Nurul Farihah
[ .. 1 .. ]
Tak ada bedanya dengan perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga lainnya ketika Nurul Farihah mengurus rumah dan ketiga buah hatinya, Muhammad Hidayatusyifa (12 tahun), Lauro’at Hidayatul Faroho (9 tahun), Anjaina Nurbaiti (3 tahun). Namun karakternya akan berubah ketika telah berhadapan dengan para pengambil keputusan kebijakan di Kota Malang, baik saat berhadapan dengan anggota DPRD, Wakil Walikota, Kepala Dinas maupun pejabatnya lainnya, dia akan gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat yang sedang dibelanya. Hidup sederhana dan pendidikan rendah bukan berarti tak bisa membantu orang lain. Bermodal kejujuran, keikhlasan dan segala keterbatasannya Nurul Farihah berusaha membantu orang lain. Bersuami Miftahusy Syiroj, seorang pedagang kerupuk keliling sekaligus Ketua RT 8 RW 9 Kelurahan Kota Lama, ia sering bersinggungan dengan beragam masalah yang dialami warga. Mulai urusan surat kematian hingga membantu warga mendapat akta kelahiran. “Saya bantu semampunya,” kata Nurul, yang kini telah berusia 39 tahun. Saat suaminya bekerja, Nurul membantu berbagai tugas adminstrasi Ketua RT. Pertengahan 2012, seseorang pemuda datang ke rumah Nurul meminta [ .. 2 .. ]
surat keterangan kematian. Pemuda tersebut adalah keluarga dari seorang ibu muda yang meninggal saat melahirkan, sedangkan sang bayi mengidap tumor. Mereka semua adalah pendatang yang tinggal di bawah jembatan Kelurahan Gadang. Warga mengenalnya dengan sebutan Kampung Baru, mayoritas mereka bekerja sebagai buruh angkut dan pedagang di Pasar Gadang. Tapi mereka tak diakui sebagai warga Kelurahan Gadang. Nurul tak berani mengeluarkan surat kematian karena mereka bukan warga RT 8. Sedangkan Kelurahan Gadang menolak mengeluarkan surat kematian. Padahal surat kematian dibutuhkan untuk pemakaman jenazah tersebut. Terpaksa, ia mengeluarkan surat kematian agar jenazah segera dimakamkan. Namun, ia tak bisa tidur karena merasa berdosa telah berbohong. Apalagi, sejak kecil ia dididik di lingkungan keluarga dan pesantren untuk selalu hidup jujur. Keluarga warga Kampung Baru yang lain kembali mendatangi Nurul untuk meminta surat kematian. Mereka rela membayar untuk mendapat surat keterangan kematian. Agar seorang warga yang meninggal akibat tabrak lari bisa dimakamkan di pemakaman setempat. Nurul adalah harapan terakhir, karena sejumlah Ketua RT menolak memberikan surat [ .. 3 .. ]
kematian. Nurul akhirnya bersedia mengeluarkan surat kematian, serta berjanji tak akan mengeluarkan surat serupa. Warga yang mengalami kesulitan mengurus akta kelahiran juga menemui Nurul. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil meminta warga menunjukkan surat keterangan lahir dari bidan. Sedangkan banyak warga Muharto yang rata-rata bekerja menjadi pemulung, pengemis dan pengamen ini melahirkan didukun beranak. Warga terpaksa membayar Rp 15 ribu per orang untuk mendapat surat keterangan lahir dari bidan. Padahal, uang tersebut sangat berarti untuk kebutuhan sehari-hari. “Pemerintah kok mengajari berbohong,” ujar Nurul. Pengajian rutin yang diselenggarakan Yayasan Harapan Umat (Harum) menghubungkan Nurul dengan Malang Corruption Watch (MCW). Sejak saat itu, ia terlibat dalam berbagai forum diskusi dan pelatihan yang diselenggarakan MCW. Pada 23 Oktober 2013 Nurul berkesempatan berdialog dengan Kepala Dinas kependudukan dan Catatan Sipil, Nurmala. Nurul pun tak menyia-nyiakan kesempatan menanyakan soal surat kematian dan surat keterangan lahir dari bidan yang menyulitkan warga. “Menurut Pak Nurmala surat keterangan lahir cukup dari Kelurahan.” [ .. 4 .. ]
Nurul ingin warganya maju dan berpendidikan tinggi. Dengan mengantongi akta kelahiran, mereka diharapkan bisa mengenyam pendidikan tinggi. Maklum, selama ini pendidikan warga hanya sekolah dasar, sedangkan sebagian tak pernah bersekolah. Sedangkan jumlah warga yang bergelar sarjana hanya dua orang. Dengan bekal pendidikan tinggi, mereka berharap mendapat pekerjaan yang layak. Selama ini julukan yang lekat untuk desa Muharto adalah “Muharto, kampung maling dan pencopet.” Berbagai pertemuan dan pelatihan yang diselenggarakan MCW selalu diikuti Nurul. Kadang, ia juga mengajak tetangganya untuk terlibat aktif mengetahui tentang pelayanan publik hak dasar warga negara. Termasuk menyampaikan berbagai persoalan yang dialami warga mulai pelayanan kesehatan, pendidikan dan administrasi kependudukan. Nurul juga menanggung seluruh biaya transportasi warga yang mengikuti pelatihan. “Dengan niat mencari ilmu, saya akan selalu hadir asal tak sakit,” katanya. Ternyata, tak semua warga mendukung niat baik Nurul. Sebagian mencibir dan menganggap Nurul memperalat warga. Namun, ia terus berkomunikasi dengan warga yang mendukungnya. Agar mereka bersedia hadir dan terlibat dalam [ .. 5 .. ]
“Uang suap itu riba, haram hukumnya,”
aktivitas. Selain menambah saudara juga menjalin silaturahmi dengan warga sekitar, maklum perempuan tiga anak ini tak memiliki saudara di Malang. MCW, katanya, tak hanya memberikan pendidikan kritis terhadap warga. Mereka juga dibantu mengurus akta kelahiran, mengakses pendidikan murah dan melaporkan berbagai pungutan di sektor pendidikan dan kesehatan. Warga ingin MCW bertindak nyata mendampingi dan membantu warga mendapat hak-hak dasar. Dan mengikuti kegiatan-kegiatan di MCW baik pertemuan warga, diskusi maupun pelatihan dimana ditempat tersebut diperbolehkan membawa anak. “Jadinya saya ikut pelatihan sambil mengasuh anak, meskipun ramai tidak apa-apa, namanya juga anak-anak” Jujur, Tolak Suap Nurul memegang teguh prinsip menolak segala jenis uang haram. Keteguhan sikap ini ditunjukkannya saat menolak pemberian uang dari sebuah partai politik menjelang pemilihan Wali [ .. 6 .. ]
Kota Malang beberapa waktu lalu. Saat itu, secara tegas ia menolak bantuan dan pemberian uang dari tim sukses salah satu calon Wali Kota Malang. “Uang suap itu riba, haram hukumnya,” katanya. Ia yakin, jika suap atau politik uang ini akan menghasilkan pemimpin yang korup. Sebab, jika terpilih pejabat bersangkutan akan melakukan berbagai cara untuk mengembaikan modal untuk “membeli” suara rakyat. Keteguhan sikap Nurul ini mendapat apresiasi sejumlah kelompok masyarakat yang mengikuti pelatihan kepemiluan yang diselenggarakan MCW. Keteguhan sikap Nurul ini merupakan amanah guru saat mengaji di Wonosobo agar selalu hidup jujur dan tak mengambil milik orang lain. Jika mencuri atau memakan uang haram, katanya, ilmu yang diperoleh tak akan bermanfaat. Nilai hidup jujur juga diajarkan saat mengenyam pendidikan di Pesantren Al Aziz Banjar Desa Patoman Kecamatan Dampit Kabupaten Malang 1990-1995. Suaminya pun mendukung sikap Nurul untuk tetap jujur, dan hanya mengandalkan uang hasil kerja keras suami berdagang kerupuk keliling. Asal suaminya tetap sehat dan tetap mendapat rejeki hasil berjualan kerupuk. Meski penghasilan tak menentu dan kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Tak boleh mengalir uang haram. Kasihan anak-anak.” [ .. 7 .. ]
Meski tak pernah menyentuh uang yang tak jelas asal-usulnya, namun ia bermimpi memberikan pendidikan tinggi dan terbaik bagi ketiga anaknya. Juli lalu, mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp 6 juta untuk biaya pendidikan ketiga anaknya. Tapi siapa sangka, jika penghasilan suaminya berjualan kerupuk bisa menutupi seluruh biaya pendidikan ketiga anaknya. “Penghasilan kadang tak masuk akal. Saking sugihe Gusti Allah.” Anak bungsunya, Muhammad Hidayatusyifa bersekolah dan menghafal Alquran di Pesantren Al Munawariyah Sudimoro Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Ia berharap anaknya bisa menggapai cita-cita menjadi dokter atau guru. Tujuannya, untuk membantu dan menolong sesama umat yang membutuhkan. Namun, ia menemui dilema setelah mendengar kabar praktek suap-menyuap juga santer dalam rekruitmen Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan anaknya ingin menjadi dokter dan guru melalui jalur PNS. Jika bekerja dengan cara haram, katanya, maka seluruh penghasilannya juga mengalir uang haram. Ia berharap ketiga anaknya tetap memegah teguh kejujuran dan turut membantu orang yang membutuhkan.
[ .. 8 .. ]
Suefendi
[ .. 9 .. ]
Tak terasa bagi Suefendi bahwa umurnya telah mencapai enam puluh enam tahun. Sebuah usia yang tak muda lagi. Namun warga tinggal di jalan IR Rais Gang V No 41 Kota Malang ini tetap bersemangat ketika berbicara tentang perjuangan untuk mendapatkan hak yang setara bagi setiap warga negara. Lulusan sekolah rakyat Mergan tahun 1957 ini, tak pernah kenal lelah untuk selalu membangun kebersamaan dalam memperjuangkan hak-hak publik yang menurutnya hingga kini selalu tersisihkan. Usai lanjut tak menghalangi Suefendi untuk menjadi aktivis di bidang pendidikan. Sejak enam tahun silam ia bergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP). Bermodal semangat dan komitmen untuk membantu orang yang mengalami kesulitan mengakses pendidikan, ia bersedia berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Tak jarang, aktivis pendidikan yang sering disapa Pak Suef ini jarang di rumah. Ia sibuk mendampingi warga atas berbagai persoalan di dunia pendidikan. “Ijazah ditahan sekolah, pungutan liar sampai kekerasan terhadap anak,” katanya. Kepeduliannya, membantu siswa dan wali murid yang terhimpit masalah ternyata didasarkan pengalaman pribadi. Putra pertamanya, Samsul Huda saat kelas 2 SMA harus [ .. 10 .. ]
drop-out karena tak memiliki biaya. Sedangkan ia tak memiliki saluran untuk mengadu atau meminta keringanan biaya. Suef mendatangi Malang Corruption Watch (MCW), untuk meminta bantuan advokasi. Namun saat itu MCW kekurangan tenaga untuk mendampingi warga dalam sektor pendidikan. Selanjutnya, 2006 sejumlah wali murid sekolah di Malang didukung MCW mendirikan Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan (AMPP). Aliansi berjaringan melibatkan banyak wali murid dan bersalin nama menjadi FMPP. Suef aktif terlibat dalam berbagai pertemuan dan mengembangkan peningkatan kapasitas pegiat FMPP. Ia bersalaman dengan sejumlah pegiat FMPP dan menerima laporan wali murid serta membantu mengatasi persoalannya. Berbekal pendidikan Sekolah Rakyat (SR) setingkat sekolah dasar lulus 1957, Suef giat belajar kritis. Berbagai aturan hukum tentang pendidikan dilahapnya. Meski tak muda lagi, ia tetap giat belajar melalui buku panduan yang disediakan MCW serta menggali informasi dari koran dan berselancar di dunia maya. Berbekal sebuah komputer jinjing dan modem internet, ia mengakses informasi dunia pendidikan secara online.
[ .. 11 .. ]
“Sekarang, tak ada anak yang tak bersekolah.”
Kepeduliannya membantu warga yang kesulitan meraih pendidikan juga didasarkan atas kenyataan di tempat tinggalnya banyak anak putus sekolah. Mereka tak bisa merasakan bangku sekolah karena faktor kemiskinan. Orang tua, tak memiliki biaya cukup untuk bersekolah. Kini, seluruh warga memperoleh pendidikan dasar sembilan tahun. “Sekarang, tak ada anak yang tak bersekolah.” Tak jarang, warga setempat mendatangi rumahnya di RT 7 RW 2 Kelurahan Tanjungrejo Kecamatan Sukun Kota Malang untuk meminta bantuan. Tak hanya urusan pendidikan, Suef membantu warga untuk mendapat layanan administrasi dasar, pelayanan kesehatan sampai soal pernikahan. Warga mengeluhkan biaya pernikahan yang selangit, sampai Rp 1 juta. Padahal, aturannya biaya pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) antara Rp 30 ribu-Rp 50 ribu. [ .. 12 .. ]
“Selebihnya uang itu dikantongi petugas KUA.” Sehingga di rumah pun Suef melayani pengaduan warga serta membantu mengurai permasalahannya. Tak hanya di Kelurahan Tanjungrejo, tapi Suef juga membantu warga di sejumlah daerah lain. Jika berdiam diri di rumah, dan tak ada aktivitas, membuatnya loyo tak bergairah. Justru aktivitas di luar dengan membantu orang lain membuatnya terpacu dan bersemangat menjalani hidup. Ia menyatakan aktivitasnya diniatkan ibadah, sebagai bekal hari tua. Heru aktif di FMPP untuk mengisi waktu luang, setelah memutuskan berhenti bekerja sebagai pengemudi bus sejak 2002. Selama 25 tahun, Suef bekerja mengemudikan bus Malang-Surabaya sejak 1969-2002. Bahkan, awalnya keluarga menentangnya melakukan aktivitas di luar rumah. Mereka memintanya untuk tetap di rumah beristirahat dan membimbing cucunya. Menunggangi motor tua, saban hari Suef bertandang ke kantor MCW di Wisma Kali Metro, Jl Jalan Joyosuko Metro 42 A Merjosari Malang. Sekedar untuk menimba pengetahuan, membaca buku atau berkoordinasi tentang advokasi yang dilakukannya. Awalnya, MCW membantu biaya transportasi Suef selama melakukan advokasi. Belakangan ia tak menggantungkan bantuan [ .. 13 .. ]
biaya transportasi setelah mengelola usaha berjualan gas elpiji. Bermodal Rp 1,2 juta pinjaman dari MCW, keuntungan penjualan gas digunakan untuk membiayai aktivitas sosial kemanusiaan yang digelutinya. Berawal dari Lemah Tanjung Keterlibatan Suef bersama aktivitas sosial dimulai saat konflik rencana alih fungsi hutan kota bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) menjadi perumahan mewah. Sebagai warga yang terdekat dengan lokasi APP, bersama masyarakat Tanjung mendirikan Forum masyarakat tanjung (Format) 2002. Ia tergerak karena kawasan hutan kota yang disebut “Lemah Tanjung” bakal menyumbang banjir. Mereka giat melakukan perlawanan bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan akademisi menolak pembangunan rumah mewah. Meski perwalanannya berbuah pahit, karena perumahan mewah yang dibangun pengusaha nasional ini kini megah berdiri di antara permukiman warga Tanjung Rejo. Selanjutnya, dibantu MCW bersama sejumlah warga Tanjung Rejo lainnya mendirikan Lembaga Perlidungan Konsumen Indonesia (LPKI) 2006. Mereka mendampingi dan menyelesaikan persoalan sengketa antara [ .. 14 .. ]
konsumen dan produsen. Aktivitas di LPKI hanya bekerja selama satu tahun, Suef pun memilih berhenti beraktivitas. Setelah itu, Suef memulai aktif bersama sejumlah pegiat pendidikan bergabung dalam FMPP. Aktif di FMPP tak lantas membuatnya puas, namun ia tertantang untuk menularkan pengetahuan dan mengajak generasi muda terlibat dalam advokasi masyarakat miskin. “Minimal bisa membantu tentangga sekitar,” ujarnya. Sejumlah pemuda setiap malam berkumpul, Suef memberi pengarahan dan melatih para pemuda untuk memahami aturan dan teknik advokasi. Meski hanya tamatan SR, ia menjadi panutan bagi para pemuda dan menularkan pengalaman advokasi warga bersama FMPP. Besar harapan Suef untuk mendidik dan mewariskan semangat membantu orang lain kepada sekelilingnya. Agar kelak, Suef tak sendirian tapi bisa beraktivitas bersama dengan generasi muda.
[ .. 15 .. ]
Sri Sayekti
[ .. 16 .. ]
Sri Sayekti, 42 tahun, menjadi perempuan tangguh membesarkan kedua anaknya seorang diri. Warga Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang ini melayani jasa menjahit untuk menghidupi keluarga. Kedua anaknya, Ririn Rahmawati (19) bekerja di sebuah apotek dan Berkah Rahmadhan Alfatihan Syah, (13) bersekolah di SMPN 2 Kepanjen. Di sela-sela kesibukannya bekerja, perempuan mandiri ini terlibat aktif dalam Forum Masyarakat Peduli pendidikan (FMPP). Awal berkiprah di FMPP secara tak sengaja. Di sela menjahit, ia ditemani sebuah radio untuk mendengarkan hiburan dan informasi. Saat itu salah seorang pengurus FMPP tengah talkshow bertema pendidikan di sebuah stasiun radio. Dijelaskan, jika pendidikan dasar mulai Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas gratis alias bebas biaya. Kerena pemerintah telah menanggung seluruh biaya pendidikan melalui Bantuan Operasional Sekolah dan Bantuan Operasional Sekolah Daerah. Sedangkan, Sayekti banyak menemukan praktek pungutan liar yang ditemukan di sejumlah sekolah di Kepanjen. Ia pun ikut berdialog dan melaporkan pungutan liar yang terjadi di sejumlah sekolah. Melalui informasi di radio itu, ia mendapat pengetahuan dan [ .. 17 .. ]
Keadilan adalah harga mati. Mencerdaskan generasi hal yang tak bisa ditawar lagi. Itulah slogan Sri Sayekti (42), dalam berjuang membela kaum papa meraih pendidikan.
informasi mengenai aturan hukum soal pendidikan. Lantas, ia bergabung dan terlibat aktif dalam kegiatan FMPP. Sayekti juga berhasil membongkar praktek pungutan liar di SD Negeri 1 Kepanjen, tempat Berkah bersekolah. Sayekti mengancam akan menempuh jalur hukum jika sekolah tak mengembalikan pungutan liar tersebut. Malang Corruption Watch (MCW) pun siap mendampingi Sayekti dan FMPP untuk mengembalikan pungutan biaya pendidikan yang dibebankan wali murid. Namun, kasus tersebut cukup diselesaikan dengan cara perundingan dengan Kepala Sekolah. “Pihak sekolah mengakui pungutan liar murni kebijakan sekolah,” katanya. Hasilnya, seluruh uang hasil pungutan dikembalikan kepada masing-masing siswa. Keberhasi[ .. 18 .. ]
lannya ini justru menyebabkannya menjadi incaran pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Malang. Seorang pejabat di unit pelaksana teknis daerah Dinas Pendidikan terus menyelidik, untuk mengetahui profil Sayekti. Bahkan, ia diundang ke Dinas Pendidikan hanya sekedar untuk mengetahui identitas Sayekti, udangan dialamatkan ke rumah Sayekti dan kantor MCW. “Ternyata undangan itu asli tapi palsu, saya tak datang,” katanya. “Jika saya sampai jatuh, balasannya akan lebih kejam. Nyawa taruhannya,” kata Sayekti menirukan ancaman sang Kepala Sekolah. Mendengar ancaman itu, Sayekti justru memasang badan untuk berhadaphadapan dengan sang pejabat. Ancaman dan teror bertubi-tubi dialaminya. Termasuk tetangga sekitarnya, mereka mencibir aktivitas Sayekti dalam FMPP. Aktif dalam kegiatan FMPP, Sayekti memperdalam pengetahuan melalui pelatihan dan diskusi yang diselenggarakan FMPP dan MCW. Bermacam-macam buku tentang aturan pendidikan dilahapnya. Bahkan, ia juga dilibatkan dalam dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau Dinas Pendidikan. Mulai mengkritisi beragam pungutan yang memberatkan wali murid sampai mengajukan rancangan peraturan daerah tentang pendidikan. [ .. 19 .. ]
“Saya belajar berdiplomasi dan berargumentasi dengan pebajat,” katanya. Sejak saat itu, Sayekti menjadi perwakilan FMPP di Kabupaten Malang. Kondisi geografis Kabupaten Malang yang luas menjadi tantangan, sekaligus memicunya untuk terus membantu dan membela hak warga untuk meraih pendidikan. Ia membeberkan sebanyak 58 jenis pungutan di sekolah mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Sendirian, ia membantu mendampingi warga Kepanjen yang mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan. Ia juga berkampanye dan mengajak warga untuk peduli terhadap pendidikan. Kampanye dilakukan seorang diri, masuk ke dalam pasar Kepanjen membagikan brosur soal peraturan pendidikan sambil berbelanja. “Awalnya, tak kenal. Sekarang banyak yang mulai peduli,” katanya. Kampanye juga dilakukan melalui dunia maya, dengan memanfaatkan media sosial seperti facebook. Bahkan, aktivitasnya di dunia maya telah berjejaring dengan pegiat pendidikan di berbagai daerah di Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta. Mereka saling berbagi persoalan pendidikan di masing-masing daerah serta kiat mengatasinya. Pengetahuan tentang ragam perkara di berbagai daerah semakin memperkaya [ .. 20 .. ]
pengetahuan dan strategi untuk mendampingi warga di sektor pendidikan. Sayekti juga berharap warga di sekitarnya ikut terlibat dan peduli terhadap persoalan pendidikan. Kini, lambat laun sejumlah kelompok masyarakat mulai merespon dan berkomitmen membantu Sayekti mendampingi warga yang mengalami kesulitan mengakses pendidikan. Selain Sayekti, saat ini sebanyak empat orang yang aktif di FMPP untuk wilayah Kabupaten Malang. Semakin banyak yang peduli, Sayekti berharap seluruh lapisan masyarakat bisa mengeyam pendidikan berkualitas, karena dengan adanya pendidikan yang baik maka akan mampu melahirkan generasi yang beradab tidak seperti sekarang. Saat ini sangat sulit mencari pemimpin yang jujur. [ .. 21 .. ]
Bagaimana jika pemimpinnya sering berbohong? Lalu kita, sebagai rakyat disuruh mengikutinya? Mau jadi apa masyarakatnya?
Tidak menggunakan politik uang dalam setiap pemilihannya, padahal pemimpin itu adalah teladan bagi yang dipimpinnya. Bagaimana jika pemimpinnya sering berbohong? Lalu kita, sebagai rakyat disuruh mengikutinya? Mau jadi apa masyarakatnya? Untuk memperbaiki kondisi ini perlu dimulai dengan memperbaiki sistem pendidikan dan pengajarannya yang menekankan pada budi pekerti sehingga bisa membangun budaya anak-anak yang humanis dan bermartabat. Jadi, adanya ritual demokrasi seperti pemilihan walikota, gubernur, legislatif maupun presiden harus dilaksanakan dengan penuh dedikasi, jujur dan bermartabat agar dapat menghasilkan orang-orang yang penuh kasih kepada rakyatnya.
[ .. 22 .. ]
Supriyadi
[ .. 23 .. ]
Sekelompok penyandang tuna netra tengah belajar membuka lipatan surat suara Pemilihan Umum Gubernur (Pilgub) Jawa Timur, Senin 26-8-2013, di Rumah Makan Ringin Asri Kota Malang. Mereka perlu menandai sisi muka surat suara agar membuka surat suara dengan tepat. Keterbatasan penglihatan membuat mereka harus mengandalkan hafalan. Usai membuka surat suara, mereka menandai setiap simbol braile di atas surat suara Pilgub tersebut. Sementara Komisioner KPU Kota Malang Divisi SDM, Organisasi, dan Hubungan Partisipasi Masyarakat, Zaenudin memberikan bimbingan. Empat pasangan calon gubernur Jawa Timur satu per satu dijabarkan. Bukan sekedar nama pasangan, latar belakang setiap calon juga dijabarkan. Menurut Ketua Perhimpunan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Malang, Supriyadi, para penyandang tunanetra memang membutuhkan pelatihan khusus. Mereka harus menghafal untuk mengenali surat suara dan posisi para calon di kertas suara. “Itulah kenapa penting sosialisasi bagi penyandang tunanetra. Karena kami harus menghafal untuk menguasai kertas suara,” ujar Supriyadi. Sayangnya selama ini tidak ada inisiatif dari para pemangku Pemilihan Umum (Pemilu) untuk [ .. 24 .. ]
menjangkau para penyandang cacat. Inisiatif justru datang dari Malang Corruption Watch (MCW). MCW yang menjadi jembatan antara Pertuni dengan KPU Kota Malang. Supriyadi menambahkan, para penyandang tunanetra mempunyai aspirasi terkait kehidupan sosial mereka. Pertuni selama ini menampung setiap aspirasi dari para anggotanya. Namun aspirasi mereka kerap tersimpan dan tidak tersampaikan kepada para pemangku kepentingan. Jembatan aspirasi selama ini datang dari mitra bakti. Mitra baksi Pertuni datang dari pribadi-pribadi yang mempunyai kepedulian terhadap penyandang tunanetra. Sementara MCW menjadi satu-satunya mitra bakti yang berasal dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Aspirasi di bidang politik MCW lebih dari sekedar menjadi jembatan antara Pertuni dengan KPU maupun Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). MCW telah memberikan pencerahan baru tentang “etika” dalam Pemilu. MCW telah membangkitkan kesadaran baru pentingnya Pemilu dan bagaimana warga harus bersikap. Anggota Pertuni selama ini bersikap pasif dan tak acuh dengan proses Pemilu. Jika pun mereka terlibat [ .. 25 .. ]
sekedar memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Tidak ada kesadaran khusus yang ingin dicapi dengan proses Pemilu. Sikap tak acuh tersebut antara lain ditunjukan dengan permisif terhadap perilaku politik uang. Diakui Supriyadi iming-iming uang memang efektif untuk mengarahkan pilihan seseorang para calon atau partai tertentu. Dan selama ini anggotanya memandang penggunaan uang dalam Pemilu adalah hal lumrah, karena semua calon melakukannya. Sebagai tahap awal Pertuni mengirimkan beberapa angotanya untuk mengikuti penataran pemilih cerdas yang didakan MCW. Dalam penataran ini diberikan pemahaman pentingnya menolak politik uang. Cara tersebut masuk kategori kecurangan Pemilu dan harus ditolak. Penggunaan uang dalam Pemilu akan mengaburkan aspirasi sesungguhnya dari masyarakat. Politik uang juga menggagalkan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang amanah. Politik uang memberikan peluang mafia untuk berkuasa di pemerintahan. Pemahaman awal beberapa anggota Pertuni ini yang menjadi cikal bakal untuk ditularkan ke semua anggota. Saat ini Pertuni Malang mempunyai anggota aktif sekurangnya 50 orang. Mereka biasa berkumpul [ .. 26 .. ]
sebulan dua kali. Para minggu kedua setiap bulan anggota Pertuni membahas masalah organisasi dan melakukan arisan. Sementara pada setiap Kamis Kliwon diadakan pengajian di rumah pemenang arisan. Dua pertemuan itulah yang dimanfaat Supriyadi untuk menularkan kesadaran mejadi pemilih cerdas. Memang kesadaran ini belum sepenuhnya diterima oleh setiap anggota Pertuni. Menjadi pemilih cerdas masih sebatas wacana. Namun kesadaran ini masih terus ditanamkan kepada seluruh anggota. Salah satunya dengan menyebut uang dari para politikus nakal tersebut adalah uang haram. Penyebutan haram ini diharapkan mendorong orang untuk menolaknya. Memang butuh kadar keimanan yang kuat untuk menolak sesuatu yang haram. Tidak sedikit orang sengaja melanggar label haram untuk keuntungan pribadi. Cara lainnya adalah menjadi pemilih yang bersikap licik terhadap para mafia politik uang. Setiap anggota diberi pemahaman untuk boleh menerima pemberian uang. Namun dengan catatan calon yang memberikan uang jangan dicoblos. Strategi ini lebih menarik sebab setiap orang bebas menerima uang dari semua calon. Satu orang bisa [ .. 27 .. ]
menerima lebih dari satu calon yang menggunakan politik uang. Cara ini semakin membuat pelaku politik uang bangkrut. Mereka membutuhkan lebih banyak uang untuk menyuap masyarakat. Namun suap tersebut tidak akan mempengaruhi pilihan masyarakat. Pelaku politik uang akan terpental dari kekuasaan karena mereka tidak dipilih oleh rakyat. “Selain bangkrut untuk menyuap rakyat, mereka juga semakin terpuruk karena gagal menjadi kepala pemerintahan,” ucap Supriyadi. Forum arisan dan pengajian tersebut juga digunakan untuk memberikan penjelasan penderitaan rakyat jika mafia berkuasa. Sebagai gambaran pelaku politik uang membagikan uang Rp 100.000 per orang. Untuk keperluan sehari-hari uang tersebut habis antara dua hingga empat hari. Pembagian uang tersebut kemudian berhasil mempengaruhi pilihan masyarakat. Akhirnya pelaku politik uang berhasil memebangkan pemilu. Karena sudah terlanjur mengeluarkan uang yang besar, mereka kemudian mencari “pulihan”. Amanah jabatan yang seharusnya untuk menyejahterakan rakyat, akhirnya disalahgunakan. Mereka akan menggunakan jabatan untuk mendapatkan uang ganti biaya politik. Termasuk dengan cara-cara melanggar hukum, seperti korupsi [ .. 28 .. ]
maupun suap dan pungutan liar. Para penerima suap politik juga menjadi pihak yang bertanggung jawab dengan hadirnya kepala pemerintahan dari kalangan mafia. Menerima pemberian untuk mencoblos calon tertentu adalah kejahatan. Sikap ini membuka peluang yang menang dan berkuasa adalah mereka yang mempunyai uang banyak. Mereka yang meggunakan uang dalam proses pemilu adalah para mafia. Mereka maju menjadi calon kepala pemerintahan bukan karena mereka mampu. Melainkan mereka punya uang untuk menyuap rakyat. Sementara calon yang mengandalkan kejujuran dan program prorakyat akan tersingkir dengan sendirinya. Mereka tidak akan dicoblos karena dianggap tidak memberikan keuntungan finansial. Akibatnya calon yang jadi adalah para mafia yang hanya mengincar kekuasaan, bukan untuk mengabdi. Tidak heran kemudian muncul kebijakan yang tidak pro-rakyat. Kebijakan pemimpin yang berasal dari mafia akan menyengsarakan rakyat. Setidaknya biaya pendidikan dan biaya kesehatan akan semakin mahal. Padahal dua bidang tersebut berkait erat dengan kepentingan seluruh masyarakat. Mulai dari yang kaya hingga mereka yang miskin. Supriyadi yakin jika proses penyadaran menjadi [ .. 29 .. ]
pemilih cerdas terus dilakukan, kelak akan membuahkan hasil. Proses ini harus tetap dilakukan, karena proses Pemilu akan terus berulang di Indonesia. Mulai dari Pemilu legislatif, presiden, gubernur bahkan hingga bupati atau walikota. Diskriminasi Sebagai bagian dari masyarakat, para penyandang tunanetra membutuhkan media komunikasi. Kondisi keterbatasan penglihatan membuat media suara menjadi andalan mereka untuk mendapatkan informasi. Dalam hal ini televisi atau radio. Namun selama ini penyandang tunanetra sangat minim mendapatkan informasi seputar Pemilu. Baik radio maupun televisi sangat sedikit menyampaikan informasi. Sebagai Ketua Pertuni Malang, Supriyadi berharap kondisi tersebut menjadi perhatian KPU. “Seharusnya ada upaya lebih menjangkau penyandang tuanetra dengan informasi seputar Pemilu,” harap Supriyadi. Dalam pelaksanaan pencoblosan penyandag tunanetra juga mendapatkan diskriminasi. Mereka tidak dibebaskan untuk mencari pendamping saat pelaksanaan coblosan. Padahal semasa pemerintahan orde baru, para penyandang cacat bebas membawa [ .. 30 .. ]
pendamping sendiri. Sebenarnya KPU dalam sosialisasinya menyatakan bahwa tidak ada ketentuan tentang pendamping. Namun sosialisasi ini ternyata tidak dipahami petugas di tingkat Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS). Pihak KPPS menolak pendamping pilihan dan menyiapkan pendamping para penyandang tunanetra. Pendamping dari KPPS ini membantu membuka dan melipat kertas suara. Mereka bahkan menunjukan pilihan yang ingin dicoblos penyandang tunanetra. Akibatnya pendamping mengetahui pilihan para penyandang tunanetra. Dalam hal ini Supriyadi menyebut, prinsip rahasia dalam Pemilu sudah dilanggar. Parahnya, saat diprotes para petugas ini justru menjawab dengan merendahkan. “Mereka bilang, saya yang bisa melihat bukan kamu. Padahal apa yang mereka tunjukan belum tentu seperti kemauan kami,” katanya. Jika tetap ingin memilih pendamping sendiri, prosesnya pun terlalu lama. Penyandang tunanetra harus mengiris formulir khusus dari kelurahan atau desa setempat. Menurutnya aturan ini bersifat diskriminatif . Supriyadi berharap semua pihak peduli dengan para tunanetra dan menegakkan aturan kebebasan memilih [ .. 31 .. ]
Nuzul Heru Wibowo
[ .. 32 .. ]
pendamping. Di balik watak dan sikapnya yang keras, Nuzul Heru Wibowo (44) masih menyimpan jiwa sosial yang cukup tinggi. Warga Jalan Teluk Grajakan, Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, itu aktif dalam kegiatan sosial khususnya di bidang pendidikan. Bapak sepuluh anak itu selalu merasa terusik ketika melihat ketidakadilan di bidang pendidikan. Saking pedulinya dengan persoalan pendidikan, ia memutuskan bergabung dengan Forum Peduli Pendidikan Malang (FMPP) yang merupakan mitra dampingan dari MCW. Bersama dengan temantemannya ia selalu memperjuangkan agar tidak terjadi diskriminasi bagi anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara. Bagi Heru, demikian teman-temannya memanggil kegiatan yang selama ini dilakukannya mengandung dua makna yaitu memperjuangkan keadilan dan mendidikan masyarakat agar berani untuk menghadapi kebijakankebijakan yang jarang berpihak kepada rakyat kecil. Pilihan aktif dalam advokasi pendidikan ini bukan tanpa sebab, melainkan memang sudah ia rencanakan yaitu dengan pendidikan yang baik dan jujur tentu akan melahirkan anak didik yang baik, yang kelak diharapkan [ .. 33 .. ]
akan menjadi pemimpin yang baik pula. Misalnya seperti sekarang adanya hiruk pikuk tentang pemilihan walikota, pemilihan gubernur semua orang selalu memperbincangkan tentang adanya politik uang, semua orang menyalahkan terjadinya politik uang. Namun pernahkan kita memikirkan bagaimana dengan penyelenggaraan pendidikan kita? Apakah pendidikan kita telah bebas dari transaksi uang? Pelanggaran moral? Ataupun kekerasan? Jika hal ini terus muncul dan tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh para pejabat publik atau pemerintah khususnya walikota dan DPRD, maka pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah tetaplah akan melahirkan perilaku anak didik yang tidak baik. Oleh karena itu, yang harus diperbaiki pertama kali adalah proses penyelenggaraan pendidikan dengan baik. “Bagi saya pendidikan merupakan masalah penting untuk menuju kesejahteraan masayarakat. Sampai sekarang, saya masih melihat banyak ketidakadilan dalam pelaksanaan pendidikan,” kata pria kelahiran 8 November 1969. Namun, menurutnya, berjuang untuk kepentingan sosial memang tidak mudah. Banyak kendala yang harus ia hadapi. Ia harus berani berbenturan dengan sejumlah pejabat pemangku kepentingan. “Kerja sosial memang tidak ada enaknya. Saya harus berani debat dan adu [ .. 34 .. ]
argumentasi dengan siapa pun,” kata Heru. Bukan hanya itu, untuk memperjuangkan keadilan, Heru juga banyak dimusuhi oleh para pejabat yang merasa terusik dengan tindakannya. Berbagai bentuk teror dan intimidasi harus ia hadapi. Tetapi, segala bentuk teror dan intimidasi tidak pernah menyurutkan keteguhan hati Heru untuk menyuarakan keadilan. “Saya tidak takut berjuang untuk keadilan. Siapa saja akan saya hadapi, jenderal sekali pun,” ujarnya. Berbagai godaan selama menjalani pekerjaan sosial juga dialami oleh Heru. Seringkali, Heru mendapatkan tawaran proyek yang menggiurkan dari sejumlah pejabat. Iming-iming uang maupun segala bentuk
[ .. 35 .. ]
“Saya tidak takut berjuang untuk keadilan. Siapa saja akan saya hadapi, jenderal sekali pun,” ujarnya.
“Pekerjaan sosial ini menjadi modal saya untuk membeli surga nanti”
barang juga tidak menggiurkan hatinya. “Sering juga yang datang membawakan hadiah, saya tolak. Mereka yang ngasih uang atau barang malah saya marahi. Banyak juga pejabat yang telepon menawari proyek, tapi saya tidak mau,” katanya. Heru mengaku, apa yang dilakukannya tersebut murni bantuan sosial. Ia tidak berharap imbalan materi dari pekerjaan sosial tersebut. Kalau bisa, ia malah akan menyalurkan sebagian uang miliknya untuk hal-hal sosial. “Pekerjaan sosial ini menjadi modal saya untuk membeli surga nanti,” katanya.
[ .. 36 .. ]
Firman Abdillah
[ .. 37 .. ]
Demi kecemerlangan masa depan generasi bangsa, Firman Abdillah (42), rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk berjuang membela anak-anak dari keluarga miskin dalam meraih hak mendapatkan pendidikan layak dan berkualitas.
SIANG itu, Senin, 17 September 2012, Firman Abdillah, sibuk mendampingi tukang becak bernama Waris untuk mendapat keringanan Sumbangan Biaya Pengemba-ngan Pendidikan (SBPP) di SMK Negeri 9 Malang. Sekolah menuntut Waris membayar SBPP sebesar Rp 2 Juta dan seragam Rp. 1,1 Juta. Sementara pengha-silannya pas-pasan, hanya cukup untuk biaya hidup. “Masa keluarga miskin dilarang sekolah,” kata Firman, yang mempunyai dua orang anak yaitu Firsandiyah, 12 tahun dan Ijening Nirwana, 3 tahun. Firman yang merupakan anggota Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Malang, meminta sekolah memberikan keringan, hasilnya Waris tak [ .. 38 .. ]
perlu membayar sepeser pun. Aktivitas Firman mendampingi persoalan pendidikan semakin menumpuk saat penerimaan siswa baru. Namun, ia berkomitmen untuk istiqomah mendampingi masyarakat untuk mengakses pendidikan layak. Suami Sarwati (38) ini, juga berangkat dari keluarga miskin. Ia terpaksa meninggalkan bangku kuliah karena tak memiliki biaya. Setelah lulus SMA Negeri 2 Malang, pada 1989, ia melanjutkan kuliahnya di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STIKOM) Surabaya, selama dua tahun (1990-1992). Orang tua tak mampu, Firman terpaksa bekerja untuk membiayai kuliah. Karena bekerja dan sering membolos, ia dikeluarkan dari bangku kuliah. Sejak itu, ia bertekad membantu dan membela warga miskin melalui Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP), yang berdiri sejak 2007, yang diprakarsai oleh Malang Corruption Watch (MCW) Malang. Ayah dua anak ini, juga dilibatkan dalam berbagai pelatihan tentang pendidikan yang diselenggarakan MCW. Pertemuan diselenggarakan sebulan sekali serta diisi pelatihan mendampingi warga di sektor pendidikan. Seperti strategi pendampingan dan
[ .. 39 .. ]
menghadapi pejabat atas kebijakan dan pelayanan pendidikan. Awalnya, tak percaya diri tapi berkat motivasi dan pelatihan Firman piawai beradu argumentasi dan berbicara soal pendidikan. Sejak aktif di FMPP, berbagai ancaman dan teror silih berganti berdatangan. Mulai teror melalui pesan pendek dan telepon, bahkan motornya menjadi korban perusakan orang tak dikenal. Menurutnya, keluarga miskin memiliki hak yang sama untuk mendapat pendidikan yang layak. Warga Jalan Madyopuro, Gang III A No 6 Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang mengaku banyak persoalan pendidikan yang belum bisa dituntaskan. Alasannya, keterbatasan personil FMPP menyebabkan pendampingan warga berjalan lambat. Untuk itu, ia mengajak warga yang pernah didampingi FMPP untuk terlibat aktif membela yang lain. Firman bertekad mengabdikan diri untuk kemanusiaan membela keluarga miskin hingga akhir hayat. Negara, katanya, wajib menyediakan pendidikan murah berkualitas. Aktivitas Firman juga mendapat tantangan dari keluarga, istrinya cemburu karena Firman lebih mengutamakan membela orang lain sedangkan anaknya kurang diperhatikan.
[ .. 40 .. ]
Kepedulian Firman di sektor pendidikan ditunjukkan dengan mendirikan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Juli 2013. Sekolah didirikan di pekarangan rumah setelah melihat gedung PAUD RW 1 Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang tak memadai. PAUD melayani pendidikan gratis bagi 30 anak dari keluarga miskin. Aktivitas di sektor pendidikan mengantarkan Firman dalam beragam aktivitas bersama MCW. Pada pemilihan Gubernur Jawa Timur, ia terlibat kampanye gerakan tolak politik uang untuk mewujudkan pemilihan Gubernur yang jujur dan berintegritas. Warga di sekitarnya juga dilibatkan dalam forum warga menggelar pendidikan pemilih. Praktek politik uang menjadi gejala umum, pemilih diiming-imingi uang dan barang untuk memilih calon tertentu. “Politik uang hanya menciptakan pemimpin dan pejabat korup,” katanya. Setelah terpilih, katanya, mereka akan mengembalikan modal dengan berbagai cara termasuk korupsi, atau menggarong uang Negara.
[ .. 41 .. ]
Susiati
[ .. 42 .. ]
Susiati, 50tahun, ditemani suaminya, Zainal Arifin memasuki ruang hemodialisis atau cuci darah Rumah Sakit Tentara (RST) Soepraoen Malang. Sejak tiga tahun lalu, Susiati divonis menderita gagal ginjal. Praktis setiap pekan, ia harus dua kali melakukan terapi cuci darah. Dengan sabar dan telaten ia menjalani perawatan. Awalnya ia hanya mengalami kelelahan hingga harus menjalani rawat inap di rumah sakit. “Hasil diagnosa dokter, gagal ginjal,” katanya. Meski sakit dan tengah menjalani perawatan, Susiati tetap aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan advokasi untuk kepentingan warga. Bahkan usai menjalani cuci darah pada pertengahan September 2013 lalu, keduanya langsung mengikuti forum diskusi evaluasi pendidikan pemilih yang diselenggarakan Malang Corruption Watch (MCW). Ia aktif terlibat dalam diskusi serta sesekali menyampaikan pendapat dan usulan untuk mengawasi pemilihan umum 2014 mendatang. Bahkan, usai diskusi di sebuah hotel di Kota Batu bersama suaminya Arifin menyempatkan berkeliling kebun apel menikmati hawa sejuk dan memetik buah apel nan ranum. Keterlibatan Susiati dalam kegiatan advokasi bersama MCW terjadi secara tak sengaja. Pada 2007 ia mendengarkan radio yang menyiarkan berita tentang [ .. 43 .. ]
“Ada ketidakadilan, seharusnya sekolah negeri terbuka untuk semua golongan dan status ekonomi,”
pembangunan Sekolah Dasar Negeri Berstandar Internasional di Tlogowaru, Kedungkandang, Kota Malang. Setiap hari, Susiati mendengarkan perkembangan pembangunan sekolah yang berdiri megah di kompleks sekolah internasional tersebut. Hatinya berkecamuk setelah mengetahui jika sekolah tersebut berbiaya mahal. Siswa miskin, katanya, bisa bersekolah di SBI asal berprestasi. “Ada ketidakadilan, seharusnya sekolah negeri terbuka untuk semua golongan dan status ekonomi,” katanya. Padahal, Undang Undang Dasar menjamin pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia. Meski bersuamikan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), Susiati tetap menyampaikan pendapat yang meng[ .. 44 .. ]
kritik soal pendidikan melalui talkshow radio. Selanjutnya, Susiati diundang temu pendengar berdiskusi soal pendidikan yang dihadiri ketua Perkumpulan MCW, Luthfi J Kurniawan. “Sejak saat itu, kok saya merasa cocok dengan pandangan dan misi MCW,” ujar Susiati, yang hingga kini telah dikarunia tiga putra yaitu, Bagus Abdi Pradana, 29 tahun, Luqman Arif, 20 tahun, Arifudin Yusuf, 12 tahun. Lantas, ia sering diundang MCW untuk berdiskusi mengikuti pelatihan yang menyoal tentang pendidikan. Ia banyak belajar tentang aturan hukum dan perundang-undangan tentang berbagai persoalan yang terjadi di dunia pendidikan. Kemudian, banyak yang terlibat dan membentuk FMPP atas prakarsa MCW. Saat itu, sebanyak lima orang yang aktif terlibat untuk membantu dan mendampingi warga Malang yang kesulitan mengakses pendidikan. “Dulu tak tahu apa-apa. Hanya bermodal keberanian.” Selama enam tahun berkiprah bersama MCW, tak terhitung berapa banyak warga dengan beragam persoalan pendidikan yang dibantunya. Susiati tetap bersikap kritis terhadap pendidikan yang cenderung mahal dan memberatkan orang tua siswa. Ia bahkan berani melabrak Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang menagih agar dipasang spanduk [ .. 45 .. ]
pendidikan belajar sembilan tahun gratis. Saat itu, katanya, ia tak memikirkan jika sikapnya yang kritis dan bersentuhan dengan birokrasi akan menghambat karir Arifin. Bahkan sikap kritis Susiati sempat menjadi incaran intelijen untuk sekedar mengorek keterangan maupun ingin mengetahui identitas dirinya. Namun, Susiati tetap meladeni meski Arifin sering dihinggapi rasa khawatir. Maklum, Susiati cenderung tak memikirkan keselamatan atau kesehatan diri. Asal tak berbuat salah, katanya, ia tetap maju demi membela orang lain. Tantangan juga datang dari keluarga dan anaknya, mereka khawatir dengan kondisi kesehatan Susiati yang kadang langsung anjlok. Sikap kritis Susiati ternyata muncul sejak aktif di tim penggerak PKK. Ia sempat memprotes sosialisasi kebersihan menjelang penilaian adipura. Saat itu seorang pejabat dalam sebuah pertemuan di Balai Kota Malang meminta semua pihak menjaga kebersihan dan menghijaukan kawasan di tepi jalan. Saat itu, Susiati mengkritisi gunung sampah yang berada di belakang Balai Kota Malang. “Seharusnya pejabat memberi contoh. Di belakang Balai Kota sampah menggunung.” Lantas, Pemerintah Kota berbenah mengubah lokasi tumpukan sampah yang berhimpitan dengan sungai [ .. 46 .. ]
Brantas itu disulap menjali taman rekreasi kota (Tarekot) Malang. Dibangun taman kota dengan aneka jenis tanaman, dilengkapi koleksi satwa serta permainan anak. Susiati juga mengkritisi pemotongan dana pembangunan jalan yang dianggarkan Rp 100 juta ternyata panitia hanya menerima dana Rp 80 juta. Sikap kritis Susiati tak berhenti disitu, ia juga pernah mengkritik istri Menteri Dalam Negeri yang tengah talkshow di sebuah radio, agar tak hanya bicara. Tetapi ikut merasakan penderitaan yang dialami rakyat. Susiati mengaku tak nyaman saat mengikuti pertemuan anggota tim penggerak PKK. Maklum, di sela-sela pertemuan sejumlah anggota membahas proyek dan uang yang diterima sang suami. Bahkan, [ .. 47 .. ]
“Uang biaya KTP kok masuk kantong, bukan untuk biaya operasional,” tanya Susiati.
mereka tak malu menceritakan penggelembungan anggaran sejumlah program. Termasuk soal tukar guling tanah dan uang hasil mengurus KTP. “Uang biaya KTP kok masuk kantong, bukan untuk biaya operasional,” tanya Susiati. Saat Arifin menjadi Lurah, beragam godaan dengan iming-iming hadiah rumah dan barang mewah juga menghampiri. Namun, Arifin dan Susiati bertahan menolak segala bentuk sogokan atau suap. Susiati tetap berkomitmen untuk membantu orang lain dengan segala keterbatasan. Termasuk mendampingi wali murid yang ijazahnya ditahan gara-gara tak mampu membayar biaya pendidikan. Jika dulu ia mendengarkan siaran berita atau talkshow radio sekarang bersama aktivis MCW yang lain sering menjadi narasumber. Undangan menjadi pembicara di stasiun radio, televisi termasuk pertemuan yang diselenggarakan kelompok masyarakat berdatangan. Dengan penuh semangat berkampanye mengajak masyarakat turut terlibat mengawasi para pemimpin kota yang sering tidak jujur.
[ .. 48 .. ]
Kriswindari
[ .. 49 .. ]
Semangat Kriswindari (50), terjun di dunia sosial patut diacungi jempol. Di usianya yang memasuki setengah abad, ibu dua anak ini justru semakin aktif dalam kegiatan sosial. Kris, panggilannya, hampir aktif di semua kegiatan sosial yang ada lingkungannya di Jalan Sukun Gempol, RT 4 RW 9, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Di sela-sela kesibukannya menjadi guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Kris masih meluangkan waktunya menjadi kader lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Tak hanya itu, wanita kelahiran Tulungagung pada 8 September 1963 itu juga menjadi kader posyandu balita dan ketua posyandu lansia di lingkungannya. Kris juga menjabat sebagai wakil ketua pergerakan rakyat gotong royong sekaligus menjadi relawan di Malang Corruption Watch (MCW). Selain itu, Kris juga menjadi tutor keaksaraan fungsional. Bagi Kris, melakukan pekerjaan sosial merupakan hal yang menyenangkan. Ia seperti menemukan kepuasan batin yang tidak dapat diukur dengan materi saat melakukan pekerjaan sosial. Maka dari itu, Kris tidak pernah lelah dan selalu meluangkan waktunya untuk hal-hal yang menyangkut sosial. “Dalam hidup ada ruangan di diri kita yang tidak bisa diukur dengan
[ .. 50 .. ]
uang, yakni jiwa sosial. Tetapi, kita akan mempunyai kepuasan batin tersendiri saat menjalaninya,” kata Kris. Hal itu dialami Kris saat menjadi relawan MCW dalam menyosialisasikan pemilihan gubernur Jatim. Dengan bekal pelatihan pemilu yang diadakan MCW, alumni jurusan PMPKN Fakultas Pendidikan IPS IKIP Malang, pada 1987, itu seakan tak lelah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas di ajang Pilgub Jatim. “Karena saya aktif di kegiatan yang melibatkan banyak kaum perempuan, maka pendidikan politik paling banyak saya berikan kepada perempuan,” ujarnya. Para orang tua yang menunggu anaknya di PAUD tempat Kris mengajar juga menjadi sasaran untuk sosialisasi tentang pemilu. Biasanya, usai mengajar PAUD, Kris sering mengajak orang tua siswa berdiskusi. Tak hanya mengenai pendidikan dan tumbuh kembang anak, tapi juga menyinggung soal pemilu. Kris mengajak para orang tua siswa untuk peduli dan menggunakan hak politiknya di Pilgub Jatim. Kris juga menjelaskan kepada para orang tua siswa terkait kecurangan dan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu.
[ .. 51 .. ]
“...Saya hanya berharap kesadaran politik warga meningkat, sehingga golput tak jadi pilihan. Warga antusias menggunakan hak pilih dan semakin cerdas menentukan pilihan,”
“Saya melakukan pendidikan pemilu kepada perempuan di berbagai tempat, termasuk saat belanja. Biasanya, mengenalkan profil calon Gubernur dan Wakil Gubernur, soal proses dan tahapan pemilihan Gubernur Jawa Timur kepada ibu-ibu saat belanja. Saya hanya berharap kesadaran politik warga meningkat, sehingga golput tak jadi pilihan. Warga antusias menggunakan hak pilih dan semakin cerdas menentukan pilihan,” katanya. Tak hanya itu, sosialisasi soal pemilu juga dilancarkan Kris dalam pertemuan PKK. Jabatan sebagai Ketua PKK RW 9 yang melibatkan 17 RT di Kelurahan Tanjungrejo Kecamatan Sukun Kota Malang, semakin memudahkan langkah Kris untuk menyosialisasikan pemilu kepada masyarakat. Apalagi, kelom[ .. 52 .. ]
pok PKK tersebut selalu mengadakan pertemuan rutin setiap sepekan sekali. Di sela pertemuan, Kriswindari menyampaikan proses dan tahapan pemilihan Gubernur Jawa Timur. Serta menjelaskan berbagai bentuk pelanggaran dan politik uang yang kerap dilakukan selama masa pemilihan umum. Namun, ketika Kris berusaha menjelaskan informasi terkait pemilu, para anggota PKK kurang begitu antusias. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Kris untuk terus menyosialisasikan pemilu kepada masyarakat. “Memang harus sabar untuk menghadapi orang banyak. Tetapi, niat saya baik. Saya ingin perempuan menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Saya juga sering mengajak anggota PKK untuk mematau dan mengawasi Pemilihan Gubernur Jawa Timur,” katanya. Sedangkan sosialisasi di lingkungannya dilakukan secara langsung. Ia rela mendatangi rumah warga satu persatu, untuk sekedar menyapa dan menyampaikan informasi tentang pemilu. Mereka diajak dialog dan berdiskusi mengenai profil calon Gubernur Jawa Timur dan aspirasi politiknya. “Kaum perempuan itu misterius, tak jelas alasannya memilih seseorang,” ujarnya.
[ .. 53 .. ]
Mereka, katanya, kadang hanya melihat gambar dan wajah calon. Tanpa mengetahui rekam jejak dan profil pasangan calon Gubernur yang akan dipilih. Kris juga mendekati warga saat berbelanja sayuran di warung. Mulai membahas persoalan di dapur, seperti jenis masakan dan olahan kue lebaran sampai soal informasi tentang pemilu. Dengan gaya penyampaian yang santai dan akrab, ia berharap informasi tersebut melekat di pikiran ibu rumah tangga tersebut. “Saya benar-benar merasa terkesan saat menjadi relawan pemilu yang dibentuk MCW. Bagi saya, pemilu merupakan ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang baik. Pemimpin yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Dengan sosialisasi ini, saya berharap masyarakat semakin cerdas dalam memilih pemimpin untuk kehidupan yang lebih baik,” jelasnya. Kris bercerita, sebelumnya, ia juga anti dengan kegiatan pemilu. Sejak di bangku kuliah, Kris tak pernah menggunakan hak pilihnya. Ketika menjadi mahasiswa, Kris memang sering mengikuti kelompok diskusi yang membahas persoalan politik, sosial, dan perburuhan. Namun, kegiatan tersebut malah membuatnya untuk golput dalam setiap ajang pemilu.
[ .. 54 .. ]
Ketika itu, Kris berpikir pemilu di Indonesia hanya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan pemerintahan orde baru. Pilihan golput terus berlangsung sampai berumah tangga dengan Ratmoko, seorang dosen dan aktivis perburuhan. Ratmoko yang juga ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) Malang Kucecwara juga memengaruhi pandangan politiknya. Kriswindari tetap kukuh mengikuti golongan putih, meski ia sering ditunjuk sebagai kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Keinginannya meninggalkan golput semakin kuat, setelah ia mengikuti pelatihan pendidikan kepemiluan yang diselenggarakan Malang Corruption Watch (MCW). Dalam pelatihan selama tiga hari di Batu, pandangan politiknya semakin terbuka. Pemilu dianggap penting tak hanya memilih wakil rakyat atau pemimpin tapi juga untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. “Sebagai warga Negara, berhak terlibat dalam proses demokrasi. Pemilu juga jalan strategis untuk memperjuangkan aspirasi rakyat,” katanya.
[ .. 55 .. ]
T E N TA N G M C W VISI Terciptanya masyarakat madani yang humanis, beradab, bermartabat dan berdaulat dengan mengupayakan terciptanya tatanan birokrasi, politik, ekonomi dan hukum yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. MISI Melakukan monitoring dan investigasi kasus korupsi serta melakukan pendidikan publik untuk membangun gerakan sosial anti korupsi melalui pembentukan zona-zona anti korupsi NILAI KERJA MCW 1. Menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan. 2. Tidak boleh menerima sumbangan berbentuk apapun dan kerjasama program dengan obyek pantau. 3. Dalam melakukan tugas pemantauan harus minimal berdua. 4. Menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatif, independen dan non partisan. FOKUS PROGRAM YANG DIKERJAKAN - Kampanye dan Pendidikan Publik - Advokasi - Informasi, Dokumentasi dan Publikasi - Fund Raising
[ .. 56 .. ]