Pertumbuhan Kultur Tunggal dan Campur Bakteri SpR3 dan SpR17 dan Kemampuannya dalam Mereduksi Cr(VI) (The growth of Single and Mixed Bacterial Cultures of SpR3 and SpR17 and Their Potentials for Reducing Cr(VI)) Oleh Marchelline NIM: 412010005 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (Biologi) dari Program Studi Biologi, Fakultas Biologi
Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2015 i
ii
iii
iv
Abstract The bacterial isolates, SpR3 and SpR17 have the ability to reduce a large amount of Cr(VI), but the ability to reduce in single or mixed culture has not been known yet. This study aimed to determine the growth and potential of single and mixed bacterial cultures of SpR3 and SpR17 in reducing Cr(VI). The growth was measured spectophotometrically (600nm) based on the biomass increase. The potential of isolates in reducing Cr(VI) is calculated by the ability to decrease the concentration of Cr(VI). Standard method 3500-Cr (colorimetric method) is being used for calculating the concentration. Based on the reduced Cr(VI) concentration and the potential reduction, SpR3 isolate was more effective than SpR17. The value of the potential reduction of Cr(VI) SpR3 and SpR17 were 0.053 mg Cr.mg cell-1 dry weight and 0.031 mg Cr.mg cell-1 dry weight. A mixture of two isolates with a ratio of 1:1, 1:2 and 2:1 showed the effect of synergism because when isolate SpR3 mixed with SpR17 potential value was increase. SpR3 synergy with SpR17 to produce a better level of effectiveness. Key words: Cr(VI)-reducing bacteria, mixed bacteria cultures, potential reduction of Cr(VI). Pendahuluan Kromium (Cr) merupakan salah satu unsur yang paling banyak dijumpai di lingkungan. Kontaminasi oleh senyawa kromium disebabkan oleh beragam aktifitas dari industri yang akhirnya menyebabkan polusi berat pada tanah, air permukaan dan atmosfer. Sumber utama dari kontaminasi kromium yaitu industri metal finishing, penyulingan minyak, industri besi dan baja, pewarnaan tekstil, dan penyamakan kulit. Bilangan oksidasi dari kromium yang umum dan stabil yang terdapat di alam adalah Cr(III) dan Cr(VI) (Villegas dkk., 2008). Cr(III) secara nutrisional merupakan komponen essensial untuk keseimbangan diet pada manusia dan hewan, karena mencegah terjadinya efek dari metabolisme glukosa 1
dan lipid (misalnya kerusakan pada toleransi glukosa, terjadinya peningkatan insulin, peningkatan trigliserid dan kolesterol, simptom hipoglisemik). Meskipun Cr(III) dalam jumlah sedikit sangat dibutuhkan oleh tubuh, namun apabila jumlah yang masuk tubuh konsentrasinya besar maka akan menimbulkan permasalahan kesehatan (Zayed dan Terry, 2003). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 416/MENKES/PER/IX/1990, nilai ambang batas logam Cr(VI) dalam air bersih adalah 0,05 mg.l-1 (Anonim, 1990). Cr(III) juga merupakan senyawa yang kurang beracun, dan dalam pH netral Cr(III) mudah membentuk hidroksida kromium larut yang dapat dengan mudah diserap oleh lingkungan. Berbeda dengan peran Cr(III) sebagai bioelemen, Cr(VI) adalah salah satu logam berat yang paling beracun dan merupakan kontaminan logam berat paling umum yang dapat menjadi ancaman bagi kesehatan organisme melalui bioakumulasi (Shen dan Wang, 1993; Bennett dkk. 2013). Salah satu metode alternatif yang murah dan prospektif dikembangkan untuk menangani pencemaran logam berat adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme melalui proses bioremidiasi (Wu dkk., 2006). Kelebihan penggunaan bakteri pereduksi Cr(VI) ini adalah tidak membutuhkan input energi yang tinggi, tidak ada produk samping yang nyata, serta menggunakan galur-galur bakteri asli (Meitiniarti dkk., 2012). Berbeda dengan proses pengolahan limbah industri yang dilakukan terhadap limbah logam berat sebelum dilepaskan ke lingkungan, proses bioremidiasi dapat secara efektif diterapkan pada lingkungan yang telah terkontaminasi oleh limbah logam berat.
Metode alternatif ini
mempunyai fleksibilitas operasional yang cukup besar (Tambekar dan Gayakwad, 2013; Alexander, 1999). Bakteri yang diisolasi dari tanah yang tahan terhadap kromium dapat digunakan untuk mereduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) dari lingkungan yang terkontaminasi. Proses reduksi Cr(VI) oleh mikroorganisme, pada umumnya 2
membutuhkan proton dalam jumlah yang sangat besar sebagai pereduksi, sehingga akan meningkatkan pH (Camargo dkk., 2003; Brock dan Madigan, 1991). Isolat-isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil penelitian Meitiniarti dkk. (2012) yang mendapatkan sembilan isolat, yaitu SpR1, SpR3, SpR7, SpR9, SpR10, SpR11, SpR12, SpR17 dan SpR18 yang diperoleh dari rhizosfer Acalypha indica
yang ditumbuhkan di tanah lumpur dari pabrik
penyamakan kulit dan tekstil, dan mampu tumbuh pada konsentrasi Cr(VI) 100 mg.l-1. Meitiniarti dkk. (2012) melaporkan bahwa dari sembilan isolat tersebut, hanya isolat SpR3 & SpR17 memiliki kemampuan mereduksi krom, masing-masing sebesar 90,85 dan 60,75 mg.l-1. Pengukuran dilakukan setelah kultur diinkubasi selama 7 hari. Berdasarkan hasil kajian di atas,maka dilakukan penelitan lanjut mengenai pertumbuhan isolat SpR3 dan SpR17 dan potensinya dalam mereduksi Cr(VI) dari masing-masing isolat dalam kultur tunggal maupun campuran.
Bahan dan Metode Bahan Penelitian Isolat bakteri dengan kode SpR3 dan SpR17 diperoleh dari hasil penelitian Meitiniarti dkk. (2012). Kedua isolat dipelihara dalam medium pemeliharaan Luria Bertani (LB) Agar yang mengandung 100 mg.l-1 Cr(VI). Sementara itu, medium yang digunakan untuk pemeliharaan prekultur adalah medium LB cair yang mengandung 100 mg.l-1 Cr(VI).
Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan penyedian prekultur dari kedua isolat dalam medium LB cair yang mengandung Cr(VI) 100 mg.l-1. Selanjutnya prekultur tersebut digunakan untuk mempelajari (i) pertumbuhan masing-masing isolat dan campuran kedua isolat pada medium LB cair yang mengandung 100 mg.l-1 Cr(VI), (ii) kemampuan isolat maupun campuran kedua isolat dalam mereduksi Cr(VI) 3
pada medium LB cair yang mengandung 100 mg.l-1 Cr(VI) dengan metode kolorimetrik, dan (iii) menghitung kecepatan mereduksi Cr(VI) dan potensi reduksi Cr(VI). Penyediaan Prekultur Isolat bakteri pada medium LB agar miring sebanyak 2 ose diinokulasikan ke dalam 50 ml medium Luria Broth steril lalu diinkubasikan untuk waktu tertentu hingga OD kultur mencapai 0,6-0,8 (konsentrasi selnya sekitar 700 mg.l-1). Setelah itu kekeruhannya diukur pada panjang gelombang 600 nm.
Pengukuran Pertumbuhan Bakteri dalam Medium yang Mengandung Cr(VI) Prekultur sebanyak 10% dari volume medium pertumbuhan yang digunakan diinokulasikan kemudian ditumbuhkan selama 24 jam pada suhu ruang dengan penggojog pada kecepatan 120 rpm. Sementara itu, Penyediaan prekultur untuk kultur campur dibuat 3 perbandingan komposisi antara SpR3 dan SpR17 yaitu 1:1, 1:2, dan 2:1. Kultur diinkubasi pada penggojok dengan suhu inkubasi pada suhu ruang. Setiap selang waktu tertentu dilakukan pengambilan sampel. Pertumbuhan diamati secara langsung berdasarkan kekeruhan kulturnya menggunakan spektrofotometer (Shimadzu UV mini 1240) pada panjang gelombang 600nm. Pertumbuhan diukur berdasarkan pertambahan nilai OD sampai bakteri masuk fase stasioner. Pada setiap pengambilan sampel kultur juga dilakukan pengukuran konsentrasi Cr(VI).
Metode Analisis Pengukuran Kadar Biomassa Bakteri Berat kering biomassa kultur ditentukan dengan menyaring 20 ml sampel dengan menggunakan membrane filter (0,8 µm) yang diletakkan pada vaccum pump. Sebelum
digunakan,
membrane
filter
dikeringkan
menggunakan
oven
(MemmertU10) selama 6 jam pada suhu 100⁰C. Membran bersama sel yang 4
tersaring dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 100⁰C selama 6 jam. Membran yang sudah kering tersebut kemudian ditimbang. Persamaan yang dipakai untuk mengkonversi nilai OD ke biomassa diperoleh dari :
Nilai OD kultur X berat kering sel Nilai biomassa = Nilai OD awal masing-masing kultur Data biomassa setiap waktu yang diperoleh dibuat kurva pertumbuhan dengan waktu sebagai sumbu X dan biomassa sebagai sumbu Y. Dari kurva pertumbuhan tersebut dapat ditentukan kecepatan pertumbuhan spesifiknya. Analisis Konsentrasi Cr (VI) dan Kecepatan Reduksi Cr(VI) Konsentrasi Cr(VI) diukur dengan standar method 3500-Cr (colorimetric method) (APHA, 1989). Larutan stok Cr(VI) 100 mg.l-1 dibuat dengan melarutkan K2Cr2O7 dalam akuades. Larutan stok Cr(VI) tersebut digunakan untuk membuat kurva standar. Supernatan kultur dari masing-masing pengambilan sampel sebanyak 0,5 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan dengan akuades hingga menjadi 50 ml. Setelah diasamkan dengan 0,075 ml HNO3 pekat, ditambahkan 1 ml diphenylcarbazide. Reaksi ditandai oleh terbentuknya warna violet. Absorbansi warna diukur pada panjang gelombang 540nm menggunakan spektrofotometer (Shimadzu UV mini 1240). Nilai absorbansi dikonversikan ke konsentrasi Cr(VI) menggunakan kurva standar Cr(VI). Kecepatan reduksi Cr(VI) ditentukan dengan cara : konsentrasi Cr(VI) yang direduksi Kecepatan reduksi Cr(VI) = waktu yang ditentukan
5
Perhitungan Konsentrasi Cr(VI) yang Direduksi dan Potensi Reduksi Konsentrasi Cr(VI) yang direduksi diperoleh dari pengurangan nilai konsentrasi Cr(VI) pada jam tertentu. Potensi reduksi diperoleh dengan cara sebagai berikut: nilai konsentrasi Cr(VI) yang direduksi Potensi reduksi Cr(VI) = Hasil dan Pembahasan
nilai biomassa sel yang terbentuk
Pertumbuhan dan Reduksi Cr(VI) oleh Isolat Tunggal dalam Medium yang Mengandung Cr(VI) Kurva pertumbuhan oleh isolat tunggal dalam medium yang mengandung Cr(VI) dan konsentrasi Cr(VI) dalam medium selama waktu inkubasi menunjukkan bahwa isolat SpR3 dan SpR17 mampu mereduksi Cr(VI) 100 mg.l-1 (Gambar 1). Penurunan konsentrasi Cr(VI) yang tinggi oleh isolat SpR3 terjadi pada jam ke-6 sampai jam ke-26, sedangkan penurunan konsentrasi Cr(VI) oleh isolat SpR17 terjadi pada jam ke-4 sampai jam ke-30. Pada waktu-waktu inkubasi ini pertumbuhan bakteri sedang memasuki fase eksponensial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa reduksi Cr(VI) yang tinggi oleh isolat SpR3 dan SpR17 terjadi bersamaan (coupling) dengan pertumbuhan sel.
6
Gambar 1. Pertumbuhan isolat SpR3 ( ) dan SpR17 ( ) pada medium yang mengandung Cr(VI) dan konsentrasi Cr(VI) selama waktu inkubasi. Simbol dan masing-masing menotasikan konsentrasi Cr(VI) pada medium yang ditumbuhi oleh SpR3 dan SpR17. Walaupun kecepatan pertumbuhan isolat SpR17 lebih tinggi dibandingkan dengan isolat SpR3 (Tabel 1), namun hasil perhitungan konsentrasi Cr yang direduksi dan potensi reduksi Cr(VI) menunjukkan bahwa isolat SpR3 mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dari SpR17 (Tabel 1). Dengan demikian, hasil ini menunjukkan bahwa sel-sel SpR3 lebih efektif dibandingkan dengan SpR17 dalam mereduksi Cr yang ada di medium. Tabel 1. Kecepatan pertumbuhan isolat SpR3 dan SpR17 dan kemampuannya mereduksi Cr(VI).
Kode isolat
Kecepatan Pertumbuhan (jam-1)
Biomassa yang terbentuk (g.l-1)
Konsentrasi Cr yang Direduksi (mg.l-1)
Potensi Reduksi (mg Cr.mg berat kering sel-1)
SpR17
0,045
1,503
46,693
0,031
SpR3
0,041
1,016
53,794
0,053
Kecepatan reduksi isolat SpR3 pada jam ke-24 lebih tinggi dari kecepatan reduksi isolat SpR17 pada jam yang sama (Tabel 2). Kecepatan reduksi pada jam ke-24 kedua isolat ini lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan reduksi Bacillus sp. JDM-2-1 dan Staphylococcus capitis selama jam yang sama (Tabel 2). Akan tetapi kecepatan reduksi Cr(VI) dari kedua isolat dalam penelitian ini menurun pada jam ke-48 dan lebih rendah dibandingkan kecepatan reduksi Cr(VI) Bacillus sp. JDM-2-1 dan Staphylococcus capitis. Hal tersebut diduga karena pada jam ke-48 kedua isolat bakteri telah memasuki fase stasioner dimana pertumbuhan dari selsel bakteri berkurang dan beberapa sel mati. Apabila laju pertumbuhan sama 7
dengan laju kematian, maka secara keseluruhan jumlah sel tetap konstan hal ini dinamakan fase stasioner (Volk dan Wheeler, 1988). Tabel 2. Perbandingan kecepatan reduksi Cr(VI) isolat SpR3 dan SpR17 dengan Bacillus spdan Staphylococcus capitisdan kemampuannya mereduksi Cr(VI).
No.
Isolat
2
Bacillus sp. JDM-2-1* S. capitis*
3
Isolat SpR3
1
Cr(VI) yang direduksi (mg.l-1) Jam ke- Jam ke- Jam Jam 24 48 ke-24 ke-48 Konsentrasi Cr(VI) (mg.l-1)
Kecepatan Reduksi Cr(VI) (mg l-1.jam-1) Jam Jam ke-24 ke-48
60
34
40
66
1,67
1,37
71
47
29
53
1,21
1,10
43,41
31,19
56,59
68,81
2,07
0,67
4 Isolat SpR17 49,73 32,30 50,27 *= hasil penelitian Zahoor dan Rehman (2009).
67,70
1,81
0,65
Pertumbuhan dan Reduksi Cr (VI) oleh Bakteri Campur SpR3 dan SpR17 dalam Medium yang Mengandung Cr(VI) Pada penelitian ini, kecepatan pertumbuhan spesifik dari tiap kultur campur SpR3 dan SpR17 tidak dihitung tetapi penelitian ini lebih menitikberatkan pada uji kemampuan bakteri campur dalam mereduksi Cr(VI). Gambar 2 menunjukkan bahwa penurunan Cr(VI) yang tinggi oleh kultur campur SpR3 dan SpR17 dengan perbandingan 1:1 terjadi pada jam ke-8 sampai jam-32. Pada jam tersebut pertumbuhan bakteri sedang memasuki fase ekponensial di mana terjadi pertambahan jumlah sel menjadi 2 kali lipat (Volk dan Wheeler, 1988). Penurunan Cr(VI) oleh kultur campur SpR3 dan SpR17 dengan perbandingan 1:2 dan 2:1 masing masing terjadi pada ke-8 sampai jam ke-50 dan jam ke-8 sampai jam ke-44. Pertumbuhan kultur campur dalam medium yang mengandung Cr(VI) dapat dilihat pada Gambar 2.
8
Gambar 2. Pertumbuhan isolat campur SpR3 dan SpR17 dengan perbandingan 1:1 ( ),1:2 ( ),dan2:1 ( )pada medium yang mengandung Cr(VI). Notasi , ,dan masing-masing menunjukkan konsentrasi Cr(VI) pada medium yang ditumbuhi oleh kultur campur SpR3 dan SpR17 dengan perbandingan 1:1, 1:2, dan 2:1. Kecepatan reduksi Cr(VI) kultur campur SpR3 dan SpR17 dengan perbandingan 2:1 lebih tinggi dibandingkan dengan kultur campur dengan perbandingan 1:1 dan 1:2 (Tabel 3). Hasil ini memperkuat dugaan bahwa isolat SpR3 memiliki kecepatan pertumbuhan dan kecepatan reduksi yang lebih besar dibandingkan dengan SpR17. Nilai potensi reduksi Cr(VI) oleh bakteri campur dengan perbandingan 1:1 dan 2:1 memiliki nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan nilai potensi reduksi oleh isolat SpR3 saja. Hal tersebut terjadi karena ada kecenderungan bahwa efek potensi reduksi yang dimiliki oleh isolat SpR3 hampir sama dengan kultur campur dengan perbandingan 1:1 ataupun 2:1, kemungkinan efek yang terjadi adalah sinergisme. Dengan demikian, ketika kedua isolat SpR3 dan SpR17 dicampur maka potensi reduksinya akan lebih besar dari pada ketika isolat SpR3 dan SpR17 ditumbuhkan masing-masing. Pada bakteri campur dengan perbandingan 2:1 terlihat bahwa adanya peningkatan nilai potensi reduksi Cr(VI) 9
karena nilai potensi yang diperoleh lebih besar dari pada nilai potensi reduksi Cr(VI) isolat SpR3 dan SpR17. Tabel 3. Pertumbuhan kultur campur SpR3 dan SpR17 dan kemampuan reduksinya
1:1
Biomassa yang terbentuk (g.l-1) 1,082
1:2
1,335
0,011
35,437
0,027
2:1
1,269
2,693
74,737
0,059
Perbandingan SpR3 & SpR17
Kecepatan Reduksi Cr(VI)(mg l-1.jam-1) 0,050
Konsentrasi PotensiReduksi Cr yang (mg Cr.mg Direduksi berat kering (mg.l-1) sel-1) 61,672 0,057
Kesimpulan Berdasarkan konsentrasi Cr yang direduksi dan potensi reduksi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa isolat SpR3 lebih efektif dibandingkan dengan SpR17. Pada pencampuran kedua isolat menunjukkan terjadinya efek sinergisme pada rasio 1:1, 1:2 maupun 2:1. Dengan demikian, ketika kedua isolat SpR3 dan SpR17 dicampur maka akan terjadi peningkatan pada potensi reduksinya dari pada ditumbuhkan masing-masing. Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr. Drs. Rully Adi Nugroho, M.Sc., Ph.D. dan Dr. V. Irene Meitiniarti, M.P. yang telah banyak membantu, baik dari sisi pendanaan maupun ilmiah. Daftar Pustaka Anonim. 1990. Peraturan mentri kesehatan nomor: 416/MEN.KES/PER/IX/1990 tentang
syarat-syarat
dan
pengawasan
kualitas
air.
http://pppl.depkes.go.id/asset/regulasi/55_ permenkes %20416.pdf. Diakses pada tanggal 24 Desember 2014.
10
Alexander M. 1999. Biodegradation and bioremediation. 2nd ed. Academic Press. New York. APHA. 1989. Standard methods for examination of water and wastewater. 18th ed. American Public Health Association. Washington, DC. Bennett RM,
Cordero PRF,
Bautista GS, Dedeles GR. 2013. Reduction of
hexavalent chromium using fungi and bacteria isolated from contaminated soil and water samples. Chem. Eco. 29: 320–328. Brock TD, Madigan MT. 1991. Biology of microorganism. 6th ed. Prentice-Hall International Inc. New Jersey. Camargo FAO, Bento FM, Okeke BC, Frankenberger WT. 2003. Chromate reduction by chromium-resistant
bacteria
isolated
from
soils
contaminated with dichromate. Environ. Qua 32: 1228–1233. Dantau.
2010.
Fitoremediasi
Logam
Krom.
http://digilib.its.ac.id/.../ITS-
Undergraduate-12521-bab1.pd. Diakses pada 5 Oktober 2014. James BR. 2002. Chemical transformation of chromium in soils. Chem. Environ. 2: 46-48. Katiyar SK, Katiyar R. 1997. Microbes in control of heavy metal pollution. Adv. Microb. Biotechnol. 19: 330-344. Meitiniarti VI, Krave AS, Kasmiyati S, Diyawati RM. 2012. Isolasi bakteri toleran Cr(VI) dari rhizosfer Acalypha indica
yang tumbuh pada tanah
mengandung limbah tekstil dan penyamakan kulit. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Biologi. Peran Biologi dan Pendidikan Biologi dalam Pengembangan Karakter Konservasi. 31 Oktober 2012. p 86-92. Sarangi A, Krishnan C. 2008. Comparison of in vitro Cr(VI) reduction by CFEs of chromate resistant bacteria isolated from chromate contaminated soil. Biorem. Technol. 10: 4130-4137.
11
Tambekar DH, Gayakwad SS. 2013. Studies on bioremediation of Chromium [VI] by bacteria isolated from alkaline Lonar Lake (MS) India. Sci. Res. Rep. 1: 8790. Viamajala S, Peyton BM, Apel WA, Petersen JN. 2002. Chromate/nitrite interaction in Shewanella oneidensis MR-1: Evidence for multiple hexavalent chromium [Cr(VI)] reduction mechanisms dependent on physiological growth conditions. Biotechnol. Bioeng. 78: 770-778. Volk WA, Wheeler MF. 1988. Mikrobiologi Dasar. 5rd ed. Erlangga. Jakarta. Shen H, Wang YT. 1993. Characterization of enzymatic reduction ofhexavalent chromium by Escherichia coli ATCC 33456. Appl. Environ. Microbiol. 59:3771–3777. Wu CH, Wood TK, Mulchandani A, Chen W. 2006. Engineering plant-microbe symbiosis for rhizoremediation of heavy metals. Appl. Environ. Microbiol. 72: 1129–1134 Zayed AM, Terry N. 2003. Chromium in the environment: Factors affecting biological remediation. Plant and Soil 249: 139-156.
12