Jual 41.312,50 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2006
61
Biaya penyusutan yang dikeluarkan untuk setiap kilogram daging domba oleh tiap pedagang pengecer di pasar Kadipaten dan pasar Cigasong adalah masing-masing sebesar Rp. 594,63 dan Rp. 603,74. Nilai penyusutan daging diperoleh berdasarkan rata-rata penetapan masing pedagang pengecer, yaitu berkisar 25 persen dari tiap 10 kg daging domba. Biaya perawatan merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer untuk tetap menjaga daging domba dari kerusakan. Biaya ini sebesar Rp. 89,85/kg untuk pedagang pengecer di pasar Kadipaten dan sebesar Rp. 80,17/kg untuk pedagang pengecer di pasar Cigasong. Pada tingkat pedagang pengecer di pasar Kadipaten besarnya marjin tataniaga daging domba adalah sebesar Rp. 2.810,00. Marjin tataniaga tersebut terdiri dari Rp. 825,15 (29,36 persen) biaya dan sebesar Rp. 1.984,85 (70,64 persen) merupakan keuntungan. Sedangkan di tingkat pedagang pengecer pasar Cigasong besarnya marjin tataniaga daging domba adalah sebesar Rp. 5.164,06. Dimana terdiri dari Rp. 867,34 (16,80 persen) merupakan biaya tataniaga dan sebesar Rp. 4.296,72 (83,20 persen) adalah keuntungan.
6.5.4
Analisis Penyebaran Marjin Tataniaga Daging Domba Pasar Ternak Regional dengan Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong. Total marjin tataniaga daging domba dari pedagang pemasok di PTR
dengan pedagang pengecer di pasar Kadipaten (Saluran I) lebih kecil dari total marjin tataniaga daging domba dari pedagang pemasok di PTR dengan pedagang pengecer di pasar Cigasong (Saluran II), masing-masing sebesar Rp. 9.012,50/kg atau sebesar 23,95 persen dari harga jual ke konsumen dan Rp. 12.700,00/kg atau
62
sebesar 30,74 dari harga beli konsumen seperti terlihat pada Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11. Analisis Penyebaran Marjin Tataniaga Daging Domba Pasar Ternak Regional dan Pasar Kadipaten, Sept – Okt 2006. Biaya Harga % dari harga No. Unsur Biaya (Rp/kg) (Rp/kg) jual 1. PTR Harga Jual 28.612,50 76,05 2. Pedagang Pemasok 76,05 28.612,50 Harga Beli 0,20 76,38 B. Angkut 0,70 52,91 B. Retribusi 0,14 264,56 B. Bongkar muat 6,56 2.467,40 ? 2.861,25 Marjin Tataniaga 83,65 31.473,75 Harga Jual 3. Pedagang Besar Harga Beli 31.473,75 83,65 B. Angkut 34,06 0,09 B. Retribusi Pasar 16,61 0,04 B. Retribusi Kebersihan 2,77 0,01 B. Retribusi Keamanan 4,15 0,01 B. Retribusi Potong 201,53 0,54 B. Penyusutan 1.441,58 3,83 B. Pemeliharaan 100,77 0,27 B. Bongkar muat 251,91 0,67 ? 1.287,87 3,42 Marjin Tataniaga 3.341,25 Harga Jual 34.815,00 92,53 4. Pedagang Pengecer Harga Beli 34.815,00 92,53 B. Angkut 82,26 0,22 B. Retribusi Pasar 41,23 0,11 B. Retribusi Kebersihan 6,87 0,02 B. Retribusi Keamanan 10,31 0,03 B. Penyusutan 594,63 1,58 B. Pemeliharaan 89,85 0,24 ? 1.984,85 5,27 Marjin Tataniaga 2.810,00 Harga Jual 37.625,00 100,00
Dari total marjin tataniaga pada Saluran I tersebut, nilai marjin tataniaga paling besar pada tingkat pedagang besar yaitu sebesar Rp. 3.341,25. Hal ini
63
disebabkan biaya tataniaga dan fungsi tataniaga dalam tataniaga daging domba di daerah konsumen pasar Kadipaten dan Cigasong lebih banyak dilakukan oleh pedagang besar dari pada pedagang pemasok dan pedagang pengecer. Biaya-biaya tataniaga pedagang besar sangat beragam, sehingga biaya tataniaga yang terbesar ditanggung oleh pedagang besar. Biaya tataniaga yang paling besar dikeluarkan oleh pedagang besar adalah biaya penyusutan, hal ini mengingat daging domba merupakan produk hasil pertanian yang sifatnya mudah rusak. Akan tetapi meskipun besarnya marjin tataniaga di tingkat pedagang besar lebih besar karena biaya tataniaga yang tinggi, keuntungan tertinggi diperoleh oleh pedagang pemasok yang justru paling kecil mengeluarkan biaya tataniaga serta sedikit melakukan fungsi pemasaran pada Saluran I. Hal ini menunjukkan belum efisiennya tataniaga daging domba dan tidak proporsionalnya bagian (keuntungan) yang diterima oleh masing-masing lembaga pemasaran. Pedagang pemasok terlalu besar mengambil keuntungan. Dari Tabel 12 dapat terlihat pada saluran pemasaran II, yaitu dari pedagang pemasok di PTR sampai pengecer di pasar Cigasong. Nilai marjin tataniaga paling besar pada pedagang pengecer sebesar Rp. 5.164,06. Nilai marjin tataniaga di pedagang pengecer lebih besar dari pada pedagang besar dan pedagang pemasok, meskipun besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan lebih kecil dari pedagang besar. Dengan kata lain marjin tataniaga tersebut lebih banyak mengandung unsur keuntungan. Sedangkan pedagang besar memperoleh keuntungan terkecil. Hal ini menunjukkan belum efisiennya tataniaga daging domba pada saluran II dan tidak proporsionalnya bagian keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga pemasaran.
64
Meskipun demikian, marjin tataniaga dan keuntungan yang diperoleh pedagang besar kemungkinan akan lebih besar dari hasil analisis ini apabila penjualan jeroan domba dan penjualan yang dilakukan di luar pasar diperhitungkan. Dalam hal ini penjualan kepada para pedagang sate dan restauran yang tidak masuk dalam pembahasan penelitian ini. Tabel 12. Analisis Penyebaran Marjin Tataniaga Daging Domba Pasar Ternak Regional dan Pasar Cigasong, Sept – Okt 2006. Biaya Harga % dari harga No. Unsur Biaya (Rp/kg) (Rp/kg) jual 1. PTR Harga Jual 28.612,50 69,26 2. Pedagang Pemasok Harga Beli 28.612,50 69,26 B. Angkut 76,38 0,18 B. Retribusi 52,91 0,13 B. Bongkar muat 264,56 0,64 ? 2.467,40 5,97 Marjin Tataniaga 2.861,25 Harga Jual 31.473,75 76,18 3. Pedagang Besar Harga Beli 31.473,75 76,18 B. Angkut 61,81 0,15 B. Retribusi Pasar 16,36 0,04 B. Retribusi Kebersihan 4,91 0,01 B. Retribusi Keamanan 4,91 0,01 B. Retribusi Potong 261,73 0,63 B. Penyusutan 1.400,36 3,39 B. Pemeliharaan 157,04 0,38 B. Bongkar muat 244,71 0,59 ? 2.522,86 6,11 Marjin Tataniaga 4.674,69 Harga Jual 36.148,44 87,50 4. Pedagang Pengecer Harga Beli 36.148,44 87,50 B. Angkut 129,99 0,31 B. Retribusi Pasar 33,40 0,08 B. Retribusi Kebersihan 10,02 0,02 B. Retribusi Keamanan 10,02 0,02 B. Penyusutan 603,74 1,46 B. Pemeliharaan 80,17 0,19 ? 4.296,72 10,40 Marjin Tataniaga 5.164,06 Harga Jual 41.312,50 100,00
65
Berdasarkan Tabel 13 dapat terlihat bahwa keuntungan tertinggi diperoleh oleh pedagang pengecer di pasar Cigasong, diikuti oleh pedagang pengecer di pasar Kadipaten masing-masing sebesar 9,66 dan 6,98 persen dari harga jualnya. Pedagang pengecer pasar Cigasong memperoleh keuntungan yang lebih besar disebabkan harga jual daging domba dari sejak berdirinya pasar dikenal lebih tinggi dibanding harga jual daging domba di pasar lainnya disebabkan pasar Cigasong dikategorikan sebagai pasar kota, karena letaknya di dalam kota Majalengka. Tabel 13. Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga dan Rasio ? /C Daging Domba di PTR, Pasar Kadipaten dan Pasar Cigasong dari Harga Jual Daging Domba per Kilogram, September – Oktober 2006. Pasar Kadipaten Pasar Cigasong Ped. Ped. Ped. Ped. Uraian PTR Besar Pengecer Besar Pengecer Biaya (C) 1,25 5,90 2,19 5,95 2,10 Keuntungan (? ) 7,84 3,70 5,28 6,98 10,40 Marjin Tataniaga 9,09 9,60 7,47 12,93 12,50 Rasio ? /C 6,27 0,63 2,41 1,17 4,95
Dari Tabel 13 tersebut juga memperlihatkan rasio keuntungan dengan biaya tataniaga belum merata, hal ini dapat dilihat dengan rasio yang sangat besar diterima oleh pedagang pemasok (pasar acuan) dengan perbedaan cukup signifikan dengan para pelaku di pasar pengecer (pedagang besar dan pengecer). Dengan biaya tataniaga yang kecil dan fungsi pemasaran yang tidak banyak dilakukan pedagang pemasok memperoleh rasio keuntungan yang paling besar dibanding lembaga pemasaran lain. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan struktur pasar di pedagang pemasok yang berbentuk oligopoli sehingga lebih leluasa menentukan keuntungan dan harga jual. Perbedaaan rasio keuntungan dengan biaya yang ditanggung dan tidak meratanya nilai marjin tataniaga yang
66
diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga tersebut menunjukkan belum terwujudnya efisiensi marjin tataniaga daging domba dengan baik. Setelah diketahui bahwa marjin tataniaga di tiap saluran belum efisien dan juga diketahui besaran penyebaran marjinnya, diharapkan hasil analisis ini dapat bermanfaat setidaknya sebagai masukan agar dicari pemecahan masalah sesuai dengan penyebab tingginya marjin, sehingga marjin pemasaran daging domba menjadi lebih efisien. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan meningkatkan kontrol pemerintah daerah setempat terhadap perkembangan harga daging domba, agar pelaku pasar tidak membebankan keuntungan terhadap harga jual terlalu tinggi.
6.6
Analisis Keterpaduan Pasar Analisis keterpaduan pasar menjelaskan tingkat integrasi antara dua
tingkat pasar dari suatu komoditi tertentu. Keterpaduan pasar juga menjelaskan seberapa besar harga di tingkat pasar tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat pasar lainnya. Penelitian ini ingin melihat keterpaduan pasar antara tingkat pasar pemasok di PTR dengan pengecer di pasar lokal Kadipaten dan pasar Cigasong. Pengumpulan data dilakukan di masing-masing pasar (PTR, pasar Kadipaten dan Cigasong) dari laporan perkembangan harga mingguan daging domba dari bulan Januari 2006 sampai dengan Oktober 2006 seperti dapat dilihat pada Lampiran 1.
6.6.1
Analisis Keterpaduan Pasar Antara PTR dengan Pasar Kadipaten Berdasarkan hasil regresi model Ravallion (Lampiran 2), diperoleh
persamaan integrasi pasar pengecer Kadipaten dengan PTR sebagai berikut :
67
Pit = 0,519 Pit-1 + 1,10 (Pjt – Pjt-1) + 0,597 Pjt-1 Nilai koefisien b1 = 0,519 menjelaskan bahwa kenaikan harga daging domba pada minggu sebelumnya di tingkat pedagang pengecer Kadipaten berpengaruh dalam menentukan harga daging domba minggu sekarang di tingkat pedagang pengecer Kadipaten dengan asumsi faktor penentu harga cateris paribus. Hal ini berarti kenaikan harga sebesar Rp. 100,- per kilogram daging domba akan meningkatkan harga daging domba di pedagang pengecer pasar Kadipaten pada minggu sekarang sebesar Rp. 51,9 per kilogram. Nilai koefisian b2 = 1,10 menunjukkan terjadinya keterpaduan pasar antara pedagang pengecer di Kadipaten dengan PTR dalam jangka panjang. Hal ini didukung oleh hasil uji hipotesis (t-hitung) untuk melihat keterpaduan pasar jangka panjang menunjukkan hipotesis nol (nilai koefisien b2 = 1) diterima secara statistik pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan persentase perubahan harga yang terjadi di PTR sebagian besar akan dialihkan/diinformasikan kepada pedagang pengecer di Kadipaten. Sedangkan nilai IMC = 0,869 menunjukkan tidak terpadunya pasar dalam jangka pendek antara PTR dengan pasar Kadipaten. Hal ini berarti perubahan harga daging domba belum dapat disampaikan secara transparan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji hipotesis (t-hitung) untuk melihat keterpaduan pasar jangka pendek, menunjukkan hipotesis nol (nilai koefisien b1=0) ditolak secara ststistik pada taraf nyata 0,05. Nilai b3 > b1, artinya kondisi harga yang terjadi pada minggu sebelumnya di PTR lebih berpengaruh dibanding harga di tingkat pengecer di pasar Kadipaten pada minggu sebelumnya terhadap pembentukan harga yang terjadi pada minggu sekarang di pedagang pengecer pasar Kadipaten.
68
Hasil uji t menunjukkan bahwa masing-masing peubah bebas yang terdapat dalam model berpengaruh terhadap harga di tingkat pedagang pengecer. Hal ini dibuktikan dengan nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel pada taraf nyata 0,05. Demikian pula hasil pengujian dengan menggunakan uji f, menunjukkan bahwa semua peubah bebas dalam model secara bersama-sama dapat menjelaskan pembentukan harga di tingkat pedagang pengecer. Hal ini dapat dilihat dari nilai f hitung yang lebih besar dari nilai f tabel pada taraf uji 0,05. Rincian hasil analisis keterpaduan pasar antara PTR dengan pasar Kadipaten dapat di lihat pada Tabel 14 di bawah ini : Tabel 14. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar PTR dengan Pasar Kadipaten Uraian Nilai t - hitung b1 0,519 3,62 b2 1,1 4,11 b3 0,597 3,33 IMC 0,869 f – hitung 19245,93 Nilai DW 1,74
6.6.2
Analisis Keterpaduan Pasar Antara PTR dengan Pasar Cigasong Berdasarkan hasil pengolahan data untuk keterpaduan pasar pengecer
Cigasong dengan PTR diperoleh hasil sebagai berikut : Pit = 0,768 Pit-1 + 0,444 (Pjt – Pjt-1) + 0,322 Pjt-1 Nilai koefisien b1 = 0,768 menjelaskan bahwa kenaikan harga daging domba pada minggu sebelumnya di tingkat pedagang pengecer Cigasong berpengaruh dalam menentukan harga daging domba pada minggu sekarang di di tingkat pedagang pengecer Cigasong dengan asumsi faktor penentu harga cateris paribus. Hal ini berarti kenaikan harga daging domba sebesar Rp. 100,- per
69
kilogram akan meningkatkan harga daging domba di pedagang pengecer pasar Cigasong pada minggu sekarang sebesar Rp. 76,8 per kilogram. Nilai keofisien b2 = 0,444 menunjukkan tidak terpadunya pasar antara pedagang pengecer di pasar Cigasong dengan PTR dalam jangka panjang. Hal ini didukung oleh hasil uji hipotesis (t-hitung) untuk melihat keterpaduan pasar jangka panjang menunjukkan hipotesis nol (nilai koefisien b2 =1) ditolak secara statistik pada taraf nyata 0,05. Persentase perubahan harga yang terjadi di PTR tidak dialihkan kepada pedagang pengecer di pasar Cigasong, rambatan harga berdasarkan waktu tidak dialihkan sempurna untuk kedua pasar. Nilai IMC yang diperoleh sebesar 2,387 menunjukkan tidak terpadunya pasar dalam jangka pendek antara PTR dengan pasar Cigasong. Hal ini berarti perubahan harga daging domba belum dapat disampaikan secara transparan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji hipotesis (t-hitung) untuk melihat keterpaduan pasar jangka pendek menunjukkan hipotesis nol (nilai koefisien b1=0) ditolak secara statistik pada taraf nyata 0,05. Nilai b3 lebih kecil dari nilai b1 menunjukkan kondisi harga yang terjadi pada waktu sebelumnya di tingkat pedagang pengecer pada minggu sebelumnya lebih berpengaruh dibanding tingkat harga pada minggu sebelumnya di PTR terhadap pembentukan harga yang terjadi pada minggu sekarang di tingkat pedagang pengecer pasar Cigasong. Hasil uji t menunjukkan bahwa masing-masing peubah bebas yang terdapat dalam model berpengaruh terhadap harga di tingkat pedagang pengecer. Hal ini dibuktikan dengan nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel pada taraf uji 0,05. Demikian pula hasil pengujian dengan menggunakan f hitung,
70
menunjukkan bahwa semua peubah bebas dalam model secara bersama-sama dapat menjelaskan pembentukan harga di tingkat pedagang pengecer. Hal ini dapat dilihat dari nilai uji f hitung yang lebih besar dari nilai f tabel pada taraf uji 0,05. Rincian hasil analisis keterpaduan pasar antara PTR dengan pasar Cigasong dapat di lihat pada Tabel 15 di bawah ini : Tabel 15. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar PTR dengan Pasar Cigasong Uraian Nilai t - hitung 0,768 8,28 b1 0,444 1,04 b2 0,322 2,48 b3 2,378 IMC 9660,77 f – hitung 1,811 Nilai DW Secara relatif, pasar pengecer Kadipaten lebih mendekati efisien dan terpadu dibandingkan dengan pasar pengecer Cigasong. Hal ini dapat dilihat dari nilai IMC pasar Kadipaten dengan PTR yang jauh lebih mendekati nilai nol, yaitu 0,869 dibandingkan dengan pasar Cigasong dengan PTR yaitu sebesar 2,378. Menurut Heytens (1986), dalam suatu sistem pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lain. Semakin cepat laju penyaluran, semakin terpadu kedua pasar tersebut. Keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya. Dengan demikian fluktuasi perubahan harga terjadi pada suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang sama (proporsional).
71
Dari hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa antara pasar pemasok dan pasar pengecer pada saluran I terpadu pada jangka panjang tetapi tidak dalam jangka pendek, sedangkan pada saluran II hasil analisis menunjukkan tidak terdapat keterpaduan pasar baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan tingkat perubahan harga daging domba di tingkat pedagang pemasok pada saluran I lebih bisa ditransfer lebih cepat dan tepat kepada tingkat pedagang pengecer dibandingkan dengan pada saluran II dengan tingkat perubahan harga yang relatif sama. Sedangkan pada saluran II, fluktuasi perubahan harga daging domba yang terjadi hampir tidak mengikuti besarnya tingkat perubahan di pasar pemasok sehingga hasil analisis menunjukkan tidak terjadi keterpaduan pasar. Apabila melihat kondisi di lapangan, hal ini berhubungan dengan jarak antara pasar pemasok (PTR) dengan pasar pengecer pada saluran I (pasar Kadipaten) lebih dekat, yaitu berjarak sekitar 3,5 km. Sedangkan pasar pemasok dengan pasar pengecer di Saluran II (pasar Cigasong) jaraknya lebih jauh, yaitu berjarak lebih dari 15 km. Sehingga perubahan harga lebih bisa ditransformasikan secara lebih baik pada saluran I. Dengan diketahuinya tingkat keterpaduan pasar antara dua pasar pemasok dan pengecer pada penelitian ini, diharapkan dapat berguna sebagai informasi awal dan masukan guna meningkatkan ketersediaan informasi pasar (terutama harga). Maka untuk langkah tersebut perlu melibatkan para pelaku pasar agar lebih bekerjasama dan berkomunikasi mengenai informasi pasar dimaksud. Selain itu juga perlu melibatkan pemerintah, misalnya dengan mengaktifkan fungsifungsi fasilitas masing-masing pasar.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Proses penyaluran tataniaga daging domba di daerah konsumen pasar
Kadipaten dan pasar Cigasong melibatkan tiga lembaga tataniaga utama, yaitu pedagang pemasok, pedagang besar dan pedagang pengecer. Pasar Ternak Regional sebagai pedagang pemasok yang menjual domba kepada pedagang besar yang memotong domba kemudian sebagian menjual daging domba kepada pedagang pengecer di pasar lokal untuk dijual kepada konsumen akhir. Saluran pemasaran yang dianalisis di lokasi penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu saluran I : Pedagang Pemasok – Pedagang Besar Kadipaten – Pedagang Pengecer Kadipaten – Konsumen Akhir. Saluran II : Pedagang Pemasok – Pedagang Besar Cigasong – Pedagang Pengecer Cigasong – Konsumen Akhir. Dalam proses penyaluran ini dilakukan fungsi-fungsi tataniaga, diantaranya fungsi penjualan dan pembelian, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Analisis struktur pasar menunjukkan struktur pasar di PTR yang dialami oleh pedagang pemasok cenderung oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terlalu banyak penjual, produk yang homogen dan kekuatan tawar-menawar yang relatif lebih dikuasia oleh pemasok dari PTR. Sedangkan analisis struktur pasar di pasar pengecer menunjukkan strutur pasar di tingkat pedagang besar cenderung oligopsoni. Hal ini ditunjukkan dalam perilaku pasar, dimana penentuan harga lebih ditentukan oleh pedagang pemasok yang mempunyai kekuatan tawar lebih tinggi dibanding pedagang besar. Sedangkan struktur pasar di tingkat pedagang pengecer cenderung bersaing sempurna. Hal ini ditunjukkan dengan cukup banyak
73
penjual, kemudahan memasuki pasar dan produk yang homogen serta pengecer bertindak sebagai penerima harga. Berdasarkan analisis sebaran marjin tataniaga dapat diketahui bahwa sebaran marjin kurang merata. Rasio keuntungan dengan biaya tataniaga tidak merata diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga. Pemasok memperoleh rasio keuntungan yang sangat besar dengan perbedaan yang cukup signifikan dengan pedagang besar dan pengecer, meskipun pedagang pemasok paling sedikit mengeluarkan biaya tataniaga dan sedikit melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Hal ini menunjukkan tataniaga daging domba belum efisien. Akan tetapi secara operasional, tataniaga daging domba dari PTR ke pasar kadipaten lebih efisien daripada ke pasar Cigasong. Hal ini ditunjukkan dengan lebih kecilnya total rata-rata biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp. 3.272,38/kg daging domba dibanding dengan dari PTR ke pasar Cigasong sebesar Rp. 3.413,02/kg. Hal ini juga dapat dilihat dari total marjin tataniaga yang lebih kecil, masing-masing sebesar Rp. 9.012,50/kg (23,95 persen dari harga jual konsumen pasar Kadipaten) dan Rp. 12.700,00 (30,74 persen dari harga jual konsumen pasar Cigasong). Nilai koefisian b2 = 1,10 pada pasar Kadipaten menunjukkan terjadinya keterpaduan pasar antara pedagang pengecer di Kadipaten dengan PTR dalam jangka panjang. Hal ini didukung oleh hasil uji hipotesis (t-hitung) untuk melihat keterpaduan pasar jangka panjang menunjukkan hipotesis nol (nilai koefisien b2 = 1) diterima secara statistik pada taraf nyata 0,05. Hasil analisis keterpaduan pasar di pasar Cigasong diperoleh nilai b2 sebesar 0,444 yang menunjukkan bahwa perubahan harga di PTR tidak diteruskan secara proposional terhadap pasar
74
pengecer. Keadaan ini menunjukkan integrasi pasar jangka panjang tingkat pedagang pengecer dari PTR belum sempurna. Sedangkan integrasi pasar jangka pendek antara pasar Kadipaten dengan PTR secara relatif lebih mendekati efisien dan terpadu dibanding dengan pasar Cigasong dengan PTR. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IMC pasar Kadipaten dengan PTR lebih mendekati nol (0,869) dibandingkan dengan pasar pengecer Cigasong dengan PTR sebesar 2,378.
7.2.
Saran Kontrol pemerintah daerah (Pemda) kabupaten Majalengka sangat
dibutuhkan, terutama monitoring harga daging domba. Hal ini mengingat saat ini penetapan harga daging domba diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, sehingga pelaku pasar sangat leluasa menentukan besarnya keuntungan yang diterima yang mengakibatkan tingginya marjin dan sistem tataniaga daging domba menjadi tidak efisien. Disarankan
perlunya
kerjasama
yang
saling
membutuhkan
dan
menguntungkan diantara lembaga tataniaga yang terlibat, mengingat sistem tataniaga daging domba di daerah kabupaten Majalengka sangat ditentukan oleh pedagang pemasok, pedagang besar dan pedagang pengecer. Kerjasama antara lembaga tataniaga tersebut disarankan lebih kepada informasi harga, dengan harapan agar sistem tataniaga daging domba di lokasi penelitian menjadi lebih terpadu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem tataniaga daging domba di kabupaten Majalengka dengan wilayah penelitian yang lebih luas, sehingga diharapkan diperoleh hasil yang lebih mewakili seluruh kabupaten Majalengka.
DAFTAR PUSTAKA Bahtiar, Amin. 1994. Analisis Marjin Keuntungan pada Lembaga Tataniaga Tingkat Pemasok dan Penyalur Daging Sapi di DKI Jakarta (Suatu Studi Kasus). Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian. Institur Pertanian Bogor. Bogor. Dahl, DC and JW. Hammond. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industry. Mc. GrawHill Book Company. NewYork. Dillon,
HS. 1998. Manajemen Distribusi Produk-Produk members.tripod.com/~seminar/dillon.htm.
Agroindustri.
Fatimah, Fita S. 1999. Analisis Marjin Pemasaran dan Keterpaduan Pasar Minyak Goreng Curah di DKI Jakarta. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fitriadi. 2004. Analisis Efisiensi dan Distribusi Marjin Pemasaran Jagung Muda (Studi Kasus di Kec. Payakumbuh Utara, Payakumbuh, Sumatera Barat). Sripsi Sarjana. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Herawati, Lilis. 1997. Analisi Rugi Laba dan Marjin Tataniaga Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) (Studi Kasus di Desa Sukaharja Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor). Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heytens, PJ. 1986. Testing Marketing Integration. Food Research Institute Studies. Stanford University. Joenis, Rachmita. 1999. Analisis Sistem Tataniaga Jeruk Siam Garut (kasus Desa Cinta Rakyat, Kec. Semarang, Kab. DATI II Garut, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu social Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Khols, P and WD. Downey. 1972. Marketing of Agricultural Products. The Macmillan Company. NewYork. Kotler, Philip dan Amstrong, Gary. 1992. Dasar-Dasar Pemasaran. Edisi V, Jilid 2. CV Intermedia Jakarta. Jakarta. Limbong, WH. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Program Studi Manajemen Koperasi Unit Desa (KUD). Fakultas Politeknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
76
Mughni, Zaenal Abidin. 1996. Analisis Sistem Tataniaga Sapi potong di Kec. Sigi Biromaru, Kab. Donggola, Sulawesi Tengah. Skripsi Sarjana. Fakultas Peternakan. Institur Pertanian Bogor. Bogor. Muslikh. 2000. Analisis Sistem Tataniaga Cabai Rawit mErah (Capsicum frutescens) di DKI Jakarta. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, Budi. 1991. Analisis Pemasaran Mangga di Kabupaten Indramayu (Studi Kasus Kec. Jatibarang, Kab. Indramayu, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahardjo, Yonathan. 2000. Supaya
[email protected]
Swasembada
Daging
Berhasil.
Rangkuti, Freddy. 2005. Riset Pemasaran. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Ravallion, M. 1986. Testing Marketing Integration. Journal of Agricultural Economics. American Agricultural Economics. Rukmana, Rahmat. 2003. Pengembangan Agribisnis Berbasis Peternakan Kabupaten Majalengka. Sub Dinas Peternakan. Dinas Pertanian. Kabupaten Majalengka. Majalengka. Rusfidra, Ahmad. Memajukan Agribisnis Bidang Peternakan. Pikiran Rakyat. Edisi Selasa, 1 Juni 2004. Bandung. Sa’id, Gumbira dan Dewi Galuh C. 2003. Kinerja Agribisnis Indonesia Pasca Krisis. Agrimedia Volume 8, No. 2 – April 2003. Jakarta. Sugeng Y. Bambang dan Sudarmono. 2005. Berternak Domba. Penebar Swadaya. Depok. Supramono dan Haryanto, Joni O. 2005. Desain Proposal Penelitian Studi Pemasaran. Penerbit Andi. Yogyakarta. Suriayana, Nanang. 2005. Analisis Tataniaga Beras di Pasar Tradisional dan Modern di DKI Jakarta. Skripsi Sarjana. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
77
Lampiran 1. Perhitungan Rata-Rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Pemasok di Pasar Ternak Regional, September – Oktober 2006.
No. Resp. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rataan
Volume 140 144 136 95 80 99 76 144 108 113,56
B. Ret. PTR 50,00 55,56 58,82 52,63 50,00 45,45 52,63 55,56 55,56 52,91
BM 250,00 277,78 294,12 263,16 250,00 227,27 263,16 277,78 277,78 264,56
(Rp/Kg) Trans. 28,57 27,78 29,41 63,16 50,00 60,61 131,58 111,11 185,19 76,38
Keterangan : No. Resp. : Nomor responden Volume : Rata-rata jumlah daging domba yang dijual selama Sep – Okt 2006 B. Ret. PTR : Biaya retribusi dan parkir BM : Biaya bongkar muat Trans. : Biaya transportasi
78
Lampiran 2. Perhitungan Rata-Rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Besar di Pasar Kadipaten, September – Oktober 2006. (Rp/Kg) No. Resp.
Vol.
B. Ret. Kbrshn
B. Ret. Kmnan
B. Ret. Psr
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rataan
112,50 103,21 84,86 84,40 83,41 76,41 76,61 72,18 58,27 61,46 59,91 45,90 76,60
1,78 1,94 2,36 2,37 2,40 2,62 2,61 2,77 3,43 3,25 3,34 4,36 2,77
2,67 2,91 3,54 3,55 3,60 3,93 3,92 4,16 5,15 4,88 5,01 6,54 4,15
10,66 11,63 14,14 14,22 14,39 15,71 15,66 16,63 20,59 19,52 20,03 26,14 16,61
Keterangan : No. Resp. Vol. B. Ret. Kbrshn B. Ret. Kmnan B. Ret. Psr B. Ret. Ptng Trans. Peny. Pemeliharaan BM
B. Ret. Ptng 195,45 193,77 212,11 213,27 215,79 209,41 208,84 193,97 205,94 195,24 200,29 174,29 201,53
Trans
Peny
Pemeliharaan
BM
17,77 38,75 23,57 23,70 23,98 39,26 39,16 41,57 51,48 32,54 33,38 43,57 34,06
1.398,06 1.386,10 1.517,23 1.525,55 1.543,61 1.497,91 1.493,88 1.387,51 1.473,10 1.396,58 1.432,71 1.246,73 1.441,58
97,72 96,89 106,05 106,64 107,90 104,70 104,42 96,99 102,97 97,62 100,15 87,15 100,77
244,31 242,22 265,13 266,59 269,74 261,76 261,05 242,47 257,42 244,05 250,37 217,86 251,91
: Nomor responden : Rata-rata jumlah daging domba yang dijual selama September s/d Oktober 2006 : Biaya retribusi kebersihan Rp. 200,-/hari : Biaya retribusi keamanan Rp. 300,-/hari : Biaya retribusi pasar Rp. 1.200,-/hari : Biaya retribusi potong domba Rp. 2.000,-/ekor : Biaya transportasi : Biaya penyusutan daging domba (+/- 0,5 kg/10 kg daging) : Biaya pemeliharaan daging domba : Biaya bongkar muat
79
Lampiran 3. Perhitungan Rata-Rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Besar di Pasar Cigasong, September – Oktober 2006. (Rp/Kg) No. Resp.
Vol.
B. Ret. Kbrshn
B. Ret. Kmnan
1 2 3 4 5 6 Rataan
81,33 71,41 75,14 63,06 53,85 41,48 64,38
3,69 4,20 3,99 4,76 5,57 7,23 4,91
3,69 4,20 3,99 4,76 5,57 7,23 4,91
Keterangan : No. Resp. Vol. B. Ret. Kbrshn B. Ret. Kmnan B. Ret. Psr B. Ret. Ptng Trans. Peny. Pemeliharaan BM
B. Ret. Psr 12,30 14,00 13,31 15,86 18,57 24,11 16,36
B. Ret. Ptng
Trans
Peny
Pemeliharaan
BM
196,74 224,05 212,94 253,72 297,14 385,77 261,73
36,89 28,01 53,24 63,43 92,85 96,44 61,81
1.407,32 1.402,33 1.523,21 1.361,15 1.328,40 1.379,75 1.400,36
118,04 134,43 127,77 152,23 178,28 231,46 157,04
245,93 245,06 266,18 237,86 232,14 241,11 244,71
: Nomor responden : Rata-rata jumlah daging domba yang di jual selama September s/d Oktober 2006 : Biaya retribusi kebersihan Rp. 300,-/hari : Biaya retribusi keamanan Rp. 300,-/hari : Biaya retribusi pasar Rp. 1.000,-/hari : Biaya retribusi potong domba Rp. 2.000,-/ekor : Biaya transportasi : Biaya penyusutan daging domba (+/- 0,5 kg/10 kg daging) : Biaya pemeliharaan daging domba : Biaya bongkar muat
80
Lampiran 4. Perhitungan Rata-Rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Pengecer di Pasar Kadipaten, September – Oktober 2006.
No. Resp.
Vol.
B. Ret. Kbrshn
B. Ret. Kmnan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Rataan
95,68 87,73 72,13 71,74 70,90 64,95 65,12 61,35 49,53 52,24 22,36 18,77 14,74 15,35 13,79 10,41 49,17
2,09 2,28 2,77 2,79 2,82 3,08 3,07 3,26 4,04 3,83 8,94 10,66 13,57 13,03 14,51 19,21 6,87
3,14 3,42 4,16 4,18 4,23 4,62 4,61 4,89 6,06 5,74 13,42 15,98 20,36 19,54 21,76 28,81 10,31
Keterangan : No. Resp. Vol. B. Ret. Kbrshn B. Ret. Kmnan B. Ret. Psr Trans. Peny. Pemeliharaan
B. Ret. Psr 12,54 13,68 16,64 16,73 16,93 18,48 18,43 19,56 24,23 22,97 53,66 63,94 81,42 78,18 87,04 115,25 41,23
Trans
(Rp/Kg) Peny Pemeliharaan
20,90 45,59 27,73 27,88 28,21 46,19 46,07 48,90 80,76 38,28 89,44 213,12 135,71 130,29 145,06 192,08 82,26
180,89 197,28 239,94 241,25 244,11 266,49 265,78 282,12 349,44 331,29 639,74 762,24 970,74 466,00 518,81 686,97 594,63
83,61 79,79 97,04 83,64 84,63 92,39 92,14 81,50 100,96 76,57 89,44 106,56 135,71 65,15 72,53 96,04 89,85
: Nomor responden : Rata-rata jumlah daging domba yang di jual selama September s/d Oktober 2006 : Biaya retribusi kebersihan Rp. 200,-/hari : Biaya retribusi keamanan Rp. 300,-/hari : Biaya retribusi pasar Rp. 1.200,-/hari : Biaya transportasi : Biaya penyusutan daging domba : Biaya pemeliharaan daging domba
81
Lampiran 5. Perhitungan Rata-Rata Biaya Tataniaga Daging Domba Pedagang Pengecer di Pasar Cigasong, September – Oktober 2006.
No. Resp.
Vol.
B. Ret. Kbrshn
B. Ret. Kmnan
1 2 3 4 5 6 7 8 Rataan
60,99 53,56 56,35 47,30 40,39 31,11 18,68 12,08 40,06
4,92 5,60 5,32 6,34 7,43 9,64 16,06 24,84 10,02
4,92 5,60 5,32 6,34 7,43 9,64 16,06 24,84 10,02
Keterangan : No. Resp. Vol. B. Ret. Kbrshn B. Ret. Kmnan B. Ret. Psr Trans. Peny. Pemeliharaan
B. Ret. Psr 16,40 18,67 17,75 21,14 24,76 32,15 53,55 82,82 33,40
Trans
49,19 37,34 70,98 84,57 123,81 128,59 214,19 331,26 129,99
(Rp/Kg) Peny Pemeliharaan 296,33 337,46 320,73 382,14 447,54 581,05 766,06 592,39 603,74
39,35 44,81 42,59 50,74 59,43 77,15 128,51 99,38 80,17
: Nomor responden : Rata-rata jumlah daging domba yang di jual selama September s/d Oktober 2006 : Biaya retribusi kebersihan Rp. 300,-/hari : Biaya retribusi keamanan Rp. 300,-/hari : Biaya retribusi pasar Rp. 1.000,-/hari : Biaya transportasi : Biaya penyusutan daging domba : Biaya pemeliharaan daging domba
82 Lampiran 6. Perkembangan Rata-rata Mingguan Harga Daging Domba Bulan
Minggu
Januari
I II III IV
Rata-rata Pebruari
I II III IV
Rata-rata Maret
I II III IV
Rata-rata April
I II III IV
Rata-rata Mei
I II III IV
Rata-rata Juni
I II III IV
Rata-rata Juli
I II III IV
Rata-rata Agustus
I II III IV
Rata-rata September
I II III IV
Rata-rata Oktober
Rata-rata
I II III IV
PTR (pemasok) 30,000.00 30,000.00 30,000.00 29,000.00 29,750.00 29,000.00 29,000.00 28,000.00 28,000.00
Harga (Rp/kg) Pengecer Pasar Kadipaten 40,000.00 40,000.00 40,000.00 35,000.00 38,750.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00
Pengecer Pasar Cigasong 45,000.00 45,000.00 45,000.00 45,000.00 45,000.00 42,000.00 42,000.00 42,000.00 42,000.00
28,500.00 28,000.00 28,000.00 28,000.00 28,000.00 28,000.00
35,000.00 35,000.00 35,000.00 34,000.00 34,000.00 34,500.00
42,000.00 42,000.00 42,000.00 40,000.00 40,000.00 41,000.00
27,000.00 27,000.00 27,000.00 27,000.00 27,000.00 27,500.00 27,500.00 27,500.00 27,500.00 27,500.00 27,500.00 27,500.00 28,000.00 28,000.00 27,750.00 28,000.00 28,000.00 28,000.00 28,000.00 28,000.00 28,000.00 28,000.00 29,000.00 29,000.00 28,500.00 29,000.00 29,000.00 29,000.00 29,000.00 29,000.00 30,000.00 31,500.00 32,500.00 34,500.00 32,125.00
33,000.00 33,000.00 33,000.00 33,000.00 33,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 38,500.00 40,000.00 42,000.00 40,500.00 40,250.00
37,000.00 37,000.00 37,000.00 37,000.00 37,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 40,000.00 40,000.00 40,000.00 40,000.00 40,000.00 40,000.00 40,000.00 40,000.00 40,000.00 40,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 35,000.00 37,500.00 38,000.00 40,000.00 40,000.00 38,875.00 41,500.00 43,500.00 45,000.00 45,000.00 43,750.00
83
Lampiran 7. Hasil Regresi Pengecer Kadipaten dengan PTR (Pemasok) Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pjt - Pjt-1, Pjt-1 The regression equation is Pit = 0.519 Pit-1 + 1.10 (Pjt - Pjt-1) + 0.597 Pjt-1 Predictor Noconstant Pit-1 Pjt - Pj Pjt-1
Coef
SE Coef
T
P
VIF
0.5185 1.1030 0.5966
0.1434 0.2686 0.1789
3.62 4.11 3.33
0.001 0.000 0.002
4.5 1.2 4.6
S = 925.0 Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF SS MS 3 49398699500 16466233167 36 30800500 855569 39 49429500000
Durbin-Watson statistik = 1.74
F 19245.93
P 0.000