Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Synthetic Aperture Radar (SAR) untuk Mendukung Quick Response dan Rapid Mapping Bencana (Studi Kasus: Deteksi Banjir Karawang, Jawa Barat) Oleh: Fajar Yulianto, Junita M. Pasaribu, Parwati, Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, Kusumaning Ayu D.S, M. Rhokis Khomarudin, M. Nur Satrio, Tri Arso S, Widya Putri K Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN
Bencana alam (natural disaster) merupakan peristiwa yang mampu mengancam dan menghasilkan kerusakan lingkungan. Faktor penyebab peristiwa ini dapat berupa faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia. Hal tersebut dapat mengancam korban jiwa, kerusakan lingkungan dan kerugian harta benda. Indonesia secara geografis sangat rentan terhadap bencana, karena terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia (Eurasia, India-Australia dan Lempeng Pasifik), berada diantara dua samudera (Samudera Pasifik dan Samudera Hindia) dan dua benua (Benua Australia dan Benua Asia). Bencana dapat terjadi karena faktor geologis (gempa, tsunami, letusan gunung berapi), hidrometeorologis (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), biologis (wabah penyakit, penyakit tanaman dan ternak, hama tanaman), kegagalan teknologi (kecelakaan industri dan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia) dan faktor sosial politik (konflik horizontal, terorisme, edeologi, religi). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Indonesia mencatat sebaran kejadian bencana dari tahun 1815 – 2012 (Gambar 1). Hasil inventarisasi data kejadian bencana yang telah dilakukan oleh BNPB, menunjukkan
bencana banjir memiliki porsi tertinggi atau sekitar 32% dari seluruh kejadian
bencana di Indonesia.
Gambar 1. Sebaran kejadian bencana dan korban jiwa di Indonesia tahun 1815 – 2012
Permasalahan banjir pada setiap daerah di Indonesia tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda, hal ini tidak terlepas dari kondisi geografis wilayah Indonesia yang beraneka ragam. Banjir merupakan peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam suatu daratan, dengan kata lain banjir dapat terjadi jika suatu kapasitas badan air seperti: sungai, waduk dan danau sudah tidak mampu menampung besarnya volume air yang mangalir sehingga terjadi luapan yang dapat merendam daratan. Kejadian banjir akan berdampak dan beresiko tinggi apabila terjadi pada suatu daerah dengan porsi jumlah penduduk yang tinggi. Hal tersebut tentu akan berlaku sebaliknya pada daerah yang memiliki porsi jumlah penduduk rendah atau tidak ada penduduk sama sekali. Kondisi bencana yang sering terjadi terkadang menyebabkan beberapa kesulitan dalam mengakses informasi kejadian bencana. Hal ini dapat dipermudah dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) yang mempunyai banyak peranan dalam hal kebencanaan. Teknologi tersebut mampu merekam objek dan lokasi kejadian bencana dengan menggunakan sensor satelit tanpa secara langsung melakukan peninjauan di lokasi bencana. Hal ini secara cepat dapat membantu pelaksanaan evakuasi dan rehabilitasi paska kejadian bencana, salah satunya dengan membuat quick response dan rapid mapping. Jenis data penginderaan jauh berdasarkan sensor dapat dibagi menjadi dua, yaitu penginderaan jauh aktif dan pasif. Sensor pasif merupakan penginderaan jauh yang memerlukan cahaya utama dalam hal ini matahari untuk penyinaran objek dipermukaan bumi, sehingga objek – objek tersebut dapat terekam dan diterima oleh sensor satelit. Sedangkan penginderaan jauh dengan sensor aktif merupakan penginderaan jauh yang secara langsung menyinari objek – objek dipermukaan bumi dan merekamnya melalui wahana sensor satelit. Data penginderaan jauh dengan sensor pasif mempunyai beberapa permasalahan dalam mengidentifikasi objek dipermukaan bumi karena gangguan atmosferik dan cuaca seperti: hujan, kabut, asap, awan dan lain-lain. Hal ini tentunya sangat menyulitkan dalam mengidentifikasi sebuah objek karena objek-objek tersebut tertutup oleh awan. Permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh sensor akitf. Synthetic Aperture Radar (SAR) merupakan salah satu jenis penginderaan jauh dengan sensor aktif. Data SAR dimanfaatkan dalam kegiatan ini untuk mendeteksi daerah banjir. Dimana pendeteksian daerah banjir dapat dilakukan dengan melihat perbedaan antara objek air dan daratan (non-air) yang ada disekitarnya. Pendeteksian tersebut dipengaruhi oleh kekasaran permukaan objek air dan non-air dari nilai hamburan balik (backscattering) yang diterima oleh sensor SAR. Refleksi dan jenis hamburan seperti refleksi spekular, sudut refleksi, difusi hamburan permukaan, volume hamburan dan hamburan bragg disajikan dalam Gambar 2. Pengaruh tersebut dapat terjadi ketika sinyal radar berinteraksi dengan permukaan air yang halus maupun kasar (bergelombang) yang mempunyai karakkeristik sendiri dalam pembentukan citra radar. Secara sederhana, objek air dimodelkan sebagai permukaan yang sangat halus dan memantulkan radiasi gelombang mikro menjauhi sensor SAR. Karena signal yang diterima oleh
sensor SAR sangat lemah, maka objek air tampak terlihat gelap (hitam) dalam citra radar. Hal ini berlaku sebaliknya pada daerah yang mempunyai permukaan lebih kasar, objek yang tampak pada citra akan terlihat tidak gelap (abu-abu hingga putih).
Gambar 2: Mekanisme hamburan permukaan air dan non-air dengan perbedaan kondisi spekular dan komponen difusi hamburan radiasi permukaan sebagai fungsi dari sudut incidence dan kekasaran permukaan (Martinis, S. 2010).
Advanced Land Observation Sattelite - Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (ALOS PALSAR) merupakan salah satu jenis data penginderaan jauh SAR yang diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) pada 24 January 2006 melalui roket H-IIA. Data ALOS PALSAR dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan quick response dan rapid mapping bencana. Banjir yang terjadi di wilayah Karawang, Provinsi Jawa Barat pada bulan Maret 2010, merupakan banjir terparah sejak 10 tahun terakhir. Banjir tersebut merendam sekitar 6.119 rumah di 7 wilayah kecamatan dan mengakibatkan sekitar 5 ribu orang mengungsi. Beranjak dari pengalaman tersebut perlu dilakukan upaya perencanaan daerah terkait penanggulangan dan pencegahan untuk pengurangan resiko dari bencana yang ada. Hal tersebut dilakukan supaya kejadian banjir yang pernah ada dan mengakibatkan dampak kerugian seminimal mungkin dapat dicegah apabila bencana tersebut kembali melanda. Wilayah Karawang (Gambar 3) digunakan sebagai lokasi kegiatan karena pernah memiliki historis banjir besar di tahun 2010, yang dapat dijadikan sebagai pilot project untuk daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia. Data ALOS PALSAR yang digunakan dalam kegiatan ini adalah data sebelum (pre-) dan sesudah (post-) terjadi bencana banjir di Wilayah Karawang pada 24 Maret 2010. Data dengan akusisi tanggal 09 Maret
2010 dan 26 Maret 2010 digunakan sebagai input pengolahan data untuk menunjukkan adanya perubahan kondisi permukaan lahan pada saat sebelum dan sesudah terjadi banjir.
Gambar 3. Lokasi Kegiatan di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat
Selanjutnya, dalam proses pengolahan awal (pre-processing) dilakukan tahap pengolahan data citra mencakup: koreksi geometrik (geo-coding), kalibrasi radiometrik (radiometric calibration), dan registrasi citra (co-registration image). Tahap pengolahan awal dilakukan dengan tujuan untuk memberikan informasi standar geometrik objek yang sama pada kedua data tersebut. Adanya perubahan nilai hamburan balik (backscattering value) pada data sebelum dan sesudah terjadinya banjir digunakan untuk memperhitungkan adanya deteksi perubahan banjir (flood – change detection). Dengan adanya deteksi perubahan tersebut, mengindikasikan hasil informasi peta kelas banjir dan non banjir. Diagram alir tahap pengolahan data dalam kegiatan ini secara umum disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Alir Proses Pengolahan Data Hasil pengolahan data PALSAR pre- dan post- banjir menghasilkan deteksi perubahan banjir (flood change detection) dengan kelas banjir dan non-banjir (Gambar 5).
Gambar 5. Pengolahan Data PALSAR Pre-banjir dan Post-Banjir Menghasilkan Flood Change Detection dengan Kelas Banjir dan Non-Banjir
Pada data PALSAR scene X1 (pre-banjir) dan X2 (post-banjir) nilai hamburan balik (backscattering) ditunjukkan berdasarkan variasi tingkat keabuan (gray scale value). Variasi tingkat keabuan tersebut dapat menggambarkan suatu objek, dalam hal ini objek air dan non-air. Objek air tampak terlihat gelap dibandingkan dengan objek non-air, karena menjauhnya hamburan balik pada objek air yang diterima oleh sensor. Adanya variasi perubahan keabuan dari terang menjadi gelap pada lokasi yang sama, di data X1 dan X2 diasumsikan sebagai penambahan objek air yang diidentifikasi sebagai daerah tergenang
banjir. Hasil deteksi perubahan kedua data tersebut disajikan sebagai deteksi perubahan banjir (flood change detection). Hasil deteksi perubahan banjir berupa kelas banjir (warna merah) dan non-banjir (warna putih – hitam). Terdapat warna gelap atau hitam dari hasil deteksi yang dilakukan, hal ini diidentifikasi sebagai daerah sawah atau objek lainnya yang memang sudah tergenang oleh air pada saat sebelum terjadi banjir. Karena tidak ada perubahan kondisi objek pada saat sebelum dan sesudah banjir, maka tidak dapat diidentifikasikan sebagai perubahan. Sedangkan yang teridentifikasi mengalami perubahan objek pada lokasi dan posisi yang sama pada data X1 dan X2 akan tampak berwarna merah. Hasil akhir dari deteksi perubahan banjir yang dilakukan disajikan dalam bentuk layout peta untuk mendukung quick response dan rapid mapping (Gambar 6). Dari hasil tersebut, dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah untuk penanganan evakuasi dan rehabilitasi paska banjir dan upaya perencanaan terkait penanggulangan dan pencegahan untuk pengurangan resiko dari bencana yang ada.
Gambar 6. Hasil layout kegiatan quick response dan rapid mapping kejadian banjir di Wilayah Karawang, Jawa Barat pada 24 Maret 2010 Acknowledgment Artikel ini merupakan bagian dari perkembangan laporan (progress report) kegiatan “Penguatan Kapasitas Daerah Dalam Pemanfaatan Data Synthetic Aperture Radar (SAR) untuk Pengurangan Resiko dan Mitigasi Bencana”, Riset PKPP RISTEK 2012. Terima kasih kepada Bapak Ir. Agus Hidayat, M.Sc
(Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN) yang telah memberikan arahan dan bimbingan terlaksananya kegiatan ini.