NOVEL MAHARAJA DIRAJA ADITYAWARMAN KARYA RIDJALUDDIN SHAR DAN TAMBO ALAM MINANGKABAU KARYA IBRAHIM DT. SANGGOENO DIRADJO Nurma Esa Abstrak Penelitian terhadap novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau dilatarbelakangi oleh adanya persamaan dan perbedaan pada tokoh dan penokohan, latar, alur dan tema, dengan dua karya yang berbeda namun menceritakan satu tokoh yang sama yaitu Adityawarman. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan hipogramatik novel Maharaja Diraja Adityawarman karya Ridjaluddin Shar dan Tambo Alam Minangkabau karya Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo. Penelitian ini menggunakan pendekatan sastra perbandingan dengan kajian hipogram dan teknik struktur diperlukan untuk mengetahui unsur intrinsik novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode dan teknik pengumpulan data, analisis data dan penyajian hasil data. Langkah awal penulis menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau. Berdasarkan hasil dari analisis unsur intrinsik, dapat terlihat persamaan dan perbedaan antara kedua objek. Dari hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa Tambo Alam Minangkabau sebagai hipogram dan novel Maharaja Diraja Adityawarman sebagai karya baru (transformasi). Dalam kata pengantar novel Maharaja Diraja Adityawarman dikatakan bahwa novel juga mengungkap tentang Tambo Alam Minangkabau. Dari Penelitian ini disarankan untuk mengembangkan penelitian terhadap novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau yang mungkin belum lengkap. Kata kunci: Adityawarman, Novel, Tambo, Hipogramatik Latar Belakang “Maharaja Diraja Adityawarman: Matahari di Khatulistiwa” merupakan suatu novel yang ditulis oleh Ridjaluddin Shar pada tahun 2010 yang diterbitkan oleh Citra Budaya Indonesia. Selain itu terdapat tambahan keterangan lain: “Sebuah novel historiografi mengungkap Tambo Alam Minangkabau dan kekuatan penguasa belahan barat imperium Majapahit”. Novel ini sangat istimewa karena mengungkap perjalanan pasukan Singosari di Sumatra hingga singgah ke Dharmasraya, serta kehancuran Singosari dan digantikan dengan perjalanan Majapahit. Novel ini juga “menyingkap kabut tebal” seputar Adityawarman (pendiri dan raja pertama Kerajaan Pagaruyung) dalam konteks sejarah Minangkabau. Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen; Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (dalam bahasa Jerman: novelle). Menurut Abrams, secara harfiah novelle berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Nurgiyantoro, 2002: 9). Novel Maharaja Diraja Adityawarman ini merupakan sebuah novel historiografi yang mengungkap tentang Tambo Alam Minangkabau (Shar, 2010). Tambo merupakan salah satu warisan kebudayaan Minangkabau yang penting. Ia merupakan kisah yang disampaikan
secara lisan oleh tukang kaba yang diucapkan oleh juru pidato pada upacara adat (Navis, 1984: 45). Peristiwa-peristiwa masa lampau dalam bentuk yang disampaikan secara lisan turun temurun berupa, cerita-cerita dan kiasan semuanya bersumber dari Tambo. Kemudian Tambo itu berkembang menjadi kaba dan diperbanyak dengan berbagai penafsiran menurut kadar pikiran yang dimiliki para pengarang. Sedangkan Tambo Usali yang ditulis dengan aksara Arab-Melayu, jarang sekali dijumpai hari ini (Jamal, 1985: 14). Tambo yang menjadi objek penelitian penulis adalah Tambo Alam Minangkabau karya Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo cetakan pertama tahun 2009. Tujuan penulis mengambil Tambo Alam Minangkabau ini adalah untuk dibandingkan dengan novel Maharaja Diraja Adityawarman. Karena dari judul dikatakan bahwa, novel Maharaja Diraja Adityawarman ini mengungkap tentang sejarah Tambo Alam Minangkabau. Sehingga isi dari tambo dapat dibandingkan dengan novel baik itu dari perbedaan, persamaan maupun perubahan yang terjadi pada novel. Dalam novel karangan Ridjaluddin Shar, tokoh Adityawarman merupakan raja di Kerajaan Dharmasraya yang berubah nama menjadi Kerajaan Swarna Bhumi dan berpusat di Malayupura. Ketika Adityawarman menjadi raja, dia ingin memindahkan pusat kerajaan Malayupura ke daerah pedalaman Minangkabau. Tetapi di daerah Minangkabau tidak menerapkan sistem pemerintahan berkerajaan, seperti sistem pemerintahan yang diusulkan oleh Adityawarman. Raja merupakan sumber segalanya dan rakyat hanya sebagai pelengkap. Selain itu, hasil keringat rakyat ditumpuk berupa upeti untuk para penguasa. Sedangkan di Minangkabau, hubungan antar mereka sudah mempunyai gabungan lembaga musyawarah dari berbagai luhak dan nagari, dan itu sudah diatur secara hukum adat yang disebut hidup salingka nagari. Kedudukan penghulu sebagai pimpinan masyarakat hanya ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah. Sistem pemerintahan luhak pun berbeda dengan rantau, seperti yang diungkapkan mamangan: luhak bapangulu, rantau barajo (luhak berpenghulu, rantau beraja). Artinya, bahwa pemerintahan tertinggi di wilayah luhak berada di tangan penghulu, sedangkan di wilayah rantau berada di tangan raja yang berpusat di Pagaruyung. Berdasarkan penjelasan yang diceritakan diatas, pembicaraan dan analisis penelitian ini menggunakan pendekatan sastra perbandingan dengan kajian hipogram. Menurut Riffarterre (dalam Endraswara, 2011: 132) kajian sastra bandingan, pada akhirnya masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya. Jadi, menurut Endaswara (2003: 132) hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan berjalan terus-menerus sejauh proses sastra itu hidup. Penulis akan membandingkan kedua objek melalui unsur intrinsik yakni tokoh dan penokohan, latar, alur dan tema. Dengan adanya kutipan cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau, mempermudah untuk menemukan hubungan hipogramatik diantara kedua objek. Dengan begitu terlihat karya mana yang lebih dahulu hadir dari keduanya, tujuannya untuk mengetahui dengan jelas persamaan dan perbedaan yang ada dalam kedua karya dengan membandingkan kedua objek. Alasan penulis tertarik untuk meneliti objek ini karena: pertama, penulis dari novel ini bukanlah sastrawan atau penulis novel populer, melainkan ahli dibidang ekonomi atau manajemen. Beliau juga pernah menjadi Direktur Pemasaran PT Semen Padang. Kedua, inilah untuk pertama kali penulis asal Minang berusaha “menyingkap kabut tebal” seputar Adityawarman (pendiri dan raja pertama Kerajaan Minangkabau) dalam konteks sejarah Minangkabau. Kemudian sejauh yang penulis ketahui belum ada peneliti yang mengkaji objek ini sebagai bahan penelitian. Selain itu, novel Adityawarman ini juga menceritakan suasana Nusantara pada abad ke 13 sampai abad ke 15. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk mengambil objek novel ini dengan Tambo Alam Minangkabau.
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca, baik manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra, terutama dalam kajian Hipogram. Sedangkan secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi pembaca untuk mengetahui bahwa hadirnya sebuah karya baru tidak terlepas dari karya sebelumnya. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis telah menyusun fokus permasalahan ini yaitu : 1. Bagaimanakah struktur novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau? 2. Bagaimanakah hipogramatik dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau? Tujuan Penelitian 1. Menganalisis dan menjelaskan struktur novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau. 2. Menganalisis dan menjelaskan hubungan antara novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau maka menemukan hubungan hipogramatiknya. Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori intertekstual untuk melihat hubungan hipogramatik kedua objek dan analisis struktur sebagai penunjang. Pada bagian awal penulis akan memfokuskan penelitian pada analisis unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah tokoh dan penokohan, latar, alur dan tema. Tokoh dan penokohan, tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Sedangkan penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Latar, latar atau setting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. Alur, alur adalah peristiwa yang diurutkan untuk membangun tulang pungung cerita. Tema, tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Adanya tema membuat karya lebih penting dari pada sekedar bacaan biasa (Sudjiman, 1991: 16-50). Dalam penelitian ini, analisis unsur intrinsik yaitu tokoh dan penokohan, latar, alur dan tema antara kedua objek digunakan untuk menolong dalam analisis hipogramatik, sehingga memperlihatkan persamaan, perbedaan maupun perubahan yang terjadi pada kedua objek. Di situ terlihat karya mana yang akan menjadi hipogram (induk) dan transformasi (karya baru). Berdasarkan analisis struktur, selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan teori intertekstual dengan kajian hipogram untuk melihat hubungan dari kedua karya sastra tersebut. Menurut Riffarterre (dalam Endraswara, 2011: 132) kajian sastra bandingan, pada akhirnya masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya. Jadi, menurut Endaswara (2003: 132) hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan berjalan terus-menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan “induk” yang akan menetaskan karya baru. Dalam hal ini, peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya
“induk” dengan karya baru. Namun, tidak ingin mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang lebih tua yang hebat, seperti halnya studi filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreativitas pengarang. Hipogram Karya sastra akan meliputi: (1). ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya. Ekspansi tak sekadar repetisi, tetapi termasuk perubahan gramatikal dan perubahan jenis kata; (2) konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis akan memodifikasi kalimat ke dalam karya barunya; (3) modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan jalan ceritanya sama; (4) ekserp, adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh pengarang. Eksrep biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika peneliti belum terbiasa membandingkan karya (Endraswara, 2003: 132). Dari penelitian interteks, akan terlihat lebih jauh bahwa karya berikutnya merupakan response pada karya-karya yang terbit sebelumnya. Prinsip dasar intertekstual menurut Pradopo (dalam Endraswara, 2003: 133) adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri. Hubungan antarteks tidak sederhana seperti yang dibayangkan. Kompleksitas hubungan dengan sendirinya tergantung dari kompetensi pembaca, sesuai dengan hakikat postrukturalisme, makin kaya pemahaman seseorang pembaca maka makin kaya pula hubungan-hubungan yang dihasilkan (Ratna, 2004: 175). Dalam suatu aktivitas pembacaan dengan demikian akan terdapat banyak hypogram, yang berbeda-beda sesuai dengan kompleksitas aktivitas pembacaan terdahulu. Hipogram juga merupakan landasan untuk menciptakan karya-karya yang baru, baik dengan cara menerima maupun menolaknya. Oleh karena itulah, membaca karya yang hanya terdiri atas beberapa halaman saja, maka ada kemungkinan akan menghasilkan analisis yang melebihi jumlah halaman yang dianalisis (Ratna, 2004: 175). Metode dan Teknik Penelitian Agar tercapainya tujuan penelitian, maka diperlukan metode penelitian. Metode penelitian merupakan strategi pemecahan masalah, maksudnya bagaimana masalah-masalah penelitian tersebut dipecahkan atau ditemukan jawabannya. Menurut Sangidu (2005: 105), metode penelitian berkaitan dengan cara kerja, baik yang berkaitan dengan teori maupun yang berkaitan dengan urutan-urutan (prosedur) penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perbandingan. Pendekatan perbandingan bertujuan untuk membandingkan novel Maharaja Diraja Adityawarman karya Ridjaluddin Shar dengan Tambo Alam Minangkabau karya Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo. Dengan pendekatan tersebut diharapkan terlihat korelasi antara novel karya Ridjaluddin Shar dengan Tambo Alam Minangkabau. Penelitian sastra akan mengungkap elemen-elemen dasar pembentuk sastra dan penafsiran sesuai paradigma atau teori yang digunakan (Endaswara, 2003: 7). Terkait dengan penelitian ini, adapun teknik dalam memecahkan masalah adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data Objek dalam penelitian ini adalah novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau. Sedangkan data dalam penelitian ini berupa dialog-dialog atau kata-kata yang terdapat dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau.
Selain itu, bahan-bahan juga diperoleh dari pustaka yang relevan dan mendukung penelitian ini seperti hal-hal yang berkaitan dengan novel dan tambo. 2. Teknik analisis data Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teori intertekstual untuk melihat hubungan hipogramatik antara kedua karya sastra. Terlebih dahulu penulis menganalisis tokoh dan penokohan, latar, alur dan tema yang terdapat dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau. Penulis membandingkan struktur kedua karya sastra tersebut melalui persamaan dan perbedaan untuk menemukan karya mana yang lebih dulu hadir (hipogram) dan karya yang lahir berikutnya (transformasi). 3. Teknik penyajian hasil Data yang telah dianalisis dalam bentuk deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan pemecahan masalah berdasarkan data-data yang ada, menganalisis data, mendeskripsikan hasil analisis dengan kutipan-kutipan dari sumber data, dan penutup yang berisi simpulan dan saran. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan dalam penelitian ini, sebelumnya akan dianalisis dengan struktur novelMaharaja Diraja Adityawarmandan Tambo Alam Minangkabau. Dalam unsur intrinsik yakni tokoh, latar, alur dan tema merupakan unsur cerita dari suatu karya sastra yang saling menunjang dan berkaitan. Jadi analisis unsur intrinsik sangat tepat dilakukan terhadap Tambo Alam Minangkabau dan novel Maharaja DirajaAdityawarman dengan tujuan untuk membantu menemukan apakah ada keterkaitan antara kedua objek. Dalam analisis ini, penulis membatasi pada unsur tokoh dan penokohan, latar, alur dan tema. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan yang ada dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman akan terlihat pada ulasan di bawah ini. Berikut tokoh dan penokohan novel Maharaja Diraja Adityawarman. Tokoh dan Penokohan Novel Maharaja Diraja Adityawarman Pada novel Maharaja Diraja Adityawarman terdapat 83 tokoh, tapi yang berperan ada 29 tokoh yakni Adityawarman, Dara Jingga, Mahisa Anabrang, Adwaya Brahmadewa, Jayanegara, Dara Petak, Kartanegara, Kartarajasa, Mauliwarmadewa, Puti Reno Mandi, Parapatih Nan Sabatang, Katamanggungan, Akendrawarman, Nambi, Dyah Gayatri, Dyah Gitarja, Dyah Wiyat, Puti Reno Jalito, Ananggawarman, Parameswara, Ranggalawe, Lembu Sora, Mahapati, Matahun, Putri Palembang, Gajah Mada, Wijayarajasa, Krewes dan Kebo Iwa. Sedangkan tokoh tambahan yang terdapat dalam novel ada 54 tokoh. Tokoh dan Penokohan Tambo Alam Minangkabau Pada Tambo Alam Minangkabau terdapat 10 tokoh yang berperan yakni, Adityawarman, Puti Dara Jingga, Mahisa Anabrang, Cindur Mato, Puti Dara Petak, Puti Bungsu, Gajah Mada, Ananggawarman, Datuk Parapatih Nan Sabatang dan Datuk Katamanggungan. Sedangkan tokoh tambahan yang ada dalam Tambo Alam Minangkabau ada 4 tokoh, yakni Sultan Sri Maharaja Diraja, Cati Bilang Pandai, Datuak Suri Dirajo, dan Indo Jati.
Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995: 216). Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Nurgiyantoro, 1995: 227). Latar merupakan tempat terjadinya peristiwa yang terdapat dalam cerita setiap karya sastra. Latar Novel “Maharaja Diraja Adityawarman” Latar Tempat Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995: 227). Latar tempat atau lokasi tempat kejadian yang terdapat dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman terjadi di Minangkabau, Nusantara dan bahkan beberapa negara lain. Daerah yang termasuk wilayah bagian Minangkabau adalah Sungai Tarab, Padang Ganting, Sumanik, Tiku Pariaman, Surawarsa, Pariangan, Pagaruyung, Pulau Punjung, Padang Sibusuak, Dharmasraya, dan Malayupura. Sedangkan wilayah bagian Nusantara adalah Palembang, Tuban, Majapahit, Borneo, dan Selat Malaka. Selain itu, latar tempat di negara lain yaitu Tamasek (Singapura) dan China. Diantara 18 lokasi tersebut tempat yang paling dominan adalah Surawarsa, Pagaruyung, dan Pariangan. Kemudian lokasi yang lain adalah bagian dari perjalanan hidup tokoh utama Adityawarman. Latar Waktu Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun, hal itu juga membawa sebuah konsekuensi: sesuatu yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan sejarah. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan waktu, langsung atau tidak langsung, harus berkesesuaian dengan waktu sejarah yang menjadi acuannya (Nurgiyantoro, 1995: 231). Latar waktu dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman karya Ridjaluddin Shar yang terlihat pada ulasan di bawah ini. Adapun latar waktu yang terdapat pada novel Maharaja Diraja Adityawarman adalah Februari 1293 Masehi, tahun 1275 M, 12 November 1293 M,tahun 1299 M,tahun 1309 M,tahun 1316 M,tahun 1339 Masehi,tahun 1347, tahun 1350 M, tahun 1371 M,tahun 1377 M, pada tahun 1409. Dari uraian diatas, terlihat bahwa pengarang menggambarkan latar waktu yang ada hubungannya dengan waktu sejarah. Selain itu, pengarang juga memperlihatkan rentang waktu terjadinya peristiwa tersebut dari tahun 1275 sampai ke tahun 1409. Pengarang juga menggambarkan latar waktu yang singkat, karena lebih terfokus pada peristiwa yang terjadi di dalam novel. Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencangkup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks yang dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap (Nurgiyantoro, 1995: 235). Latar sosial yang digambarkan dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman adalah sebagai berikut. Latar sosial novel Maharaja Diraja Adityawarman karya Ridjaluddin Shar, menggambarkan keadaan di kehidupan istana. Kehidupan di kerajaan Majapahit dan kerajaan Dharmasraya, digambarkan dengan adanya pergantian tahta di kerajaan Majapahit sehingga
menimbulkan konflik perebutan tahta yang diturunkan secara sistem kekerabatan. Sebagaimana yang terlihat pada kutipan berikut. “Pertarungan di istana Majapahit tidak kalah bergelora dibandingkan derap keriuhan di lapangan. Walaupun belum ada darah menetes, simpatisan Putri Kartanegara dan pendukung Putri Dara Petak, semakin nyata keberadaannya. Mereka mengerucut menjadi dua kubu berkekuatan besar dan setiap saat siap menggoyang Majapahit” (Shar, 2010: 147). Adanya tata pemerintahan dan sistem politik yang membuat Adityawarman sering diutus oleh Raja Majapahit ke suatu daerah untuk melakukan beberapa penaklukan. Selain itu, Adityawarman pernah beberapa kali di utus ke Cina untuk berdiplomasi dan melakukan hubungan persahabatan dengan kerajaan yang ada di Asia. Hal itu tergambar pada kutipan berikut. “...Walaupun kekuatan mereka di bawah kekuatan kita, hampir setengahnya pasukan komando. Penyerangan dipimpin Dewaraja Pu Aditya, seorang ahli dan pengatur siasat perang. Dia lama menetap di dataran China. Mereka berhasil menaklukan Bedahulu di Balidwipa, “Lawang Kencana, berhenti bicara sejenak, “Pu Aditya sudah lama diharapkan jadi raja di Dharmasraya. Namun, masih berkeberatan menduduki tahta Dharmasraya, Baginda” (Shar, 2010: 411). Selanjutnya permainan intrik politik dari orang dalam kerajaan yang saling menjatuhkan. Hal ini terjadi antar sesama bangsawan, sehingga sampai akhir kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan berujung dengan perang saudara. Sebagaimana yang tergambar pada kutipan berikut. “Aditya bukan orang mudah menyerah. Kesimpulan ini merupakan pembicaraanku “...Pertempuran dahsyat tidak terhindari. Berhari-hari kedua laskarberperang, mengulangi perencanaan dan bertempur lagi, ribuan orang tewas di antara kedua belah pihak. Perang saudara yang besar sejak Majapahit didirikan.semakin hari semakin terlihat siapa pemenang antar kedua laskar masih bersaudara tersebut. Nambi dilibas Mahapati dengan sempurna” (Shar, 2010: 271). Adanya pola orang Minang yang berpegang teguh terhadap adat istiadat dan nilai idealisnya yaitu “Luhak bapanghulu dan Rantau Barajo”, sehingga pada kekuasaannya di daerah luhak Adityawarman hanya sebagai simbol. Tetapi di daerah rantau Minangkabau sepenuhnya kekuasaan di bawah Adityawarman. Dalam sistem sosial politik, Minangkabau memakai sistem demokrasi, sedangkan di daerah rantau aristokrasi. Dapat dilihat pada kutipan berikut. “Selama ini hubungan antar mereka sudah mempunyai gabungan lembaga musyawarah dari berbagai luhak dan nagari, dan itu sudah diatur secara hukum adat yang disebut hidup salingka nagari. Sedangkan kedudukan penghulu sebagai pimpinan masyarakat hanya ditinggikan saranting didahulukan salangkah” (Shar, 2010: 518). Keberadaan seorang sumando penting di Minangkabau, walaupun dia tidak mempunyai kekuasaan di tempat istrinya. Oleh karena itu, layanan terhadapnya bagai manatiang minyak panuah (menating minyak penuh). Yang artinya orang semenda itu harus dijaga perasaannya agar tidak tersinggung seperti orang membawa minyak dalam talam, bila tergoyang sedikit saja, maka minyak akan tumpah (Navis, 1984: 211). Sehingga pada saat Adityawarman memberlakukan sistem pemerintahannya di wilayah luhak, ternyata banyak yang mengabaikan dan tidak menuruti aturan-aturan yang telah dibuat istana Pagaruyung. Hal itu tergambar pada kutipan berikut.
“Penerimaan nagari Luhak terhadap Pagaruyung belum sepenuh hati. Permasalahan antara nagari tidak terselesaikan. Mereka diamkan saja, tidak lagi menganggap Ananda sebagai penengah, seharusnya mereka memberitahu Kerajaan Pagaruyung. Akibatnya terjadi kegelisahan di masyarakat dan mempengaruhi suasana di Pagaruyung” (Shar, 2010:594). 2.2.2 Latar “Tambo Alam Minangkabau” 2.2.2.1 Latar Tempat Latar merupakan tempat terjadinya peristiwa yang terdapat dalam cerita setiap karya sastra. Latar tempat atau lokasi kejadian yang diceritakan dalam Tambo Alam Minangkabau yaitu daerah Minangkabau. Daerah Minangkabau menurut Tambo Alam Minangkabau berasal dari “Luhak Nan Tigo” yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto. Ketiga negeri itu berada di bawah puncak Gunung Merapi. Negeri-negeri penting lain yang diceritakan adalah Minangkabau, Pariangan dan Padang Panjang. Kemudian wilayah bagian Nusantara yaitu Majapahit. Kemudian lokasi yang lain adalah bagian dari asal usul dan perjalanan hidup tokoh. 2.2.2.2 Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi yang biasanya berkaitan dengan waktu faktual dan waktu yang berkaitan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam Tambo Alam Minangkabau karya Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo. Adapun latar waktu yang terdapat dalam Tambo Alam Minangkabau, pada tahun 1174, tahun 1292, tahun 1293, tahun 1295, tahun 1347, tahun 1348, pada tahun 1375-1417. Dalam Tambo Alam Minangkabau dapat dilihat rentang waktu terjadi peristiwa tersebut. Pada Tambo Alam Minangkabau dituliskan bahwa tambo ini diceritakan awal mula ninik Sri Maharaja Diraja menetap dan membuat sebuah perkampungan pada tahun 1174, hingga Majapahit menyerang Minangkabau pada tahun 1409. 2.2.2.3 Latar Sosial Latar sosial yang digambarkan dalam Tambo Alam Minangkabau adalah sebagai berikut. Kehidupan istana yang dijalani Adityawarman dengan orang tuanya, dan tinggal di kerajaan Majapahit dengan Puti Dara Petak dan Raden Wijaya membuatnya semakin pandai dan aktif. Selain itu, Adityawarman dididik ilmu perang dan ilmu kerajaan oleh Majapahit. Karena kepintaran dan keahliannya yang setaraf dengan Mahapatih, dia pun mendapat gelar Wirdamatri dari kerajaan Majapahit. Hal itu tergambar pada kutipan berikut. “Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi raja di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau melepasnya pulang dan ingin terus mengasuh anak kakaknya itu” (Diradjo, 2009: 73). Terjadinya penyerangan yang dilakukan oleh Gajah Mada terhadap kerajaan Minangkabau. Hal ini disebabkan karena Adityawarman kembali ke Minangkabau dan menjadi raja disana. Selain itu, Adityawarman juga tidak mau takluk kepada Majapahit. Dapat dilihat pada kutipan berikut. “Gajah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada tahun 1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali” (Diradjo, 2009: 74).
Setelah Ananggawarman memerintah, tidak ada lagi kegiatan raja Minangkabau, karena tidak ada raja dan penghulu yang membuat perubahan. Apalagi telah sempurnanya adat di kerajaan Minangkabau sangat membantu pelaksanaan aturan adat, karena adat Minangkabau disusun dengan “adat basandi syarak- syarak basandi kitabullah”. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah. “Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan raja Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat perubahan, baik untuk kerajaan maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu,,,” (Diradjo, 2009: 75). Alur Plot merupakan unsur yang penting, bahkan tak sedikit orang yang mengaggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya fiksi pun sering lebih ditekankan pada pembicaraan plot, walaupun mempergunakan istilah lain (Nurgiyantoro,1995: 110). Alur Novel Maharaja Diraja Adityawarman Novel Maharaja Diraja Adityawarman karya Ridjaluddin Shar, terdiri dari 14 bab/episode ditambah prolog dan epilog dengan 678 halaman. Dilihat berdasarkan penyusunan peristiwa novel ini mempunyai alur maju. Dalam penyajian ceritanya, pengarang mengungkapkan peristiwa secara tidak terpisah dan tiap bagian terdapat hubungan yang erat. Antar bagian dengan bagian berikutnya saling menunjang. Pada bab/episode diatas, memperlihatkan bahwa peristiwa yang disajikan pengarang dapat mengungkapkan isi cerita. Dari rangkaian cerita di atas dapat disimpulkan bahwa alur yang digunakan pengarang dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman adalah alur maju, karena alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa. Cerita tersebut dimulai dari situasi (keadaan) dengan konflik tertentu, kemudian diikuti dengan perkembangan konflik dan mencapai klimaks, kemudian berakhir dengan penyelesaian. Di dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dapat dilihat sebagai berikut: cerita dimulai dengan prolog, menceritakan adanya perjalanan Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang dari kerajaan Singosari ke Swarna Bhumi (Sumatra). Kemudian, Adwaya Brahmadewa ditugaskan untuk membawa Arca Amoghapassa ke bumi Dharmasraya sebagai tanda persahabatan. Selain itu, tujuan Brahmadewa ingin membawa Puti Dara Jingga untuk meminta restu pernikahannya kepada Kartarajasa (Bab 1). Konflik pun mulai muncul, setelah pasukan pamalayu kembali ke Singosari, ternyata telah terjadinya kekacauan yang mengakibatkan Singosari berubah nama menjadi kerajaan Majapahit (Bab 2). Kedatangan rombongan laskar Pamalayu yang membawa dua orang putri Dharmasraya, akhirnya bertemu dengan Raden Wijaya di Majapahit (Bab 3). Setelah itu, Raden Wijaya menikah dengan Dara Petak dan melahirkan anak yang bernama Kala Gemet. Pengangkatan Kala Gemet menjadi putra mahkota, ternyata menjadi suatu perselisihan di istana (Bab 4). Kemudian disusul dengan pemberontakan Mahapatih Nambi terhadap Majapahit. Sedangkan, Dara Jingga dan Brahmadewa kembali ke Dharmasraya (Bab 6). Setelah Janaka Warmadewa (Adityawarman) berusia enam tahun, dia diantar ayahnya ke Majapahit untuk dididik bersama Raden Kala Gemet (Bab 5). Setelah beberapa lama di Dharmasraya, Adityawarman kembali ke Majapahit dan bertemu dengan Jayanegara. Dia pun di utus ke dataran China bersama Naladewa (Bab 7). Setelah Adityawarman kembali dari dataran China, dia langsung ke Dharmasraya. Lalu datang utusan dari Majapahit menyampaikan agar Aditya kembali ke Majapahit untuk melakukan penaklukan ke daerah Palembang (Bab 8). Selanjutnya, Adityawarman mengirim utusan ke Palembang agar Baginda Bagus Kuning mengakui kerajaan Majapahit dan tunduk. Ternyata Adityawarman ditaklukan oleh anaknya yaitu Putri Palembang dan memilki seorang
anak yang bernama Parameswara (Bab 9). Tahun 1347 M, Adityawarman kembali ke Dharmasraya. Ternyata Adityawarman menggantikan pamannya Akendrawarman menjadi raja di Dharmasraya, lalu kerajaan tersebut berubah nama menjadi Swarna Bhumi yang berpusat di Malayupura. Setelah itu, dia menikah dengan anak pamannya yang bernama Puti Reno Jalito (Bab 10). Selanjutnya, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan Malayupura ke Pariangan Padang Panjang. Ternyata rencana Adityawarman memunculkan masalah dan konflik bagi para penghulu, karena mereka tidak setuju Adityawarman menjadi raja di daerah luhak. Sehingga para Datuk dari rantau maupun luhak bermusyawarah, dan akhirnya kekuasaan Adityawarman di daerah tersebut hanya sebagai simbolik. Sedangkan di daerah rantau Minangkabau sepenuhnya di bawah kekuasaan Adityawarman. Pusat kerajaan Adityawarman tidaklah di nagari Pariangan, tetapi di Sarawarsa (Bab 11). Kemudian, Adityawarman mendapat surat dari Gajah Mada, dia ingin sekali menaklukan kerajaan Sinda Guluh. Karena keinginannya, terjadilah tragedi yang memilukan dan Gajah Mada diminta mundur dari jabatan (Bab 12). Disamping itu, terjadi juga pertikaian di pusat Majapahit, antara Hayam Wuruk dengan mertua yaitu Raden Wijayarajasa. Situasi kerajaan Majapahit semakin tidak terkendali. Apalagi dengan hasutan Wijayarajasa terhadap cucunya Wirabumi untuk menguasai kerajaan. (Bab 14). Kemudian Adityawarman mengukuhkan anaknya yang bernama Ananggawarman sebagai putra mahkota (Bab 13). Setelah meninggalnya Adityawarman, lalu digantikan oleh anaknya Ananggawarman. Pada tahun 1409, semasa pemerintahan Ananggawarman, Majapahit menyerbu Pagaruyung melalui Dharmasraya. Kemudian kerajaan Majapahit mengalami kemunduran, serta terjadinya perang saudara antara Wirabumi dengan Wikra Wardhana. Sedangkan Parameswara mendirikan kerajaan Malaka dan berkembang pesat. Parameswara mempergunakan gelar ayahnya yaitu maharaja atau Yang Dipertuan(epilog). Prolog-> Bab 1- >Bab 2- >Bab 3-> Bab 4 -> Bab 6 -> Bab 5 –> Bab 7-> Bab 8-> Bab 9-> Bab 10-> Bab 11-> Bab 12-> Bab 14 -> Bab 13 -> Epilog. Dari uraian di atas terlihat bahwa novel Maharaja Diraja Adityawarman terdiri atas bagian-bagian dan setiap bagian cerita tersebut merupakan lanjutan dari bagian cerita sebelumnya. Sehingga kronologi cerita tidak terpisah-pisah dan terlihat jelas. Dengan demikian cerita yang disajikan pengarang terlihat cukup jelas. Kemudian ada di bagain bab yang saling berhubungan latarnya. 2.3.2 Alur Tambo Alam Minangkabau Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 2004: 83). Tambo Alam Minangkabau karya Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, terdiri dari 17 bagian. Hal ini terlihat pada ulasan berikut. Bagian awal urutan cerita, dikisahkan tentang wilayah Alam Minangkabau yang terdiri dari wilayah darek adalah daerah asli Minangkabau yaitu Luhak Nan Tigo. Dalam Tambo Alam Minangkabau, dikatakan orang yang pertama datang mendiami Pulau Andalas itu adalah ninik Sri Maharaja Diraja. Dia datang dari tanah besar Voor Indie, tanah Rum dengan membawa enam belas orang laki-laki dan perempuan. Ninik Sri Maharaja Diraja berada di puncak Gunung Merapi dan berdoa kepada Allah SWT dan air laut pun susut. Tidak beberapa lama, orang-orang banyak menetap dan berpindah ke daerah lainnya. Daerah yang ditempati tersebut diberi nama Parhurungan. Daerah itu semakin maju dan masyarakat semakin riang, maka dibuatlah sebuah permainan sehingga daerah tersebut berganti nama menjadi Pariangan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. “Tanah di sini baik dari pada di Ampang Gadang. Mereka pun berbondong-bondong membuat tempat tinggal di tempat yang baru ini dan oleh ninik Sri Maharaja Diraja
beserta Cateri Bilang Pandai tempat ini diberi nama Parhurungan” (Diradjo, 2009: 10). “Suasana masyarakatnya yang selalu dalam keadaan riang itu, menimbulkan keinginan dari ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai untuk mengganti nama kampung itu dengan nama Pariangan” (Diradjo, 2009: 11). Sultan Maharaja Diraja menikah dengan Puti Indo Jelita, yakni anak kandung dari Datuk Suri Dirajo. Setelah beberapa tahun menikah, ternyata belum juga mendapat keturunan. Sehingga Sultan Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan. Maka Sultan menikah lagi dengan Puti Sedayu dan melahirkan seorang anak. Ternyata permainsuri Puti Indo Jelita juga melahirkan anak dan diberi nama Sultan Panduko Basa yang bergelar Datuk Ketumanggungan. Pada tahun 1149, Sultan Sri Maharaja Diraja meninggal dan waktu itu anak yang paling tua masih berusia dua tahun. Akhirnya atas kesepakatan dewan kerajaan, ibu suri Puti Indo Jelito memegang tampuk kerajaan Minangkabau. Karena kasih sayang Datuk Suri Dirajo terhadap Puti Indo Jelita, lalu dia dinikahkan dengan Cateri Bilang Pandai. Dari perkawinanya melahirkan 5 orang anak: Jatang Sutan balun bergelar Datuk Parpatih Nan Sabatang, Si Kalap Dunia bergelar Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego, Puti Reno Judah, kemudian dibawa oleh datuk Parapatih Nan Sabatang ke Limo Kaum untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu. Sedangkan Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketumanggungan ke Sungai Tarab dan Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti. Mambang Sutan lahir tahun 1161, setelah berusia 4 tahun bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya. Kemudian terbentuknya sistim pemerintahan di Minangkabau dengan dua sistim yaitu Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago. Sistim Koto Piliang dipimpin oleh Datuk Ketamanggungan dan Bodi Caniago oleh Datuk Parapatih Nan Sabatang. Pada pertengahan cerita tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan yaitu Puti Dara Jingga seorang pemangku putri Mahkota dinikahkan dengan Mahisa Anabrang. Setelah menikah dia kembali ke Majapahit dan membawa adiknya yaitu Puti Dara Petak. Setelah beberapa bulan, Dara Jingga melahirkan seorang anak yang bernama Adityawarman. Kemudian, Dara Petak pun dinikahi oleh raja Majapahit yaitu Raden Wijaya. Pada tahun 1295, Puti Dara Jingga kembali ke Minangkabau dan menjadi raja di Minangkabau. Sehingga Adityawarman diasuh oleh Puti Dara Petak di Majapahit. Pada zaman Bundo Kanduang dan Adityawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perang. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa Anabrang, selain itu dia juga dididik ilmu silat pula oleh ayahnya. Maka jadilah Cindur Mato seorang pendekar yang tangguh dan panglima kerajaan Minangkabau. Sementara itu Adityawarman seorang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang dan ilmu kerajaan oleh Majapahit. Sehingga dia pernah menjadi Wirdamatri. Selain itu, Adityawarman juga salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa Adityawarman pulang menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi, Taluk Kuantan. Pada tahun 1347, Adityawarman dinobatkan menjadi raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahannya dengan Puti Bungsu melahirkan seorang anak yang bernama Ananggawarman. Pada klimaks cerita, Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada tahun 1348, tapi penyerangan itu gagal. Hal ini dilakukan karena Adityawarman tidak mau takluk kepada Majapahit. Sewaktu Minangkabau di bawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-
1417, pertahanan kerajaan Minangkabau semakin kuat. Sehingga Patih Wikrawardhana dari kerajaan Majapahit masih mencoba untuk menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, akan tetapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan penyerangan yang terakhir terhadap Minangkabau. Dari uraian alur di atas telihat bahwa cerita Tambo Alam Minangkabau terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan merupakan lanjutan dari bagian cerita sebelumnya. Tema Menurut Esten (1985: 6) untuk menentukan persoalan mana yang dikatakan tema adalah berdasarkan di bawah ini: 1. Dapat dilihat dari persoalan yang paling menonjol dari cerita itu. 2. Persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik. 3. Menghitung waktu penceritaan, yaitu waktu yang digunakan untuk menceritakan peristiwa atau tokoh yang ada di dalam karya sastra. Ketiga kriteria di atas harus digunakan secara bersamaan dan sekaligus. Ketiganya sebaiknya digunakan menurut urutan, jika muncul keraguan dalam menentukan persoalanpersoalan yang menjadi tema dalam sebuah karya sastra. Tema Novel Maharaja Diraja Adityawarman Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman ada beberapa permasalahan yang menjadi masalah sentral. Pertama, semenjak Adityawarman kembali dari Palembang untuk melakukan penaklukan, salah satu dari petinggi istana menginginkan agar Adityawarman tidak berada lagi di Majapahit. Hal ini disebabkan karena Adityawarman dekat dengan empat penguasa Majapahit yaitu Kartarajasa, Jayanegara, Tribuana Tunggadewi (perwalian dari Majapahit) dan Hayam Wuruk. Sehingga Adityawarman tidak bisa lagi berkuasa di Majapahit dan kembali ke Dharmasraya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. “Nah, Palembang sudah dikuasinya, teruskan tugas tersebut ke kerajaan di sebelah barat. Kapan perlu merupakan suatu perintah yang diperbaharui lagi. Jangan berikan kesempatan dia bernafas untuk kembali ke Majapahit. Lebih baik lagi jika perintah tersebut mendudukkan dirinya sebagai raja di Dharmasraya, sehingga dia mempunyai dua kesibukan, membenahi Dharmasraya dan sekalian melakukan penaklukan belahan barat Majapahit” (Shar, 2010: 426). “Ternyata impian dirinya untuk membangun Majapahit bersama-sama dari pusat kekuasaan tidak sepenuhnya terpenuhi. Dirinya semakin jauh dari pusat kekuasaan, diminta jadi raja di Dharmasraya, dan ditugaskan menaklukan dan mengawasi kerajaan di belahan barat Majapahit. Penugasan tersebut mencakup mengawasi Selat Malaka, Selat Sunda dan mengamankan rempah-rempah dan emas sebagai komoditi andalan Majapahit. Harapan Pu Aditya kembali ke Trowulan buat sementara pupus sudah, dirinya merasakan kesakitan sebelum dianiaya” (Shar, 2010: 433). Selain itu keberadaan Adityawarman di Majapahit, ternyata banyak yang tidak menyukainya termasuk dari keluarga istana. Mereka menginginkan agar Adityawarman tidak berada lagi di Majapahit. Kedua, Pada tahun 1374, dia kembali ke Dharmasraya dan ditunjuk menjadi raja yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit. Kemudian Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dari Malayupura ke Pariangan di pedalaman Minangkabau. Hal ini banyak menimbulkan permasalahan di antara penghulu. Karena di Alam Minangkabau tidak ada aturan raja beraja kecuali di daerah rantau, seperti yang diterapkan oleh Adityawaraman di kerajaan Dharmasraya dan Majapahit. Raja merupakan sumber segalanya dan rakyat hanya sebagai pelengkap. Hasil keringat rakyat ditumpuk berupa upeti untuk para penguasa. Sedangkan di Minangkabau, hubungan antar mereka sudah mempunyai gabungan lembaga musyawarah dari berbagai luhak dan nagari, dan itu sudah diatur secara hukum adat
yang disebut hidup salingka nagari. Sedangkan kedudukan penghulu sebagai pimpinan masyarakat hanya ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah. Selain itu, setiap keputusan dibuat secara bermusyawarah dan sangat jauh dari sistem berkerajaan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut. “Daerah Luhak disebut nagari Alam Minangkabau tidak pernah pemerintahan secara raja beraja atau berkerajaan dan mengangkat seseorang Baginda atau Yang Dipertuan. Adapun pemakaian nama raja hanya semacam gelar adat saja. Berperilaku sebagai raja di luhak bukan mengacu sosok orang tetapi pada hasil mufakat dan musyawarah yang didasarkan pada kebenaran yang ada. Adapun daerah Rantau Minangkabau yang berupa pemukiman terpisah dari negeri Alam Minangkabau atau Luhak, secara adat istiadat tetap berhubungan dengan Alam Minangkabau. Bentuk lembaga pemerintahan daerah rantau diserahkan kepada kebijakan rantau” (Shar, 2010: 527). Sehingga dalam pertemuan, terjadilah pertentangan dan perdebatan diantara penghulu ada yang menginginkan sistem berkerajaan dan ada juga sistem pemerintahan nagari. Setelah adanya keselarasan dan kesepakatan dari masing-masing penghulu, maka muncul dua dasar peraturan adat yaitu Laras Koto Piliang di bawah panji-panji Datuk Katamanggungan dan Laras Bodi Caniago di bawah panji-panji Datuk Parapatih Nan Sabatang. Setelah musyawarah dan mufakat, akhirnya menetapkan bahwa “Luhak berpanghulu dan rantau beraja”. Kekuasaan Adityawarman di daerah luhak hanya sebagai raja simbolis, sedangkan pada daerah rantau Minangkabau sepenuhnya di bawah kekuasaan Adityawarman. Adapun pemakaian nama raja hanya semacam gelar adat saja. Hal ini terlihat dalam kutipan di bawah. “Daerah luhak disebut nagari alam Minangkabau tidak pernah pemerintahan secara raja beraja atau berkerajaan dan mengangkat seseorang Baginda atau Yang Dipertuan. Adapun pemakaian nama raja hanya semacam gelar adat saja. Berperilaku sebagai raja di luhak bukan mengacu sosok orang tetapi pada hasil mufakat dan musyawarah yang didasarkan pada kebenaran yang ada” (Shar, 2010: 527). “Pada nagari Luhak tetap diperintah para penghulu. Kedudukan kemenakanda di Luhak hanya simbolik dan penengah jika terjadi suatu pertikaian. Adapun pada daerah Rantau kemenakanda mempunyai kekuasaan di semua daerah Rantau. Dibolehkan cara raja beraja, seperti di Swarna Bhumi atau Majapahit, dan juga penarikan upeti. Begitulah hasil kesepakatan para penghulu” (Shar, 2010: 528). Dari uraian cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman tersebut, terlihat dari keseluruhan tema minor dapat diambil kesimpulan tema mayor atau tema utama novel Maharaja Diraja Adityawarman, yaitu sosok raja simbolis Adityawarman di Minangkabau. Hal ini tergambar pada kutipan berikut. “Pada daerah alam Minangkabau atau Luhak tetap berlaku pemerintahan adat dalam pengawasan Datuk Parapatih dan Datuk Katamanggungan. Kekuasaan Adityawarman di daerah tersebut hanya sebagai simbolik. Adapun pada daerah rantau Minangkabau sepenuhnya di bawah kekuasaan Adityawarman, menegakkan sistem otokratis, dengan istilah ‘ketek babingkah tanah, gadang balingkuang aua’. Ditetapkan juga pusat kerajaan Adityawarman tidaklah di Nagari Pariangan, tetapi di Sarawarsa tempat Bunda Dara Jingga berada” (Shar, 2010: 521). Dari ke 14 bab/episode ditambah analog dan epilog dari cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman, sebagian cerita terlihat mempermasalahkan keberadaan Adityawarman di Minangkabau. Adityawarman dikenal sebagai sosok raja yang gagah perkasa dan bijaksana,
tetapi dia hanya menjadi raja simbolis di Minangkabau. Dia bukan saja terkenal sebagai seorang Raja Diraja kerajaan Pagaruyung di Minangkabau dan menyatakan dirinya sebagai raja besar, tapi juga merupakan sokoguru pengembangan Majapahit dan merupakan sosok pribadi yang agung. Ini terlihat dalam kutipan berikut. “Setelah menduduki tahta, Adityawarman bergelar Maharaja Diraja Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa. Adanya pemakaian gelar tersebut menyatakan bahwa dirinya merupakan raja yang besar” (Shar, 2010: 536). Selain itu, semasa Prabu Jayanegara memerintah, Adityawarman juga ikut memegang kendali di Majapahit dan juga sebagai duta Majapahit di Kerajaan Yuan dan Ming di China serta belajar strategi berperang bangsa Mongol. Hal ini terlihat dalam kutipan di bawah ini. “Aditya berpengalaman di banyak medan tempur. Kita harus waspada dan hati-hati dengan orang ini. Dia mengenyam ilmu praktek perang Mongol, membantu kaisar Yuan di China melakukan penyerbuan ke Korea. Disana dia dijuluki panglima besar Mau Lie Agi” (Shar, 2010: 411). Setelah Adityawarman meninggal pun , tidak ada sosok penerus kerajaan Pagaruyung yang sekuat dirinya. Sehingga kerajaan-kerajaan di bawah penguasaannya melepaskan diri. Ini terlihat dalam kutipan berikut ini. “Mangkatnya Maharaja Diraja Adityawarman dan melihat betapa tragisnya penyerbuan Majapahit terhadap Kerajaan Palembang, dan tidak adanya penerus Maharaja Diraja Adityawarman yang sekuat dirinya. Membuat satu persatu kerajaan-kerajaan di bawah pengawasan dan naungan Pagaruyung melepaskan diri” (Shar, 2010: 675). Tema Tambo Alam Minangkabau Dalam Tambo Alam Minangkabau menceritakan wilayah Minangkabau yang sangat luas, yang terdiri dari wilayah darek yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan luhak Limopuluah Kota. Sedangkan wilayah rantau yaitu rantau Luhak Tanah Datar, rantau Luhak Agam dan rantau Luhak Limopuluah Kota. Kemudian wilayah Pasisia yaitu Pasisia Tiku Pariaman dan Pasisia Pariaman. Untuk lebih jelasnya wilayah Minangkabau, pembatasnya disebutkan berupa nagari atau bentuk pemukiman dan keadaan alam yang terdekat dengan perbatasan. Awal mula orang yang pertama datang mendiami Pulau Andalas adalah ninik Sri Maharaja Diraja. Dia membawa beberapa pengikutnya berlayar dan menetap dan berdiam di puncak gunung merapi. Setelah itu, mereka pindah ke sebuah lekung di pinggang Gunung Merapi yang diberi nama Labuhan Si Timbago. Setelah beberapa lama, dia pindah lagi ke suatu tempat yang diberi nama Pariangan Padang Panjang. Disanalah ditunjuk seorang ketua atas sepakat dan musyawarah yang akan memerintah dan menghukum di bawah raja. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut. “Kusuik nan ka manyalasaikan, karuah nan ka manjaniahkan, sasek nan ka maimbau, taluncua nan ka maelokan” (Diradjo, 2009: 12). Hal yang menjadi permasalahan adalah anak dari Sri Maharaja Diraja yang bernama Datuk Parapatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan, memiliki perbedaan dalam aturan adat yang mereka susun. Tetapi dengan kebijakan ninik mamak dan urang basa, maka dibuatlah upacara damai mengakhiri perselisihan ini dengan menusuk keris di batu. Wujudnya adalah Batu Batikam yang sampai saat ini masih dapat dilihat di Dusun Limo Kaum.
Salah satu ciri yang melekat pada masyarakat Minangkabau ini adalah masih kuatnya masyarakat memegang dan menerapkan adat (adaik) yang mereka miliki. Salah satu bentuk ajaran adat tersebut tertuang dalam adat lareh, berupa seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang mengatur aktifitas dan kehidupan sosial politik masyarakat Minang. Tali adat ini mempunyai kesatuan hukum yang diikat oleh serasa, semalu, seadat, selabuh-setepian. Dan setiap pekerjaan dilaksanakan bersama-sama, yang terungkap dalam pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.Masyarakat yang egaliter demikian adalah masyarakat yang leluasa memilih dan bertindak, tanpa ada paksaan. Dalam masyarakat organisasi, suasana egaliter muncul ketika pemimpin atau seorang penghulu dan masyarakat dapat berkomunikasi secara lancar tanpa ada perasaan tentang adanya jarak-sosial antara keduanya. Dalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau juga menjunjung tinggi nilai egaliter atau kebersamaan. Nilai ini dinyatakan mereka dengan ungkapan “duduak samo randah, tagak samo tinggi” (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi). Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum, mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil permufakatan merupakan otoritas yang tertinggi. Sedangkan Adityawarman yang telah lama tinggal di Majapahit memakai sistem berkerajaan yang sangat berbeda dengan sistem yang di terapkan di Minangkabau. Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dikatakan tema dari Tambo Alam Minangkabau adalah: Penerimaan masyarakat egalitarian Minangkabau dalam ekspansi kerajaan Majapahit. HIPOGRAMATIKNOVEL MAHARAJA DIRAJA ADITYAWARMAN DAN TAMBO ALAM MINANGKABAU Hipogram adalah modal utama dalam karya sastra yang akan melahirkan karya berikutnya, sedangkan karya berikutnya dinamakan karya transformasi. Hipogram merupakan “induk” yang akan menetaskan karya baru. Dalam hal ini, peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya “induk” dengan karya baru. Sebelumnya kedua objek dibandingkan melalui, persamaan, perbedaan maupun perubahan yang terjadi pada kedua objek. Setelah itu, memperlihatkan bahwa Tambo Alam Minangkabau sebagai Hipogram dan novel Maharaja Diraja Adityawarman sebagai transformasi. Namun, penelitian ini tidak akan mencari keaslian, sehingga menganggap bahwa yang lebih tua yang hebat, seperti halnya studi filologi. Disamping itu, penelitian ini juga akan dianalisis dengan unsur intrinsik kedua objek yaitu, tokoh dan penokohan, latar, alur dan tema. Sehingga memperlihatkan karya mana yang lebih dahulu hadir dan karya yang baru hadir di tengah-tengah masyarakat. Uraian penjelasan terhadap hipogram didasarkan pada persamaan dan perbedaan yang ada pada kedua karya sastra itu, sebagaimana yang terlihat pada ulasan di bawah ini. 3.1 Persamaan Setelah melihat unsur intrinsik dari novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau, makatahap selanjutnya adalah mengetahui persamaannya. Dalam cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau ditemui beberapa persamaan antara lain tokoh, latar dan alur. Masing-masing persamaan itu adalah jika pada tokoh dalam cerita Tambo Alam Minangkabau hanya memiliki 14 tokoh, lain halnya dengan cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman yang memiliki lebih dari 29 tokoh. Meskipun begitu, ada 7 orang tokoh dalam kedua karya sastra tersebut yang sama yaitu (1). Adityawarman, (2). Dara jingga, (3). Dara Petak, (4). Raden Wijaya, (5). Datuk Parapatih Nan Sabatang, (6). Datuk Ketamanggungan, (7). Ananggawarman dan (8). Gajah Mada. Ada beberapa latar yang sama yaitu Minangkabau, Pariangan Panjang Panjang, dan Majapahit. Alur, dalam cerita Tambo Alam Minangkabau maupun novel Maharaja Diraja Adityawarman memakai alur maju atau progresif. Peristiwa-peristiwa dikisahkan secara
runtut dan bersifat kronologis dari awal hingga akhir cerita. Adapun beberapa alur yang sama yakni tentang perjalanan Pamalayu dengan membawa dua orang putri kerajaan Dharmasraya yaitu Dara Jingga dan Dara Petak. Dara petak menikah dengan Raja Majapahit yang bernama Kartarajasa (Raden Wijaya), sedangkan Dara Jingga menikah dengan panglima kerajaan Singosari dan melahirkan anak yang bernama Adityawarman. Ketika Dara Jingga kembali ke Minangkabau, anaknya diasuh oleh Dara Petak dan dididik bersama dengan anaknya Kala Gemet. Setelah dewasa, Adityawarman dinobatkan menjadi raja di Swarna Bhumi yang berpusat di Malayupura. Di bawah ini ada beberapa kutipan yang mempertegas persamaan antara novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau,sebagai berikut. “Keikutsertaan kedua putri tetap dibuat wajar dan memperhatikan kedudukan kerajaan setara dan sederajat. Diriku akan berbicara pada Baginda mengikutkan putri Dara Jingga, dalam rangka meminta restu pernikahanku pada Kakang Prabu. Adapun Dara Petak dengan keikutan kakaknya, dia akan ikut pergi” (Shar, 2010: 27). “Penobatan Pu Aditya menggantikan pamannya Raja Akendrawarman dilakukan dalam waktu pendek, sehingga perayaan di luar kebiasaan yang berlaku. Tidak ada barisan laskar berderap, tidak ada bunyi terompet atau genderang berdentam bertalu-talu, tidak ada undangan pada kerajaan-kerajaan sahabat, hanya ada secarik kertas kepangkuan Putri Prabu Tribuana di istana Majapahit, bahwa perintah sudah dilaksanakan dan Pu Aditya menduduki tahta. Kerajaan Dharmasraya berobah nama menjadi Kerajaan Swarna Bhumi, berpusat di Melayupura dan Pu Aditya meneruskan dinasti Warmadewa dengan panggilan Adityawarman. Ibunya Dara Jingga tidak sempat menghadiri, dan dua pembesar Minangkabau datang mengahadiri penobatan, Datuk Katamanggungan dan Datuk Parapatih Nan Sabatang” (Shar, 2010: 451). Dalam Tambo Alam Minangkabau menceritakan perjalanan Pamalayu dengan membawa dua orang putri kerajaan Dharmasraya yaitu Puti Dara Jingga dan Puti Dara Petak. Kemudian, Adityawarman lahir dan diasuh oleh adik ibunya yaitu Puti Dara Petak di Kerajaan Majapahit. Setelah Adityawarman dewasa, dia kembali ke Minangkabau dan menggantikan ibunya menjadi raja. Hal ini membawa teks konkret akan peristiwa yang terjadi dalam teks Tambo Alam Minangkabau, ini terlihat pada kutipan berikut. “Tahun 1293, Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singosari yang di panggil oleh raja pertama Majapahit (Raden Wijaya). Puti Dara Jingga membawa Adik seayah dengannya yaitu Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan di Majapahit lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang diberi nama Adityawarman. Puti Dara Petak, dinikahi oleh raja Majapahit Raden Wijaya” (Diradjo, 2009: 73). “Setelah dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi, Taluk Kuantan. Sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu diislamkan. Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumanduang)” (Diradjo, 2009: 74). 3.2 Perbedaan Perbedaan dalam Tambo Alam Minangkabau dan novel Maharaja Diraja Adityawarman adalah pada tokoh dan penokohan, adanya perbedaan nama ayah Adityawarman. Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, dikatakan bahwa ayahnya bernama Adwaya Brahmadewa yaitu saudara dari Prabu Kartanegara. Sedangkan dalam
Tambo Alam Minangkabau, ayahnya bernama Mahisa Anabrang yaitu seorang Panglima kerajaan Singosari. Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, Adityawarman memiliki dua orang istri yaitu Puti Reno Jalito dengan anaknya Ananggawarman dan Putri Palembang dengan anaknya Parameswara. Hal ini tergambar pada kutipan berikut. “Kenangan selama di Kotaraja Palembang melintas seketika, sudah hampir dua tahun umur Parameswara, dan tiga tahun pula dirinya berada disini. Kedatangannya membawa pasukan Majapahit menaklukan Kerajaan Palembang, dan mengatur cara pemerintahan bersama, setelah tugas selesai dirinya akan kembali ke Majapahit. Dalam masa menunggu, terjadi perubahan di tengah kehidupannya. Ternyata penaklukannya berbalas di dalam bentuk lain. Dia ditaklukkan putri Bagus Kuning. Dia selalu mengejek dirinya di waktu lalu, bahwa jiwa mudanya telah berlalu sehingga pernikahan seakan dia lupakan” (Shar, 2010: 430-431). “...Sebagai seorang raja, tidaklah biasa hidup tanpa pendamping. Paman Akendrawarman meminang Ananda pada Bunda untuk dijodohkan dengan putrinya Puti Reno Jalito. Jika Ananda menyetujui tentu pernikahan segera kita adakan, karena Bunda tidak mungkin berlama-lama di sini” (Shar, 2010: 473). Dalam Tambo Alam Minangkabau, Adityawarman hanya memiliki satu orang istri yang bernama Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi, Taluk Kuantan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut. “Setelah dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi, Taluk Kuantan. Sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu diislamkan. Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman” (Diradjo, 2009: 74). Selanjutnya tokoh dan penokohan dalam Tambo Alam Minangkabau hanya memiliki 14 tokoh, lain halnya dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman memiliki lebih dari 29 tokoh. Selain itu dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, banyaknya muncul tokoh dan itu tidak terdapat pada Tambo Alam Minangkabau. Tokoh yang ada pada cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman, namun tidak ada pada cerita Tambo Alam Minangkabau yaitu Parameswara, Raja Asta Asura, Tanca, Kuti, Semi, Cakrawardhana, Bagus Kuning, Gumai, Banyu Biru, Senoaji, Bujang Keramat, Alang Babega, Dyah Pitaloka, Raja Sunda Guluh, Senopati Usus, Maharaja Linggabuana, Dewi Lara Linsing, Dyah Tanjung, Bakilap Alam, Dapunta Hyang, Mahisa Rangkah, Arya Wiraraja, Kebo Taruna, Jayakatwang, Mahapatih Aragani, Khan Agung, Meng-Ki, Mpu Kapat, Mpu Renteng, Mpu Elam, Mpu Bango, Ki Buyut Anjali, Ki Buyut Rajutan, Naladewa, Lawang Kencana, Mahapati Pasunggris, Datuk Gampo Alam, Datuk Ganto Suaro, Rakhyan Yuyu, Mpu Sina, Mahapati Halayuda, Raden Sotor, Lembu Peteng, Anggapati, Bango Tejo, Dyah Sri Sudewi, Mulia Setia, Prapanca, Bajak, Wedeng, Pangsa, Patih Madhu, Pu Tading, Wirabumi. Perbedaan juga terdapat pada latar yakni 1). Malayupura merupakan salah satu latar dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, pada saat Mahisa Anabrang melatih para prajuritnya dan penempatan laskar ‘Pamalayu’. Latar ini hanya ada dalam cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman. 2). Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, Pulau Punjung merupakan tempat rombongan menetap dan singgah, serta mendirikan perkampungan dan kerajaan sendiri. Latar ini hanya ada pada cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman. 3). Tamasek merupakan tempat persinggahan laskar Dharmasraya dan
Singosari. Latar ini hanya ada dalam cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman. 4). Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, Pelabuhan Tuban merupakan tempat berlayarnya kapal-kapal dan sangat ramai disinggahi oleh pedagang. Latar ini hanya ada dalam cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman. 5). Ujung Guluh merupakan tempat Ike Mise mempersiapkan keberangkatan tentara Mongol menuju dataran China. Latar ini hanya ada dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman. 6). Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, Palembang merupakan tempat Majapahit untuk pengamanan pelayaran di Supitan Malaka. Latar ini hanya ada dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman. 8). Borneo merupakan tempat Gajah Mada melakukan penyerbuan sesuai dengan sumpahnya. Latar ini hanya ada dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman. 9). China merupakan tempat dimana Adityawarman diutus oleh Majapahit menjadi duta di China. Latar ini hanya ada dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman. 11). Surawarsa merupakan tempat pusat kekuasaan Adityawarman yang terletak di Minangkabau. Latar ini hanya ada dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman. 12). Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, daerah Tiku dan Parayaman merupakan tempat armada laut di sebelah barat yang terletak di Minangkabau. Latar ini hanya ada dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman. Latar waktu dalam Tambo Alam Minangkabau dan novel Maharaja Diraja Adityawarman tentu memiliki perbedaan. Dimana latar waktu yang terdapat pada Tambo Alam Minangkabau yaitu pada tahun 1292, ketika Mahisa Anabrang seorang panglima kerajaan Singosari menikahi Puti Dara Jingga. Kemudian tahun 1293, Puti Dara Jingga yang sedang hamil pergi mengikuti suaminya kembali ke Singosari. Setelah itu tahun 1295, Puti Dara Jingga di panggil ke Minangkabau untuk menjadi raja di Minangkabau. Kemudian pada tahun 1347, anaknya yang bernama Adityawarman dinobatkan menjadi raja Minangkabau dan bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pada tahun 1348, Gajah Mada menyerang Minangkabau tapi gagal. Sampai pada tahun 1375-1417, ketika Minangkabau di bawah pimpinan Ananggawarman, pertahanan Minangkabau sangat kuat. Sehingga pada tahun 1409, Patih Wikrawardhana di kerajaan Majapahit mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tetapi tidak berhasil. Sehingga rentang waktu yang terjadi dalam peristiwa ini yaitu dari tahun 1292- 1409. Sedangkan latar waktu yang terdapat dalam cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman yaitu pada bulan Februari tahun 1293 Masehi, tahun 1275 Masehi (Saka 1187), 12 November 1293 Masehi (15 bulan Kartika tahun 1215 Saka), tahun 1295 Masehi, tahun 1299 Masehi, tahun 1316 Masehi, tahun 1339 Masehi, tahun 1347 Masehi, tahun 1350 Masehi, tahun 1371 Masehi dan tahun 1409 Masehi. Sehingga rentang waktu yang terjadi dalam peristiwa ini yaitu tahun 1275- 1409. Berdasarkan latar waktu dari Tambo Alam Minangkabau dan novel Maharaja Diraja Adityawarman, cerita Tambo Alam Minangkabau lebih dulu hadir di tengah masyarakat dan tentunya Tambo Alam Minangkabau merupakan sejarah pedoman bagi masyarakat Minangkabau. Sedangkan cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman ini, dikarang oleh Ridjaluddin Shar dan diterbitkan pada tahun 2010. Novel ini berada di tengah masyarakat Minangkabau setelah hadirnya Tambo Alam Minangkabau. Bahkan pada judul cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman, bertuliskan bahwa novel ini juga mengungkap tentang Tambo Alam Minangkabau. Kemudian novel Maharaja Diraja Adityawarman memiliki 14 alur/ episode ditambah dengan prolog dan epilog, lain halnya dengan Tambo Alam Minangkabau memiliki 17 bab/ bagian cerita, dimulai dengan menceritakan wilayah Alam Minangkabau, kemudian adanya penghulu yang dipilih sebagai pemimpin masyatrakat serta keberadaan Adityawarman di Minangkabau dan hubungan Adityawarman dengan kerajaan Majapahit. Maka tema mayor dalam Tambo Alam Minangkabau yaitu penerimaan masyarakat egalitarian
dalam ekspansi kerajaan Majapahit. Alur pada cerita Tambo Alam Minangkabau lebih banyak dibandingkan cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman. Pada cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman secara langsung menceritakan awal mula perjalanan Pamalayu dengan membawa kedua putri Dharmasraya ke Majapahit. Kemudian lahir Adityawarman, hingga dia menjadi raja di Malayupura dan memindahkan pusat kekuasaannya ke pedalaman Minangkabau. Disanalah dia menjadi sosok raja simbolik di Minangkabau, sedangkan di daerah rantau dia memiliki kekuasaan penuh. Sehingga tema utama dalam novel yaitu sosok raja simbolis Adityawarman di Minangkabau. Pada novel Maharaja Diraja Adityawarman memiliki 14 episode, ditambah prolog dan epilog yakni, Membawa Arca Amoghapassa ke bumi Dharmasraya, Keberangkatan Ekspedisi pamalayu kembali ke Singosari, Pertemuan Raden Wijaya dengan kedua putri Dharmasraya, Pertarungan di Istana Majapahit, Keberangkatan Tuanku Janaka Warmadewa ke Majapahit, Pemberontakan Mahapatih Nambi terhadap Majapahit, Kedatangan Pu Aditya (Adityawarman) ke Majapahit, Patih Gajah Mada, Kerajaan Palembang, Kedatangan Adityawarman ke Dharmasraya, Pemindahan kekuasaan Swarna Bhumi ke pedalaman Minangkabau, Adityawarman mendapat surat dari Gajah Mada, Rencana Patih Matahun, Gajah Enggon dan Mpu Nala, Analog “Kotaraja Malayu Pura di hulu sungai Batanghari”, Epilog “Meninggalnya Adityawarman dan kehancuran di Majapahit”. Sedangkan Tambo Alam Minangkabau memiliki 17 bagian cerita yaitu, Wilayah Minangkabau, Pulau Andalas, Galundi Nan Baselo dan Guguak Ampang, Asal usul Nagari dinamai Pariangan dan Padang Panjang, Penghulu pertama, Silsilah keturunan Raja Minangkabau yang pertama yaitu Sultan Sri Maharaja Diraja, Datuk Parapatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan, Pembagian luhak dan ciri-cirinya, lareh nan duo, Perbedaan adat Koto Piliang dan Bodi Caniago, Amanat ninik yang bertiga, Pulau Perca disebut Alam Minangkabau, Kedatangan Sang Sapurba, Sikati Muno, Kerajaan Minangkabau, Rajo Tigo Selo, Basa Ampek Balai. Uraian penjelasan persamaan dan perbedaan di atas yang ada pada kedua karya sastra, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini. No Unsur intrinsik Novel Tambo 1 Tokoh dan Tokoh utama = 29 orang Tokoh utama = 10 orang penokohan Tokoh penunjang= 54 Tokoh Penunjang= 4 orang orang 2 Latar Latar Tempat= 18 lokasi Latar Tempat= 6 lokasi Latar Waktu= 12 Latar Waktu= 8 Latar Sosial = 5 Latar Sosial = 3 3 Alur Maju, memiliki 14 Maju, memiliki 17 bagian bab/episode ditambah cerita. prolog dan analog. 4 Tema Sosok Raja Simbolis Penerimaan masyarakat Adityawarman di egalitarian dalam ekspansi Minangkabau. kerajaan Majapahit. Hipogramatik novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau Tambo merupakan salah satu warisan kebudayaan Minangkabau yang penting. Ia merupakan kisah yang disampaikan secara lisan oleh tukang kaba yang diucapkan oleh juru pidato pada upacara adat (Navis, 1984: 45). Tambo adalah cerita sejarah, yaitu cerita tentang kejadian atau asal-usul keturunan raja, asal usul negeri serta adat istiadatnya. Tambo juga termasuk karya sastra Melayu klasik/lama, adapun nilai yang terkandung di dalamnya adalah nilai budaya, nilai moral, nilai agama, nilai pendidikan, nilai sosial dan nilai psikologis. Selain itu, Tambo Alam Minangkabau ditulis dalam bahasa Melayu yang berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu.
Kebanyakan naskah tambo ditulis setelah masuknya agama islam ke Minangkabau. Hal ini dibuktikan pada naskah tambo yang hampir seluruhnya ber-aksara Arab Melayu. Sebelumnya cerita yang dituliskan pada naskah-naskah tambo ini diturunkan secara turun-temurun dari para pemangku adat, atau lebih dikenal dengan istilah warih nan bajawek. Adapun penulis tambo yang menggunakan bahasa Indonesia dan telah dibukukan menambah keragaman kisah tambo, karena umumnya mereka mencoba memberikan tafsiran menurut ilmu dan orientasinya masing-masing. Dalam menyampaikan kisah tambo tidak ada sistematika tertentu. Cara mengisahkannya disesuaikan dengan keperluan dan keadaan. Sepenggal kisah tambo dapat saja dikisahkan dengan merentang panjang. Ada kalanya dikaitkan dengan adat monografi suatu nagari, tempat tambo itu sedang disampaikan. Kadang-kadang dikaitkan dengan sejarah bangsa yang mereka kenal secara selintas, seperti sejarah Melayu, sejarah Majapahit, bahkan juga sejarah Islam. Bukanlah sesuatu yang ganjil jika tabo dipandang sebagai karya sastra yang menjadi milik umum yang isi kisahnya dapat berubah-ubah menurut kesenangan pendengarnya (Navis, 1984: 45-46). Menurut Edwar Jamaris (1991: 1) Tambo Minangkabau ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian besar ditulis dengan huruf ArabMelayu, dan sebagian kecil ditulis dengan huruf Latin. Naskah Tambo Minangkabau yang berhasil diketemukan sebanyak 47 naskah, masing-masing tersimpan di Museum Nasional Jakarta sebanyak 10 naskah, di perpustakaan Universitas Leiden sebanyak 31 naskah, di perpustakaan SOAS Universitas London 1 naskah, dan di perpustakaan RAS London 2 naskah. Masyarakat mengenal Tambo Minangkabau melalui saduran dan tinjauan yang bersifat sampingan terhadap isi Tambo tersebut. Ada delapan saduran cerita Tambo Minangkabau, yaitu (1) Curai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau (Diradjo 1979 dan 1984), (2) Mustika Adat Alam Minangkabau (Diradjo 1953 dan 1979), (3) Tambo Minangkabau (Batuah 1956), (4) Tambo Alam Minangkabau (Sango 1959), (5) Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau (Basa 1966), (6) Tambo Paggaruyung (Basri 1966), (7) Tambo Alam (Basri 1970), dan (8) Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah (Mahmoed 1978). Sementara itu, Tambo Alam Minangkabau merupakan objek material dalam penelitian ini, karena menjadi hal yang akan diselidiki dan sebagai hasil rujukan. Tambo yang menjadi penelitian adalah Tambo Alam Minangkabau karya Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, yang di cetak pada tahun 2009. Tambo ini sudah dibukukan, tetapi bukan berarti lahirnya Tambo Alam Minangkabau tahun 2009 tidak bisa dibandingkan dengan novel Maharaja Diraja Adityawarman yang diterbitkan pada tahun 2010. Berdasarkan latar waktu dari Tambo Alam Minangkabau dan novel Maharaja Diraja Adityawarman, cerita Tambo Alam Minangkabau lebih dulu hadir di tengah masyarakat dan tentunya Tambo Alam Minangkabau merupakan sejarah pedoman bagi masyarakat Minangkabau. Secara umum, fungsi utama cerita Tambo Alam Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau. Hal ini bertujuan untuk mempersatukan masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan. Mereka merasa bersatu karena seketurunan, seadat dan senegeri. Sedangkan novel Maharaja Diraja Adityawarman, dikarang oleh Ridjaluddin Shar dan diterbitkan pada tahun 2010. Novel ini berada di tengah masyarakat Minangkabau setelah hadirnya Tambo Alam Minangkabau. Bahkan pada judul cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman, bertuliskan bahwa novel ini juga mengungkap tentang Tambo Alam Minangkabau. Oleh karena itu, novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau dapat dibandingkan melalui persamaan dan perbedaan untuk melihat hubungan hipogramatik antara kedua objek. Hadirnya cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman di
tengah masyarakat Minangkabau, disebabkan karena adanya keterpengaruhan dari cerita Tambo Alam Minangkabau. Dapat dikatakan bahwa Tambo Alam Minangkabau merupakan cerita yang hadir lebih dahulu sebagai hipogram, sedangkan novel Maharaja Diraja Adityawarman sebagai transformasi. Adapun persamaan dan perbedaan dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau dapat dilihat dari unsur intrinsik kedua objek. Persamaan tersebut terlihat pada tokoh dan penokohan yakni tokoh: Adityawarman, Dara Jingga, Dara Petak, Gajah Mada, Raden Wijaya, Datuk Parapatih Nan Sabatang dan Datuk Ketamanggungan. Kedua latar, dalam kedua karya sastra ini ada beberapa latar yang sama yakni Minangkabau, Pariangan, Majapahit. Ketiga alur, baik dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau ada beberapa alur yang sama. Perbedaan dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau adalah tokoh dan penokohan, berbedanya nama ayah Adityawarman antara novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau. Dalam Tambo Alam Minangkabau, Adityawarman memiliki satu orang istri yang bernama Puti Bungsu anak dari pamannya. Sedangkan dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, Adityawarman memiliki dua orang istri yaitu Puti Reno Jalito dan Putri Palembang. Tokoh dan penokohan yang terdapat dalam Tambo Alam Minangkabau hanya 14 tokoh, sedangkan dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman memiliki lebih dari 29 tokoh. Kemudian pada latar tempat Tambo Alam Minangkabau hanya memiliki 6 latar tempat dan pada novel Maharaja Diraja Adityawarman memiliki 18 latar tempat. Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau juga memiliki latar waktu, namun latar waktu pada kedua karya sastra ini berbeda. Rentang waktu yang terjadi dalam Tambo Alam Minangkabau yaitu tahun 1174-1409, sedangkan novel Maharaja Diraja Adityawarman dimulai tahun 1275-1409. Dalam alur Tambo Alam Minangkabau memiliki 17 bagian cerita, sedangkan novel Maharaja Diraja Adityawarman memiliki 14 bab/episode, ditambah prolog dan epilog. Persamaan dan perbedaaan di atas dapat dijelaskan bahwa cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman juga berasal dari cerita Tambo Alam Minangkabau yang banyak mengalami penghilangan, perubahan serta penambahan dari beberapa tokoh, alur dan latar. Bahkan dalam cerita novel dan tambo, tokoh yang memiliki kesamaan hanya tokoh Adityawarman, Dara Jingga, Dara Petak, Datuk Parapatih Nan Sabatang, Datuk Katamanggungan, Raden Wijaya dan Gajah Mada. Dengan penjelasan persamaan dan perbedaan antara novel Maharaja Diraja Adityawaraman dan Tambo Alam Minangkabau dapat disimpulkan bahwa cerita Tambo Alam Minangkabau sebagai induk atau acuan (hipogram) yang akan meneteskan karya baru, sedangkan novel Maharaja Diraja Adityawarman sebagai karya baru (transformasi). Hadirnya cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman di tengah masyarakat Minangkabau, disebabkan karena adanya keterpengaruhan dari cerita Tambo Alam Minangkabau. Dapat dikatakan bahwa Tambo Alam Minangkabau merupakan cerita yang hadir lebih dahulu dibanding cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman. Penelitian ini juga tidak mengacu pada penelitan filologi yang mencari naskah asli untuk membuktikan karya mana yang lebih dahulu hadir. Penulis hanya menjelaskan bahwa kedua karya ini dikaji melalui unsur intrinsik dahn kajian hipogramatik, dengan tujuan sebagai pembuktian bahwa memang cerita Tambo Alam Minangkabau lah yang lebih dahulu hadir dibandingkan novel Maharaja Diraja Adityawarman di tengah masyarakat. Walaupun adanya penambahan pada tokoh, latar, alur yang terdapat pada novel Maharaja Diraja Adityawarman. Persamaan dan perbedaan antara Tambo Alam Minangkabau dan novel Maharaja Diraja Adityawaraman dapat diambil kesimpulan bahwa Tambo Alam Minangkabau sebagai hipogram, sedangkan novel Maharaja Diraja Adityawarman sebagai karya baru dengan alasan sebagai berikut.
Ada modifikasi pada tataran linguistik dan manipulasi urutan kata dan kalimat. Pengarang hanya mengganti atau menambah nama tokoh, dan menambah alur yang terdapat dalam novel. Akibatnya novel Maharaja Diraja Adityawarman memilki cerita lebih panjang dari Tambo Alam Minangkabau dengan beberapa bab/episode. Karena Tambo Alam Minangkabau sebagai acuan dan novel Maharaja Diraja Adityawarman sebagai karya baru atau transformasi, dalam cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman terjadi penghilangan, penggantian, dan penambahan nama tokoh, sifat tokoh, latar, waktu kejadian, dan alur. Selain itu, pemunculan tokoh seperti Mauliwarmadewa, Parameswara, Putri Palembang, Puti Reno Jalito, Kala Gemet adalah sesuatu yang baru. Sepertinya Ridjaluddin Shar tidak hanya dipengaruhi oleh tambo secara ide cerita, tetapi juga dari sumber lainnya. Sebagai hasil akhir penelitian ini, simpulan bahwa novel Tambo Alam Minangkabau sebagai hipogram dan novel Maharaja diraja Adityawarman karya Ridjaluddin Shar sebagai transformasi atau yang menghasilkan sebuah karya baru diperoleh melalui hal-hal sebagai berikut. Persamaan dan perbedaan dari kedua karya, dapat dilihat pada unsur intrinsiknya. Selain itu, kelahiran Tambo Alam Minangkabau yang dikarang oleh Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo yang dicetak pada tahun 2009 merupakan hipogram. Sedangkan novel Maharaja Diraja Adityawarman yang dikarang oleh Ridjaluddin Shar, tahun 2010 sebagai transformasi. Tambo Alam Minangkabau merupakan karya sastra klasik, bukan berarti lahirnya karya Tambo Alam Minangkabau ini yang telah di bukukan tidak dapat di bandingkan dengan novel Maharaja Diraja Adityawarman. Dalam cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman menunjukkan bahwa Ridjaluddin Shar memberikan respon yang berbeda lewat karya barunya yaitu novel Maharaja Diraja Adityawarman. Sedangkan Tambo Alam Minangkabau dijadikan sebagai induk (Hipogram) dalam memberikan acuan terhadap novel Maharaja Diraja Adityawarman (transformasi). Tujuan dari modifikasi ini pada novel Maharaja Diraja Adityawarman adalah sebagai hiburan dan gambaran bagi masyarakat Minangkabau, dengan cerita yang mengangkat tentang sosok Adityawarman di Minangkabau. Selanjutnya dalam kata pengantar judul cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman ini juga mengungkap tentang Tambo Alam Minangkabau. Selain itu, cerita novel Maharaja Diraja Adityawarman juga memiliki unsur sejarah. Sehingga dapat terlihat bahwa Tambo Alam Minangkabau sebagai karya yang lebih dahulu hadir (hipogram) dan novel Maharaja Diraja Adityawarman sebagai karya baru (transformasi). Kesimpulan Novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau setelah dianalisis dengan menggunakan kajian hipogram dapat disimpulkan sebagai berikut. Setelah dilakukan analisis unsur intrinsik pada novel Maharaja Diraja Adityawarman dan Tambo Alam Minangkabau terlihat persamaan dan perbedaan dalam tokoh dan penokohan, latar, alur dan tema. Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman memiliki lebih dari 29 tokoh, lain halnya dengan Tambo Alam Minangkabau hanya memiliki 14 tokoh. Walaupun begitu, ada 7 orang tokoh dalam kedua karya sastra tersebut yang sama yaitu Adityawarman, Dara Jingga, Dara Petak, Raden Wijaya, Datuk Parapatih Nan Sabatang, Datuk Ketamanggungan, Ananggawarman dan Gajah Mada. Pada penokohan dapat dilihat perbedaannya yaitu dalam Tambo Alam Minangkabau, Adityawarman memiliki satu orang istri yang bernama Puti Bungsu. Dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman, Adityawarman memiliki dua orang istri yaitu Puti Reno Jalito dan Putri Palembang. Kemudian perbedaan nama ayah dalam Tambo Alam Minangkabau Mahisa Anabrang, sedangkan dalam novel Maharaja Diraja Adityawarman Adwaya Brahmadewa. Selanjutnya pada kedua karya memilki alur yang sama yaitu alur maju. Kemudian latar dalam novel Maharaja Diraja Adityawarmandan Tambo Alam Minangkabau memiliki kesamaan yaitu
Minangkabau, Pariangan Padang Panjang, dan Majapahit. Selain itu, pada kedua karya sastra Rentang waktu yang terjadi dalam Tambo Alam Minangkabau yaitu tahun 1174-1409, sedangkan novel Maharaja Diraja Adityawarman dimulai tahun 1275-1409. Dalam kata pengantar judul cerita dikatakan bahwa novel Maharaja Diraja Adityawarman ini mengungkap tentang Tambo Alam Minangkabau. Hal tersebut terlihat dari persamaan, perbedaan, dan perubahan yang terjadi pada unsur intrinsik kedua karya sastra.Novel Maharaja Diraja Adityawarman merupakan karya baru yang dibandingkan dengan Tambo Alam Minangkabau, sehingga memperlihatkan bahwa Tambo Alam Minangkabau karya Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo sebagai hipogram dan novel Maharaja Diraja Adityawarman (transformasi) DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Arisnaini. 1990. “Unsur-Unsur Fiksi dalam Tambo Sebah (Resepsi Sastra)”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. Ary Sastra. 1997. “Novel Tambo Gus Tf Sakai Demitefikasi terhadap Tambo Minangkabau (Tinjauan Resepsi Sastra)”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. Atmazaki. 2005. Ilmu Sastra: Teori dan Penerapan. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia. Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Diradjo, Ibrahim Sanggoeno. 2009. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Djamaris, Edwar. 1991. Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka. Endaswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. Esten, Mursal. 1988. Sastra Jalur Kedua. Padang: Angkasa Jaya. Firdaus. 2004. “Tambo Alam Minangkabau Batu Payung (Transliterasi dan Analisis Teks)”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. Jamal, Mid. 1985. Manyigi Tambo Alam Minangkabau. Padang Panjang: CV “Tropic Bukittinggi. Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia. Moleong, Lexi. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta. PT Grafiti Pers. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rahmat Djoko. 2010. Beberapa Teori Sastra, MetodeKritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sangidu. 2005. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Shar, Ridjaluddin. 2010. Maharaja Diraja Adityawarman”Matahari Di Khatulistiwa”. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Nusa Indah. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta. Pustaka Jaya.