ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur )
Oleh : Apollonaris Ratu Daton A. 14105513
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
APOLLONARIS RATU DATON. Analisis Pendapatan Usahatani Jambu Mente (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Di bawah Bimbingan NETT1 TINAPRILLA.
Jambu mente (Anacardium occidentale L.), merupakan salah satu komoditas yang mendapat prioritas dalam pembangunan perkebunan dewasa ini, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Beberapa daerah di KTI yang merupakan penghasil utama jambu mente dengan sumbangan terhadap produksi mente nasional adalah Sulawesi Tenggara (47,5%), Sulawesi Selatan (20,4%), NTT (5,0%) dan Bali (3,5%). Jambu mente merupakan komoditas unggulan dan menjadi salah satu sumber pendapatan petani. Areal penanaman jambu mente terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi jambu mente di indonesia pada umumnya untuk diekspor dalam bentuk gelondongan. Volume ekspor jambu mente semakin meningkat menunjukan bahwa gelondong mente mempunyai nilai ekonomis tinggi. Pengusahaan jambu mente di kabupaten Flores Timur belum dilaksanakan secara maksimal. Umumnya petani mente di Flores Timur adalah petani swadaya (perkebunan rakyat) dan sistem budidaya yang diterapkan masih sederhana dengan penggunaan input rendah (Low input). Prospek pengusahaan jambu mente cukup baik di masa mendatang. Upaya perbaikan teknik budidaya dan penggunaan input produksi yang bermutu merupakan faktor yang penting demi peningkatan produktivitas tanaman. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pendapatan petani. Penelitian ini menggambarkan kondisi usahatani jambu mente di Kabupaten Flores Timur saat ini, menganalisis biaya-biaya yang dikeluarkan untuk usahatani jambu mente, dan menganalisis pendapatan yang diterima petani dari usahatani jambu mente. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai April 2008 di Kabupaten Flores Timur. Secara purposive ditentukan Desa Ratulodong, yang merupakan sentra produksi jambu mente di Kecamatan Tanjung Bunga. Dalam penentuan responden, Penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling dengan menggunakan sampel petani jambu mente swadaya (perkebunan rakyat) sebanyak 40 orang dari total keseluruhan populasi sebanyak 322 petani Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan petani, observasi serta pengisian kuisioner oleh petani sampel. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Pusat Statistik, serta instansi lain yang terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode derkriptif dengan pendekatan studi kasus. Dengan metode ini data diolah dan dianalisis
secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui kondisi yang dialami petani saat ini dalam melakukan sistem budidaya jambu mente. Analisis kuantitatif yang dipilih adalah analisis pendapatan usahatani, dan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Ratio). Untuk menghitung pendapatan petani jambu mente secara monokultur, dilakukan tabulasi sederhana dengan menghitung pendapatan usahatani jambu mente atas biaya tunai dan pendapatan usahatani jambu mente atas biaya total. Dari hasil analisis pendapatan yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Rasio) atas biaya tunai dan atas biaya total untuk melihat tingkat efisiensi usahatani. Berdasarkan hasil Penelitian, Sistem usahatani jambu mente di Desa Ratulodong dilakukan secara monokultur. Kondisi tanaman jambu mente yang menyebar di wilayah Desa Ratulodong sesungguhnya sudah berumur di atas 15 tahun dengan jarak tanam yang rapat yaitu mulai dari 2 m x 2 m hingga 4 m x 4 m, sebagai realisasi proyek rehabilitasi lahan kritis di Kabupaten Flores Timur. Pengembangan usaha jambu mente di lokasi penelitian sampai saat ini dilakukan secara sederhana dan pegelolaannya dilakukan secara tradisional dengan penggunaan input produksi rendah (Low Input). Deskripsi usahatani jambu mente selama tahun 2007 meliputi proses budidaya, penggunaan input produksi serta output usahatani. Harga jual gelondong mente tergolong rendah karena penentuan harga dilakukan oleh pedagang (price maker). Sejauh ini masalah penentuan harga, petani memiliki daya tawar (bargaining power) rendah sehingga terkesan petani selalu dalam posisi sebagai penerima harga (price taker). Rata-rata produksi per hektar adalah sebesar 521,68 kg dalam bentuk mente gelondong dengan harga jual rata-rata Rp. 5000,00 per kilogram, maka total penerimaan yang diperoleh petani pada musim panen 2007 adalah sebesar Rp. 2.608.400,00 per hektar. Total biaya usahatani yang dikeluarkan petani di Desa Ratulodong untuk musim panen tahun 2007 adalah sebesar Rp1.948.066,67 per hektar yang terdiri dari biaya tunai sebesar Rp. 289.800,00 per hektar atau sebesar 14,87 persen dan biaya diperhitungkan sebesar Rp. 1.658.266,67 per hektar atau sebesar 85,13 persen. Pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp.2.318.600,00 per hektar, pendapatan atas biaya total sebesar Rp.660.333,33. Nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 9,00 dan nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1,34. Nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu menunjukan bahwa usahatani jambu mente di Desa Ratulodong saat ini layak untuk diusahakan. Dari hasil analisis usahatani, terbukti bahwa usahatani jambu mente yang dijalankan untuk musim panen tahun 2007 masih menguntungkan untuk dilaksanakan. Usahatani jambu mente untuk musim panen tahun 2007 dapat dikatakan belum baik, hal ini terbukti bahwa sejauh ini petani belum memanfaatkan input produksi secara maksimal untuk peningkatan produksi. Penerapan usahatani jambu mente secara baik dan memperhatikan efisiensi penggunaan input produksi pada masa yang akan datang dapat meningkatkan produksi sekaligus meningkatkan pendapatan petani.
ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur )
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Apollonaris Ratu Daton A14105513
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Nama
: Apollonaris Ratu Daton
NRP
: A. 14105513
Program Studi
: Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis
Judul
: “Analisis Pendapatan Usahatani Jambu Mente (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur)”
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Netti Tinaprilla, MM NIP. 132 133 965
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan : 19 Mei 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana pada Program Sarjana Manajemen Agribisnis (Ekstensi) Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Analisis Pendapatan Usahatani Jambu Mete (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur)”. Topik mengenai pendapatan usahatani dipilih terkait dengan permasalahan yang dihadapi petani jambu mente di Desa Ratulodong saat ini. Diharapkan dengan adanya penelitian ini petani setempat dapat menjalankan usahatani jambu mente secara lebih baik sehingga mendapat keuntungan yang layak dengan memahami biaya-biaya usahatani. Penulis merasa bahwa isi dari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan dari pembaca sekalian. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberkati kita semua. Amin. Akhir kata penulis berharap skripsi ini memberikan informasi pengetahuan bagi pembacanya.
Bogor, Mei 2008
Penulis
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE
(ANACARDIUM OCCIDENTALE L.) (KASUS DI DESA RATULODONG, KECAMATAN TANJUNG BUNGA KABUPATEN FLORES TIMUR, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR)” BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
Apollonaris Ratu Daton A. 14105513
RIWAYAT HIDUP
Penulis Dilahirkan pada tanggal 01 Mei 1976 di Desa Wailolong, Kabupaten Flores Timur sebagai anak ke lima dari enam bersaudara dari pasangan Leo Laba Daton (Almahrum) dan Maria Bota Hurint. Pendidikan formal yang telah ditempuh adalah pendidikan dasar pada SDK Wailolong tahun 1988.
Pada tahun 1991
menamatkan pendidikan pada SMPN 2 Larantuka, dan pada tahun 1994 menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA PGRI Larantuka. Pada Tahun 1995 penulis melanjutkan kuliah pada D-III Politani Kupang dan menamatkan pendidikan pada tahun 1998. Bekerja sebagai PNS tanggal 1 Mei 2003 pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Flores Timur.
Sebagai Pemimpin Pertanian
Kecamatan Kota Larantuka pada bulan Agustus 2003 hingga tahun 2005. April 2005 penulis diberi ijin belajar oleh Pemerintah Kabupaten Flores Timur untuk melanjutkan pendidikan pada Program Sarjana Manajemen Agribisnis (ekstensi) Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah pada tanggal 10 November 2006 dengan Marselina Pai Hurint, yang lahir di Desa Wailolong tanggal 23 Maret 1984. Dari buah kasih sayang kami, penulis dikaruniai seorang putra bernama Debrito Christian Leo Laba Daton, lahir di Larantuka pada tanggal 12 Desember 2007.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. x DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv I.
PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 9 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9 1.5. Ruang Lingkup................................................................................... 10
II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 11 2.1. Usahatani Jambu Mente ...................................................................... 11 2.1.1. Tinjauan Umum Jambu Mente................................................ 11 2.1.2. Agribisnis Jambu Mente ......................................................... 12 2.1.3. Syarat Lokasi .......................................................................... 13 2.1.4. Sistem Budidaya Jambu mente ............................................... 16 2.1.5. Pengendalian Hama Penyakit ................................................. 21 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu............................................................... 23
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 27 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis .......................................................... 27 3.1.1. Pengertian Usahatani............................................................... 27 3.1.2. Penerimaan Usahatani ............................................................ 29 3.1.3. Konsep Biaya .......................................................................... 30 3.1.4. Pendapatan Usahatani ............................................................. 31 3.1.5. Efisiensi Usahatani ................................................................. 32
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................... 33 IV.
METODE PENELITIAN......................................................................... 36
vii
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian. ............................................................. 36 4.2. Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 36 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data .............................................. 37 4.4. Analisis Usahatani............................................................................... 38 4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani. .............................................. 38 4.4.2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya.............................. 40 V.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN .................................. 43 5.1. Kondisi Geografis dan Wilayah Administratif ................................... 43 5.2. Topografi............................................................................................. 44 5.2.1. Ketinggian Tempat.................................................................. 45 5.2.2. Tingkat Kemiringan ................................................................ 46 5.3. Iklim dan Curah Hujan........................................................................ 47 5.4. Demografi. .......................................................................................... 49 5.5. Profil Sektor Pertanian ........................................................................ 50
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 53 6.1. Gambaran umum Desa Ratulodong .................................................... 53 6.1.1. Wilayah dan Topografi ............................................................ 53 6.1.2. Penduduk dan Mata Pencaharian ............................................. 54 6.2. Karakteristik Responden ..................................................................... 56 6.2.1. Umur Petani. ............................................................................ 56 6.2.2. Tingkat Pendidikan .................................................................. 57 6.2.3. Status Usahatani ....................................................................... 59 6.2.4. Pengalamaan Berusahatani....................................................... 60 6.2.5. Jumlah Tanggungan Keluarga.................................................. 61 6.2.6. Luas Lahan Pengusahaan Jambu Mente .................................. 62 6.2.7. Status Kepemilikan Lahan ...................................................... 63 6.2.8. Kepemilikan Modal.................................................................. 64 6.3. Deskripsi Kondisi Usahatani Jambu Mente ........................................ 65 6.3.1. Penggunaan Input Produksi ..................................................... 66
viii
6.3.1.1. Pupuk ......................................................................... 67 6.3.1.2. Pestisida ..................................................................... 68 6.3.1.3. Tenaga Kerja .............................................................. 68 6.3.2. Proses Budidaya ....................................................................... 72 6.3.1.1. Pemeliharaan Tanaman .............................................. 72 6.3.1.2. Pemangkasan.............................................................. 76 6.3.1.3. Panen .......................................................................... 77 6.3.3. Pemasaran Hasil ....................................................................... 79 6.3.4. Output Usahatani...................................................................... 80 6.3.5. Penyusutan Alat-Alat Pertanian ............................................... 81 6.4. Analisis Usahatani Jambu Mente ........................................................ 83 6.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani Jambu Mente Per Hektar di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur............................................................................. 83 6.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani Jambu Mente Per Luasan Lahan di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga Kabupaten Flores Timur .......................................................... 89 6.4.3. Efisiensi Usahatani................................................................... 92 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 94 7.1. Kesimpulan ......................................................................................... 94 7.2. Saran.................................................................................................... 95 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 99 LAMPIRAN.......................................................................................................... 99
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Pohon Industri Jambu Mente ………………………………..........
11
2.
Skema Alur Pemikiran Operasional................................................
35
3.
Rantai Tataniaga Gelondong Mente di Desa Ratulodong…...........
80
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Halaman Perkembangan Areal dan Produksi Jambu Mente di Indonesia Tahun 1996 – 2005 …………………………………………………
2
Perkembangan Ekspor, Impor Jambu Mente Indonesia Tahun 1995 - 2004 .......................................................................................
3
Perkembangan Harga Bulanan Kacang Mente di Pasar Dalam Negeri Tahun 2000 – 2004 ................................................................
4
Perkembangan Areal dan Produksi Jambu Mente di Kabupaten Flores Timur Tahun 2002 - 2006 .......................................................
6
5.
Jadwal dan Dosis Pemupukan Dalam Gram ......................................
20
6.
Kebutuhan Data dan Sumbernya .......................................................
37
7.
Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Jambu Mente ...............
42
8.
Pembagian wilayah Administratif Kabupaten Flores Timur..............
44
9.
Perincian Luas Wilayah menurut Ketinggian Dari Permukaan Laut Serta Prosentasinya di Kabupaten Flores Timur........................
45
10. Perincian Luas menurut Kemiringan Tanah / Lereng di Kabupaten Flores Timur.....................................................................
46
11. Klasifikasi Iklim di Kabupaten Flores Timur.....................................
47
12. Rata-rata Curah Hujan Bulanan dalam Lima Tahun Terakhir Di Kabupaten Flores Timur Tahun 2003 - 2007................................
48
13. Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Flores Timur Tahun 2007...................................................................
49
14. Luas Areal dan Produksi Beberapa Komoditi Perkebunan di Kabupaten Flores Timur Tahun 2007................................................
51
2.
3.
4.
iv
15. Luas Areal Dan Produksi Jambu Mente dirinci Menurut Kecamatan di Kabupaten Flores Timur Tahun 2007.............................................
52
16. Luas Wilayah Desa Ratulodong Menurut Penggunaannya tahun 2007..........................................................................................
54
17. Susunan Penduduk Desa Ratulodong Menurut Kelompok Umur Tahun 2008.........................................................................................
55
18. Susunan Penduduk Desa Ratulodong Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2008.........................................................................................
55
19. Susunan Penduduk Desa Ratulodong Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2008.........................................................................................
56
20. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Umur di Desa Ratulodong Tahun 2008........................................................
57
21. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Ratulodong Tahun 2008.......................
58
22. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Status Usahatani di Desa Ratulodong Tahun 2008............................
59
23. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Pengalamaan Berusahatani di Desa Ratulodong Tahun 2008............
60
24. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Jumlah Tanggungan Dalam Keluarga di Desa Ratulodong Tahun 2008........
62
25. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Luas Lahan di Desa Ratulodong Tahun 2008.....................................
63
26. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Desa Ratulodong Tahun 2008.......................
63
27. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Status Kepemilikan di Desa Ratulodong Tahun 2008..................................
65
28. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Per Hektar Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong Pada Musim Panen Tahun 2007............
69
29. Rata-rata Produksi Gelondong Per Hektar Usahatani jambu Mente di Desa Ratulodong Pada Musim Panen 2007....................................
81
v
30. Rata-Rata Nilai Penggunaan Peralatan (Rp/Ha) Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong Pada Musim Panen Tahun 2007..
82
31. Nilai Penyusutan Peralatan (Rp/Ha) Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong Pada Musim Panen 2007....................................
83
32. Rata-Rata Pendapatan Petani Responden Per Hektar Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga Kabupaten Flores Timur Musim Panen Tahun 2007...........................
85
33. Rata-Rata Pendapatan Petani Responden Per Luasan Lahan Usahatan Jambu Mente di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga Kabupaten Flores Timur Musim Panen 2007........................
90
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Pohon Industri Jambu Mente ………………………………..........
11
2.
Skema Alur Pemikiran Operasional................................................
35
3.
Rantai Tataniaga Gelondong Mente di Desa Ratulodong…...........
80
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Kuisioner Untuk Petani.................................................................
99
2.
Karakteristik Petani Responden di Desa Ratulodong……………
102
3.
Produksi dan Penggunaan Input Produksi Usahatani Jambu Mente di Desa ratulodong Musim Panen Tahun 2007…..........................
103
Perolehan Keuntungan (π) Per Hektar Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Musim Panen Tahun 2007……………………………….
104
Perolehan Keuntungan (π) Per Hektar Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Musim Panen Tahun 2007……………………………….
105
4.
5.
xiv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Sub sektor perkebunan memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan pertanian terutama sebagai penghasil devisa, penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto. Devisa yang dihasilkan dari sektor pertanian tahun 2004 sebesar 4.895 juta dolar Amerika, dan kontribusi dari sub sektor perkebunan sebesar 7.784 juta dolar Amerika (160,19%).
Sedangkan data
penyerapan tenaga kerja tahun 2004 menunjukan bahwa dari 41,3 juta angkatan kerja pertanian, sebanyak 18,6 juta (45%) bekerja pada sub sektor perkebunan. Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Pertanian atas dasar harga berlaku pada tahun 2004 adalah 15,38 %, dan kontribusi sub sektor perkebunan terhadap Produk Domestik Bruto Nasional sebesar 2,49 % atau sebesar 16,19% terhadap sektor pertanian (Statistik Perkebunan Indonesia, 2006). Jambu mente (Anacardium occidentale L.), merupakan salah satu komoditas yang mendapat prioritas dalam pembangunan perkebunan dewasa ini, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tujuan pokok usahatani jambu mente saat ini adalah mendapatkan produksi dan kualitas gelondong setinggi-tingginya agar mampu memberikan pendapatan pada petani seoptimal mungkin. Di KTI komoditas ini memberikan peluang yang besar bagi pengentasan kemiskinan, karena pada umumnya di kawasan ini sebagian besar berlahan kering (Abdullah, 1995) dalam (Hadad E.A dan Koerniati, 1996).
2
Beberapa daerah di KTI yang merupakan penghasil utama jambu mente dengan sumbangan terhadap produksi mente nasional adalah Sulawesi Tenggara (47,5%), Sulawesi Selatan (20,4%), NTT (5,0%) dan Bali (3,5%) (Nogoseno, 1990). Jambu mente merupakan komoditas unggulan dan menjadi salah satu sumber pendapatan petani (Zaubin, Daras. 2001). Areal penanaman jambu mente terus meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 1). Pada tahun 1996 tercatat luas areal tanam 492.950 ha dengan total produksi 67.676 ton. Pada tahun 2005, mencapai 581.271 ha dengan total produksi 130.052 ton. Pada umumnya lahan pengusahaan jambu mente adalah milik petani (perkebunan rakyat) dengan total areal sebesar 574.891 ha (98,9%), sisanya milik perkebunan swasta dengan total areal sebesar 6.380 ha (1,09%).
Berikut disajikan data perkembangan areal dan produksi
komoditas jambu mente di Indonesia. Tabel 1. Perkembangan Areal dan Produksi Jambu Mente di Indonesia Tahun 1996-2005 Luas Areal (ha) Tahun
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 * ) 2005 **)
Produksi (ton)
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Swasta
Total
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Swasta
Total
484.357 490.074 521.695 547.724 551.442 558.784 568.796 565.446 546.374 574.891
8.593 9.205 9.295 9.858 9.868 10.128 10.128 7.835 7.815 6.380
492.950 499.279 530.990 557.582 561.310 569.912 578.924 573.281 554.189 581.271
67.079 73.158 86.924 89.530 69.488 91.220 109.945 106.698 117.961 129.757
597 574 772 774 439 366 287 234 268 295
67.676 73.732 87.696 90.304 69.927 91.586 110.232 106.932 118.229 130.052
Sumber : BPS. Statistik Perkebunan Indonesia, 2006 Keterangan : *) Angka sementara **) Angka sangat sementara
3
Produksi jambu mente di Indonesia pada umumnya untuk diekspor dalam bentuk gelondong. Dalam 10 tahun terakhir tercatat bahwa volume dan nilai ekspor jambu mente terus meningkat. Pada tahun 1995, tercatat volume ekspor sebesar 28.105 ton dengan total nilai ekspor sebesar 21.308 US.$. Pada tahun 2004 volume ekspor mencapai 59.372 ton dengan total nilai ekspor sebesar 58.187 US.$. Volume ekspor jambu mente semakin meningkat menunjukan bahwa gelondong mente mempunyai nilai ekonomis tinggi. Gelondong mente yang sudah diolah dalam bentuk kacang mente banyak dibutuhkan dalam industri pengolahan makanan. Data tentang volume dan nilai ekspor, impor komoditi jambu mente di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini :
Tabel 2. Perkembangan Ekspor dan Impor Jambu Mente Indonesia Tahun Tahun 1995 - 2004 Ekspor Impor Tahun Volume Nilai Volume Nilai (Ton) (000US.$) (Ton) (000US.$) 1995 28.105 21.308 1996 27.886 23.751 1997 29.666 19.152 1998 30.287 34.998 1999 34.520 43.507 2000 27.619 31.502 2001 41.313 28.929 2002 51.717 34.810 2003 60.429 43.534 2004 59.372 58.187 Sumber : BPS. Statistik Perkebunan Indonesia, 2006
162 197 5 16 669 212 50 8 202
414 168 13 72 435 353 165 25 594
Dilihat dari perkembangan volume dan nilai ekspor menunjukan bahwa jambu mente memiliki prospek yang cukup baik saat ini dan di masa yang akan datang.
4
Kebutuhan akan gelondong dan hasil olahan kacang mente sebagai makanan sela terus meningkat baik di pasar domestik maupun ekspor. Sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi, diupayakan agar
tanaman jambu mente terus
dikembangkan secara baik di tingkat petani dalam rangka meningkatkan produktivitas serta kualitas gelondong. Pengembangan komoditi jambu mente dengan prospek baik akan memberikan pendapatan yang layak bagi petani. Berdasarkan harga jual di pasaran, harga jual jambu mente gelondongan di tingkat petani berbeda-beda. Pada umumnya harga jual mente gelondongan dipengaruhi oleh harga pasar dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Perkembangan harga bulanan komoditi jambu mente hasil olahan berupa kacang mente dipasar dalam negeri untuk lima tahun terakhir, dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Perkembangan Harga Bulanan Kacang Mente di Pasar Dalam Negeri Tahun 2000 – 2004 (000.Rp/kg) Tahun Bulan 2000 2001 2002 2003 2004 Januari 35.237 35.414 33.679 35.185 21.567 Februari 36.570 33.787 36.306 34.122 21.567 Maret 36.820 34.600 35.320 33.983 23.224 April 38.070 35.364 35.522 32.450 24.152 Mei 37.612 35.967 35.908 31.735 25.125 Juni 37.445 34.200 35.074 31.857 25.524 Juli 37.320 33.081 35.298 31.107 27.593 Asgustus 35.612 32.560 36.709 31.214 28.024 September 35.360 33.534 36.720 30.714 29.268 Oktober 36.406 33.409 37.375 31.604 30.655 Nopember 35.762 33.370 34.590 34.107 31.018 Desember 33.737 36.329 35.630 32.771 26.560 Rata-rata 36.329 34.178 35.630 32.771 32.771 Sumber : BPS. Statistik Perkebunan Indonesia, 2006
5
Dari Tabel 3, terlihat bahwa harga kacang mente dalam negeri cenderung turun dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2000 tercatat harga jual kacang mente sebesar Rp 36.326,-/kg.
Pada tahun 2004, turun menjadi Rp.26.560,-/kg.
Rata-rata
penurunan harga kacang mente dalam lima tahun terakhir sebesar 26,8 %. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), pengusahaan tanaman jambu mente memiliki skala yang cukup besar. Hal ini selain didukung oleh sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, juga potensi lahan dan iklim yang cocok. Kabupaten Flores Timur sebagai salah satu kabupaten terluas ke sembilan yang menjadi obyek penelitian, adalah kabupaten yang memiliki luas areal penanaman jambu mente terbesar dan merupakan sentra produksi jambu mente di NTT. Pengusahaan jambu mente di kabupaten Flores Timur belum dilaksanakan secara maksimal. Umumnya petani mente di Flores Timur adalah petani swadaya dan sistem budidaya yang diterapkan masih sederhana dengan penggunaan input rendah
(Low input).
Prospek pengusahaan jambu mente cukup baik di masa
mendatang. Upaya perbaikan teknik budidaya dan penggunaan input produksi yang bermutu merupakan faktor yang penting demi peningkatan produktivitas tanaman. Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) kabupaten Flores Timur (2007), luas areal tanam jambu mente di kabupaten Flores Timur tahun 2006 bertambah menjadi 28.334,48 ha, dengan perincian tanaman yang belum menghasilkan sebesar 16.388,9 ha, tanaman yang sudah menghasilkan sebesar 11.945,52 ha, sementara tingkat produksinya mencapai 8.190,46 ton. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini :
6
Tabel 4. Perkembangan Areal dan Produksi Jambu Mente di Kabupaten Flores Timur Tahun 2002-2006 Luas Areal (ha) Produksi(ton) Tahun
TBM
TM
Total
2002 14.044,69 9.015,84 23.060,53 7.239,69 2003 15.449,16 9.917,42 25.366,58 7.963,62 2004 16.329,76 11.543,90 27.873,66 7.988,38 2005 16.329,77 11.541,49 27.781,26 7.975,94 2006 16.388,96 11.945,52 28.334,48 8.190,46 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Flores Timur, 2007 Keterangan : TBM = Tanaman Belum Menghasilkan TM = Tanaman Menghasilkan
1.2. Perumusan Masalah Jambu mente (Anacardium Occidentale L.) merupakan tanaman introduksi yang pada mulanya ditanam untuk tujuan penghijauan dan konservasi tanah pada daerah berlahan kritis.
Penanamannya dilakukan secara sederhana dengan tidak
menerapkan teknik budidaya yang baik dan tidak memperhatikan mutu input produksi (Zubin, Daras, 2001). Sebagai salah satu komoditas yang mempunyai nilai ekonomis tinggi terutama untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI), pengembangan selanjutnya meluas dengan cepat namun tanpa didukung dengan teknik budidaya yang baik dan informasi yang cukup mengenai agribisnis jambu mente. Lebih lanjut, menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Flores Timur, tanaman jambu mente sudah dikenal petani pada era tahun 1970-an. Pada waktu itu tanaman ini mulai ditanam di kecamatan Tanjung Bunga. Pada awalnya tujuan penanaman jambu mente adalah untuk konservasi tanah dan rehabilitasi lahan kritis. Dengan jarak tanam yang sangat rapat serta tidak memperhatikan mutu input
7
produksi mengakibatkan produktivitas tanaman menjadi rendah. Dari beberapa dekade terakhir tercatat produksi jambu mente meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini sejalan dengan adanya upaya perbaikan sistem budidaya serta penambahan luas areal penanaman.
Walaupun demikian, mutu panen mente gelondong masih
tergolong rendah, sementara produksi tidak ikut naik secara signifikan. Rata-rata peningkatan produksi sebesar 0,29 ton/ha setiap tahun. Sebagai tanaman penghijauan dan konservasi tanah, sejak tahun 1980-an tujuan tersebut mulai bergeser kepada tujuan komersial, karena gelondong dan kacangnya banyak diminati dan harganya cukup menarik. Sebagian besar petani di kabupaten Flores Timur mengembangkan usaha ini
sebagai
komoditas
utama dalam
menunjang perekonomian keluarga disamping tanaman pangan dan hortikultura. Beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Daerah (PEMDA) setempat menjadikan tanaman jambu mente sebagai komoditas strategis unggulan daerah. Pengusahaan jambu mente di Kabupaten Flores Timur saat ini belum berjalan secara maksimal. Di masa lalu tanaman jambu mente dikembangkan melalui proyek Dinas Kehutanan (RLKT) kabupaten Flores Timur. Pendekatannya bukan pendekatan
produksi
dengan jarak tanam 7m x 7m, tetapi pendekatan konservasi dengan jarak tanam yang lebih rapat. Kondisi ini menyebabkan produksi dan produktivitas gelondong tidak mengalami peningkatan yang berarti, sementara luas areal tanam semakin meningkat.¹ ______________________ ¹ www.satunama.org, Laporan Analisis Sosial Ekonomi Kabupaten Flores Timur. Yayasan kesatuan pelayanan kerja sama, Yogyakarta, Indonesia. 11 Oktober 2007
8
Meningkatnya luas areal tanam jambu mente belum tentu dapat meningkatkan pendapatan petani. Hal ini tergantung hasil produksi, produktivitas, mutu gelondong dan harga yang diterima petani. Pengembangan komoditas jambu mente terus meluas dengan cepat namun tidak didukung oleh teknik budidaya yang baik dan petani cenderung tidak memperhatikan mutu input produksi. Selain itu, harga jual mente gelondong di tingkat petani cenderung berfluktuatif setiap tahunnya. Faktor lain yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah adanya krisis ekonomi dan inflasi tinggi yang menyebabkan harga-harga sarana produksi (saprodi) menjadi naik dengan tidak diikuti oleh kenaikan harga jual produk di tingkat petani. Dari fenomena yang ada terlihat bahwa petani saat ini memiliki kemampuan mengelola usahatani serta posisi tawar (bargainning position) yang rendah. Faktor kunci yang perlu diperhatikan terkait upaya pengembangan usahatani jambu mente di kabupaten Flores Timur adalah harus adanya kebijakan PEMDA yang lebih proaktif dan lebih berpihak kepada petani. Upaya perbaikan sistem kelembagaan di tingkat petani dan mengintensifkan kembali peran penyuluh adalah upaya yang harus terus dilaksanakan.
Usahatani jambu mente di Kabupaten Flores Timur
diharapkan lebih baik di masa mendatang. Penerapan teknik budidaya dengan benar dan penggunaan input produksi yang bermutu akan meningkatkan produktivitas serta pendapatan petani. Berkaitan dengan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan utama adalah apakah usahatani jambu mente yang dikembangkan dengan perluasan areal tanam dapat meningkatkan pendapatan petani ? Untuk itu perlu diketahui :
9
1. Bagaimana kondisi usahatani jambu mente di kabupaten Flores Timur saat ini ? 2. Bagaimana pendapatan usahatani yang dihasilkan ? 3. Apakah usahatani yang dijalankan tersebut efisien ?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 1. Menggambarkan kondisi usahatani jambu mente saat ini. 2. Menganalisis biaya-biaya yang dikeluarkan untuk usahatani jambu mente. 3. Menganalisis pendapatan yang diterima petani dari usahatani jambu mente. 4. Menganalisis efisiensi usahatani jambu mente.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi petani untuk mengetahui apakah usahatani jambu mente yang dijalankan dapat meningkatkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. 2. Bagi Pemda Flores Timur khususnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam menyusun rencana program pengembangan jambu mente ke depan. 3. Sebagai wahana latihan bagi penulis dalam menerapkan konsep-konsep manajerial di dunia kerja, serta bahan informasi bagi pembaca.
10
1.5. Ruang lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah menggambarkan kondisi usahatani jambu mente saat ini, menganalisis biaya-biaya yang dikeluarkan untuk usahatani jambu mente, menganalisis pendapatan yang diterima petani dalam usahatani jambu mente serta menganalisis efisiensi usahatani jambu mente di kabupaten Flores Timur. Produk akhir (final Product) dari penelitian ini adalah produksi mente gelondongan. Penelitian ini hanya difokuskan pada petani swadaya (perkebunan rakyat) di desa Ratulodong kecamatan Tanjung Bunga, yang merupakan sentra produksi jambu mente di Kabupaten Flores Timur.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usahatani Jambu Mente 2.1.1. Tinjauan Umum Jambu Mente Tanaman jambu mente pada umumnya menghasilkan biji mente (cernel) yang disebut gelondong dan buah semu yang sering disebut jambu. Gelondong mente dapat diolah menjadi kacang mente dan kulit mente. Kacang mente memiliki nilai jual yang tinggi. Sementara itu, kulit mente diolah untuk menghasilkan minyak laka atau sering disebut Chasew Nut Shell Liquid (CNSL). Buah semu dapat diolah menjadi sirup, minuman sejenis anggur, alkohol, selai dan campuran abon. Pohon industri jambu mente dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini : JAMBU MENTE
Mente Gelondongan
Kacang Mente
- Makanan - Ramuan obat Penyakit kulit - Bahan minyak rambut/cat rambut
Kulit Ari
- Tanin Penyamakan Kulit - Pakan ternak
Buah Semu
Kulit Mente
- Campuran Pembuatan kulit - Pelat rem - Hardboard - Karbon aktif - Bahan obatobatan - Pupuk organic - CNSL (minyak
Laka)
- Minuman ringan - Rujak/lutes, asinan - Manisan - Cuka makanan - Bahan baku obat - Selai/jeli - Bubur buah - Ensim penggemuk daging - Lauk-pauk - Protein sel tunggal - Spritus - Pakan ternak - Pupuk pertanian - Lemonade - Anggur - Minuman beralkohol
Gambar 1. Pohon Indsustri Jambu Mente Sumber : Alauddin, 1996
12
2.1.2. Agribisnis Jambu Mente Agribisnis adalah penjumlahan total dari seluruh kegiatan yang menyangkut manufaktur dan distribusi dari sarana produksi pertanian, kegiatan yang dilakukan usaha tani, serta penyimpanan, pengolahan, dan distribusi dari produk pertanian dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk-produk pertanian. (Krisnamurthi, 2001). Pengembangan agribisnis jambu mente di Indonesia mempunyai prospek yang menjanjikan. (Sukmadinata, 1996). Kondisi ini didasarkan atas pertimbangan : (1) Jambu mente sebagai bahan baku industri makanan menempati posisi superioritas dibandingkan dengan komoditas lainnya yang sejenis; (2) Harga kacang mente baik di dalam negeri maupun di luar negeri relatif baik; (3) Permintaan ekspor jambu mente Indonesia menunjukan peningkatan; (4) Masih relatif luasnya lahan potensial yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan jambu mente; (5) Perhatian pemerintah dan pihak swasta dalam upaya pengembangan jambu mente ini relatif baik. Sejalan dengan penawaran dan permintaan, maka harga kacang mente di masa mendatang menunjukan prospek yang menjanjikan. Harga kacang mente di luar negeri terus mengalami peningkatan. Begitu juga dengan pasar dalam negeri, harga kacang mente mencapai tingkat yang lebih baik yaitu Rp. 10.000 pada tahun 1993, dan naik sampai Rp 40.000 – Rp.50.000 pada tahun 2007. Hal lain yang harus diperhatikan
adalah agribisnis jambu mente akan berkembang jika para pelaku
dalam agribisnis jambu mente dapat memperoleh pandapatan yang layak. Badan Agribisnis dalam Sukmadinata (1996) menyatakan bahwa perkiraan nilai investasi/ha usaha jambu mente sekitar Rp. 1.425.000,- dengan IRR 13,8 %
13
untuk masa analisa 25 tahun. Keadaan di atas menjadi petunjuk bahwa upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi jambu mente ini perlu terus dilakukan agar agribisnis berbasiskan jambu mente dapat terus berkembang.
Agribisnis merupakan konsep
dari suatu sistem yang integratif yang mempunyai keterkaitan antara sub-sistem satu dengan sub-sistem lainnya. Berkaitan dengan itu maka penanganan pembangunan pertanian tidak dapat lagi hanya dilakukan terhadap aspek-aspek yang berada dalam sub-sistem on-farm saja tetapi juga harus melalui penanganan aspek-aspek off-farm secara integratif. (Krisnamurthi, 2001).
2.1.3. Syarat Lokasi Tanaman jambu mente dapat tumbuh dan berkembang serta berproduksi sesuai potensinya apabila persyaratan lingkungan tumbuhnya dipenuhi. Pada lahan yang kurang sesuai tanaman jambu mente dapat hanya sekedar tumbuh dan tidak berproduksi secara optimal atau bahkan tidak bisa berproduksi (Hermanto dan Zaubin, 2001). Pengembangan jambu mente secara komersil, memerlukan keadaan iklim dan tanah yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya.
Tujuannya adalah untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Persyaratan ini tentu lebih longgar jika tujuan penanamannya adalah untuk penghijauan atau merehabilitasi lahan kritis. (Saragih dan Haryadi, 1994). 1. Iklim Menurut Nail et al (1979) dalam Rosman dan Lubis (1996) mengatakan bahwa 5 unsur iklim yang mempengaruhi tanaman jambu mente antara lain : (1)
14
Cuaca kering selama musim bunga dan buah, yang kelak menentukan hasil panen; (2) Pada musim bunga cuaca berawan, serangan nyamuk teh (Helopeltis anacardii) pada bunga meningkat; (3) Apabila musim bunga turun hujan lebat, produksi akan sangat menurun; (4) Suhu yang terlalu tinggi, (antara 39 – 42ºC) mengakibatkan kerontokan buah; musim kemarau yang relatif pendek, keragaman tanaman akan lebih baik. Tanaman jambu mente sangat menyukai sinar matahari. Selain perlu mendapat sinar matahari sepanjang tahun, jumlah yang
dipancarkan juga harus
memadai. Apabila tanaman jambu mente kekurangan sinar matahari, maka produktivitasnya akan menurun atau bahkan tidak akan berbuah kalau dinaungi tanaman lain. Cahaya matahari ini terutama dibutuhkan pada saat tanaman jambu mente sedang berbunga. (Saragih dan Haryadi,1994). Jambu
mente
tergolong
tanaman
yang
mudah
beradaptasi
dengan
lingkungannya. Tanaman ini akan tumbuh baik dan produktif bila ditanam pada suhu harian rata-rata 27ºC dan kelembapan nisbih yang cocok antara 70-80%. Akan tetapi, tanaman jambu mente masih dapat bertoleransi pada tingkat kelembapan 6070%. Daerah yang paling sesuai untuk budidaya jambu mente adalah di daerah yang memiliki jumlah curah hujan antara 1.000 - 2.000 mm per tahun dengan 4 - 6 bulan kering.
2. Ketinggian tempat Menurut Saragih dan Haryadi (1994), tanaman jambu mente dapat tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 1 - 1.200m di atas
15
permukaan laut (dpl). Hal ini mengisyaratkan bahwa jambu mente dapat beradaptasi pada kondisi tanah dan iklim yang beragam sifatnya. Jambu mente tidak menuntut tanah yang subur. Oleh karenanya bila ingin membudidayakan tanaman jambu mente secara komersial, perlu dipilih daerah-daerah yang sesuai dengan syarat tumbuhnya. Di Indonesia tanaman jambu mente dapat tumbuh pada ketinggian tempat 1 - 2000m dpl. Namun batas optimum ketinggian tempat hanya sampai 700m dpl, kecuali untuk merehabilitasi lahan kritis.
3. Tanah Menurut Hermanto dan Zaubin (2001) selain iklim tanah merupakan faktor penting dalam persyaratan tumbuh tanaman yang menentukan keberhasilan dalam usahatani jambu mente.
Faktor tanah secara relatif dapat dikendalikan atau
diperbaiki, terutama mengenai tingkat kesuburannya yang dapat ditingkatkan melalui penambahan hara lewat pemupukan. Faktor tanah yang paling dominan dalam menentukan tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman jambu mente adalah tekstur dan kedalaman tanah. Jenis tanah yang paling cocok untuk pertanaman jambu mente adalah tanah berpasir, tanah lempung berpasir, dan tanah ringan berpasir dengan PH antara 6,3 7,3 serta masih bisa toleril pada tanah dengan PH antara 5,5 - 6,3. Jenis tanah yang paling disukai tanaman jambu mente adalah tanah yang memungkinkan sistem perakaran berkembang secara sempurna dan mampu menahan air sehingga tanaman tetap cukup lembab di musim kemarau. (Saragih, Haryadi, 1994).
16
2.1.4. Sistem Budidaya Jambu Mente 1. Persiapan Lahan Dalam melakukan kegiatan budidaya, persiapan lahan merupakan faktor yang sangat penting. Lahan penanaman bibit tentu tidak selamanya telah siap ditanami. Lahan berupa hamparan ilalang atau semak belukar ditebas, dibakar, dan akar-akar dicabut hingga tuntas. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan pada musim kemarau agar ilalang atau semak belukar tidak cepat tumbuh. Lahan yang telah dibersihkan segera dibajak atau dicangkul dengan kedalaman yang cukup. Tujuannya adalah agar tanah menjadi gembur dan terjadi pertukaran udara di dalam tanah. Apabila lahan penanaman mudah tergenang air, maka dibuat parit-parit pembuangan air. Pengolahan tanah kering dan miring harus menurut arah melintang lereng agar terbentuk teras penahan erosi. Apabila tingkat kemiringan tanah hingga 20%, maka teras dibuat dengan lebar sekitar 2 m. Lebar teras disesuaikan dengan kedalaman solum tanah. Semakin dalam solum tanah, maka semakin lebar ukuran teras.
2. Aturan penanaman Sebelum dilakukan penanaman, aturan penanaman pun perlu dirancang sesuai kebutuhan lahan. Bentuk lahan dapat bujur sangkar atau segi tiga. Pada budidaya monokultur, jarak tanam jambu mente dianjurkan 12m x 12m. tersebut,
maka
dalam
setiap 1 ha lahan,
Dengan jarak
jumlah total tanaman yang
dibutuhkan sebanyak 69 batang. Namun, jarak tanam dapat dibuat dengan ukuran
17
6m x 6m sehingga jumlah total tanaman yang dibutuhkan adalah 276 batang/ha. Kerapatan tanaman kemudian dijarangkan pada umur 6 - 10 tahun. Untuk lebih menghasilkan penggunaan lahan, maka pada areal penanaman jambu mente dapat diterapkan budidaya polikultur. Beberapa jenis tanaman bernilai ekonomis dapat dimanfaatkan sebagai tanaman sela. Kedua sistem penanaman ini dapat diterapkan pada lahan yang datar. Di lahan miring harus disesuaikan dengan garis kontur. Pembuatan lubang tanam dilakukan setelah lahan selesai dibajak. Lubang tanam digali dengan ukuran 30cm x 30cm x 30cm. Bila jenis tanahnya sangat liat, ukuran lubang tanam dapat dibuat 50cm x 50cm x 50cm. Bila di lubang tanam terdapat lapisan cadas, lapisan ini harus ditembus. Tujuannya agar akar tanaman dapat tumbuh sempurna dan terhindar dari genangan air. Lubang tanam dibiarkan terbuka sekitar 4 minggu baru dilakukan penanaman.
Tujuannya adalah untuk
mengurangi keasaman tanah.
3. Penanaman Waktu penanaman yang tepat adalah pada awal musim hujan dan dilakukan pada sore hari. Maksudnya untuk mengurangi penyiraman air yang banyak dibutuhkan tanaman pada masa awal pertumbuhan. Di samping itu, tanah dalam lubang tanam tidak lagi mengalami penurunan. Di sekeliling lubang tanam harus ditimbun kembali dengan tanah. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya genangan air bila disiram atau hujan turun.
18
4. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman merupakan pekerjaan yang rutin. Pekerjaan tersebut meliputi
penyiraman,
penyulaman,
penyiangan,
penggemburan,
pemupukan,
pemangkasan, serta pemberantasan hama dan penyakit.
1. Penyiraman Bibit yang baru ditanam tentunya memerlukan banyak air. Oleh karena itu, tanaman perlu disiram pada pagi atau sore hari. Apabila hujan tidak turun selama dua hari berturut-turut, penyiraman dilakukan 1-2 kali sehari dalam dua minggu pertama. Minggu berikutnya, penyiraman tanaman cukup dilakukan sehari sekali.
Penyiraman dilakukan secukupnya saja dan air siraman jangan sampai
menggenangi tanaman. Bila tanaman tergenang air, maka akarnya akan membusuk dan pertumbuhannya terhambat.
2. Penyulaman Bibit yang ditanam tentu tidak semuanya hidup subur. Ada yang tumbuh kerdil, bahkan ada yang mati. Tanaman yang kerdil dapat disebabkan oleh serangan hama dan penyakit. Tanaman tersebut dapat menjadi parasit di kebun, 0leh karena itu harus dicabut dan disulam dengan tanaman yang sehat.
Penyulaman dilakukan
setelah tanaman berumur 1 bulan.
3. Penyiangan dan penggemburan Bibit jambu mente mulai berdaun dan bertunas setelah 2-3 bulan ditanam. Pada masa pertumbuhannya, banyak gulma yang tumbuh di sekitar tanaman.
19
Selain menjadi pesaing dalam memperebutkan zat hara, gulma juga dapat menjadi sarang hama dan penyakit. Untuk itu gulma harus dibasmi agar tanaman dapat tumbuh subur dan terhindar dari serangan hama atau penyakit. Pembasmian gulma sebaiknya dilakukan dalam putaran waktu tertentu, yakni sekali dalam 45 hari. Tanah yang disiram setiap hari tentu semakin padat dan udara di dalamnya semakin sedikit. Akibatnya, akar tanaman tidak leluasa menyerap unsur hara. Untuk itu, tanah di sekitar tanaman perlu digemburkan dengan hati-hati agar akar tanaman tidak putus.
4. Pemupukan Untuk menambah kesuburan pada masa pertumbuhan, maka tanaman jambu mente dapat dipupuk dengan menggunakan pupuk kandang, kompos atau pupuk buatan. Pemberian pupuk kandang atau kompos sebanyak 20 kg dilakukan dengan cara menggali parit melingkar agak di luar tajuk. Pupuk tersebut kemudian dituangkan ke dalam parit dan ditutup dengan tanah. Pemupukan berikutnya dilakukan dengan pupuk buatan. Pemberian pupuk dilakukan dalam parit melingkar dan dibuat sedikit di luar parit sebelumnya. Dosis dan macam pupuk buatan yang digunakan tergantung pada kesuburan tanah. Jadwal dan dosis pemupukan jambu mente dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
20
Tabel 5. Jadwal dan Dosis Pemupukan Dalam Gram Awal Waktu Musim Hujan Pemupukan N P2O5 K2O N Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV
Akhir Musim Hujan
(Urea)
(TSP)
(KCL)
(Urea)
P2O5 (TSP)
K2O (KCL)
50 (111) 100 (222) 200 (444) 250 (556)
40 (87) 40 (87) 60 (130) 65 (141)
30 (58) 60 (115) 65 (125)
50 (111) 100 (222) 200 (444) 250 (556)
40 (87) 40 (87) 60 (130) 65 (141)
30 (58) 60 (115) 65 (125)
Sumber : Saragih dan Haryadi, 1994
5. Pemangkasan Apabila tanaman jambu mente dibiarkan tumbuh liar, maka cabangcabangnya cenderung tumbuh bergerombol di dekat permukaan tanah. Agar cabangcabang tanaman dapat tumbuh bagus dan tajuknya berbentuk seperti kerucut, maka harus dilakukan pemangkasan sejak tanaman masih berupa bibit.
6. Penjarangan Bunga dan buah jambu terdapat di bagian permukaan tajuk daun. Tanaman ini kemungkinan besar tidak berbuah sama sekali jika sinar matahari terhalang oleh tanaman lain. Untuk itu, agar seluruh permukaan tajuk pohon mendapat sinar matahari secara merata dalam jumlah yang cukup, jangan segan-segan melakukan penjarangan tanaman.
Penjarangan dilakukan secara bertahap pada saat tajuk
tanaman saling menutupi. Apabila jarak tanam 6m x 6m dan ditanam secara monokultur, maka tajuk tanaman diperkirakan sudah bersentuhan pada umur 6 - 10 tahun. Pada saat
itu ,
21
kegiatan
penjarangan mulai dilakukan. Penjarangan
pertama dilakukan pada
saat tanaman berumur 6 - 7 tahun. Penjarangan berikutnya pada umur 7 - 8 tahun. Penjarangan terakhir dilakukan saat tanaman berumur 9 - 10 tahun. Pada penjarangan ini sisa pohon tinggal 69 batang/ha dan jarak tanam tetap 12m x 12m. Sampai penjarangan terakhir, jumlah pohon seluruhnya berkurang 75%.
5. Panen Tanaman jambu mente dapat dipanen untuk pertama kali pada umur 3 – 4 tahun.
Buah mente biasanya sudah bisa dipetik pada umur 60 – 70 hari sejak
munculnya bunga.
Masa panen berlangsung selama 4 bulan, yaitu pada bulan
Agustus hingga bulan Desember. Agar mutu gelondong atau kacang mente menjadi lebih baik, buah yang dipetik harus telah tua. Siklus hidup jambu mente dalam berproduksi bisa mencapai 40 – 50 tahun. Produksi jambu mente mulai meningkat saat berumur 8 – 10 tahun hingga mencapai 20 – 30 tahun. Produksi tanaman akan berkurang saat berumur diatas 30 tahun. Disaat mencapai umur 50 tahun, tanaman jambu mente tidak bisa berproduksi atau tidak bisa berbuah lagi.
2.1.5. Pengendalian Hama Penyakit Tanaman jambu mente merupakan tanaman yang cukup rentan terhadap gangguan hama atau penyakit. Gangguan hama atau penyakit pada tanaman jambu mente mulai pada fase pembibitan, tanaman muda, hingga pada tanaman yang sudah berbunga dan berbuah. Untuk menghindari terjadinya hal ini, maka perlu pencegahan sedini mungkin. Cara pencegahannya dapat berupa kebersihan dan sanitasi lahan,
22
pemberian zat hara yang seimbang, serta pemberian pestisida apabila tanaman disekitarnya terserang hama dan penyakit. Apabila kondisi tanaman telah terserang hama atau penyakit, diberantas.
maka perlu dicari
penyebabnya agar secepat mungkin
Pada umumnya pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan
dengan 3 cara , yaitu pemberantasan secara biologis, mekanis dan kimiawi. Beberapa hama yang sering menyerang tanaman jambu mete diantaranya adalah ulat kipat (Cricula trifenestrata helf), Serangga pengisap jaringan tunas muda (Helopeltis sp.),
Ulat
penggerek
batang (Plocaederus ferrugineus L.),
dan
penggerek buah dan biji (Nephoteryx sp.). Penanggulangan hama ini sebaiknya dilakukan secara terpadu.
Beberapa jenis insektisida yang dipakai untuk
memberantas hama diantaranya adalah Symbush 50 EC, Pumicidin, Agroline, Thiodan, larutan BMC. Tanaman jambu mente juga rentan terhadap serangan penyakit. Beberapa jenis penyakit yang terdapat pada jambu mente adalah penyakit layu, daun layu dan kering, serta bunga dan buah busuk. Penyebab penyakit ini adalah jamur dan bakteri. Jamur yang menyerang jambu mete adalah Phytophthora palmifora, Fusarium sp. dan Phitium sp. Sedangkan jenis bakteri yang menyerang tanaman jambu mente adalah Phtophthora solanacearum, Colletotrichum sp., Botryodiplodia sp., dan Pestalotiopsis sp. Penanggulangan penyakit juga sebaiknya dilakukan secara terpadu. Beberapa jenis fungisida yang dipakai untuk memberantas penyakit
diantaranya adalah
Dithane M-45, Delsene MX 200, Difolatan 4F, Cobox, dan Cuproxy Chloride.
23
2.2. Kajian Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Rosmeilisa dan Abdullah (1990) tentang analisis usahatani jambu mente menunjukan bahwa tanaman ini cocok dikembangkan di Kawasan Indonesia Timur, terutama NTT dan NTB. Jambu mente memerlukan curah hujan 1000 - 2000 mm/tahun, dengan 4 - 6 bulan kering, suhu rata-rata 27º C, kelembapan nisbih 70 - 80%, dan dapat tumbuh baik di tanah berpasir di pantai sampai ketinggian
700 dpl.
Dengan
menerapkan
sistem
monokultur dengan metode penjarangan, menurut hasil
penanaman perhitungan
secara analisis
finansial layak diusahakan, yang ditunjukan oleh indikator (a) B/C ratio = 2,55; (b) NPV = Rp 954.432,41; dan IRR = 31,42 %. Pedapatan kotor dari usahatani jambu mente pada tahun pertama dan kedua belum ada. Pendapatan kotor dapat diperoleh pada tahun ke tiga dan ke empat saat tanaman diperkirakan mulai berproduksi. Suatu penelitian tentang rencana pengembangan agribisnis dan agroindustri jambu mente telah dilakukan oleh Sukartawi pada tahun 1995 dengan mengambil lokasi penelitian di Jawa Timur. ternyata mampu
menyerap
Hasil analisis adalah agribisnis jambu mente
tenaga kerja,
meningkatkan
pendapatan petani,
menumbuhkan agroindustri baru dan meningkatkan perolehan devisa melalui peningkatan ekspor. Dari hasil analisis pendapatan menunjukan bahwa penerimaan yang diperoleh petani pada usahatani jambu mente per 100 pohon/ha adalah pada umur 20 tahun yaitu sebesar Rp. 1.087.500,-.
Sedangkan biaya yang dikeluarkan
adalah Rp. 33.896,- (karena tanaman sudah relatif tua). Sedangkan pada usahatani
24
jambu mente dengan populasi 200 pohon/ha pada umur 20 tahun diperoleh penerimaan sebesar Rp. 2.218.500,- dan biaya usahatani sebesar Rp. 154.830 untuk setiap hektar. Kajian tentang pola usahatani tanaman jambu mente telah dilakukan oleh Rosmeilisa (1990) di Daerah Istimewa Jogyakarta yang merupakan salah satu sentra produksi jambu mente di Indonesia.
Selain untuk mengkaji, penelitian ini juga
bertujuan untuk mengetahui peran produksi jambu mente terhadap pendapatan petani. Hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani jambu mente di Daerah Istimewa Jogyakarta terbagi atas dua bentuk yaitu monokultur dengan rata-rata pendapatan kotor Rp 156.972,72/kk/tahun dan polikultur dengan rata-rata pendapatan Rp 65.462,81/kk/tahun.
Proporsi pendapatan usahatani jambu mete di kabupaten
Gunung Kidul 37,69 % dari usahatani lainnya, sedangkan di kabupaten Bantul peran usahatani jambu mente lebih besar yaitu 87,70 %. Penelitian mengenai analisis usahatani jambu mente juga kembali dilakukan oleh Rosmeilisa dan Yuhono (2001).
Penelitian ini dilakukan di daerah sentra
produksi dengan mengambil lokasi di Jawa Timur. Populasi 100 tanaman/ha (10m x 10m), usahatani jambu mente layak dilakukan karena Net present value (NPV) positif (Rp 1.473.100,057), net B/C rasio 11,0, dan IRR 45,34 % lebih tinggi dari bunga. Menurut hasil penelitian Hutzi (2007) tentang analisis pendapatan usahatani dan saluran pemasaran teh perkebunan rakyat, pada perkebunan teh rakyat di kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat, ternyata pendapatan yang diterima petani pada tahun 2003 sudah tidak layak untuk dilaksanakan. Pendapatan usahatani yang diterima atas dasar biaya tunai sebesar Rp. 23.162,- per
25
hektar per bulan. Sedangkan pendapatan usahatani atas dasar biaya total sebesar Rp. 26.448,- per hektar per bulan. Demikian analisis R/C Rasio (2003) atas biaya tunai adalah 1,07 dan atas biaya total sebesar 0,3. Analisis marjin pemasaran menunjukan bahwa marjin pemasaran yang diterima petani memiliki porsi paling rendah. Marjin harga jual yang diperoleh sebesar 25,69 % dan marjin keuntungan sebesar 1,49 %. Farmer share yang diterima petani tertinggi sebesar 41,68 % dan yang terendah sebesar 25,69 %. Wuriyanto (2002), meneliti tentang analisis finansial usahatani dan pemasaran komoditi lada di Desa Giri Mulya, Kecamatan Jabung, Lampung Timur. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa usahatani lada pada desa tersebut dikelola secara non intensif dan pola tanam tumpang sari dengan tanaman lain, sehingga produktivitas tanaman menjadi rendah. Selain itu juga rata-rata pohon lada sudah berumur tua yang seharusnya sudah diremajakan. Berdasarkan analisis kelayakan finansial, usahatani lada layak untuk diusahakan pada tingkat diskonto 16 persen dan 18 persen. Sedangkan analisis sensitivitas, menunjukan usahatani ini sudah tidak layak. Dalam analisis keragaan pasar, memperlihatkan pasar lada yang terbentuk berstruktur oligopsoni dengan tingkat keterpaduan pasar yang tinggi.
Tingginya
tingkat keterpaduan pasar ini disebabkan oleh adanya hubungan (kartel) antara pedagang dengan eksportir.
Dari beberapa hasil penelitian terdahulu, penelitian yang telah dilakukan oleh penulis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah semua penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa komoditas yang bersangkutan profitable baik
26
dari tingkat kelayakan usaha maupun tingkat pendapatan. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada obyek, tujuan dan hasil yang ingin diperoleh.
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Pengertian Usahatani Usahatani adalah Proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan atau sekumpulan orang-orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga, atau pun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan. (Soeharjo dan Patong, 1973). Menurut Mubyarto (1989), usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di suatu tempat dan diperlukan untuk produksi pertanian seperti tanah, air, sinar matahari dan bangunan pertanian.
Pembagian bidang pertanian
terdiri atas dua bagian yaitu usahatani pertanian rakyat dan perusahaan pertanian. Ditinjau dari segi ekonomi, pertanian rakyat sebagai pertanian keluarga (pertanian subsisten atau setengah subsisten) yang umumnya memiliki luas lahan yang sempit, sedangkan perusahaan pertanian adalah usahatani yang sepenuhnya dijalankan secara komersial. Di indonesia, yang dinamakan petani kecil adalah petani yang memiliki ciri sebagai berikut : (1) Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg beras per kapita per tahun; (2) Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa. Bila petani tersebut mempunyai lahan tegal, maka luasnya 0,5 hektar di Jawa dan 1,0 hektar di luar Jawa; (3) Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas;
28
(4) Petani yang memiliki perngetahuan terbatas dan kurang dinamik. (Soekartawi. dkk, 1986). Dari segi ekonomi, ciri yang sangat penting dari petani kecil adalah terbatasnya sumberdaya dasar tempat berusahatani. Pada umumnya mereka hanya menguasai sebidang lahan kecil, kadang-kadang disertai dengan ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahan yang dimiliki sering tidak subur dan terpencar-pencar. Petani memiliki tingkat pendidikan, pengetahuan, dan kesehatan sangat rendah, serta akses terhadap pasar rendah. Hernanto (1991), menyatakan bahwa usahatani adalah setiap organisasi alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri dapat dilaksanakan oleh seseorang atau sekumpulan orang. Dalam hal ini usahatani mencakup pengertian mulai dari bentuk sederhana yaitu hanya untuk kebutuhan keluarga sampai kepada bentuk yang paling modern yaitu mencari keuntungan. Menurut Wharton dalam Hutzi (2007), perbedaan antara usahatani subsisten dengan usahatani modern dilihat
berdasarkan hasil dan tenaga kerja. Usahatani
subsisten akan mengkonsumsi semua hasil produksi dan tenaga kerja yang dipakai dalam berusahatani adalah tenaga kerja yang berasal dari keluarga yang tidak diupah. Sedangkan usahatani modern akan menjual semua hasil produksinya dan mengerjakan kegiatan operasionalnya dengan meggunakan tenaga kerja bayaran. Berdasarkan pengertian di atas, maka usahatani merupakan salah satu sub sistem agribisnis dan menjadi
sentral dalam
agribisnis
yang di dalamnya mencakup
faktor harga output dan input, faktor efisiensi, faktor pengadaan input, faktor
29
pengadaan modal, faktor teknologi budidaya, serta faktor pola tanam dan tumpangsari.
3.1.2. Penerimaan Usahatani Penerimaan tunai usahatani (farm receipt) didefenisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pegeluaran tunai usaha tani (farm payment) adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. (Soekartawi. dkk, 1986). Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, sedangkan pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Penerimaan tunai usahatani tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani. Demikian juga, pengeluaran tunai usaha tani tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok. Penerimaan tunai dan pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup yang berbentuk benda. Dengan demikian, nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai usahatani dan nilai kerja yang dibayar dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani.
Penerimaan tunai
usahatani yang tidak berasal dari penjualan produk usahatani, seperti pinjaman tunai, harus ditambahkan, dan pengeluaran tunai usahatani yang tidak ada kaitannya dengan pembelian barang dan jasa, seperti bunga pinjaman dan uang pokok, harus dikurangkan (Soekartawi. dkk.,1986).
30
3.1.3. Konsep Biaya Biaya (Cost) merupakan pengeluaran atau pengorbanan yang dapat menimbulkan pegurangan terhadap manfaat yang kita terima (Suyanto,dkk. 2001). Pembiayaan merupakan salah satu aspek paling menentukan dalam pengembangan usaha. Pembiayaan agribisnis dapat diperoleh dari modal sendiri atau meminjam dari beberapa sumber keuangan, seperti pemodal perorangan, lembaga keuangan dan bank (Krisnamurthi, 2001). Macam-macam biaya yang biasanya diperlukan dalam suatu usaha/proyek diantaranya adalah Biaya investasi (tanah, bangunan dan tanaman, ); Biaya Operasional (Bahan baku dan tenaga kerja); dan biaya lainnya (pajak, bunga, biaya tak terduga, reinvestasi dan biaya pemeliharaan). Menurut kasmir dan Jakfar (2007), sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan investasi dapat digunakan dari modal sendiri atau modal pinjaman atau kombinasi dari keduanya. Sumber pembiayaan untuk usahatani jambu mente di Kabupaten Flores Timur umumnya berasal dari
modal sendiri seperti
tanah,
bangunan, bahan baku, tenaga kerja dan biaya operasional lainnya. Sementara modal tanaman berasal dari sumbangan berupa proyek pemerintah yang bersifat hibah/tidak ada sistem pengembalian. (Soekartawi. 1986), mendefinisikan pengeluaran total usahatani sebagai nilai semua masukan yang dikeluarkan dan habis terpakai di dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani. Pengeluaran total usaha tani terdiri dari pengeluaran tetap dan pengeluaran tidak tetap. Pengeluaran tidak tetap (Variable cost), adalah pengeluaran yang digunakan untuk usahatani tertentu yang nilainya berubah-ubah dan sebanding dengan besarnya skala
31
usaha.
Pengeluaran tetap (fixed cost) adalah pengeluaran usahatani yang tidak
bergantung pada besarnya produksi. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan pengeluaran tidak tunai. Konsep biaya relevan sangat berkaitan dengan konsep produk. Menurut Lipsey et. all. (1995), Biaya total (total cost=TC) adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (total fixed costs = TFC) dan biaya variabel total (total variable costs = TVC). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah; biaya ini akan sama besarnya kendati output adalah 1 unit atau I juta unit. Biaya seperti ini sering disebut biaya overhead atau biaya yang tak dapat dihindari (unavoidable cost).
Biaya variabel adalah biaya yang berubah-ubah.
Biaya ini
berkaitan langsung dengan output, yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi. Biaya variabel juga disebut biaya yang dapat dihindari (avoidable cost) Biaya marjinal (marjinal cost = MC), adalah kenaikan biaya total yang disebabkan oleh meningkatnya laju produksi sebesar satu unit. Karena biaya tetap tidak berubah dengan output, biaya marjinal akan selalu nol.
Karena itu, biaya
marjinal jelas merupakan biaya variabel marjinal dan berubahnya biaya tetap tidak akan mempengaruhi biaya marjinal.
3.1.4. Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani adalah keuntungan yang diperoleh petani setelah mengurangkan biaya yang diperuntukan selama proses produksi dengan penerimaan
32
usahatani. Tujuan utama dari analisis pendapatan adalah menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. (Soeharjo dan Patong, 1973). Menurut Hernanto (1991), Pendapatan usahatani adalah balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal, dan jasa pengolahan. Pendapatan usahatani tidak hanya berasal dari kegiatan produksi saja, tetapi dapat juga diperoleh dari menjual unsur-unsur produksi, menyewakan lahan dan lain sebagainya. Soekartawi, dkk. (1986) mengelompokan Pendapatan usahatani menjadi pendapatan tunai dan pendapatan total. Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan biaya tunai usahatani. Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, sedangkan pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan total dengan total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi, dimana semua input milik keluarga diperhitungkan sebagai biaya produksi.
3.1.5. Efisiensi Usahatani Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara hasil yang diperoleh (output) terhadap nilai masukan (input). Menurut Mubyarto (1989), istilah efisiensi produksi adalah banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input).
33
Kegiatan usahatani yang dijalankan harus diukur berdasarkan tingkat efisiensinya. Salah satu ukuran efisiensi usahatani adalah rasio imbangan antara penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan (R/C rasio). R/C rasio menunjukan berapa besar penerimaan yang diperoleh petani untuk setiap biaya yang dikeluarkan dalam melakukan kegiatan usahatani. Dalam melakukan kegiatan usahatani diperlukan dua keterangan pokok, antara lain keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama satu periode produksi sesuai jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan merupakan total nilai produk yang dijalankan, yaitu hasil kali dari jumlah fisik output dengan harga yang terjadi (QxP).
Sedangkan pengeluaran atau biaya adalah semua pengorbanan
sumberdaya ekonomi yang diperlukan untuk menghasilkan sesuatu produk dalam satu periode produksi. Efisiensi usahatani dapat dilihat dari nilai R/C yang diperoleh. Suatu kegiatan usahatani dikatakan efisien dan menguntungkan, apabila nilai R/C yang diperoleh lebih dari satu.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Jambu mente (Anacardium Occidentale L.) merupakan komoditas unggulan kabupaten Flores Timur. Tanaman ini sudah dikenal masyarakat pada era tahun 70an. Tanaman ini pertama ditanam di kecamatan Tanjung Bunga. Sejak beberapa tahun lalu hingga saat ini, sebagian besar petani masih mengandalkan usaha ini sebagai usaha pokok dalam menunjang perekonomian keluarga selain tanaman pangan dan hortikultura.
34
Seluruh areal penanaman jambu mente di Flores Timur adalah milik petani (perkebunan rakyat). Dalam melakukan kegiatan budidaya (on farm), biasanya petani menerapkan sistem budidaya yang sederhana / konvensional dengan input luar rendah (low input).
Di lain pihak harga input produksi di pasar cenderung meningkat,
sementara harga produk cenderung rendah dan berfluktuatif. Hasil panen gelondong mente pada umumnya tidak berkualitas bahkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini menyebabkan produksi dan produktivitas tanaman relatif rendah.
Luas areal
penanaman jambu mente berbeda-beda untuk setiap petani. Pada umumnya luas areal penanaman jambu mente berkisar antara 0,5 ha – 2,0 ha, dengan status kepemilikan lahan milik sendiri.
Luas areal yang berbeda untuk setiap petani jambu mente
berkonsekuensi pada penerimaan hasil produksi yang berbeda pula. Usahatani jambu mente di kabupaten Flores Timur layak untuk dilaksanakan dan diupayakan untuk terus dikembangkan dari kondsi saat ini. Upaya yang perlu dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan petani adalah penataan sistem usahatani pada setiap tingkatan usahatani, penguatan kelembagaan pada tingkat petani, serta membangun kerja sama yang sinergis antar stakeholder. Selain itu, faktor lain yang perlu diketahui dalam pengusahaan jambu mente adalah efisiensi dalam penggunaan input produksi agar petani bisa memperoleh keuntungan sesuai yang diharapkan. Skema pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini :
35
PETANI JAMBU MENTE FLORES TIMUR
- Penerapan teknik budidaya secara sederhana / konvensioonal - Harga input tinggi - Harga jual produk rendah dan berfluktuatif - Produktivitas rendah - Kualitas / mutu rendah
Kondisi Usahatani Saat Ini Analisis Usahatani
Analisis Penerimaan
Penerimaan Tunai
Analisis Biaya
Penerimaan Total
Biaya Tunai
Biaya Diperhitungkan
Biaya Total
Pendapatan Tunai
Pendapatan Total
Efisiensi Usahatani
R/C Total
R/C Tunai
REKOMENDASI
Gambar 2. Skema Alur Pemikiran Operasional
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada petani jambu mente swadaya (perkebunan rakyat) di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja
(purposive), dengan pertimbangan kecamatan tersebut adalah sentra produksi jambu mente di Kabupaten Flores Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Pelaksanaan penelitian berlangsung pada bulan Maret sampai April 2008.
4.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling yaitu dengan menggunakan sampel petani jambu mente swadaya di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga sebanyak 40 orang dari total keseluruhan populasi sebanyak 322 petani. Simple Random sampling adalah pemilihan sampel yang dilakukan secara acak sederhana, dimana untuk mendapat 40 petani responden, keseluruhan populasi (322 petani) diundi secara acak. Metode simple random sampling dipilih dengan pertimbangan bahwa kondisi usahatani jambu mente di desa Ratulodong seragam atau homogen dalam hal teknik budidayanya. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan petani, observasi serta pengisian kuisioner oleh petani sampel. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas
37
Pertanian dan Peternakan, Dinas kehutanan dan Perkebunan, Badan Pusat Statistik, serta instansi lain yang terkait. Berbagai data dan sumbernya yang diambil dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini :
Tabel 6. Kebutuhan Data dan Sumbernya Jenis Data Data Kuantitatif • Total Penerimaan (TR) • Total Biaya (TC) • Harga Input Produksi • Hasil produksi mente gelondongan selama satu tahun • Harga jual mente gelondong / kg • Hasil penjualan selama satu tahun (kg) Data Kuantitatif • Karakteristik petani jambu mente • Tujuan petani dalam berusahatani • Monografi desa Ratulodong
4.3.
Sumber Data
Petani Petani Petani/Pedagang Petani Petani/Pedagang Petani
Petani Petani Instansi
Metode pengolahan dan Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode derkriptif dengan
pendekatan kasus. Dengan metode ini data diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui kondisi yang dialami petani saat ini dalam melakukan sistem budidaya jambu mente. Analisis kuantitatif yang dipilih adalah analisis pendapatan usahatani, dan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Ratio) dan analisis efisiensi usahatani. Untuk menghitung pendapatan petani jambu mente secara monokultur, dilakukan tabulasi sederhana dengan menghitung pendapatan usahatani jambu mente atas biaya
38
tunai dan pendapatan usahatani jambu mente atas biaya total. Dari hasil analisis pendapatan yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Rasio) atas biaya tunai dan atas biaya total untuk melihat tingkat efisiensi usahatani.
4.4. Analisis Usahatani Analisis usahatani pada hakekatnya adalah alat yang digunakan untuk mengukur keberhasilan dari suatu usahatani. Tujuan dilakukan analisis usahatani adalah untuk melihat keragaan suatu kegiatan usahatani. Beberapa alat analisis yang dapat digunakan untuk melihat keragaan kegiatan usahatani adalah sebagai berikut :
4.4.1. Analisis Pendapatan usahatani Gittinger (1986), mengatakan bahwa analisis pendapatan usaha pertanian pada umumnya digunakan untuk mengevaluasi kegiatan suatu usaha pertanian dalam periode satu tahun. pertanian.
Tujuannya adalah membantu perbaikan pengolahan usaha
Yang digunakan adalah harga berlaku, kemudian penyusutan
diperhitungkan pada tahun tersebut untuk investasi modal yang umur penggunaannya cukup lama. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok yaitu keadaan penerimaan dan pengeluaran selama usahatani dijalankan dalam waktu yang ditetapkan. Penerimaan merupakan total nilai produk yang dijalankan yang merupakan hasil perkalian antara jumlah fisik output dengan harga atau nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani (Q x P). Penerimaan usahatani ini
39
tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani. Sedangkan pengeluaran (biaya) adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi kegiatan usahatani. Pengeluaran ini tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pokok pinjaman.
Penerimaan dan pengeluaran usahatani tidak mencakup yang
berbentuk benda. Jadi nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan dan nilai kerja yang dibayar dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran usahatani. (Soekartawi, 1985). Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk menghitung pendapatan usahatani, terlebih dahulu melakukan pencatatan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran usahatani dalam satu periode produksi. Data pengeluaran dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Kemudian dilakukan perhitungan pendapatan usahatani atas biaya tunai dan perhitungan pendapatan usahatani atas biaya total. Secara matematis, analisis pendapatan usahatani dapat dirumuskan sebagai berikut : π = NP - BT – BD Dimana : π
= Pendapatan (Rp)
NP
= Nilai Produksi (hasil kali produk dengan harga = QxP)
BT
= Biaya Tunai Usahatani (Rp)
BD
= Biaya yang Diperhitungkan (Rp)
NP – BT
= Pendapatan atas biaya tunai (Rp)
NP – (BT + BD) = Pendapatan atas biaya total (Rp) Sumber : Soekartawi, 1985
40
4.4.2. Analisis Imbangan penerimaan dan Biaya (R/C Ratio) Analisis biaya digunakan untuk menghitung besarnya nominal uang yang dikeluarkan petani dalam usaha budidaya jambu mente. Biaya diperlukan antara lain untuk upah tenaga kerja, bibit, pupuk, pestisida, pengadaan sarana produksi pertanian, dan lain-lain.
Semakin besar luas lahan untuk penanaman jambu mente,
semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Rasio Penerimaan atas biaya produksi adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan relatif suatu usahatani. Rasio penerimaan atas biaya menunjukan seberapa besar penerimaan yang diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam produksi usahatani.
Dari angka rasio penerimaan atas biaya
tersebut dapat diketahui apakah suatu kegiatan usahatani dijalankan menguntungkan atau tidak (Soeharjo dan Patong, 1973). Dalam analisis ini, akan diuji seberapa jauh setiap rupiah yang dikeluarkan untuk suatu usahatani dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan yang diperoleh sebagai manfaatnya. Suatu usahatani dapat dikatakan layak dan menguntungkan apabila nilai R/C yang diperoleh lebih besar dari satu. Dan sebaliknya usahatani dikatakan belum menguntungkan atau tidak layak apabila R/C kurang dari satu. (Soeharjo dan Patong, 1973). Menurut Soekartawi (1985), Analisis imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk melihat efisiensi dan kelayakan dari usahatani suatu komoditi pertanian. Nilai R/C ratio dihitung dengan membandingkan penerimaan total dengan biaya total. Secara matematis, nilai R/C ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :
41
Total Penerimaan Rasio R/C
=
Atas biaya tunai
Rasio R/C Atas biaya total
Dimana : Y
Y x Py =
Total Biaya Tunai
BT
Total Penerimaan
Y x Py
=
= Total Biaya Total
(BT +BD)
= Total Produksi (kg)
Py = Harga jual Produk (Rp) BT = Biaya Tunai (Rp) BD = Biaya Diperhitungkan (Rp) Sumber : Soekartawi, 1985
Jika R/C > 1, maka usahatani yang dilakukan memberikan penerimaan lebih besar daripada pengeluaran dan secara finansial efisien dan layak untuk dikembangkan. Jika R/C < 1, maka penerimaan usahatani lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga secara finansial usaha ini sudah tidak efisien dan tidak layak untuk dikembangkan. Dan Jika R/C = 1, maka penerimaan yang diperoleh sama dengan biaya yang dikeluarkan.
Hal ini secara finansial usahatani yang
dijalankan tidak memberikan keuntungan maupun kerugian (impas).
Berikut
disajikan metode yang digunakan dalam perhitungan pendapatan usahatani jambu mente, dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini :
42
Tabel 7. Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Jambu Mente A. Penerimaan Usahatani A.1. Produksi yang dijual (A1) (A2) A.2. Harga Satuan Produksi (A1 x A2) = (A3) A.3. Total Penerimaan B. Biaya Usahatani B.1. Biaya Tunai a. Biaya Sarana Produksi 1) Benih/Bibit 2) Pupuk 3) Pestisida/Obat-obatan b. Upah Tenaga Kerja c. Sewa Lahan d. Biaya Lain-lain Total Biaya Tunai (B1) B.2. Biaya Diperhitungkan a. Nilai Penyusutan Alat-Alat Pertanian b. Nilai Tenaga Kerja Keluarga Total Biaya Diperhitungkan (B2) C. Biaya Total (B1) + (B2) = (C) D. Pendapatan Atas Biaya Tunai (A3) – (B1) E. Pendapatan Atas Biaya Total (A3) – (C) F. Pendapatan Tunai (A1) – (B1) G. R/C Rasio Atas Biaya Tunai (A3) / (B1) H. R/C Atas Biaya Total (A3) / (C)
BAB V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Kondisi Geografis dan Wilayah Administrasi Kabupaten Flores Timur terletak di ujung timur pulau Flores Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara Geografis wilayah Kabupaten Flores Timur terletak diantara 8º,04’ LS - 8º,40’ LS dan 122º,38’ BT - 123º,57’ BT. Secara administratif wilayah Kabupaten Flores Timur dibatasi oleh : - Utara berbatasan dengan Laut Flores - Selatan berbatasan dengan Laut Sawu - Timur berbatasan dengan Kabupaten Lembata - Barat berbatasan dengan Kabupaten Sikka Luas Wilayah Kabupaten Flores Timur adalah 1.812,85 Km², yang keseluruhannya terbagi dalam 13 kecamatan, dengan 201
buah desa dan 17
kelurahan. Jumlah penduduk terhitung akhir tahun 2006 adalah sebanyak 223.885 jiwa, dengan kepadatan penduduknya sebesar 123,50 jiwa / km². Kabupaten Flores Timur terdiri dari 3 pulau yaitu Flores Timur Daratan, Solor dan Adonara, dimana sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani (70 persen), 20 persen nelayan dan 10 persen lainnya adalah pedagang, pengusaha, pegawai negeri dan lain- lain. Wilayah kecamatan terluas diantara 13 kecamatan yang ada di Kabupaten Flores Timur adalah Kecamatan Tanjung Bunga yang merupakan lokasi penelitian, dan wilayah kecamatan yang paling sempit adalah Kecamatan Ile Boleng. Wilayah administratif Kabupaten Flores Timur dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini :
44
Tabel 8. Pembagian Wilayah Administratif Kabupaten Flores Timur No
Kecamatan
LuasDaerah(Km²)
1. 2. 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Wulan Gitang Titehena Tanjung Bunga Ile Mandiri Larantuka Solor Barat Solor Timur Wotanulumado Adonara Barat Adonara Timur Ile Boleng Witihama Klubagolit
304,49 211,70 343,16 74,24 133,28 150,68 75,66 75,81 113,96 108,94 51,39 77,97 91,57
Jumlah
Ibu Kota Kecamatan
Jumlah Desa
Jumlah Kelurahan
15 11 19 8 8 17 19 11 28 17 16 13 19
14 1 2 -
201
17
Boru Lato Waiklibang Lewohala Larantuka Ritaebang Menanga Baniona Waiwadan Waiwerang Senadan Witihama Pepakkelu
1.812,85
Sumber : BPS. Flores Timur Dalam Angka (2006/2007), Diolah
5.2. Topografi Pada umumnya kondisi topografi di wilayah Kabupaten Flores Timur adalah berbukit-bukit, sedikit landai dan datar. Ditinjau dari sisi geologis ternyata bahwa periode pembentukan masing-masing pulau di kabupaten Flores Timur sangat bervariasi. Sebagian pulau seperti Flores Daratan dan Adonara, ternyata kejadian geologisnya terbentuk dari vulkanik yang berada pada gugusan gunung berapi. Keadaan topografi di suatu wilayah sangat penting untuk diketahui. Hal ini akan bermanfaat dalam penentuan kesesuaian lahan bagi jenis tanaman yang akan dibudidayakan.
45
5.2.1. Ketinggian Tempat Wilayah Kabupaten Flores Timur terbentang mulai dari pesisir pantai hingga ke daerah pegunungan. Ketinggian tempat di Kabupaten Flores Timur bervariasi mulai dari 0m hingga di atas 500m di atas permukaan laut. Perbedaan ketinggian tempat dari permukaan laut sangat mempengaruhi perubahan suhu di setiap wilayah. Ketinggian tempat pada suatu wilayah merupakan syarat mutlak bagi penentuan jenis usaha pertanian apa yang cocok sesuai persyaratan tumbuhnya.
Perincian luas
wilayah menurut ketinggian tempat dari permukaan laut dan prosentasinya dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini :
Tabel 9. Perincian Luas Wilayah Menurut Ketinggian Dari Permukaan Laut Serta Prosentasinya di Kabupaten Flores Timur Luas Ketinggian di Atas Permukaan Laut No Kecamatan Wilayah (Ha) 0-25 m 25-100 m 100-500 m > 500 m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Wulan Gitang Titehena Tanjung Bunga Ile Mandiri Larantuka Solor Barat Solor Timur Wotanulumado Adonara Barat Adonara Timur Ile Boleng Witihama Klubagolit
3.255 2.778 5.234 2.825 1.013 2.144 1.568 1.405 939 1.473 712 1.403 1.040
3.712 3.167 6.355 2.554 916 4.240 1.936 1.652 1.105 2.495 1.240 2.442 1.812
12.235 10.438 18.503 11.253 4.035 8.124 3.677 6.084 4.067 5.871 2.918 5.745 4.261
3.469 2.959 3.233 4.065 1.458 560 385 3.027 2.024 934 469 924 684
22.671 19.842 33.325 20.697 7.422 14.068 7.566 12.168 8.135 10.782 5.339 10.514 7.797
Jumlah 25.789 33.626 97.211 24.191 180.326 Prosentase (%) 14,3 18,6 53,9 13,4 Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Flores Timur, 2008
46
5.2.2. Tingkat Kemiringan Kemiringan tanah (lereng) pada suatu wilayah sangat berperan dalam penentuan pola tanam apa yang harus diterapkan dalam budidaya tanaman. Pemanfaatan lahan pada daerah berlereng berbeda-beda sesui dengan prosentasi kemiringan tanah.
Hal ini berguna bagi penentuan titik pada garis kontur saat
membuat guludan. Semakin tinggi prosentasi kemiringan tanah, jarak antar guludan harus semakin dekat. Hal ini terkait dengan upaya untuk menahan laju erosi disaat musim penghujan.
Luas lahan menurut tingkat kemiringan/lereng di Kabupaten
Flores Timur disajikan pada Tabel 10 berikut ini :
Tabel 10. Perincian Luas Menurut Kemiringan Tanah / Lereng di Kabupaten Flores Timur Luas Tingkat Kemiringan Tanah No Kecamatan Wilayah (Ha) 0-3 % 3-12 % 12-40 % > 40 % 22.671 4.228 11.834 3.759 2.850 Wulan Gitang 1 19.842 3.607 10.097 3.207 2.431 Titehena 2 33.325 7.242 18.025 5.799 2.232 Tanjung Bunga 3 20.697 4.709 9.446 4.787 1.755 Ile Mandiri 4 7.422 1.689 3.387 1.717 629 Larantuka 5 14.068 6.512 471 2.767 4.318 Solor Barat 6 7.566 3.329 4.212 25 Solor Timur 7 12.168 7.079 2.567 1.826 596 Wotanulumado 8 8.135 4.733 1.783 1.221 398 Adonara Barat 9 10.782 6.627 2.132 1.506 478 10 Adonara Timur 5.339 3.294 1.058 749 238 11 Ile Boleng 10.514 6.486 2.086 1.474 468 12 Witihama 7.797 4.810 1.547 1.098 347 13 Klubagolit Jumlah 16.740 29.935 68.672 64.345 180.326 Prosentase (%) 9,28 16,60 38,02 35,68 Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Flores Timur, 2008
47
Dari Tabel 10 terlihat bahwa daerah dengan tingkat kemiringan sebesar 0 - 3 persen relatif lebih kecil yaitu seluas 16.740 ha atau sebesar 9,28 persen, sedangkan daerah dengan tingkat kemiringan 3 - 12 persen seluas 29.935 ha atau sebesar 16,60 persen. Daerah ini diperuntukan bagi tanaman semusim. Untuk tanaman perkebunan diprioritaskan pada daerah dengan tingkat kemiringan 12 - 40 persen dengan jumlah lahan yang tersedia sebesar 68.672 ha atau 38,02 persen.
5.3. Iklim dan Curah Hujan Pada umumnya Kabupaten Flores Timur merupakan daerah yang beriklim kering dimana jumlah bulan kering antara 6 - 8 bulan, dan bulan basah sekitar 4 - 6 bulan.
Musim hujan biasanya berlangsung pada bulan Nopember sampai bulan
Maret, sedangkan musim kemarau berlangsung antara bulan Maret sampai bulan Nopember. Klasifikasi iklim di Kabupaten Flores Timur dan rata-rata curah hujan 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12 masing-masing berikut ini :
Tabel 11. Klasifikasi Iklim di Kabupaten Flores Timur Kecamatan Type Iklim Keterangan Wulan Gitang*) D3 dan E4 Sedang s/d kering Larantuka*) E4 Agak kering Tanjung Bunga E4 Agak kering Solor Barat E4 Agak kering Solor Timur F Kering Adonara Barat*) D3 dan E4 Sedang s/d kering Adonara Timur*) D3 dan E4 Sedang s/d kering * Termasuk kecamatan yang baru dimekarkan dari kecamatan induk Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Flores Timur, 2008
48
Tabel 12. Rata-rata Curah Hujan Bulanan dalam 5 Tahun Terakhir di Kabupaten Flores Timur Tahun 2003 - 2007 Curah Hujan (mm) Hari Hujan (hh) Bulan / Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
216 79 100 24 85 13 2 0 0 33 47 125
376 663 303 132 49 2 58 129 348
748 700 716 174 1 11 1 211 121 392
617 361 287 150 29 0 1 1 384
208 349 506 197 42 45 0 2 6 328 342
14 6 12 5 7 2 0 0 4 5 7 13
13 22 13 6 5 0 1 4 11
12 12 16 8 1 6 9
19 12 14 10 3 0 0 0 0 1 10
11 9 14 6 2 3 0 0 1 6 11
Jumlah
724
2.060
3.075
1.830
2.025
75
75
64
69
63
Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Flores Timur (2008), Diolah
Dari Tabel 12 terlihat bahwa rata-rata curah hujan bulanan tertinggi dalam 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 3.075mm, dengan jumlah hari hujan sebanyak 64 hari. Rata-rata jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada tahun 2003 dan 2004 sebanyak 75 hari dengan intensitas hujan sebesar 724 mm dan 2.060 mm. Rata-rata curah hujan bulanan terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 724 mm. Rata-rata jumlah hari hujan terendah terjadi pada tahun 2007 dengan intensitas hujan sebesar 2.025 mm.
Kondisi curah hujan akan mempengaruhi
keragaan proses pembungaan dan pembuahan jambu mente. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan bermutu, biasanya pada musim pembungaan dan pembuahan cuaca harus benar-benar panas. Apabila terjadi turun hujan pada fase ini, maka produksi mente akan gagal akibat banyak bunga yang mati dan gugur, sedangkan bunga yang berhasil menjadi bakal buah memiliki mutu panen
49
yang kurang baik karena gelondong mente yang dipanen memiliki kadar air yang tinggi.
5.4. Demografi Dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh BPS. Flores Timur Dalam Angka, (2006/2007), jumlah penduduk di Kabupaten Flores Timur terhitung akhir tahun 2006 sebesar 223.885 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 123,50 jiwa / km². Hal ini menunjukan bahwa tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Flores Timur masih tergolong normal. Di Kecamatan Tanjung Bunga sendiri yang menjadi tempat penelitian, memiliki jumlah penduduk sebesar 18.980 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduknya sebesar 55,31 jiwa / km² terhitung pada akhir tahun 2006. Ada pun jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk dirinci per kecamatan di Kabupaten Flores Timur akan disajikan pada Tabel 13 di bawah ini :
Tabel 13. Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Timur Tahun 2007 No 1. 2. 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kecamatan Wulan Gitang Titehena Tanjung Bunga Ile Mandiri Larantuka Solor Barat Solor Timur Wotanulumado Adonara Barat Adonara Timur Ile Boleng Witihama Klubagolit Jumlah
Luas Daerah (Km²) 304,49 211,70 343,16 74,24 133,28 150,68 75,66 75,81 113,96 108,94 51,39 77,97 91,57 1.812,85
Flores
Jumlah Penduduk
Kepadatan Per Km²
19.263 11.538 18.980 8.879 35.377 12.502 14.592 7.832 21.474 25.170 14.052 14.318 19.908 223.885
63,26 54,50 55,31 119,60 265,43 82,97 192,86 103,31 188,43 231,04 273,44 183,63 217,41 123,50
Sumber : BPS. Flores Timur Dalam Angka, 2006/2007
50
5.5. Profil Sektor Pertanian Pembangunan di sektor pertanian pada dasarnya merupakan suatu proses yang terus-menerus dan berkelanjutan. Reorientasi pembangunan pertanian diarahkan untuk mengembangkan sistem dan usaha agribisnis berbasis pendayagunaan dan pemberdayaan sumberdaya lokal (local recourses based). Di Kabupaten Flores Timur usaha di sektor pertanian tetap menjadi sektor andalan masyarakat dan
merupakan sumber pendapatan utama bagi pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Sektor pertanian yang ada di kabupaten Flores Timur mencakup pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, serta produksi hasil hutan. Penyebarannya berbeda-beda dan menyebar di setiap wilayah dengan kesesuaian lahan dan iklim yang berbeda-beda untuk setiap komoditas. Berkaitan dengan sub sektor perkebunan, petani di Kabupaten Flores Timur telah mengusahakan berbagai jenis komoditas seperti, kelapa, kopi, cengkeh,
kakao,
jambu mente, kemiri, pinang, kapuk, pala, lada, jarak pagar, dan lain-lain. Perkembangan produksi komoditas perkebunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir berfluktuatif. Ada pun luas areal dan produksi beberapa komoditas perkebunan di Kabupaten Flores Timur dirinci menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini :
51
Tabel 14. Luas Areal dan Produksi Beberapa Komoditi Perkebunan di Kabupaten Florers Timur Tahun 2007 Luas Areal Tanam (Ha) Produksi Komoditi Belum Sudah Jumlah (Ha) (Ton) Menghasilkan Menghasilkan 2.305,45 Kelapa 8.442,67 10.748,12 9.655,04 Kopi 198,60 2.960,88 3.159,48 339,09 Cengkeh 26,42 396,41 422,83 25,77 Kakao 1.823,06 2.055,53 3.878,59 622,57 16.388,96 11.945,53 28.334,49 8.190,47 Jambu Mente 2.183,71 1.245,29 3.249,00 746,43 Kemiri Pinang 100,37 119,89 220,26 36,92 Kapuk 35,83 268,29 304,12 45,45 102,70 59,55 162,25 29,65 Pala 22,24 21,66 43,90 15,88 Lada 130,31 79,05 209,36 32,20 Vanili Jarak Pagar 272,08 272,08 Sumber : BPS. Flores Timur Dalam Angka (2006/2007), Diolah
Berdasarkan Tabel 14 tercatat bahwa dari semua komoditi perkebunan yang diusahakan petani di Kabupaten Flores Timur, jambu mente merupakan komoditas dengan luas lahan pengusahaan terbesar.
Hal ini menunjukan bahwa komoditas
jambu mente merupakan sektor andalan petani di Kabupaten Flores Timur. Data tentang komoditi jambu mente di Kabupaten Flores Timur dirinci per kecamatan disajikan pada Tabel 15 berikut ini :
52
Tabel 15. Luas Areal dan Produksi Jambu Mente Dirinci Menurut Kecamatan di Kabupaten Flores Timur Tahun 2007 Luas Areal Tanam (Ha) No Kecamatan Belum Sudah Jumlah (Ha) Produksi (Ton) Menghasilkan Menghasilkan 1. Wulan Gitang 2.964,63 7.344,89 1.914,06 4.380,26 2. Titehena 47,17 1.649,86 1.697,03 1.141,59 3 Tanjung Bunga 2.942,07 2.038,61 4.980,68 1.410,71 4 Ile Mandiri 61,48 313,70 375,18 219,59 3.320,04 984,62 4.304,66 689,23 5 Larantuka 1.178,98 1.491,87 2.670,85 1.044,31 6 Solor Barat 7 Solor Timur 2.517,11 1.327,66 3.844,77 957,27 8 Wotanulumado 47.09 36,74 83,83 29,13 708,26 531,85 1.240,11 368,04 9 Adonara Barat 1.089,09 543,20 1.632,29 372,99 10 Adonara Timur 20,81 20,46 41,27 13,68 11 Ile Boleng 12 Witihama 52,95 13,25 66,20 9,21 13 Klubagolit 23,65 29,08 52,73 20,66 Jumlah 16.388,96 11.945,53 28.334,49 8.190,47 Sumber : BPS. Flores Timur Dalam Angka (2006/2007), Diolah
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Gambaran Umum Desa Ratulodong 6.1.1. Wilayah dan Topografi Desa Ratulodong merupakan sebuah desa di kecamatan Tanjung Bunga yang terletak di pusat kota kecamatan Tanjung Bunga. Desa Ratulodong terdiri dari 6 buah Dusun yaitu Dusun Saoniwan, dusun Pati Hajon, Dusun Deka Harut, Dusun Blili Burak, Dusun Riang Pigang dan Dusun Lama Nabi. Letak desa Ratulodong berada 28 kilometer dari ibu kota kabupaten Flores Timur dan sekitar 1 kilometer dari ibu kota kecamatan Tanjung Bunga. Batas wilayah desa Ratulodong adalah sebagai berikut : - Utara berbatasan dengan Desa Latonliwo, Desa Patisirawalang dan Desa Gekeng Deran - Selatan berbatasan dengan Teluk Hading - Timur berbatasan dengan Desa Sinamalaka, Desa Kolaka dan Desa Lewobunga - Barat berbatasan dengan Desa Sinarhadigala dan Desa Aransina. Desa Ratulodong memiliki areal seluas 2.873,07 hektar yang meliputi perumahan penduduk, lahan pertanian, lahan perkebunan dan kehutanan. Perincian luas wilayah desa Ratulodong, dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini :
54
Tabel 16. Luas Wilayah Desa Ratulodong Menurut Penggunaannya Tahun Tahun 2007 Penggunaan Luas Areal (Ha) Prosentase (%) No 1. Pemukiman Penduduk 23,07 0,80 2. Lahan Pertanian 355,00 12,35 3. Lahan Perkebunan 593,00 20,63 4. Lahan Kehutanan 1.902,00 66,20 Jumlah 2.873,07 100,00 Sumber : Buku Monografi Desa Ratulodong, 2008
Berdasarkan Tabel 16, diketahui bahwa 20,63 % digunakan untuk lahan perkebunan, 12,35 % sebagai lahan pertanian, 0,80 % untuk pemukiman penduduk dan sisanya 66,20 % masih dalam bentuk hutan. Dilihat dari topografi, Desa Ratulodong memiliki iklim tropis dengan keadaan tanahnya datar dan berbukit-bukit. Desa Ratulodong berada pada ketinggian 23,1 meter di atas permukaan laut dengan tingkat curah hujan 1.450,5 mm per tahun. Jenis tanah pada umumnya liat sedikit berpasir, dimana sangat cocok untuk lahan pertanian dan perkebunan. Tanaman pangan yang cocok dikembangkan di daerah ini adalah padi, jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, pisang dan lain-lain. Untuk tanaman perkebunan lebih banyak didominasi oleh jambu mente,
diikuti dengan kelapa,
kakao, kemiri dan kopi.
6.1.2. Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk Desa Ratulodong secara keseluruhan berjumlah 20.037 jiwa, dengan perincian laki-laki 989 jiwa dan perempuan 1.048 jiwa. Dari jumlah tersebut di atas, sebanyak 464 jiwa telah menjadi kepala keluarga. menurut kelompok umur, disajikan pada Tabel 17 berikut ini :
Susunan penduduk
55
Tabel 17. Susunan Penduduk Desa Ratulodong Menurut Kelompok Umur Tahun 2008 Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Prosentase (%) 0-4 238 11,68 5-7 252 12,37 8 - 19 495 24,30 20 - 57 850 41,73 >58 202 9,92 Jumlah 2.037 100,00 Sumber : Buku Monografi Desa Ratulodong, 2008
Susunan penduduk Desa Ratulodong menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 18 berikut ini :
Tabel 18. Susunan Penduduk Desa Ratulodong Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Prosentase (%) Taman Kanak-kanak (TK) 65 10,16 Sekolah Dasar (SD) 347 54,22 SLTP atau sederajat 137 21,40 SLTA atau sederajat 64 10,00 Perguruan Tinggi 27 4,22 Jumlah 640 100,00 Sumber : Buku Monografi Desa Ratulodong, 2008
Penduduk Desa Ratulodong sebagian besar bekerja pada sektor pertanian, baik pada sub sektor perkebunan maupun sub sektor tanaman pangan dan hortikultura. Jumlah penduduk Desa Ratulodong yang bekerja di bidang pertanian sebesar 66,26 persen. Sisanya sebanyak 33,74 persen bekerja di bidang lainnya, diantaranya adalah sebagai nelayan sebanyak 8,23 persen; Pegawai Negeri Sipil (PNS), 11,11 persen; TNI / POLRI, 1,44 persen; Pegawai Swasta, 6,38 persen; serta
56
sebagai supir dan ojeg sebanyak 6,58 persen. Susunan penduduk Desa Ratulodong berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel berikut ini :
Tabel 19. Susunan Penduduk Desa Ratulodong Pencaharian Tahun 2008 Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) No 1. Petani 322 2. Nelayan 40 3. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 54 4. TNI / POLRI 7 5. Pegawai Swasta 31 6. Supir dan Ojeg 32 Jumlah 486 Sumber : Buku Monografi Desa Ratulodong, 2008
Berdasarkan
Mata
Prosentase (%) 66,26 8,23 11,11 1,44 6,38 6,58 100,00
6.2. Karakteristik Responden Karakteristik petani responden yang akan diuraikan berikut ini meliputi umur petani, tingkat pendidikan, status usahatani, pengalamaan berusahatani, jumlah tanggungan dalam keluarga, luas lahan pengusahaan jambu mente, status kepemilikan lahan dan kepemilikan modal. Ada pun karakteristik petani responden tersebut diuraikan masing-masing sebagai berikut :
6.2.1. Umur Petani Jambu Mente Berdasarkan karakteristik umur petani responden di Desa Ratulodong, diketahui bahwa
petani yang berusia antara 31 – 40 tahun memiliki prosentasi
tertinggi yaitu sebanyak 35,0 persen. Petani yang berusia antara 20 – 30 tahun, 17,5 persen; petani berusia 41 – 50 tahun, 32,5 persen; dan jumlah petani yang berusia di atas 50 tahun sebesar 15 persen.
57
Tingginya prosentasi petani berusia 31 – 40 tahun dan berusia 41 – 50 tahun menunjukan bahwa usahatani jambu mente di Desa Ratulodong masih didominasi oleh petani yang produktif. Sementara petani yang sudah tidak produktif dan petani yang kurang bepengalamaan memiliki proporsi paling kecil. Pada umumnya mereka menjalankan usahatani ini karena tidak ada keahlian lain yang dimiliki selain bertani, serta usaha yang sudah turun temurun yang merupakan warisan orang tua mereka. Karakteristik petani jambu mente berdasarkan umur di Desa Ratulodong, disajikan pada Tabel 20 di bawah ini :
Tabel 20. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan umur Petani di Desa Ratulodong Tahun 2008 Umur Petani (Tahun) Jumlah (Orang) Prosentase (%) 20 – 30 7 17,5 31 – 40 14 35,0 41 – 50 13 32,5 > 50 6 15,0 Jumlah 40 100,0 Sumber : Kuisioner Petani Rersponden, Diolah
6.2.2. Tingkat Pendidikan Pada umumnya petani jambu mente di desa Ratulodong yang dijadikan sampel adalah petani yang pernah sekolah bahkan ada yang sampai mengenyam pendidikan pada perguruan tinggi.
Karakteristik petani responden berdasarkan
tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 21 berikut ini :
58
Tabel 21. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Tingkat Pendidikan Petani di Desa Ratulodong Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Prosentase (%) Tidak Tamat SD 1 2,5 SD 15 37,5 SLTP / Sederajat 11 27,5 SLTA / Sederajat 12 30,0 Diploma 1 2,5 Jumlah 40 100,0 Sumber : Kuisioner Petani Rersponden, Diolah
Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani merupakan faktor yang sangat penting dalam pengelolaan usahatani. Dari Tabel 20 diketahui bahwa prosentasi tingkat pendidikan petani responden tertinggi adalah petani yang menamatkan sekolah dasar yaitu sebesar 37,5 persen. SLTP / sederajat sebesar 27,5 persen, SLTA / sederajat sebesar 30,0 persen, sementara petani yang tidak tamat sekolah dasar dan yang telah mengenyam pendidikan diploma masing-masing sebesar 2,5 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani, menunjukan bahwa dalam menjalankan usahatani jambu mente petani lebih berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan dan cenderung mempertimbangkan segala macam resiko yang bakal dihadapi. Sementara tingkat pendidikan petani yang rendah bisa menjadi faktor penghambat dalam mengakses informasi dan teknologi baru yang berkaitan dengan usahatani yang dijalankan.
6.2.3. Status Usahatani Karakteristik petani responden berdasarkan status usahatani yang dijalankan disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa sebagian besar petani
59
responden mengembangkan usahatani jambu mente sebagai usaha pokok. Prosentasi petani responden yang menjalankan usahatani jambu mente sebagai usaha pokok sebesar 87,5 persen.
Sisanya 12,5 persen atau sebanyak 5 petani menjalankan
usahatani jambu mente sebagai usaha sampingan.
Tabel 22. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Status Usahatani di Desa Ratulodong Tahun 2008 Status Usahatani Usaha Pokok
Jumlah (Orang) 35
Prosentase (%) 87,5
Usaha Sampingan
5
12,5
Jumlah
40
100,0
Sumber : Kuisioner Petani Rersponden, Diolah
Tingginya prosentasi petani responden yang menjalankan usahatani jambu mente sebagai usaha pokonya disebabkan karena kondisi agroklimat yang cocok untuk dikembangkan tanaman jambu mente.
Selain itu anggapan petani bahwa
usahatani jambu mente merupakan usaha yang cukup menjanjikan dan produksinya dapat meningkatkan pendapatan petani selain mengusahakan tanaman pangan dan hortikultura dan tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa, kopi, kemiri, kakao. Sementara bagi petani responden yang menjalankan usahatani jambu mente sebagai usaha sampingan disebabkan karena ada pekerjaan lain yang menjadi pekerjaan pokok seperti sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pun pegawai swasta tetapi memiliki lahan sebagai warisan dari orangtua mereka.
60
6.2.4. Pengalamaan Berusahatani Pengalamaan berusahatani merupakan faktor kunci dalam mengembangkan suatu usaha di bidang pertanian. Semakin lama berusahatani pada bidang tertentu, semakin baik dan semakin teliti seorang petani dalam menjalankan proses budidaya. Hal ini terkait dengan usaha untuk meningkatkan hasil produksi dengan sentuhan teknologi baru serta ada upaya dalam meminimalisir kegagalan-kegagalan yang terjadi akibat serangan hama dan penyakit yang berimplikasi pada penurunan hasil produksi akibat gagal panen.
Selain itu juga, petani yang berpengalaman lebih
tanggap terhadap akses pasar sehingga tidak sulit dalam menentukan harga jual produk selama massa panen.
Karakteristik responden berdasarkan pengalamaan
berusahatani dapat dilihat pada tabel 23 berikut ini :
Tabel 23. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Pengalamaan Berusahatani di Desa Ratulodong Tahun 2008 Lama Berusahatani (Tahun) Jumlah (Orang) Prosentase (%) 1–5 3 7,5 6 – 10 8 20,0 11 – 15 15 37,5 16 – 20 9 22,5 > 20 5 12,5 Jumlah 40 100,0 Sumber : Kuisioner Petani Rersponden, Diolah Berdasarkan Tabel 23, terlihat bahwa kebanyakan petani responden di Desa Ratulodong dalam menjalankan usahatani jambu mente memiliki pengalaman di atas 11 – 15 tahun dengan prosentasi sebesar 37,5 persen. Prosentasi pengalamaan petani dalam menjalankan usahatani jambu mente 1 – 5 tahun sebesar 7,5 persen; 6 – 10 tahun sebesar 20,0 persen; 16 – 20 tahun sebesar 22,5 persen. Sedangkan petani yang
61
mempunyai pengalamaan berusahatani di atas 20 tahun sebesar 12,5 persen. Petani yang memiliki pengalamaan berusahatani di atas 20 tahun umumnya berusia di atas 50 tahun bahkan sebagian besar adalah petani yang kurang produktif akibat usia yang semakin tua.
6.2.4. Jumlah Tanggungan keluarga Besar kecilnya jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan seorang kepala keluarga berkaitan dengan besar kecilnya biaya yang akan dikeluarkan oleh kepala keluarga tani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Semakin besar jumlah tanggungan dalam keluarga, semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan
hidup
sehari-hari.
Dari
Tabel
24
terlihat
bahwa
jumlah tanggungan dalam keluarga petani responden berkisar antara 2 – 7
orang.
Jumlah tanggungan terbesar dalam keluarga petani responden adalah
sebanyak 6 – 7 orang dengan prosentase sebesar 42,5 persen. Jumlah tanggungan dalam keluarga petani responden terkecil adalah 2 – 3 orang dengan prosentasi sebesar 17,5 persen. Sedangkan petani responden yang memiliki jumlah tanggungan dalam keluarga sebanyak 4 – 5 jiwa sebesar 40,0 persen.
Karakteristik petani
responden berdasarkan jumlah tanggungan dalam keluarga disajikan pada Tabel 24 berikut.
62
Tabel 24. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Jumlah Tanggungan Dalam Keluarga di Desa Ratulodong Tahun 2008 Tanggungan Dalam Keluarga Jumlah (Orang) Prosentase (%) 2–3 7 17,5 4–5 16 40,0 6–7 17 42,5 >7 Jumlah 40 100,0 Sumber : Kuisioner Petani Rersponden, Diolah
6.2.5. Luas Lahan pengusahaan jambu Mente Luas lahan secara keseluruhan yang dimiliki oleh petani responden di Desa Ratulodong berkisar antara 0,5 – 3,0 ha. Lahan yang digunakan untuk pengusahaan tanaman jambu mente berkisar antara 0,25 – 2,0 ha. Sisa lahan diluar jambu mente yang dimiliki oleh petani responden umumnya digunakan untuk pengusahaan tanaman pangan dan hortikultura serta untuk tanaman perkebunan lainnya. Petani cenderung menanam jambu mente daripada tanaman lainnya karena tanaman jambu mente dianggap lebih produktif dan memberikan pendapatan yang lebih besar daripada tanaman pangan dan hortikultura serta tanaman perkebunan lainnya. Karakteristik petani responden berdasarkan luas lahan dapat dilihat pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Luas Lahan Pengusahaan Jambu Mente di Desa Ratulodong Tahun 2008 Luas Lahan (Ha) Jumlah (Orang) Prosentase (%) 0,25 – 0,50 17 42,5 0,75 – 1,00 18 45,0 1,25 – 1,50 2 5,0 1,75 – 2,00 3 7,5 Jumlah 40 100,0 Sumber : Kuisioner Petani Responden, Diolah
63
Dari Tabel 25 terlihat bahwa pada umumnya luas lahan jambu mente yang dimiliki petani responden adalah antara 0,75 – 1,0 ha dengan prosentasi sebesar 45,5 persen. Luas lahan antara 0,25 – 0,5 ha sebesar 42,5 persen. Untuk luas lahan antara 1,25 – 1,50 ha dan 1,75 – 2,0 ha, masing-masing adalah 5,0 persen dan 7,5 persen.
6.2.6. Status Kepemilikan Lahan Berdasarkan status kepemilikan lahan, terdapat dua kelompok petani, yaitu petani yang menggarap lahannya sendiri yang disebut sebagai petani pemilik dan petani yang menggarap lahan milik orang lain dengan status sewa atau sakap. Karakteristik petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan disajikan pada Tabel di bawah ini : Tabel 26. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Desa Ratulodong Tahun 2008 Status Kepemilikan Lahan Jumlah (Orang) Prosentase (%) Milik Sendiri 40 100,0 Sewa Jumlah 40 100,0 Sumber : Kuisioner Petani Rersponden, Diolah Berdasarkan Tabel 26 terlihat bahwa semua petani responden di Desa Ratulodong adalah petani yang menggarap lahan miliknya sendiri. Semua lahan milik petani merupakan tanah ulayat masyarakat adat yang secara turtun temurun diwariskan dari generasi ke generasi.
Dampak dari status kepemilikan lahan akan
mempengaruhi besarnya tingkat pendapatan petani. Petani yang menggarap lahan sendiri (petani pemilik) tidak akan mengeluarkan biaya untuk sewa lahan sehingga penerimaan yang diperoleh akan menjadi lebih besar, Sedangkan bagi petani
64
penggarap akan mengeluarkan biaya untuk sewa lahan. Biaya yang dikeluarkan untuk sewa lahan akan mengurangi besarnya penerimaan yang diperoleh petani.
6.2.7. Kepemilikan Modal Sumber modal yang digunakan petani jambu mente di Desa Ratulodong pada tahun 2007 adalah modal milik petani sendiri, ada juga yang berasal dari pinjaman. Modal sendiri berasal dari tabungan yang disisihkan petani pada saat musim panen tahun sebelumnya. Hasil penjualan produksi jambu mente tahun sebelumnya selain digunakan Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sebagian disisihkan untuk modal tahun berikutnya. Bagi petani yang memiliki sumber modal pinjaman umumnya merupakan uang kas kelompopk tani yang dipinjamkan kepada anggota kelompok dengan bunga yang relatif lebih rendah. Sistem pengembalian modal pinjaman kelompok tani dilakukan saat penjualan hasil panen tahun berikutnya. Besarnya modal pinjaman biasanya sama untuk petani yang membutuhkan dan jumlahnya pun relatif sedikit. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kredit macet bila petani tidak mampu mengembalikan pinjaman. Modal yang disisihkan biasanya digunakan untuk proses pemeliharaan, terutama untuk biaya pembersihan lahan dan pemangkasan. Karakteristik petani responden berdasarkan kepemilikan lahan disajikan pada Tabel 27 berikut ini :
65
Tabel 27. Karakteristik Responden Petani Jambu Mente Berdasarkan Status Kepemilikan Modal di Desa Ratulodong Tahun 2008 Prosentase (%) Status Kepemilikan Modal Jumlah(Orang) Milik Sendiri 31 77,5 Pinjaman 9 22,5 Jumlah 40 100,0 Sumber : Kuisioner Petani Rersponden, Diolah
Berdasarkan Tabel 27 diketahui bahwa petani responden yang memiliki modal sendiri yang digunakan untuk proses pemeliharaan tanaman sebanyak 31 orang dengan prosentasi sebesar 77,5 persen.
Sedangkan Petani responden yang
menggunakan sumber modal pinjaman dari kelompok tani sebanyak 9 orang dengan prosentasi sebesar 22,5 persen.
6.3. Deskripsi Kondisi Usahatani Jambu Mente Sistem usahatani jambu mente di Desa Ratulodong dilakukan secara monokultur.
Kondisi tanaman jambu mente yang menyebar di wilayah Desa
Ratulodong sesungguhnya sudah berbentuk hutan mente. Kondisi ini terjadi karena hampir seluruh lahan pengusahaan jambu mente didominasi oleh pohon jambu mente yang sudah berumur di atas 15 tahun. Pada dasarnya pola tanam yang diterapkan adalah pola tanam yang begitu rapat yaitu mulai dari 2m x 2m hingga 4m x 4m. Dalam penerapan pola tanam dengan memperhatikan sistem budidaya yang sebenarnya, maka jarak tanam yang ada saat ini sudah di luar sistem teknik budidaya jambu mente yang sesungguhnya. Penanaman jambu mente dengan jarak tanam yang rapat pada awalnya merupakan realisasi proyek kehutanan dimana tujuan penanaman saat itu adalah rehabilitasi lahan kritis di Kabupaten Flores Timur.
66
Pengembangan usaha jambu mente di lokasi penelitian sampai saat ini dilakukan secara sederhana dan pegelolaanya dilakukan secara tradisional. Sistem pemeliharaan yang dilakukan petani setempat setiap tahunnya hanya sebatas penyiangan atau pembersihan lahan di sekitar tanaman yang dilakukan satu kali sampai dua kali dalam setahun. Sentuhan teknologi seperti penggunaan pupuk dan pestisida sebagai upaya peningkatan hasil produksi tidak dilakukan oleh petani. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan bahwa kegiatan usahatani jambu mente di lokasi penelitian saat ini sangat tergantung pada kondisi alam setempat dengan penggunaan input produksi sangat rendah (Low Input). Deskripsi usahatani jambu mente di Desa Ratulodong saat ini meliputi penggunaan input produksi usahatani jambu mente
proses Buididaya serta output usahatani. Deskripsi
selama tahun 2007 meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
berikut :
6.3.1 Penggunaan Input Produksi Pada dasarnya pengembangan usahatani jambu mente di Desa Ratulodong tergolong usahatani yang dikembangkan secara tradisional dengan masukan input luar rendah (usahatani input rendah). Hal ini terkait dengan kurang tersedianya modal bagi petani untuk membeli input produksi seperti pupuk dan pestisida untuk luas lahan yang cukup besar. Ketidakmampuan petani dalam hal ini menyebabkan produksi gelondong yang dihasilkan tidak mengalami peningkatan bahkan cenderung menurun setiap tahun.
67
Hasil wawancara dengan petani setempat, penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida dapat diterapkan apabila petani mendapat bantuan proyek dari instansi terkait. Sejauh ini bantuan pemerintah berupa pupuk dan pestisida jarang ada, dan jika ada bantuan volumenya tidak mencukupi kebutuhan akan luas lahan yang ada. Penggunaan input produksi usahatani jambu mente di Desa Ratulodong adalah sebagai berikut :
6.3.1.1. Pupuk Penggunaan pupuk dalam kegiatan usahatani jambu mente di Desa Ratulodong saat ini tidak dijalankan oleh petani secara maksimal. Pupuk buatan seperti Urea, TSP dan KCL yang dianjurkan PPL setempat yang bermanfaat bagi peningkatan hasil produksi sama sekali tidak diindahkan oleh petani. Faktor yang menjadi kendala adalah ketidakmampuan petani membeli pupuk karena harga pupuk yang mahal. Pada usahatani jambu mente ini pupuk yang sering digunakan petani adalah pupuk alam. Petani biasanya memanfaatkan rumput/gulma hasil penyiangan sebagai pupuk dengan cara menimbun di bawah pohon sekitar perakaran dan membiarkan untuk hancur sendiri menjadi kompos.
6.3.1.2. Pestisida Pestisida merupakan input produksi yang sangat berperan dalam kegiatan usahatani jambu mente. Penggunaan pestisida yang sesuai seperti tepat tempat, tepat waktu dan tepat dosis dapat memperkecil resiko kegagalan panen.
Penggunaan
68
pestisida adalah salah satu cara yang digunakan untuk memberantas hama dan penyakit yang bakal menyerang tanaman jambu mente. Praktek penggunaan pestisida untuk memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanaman jambu mente di Desa Ratulodong tidak dilakukan oleh petani.
Selain faktor modal, aplikasi
penggunaan pestisida sulit dilakukan petani. Hal ini terkait dengan umur tanaman jambu mente rata-rata di atas 15 tahun, dan umumnya merupakan hutan mente akibat jarak tanam yang rapat. Kebiasaan yang lasim dijalankan petani dalam memberantas hama dan penyakit pada tanaman jambu mente adalah dengan sistem pengasapan.
Bekas
rumput/gulma hasil penyiangan yang masih hijau, sebagian dikumpulkan pada beberapa tempat kemudian dibakar untuk menghasilkan asap. Kegiatan ini dilakukan petani dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi agar proses pengasapan tidak menghanguskan tanaman jambu mente.
Petani berkeyakinan bahwa dengan
pengasapan, hama yang menyerang tanaman bakal mati bahkan lari dari areal penanaman jambu mente.
6.3.1.3 Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan oleh petani jambu mente di Desa Ratulodong adalah tanaga kerja yang berasal dari keluarga (TKK) dan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga (TKLK). Tenaga kerja luar keluarga umumnya digunakan dalam kegiatan pembersihan lahan dan pemangkasan, sedangkan tenaga kerja dalam keluarga digunakan pada saat pemanenan. Jumlah jam kerja yang diberlakukan untuk tenaga kerja di luar keluarga adalah 8 jam kerja yaitu dari pukul 08.00 – 14.00 WITA
69
atau setara dengan 1 HOK (Hari Orang Kerja). Penggunaan tenaga kerja untuk setiap kegiatan usahatani jambu mente saat ini di Desa Ratulodong disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28. Rata-rata penggunaan Tenaga Kerja Per Hektar Usahatani Jambu Mente Di Desa Ratulodong Pada Musim Panen Tahun 2007 PenggunaanTenaga Kerja No Jenis Kegiatan (HOK/ha)/Tahun TKK TKLK Total 1. Pembersihan lahan / penyiangan 7,41 12,51 19,92 2. Pemangkasan 4,30 5,81 10,11 3. Pemupukan 4. Pemberantasan Hama & Penyakit 5.
Pemanenan Jumlah
27,73
-
27,73
39,44
18,32
57,76
Secara lebih terperinci mengenai penggunaan tenaga kerja dari masingmasing kegiatan usahatani jambu mente berdasarkan Tabel 28, akan diuraikan sebagai berikut :
A. Pembersihan Lahan / Penyiangan Kegiatan pembersihan lahan yang dilakukan petani adalah merupakan kegiatan petani untuk menyiangi rumput/gulma yang berada di areal penanaman. Proses penyiangan ini menggunakan alat seperti parang, tofa atau juga sabit. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak biaya. Kegiatan pembersihan atau penyiangan dilakukan dengan melibatkan tenaga kerja baik yang berasal dari keluarga ada juga yang menyewa tenaga kerja dari luar keluarga. Rata-rata penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan penyiangan per hektar adalah sebesar 19,92 HOK / ha yang terdiri dari 7,41 HOK /ha tenaga kerja keluarga
70
(TKK) dan 12,51 HOK /ha merupakan tenaga kerja berasal dari luar keluarga (TKLK). Dari data yang ada, ternyata penggunaan tenaga kerja di luar keluarga untuk kegiatan penyiangan lebih banyak daripada tenaga kerja keluarga. Biaya sewa tenaga kerja dari luar keluarga adalah sebesar Rp. 15.000,-.
Upah tenaga kerja ini
merupakan upah tenaga kerja setara pria. Kegiatan penyiangan terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pertama dilakukan setelah musim hujan saat jambu mente belum berbunga, dan kedua pada saat tanaman jambu mente sudah berbunga.
B. Pemangkasan Pada kegiatan pemangkasan, rata-rata penggunaan tenaga kerja per hektar adalah sebesar 10,11 HOK setara pria. Jumlah penggunaan tenaga kerja hampir sama antara tenaga kerja keluarga (TKK) dengan tenaga kerja di luar keluarga (TKLK). Jumlah tenaga kerja keluarga yang digunakan adalah sebanyak 4,30 HOK /ha dan tenaga kerja dari luar keluarga sebanyak 5,81 HOK /ha. Kegiatan pemangkasan dalam usahatani jambu mente dilakukan sekali dalam setahun. Waktu yang tepat yang dipakai petani untuk kegiatan pemangkasan adalah setelah musim hujan saat menjelang datangnya musim bunga.
C. Pemupukan Peggunaan tenaga kerja dalam kegiatan pemupukan tidak ada. Kegiatan pemupukan dalam usahatani jambu mente jarang sekali dilakukan oleh petani. Pada musim panen tahun 2007, kegiatan pemupukan tidak dilakukan petani. Petani setempat hanya pasrah pada alam. Alasan petani tidak melakukan kegiatan
71
pemupukan adalah keterbatasan modal juga harga pupuk relatif mahal sehingga petani tidak mampu untuk
membeli pupuk.
Penggunaan tenaga kerja untuk
pemupukan akan ada apabila petani mendapat bantuan pupuk dari dinas terkait atau dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
D. Pemberantasan Hama dan Penyakit Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan PPL setempat, pada tahun 2007 tanaman jambu mente banyak terserang hama dan penyakit. Hama yang menyerang tanaman jambu mente pada saat itu adalah helopeltis sp. Hama jenis ini hampir setiap tahun menyerang tanaman jambu mente. Helopeltis sp menyerang tunas daun muda sehingga tunas daun muda menjadi bercak-bercak hitam. Tanaman yang sudah terserang hama ini bakal tidak berbunga. Selain hama, tanaman jambu mente juga terserang penyakit busuk bunga dan buah. Tanaman yang terserang penyakit jenis ini menyebabkan kulit gelondong mente menjadi busuk dan hitam dan bunga menjadi gugur. Petani setempat dalam menanggulagi serangan hama dan penyakit secara tradisional melakukan pengasapan di areal penanaman dan membuang atau memusnahkan bagian tanaman yang terserang. Penggunaan tenaga kerja dalam pemberantasan hama dan penyakit tidak ada. Dalam memberantas hama dan penyakit petani tidak menggunakan pestisida, melainkan pemberantasan dilakukan secara mekanis bersamaan dengan kegiatan penyiangan dan pemangkasan.
72
E. Pemanenan Kegiatan pemanenan jambu mente biasanya dijalankan oleh tenaga kerja keluarga. Kegiatan pemanenan jambu mente berlangsung antara 3 – 4 bulan setelah buah jambu mente mulai matang. Kontinuitas panen berbeda antara petani. Ada petani yang memanen jambu mente setiap dua hari sekali, ada juga tiga hari sekali, bahkan ada yang seminggu sekali.
Kontinuitas panen sangat tergantung pada
produksi gelondong. Volume panen yang dibawa pulang petani dalam sekali panen juga berbeda mulai dari 5 kg hingga 25 kg. Rata-rata penggunaan tenaga kerja keluarga (TKK) dalam kegiatan pemanenan adalah sebanyak 27,73 HOK / ha. Semakin banyak hasil panen yang di dapat, semakin besar HOK diperlukan untuk melakukan kegiatan ini.
6.3.2.Proses Budidaya 6.3.2.1. Pemeliharaan Tanaman Proses budidaya tanaman jambu mente di Desa Ratulodong saat ini merupakan kegiatan yang berkaitan dengan proses pemeliharaan tanaman yang sudah berproduksi selama bertahun-tahun. Ada pun kegiatan pemeliharaan tanaman jambu mente di Desa Ratulodong meliputi penyiangan, pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit serta pemanenan.
A. Penyiangan Kegiatan penyiangan dilakukan untuk membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Selain menjadi pesaing dalam memperebutkan zat hara, gulma juga
73
dapat menjadi sarang hama dan penyakit. Untuk itu, gulma harus dibasmi agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan terhindar dari serangan hama atau penyakit. Pembersihan gulma di lokasi penelitian biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada akhir musim hujan saat tanaman mau berbunga dan tahap berikutnya dilakukan saat tanaman sudah berbuah.
Tujuan dilakukan
pembersihan gulma pada tahaap awal adalah selain membuang rumput-rumput liar, petani juga memangkas dahan dan ranting tanaman yang telah mati juga dahan dan ranting yang dianggap tidak produktif. Pembersihan gulma dan pemangkasan dahan dan ranting yang tidak produktif dilakukan untuk menciptakan lingkungan sekitar tanaman menjadi lebih baik agar proses pembungaan bakal normal dan terhindar dari serangan hama dan penyakit.
Gulma yang sudah dibersihkan kemudian dibakar
disekitar areal penamanan dengan sistem pengasapan. Dari hasil pengamatan, proses pengasapan ini sebagai upaya pengendalian hama atau penyakit. Petani beranggapan bahwa dengan pengasapan secara tidak langsung bisa mengusir hama yang ada pada tanaman sehingga proses pembungaan berlangsung dengan baik. Pada waktu tanaman mulai berbuah, pembersihan di sekitar areal penanaman kembali dilakukan. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan tidak seberat dengan pembersihan pada tahap sebelumnmya. Kegiatan pada tahap ini dilakukan untuk membersihan sisa-sisa rumput yang ada di sekitar tanaman, juga mengambil daundaun jambu mente yang gugur saat berlangsungnya proses pembuahan. Tujuannya adalah mempermudah dalam melakukan pemanenan karena banyak buah matang bakal jatuh sendiri yang harus dipungut.
74
B. Pemupukan Untuk menambah kesuburan pertumbuhan tanaman, maka tanaman jambu mente perlu diberi pupuk kandang, kompos, atau pupuk buatan. Dosis pupuk yang diberikan pada tanaman jambu mente berbeda sesuai dengan umur tanaman. Khusus pada tanaman yang sudah berproduksi, pupuk yang diberikan adalah jenis pupuk buatan seperti Urea, TSP dan KCL. dosis pemupukan yang harus diberikan per pohon masing-masing adalah 556 gram, 141 gram dan 125 gram. Jenis pupuk buatan lain yang dapat diberikan pada tanaman jambu mente sebagai pengganti pupuk Urea, TSP dan KCL adalan pupuk N, P2O5 dan K2O dengan dosis masing-masing 250 gram, 65 gram dan 65 gram. Waktu pemberian pemupukan dilakukan dua kali setahun, yaitu pada awal musim hujan dan pada akhir musim hujan. Dari hasil pengamatan, pemberian pupuk pada tanaman jambu mente di desa Ratulodong tidak dilakukan oleh petani. Alasan mendasar petani tidak melakukan pemupukan pada tanaman jambu mente adalah tidaktersedianya modal. Petani di Desa Ratulodong beranggapan bahwa pemberian pupuk pada tanaman yang sudah berproduksi saat ini membutuhkan modal yang cukup besar karena jumlah pohon jambu mente untuk setiap petani cukup banyak. Untuk menambah kesuburan tanah, petani biasanya menimbun rumput dan daun-daun mente yang dibersihkan sebelum massa pembungaan dan pada saat tanaman sudah berbuah di sekitar pohon mente. Tujuannya selain menjaga kelembapan tanah di sekitar tanaman jambu mente juga sisa rumput dan daun mente bakal hancur dengan sendiri dan dianggap sebagai pupuk daun. Kelalaian petani
75
dalam melakukan pemupukan pada tanaman jambu mente akan berpengaruh pada ketidakstabilan produksi gelondong setiap tahunnya.
C. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit merupakan bagian dari usaha untuk memperkecil resiko kegagalan panen. Kegiatan pengendalian hama dan penyakit untuk tanaman jambu mente di Desa Ratulodong biasanya dilakukan secara mekanis. Kegiatannya dilakukan dua kali dalam setahun bersamaan dengan kegiatan penyiangan. Pemberantasan hama dan penyakit secara mekanis dilakukan dengan menangkap hama yang ditemukan lalu membunuhnya. Cara lain adalah memotong dan membakar tanaman yang terserang hama dan penyakit. Informasi yang diterima dari petani responden dan PPL setempat, menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan hasil panen mente gelondong menurun dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain adanya serangan hama Helopeltis sp. Ciri khas serangga ini adalah seluruh tubuh imago berwarna hitam, kecuali abdomen bagian belakang sebelah bawah berwarna putih.
Pada bagian toraks terdapat
semacam jarum (belalai) tegak lurus. Serangga ini memakan dengan cara menusukkan belalainya ke dalam jaringan tanaman muda dan mengisap jaringan tersebut. Aktivitas hama ini sangat dipengaruhi oleh kelembapan nisbih udara. Kelembapan yang sesuai berkisar antara 70 – 80 persen. Gejala yan g terjadi adalah pada tunas-tunas daun mudah terdapat bercak-bercak hitam tidak merata. Upaya pemberantasan hama dan penyakit yang menyerang tanaman jambu mente di Desa Ratulodong hingga saat ini belum dijalankan secara maksimal. Faktor
76
yang menjadi kendala adalah keterbatasan modal milik petani. Sistem pemberantasan hama dan penyakit yang menyerang tanaman jambu mente dilakukan secara sederhana sesuai kebiasaan petani dengan tidak ada sentuhan teknologi. Kebiasaan yang sering dilakukan petani di Desa Ratulodong dalam memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanaman jambu mente adalah dengan jalan pengasapan.
Petani beranggapan bahwa dengan adanya proses
pengasapan disekitar pertanaman jambu mente dapat mengurangi intensitas serangan hama dan penyakit. Cara lain dalam pemberantasan hama dan penyakit adalah secara biologis dan kimiawi. Pemberantasan hama dan penyakit secara biologis adalah pemberantasan dengan menggunakan predator yang menjadi musuh hama yang menyerang tanaman.
Peberantasan hama dan penyakit secara kimiawi adalah
pemberantasan hama dan penyakit dengan menggunakan pestisida.
6.3.2.2. Pemangkasan Diantara
sejumlah
aspek
budidaya
tanaman
khusus
pemeliharaan, pemangkasan termasuk yang paling penting.
dalam
proses
Namun pada
kenyataannya pemangkasan tanaman jambu mente selalu kurang diperhatikan petani setempat. Alasannya tidak jelas, mungkin informasi mengenai pentingnya pemangkasan tidak terlalu penting bagi tanaman jambu mente. Kenyataan yang ditemukan di daerah penelitian di Desa Ratulodong, pemangkasan biasanya dilakukan bersamaan dengan penyiangan. Di desa Ratulodong, perlakuan pemangkasan tanaman jambu mente yang telah dijalankan lebih ditujukan untuk mempermudah petani dalam melakukan segala
77
aktifitas lapang seperti pembersihan gulma dan mempermudah dalam pemungutan hasil panen.
Bagian tanaman yang dipangkas terutama adalah cabang bawah yang
berada dekat permukaan tanah, dengan ketinggian maksimal 1 meter dari permukaan tanah. Selain itu petani melakukan pemangkasan khusus pada cabang dan rantingranting yang terserang hama dan penyakit atau pun pada cabang dan ranting tanaman yang telah mati. Secara teori, perlakuan pemangkasan sangat perlu bagi tanaman jambu mente. Tujuan pemangkasan pada tanaman jambu mente adalah membuka ruang bagi tanaman agar sirkulasi udara menjadi lancar, juga agar semua bagian tanaman bisa mendapat sinar matahari secara penuh. Manfaat lain dari pemangkasan adalah dalam rangka pengaturan bentuk tajuk tanaman yang ideal dengan pengaturan sistem percabangan menjadi lebih simetris.
Perlakuan pemangkasan yang baik pada
tanaman jambu mente dapat meningkatkan hasil produksi gelondong.
6.3.2.3. Panen Masa panen merupakan saat yang ditunggu oleh petani. Kegiatan pemanenan jambu mente mencakup aktivitas pemetikan atau pemungutan hasil dan pemisahan antara buah semu dan gelondong mente. Massa panen jambu mente antara 3 – 4 bulan dalam satu tahun.
Cara pemanenan yang dilakukan petani adalah dengan cara
memetik langsung buah yang dianggap telah matang di pohon dengan cara memanjat atau menggunakan alat bantu berupa galah. Pemanenan dengan cara ini jarang sekali dilakukan petani karena membutuhkan kehati-hatian. Kelemahan dari cara panen ini
78
adalah kemungkinan besar dapat merusak bunga mente dan bahkan membuat bunga mente menjadi gugur. Pada umumnya pemanenan buah mente oleh petani dilakukan dengan cara lesehan. Pemanenan buah mente secara lesehan adalah dengan membiarkan buah jambu mente yang telah tua tetap di pohon dan jatuh sendiri. Buah jambu mente yang jatuh kemudian dipungut secara kontinu, selanjutnya petani memisahkan antara buah semu dan gelondong.
Untuk menghemat tenaga kerja, petani sengaja memanen
dengan cara ini setiap 2 – 3 hari sekali bahkan seminggu sekali. Frekuensi panen yang dilakukan petani tergantung produksi yang ada di pohon. Volume hasil panen yang didapat berbeda antara petani yang satu dengan petani lainnya, tergantung baik tidaknya produksi jambu mente. Hasil gelondong mente setiap kali panen berkisar antara 5 kg – 25 kg. Keuntungan pemanenan dengan cara ini adalah kualitas gelondong yang dihasilkan cukup baik karena buah yang jatuh adalah buah yang benar-benar sudah matang di pohon. Kerugian memanen dengan cara ini adalah buah semu jambu mente banyak yang rusak dan busuk. Buah semu yang sudah dipisahkan dari gelondong, dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Sampai sejauh ini pemanfaatan buah semu jambu mente di Desa Ratulodong masih sebatas sebagai makanan ternak, terutama untuk ternak babi dan kambing.
6.3.3. Pemasaran Hasil Pada dasarnya pemasaran produk jambu mente yang dijalankan petani di Desa Ratulodong adalah suatu bentuk pemasaran tradisional, dimana pelaku-pelaku pemasaran tidak terorganisir. Cara pemasarannya adalah pedagag pengumpul datang
79
ke petani dan membeli langsung produk jambu mente milik petani. Berdasarkan informasi dari petani, penentuan harga dilakukan oleh pedagang (price maker). Sejauh ini masalah penentuan harga, petani memiliki daya tawar (bargaining power) rendah sehingga terkesan petani selalu dalam posisi sebagai penerima harga (price taker). Petani di Desa Ratulodong menrjual jambu mente dalam bentuk gelondong. Volume penjualan berbeda antara setiap petani.
Kebanyakan petani mengumpul
dahulu hasil panenannya dalam jumlah yang lebih banyak kemudian menjual, sementara ada sebagian petani yang menjual langsung jambu mente setiap kali panen. Alasan mendasar petani langsung menjual hasil panennya walaupun volume penjualannya sedikit adalah tuntutan kebutuhan ekonomi sehari-hari. Harga jual gelondong mente tidak seragam antara petani dan sering berfluktuatif. Penjualan gelondong mente rata-rata di tingkat petani adalah 5.000 rupiah per kilogram dan harga terendah berkisar antara 4.000 rupiah hingga 4.500 rupiah per kilogram.
Menurut petani, harga jual gelondong mente ini masih
tergolong rendah. Keprihatinan akan rendahnya harga jual mente gelondong, menyebabkan petani setempat mengharapkan adanya campur tangan pemerintah. Harapan petani adalah harus adanya perbaikan harga dan penentuan harga standar gelondong mente. Upaya pemerintah untuk memperbaiki harga serta menetapkan harga standar gelondong mente ditingkat petani merupakan solusi terbaik pemerintah. untuk membantu petani dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Rantai tataniaga gelondong mente sangat ditentukan oleh konsumen akhir. Konsumen akhir gelondong mente adalah pengolah dan eksportir. Lembaga pengolah
80
dapat dicapai petani secara langsung atau melalui perantara, yakni pedagang pengumpul I (PP I). Sedangkan untuk mencapai eksportir harus melalui pedagang perantara satu (PP I) dan pedagang perantara dua (PP II) atau pedagang antar pulau (PAP). Rantai tataniaga gelondong mente terdiri dari satu hingga tiga strata pasar. Lebih jelasnya rantai tataniaga gelondong mente di Desa Ratulodong dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini :
Petani
PP I
PP II/PAP
Eksportir/Lembaga pengolah
Gambar 3. Rantai Tataniaga Gelondong Mente di Desa Ratulodong
Bentuk pasar berstrata satu, dua dan tiga, cenderung masuk pada pasar oligopsoni, dengan ciri harga ditentukan oleh pembeli sedangkan penjual termasuk penerima harga (price taker).
6.3.4. Output Usahatani Keberhasilan dari kegiatan usahatani yang dijalankan seorang petani pada akhirnya akan diketahui dari total produksi dan penerimaan yang diperoleh petani. Rata-rata produksi per hektar dari usahatani jambu mente di Desa Ratulodong berdasarkan hasil penelitian, disajikan pada Tabel 29 berikut ini :
81
Tabel 29. Rata-rata Produksi Gelondong Per Hektar Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong Pada Musim Panen Tahun 2007 Uraian Total Produksi (kg/ha) Harga Jual (Rp/kg) Penerimaan (Rp/ha)
521,68 5.000,00 2.608.400,00
Berdasarkan Tabel 29 diketahui bahwa rata-rata produksi mente gelondong yang diperoleh petani responden di Desa Ratulodong adalah sebesar 521,68 kilogram per hektar dengan harga jual sebesar Rp. 5000,00 per kilogram, maka penerimaan yang diperoleh petani untuk musim panen tahun 2007 adalah sebesar Rp. 2.608.400,00 per hektar.
6.3.5. Penyusutan Alat-alat Pertanian Peralatan pertanian yang dimiliki oleh petani responden sangat sederhana. Jenis alat-alat pertanian yang digunakan petani dalam usahatani jambu mente adalah cangkul, parang dan tofa. Semua peralatan pertanian ini adalah milik petani. Ratarata jumlah alat pertanian yang dimiliki setiap petani responden berkisar antara satu sampai tiga buah. Nilai penggunaan alat-alat pertanian yang digunakan oleh petani di Desa Ratulodong disajikan pada Tabel 30 berikut ini : Tabel 30. Rata-rata Nilai Penggunaan Peralatan (Rp/Ha) Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong Pada Musim Panen Tahun 2007 Jumlah yang dimiliki Harga/Satuan Nilai No Jenis Peralatan (Rp) (Rp) 1. Cangkul 1 70.000,00 70.000,00 2. Parang 2 80.000,00 160.000,00 3. Tofa 2 15.000,00 30.000,00 Jumlah 260.000,00
82
Berdasarkan Tabel 30, diketahui bahwa nilai penggunaan peralatan pertanian yang digunakan petani di Desa Ratulodong adalah sebesar Rp. 260.000,00 per hektar. Nilai terbesar diperuntukan bagi penggunaan parang yaitu sebesar Rp. 160.000,00 per hektar, sedangkan untuk penggunaan cangkul dan tofa masing-masing sebesar Rp. 70.000,00 per hektar dan Rp. 30.000,00 per hektar. Dalam membeli peralatan pertanian ini, pada umumnya petani tidak membelinya setiap tahun. Hal ini disebabkan karena penggunaan alat pertanian ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Dalam analisis pendapatan, perhitungan untuk nilai penyusutan dari peralatan pertanian menggunakan metode garis lurus. Rumus yang dipakai dalam menmghitung penyusutan alat pertanian adalah sebagai berikut :
Nilai Ekonomis (Harga per unit x Jumlah unit yang digunakan) Penyusutan = Umur Ekonomis x Jumlah musim dalam setahun
Peralatan yang dimiliki petani pada umumnya memiliki umur ekonomis antara dua sampai enam tahun dan jumlah musim panen jambu mente adalah satu kali dalam setahun. Hasil perhitungan dari nilai penyusutan peralatan, dapat dilihat pada Tabel 31 berikut ini : Tabel 31. Nilai Penyusutan Peralatan (Rp/Ha) Pada Usahatani Jambu Mente di Desa Ratulodong Pada Musim Panen Tahun 2007 No 1. 2. 3.
Jenis Peralatan Cangkul Parang Tofa Jumlah
Nilai Ekonomis (Rp) 70.000,00 160.000,00 30.000,00 260.000,00
Umur Ekonomis (Tahun) 6 4 2
Penyusutan (Rp) 11.666,67 40.000,00 15.000,00 66.666,67
83
Berdasarkan Tabel 31 dapat dilihat bahwa nilai penyusutan peralatan pada usahatani jambu mente di Desa Ratulodong adalah sebesar Rp. 66.666,67 per hektar per tahun, yang terdiri dari nilai penyusutan cangkul sebesar Rp. 11.666,67 per hektar per tahun, Nilai penyusutan parang sebesar Rp. 40.000,00 per hektar per tahun dan nilai penyusutan tofa adalah sebesar Rp. 15.000,00 per hektar per tahun.
6.4. Analisis Usahatani Jambu Mente 6.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani Jambu Mente Per Hektar di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung, Bunga Kabupaten Flores Timur Untuk mengukur keberhasilan dari suatu usahatani yang dijalankan, dapat dilakukan dengan melakukan analisis pendapatan usahatani.
Dalam melakukan analisis
terhadap pendapatan suatu usahahatani maka diperlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan
penerimaan
dan
keadaan
pengeluaran
selama kegiatan
usahatani
dijalankan pada kurun waktu yang ditetapkan. Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan, yaitu merupakan hasil kali dari jumlah fisik output dengan harga jual produk yang terjadi. Pengeluaran atau biaya adalah seluruh pegorbanan sumberdaya ekonomi dalam satuan uang (rupiah) yang diperlukan untuk menghasilkan produk dalam satu periode produksi. Pendapatan usahatani jambu mente diperoleh dari selisih antara penerimaan total produksi gelondong dengan pengeluaran produksi total. Sedangkan biaya atau pengeluaran usahatani adalah nilai dari penggunaan input produksi dalam melakukan proses produksi usahatani.
84
Biaya dalam usahatani dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya diperhitungkan.
Biaya tunai usahatani merupakan pengeluaran tunai yang
dikeluarkan petani untuk membeli barang dan jasa yang diperuntukan bagi usahataninya. Biaya yang tergolong biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli benih, pupuk, pestisida, pajak, serta biaya sewa tenaga kerja dari luar keluarga (TKLK).
Pajak lahan yang dikeluarkan petani diasumsikan serbesar
Rp.15.000,00 per hektar. Sedangkan yang termasuk dalam biaya diperhitungkan adalah biaya sewa lahan, biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKK) dan biaya penyusutan alat. Dari hasil penelitian, biaya tunai yang dikeluarkan petani adalah biaya sewa tenaga kerja dari luar keluarga. Sedangkan biaya diperhitungkan terdiri dari biaya sewa lahan, biaya tenaga kerja dalam keluarga dan biaya penyusutan alat. Biaya sewa lahan diasumsikan sebesar Rp. 1000,000,00 per hektar per tahun. Pendapatan usahatani jambu mente didapatkan dengan cara mengurangkan seluruh penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan. Biaya-biaya yang dikeluarkan meliputi biaya tunai dan biaya diperhitungkan yang apabila dijumlahkan akan menjadi biaya total usahatani. Pendapatan atas biaya tunai usahatani diperoleh dengan mengurangkan total penerimaan dengan total biaya tunai. Setelah total penerimaan dikurangi dengan total biaya usahatani maka diperoleh pendapatan atas biaya total. Sedangkan pendapatan tunai usahatani merupakan hasil pengurangan antara penerimaan tunai dengan total biaya tunai. Pendapatan usahatani jambu mente di Desa Ratulodong per hektar akan disajikan pada Tabel 32 di bawah ini :
85
Tabel 32. Rata-rata Pendapatan Petani Responden Per Hektar di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur Musim Panen Tahun 2007 Uraian
A. Penerimaan Usahatani A.1. Penerimaan Tunai A.2. Penerimaan Diperhitungkan A.3. Total Penerimaan Usahatani B. Biaya Usahatani B.1. Biaya Tunai : 1. Pupuk 2. Pestisida 3. Tenaga Kerja Luar Keluarga a. Penyiangan b. Pemangkasan 4. Pajak Lahan Total Biaya Tunai (B1) B.2. Biaya Diperhitungkan : 1. Sewa Lahan 2. Tenaga Kerja Dalam Keluarga a. Penyiangan b. Pemangkasan c. Pemanenan 3. Penyusutan alat Total Biaya Diperhitungkan (B2) C. Total Biaya Usahatani ( B1 + B2 ) D. Pendapatan Atas Biaya Tunai ( A3 – B1 ) E. Pendapatan Atas Biaya Total ( A3 – C ) F. Pendapatan Tunai ( A1 – B1 ) G. R/C Atas Biaya Tunai ( A3/B1 ) H. R/C Atas Biaya Total ( A3/C)
Satuan
Harga/satuan (Rp)
Volume
Nilai (Rp)
Prosentasi (%)
Kg
5.000,00
521,68
2.608.400,00
100,00
Kg Kg
5.000,00 5.000,00
0,00 521,68
0,00 2.608.400,00
0,00 100,00
Kg Kg/ml
-
-
-
-
HOK HOK Ha
15.000,00 15.000,00 -
12,51 5,81 1,00 -
187.650,00 87.150,00 15.000,00 289.800,00
9,64 4,47 0,76 14,87
Rp
1.000.000,00
1,00
1.000.000,00
51,20
HOK HOK HOK
15.000,00 15.000,00 15.000,00
7,41 4,30 27,73
-
-
-
111.150,00 64.500,00 415.950,00 66.666,67 1.658.266,67 1.948.066,67
5,60 3,33 23,09 3,01 85,13 100,00
-
-
-
2.318.600,00
-
-
-
-
660.333,33
-
-
-
-
2.318.600,00
-
-
-
-
9,00
-
-
-
-
1,34
-
Perhitungan pendapatan usahatani pada tabel 32 merupakan perhitungan pendapatan usahatani jambu mente di Desa Ratulodong dengan melihat kondisi usahatani saat ini. Perhitungannya tidak dilakukan mulai dari persiapan pengolahan tanah, melainkan hanya berlaku pada saat ini yakni pada musim panen tahun 2007 terhitung mulai bulan Januari tahun 2007 sampai dengan bulan Desember tahun 2007. Tanaman jambu mente di lokasi penelitian ditanam pada tahun 1985 melaui proyek
86
sub sektor kehutanan dalam rangka upaya rehabilitasi lahan kritis. Pada musim panen tahun 2007 umur tanaman jambu mente di lokasi penelitian telah mencapai 22 tahun. Jambu mente tergolong tanaman umur panjang yang berproduksi sekali dalam setahun. Masa pembungaan terjadi pada bulan Mei dan mulai dipanen pada bulan Agustus. Pada tahun 2007, jambu mente dipanen selama 4 bulan yakni dari bulan Agustus sampai dengan bulan Desember. Dari hasil analisis pendapatan usahatani, penerimaan tunai yang diperoleh petani di Desa Ratulodong dari produksi mente gelondong adalah sebesar Rp. 2.608.400,00 per hektar dan penerimaan diperhitungkan sebesar Rp. 0,00. Penerimaan diperhitungkan tidak ada nilai karena semua produksi mente gelondong yang dihasilkan pada musim panen 2007 seluruhnya dijual petani sedangkan buah semu (jambu) yang jatuh ke tanah dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Produksi mente gelondong pada musim panen tahun 2007 tidak disimpan untuk dijual pada tahun 2008.
Hal ini terkait dengan kekuatiran petani akan turunnya
kualitas
gelondong akibat penyimpanan yang terlalu lama. Secara keseluruhan total biaya yang dikeluarkan petani di Desa Ratulodong untuk massa panen tahun 2007 adalah sebesar Rp. 1.948.066,67 per hektar. seluruh biaya yang dikeluarkan petani terdiri dari biaya tunai sebesar Rp. 289.800,00 per hektar atau sebesar 14,87 persen dan biaya diperhitungkan sebesar Rp. 1.658.266,67 per hektar atau sebesar 85,13 persen. Dari nilai yang ada terlihat perbedaan cukup besar antara biaya tunai dengan biaya diperhitungkan. Kondisi ini menunjukan bahwa ternyata petani jambu mente di Desa Ratulodong hanya melihat penerimaan dari biaya tunai saja tanpa melihat biaya diperhitungkan. Dari hasil perhitungan biaya usahatani, biaya tunai yang dikeluarkan
87
petani selama musim panen tahun 2007 sangat kecil jika dibandingkan dengan biaya diperhitungkan. Semua komponen biaya yang ada, biaya sewa lahan merupakan biaya terbesar. Biaya sewa lahan termasuk dalam komponen biaya diperhitungkan. Biaya sewa lahan diasumsikan Rp. 1.000.000,00 per tahun Hal ini terkait dengan kepemilikan lahan, dimana semua petani di Desa Ratulodong adalah petani pemilik yang mengusahakan jambu mente pada lahan milik sendiri. Biaya terbesar lainnya adalah biaya yang dikeluarkan untuk sewa tenaga kerja. Biaya sewa tenaga kerja terdiri dari biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai tenaga kerja dikeluarkan untuk menyewa tenaga kerja dari luar keluarga (TKLK). Biaya ini dikeluarkan untuk penyiangan dan pemangkasan, yaitu masingmasing sebesar Rp.187.650,00 per hektar atau sebesar 9,64 persen dan Rp.87.150,00 per hektar atau sebesar 4,47 persen.
Biaya tenaga kerja yang diperhitungkan
terbanyak dikeluarkan untuk pemanenan, yaitu sebesar Rp.415.950,00 per hektar atau sebesar 23,09 persen.
Biaya tenaga kerja diperhitungkan lainnya adalah untuk
penyiangan sebesar Rp.111.150,00 per hektar atau sebesar 5,60 persen dan untuk pemangkasan sebesar Rp.64.500,00 per hektar atau sebesar 3,33 persen. Biaya tenaga kerja diperhitungkan adalah untuk menyewa tenaga kerja dalam keluarga (TKK). Selain komponen biaya diatas, biaya lain yang dikeluarkan petani adalah pajak lahan dan penyusutan alat. Pajak lahan tergolong dalam biaya tunai karena pajak merupakan pengeluaran rutin petani setiap tahun. Besarnya biaya pajak yang dikeluarkan diasumsikan senilai Rp. 15.000,00 per hektar per tahun atau 0,76 persen. Penyusutan alat merupakan biaya diperhitungkan dalam usahatani jambu mente. Alat pertanian yang dipakai dalam usahatani jambu mente berupa cangkul, parang dan
88
tofa. Besarnya nilai penyusutan alat yang digunakan petani adalah sebesar Rp. 66.666,67 per hektar atau 3,01 persen. Pendapatan atas biaya tunai usahatani jambu mente diperoleh dengan mengurangi total penerimaan dengan total biaya tunai, maka diperoleh pendapatan atas biaya tunai sebesrar Rp.2.318.600,00 per hektar. Pendapatan atas biaya total diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya usahatani, maka diperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp.660.333,33 per hektar. Sedangkan pendapatan tunai diperoleh dari pengurangan antara penerimaan tunai dengan total biaya
tunai,
sehingga
pendapatan
tunai
yang
diperoleh
adalah
sebesar
Rp.2.318.600,00 per hektar. Hasil analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis) menunjukan bahwa usahatani jambu mente yang dilakukan petani, memiliki penerimaan yang lebih besar dibanding biaya usahatani. Hal ini ditunjukan oleh nilai R/C rasio yang diperoleh lebih besar dari satu. Nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 9,00. Artinya bahwa setiap Rp. 1,00 biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp.9,00. Nilai ini cukup besar karena biaya tunai yang dikeluarkan petani sangat minim, dimana biaya tunai pembelian pupuk dan pestisida tidak dikeluarkan untuk usahatani jambu mente pada musim panen tahun 2007. Dengan memasukan biaya yang diperhitungkan sebagai komponen biaya total, maka diperoleh nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1,34, artinya setiap Rp.1,00 biaya total yang dikeluarkan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 1,34. Nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu menunjukan bahwa usahatani jambu mente di Desa Ratulodong saat ini menguntungkan. Hasil perhitungan R/C rasio, terdapat
89
perbedaan yang cukup jauh antara R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. Perbedaan nilai R/C rasio ini sebagai akibat dari perbedaan antara besarnya biaya tunai dan biaya diperhitungkan.
6.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani Jambu Mente Per Luas Lahan di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung, Bunga Kabupaten Flores Timur Rata-rata petani responden jambu mente di Desa Ratulodong memiliki lahan jambu mente seluas 0,84 hektar.
Dari luas yang ada, petani memperoleh total
penerimaan usahatani pada musim panen tahun 2007 sebesar Rp.1.937.600,00 yang terdiri dari penerimaan tunai sebesar Rp1.937.600,00 atau 100,00 persen dari penerimaan usahatani, dan penerimaan diperhitungkan sebesar Rp. 0,00. Penerimaan diperhitungkan sebesar Rp. 0,00 karena pada musim panen 2007 semua hasil produksi mente gelondong habis terjual. Total biaya usahatani yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 1.530.125,00 yang terdiri dari total biaya tunai sebesar Rp. 214.425,00, atau 14,01 persen dari total biaya usahatani dan total biaya diperhitungkan sebesar Rp. 1.315.700,00 atau 85,98 persen dari total biaya usahatani. Dengan demikian diperoleh pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp.1.723.225,00, pendapatan atas biaya total sebesar Rp.407.525,00 dan pendapatan tunai yang diperoleh sebesar Rp.1.723.175,00. Analisis pendapatan usahatani jambu mente per luas lahan yang diusahakan petani responden di Desa Ratulodong untuk musim panen 2007 disajikan pada Tabel 33 berikut ini :
90
Tabel 33. Rata-rata Pendapatan Petani Responden Per Luas Lahan yang Diusahakan di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Musim Panen Tahun 2007 Uraian
A. Penerimaan Usahatani A.1. Penerimaan Tunai A.2. Penerimaan Diperhitungkan A.3. Total Penerimaan Usahatani B. Biaya Usahatani B.1. Biaya Tunai : 1. Pupuk 2. Pestisida 3. Tenaga Kerja Luar Keluarga a. Penyiangan b. Pemangkasan 4. Pajak Lahan Total Biaya Tunai (B1) B.2. Biaya Diperhitungkan : 1. Sewa Lahan 2. Tenaga Kerja Dalam Keluarga a. Penyiangan b. Pemangkasan c. Pemanenan 3. Penyusutan alat Total Biaya Diperhitungkan (B2) C. Total Biaya Usahatani ( B1 + B2 ) D. Pendapatan Atas Biaya Tunai ( A3 – B1 ) E. Pendapatan Atas Biaya Total ( A3 – C ) F. Pendapatan Tunai ( A1 – B1 ) G. R/C Atas Biaya Tunai ( A3/B1 ) H. R/C Atas Biaya Total ( A3/C)
Satuan
Harga/satuan (Rp)
Volume
Nilai (Rp)
Prosentasi (%)
Kg
5.000,00
387,52
1.937.600,00
100,00
Kg Kg
5.000,00 5.000,00
0,00 387,52
0,00 1.937.600,00
0,00 100,00
-
-
Kg Kg/ml
-
-
HOK HOK Ha
15.000,00 15.000,00 -
9,3 4,12 0,84 -
139.500,00 61.800,00 13.125,00 214.425,00
9,11 4,04 0,85 14,01
Rp
1.000.000,00
0,84
840.000,00
54,89
HOK HOK HOK -
15.000,00 15.000,00 15.000,00 -
5,25 3,05 19,68 -
78.750,00 45.750,00 295.200,00 56.000,00 1.315.700,00 1.530.125,00
5,14 2,98 19,29 3,68 85,98 100,00
-
-
-
1.723.175,00
-
-
-
-
407.475,00
-
-
-
-
1.723.175,00
-
-
-
-
9,04
-
-
-
-
1,27
-
Dari hasil analisis pendapatan usahatani jambu mente per luas lahan yang diusahakan petani untuk musim panen 2007 di atas, diketahui bahwa prosentasi biaya terbesar yang dikeluarkan petani berturut-turut adalah biaya sewa lahan, dan biaya pemanenan. Biaya sewa lahan sebesar Rp.840.000,00 atau 54,89 persen dari total biaya usahatani, dan biaya pemanenan sebesar Rp. 295.200,00 atau sebesar 19,29 persen. Jenis biaya lain yang juga dikeluarkan dalam usahatani jambu mente adalah pajak
91
lahan dan penyusutan peralatan dengan jumlah masing-masing sebesar Rp.13.125,00 dan Rp. 56.000,00 atau masing-masing 0,85 persen dan 3,68 persen. Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C
ratio analysis) usahatani
jambu mente di Desa Ratulodong per luas lahan yang diusahakan petani responden, menunjukan bahwa usahatani yang dijalankan pada musim panen 2007, memiliki penerimaan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Hal ini ditunjukan oleh nilai R/C rasio lebih besar dari satu. Nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 9,04. Artinya bahwa setiap Rp.1,00 yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 9,04. Nilai R/C atas biaya tunai cukup besar, karena dalam melakukan usahatani jambu mente untuk musim panen 2007 seluruh petani responden tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian pupuk dan pestisida. Dengan memasukan biaya yang diperhitungkan ke dalam komponen biaya total, maka nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1,27, artinya setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.1,00 akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 1,27. Nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu untuk usahatani jambu mente menunjukan bahwa usahatani jambu mente yang dijalankan petani responden untuk musim panen 2007 menguntungkan.
Dari hasil perhitungan R/C rasio atas biaya total, menunjukan
bahwa usahatani yang dijalankan petani di Desa Ratulodong pada musim panen tahun 2007 tidak menghasilkan keuntungan yang besar. Upaya yang harus dilakukan petani untuk menaikan nilai R/C rasio adalah dengan menerapkan pola pemeliharaan tanaman secara lebih baik.
81
6.4.3. Efisiensi Usahatani Tanaman jambu mente (Anacardium occidentale L.) adalah tanaman perkebunan yang sudah lama sekali diusahakan oleh petani di Desa Ratulodong. Umumnya tanaman ini sudah berumur tua. Jarak tanam yang ada cukup rapat antara 2m x 2m sampai 4m x 4m sehingga kondisi perkebunan jambu mente saat ini sangat rapat akibat tajuk daun semakin lebar. Dari segi efisiensi, usahatani jambu mente yang dijalankan petani saat ini efisien dan menguntungkan. Hal ini terlihat dari nilai R/C rasio lebih dari 1. Di lain pihak usahatani yang dijalankan petani belum efisien. Ini terbukti petani dalam menjalankan usaha ini tidak pernah menerapkan pola usahatani yang baik khusus untuk tanaman yang sudah bertahun-tahun berproduksi. Petani setempat cenderung mengandalkan faktor alam. Praktek penggunaan pupuk dan pestisida dalam upaya peningkatan produksi jarang sekali diterapkan. Petani bisa menggunakan pupuk dan pestisida sesuai anjuran penyuluh setempat apabila ada bantuan proyek dari pemerintah. Dari hasil analisis usahatani, terbukti bahwa usahatani jambu mente yang dijalankan untuk musim panen tahun 2007 masih layak untuk dilaksanakan. Kelayakan usahatani jambu mente untuk musim panen tahun 2007 belum efisien. Hal ini terbukti bahwa sejauh ini petani tidak memanfaatkan input produksi secara maksimal untuk peningkatan produksi. Penerapan sistem usahatani jambu mente secara baik di Desa Ratulodong dapat dicapai dengan memperhatikan efisiensi penggunaan input produksi pada masa yang akan datang. Dengan demikian upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dapat tercapai dengan baik.
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Usahatani jambu mente yang dijalankan petani di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur merupakan milik petani (perkebunan rakyat). Rata-rata luas lahan milik petani adalah sebesar 0, 84 hektar. Umur tanaman jambu mente pada tahun 2007 telah mencapai 22 tahun. Usahatani jambu mente yang dijalankan saat ini
merupakan usahatani input rendah (low input) dan sistem
usahatani dilakukan secara sederhana/konvensional. Hasil analisis biaya menunjukan bahwa pada musim panen tahun 2007, total biaya usahatani jambu mente per luas lahan milik petani sebesar Rp. 1.530.125, 00. yang terdiri dari total biaya tunai sebesar Rp.214.425,00,00 dan total biaya diperhitungkan sebesar Rp. 1.315.700,00. Total biaya tunai untuk usahatani jambu mente yang dikeluarkan oleh petani jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan total biaya diperhitungkan. Hasil analisis pendapatan usahatani jambu mente per luas lahan di daerah penelitian untuk musim panen tahun 2007 menguntungkan. Rata-rata total penerimaan yang diperoleh petani adalah sebesar Rp. 1.937.600,00, pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 1.723.175,00, pendapatan atas biaya total sebesar Rp. 407.475,00, dan rata-rata pendapatan tunai yang diperoleh adalah
sebesar Rp.
1.723.175,00. Hal ini menunjukan bahwa rata-rata penerimaan yang diperoleh petani pada musim panen tahun 2007 dapat menutup seluruh biaya usahatani dan selebihnya merupakan keuntungan yang dapat menunjang peningkatan pendapatan petani.
95
Dalam analisis efisiensi dengan menggunakan analisis R/C rasio, menunjukan bahwa Petani memperoleh R/C rasio atas biaya tunai sebesar 9,04 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,27. Perbedaan R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total sangat besar disebabkan karena total biaya tunai yang dikeluarkan petani jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan total biaya usahatani. Nilai R/C rasio yang diperoleh > 1, menunjukan bahwa usahatani jambu mente yang dijalankan petani di Desa Ratulodong pada musim panen tahun 2007 tergolong efisien dan menguntungkan. Nilai R/C Rasio atas biaya total yang diperoleh tergolong kecil. Nilai R/C rasio yang kecil ini menunjukan bahwa keuntungan yang diperoleh petani jambu mente di Desa Ratulodong pada musim panen tahun 2007 sangat kecil.
7.2. Saran Dari hasil penelitian ini beberapa saran singkat yang dikembangkan sebagai berikut : 1. Petani harus memperbaiki sistem usahatani yang dijalankan saat ini. 2. Petani harus lebih memahami tentang biaya-biaya usahatani dan mengetahui halhal yang berkaitan dengan analisis usahatani. 3. Penyuluh Pertanian lapangan (PPL) harus lebih intensif dalam memberikan penyuluhan dan pembinaan kepada petani.
DAFTAR PUSTAKA
Alauddin. 1996. Status dan Pengembangan Nasional Komoditas Jambu Mente di Indonesi. Prosiding. Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Tanggal 5 – 6 Maret 1996. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2003 – 2005. Dirjen Perkebunan. 2006. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Flores Timur Dalam Angka 2006/2007 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Flores Timur. 2007. Laporan Tahunan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Larantuka Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Flores Timur. 2007. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian dan Peternakan. Larantuka Gittinger. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. UI Press. Jakarta. Hadad, E. A. Dan Koerniati. 1996. Sambung Pucuk Sebelas Nomor Harapan Jambu Mete Langsung di Lapang. Prosiding. Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Tanggal 5 – 6 Maret 1996. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hermanto dan Zaubin, R. 2001. Persyaratan Lingkungan Tumbuh Jambu Mente. Monograf Jambu Mente. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hutzi.
2007. Analisis Pendapatan Usahatani Dan Saluran Pemasaran Teh Perkebunan Raklyat (Studi Kasus Pertkebunan Teh Rakyat, Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Krisnamurthi, B. 2001. Agribisnis. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Bahan Kuliah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kasmir dan Jakfar. 2007. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Kedua, Cetakan Ke-4. Kencana. Jakarta.
97
Lipsey et all. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisi Ketiga. LP3ES. Jakarta. Nogoseno. 1996. Pengembangan Jambu Mente di Indonesia. Prosiding. Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Tanggal 5 – 6 Maret 1996. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Rosman dan Lubis. 1996. Aspek Lahan dan Iklim Untuk Pengembangan Tanaman Jambu Mente. Prosiding. Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Tanggal 5 – 6 Maret 1996. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Rosmeilisa, P. 1990. Pola Usahatani Tanaman Jambu Mete.(Studi Kasus Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta). Perkembangan penelitian Tanaman Jambu Mente. Edisi Khusus Litro Vol. 2 1990 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Rosmeilisa, P. dan Yuhono, JT. 2001. Analisis Usahatani Jambu Mente. Monograf Jambu Mente. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Rosmeilisa, P. dan Abdullah, A. 1990. Analisis Usahatani Jambu Mente. Perkembangan penelitian Tanaman Jambu Mente. Edisi Khusus Litro Vol. 2 1990 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Statistik Perkebunan Indonesia 2003 – 2005. Dirjen Perkebunan. 2006. Jakarta. Sukmadinata, T. 1996. Prospek Pengembangan Agribisnis Jambu Mente di Indonesia. Prosiding. Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Tanggal 5 – 6 Maret 1996. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Saragih, YP. Dan Haryadi, Y. 1994. Mete. Budidaya Jambu Mente, Pengupasan Gelondong. Penebar Swadaya. Jakarta. Sukartawi. 1996. Agribisnis Jambu Mente. Prosiding. Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Tanggal 5 – 6 Maret 1996. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Soeharjo, A. dan D. Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
98
Soekartawi. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. UI Press. Jakarta. .
1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. UI Press. Jakarta
Suyanto, dkk. 1994. Ekonomi Teknik Proyek Sumberdaya Air. Suatu Pengantar Praktis. Masyarakat Hidrologi Indonesia (MHI). Jakarta. Wuriyanyo, L. 2002. Analisis kelayakan Finansial Usahatani Lada dan Pemasaran Komoditi Lada ( Studi Kasus di Desa Giri Mulya, Kecamatan Jabung, Lampung Timur). Skripsi jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zaubin, R. Dan Daras, U. Sejarah dan Prospek Tanaman Jambu Mente. Monograf Jambu Mente. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur yang berlimpah penulis naikkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kasih karena atas kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada : 1. Ibu. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen pembimbing, atas segala kebesaran hati dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, arahan, motivasi serta masukan yang konstruktif mulai dari persiapan penulisan sampai dengan penulisan skripsi ini selesai. 2. Ibu Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS, selaku dosen evaluator pada kegiatan seminar Proposal (kolokium) yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis. 3. Bpk. Ir. Burhanudin, MM, selaku dosen penguji utama skripsi yang telah memberikan saran dan kritik kepada penulis. 4. Ibu Tintin Sarianti, SP, selaku dosen penguji komisi akademik skripsi yang telah memberikan saran dan kritik kepada penulis. 5. Ebrinedi H, yang telah bersedia menjadi pembahas pada kegiatan seminar hasil. 6. Pemerintah Kabupaten Flores Timur atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program Sarjana Manajemen Agribisnis (ekstensi) Institut Pertanian Bogor. 7. Kedua orangtua, mertua, kakak-kakak dan adik atas dorongan, semangat dan doa. 8. Yang tercinta isteriku Marselina Pai Hurint, buah hatiku Debrito Christian Leo Laba Daton yang setia menemani papa dalam meraih cita-cita kita bersama.
9. Adik Petrus Apul, Nona Chrisnovita dan Adik Andi, atas segala pengobanan dalam memperlancar proses kolokium, seminar dan ujian sidang. 10. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan dukungan selama penyusunan skripsi ini.