PENGARUH KONSENTRASI UBA (Adinandra acuminata KORTH) YANG BERBEDA TERHADAP KEKUATAN PUTUS DAN KEMULURAN BENANG TETORON PADA ALAT TANGKAP PAYANG DI ULAK KARANG, KOTA PADANG Oleh: Silmi Riza Safitri, Yuspardianto, Suardi ML Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat Jln. Sumatera Ulak Karang, Padang – Sumatera Barat
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh konsentrasi “uba” (Adinandra acuminata KORTH)yang berbeda terhadap kekuatan putus (breaking strength) dan kemuluran (elongation) benang tetoron pada alat tangkap payang. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 30 Juni sampai 6 Juli 2005 di Laboratorium Alat Tangkap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, Pekanbaru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yang dilakukan di Laboratorium Alat Tangkap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, Pekanbaru dengan mengamati kekuatan putus dan kemuluran benang tetoron yang menggunakan pengawet dengan konsentrasi yang berbeda sebagai perlakuan dalam penelitian ini, yaitu; (1) perlakuan A = 0,3 kg/liter air, (2) perlakuan B = 0,5 kg/liter air, (3) perlakuan C = 0,7 kg/liter air, (4) perlakuan D = 0,9 kg/liter air. Masing-masing perlakuan dilakukan 10 kali ulangan. Adapun prosedur penelitian ini dilakukan dengan tahapan persiapan, pembuatan bahan pengawet, pengukuran benang sampel, pengawetan, penjemuran, pemotongan benang uji, dan pengujian. Dari data hasil pengukuran kekuatan putus benang dapat dilihat bahwa nilai kekutan putus benang yang paling tinggi yaitu benang perlakuan C dengan nilai 4,65 kgf; kemudian diikuti oleh perlakuan B dengan nilai 4,55 kgf; perlakuan D dengan nilai 4,50 kgf dan perlakuan A dengan nilai 3,20 kgf. Pada ANAVA (analisis varian) terdapat perbedaan kekuatan putus benang dimana nilai F hitung=4,5997 lebih besar daripada F tabel =4,51 (F hitung>F tabel), sehingga dapat disimpulkan bahwa HO ditolak dan Hi diterima pada taraf α = 0,01 atau tingkat kepercayaan 99% Nilai kemuluran yang paling tinggi yaitu benang perlakuan B dengan nilai 23,7 mm; kemudian perlakuan C dengan nilai 22,7 mm; perlakuan D dengan nilai 20,7 mm dan perlakuan A dengan nilai 19,0 mm. Perlakuan dalam perendaman pada konsentrasi uba yang berbeda dapat meningkatkan nilai kemuluran pada benang tetoron.
PENDAHULUAN Luas perairan Propinsi Sumatera Barat adalah 186.580 km2 dengan luas laut teritorial 57.880 km2 dan 128.700 km2 perairan ZEE serta panjang garis pantai ± 450 km termasuk Kepulauan Mentawai. Luas perairan Sumatera Barat melebihi 2/3 dari luas daratan yang memiliki potensi sumberdaya hayati yang besar (Anwar, 2003)
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
Perikanan adalah suatu kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan dan budidaya binatang/tanaman air. Yang dimaksud dengan binatang/tanaman air yaitu semua jenis ikan, udang, kerang-kerangan, cumicumi, rumput laut, dan sebagainya Peningkatan pengetahuan mengenai alat penangkapan ikan akan mendukung kemajuan usaha perikanan baik dari segi pembuatan alat serta bahan dasar yang dipakai yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan alat dalam
36
pengoperasiannya di perairan, mengurangi biaya operasi serta efisiensi penangkapan. Keberhasilan suatu usaha penangkapan ikan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: daerah operasi penangkapan (fishing ground), armada penangkapan (fishing boat), keterampilan nelayan (skill), dan alat penagkapan itu sendiri (fishing gear). Alat penangkapan dalam hal ini bahan dasar konstruksi menentukan tujuan dan efisiensi hasil tangkapan setelah ditemukannya berbagai macam alat penangkapan baru yang semakin menuju kearah spesifikasi (Ayodhyoa, 1981). Jika kita melihat berbagai jenis alat tangkap yang beroperasi pada suatu perairan maka sungguh banyak jenis alat dan teknik yang digunakan. Namun berbagai alat tangkap tersebut banyak yang mempunyai kemiripan dalam pengoperasiannya walaupun ada yang lebih sederhana dan ada yang lebih komplek. Secara umum alat penangkapan yang umum digunakan oleh para nelayan sebagian besar materinya terbuat dari benang, seperti alat tangkap gill net, jala, pancing, trawl, pukat dan sebagainya. Jika diklasifikasikan lagi bahan untuk merakit alat-alat ini berasal dari serat alami (natural fibre) seperti serabut kelapa, rami, katun, ijuk dan dari serat buatan (syntetic fibre) seperti monofilament dan multifilament (Wahyuni, 2002). Untuk bahan alat penangkapan ikan pada alat tangkap payang nelayan disekitar perairan Ulak Karang menggunakan benang tetoron yang termasuk dalam golongan serat sintetic polimer jenis polyester. Untuk menjaga alat penangkapan ikan yang terbuat dari serat alami dapat tahan lama ada beberapa cara yang telah dilakukan seperti pengawetan dengan berbagai jenis pengawet. Sebelum alat penangkapan dioperasikan terlebih dahulu dilakukan penyamakan maupun perebusan supaya lebih kuat dan tahan
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
lama, akan tetapi jenis bahan untuk penyamakan dan perebusan belum banyak mendapat perhatian atau dikembangkan. Tujuan pengawetan alat penangkapan ikan adalah untuk menjaga ketahanan alat dan juga untuk memberi warna pada jaring. Beberapa cara telah dilakukan supaya bahan alat tangkap dapat tahan lama yang dikenal juga dengan proses pengawetan. Pada umumnya proses pengawetan ada tiga cara yaitu penjemuran, perendaman dan penyamakan. Pada umumnya nelayan di Ulak Karang menggunakan uba untuk menyamak jaringnya. METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan adalah: 1. 4 (empat) potong benang tetoron (PES) nomor 12 warna putih yang mempunyai struktur 3 strand dengan arah pintalan ke kanan (S), panjang masing-masingnya 5 meter. 2. Ekstrak uba dengan konsentrasi yang berbeda: a. Konsentrasi 0,3 kg/liter air. b. Konsentrasi 0,5 kg/liter air. c. Konsentrasi 0,7 kg/liter air. d. Konsentrasi 0,9 kg/liter air. Peralatan yang digunakan: 1. Gelas ukur, 1 buah 2. Timbangan, 1 buah 3. Botol plastik untuk wadah perendaman benang sampel, 4 buah 4. Gunting untuk memotong sampel, 1 buah 5. Pengaris dan alat tulis lainnya. 6. Strength Testher model C atau model single phase induction motor split phase start (Simadzu Tokyo Hitacchi Ltd Japan nomor GA 420349) sebagai alat pengukur kekuatan benang sampel. Alat ini digerakkan dengan menggunakan tenaga aliran listrik. Prosedur penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yang dilakukan di Laboratorium Alat Tangkap
36
Universitas Riau Pekanbaru dengan mengamati kekuatan benang putus dan kemuluran benang tetoron yang menggunakan pengawet uba dengan konsentrasi yang berbeda. Adapun prosedur penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagi berikut: 1. Persiapan Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk penelitian 2. Pembuatan bahan pengawet a. Uba yang telah ditumbuk ditimbang berdasarkan berat yang dibutuhkan. b. Dimasukkan kedalam 4 wadah yang telah diberi tanda untuk masing-masing konsentrasi pengawet, yaitu: - Botol A = 0,3 kg/liter air - Botol B = 0,5 kg/liter air - Botol C = 0,7 kg/liter air - Botol D = 0,9 kg/liter air c. Air sebanyak 1 liter dimasukkan kedalam masing-masing botol yang telah diisi uba konsentrasi berbeda. d. Kemudian uba disaring sehingga didapatkan ekstrak uba. 3. Pengukuran benang sampel Benang sepanjang 20 meter dipotong menjadi 4 potong yang masing-masing panjang 5 meter. 4. Pengawetan Benang yang telah dipotong dimasukkan ke dalam wadah yang telah diisi dengan ekstrak uba yang memiliki konsentasi berbeda dan dibiarkan selama 8 jam. Menurut Klust (1987), proses pengawetan bahan alat penangkapan ikan sebaiknya dibiarkan selama 8 jam. 5. Penjemuran Setelah 8 jam benang dikeluarkan dari wadah dan dijemur dengan cara diangin-anginkan dengan cara digantung selama 24 jam. 6. Pemotongan benang uji Setelah kering benang uji setiap perlakuan dipotong menjadi 20 potongan dengan panjang 0,254 meter per potong, 10 potong untuk ulangan
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
penelitian dan 10 potong dijadikan cadangan. 7. Pengujian - Benang uji sepanjang 0,25 meter dijepit pada upper chuk dan lower chuk pada strength tester - Kalibrasikan jarum diangka nol pada load skala dan skala elongation. - Tekan tombol stop kontak sehingga load bergerak kearah kiri dan skala elongation bergerak kearah bawah sampai benang sampel yang diukur putus. - Membaca nilai ketahanan putus benang pada load skala dan kemuluran dibaca pada skala elongation. - Pencatatan hasil pengukuran kekuatan putus dan kemuluran benang - Pengukuran dilakukan dengan 10 kali ulangan untuk perlakuan - Pengujian dengan cara yang sama juga dilakukan untuk benang perlakuan B, C, dan D. Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dimana suatu faktor yaitu benang tetoron dengan empat perlakuan pengawet dengan konsentrasi yang berbeda yaitu: Perlakuan A = 0,3 kg/liter air Perlakuan B = 0,5 kg/liter air Perlakuan C = 0,7 kg/liter air Perlakuan D = 0,8 kg/liter air Model matematika untuk rancangan ini adalah: Yij = µ + τi + Σij i = 1,2……,t j = 1,2……,r Yij = Variabel yang akan dianalisis µ = Nilai tengah umum (rata-rata) benang tetoron τI = Pengaruh perlakuan ke-I Σij = Ralat percobaan pada satuan percobaan ke j dalam perlakuan ke-I
36
Analisa Data Untuk melihat pengaruh pengawetan terhadap kekuatan putus dan kemuluran benang tetoron dilakukan pengukuran dengan ekstrak bahan pengawet yang konsentrasinya berbeda. Hasil perhitungan kekuatan putus dan kemuluran benang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dan selanjutnya dianalisa secara statistik.
Hipotesis Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pengawet uba dengan konsentrasi yang berbeda terhadap kekuatan putus dan kemuluran benang tetoron, maka dilakukan hipotesa yaitu: 1. Hipotesa kekuatan putus Ho : Tidak ada pengaruh konsentrasi “uba” yang berbeda terhadap kekuatan putus benang tetoron pada bahan alat tangkap payang Hi : Ada pengaruh konsentrasi “uba” yang berbeda terhadap kekuatan putus benang tetoron pada bahan alat tangkap payang. 2. Hipotesa kemuluran: Ho : Tidak ada pengaruh konsentrasi “uba” yang berbeda terhadap kemuluran benang tetoron pada bahan alat tangkap payang Hi : Ada pengaruh konsentrasi “uba” yang berbeda terhadap kemuluran benang tetoron pada bahan alat tangkap payang.
Kemudian hipotesa diuji dengan uji F, dimana besaran F hitung diperoleh dari hitungan dengan Tabel Sidik Ragam atau Tabel ANAVA (Analisis Varian) yang dapat dilihat pada tabel 2, dan besaran F diperoleh dari tabel F dengan derajat bebas yang sesuai dan taraf nyata yang diinginkan. Apabila F hitung lebih besar dari pada F tabel pada taraf α = 0,05 (tingkat kepercayaan 95%), dikatakan perlakuan berbeda nyata. Dan apabila F hitung lebih besar dari F tabel pada taraf α = 0,01 (tingkat kepercayaan 99%), dikatakan perlakuan-perlakuan tersebut berbeda sangat nyata sehingga perlu dilakukan uji lanjut untuk melihat pasangan perlakuan mana yang berbeda dengan menggunakan metode DUNCAN, sebaliknya apabila F hitung lebih kecil dari F tabel, Ho diterima berarti pengaruh perlakuan tersebut tidak berbeda nyata (Heryanto,1996)
Asumsi Asumsi yang digunakan dalam penlitian ini adalah: 1. Keahlian dan ketelitian setiap melakukan pengujian sampel dianggap sama 2. Keadaan lingkungan selama penelitian dianggap sama Tabel 1: ANAVA (Analisis Varian) Sumber Keragaman Perlakuan Sisa Total FK
JKP
=
=
Db
JK
KT
F Hitung
(t-1) t(r-1) (tr-1)
JKP JKS JKT
KTP KTS
KTP/KTS
y2 r.t
∑y r
2
JKT
= Yij – FK
JKS
= JKT-JKP
KTP
=
2
- FK
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
F Tabel 5% 1%
JKP (t − 1) 36
KTS
=
perlakuan) yang digunakan sebagai pembanding memiliki nilai kekuatan putus benang rata-rata 4,10 Kgf. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
JKS t (r − 1)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Setelah dilakukan pengujian terhadap benang uji, kekuatan putus benang tetoron dapat dilihat dengan membaca load skala, dimana terdapat perbedaan nilai kekuatan putus antara perlakuan yang satu dengan perlakuan lainnya. Masing-masing perlakukan memiliki nilai kekuatan putus rata-rata sebagai berikut; (1) Perlakuan A memiliki kekuatan putus rata-rata 3,20 Kgf, (2) Perlakuan B memiliki kekuatan putus rata-rata 4,55 Kgf, (3) Perlakuan C memiliki kekuatan putus rata-rata 4,65 Kgf, (4) Perlakuan D memiliki kekuatan putus rata-rata 4,50 Kgf. Sedangkan untuk benang kontrol (benang tanpa
Dari hasil penelitian diketahui kekuatan putus yang paling tinggi sampai yang terendah dari benang uji yang dijadikan perlakuan. Kekuatan putus yang paling tinggi terdapat pada perlakuan C dengan nilai rata-rata 4,65 Kgf; diikuti dengan perlakuan B dengan nilai rata-rata 4,55 Kgf; perlakuan D dengan nilai rata-rata 4,5 Kgf dan kekuatan putus yang terendah terdapat pada perlakuan A dengan nilai rata-rata 3,20 Kgf. Sedangkan nilai kekuatan putus benang kontrol hanya digunakan sebagai pembanding saja (tanpa perlakuan). Nilai rata-rata hasil pengukuran kekuatan putus benang tetoron uji dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 2: Nilai Kekuatan Benang Putus Tetoron (Kgf) Setiap Perlakuan Ulangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Total Rata-rata Keterangan: K A B C D
K 4,00 4,50 5,00 4,50 5,00 3,00 3,50 4,00 3,50 4,00 41,00 4,10
A 3,50 3,50 3,00 4,00 3,50 3,00 4,00 4,00 4,00 3,50 36,00 3,60
Perlakuan B 5,50 5,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,00 4,50 4,00 4,00 45,50 4,55
Total C 5,50 4,50 4,00 5,00 4,50 4,50 5,00 4,50 4,00 5,00 46,50 4,65
D 5,50 3,50 4,50 4,00 5,00 4,00 4,00 5,00 4,50 5,00 45,00 4,50
169 16,90
= Benang kontrol (tanpa perlakuan) = Benang tetoron dengan konsentrasi 0,3 kg/liter air = Benang tetoron dengan konsentrasi 0,5 kg/liter air = Benang tetoron dengan konsentrasi 0,7 kg/liter air = Benang tetoron dengan konsentrasi 0,9 kg/liter air
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
36
Kekuatan Putus Rata-rata (Kgf)
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
K
A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 1: Histogram Nilai Kekuatan Putus Benang Tetoron Setiap Perlakuan Setelah data didapat dilakukan analisis secara statistik dimana hipotesa diuji dengan uji F, besaran F hitung diperoleh dari perhitungan dengan Tabel ANAVA. Pada F hitung terdapat perbedaan kekuatan putus benang dimana nilai F Hitung = 4,5997 lebih besar daripada F Tabel = 4,51 (Fhit>Ftab). Analisa data secra statistik dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari ANAVA dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Hi diterima, karena Fhit>Ftab pada taraf α = 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) dan pada taraf α = 0,01 (tingkat kepercayaan 99%), berarti ada pengaruh konsentrasi uba yang berbeda terhadap kekuatan putus benang tetoron pada alat tangkap payang yang dipergunakan oleh nelayan Ulak Karang Kota Padang. Karena F hitung > daripada F tabel maka dilakukan uji lanjut untuk melihat pasangan perlakuan dimana yang berbeda dengan menggunakan metode Duncan (Heryanto, 1996), dimana hasil yang didapat sebagai berikut : 1. Perlakuan I Y A − YC I = 1,45 > R4, A dan C berbeda nyata 2. Perlakuan I Y A − YB I = 1,35 > R3, A dan B berbeda nyata
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
3. Perlakuan I Y A − YD I = 1,3 > R2, A dan C berbeda sangat nyata 4. Perlakuan I YD − YC I = 0,15 > R3, D dan C tidak berbeda nyata. 5. Perlakuan I YD − YB I = 0,05 > R2, D dan B tidak berbeda nyata. 6. Perlakuan I YB − YC I = 0,1 > R2, B dan C tidak berbeda nyata Kemuluran Benang Tetoron Pada penelitian kemuluran benang tetoron dapat dilihat dengan membaca skala elongation. Masing-masing perlakuan sebagai berikut (1) Perlakuan A memiliki nilai kemuluran rata-rata 19,0 mm, (2) Perlakuakn B memiliki nilai kemuluran rata-rata 23,7 mm, (3) Perlakuan C memiliki nilai kemuluran rata-rata 22,7 mm, (4) Perlakuan D memiliki nilai kemuluran rata-rata 20,7 mm. Sedangkan untuk benang kontrol (benang tanpa perlakuan) yang digunakan sebagai pembanding memiliki nilai kemuluran ratarata 28,2 mm. Untuk lebih jelasnya nilai kemuluran benang tetoron dapat dilihat pada tabel 3.
36
Tabel 3. Nilai Kemuluran Benang Tetoron (mm) Setiap Perlakuan Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total Rata-Rata
K 14 22 23 26 20 35 38 35 34 35 282 28.2
A 10 15 20 15 22 32 17 20 21 18 190 19.0
Perlakuan B 28 39 29 24 20 22 18 19 20 18 237 23.7
C 21 18 18 26 24 24 26 23 24 23 227 22.7
D 16 15 24 22 23 20 21 22 20 24 207 20.7
Total
861 86.1
Keterangan : K = Benang kontrol (tanpa perlakuan) A = Benang Tetoron dengan konsentrasi 0.3 kg/liter air B = Benang Tetoron dengan konsentrasi 0.5 kg/liter air C = Benang Tetoron dengan konsentrasi 0.7 kg/liter air D = Benang Tetoron dengan konsentrasi 0.9 kg/liter air Dari hasil penelitian juga dapat diketahui nilai kemuluran yang paling tinggi sampai yang terendah dari benang uji yang dijadikan perlakuan. Kemuluran yang paling tinggi terdapat pada perlakuan B dengan nilai rata-rata 23,7 mm, diikuti dengan perlakuan C dengan nilai 22,7 mm, perlakuan D dengan nilai rata-rata 20,7 mm dan nilai kemuluran yang terendah terdapat pada perlakuan A dengan nilai rata-rata 19,0 mm. Sedangkan nilai kemuluran benang kontrol hanya digunakan sebagai pembanding saja (tanpa perlakuan). Untuk melihat ratarata kemuluran yang tertinggi sampai yang terendah dapat dilihat pada gambar Pada Anava (Analisa Varian) tidak terdapat perbedaan kemuluran benang uji, maka dapat dituliskan bahwa nilai F hitung = 1,836684 lebih kecil daripada F tabel = 2,92 (F hitung < F Tabel). Dari Anava dapat disimpulkan bahwa Ho diterima, karena Fhit < Ftab pada taraf α = 0,05 atau tingkat kepercayaan 95%. Ini berarti tidak ada pengaruh konsentrasi “Uba” yang berbeda terhadap kemuluran benang tetoron pada alat tangkap payang yang digunakan oleh nelayan Ulak
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
Karang, Kota Padang. Analisa data secara statistik dapat dilihat pada lampiran. Pembahasan Sebelum menguji kekuatan putus dan kemuluran benang, benang tetoron direndam terlebih dahulu dalam larutan ekstrak bahan pengawet yaitu uba dengan konsentrasi berbeda. Uba setelah diberi air membentuk suatu larutan yang berwarna merah hati dengan bau yang sedap. Larutan berwarna merah hati ini mengandung tanin yang berfungsi sebagai penyamak. Senyawa tanin merupakan senyawa yang terdiri dari beberapa senyawa polifenol, biasanya terdapat pada kulit kayu, buah yang belum masak dan pada daun, tanin dalam air akan membentuk larutan, bereaksi dengan asam dan mempunyai rasa sepat (Rusdi,1988). Menurut Rowe dalam Ginting (2003), ekstrat uba mengandung senyawa tanin yang ditentukan oleh daya penyamakan pada protein kulit, semua tanin nabati adalah senyawa fenol mulai dari fenol sederhana sampai sistem flaponoid yang terkondensasi. Tanin merupakan senyawa yang cenderungf larut dalam air dan merupakan golongan polimer penting dari polifenol (SuradikusumaH, 1989). Senyawa fenol
36
yang terdapat selain pada jaringan kayu berbentuk glikosida, biasanya golongan fenol pada jaringan kayu berupa asam amino aromatik yang befungsi sebagai penyamak. Menurut Sadhori (1983), polyester mempunyai nilai kekuatan putus yang tinggi dan kemuluran pada saat basah rendah. Nilai daya tahan putus dan kemuluran suatu benang pada saat basah lebih tinggi dibandingkan berat kering (Murdiyanto dalam wahyuni, 2000). Oleh karena itu pengujian benang dilakukan setelah benang sampel direndam terlebih dahulu dan diperkirakan telah jenuh menyerap air. Hamidi dalam Ginting (2003), menyatakan bahwa makin banyak zat cair yang diserap oleh suatu bahan maka makin besar pula daya melekatnya yang selanjutnya akan menguatkan kekuatan dari bahan terebut. Benang yang dimasukkan kedalam ekstrak bahan pengawet dan direndam selama 8 (delapan) jam akan membuat tanin yang ada pada ekstrak bahan pengawet melekat pada benang. Menurut Klust (1987), pengaruh bahan pengawet tergantung pada kemampuan melekat antara zat pengawet dengan serabut yang diawetkan. Setelah direndam warna benang berubah menjadi merah hati sesuai dengan konsentrasi pengawet dan menyebabkan benang menjadi tegang karena adanya tanin yang menempel pada benang. Kekuatan Putus Benang Tetoron Kekuatan putus adalah kekuatan maksimum yang diperlukan untuk membuat putusnya bahan dalam suatu uji yang menggunakan keteganggan. Biasanya ditetapkan dalam satuan kilogram gaya (Kgf). Nilai kekuatan putus benang sangat diperlukan karena dengan membaca skala yang dihasilkan oleh mesin penguji (strength tester). Besarnya nilai kekuatan putus ditunjukan oleh jarum yang bergerak pada Local scala dalam satuan Kgf.
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
Apabila benang yang diuji terlalu kaku akan menyebabkan benang akan semakin mudah untuk putus karena pada saat pengujian kekuatan putus menggunakan beban yang akan menghasilkan ketegangan benang uji, apabila ketegangan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh benang maka benang akan putus. Kemuluran Benang Tetoron Kemuluran benang didefinisikan sebagai suatu pertambahan panjang dari suatu uji contoh yang menggunakan ketegangan dan dinyatakan dalam satuan panjang, misalnya centimeter atau milimeter. Sifat ini dipengaruhi oleh suatu gaya (Klust, 1987). Nilai kemuluran benang tetoron dalam penelitian ini didapat dengan melihat skala elongation yang dihasilkan oleh mesin penguji (strength tester). Besarnya nilai kemuluran ditunjukkan oleh jarum yang bergerak pada skala elongation yang memiliki satuan mm. Pada alat tangkap ikan benang jaring yang paling baik digunakan adalah benang dengan nilai kemuluran yang rendah tapi memiliki kekuatan putus yang tinggi, karena apabila kemuluran terlalu tinggi akan mengakibatkan perubahan konstruksi jaring dalam hal ini ukuran mata jaring akan berubah sehingga menyebabkan ikan yang tertangkap dapat lolos dari jaring dengan mudah. Dengan bedanya struktur benang dan gaya serap benang uji yang berbeda pada masingmasing benang juga membuat kemuluran benang uji yang satu dengan yang lainnya berbeda. Besarnya kemuluran tergantung pada tingkat kekerasan pintalan atau kerapatan dari masing-masing anyaman benang (Klust, 1987). Apabila benang semakin kaku karena banyaknya tanin yang menempel pada benang menyebabkan nilai kemuluran menjadi kecil karena benang akan cepat putus, tetapi kalau konsentrasi air dan uba tidak seimbang juga mengakibatkan kemuluran menjadi kecil.
36
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dari pengukuran kekuatan putus benang tetoron yang digunakan nelayan Ulak Karang sebagai bahan utama alat tangkap payang bahwa perlakuan C dengan konsentrasi uba 0,7 kg/liter air memiliki kekuatan putus terbesar yaitu 4,65 Kgf dan diikuti dengan perlakuan B (0,5 kg/liter air), perlakuan D (0,9 kg/liter air) dan perlakuan A (0,3 kg/liter air) dengan masing-masing nilai kekuatan putus 4,55 Kgf, 4,50 Kgf dan 3,20 Kgf. 2. Hasil analisa secara statistik dengan ANAVA terdapat kekuatan putus benang tetoron didapatkan F hitung > F tabel baik pada tingkat kepercayaan 95% yaitu 4,5997 > 2,92 maupun tingkat kepercayaan 99% yaitu 4,5997 > 4,51. Sehingga menunjukkan bahwa adanya pengaruh konsentrasi uba yang berbeda terhadap kekuatan putus benang tetoron yang digunakan nelayan sebagai bahan utama pembuatan alat tangkap payang. 3. Pengukuran kemuluran benang tetoron yang digunakan nelayan Ulak Karang sebagai bahan utama alat tangkap payang bahwa perlakuan B dengan konsentrasi 0,5 kg/liter air memiliki nilai kemuluran terbesar yaitu 23,7 mm dan diikuti dengan perlakuan
A (0,3 kg/liter air), perlakuan D (0,9 kg/liter air ) dan perlakuan A (0,3 kg/liter air) dengan masing-masing kemuluran 22,7 mm, 20,7 mm dan 19,0 mm. 4. Hasil analisa secara statistik menunjukkan tidak ada pengaruh konsentrasi uba terhadap kemuluran benang uji, dimana F hitung = 1,836684 lebih kecil dari F tabel = 2,92 pada tingkat kepercayaan 95% (F hitung < F tabel) Saran 1. Dalam penelitian ini benang yang digunakan adalah benang tetoron nomor 12 yang mana setelah dilakukan pengujian yang paling baik digunakan adalah benang uji pada perlakuan C yaitu ekstrak uba dengan konsentrasi 0,7 kg/liter air, sehingga disarankan sebaiknya nelayan Ulak Karang menggunakan uba dengan konsentrasi 0,7 kg/liter air dalam pengawetan benang pada alat tangkap payang. 2. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan terhadap kekuatan putus dan kemuluran benang tetoron pada alat tangkap payang dengan konsentrasi uba antara 0,7 kg/liter air dengan 0,9 kg/liter air untuk mendapatkan nilai kekuatan putus dan kemuluran yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, M, dkk., 1993. Bahan dan Alat Penangkap Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang. 25 Halaman.
Ayodhyoa, 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 97 Halaman.
Anwar, R., 2003. Makalah Hukum dan Peraturan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Bung Hatta, Padang.
Farid, A, dkk., 1989. Teknologi Penangkapan Tuna. Direktorat Jenderal Perikanan Bekerjasama dengan Internasional Development Center. 58 Halaman.
Arzano, R., 1986. Man Made Fibres Dalam Modern Fishing Gear Of the World. Fishing News (Book) Ltd, London. Halaman 13-14.
Fridman, AL., 1988. Perhitungan dalam Merancang Alat Penangkapan Ikan. Direvisi, diedit dan dikembangkan oleh PJG Carothes terjemahan team
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
36
BPPI Semarang. Published by Arrangement With The Food and Agriculture Organization of The United Nations. Koperasi serta Usaha Perikanan. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang. Ginting, R., 2003. Kekuatan Putus dan Kemuluran Benang Rami yang Diawetkan dalam Campuran Bahan Pengawet Alami Nyirih (Xilocarpus moluccensis M. Roem), Jarak (Ricinuc communis L) dan Uba (Adinandra acuminata KORTH). Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru. 48 Halaman. Halim, H, dkk., 1986. Materi Pokok Kimia II. Kimia 4111/3 SKS/Modul 6-9, editor Drs. Hiskia Ahmad. Karunika, Universitas Terbuka, Jakarta. 72 Halaman. Halliday, D dan Robert, R., 1995. Fisika, Jilid 1 Edisi Ketiga. Terjemahan Pantur Silaban Ph.D dan drs. Erwin Sucipto, M.Sc, Departeman Fisika ITB. Erlangga, Jakarta. 895 Halaman. Heryanto, E., 1996. Rancangan Percobaan pada Bidang Pertanian. Trubus Adriwidya, Ungaran. 70 Halaman. Klust, G., 1987. Badan Jaring untuk Alat Penangkapan Ikan, Edisi Kedua. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang. 188 Halaman.
Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang. 98 Halaman. Sadhori, N., 1983. Bahan Alat Penangkap Ikan. CV. Yasaguna, Jakarta. 80 Halaman. Standar Nasional Indonesia. 2005. Konstruksi Pukat Kantong Payang Berbadan Jaring Panjang. http//www.google.com. 01-7-90-2005 Sudirman dan A. Mallawa., 2000. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta, Jakarta. 168 Halaman. Suradikusumah, E., 1989. Bahan Pengajaran Kimia Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Ins, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 165 Halaman. Uska, I., 1999. Pengaruh Perbedaan Waktu Penangkapan Terhadap Hasil Tangkapan Payang di Desa Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Bung Hatta, Padang. 38 Halaman. Wahyuni, S., 2000. Kekuatan Putus (Breaking Strength) dan Kemuluran (Elongation) Benang Katun dalam Campuran Pengawet Alami. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru. 50 Halaman.
Rusdi, 1988. Tetumbuhan sebagai Sumber Bahan Obat. Departemen
Mangrove dan Pesisir Vol. VI No. 1/2006
36