PENGARUH PROGRAM PEMBELAJARAN KOGNITIF DALAM PENGAJARAN TENIS DAN PROGRAM PEMBELAJARAN KONVENSIONAL DALAM PENGAJARAN OLAHRAGA FUTSAL UNTUK PENGEMBANGAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN ATENSI KINESTETIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Oleh : Drs. B. Abduljabar, M.Pd. ABSTRAK
Pendidikan jasmani adalah pendidikan menyeluruh, bukan hanya aspek fisik saja yang terbina tetapi aspek social-emosional, bahkan aspek kognitif. Pendidikan kognitif dicirikan manakala proses belajar gerak melibatkan unsur persepsi, atensi, interpretasi, dan pembuatan keputusan, yang perlu akurat dalam merespon informasi dari lingkungan pembelajaran, terutama mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukan suatu pola keterampilan gerak dalam pendidikan jasmani. Pembuktian terhadap pernyataan di atas, tiga model pengajaran telah dipilih, masing-masing pengajaran kognitif keterampilan berpikir kritis pada cabang olahraga tenis, pengajaran ekstrakurikuler olahraga futsal, dan pengajaran ekstrakurikuler karya ilmiah remaja (N = 90). Pada kelompok pertama, model pengajaran kognitif diterapkan program eksperimen berupa gugahan kata-kata ilustrasi, berbicara pada diri-sendiri, membayangkan, dan merumuskan seperangkat tujuan. Sedangkan, dua kelompok lainnya menjadi kelompok kontrol. Di akhir program diukur karakteristik atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis. Melalui prosedur statistik analisis multivariat ditemukan terdapat perbedaan signifikan dalam hal baik atensi kinestetik (Angka sig.= 0,000) maupun keterampilan berpikir kritis (Angka sig. = 0,004) diantara ketiga kelompok model pengajaran yang diajukan. Nilai rerata atensi kinestetik pada masing-masing model berutut-turut Pengajaran Kognitif (PK): M = 165,2667; s = 21,4394; Pengajaran Futsal (PF): M = 148,6; s = 14,7381; Pengajaran Karya Ilmiah Remaja (PKIR); M = 143,3333; s = 17,3112. Sedangkan dalam hal keterampilan berpikir kritis sebagai berikut: PK: M = 124,3333; s = 13,5078; PF: M = 120, 8333; s = 14,8604; dan PKIR: M = 133,8333; s = 15,9721. Aktivitas belajar gerak dalam pendidikan jasmani berhubungan erat dengan keterampilan berpikir kritis siswa. Manakala siswa memutuskan untuk berolahraga atau melakukan latihan jasmani berhubungan erat dengan keterampilan berpikir kritisnya, terutama dalam hal keterampilan inferensi, deduksi, interpretasi, mengenali asumsi, dan menilai argumen.
1. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Peningkatan mutu pendidikan jasmani akan menyumbang kepada mutu pendidikan secara keseluruhan. Dengan perkataan lain peningkatan sumber daya manusia Indonesia melalui peningkatan mutu pendidikan, tidak terlepas dari peningkatan efektivitas pendidikan jasmani. Bahkan ada pendapat yang menyatakan tanpa pendidikan jasmani pendidikan itu tidak lengkap. Koichiro Matsuura (2004; dalam Gerber dan Puhse, 2005:9), menyebutkan “quality education—a key education for all goals that underpins all the others—and the achievement of the overall harmonious development of the individual are nothing without physical education.” Argumentasi ini berangkat dari pentingnya pencapaian perkembangan individu secara menyeluruh yang harmonis, dan pendidikan jasmani mampu memberikan sumbangan yang dimaksud. Pernyataan tersebut, sepaham dengan pandangan tentang hakikat pendidikan jasmani sebagai bagian dari pendidikan keseluruhan (total education). Bila ditelusuri perkembangannya, konsep pendidikan jasmani sebagai pendidikan menyeluruh, tidak berubah dan bahkan tetap relevan hingga sekarang ini. Simak misalnya, pokok pikiran Bookwalter (1964:1) yang menegaskan pendidikan jasmani sebagai integral and indispensible of education. Maksudnya, pendidikan jasmani itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan. Konsep pendidikan yang bersifat menyeluruh tersebut terungkap pula dalam rumusan tujuan pendidikan jasmani yang bersifat multi-dimensi seperti digagas oleh Hetherington (1910; dalam Siedentop, 1994:218), perintis pendidikan jasmani di Amerika Serikat, yang juga diakui sebagai bapak pendidikan jasmani di Amerika Serikat. Menjelang akhir abad ke-20an, dalam publikasi yang lebih mutakhir, Siedentop (1994:42) mengklasifikasi tujuan sekaligus sebagai proses pendidikan, meliputi organic education, psychomotor education, character education, and intellectual education. Di Indonesia sendiri seperti dirumuskan oleh Pusat Kurikulum DEPDIKNAS (2004), konsep pendidikan yang menyeluruh pada dasarnya tidak berubah. Pusat Kurikulum Dinas Pendidikan Nasional (2004:6) mempertegas posisi pendidikan jasmani dalam sistem pendidikan nasional sebagai ―proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organic, neuromuscular, perceptual, dan emotional dalam kerangka sistem pendidikan nasional‖. Untuk mempertegas peranan pendidikan jasmani sebagai bagian dari sistem pendidikan, yang bermuatan pendidikan intelektual, temuan studi Donally (1999) menunjukkan bahwa rangsangan melalui aktivitas fisik seperti olahraga atau bermain memperkuat persambungan sinap dalam cerebral cortex. Artinya orang yang aktif memiliki kecenderungan dipengaruhi secara positif dalam hal pengembangan dan fungsi kognitifnya. Namun demikian, kenyataan di persekolahan penyelenggaraan pendidikan jasmani mengarah pada pendidikan keterampilan olahraga, untuk melestarikan kecabangan olahraga, tetapi dilaksanakan secara tidak utuh. Bahkan jauh dari memadai untuk memenuhi konsep pendidikan olahraga yang dikembangkan Siedentop (1994), dengan idenya berupa model sport education yang di dalamnya membekali pengalaman cukup lengkap, seperti mengorganisasi pertandingan, menjadi wasit dan pembinaan, sebagaimana lazimnya olahraga di kalangan orang dewasa. Di kalangan guru matapelajaran lainnya di luar pendidikan jasmani berkembang kesalah-pahaman yang menganggap pendidikan jasmani dan olahraga cenderung menghambat peningkatan prestasi belajar. Banyak pula kasus yang mengungkap keprihatinan, seperti kepala sekolah atau pun guru kelas melarang siswanya bermain pada waktu istirahat. Lebih serius lagi, pendidikan jasmani dianggap
memperendah prestasi belajar, dan bahkan berkembang stereotype yaitu pendidikan jasmani menghambat perkembangan kecerdasan anak-anak. Karena itu, berkembang kepercayaan di kalangan orang tua dan guru non-pendidikan jasmani bahwa pendidikan jasmani dan olahraga tidak berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan kognitif, atau sebaliknya menyebabkan para siswa tidak cerdas. Di lingkungan pemangku profesi pendidikan jasmani perlu diakui kelemahan itu memang terjadi. Dalam tulisan Rusli Lutan (2003:69), misalnya, mengenai hasil pertemuan puncak pendidikan jasmani (World Summit of Physical Education) pada bulan september 1999, yang menghasilkan deklarasi Berlin, diantaranya dipaparkan tentang lemahnya standar profesional guru pendidikan jasmani. Pada bagian lain Rusli Lutan juga mengungkapkan bahwa kelemahan dalam kompetensi guru pendidikan jasmani secara umum tercermin pada lemahnya sentuhan pedagogik yang seyogyanya harus dilakukan melalui implementasi metodik yang serasi untuk membangkitkan proses ajar. Keadaan tersebut merupakan sebuah indikasi tentang ketidakselarasan kompetensi yang dibekali dalam rangka pendidikan guru pendidikan jasmani dalam proses pra-jabatan. Sementara itu, dalam proses jabatan pun, guru pendidikan jasmani pada umumnya sangat kurang memperoleh pelatihan tambahan. Keadaan ini oleh Rusli Lutan disebut dalam ungkapan ―keterlantaran pendidikan jasmani.‖ 2. Landasan Teoritis dan Rumusan Masalah Keterkaitan belajar gerak dengan keterampilan berpikir kritis perlu ditelusuri dalam kaitan dengan karakteristik kognitif pada setiap cabang olahraga yang sering dilakukan siswa. Belajar gerak dalam konteks aktivitas jasmani dan olahraga di sekolah, seperti tercantum dalam kurikulum pendidikan jasmani dan olahraga, perlu ditelaah dalam hubungan dengan kemampuan berpikir kritis yang berawal dari hadirnya sikap mental sesaat akan melakukan penampilan gerak. Hadirnya atensi terhadap gerak yang merupakan sikap mental mengarahkan siswa pada kebutuhan keterampilan berpikir kritis. Konsep belajar berpikir kritis dalam belajar dan penampilan gerak yang dimunculkan dapat diartikan sebagai proses manakala informasi diorganisir, disimpan dalam memori, dan siap digunakan dalam berbagai kebutuhan dan keadaan. Dalam konteks belajar keterampilan gerak, aktivitas jasmani atau keterampilan gerak itu digunakan sebagai media menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Pengajarannya diarahkan pada upaya mendapatkan informasi masuk ke dalam alam pikiran siswa. Informasi atau pengetahuan diidentifikasi, diolah, diubah, dan disusun. Sejalan dengan tema perceptual motor program dan process information model, maka pembelajaran pengembangan keterampilan berpikir kritis menjadi pemicu utama pendekatan proses informasi ke dalam alam pikiran. Diawali dengan hadirnya persepsi, yang kemudian diikuti kebutuhan atensi kinestetik akan mengantarkan siswa untuk dapat menggunakan keterampilan berpikir kritisnya. Dengan demikian, dalam kaitan penelitian ini ditelusuri satu aspek pembelajaran kognitif, yaitu hubungan fungsional atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis sangat diperlukan dalam konteks pemunculan kreativitas, pemecahan masalah, dan pengembangan kecerdasan intelektual, dan sebagai wujud tantangan global di masa kini dan mendatang. Keterampilan berpikir kritis juga dibutuhkan dalam mengisi era demokratisasi dan globalisasi, sebagai suatu cara untuk dapat hadir di era zaman persaingan ketat. Karena itu, keterampilan berpikir kritis perlu diadaptasi dan dikembangkan melalui jalur penyelenggaraan pendidikan jasmani.
Pendidikan jasmani dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan keterampilan berpikir. Untuk itu melalui penelitian ini, dideskripsikan secara kualitatif-analitis disertai survey berupa kasus atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis pada cabang olahraga permainan tenis dan olahraga futsal. Proses pengajarannya dicirikan oleh pembelajaran yang mengembangkan keterampilan berpikir kritis melalui cara menghadirkan atensi kinestetik secara inderawi dalam proses belajar mengajar gerak yang bermakna. Pengajaran yang diinginkan itu adalah suatu keterampilan berpikir kritis yang disebabkan oleh upaya memasukan informasi secara inderawi (yaitu penglihatan, pendengaran, dan rasa kinestetik) ke dalam alam pikiran, dengan dilandasi konsep belajar kognitif (cognitive learning). Pada penelitian ini, teknik dan karakterisitik aktivitas gerak dalam olahraga tenis dan futsal ditelaah secara mendalam untuk dilihat potensinya dalam mengembangkan atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis. Pembelajaran keterampilan gerak dasar dalam olahraga permainan tenis memunculkan persepsi dan interpretasi terhadap bola datang, yang dapat diduga menjadi pintu masuk bagi pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa. Sedangkan, pada olahraga permainan futsal, selain hadirnya proses persepsi, aksi, analisis dan interpretasi diperlukan juga kemampuan strategis bermain agar permainan efisien, efektif, dan mencapai tujuan yang diinginkan. Keterampilan analitis berpikir ini diduga berkaitan dengan keterampilan berpikir kritis. Dengan demikian, keterampilan berpikir kritis dalam penampilan olahraga permainan terjadi dalam bentuk efisiensi penampilan tugas gerak, pola rancangan bertahan dan menyerang, dan analisis relevansi proses gerak dengan tujuan penampilan gerak. Secara rinci dapat diidentifikasi variabel dalam penelitan ini adalah: 1.
Veriabel Bebas:
a.
Pengajaran Tennis dengan Pembelajaran Kognitif ( X1)
Proses belajar dan penguasaan keterampilan gerak yang menjadi misi utama dalam pendidikan jasmani dapat ditinjau dari tiga konsep utama, yakni: motor perceptual development (Gallahue & Ozmun, 1998:297), sensory contribution and motor program (Schmidt & Wrisberg, 2004:130), dan information process model (Siegler & Alibali, 2005:68). Konsep-konsep tersebut terkait pula dengan pemahaman tentang peranan atensi, yang selanjutnya berkaitan dengan pembuatan keputusan sebagai salah satu bentuk kemampuan kognitif. Berpikir kritis berkenaan dengan kemampuan untuk mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat, dengan memanfaatkan informasi umpan balik dan rujukan berupa parameter gerak. Berbarengan dengan kesadaran kualitas gerak, gugahan kognitif terjadi berupa keputusan yang dianggap paling sesuai dengan pola stimulus dan seketika itu pula informasi masuk ke alam pikiran siswa berdasarkan mental image yang berkaitan dengan gambaran umum pola gerak baik sesudah maupun akan melaksanakan pola gerak berikutnya sehingga mempengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa. Sesuai dengan hasil eksekusi gerak senantiasa diajukan pertanyaan sehubungan dengan ―mengapa (why) dan bagaimana (how) pola gerak itu dilakukan. Pengalaman gerak itulah lama-kelamaan mempengaruhi atensi untuk lebih mampu berpikir kritis. b.
Pengajaran Futsal dengan Pembelajaran Konvensional (X2)
Alasan pemilihan olahraga futsal adalah pertama, olahraga futsal termasuk teritory invasion game (Siedentop, 1994:95), yang memerlukan kecepatan dan kelincahan bergerak, serta daya persepsi dan aksi terhadap situasi dan kondisi permainan yang terjadi. Pada olahraga futsal terjadi hubungan inter-personal dalam bentuk kerjasama, kebersamaan, dan sikap menghargai orang lain
dalam tata hubungan yang terbungkus dalam hukum sportivitas dan fair-play. Suatu regu futsal perlu membuat strategi penyerangan untuk bisa memasukkan bola ke gawang lawan, yang tidak melupakan strategi pertahanan agar gawang sendiri tidak kemasukan bola oleh regu lawan. Selain itu, pemain juga dituntut untuk dapat memainkan peran dan tugas tertentu sesuai dengan posisi masing-masing pemain, menciptakan daerah-daerah terbuka dari sergapan lawan sehingga tercipta peluang memasukan bola ke gawang lawan. Peran tugas dalam penciptaan pola pertahanan dan penyerangan ini membutuhkan atensi gerak dan kemampuan berpikir kritis. Kedua, dari pandangan belajar gerak, olahraga futsal juga bersifat diskrit skill, sebagai bentuk belajar gerak yang lebih tegas, jelas awal dan akhir gerakanya (Schmidt & Wrisberg, 2004:5). Selain itu, membutuhkan daya adaptasi gerak dalam suatu respon yang dinamis. Penampilan dalam olahraga futsal membutuhkan pola interaksi antar pemain dalam ruang-ruang gerak tertentu. Selain harus tepat memposisikan diri sehingga terbebas dari penjagaan lawan, pemain juga harus mampu mengenali sudut-sudut ruang dalam kaitan dengan posisi teman satu regu dan bahkan posisi lawan itu sendiri. Pada cabang olahraga futsal, penampilan tugas gerak lebih dominan mengikuti pola gerak closed loop control-system, yakni suatu tipe pengendalian yang menggunakan umpan balik dan aktivitas deteksi kesalahan serta proses perbaikan untuk menggapai tujuan gerak yang diinginkan (Schmidt & Wrisberg, 2004:131). Atas dasar jenis belajar gerak ini, terjadi pula umpan balik berupa informasi keadaan aktual gerak dibandingkan dengan suatu pembanding untuk memperoleh keterampilan gerak yang diinginkan (Schmidt & Wrisberg, 2004:131). Meskipun olahraga tenis dan futsal sama-sama memerlukan atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis, tetapi pencapaian performa pada tingkatan memuaskan menunjukkan beberapa dominansi perbedaan yang mendasar. Dilihat dari peristiwa pengendalian sistem closed loop dan open loop, olahraga tenis lebih didominasi oleh sistem pengendalian gerak open loop. Hal ini dicirikan oleh keterkaitan tak terputus dari unsur executive movement ke effector movement, sehingga lebih menuntut pre-program gerak yang lebih cermat. Berbeda dengan olahraga futsal, penampilan gerak lebih didominansi pengendalian sistem closed loop, sehingga memungkinkan umpan balik lingkungan mempengaruhi penampilan gerak. Dalam kaitan ini, olahraga futsal memberikan kesempatan kepada unsur lingkungan seperti: pergerakan teman atau lawan, posisi tempat dan ruang gerak yang dimiliki, jarak dengan pemain lawan atau kawan, dan derajat kemungkinan peristiwa gerak akan mempengaruhi penampilan gerak, yang pada gilirannya akan pula mempengaruhi pada keterampilan berpikir kritis pemain. Ketiga, hadirnya persepsi dan interpretasi pada olahraga futsal muncul secara dinamis dari sebuah rangsangan informasi gerak, yang kemudian ditangkap oleh executive movement berupa: identifikasi stimulus, seleksi program, dan program respon, dilanjut ke efector movement berupa: program gerak, spinal cord, dan otot (Schmidt & Wrisberg, 2004:132), sehingga muncul gerak yang diinginkan. Situasi dan keadaan bermain yang senantiasa berubah-ubah menuntut kerja kognitif siswa dan seketika informasi masuk ke alam pikiran siswa melalui mental image dibarengi upaya pertanyaan dan dihadapkan pada permasalahan gerak akan menggugah siswa untuk menggunakan potensi berpikir kritisnya. 2.
Variabel Terikat:
a.
Atensi Kinestetik (Y1)
Atensi dalam konteks penampilan olahraga dan aktivitas jasmani sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk dapat melibatkan kemampuan kognisi. Menurut William James (1980; dalam
Schmidt & Lee, 1999), atensi adalah pengambilan posisi oleh pikiran. Atensi dalam konteks pemecahan masalah aktivitas jasmani adalah atensi kinestetik, yaitu kemampuan mencurahkan pikiran terhadap pemecahan masalah aktivitas jasmani. Memusatkan perhatian dan kesadaran terhadap situasi aktivitas jasmani adalah inti atensi kinestetik. Dalam konteks pendidikan jasmani, keterampilan berpikir kritis dan atensi kinestetik terbentuk dalam bodily kinesthetic intelligence (Gardner,1983), berupa kemampuan mendapatkan dan menerapkan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan pola gerak melalui bagian atau keseluruhan anggota tubuh individu itu sendiri. b.
Keterampilan Berpikir Kritis (Y2)
Sub-konsep dalam domain kognitif reflektif yang terasa sangat penting dalam kehidupan era informasi sekarang ini ialah keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis seperti diungkapkan Schafersman (1991) dapat diartikan sebagai berpikir secara tepat dalam konteks relevan dan dapat dipercaya terhadap dunia-kehidupan. Seseorang yang berpikir secara kritis dapat mengajukan pertanyaan secara tepat, mengumpulkan informasi yang relevan, efisien dan kreatif dalam mengumpulkan informasi, dan memberikan alasan logis atas informasi yang didapatnya itu. Berpikir kritis dan pendidikan jasmani merupakan penggunaan keterampilan kognitif atau strategi yang meningkatkan kemungkinan pencapaian hasil gerak yang diinginkan dalam bentuk keputusan gerak apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya? Konsep ini digunakan untuk menjelaskan berpikir yang bertujuan, beralasan, dan mengarah pada tujuan—keterampilan berpikir yang dimaksud termasuk pemecahan masalah gerak, menentukan inferensi, mempertimbangkan kesamaan, dan membuat keputusan manakala keterampilan gerak itu digunakan untuk berpikir dan efektif untuk konteks tertentu dan tipe berpikir tugas tertentu. Berpikir kritis juga melibatkan proses berpikir evaluatif, memberikan alasan ketika harus membuat keputusan. Berpikir kritis kadang kala disebut berpikir terarah karena difokuskan pada hasil gerak yang diinginkan. Berpikir kritis dapat juga diartikan sebagai berpikir reflektif yang digunakan untuk membuat keputusan yang beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan yang difokuskan pada apa yang harus diyakini dan dilakukan (Ennis, 1996). Pengertian lain tentang berpikir kritis adalah upaya untuk mendapatkan dan memunculkan ulang serta menggunakan pengetahuan untuk memahami konsep abstrak atau konkret dan menghubungkannya diantara objek dan gagasan, dan untuk menggunakan pengetahuan itu melalui cara yang bermakna (Solso, Maclin & Maclin, 2005). Dalam konteks belajar aktivitas jasmani, keterampilan berpikir kritis diperlukan untuk mendapatkan gagasan pengembangan gerak yang bermakna, efektif dan efisien. Beyer (1988) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis meliputi kemampuan untuk mendapatkan dan menggunakan pengetahuan, memberikan alasan secara logis, merencanakan secara efektif, membuat keputusan tepat dan memecahkan masalah, memberikan perhatian, memvisualisasikan konsep, dan menjadi seorang yang intuitif. Secara ringkas, kemampuan berpikir kritis dapat didefinisikan sebagai kemampuan mendapatkan dan menerapkan pengetahuan secara bermakna. Nichols (1994:103) menyatakan bahwa setiap tujuan pendidikan jasmani memiliki potensi untuk pengembangan berpikir kritis. Dalam pengembangan studi gerak insani, misalnya, siswa diharuskan berpikir tentang bagaimana tubuh harus bergerak, bagaimana meningkatkan efisiensi gerak, dan bagaimana bergerak dalam ruang dan waktu yang dimiliki. Selain itu siswa diajak untuk
berpikir bagaimana pengetahuan tentang gerak ini diterapkan dalam permainan, olahraga kecabangan, dan kegiatan-kegiatan fisik olahraga individual maupun dual. Berpikir kritis sangat diperlukan selain untuk mencapai tingkatan berpikir secara efektif, juga diharapkan dapat menunjang pada pencapaian peningkatan kualitas pendidikan. Berpikir kritis juga diperlukan untuk menghasilkan generasi-generasi yang berkualitas, mampu bersaing dalam tataran regional maupun global. Daya saing Bangsa Indonesia dewasa ini sangat ditentukan oleh kemampuan berpikir kritis dari setiap penduduknya, sehingga pada gilirannya akan menunjang pada kemampuan warga yang berpikir kreatif. Untuk itu, pendidikan jasmani perlu didorong untuk memberikan kontribusi pada keterampilan berpikir kritis. Proses berpikir kritis siswa perlu terjadi dalam pendidikan jasmani, karena itu pula proses berpikir kritis harus membentuk pengetahuan pada diri siswa. Proses berpikir kritis inilah yang menjadi perhatian peneliti, untuk menunjukkan bahwa secara sengaja guru pendidikan jasmani dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa melalui desain pembelajaran kognitif-nya. 3.
Pertanyaan Penelitian
Mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah di atas, dapat diajukan pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Adakah pengaruh program pengajaran olahraga tenis yang diajarkan dengan pembelajaran kognitif dengan program pengajaran olahraga futsal yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional dalam hal atensi kinestetik para siswa? 2. Adakah pengaruh program pengajaran olahraga tenis yang diajarkan dengan pembelajaran kognitif dengan program pengajaran olahraga futsal yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional dalam hal keterampilan berpikir kritis para siswa? 3. Adakah hubungan fungsional yang positif antara atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis pada kelompok siswa yang mendapatkan program pengajaran olahraga tenis dengan pembelajaran kognitif? 4. Adakah hubungan fungsional yang positif antara atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis dikalangan para siswa yang memperoleh perlakuan program pengajaran olahraga futsal dengan pembelajaran konvensional? 4.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengungkap pengaruh program pengajaran tenis dengan pembelajaran kognitif dan program pengajaran olahraga futsal dengan pembelajaran konvensional terhadap atensi kinestetik siswa. 2. Mengungkap pengaruh program pengajaran tenis dengan pembelajaran kognitif dan program pengajaran olahraga futsal dengan pembelajaran konvensional terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 3. Mengungkap hubungan fungsional antara atensi kinestetk dan keterampilan berpikir kritis para siswa yang memperoleh perlakuan program pengajaran tenis.
4. Mengungkap hubungan fungsional antara atensi kinestetk dan keterampilan berpikir kritis para siswa yang memperoleh perlakuan program pengajaran futsal. 5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Manfaat Praktis 1) Bagi para penyusun kurikulum, dengan ditemukannya fakta empiris tentang karakteristik kognitif (atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis) dalam belajar gerak olahraga permainan, pendidikan jasmani, maka sangat diperlukan upaya pengembangan kurikulum pendidikan jasmani yang lebih memperhatikan pengembangan kognitif. Hal ini sekaligus pula sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan jasmani sebagai bagian integral dari pendidikan. 2) Bagi para guru pendidikan jasmani, hasil penelitian ini juga bermanfaat untuk meningkatkan Proses Belajar Mengajar (PBM) pendidikan jasmani di jenjang pendidikan sekolah menengah khususnya, dan jenjang pendidikan sebelum atau selanjutnya, supaya mereka lebih peduli untuk menerapkan strategi pembelajaran yang tidak hanya mengembangkan aspek psikomotor, tetapi juga mencakup aspek kognitif para siswa. 3) Hasil penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan masukan bagi pendidikan tenaga pendidik keolahragaan, dalam hal ini FPOK/FIK, khusus dalam mempersiapkan tenaga guru pendidikan jasmani yang trampil dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. 2. Manfaat Teoretis 1) Penajaman kontribusi pendidikan jasmani bagi dunia pendidikan, yang bukan hanya semata kontribusi pada perkembangan dan pertumbuhan fisikal siswa, tetapi juga berkontribusi pada perkembangan kognitif siswa. 2) Hasil penelitian ini juga menyumbang pada pengembangan batang tubuh sport pedagogi, terutama berkaitan dengan pemutakhiran teori pengajaran di bidang pengembangan kognitif. 6. Asumsi dan Hipotesis 1. Asumsi Asumsi adalah anggapan dasar yang melandasi perumusan hipotesis. Karena itu dalam penelitian ini, beberapa landasan penting dalam perumusan hipotesis disusun sebagai berikut: Ennis (1996:4), mengartikan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif yang beralasan dan difokuskan pada keputusan apa yang harus diyakini dan apa yang harus dilakukan. Selanjutnya, Ennis juga memberikan panduan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan mengajukan ada enam elemen penting dalam berpikir kritis, yaitu: Six basic elements in critical thinking helps to have a mental checklist for critical thinking. The one remommended here has six basic elements: Focus, Reasons, Inference, Situation, Clarity, and Overview. The first letters of these words make the easy to remember acronym FRISCO. Enam elemen dalam berpikir kritis itu membantu untuk mendapatkan sikap mental berpikir kritis. Direkomendasikan enam elemen dasar
itu adalah Fokus, Alasan, Inferensi, Situasi, Kejelasan, dan Pengkajian. Fokus adalah upaya mendapatkan gagasan utama dan isu, pertanyaan, atau masalah. Ajukan pertanyaan, seperti apa yang terjadi disini? Apa yang menjadi masalah? Apa yang sebenarnya sedang dibuktikan seseorang? Seorang pemikir kritis perlu mengetahui bagaimana dapat mengetahui fokus yang diperbincangkan. Keterampilan berpikir kritis sangat terkait dengan kemampuan atensi. Atensi dapat diartikan kemampuan memposisikan pikiran pada satu tugas dan momen tertentu. Pengertian seperti ini mengisyaratkan bahwa atensi adalah keterbatasan orang yang hanya dapat menghadiri satu undangan pada satu waktu tertentu atau orang hanya dapat berpikir kritis pada satu momen pikiran tertentu. Dalam konteks perilaku gerak (seperti: olahraga) orang sangat terbatas dalam hal yang dapat dia lakukan pada satu waktu tertentu. Asumsi lain tentang hubungan aktivitas jasmani dan fungsi kognitif, adalah bahwa pengaruh aktivitas jasmani terhadap fungsi kognitif bergantung pada tipe intensitas, dan lamanya latihan jasmani yang dilakukan. Intensitas latihan jasmani yang berkadar rendah sampai menengah cenderung mendukung pernyataan bahwa suatu gugahan fisik memfasilitasi fungsi kognitif (Zervas & Stambulova; dalam Auweele, et.al.,1999:149). Hubungan proses belajar gerak dengan belajar kognitif menunjukkan ada peran penting gerakan dalam mengembangkan kognitif siswa. Belajar keterampilan gerak tidak akan terjadi tanpa proses berpikir tingkat tinggi. Semua bentuk gerak yang ditampilkan membutuhkan tahapantahapan kognisi. Semakin kompleks tugas gerak yang harus ditampilkan, semakin membutuhkan proses kognitif. Manakala keterampilan gerak dipelajari, pola kognitif terbentuk, dan pola kognitif akan disimpan dalam memori, dan siap dipanggil manakala dibutuhkan (Gallahue dan Ozmun, 1998:477). Belajar aktivitas jasmani bukan hanya mempengaruhi perasaan individu, tetapi juga mempengaruhi pikiran. Aktivitas jasmani yang teratur berhubungan dengan peningkatan kognitif pelaku-nya. Seseorang yang melakukan aktivtas jasmani yang teratur ternyata menunjukkan hasil IQ yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan latihan jasmani secara teratur (Abernethy, et.al., 1997:379). Belajar gerak merupakan proses informasi dan pembuatan keputusan, yang terbentuk ke dalam tiga tahapan proses informasi, yaitu (1) proses identifikasi stimulus, (2) proses seleksi respon, dan (3) proses program respon. Ketiga tahapan ini merupakan proses kognitif. Tahapan identifikasi stimulus dicirikan ketika kognisi individu menangkap rangsang dari lingkungan, diikuti oleh proses kognisi memilih respon yang diperlukan, sehingga terbentuk program gerak yang diinginkan, sebagai bentuk proses informasi ke-tiga (Schmidt, 2004:58). Dukungan lain, bahwa latihan erobik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan belajar. Latihan fisik dapat menimbulkan respon adrenalin-non-adrenalin serta terjadi pemulihan yang cepat. Suatu studi yang dilakukan oleh Kushner (1996: dalam Jensen, 1996:147) di CaliforniaAmerika Serikat, dengan membagi sampel menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang melakukan berbagai latihan erobik, non-erobik pertengahan, dan kelompok yang tidak melakukan latihan erobik sama sekali. Setelah diuji dalam hal kemampuan memori, reasoning, dan waktu reaksi, menunjukkan bahwa peningkatan aliran darah ke orang membantu proses berpikir secara lebih baik dan cerdas.
2. Hipotesis Mengacu pada anggapan dasar yang telah diuraikan di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1 : program pengajaran tenis dengan pembelajaran kognitif lebih berpengaruh dibandingkan dengan program pengajaran futsal dengan pembelajaran konvensional dalam pengembangan atensi kinestetik para siswa. H2 : program pengajaran tenis dengan pembelajaran kognitif lebih berpengaruh dibandingkan dengan program pengajaran futsal dengan pembelajaran konvensional dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis para siswa. H3 : terdapat hubungan fungsional positif antara atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis di kalangan para siswa yang memperoleh perlakuan program pengajaran olahraga tenis dengan pembelajaran kognitif. H4 : terdapat hubungan fungsional positif antara atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis di kalangan para siswa yang memperoleh perlakuan program pengajaran olahraga futsal dengan pembelajaran konvensional. B. METODE PENELITIAN Interaksi antara program pembelajaran kognitif dengan keterampilan berpikir kritis melalui media pengajaran pendidikan jasmani membutuhkan upaya atensi siswa terhadap aktivitas jasmani. Penelitian eksperimen ini mengacu pada kerangka berpikir bahwa pembelajaran pendidikan jasmani yang menggugah aspek perkembangan perseptual-gerak, program gerak, dan model proses informasi akan menyentuh pada keterampilan berpikir kritis siswa. Penelitian eksperimen ini dikenakan pada dua kelompok yang berbeda. Satu kelompok merupakan kelompok eksperimen (SE), dan satu kelompok lain merupakan kelompok kontrol (S K). Penelitian ini tidak diawali dengan tindakan pengukuran pertama (pre-test) atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis pada kedua kelompok tersebut. Program perlakuan dilakukan pada kelompok eksperimen berupa program pengajaran kognitif, sedangkan pada kelompok kontrol adalah program pengajaran pada jam ekstrakurikuler olahraga futsal. Pada tahapan menjelang akhir penelitian dilakukan pengukuran pada aspek atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis untuk mengetahui perbedaan hasil perlakuan. Pengukuran atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis hanya dilakukan satu kali, di akhir perlakuan untuk kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran tentang hal yang sama dengan kelompok kontrol. Desain seperti ini sering disebut sebagai non-equivalent posttest-only control group design. Pengukuran hanya sekali pada akhir program perlakuan ini dimaksudkan untuk melihat perbandingan relatif perubahan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, dan bukan merupakan suatu penelusuran causal comparative diantara kedua kelompok yang dipilih. Selain itu, penelitian ini hanya berupaya untuk membandingkan satu kelompok eksperimen terhadap satu kelompok kontrolnya. Desain penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
X1
O
X2
O
Gambar 1. Desain Penelitian (Non-Equivalent Post-test Only Control Group Design) (Sumber: Heppner et.al., 2008: 184) Pengertain simbol-simbol tersebut adalah: X1
: perlakuan, yaitu penerapan program pengajaran kognitif dalam hubungan dengan keterampilan berpikir kritis. Penerapan program ini memperhatikan 1) keakuratan visual; 2) keakuratan pendengaran; 3) keakuratan rasa-kinestetik; 4) kemampuan memisahkan objek; 5) kemampuan persepsi dasar; 6) koordinasi gerak-visual; 7) perhatian; 8) kesadaran; 9) upaya mental; 10) kapasitas sumber daya. Metode pembelajaran yang digunakan mencakup 1) metode pembelajaran kata-kata ilustrasi; 2) berbicara pada diri sendiri; 3) membayangkan; 4) merumuskan seperangkat tujuan.
X2
: penerapan program pengajaran ekstrakurikuler olahraga futsal, berisikan: pengajaran teknik dasar futsal seperti: passing, shooting, stoping, dribling, throw in, pola bermain penyerangan dan pertahanan, dan pengenalan aturan dasar bermain. Secara umum program berorientasikan pada penguasaan teknik keterampilan dasar olahraga futsal dan kemampuan bermain.
O
: tes atau pengukuran keterampilan berpikir kritis dan atensi kinestetik. Pengukuran ini dilakukan setelah sekitar tiga bulan perlakuan berlangsung, dengan tujuan untuk mengetahui dampak dari perlakuan.
Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok siswa tahun kedua di Sekolah Menengah Pertama Laboratorium, Universitas Pendidikan Indonesia, yang berusia antara 13-14 tahun. Dipilihnya siswa pada tingkatan ini, karena pada tahapan kelas ini perkembangan kognisi telah memasuki tahapan terakhir formal operasional (Siegler & Alibali, 2005:53). Pada tahap perkembangan kognisi ini siswa telah mampu berpikir secara logis, terjadi kematangan intelektual, mampu berpikir simbolik, berpikir abstrak, dan berpikir proporsional. Para siswa telah dapat merumuskan alasan-alasan dari situasi hipotesis sampai situasi kongkrit. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa yang sedang menjalani sekolah di Sekolah Menengah Pertama Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia. Sedangkan, sampel dipilih secara random dan dikelompokan kedalam dua kelas yang berbeda, yaitu kelompok pembelajaran olahraga tenis, sebagai kelompok eksperimen (Tabel 1.). Ditetapkannya sampel pada kelompok kelas dua sekolah menengah ini didasarkan pada tingkat perkembangan kognitif dari Piaget pada
tahap perkembangan kognitif siswa mampu merumuskan alasan, berpikir hipotesis, berpikir tentang pikiran, dan berpikir deduktif-induktif. Tabel 1. Karakteristik Sampel Jenis kategori
Kelompok Pembelajaran Tenis
Kelompok Kontrol Pembelajaran Konvensional
Usia
13 – 14 tahun
13 – 14 tahun
Jenis Kelamin
♀ = 10
♂ = 20
♀ = 10
♂ = 20
Penelitian ini diawali dengan terlebih dahulu melakukan survey pendahuluan, yaitu: 1) pengamatan kondisi pembelajaran pendidikan jasmani dalam kurikulum yang berlaku di sekolah, 2) pengkajian materi dan model penyusunan program pembelajaran kognitif, sampai didapatkannya rancangan program dan mencobakan program. Program perlakuan berlangsung selama 12 minggu (Desember 2008 sampai April tahun 2008). Substansi pengajaran meliputi cara teknik kata-kata deskriptor/word illustrator, teknik membayangkan/imagery, berbicara pada diri sendiri/self-talk, dan perumusan seperangkat tujuan /goal setting). Proses pengajaran juga sangat memperhatikan gugahan kognitif kepada siswa, dan disusun dalam kerangka siswa mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis terhadap proses dan hasil penampilan keterampilan gerak. Siswa pun diminta untuk mampu mengendalikan keterlibatan berpikir kritisnya dalam setiap proses dan hasil keterampilan gerak, dan bahkan diminta pula untuk mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya terhadap semua proses dan hasil gerak yang diperagakannya. Siswa senantiasa disadarkan untuk menghubungkan gelombang tugas gerak yang dipelajari dengan kemampuan berpikir kritis siswa. Pada tahapan selanjutnya siswa diarahkan untuk mampu mempertahankan dan mengendalikan keterkaitan gelombang pikiran ini dengan tuntutan tugas gerak yang dihadapi. Dari tahapan ini, terus senantiasa ditingkatkan menjadikan siswa mampu mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya dengan senantiasa menjawab dan mencari cara pemecahan pertanyaan dan masalah gerak yang diberikan guru. Pengajaran kognitif pada pengajaran cabang olahraga tenis di sekolah menengah pertama ini berlangsung selama 3 jam per minggu, 2 kali pertemuan setiap minggu, dan 1,5 jam di setiap pertemuan. Perlakuan pengajaran kognitif melalui pengajaran tenis dikenakan pada siswa kelas delapan yang sedang menjalani program ekstrakurikuler olahraga tenis. Pada kelompok kontrol dikenakan pengajaran olahraga futsal secara konvensional pada program ekstrakurikuler sekolah. Perlakuan pada kelompok eksperimen memperhatikan tiga faktor utama pembelajaran, yaitu 1) self reliance; 2) self control; dan 3) self development. Self reliance lebih berkenaan dengan cara bersama instruktur tenis dan siswa memposisikan pikiran pada apa yang akan dan perlu diperbuat sehubungan dengan tugas belajar gerak. Dalam bahasa psikologi olahraga sering disebut sebagai ―tune-in‖, yaitu ibarat seseorang yang memposisikan gelombang radio sedemikian sehingga suara yang didapat bersih dan terdengar jelas, sebagai akibat dari tepatnya posisi gelombang radio tadi.
Demikian juga ketika siswa akan melakukan tugas gerak, pikiran perlu disesuaikan dengan tuntutan tugas yang sedang dipelajarinya. Teknik yang dilakukan berupa gugahan, rangsangan, motivasi, atau dorongan sehingga siswa menjadi sadar terhadap tugas yang dilakukannya. Pada faktor ini juga diarahkan agar fokus-konsentrasi siswa terpusat pada tugas gerak yang harus dan perlu dilakukan dalam bermain tenis. Segenap atensi siswa ditujukan pada tugas gerak yang ditampilkan, bukan hanya mengundang siswa untuk sadar mengenal situasi pembelajaran tetapi juga mampu menggunakan segenap potensi nalar untuk mewujudkan tampilan gerak yang diinginkan. Self-control, berkaitan dengan kemampuan siswa melibatkan diri secara kognitif terhadap tugas gerak yang akan dilakukannya. Perlibatan kognitif ini diarahkan untuk menjaga keterhubungan pikiran dengan tugas gerak yang sedang ditampilkannya. Memelihara kegiatan fisik yang dilakukan agar senantiasa seluruh potensi tubuh dan keterampilan yang dimiliki siswa mampu dicurahkan untuk melakukan tugas gerak. Siswa juga diminta untuk responsif terhadap variasi tugas dan tantangan gerak yang dihadapkan kepadanya. Guru dalam kaitan ini, memberikan tahapan belajar gerak dan memperkaya cakrawala gerak yang perlu dimiliki siswa. Guru juga memberikan masalah-masalah gerak kepada siswa dengan cara membuat variasi atau bahkan modifikasi yang berisikan tantangan gerak yang perlu dipecahkan oleh siswa. Self development adalah kemampuan siswa mengembangkan tugas gerak yang sedang dipelajarinya menjadi lebih bermakna secara kontekstual dengan kenyataan diri di lapangan dan kehidupan kesehariannya. Teknik yang dilakukan adalah dengan cara mencari hubungan interaksi antara tugas gerak dengan pengalaman hidup. Selain itu, secara kualitas, siswa juga mengembangkan tugas gerak yang dipelajarinya itu. Pada tahapan akhir ini siswa dituntut untuk lebih kreatif dalam menciptakan bentuk-bentuk gerak yang bisa mengatasi semua masalah gerak yang dihadapi. Para siswa dituntut untuk membuat alasan-alasan, justifikasi dan refleksi, tentu dibantu oleh gugahan dari gurunya, untuk senantiasa secara kritis menjawab semua permasalahan dan tantangan gerak. C. HASIL ANALISIS DAN DISKUSI PENEMUAN 1. Hasil Analisis Berdasarkan Analisis SPSS untuk signifikansi daya beda t, dalam hal atensi kinestetik diperoleh hasil t hitung sebesar 3,254 yang lebih besar dari nilai t tabel pada taraf nyata α = 0,05 yaitu t 0,95 (29) untuk uji dua pihak sebesar 2,045, maka pengujian signifikan dan hipotesis Ho harus ditolak. Pengujian signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05. Maknanya adalah terdapat perbedaan efektivitas atensi kinestetik siswa diantara kelompok pengajaran tenis pembelajaran kognitif dibandingkan dengan hal yang sama pada siswa kelompok pengajaran futsal pembelajaran konvensional. Untuk uji yang sama dalam hal keterampilan berpikir kritis, dalam hal keterampilan berpikir kritis diperoleh t hitung sebesar 0,967 yang lebih kecil dari nilai t tabel pada taraf nyata α = 0,05 yaitu t 0,95 (29) untuk uji dua pihak sebesar 2,045, maka pengujian non-signifikan dan hipotesis Ho harus diterima pada tingkat signifikansi diatas 0,05. Maknanya adalah terdapat kesamaan efektivitas keterampilan berpikir kritis siswa diantara kelompok pengajaran tenis pembelajaran kognitif dengan siswa kelompok pengajaran futsal pembelajaran konvensional. Hasil analisis berdasarkan SPSS versi 14 untuk uji regresi sederhana menunjukkan persamaan regresi Y = 168,926 - 0,029 X. Ini berarti setiap satu unit keterampilan berpikir kritis
akan berdampak pada pengurangan sebesar -0,29 unit pada atensi kinestetik siswa di kelompok pengajaran tenis dengan menggunakan pembelajaran kognitif. Hubungan fungsional negatif ini terlihat pada nilai standardized coefficients beta yaitu: sebesar -0,019. Dengan perkataan lain, tidak ada hubungan linieritas atensi kinestetik dengan keterampilan berpikir. Keduanya merupakan komponen yang tidak saling berhubungan. Sedangkan hubungan tingkat signifikan ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (0,922) yang lebih besar dari kriteria sebesar 0,05 sehingga harus dinyatakan hubungan fungsional atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis tidak signifikan pada kelompok pengajaran tenis-pembelajaran kognitif. Alasan terjadinya peristiwa penurunan indeks koefisien keterampilan berpikir kritis manakala atensi kinestetik dikembangkan dapat dilihat pada bagian diskusi penemuan. Hal yang sama untuk uji regresi sederhana pada kelompok pengajaran futsal dengan pembelajaran konvensional diperoleh persamaan regresi Y = 121,862 + 0,222 X. Ini berarti setiap satu unit keterampilan berpikir kritis pada kelompok pengajaran tenis dengan menggunakan pembelajaran kognitif akan berdampak pada penambahan sebesar 0,222 unit pada atensi kinestetiknya. Dapat dipahami bahwa hubungan fungsional ini rendah terlihat pada nilai standardized coefficients beta sebesar 0,244. Dengan perkataan lain, kurang terdapat hubungan linieritas atensi kinestetik dan keterampilan berpikir di kalangan para siswa yang mendapat perlakuan pengajaran futsal-pembelajaran konvensional. Keduanya merupakan komponen yang tidak saling mempengaruhi. Sedangkan hubungan tingkat signifikan ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (0,193) yang lebih besar dari kriterianya sebesar 0,05 sehingga harus dinyatakan hubungan fungsional atensi kinestetik dengan keterampilan berpikir kritis tidak signifikan pada kelompok pengajaran futsal-pembelajaran konvensional. Alasan kurang adanya hubungan fungsional atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis pada kelompok pengajaran futsalpembelajaran konvensional dapat dilihat pada bagian diskusi penemuan. a. Diskusi Penemuan a. Perbedaan Atensi Kinestetik Perbedaan dalam hal atensi kinestetik diantara kelompok siswa pengajaran tenispembelajaran kognitif dibandingkan dengan siswa pada pengajaran futsal-pembelajaran konvensional, lebih disebabkan oleh perbedaan keterlibatan kognisi dalam setiap penampilan tugas gerak. Keterjadian proses ajar yang melibatkan kognisi, sehingga terjadi curahan atensi dan antisipasi (Schmidt & Wrisberg, 2004:64) sangat bergantung kepada struktur tugas gerak. Atensi ialah fokalisasi dan pembatasan sumber-sumber daya proses informasi, sehingga terbentuk antispasi. Antisipasi yang terbentuk itu, terbagi kedalam dua jenis, pertama atensi spasial, yaitu kapasitas seseorang untuk memprediksi apa yang akan terjadi dalam suatu situasi penampilan gerak. Kedua atensi temporal, yaitu kapasitas seseorang untuk memprediksi waktu kejadian penampilan gerak atau kapan penampilan gerak akan terjadi (Schmidt & Wrisberg, 2004:64). Karena itu, pada cabang olahraga tenis, struktur tugas dan tampilan gerak menuntut kerja kognisi. Para siswa di kelompok pengajaran tenis-pembelajaran kognitif dituntut mencurahkan atensi dan antisipasi, mempersepsi, menginterpretasi, menjastifikasi, serta mengevaluasi hasil tampilan gerak. Olahraga tenis termasuk jenis keterampilan diskrit dan berada dalam sistem pengendalian gerak open skill. Suatu keterampilan gerak open skill ialah suatu keterampilan gerak ketika lingkungan gerak itu tidak mudah diprediksi atau dalam situasi berubah-ubah sehingga membutuhkan daya adaptasi dalam merespon lingkungan gerak yang dinamis itu (Schmidt & Wrisberg, 2004:7). Pada olahraga tenis, pemain perlu mempersepsi bola yang datang untuk sesegera mengetahui dan melakukan cara bagaimana bola harus dikembalikan ke daerah permainan lawan
dalam situasi yang berubah-ubah. Menginterpretasi bola datang dan pergi jatuh di daerah atau di luar daerah permainan lawan. Mengembangkan rasa kinestetik melalui indera penglihatan, pendengaran dan perabaan untuk mengembangkan keterampilan teknik dengan cara senantiasa melakukan refleksi terhadap proses dan hasil pukulan. Sejumlah informasi ini masuk ke alam pikiran menyebabkan rangsangan kognitif, yang pada gilirannya ketika dilakukan cara berpikir meta-kognisi dan refleksi akan mempengaruhi atensi kinestetiknya. Meskipun permainan tenis dan futsal termasuk olahraga permainan agonal, yang mengandung unsur strategi bertahan dan menyerang, tetapi curahan dan tuntutan tugas gerak yang perlu ditampilkan berbeda dalam intensitas dan kualitas. Pada cabang olahraga tenis lebih banyak membuka kesempatan bagi siswa untuk mampu memusatkan pikirannya terhadap bola. Hampir tidak ada kesempatan pikiran untuk lengah dan menghindar dari upaya tidak melihat bola. Keterlibatan indera penglihatan, pendengaran dan rasa kinestetik tercurah pada setiap penampilan tugas gerak. Berbeda dengan struktur dan tuntutan tugas gerak pada cabang olahraga futsal. Penampilan tugas gerak berlangsung sangat cepat dengan keragaman pola gerak yang sangat bervariatif. Para siswa dituntut untuk berpikir cepat, mengatasi situasi masalah gerak yang dihadapi, dan merespon secara cepat pula terhdap situasi dan kondisi permainan yang dihadapi, mengisi ruang-ruang permainan yang kosong, senantiasa sadar apa yang harus dilakukan, kemana harus bergerak, dan bagaimana cara melakukan gerak yang diinginkannya itu. Tuntutan tugas gerak seperti ini diduga menimbulkan perbedaan atensi kinestetik diantara kelompok siswa yang ikut program olahraga permainan tenis dibandingkan dengan hal yang sama pada cabang olahraga permainan futsal. Olahraga futsal cenderung membutuhkan jenis keterampilan gerak diskrit dan closed skill. Keterampilan gerak closed skill ialah suatu keterampilan gerak ketika lingkungan gerak dapat dengan mudah diprediksi atau permanen dan membutuhkan pelaku untuk merencanakan gerakannya itu dalam tingkatan mahir (Schmidt & Wrisberg, 2004:7). Gugahan kognisi pada keterampilan gerak closed skill didapatkan ketika pemain melakukan evaluasi umpan balik atas proses dan hasil gerak yang ditampilkan. Penyebab perbedaan lainnya adalah munculnya perbedaan internal atau dorongan dalam bentuk motivasi internal siswa sebagai akibat dari rangsangan lingkungan dan tugas gerak itu sendiri. Pada cabang olahraga futsal siswa lebih nampak bergairah sebagai akibat dari tuntutan tugas gerak yang mudah dimanifestasikan, sedangkan di olahraga tenis, dorongan internal itu diuji sebagai akibat tuntutan kompleksitas tugas gerak, mempersepsi, membuat keputusan, dan mendapatkan umpan balik untuk ditelaah ulang, dari setiap keadaan dan situasi yang hampir selalu serupa. b. Kesamaan Keterampilan Berpikir Kritis Kesamaan karakteristik keterampilan berpikir kritis pada kedua cabang olahraga yang dipilih itu lebih disebabkan lemahnya kegiatan berpikir reflektif, para siswa hanya terfokus pada curahan pikiran pada apa yang harus dilakukan? Serta bagaimana cara melakukan suatu tugas gerak yang diberikan.? Berpikir reflektif merupakan inti keterampilan berpikir kritis, seperti diungkapan Brookfield (1987); Ennis (1996) yang mengungkapkan bahwa berpikir kritis ialah reflected thinking that focus on what you have to do or believe. Pada tingkatan lebih lanjut, berpikir kritis merupakan kapasitas argumentatif dan analitis, ingin tahu, skeptis dan mampu membedakan penyimpangan antara fakta dan pendapat. Ini berarti pengajaran reflektif perlu dikaji dan diterapkan dalam pengajaran pendidikan jasmani.
Evaluasi-diri terhadap proses dan hasil penampilan gerak tidak cukup menggugah para siswa untuk lebih trampil berpikir secara kritis. Sub keterampilan dasar berpikir kritis seperti diungkapkan Oon Seng-Tan (2004) sebagai bentuk keterampilan dasar, pengetahuan dasar, kemampuan mengajukan pertanyaan dan refleksi diri kurang terbentuk dalam setiap penampilan tugas gerak yang dilakukan siswa. Berpikir kritis sebagai berpikir tingkat tinggi yang efisien, kurang pula dicerminkan dalam hal kemampuan meregulasi diri (Facione, 2007), sebagai bentuk dari apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukan suatu tugas gerak yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis memerlukan upaya yang terus menerus dan sungguh-sungguh serta latihan yang berulang-ulang. Gordon (1980) menyatakan berpikir kritis sebagai gabungan dari pengetahuan dan keterampilan. Gabungan ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan a. sikap inquiri yang melibatkan kemampuan mengenali masalah gerak dan pemeroleh bukti-bukti dukungan apa yang harus dilakukan; b. pengetahuan validitas inferensi, abstraksi, dan generalisasi manakala penentuan keakuratan atau penekanan berbagai jenis bukti dilakukan secara logis, dan c. keterampilan dalam menggunakan atau menerapkan pengetahuan tersebut di atas sama sama terbentuk pada kedua cabang olahraga yang dipilih. Ciri belajar gerak lain yang menandakan kesamaan keterampilan berpikir kritis adalah faktor curahan pikiran dalam kerja fisik yang ditampilkan. Ada kesamaan kerja fikiran dalam penampilan fisik diantara kedua cabang olahraga yang dipilih. Pada olahraga futsal meskipun lebih dibutuhkan kerja fisik daripada kerja pikiran, tetapi ada kesempatan-kesempatan pemain untuk melakukan curahan fikiran baik ketika akan menendang bola maupun di saat tidak sedang menguasai bola. Sedangkan belajar gerak pada olahraga permainan tenis meskipun bisa lebih dominan membutuhkan kerja pikiran daripada curahan fisik yang berlebihan, tetapi pemain memanfaatkan kerja fisik sebagai media untuk mengembangkan kemampuan pikiran. Sebagai contoh, manakala siswa dikumpulkan untuk membahas penampilan gerak yang telah diperagakan oleh setiap siswa, tetapi para siswa masih bisa mempengaruhi kerja pikiran dengan cara memposisikan kerja fisik masuk ke alam pikiran. Oleh karena itu, curahan fisik bisa mempengaruhi penampilan pikiran. Suatu penampilan gerak dapat dibahas dan dikaji untuk perbaikan dan kesempurnaan penampilan pikiran. Selain itu dapat pula dilontarkan beberapa peragaan evaluasi untuk penentuan pola strategi bermain dan penentuan langkah-langkah penting dalam bermain. Siswa pada kelompok pengajaran tenis-pembelajaran kognitif maupun pengajaran futsalpembelajaran konvensional lebih mudah dan senang menuangkan ide dalam bentuk penampilan gerak yang menggugah pikiran siswa untuk menggunakan keterampilan berpikirnya. Secara bersama-sama, para siswa tertantang untuk menggunakan pola berpikir secara reasoning dan penilaian proses dan hasil dari setiap pukulan terhadap bola atau tendangan bola. Program pada kedua kelompok mengundang penciptaan kreativitas pikiran tertentu. Kegiatan seperti ini memungkinkan terbentuknya pengembangan keterampilan berpikir, sebagai akibat adanya kemampuan mencipta dan munculnya kreativitas-kreativitas tertentu itu. Para siswa pada kedua kelompok bukan semata belajar menggerakan tubuh ke mana tubuh harus bergerak atau bagaimana tubuh harus bergerak, tetapi belajar gerak yang senantiasa terkait dengan kerja seluruh komponen dan unsur jasmani dan rohani. Belajar sangat tekait dengan kinerja mental, emosional, dan tentu pikiran, dan karena itu dipolakan belajar dengan cara menempatkan tubuh ke dalam alam pikiran. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa ketika belajar gerak terjadi, perlu mengupayakan peserta didik untuk tetap menyadari posisi dan keadaan tubuhnya sendiri. Kesadaran inilah kunci penting bagi tumbuh kembangnya kerja pikiran.
c. Hubungan Fungsional Atensi Kinestetik dan Keterampilan Berpikir Kritis Hubungan fungsional negatif atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis ini terjadi sebagai akibat dari selain jenis atensi berupa selektif dan bukan atensi kapasitas, tetapi juga lemahnya kemampuan self-reflective dan self-regulated siswa. Hubungan fungsional yang rendah dari atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis pada kedua kelompok dapat secara mudah dipahami, karena keterampilan berpikir kritis memerlukan kekayaan pengetahuan dan keterampilan aplikatif dari pengetahuan itu ke dalam konteks kehidupan sehari-hari. Keluasan pengetahuan dan kekayaan latihan berpikir logis yang dipertajam merupakan prasyarat untuk terjadinya berpikir kritis. Seperti dikemukakan Ennis (1996), berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang beralasan difokuskan pada keputusan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diyakini. Pemahaman dalam konteks ini, keterampilan berpikir kritis yang terjadi terbatas pada pikiran reflektif terhadap apa yang harus dilakukan, belum sampai pada tingkatan meyakini keputusan yang dilakukan, terlebih lagi dalam konteks aplikatif atau keterampilan berpikir tingkat tinggi. Terlebih lagi pada tingkatan lebih lanjut berpikir kritis sebagai bentuk kemampuan meregulasi diri. Hubungan fungsional rendah ini sejalan dengan pendapat Weissenger (2003; dalam Oon Seng-Tan, 2004), bahwa berpikir kritis dapat terjadi berdasar empat komponen, yaitu: 1) pengetahuan dasar; 2) keterampilan dasar; 3) keinginan untuk bertanya; dan 4) refleksi-diri. Atas dasar pendapat ini, nampak keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan tingkat tinggi yang sangat kompleks, sehingga sangat mudah untuk dipahami dalam upaya mencapainya membutuhkan kekayaan pengetahuan dan keterampilan tersendiri. Sangat mungkin terjadi hasil penelitian yang diperoleh masih membutuhkan perhatian pada empat komponen berpikir kritis seperti di atas. Kelemahan ini diduga terjadi karena: Pertama, diperlukannya kekayaan pengetahuan dan latihan dalam keterampilan berpikir kritis, sebagai bentuk berpikir tingkat tinggi. Bentuk atensi yang berkembang dalam penelitian ini lebih mengarah pada bentuk atensi kapasitas (Schmidt & Timothy, 1999). Atensi seperti ini adalah bentuk kemampuan dari kapabilatas gerak dalam merespon setiap tuntutan tugas gerak yang harus ditampilkan. Selain itu, atensi yang berkembang diduga juga mengarah pada kondisi bentuk kesadaran atau conscious (Solso et.al., 2005). Suatu bentuk atensi kesadaran untuk mengenali interrelasi dari apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya, dan mengapa melakukannya seperti itu. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu dibarengi dengan upaya memecahkan masalah gerak dan menilai proses serta hasil penampilan gerak mengantarkan siswa trampil dalam berpikir secara kritis. Atas dasar ini pula, hasil penelitian sejalan dengan pemikiran Gardner (1983), dalam konsepnya tentang Multiple Intelligences. Sangat mungkin perkembangan atensi yang terbentuk mengarah pada bodily-kinesthetic intelligence dalam bentuk berpikir taktis atau strategis sebagai akibat pengalaman belajar yang tersimpan dalam memori dan perbendaharan gerak yang semakin kaya. Dalam kaitan dengan penelitian ini, terdapat kecenderungan hasil penelitian mengarah pada pengembangan atensi kinestetik siswa. Kedua, diperlukannya bentuk berpikir aplikatif dari kegiatan berpikir kritis ke dalam problematika pengalaman kehidupan secara kontekstual dan meaningful. Keterampilan berpikir reasoning dan justifikasi dalam penampilan proses dan hasil keterampilan jasmani perlu diberikan makna kontekstual ke dalam kegiatan keseharian siswa. Gugahan secara kognitif dari setiap pola dan bentuk aktivitas jasmani dalam membangun keterampilan berpikir dapat terjadi bila guru pandai dalam merancang pengajarannya. Atensi adalah langkah awal untuk terjadinya berpikir secara kritis (Ennis, 1996). Willingham (2007) menyebutkan bahwa berpikir kritis membutuhkan kekayaan pengetahuan dan latihan yang berulang-ulang. Pengayaan pengetahuan dan latihan ini perlu terus dilakukan, dan hal ini memerlukan waktu yang cukup panjang.
Ketiga, atensi yang terjadi dalam bentuk selektif terhadap sumber daya informasi. Prosesnya berupa pengambilan posisi oleh pikiran secara jelas dan tegas, satu dari beberapa objek atau hambatan pikiran (William James, 1980; dalam Schmidt, 1999). Bentuknya berupa pemusatan perhatian dan kesadaran sebagai intinya. Ini berarti, sangat mungkin terjadi hanya dalam tingkatan kesadaran siswa, siswa menjadi sadar terhadap situasi, proses, dan hasil gerak yang ditampilkannya. Diyakini pada setiap penampilan manusia, atensi selalu terkait dengan kesadaran, yang sering diartikan sebagai "kesadaran pada waktu tertentu" dan pengukuran tentang "kesadaran" seringkali bersifat subjektif, merujuk pada pertanyaan terhadap diri sendiri atau introspeksi atau "menelusuri pemikiran diri sendiri". Sebenarnya, melalui upaya menelusuri pemikiran sendiri inilah siswa diharapkan dapat diarahkan untuk berkembang kemampuan daya berpikir kritisnya dengan senantiasa selalu mengajukan pertanyaan ―apa yang harus dilakukan‖, ―bagaimana melakukannya‖, dan ―mengapa proses dan hasil seperti itu‖ sebagai bentuk berpikir metakognisi akan terjadi perkembangan dan penampilan fungsi kognisi yang diharapkan. Untuk itu atas dasar hasil penelitian, atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis adalah dua entitas yang tumbuh secara sendiri-sendiri. Keempat, program perlakuan yang diberikan dalam bentuk gugahan kognitif melalui upaya mengucapkan kata-kata ilustratif, berbicara pada diri sendiri, teknik membayangkan gerak, dan merumuskan seperangkat tujuan memungkinkan siswa untuk senantiasa sadar dan mampu menggunakan kognisinya untuk memecahkan masalah gerak yang dihadapinya. Siswa juga dihadapkan pada asking-question tentang apa, bagaimana, dan mengapa tampilan tugas gerak seperti itu mengantarkan siswa mampu memecahkan masalah tugas gerak. Pernyataan ini menunjukkan atensi kinestetik ditumbuhkan oleh tantangan tugas gerak, sehingga menyebabkan gugahan untuk senantiasa mencoba tampilan gerak baru, yang berbeda dengan gugahan kognitif secara kritis. Dengan demikian, perbedaan yang terjadi antara atensi kinestetik dan kesamaan keterampilan berpikir kritis, baik dalam pengajaran tenis-pembelajaran kognitif maupun pengajaran futsal-pembelajaran konvensional, dan lemahnya kontribusi atensi kinestetik terhadap keterampilan berpikir kritis menandakan bahwa manipulasi aktivitas jasmani yang terbungkus dalam pengajaran kognitif, hanya mampu memberikan perbedaan relatif dalam hal keterampilan berpikir kritis diantara kelompok siswa pengajaran tenis-pembelajaran kognitif dengan kelompok siswa pengajaran futsal-konvensional. Sumbangan terbesar dari pengajaran tenis-pembelajaran kognitif adalah pada pengembangan atensi kinestetik siswa. Meskipun terdapat kesamaan dalam hal keterampilan berpikir kritis siswa diantara dua kelompok yang diajukan itu, tetapi atensi kinestetik kurang memberikan kontribusi terhadap perkembangan keterampilan berpikir kritis siswa. E. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan Pertama, terdapat perbedaan yang signifikansi antara program pengajaran tenis dengan pembelajaran kognitif dengan program pengajaran futsal dengan pembelajaran konvensional dalam hal perkembangan atensi kinestetik. Dengan perkataan lain, pengajaran tenis dengan pembelajaran kognitif lebih efektif dari pada pengajaran futsal dengan pembelajaran konvensional untuk mengembangkan atensi kinestetik
Kedua, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pengajaran tenis dengan pembelajaran kognitif dibandingkan pengajaran futsal dengan pembelajaran konvensional untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Ketiga, tidak terdapat hubungan fungsional antara atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis baik pada siswa yang memperoleh program pengajaran tenis dengan pembelajaran kognitif maupun pada siswa yang memperoleh program pengajaran futsal dengan pembelajaran konvensional. 2. Implikasi Pengajaran kognitif dalam pendidikan jasmani dapat mengembangkan fungsi dan penampilan kognisi. Pengajaran pendidikan jasmani yang menggugah atensi kinestetik siswa baik melalui penglihatan, pendengaran maupun rasa kinestetik siswa itu sendiri sekaligus dapat menjadi media dan faktor pendukung pada peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa. Tantangan modernisasi, globalisasi, dan tingginya arus informasi dan teknologi mengilhami bahwa pendidikan jasmani perlu mengarahkan diri pada upaya pengembangan aspek kognisi, dalam kaitan ini adalah keterampilan berpikir kritis. Selain karena tuntutan berpikir tingkat tinggi, tetapi melalui perancangan, pelaksanaan, dan pengawasan, proses ajar dalam pendidikan jasmani perlu diarahkan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis para siswa. Orientasi pengembangan pada aspek fisikal, seperti kebugaran jasmani dan kesehatan, seyogyanya bergeser pada logika pengembangan aspek keterampilan berpikir kritis melalui pendidikan jasmani. Pengembangan ini hanya dapat dicapai ketika guru pendidikan jasmani sangat intens pada pengembangan kognisi dalam pelaksanaan pengajarannya, dengan mengajak siswa untuk senantiasa melibatkan kemampuan berpikir kritisnya dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan tugas gerak yang harus ditampilkan siswa. Pendidikan kognitif dalam hal ini—keterampilan berpikir kritis—melalui pendidikan jasmani merupakan bentuk kegiatan neurobics atau mind calestenics, yaitu suatu bentuk latihan syaraf dan pikiran melalui aktivitas jasmani yang dirancang sedemikian rupa sehingga menggugah alam pikiran siswa ke arah bentuk pengembangan fungsi dan penampilan pikiran yang lebih baik. Dengan berdasar pada kejelasan tugas gerak, kejelasan tingkat kesulitan gerak, kejelasan cakrawala gerak, dan mengarahkan proses ajar dalam nuansa meaningful dan contextual, sehingga akan melahirkan suatu kualitas proses ajar gerak yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa. Guru pendidikan jasmani harus pandai dan terampil dalam merancang, mengorganisasikan, mengaktualisasikan, dan sekaligus mengevaluasi proses ajar aktivitas jasmani secara bermakna, tidak perlu menekankan pada penguatan dan pemerolehan keterampilan teknik dasar kecabangan olahraga. Tetapi lebih menekankan pada penanaman pola kebiasaan dan kebutuhan gerak serta pemanfaatan aktivitas jasmani untuk pengembangan daya berpikir kritis siswa sebagai landasan untuk mencapai kualitas hidup sejahtera melalui proses belajar aktivitas jasmani. Dengan perkataan lain, siswa menjadi biasa dan memang dibiasakan bergerak hidup aktif sepanjang hayat. Pelaksanaan pendidikan jasmani di setiap jenjang pendidikan perlu diarahkan pada orientasi pencapaian kualitas berpikir kritis melalui jalur kegiatan aktivitas jasmani. Karena itu, pemahaman penting kebutuhan gerak atau aktivitas jasmani menjadi landasan utama, sehingga manakala siswa telah selesai menuntaskan studi pada jenjang pendidikannya akan senantiasa memelihara kebiasaan kebutuhan gerak itu di saat waktu luangnya dan kenyataan hidup dalam kesehariannya.
Pemeliharaan materi ajar perlu diseleksi secara lebih cermat dan menerapkannya secara lebih bermakna bagi siswa. Pemilihan materi seyogyanya lebih menekankan pada jenis olahraga permainan yang mengundang ekspresi koordinasi berbagai anggota tubuh dalam mewujudkan geraknya. Seperti ekspresi gerak koordinasi mata, lengan, dan kaki dalam olahraga bola basket, bola tangan, atau bola keranjang. Contoh lain adalah olahraga permainan yang dimainkan oleh dua regu yang berlawanan baik dibatasi oleh net maupun tidak dibatasi net, dan tidak menuntut adanya penerapan pola-pola strategi dan taktik tertentu. Selain itu, bentuk-bentuk latihan aktivitas jasmani diberagamkan dalam satu hierarki yang berada dalam prinsip kebutuhan dan kesesuaian dengan tingkat kemampuan dan kebolehan gerak siswa (ingat prinsip: Developmentally Appropriate Practice). Kemudian, guru juga perlu mengembangkannya secara kontekstual dan bermakna bagi kenyataan hidup siswa. Pengajaran pendidikan jasmani dapat menjadi fasilitator bagi pengembangan atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis. Namun perlu diperhatikan, memfasilitasi atau tidak memfasilitasi pada pengembangan keterampilan berpikir kritis sangat bergantung pada dosis dan respon yang ditunjukkan para siswa. Guru pendidikan jasmani seyogyanya mampu menumbuhkan atensi dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis para siswanya. Gugahan-gugahan dalam bentuk atensi selektif, kapasitas, kecermatan, kesadaran, penajaman, dan fleksibilitas menjadi pemicu dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Beberapa aspek yang turut pula diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir kritis, terutama adalah mengenai keterampilan inferensi, mengenali asumsi, keterampilan mendeduksi, keterampilan menginterpretasi, dan keterampilan menilai argumen. Gugahan atensi juga terkait dengan kesadaran dan upaya yang dilakukan siswa belajar dan berpartisipasi dalam pendidikan jasmani. Karena itu guru perlu memiliki suatu teknik untuk mengundang atensi siswa sehingga senantiasa pola pikir siswa sesuai dengan tuntutan gerak. Beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah melalui cara mengikutsertakan tugas gerak oleh kata-kata, berbicara pada diri sendiri, membayangkan tugas gerak, dan membuat seperangkat tujuan gerak. Guru pendidikan jasmani dalam menerapkan pengajaran kognitifnya perlu memperhatikan unsur-unsur domain kognitif yang meliputi keterampilan menganalisis tugas gerak, membuat keputusan untuk bergerak atau tidak bergerak, keterampilan mengevaluasi proses dan hasil tugas gerak, memprediksi, menentukan relevansi tugas gerak, terutama dengan tuntutan lingkungan, dan keterampilan mesintesis pola gerak yang ditampilkan. Pada umumnya hal ini akan muncul manakala guru pendidikan jasmani dengan ulet dan intens menyajikan materi pengajaran kepada siswa dan merancang pengajaran dalam satu metode yang kontekstual dan bermakna. Guru pendidikan jasmani juga perlu memperhatikan kemampuan dan karakteristik siswa agar atensi siswa berada dalam proses pembelajaran. Ketertarikan siswa terhadap materi juga sangat berkaitan erat dengan konsep developmentally appropriate practice. Suatu kaidah dalam pemilihan materi aktivitas jasmani perlu sesuai dengan kemampuan dan tingkat keterampilan gerak siswa. Setelah atensi siswa sejalan dengan kegiatan belajar mengajar, cobalah untuk senantiasa memelihara partisipasi siswa dan kemudian dikembangkan dalam cara-cara yang menantang siswa untuk berpikir secara kritis. Tahapan akhir ini membutuhkan kejelasan tugas gerak, urutan tugas gerak dan cakrawala gerak yang akan dibelajarkan kepada siswa. Bagi penyiapan calon tenaga guru pendidikan jasmani yang dikelola oleh FPOK/FIK perlu mempersiapkan guru pendidikan jasmani yang memahami manfaat aktivitas jasmani bagi perkembangan berpikir kritis. Calon tenaga guru pendidikan jasmani perlu disiapkan dalam hal metodik dan didaktik pengajaran pendidikan jasmani untuk pengembangan kognitif—keterampilan
berpikir kritis. Hal ini perlu dilakukan untuk menjawab tantangan jaman, yang semakin bergeser pada pemahaman dan pentingnya pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan manusia. 3. Rekomendasi Untuk memberi peluang agar siswa memiliki kesempatan mengembangkan atensi kinestetik dan keterampilan berpikir kritis, beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut: Peningkatan pemahaman tentang konsep filosofi pendidikan jasmani bagi para guru pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, terutama menyangkut pengembangan sasaran dan tujuan serta pelaksanaan, pendidikan jasmani perlu diarahkan pada pengembangan fungsi dan penampilan kognisi—berpikir kritis—siswa melalui atensi kinestetiknya. Bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan di bidang pendidikan jasmani dan olahraga (FPOK, FIK, dan JPOK) perlu mempersiapkan tenaga guru pendidikan jasmani yang terampil dan cakap dalam model pengembangan kognitif siswa—keterampilan berpikir kritis. Bagi para lembaga pendidikan terkait sekolah, Dinas Pendidikan Nasional, para penentu kebijakan, pengembang kurikulum, dan para penulis buku perlu memberikan dorongan agar keterampilan berpikir kritis dapat diterapkan dalam pengajaran pendidikan jasmani. Selain itu juga pengajaran pendidikan jasmani perlu mengarahkan diri pada pengembangan kemampuan atensi. Perlu terjadi intensitas interaksi antara guru dan siswa dalam mengarahkan siswa memiliki keterampilan berpikir kritis dengan landasan atensi kinestetik yang dominan. Interaksi ini dinaungi oleh interaksi yang membangkitkan self reliance, self control, dan self development. Proses ini dilengkapi oleh kegiatan kognisi, yaitu proses kognisi asosiasi, akomodasi, dan ekuilibrasi, dengan memperhatikan kejelasan tugas gerak, kejelasan tahapan belajar gerak, kejelasan cakrawala gerak. Ini dimaksudkan untuk bisa mengembangkan fungsi kognitif siswa, sehingga pada gilirannya dengan melalui panduan dari gurunya siswa lebih terampil dalam berpikir kritisnya. Proses munculnya kesadaran perlu didukung melalui pintu perlibatan indra penglihatan, pendengaran, dan rasa kinestetik siswa. Ini berarti guru pendidikan jasmani dalam setiap pelaksanaan proses pembelajarannya perlu mengupayakan munculnya kesadaran itu melalui perlibatan indera penglihatan, pendengaran, dan kinestetik. Kemudian, berikan kesempatan melakukan aktivitas jasmani yang dimaksud, yang disertai dengan kejelasan tugas gerak, tingkatan pembelajaran gerak yang bertahap, dan cakrawala gerak yang memang sudah dikuasai dan dijiwai oleh guru pendidikan jasmani. Panduan penting dalam pengajaran keterampilan berpikir kritis melalui aktivitas jasmani adalah 1) bentuk pengajaran adalah pengajaran kognitif; 2) pengajaran mengandung nilai transfer; 3) berimplikasi aplikatif; 4) menggunakan umpan-balik; 5) mengajukan sejumlah pertanyaan atau masalah gerak; 6) menggugah siswa untuk bertanya; 7) menyediakan waktu untuk berdiskusi; 8) ada penegasan aktivitas belajar; 9) menyediakan waktu untuk memproses jawaban atau respon siswa; 10) menggugah berpikir dari perspektif lain; 11) bertindak sebagai orang yang tidak mengetahui segalanya; 12) mengarahkan siswa untuk belajar dalam kelompok secara efektif; 13) berikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan berpikir kritisnya.
DAFTAR PUSTAKA Abernethy, B., Kippers, V., Mackinnon, L.T., Neal R.J., & Hanrahan, S. (1997). The Biophysical Foundation of Human Movement. Champaign, Illinois: Human Kinetics. Acevedo, E.O., dan Ekkekakis, P. (2006). Psychology of Physical Activity. Campaign Illinois: Human Kinetics. Anderson, Andy (2001). Learning Strategies "The Missing Think" in Physical Education and Coaching. A Practical Guide to The Development of Strategic Learners. Sport Books Publisher. Amerika Serikat. Agus Mahendra., dkk. (2008). The Implementation of Movement Problem-Based Learning: A Community-Based Action Research. Educationist. Vol.II No.1/Januari 2008. Hal 38-43. Alex Tri Kantjono. (Eds) (2005). The Mind Gym Melatih Cara Berpikir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Apruebo, Roxel A. (2005). Sports Psychology. Manila. University of Santo Tomas. Auweele, Y.V., Bakker, F., Biddle, S., Durand, M., & Seiler, R. (1999). Psychology for Physical Educators. Champaign, Illinois: Human Kinetics. Baumgartner, T.A. dan Jackson, A.S. (1995). Measurement For Evaluation in Physical Education and Exercise Science. Boulevard, Dubuque: Wm.C. Brown Communication, Inc. Begley, S. (2007). Train Your Mind Change Your Brain. New York: Ballantine Books. Beyer, B. K. (1988). Developing A Thinking Skills Program. Boston: Allyn and Bacon Inc. Bookwalter, Kaerl W. (1964). Physical Education in the Secondary School. Washington DC: The Center for Applied Research in Education, Inc. Brookfield, S.D. (1987). Developing Critical Thinkers. San Francisco: Jossey-Bass Publishers Inc. Cheatum B.A. dan Hammond A.A. (2000). Physical Activities for Improving Children’s Learning and Behavior. A Guide to Sensory Motor Development. Champaign IL: Human Kinetics. Clancy, M.E. (2005). Active Bodies, Active Brains Building Thinking Skills Through Physical Activity. Champaign Illinois: Human Kinetics. Cleland, F.E. (1997). ―Young Children’s Divergent Movement Ability: Study II. Journal of Physical Education Recreation and Dance, 60, 228-241. Cleland F. dan Pearse C. (1995). ―Critical Thinking in Elementary Physical Education: Reflections on a Yearlong Study‖. Journal of Physical Education Recreation and Dance. 8, 31-43. Coakley, J. dan Dunning, E. (Eds) (2006). Handbook of Sports Studies. London: SAGE Publications.
Coakley, J. (2001). Sport in Society Issues & Controversies, Seventh Edition. New York. McGraw-Hill Companies, Inc. Costa, A.L. (1985). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia : Association for Supervision and Curriculum Development. Crum, Bart (2006). Didactics of (Sport) Games Inservice Course for Physical Education Teacher Educators. Makalah. Bandung. Tidak dipublikasikan. Dooremalen, H., Regt, H.D., and Schouten, M. (2007). Exploring Humans. Amsterdam: Boom. Drowatzky, J.N. dan Armstrong, C.W. (1984). Physical Education Career Perspectives & Professional Foundation. New Jersey: Prentice Hll, Inc. Edmund Bachman. (2005). Metode Belajar Berpikir Kritis dan Inovatif. Jakarta: Prestasi Pustakakarya Publisher. Ellias, L.J., dan Saucier, S.M. (2006). Neuropsychology Clinical and Experimental Foundations. Boston: Pearson Education, Inc. Ennis, Robert H. (1996). Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Facione, P.A. (2007). Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. [Online]. Tersedia:http://www.insightassessment.com/t.html [Agustus 2008] Fodor, JerryA. (1975). The Language of Thought. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Freberg, L.A. (2006). Discovering Biological Psychology. Boston: Houghton Mifflin Company. Freeman, William H. (2001). Physical Education and Sport In A Changing Society. Champaign Illinois: Human Kinetics. Gallahue, D.L. dan Ozmun, J.C. (1998). Understanding Motor Development. Singapore: McGraw-Hill Company, Inc. Gauvain, M. (2001). The Social Context of Cognitive Development. New York: The Guilford Press. Gerber, Markus dan Puhse, Uwe (2005). International Comparison of Physical Education Concepts-Problems-Prospects. United Kingdom. Meyer & Meyer Sport. Giulianotti, Richard (2005). Sport a Critical Sociology. Cambridge. Polity Press. Good, T.L. dan Brophy, J.E. (1990). Educational Psychology. New York: Longman. Gong Chen dan Zhanjie Liu. (2000). ―Relationship of Creative Thinking Ability and Participation in Different Sports‖. Journal of International Council for Health Physical Education Recreation Sport and Dance‖. 36(2), 58-60. Graham, G., Holt S.A. and Parker M., (2004). Children Moving A Reflective Approach to Teaching Physical Education. New York: Mc Graw Hill Higher Education. Gredler M. E. (1992). Learning and Instruction Theory Into Practice. New York: Macmillan Publishing Company. Gutek, G.L., (2004). Philosophical and Ideological Voices in Education. Boston: Pearson Education, Inc.
Guttmann, Allen. (2004). Sports. Massachusett. University of Massachusetts Press Amherst and Boston. Happner, Paul P., Wampold Bruce E., dan Kivlighan, Dennis M., (2008). Research Design in Counseling. Belmont. Thomson Brooks/Cole. Harrison, Joyce M dan Blakemore, Connie L (1989). Instructional Strategies For Secondary School Physical Education. Dubuque, Iowa. Wm.C.Brown Publishers. Jackson Susan A. and Csikszentmihalyi M. (1999). Flow in Sports. Champaign. Human Kinetics Publisher. Inc. Amerika Serikat. Jensen, E. (1996). Brain Based Learning. Del Mar, California: Turning Point Publishing. Kane, J.E. (1972). Psychological Aspects of Physical Education and Sport. London: Routledge & Kegan Paul. Kirk, D., Macdonald D., and O’Sullivan M. (Eds) (2006). The Handbook of Physical Education. London: SAGE Publications. Kretchmar, R.S. (2005). Practical Philosophy of Sport and Physical Activity. Champaign Illinois: Human Kinetics. Lang, H.R., dan Evans D.N. (2006). Models, Strategies, and Methods For Effective Teaching. Boston: Pearson Education, Inc. Lawson, A. E. (1995). Science Teaching and The Development of Thinking. California: Wadsworth Publshing Company. Lynn, S.K., et.al. (2007). Seminar in Physical Education From Student Teaching to Teaching Students. Champaign Illinois: Human Kinetics. Magill, R.A. (1988). Motor Learning Concepts and Applications. Singapore: McGraw Hill Company. McBride, R. (1995). ‖ ....An Idea Whose Time Has Come‖. Journal of Physical Education Recreation and Dance. 8, 22-23. Metzler, M.W. (2000). Instructional Models For Physical Education. Massachusetts: Allyn & Bacon A Pearson Education Company Murphy, S. (Eds) (2005). The Sport Psych Handbook. Champaign Illinois: Human Kinetics. Mosston, M. dan Ashworth, S. (1994). Teaching Physical Education. New York: Macmillan College Publishing Company, Inc. Mulyati Arifin. (1997). Dinamika Berpikir Siswa Sekolah Dasar Dalam Mengantisipasi Perkembangan Sains dan Teknologi. Disertasi Doktor PPS UPI Bandung. tidak diterbitkan. Nichols, B. (1994). Moving and Learning. St. Louis, Missouri : Mosby Year Book Inc. Nickerson, R.S. (1985). The Teaching of Thinking. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates. Inc., Publishers. Oon Seng Tan. (Ed) (2004). Enhancing Thinking through Problem-Based Learning Approaches. International Perspectives. Bangkok: Thomson Learning.
Ormrod, J.E. (2004). Human Learning. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Pangrazi, Robert P., & Daure. (1992). Physical Education for Elementary School Children. New York. Macmillan Publishing Company. Payne V.G. dan Issacs L.D. (1995). Human Motor Development. Mountain View California: Mayfield Publishing Comapany. Patrick, John J. (1986). ―Critical Thinking in The Social Studies‖. ERIC Digest No.30. Pollard, A. (2005). Reflective Teaching. Edisi Kedua. New York: Continuum. Reisberg, D.(2006). Cognition Exploring the Science of The Mind. Edisi Ketiga. New York: W.W. Norton & Company. Rink, J.E., (1985). Teaching Physical Education for Learning. Missouri: Time Mirror/Mosby College Publishing. Rose, D.J. (1997). A Multilevel Approach to the Study of Motor Control and Learning. Boston: Allyn and Bacon. Rusli Lutan (2001). Keniscayaan Pluralitas Budaya Daerah. Bandung : Penerbit Angkasa. Rusli Lutan (2003). Olahraga, Kebijakan dan Politik: Sebuah Analisis. Jakarta: KONI Pusat dan Direktorat Jendral Olahraga. Rusli Lutan, MF Siregar dan Tahir Djide. (2004). Akar Sejarah dan Dimensi Keolahragaan Nasional. Jakarta: Proyek Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga Direktorat Jendral Olahraga Departemen Pendidikan Nasional. Rukky Santoso (2001). Mengembangkan Kemampuan Otak Kanan untuk Kehidupan yang Lebih Berkualitas. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Schafersman, S.D. (1991). An Introduction to Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://www.freeinquiry.com/critical-thinking. html. Schmidt R.A. dan Wrisberg C.A. (2004). Motor Learning and Performance. A Problem-Based Learning Approach. Edisi Ketiga. Champaign Illinois: Human Kinetics. Schmidt, R.A. dan Timothy D.L. (1999). Motor Control and Learning. Edisi Ketiga. A Behavioral Emphasis. Champaign Illinois: Human Kinetics. Sharkey, Brian J. (1984). Physiology of Fitness. Champaign, Ill: Human Kinetics Publishers, Inc. Siedentop, D. (1994). Introduction to Physical Education, Fitness and Sport. Mountain View: Mayfield Publishing Company. Siedentop, D. (1994). Sport Education Quality PE Through Positive Sport Experiences. Champaign Illinois. Human Kinetics. Siedentop, D. (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education. Mountain View, California. Mayfield Publishing Company. Siedentop, D. (1972). Physical Education Introductory Analysis. Iowa : WM. C. Company Publishers.
Brown
Siegler, Robert S. dan Alibali, M.W. (2005). Children’s Thinking. New Jersey: Pearson Prentice Hall, Inc. Solso, R.L., Maclin, M.K., & Maclin, O.H. (2005). Cognitive Psychology. Edisi Ketujuh. Boston: Pearson Education, Inc. Stein, D.J. dan Young, J.E. (1992). Cognitive Science and Clinical Disorders. California: Academic Press, Inc. Sternberg, R.J. (2001). Psychology In Search of The Human Mind. Edisi Ketiga. Orlando: Harcourt College Publishers. Stillwell, J.L., dan Willgoose, C.E., (1997). The Physical Education Curriculum. Illinois: Waveland Press, Inc. Syer, John dan Connolly C. (1984). Sporting Body Sporting Mind. Melbourne: Cambridge University Press. Terry, W. S. (2006). Learning and Memory Basic Principles, Processes, and Procedures. Boston: Pearson Education, Inc. Terry Orlick (1980). In Persuit of Excellence How to Win in Sport and Life trough Mental Training. Champaign. Human Kinetics Publisher. Inc. Amerika Serikat. Tinning, R. et.al. (2001). Becoming A Physical Education Teacher. Melbourne: Prentice Hall. Tishman S. dan Perkins D.N. (1995). ―Critical Thinking and Physical Education‖. Journal of Physical Education Recreation and Dance. 8, 24-30. Thomas, J.R., Lee, A.M. and Thomas, Katherine T. (1988). Physical Education for Children Concepts into Practice. Champaign Illinois: Human Kinetics Book. Trianto, (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktif. Jakarta: Prestasi Pustakakarya Publisher. __________________, (2006). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 SISDIKNAS. Bandung. Fokusmedia.