Oleh Oom S. Homdijah SPs. UPI Bandung
Pemimpin kelompok memiliki varitas pilihan untuk membuka sesi dalam kelompok yang bertemu secara reguler atau setiap minggu. 1. Partisipan dapat diminta menyatakan secara singkat apa yang mereka inginkan dari sesi ini. 2. Anggota diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pemikirannya tentang sesi sebelumnya atau menyarankan untuk mempertimbangkan isu-isu yang belum terpecahkan pada pertemuan sebelumnya.
3. Partisipan dapat diminta untuk melaporkan kemajuan atau kesulitan yang dialami selama seminggu. 4. Dalam suatu kelompok yang terbuka suatu ide yang baik untuk mendorong seorang anggota berbagi tentang makna kelompok untuk mereka, ketika anggota ini agak berubah dari minggu ke minggu. 5. Disamping untuk mempermudah keterlibatan anggota dalam pembukaan sesi, pemimpin kelompok membuat beberapa observasi tentang pertemuan sebelumnya atau beberapa pemikiran yang telah terjadi pada mereka sejak pertemuan terakhir.
Sebelum penutupan sesi, penting menyediakan waktu untuk menyatupadukan apa yang telah terjadi, untuk merefleksi apa yang telah dialami, membicarakan apa yang akan dikerjakan oleh partisipan antaera sekarang dan sesi berikutnya, dan untuk merangkum. Di bawah ini beberapa langkah yang dapat digunakan untuk mengakhiri suatu sesi.
1.
2.
Pemimpin kelompok harus berusaha menutup sesi tanpa menutup isu-isu yang terjadi selama sesi. Teurapeutik tidak merangkum isu atau pemecahan suatu masalah dengan cepat. Anggota perlua waktu untuk mengeksplor dan berjuang dengan masalah pribadi. Ringkasan dapat efektif apabila dilakukan pada akhir sesi. Ringkasan membantu anggota untuk membuat ringkasan tentangproses kelompok dan kemajuan mereka sendiri terhadap tujuan mereka.
3.
Partisipan dapat diminta untuk mengatakan pada kelompok bagaimana mereka menerima sesi, memberikan komentar-komentar dan umpan balik pada yang anggota lain, dan membuat pernyataan tentang invesmen mereka dalam sesi. Dengan melakukan ini secara reguler anggota berbagi tanggung jawab untuk menentukan apa yang yang akan mereka lakukan untuk mengubah arah kelompok jika mereka tidak puas.
4.
5.
Ini membantu umpan balik yang positif. Individu yang telah terlibat harus dihargai dan didukung untuk usaha-usaha mereka baik oleh pemimpin maupun oleh partisipan. Anggota dapat melaporkan tugas-tugas di rumah, mereka dicoba mempraktekan beberapa pemikiran baru mereka, dan mereka dapat membuat rencana untuk mengaplikasikan apa yang telah dipelajari dalam kelompok pada situasi masalah di luar kelompok.
6.
7.
Partisipan dapat ditanya apakah ada topik atau masalah mereka yang akan dibahas pada sesi berikutnya. Ini untuk pemahaman untuk merubah kepemilikan dan tanggungjawab serta untuk proses perubahan pada kelompok dan anggota itu sendiri. Disamping menghubungkan ini juga dapat mendorong merak berpikir tentang cara eksplorasi tentang topik itu dalam pertemuan selanjutnya ---- ini bekerja antara sesi. Pemimpin kelompok bisa mengekspresikan reaksi mereka terhadap sesi dan membuat beberapa observasi. Komentar tentang arah kelompok dapat berguna untuk merangsang pemikiran dan tindakan sebagian anggota.
8. Ketika terjadi perubahan anggota, akan lebih baik apabila pemimpin kelompok mengingatkan beberapa minggu sebelumnya bahwa ada anggota yang akan meninggalkan kelompok. Untuk mengakhiri anggota dalam sesi, perlu ditanya apa yang sudah dia miliki dari kelompok dan apakah mereka senang meninggalkan kelompok. Anggota lain sangat mungkin untuk memberikan umpan balik untuk mengakhiri anggota.
D.W Sue, Arredondo, dn Mc Davis (1992); Arredondo dan koleganya telah membuat kerangka konseptual utnuk mengembangkan kompetensi konseling multikultural dalam tiga bidang: (1) Kesadaran akan kepercayaan dan sikap (awreness of beliefs and attitudes); (2) Pengetahuan (knowldge) (3) Keterampilan (skills). Ini kemudian diubah “Priciples for Diversity Competent Group Workers”
1.
Kepercayaan dan Sikap (Beliefs and Attitudes). Pemimpin kelompok mengakui dan memahami nilai-nilai mereka sendiri, prasangka, sikap etnosentris dan asumsi tentang prilaku manusia. Seorang pemimpin kelompok harus mengahargai agama, kepercayaan dan nilai anggota kelompok dan mereka harus merasa nyaman dengan perbedaan tersebut.
2.
Pengetahuan (Knowledge). Seorang pemimpin kelompok harus memiliki pengetahuan tentang bahwa warisan budaya dan ras mempengaruhi mereka baik secara pribadi maupun secara profesional. Mereka memahami dinamika perasaan yang tertekan, pengaruh ras, perbedaan dan kelompok orang yang terlalu disederhanakan (stereotyping). Mereka memiliki pengetahuan tentang latar belakang sejarah, tradisi dan nilai kelompok klien. Mereka memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga minoritas, hirarki, nilai dan kepercayaan. Apabila mereka kurang memiliki penegtahuan tentang keragaman klien, mereka harus mencari sumber yang akan membantu mereka. Pengetahuan yang mendalam dan luas tentang perbedaan kultur akan menjadi konselor kelompok yang efektif.
3.
Keterampilan dan Strategi Intervensi (Skill and Intervention strategies). Konselor kelompok yang efektif membutuhkan banyak keterampilan tertentu ketika bekerja dengan kelompok yang memiliki perbedaan budaya. Konseling multikultural bertambah keterampilan ketika menggunakan metode dan strategi serta menentukan tujuan yang konsisten dengan pengalaman hidup dan nilai budaya klien. Beberapa konselor mengubah dan mengadaptasi intervensi mereka untuk mengakomodasi perbedaan budaya dalam kelompok. Mereka tidak menekan klien dalam satu pendekatan konseling.
4.
Mengakui keterbatasan Diri (Recognize Your Limitations). Meskipun seorang konselor memiliki keterbatasan untuk memiliki pengetahuan tentang semua latar belakang budaya, ini dapat dikerjakan dengan mudah (feasible) untuk memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang komprehensif untuk keberhasilan bekerja di tengah perbedaan secara kultur. Penting untuk seorang konselor yang merasa nyaman menerima perbedaan sebagai suatu nilai yang positif dan meningkatkan kemampuannya dalam bekerja dengan klien yang beragam.
“Konseling lintas budaya (cross-cultural conseling) tidak bermaksud untuk mengajarkan intervensi kusus untuk setiap kultur, tetapi untuk menanamkan konselor dengan sensitivitas kultur dan bertoleransi dengan cara berpikir secara filosofis yang sesuai untuk semua kultur” (Vontress, 1996:164, dalam Correy, 2008:37).