1
MANAJEMEN KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG MENJALANI PERKAWINAN CAMPURAN (Studi Fenomenologi pada Pasangan Perkawinan Campuran Wanita Jawa dengan Pria Eropa) Nur Laili Oktafiani
[email protected] Amir Hasan Ramli Yunita Kurniawati Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya ABSTRACT The purpose of this study is to describe style of conflict management on interracial couples. Conflict management is the process to get compatibility while faced the conflict. This study used a qualitative methodology and phenomenological approach by Moustakas using three interracial marriages couples with Java-European ethnics as subjects. The technique of collecting data were interviews, and observation. The results of this study indicate that couples of Javanese women and Dutch men use competitive, avoiding, and compromise in managing conflict, whereas one couple of Javanese woman and French man more use avoidance and collaboration while managing conflict between them. Keywords : management, conflict, conflict management, interracial marriage ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen konflik yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang menjalani perkawinan campuran sehingga para pasangan perkawinan campuran dapat mempertahankan perkawinannya sampai dengan saat ini. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan metode fenomenologi Moustakas yang melibatkan tiga pasang subyek pelaku perkawinan campuran dengan latar belakang etnis Jawa-Eropa. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan dua subyek sebagai pasangan wanita Jawa dan pria Belanda menggunakan gaya manajemen konflik kompetitif, menghindar, dan kompromi dalam mengelola konflik, sedangkan satu subyek yang merupakan pasangan dengan etnis JawaPerancis lebih banyak menggunakan perpaduan antara gaya menghindar dan kolaborasi dalam penyelesaian konflik diantara mereka. Kata Kunci : manajemen, konflik, manajemen konflik, perkawinan campuran.
2
LATAR BELAKANG Globalisasi dan perkembangan teknologi telah membantu manusia untuk lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda (Liu, 2012). Seiring dengan globalisasi dan perkembangan teknologi tersebut, kemudian menciptakan kemudahan dalam menjalin komunikasi dengan orang lain. Perbedaan jarak dan waktu sudah bukan menjadi kendala yang mempersempit interaksi antar warga negara. Hal ini dapat mempengaruhi individu untuk menjalin kegiatan perekonomian, politik dan kebudayaan serta dapat menjalin suatu ikatan yang berujung pada perkawinan antar warga negara (Liu, 2012). Perkawinan antar warga negara yang kemudian disebut sebagai perkawinan campuran (interracial marriage), merupakan perkawinan yang dilatarbelakangi oleh berbagai perbedaan, salah satunya adalah perbedaan kebangsaan. Menurut Pasal 57 UU 1/1974 (Wiranata, 2013) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah: Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda, karena perbedaan kewarganegaraan, dimana salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan campuran saat ini juga sudah menjadi fenomena yang banyak terjadi di masyarakat Indonesia (Sihombing & Yusuf, 2013). Hal ini dapat dilihat berdasarkan survei online yang dilakukan Indo-MC pada tahun 2002 dari 574 responden, tercatat 547 diantaranya adalah perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara asing (WNA) (Effendi, 2010). Menurut catatan dari organisasi yang mengatasi permasalahan perkawinan antar warga negara, yaitu Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) pada tahun 2009, menyebutkan bahwa pada saat ini terdapat lebih dari 4200 wanita di Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data terakhir masih belum dipublikasikan (Sihombing & Yusuf, 2013). Pada pasangan yang menjalani perkawinan campuran, tentunya akan banyak hal baru yang akan ditemukan dan ditentukan oleh individu pada diri pasangannya (Salkind, 2006). Hal-hal tersebut tidak lagi menyangkut masalah tentang individu masing-masing, akan tetapi menyangkut satu keluarga. Dengan terbentuknya keluarga, tentu terdapat beberapa adaptasi sistem sosial dan sistem budaya yang berbeda, begitu pula dengan identitas dan stereotipe yang melekat pada diri masing-masing individu. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pasangan perkawinan campuran wanita Jawa dan pria Eropa, khususnya Belanda dan Perancis sebagai subyek penelitian. Melihat dari latar belakang budayanya, Jawa dan Eropa merupakan dua budaya yang berbeda. Bagi
3
individu yang berasal dari Jawa, ia akan diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan, menjaga etika berbicara baik secara konten isi, dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Seseorang dengan budaya Jawa juga dikenal dengan seseorang yang sangat menjunjung. Sedangkan individu yang berasal dari etnis Eropa, cenderung mengungkapkan segala sesuatunya secara langsung dan spesifik meskipun mereka juga tetap berdasarkan pada susunan etika yang mereka miliki. Pada perkawinan campuran yang terjadi di antara individu yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda, tentunya setiap pasangan memiliki dinamika unik dan tantangan yang akan mereka jalani. Penelitian terdahulu telah menemukan adanya kompleksitas di dalam perkawinan campuran bahwa di dalam model perkawinan tersebut terdapat beberapa aturan, nilai yang berbeda, kebiasaan, pandangan, dan cara yang berbeda untuk menghubungkan satu sama lain, serta cara yang berbeda untuk menyatukan perbedaan yang ada (Renalds, 2011). Perbedaan dalam beberapa hal tersebut lah yang kemudian rentan menjadi penyebab munculnya konflik dalam perkawinan campuran. Ting-Toomey (Liu, 2012) mendefinisikan konflik sebagai persepsi yang bertentangan mengenai nilai, ekspektasi, proses dan hasil di antara dua pihak atau lebih mengenai isu yang sama atau berkaitan. Konflik dapat mempengaruhi beberapa tipe hubungan yang telah terbangun. Termasuk di antaranya hubungan perkawinan. Konflik di dalam hubungan perkawinan biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertentangan, kebencian, argumen, dan ketegangan. Hal tersebut dapat berpengaruh pada perbaikan hubungan jika dapat ditangani dengan baik, tetapi dapat memperburuk hubungan jika konflik tidak dikelola dengan baik. Pernyataan tersebut sesuai dengan bukti empiris bahwa konflik dapat terjadi baik dalam pernikahan yang harmonis maupun tidak harmonis, namun baik buruknya pengelolaan konflik tergantung pada kedua belah pihak (suami dan istri) (Dildar, Sitwat, & Yasin, 2013). Penelitian terdahulu menemukan bahwa perkawinan campuran cenderung lebih berpotensi menimbulkan konflik dibandingkan perkawinan dalam budaya sama. Hal ini karena pasangan pada perkawinan campuran seringkali bereaksi menggunakan standar budaya yang berbeda. Jika seseorang cenderung memiliki pandangan yang kuat terhadap budayanya, maka tidak peduli seberapa besar upaya seseorang mencoba melepaskan diri dari budayanya, maka upaya tersebut akan terasa sulit, karena budaya tersebut telah menjadi panutan baginya, dan menentukan bagaimana dia seharusnya memahami dunia (Walker, 2005).
4
Sehubungan dengan hal tersebut, sangat penting bagi pasangan yang menjalani perkawinan campuran untuk memahami kapan dan bagaimana konflik muncul, serta bagaimana pengaruhnya terhadap pembentukan sikap dan perilaku, sehingga pasangan perkawinan campuran dapat belajar untuk mengelola konflik dengan baik (Kreider, 2000). Jika konflik dikelola dengan baik dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang sedang mengalami konflik, maka suatu hubungan akan menjadi baik pula. Tetapi jika konflik tidak dikelola dengan baik, maka suatu hubungan akan semakin memburuk. Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Maka dari itu, pasangan yang menjalani perkawinan campuran perlu mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik yang ada. Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011). Berangkat dari banyaknya fenomena perkawinan campuran yang cenderung berpotensi menimbulkan konflik, mendorong peneliti untuk memutuskan mengambil topik mengenai pengelolaan konflik pada perkawinan campuran dalam penelitian ini. Perkawinan campuran adalah sebuah fenomena yang unik dibandingkan dengan perkawinan-perkawinan pada umumnya, karena di dalamnya banyak sekali terdapat perbedaan. Setiap pasangan perkawinan campuran merupakan dua individu dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dari konflik-konflik yang bermunculan pada pasangan yang menjalani perkawinan campuran, mulai dari permalasahan latar belakang budaya, bahasa, peran gender, dan aspek lain seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tentunya membutuhkan manajemen konflik untuk memelihara dan mempertahankan hubungan. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian adalah bagaimanakah manajemen konflik yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang menjalani perkawinan campuran?
LANDASAN TEORI Dalam UU Perkawinan (UUP) No.1/1974 pasal 57, menjelaskan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan Indonesia
dan salah satu pihak
5
berkewarganegaraan Indonesia. Artinya, perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan seorang warga negara Asing (Wiranata, 2013). Pruitt dan Rubin (Pruitt & Rubin, 2004) mendefinisikan konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi
pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Esere
(Esere, 2003) menjelaskan bahwa konflik perkawinan yaitu perbedaan persepsi dan harapanharapan yang terjadi pada
pasangan suami istri tentang masalah pernikahan. Masalah-
masalah itu antara lain latar belakang pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan. Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik disebut dengan pengelolaan konflik atau bisa disebut dengan manajemen konflik (Byadgi, 2011). Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah mempersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik. Thomas dan Killman (dalam Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan, antara lain competitive (kompetitif), collaboration (kerjasama), compromising
(kompromi),
avoiding
(menghindar),
Competitive (kompetitif) merupakan perilaku yang
accommodation
(akomodasi).
asertif dan tidak kooperatif yang
terwujud dari adanya unsur persaingan antar individu. Dalam model kompetitif, individu cenderung agresif, memaksakan kehendak dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya dengan orang lain. Individu saling melawan dengan memperlihatkan keunggulan masing-masing. Collaboration (kerjasama) merupakan sikap bekerjasama dengan tujuan untuk mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi individu, sehingga memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya pengelolaan konflik dengan menggunakan collaboration memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Compromising (kompromi) merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah, dimana gaya ini berada di antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Kompromi dapat berarti saling mengurangi tuntutan dari masing-masing pihak, serta saling berkoordinasi untuk
6
menyelesaikan konflik dengan cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan informasi tentang situasi kepada pihak yang bersangkutan dan mencari model penyelesaian konflik yang baik antara kedua belah pihak. Avoiding (menghindar) memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. Kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk penghindaran tersebut berupa menjauhkan diri dari pokok permasalahan, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dam merugikan. Accommodation (akomodasi) merupakan sikap cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Gaya ini juga disebut dengan obliging style, dimana seseorang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini, ia akan berusaha untuk mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. C. Geertz (dalam Magnis-Suseno, 1984), memberikan pokok-pokok pikiran bahwa masyarakat Jawa memiliki ciri-ciri yang dapat dirumuskan sebagai berikut Prinsip Kerukunan dan prinsip hormat. Dalam hubungan perkawinan pada budaya Jawa, suami dan istri harus menunjukkan kasih sayang dan cinta di antara satu sama lain. Selain itu, istri juga harus menunjukkan rasa hormat kepada suami, karena suami dianggap lebih tua dari istri. Namun, saat menjalani kehidupan berumah tangga, peranan istri lebih kuat daripada suami. Besamusca & Verheul, (2010) memberikan gambaran bahwa Belanda adalah negara demokarasi yang memiliki masyarakat yang toleran dan berpikiran terbuka. Dalam berkomunikasi, orang Belanda terbiasa untuk berbicara terus terang, secara langsung dan spesifik. Meskipun perempuan dan laki-laki memiliki status yang sama di depan hukum dan kecenderungan menuju kesetaraan gender telah terlihat, perempuan dan laki-laki masih menempati fungsi yang berbeda dalam kehidupan rumah tangga masyarakat Belanda. Otoritas utama dalam rumah tangga umumnya laki-laki, dimana laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga. Hargreaves (2007) menjelaskan bahwa orang Perancis terkenal memiliki sikap santai dalam menjalani hidup. Dalam lingkup keluarga, meskipun di Perancis telah mengambil langkah-langkah menuju kesetaraan gender, namun masih banyak isu-isu sosial yang masih menghambat kemampuan perempuan untuk menjalani kehidupan yang seimbang. Perempuan masih dibebani dengan tugas sebagai ibu rumah tangga, sedangkan laki-laki masih dianggap sebagai pencari nafkah. Sehingga perempuan pun berkuasa penuh dalam mengelola keluarga dan urusan di dalam rumah tangga (Hargreaves, 2007).
7
METODE Partisipan dan Desain Penelitian Pada penelitian ini, subyek penelitian berjumlah 6 orang, yang merupakan 3 pasangan suami istri pelaku perkawinan campuran yang terdiri dari wanita Jawa dan pria Eropa. Pemilihan subyek penelitian berdasarkan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara sengaja dengan cara menentukan sendiri berdasarkan pertimbangan tertentu (Idrus, 2009). Kriteria yang digunakan untuk menentukan subyek antara lain: pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan dengan latar belakang budaya yang berbeda, yaitu istri dengan budaya Jawa dan pria dengan budaya Eropa; pernah mengalami konflik perkawinan dalam hubungan rumah tangga; usia perkawinan minimal 2 tahun; dan menetap dalam satu rumah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti (Herdiansyah, 2010). Model fenomenologi dipilih karena pandangan fenomenologi berorientasi untuk memahami, menggali, dan menafsirkan arti dari peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu (Suyanto & Sutinah, 2005).
Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian Pada penelitian ini, data penelitian yang diperoleh melalui sumber data primer dan data sekunder. Data primer dan sekunder diperoleh melalui wawancara dan observasi. Sedangkan untuk teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis data Moustakas (1994). Langkah-langkah analisis data menurut Moustakas (1994) tersebut antara lain mendata setiap informasi dan pernyataan (horizonalizing the data and statement), kedua adalah struktur tematik (thematic potrayal), kemudian yang ketiga adalah deskripsi tekstural (textural description), yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu deskripsi tekstural individu (individual textural description) dan deskripsi tekstural gabungan (composite textural decription). Langkah keempat adalah deskripsi struktural (structural description), yang juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu deskripsi struktural individu (individual structural description), dan deskripsi struktural gabungan (composite structural description). Kemudian langkah yang terakhir adalah sintesis (synthesis), yaitu pengambilan kesimpulan dari hasil penelitian secara keseluruhan yang telah dianalisis sesuai dengan fenomena yang diteliti.
8
Penelitian ini dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan dalam desain penelitian kualitatif, dengan prosedur sebagai berikut, pertama yaitu menentukan fokus penelitian, kemudian dilanjutkan dengan mencari subyek yang sesuai dengan fokus penelitian. Setelah subyek telah didapatkan, maka tahapan selanjutnya yaitu pengumpulan data. Setelah data terkumpul maka data pun segera diolah dan dianalisis menggunakan teknik analisis data Moustakas (1994) sehingga data bisa segera disajikan. HASIL Hasil Analisis Data Berdasarkan analisis menggunakan analisis data fenomenologi Moustakas diperoleh hasil sebagai berikut: 1.
Penyebab konflik dalam kehidupan pasangan ketiga pasangan perkawinan campuran dalam penelitian ini biasanya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang mereka miliki, yaitu perbedaan karakter, perbedaan pendapat, perbedaan prinsip, perbedaan kepribadian, perbedaan dalam pengunaan bahasa yang terkadang menimbulkan kesalahpahaman, permasalahan anak, hingga perselingkuhan. Proses konflik yang terjadi yaitu berawal dari sebuah pembicaraan, yang kemudian menimbulkan perbedaan pendapat sehingga mereka terlibat dalam perdebatan, dan ketika perdebatan semakin panjang, maka mereka akan mengambil sikap yaitu dengan salah satu pihak menghindar terlebih dahulu sampai keduanya tenang, sampai akhirnya mereka akan mencoba untuk mendiskusikan masalah yang baru saja menimbulkan konflik dengan kondisi emosi yang lebih baik.
2.
Pada ketiga subyek pasangan perkawinan campuran ini, manajemen konflik yang dilakukan cukup beragam. Pada subyek 1 dan subyek 2, pihak istri cenderung dominan dalam setiap konflik yang terjadi. Saat menghadapi konflik pun kedua subyek ini cenderung berusaha bersikap kompetitif, yaitu saling melawan dan beradu pendapat, yang kemudian akan ada salah satu pihak yang berusaha untuk menghindar dan berusaha untuk mengurangi ketegangan emosi dari kedua belah pihak. Setelah dirasa sudah tenang, maka mereka pun berbicara, berunding, saling memberikan informasi mengenai masalah yang yang menjadi penyebab konflik, dan bekerjasama untuk mencari titik tengah dari permasalahan yang terjadi. Sedangkan pada subyek 3, kedua belah pihak juga menghindar saat keduanya merasa sedang emosional, lalu ketika keduanya sudah tenang, mereka mengelola konflik yang terjadi di antara mereka dengan saling bekerjasama, bernegosiasi, dan mencari alternatif solusi yang memuaskan kedua belah pihak.
9
3.
Hasil dari manajemen konflik yang dilakukan oleh ketiga pasangan perkawinan campuran dalam penelitian ini yaitu keputusan untuk tetap melanjutkan perkawinan mereka dan saling bekerjasama untuk mengharmoniskan kembali hubungan mereka dengan melakukan aktivitas dan menghabiskan waktu bersama.
DISKUSI Menurut apa yang disampaikan oleh ketiga pasangan subyek dalam penelitian ini, perkawinan campuran yang dijalani oleh ketiga pasangan subyek tersebut tidak lepas dari hambatan yang menjadi kendala bagi perkawinan mereka. Hambatan tersebut tidak jarang menjadi penyebab munculnya konflik kehidupan rumah tangga mereka. Berdasarkan faktorfaktor penyebab konflik dari Esere (Esere, 2003) dan Grahita (Adyadharnia, 2012), maka dalam penelitian ini faktor-faktor yang menjadi hambatan dan menjadi penyebab konflik dari ketiga pasangan subyek antara lain: perbedaan Individu, bahasa, anak, perselingkuhan. Perbedaan individu tidak selalu membawa pasangan menuju timbulnya konflik, tetapi perbedaan individu memberikan potensi munculnya konflik dan meningkatkan kemungkinan bahwa konflik dapat terjadi. Dari adanya perbedaan individu tersebut, tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat di antara mereka. Hal ini bisa dilihat dari subyek 1, dimana mereka seringkali terlibat konfik yang disebabkan oleh perbedaan pendapat dan perbedaan kebiasaan. Pada subyek 2, perbedaan individu terlihat dari perbedaan karakter yang dimiliki oleh keduanya. Faktor lainnya yaitu bahasa. Bahasa merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi masalah untuk masing-masing pihak karena kurangnya perbendaharaan kata, kesalahan penggunaan atau timbul rasa ketidakadilan dalam penggunaan bahasa. Hal ini menimbulkan rasa beban diantara kedua pasangan karena terkadang apa yang dimaksudkan oleh salah satu pihak tidak dapat dimengerti oleh pasangan masing-masing. Pada subyek 1, permasalahan bahasa muncul karena keinginan istri agar suami belajar berbahasa Indonesia, sedangkan suami tidak menginginkan untuk belajar berbahasa Indonesia. Pada subyek 3, permasalahan bahasa disebabkan karena perbedaan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masing-masing pihak sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Kemudian, konflik perkawinan juga muncul disebabkan oleh anak. Mengenai anak, subyek 1 seringkali terlibat konflik karena permasalahan pola asuh anak. Sang suami yang cenderung protektif, berseberangan dengan sang istri yang menerapkan pola asuh yang santai namun terarah. Adapun faktor yang juga merupakan penyebab munculnya konflik perkawinan di antara pasangan perkawinan perkawinan campuran dalam penelitian ini yaitu perselingkuhan. Pada subyek 2, mereka
10
pernah mengalami konflik yang disebabkan karena perselingkuhan, dan hal tersebut dilakukan oleh keduanya. Dalam menghadapi konflik, subyek 1 yang merupakan pasangan wanita Jawa dan pria Belanda yang telah menikah selama 23 tahun ini memilih untuk menghadapi masalah terlebih dahulu, kemudian ketika konflik dirasa semakin panjang, mereka akan mendiamkan masalah sampai kedua belah pihak merasa tenang. Pihak istri merupakan pihak yang lebih sering menghindar saat menyadari konflik mulai bertambah panjang. Menurut klasifikasi manajemen konflik yang disampaikan oleh Thomas dan Killman (Byadgi, 2011), gaya yang dipakai oleh subyek 1 termasuk dalam taktik yang bersifat kompetitif (competition), dimana mereka saling mempertahankan pendapat saat menemui perdebatan dimana salah satu pihak berusaha untuk menang, hingga akhirnya salah satu pihak menghindar (avoiding) untuk mengurangi ketegangan, yang kemudian ketika mereka merasa lebih tenang, mereka akan berkompromi (compromise) dengan jalan berbicara, berunding untuk mendapatkan titik temu dari permasalahan yang terjadi. Pada subyek 2 yang juga merupakan pasangan wanita Jawa dan pria Belanda yang telah menikah selama 5 tahun ini, dalam menghadapi konflik mereka mengawalinya dengan beradu pendapat dengan saling melawan dan membentak. Setelah keduanya saling melawan dan bersikap agresif, sikap yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak dalam pasangan ini pun berbeda, jika pihak istri memilih untuk terus berbicara, pihak suami lebih memilih untuk menghindar untuk membuat suasana lebih tenang. Mereka pun segera berdiskusi dan membicarakan mengenai masalah yang baru saja mereka perdebatkan guna meredakan konflik yang telah terjadi. Menurut Thomas dan Killman (Byadgi, 2011), gaya manajemen konflik yang digunakan oleh subyek 2 ini termasuk dalam gaya kompetitif (competition), dimana mereka berusaha untuk beradu argumen secara verbal dengan cara yang agresif dan terdapat unsure persaingan untuk memenangkan perdebatan tanpa ada pihak yang mau mengalah, kemudian menghindar (avoiding), dengan meninggalkan tempat terjadinya konflik, yang selanjutnya mereka akan berkompromi (compromise) untuk membicarakan permasalahan yang baru saja dihadapi. Dalam menghadapi konflik, subyek 3 yang merupakan pasangan wanita Jawa dan pria Perancis yang telah menikah selama 2,5 tahun, memilih untuk berusaha tenang dan berdebat dengan kondisi yang kondusif. Ketika dalam perdebatan tersebut dirasa tidak ada pihak yang mau mengalah, maka mereka berusaha untuk saling diam terlebih dahulu, kemudian mereka akan membicarakannya dengan saling meminta maaf, dan berusaha bernegosiasi untuk mencari alternatif solusi yang baik untuk keduanya.
11
Menurut Thomas dan Killman (Byadgi, 2011), gaya manajemen konflik yang digunakan oleh subyek 3 ini termasuk dalam gaya kolaborasi (colaboration), dimana mereka bekerjasama dengan tujuan untuk mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi individu, sehingga memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Selain itu model pengelolaan konflik kolaborasi yang digunakan oleh subyek 3 ini dapat berguna sebagai upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang dapat memuaskan pihakpihak yang terlibat konflik. Subyek 3 juga terkadang menggunakan gaya menghindar (avoiding) di saat tidak ada yang mau mengalah di antara mereka dengan mencoba diam dan menenangkan diri masing-masing, sehingga saat mereka sudah tenang, keduanya bisa melanjutkan pembicaraan dengan kembali memakai gaya kolaborasi. Dari penjelasan mengenai manajemen konflik yang dilakukan oleh ketiga pasangan perkawinan campuran ini, pada subyek 1 dan 2, pihak istri sebagai wanita Jawa cenderung lebih dominan saat menghadapi konflik, sedangkan pihak suami lebih sering mengalah dan menerima keputusan yang diberikan oleh pihak istri. Sedangkan subyek 3, yang merupakan pasangan wanita Jawa dan pria Perancis, kedua belah pihak saling bekerjasama dan berkomitmen untuk tidak mendominasi suasana ketika terjadi konflik. Jika dikaitkan dengan latar belakang budaya Jawa dan budaya Eropa, wanita Jawa yang berperan sebagai istri pada subyek 1 dan 2 telah memainkan perannya sesuai dengan karakteristik yang ada pada budaya Jawa, dimana istri memainkan peran yang lebih besar daripada suami. Sedangkan kedua suami, yang merupakan pria dengan etnis Belanda, memilih untuk tidak bekerja dan tidak berperan sebagai pencari nafkah, sehingga hal ini tidak sesuai dengan karakteristik keluarga yang mayoritas ada di Belanda, dimana pihak suami yang berperan sebagai pencari nafkah, dan istri yang berhak dalam mengurusi rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA Adyadharnia, R. A. (2012). Manajemen Konflik Rumah Tangga pada Pasangan yang Menikah di Usia Muda. Skripsi. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Ahmadi, D. H. (2007). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Amalia, R., & Darmawan, N. K. (2013). Perkawinan Campuran dalam Kaitannya dengan Undang-undang no.6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana. Besamusca, E., & Verheul, J. (2010). Discovering The Dutch: On Culture and Society of The Netherlands. Amsterdam: Amsterdam University Press.
12
Boeree, G. (2006). Personality Theories. Yogyakarta: Primasophie. Breukel, E. (2014). Expatica: Live.Work.Love. (Online). http://www.expatica.com/nl/insiderviews/Dutch-society-and-working-culture_101736.html diakses pada tanggal 2 April (2015). Bungin, B. (2010). Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi Ed.1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka. Byadgi, S. (2011). Conflict Management and Marital Satisfaction Among Dual Earning Couple. Thesis. (tidak diterbitkan). Dharwad: College of Rural Home Science University of Agricultural Science. Dampu, D. (2009). Pelaksanaan Perkawinan Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Kota Denpasar Provinsi Bali. Thesis. (tidak diterbitkan). Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Dayakisni, T. (2003). Psikologi Sosial, edisi revisi. Malang: UMM Press. Dennis, M., & Antonius, C. (2006). Every Culture: The Netherlands. (Online). http://www.everyculture.com/Ma-Ni/The-Netherlands.html diakses pada tanggal 2 April (2015). DeVito, J. (2007). The Interpersonal Communication (11th Ed.). USA: Pearson Education Inc. Dildar, S., Sitwat, A., & Yasin, S. (2013). Intimate Enemies: Marital Conflicts and Conflict Resolution Styles in Dissatisfaction Married Couples. Middle-East Journal of Scientific Research 15 (10). Dildar, S., Sitwat, A., & Yasin, S. (2013). Intimate Enemies: Marital Conflicts and Conflict Resolution Styles in Dissatisfied Married Couple. Middle-East Journal of Scientific Research. Effendi, F. A. (2010). Konflik Pada Perkawinan Campuran Antara Pasangan dengan Latar Belakang Budaya Konteks Tinggi dan Rendah. Skripsi. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Esere, D. M. (2003). Resolving Conflict in Marriages: A Counsellor's Viewpoint. Ilorin Journal of Education, 1. Fenyo, M. D. (2001). Cross-Cultural Marriage; Identity and Choice. Journal of Third World Studies; Fall 2001, 334.
13
Gunawan, K. (2011). Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisniss, Vol. 2, No. 2, Oktober 2011 , 216. Hargreaves, A. G. (2007). Multi-Ethnic France: Immigration, politics, culture and society. New York: Routledge. Hurlock, B. (2000). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi 5). Jakarta: Penerbit Erlangga. Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Kreider, R. M. (2000). Interracial Marriage and Marital Instability. Paper: Population Association of America. Liliweri, A. (2005). Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Jogjakarta: LKIS Pelangi Aksara. Liu, W. (2012). Conflict Management Styles in Romantic Relationships between Chinese Americans Student. Thesis. (tidak diterbitkan). Florida: University of Miami. Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia. Maslow, A. (2006). On Dominance, Self Esteem, and Self Actualization. Ann Kaplan: Maurice Basset. Moleong, L. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Method. California: Sage Publication, Inc. Nurcahyati, F. W. (2010). Manajmen Konflik Rumah Tangga. Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani. Papafragos, H. (2008). Perkawinan Antarbangsa: Love and Shock! Jakarta: Penerbit Erlangga. Pebrianti, W. (2012). Tinjauan Hukum atas Hak dan Status Kewarganegaraan Perempuan dalam Memperoleh Status Kewarganegaraan Indonesia karena Perkawinan Campur. Bengkoelen Justice Vol.2 No.2 Tahun 2012 . Pruitt, G., & Rubin, J. (2004). Teori Konflik Sosial (Seri Psikologi Sosial). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Raffel, L. (2008). I Hate Conflict!: Seven Steps to Resolving Differences with Anyone in Your Life. London: McGraw-Hill.
14
Renalds, T. G. (2011). Communication in Intercultural Marriages: Managing Cultural Differences and Conflict for Marital Satisfaction. Thesis. (tidak diterbitkan). Lynchburg: Department of Communication Liberty University. Sabon, A. S. (2005). Gambaran Masalah dan Gaya Konflik pada Pernikahan Antarbudaya. Skripsi . Sadarjoen, S. (2005). Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual dan Alternatif Solusinya. Bandung: Refika Aditama. Salkind, N. J. (2006). Encyclopedia of Human Development. California: Sage Publication, Inc. Samovar, Porter, & McDanish. (2010). Communication Between Cultures, 7th ed. Singapore: Cengange Learning. Sarwono, S. (2006). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Siallagan, G. (2009). Perkawinan Antarbangsa (Studi Kasus: Perkawinan Campur Antara Orang Batak dengan Wisatawan Asing di Samosir). Skripsi. (tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Sihombing, S., & Yusuf, E. A. (2013). Gambaran Pola Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik pada Wanita Indonesia Yang Menikah dengan Pria Asing (Barat). Jurnal Universitas Sumatera Utara Vol. 2 Nomor 1 Maret 2013. Supratiknya, A. (1995). Komunikasi Antarpribadi: Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Tubbs, S., & Moss, S. (2005). Human Communication. Singapore: Mc Graw-Hill Inc. Walker, E. (2005). Interracial Couples: The Impact of Race and Gender on One’s Experience of Discrimination Based on The Race of The Partner. Thesis. (tidak diterbitkan). College Park: Faculty of the Graduate School of the University of Maryland. Winardi. (1994). Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Bandung: CV. Mandarmaju. Winata, S. Y. (2013). Strategi Manajemen Konflik Interpersonal Pasangan Suami Istri (Pasutri) yang Hamil di Luar Nikah. Jurnal E-Komunikasi Universitas Kristen Petra, Surabaya Vol.1 No.2 Tahun 2013. Wiranata, J. (2013). Perlindungan Hukum Anak Akibat Perceraian dan Perkawinan Campuran. Lex Et Societatis, Vol. I/No. 3/Juli/2013. Yoshida, M. (2008). The Study of the Javanese Life Cycle Rituals in Anthropological Perspective Expressions. Academic Journal 4 , 295-311.
15
Zhang, Y., & Hook, J. V. (2009). Marital Dissolution Among Interracial Couples. Journal of Marriage and Family.