PERSEPSI MASYARAKAT DAN PERILAKU IBU HAMIL TERHADAP KEHAMILAN - PERSALINAN DI TINJAU DARI SUDUT ADAT BUDAYA SUKU TENGGER DI KABUPATEN PROBOLINGGO JAWA TIMUR Nurhenti D Simatupang* Nurul Khotimah* Abstract Tenggerese people have their typical characteristics of believing in supranatural power of nature, which has aMasyarakat Tengger memiliki sifat khas dan masih tergolong bersifat tradisional, which has a great effect on the way people behave. This is reflected in various Tenggerese ritual ceremonies. Tenggerese ceremonies reflect the life cycle of human beings, from birth, marriage, to death. Their traditional ceremonies are led by a traditional leader, known as dukun or the community head. In terms of decision making, Tenggerese people display democratic attitudes. This is reflected by the way one chooses a husband or wife, and also matters concerning pregnancy and labor. These important events in one’s life can be decided by the person himself, under the condition of maintaining the prevailing ritual ceremonies. Key words: perception, pregnancy-maternity, Tenggerese traditional customs A.
Pendahuluan Tanggung jawab reproduksi manusia tidak hanya melibatkan faktor medis saja tetapi juga melibatkan faktor sosial - budaya. WHO memperkirakan bahwa ada 500.000 kematian ibu melahirkan di seluruh dunia setiap tahun nya (WHO, 1986), diantara nya 99 % terjadi di negara-negara berkembang. Dari angka tersebut diperkirakan hampir satu orang ibu setiap menitnya meninggal karena kehamilan dan persalinan. Angka kematian maternal di negara berkembang mencapai 100 sampai 1000 lebih per 100.000 kelahiran hidup. Resiko kematian seorang perempuan selama hidup yang disebabkan kehamilan atau persalinan adalah 1 per 14 50 di negara berkembang, di negara maju 1 per 4000 - 10.000, dan angka kematian maternal di negara berkembang berkisar antara 50 - 800 per 100.000 orang kelahiran hidup, sedangkan di negara maju berkisar antara 5 - 30 per 100.000 kelahiran hidup. Tingginya angka kematian maternal tersebut di sebabkan oleh beberapa faktor kesehatan dan non kesehatan. Disamping itu perawatan yang memadai selama kehamilan masih rendah. Kematian ibu yang berhubungan dengan kehamilan, kelahiran dan pasca kelahiran sangat tinggi, yang seharusnya semua itu dapat dicegah baik melalui kesehatan maupun lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu. Dewasa ini keadaan kesehatan ibu (maternal) di Indonesia masih memprihatinkan. Penduduk Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih 180 juta. Angka kelahirannya berada pada tingkat 25 - 28 per 1000 penduduk. Dengan demikian, setiap tahunnya di Indonesia dilahirkan sekitar 4,3 - 4,9 juta bayi. Terbentuknya janin dan kelahiran bayi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam kelangsungan kehidupan manusia, namun berbagai kelompok masyarakat dengan kebudayaan yang ada di seluruh dunia memiliki aneka persepsi, interpretasi dan respons perilaku dalam menghadapinya, dengan berbagai implikasinya terhadap kesehatan. Brigitte Jordan menyatakan bahwa dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal adalah sama, namun proses kelahiran ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan 1993 : 3). Berdasarkan pendekatan biososiokultural dalam sudut kajian antropologi ini, kehamilan dan persalinan bukan hanya di lihat semata-mata dari aspek biologis dan fisiologisnya saja. Tetapi lebih dari itu, fenomena ini juga harus dilihat sebagi proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal yang berkaitan dengan pandangan budaya mengenai kehamilan dan persalinan, persiapan persalinan, para pelaku pertolongan persalinan, wilayah tempat persalinan berlangsung, cara-cara pencegahan bahaya, penggunaan ramu-ramuan atau obat-obatan dalam
proses persalinan, cara-cara menolong persalinan dan pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta perawatan ibu dan bayinya (Jordan , 1993 : 48 - 49). Dari uraian tersebut diatas, maka diperlukan studi tentang persepsi masyarakat dan perilaku ibu hamil terhadap resiko kehamilan persalinan, khususnya bagi ibu dan masyarakat Suku Tengger yang masih merupakan salah satu suku yang masih memegang adat istiadat yang sangat ketat yang ada di Jawa Timur, sehingga dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadarannya tentang kehamilan persalinan yang berisiko. Masyarakat Tengger memiliki sifat khas dan masih tergolong bersifat tradisional, masyarakatnya masih meyakini adanya kekuatan gaib pada alam lingkungannya, mereka meyakini bahwa kekuatan alam dapat memberi pengaruh cukup kuat terhadap perilaku masyarakatnya, hal ini dapat dilihat sampai sekarang dengan berbagai upacara adat. Lokasi penelitian ini akan dilakukan di daerah yang didiami oleh hampir 100 % masyarakat asli Suku Tengger di Kabupaten Probolinggo. Sebagai daerah wisata, masyarakat tradisional Suku Tengger cepat atau lambat akan mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan suatu masyarakat akan berkaitan erat dengan pandangan hidup, cara berfikir, cara menikmati kehidupan, sikap dan perilakunya (Simanhadi, 1994 : 10 - 76 ). Untuk itu diperlukan peningkatan kesadaran masyarakatnya sejak dini agar kualitas sumber daya manusia nya dapat ditingkatkan secara optimal. Dengan mengoptimalkan potensi-potensi budaya yang dimiliki dalam menghadapi era globalisasi di masa depan. Berdasarkan kondisi tersebut artikel ini akan mengupas tentang pandangan, dan peran pengambil keputusan terkait dengan kehamilan dan persalinan dalam masyarakat Tengger. B. 1.
Tinjauan Pustaka Perilaku Ibu Terhadap Kehamilan-Persalinan Menurut Thadeus dan Maine (1990) perilaku pencarian pertolongan kesehatan sangat dipengaruhi oleh karakteristik kesakitan yang dirasakan individu. Meskipun telah diketahui bahwa kehamilan-persalinan adalah sesuatu yang berisiko, namun pada umumnya dianggap sebagai sesuatu yang normal. Sikap pasrah seperti ini dapat berpengaruh terhadap tingginya angka kematian maternal dan perinatal. Tinker dan Koblinsky (1993), mengatakan bahwa tingkat pendidikan ibu mempunyai efek yang signifikan terhadap kesehatan perempuan dan perilaku reproduksi. Tingkat pendidikan juga berpengaruh pada pengenalan resiko dan tanda-tanda bahaya kesulitan dalam persalinan. Menurut Poerwanto (1991), ibu yang kurang memahami resiko kehamilan-persalinan menyebabkan rendahnya penggunaan sarana pelayanan kesehatan dalam perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan. Pengalaman juga berpengaruh pada persepsi ibu tentang pengetahuan kehamilan dan resiko-resiko persalinan, seperti yang dikatakan oleh Wedderburn dan Moore (1990), bahwa pengalaman ibu berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang faktor-faktor resiko kehamilanpersalinan, artinya bahwa sangat penting untuk mengetahui lebih dalam tentang perawatan kehamilan-persalinan itu. Perilaku seseorang terbentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor yang berpengaruh terhadap perilaku adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu : pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi dan motivasi, sedangkan faktor eksternal yaitu : fisik maupun non fisik seperti lingkungan sosial, budaya dan ekonomi (Notoatmojo, 1993). 2. Kelompok Referensi di Masyarakat. Perilaku manusia di dasari oleh lingkungan sosial dan budaya yang dianutnya, hal ini diungkapkan dalam adat istiadat, norma kepercayaan, nilai, status, peranan dan sikap (Sudarti, 1987). Di pedesaan masih ditandai dengan kekeluargaan dan kekerabatan sehingga interaksi sosial masyarakat nya masih demikian kuatnya. Sehingga lingkungan sosial budaya mempunyai pengaruh yang besar dan kuat terhadap perilaku seseorang, serta peranan orang-orang penting sebagai referensi sangat dirasakan (Sarwono, 1993)
Masyarakat Indonesia mempunyai ikatan tradisional yang kuat antara sesama keluarga atau kerabat maupun dengan tokoh masyarakat yang ada. Hal ini merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku kesehatan dan penggunaan pelayanan kesehatan (Suryadi , 1992). Kajian dalam sudut pandangan antropologi mengenai kehamilan-persalinan dan perawatan persalinan bagi perempuan dan bayinya dengan segala konsekuensi baik dan buruknya terhadap kesehatan perlu dijadikan pertimbangan. 3. Pusat Kekuatan Dalam Pengambilan Keputusan. Masalah pengambilan keputusan dalam pertolongan persalinan telah menjadi perhatian dari para ahli-ahli antropologi karena berkaitan erat dengan faktor sosial budaya. Pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan ini perlu dipertimbangkan, karena pertimbangan yang sangat rasional dan berguna untuk suatu keputusan yang gawat, sering kali terkalahkan oleh pertimbangan yang tidak rasional, namun sulit untuk diubah karena telah tertanam secara mendalam sebagai keyakinan yang bersumber pada faktor budaya. 4. Aspek Sosio - Budaya Tentang Kehamilan - Persalinan Meskipun kehamilan-persalinan bayi secara universal dilihat dalam pengertian dan kepentingan yang sama, yakni untuk kelangsungan umat manusia, namun dalam kehidupan berbagai kelompok masyarakat terdapat bermacam-macam titik berat perhatian dan sikap khusus dalam menanggapi proses tersebut. Sebagian masyarakat lebih mementingkan aspek kultural dari kehamilan-persalinan, sedangkan sebagian lagi lebih menonjolkan aspek sosialnya. Masa kehamilan-persalinan juga dianggap sebagai masa krisis yang berbahaya bagi janin maupun bagi ibu nya, baik itu bersifat nyata maupun yang bersifat gaib. Untuk itu dilakukan upacara-upacara adat yang disebut crisis rites ( Upacara waktu krisis ) atau rites de passsage ( Upacara peralihan ) untuk menolak bahaya gaib yang mengancam individu dan lingkungannya ( Koentjaraningrat, 1990 : 92 - 93 ). Begitu juga dengan masyarakat yang berdiam di Tengger ( Suku Tengger asli ) yang sering menitik beratkan perhatian pada aspek-aspek adat budaya yang sampai saat ini masih teguh dilaksanakan dengan berbagai upacara-upacara adat, termasuk peristiwa kehamilan-persalinan. C.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian populasi, yaitu ibu hamil yang tinggal di wilayah suku Tengger Kabupaten Probolinggo, dengan cara mengamati secara full partisipant pada responden yang berada di desa yang dihuni oleh suku Tengger. Untuk melengkapi data, peneliti juga mengambil data dari : Perangkat desa,Dukun, tokoh masyarakat, Suami dari ibu hamil dan persalinan, Anggota masyarakat yang ditemui secara incidental. Berdasarkan catatan Puskesmas Kecamatan Sukapura Probolinggo dalam 6 bulan terakhir tercatat sebanyak 45 ibu hamil, sedangkan dari jumah tersebut yang berasal dari desa Ngadisari sebanyak 15 orang ibu hamil yang datang memeriksakan diri ke Puskesmas. Lokasi penelitian di Kecamatan Sukapura yaitu desa Ngadisari yang banyak dihuni oleh suku Tengger Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi,wawancara, dan dokumentasi. Observasi digunakan untuk mengamati perilaku ibu hamil. Apa-apa saja yang dilakukan dan dijalankan termasuk upacara-upacara yang dilakukan berkaitan dengan kehamilanpersalinannya serta bagaimana ibu memperlakukan kehamilan-persalinannya. Demikian pula bagi suami ibu hamil dan pemangku adat, sejauhmana mereka terlibat di dalam nya yang berkaitan dengan adat istiadat setempat tentang kehamilan-persalinan seorang perempuan. Wawancara disampaikan pada ibu-ibu yang menjadi responden secara acak untuk mengetahui mengenai kehamilan-persalinan nya dan untuk suami serta pemangku adat suku Tengger untuk lebih menunjang data yang diperoleh dari ibu-ibu. Wawancara ini menggunakan pertanyaanpertanyaan bebas agar responden dapat mengutarakan pandangan dan sikapnya ataupun perasaan dan pengetahuannya mengenai kehamilan-persalinan nya, disamping itu dalam wawancara ini juga dapat diketahui upacara-upacara apa saja yang telah dilakukan keluarga untuk menyambut kehadiran anggota keluarga baru nya. Sedangkan dokumentasi digunakan untuk melengkapi data yang terkumpul juga agar dapat menggambarkan keadaan lokasi, upacara yang dilakukan suku Tengger berkaitan dengan kehamilan-persalinan Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif
D. 1.
Pembahasan Gambaran Umum Sasaran Penelitian Daerah Tengger berlatar belakang geografis daerah pegunungan yang terjal dan alamnya yang indah dengan kepulan dua gunung berapi yaitu gunung Bromo dan gunung Semeru. yang secara administratif mereka berada di bawah empat Kabupaten di Jawa Timur yaitu : 1) Pasuruan, 2) Probolinggo, 3) Lumajang dan 4) Malang. Alam lingkungan daerah Bromo ini terdiri dari daerah perbukitan yang terjal, puncakpuncak pegunungan yang sangat tinggi dan secara fisik masih menunjuk kan kesuburan tanahnya. Pegunungan setinggi ± 1700-2000 M dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 717ºC, pada malam hari suhu udara dapat turun sampai 8ºC. Musim hujan jatuh pada bulan Oktober - Mei, musim kemarau mulai bulan Juni - September. Untuk mencapai pegunungan Tengger ini dapat ditempuh dari Pasuruan melalui Paserpan, kemudian dari Tosari sebagai bagian dari Tengger. Jalan yang lain bisa juga dari Probolinggo Sukopuro kemudian sampai di Ngadisari sebagai desa Tengger, desa Ngadisari inilah yang digunakan sebagai daerah lokasi penelitian ini. Tanah daerah Tengger yang berbukit dan berjurang terjal dipenuhi dengan usaha pertanian terutama sayur mayur yaitu kentang, wortel, kubis dan sayuran hijau. Masyarakat Tengger masih menganut kepercayaan yang bersifat tradisional dengan melakukan berbagai upacara yang sampai sekarang dipertahankan yaitu diantaranya : upacara Kasodo, Karo, Entas-entas, Unan-unan, selain itu ada upacara perkawinan, melahirkan, kematian, mendirikan rumah dan lain sebagainya. Hakekat upacara tersebut adalah memohon keselamatan dunia akhirat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Baik untuk kelangsungan hidup, kerukunan berkeluarga, bertetangga dan pembersihan diri dari dosa. 2. Sejarah dan Legenda Tengger Secara arti etimologis nya Tengger berarti "berdiri tegak" diam tanpa bergerak dan bila dikaitkan dengan kepercayaan hidup masyarakat "Tengger" berarti tanda atau ciri yang memberikan sifat khusus pada sesuatu. Menurut cerita, nenek moyang orang-orang Tengger berasal dari Mojopahit, yang kala itu Prabu Brawijaya dari Mojopahit dapat dikalahkan dalam peperangan dan kemudian menyingkir kedaerah pegununganTengger beserta pengikut setianya dan mulai dengan penghidupan yang baru di Tengger dengan memeluk agama Hindu Budha. Keturunan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Tengger. Arti tengger juga didapat dari mitos masyarakat Tengger tentang suami istri sebagai cikal bakal atau yang pertama menghuni daerah tersebut yaitu Rara Anteng dan Jaka Seger yang mempunyai anak berjumlah 25 anak yang salah satunya dikorbankan sebagai tumbal dengan dimasukkan kedalam kawah gunung Bromo demi keselamatan saudara yang lainnya. Tengger juga merupakan singkatan dari teng dari asal kata anteng dan ger dari kata seger, maksudnya mengandung arti "sifat tidak banyak tingkah" dan "tidak mudah terusik". Makna dari istilah tersebut tercermin bahwa masyarakat Tengger hidup sederhana, tentram dan damai, gotong royong serta suka kerja keras. 3. Penduduk Tengger Jumlah penduduk desa Ngadisari berjumlah seluruhnya 1443 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 704 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 778 jiwa. Dari jumlah tersebut yang telah berkeluarga sebanyak 333 KK. Berdasarkan catatan Kelurahan Ngadisari selama 4 tahun berjalan pertambahan penduduk hanya sejumlah 39 jiwa. Berdasarkan keterangan dari perangkat desa penduduk ngadisari Tengger aktif mengikuti KB dengan menggunakan IUD, sehingga pertambahan penduduk pertahun 10,2% (data dukumentasi desa Ngadisari). Perkembangan penduduk Tengger relatif stabil dibandingkan dengan luas wilayahnya 775,300 ha. Bagi penduduk desa Ngadisari yang akan menikah dengan orang luar suku bangsa Tengger harus mengikuti adat istiadat Tengger, termasuk pindah dari agama Non-Hindu ke agama Hindu Tengger. Mobilitas sosial penduduk suku Tengger sangat relatif rendah. Penduduk Tengger banyak menghabiskan waktu mereka di wilayah Tengger, penduduk Ngadisari jarang sekali yang keluar Jawa dengan alasan takut pergi jauh.
4.
Sikap dan Pandangan Hidup Suku Tengger Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada masyarakat Tengger, diperoleh hasil bahwa Suku Tengger mempunyai pandangan hidup sebagai berikut : 1) Sehat (waras), 2) Kenyang (wareg), 3) Memiliki pakian, sandang (wastra), 5) Memiliki rumah, tempat tinggal (wisma) dan 6) Menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan trampil (widya). Sikap toleransi suku Tengger sangat tinggi, mereka mudah bergaul dengan orang lain yang beragama berbeda dengannya. Mereka mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu bertujuan satu yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka ragam. Sikap tolerensi ini sangat nampak dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi putra-putrinya untuk memilih calon suaminya. Pada dasarnya perkawinan bebas beragama apapun, namun dalam hal melaksanakan adat menurut mereka generasi muda harus tetap melaksanakan/melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orangtuanya. Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti kesatria Tengger yang mempunyai sikap tatwan asi, orangtua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan orang tuanya. (Widyaprakosa, 1994). Sifat positif lainnya bahwa masyarakat Tengger mudah menerima dan dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan masyarakat Tengger untuk menerima orang asing atau orang lain tanpa meninggalkan adat istiadat sebagai suku Tengger. Sifat ini mencerminkan saling tolong menolong sesama manusia serta dalam bergaul masyarakat Tengger mempunyai sikap toleransi yang tinggi terhadap sesamanya, hal ini mereka cerminkan dapat bergaul dengan orang yang beragama lain. Sikap toleransi tersebut tampak pula dalam hal menentukan perkawinan anak-anak nya. Sikap orangtua yang memberikan kebebasan bagi anak-anaknya untuk memilih calon istri maupun calon suaminya. 5. Sosial Budaya Masyarakat Tengger Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat, ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Kelebihan dari hasil penjualan hasil ladangnya dipergunakan untuk ditabung guna keperluan rumah tangganya nanti. Kehidupan masyarakat Tengger ini sangat dekat dengan keagamaan dan adat istiadat budaya serta kepercayaan yang telah diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun dengan dipandu seorang dukun dalam setiap melaksanakan kegiatan ritualnya. Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya aman dan damai. Segala masalah dapat diselesaikan melalui peranan orang yang berpengaruh dalam mengambil keputudan dengan sistem musyawarah. Segala pelanggaran diselesaikan oleh lurah dan biasanya masyarakatnya biasanya menerimanya dengan patuh. Dukun pada masyarakat Tengger ini memegang peran yang sangat penting dalam melaksanakan upacaraupacara keagamaan maupun dalam pengambilan keputusan, dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik untuk upacara keagamaan maupun yang berkaitan dengan kehidupan masyarakatnya, termasuk diantaranya mengenai perkawinan, kematian maupun kelahiran seorang anak manusia dalam kehidupan. Dukun juga berperan sebagai tempat bertanya untuk mengatasi segala permasalahan dalam kehidupan. Dukun Tengger jumlahnya 36 orang. Pada saat upacara Kasada para dukun diketua oleh seorang kepala dukun dan dibantu pembantu dukun yang bernama Tiyang Sepuh yang bertugas membantu dukun dalam segala upacara-upacara. Ada pula pembantu dukun seorang perempuan tua yang disebut Dan-dan yaitu yang bertugas memeriksa kelengkapan sajian sebelum dimanterai oleh ketua dukun. Seorang dukun harus memiliki kepribadian yang baik, jernih, tidak memiliki rasa iri hati, jujur, sehingga dukun disegani oleh masyarakat. Seorang dukun harus berjenis kelamin laki-laki dan sudah berkeluarga, apabila dukun tidak mempunyai anak untuk sebagai pewarisnya nanti, maka pewarisnya diambilkan dari keluarga terdekat dari dukun tersebut. Pada setiap kegiatan budaya Tengger pasti tersedia sesajen sebagai persyaratan mutlak yang harus disediakan, karena segala sesuatu yang terkait dengan pemujaan, ataupun upacara-
upacara keagamaan, baik yang berupa alat ataupun yang berasal dari bentuk lainnya dapat diberi lambang. Masyarakat Tengger mengenal lambang-lambang yang sangat dipercaya, diantaranya adalah : a. Warna pada makanan : Juadah merah melambangkan Brahma Juadah putih melambangkan Iswara Juadah hitam melambangkan Wisnu Juadah kuning melambangkan Mahesa b. Paka Pisang adalah lambang kerukunan hidup Sirih melambangkan Wisnu Jambe melambangkan Brahma Gamping melambangkan Iswara Lauk pauk melambangkan pengorbanan Tumpeng melambangkan ketinggian dalam ilmu Kue adalah melambangkan kemandirian (dalam hal ini kue harus dibuat sendiri, tidak boleh beli dari pasar) c. Kiblat Timur berwarna putih, artinya matahari terbit di timur, manusia lahir juga diartikan sebagai paninggal (penglihatan) Selatan berwarna merah, artinya pamireng (pendengaran) Barat berwarna kuning, artinya pangambu (penciuman) Utara berwarna hitam, artinya pangrasa (perasaan) Falsafah hidup masyarakat Tengger tidak dapat dipisahkan dari lambang-lambang tersebut diatas dan beranggapan bahwa Timur adalah terbitnya matahari yang melambangkan permulaan hidup, warna putih berarti kesucian, kebersihan. Selatan atau kidul melambangkan seorang ibu sebagai sarana kelahiran manusia. Merah melambangkan darah atau keturunan (kidul diartikan didodol dan didorong). Barat atau kulon diartikan sebagai lambang bapak. Utara atau lor diartikan dengan lahir, sedangkan tengah diartikan sebagai mancawarna atau bentuk yang terjadi (Simanhadi) 6. Pandangan Budaya Masyarakat Suku Tengger Tentang Kehamilan - Persalinan Dukun juga mempunyai peran yang menonjol dalam upacara perkawinan. Bagi masyarakat Tengger perkawinan baru dianggap syah apabila direstui dan diupacarai oleh dukun. Oleh karena itu masyarakat Tengger yang akan melangsungkan perkawinan terlebih dulu harus mendaftarkan diri pada dukun selain pada petugas catatan sipil. Sebelum pelaksanaan perkawinan, kedua calon mempelai berkonsultasi dengan dukun mengenai hari pelaksanaan upacara perkawinan. Masyarakat Tengger beranggapan dukun mempunyai perhitungan yang didasari dari ketentuan yang sudah berlaku sejak zaman dahulu. Penentuan hari perkawinan ini sangat penting bagi kelangsungan rumah tangga. Masyarakat Tengger percaya apabila pelaksanaan perkawinan tepat pada hari yang tidak baik, maka keluarga tersebut akan memperoleh rintangan-rintangan yang berat. Dalam upacara siklus kehidupan Masyarakat Tengger mempunyai upacara siklus kehidupan yang terdiri dari kelahiran, perkawinan dan kematian. Namun disela antara kelahiran dan perkawinan itu terdapat upacara khitan dan tugel kuncung. Selanjutnya di bawah ini akan di analisis upacara tentang perkawinan dan upacara kelahiran yang dimulai dari mengandung sampai melahirkan. a. Upacara Perkawinan Perkawinan bagi masyarakat Tengger pertama-tama yang aktif adalah kedua calon. Setiap calon berhak memilih siapa yang akan dijadikan calon istrinya. Demikian juga setiap pemudi akan menentukan siapa yang datang melamarnya. Kalau sudah ada persetujuan antara kedua muda-mudi ini, barulah si pemuda memberitahukan kepada orang tuanya untuk meminang si gadis yang dicalonkannya. Pertunangan dan perkawinan pada suku Tengger dilakukan mulai :
1) Pacangan (pertunangan), 2) Peningset (orangtua menyampaikan ikatan dan menentukan hari pernikahan), 3) Upacara ngarak (pengantin diarak keliling desa), 4) Asrah pengantin (upacara seserahan masing-masing utusan orangtua pengantin). Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara : boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh nenk moyangnya dapat ikut hadir menyaksikan pernikahan tersebut. Pelamaran dilakukan oleh orang tua laki-laki kepada orang tua gadis, tanpa membawa suatu paningset atau mahar. Biasanya sebelum melamar dilakukan suatu peninjauan dan penilaian oleh orang tua laki-laki kepada si gadis. Penilaian ini bukan hanya kepada si gadis saja, akan tetapi juga terhadap keadaan orang tuanya sendiri. Yang menjadi bahan penilaian terutama mengenai tingkah laku , sopan santun dan perbuatan nya. Setelah selesai dengan yang diinginkannya barulah lamaran dilakukannya. Lamaran tidak begitu saja diterima oleh orang tua gadis. Adalah kewajiban untuk menanyakan terlebih dahulu kepada anaknya. Kalau anaknya setuju akan lamaran itu, orang tuanya memberitahukan kepada orang tua si pelamar. Setelah lamaran diterima kemudian ditentukan waktu pelaksanaan perkawinannya. Persetujuan itu diberitahukan kepada Petinggi/ dukun. Hari baik untuk perkawinan ditanyakan kepada dukun. Dukun menentukan hari yang paling baik untuk menyelenggarakan perkawinan. Dalam menentukan hari baik ini kalau perlu diganti namanya supaya ada kecocokan antara kedua calon pengantin. Sebelum pernikahan dilakukan diadakan terlebih dahulu upacara “merowan wali”. Upacara dilakukan di rumah mempelai wanita. Tujuan dari upacara ini untuk meminta keselamatan bagi pengantin kepada yang Maha Kuasa. Jauh sebelum perkawinan dilakukan, dicarilah dukun “pengarasan” (dukun pengantin). Dukun ini bertugas merias pengantin wanita dan memimpin mempelai selama perkawinan. Sehari sebelum diadakan perkawinan dukun pengaras itu datang untuk menjalankan tugasnya. Sebelum upacara perkawinan dimulai diadakan upacara “kekerik”, khususnya bagi mempelai wanita. Mempelai wanita duduk dihadapan dukun pangaras yang sebelumnya telah disediakan sesajen. Sesajen ini berupa beras 1 kg, gula putih 1 kg, “setangkap gedang” (sesisir pisang) dan kelapa satu butir. Sesajen ini diletakkan di kamar tidur pengantin. Setelah persyaratan tersedia, dilakukan upacara tersebut oleh dukun pangarasan. Muka mempelai wanita dikerik dengan pisau kecil yang biasa dipakai untuk mencukur. Kemudian didandani dengan pakaian pengantin menurut tradisi Tengger. Diantara kedua alisnya diberi andengandeng (tahi lalat) dan di atas bibir sebelah kanan. Sanggul wanita diberi bunga rampai dari bunga sedap malam atau melati. Giginya di “lepenan” (digusar), berbaju kebaya kuning dan berkain rereng. Pengantin laik-laki berangkat menuju rumah mempelai wanita setelah terlebih dahulu didandani secara adap Tengger. Hiasan dimukanya seperti juga mempelai wanita diberi andengandeng di antara kedua alis dan di atas bibir atas sebelah kanan. Lehernya diberi kalung bunga rampai, bunga melati atau bunga sedap malam. Memakai hem dan jas berwarna gelap, kainnya Solo gambiran disamping pentolan dan blankon. Yang menandainya orang tuanya sendiri. Kemudian di antar ke rumah mempelai wanita dengan diantar oleh seluruh kerabatnya. Begitu tiba di rumah mempelai wanita telah disambut oleh pihak keluarga mempelai wanita. Mempelai wanita telah menunggunya di luar rumah. Sedangkan sebelumnya telah disediakan syarat-syarat untuk melakukan upacara penyambutan mempelai laki-laki, berupa telur, beras, sirih, uang benggolan (uang kuno) serta air yang telah dicampur dengan bunga. b. Upacara Kelahiran Yang Dimulai Dari Mengandung Sampai Melahirkan Pada waktu mengandung upacara yang dilakukan terutama pada waktu kandungan berumur tujuh bulan. Upacara ini disebut “ujud”. Upacara ini bertujuan supaya bayi yang sedang dikandung selamat dan mudah melahirkan. Upacara ujud ini dipimpin oleh Dukun Paraji, sesajen disediakan dan pembakaran dupa dilakukan oleh dukun sebagai pengujub. Kemudian calon ibu dimandikan dengan air yang bercampur bermacam-macam bunga yang sebelumnya juga telah diberi mantera oleh dukun. Setelah itu benang lawe dililitkan keperut calon ibu. Pada waktu bayi lahir diadakan upacara untuk memberitahukan pada tanah tempat kelahirannya. Pada saat bayi berumur 40 hri diadakan selamatanyang disebut ”kekerik” yaitu
sebagai perlambang pembebasan bayiuntuk dapat atau diperkenankan untuk diajak kemana saja. Disamping itu ada juga upacara yang dinamakan ”among-among”, yaitu upacara untuk menyelemati sing bahu rekso, pemberian mantera agar bayi dijauhkan dari segala gangguan. Kemudian dilindungi diberi mantera dari orang tua. Pada waktu bayi sudah dapat mengkurep, merangkak, berdiri, berjalan dan waktu anak sudah bisa lari juga tidak luput diberi manteramantera lagi. Ibu yang habis melahirkan tidak boleh bekerja berat dan pantang makanan seperti ikan laut, makanan pedas dan mentimun, tetapi harus makan yang serba pahit. Ini berlaku sampai bayi berumur 44 hari. Masyarakat Tengger percaya bahwa pabila bayi lahir pada waktu idak baik, maka bayi tersebut harus diruwat. Dalam acara ini ada mantera khusus yang dibacakan agar bayi tersebut dikemudian hari dijauhi dari gangguan roh jahat. E. 1.
Simpulan dan Saran Simpulan Masyarakat Tengger masih patuh terhadap adat kepercayaan, dan tetap melakukan berbagai upacara termasuk di dalamnya melaksanakan upacara perkawinan, mengandung dan melahirkan, Pandangan budaya masyarakat Tengger ini sangat kuat dan tidak terpengaruh oleh budaya dari luar Tengger Upacara adat dipimpin oleh tokoh masyarakat tradisional, yaitu yang disebut dukun (kepala adat). Dukun pada masyarakat Tengger berperan penting baik dalam pengambilan keputusan di masyarakat baik dalam bidang keagamaan, politik maupun berperan sebagai penasehat, dukun di jadikan panutan warga masyarakat karena dianggap mempunyai kharisma. Dukun juga menjadi penasehat kepala desa yang menjalankan pemerintahan di Tengger. Dalam mengambil keputusan, masyarakat Tengger lebih demokratis. Hal ini dapat dilihat dari mulai menentukan jodoh, melahirkan semuanya diserahkan pada masing-masing yang bersangkutan, hanya disyaratkan harus mengikuti upacara adat yang berlaku. Sesajen, lambang-lambang, alat yang digunakan yang terkait dengan pemujaan ataupun upacara adat masih tetap disiapkan sebagai sesuatu yang dipercaya oleh masyarakat Tengger. 2. Saran Peningkatan kecerdasan melalui pendidikan tetap sangat perlu dilakukan dengan tetap memberikan kesadaran lingkungan alam dan lingkungan sosialnya sebagai daya tarik alam untuk terus dilestarikan keasliannya. Untuk menjaga kesehatan dan keselamatan ibu hamil, bersalin sangat perlu untuk diberikan penyuluhan tentang kesehatan ibu dan anak, dalam hal ini petugas kesehatan desa dapat bekerjasama dengan orang yag dipercya oleh masyarakat yaitu melalui dukun yang dianggap masyarakat sebagai panutan.
Daftar Pustaka Cassirer Ernst (Di Indonesiakan oleh Alois A Nugroho), 1990, Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia, Penerbit PT Gramedia, Jakarta Foster, G M & Barbara G Anderson, 1986, Antropologi Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia) Ihromi T O, 1990, Pokok-pokok Antropologi Budaya, Penerbit PT Gramedia, Jakarta Jordan, Brigitte, 1993. Birth in Four Cultures : a Cross-Cultural Investigation of Child birth in Yucatan, Holland, Sweden, and the United States (direvisi dan dikembangkan oleh Robbie Davis-Floyd). Prospect Heights: Waveland Press, Inc Koentjaraningrat,1966, Pengantar Antropologi, Penerbit Universitas Jakarta
Koentjaraningrat ,1985, Kebudayaan Jawa, Penerbit PN Balai Pustaka Koentjaraningrat, 1990, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta Muzaham Fauzi, 1995, Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta Notoatmodjo, 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Penerbit Andi Offset Yogyakarta Swasono F Meutia, 1998, Kehamilan, kelahiran, perawatan ibu dan bayi dalam konteks budaya, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta Sujarwa, 1999, Seri Ilmu Budaya Dasar, Manusia dan Fenomena Budaya Menuju Perspektif Moralitas Agama, Pencetak Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta Widyaprakosa Simanhadi, 1994, Masyarakat Tengger, Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo, Penerbit Kanisius, Yogyakarta