Volume 3 Nomor 1, September 2011
ISSN:
2085-5931
J u r n a l
NURSING UPDATE Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan
Nursing update adalah jurnal ilmiah ilmu keperawatan dan merupakan wahana informasi bidang ilmu keperawatan yang menerbitkan hasil penelitian dan karya ilmiah terkait. Terbit pertama kali bulan September 2009 dengan frekuensi terbit dua kali setahun pada bulan September dan Maret
Susunan Pengurus Jurnal Pemimpin Umum H. Mustofa Haris, S.Kp.,M.Kes
Ketua Penyunting Hj. Fitriah, S.Kep.,Ns.,M.Pd
Penyunting Ahli dr. Yulia Mayasin, SE. Kusnanto, S.Kp., M.Kes M. Bahrudin, M.Kep., Sp.KMB M. Hasinuddin, S.Kep., Ns
Penyunting Pelaksana Nisfil Mufidah, S.Kep., Ns Merlyna Suryaningsih, S.Kep., Ns
Keuangan dan Sirkulasi Adi Suryanto, S.Pd., M.Si Fitria Dwi Astuti, Amd.Sekr Erni Susiyanti, SH.
Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ngudia Husada Madura
Alamat Redaksi Jl. R.E. Martadinata Bangkalan Telp./Fax. (031) 3091871 Email:
[email protected]
Volume 3 Nomor 1, September 2011
ISSN:
2085-5931
J u r n a l
NURSING UPDATE Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan DAFTAR ISI : Dari Meja Penyunting ....................................................................................................
iv
PENELITIAN ILMIAH Hubungan Sikap Penderita TB Paru Dengan Kepatuhan Minum Obat Di UPT Puskesmas Pamolokan M. Hasinudin .........................................................................................................
1-6
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru Di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Sofi Yulianto .........................................................................................................
7 - 13
Hubungan Tingkat Pengetahuan Spiritual Perawat Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Klien Post Operasi Ca Mamae Di Klinik Bedah Asy-Syfa Pamekasan Susmawati ............................................................................................................
14 - 18
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Dan Kinerja Perawat Terhadap Kejadiaan Pulang Paksa Pasien Rawat Inap Di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Merlyna Suryaningsih ...........................................................................................
19 - 25
Hubungan Peran Keluarga Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi 0 – 12 Bulan Di Desa Gunung Maddah Kabupaten Sampang Hamimatus Zainiyah .............................................................................................
26 - 31
Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Seks Dengan Perilaku Seks Remaja Di SMA Negeri 1 Sampang Lailatun Ni’mah .....................................................................................................
32 - 37
Hubungan Tugas Keluarga Dengan Pemberian ASI Eksklusif Di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Eni Susanti ............................................................................................................
38 - 44
ARTIKEL KESEHATAN Hubungan Dukungan Keluarga Penderita TB Paru Kategori I Dengan Kepatuhan Berobat Nisfil Mufidah ........................................................................................................
45 - 48
Hubungan Peran Perawat Dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah Ulva Noviana .........................................................................................................
Penerbit: STIKES Ngudia Husada Madura. Jl. R.E. Martadinata, Bangkalan 69116. Telp./Fax. (031) 3091871. e-mail:
[email protected]
49 - 52
Dari Meja Penyunting Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayahNYA kepada kami sehingga Jurnal Nursing Update Volume 2 Nomer 1 ini dapat terbit tepat waktu sebagai pengembangan khasanah ilmu pengetahuan bidang keperawatan khususnya dan kesehatan pada umumnya. Jurnal ini diterbitkan sebagai salahsatu sarana penyampaian informasi di bidang kesehatan khsusunya bidang keperawatan yang dapat diakses oleh segenap kalangan masyarakat yang berhubungan dengan bidang kesehatan maupun masyarakat pada umumnya. Penerbitan Jurnal Nursing Update Volume 3, Nomor 1, September 2011 diharapkan dapat menarik pembaca untuk membaca. Pada penerbitan ini tulisan ilmiah yang disajikan meliputi tuberculosis (TB Paru), kanker payudara, kejadian pulang paksa pasien, imunisasi, seks remaja, ASI eksklusif, dan hospitalisasi. Ucapan terima kasih kami sampaikan para tim penyunting ahli, dan segenap tim penerbit Jurnal Nursing Update ini atas kerja kerasnya sehingga dapat menghasilkan karya ilmiah yang dapat meningkatkan wawasan di bidang kesehatan. Ucapan terima kasih kami ucapkan pula kepada para peneliti dan penulis atas partisipasinya mengirimkan karya ilmiahnya baik berupa penelitian, maupun artikel. Redaksi Jurnal Nursing selalu membuka kesempatan bagi para penulis yang bersedia menyumbangkan karya ilmiahnya untuk dipublikasikan di Jurnal Nursing Update. Harapan kami Jurnal Nursing Update ini dapat memberikan manfaat bagi segenap insan kesehatan pada khususnya dan seluruh pembaca pada umumnya. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi kemajuan jurnal ini, dan semoga dengan diterbitkannya Jurnal Nursing Update ini akan semakin meningkatkan semangat para peneliti untuk menulis.
Bangkalan,
September 2011
PENYUNTING
Hubungan Sikap Penderita TB Paru Dengan Kepatuhan Minum Obat (M. Hasinudin)
PENELITIAN ILMIAH
Hubungan Sikap Penderita TB Paru Dengan Kepatuhan Minum Obat Di UPT Puskesmas Pamolokan
The
Relationship
of
Attitudes
of
Pulmonary Tuberculosis Patients With Compliance Drug Drink in Pamolokan Health Care Center
M. HASINUDDIN *) *) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ngudia Husada Madura
1
ABSTRACT Tuberculosis (TB), including chronic infectious disease / chronic treatment period of 6 to 8 months, even more than a year. This is because the attitude of patients who fail to followup examination, and still less to show acceptance of the existence of himself and the drugs given to drunk officer has not been properly evaluated and compliance in a less regular medicine is not based on existing procedures and equipment. Formulation of the problem is found how the picture of attitudes towards people with pulmonary TB treatment programs in medicine tuberculosis in UPT Pamolokan Health Center, how is the picture of patient medication compliance tuberculosis in UPT Pamolokan Health Center and is there a correlation between attitude pulmonary tuberculosis patients with pulmonary TB medication adherence in UPT Pamolokan Health Center with the aim of research to identify the picture of attitudes towards patients with pulmonary TB treatment programs in medicine tuberculosis in UPT Pamolokan Health Center, and identify patient medication compliance tuberculosis in UPT Pamolokan Health Center, and to analyze the correlation between attitude pulmonary TB patients with TB medication adherence Lung Health Center at UPT Pamolokan Sumenep city. The research design used analytically, using "cross sectional" independent variables in this study is the attitude of patients with pulmonary TB, and the dependent variable medication adherence. The study population were patients with pulmonary TB at PHC Pamolokan UPT, with the population and a sample of 17 respondents in data collection using questionnaires and data analysis is descriptive. The results showed a good attitude as many sufferers 12 patients (70.58%). whereas medication adherence showed submissive as much as 11 patients (64.71%). Relations with the attitude of compliance with the chi-square p value 3.192 and rank validity of first-degree level (df 1) showing H1 accepted and Ho is rejected. Thus, the hypothesis is formulated have a significant relationship between attitudes and medication adherence in UPT Pamolokan PHC Sumenep City. Keyword : Attitudes and Compliance Patient Drug Supply
Correcpondence : M. Hasinuddin, Jl. R.E. Martadinata Bangkalan, Indonesia
PENDAHULUAN Penyakit TBC (Tuberkolosis) termasuk penyakit infeksi menahun/kronis dengan masa pengobatan 6 sampai 8 bulan, bahkan bisa lebih dari 1 tahun bila kuman penyebab TBC yaitu Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi pasien telah menjadi kebal atau resisten terhadap obat
anti TBC yang umum, dan diperlukan obat lebih khusus untuk penyembuhannya bahkan ada pula yang memerlukan tindakan operasi pada organ yang terkena infeksi (Depkes RI, 2002 : 9). Tuberkolosis dapat menyerang siapa saja, dari semua golongan, segala umur dan jenis kelamin dan semua status sosio ekonomi, karena tuberkolosis menyerang jaringan paru, tidak
2
termasuk pleura (selaput paru), yang cara penularannya pada saat batuk dan bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet yang mampu bertahan dalam suhu kamar selama ber jam-jam, orang terinfeksi apabila droplet terhirup masuk kedalam saluran pernafasan.dan menyebar ke paru dan saluran tubuh lainnya. Mengingat besar dan luasnya masalah TB, maka penanggulangan TB harus dilakukan melalui kemitraan dengan berbagai sektor baik pemerintah, swasta maupun lembaga masyarakat. Hal ini sangat penting untuk mendukung keberhasilan program dalam melakukan ekspansi maupun kesinambungan. Keterbatasan pemerintah dan besarnya tantangan TB saat ini memerlukan peran aktif dengan semangat kemitraan dari semua pihak yang terkait, sehingga penanggulangan TB dapat lebih ditingkatkan melalui gerakan terpadu yang bersifat nasional. Secara formal keterpaduan tersebut dilakukan dalam suatu forum kemitraan gerakan terpadu nasional penanggulangan tuberkolosis (Depkes RI, 2002 : vii). Indonesia sebagai negara terbesar ketiga di dunia dalam jumlah penderita TB setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun, telah berkomitmen mencapai target dalam penanggulangan tuberkolosis. Strategi Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO telah diimplementasikan dan diekspansi secara bertahap keseluruh unit pelayanan kesehatan dan instansi terkait. Berbagai kemajuan yang telah dicapai, namun tantangan program dimasa depan tidaklah lebih ringan, meningkatnya kasus penyakit menular dan lainnya serta bervariasinya komitmen menjadikan program yang saat ini sedang dilakukan ekspansi akan menghadapi masalah dalam pencapaian target global, sebagaimana tercantum pada Millenium Development Goals (MDG). Sebagai salah satu kemitraan yang dibentuk di Kabupaten Sumenep dengan slogan Stop TB, Dinas Kesehatan Sumenep terdiri dari 30 Puskesmas, untuk tahun 2009 didapatkan 99,54 % suspeck penderita TB dengan target 11.096 terealisasi 11.045 penderita, sedangkan pada penderita BTA (+) dapat terobati 113,29 % realisasi 1257 atas target 1.110, dengan karakteritik penderita perempuan sebanyak 554 penderita dan laki – laki sebanyak 703 penderita, sedangkan yang kambuh
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 1-6
penderita dalam tahun 2009 hanya 19 penderita (PML, Dikes Kab. Sumenep, 2009). Penemuan kasus tersebut ditindaklanjuti oleh UPT Puskesmas Pamolokan dalam tahun 2009 dengan penemuan suspeck penderita 122 penderita tercapai 32,32 % dari target yang ditentukan 378 penderita, untuk penderita BTA (+) hanya ditemukan 17 penderita dengan target 38, yang berarti hanya tercapai 45,03 %, dengan tingkat kesembuhan sebanyak 10 penderita, sedangkan 7 penderita masih dalam penanganan puskesmas (Data Penyakit UPT Puskesmas Pamolokan, 2009). Dari data di atas terlihat jelas bahwa ada beberapa penderita TBC Paru masih dalam pengobatan yang jangka waktunya lebih dari 6 (enam) bulan. Hal ini penderita tersebut dikarenakan : 1) sikap penderita yang lalai dalam pemeriksaan follow up serta masih kurang menunjukkan sikap menerima akan keberadaan dirinya dan obat yang diberikan petugas untuk diminum belum terevaluasi secara baik 2) keteraturan minum obat yang kurang teratur tidak berdasarkan prosedur tetap yang ada, biasanya tiap hari dalam dua bulan minum obat dengan tiga macam obat sekaligus, akan tetapi penderita minum obat TB tersebut diminum tiga kali sehari dari masing-masing obat. Hal ini menunujukkan tingkat kesembuhannya cukup memakan waktu relatif lama dan penyebab rendahnya nilai cakupan. Ketidakteraturan minum obat akan mempunyai dampak terhadap penderita TB paru, dimana penyakitnya sembuhnya lama bahkan harus dengan mengadakan pemeriksaan ulang dahak (follow-up), sehingga memakan waktu penyembuhan yang lama. Penyakit TB paru apabila tidak diobati akan mempunyai hubungan penularan kepada lingkungan sekitarnya, termasuk juga mengakibatkan kegagalan dalam pengobatan yang mengakibatkan adanya kematian penderita. Keadaan yang demikian ini sangat ditentukan oleh sikap penderita, atas keinginan sembuh terhadap penyakitnya, karena sikap atau attitude adalah suatu konsep paling penting dalam psikologi sosial, yang berkaitan secara langsung dengan psikologi individual dalam menerima dan percaya (belive) akan keberadaan dirinya sebagai penderita TB Paru. Sikap penderita hampir selalu menyertakan unsur sikap individu maupun sikap kelompok, termasuk dalam kepatuhan minum obat, dimana penderita senantiasa memperhatikan aspek dan prosedur dalam meminum obat baik jadual
Hubungan Sikap Penderita TB Paru Dengan Kepatuhan Minum Obat (M. Hasinudin)
maupun tata aturan minum obat sehingga memenuhi kepatuhan berobat. Oleh karena itu, salah satu bagian dari pembahasan dalam penelitian ini ditekankan pada sikap kognitif penderita TB Paru yang menganggap bahwa penderita adalah manusia dengan daya nalar dalam memutuskan sikap dan perilaku apa yang akan diambilnya, yang secara sistematis memanfaatkan informasi yang tersedia di sekitarnya, dengan demikian dalam kepatuhan meminum obat, penderita sering kali dihubungani lingkungan atau penderita menutupi diri atas penyakit yang dideritanya, seakan anjuran petugas terabaikan, hal demikian ini sangat memhubungani atas kesembuhan dirinya. Penentuan sikap yang baik dan keteraturan dalam minum obat maka akan sangat bermanfaat bagi penderita TB, dimana tingkat kesembuhan akan sesuai dengan jadual, serta pemulihan kondisi penderita akan lebih baik, dan keadaan ini akan menunjukkan adanya sikap penderita dalam pergaulan sehari - hari seakan tidak merasa terasing, karena telah mempunyai keperrcayaan diri atas sembuhnya penyakit yang selama ini dideritanya, termasuk juga dalam menjalankan aktivitas kesehariannya telah lebih meningkatkan. Dalam mengantisipasi adanya kejadian baik follow-up maupun ketidakteraturan dalam berobat, maka dilakukan pemantauan kepada penderita termasuk pengawasan minum obat, agar kepatuhan minum obat sesuai jadual. Selain itu penderita TB paru dianjurkan dalam kebersihan individu (self-health) termasuk juga dalam kebersihan lingkungan maupun dukungan keluarga dalam menjaga kebersihan diri penderita. Hal ini merupakan upaya positif agar penyakit yang pernah dideritanya tidak akan terjangkit lagi, karena ditubuh penderita telah tertanam adanya kekebalan. Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada hubungan sikap penderita TB Paru terhadap kepatuhan minum obat TB Paru di UPT Puskesmas Pamolokan Kabupaten Sumenep? Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sikap penderita TB Paru terhadap kepatuhan minum obat TB Paru dalam pencapaian Kesembuhan di UPT Puskesmas Pamolokan Kabupaten Sumenep. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Variabel independen dalam
3
penelitian ini adalah sikap penderita TB Paru. Sedangkan Variabel dependennya adalah kepatuhan minum obat. Populasi penelitian adalan seluruh penderita TB Paru di wilayah UPT Puskesmas Pamolokan sebanyak 17 orang. Jumlah sampel yang diambil adalah total populasi. Tempat penelitian dengan obyek penderita TB Paru Positif di UPT Puskesmas Pamolokan Kecamatan Kota Sumenep, dengan waktu penelitian mulai bulan Maret 2010 sampai dengan Mei 2010. Teknik pengumpulan data dalam penelitian disini menggunakan kuesioner dan observasi lapangan. Analisis data menggunakan uji Chi-Square. HASIL PENELITIAN Karaktersitik Umum Responden Karakteristik umum responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Haasil penelitian tentang karakteristik umum responden adalah : Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di UPT Puskesmas Pamolokan Tahun 2010 Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase Laki - Laki 11 64,71 Perempuan 6 35,29 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data Primer Diolah Berdasarkan tabel 1 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah laki–laki sebesar 64,71 %. Tabel 2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Usia di UPT Puskesmas Pamolokan Tahun 2010 Jenis Usia Frekuensi Prosentase 15 – 30 tahun 2 11,76 31 – 45 tahun 6 35,29 > 45 tahun 9 52,94 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data Primer Diolah Berdasarkan tabel 2 di atas menunjukkan yang membutuhkan kesembuhan penyakit TB di UPT Puskesmas Pamolokan Kabupaten Sumenep kebanyakan pada usia > 40 tahun 52,94%.
4
Tabel 3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di UPT Puskesmas Pamolokan Tahun 2010 Pendidikan Frekuensi Prosentase SMP Sederajat 5 29,41 SMA Sederajat 12 70,59 Sarjana (S.1) 0 0,00 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data Primer Diolah Berdasarkan tabel 3 di atas didapatkan bahwa tingkat pendidikan responden dimana yang membutuhkan pengobatan TB Paru lebih banyak berpendidikan SMA Sederajat 70,59 %. Tabel 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di UPT Puskesmas Pamolokan Tahun 2010 Pekerjaan Frekuensi Prosentase PNS 2 11,76 Pelajar 0 0,00 Wiraswasta 15 98,24 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data Primer Diolah Berdasarkan tabel 4 di atas menunjukkan adanya pekerjaan responden yang membutuhkan jasa pengobatan TB, dimana kebanyakan wiraswata sebesar 98,24 %. Sikap Penderita TB Paru Hasil penelitian pada sikap penderita TB dalam kepatuhan minum obat pada UPT Puskesmas Pamolokan terlihat sebagaimana tabel berikut : Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Penderita di UPT Puskesmas Pamolokan Tahun 2010 Sikap Frekuensi Prosentase Baik 12 70,58 Tidak Baik 5 29,42 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data primer diolah Berdasarkan tabel 5 di atas menunjukkan sikap penderita TB paru kebanyakan baik sebanyak 12 penderita (70,58 %). Hal ini dapat disimpulkan bahwa sikap penderita dalam menentukan pola minum obat telah memenuhi standar, hal itu dilakukan untuk mencapai kesembuhan, sehingga sikap penderita mempunyai
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 1-6
konsistensi diri dalam minum obat tersebut. Keteraturan minum obat sangat menentukan dalam mencapai kesembuhan, keteraturan ini dipengaruhi oleh adanya sikap penderita dalam meminum obat, karena penderita tanpa minum obat dengan teratur dan patuh, penyakit yang dideritanya tidak akan sembuh. Dari sikap inilah sangat dipengaruhi oleh adanya sikap kognitif yang berisi kepercayaan dan sikap afektif yang menyangkut adanya emosional diri penderita serta adanya sikap konatif yang membentuk perilaku penderita dalam meminum obat. Oleh karena itu sikap sebagai suatu evaluasi menyeluruh yang menunjukkan orang berespon dengan cara menguntungkan atau tidak menguntungkan secara konsisten berkenaan dengan obyek atau alternatif yang diberikan (Engel dan Miniard, 2000 : 72). Saifudin Azwar (2008 : 5) mengatakan sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, maka secara lebih spesifik menformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis. Dengan demikian dalam memberikan obat kepada penderita, untuk memberikan nilai keyakinan yang mantap, agar penderita bisa memberikan evaluasi yang nyata atas obat TB yang diberikan kepadanya dan memberikan nilai puas. Kepatuhan Minum Obat Hasil penelitian terhadap kepatuhan penderita TB dalam minum obat, terlihat sebagaimana tabel berikut : Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita di UPT Puskesmas Pamolokan Tahun 2010 Sikap Frekuensi Patuh 11 Tidak Patuh 6 Jumlah 17 Sumber : Data primer diolah
Prosentase 64,71 35,29 100,00
Berdasarkan tabel 6 di atas menunjukkan kepatuhan penderita TB paru dalam minum obat kebanyakan patuh sebanyak 11 penderita (64,71 %). Adanya tingkat kepatuhan penderita sebenarnya dipengaruhi oleh adanya sikap dan perilaku untuk sembuh, sehingga penderita mengikuti anjuran petugas dalam meminum obat agar tidak keluar dari prosedur yang diberikan. Keinginan sembuh penderita sangat tinggi
Hubungan Sikap Penderita TB Paru Dengan Kepatuhan Minum Obat (M. Hasinudin)
terbukti sebagian besar penderita patuh dalam minum obat dan inipun adanya faktor internal penderita yaitu pendidikan, lingkungan sosial serta adanya keyakinan dalam diri penderita untuk sembuh termasuk adanya pengawasan langsung dari ptugas kesehatan, sehingga kepatuhan dalam minum obat teratur. Dengan demikian kepatuhan merupakan suatu bentuk dan sikap maupun perilaku individual dalam mentaati nasehat yang diberikan oleh profesional, meskipun telah memberikan upaya yang dapat dipertimbangkan dalam mencari bantuan jasa pelayanan kesehatan lainnya. Dari hasil penelitian untuk penderita yang tidak patuh dalam minum obat 35,29 %, dimana hal ini dipengaruhi adanya pribadi dari penderita karena obat yang diminum memakan waktu lama dalam penyembuhannya, sehingga penderita merasa bosan dalam meminum obat dalam
5
setiap harinya, termasuk juga ketidakpatuhan abjuran petugas, sehingga kelalaian terjadi padanya dan terjadi adanya pengobatan lanjutan. Kepatuhan menurut Sacket dalam Neil Niven (2000 : 192) adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan profesional kesehatan. Oleh karena itu, kepatuhan ini timbul atas kesadaran individual penderita dalam menuju sembuh atau tidak sembuhnya seseorang yang ditimbulkan karena adanya keyakinan dan niat yang tulus dalam dirinya. Hubungan Sikap Penderita TB Paru Dengan Kepatuhan Minum Obat Hasil tabulasi silang antara sikap penderita TB Paru dengan kepatuhan minum obat, terlihat sebagaimana tabel berikut :
Tabel 7 Tabulasi Silang Frekuensi Sikap Dengan Dengan Kepatuhan Penderita Dalam Minum Obat di UPT Puskesmas Pamolokan Tahun 2010 Kepatuhan Total Tidak Patuh Patuh Sikap ∑ ∑ ∑ % % % Tidak Baik 2 40,00 3 60,00 5 100,00 Baik 4 33,33 8 66,67 12 100,00 Total 6 35,29 11 64,71 17 100,00 Uji statistic dengan signifikan (p) = 0,000 taraf signifikasi = 0,05 Koefisien korelasi chi square = 3,192 df = 1 Sumber : Data primer diolah Berdasarkan tabel 7 di atas menunjukkan 5 responden (100 %) dengan mayoritas sikap tidak baik mayoritas patuh 3 responden (60,00 %), sedangkan sikap baik mayoritas patuh 8 responden (66,7 %). Hasil uji Chi Square diperoleh angka signifikan p value 0,000 dengan α = 0,05 yaitu p value 0,000 < α = 0,05 dengan nilai koefisien korelasi chi square 3,192. Hasil tersebut dapat disimpulkan, bahwa menunjukkan H1 diterima dan H0 ditolak maka dengan demikian hipotesis yang dirumuskan terdapat hubungan yang signifikan artinya p value atas chi square 3,192 dengan tingkat derajat keabsahan 1 (df 1) sehingga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sikap dengan kepatuhan minum obat di UPT Puskesmas Pamolokan. Sikap dan kepatuhan merupakan prestasi kerja karena adanya hubungan sebab akibat yang berkaitan, artinya
keduanya saling mempengaruhi sebagai fungsi atas pelaksanaan dalam meminum obat yang menjadi kepatuhan penderita dalam minum obat TB yang selanjutnya penderita menjadi sembuh. Aktivitas pelaksanaan sikap yang membuat kepatuhan penderita merupakan aktivitas verja yang silakukan mempengaruhi aktivitas yang akan datang berdasrkan kepatuhan dalam minum obat (Neil Niven, 2000 : 1999). KESIMPULAN Sikap penderita TB Paru di UPT Puskesmas Pamolokan adalah baik. Kepatuhan minum obat di UPT Puskesmas Pamolokan adalah patuh. Adanya hubungan yang signifikan antara sikap dengan kepatuhan penderita minum obat TB Paru di UPT Puskesmas Pamolokan.
6
DAFTAR PUSTAKA Depkes. RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Editor Dirjen PLP, Depkes, Jakarta, Difa Danis. 2000. Kamus Istilah Kedokteran, Gitamedia Press, Jakarta, Engel, F, James, Paul W. Miniard, 2000, Perilaku Konsumen, Terjemahan, Penerbit Bina Rupa Aksara, Jakarta, Misnadiarly. 2006. Mengenal, Mencegah, Menanggulangi TBC Paru, Ekstra Paru, Pustaka Populer Obor, Jakarta, Saifudin Azwar. 2008. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Pustaka Pelajar, Offset, Yogyakarta, Sugiyono. 2002. Metode Penelitian, Alfabeta, Bandung, Suprapto. 2003. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, Rieneka Cipta, Jakarta,
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 1-6
Soekidjo Notoatmodjo. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta, Soekidjo Notoatmodjo. 2000. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, Sudjana. 2002. Metode Statistika, Tarsito, Bandung Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1989 tanggal 20 Juli 1989, Tim Kelompok Kerja PPOK, 2001, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FK. UI, Jakarta, Tim Kelompok Kerja PPOK, 2003, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FK. UI, Jakarta,
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru (Sofi Yulianto)
PENELITIAN ILMIAH
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru Di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang
The Relationship of Family Support with Pulmonary TB Treatment Compliance Patients in Tambelangan Public Health Care of Sampang Regency
SOFI YULIANTO *) *) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ngudia Husada Madura
7
ABSTRACT Tuberculosis is an infectious disease caused by germs Micobakterium tuberculosis, third cause of death in Indonesia. One cause of non-compliance tuberculosis treatment of patients with one of them is the low family support. Family support is very important because in most cases to stay with the patient. From there was able to identify the relationship of family support treatment compliance of patients with pulmonary tuberculosis. Design Descriptive study using cross sectional analytic approach. The population in this study is that all families who have family members suffering from pulmonary tuberculosis in sub Tambelangan in January 2010, where the entire population sampled as many as 19 people. Collecting data using a questionnaire and the results were cross-tabulated and described in tables and narrative. From the results of cross tabulation shows that good family support and comply with treatment as many as 9 people (47.37%), adequate support and comply with treatment as many as 7 people (36.85%), and less family support and as many as three noncompliant treatment people (15.78%). Thus, this research can be concluded that the better family support (emotional and appreciation, instrumental, informational) will be higher the level of pulmonary tuberculosis treatment compliance, so that expected health workers need to increase home visits to provide counseling for the patient to run the program with pulmonary tuberculosis treatment obedient in PHC Tambelangan Sampang regency. For further researchers to conduct further research about the factors that affect treatment adherence pulmonary tuberculosis patients than family support. Keyword : Family Support, Compliance to Treatment, Pulmonary Tuberculosis
Correcpondence : Sofi Yulianto, Jl. R.E. Martadinata Bangkalan, Indonesia
PENDAHULUAN Penyakit tuberkulosis adalah penyakit yang epidemik karena kuman micobakterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Penyakit tuberkulosis tidak terkendali pada beberapa negara di dunia, banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita yang berpotensi untuk menular (BTA positif) (Iwan, 2007). Sebenarnya penyakit TB paru dapat disembuhkan, namun banyak penderita yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya. Penderita TB paru salah dalam memahami kesembuhan, penderita mengira penyakitnya sudah sembuh karena gejala penyakit telah hilang atau berkurang. Angka drop out yang tinggi, pengobatan yang tidak adekuat dan resistensi terhadap OAT (obat anti
tuberkulosis) merupakan kendala dalam pengobatan TB paru (Permatasari, 2005). Terapi TB paru perlu dilaksanakan sedikitnya enam bulan (Sugito, 2003). Dengan meminum obat selama 6-8 bulan secara teratur dapat di pastikan penderita TB paru sembuh, sehingga penderita tidak kehilangan waktu kerja dan tidak kehilangan produktivitasnya (Depkes, 2006). Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan selalu mengingatkan penderita agar minum obat, perhatian yang diberikan kepada anggota keluarga yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat, karena itu perlu diberikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya kepatuhan pengobatan dan dukungan keluarga kepada keluarga penderita supaya penderita menyelesaikan terapinya sampai sembuh.
8
Di Indonesia, TB paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB paru di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB paru didunia. Diperkirakan pada tahun 2004 setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB paru BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2007). Sekitar 75 persen pasien TB paru adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Di Puskesmas Tambelangan jumlah penderita baru pada tahun 2007 sebanyak 14 pasien, pada tahun 2008 sebanyak 21 pasien sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 19 orang BTA positif dan pada tahun 2009 penderita yang tidak patuh berobat sebanyak 8 orang (42%). Berdasarkan survey awal pada tanggal 10 Februari 2009 yang dilakukan peneliti pada sebagian (6 orang) penderita yang tidak patuh dengan metode wawancara didapatkan hasil bahwa faktor yang menyebabkan tidak patuh antara lain karena kebosanan minum obat yang terlalu lama, tidak ada keluarga yang mengantar penderita ke pelayanan kesehatan dan jarak tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan yang jauh. Faktor penyebab penderita gagal berobat antara lain kurangnya informasi tentang pengobatan TB paru, kebosanan minum obat yang terlalu lama dan jumlah obat yang efektif cukup banyak, merasa sudah sehat dan adanya efek samping obat, kesulitan uang atau tidak ada yang mengantar penderita ke puskesmas. Jika penderita TB paru tidak mematuhi program pengobatan maka akan terjadi komplikasi, selain itu TB paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2007). Kepatuhan dan jadwal minum obat apabila dilanggar, akibatnya kuman-kuman yang terdapat di dalam tubuh akan menjadi kebal terhadap obat tersebut, untuk selanjutnya penyakit yang diderita lebih sulit disembuhkan. Apabila berhenti minum obat sebelum waktunya, batuk yang sudah hilang akan timbul kembali, kambuh, dan kemungkinan kuman akan kebal (resistensi) terhadap jenis obat tersebut (Nova, 2007). Program pengobatan pada penderita TB paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan TB paru memerlukan waktu cukup lama, yakni enam bulan sampai delapan bulan secara terus menerus (teratur) dengan OAT
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 7-13
dan harus dilakukan dengan tuntas sampai sembuh sehingga dapat mencegah penularan pada orang lain (Depkes, 2006). Faktor penunjang kelangsungan pengobatan adalah pengetahuan penderita mengenai bahaya penyakit TB paru yang mudah menular, motivasi keluarga baik saran dan perilaku keluarga kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatannya dan penjelasan/ pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan tentang pentingnya kepatuhan pengobatan dan dukungan keluarga dalam kepatuhan pengobatan penderita TB paru. Kekambuhan atau kegagalan pengobatan yang dapat mengakibatkan MDR (Multi Drug Resistent) TB dapat diminimalkan dengan cara memberikan penyuluhan kepada keluarga penderita tentang pentingnya kepatuhan pengobatan dan pentingnya dukungan keluarga dalam kepatuhan pengobatan, akibat yang terjadi jika pengobatan dihentikan serta pemberian motivasi untuk kepatuhan minum obat. Selain itu Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan pemberdayaan keluarga sebagai pengawas minum obat (PMO) dapat digunakan sebagai strategi yang paling efektif untuk mengontrol pengobatan TB paru. Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat pasien TB paru? Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah Deskriptif Analitik Non Experimental. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepatuhan berobat pasien TB Paru. Sedangkan variabel dependennya adalah dukungan keluarga dalam pengobatan pasien TB paru. Populasi penelitian adalah keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita TB paru yang berobat di Puskesmas Tambelangan sebanyak 19 orang. Besar sampel adalah total populasi. Penelitian ini dilakukan diwilayah kerja Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. Waktu penelitian adalah pada bulan Mei 2010. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Pada varibel independen, pengumpulan data menggunakan kuesioner tentang dukungan keluarga yang mencakup definisi dukungan sosial keluarga dan jenis dukungan keluarga. Sedangkan kepatuhan pengobatan mencakup pengertian TB paru dan penyebabnya, proses penularan dan
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru (Sofi Yulianto)
pencegahannya, tujuan pengobatan. Pada variabel dependen, instrument untuk mengumpulkan data yang digunakan adalah kuesioner dukungan keluarga mengacu pada dukungan emosional, penilaian/penghargaan, informasional dan instrumental yang di rancang sendiri oleh peneliti sebanyak 18 pertanyaan, dikatakan baik jika skor 13-18, cukup 7-12 dan dikatakan kurang jika skornya 0-6. Analisis data menggunakan tabulasi silang. HASIL PENELITIAN Deskripsi Tempat Penelitian Puskesmas Tambelangan terletak diluas lahan seluas 8.891,08 ha. Puskesmas Tambelangan terletak di jalan raya Samaran desa Samaran Kecamatan Tambelangan Kabupaten Sampang. Jumlah penduduk sebanyak 42.876 jiwa. Dan terbagi dalam 10 desa. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Banyuates, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jrengik, Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kedungdung dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bangkalan.
9
Puskesmas Tambelangan merupakan puskesmas induk yang membawahi 4 puskesmas pembantu (PUSTU), 6 POLINDES dan 56 POSYANDU. Puskesmas dilengkapi dengan ruang rawat inap dan UGD untuk pasien yang memerlukan perawatan secara penuh dan untuk tindakan gawat darurat. Sedangkan untuk penderita rawat jalan terdiri dari loket, balai pengobatan, kesehatan ibu dan anak, apotek, tata usaha, poli gigi. Jumlah tenaga sejumlah 49 orang terdiri dokter umum 1 orang, dokter gigi 1 orang, perawat gigi 1 orang, bidan desa 17 orang, pelaksana gizi 1 orang, perawat kesehatan lingkungan 1 orang, tenaga administrasi 5 orang, petugas loket 1 orang, petugas apotik 2 orang, perawat 19 orang, petugas laboratorium 1 orang. Karaktersitik Umum Responden Karakteristik umum responden dalam penelitian ini meliputi dukungan emocional dan penghargaan (penilaian), dukungan informasional, dan dukungan instrumental. Hasil penelitian tentang karakteristik umum responden adalah :
Tabel 1 Hubungan Dukungan Emosional dengan Kepatuhan Berobat pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan Kepatuhan berobat Total Emosional dan % ∑ Tidak penghargaan/peniaian Patuh % % patuh Baik 9 47,37 0 0 9 47,37 Cukup 7 36,84 0 0 7 36,84 Kurang 0 0 3 15,79 3 15,79 Total 16 84,21 3 15,79 19 100% Dari tabel 1 menggambarkan bahwa hampir setengahnya dukungan emosional dan pengharagaan /penilaian baik dan patuh sebanyak 9 orang (47,37%), sedangkan dukungan emosional yang cukup dan patuh sebanyak 7 orang (36,84%), dan sebagian kecil dukungan emosional kurang dan tidak patuh sebanyak 3 orang (15,79%). Dalam penelitian ini ada kemungkinan hubungan antara dukungan emosional dan penghargaan/ penilaian terhadap kepatuhan berobat pasien TB paru yang ditunjukkan dari tabel 1 dimana dukungan emosional dan penghargaan/ penilaian yang baik dan patuh sebanyak 9 orang (47,37%). Hal ini terjadi karena perhatian keluarga terhadap anggota keluarga karena merasa diperhatikan. Menurut Syamsu (2003) emosional pada diri setiap orang memiliki ciri-ciri lebih bersifat subyektif, bersifat fluktuatif, serta bersangkutpaut dengan peristiwa panca indera, seperti halnya tekun
dalam tugas, ulet dalam menghadapi kesulitan untuk menunjukkan ingin sembuh yang tinggi, dan tidak mudah melepas keyakinan Dalam memberikan dukungan emosional penderita untuk patuh berobat, keluarga mempunyai peran penting. Mengingat ada banyak hal yang di anggap rahasia oleh penderita itu sendiri yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Sedangkan minat yang ada pada seseorang perlu didukung (diperkuat) oleh orang lain melalui dukungan emosional. Hal ini mengingat bahwa stress karena penyakitnya atau faktor lain membuat minat dari penderita menjadi rendah, sehingga penderita tidak patuh berobat. Keadaan ini akan sulit diatasi, akibatnya resistensi kuman terhadap obat TB paru dapat terjadi. Dukungan emosional suatu ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan, serta penghargaan positif dan dorongan maju kepada penderita
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 7-13
10
yang diarahkan untuk menumbuhkan minat dan meningkatkan kepercayaan diri dari penderita dan keluarganya. Penyakit TB paru bukanlah suatu aib (dosa) siapapun dapat tertular TB paru kalau kondisi lingkungannya tidak baik. Penanggulangan TB paru dalam suatu keluarga adalah tanggung jawab seluruh keluarga. Penyakit TB paru adalah ancaman bagi masyarakat umumnya dan khususnya keluarga itu sendiri. Dengan memperbaiki lingkungan, saling mendukung dan saling
mengingatkan agar penderita TB paru dapat mematuhi dalam pengobatannya sehingga masalah TB paru akan segera diatasi. Menurut Sudiharto (2007) menyatakan bahwa pesan dari media massa mempunyai peran yang cukup kuat, dimana pesan dengan mudah didapatkan berupa isi dan cara penyampaian dapat mempengaruhi perilaku, sehingga keluarga penderita ingin tahu dan mencoba akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya.
Tabel 2 Hubungan Dukungan Informasional dengan Kepatuhan Berobat pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan Kepatuhan berobat Total Informasional Tidak Patuh % % ∑ % patuh Baik 10 52,64 0 0 9 52,64 Cukup 6 31,57 0 0 7 31,57 Kurang 0 0 3 15,79 3 15,79 Total 16 84,21 3 15,79 19 100% Dari tabel 2 menggambarkan bahwa sebagian besar dukungan informasional yang baik dan patuh sebanyak 10 orang (52,64%), sedangkan hampir setengahnya dukungan informasional yang cukup dan patuh sebanyak 6 orang (31,57%), dan sebagian kecil dukungan emosional yang kurang dan tidak patuh sebanyak 3 orang (15,79%). Dalam penelitian ini ada kemungkinan hubungan antara dukungan informasional terhadap kepatuhan berobat pasien TB paru yang ditunjukkan dari tabel 4.2 dimana dukungan baik dan patuh sebanyak 10 orang (52,64%). Dukungan informasional (memberikan infomai, nasihat, dan pengetahuan) yang diberikan oleh petugas kesehatan melalui keluarga segera dilakukan setelah penderita diduga menderita TB paru. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman bagi penderita TB paru keluarganya bahwa penyakit TB paru adalah penyakit yang berbahaya tetapi dapat di sembuhkan asalkan patuh dalam pengobatannya. Mengingat bahwa pengobatan TB paru memerlukan waktu berbulan-bulan maka dukungan keluarga dan pihak-pihak lainnya yang berkompeten sangat diperlukan. Untuk meningkatkan pemahaman penderita dan anggota keluarganya diberikan bahan bacaan berupa leaflet, lembar balik dan poster yang dapat dibawa pulang (Depkes RI, 2000 ) Pada penelitian ini didapatkan bahwa
penderita banyak menerima informasi tentang penyakit TB paru dari petugas kesehatan, PMO, anggota keluarga untuk patuh berobat. Tetapi ada juga keluarga yang masih kurang memahami penyakitnya. Penyakit TB ini sudah dianggap biasa, tidak bisa disembuhkan karena penyakit TB paru adalah penyakit keturunan. Dan karena itu percuma saja minum obat banyak-banyak. Untuk mengatasi hal ini perlu suatu kebijakan yang arif, karena orang yang berpola ini sulit untuk diatasi. Penderita yang patuh berobat menyadari bahwa keluarga sangat mendukung terhadap kepatuhan pengobatan, dimana banyak hal yang dapat ditanggulangi oleh anggota keluarga yang lain. Hal-hal yang belum diketahui atau tidak dimengerti oleh penderita ditanyakan pada anggota keluarga yang dianggap mengetahui tentang penyakit TB paru. Hal ini terjadi karena keluarga mempunyai pengetahuan tentang penyebab TB, cara penularan, pencegahan dan penanggulangan TB paru. Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Notoadmojo (2003), pendidikan dan infomasi sangat mempengaruhi seseoarang juga perilaku akan pola hidup terutama dalam mendukung untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Disini informasi sangat menuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya, keselamatan dan kebahagiaan.
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru (Sofi Yulianto)
11
Tabel 3 Hubungan Dukungan Instrumental dengan Kepatuhan Berobat pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan Kepatuhan berobat Total Instrumental Tidak Patuh % % ∑ % patuh Baik 9 47,37 0 0 9 52,64 Cukup 7 36,84 0 0 7 31,57 Kurang 0 0 3 15,79 3 15,79 Total 16 84,21 3 15,79 19 100% Dari tabel 3 menggambarkan bahwa hampir setengahnya dukungan instrumental baik dan patuh sebanyak 9 orang (47,37%), sedangkan dukungan instrumental yang cukup dan patuh sebanyak 7 orang (36,84%), dan sebagian kecil dukungan emosional yang kurang dan tidak patuh sebanyak 3 orang (15,79%). Dalam penelitian ini ada kemungkinan hubungan antara dukungan instrumental terhadap kepatuhan berobat pasien TB paru yang ditunjukkan dari tabel 4.3 dimana dukungan baik dan patuh sebanyak 9 orang (47,37%). Hal ini terjadi karena ekonomi yang relative mencukupi akan mampu menyediakan fasilitas kesehatan yang mendukung serta tidak akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup (Depkes RI, 1990) Krisis ekonomi yang terjadi saat ini mempengaruhi keluarga dalam memberikan dukungan instrumental kepada penderita TB paru untuk memenuhi kebutuhan pokok termasuk didalamnya biaya pemeliharaan kesehatan. Selain itu adanya kehilangan ekonomi akibat sakit tidak dapat bekerja. Sedangkan fungsi dari dukungan instrumental adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota seperti member bantuan berupa pinjaman uang kepada penderita TB paru dan memenuhi kebutuhan baik barang maupun jasa. Dukungan Keluarga Hasil penelitian tentang dukungan keluarga terhadap pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang adalah : Tabel 4 Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga terhadap pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan 2010 Dukungan keluarga Frekuensi Persentase Baik 9 47,37 % Cukup 7 36,85 % Kurang 3 15,78 % Jumlah 19 100 %
Berdasarkan tabel 4 menggambarkan bahwa hampir setengahnya dukungan keluarga baik sebanyak 9 orang (47,37%), dukungan keluarga cukup sebanyak 7 orang (36,85%), dan sebagian kecil dukungan keluarga kurang sebanyak 3 orang (15,78%). Berdasarkan fenomena diatas dukungan keluarga yang sebagian besar baik kemungkinan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain dukungan keluarga, meliputi dukungan emosional dan pengharagaan/ penilaian, dukungan informasional dan dukungan instrumental. Hal ini dikarenakan anggota keluarga merupakan orang pertama yang secara langsung berinteraksi dengan pasien sehingga keberadaannya dapat memberikan dampak atau pengaruh bagi tiaptiap anggota keluarga. Keluarga dapat menjadi edukator bagi pasien TB paru dalam menjalani program pengobatannya. Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru Hasil penelitian tentang tingkat kepatuhan berobat pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang adalah : Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan berobat pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan 2010 Kepatuhan Frekuensi Persentase Patuh 16 84,21 % Tidak patuh 3 15,78 % Jumlah 19 100 % Berdasarkan tabel 5 menggambarkan bahwa penderita hampir seluruhnya patuh sebanyak 16 orang (84,21%), dan sebagian kecil tidak patuh sebanyak 3 orang (15,78%). Menurut Sackett (1976) dalam Niven (2002) mendefinisikan kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan ketaatan, seperti halnya meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter, memberikan informasi yang jelas
12
kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya, keterlibatan lingkungan sosial misalnya keluarga memberikan dukungan terhadap penderita TB paru. Ketidaktaatan sulit dianalisa, karena sulit untuk didefinisikan, sulit untuk diukur, dan tergantung oleh banyak faktor. Kebanyakan studi ketidakpatuhan minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya tidak minum cukup obat, minum obat terlalu banyak, minum obat tambahan tanpa resep dokter, dan sebagainya. Metode-metode untuk mengukur sejauh mana para pasien mematuhi nasihat dokter dengan baik meliputi laporan pasien, laporan dokter perhitungan pil dan botol, tes darah dan urine, alat-alat mekanis observasi langsung, hasil pengobatan (La Gresa, 1988, Sarafino, 1990,
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 7-13
Ley (1988) dalam Smet Bart, 1994). Oleh karena itu perlu cara pendampingan sedemikian rupa sehingga orang yang disuruh dengan kesadaran sendiri melaksanakan tugas dengan baik, sedangkan cara menanamkan kepatuhan pada orang lain adalah kita harus memperingatkan secara berulang-ulang dan kata-kata perintah harus singkat dan jelas. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Berobat pasien TB paru Hasil tabulasi silang antara dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan berobat pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang adalah :
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Hasil Tabulasi Silang Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan Berobat pasien TB paru di Puskesmas Tambelangan 2010 Kepatuhan Dukungan keluarga Total Patuh Tidak patuh Baik 9 (47,37 %) 0 9 (47,37 %) Cukup 7 (36,85%) 0 7 (36,85%) Kurang 0 3 (15,78%) 3 (15,78%) Jumlah 16 3 19 (100 %) Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa responden yang dukungan keluarga baik dengan penderita patuh sebanyak 9 orang (47,37%), sedangkan dukungan keluarga kurang dan penderita tidak patuh sebanyak 3 orang (15,78%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keluarga yang memberikan dukungan baik atau cukup semuanya patuh menjalani pengobatan, sedangkan yang dukungannya kurang semuanya tidak patuh dalam menjalani pengobatan. Hal ini terjadi karena dukungan emosional yang baik dan penghargaan yang positif dari keluarga akan memberikan kekuatan psikologis yang menggerakkan penderita TB paru untuk menjalani program pengobatan dengan baik (Hanggart, 1989). Dengan hal itu maka proses pengobatan yang dijalani pasien TB paru dapat berjalan dengan lancar yang menghasilkan kesembuhan bagi pasien TB paru. Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang di pandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/ diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Menurut Nursalam dan Kurniawati (2008) hampir setiap orang tidak mampu
menyelesaikan masalahnya sendiri, tetapi mereka memerlukan bantuan orang lain. Dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah seseorang. Hal ini karena individu merupakan bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan agama ataupun bagian dari kelompok lainnya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga sangat diperlukan oleh anggota keluarga yang sakit. Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan perilaku anggota keluarganya yang sakit, bersifat mendukung selama masa pengobatan dan pemulihan. Apabila dukungan semacam ini tidak ada maka keberhasilan program pengobatan akan sangat berkurang. KESIMPULAN Dukungan keluarga pada pasien TB paru hampir setengahnya responden memberikan dukungan baik. Kepatuhan berobat pasien TB paru hampir seluruhnya patuh berobat secara teratur. Semakin baik dukungan keluarga maka cenderung semakin baik pula kepatuhan berobat penderita TB paru
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru (Sofi Yulianto)
DAFTAR PUSTAKA Azwar,
2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Burns, N. & Grove, S. K. (1991). The Practice of Nursing Research: Conduct. Critiques and Utilisation. 2nd ed. Philadelpia : W. B Saunders co. Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke 8. Jakarta: Depkes RI Depkes RI, 2005. Pharmaceutical care untuk penyakit tuberculosis. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI, 2005. Program Penanggulangan TBC. Http://www.Depkes.go.id. Tanggal 20 April 2010 jam 17.00 Depkes RI, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI. Depkes, 2006. Hari TB sedunia: Menjalin Kemitraan Perangi TB. http://www.depkes.go.id. Tanggal 22 April 2010. Jam 19.00 Effendy, 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Friedman, 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. Jakarta: EGC. Herawani, et all, 2001. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. Iwan, 2007. Asuhan Keperawatan dengan TB Paru. http://www.iwansain.wordpress.com. Tanggal 20 April 2010. Jam 15.30 Khaitami, 2008. Tidur terpisah cegah penularan TBC. http://www.banjarmasinpost.co.id. Tanggal 24 April 2010. Jam 22.00 Maidin, 2008. TBC bukan penyakit turunan. http://cetak.fajar.co.id. Tanggal 27 April 2010. jam 17.00 Niven, 2000. Psikologi Kesehatan: Pengantar untuk Perawat & Profesional Kesehatan Lain. Jakarta: EGC Notoatmodjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta:Rineka cipta.
13
Notoatmodjo, 2003. Pendidikan Kesehatan dan Perilaku. Jakarta: Rineka cipta. Nova, 2007. Sekilas Layang Tentang TBC. Http://www.dinkes-diy.org. Tanggal 27 April 2010. Jam 15.00 Nursalam dan Kurniawati, 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika Nursalam dan Pariani, 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto Permatasari, 2005. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi Dots. e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara. PPTI, 2004. Sekilas Tentang Penyakit TBC. http://www.ppti.info.2004. Tanggal 26 April 2010. Jam 15.45 Rahim, 2008. Kuman TB Paru paling tinggi di RS. http://www.medanbisnisonline.com. Tanggal 20 April 2010. Jam 20.00 Rofiq, 1999. Kejadian Putus Berobat Penderita Tuberkulosis Paru dengan Pendekatan DOTS. http://www.digilib.litbang.depkes.go.id/. Tanggal 24 April 2010. Jam 15.15 Sinar harapan, 2004. Hati-hati kuman TB. http://www.sinarharapan.co.id.2004. Tanggal 23 April 2010. Jam 16.00 Sudiharto, 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultuural. Jakarta: EGC Sugito, 2003. Penyembuhan TBC Paru. http://www2.kompas.com. Tanggal 28 April 2010 jam 12.00 Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Sylvia, 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses penyakit.Jakarta: EGC Tempo, 2005. Tuberkulosa. http://www.tempointeraktive.com.2005. Tanggal 26 April 2010. Jam 16.15
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 14-18
14
PENELITIAN ILMIAH
Hubungan
Tingkat
Spiritual
Perawat
Pengetahuan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Klien Post Operasi Ca Mamae Di Klinik Bedah Asy-Syfa Pamekasan
The
Relationship
of
Knowledge
Of
Spiritual Nurse To Accomplishment Of Requirement Of Spiritual Client Of Post Operate
For
Cancer
Mamae
Clinicoperate On Asy-Syfa Pamekasan SUSMAWATI *) *) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ngudia Husada Madura
In
ABSTRACT Dimension of spiritual represent one of the important dimension which require to be paid attention nurse in giving treatment upbringing to client. where at patient of post operate for cancer mamma affect positive to its healing. This research used correlation descriptive design with cross sectional approach. Collect data was use questionnaire. taken all nurse population in clinic operate on Asy-syfa Pamekasan, and result was descriptive and correlation analyzing used crosstab. Crosstab analyze indicate that there is correlation between storey; level knowledge of nurse with accomplishment of requirement of client spiritual of post operate for cancer mamae in clinic operate on Asy-syfa Pamekasan most nurse owning knowledge of good spiritual can give requirement of spiritual to client better. To researcher hereinafter writer suggest to follow up about relationship between storey; level knowledge of nurse with accomplishment of requirement of client spiritual of post operate for cancer mamae. Keyword : Knowledge of nurse spiritual, client accomplishment of requirement of spiritual
Correcpondence : Susmawati, Jl. R.E. Martadinata Bangkalan, Indonesia
PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk holistik yang terdiri dari bio, psikho, sosial dan spiritual yang sangat unik. Masing-masing unsur tadi saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu saja diantara dimensi tersebut akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat (Xiohan,2005). Dimensi spiritual merupakan salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua klien. Bahkan, Makhija (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu, lebih lanjut dikatakan nya, keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat kuat dalam penyembuhan dan pemulihan fisiknya. Kenyataannya menurut Achir Yani (1999:1) perawat kurang memperhatikan aspek spiritual dalam perawatan karena perawat kurang memahami tentang aspek spiritual dan manfaatnya terhadap kesehatan dan penyembuhan penyakit klien. Hal senada juga dikemukan oleh Wright (2002:1) yang mengatakan bahwa dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat lebih cenderung memperhatikan aspek curent (pengobatan). Beberapa pandangan pakar diatas, sesungguhnya memiliki esensi yang sama
bahwa manusia adalah makhluk yang unik yang utuh menyeluruh. Sementara itu, analisa situasi saat ini, menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual belum diberikan oleh perawat secara kompeten, Setidaknya fakta tersebut, didasarkan oleh beberapa data yang didapat penulis dari hasil studi pendahuluan/observasi peneliti terhadap pelaksanaan pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi di klinik Bedah Asy-syfa Pamekasan selama 2 hari mulai tanggal 20 maret sampai 21 maret 2010, ditemukan 10 orang perawat (66 %) tidak memperhatikan pemenuhan kebutuhan spiritual klien dan 5 orang perawat (34 %) memperhatikan pemenuhan kebutuhan spiritual klien, serta penelusuran terhadap berbagai sumber di beberapa negara maupun pengalaman dan observasi klinis penulis di beberapa institusi atau lembaga pelayanan kesehatan dimana penulis pernah melaksanakan praktik klinik. Fakta tersebut antara lain seperti yang di kemukakan oleh: Rankin dan DeLashmutt (2006) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa banyak perawat mengakui belum memahami secara jelas dan mengalami kebingungan antara konsep spiritualitas dan religius, kesimpulan Rieg, Mason dan Preston, (2006) dalam studinya juga memperlihatkan terdapat banyak perawat yang mengakui bahwa mereka tidak
Hubungan Tingkat Pengetahuan Spiritual Perawat Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Klien Post Operasi Ca Mamae (Susmawati)
dapat memberikan asuhan spiritual secara kompeten karena selama masa pendidikannya mereka kurang mendapatkan panduan tentang bagaimana memberikan asuhan spiritual secara kompeten, Makhija (2002) melihat bahwa praktik asuhan spiritual menjadi sulit ditemukan akibat terjadinya pergeseran budaya dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran yang lebih berespon terhadap kepentingan bisnis yang berorientasi material, dan kesimpulan sementara penulis dari hasil observasi penulis selama melaksanakan praktik di tatanan pelayanan kesehatan yang menyimpulkan bahwa asuhan spiritual belum dilakukan oleh perawat dalam praktik profesionalnya sehari-hari dengan dibuktikan oleh sulitnya menemukan dokumen dalam catatan keperawatan yang memperlihatkan bukti bahwa asuhan spiritual telah dilakukan dengan baik. Hasil study dari Mc Sherry,W M (1998) mengenai spirituality and spiritual care rating scale (SSCRS),55,3% dari 1029 partisipan,kuesioner dikembalikan,ini mengindikasikan bahwa perawat tidak menganggap spiritualitas sebagai suatu konsep yang hanya mencakup keyakinan agama dan ibadah agama formal, tetapi dianggap sebagi konsep universal yang dialami oleh dan relevan untuk semua orang.Perawat merasa bahwa mereka mampu mengidentifikasi pasien yang mengalami kebutuhan spiritual,tetapi melaporkan bahwa mereka tidak benar-benar nyaman dalam memenuhi kebutuhan semacam ini.Sedangkan berdasarkan penelitian dari Moschella,V.D (1997) didapatkan bahwa 45 pasien klinik onkologi,67% meningkatkan jumlah do’a mereka, 51% mencapai keimanan, dan 16% meningkatkan frekuensi hadir ke tempat ibadah sebagai respon terhadap penyakit, data ini menunjukkan bahwa peran perawat sangat penting dalam memberi asuhan spiritual kepada klien untuk sembuh atau penerimaan penyakit atau cedera mereka. Menurut Carson (1989) dan Wald & Balley (1990), dikutip oleh Carpenito (2000:932), aspek spiritual harus diperhatikan dalam perawatan selain aspek fisik dan psikososial karena menurut beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keyakinan spiritual berpengaruh terhadap kesehatan dan perawatan. Kurangnya tingkat pengetahuan spiritual perawat terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi, disebabkan karena perawat kurang memahami tentang aspek spiritual dan manfaatnya terhadap kesehatan dan penyembuhan penyakit klien. Tidak terpenuhinya kebutuhan spiritual klien akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat.
15
Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual dan cultural atau dimensi main body dan spirit merupakan satu kesatuan yang utuh. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Dari uraian masalah diatas dapat di ketahui bahwa kurangnya pendidikan dan pelatihan, diidentifikasi sebagai masalah dalam pemberian perawatan spiritual, kekurangan tersebut membutuhkan integrasi formal dimensi spiritual kedalam kurikulum keperawatan. Pemberian perawatan spiritual dipandang sebagai bagian dari peran perawat, tetapi perawat meyakini bahwa pendekatan tim diperlukan. Sedikit bukti ditemukan untuk mendukung ide bahwa perawat yang yang mempraktikkan agama formal lebih efektif, sebab sikap positif atau negative seseorang terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan seseorang terhadap manfaat objek tersebut (Ancok jamaludin,1985 ) di kutip dari Notoatmojo (1993:94). Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan spiritual perawat terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae di Klinik Bedah Asy-Syfa Pamekasan? Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan spiritual perawat terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi Ca mamae di Klinik Bedah Asy-Syfa Pamekasan. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Variabel independent dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan spiritual perawat. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah pemenuhan kebutuhan spiritual klien. Populasi dalam penelitian ini adalah Perawat di Klinik Bedah Asy syfa Pamekasan berjumlah 15 orang perawat. Besar sampel adalah total populasi. Penelitian dilakukan di klinik Bedah Asy syfa pamekasan pada bulan juli sampai dengan agustus 2010. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan cross tabulasi. HASIL PENELITIAN Karakteristik Umum Responden Krakteristik umum responden dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, lama kerja, pendidikan terakhir, dan status perkawinan.
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 14-18
16
Hasil penelitian tentang usia perawata didapat bahwa 73% (11 orang) berada dalam rentang usia 20-30 tahun, 13% (2 orang) berusia 31-45 tahun, dan 14% (2 orang) berusia 21-25 tahun). Jenis kelamian perawat yang bekerja di Klinik Bedah adalah berjenis kelamin perempuan 67% (10 orang), dan laki-laki 33% (5 orang). Masa kerja perawat adalah 87% (13 orang) yang bekerja di klinik Bedah Asy-syfa pamekasan mempunyai masa kerja 2-5 tahun, 6% (1 orang) dengan masa kerja 0-1 tahun,7% (1 orang) dengan masa kerja 6-10 tahun. Tingkat pendidikan perawat di dapat 87% (13 orang) yang bekerja di klinik Bedah
Asy-Syfa Pamekasan berpendidikan D3 Keperawatan, 6% (1 orang) berpendidikan D1 keperawatan, dan 7% (1 orang) berpendidikan SPK. Status pernikahan perawat di dapat 93% (14 orang) perawat yang bekerja di klinik Bedah Asy-Syfa Pamekasan berstatus menikah, dan 7% (1orang) belum menikah. Tingkat pengetahuan Spiritual Perawat Hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan spiritual perawat tentang pemenuhan kebutuhan spiritual klien dengan post operasi ca mamae di Klinik bedah Asysyfa Pamekasana adalah :
Sumber : Kuesioner penelitian Tahun 2010 Gambar 1 Distribusi tingkat Pengetahuan Perawat tentang pemenuhan kebutuhan spiritual klien dengan post operasi ca mamae di Klinik Bedah Asy-syfa Pamekasan, juli 2010 Berdasarkan gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar 87% (13 orang) perawat memiliki pengetahuan baik tentang spiritual,dan sebagian kecil 13% (2 orang) perawat memiliki pengetahuan cukup. Hal ini terlihat bahwa di Klinik Bedah Asy-syfa 87% tingkat pendidikannya adalah Akademi keperawatan. Keraf (2001:35) mengemukakan secara umum bahwa pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh :pengalaman hidup (pengetahuan sejati), tingkat pendidikan (semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pengetahuannya), kesehatan fisik, terutama kesehatan panca indra, usia (berhubungan dengan daya tangkap dan ingatan terhadap suatu materi), dan media masa/buku (sebagai sumber informasi). Selanjutnya menurut Slameto (1995:54), mengemukakan bahwa pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
meliputi : kesehatan fisik, mental dan sosial, tingkat intelegensi, perhatian (jika perhatian seseorang terhadap suatu materi rendah/kurang, maka pemahaman terhadap materi tersebut akan berkurang/menurun), minat (kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus menerus disertai rasa senang, dan bakat/kecakapan yang diperoleh melalui proses belajar/latihan. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah : Keluarga (sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama), metode pembelajaran, dan masyarakat dimana individu berada. Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Klien Post Operasi Ca Mamae Hasil penelitian tentang pemenuhan kebutuhan spiritual klien dengan post operasi ca mamae di klinik bedah Asy-Syfa Pamekasan adalah :
Hubungan Tingkat Pengetahuan Spiritual Perawat Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Klien Post Operasi Ca Mamae (Susmawati)
kebutuhan klien cukup, 3, 20%
17
kebutuhan kilen kurang, 1, 7% kebutuhan klien baik, 11, 73%
Sumber : Kuesioner penelitian Tahun 2010 Gambar 2 Distribusi pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae di Klinik Bedah Asy-syfa pamekasan , maret 2010 Dari gambar 2 di atas memperlihatkan 73% (10 orang) perawat mampu baik memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual klien dengan post operasi ca mamae, dan 7% (1 orang) kurang mampu memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae. Pemenuhan kebutuhan klien tersebut sering ditemui oleh perawat dalam menjalankan perannya sebagai pemberi pelayanan.Dengan demikian dapat disimpulkan ketika perawat menyusun perencanaan dan tujuan bagi dirinya dalam pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae dapat dijadikan contoh peran spiritual bagi kliennya dalam pemenuhan kebutuhan
spiritual sehingga klien dapat mengekspresikan perasaan dicintai oleh orang lain atau oleh Tuhan, dan mampu menerima bantuan,menerima diri sendiri dan mencari kebaikan orang lain. Hubungan Tingkat Pengetahuan Spiritual Perawat Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Klien Post Operasi Ca Mamae Hasil tabulasi silang antara tingkat pengetahuan spiritual perawat terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae di klinik Bedah Asy- syfa Pamekasan adalah :
Tabel 1 Tabulasi silang antara tingkat pengetahuan spiritual perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae di klinik Asy-Syfa Pamekasan, Maret 2010 Pengetahuan Pemenuhan kebutuhan spiritual spiritual perawat Total Baik Cukup Kurang Baik 10 2 0 12 66,7 % 13,3 % 0% 80 % Cukup 0 2 1 3 0% 13,3 % 6,7 % 20 % Kurang 0 0 0 0 0% 0% 0% 0% Total 10 4 1 15 66,7 % 26,7% 6,6 % 100 % Dari tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar perawat (80 %) dengan tingkat pengetahuan baik dapat memenuhi kebutuhan spiritual klien dengan baik sebanyak 66,7 %. Hasil penelitian terhadap hubungan tingkat pengetahuan spiritual perawat terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae di klinik Bedah Asy-syfa Pamekasan, ditemukan bahwa pengetahuan perawat kurang dengan pemenuhan kebutuhan spiritual kurang 0 orang (0 %), pengetahuan perawat cukup dengan pemenuhan kebutuhan spiritual cukup 2 orang (13,3 %). Pengetahuan
perawat cukup dengan pemenuhan kebutuhan spiritual kurang 1 orang (6,7%), pengetahuan perawat baik dengan pemenuhan kebutuhan spiritual baik 10 orang (66,7 %) dan pengetahuan perawat baik dengan pemenuhan kebutuhan spiritual cukup 2 orang (13,3 %). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan spiritual perawat, maka kecendrungan bersikap baik dalam pemenuhan kebutuhan spiritual klien dengan post operasi ca mamae. Senada dengan Yani (1991,15) bahwa kreatifitas dan harapan merupakan tanda dan pola untuk meminta informasi tentang
18
kondisinya, mencari kenyamanan bathin dan fisik sehingga klien mampu mengekspresikan harapan tentang masa depannya, terbuka terhadap kemungkinan mendapatkan kedamaian,termotivasi untuk tumbuh dan merasa puas dengan pelayanan yang diberikan perawat. Mickley (1992) juga mengatakan bahwa pengetahuan spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Stoll (1989) dikutip oleh Yani.A (1999:3), selanjutnya menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horisontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut. KESIMPULAN Tingkat pengetahuan spiritual perawat terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae di klinik Bedah Asysyfa Pamekasan menunjukkan sebagian besar perawat mempunyai pengetahuan spiritual baik dan sebagian kecil mempunyai pengetahuan spiritual cukup. Pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae di Klinik Bedah Asysyfa Pamekasan menunjukkan sebagian besar perawat mampu memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual klien dengan baik dan sebagian kecil kurang mampu memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual klien. Hubungan tingkat pengetahuan spiritual perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual klien post operasi ca mamae di Klinik Asy-syfa Pamekasan menunjukkan sebagian besar perawat yang memiliki pengetahuan spiritual baik mampu memberikan kebutuhan spiritual klien dengan baik . DAFTAR PUSTAKA Hamid A.Y. (1999), Buku Ajar Spritual Dalam Keperawatan, Jakarta :Widya Medika Barbara j gruendeman.(2006). Buku Ajar Keperawatan Peroperatif.vol 2.Jakarta : EGC
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 14-18
Carpenito L. J. (2000). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada praktik klinik. Edisi 6. Jakarta : EGC. Carpenito L. J. (2000). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada praktik klinik. Jakarta : Edisi 8. EGC . Kozier, B., Erb, G., Blais, K., & Glenora Erb. (2006). Praktek keperawatan profesional konsep dan perspektif. Edisi keempat. Jakarta EGC Nursalam dan Pariani (2001). Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Sagung S. Notoatmodjo S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan . Jakarta :Rineka Cipta N.rohiman(2000).Ilmu budaya dasar berdasarkan alquran dan hadist.jakarta grafindo persada Danelle.G.Charette.J(2000).Rencana suhan keperawatan Onkologi.jakarta EGC Sayuti.M.metodelogi Penelitian Agama.(2002) Jakarta.Grafindo persada Berbara.c.Long.(2001) Perawatan Medial Bedah.Edisi 3.jakarta EGC Wim de jong(1997) Ilmu Bedah.jakarta EGC Soedoko.R(2006).Lokakarya PKTP.Surabaya.RSUD Soetomo Rohman Azzam.2010. Persepsi Perawat Tentang Konsep Spiritualitas Dan Asuhan Spiritual,Sebuah Renungan.Di akses 10 April 20http://nursing.about.com/library/ weekly/aa080101a.htm Suleman.(2010) .keperawatan spiritual dalm Islam.Di akses 10 april 2010. http://nursing.about.com/library/weekly/ aa080101a.htm Slameto (1995). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta. Nursalam (2003).Konsep dan Penerapan metodologi Penelitian Ilmu keperawatan.Salemba Medika Brockop (2001).Dasar Riset Keperawatan. Jakarta EGC Sastro Asmoro & Ismail (1995).Dasar Metodologi Penelitian Klinis. jakarta.Binarupa Aksara Ayyubi.M (2000).Pintar Ibadah Lengkap.Surabaya.Pustaka Agung Harapan Arikonto. S. (2006). Prosedur penelitian : suatu pendekatan praktik. Rineka Cipta. Jakarta. Sugiono (2002) Statistik penelitian. Alfabeta Bandung.
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Dan Kinerja Perawat Terhadap Kejadiaan Pulang Paksa Pasien Rawat Inap (Merlyna Suryaningsih)
PENELITIAN ILMIAH
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Dan
Kinerja
Kejadiaan Rawat
Perawat
Pulang Inap
Di
Terhadap
Paksa Pasien Puskesmas
Tambelangan Kabupaten Sampang
The Influence Of Family Economic Status And The Nurse Performance Toward Oncurrence Go Home By Force Take Care Of Lordge Patiens In The Health Of Tambelangan Sub Provincy of Sampang MERLYNA SURYANINGSIH *) *) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ngudia Husada Madura
19
ABSTRACT Go home by force is condition where the take care of lodge chosen to go home early before the doctor give apologize to go home. Go home by force influenced by family economic status and nurse performance. This research aim to know there is an influence or no between family economic status and the nurse performance toward occurrence go home force. This research using analytic design with cross sectional approach. The gathering of data used questioner with 30 respondent in health of Tambelangan sub province of meaning 0,05. The analysis result of Chi-Square show that there is any influence between family economic status with occurence go home by force (P=0,009) and there is any influence between nurse performance with occurrence go home by force (p=0,001). Based on the research result hope in order to the nurse performance is better and division of askeskin card more flatten in order to the occurence go home by force not too high. Keyword : Family Economic Status, The Nurse Performance and Go Home by Force
Correcpondence : Merlyna Suryaningsih, Jl. R.E. Martadinata Bangkalan, Indonesia
PENDAHULUAN Menurut Undang–Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 disebutkan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Depkes, 2000). Puskesmas merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang melayani upaya kesehatan masyarakat seperti yang telah dikemukakan di atas. Salah satu kelebihan Puskesmas adalah keberadaannya yang tersedia ke pelosok–pelosok desa atau wilayah terpencil, sehingga mampu dijangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada umumnya Puskesmas memiliki layanan unit rawat jalan, unit rawat inap dan unit gawat darurat. Pelayanan yang bermutu pada dasarnya merupakan suatu pengalaman emosional bagi pelanggan atau pasien. Begitu juga dengan pelayanan rawat inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, Pasien merasa puas, merasa dihargai dan surprise dengan pelayanan yang prima, maka pasien akan cenderung untuk kembali menggunakan jasa atau pelayanan
rawat inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, di masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan pendapat Agustini (2001), yang menyatakan bahwa dampak langsung dari kepuasan pelanggan adalah adanya penurunan komplain dan peningkatan kesetiaan konsumen. Demikian pula dengan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, sebagai sarana pelayanan jasa kesehatan, diharapkan pasien merasa puas dengan mutu pelayanan rawat inap tersebut maka ada kecenderungan untuk setia terhadap pelayanan rawat inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, banyak pasien minta pulang paksa sebelum masa perawatan atau pengobatannya selesai. Berdasarkan data yang didapat dari Rekam Medis Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang diketahui bahwa jumlah pasien rawat inap di Puskesmas Tambelangan Kabupten Sampang pada tahun 2009 adalah sebanyak 1093 pasien, dimana jumlah pasien pulang paksa adalah sebanyak 850 pasien (77,8 %) dibandingkan dengan pasien yang mematuhi anjuran dokter mengenai lamanya waktu rawat inap adalah sebesar 243 pasien (22,2 %). Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa Puskesmas Tambelangan Kabupaten
20
Sampang, memiliki masalah kasus pulang paksa yang cukup tinggi sehingga walaupun penyakit pasien belum teratasi mereka memaksa untuk keluar dari Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. Menurut Kusmawan (2009) faktor yang menyebabkan atau mempengaruhi pasien pulang paksa adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor kepuasan, faktor ekonomi, dan faktor pengetahuan. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor product, price, place, promotion, people dan process. Adapun tingginya kejadian pulang paksa di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang disebabkan karena faktor ekonomi masyarakat setempat dan dipengaruhi juga oleh faktor kinerja Paramedis yang kurang profesional. Adapun banyaknya kejadian pasien pulang paksa akan berdampak kepada pasien itu sendiri, lalu berdampak kepada Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang. Bagi pasien, dengan memutuskan pulang paksa, kemungkinan besar pasien itu akan kembali lagi berobat ke Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang karena pasien tersebut tidak sembuh. Bagi Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, tingginya kejadian pulang paksa berdampak terhadap berkurangnya pendapatan atau pemasukan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. Dan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang juga berdampak hampir sama dengan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. Karena itu untuk mengurangi atau meminimalisir kejadian pulang paksa di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu sehubungan dengan fakta bahwa mayoritas masyarakat Tambelangan berada dibawah garis kemiskinan, maka tarif perawatan rawat inap sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat Tambelangan. Selain itu sebaiknya kinerja paramedis ditingkatkan dengan cara mendorong paramedis untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tambahan agar dapat meningkatkan kompetensi/kemampuan Paramedis tersebut. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pengaruh status ekonomi keluarga dan kinerja perawat terhadap kejadian pulang paksa di Puskesmas Tembalangan Kabupaten Sampang? Tujuan akhir penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh status ekonomi keluarga dan kinerja perawat terhadap kejadian pulang paksa di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang.
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 19-25
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel independen dalam penelitian ini adalah status ekonomi dan kinerja perawat. Sedangkan variabel dependennya adalah pasien pulang paksa. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap di Puskesmas Tambelangan dengan estimasi tiap bulan sebanyak 100 pasien. Besar sampel yang diambil sebanyak 30% dari besarnya populasi, yaitu 30 pasien. Teknik pengambilan sampel dengan cara probability sampling dengan tehnik penelitian systematic random sampling. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang pada bulan Juni 2010. Pengumpulan data untuk status ekonomi dan kinerja perawat menggunakan kuesioner, sedangkan untuk pulang paksa menggunakan rekam medik pasien. Untuk mengetahui pengaruh antara variabel dilakukan analisa statistik menggunakan uji Chi-Square. 2 Dimana bila X hitung < Tabel berarti tidak ada pengaruh status ekonomi dan kinerja perawat terhadap kejadian pulang paksa. Untuk mengetahui dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi menggunakan tabel silang (Cross Tab) dengan cara menggabungkan variabel independen dan variabel dependen. HASIL PENELITIAN Deskripsi Umum Tempat Penelitian Luas wilayah Desa Tambelangan 8997 hektar. Jumlah penduduk di Desa Tambelangan Kabupaten Sampang adalah 52.708 jiwa. Tenaga kesehatan di Puskesmas Tambelangan 17 perawat dengan jumlah tempat tidur pasien sebanyak 11 buah. Karaktersitik Umum Responden Karaktersitik umum responden meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, status di keluarga, dan pengalaman rawat inap. Hasil penelitian tentang karakteristik umum responden adalah : Tabel 1 Distribusi frekuensi data responden berdasarkan umur di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang pada bulan Juni-juli 2010 Umur Frekuensi Prosentase <20 tahun 7 23,3 20-39 tahun 19 63,3 >39 tahun 4 13,3 Total 30 100 Sumber : data primer penelitian.
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Dan Kinerja Perawat Terhadap Kejadiaan Pulang Paksa Pasien Rawat Inap (Merlyna Suryaningsih)
Dari tabel 1 di atas dapat digambarkan bahwa sebagian besar responden yang berkunjung ke Puskesmas Tambelangan ratarata berumur 20-39 tahun sebanyak 19 orang. Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di Puskesmas Tambelangan kabupaten Sampang, bulan Juni-juli 2010 Pendidikan Frekuensi Prosentase Tidak sekolah 7 23,3 Tidak tamat SD 14 46,7 Sekolah dasar 3 10 SMP 2 7,3 SMA 4 13,3 Total 30 100 Sumber : data primer penelitian.
21
Tabel 5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pernah di Rawat Inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, Juni-juli 2010 Pernah di Rawat Inap Frekuensi Prosentase Ya 9 30 Tidak 21 70 Total 30 100 Sumber : data primer penelitian. Dari tabel 5 di atas dapat digambarkan bahwa sebagian besar responden yang berkunjung ke Puskesmas Tambelangan belum pernah di rawat inap sebanyak yaitu sebanyak 21 orang. Status Ekonomi Keluarga
Dari tabel 2 di atas dapat digambarkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu tidak tamat SD sebanyak 14 orang. Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, bulan Juni-juli 2010 Pekerjaan Frekuensi Prosentase PNS 4 13,3 Petani 18 60 Swasta 8 26,7 Total 30 100 Sumber : data primer penelitian. Dari tabel 3 di atas dapat digambarkan bahwa sebagian besar responden memiliki pekerjaan sebagai petani yaitu sebanyak 18 orang. Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan status dikeluarga di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, bulan Juni-juli 2010 Status di Keluarga Frekuensi Prosentase Suami 14 46,7 Istri 10 33,3 Anak 6 20 Total 30 100 Sumber : data primer penelitian. Dari tabel 4 di atas dapat digambarkan bahwa sebagian besar responden yang sakit status di keluarganya sebagai suami yaitu sebanyak 14 orang.
Pada pengumpulan data pasien diperoleh gambaran status ekonomi keluarga pada kategori keluarga yang status ekonominya rendah dan keluarga yang status ekonomi mampu, seperti tabel dibawah ini : Tabel 6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Status Ekonomi Keluarga di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, Juni-juli 2010 Status Ekonomi Frekuensi Prosentase Keluarga Rendah 11 36,7 Mampu 19 63,3 Total 30 100 Sumber : data primer penelitian Dari tabel 6 di atas, dapat digambarkan bahwa sebagian besar responden yang berkunjung ke Puskesmas Tambelangan sebagian besar status ekonominya mampu yaitu sebanyak 19 orang. Adapun yang menyebabkan hal tersebut yaitu penyebaran kartu askeskin yang tidak merata, karena dilihat dari karakteristik responden sebagian besar responden pekerjaannya sebagai petani. Dari itu dapat dilihat bahwa masih banyak warga miskin yang tidak mendapatkan jatah kartu askeskin untuk berobat. Warga miskin yang tidak terserap dalam jamkesmas seharusnya menjadi tanggung jawab daerah untuk dimasukkan kedalam jaminan kesehatan daerah (jamkesda). Sehingga warga miskin yang benar-benar miskin mendapatkan hak sebagaimana mestinya. Menurut Endang (2010), layanan kesehatan akan dibuat cetak birunya dan peta jalan mulai tahun 2010 hingga 2014 mendatang. Diharapkan tahun 2014 sudah ada cakupan menyeluruh “artinya, orang yang
22
mampu membayar sendiri pelayanan kesehatannya, orang yang setengah mampu dibantu pemerintah dan pemberi kerjanya, sedangkan orang miskin dan tidak mampu ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah”. Selain penduduk miskin dan tidak mampu yang telah terdata Askes ditahun 2009, cakupannya di perluas lagi dengan penduduk miskin korban bencana pasca tanggap darurat. Kinerja Perawat Pada pengumpulan data perawat diperoleh gambaran kinerja perawat pada kategori baik dan tidak baik, sedangkan kategori sangat baik tidak ada untuk lebih jelasnya data terdapat pada tabel 7. Tabel 7 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Kinerja Perawat di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, Juni-juli 2010 Kinerja Perawat Frekuensi Prosentase Baik 12 40 Tidak Baik 18 60 Total 30 100 Sumber : data primer penelitian Dari tabel 7 menunjukkan bahwa dari 30 perawat sebagian besar perawat diruang rawat inap dalam bekerja masih tidak baik yaitu sebanyak 18 perawat. Tidak baiknya kinerja perawat disebabkan kurang tepat waktu perawat dalam melaksanakan pelayanan (disiplin kerja), penampilan dan perilaku dalam memberikan informasi dan keramahan perawat yang kurang baik dalam memberikan pelayanan, tugas dan tanggung jawab perawat tidak baik karena perawat kurang memberikan informasi yang jelas dalam memberikan pelayanan kesehatan. Menurut Mangkunegara (2006) dikatakan bahwa kinerja itu merupakan suatu prestasi kerja atau hasil kerja baik secara kwalitas maupun kwantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan pada waktu kerja, sehingga kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan dijadikan acuan dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan. Pulang Paksa Pada pengumpulan data pasien diperoleh gambaran pada kategori pulang paksa dan di rawat inap, untuk lebih jelasnya data terdapat pada tabel 8 dibawah ini :
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 19-25
Tabel 8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pulang Paksa di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang, Juni-juli 2010 Pulang Paksa Frekuensi Prosentase Pulang Paksa 22 73,3 Tidak pulang paksa 8 26,7 Total 30 100 Sumber : data primer penelitian Dari tabel 8 menunjukkan bahwa dari 30 pasien sebagian besar pasien memilih untuk pulang paksa sebanyak 22 pasien. Hal ini didukung karena sebagian besar pasien pekerjaannya sebagai petani yang memaksa mereka untuk pulang lebih awal karena merasa terbebani dengan tanggung jawab yang ditinggalkan misalnya, dengan alasan tidak ada yang mau mencari rumput, mencari nafkah dan lain-lain. Selain itu responden mempunyai pendidikan yang sangat rendah yaitu tidak tamat SD yang berarti pasien tidak begitu mengerti tentang efek yang akan didapatkan bila pasien pulang lebih awal, karena kemungkinan besar pasien akan kembali lagi berobat disebabkan pasien tersebut tidak sembuh hal ini bisa merugikan pasien itu sendiri terutama dalam masalah biaya. Menurut Martin (2009) pulang paksa atau DAMA (Discharge Against Medical Advice) adalah istilah yang digunakan pada pasien yang memaksa dirinya keluar dari rumah sakit terhadap saran dokternya. Meskipun dalam tindakan medis bijaksana bagi orang untuk pulang lebih awal, dalam banyak kasus keinginan pasien dianggap pertama. Sedangkan menurut David (2010) menyatakan bahwa pulang paksa ialah suatu keadaan dimana pasien memilih untuk meninggalkan rumah sakit sebelum dokter yang merawat merekomendasikan untuk pulang, dan ini merupakan masalah bagi banyak dokter yang merawat pasien rawat inap. Dapat disimpulkan bahwa pulang paksa merupakan suatu keadaan dimana pasien rawat inap memilih untuk pulang lebih awal sebelum dokter yang merawat memberi ijin untuk pulang. Selain itu, pasien biasanya diminta untuk menandatangani formulir yang menyatakan bahwa dia sadar dengan meninggalkan fasilitas terhadap nasehat medis (inform consent). Pengaruh Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Pulang Paksa Pasien Rawat Inap Untuk mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh status ekonomi keluarga dengan kejadian pulang paksa dilakukan tabulasi silang (cross tabulation). Pada hasil
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Dan Kinerja Perawat Terhadap Kejadiaan Pulang Paksa Pasien Rawat Inap (Merlyna Suryaningsih)
tabulasi silang diperoleh status ekonomi keluarga dengan pulang paksa pada kategori
23
status ekonomi rendah dan status eonomi mampu, seperti tabel dibawah ini :
Tabel 9 Tabulasi silang antara Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Pulang Paksa di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang pada bulan Juni-juli tahun 2010 Pulang Paksa Status Ekonomi Total Px Pulang Paksa Pulang Sesuai Status Medik Keluarga ∑ % ∑ % ∑ % Ekonomi Rendah 5 45,5 6 54,5 11 100 Ekonomi Mampu 17 89,5 2 10,5 19 100 Sumber : data primer penelitian. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara status ekonomi keluarga dan kejadian pulang paksa diatas dari 30 pasien yang diteliti dapat dilihat bahwa responden yang status ekonominya mampu sebanyak 19 pasien, sebagian besar responden memilih untuk pulang paksa sebanyak 17 pasien dan 2 pasien memilih pulang sesuai dengan status medik. Hal tersebut disebabkan karena pasien yang status ekonominya mampu, dilihat dari karakteristik responden sebagian besar pekerjaannya sebagai petani, pendidikannya tidak tamat SD dan status dikeluarga sebagai kepala keluarga atau suami. Faktor-faktor diatas yang menyebabkan pasien memilih untuk pulang lebih awal, pasien merasa takut dengan biaya yang akan ditanggung setelah mendapat pelayanan keperawatan apalagi pasien tersebut rata-rata tidak pernah di rawat inap, sehingga pasien tersebut merasa cemas dengan biaya yang akan ditanggung (tidak memiliki kartu askeskin) bila berlama-lama berada di Puskesmas. Selain itu dengan status pasien di keluarga sebagian besar sebagai suami yang memiliki tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya, kemungkinan menjadi salah satu alasan pasien untuk pulang lebih awal. Hal tersebut disebabkan karena pembagian kartu askeskin yang tidak merata, sehingga warga yang benar-benar miskin tidak mendapatkan jatah “kartu askeskin” sedangkan yang kaya malah dikategorikan miskin. Selain itu, masih belum jelasnya kriteria miskin itu seperti apa, sehingga yang menentukan miskin atau tidak berada di tangan kepala desa atau lurah. Menurut David (2010) menyatakan bahwa pulang paksa ialah suatu keadaan dimana pasien memilih untuk meninggalkan rumah sakit sebelum dokter yang merawat merekomendasikan untuk pulang, dan ini merupakan masalah bagi banyak dokter yang merawat pasien rawat inap.
Sedangkan menurut Efendi (1998) keadaan sosial ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan dengan berbagai masalah kesehatan yang dihadapi disebabkan karena ketidaktahuan dalam mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi. Makin rendahnya penghasilan seseorang (dengan alasan biaya), seorang pasien yang seharusnya belum diijinkan pulang oleh dokter yang merawat, dengan terpaksa pasien memilih pulang sebelum waktunya. Dari hasil tersebut maka pasien yang status ekonominya mampu (tidak memiliki kartu askeskin), diharapkan bisa pulang sesuai status medis tanpa harus pulang paksa dengan cara tarif disesuaikan dengan ekonomi masyarakat sehingga pasien tidak perlu takut lagi akan biaya pelayanan keperawatan. Dari hasil analisa statistik dengan uji chi-square menunjukkan bahwa Ho ditolak yang artinya ada pengaruh status ekonomi keluarga dan kejadian pulang paksa pasien Rawat Inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang (p=0,009 < α =0,05). Adanya pengaruh status ekonomi keluarga dengan kejadiaan pulang paksa disebabkan karena biaya yang terlalu mahal, disamping itu faktor pekerjaan (petani) juga mempengaruhi pasien untuk pulang lebih awal. Pengaruh Kinerja Perawat dengan Kejadian Pulang Paksa Pasien Rawat Inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Untuk mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh kinerja perawat dengan kejadian pulang paksa dilakukan tabulasi silang (cross tabulation). Pada hasil tabulasi silang diperoleh pulang paksa dengan kinerja perawat pada kategori tidak baik dan baik saja, sedangkan kategori sangat baik tidak ada, seperti pada tabel dibawah ini :
24
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 19-25
Tabel 10 Tabulasi silang antara Kinerja Perawat dengan kejadian Pulang Paksa di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang pada bulan Juni-juli tahun 2010 Pulang Paksa Total Kinerja Perawat Px Pulang Paksa Pulang sesuai Status Medik ∑ % ∑ % ∑ % Baik 5 41,7 7 58,3 12 100 Tidak Baik 17 94 1 6 18 100 Sumber : data primer penelitian Berdasarkan hasil tabulasi silang antara kinerja perawat dengan kejadian pulang paksa didapatkan dari 30 perawat yang diteliti terdapat 18 perawat mempunyai kinerja tidak baik, sebagian besar responden memilih untuk pulang paksa sebanyak 17 pasien dan 1 pasien memilih pulang sesuai dengan status medis. Hal tersebut disebabkan karena perawat kurang mengetahui pentingnya kinerja dalam memberikan pelayanan keperawatan dan perawat menganggap kinerjanya sudah baik, tetapi menurut penilaian pasien belum tentu tindakan yang perawat berikan sesuai dengan yang pasien butuhkan, sehingga perawat perlu memahami aspek-aspek dalam pencapaian kinerja dan berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Adanya usaha ini berarti ada keinginan atau motivasi dari perawat sendiri untuk bekerja lebih baik lagi dalam pencapaian kinerjanya sehingga pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan dan diharapkan pasien pulang sesuai dengan status medis. Selain itu dengan kinerja yang baik maka akan memberikan keuntungan bagi Puskesmas dan diri sendiri, baik dalam segi keuangan maupun pekerjaan. Menurut Sedarmayanti (2007), aspekaspek penilaian kinerja terdiri dari disiplin kerja, sikap dan perilaku, kejujuran, inisiatif serta tanggung jawab. Dari aspek-aspek tersebut menunjukkan bahwa kinerja perawat yang tidak baik akan berdampak pada pelayanan keperawatan yang tidak memuaskan. Begitupun sebaliknya, jika seorang perawat mengetahui tentang aspek-aspek yang harus dilakukan dalam bekerja dan berusaha untuk melakukan suatu tindakan yang tepat dalam bekerja dengan tujuan untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Kurang baiknya kinerja perawat disebabkan karena kurang tepat waktu perawat dalam melaksakan pelayanan, penampilan dan perilaku dalam memberikan informasi serta keramahan yang kurang baik dalam memberikan pelayanan, kemungkinan hal ini yang menjadi salah satu alasan pasien untuk pulang lebih awal atau pulang paksa. Selain itu kinerja perawat ditingkatkan dengan cara mendorong perawat untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tambahan agar dapat meningkatkan kompetensi atau kemampuan
perawat tersebut. Apabila kemampuan perawat tersebut sudah meningkat, maka secara otomatis tentunya akan berdampak positif terhadap meningkatnya kepuasan pasien yang di rawat inap. Dari hasil analisa statistik dengan uji chi-square menunjukkan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima yang artinya ada pengaruh kinerja perawat dengan kejadian pulang paksa pasien Rawat Inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang (p=0,001< α =0,05). KESIMPULAN Sebagian besar pasien Rawat Inap di Puskesmas Tambelangan memilih untuk pulang paksa (73,3%). Sebagian besar status ekonomi keluarga ( Kepemilikan Kartu Askeskin) sangat berpengaruh terhadap kejadian pulang paksa (73,3 %). Sebagian besar kinerja perawat di Ruang Rawat Inap Puskesmas Tambelangan sebagian besar tidak baik (60%) dalam memberikan pelayanan kesehatan. Ada pengaruh status ekonomi keluarga dengan kejadian pulang paksa pasien Rawat Inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. Ada pengaruh kinerja perawat dengan kejadian pulang paksa pasien Rawat Inap di Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. DAFTAR PUSTAKA Agustini (2001).Manajemen mutu pelayanan kesehatan. Surabaya : Airlangga University Press. Alimul, Azis (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Surabaya: Salemba Medika. As’ad (2002). Psikologi Industri. Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty Departemen Kesehatan RI (2009). Petunjuk Tehnis Jamkesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Efendy, Nasrul (1998). Dasar-Dasar Perawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Salemba Medika
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Dan Kinerja Perawat Terhadap Kejadiaan Pulang Paksa Pasien Rawat Inap (Merlyna Suryaningsih)
Hidayat, A Aziz Alimul (1998). Metodologi Penelitian Dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. http://spesialisbedah. Com/2010/03/kapan pulang dari rumah sakit. Diakses Tanggal : 30 Maret. Pukul. 13.50 WIB http://grahacendikia. Wordpress.com/2009/04/2007/faktorfaktor yang melatarbelakangi klien pulang paksa. Diakses Tanggal : 27 April. Pukul. 10.42 WIB http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?a ct=detail&nid=123212 Diakses Tanggal : 9 Januari. Pukul : 11.31 WIB Martin (2003). Apa Yang Harus Pasien Lakukan Saat Meninggalkan Rumah
25
Sakit. CMAJ Notoatmodjo, S (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rhineka Cipta Notoatmodjo, S (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam (2002). Manajamen Keperawatan Dan Aplikasi Dalam Praktek Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam (2003). Konsep Dan Peranan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 26-31
26
PENELITIAN ILMIAH
Hubungan
Peran
Keluarga
Dengan
Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi
0 – 12 Bulan Di Desa Gunung
Maddah Kabupaten Sampang
The Role Relation Between A Family And Base
Imunization Equipment To The
Baby In Gunung Maddah
Village In
Sampang City
HAMIMATUS ZAINIYAH *) *) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ngudia Husada Madura
ABSTRACT Immunization is giving immune baby to a disease that is very dangerous for health moreover it can make the dead to the suffever. The equipment of immunization is influenced by family and environment factors. This exsperiment use correlation analytic design with cross sectional approach. Quota sampling is used in sampling metheod. Collecting data use kuesioner, KMS and kohotr baby. Data is taken based on baby sample in Gunung maddah Village as many 44 responden. Then data processing use cross tabulation with correlation rank test spearment using SPSS. Rank spearment analisis show that there is role relation between a family and base immunization equipment to the baby in is good catagories responden (43,2%), sufficient (35,2%), less 2 respondent (72%) and there is not got immunization (0%). From the result statistic experiment there is role relation between family and base immunization equipment with the number level meaning is 0,000 (0,01) and α 0,05. From the result of experiment to researcher the writer give suggestion in order give follow up the exsperiment about the relation of role frame work or healthy official to immunization equipment for baby. Keyword : family Role, base immunization equipment
Correcpondence : Hamimatus Zainiyah, Jl. R.E. Martadinata Bangkalan, Indonesia
PENDAHULUAN Perilaku sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Salah satu perilaku sehat yang harus diciptakan untuk menuju Indonesia sehat 2010 adalah perilaku pencegahan dan penanggulangan penyakit dengan kegiatan imunisasi. Upaya yang dilakukan adalah menurunkan angka kesakitan, kematian, kecacatan dari penyakit menular dan penyakit tidak menular termasuk penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan. Pemerintah telah mencanangkan kegiatan imunisasi dari tahun 1956 yang di mulai dari Pulau Jawa dengan vaksin cacar. Pada tahun 1972 Indonesia telah berhasil membasmi penyakit cacar. Selanjutnya mulai di kembangkan vaksinasi antara lain Cacar dan BCG. Pelaksanaan vaksin ini ditetapkan secara nasional pada tahun 1973. Bulan April 1974 Indonesia resmi di nyatakan bebas cacar oleh WHO. Tahun 1977 ditentukan sebagai fase persiapan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) (Dep.Kes, 2005).
Adapun penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah tuberculosis, difteri, tetanus, poliomyelitis, campak dan hepatitis B. Untuk itu imunisasi dasar yang harus diberikan pada bayi adalah BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B. Imunisasi dasar diberikan 012 bulan dengan pemberian BCG 1 kali pada usia 0-1 bulan, DPT 3 kali pada usia 2-11 bulan, Polio 4 kali usi 0-11 bulan campak 1 kali pada usia 9 bulan dan hepatitis B 3 kali usia 011 bulan. Imunisasi ulangan (lanjutan) adalah pemberian kekebalan setelah imunisasi dasar atau pada anak usia sekolah dasar ( SD ) kelas I dan 1V (Supartini, 2004). Adapun dampak negatif untuk bayi yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap adalah bayi tersebut berisiko terjangkit atau terserang penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi seperti yang telah disebutkan tadi dan bayi juga berisiko cacat setelah sakit serta angka kematianpun dapat melonjak tinggi (Notoatmodjo, 2003). Menteri kesehatan menambahkan salah satu dari program kesehatan adalah program pencegahan dan pemberantasan penyakit yang salah satu sasarannya untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) atau imunisasi bagi semua anak pada tahun 2010 sampai tingkat desa, artinya pada tahun
Hubungan Peran Keluarga Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi 0 – 12 Bulan (Hamimatus Zainiyah)
2010 minimal 80% bayi di semua desa harus memperoleh imunisasi dasar. Imunisasi dasar sendiri adalah pemberian vaksinasi lengkap yang harus di dapatkan pada bayi baru lahir sampai umur 11 bulan. Untuk dijadikan sebagai daerah UCI dari data propinsi dan data kabupaten menetapkan kurang dari jumlah persen berarti masuk Non UCI yaitu, HBO < 95%, BCG <95%, DPT1 <95%, DPT2 <90%, DPT3 85%, Polio1 <95%, Polio2 <90%, Polio3 90%, Polio4 <85%, Campak <85%. Berdasarkan data yang di peroleh dari laporan yang dihimpun oleh dinas kesehatan menerangkan bahwa kabupaten Sampang desa UCI nya masih mencapai 51,46 % yang berarti masih banyak desa yang bayinya belum terimunisasi dasar lengkap. Untuk daerah Gunung maddah data tahun 2009 dengan jumlah sasaran 145 bayi yaitu : HBO 80,1%, BCG 75,3%, DPT1 69,1%, DPT2 56,1%, DPT3 60,9%, Polio1 73,9%, Polio2 69,8%, Polio3 58,2%, Polio4 46,5%, Campak 65,7%. Menurut Apriatni walaupun pemerintah telah menargetkan dalam 2 tahun ke depan mulai tahun 2009 adalah bisa mengimunisasikan 4.725.470 anak yang diambil dari 7 propinsi termasuk Jawa Timur, namun kenyataannya kegiatan imunisasi sendiri kurang mendapat perhatian dari ibu yang memiliki bayi. Ketika ada kegiatan sweeping imunisasi, tidak sedikit dari keluarga yang tidak bersedia untuk mengimunisasikan anaknya dengan alasan yang sangat sederhana yaitu sibuk dengan urusan rumah tangga dan ketakutan akan efek samping dari pemberian imunisasi yang disertai dengan pengetahuan keluarga yang rendah tentang pentingnya imunisasi dan anggapan yang berkembang dalam masyarakat dan kalangan praktisi dan juga dari media yang khawati terhadap resiko dari vaksin jika dilihat dari segi keyakinan (Yoga, 2009). Dalam hal ini peran keluarga khususnya ibu menjadi sangat penting karena orang terdekat dengan bayi adalah ibu. Perilaku keluarga akan mempengaruhi kepatuhan pemberian imunisasi dasar pada bayi dan anak, sehingga dapat mempengaruhi status imunisasinya. Masalah pengertian dan keikutsertaan keluarga dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan besar jika pendidikan yang memadai tentang hal itu diberikan. Berdasarkan hasil penelitian Cahyono, K.D, (2003) memberikan gambaran bahwa anak mempunyai kesempatan lebih besar untuk tidak diimunisasi lengkap bagi yang keluarganya tinggal di daerah pedesaan, pendididkan yang rendah, kurang pengetahuan, ayah berpendididkan SD ke bawah, jumlah anak banyak, serta tempat yang
27
jauh dari pelayanan kesehatan. Hal ini juga terjadi pada daerah Gunung Maddah yang akan dijadikan tempat penelitian yang rata-rata penduduknya bertani dan kaum ibu yang melakukan aktifitas ekonomi di luar rumah. Dampak dari masalah di atas akan mempengaruhi kelengkapan imunisasi bayi di desa. Sedangkan dampak negatifnya pada bayi dapat beresiko terjangkit atau terserang penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan bayi juga beresiko cacat setelah sakit serta angka kematianpun dapat melonjak tinggi. Untuk mendukung keberhasilan program imunisasi di desa Gunung Maddah, kita sebagai petugas kesehatan tetap menghimbau kepada kader-kader posyandu untuk terus menggalakkan sosialisasi dan penyuluhan kesehatan dan menghimbau kepada masyarakat yang mempunyai balita agar terus mengontrol dan menanamkan akan pentingnya kesadaran untuk hidup sehat (Depkes RI, 2009). Bertitik tolak dari data di atas, peneliti ingin mengetahui Hubungan Peran Keluarga Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar di Desa Gunung Maddah. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk Menganalisis hubungan peran keluarga terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada bayi di desa Gunung Maddah. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelatif dengan jenis analitik dan pendekatan yang digunakan sacara cross sectional. Variabel independen dalam penelitian ini adalah peran keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah kelengkapan imunisasi dasar. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai bayi 0 – 12 bulan yang sasarannya sebanyak 145 bayi di desa gunung maddah. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai bayi antara 0 – 12 bulan di desa Gunung Maddah sebanyak 44 orang dengan kriteria : Keluarga yang mempunyai bayi 0 – 12 bulan dan mempunyai KMS, dan keluarga yang bersedia menjadi responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik quota sampling. Penelitian dilakukan di desa Gunung Maddah wilayah kerja Puskesmas Banyuanyar kabupaten Sampang pada bulan April sampai bulan Juni 2010. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, KMS dan kohort. Analisis data menggunakan tabel silang (cross tab).
28
HASIL PENELITIAN Deskriptif Tempat Penelitian Desa Gunung Maddah merupakan desa paling selatan dari puskesmas banyuanyar dengan luas wilayah 8,69 km2, jumlah penduduk 9.002 Jiwa, jumlah dusun 7 dusun, 5 Sekolah Dasar, 1 Madrasah Ibtidaiyah, 1 Sekolah Menengah, 3 Pondok Pesantren. Sarana kesehatan terdapat 7 posyandu, 5 posyandu lansia, 43 kader posyandu. Jumlah tenaga kesehatan adalah 2 bidan desa, 8 dukun terlatih. Sebagian besar penduduk hidup bertani. Karakteristik Umum Responden Karakteristik umum responden dalam penelitian ini meliputi umur, jumlah anak, dan tingkat pendidikan. Hasil penelitian tentang karaktersitik umum responden adalah :
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 26-31
besar yang mempunyai anak lebih dari 2 sebanyak 28 responden ( 64% ).
Sumber :Data Primer Hasil Penelitian, 2010
Gambar 3 Distribusi Responden Menurut Pendidikan di desa Gunung Maddah Berdasarkan gambar 3 di atas dari 44 responden sebagian besar berpendidikan SD sebanyak 27 responden (61%) Peran keluarga Hasil peneliitian tentang peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan dan mengambil keputusan dalam tindakan memberikan perawatan kesehatan di Desa Gunung Maddah adalah :
Sumber : Data Primer hasil penelitian, 2010
Gambar 1 Distribusi Responden Menurut Umur di desa Gunung Maddah bulan Juli 2010 Berdasarkan gambar 4.1 di atas dari 44 responden sebagian besar berumur lebih dari 20 tahun ( 60% ). Sumber : Data Primer Hasil Penelitian, 2010
Gambar 4 Peran Keluarga dalam mengenal masalah kesehatan dan mengambil keputusan dalam tindakan, memberikan perawatan kesehatan.
Sumber : Data Primer hasil Penelitian, 2010
Gambar 2 Distribusi Responden menurut Jumlah Anak di Desa Gunung Maddah Bulan Juli 2010. Berdasarkan gambar 2 di atas menyimpulkan bahwa 44 responden sebagian
Berdasarkan gambar 4 di atas menunjukkan bahwa dari 44 responden sebagian besar berperan baik yaitu 19 responden (43,2%). Sebagian kecil berperan cukup sebanyak 11 responden (25%). Adanya peran baik dari keluarga banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pendidikan. Di desa gunung Maddah mayoritas penduduknya berpendidikan SD atau belum tamat 61%. Faktor umur juga mempengaruhi peran keluarga. Di Desa Gunung Maddah di dapatkan
Hubungan Peran Keluarga Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi 0 – 12 Bulan (Hamimatus Zainiyah)
sebagian besar penduduk berumur produktif (20 – 60 tahun) sebesar 60%. Dari banyaknya responden yang berumur produktif dimungkinkan lebih banyak kesempatan dalam mengakses informasi tentang kesehatan sehingga akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan pendidikan ibu. Umur merupakan suatu karakteristik dari seseorang, dengan adanya kematangan umur dan pengetahuan responden dalam mengenal masalah kesehatan khususnya dalam pelaksanaan imunisasi, responden akan memberikan peran yang baik bagi bayinya. Menurut azwar menyebutkan bahwa pengalaman seseorang akan membentuk sikap positif atau negative sehingga bisa mempengaruhi tingkah laku .Berdasarkan penelitian ini responden yang pasif dalam arti kurang mendapatkan informasi , pengetahuan yang kurang dan pengalaman yang tidak menyenangkan mengakibatkan ibu jera terhadap obyek yang dialami, sehingga responden tidak akan mengimunisasikan lagi bayinya, bahkan ada yang menolak untuk di imunisasi. Dalam penelitian ini ada 14 responden (31,8%) berperan kurang dan 11 responden (25,0%) berperan cukup. Dalam hal ini peran dari keluarga, khususnya ibu menjadi sangat penting. Pengetahuan, kepercayaan dan perilaku kesehatan seorang ibu akan mempengaruhi status imunisasinya. Masalah pengertian, pemahaman dan kepatuhan ibu dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan besar jika pendidikan dan pengetahuan yang memadai di berikan ( Muhammad Ali. 2005). Adanya suatu tradisi masyarakat desa yang tidak memperbolehkan bayinya keluar sebelum umur 2 bulan sudah mulai bisa dihilangkan, dengan adanya pengertian masalah kesehatan yang mereka dapat. Begitu pula dengan persepsi masyarakat tentang penggunaan vaksin sudah bisa di terima oleh responden bahwa semua itu tidak benar adanya. Adanya peran tokoh mayarakat dan kader yang ikut berperan aktif memberikan pengertian masalah kesehatan mendorong responden untuk berperilaku positif dan dapat memilih serta membuat keputusan yang lebih tepat. Begitu pula dengan tersedianya sarana kesehatan yang mudah di jangkau oleh masyarakat sehingga menghasilkan suatu sikap dan perilaku yang di harapkan oleh kesehatan. Dalam penelitian ini ada (43,2%) responden yang berperan baik. Peran keluarga dalam memberikan perawatan terhadap anggota keluarga yang sakit, bagi responden yang berperilaku positif, akan menganjurkan keluarganya ke tempat pelayanan kesehatan terdekat. Dalam
29
mengenal masalah kesehatan dan memilih tempat pelayanan kesehatan semakin di perhitungkan. Sebaliknya responden yang berperan cukup dan kurang mengenal masalah kesehatan akan memberikan perawatan dengan pergi ke tempat lain, misalkan ke orang pintar atau dukun , di mana cara pengobatannya kurang rasional dan hygienis. Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi Hasil penelitian tentang imunisasi dasar pada bayi di Desa Gunung Maddah adalah :
Sumber : Data Sekunder Hasil Penelitian, 2010
Gambar 5 Kelengkapan imunisasi dasar pada bayi 0 – 12 bulan di desa Gunung Maddah Berdasarkan gambar 4 di atas menunjukkan bahwa dari 44 responden sebagian besar status imunisasinya lengkap sejumlah 25 responden (54,5%) sedangkan yang paling rendah tidak mendapatkan imunisasi sebanyak 6 responden (13,6%). Hal ini tidak lepas dari peran keluarga yang baik dalam mengenal masalah kesehatan . Dari data KMS yang ada di posyandu di dapatkan status imunisasinya lengkap sesuai dengan batas umurnya pada saat di lakukan penelitian . Sebaliknya responden yang tidak melengkapi status imunisasinya ada 18 responden (40,9%) dan tidak mendapat imunisasi 6 (13,6%). Responden menolak dengan berbagai alasan yang sederhana dan di dukung pengetahuan tentang kesehatan kurang, kurangnya dukungan dari keluarga lain serta faktor kebudayaan. Mungkin dari faktor inilah yang menyebabkan rendahnya kelengkapan imunisasi dasar di Desa Gunung Maddah. Sikap dan perilaku negative tersebut tidak akan terjadi jika pengetahuan yang memadai di berikan, serta adanya dukungan dari anggota keluarga lain sehingga mempengaruhi responden untuk mengambil suatu keputusan yang terbaik bagi bayinya khususnya dalam imunisasi agar dapat tumbuh
30
dengan sehat dan terhindar dari penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi. Sedangkan menurut teori imunisasi dikatakan lengkap jika semua imunisasi dasar terpenuhi dan kelengkapan itu bisa mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi . (Dep Kes RI, 2009).
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 26-31
Hubungan Peran Keluarga dengan Kelengkapan Imunisasi dasar Pada Bayi 0 – 12 Bulan di desa Gunung Maddah Hasil tabulasi silang tentang hubungan peran keluarga dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi 0 – 12 bulan di Desa Gunung Maddah adalah :
Tabel 1 Tabulasi silang tentang hubungan peran keluarga dengan kelengkapan imunisasi dasar di Desa Gunung Maddah Kelengkapan Imunisasi Dasar Peran Lengkap Kurang Lengkap Tidak Lengkap Total Baik 15 (78,9%) 4 (21,0%) 0 19 (100%) Cukup 3 (27,2%) 8 (72,7%) 0 11 (100%) Kurang 2 (14,2%) 6 (42,8%) 6 (13,6%) 14 (100%) Total 20 (45,5%) 18 (40,9%) 6 (13,6%) 44 (100%) Uji Rank Spearmen p = 0,000 dan α = 0,05 Sumber : Perolehan Data dari hasil Penelitian, 2010 Berdasarkan tabel 1 sebagian besar menunjukkan 25 responden (100%) peran keluargannya baik yang terbagi dalam 3 katagori status imunisasi yaitu lengkap dengan jumlah responden 15 (78,9%), kurang lengkap sebanyak 4 responden (21,0%) dan tidak dapat imunisasi 0%. Sedangkan peran yang paling rendah adalah peran cukup dengan jumlah responden 11 (100%) berperan cukup yang terbagi dalam 3 katagori status imunisasi yaitu lengkap dengan jumlah responden 3 (27,2%), kurang lengkap 8 responden (72,7%) dan yang tidak mendapatkan imunisasi 0%. Dari hasil uji statistik non parametrik spearmen rank correlation dengan tingkat kemagnaan p = 0,000 (0,001) dan α = 0,05. Artinya 0,000 < 0,05 sehingga didapatkan ada hubungan peran keluarga dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi 0 – 12 bulan. Keluarga yang mempunyai peran baik dengan status imunisasi lengkap sebesar 78%. Hal ini terjadi karena kepercayaan dan perilaku ibu tentang kesehatan baik khususnya tentang imunisasi. Semua ini tidak lepas dari pendidikan dan pengetahuan ibu yang memadai dan mengerti akan pentingnya kesehatan bagi bayinya yang semua itu di dapatkan dari pendidikan ibu baik formal maupun non formal. Sedangkan untuk peran baik tapi imunisasinya kurang lengkap 21,0%. Hal ini di sebabkan karena pada waktu jadwal kembali bayi dalam keadaan sakit , keluarga tidak berani untuk mengimunisasikan bayinya dikhawatirkan sakitnya bertambah parah dan juga adanya suatu tradisi yang tidak memperbolehkan bayi sebelum umur 2 bulan tidak boleh ke luar dengan alasan takut sakit padahal ada jenis vaksinasi yang harus dipenuhi sebelum umur 2 bulan.
Untuk peran keluarga cukup dengan kelengkapan imunisasi kurang 72,7%, hal ini terjadi karena keluarga khususnya ibu tidak di dukung oleh pendidikan dan pengetahuan yang memadai serta kurangnya dukungan dari keluarga lain untuk mengajak atau menginformasikan pentingnya imunisasi kepada ibu. Manusia dalam membuat keputusan terjadi karena adanya dorongan atau motif tertentu. Sedangkan bagi bayi yang tidak diimunisasi atau keluarga menolak terhadap imunisasi 13,6%, hal ini terjadi karena keluarga kurang mendapatkan informasi tentang kesehatan, sehingga mereka menganggap meskipun tidak diimunisasi bayinya tetap sehat dan jika sakit itu merupakan hal biasa bukan karena tidak diimunisasi dan juga adanya larangan dari keluarga lain dimana setelah pasca imunisasi bukan membuat bayinya sehat, tapi bayi menjadi sakit atau rewel. Berdasarkan fenomena di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab orangtua khususnya ibu terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada bayi atau balita sangat memegang peranan penting dalam memperoleh suatu manfaat terhadap keberhasilan imunisasi serta peningkatan kesehatan anak. Pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh komponen pendorong yang menggambarkan faktor individu secara tidak langsung berhubungan dengan pengguna pelayanan kesehatan yang mencakup beberapa faktor , terutama faktor pengetahuan ibu tentang kelengkapan status imunisasi, sedangkan komponen pendukung antara lain faktor pendidikan, kebudayaan, persepsi masyarakat, pengalaman yang juga mempunyai pengaruh terhadap kelengkapan imunisasi.
Hubungan Peran Keluarga Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi 0 – 12 Bulan (Hamimatus Zainiyah)
Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu merupakan hal yang penting. Karena penggunan sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi. Adanya keterlibatan dari anggota keluarga lain juga mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar. Kurangnya motivasi dari keluarga untuk mengajak atau menginformasikan pentingnya imunisasi kepada ibu, karena manusia dalam membuat keputusan terjadi karena adanya dorongan atau motif tertentu. Berdasarkan penjelasan menteri kesehatan 80% bayi di desa harus mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap yang harus di dapatkan sampai umur 11 bulan sebagai dasar pencegahan penyakit sebagaimana visi dari penbangunan kesehatan nasional yang menggambarkan masyarakat Indonesia di masa depan penduduknya hidup dalam lingkungan sehat dan di harapkan mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dengan menciptakan perilaku sehat untuk menuju Indonesia Sehat 2010. (Dep Kes RI, 2009). KESIMPULAN Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan, mengambil keputusan dan memberikan perawatan kesehatan di Desa Gunung Maddah adalah berperan baik. Kelengkapan imunisasi dasar pada bayi adalah lengkap. Ada hubungan antara peran keluarga dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi di Desa Gunung Maddah.
31
DAFTAR PUSTAKA Aditama Yoga T. 2009. Kampanye Imunisasi Campak dan Polio. Jakarta. Arikunto, S.2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Depkes, RI.2009. Imunisasi Dasar Bagi Pelaksana Imunisasi Depkes, RI.2009. Pedoman teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas Effendy.1998. Dasar Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC Fajar Ibnu, Dkk.2009. Statistika Untuk Praktisi Kesehatan. Edisi pertama. Yogyakarta. Graha Ilmu. Fridman, M.M. 1998. Family Nursing : Theory And Assessment ( 4 th ed ). Connectiout : Appleton-century-cropts. Hatimah Ihat, Dkk.2008. Pembelajaran Berwawasan Masyarakat. Edisi ke 3. Jakarta: Universitas Terbuka. Muhammad Ali,2005.Manfaat dan Resiko Vaksin. Diakses tgl 15 Maret 2010 dari www.tempointeraktif.com. Nursalam. 2008. Konsep dan penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Rineka Cipta Pra Nohn, IGN, Dkk. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke 3. Jakarta ; Satgas Imunisasi Anak Indonesia. Satrinawati.2002. Rendahnya Cakupan Imunisasi di Daerah. Di akses Tgl 15 Maret 2010. Dari www.tempointeraktif.com. Shehaceh,2008. Imunisasi dan Faktor yang mempengaruhinya. Diakses tgl 15 maret 2010 dari htpp:// shehaceh.worspress.com/2008/05/12.
32
Hubungan
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 32-37
PENELITIAN ILMIAH Pengetahuan
Remaja
Tentang Seks Dengan Perilaku Seks Remaja Di SMA Negeri 1 Sampang
The Relationship of Knowledge of Teens About Sex With Adolescent Sex Behavior In The SMA Negeri 1 Sampang
LAILATUN Ni’MAH *) *) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ngudia Husada Madura
ABSTRACT In recent years the practice of free sex (free sex) that spread among adolescents has become a serious problem. This is because if kahidupan youth culture is heavily influenced from the outside that most do not fit with the culture in Indonesia. Most teenagers do not have accurate pengetahauan about reproductive health and sexuality, information is only obtained from friends or media such as TV, VCD porn, porn magazines, the internet is not filtered more dulu.Adapun purpose of this study to investigate the relationship between adolescent knowledge about sex with adolescent sexual behavior in SMA Negeri I Sampang. This study design with cross sectional correlation. Collecting data using questionnaires, data taken on the population of students SMA 1 Sampang Class XI Science and Social Science Department with a total sample of 278 people and in this study were 56 respondents using propotional sample, independent variables: knowledge about sex and teenagers Dependent variable: adolescent sexual behavior. The results are analyzed analytically by using Spearman Rank statistical test. The results in SMA Negeri I lacquer showed 41.1% having less sex knowledge and 53.6% adolescents have sex with SPSS menyimpang.Analisis Rank Spearman ρ 0.000 <0.05 so that H1 is accepted that there was a correlation between knowledge about sex with teen sexual behavior in adolescents. Prevention efforts can be made with the provision of sex education are true and correct to adolescents, so that information received can increase the knowledge of teenagers about sex. With the existence of sex education for adolescents, teens are expected to be able to put sex in perspective, and try to change the negative impression about sex. In Indonesian society which is difficult to apply varied sexual education through formal education. Therefore, sex education in Indonesia to find its form in non-formal education channels such as lectures, extracurricular activities in school boarding schools lightning, gatherings, rubrics teenagers in the media. Keyword : sex knowledge and sex behavior of adolescents
Correcpondence : Lailatun Ni’mah, Jl. R.E. Martadinata Bangkalan, Indonesia
PENDAHULUAN Perilaku seksual yang tidak sehat di kalangan remaja khususnya remaja yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa hasil penelitian bahwa yang menunjukkan usia remaja ketika pertama kali mengadakan hubungan seksual aktif bervariasi antara usia 14 – 23 tahun dan usia terbanyak adalah antara 17 – 18 tahun (Fuad, et al. 2003). Perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang
bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, berkencan, berpegangan tangan, mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada di atas baju, memegang buah dada di balik baju, memegang alat kelamin di atas baju, memegang alat kelamin di bawah baju, dan melakukan senggama (Sarwono, 2003). Belakangan ini praktek seks bebas (free sex) yang menjalar dikalangan remaja telah menjadi masalah serius. Hal ini disebabkan karena kahidupan remaja banyak
Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Seks Dengan Perilaku Seks Remaja (Lailatun Ni’mah)
dipengaruhi olah kebudayaan dari luar yang kebanyakan tidak sesuai dengan kebudayaan di Indonesia. Pemikiran remaja tentang seks sudah banyak berubah. Orientasi mereka tentang menahan hasrat seksual tanpa ikatan yang sah (suami-istri) adalah fenomena umum remaja moderen saat ini, mereka sudah tidak malu lagi untuk saling menyentuh, berpelukan, berciuman, penting, bahkan bersenggama dengan lawan jenis walaupun belum melakukan pernikahan yang sah baik menurut agama maupun undang-undang Negara. Hasil penelitian pada 1038 remaja berumur 13-17 tahun tentang hubungan seksual menunjukkan 16% remaja menyatakan setuju dengan hubungan seksual, 43% menyatakan tidak setuju dengan hubungan seksual, dan 41% menyatakan boleh-boleh saja melakukan hubungan seksual (Planned Parenthood Federation of America Inc, 2004). Data Depkes RI (2006), menunjukkan jumlah remaja umur 10-19 tahun di Indonesia sekitar 43 juta (19,61%) dari jumlah penduduk. Sekitar satu juta remaja pria (5%) dan 200 ribu remaja wanita (1%) secara terbuka menyatakan bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual. Menurut Dinas Kesehatan Kodya Bandung tahun 2007 kasus KTD (kehamilan tidak diinginkan) terjadi sampai 30% dari 850 Remaja. Menurut survey Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Tehnologi Kesehatan (P4TK) awal tahun 2008 remaja dari Surabaya sebanyak 35% melakukan hubungan seks diluar nikah, sebagian besar remaja tidak memiliki pengetahauan yang akurat tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas, informasi hanya diperoleh dari teman atau media seperti TV, VCD porno, majalah porno, internet yang tidak disaring lebih dulu. Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian ibu dan bayi, aborsi tidak aman, PMS, pelecehan seksual dan lain-lain (FCI, 2000). Sedangkan di SMAN 1 Sampang dari wawancara dengan siswa-siswi yang tidak mau disebutkan namanya diperoleh data bahwa pada tahun 2007 terdapat 4 siswi yang dikeluarkan karena hamil diluar nikah. Pada tahun 2008-2009 di SMAN 1 Sampang terdapat dua siswa dikeluarkan karena video mesumnya beredar luas di Masyarakat melalui media hand phone. Menurut Green (2003), perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong. Hasil penelitian Seotjiningsih (2006) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja adalah hubungan orang tua remaja, tekanan
33
negatif teman sebaya, pemahaman tingkat agama (religiusitas), dan eksposur media pornografi memiliki pengaruh yang signifikan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja. Faktor pengetahuan yang setengahsetengah justru lebih berbahaya dari pada tidak tahu sama sekali, kendati demikian ketidaktahuan bukan berarti tidak berbahaya (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan tentang pendidikan seks yang setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencobacoba, tetapi juga bisa menimbulkan salah persepsi misalnya remaja beranggapan bahwa dengan satu kali berhubungan seksual tidak akan menyebabkan kehamilan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja di antaranya adalah faktor keluarga. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak di antaranya berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan (Kinnaird, 2003). Hubungan orang tua remaja, mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung dengan perilaku seksual pranikah remaja. Hasil penelitian yang dilakukan Soetjiningsih (2006) menunjukkan, makin baik hubungan orang tua dengan anak remajanya, makin rendah perilaku seksual pranikah remaja. Usaha pencegahan yang dapat mengendalikan dorongan seksual agar lebih terarah adalah dengan meningkatkan peran keluarga/orang tua, dengan cara menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis dan mengembangkan komunikasi dengan anak yang bersifat suportif. Selain itu usaha pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian pendidikan seks secara benar dan tepat kepada remaja, sehingga informasi yang diterima dapat menambah pengetahuan remaja tentang seks. Dengan adanya pendidikan seks bagi remaja, diharapkan remaja dapat menempatkan seks pada perspektif yang tepat, dan mencoba mengubah anggapan negatif tentang seks. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat bervariasi ini sulit diterapkan pendidikan seks melalui jalur pendidikan formal. Oleh karena itu pendidikan seks di Indonesia menemukan bentuknya dalam jalur pendidikan nonformal seperti ceramah-ceramah, kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler di sekolah pesantren kilat, sarasehan, rubrik-rubrik remaja di media massa. Bentuk pendidikan seks yang non formal ini lebih luwes dan bisa selalu disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktunya sehingga tidak menimbulkan dampak sampingan yang tidak diharapkan (Sarlito,
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 32-37
34
2004).
menggunakan tabulasi silang (cross tab)
Selain itu pemberian pendidikan agama sejak dini pada remaja juga dapat mengendalikan perilaku seksual remaja. Remaja yang memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai keagamaan, mampu mengambil keputusan secara tepat berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya dan dapat menampilkan perilaku seksual yang lebih sehat. Rumusan masalah penelitian ini adalah adakah hubungan antara pengetahuan remaja tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA Negeri 1 Sampang. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara pengetahuan remaja tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA Negeri 1 Sampang.
HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Tempat Penelitian SMU Negeri 1 Sampang berada di pusat kota Sampang yang letaknya strategis karena mudah dijangkau dan bisa dilewati semua transportasi yaitu di jalan Jaksa Agung Suprapro No. 73 Kelurahan Gunung Sekar, Kecamatan Sampang. Sekolah ini luas wilayah 11.515 m2 yang terbagi 21 kelas, dengan jumlah siswa 824 siswa. Selain itu ada sarana lain seperti : Ruang Kepala Sekolah, ruang guru, ruang TU, ruang UKS, ruang komputer, ruang OSIS, toilet, laboratorium bahasa, laboratorium biologi/kimia, ruang musik, perpustakaan, ruang BP/BK, serta ruang penjaga sekolah.
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelatif dengan jenis analitik dan pendekatan yang digunakan sacara cross sectional. Variabel independen penelitian adalah pengetahuan remaja tentang seks. Sedangkan variabel dependennya adalah perilaku seks pada remaja. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswa SMA Negeri 1 Sampang kelas XI jurusan IPA sebanyak 191 orang dan jurusan IPS sebanyak 87 orang pada tahun ajaran 2009-2010. Jadi jumlah populasi sebanyak 278 orang. Adapun sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Negeri 1 Sampang sebanyak 56 orang dengan kriteria sampel. Teknik sampling yang digunakan adalah proportional sampling. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Sampang Kecamatan Sampang Kabupaten Sampang pada Juli 2010. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis data
Karaktersitik Umum Responden Karaktersitik umum responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin dan usia. Berdasarkan jenis kelamin disapat bahwa dari 56 responden sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah responden 29 responden (51,8%) dan 27 responden (48,2 %) berjenis kelamin perempuan. Sedangkan berdasarkan usia didapat bahwa dari 56 responden sebagian besar responden berusia 16 tahun sebanyak 40 responden (71,4%) 9 responden (16,1%) berusia 15 tahun dan 7 responden (12,5%) berusia 17 tahun. Pengetahuan Remaja Tentang Seks Hasil penelitian tentang pengetahuan remaja tentang seks pada siswa SMA Negeri 1 Sampang adalah :
41.10%
50.00% 40.00%
32.10%
26.80%
30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
Baik
Cukup
Kurang
Grafik 1 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Remaja Tentang Seks di SMA Negeri 1 Sampang, Juli 2010
Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Seks Dengan Perilaku Seks Remaja (Lailatun Ni’mah)
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa dari 56 responden terdapat 23 responden (41,1%) yang pengetahuan tentang seksnya masih kurang. Orientasi mereka tentang menahan hasrat seksual tanpa ikatan yang sah (suami-istri) adalah fenomena umum remaja moderen saat ini, mereka sudah tidak malu lagi untuk saling menyentuh, berpelukan, berciuman, petting, bahkan bersenggama dengan lawan jenis walaupun belum melakukan pernikahan yang sah baik menurut agama maupun undangundang Negara. Pengetahuan tentang pendidikan seks yang setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tetapi juga bisa menimbulkan salah persepsi misalnya remaja beranggapan bahwa dengan satu kali berhubungan seksual tidak akan menyebabkan kehamilan. Berdasarkan hasil penelitian 18 responden (32,1%) pengetahuan seksnya baik. Hal ini disebabkan remaja tersebut mengerti dan mengetahui pengetahuan seks dengan benar, selain mengakses dari internet maupun mendapat informasi yang benar tentang pengetahuan seks, mereka juga mengambil sisi positif dari pengetahuan tentang seks tersebut. Pada usia remaja, rasa keingintahuan begitu besar terhadap seks. Apalagi jika temantemannya mengatakan bahwa seks terasa nikmat ditambah lagi adanya rasa penasaran semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi mencoba. Pendidikan seks adalah sebuah diskusi yang realistis, jujur dan terbuka, bukan merupakan dikte yang memberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif berhubungan dengan selfesteem (rasa penghargaan terhadap diri),
60.00%
46.40%
35
penanaman rasa percaya diri dan peningkatan kemampuan dalam mengambil keputusan (Baby Jim, 2004). Dalam memberikan pendidikan seks kepada anak, keluarga harus terbuka dan lengkap sehingga anak tidak menjadi penasaran. Dalam memberikan pendidikan seks keluarga dalam hal ini orang tua masih kurang tebuka, oleh karena itu dalam memberikan pendidikan seks hendaknya diberikan secara berkelanjutan (Dianawati, 2003). Keluarga memberikan memberikan contoh suatu hubungan yang harmonis antara anak dan seluruh anggota keluarga. Keluarga juga harus bersikap terbuka dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan anak sesuai dengan kemampuannya sampai anak benarbenar mengerti. Keluarga yang memberikan pendidikan seks kepada anaknya dapat membuat anak mengerti dan faham tentang kesehatan reproduksi, seks dan bahaya akibat pergaulan bebas. Oleh karena itu pendidikan seks di Indonesia menemukan bentuknya dalam jalur pendidikan nonformal seperti ceramahceramah, kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler di sekolah pesantren kilat, sarasehan, rubrikrubrik remaja di media massa. Bentuk pendidikan seks yang non formal ini lebih luwes dan bisa selalu disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktunya sehingga tidak menimbulkan dampak sampingan yang tidak diharapkan (Sarlito, 2004). Perilaku Seks Remaja Hasil penelitian tentang perilaku seks remaja pada siswa di SMA Negeri 1 Sampang adalah :
53.60%
50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% Sehat
Menyimpang
Grafik 2 Distribusi Responden Menurut Perilaku Seks Remaja di SMA Negeri 1 Sampang, Juli 2010. Berdasarkan gambar di menunjukkan bahwa sebagian responden mempunyai perilaku
atas besar seks
menyimpang yaitu sebanyak 30 responden (53,6%) dan 26 responden (46,4%) mempunyai perilaku seks yang sehat.
36
Dari 30 responden remaja yang berperilaku seks menyimpang paling banyak adalah melakukan masturbasi/onani sebanyak 26 responden (86;7%), hal ini dikarenakan kematangan seksual yang memuncak dan tidak mendapatkan penyaluran yang wajar,ditambah dengan rangsangan-rangsangan ekstern berupa buku-buku porno,video porno,meniru teman dan lain-lain.Selain itu alasan masturbasi pada remaja adalah adanya rasa kesepian,mencari kesenangan pertama hanya coba-coba kemudian dirasakan enak maka merasa ketagihan dan melakukannya lebih sering dilakukan laki-laki yang merasa ingin memenuhi kebutuhan seksnya (Sofyan, 2005). Informasi tentang seks yang mereka dapat dari sumber yang kurang lengkap dan benar, ini sesuai dengan BKKBN (2004) bahwa alasan para remaja tersebut tidak mengetahui pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai seks karena informasi utama meraka dapat dari kawan dan media elektronika. Selain itu kekeliruan perilaku seks remaja (perilaku seks menyimpang) dikarenakan pendidikan yang kurang lengkap dan terbuka khususnya dari keluarga atau orang tua (Dianawati, 2003). Selain itu penyimpangan seks yang lain ditemukan di SMA Negeri 1 Sampang, 2 responden (6,7%) berhubungan seks dengan sesama jenis, hal ini disebabkan oleh: faktor hereditas (dibawa sejak lahir) ini jarang terjadi, adanya ketidakseimbangan hormon seks (sex
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 32-37
hormonal imbalance), dan pengaruh lingkungan (Sofyan, 2005). Selain itu remaja mempunyai rasa ingin tahu yang besar kemudian mereka coba-coba. Pengaruh lingkungan dan perasaan suka sama suka bisa membuat remaja salah dalam pergaulan. Itu pun bisa menjerumuskan remaja untuk tidak memiliki masa depan yang cerah. Rasa ingin menghargai dan dihargai oleh teman juga salah satu penyebab remaja terjerumus pergaulan bebas khususnya perilaku seks yang menyimpang.Apalagi sekarang sudah memasuki era globalisasi dimana segala sesuatu yang datangnya dari luar bisa masuk dengan bebas tanpa adanya kontrol yang ketat sehingga bisa melunturkan kebudayaan asli bangsa kita. Kebudayaan dari luar seperti model pakaian, rambut, cara bergaul sampai perilaku yang menyangkut masalah seks sudah banyak ditiru oleh remaja di negara kita tanpa terlebih dahulu memilih apakah sudah sesuai dengan norma agama dan kebudayaan di negara kita. Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Seks Dengan Perilaku Seks Remaja Hasil tabulasi silang antara penhetahuan remaja tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA Negeri 1 Sampang adalah :
Tabel 1 Tabulasi silang antara pengetahuan remaja tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA Negeri 1 Sampang Perilaku Seks Remaja Total Pengetahuan Remaja Sehat Menyimpang Tentang Seks Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase Baik 18 100% 0 0% 18 100% Cukup 8 53% 7 46,7% 15 100% Kurang 0 0% 23 100% 23 100% Jumlah 26 46,4 30 53,6 56 100% Signifikan (ρ) = 0,000 Koefisien Korelasi Spearman = 0,856 Taraf Signifikan (α) = 0,05 Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa 18 responden yang pengetahuan tentang seksnya baik semuanya berperilaku seks sehat 100%. Dari 15 responden yang pengetahuan tentang seksnya cukup mempunyai perilaku seks sehat 8 responden (53,3%) dan 7 responden (46,7%) berperilaku seks menyimpang.Sedangkan 23 responden yang mempunyai pengetahuan tentang seks kurang semuanya 100% perilaku seksnya menyimpang. Dari hasil uji statistik non parametric Spearman rank correlation dengan tingkat
kemaknaan α = 0,05 didapatkan hasil ρ 0,000 < 0,05 sehingga H1 diterima berarti ada hubungan antara pengetahuan remaja tentang seks dengan perilaku seks pada remaja. Dengan tidak diberikannya pendidikan seks dan kurangnya kasih sayang serta perhatian dari keluarga membuat anak merasa jenuh tinggal di rumah sehingga mereka mencari pelampiasan sendiri di luar lingkungan rumah yang bias mengarah ke hal negatif misalnya dugem, menonton VCD porno, melihat majalah-majalah porno, pesta minuman keras, memakai obat obat-obatan terlarang,
Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Seks Dengan Perilaku Seks Remaja (Lailatun Ni’mah)
bahkan bisa mengarah ke pergaulan bebas sampai melakukan penyimpangan seks. Pendidikan seks remaja yang kurang baik dari sekolah maupun dari keluarga pada khususnya bisa mengakibatkan remaja mencari informasi sendiri yang tidak terseleksi dengan baik sehingga terjadi perubahan perilaku remaja yang mengarah ke hal negatif (Depkes RI, 1999). Bahwa masa remaja memiliki ciri-ciri sebagai berikut : terjadi pematangan fisik, biologis, meningkatnya simpati sesamanya, meningkatnya hubungan dengan teman sebayanya, meningkatnya orientasi seksual, memasuki masa menahan nafsu birahi, masa mencoba-coba hal baru (aktifitas seksual), masa pencarian identitas diri, mempunyai inisiatif untuk melakukan hubungan seksual, oleh karena itu orang tua harus ikut campur terhadap remaja khususnya dalam memberikan pendidikan seks secara holistik dan terpadu. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pengetauan remaja tentang seks dengan perilaku seks remaja. Peran keluarga dan sekolah dalam memberikan pendidikan seks adalah memberikan penjelasan yang terbuka sehingga mudah dimengerti oleh remaja. Faktor lingkungan tempat dimana dia bergaul sehingga mereka bisa berfikir bahwa seks bebas mempunyai dampak negatif seperti kehamilan di luar nikah, aborsi, PMS, dan HIV/AIDS. Selain mereka juga sadar bahwa perilaku seks menyimpang selain dilarang agama dapat menghancurkan masa depan remaja, sehingga mereka selalu berhati-hati dalam bergaul , misal setelah wanita mengalami menstruasi mereka harus menjaga jarak dalam pergaulan terutama dengan lawan jenis, serta harus bisa menyaring mana teman yang baik dan mana teman yang buruk. Oleh karena itu mereka bisa menjaga diri dan mengambil sikap dalam pergaulan. Dapat disimpulkan bahwa perlunya peningkatan hubungan yang harmonis antara keluarga dan anak serta terlaksananya pendidikan seks oleh keluarga sehingga hal ini menjadi anticipatory guidance penyimpangan perilaku seks remaja dan para remaja bisa berperilaku seks secara sehat.
37
KESIMPULAN Hampir setengahnya pengetahuan remaja tentang seks di SMA Negeri I Sampang masih kurang. Sebagian besar remaja di SMA Negeri I Sampang mempunyai perilaku seks yang menyimpang. Ada hubungan pengetahuan remaja tentang seks dengan perilaku seks remaja. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S.2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Babyjim,2004.Pendidikan Seks. Diakses tgl 23 April 2010 dari www.Babyjim.aditya.com Budijanto, D . 2005. Metode Penelitian, Surabaya : UPPM-Poltekes Dianawati, 2003. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Jakarta : Kawan Pustaka. Gunarsa, 2001. Psikologi Praktis: Anak, Remja dan Keluarga, Jakarta: Gunung Mulia IDAI, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksusal, CV.Mandar Jaya, Bandung Lim Su Min. 2007. 101 Question About Seks. Java Pustaka Medika Utama Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Purwanto,Heri, 2002. Pengantar Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta Sarwono, Sarlito Wirawan, 2005. Psikologi Remaja, PT.Raja Grafindo, Jakarta Soetiningsih. 1995. Tunbuh Kembang Anak. Jakarta: ECG Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: CV.Sagung Seto Sofyan. 2005. Remaja dan Masalahnya. Bandung : Alfabeta
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 38-44
38
PENELITIAN ILMIAH
Hubungan Tugas Keluarga Dengan Pemberian
ASI
Tambelangan
Eksklusif
Di
Desa
Puskesmas
Tambelangan Kabupaten Sampang
The Relationship of Task Family With Exclusive Breastfeeding In The Village Tambelangan of Public Health
Center
Tambelangan of Sampang Regency
ENI SUSSANTI *) *) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ngudia Husada Madura
ABSTRACT Breast milk is best food for babies who had been known since humans existed. But in fact there are many mothers who are reluctant to give exclusive breastfeeding her baby. Impacts that may arise if the age baby 0-6 months do not receive exclusive breastfeeding can increase the occurrence of diarrhea, meningitis, diabetes and obesity, ashma and sepsis (severe infection). The purpose of this study to determine the relationship with the family duties exclusive breastfeeding in infants. In researching these types of research are analytical with the design of ˮ cross sectional ˮ, use ˮ probability sampling ˮ with techniques sampling ˮ simple random sampling ˮ, variable independent is the duty of the family, variable dependent exclusive breastfeeding. Its population is a mother who had a baby 6 months - 2 years in the Village Tambelangan PHC Tambelangan Sampang regency sample as many as 60 people with 52 respondents. This data was collected using a closed questionnaire with multiple choice questions and then do the cross tabulation and presented in the form of diagrams, tables and narratives. Further statistical test of Spearman Rank Corelation. Results showed that mothers who do a good job and provide his family with exclusive breast feeding as many as 28 people (53.8%). Mothers who do a good job with his family and did not give exclusive breastfeeding as much as two people (3.8%). And women who perform the task and their families with enough to give as many as eight people Exclusive breastfeeding (15.4%) and mothers who do the job adequately and their families do not provide as many as six people Exclusive breastfeeding (11.5%). While mothers do less well and his family by giving exclusive breast feeding as many as one person (1.9%) and mothers who do keluarganyadengan task less well and did not give exclusive breast feeding as many as seven people (13.5%). From the results of non-parametric statistical test Spearman rank correlation with significance ρ <0.05 is obtained ρ = 0.0001 means 0.0001 <0.05 with a correlation coefficient of r = 632, Ho is rejected H1 accepted that concluded that there was a correlation task Exclusive breastfeeding and family. Keyword : family duties, exclusive breastfeeding
Correcpondence : Eni Susanti, Jl. R.E. Martadinata Bangkalan, Indonesia
PENDAHULUAN Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi utama dan alami yang sudah dikenal sejak manusia itu ada. ASI dengan komposisi yang unik diciptakan sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang bayi. ASI mengandung zat kekebalan tubuh sehingga bayi yang diberi ASI lebih kebal terhadap penyakit (IDAI, 2002). Selain itu masih banyak
manfaat dari pemberian ASI baik bagi bayi maupun ibunya diantaranya adalah meningkatkan daya tahan tubuh, dan meningkatkan kecerdasan, juga dapat meningkatkan jalinan kasih sayang dan mengurangi pendarahan setelah melahirkan, mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, lebih cepat langsing, mengurangi kemungkinan menderita kanker, lebih ekonomis (murah), tidak
Hubungan Tugas Keluarga Dengan Pemberian ASI Eksklusif (Eni Susanti)
merepotkan, hemat waktu, portabel dan praktis serta memberi kepuasan bagi ibu (Roesli, 2000). Namun dalam pemberian makanan yang ideal untuk bayi dapat dicapai dengan cara menciptakan pengertian keluarga. Dukungan dari lingkungan dan tugas keluarga merupakan unit dasar dalam masyarakat yang merupakan segala bentuk hubungan kasih sayang antara manusia sehingga tugas keluarga khususnya suami mempunyai peran penting dalam pemberian ASI eksklusif (Khuruddin, 2007). Di Indonesia, praktek inisiasi menyusui segera setelah persalinan dan pemberian ASI eksklusif masih rendah. IMD atau Inisiasi Menyusui Dini yaitu bayi dengan naluri dan upaya sendiri dapat menetek dalam waktu satu jam setelah lahir bersamaan dengan kontak dini kulit di dada ibu, bayi dibiarkan setidaknya 60 menit di dada ibu sampai dia menyusu, dan dilanjutkan pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan memberikan ASI sampai usia 2 tahun. Proporsi praktek inisiasi menyusui dalam 30 menit setelah persalinan adalah 8.3% (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI, 2003). Hasil studi pendahuluan dari data susenas BPS Jawa Timur Tahun 2000 bahwa wilayah Jawa Timur mengalami kenaikan yang signifikan dalam pemberian ASI eksklusif dari 2006 – 2008 akan tetapi pada tahun 2009 walaupun ada penurunan tapi masih cukup baik dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0-6 bulan. Data yang didapat pemberian ASI eksklusif tahun 2006 adalah 47%, 2007 adalah 50,6%, tahun 2008 adalah 53,1%, dan tahun 2009 adalah 52,4%. Sedangkan Kabupaten Sampang menurut data susenas BPS Sampang tahun 2010 didapatkan bahwa pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan pada tahun 2006 – 2009 belum mencapai target dan pencapaiannya fkuktuatif dari tahun ketahunnya (target 80%, Indonesia sehat 2010). Pencapaian pemberian ASI eksklusif di Kabupaten sampan 22,52% pada tahun 2006, 18,4% tahun 2007, 39,97% tahun 2008, dan 16,04% pada tahun 2009. Khusus untuk wolayah kerja daerah Puskesmas Tambelangan, pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Tambelangan dari tahun 2006 – 2009 mengalami penurunan yang signifikan. Pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Tambelangan diperoleh 25,64% pada tahun 2006, 20,53% tahun 2006, 21,72% tahun 2008, dam 19,78% pada tahun 2009. Dampak yang dapat timbul jika bayi usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif yaitu dapat meningkatkan terjadinya diare,
39
infeksi telinga, meningitis, diabetes dan kegemukan, ashma serta sepsis (infeksi berat) (dr. I Made Purwa, 2010). Menyusui sejak dini terbukti memiliki banyak manfaat baik bagi ibu maupun bayi. Namun pada kenyataannya masih banyak ibu yang enggan memberikan ASI eksklusif bagi bayinya. Rendahnya pemberian ASI eksklusif ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : perubahan sosial budaya seperti meniru teman, tetangga atau orang yang terkemuka yang memberikan susu botol, merasa ketinggalan zaman jika menyusui bayinya. Faktor psikologis misalnya : takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita yaitu takut badannya menjadi tidak langsing lagi. Faktor fisik ibu seperti ibu sakit (panas, mastitis, batuk) dan sebagainya. Selain itu faktor pengalaman ibu tentang pemberian ASI eksklusif juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemberian ASI eksklusif. Faktor peran dari keluarga utamanya suami yang mendorong ibu untuk memberikan susu botol dan bubur susu, serta meningkatkannya promosi susu formula sebagai pengganti ASI. Upaya-upaya untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif pada bayi melibatkan berbagai cara dan dukungan dari berbagai pihak, dengan peningkatan kepedulian dari pengambil keputusan, organisasi profesi, tokoh masyarakat, kelompok potensial dan masyarakat luas tentang pentingnya kebijaksanaan pemerintah dalam peningkatan pemberian ASI, juga perlu menganjurkan inisiasi menyusui dini (IMD) dan meningkatkan penyuluhan dimulai pada tingkat RT/RW, posyandu dan puskesmas sehingga kaum ibu, remaja putri dan kaum laki-laki memahami manfaat pemberian ASI secara eksklusif. Untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif salah satunya adalah tugas keluarga. Dengan demikian tugas keluarga diperlukan untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan permasalahan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui “Hubungan tugas keluarga dengan pemberian ASI eksklusif didesa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang”. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tugas keluarga dengan pemberian ASI eksklusif di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah penelitian Analitik Corelative Cross Sectional Non Experimental. Variabel independen dalam penelitian ini adalah tugas keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah pemberian ASI eksklusif. Pada penelitian ini
40
populasinya adalah semua ibu yang memberikan ASI eksklusif di desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang sebanyak 60 ibu dan bayi. Setelah dilakukan perhitungan jumlah sampel, diperoleh sampel dalam penelitian ini sebanyak 52 ibu yang memberikan ASI eksklusif. Tempat penelitian adalah di Desa Tambelangan wilayah kerja Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. Sedangkan waktu penelitian adalah dari bulan Mei sampai Juli 2010. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik Rank Spearman Corelation. HASIL PENELITIAN
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 38-44
Karakteristik Umum Responden Karakteristik umum responden dalam dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan, dan pekerjaan. Hasil penelitian tentang karakteristik umum responden adalah :
37-45 th 8% 28-36 th 27%
19-27 th 65% Sumber : Kuesioner Penelitian Juli 2010
Gambaran Umum Tempat Penelitian Wilayah kerja Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang memiliki luas wilayah 8891,08 Ha dengan jumlah penduduk 42.876 jiwa, dan memiliki 10 Desa. Dengan memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah utara Puskesmas/ Kecamatan Banyuates, sebelah selatan Puskesmas/ Kecamatan wilayah Jrengik, sebelah timur Puskesmas/ Kecamatan Kedungdung dan sebelah barat Kabupaten Bangkalan. Sedangkan untuk data monografi Desa Tambelangan mempunyai luas wilayah 889,8 Ha dengan jumlah penduduk 3.668 jiwa. Batas wilayah meliputi : sebelah utara berbatasan dengan Desa Somber, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Samaran, sebelah barat berbatasan dengan Desa Barunggagah dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Banjar kecamatan Kedungdung. Kondisi geografisnya bertopografi rendah dengan ketinggian 33 mdpl,dengan suhu rata-rata 32c, memiliki kondisi alam berupa dataran. Puskesmas Tambelangan merupakan puskesmas induk yang membawahi 4 puskesmas pembantu (PUSTU), 6 POLINDES dan 56 POSYANDU. Puskesmas dilengkapi dengan ruang perawatan untuk penderita rawat jalan yang terdiri dari loket, balai pengobatan, kesehatan ibu dan anak, apotek tata usaha, poli gigi dan ruang rawat inap yang terdiri dari ruang jaga perawat, ruang tindakan (UGD) dan ruangan untuk pasien, stuktur ketenagaan dengan jumlah 49 orang terdiri dokter umum 1 orang, dokter gigi 1 orang,perawat gigi 1 orang, bidan desa 17 orang, pelaksana gizi 1 orang, tenaga administrasi 5, petugas laborat 1orang, petugas loket 1 orang, petugas apotik 2 orang, perawat 19 orang.
Gambar 1 Distribusi Berdasarkan Umur Ibu di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Juli 2010 Dari gambar 1 di atas didapatkan bahwa jumlah responden sebagian besar berumur 19–27 tahun sebanyak 34 orang (65%) dan sebagian kecil berumur 37 - 45 tahun sebanyak 4 orang (8%). Tidak sekolah, 9
PT, 10
SMA, 15
SMP, 3
SD, 15
Sumber : Kuesioner Penelitian Juli 2010 Gambar 2 Distribusi Berdasarkan Pendidikan Ibu di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Juli 2010 Dari gambar 2 didapatkan bahwa jumlah responden hampir setengahnya berpindidikan SD dan SMA sebanyak 15 orang (29%) dan sebagian kecil berpendidikan SMP sebanyak 3 orang (6%).
Hubungan Tugas Keluarga Dengan Pemberian ASI Eksklusif (Eni Susanti)
Swasta/ Wiraswa sta 23%
PNS 19%
IRT 48%
Tani 10%
Sumber : Kuesioner Penelitian Juli 2010 Gambar 3 Distribusi Berdasarkan Pekerjaan Ibu di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Juli 2010 Dari gambar 3 di atas didapatkan bahwa jumlah responden hampir setengahnya (48%) adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga sebanyak 25 orang dan sebagian kecil (10%) adalah bekerja sebagai petani sebanyak 5 orang. Tugas Keluarga Hasil penelitian tentang tugas keluarga dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi 6 bulan – 2 tahun di Puskesmas Tambelangan adalah : Kurang 15%
Cukup 27%
Baik 58%
Sumber : Kuesioner Penelitian Juli 2010 Gambar 4 Distribusi Tugas Keluarga di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Juli 2010 Dari gambar 4 di atas didapatkan data bahwa sebagian besar responden melakukan tugasnya dengan baik sebanyak 30 orang (58%), melakukan tugasnya dengan cukup sebanyak 14 orang (27%) dan melakukan tugas nya dengan kurang baik sebanyak 8 orang (15%) dalam pemberian ASI eksklusif. Keluarga merupakan orang terdekat yang melakukan tugasnya dengan baik kepada
41
ibu yang mempunyai bayi 6 bulan – 2 tahun. Menurut Dep. Kes (1998) tugas yang dilakukan oleh keluarga mencakup lima tugas kesehatan keluarga yang meliputi mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, mengambil keputusan untuk tindakan yang tepat, memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan keluarga, memanfaatkan fasilitas kesehatan. Dari kelima tugas keluarga tersebut terlihat jelas bahwa tugas keluarga sangat besar, mengingat keluarga adalah seseorang yang paling dekat, mempengaruhi, dan ikut memantau dalam setiap perkembangan anggota keluarganya. Maka tugas keluarga merupakan hal yang sangat utama dalam mendukung pemberian ASI eksklusif pada bayi 6 bulan – 2 tahun. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tentu saja keluarga tidak lepas dari rintangan yang ada. Hambatan atau rintangan yang sering dihadapi keluarga dalam memecahkan masalah kesehatan keluarga adalah pendidikan yang rendah, ketidaktahuan dampak yang ditimbulkan dan kebiasaankebiasaan yang melekat serta sosial budaya yang tidak menunjang Effendi (1997). Merujuk pada hasil analisa data umum dimana faktor pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tugas keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif pada bayi 6 bulan – 2 tahun. Menurut Kuncoro Ningrat ( 1997), semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula mekanisme koping dalam penyerapan informasi yang diberikan khususnya pemberian ASI eksklusif dan dapat memahami pentingnya pemberian ASI eksklusif. Dari hasil penelitian ini didapatkan hampir setengahnya (29%) berpendidikan SD dan SMA, dimana tingkat pendidikan SD merupakan tingkat pendidikan yang rendah sehingga dapat mengurangi dalam penerimaan informasi yang penting dalam pemberian ASI eksklusif. Akan tetapi hal ini dapat diatasi keluarga dimana di masa sekarang informasi bisa didapatkan dari berbagai media antara lain televisi, koran maupun radio, sehingga ibu mudah mendapatkan informasi mengenai pentingnya ASI eksklusif bagi bayinya. Hal ini juga dapat didukung dari pengalaman yang dimiliki ibu yang telah memberikan ASI eksklusif pada bayi sebelumnya. Dengan begitu maka semakin mudah keluarga melakukan tugasnya dengan baik kepada ibu untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi 6 bulan – 2 tahun. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi tugas keluarga dalam pemberian ASI ekskusif serta lingkungan yang adekuat untuk membentuk dan menjalin kasih sayang antara ibu dan bayi.
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 38-44
42
Temuan penelitian menunjukan secara umum bahwa kelima tugas keluarga sangat mendukung terhadap pemberian ASI eksklusif. Disamping itu besarnya tugas keluarga sangat dimungkinkan oleh karena keeratan hubungan keluarga. Pemberian ASI Eksklusif Hasil penelitian tentang pemberian ASI eksklusif pada bayi 6 bulan – 2 tahun di Puskesmas Tambelangan adalah : Member ikan MP ASI 27% Member ikan ASI Eksklusif 73% Sumber: Kuesioner Penelitian Juli 2010 Gambar 5 Distribusi Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Juli 2010 Dari gambar 5 menunjukkan bahwa responden sebagian besar memberikan ASI eksklusif sebanyak 38 orang (73,07%) dan sebagian kecil memberikan MP ASI sebanyak 14 orang (26,92%). Hal ini dikarenakan sebagian besar (65%) ibu berumur 19-27 tahun yaitu suatu periode usia dimana seseorang sudah memasuki kedewasaan, baik dalam hal berfikir ataupun tindakan. Para ibu yang berumur 1927 tahun dan sudah memiliki dua orang anak atau lebih yang secara otomatis memiliki pengalaman tentang merawat bayi dan memberikan makanan untuk bayinya baik dengan ASI eksklusif maupun tidak ASI
eksklusif (MP ASI), karena ibu akan berkaca pada pengalaman sebelumnya mana yang banyak manfaatnya dan mana yang dapat merugikan. Sedangkan menurut pengalaman sebelumnya banyak ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif sehingga hal itu tetap dipertahankan dan tetap memberikan ASI eksklusif pada bayinya. Menurut Hurlock (1998), bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang baik cara bersikap, berfikir dan bekerja. Ditegaskan juga dalam teori Notoatmodjo (2002), seseorang yang mempunyai banyak pengalaman lapangan baik pengalaman yang positif maupun negatif, akan menambah kepekaannya terhadap masalah dibidangnya. Pengalaman-pengalaman yang diperolehnya langsung dari lapangan akan menambah keyakinan mereka, betapa serius masalah tersebut dan memperkuat usaha yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah itu, hal ini berarti dapat meningkatkan kepekaannya terhadap masalah yang bersangkutan dibidangnya. Hal ini juga dikarenakan hampir setengahnya (48%) bekerja sebagai ibu rumah tangga. Yang secara otomatis mempunyai waktu dan peluang yang besar untuk memberikan ASI eksklusif pada bayinya. Menurut Markum dan Erick yang dikutip Nursalam (2001) mengatakan bahwa pekerjaan umumnya merupakan hal penting dan cenderung menyita waktu serta memerlukan aktifitas. Dengan begitu jenis pekerjaan mempengaruhi terhadap ibu dalam memberikan ASI eksklusif dimana jenis pekerjaan akan membantu tersedianya waktu bagi ibu untuk memberikan ASI bagi bayinya. Hubungan Tugas Keluarga Dengan Pemberian ASI Eksklusif pada bayi Hasil tabulasi silang antara tugas keluarga dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi 6 bulan – 2 tahun di Puskesmas Tambelangan adalah :
Tabel 1 Hubungan Tugas Keluarga Dengan Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi 6 bulan - 2 tahun di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang Tahun 2010 Pemberian ASI eksklusif Total Tugas keluarga Ya % Tidak % ∑ % Baik 28 53,8% 2 3,8% 30 57,7% Cukup 8 15,4% 6 11,5% 14 26,9% Kurang 1 1,9% 7 13,5% 8 15,4% Total 38 71,2% 14 28,8% 52 100, % Uji Rank Spearman : ρ hitung = 0,0001 ; r korelasi = 632 Berdasarkan tabel 1 di atas menunjukkan bahwa responden keluarga yang
melakukan tugas dengan baik dan memberikan ASI eksklusif sebanyak 28 orang (73,68%) dan
Hubungan Tugas Keluarga Dengan Pemberian ASI Eksklusif (Eni Susanti)
keluarga yang melakukan tugas dengan baik dan tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 2 orang (14,28%). Keluarga yang melakukan tugasnya dengan cukup dan memberikan ASI eksklusif sebanyak 8 orang (21,05%), dan keluarga yang melakukan tugasnya dengan cukup dan tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 6 orang (42,85%). Sedangkan keluarga yang melakukan tugasnya dengan kurang baik dan memberikan ASI eksklusif sebanyak 1 orang (2,6%) dan keluarga yang melakukan tugasnya dengan kurang baik dan tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 7 orang (50%). Ini disebabkan karena tugas keluarga sangat diperlukan dalam menyediakan lingkungan yang adekuat untuk memberikan ASI eksklusif. Menurut Nasrul Effendi (1998) membagi 5 tugas kesehatan yang dilakukan keluarga yaitu mengenal masalah tentang pemberian dan manfaat ASI eksklusif, mengambil keputusan akan tindakan yang dilakukan oleh keluarga tentang masalah pemberian ASI eksklusif, memberikan perawatan kesehatan kepada ibu yang mempunyai bayi 6 bulan - 2 tahun, memelihara lingkungan yang sehat, memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada untuk mendapatkan pelayanan dan perawatan kesehatan yang diperlukan ibu yang mempunyai bayi 6 bulan – 2 tahun. Dan bila dilihat dari hasil penelitian keluarga sebagian besar melakukan tugasnya dengan baik dan hampir setengahnya yang kurang dalam melaksanakan tugasnya dalam pemberian ASI eksklusif. Hal ini diasumsikan bahwa besarnya tugas keluarga tersebut oleh karena keeratan hubungan antara keluarga dengan ibu yang mempunyai bayi 6 bulan - 2 tahun sehingga membentuk suatu kasih sayang antar anggota keluarga, disinilah keluarga sangat penting untuk melakukan tugasnya dalam pemberian ASI eksklusif. Mengingat ASI eksklusif merupakan hal yang sangat penting bagi kesehatan bayi. Dari hasil uji statistik non parametric spearman rank correlation dengan tingkat kemaknaan ρ < 0,05 di dapatkan hasil ρ = 0,0001 artinya 0,0001< 0,05 dengan nilai koefisien korelasi r = 632, Ho ditolak H1 diterima sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan tugas keluarga dengan pemberian ASI Eksklusif. Dari hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan tugas keluarga dengan pemberian ASI eksklusif, sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga mempunyai tugas yang sangat penting dalam peningkatan derajat kesehatan anggota keluarganya. Dalam hal ini
43
dikhususkan pada pemberian ASI eksklusif. KESIMPULAN Sebagian besar ibu yang mempunyai bayi 6 bulan – 2 tahun di Desa Tambelangan PuskesmasTambelangan Kabupaten Sampang didukung oleh tugas keluarga yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif. Hampir seluruhnya ibu yang mempunyai bayi 6 bulan – 2 tahun di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang memberikan ASI Eksklusif . Ada hubungan tugas keluarga dengan pemberian ASI Eksklusif pada bayi 6 bulan – 2 tahun di Desa Tambelangan Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin baik keluarga melakukan tugasnya akan diikuti dengan semakin tinggi pemberian ASI Eksklusif. DAFTAR PUSTAKA Alimul H. Aziz. (2003). Riset Keperawatan dan tehnik Penulisan Ilmiah. Jakarta Salemba Medika. Arikunto Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian Edisi Revisi V. Jakarta. Rineka Cipta. Arikunto Suharsimi. (1998). Prosedur Penilaian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Rineka Cipta. Effendy Nasrul. (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan masyarakat. Jakarta. Buku Kedokteran. Friedman, MM. (1998). Family Nursing : Theory And Assesment (4 th ed) Commectiout. Appleton – Centory – Cropts. Haryadi, Sujono. (2006). Panduan Praktis Pembuatan Karya Imiah untuk D III Keperawatan. Jogjakarta. Shibghan Press. Notoamodjo Soekidjo. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta. PT. Rineka Cipta. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika. Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika. Nursalam, & @ Siti Pariani.(2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta. CV S. Agung Seto. Su’adah, Dra. (2005). Sosiologi Keluarga. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang.
44
Soejtiningsih, Dr. (1997). ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta. EGC. Utami Roesli. dr. (2000). ASI Exclusif. Jakarta. Trubus Agri Widya. Utami Roesli. dr. (2008). Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Jakarta. Pustaka Bunda. ____________ . (2010). Medical Record.
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 38-44
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. ____________ . (2010). Medical Record. Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang. ____________ . (2010). Medical Record. Puskesmas Tambelangan Kabupaten Sampang.
Hubungan Dukungan Keluarga Penderita TB Paru Kategori I Dengan Kepatuhan Berobat (Nisfil Mufidah)
ARTIKEL KESEHATAN
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA PENDERITA TB PARU KATEGORI I DENGAN KEPATUHAN BEROBAT Nisfil Mufidah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudia Husada Madura PENDAHULUAN Pada tahun 2002 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 11 juta penderita baru Tuberkulosis (TB) paru dengan kematian 5 Juta orang. Di Negara-negara berkembang kematian TB paru merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB paru berada di Negara berkembang. 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif 15-50 tahun ( Depkes, 2005 ). Dengan masih tingginya angka kematian maka perlu adanya berbagai usahausaha preventif terhadap TB yaitu dengan pemberian vaksinasi BCG ( Bacillus Calmette Guerine ). Dari beberapa penelitian di temukan bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anak-anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja yakni 0-80%. Tetapi BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap TB berat, meningitis, TB milier dan TB Extra paru dan lain-lain (Asril, 2005 : 655). Di Indonesia kegiatan penanggulangan penyakit TB Paru telah dimulai sejak diadakan Simposium Pemberantasan TB Paru di Ciloto pada tahun 2002. Namun sampai sekarang belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga atau SKRT tahun 1995, TB Paru merupakan penyebab kematian nomor 3 terbesar setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Menurut laporan WHO (2002) penyakit TB Paru di Indonesia merupakan nomor 3 setelah India dan Cina, dimana diperkirakan setiap tahun terjadi merupakan 583.000 kasus baru TB Paru dengan kematian sekitar 140.000 secara kasar diperkirakan 100.000 penduduk Indonesia terdapat 140 penderita TB Paru BTA ( positif ). Data yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang pada Periode Bulan Januari sampai Desember 2009 tercacat penderita 25 orang berusia 17 sampai 60 tahun yang menderita TB paru. Sementara untuk bulan Januari sampai Desember 2010 dari data responden tercacat sebanyak 30 penderita yang tidak menutup kemungkinan jumlah penderita terus meningkat ( Puskesmas Robatal, 2010 ). Pengobatan TB Paru memerlukan waktu yang lama, dalam jangka waktu kurang lebih 6 sampai 9 bulan serta penderita harus minum obat secara teratur secara terus menerus sampai dikatakan sembuh. Apabila tidak teratur minum obat maka penderita harus mengulang dari awal maka hal ini yang menyebabkan dari kegagalan pengobatan TB Paru. Sebab-sebab kegagalan pengobatan pada penderita TB paru diantaranya adalah kurangnya biaya pengobatan dan karena pasien sudah merasa sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50% pada terapi jangka panjang karena sebagian besar pasien TB adalah golongan yang tidak mampu, sedangkan pengobatan TB memerlukan waktu lama dan biaya cukup banyak dari itu kita perlu kerjasama yang baik serta motivasi pengobatan terhadap pasien (Asril,2005 : 684 ). Dampak bila penderita TB tidak patuh berobat yaitu kesembuhan penderita TB akan lama karena tidak sesuai waktunya yakni 6-8 bulan, penderita mengalami kekebalan (resisten) terhadap obat, dan penderita akan menularkan penyakit TB kepada keluarga, serta lingkungan sekitarnya dengan bakteri yang resisten terhadap obat. Manfaat dukungan keluarga terhadap kepatuhan berobat penderita TB adalah keluarga memberikan motivasi dan dukungan terhadap penderita TB agar penderita selalu optimis untuk cepat sembuh dimana keluarga dilibatkan dalam pengawasan minum obat sehingga penderita TB patuh dan teratur minum obat, dan juga keluarga memperlancar informasi antar penderita dan petugas program TB. Dengan masih tingginya angka kematian maka perlu adanya berbagai usahausaha preventif terhadap TB yaitu dengan pemberian vaksinasi BCG ( Bacillus Calmette Guerine ). Dari beberapa penelitian di temukan bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anak-anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja yakni 0-80%. Tetapi BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan
45
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 45-48
46
terhadap TB berat, meningitis, TB milier dan TB Extra paru dan lain-lain (Asril, 2005 : 655). Program Puskesmas / Pemerintah dalam menekan angka putus berobat bagi penderita TB dimana pertama petugas selalu memberikan penyuluhan terhadap penderita, keluarga penderita, tokoh agama dan masyarakat serta aparat desa (RT, RW) kedua dengan adanya program pemerintah penderita TB tidak dikenakan biaya apapun (gratis) mulai dari pemeriksaan awal sampai akhir pengobatan dan ketiga penderita TB yang sudah sembuh dijadikan kader atau pengawas minum obat penderita TB baru. DUKUNGAN KELUARGA Menurut Fridman terdapat dua perspektif dasar menyangkut peran yaitu orientasi strukturalist yang menekankan pengaruh normatif atau cultural yaitu pengaruh yang berkaitan dengan status-status tertentu dan peran yang terkait didalamnya serta orientasi yang menekan timbulnya kualitas peran yang lair dari interaksi sosial. Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga mempunyai tugas dan pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara (Effendy, 1998). Ada 5 tugas yang harus dilakukan oleh keluarga dalam memelihara kesehatan agar salah satu keluarga tidak terkena suatu penyakit menular seperti penyakit TB Paru, yaitu: 1) Mengenal masalah kesehatan; 2) Memberikan perawatan kesehatan; 3) Memelihara lingkungan rumah yang sehat; dan 4) Menggunakan fasilitas kesehatan. Penderita TB Paru kurang memiliki pengetahuan tentang penyakit TB, hal ini disebabkan taraf pendidikan penderita TB sangat rendah sehingga untuk mereka patuh dalam berobat kurang dan juga kurangnya dukungan dari keluarga si penderita TB. TB PARU Definisi penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium TB sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 hal 459). Penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB paru Mycobacterium TB) yang sebagian besar kuman TB paru menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. (Depkes 2007.7). Etiologi Kuman Mycobacterium TB yang terbentuk batang yang mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam dan pewarnaan oleh karena itu disebut Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB paru cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman/tidur lama selama beberapa tahun. (Depkes 2007 : 2). Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA positif, dimana pada waktu batuk atau bersin menyebarkan kuman keudara dalam bentuk droplet (percikan ludah) pada suhu kamar dalam beberapa jam. Orang terinfeksi kalau droplet tersebut dapat dihirup kedalam saluran pernapasan. Setelah kuman TB paru tersebut dapat menyebar dan paru limfe saluran nafas / penyebaran langsung kebagian tubuh lainnya. (depkes 2007.8). Kuman TB paru pada anak-anak sebagian besar (95%) penularan melalui udara dan mungkin juga karena jaringan paru mudah terkena infeksi TB, basil TB masuk kedalam paru melalui udara dan dengan masuknya basil TB maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas yang disebut focus primer, basil TB akan menyebar dengan cepat melalui saluran bening menuju kelenjar regional yang kemudian akan mengadakan reaksi eksudasi focus primer yang membentuk komplek primer yang terjadi 2 sampai 10 minggu (6 sapai 8 minggu) pasca infeksi yang semuanya ini hanya dapat di ketahui dengan tes uji Tuberculin, pembesaran kelenjar regional lebih banyak pada anak-anak dibanding orang dewasa terutama penyebaran homogen lebih banyak terjadi anak dan bayi ( Depkes RI 2007. 11 ). Tanda dan gejala batuk terus menerus selama 3 minggu, dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan disertai nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam demam lebih dari 1 bulan (Depkes RI. 2007 : 13). Pada anak-anak terjadi penurunan berat badan tanpa sebab, anorexia demam lama dan berulang tanpa sebab, pembesaran kelenjar linfe, batuk lebih dari kurang lebih 30 hari diare (Kapita Seleketa edisi 3 : 59).
Hubungan Dukungan Keluarga Penderita TB Paru Kategori I Dengan Kepatuhan Berobat (Nisfil Mufidah)
Cara penularan dan sumber infeksi sumber penularan adalah penderita TB paru BTA posif pada waktu batuk atau bersin penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk droplet yang terhirup kesaluran pernafasan dan menyebar langsung ke tubuh lainnya (Depkes RI 2007.9). Pada anak yang belum mendapat kekebalan tubuh terhadap TB mudah terinfeksi karena tertular penderita TB dewasa melalui percikan ludah yang mengandung kuman TB yang berterbangan disekitarnya (Depkes RI, 2005. 21). Pencegahan TB paru dengan pemberian vaksin BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap TB yang Vulurer. Imunisasi timbul setelah 6 samapi 8 minggu setelah pemberian BCG. BCG diberikan pada anak dengan uji Tuberculin (negatif), 6 minggu kemudian dapat dilakukan uji Tuberculin ulang. Tapi pemberian BCG sekurang tanpa dilakukan uji Tuberculin dulu tidak apa-apa cara ini lebih hemat biaya dapat mencakup lebih banyak anak.(Ngastiyah 2005:45). Kemoprofilaksis yang tepat juga harus dengan diagnosis yang tepat juga harus dengan pengobatan yang adekuat, isoniasid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek sampingnya sedikit. Alternative lain setelah isoniosid adalah Rifampisin (Bahar asril.845). Pengobatan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberculosis) Menurut WHO 1995 menyatakan OAT merupakan obat andalan di Indonesia yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dalam jumlah cukup dan dosis cepat selama 6-8 bulan. Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung DOT ( Directly Observed Treatment ) oleh seorang Pengawas Menelan Obat atau PMO. (Depkes RI 2007 : 37) KEPATUHAN BEROBAT Kepatuhan berobat adalah pengobatan sesuai dengan jadwal atau ketentuan dari petugas TB atau medis setempat. Tujuan pengobatan TB paru adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian penderita, dan menurunkan tingkat penularan (Depkes RI 2007 : 37). Hasil pengobatan seorang penderita dapat di kategorikan sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah, DO dan gagal. Faktor-faktor mempengaruhi kepatuhan berobat penderita paru adalah pengetahuan, pendidikan, dan efek samping obat. HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT Sangat berhubungan dengan kepatuhan, karena pengobatan TB Paru butuh waktu lama dan harus teratur serta tidak boleh putus pengobatan. Apabila penderita TB menghentikan pengobatan atau tidak teratur maka pengobatan harus diulang dari awal. Penderita TB drop out atau pengobatan lengkap kambuh, maka pengobatannya masuk dalam pengobatan kategori 2. Oleh sebab itu dukungan keluarga penderita TB sangat dibutuhkan untuk kesembuhan penderita TB Paru baik secara materiil dan moril. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dukungan keluarga penderita TB Paru baik 76%. Untuk dukungan keluarga terhadap mengenal masalah kesehatan terdapat perbedaan antara beberapa responden yang terletak pada sikap dan perilaku responden, dimana kebanyakan keluarga kurang mengerti akan manfaat dan pentingnya berobat secara teratur serta kurang informasi keluarga tentang kesehatan, sehingga menghasilkan sikap dan perilaku yang negatif terhadap TB Paru. Mereka juga sadar bahwa kepatuhan berobat tidak semata-mata untuk mensukseskan program pemerintah tapi juga untuk menyembuhkan penderita TB Paru. Sebagian besar penderita TB Paru patuh terhadap pengobatan sebanyak 21 orang (70%) dan sebagian kecil yang tidak patuh berobat sebanyak 9 orang (30%). Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh faktor tingkat pengetahuan keluarga penderita baik tingkat pengetahuan secara patuh . Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka dukungan keluarga terhadap kepatuhan berobat semakin baik dan semakin kecil tingkat pendidikannya maka maka dukungan keluarga terhadap kepatuhan berobat semakin rendah.
47
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 45-48
48
Pengobatan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberculosis) Menurut WHO 1995 menyatakan OAT merupakan obat andalan di Indonesia yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dalam jumlah cukup dan dosis cepat selama 6-8 bulan. Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung DOT ( Directly Observed Treatment ) oleh seorang Pengawas Menelan Obat atau PMO (Depkes RI 2007 : 37). Hasil penelitian tentang hubungan antara dukungan keluarga penderita TB paru dengan kepatuhan berobat didapatkan ρ hasil = 0.003 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga penderita TB Paru dengan kepatuhan berobat. KESIMPULAN Dukungan keluarga penderita TB Paru sebagian besar baik dan sebagian kecil dukungan keluarga penderita TB kurang baik Tingkat kepatuhan berobat responden dengan TB Paru sebagian besar Patuh. Ada hubungan antara dukungan keluarga penderita TB Paru dengan kepatuhan berobat. DAFTAR PUSTAKA Asril Bahar, 2001, Ilmu Penyakit Dalam Depkes RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, jakarta Fridman, M.M. 1998. Family Nursing: theory and assesment (4 th Ed). Connectiout: Appleton-century-cropts. Hatimah Ihat, Dkk..2008. Pembelajaran Berwawasan Masyarakat. Edisi ke-3. Jakarta: Universitas terbuka. Kapita Selekta Kedokteran 2000 Madia Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Kamus kedokteran, 2000, Pustaka amari, jakarta Muhammad Amin, Hood Alsa Gaff 1998 Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press. Nasrul efendy 1998 Keperawatan Kesehatan Masyarakat, jakarta Ngastiyah 1997 Perwatan anak sakit, ECG Jakarta Nursalam, 2003 Konsep dan Penerapan Metologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Selemba Medika Nursalam @ Siti Pariani, 2001, Metologi Riset Keperwatan, CV . Agung Seto, Jakata Nursalam M Nur (Hanuors), 2002 manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktek keperwatan Profesional, Selemba Medika, jakarta Soekdjo Notoatmodjo 2003 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Hubungan Peran Perawat Dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah (Ulva Noviana)
ARTIKEL KESEHATAN
HUBUNGAN PERAN PERAWAT DENGAN KECEMASAN AKIBAT HOSPITALISASI PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH Ulva Noviana Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudia Husada Madura PENDAHULUAN Hospitalisasi adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Supartini, 2004). Hospitalisasi merupakan suatu keadaan krisis pada anak saat anak sakit dan di rawat di rumah sakit. Keadaan krisis terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan di rumah sakit sehingga kondisi tersebut merupakan stressor bagi anak baik terhadap anaknya sendiri maupun keluarga. Egosentris dan pemikiran magis anak usia pra sekolah membatasi kemampuan mereka untuk memahami berbagai peristiwa karena mereka memandang dari sudut pandang mereka sendiri (egosentris). Peran perawat sangat penting dalam membantu mengurangi kecemasan pada anak. Peran perawat adalah family advocacy, health education, conceling, therapeutic, comunicator, research. Peran perawat dalam mengatasi kecemasan akibat hospitalisasi adalah meminimalkan stressor perpisahan, kehilangan kontrol dan prilaku tubuh atau rasa nyeri pada anak serta memberi support pada keluarga dengan memberi informasi yang berhubungan dengan : mencegah atau meminimalkan dampak dari perpisahan, perawat berperan sebagai health educator terhadap keluarga, dan meminimalkan perasaan kehilangan kontrol atau kendali (Supartini, 2004). Idealnya anak yang mengalami hospitalisasi tidak mengalami kecemasan atau cemas ringan, begitu juga dengan orang tua yang mendampingi anak selama di rumah sakit. Fenomena yang terjadi di rumah sakit tersebut bahwa pendekatan perawat yang paling efektif dirasa penting dilakukan untuk meminimalkan dampak dari hospitalisasi, perawat perlu melakukan suatu pemecahan masalah pada anak yang mengalami hospitalisasi agar anak dapat berkembang kearah yang normal. Menurut Kelliat 1999, rata-rata klien yang dirawat di rumah sakit umum mengalami kecemasan dan masalah psikologi yang berkaitan dengan penyakitnya sekitar 30-60%, sedangkan 30-70% disebabkan oleh masalah hospitalisasi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di ruang anak RSUD Sampang pada bulan Januari 2010 terdapat 37 anak pra sekolah yang dirawat. Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti melalui observasi di ruang anak RSUD Kabupaten Sampang menunjukkan bahwa 26 anak (70%) mengalami kecemasan hospitalisasi dan kurang kooperatif pada saat perawat melakukan tindakan keperawatan yang dimanifestasikan dengan sikap seperti anak menangis kuat-kuat, memukul perawat, anak minta pulang dan tidak mau ditinggal oleh orang tuanya, sedangkan 11 anak (30%) tidak mengalami kecemasan hospitalisasi dan cukup kooperatif pada saat perawat melakukan tindakan keperawatan. Hasil pengamatan yang penulis lakukan di ruang anak RSUD Kabupaten Sampang, peran perawat dalam meminimalkan dampak dari hospitalisasi belum begitu tampak dilakukan oleh perawat, dengan alasan perawat kurang dapat melakukan pendekatan pada pasien anak yang mengalami hospitalisasi. Diantaranya karena pekerjaan yang begitu banyak sehingga menyita waktu perawat, perawat tidak memiliki waktu yang cukup untuk lebih dekat dengan pasien, dari beberapa peran perawat belum dilaksanakan misalnya: perawat tidak memberikan penjelasan pada anak mengapa anak harus dirawat di rumah sakit, perawat tidak memberikan penjelasan pada anak tentang rasa sakit yang timbul akibat tindakan tersebut, perawat tidak memberikan penjelasan pada anak tentang prosedur atau tindakan yang akan dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga klien, respon hospitalisasi pada anak usia pra sekolah yang terjadi di ruang anak Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sampang dimana anak memunculkan respon berbeda-beda terhadap perawat, anak merasa takut bila ada seorang perawat yang datang menghampirinya tidak peduli apa yang akan perawat lakukan sekalipun tidak akan menyakitinya. Mereka menganggap perawat akan melukainya dengan membawa suntikan ataupun yang lainnya, anak berusaha menolak perawat, tidak mau ditinggalkan oleh orang tuanya dan lain
49
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 49-52
50
sebagainya. Dimana anak menunjukkan rasa takut saat melihat perawat. Ada juga anak yang menunjukkan respon yang baik dimana mereka dapat menerima kehadiran perawat, mereka tahu bahwa perawat akan berbuat baik dan tidak akan menyakiti mereka. Dari respon yang muncul dapat diperoleh gambaran pengalaman masa lalu saat dirawat di rumah sakit mempengaruhi respon yang terjadi pada anak saat anak kembali masuk rumah sakit. Kecemasan yang terjadi pada anak kadang terbawa juga oleh anak saat kembali lagi ke rumah, anak semacam mengalami trauma sebagai akibat dari hospitalisasi. Hospitalisasi tersebut dapat menimbulkan suatu pengalaman yang tidak baik bagi anak, yang dapat mengakibatkan situasi krisis bagi anak yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan anak. Berdasarkan reaksi hospitalisasi oleh anak pra sekolah, perawat memegang peranan penting dalam meminimalkan dampak dari hospitalisasi, agar anak dapat beradaptasi dengan lingkungan di rumah sakit. Perawat orang yang paling dekat dengan anak hendaknya dapat memberikan perawatan yang berkualitas yang dapat meningkatkan pemecahan masalah secara optimal terhadap krisis akibat hospitalisasi. Seorang anak mengharapkan dari seorang perawat selama perawatannya menjadi pengganti ibu yang dapat memberikan kasih sayang, mengerti minat dan aktifitas (Singgih, 1995). Perawat harus dapat memahami kebutuhan anak seperti: Perawat sebisa mungkin membawa suasana bermain ke dalam kamar anak, perawat berusaha melibatkan keluarga untuk ikut berperan dalam perawatan anak, perawat sebisa mungkin melibatkan aktifitas kelompok dan sibling untuk mengunjungi anak yang sedang sakit di rumah sakit (Whaley and Wong, 1991). HOSPITALISASI Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pulangnya lagi ke rumah (Supartini, 2004). Menurut Wong (2003) sakit dan hospitalisasi pada anak usia pra sekolah menimbulkan stress pada kehidupan anak. Di rumah sakit, anak harus menghadapi lingkungan yang asing, pemberi asuhan yang tidak dikenal, dan gangguan terhadap gaya hidup mereka. Sering sekali usia pra-sekolah harus mengalami prosedur yang menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian dan berbagai hal yang tidak diketahui. Menurut Wong (1995) manfaat atau keuntungan hospitalisasi yang utama adalah kesembuhan dari penyakit. Selain itu hospitalisasi juga dapat memberikan keuntungan lain diantaranya adalah anak-anak mendapat kesempatan belajar menghadapi stressor dan belajar dalam melakukan koping terhadap stressor yang muncul selama hospitalisasi. DAMPAK HOSPITALISASI PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH Menurut Carson bahwa anak-anak akan bereaksi terhadap stresor-stresor yang ditimbulkan oleh karena hospitalisasi baik pada saat masuk untuk pertama kali, selama proses hospitalisasi, dan nantinya setelah keluar dari rumah sakit. Namun demikian gambaran anak pada saat sebelum hospitalisasi mengenai keadaan sakitnya lebih penting dari pada usia maupun kematangan intelektualnya dalam mempengaruhi tingkat penyesuaian dari anak selama hospitalisasi (Wong, 1995). Anak-anak mempunyai kemampuan adaptasi atau koping yang berbeda dalam menghadapi atau memahami makna dari proses hospitalisasi dibanding orang dewasa. Semakin dewasa usia anak maka semakin matang pula koping yang mereka miliki. Pada usia pra sekolah, anak sulit membedakan antara dirinya dan lingkungan luar disekitarnya. Hal ini disebabkan karena anak usia pra-sekolah mempunyai keterbatasan dalam memahami bahasa dan hanya dapat melihat objek atau situasi dari satu aspek saja dalam satu waktu (Muscary, 1996). Bagaimana reaksi seorang anak terhadap hospitalisasi terkait dengan perkembangan usia, pola asuh keluarga, budaya, pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya, support system yang tersedia. Stressor mayor dari hospitalisasi seperti perpisahan, kehilangan kontrol selama sakit (Wong et al., 1999 dalam Thomson, 2001). Menurut supartini (2004) stressor di rumah sakit pada anak usia pra sekolah : 1) Perpisahan, anak usia pra sekolah sering menunjukkan dengan sikap protes, putus asa dan pelepasan; 2) Kehilangan kontrol atau ketakutan sendiri, anak tidak mengenal
Hubungan Peran Perawat Dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah (Ulva Noviana)
lingkungan dan orang-orang yang asing menyebabkan terjadinya stress pada anak dan reaksi yang muncul seperti agresi fisik dan verbal; 3) Cidera dan nyeri tubuh akibat prosedur invasif, mutilasi. Reaksi yang ditimbulkan seperti regresi, ketergantungan, menarik diri, perasaan takut, ansietas, rasa takut dan malu; dan 4) Lingkungan fisik rumah sakit, tenaga kesehatan baik dari sikap maupun pakaian putih dan alat-alat yang digunakan. KECEMASAN PADA ANAK Menurut Markum (1998), pada usia pra sekolah pola hubungan anak dengan orang tua dengan anggota keluarga lainnya sering kali menimbulkan perubahan prilaku, daya pikir dan khayalan si anak yang biasanya tercetus dalam bentuk sifat yang agresif atau bermusuhan. Selain itu juga Markum (1998) menyatakan rasa cemas mungkin terwujud dalam bentuk mimpi buruk atau berupa rasa takut berpisah, takut mati, atau cacat tubuh. Anak dengan perasaan yang parah mungkin akan sengaja ngompol, menghisap ibu jari, gagap, sulit belajar, kurang dapat bergaul, cepat marah atau prilaku lainnya yang mirip dengan prilaku pada tingkat perkembangan sebelumnya. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berkhayal. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat kecemasan yang parah tidak sejalan dengan kehidupan. PERAN PERAWAT DALAM MENGURANGI KECEMASAN Menurut Supartini (2004) anak dan keluarga membutuhkan perawatan yang kompeten untuk meminimalkan efek yang negatif dari hospitalisasi fokus dari intervensi keperawatan adalah meminimalkan stressor perpisahan, kehilangan kontrol dan perilaku tubuh atau rasa nyeri pada anak serta memberi support kepada keluarga dengan memberi informasi yang berhubungan dengan 1) Mencegah atau meminimalkan dampak dari perpisahan; dan 2) Meminimalkan perasaan kehilangan kontrol atau kendali. Menurut Supartini (2004) cara meminimalkan perasaan kehilangan kontrol atau kendali pada anak saat dirawat di rumah sakit dapat dilakukan dengan: 1) Perasaan kehilangan kontrol atau kendali bisa disebabkan oleh; 2) Tindakan atau prosedur yang dapat meminimalkan perasaan kehilangan kontrol atau kendali; dan 3) Meminimalkan rasa takut terhadap cidera tubuh dan rasa nyeri. HUBUNGAN PERAN PERAWAT DENGAN KECEMASAN AKIBAT HOSPITALISASI PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi di bidang pediatrik, tidak dapat dipengaruhi timbulnya perasaan cemas, takut, rasa nyeri karena tindakan keperawatan yang diberikan di rumah sakit. Sangat di sadari bahwa sampai saat ini belum ada tehnologi yang dapat mengatasi masalah yang timbul sebagai dampak perawatan tersebut tersebut diatas. Hal ini memerlukan perhatian khusus dari tenaga kesehatan, khususnya perawat dalam mengurangi tingkat kecemasan pada anak dan orang tua saat anaknya mendapatkan perawatan khusus di rumah sakit (Supartini, 2004). Peran perawat sangat penting dalam membantu mengurangi kecemasan pada anak, anak dan keluarga membutuhkan perawatan yang kompeten untuk meminimalkan efek yang negatif dari hospitalisasi. Peran perawat dalam mengatasi kecemasan akibat hospitalisasi adalah meminimalkan stresor perpisahan, kehilangan kontrol dan perilaku tubuh atau rasa nyeri pada anak serta memberi support kepada keluarga dengan memberi informasi yang berhubungan dengan : mencegah atau meminimalkan dampak dari perpisahan, perawat sebagai Health Educator terhadap keluarga, dan meminimalkan perasaan kehilangan kontrol atau kendali (Supartini, 2004). HASIL PENELITIAN Hasil penelitian mengenai tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia pra sekolah menunjukkan bahwa dari 25 responden anak sebagian besar mengalami cemas dalam tingkat ringan sebanyak 15 anak (60%), yang berarti sebagian besar anak masuk dalam tingkat cemas ringan, yang merupakan respon fisiologis terhadap integritas dirinya. Cemas ringan akan dapat meningkat jadi cemas sedang bahkan berat dan
51
Jurnal Ilmiah Nursing Update, Vol. 3, No. 1, September 2011 : 49-52
52
panik, jika perawat dalam memberikan tindakan keperawatan tidak memberikan keamanan dan kenyamanan kepada anak. Status cemas merupakan suatu rentangan, sehingga perawat harus selalu menjaga interaksinya dengan anak supaya rentang kecemasan anak dapat dipertahankan dalam kondisi cemas ringan. Cemas berat sebanyak 6 anak (24%), dan cemas sedang sebanyak 4 anak (16%), yang dimanifestasikan dengan respon yang paling tampak seperti anak mudah menangis, berupa takut berpisah, tidak mau bergaul, mudah marah, menolak tindakan medis, mencari orang tua, merasa takut pada orang tidak di kenal dan memaksa ingin pulang. Hal ini di pengaruhi faktor umur, lingkungan yang baru, pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya, dan support system yang kurang dari orang tua. Respon hospitalisasi sangat bervariatif dan mempunyai beberapa determinan diantaranya, usia anak, daya dukung keluarga, lingkungan tempat perawatan, dan performance perawat dalam memberikan tindakan keperawatan kepada anak. Hasil penelitian dari 25 responden terdapat 15 responden yang memiliki cemas ringan dengan mendapatkan peran perawat baik, 4 responden yang memiliki cemas sedang dengan mendapatkan peran perawat baik, sedangkan 5 responden memiliki cemas berat yang mendapatkan peran perawat kurang baik dan 1 responden memiliki cemas berat yang mendapatkan peran perawat tidak baik. Berdasarkan hasil analisa data menggunakan uji korelasional spearman’s rho dengan derajat kemaknaan 99 % (p value 0,01) di peroleh hasil 0.00 yang berarti lebih kecil dari 0.001, menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan peran perawat dengan kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia pra sekolah. KESIMPULAN Sebagian besar perawat di ruang anak rumah sakit menjalankan perannya dengan baik. Lebih dari setengahnya anak usia pra sekolah yang dirawat di ruang anak rumah sakit mengalami cemas ringan Ada Hubungan antara peran perawat dengan Kecemasan akibat Hospitalisasi pada anak usia pra sekolah di ruang anak rumah sakit DAFTAR PUSTAKA Keliat, Budi (1999). Penatalaksanaan stres. Jakarta : EGC Lewe, Hellen. Belajar merawat di bangsal anak. Alih bahasa Eni Noviestari, Maria A. Wijaya Rini, editor Ni Luh Gede Yasmin Asih. Jakarta : EGC, 1999. Markum, A.H. (1998). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta ; FK UI Bagian ilmu Kesehatan Anak Pearce. John (2000) Mengatasi kecemasan dan ketakutan anak, alih bahasa Liliana Wijaya, Jakarta: Penerbit Arcan. Sacharin, Roasa M. Prinsip keperawatan pediatric. Edisi 2, alih bahasa R.F Maulany, editor Ni Luh Gede Yasmin Asih, Jakarta : EGC : 1996 Singgih D.G. (1995). Psikologi Keperawatan. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia Supartini, Y. (2004). Konsep dasar keperawatan anak. EGC. Jakarta Whaley and Wong (1991). Nursing Care of Infant and Children. 4th Ed. Dallas Texas Wong, D.L (1995), Whaley and Wong’s Nursing care of infant and children 5th edition, Mosby Company Philadephia. Wong, D.L (2003) Pedoman klinis keperawatan pediatric ; alih bahasa Indonesia Sari Kurnianingsih, EGC. Jakarta.