NONALCOHOLIC STEATOHEPATITIS (NASH) Taufik Sungkar, Imelda Rey, Ilhamd, Masrul Lubis, Leonardo Dairi, Juwita Sembiring, Mabel Sihombing, Lukman Hakim Zain, Guntur Ginting Divisi Gastroenterohepatologi, Departemen Ilmu penyakit Dalam RSUPHAM – FK USU
Pendahuluan Nonalcoholic steatohepatitis (NASH) adalah suatu penyakit hati dengan karakteristik adanya steatosis hepar yang disertai inflamasi dan injuri hepatosit (adanya gambaran pembengkakan sel hati) dengan atau tanpa adanya fibrosis.1,2 NASH merupakan suatu kondisi lanjutan dari fatty liver yang terjadi tanpa adanya riwayat penyalahgunaan konsumsi alkohol. 1 Istilah NASH pertama sekali disampaikan oleh Ludwig dkk pada tahun 1980, untuk menggambarkan temuan hasil biopsi pada pasien dengan steatohepatitis tanpa adanya riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah yang signifikan.3 NASH bersama-sama dengan NAFL (nonalcoholic fatty liver) / Simple steatosis (fatty liver) serta sirosis terkait NASH merupakan bagian dari sebuah spektrum klinis yang disebut dengan NAFLD (nonalcoholic fatty liver disesase).2 Beberapa definisi penting yang perlu diketahui untuk memahami batasan-batasan dari setiap istilah yakni : Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) Suatu kondisi yang mencakup seluruh spektrum klinis fatty liver disease mulai dari fatty liver/simple steatosis hingga steatohepatitis dan sirosis tanpa adanya riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah yang signifikan. Nonalcoholic fatty liver (NAFL) / Simple steatosis / fatty liver Suatu kondisi yang ditandai dengan adanya steatosis tanpa disertai adanya injuri pada sel-sel hati (dengan gambaran pembengkakan sel hati), atau tanpa adanya fibrosis. Resiko progresivitas ke arah sirosis dan kegagalan hati minimal. Sirosis terkait NASH Sirosis hati yang terjadi dengan adanya bukti histopatologi steatosis atau steatohepatitis baik sekarang maupun riwayat sebelumnya. Jika sirosis terjadi tanpa adanya bukt yang jelas maka disebut sebagai sirosis kriptogenik. 2 Istilah “signifikan” dalam penggunaan alkohol yang berkaitan dengan NAFLD maupun NASH masih belum begitu jelas dan konsisten, namun dalam guideline yang disampaikan AASLD (2012) disebutkan bahwa beberapa konsensus menggunakan batasan > 21 g alkohol per minggu pada laki-laki dan > 14 g alkohol per minggu pada wanita dalam kurun waktu 2 tahun sebelum diagnosa ditegakkan secara histologi. Jika dalam anamnese, 1
informasi yang didapatkan mengenai konsumsi alkohol tidak konsisten dengan kecurigaan secara klinis, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan keluarga maupun orang terdekat pasien.2 Prevalensi NASH semakin meningkat di negara-negara barat. Tantangan bagi para ahli hepatologi berkaitan dengan NASH adalah sulitnya diagnosa dibuat tanpa pemeriksaan nonivasif, serta adanya kemungkinan berkembang ke arah fibrosis dan bahkan sirosis. Penyebab pasti NASH belum sepenuhnya diketahui namun, dalam patogenesisnya, NASH sering dikaitkan dengan diabetes melitus tipe 2 dan sindrom metabolik serta beberapa faktor genetik dan lingkungan.1
Prevalensi NAFLD (Nonalcoholic liver diasease) mungkin merupakan kelainan hati yang paling sering. Wanless dan Lentz (1990) melaporkan bahwa terdapat 70% kejadian steatosis pada pasien obesitas dan 35% pada pasien yang kurus. Sedangkan kejadian NASH ditemukan sebanyak 18,5% pada pasien obesitas dan 2,7% pada pasien kurus. Pada pasien diabetes melitus tipe 2, estimasi prevalensi nonalcoholic fatty liver adalah sebesar 75%. Dari seluruh pasien obesitas, dilaporkan sebanyak 60% mengalami simple steatosis, 20-25% mengalami NASH dan 2-3% jatuh pada sirosis. 1,3 Pada negara-negara industri prevalensi NASH sebesar 20-40% dan hal ini merupakan penyebab tersering dari penyakit hati kronik. Prevalensi NASH sendiri pada tempat yang sama adalah sebesar 10-20% dari pasien-pasien NAFLD. Sedangkan dari populasi umum di Smerika Serikat, prevalensi NASH adalah 2-6% .4 Pada seluruh pasien NAFLD (nonalcoholic fatty liver disease) gambaran NASH ditemukan sebanyak 10-20%.4 Menurut Ratziu (2002), Dari seluruh sirosis kriptogenik, diperkirakan lebih dari 50% merupakan NASH. Di Amerika, NAFLD lebih banyak ditemukan pada pria ketimbang wanita dengan perbandingan 3-5 kali lipat. Prevalensi NAFLD juga ditemukan sebanyak 28% dari seluruh populasi sedangkan warga negara yang berasal dari asia sebanyak 20-30%.4 NASH
Patogenesis Gambaran Umum Menurut Day et al (2002), Patogenesis NASH terdiri dari 2 tahap yakni : (1) terjadinya steatosis pada hati yang normal (first hit). Hal ini terjadi terutama sebagai akibat dari resistensi insulin di perifer sehingga pengangkutan asam-asam lemak menuju hepar dari 2
jaringan adiposa meningkat. Meskipun beberapa mekanisme dapat diaktifkan untuk memproteksi hepar dari keadaan ini, namun dalam situasi ini hati akan rentan terhadap gangguan-gangguan lain seperti etanol atau lipopolisakarida bakteri. (2) proses kedua yakni steatohepatitis, dimana terjadi inflamasi yang diperantarai oleh stres oksidatif dan sitokin (utamanya oleh TNF-α/tumor necrosis factor alpha). Hal ini menyebabkan eksaserbasi resistensi insulin, stress oksidatif lebih lanjut serta disfungsi organ yang terjadi pada sel-sel hati sehingga menyebabkan terjadinya proses inflamasi, degenerasi hepatoseluler dan fibrosis (second hit). (gambar 1).1
Resistensi Insulin dan Steatosis Resistensi insulin sangat sering dijumpai pada NAFLD dan NASH. Namun dalam hal ini, resistensi insulin dan hiperinsulinemia disebut sebagai abnormalitas yang sering (primer) dijumpai pada NAFLD dan bukan merupakan penyebab utama fatty liver. Resistensi insulin terjadi sebagai akibat menurunnya regulasi insulin receptor substrate (IRS-1) yang disebabkan oleh kelebihan asam lemak bebas dimana asam lemak dapat mengganggu fosforilasi tirosin pada IRS-1 sehingga kemudian mengganggu kerja insulin. Proses-proses lainnya yang menyebabkan deaktivasi insulin adalah meningkatnya proses defosforilasi tirosin, serta fosforilasi residu serin. IRS-1 sendiri memainkan peran dalam translokasi protein transporter glukosa GLUT4 menuju membran sel. Dalam perannya pada resistensi insulin, asam lemak bebas kemungkinan menyebabkan peningkatan regulasi oleh protein kinase C theta (PKC-θ) yang bertindak serine kinase sehingga menyebabkan inaktivasi IRS1.3 Selain itu, sensitivitas insulin juga dipengaruhi oleh beberapa mediator berupa peptida-peptida. Jaringan adiposa khusunya jaringan lemak mesenterik yang memiliki aliran darah langsung ke hati merupakan sumber yang kaya akan sitokin dan hormon-hormon peptida yang dapat menurunkan aktifitas metabolik seperti TNF- α, angiotensinogen, plasminogen aktifator inhibitor-1, leptin, serta komponen-komponen dari komplemen. TNFα dalam beberapa penelitian dapat menurunkan regulasi IRS-1 melalui fosforilasi serine, namun bagaimana prosesnya masih belum diketahui secara jelas. Diperkirakan hal ini terkait pula dengan c-junk NH2 -terminal kinase (JNK), beberapa isoform dari PKC, serta Iκ Kinase β (IκKβ) (gambar 2). Belakangan ini, leptin juga banyak diteliti dan diakitkan dengan proses fibrosis pada NASH. Selain itu, adiponectin yang memiliki struktur sitokin terlihat meningkatkan sensitivitas insulin pada hepatosit.3
3
Gambar 1. Gambaran singkat proses terjadinya NAFLD dan NASH. Gambar diatas menunjukkan resistensi insulin pada posisi teratas sebagai kelainan metabolisme yang mengawali proses-proses selanjutnya pada kebanyakan pasien. Kelainan-kelainan lain baik bersamaan maupun tidak dengan resistensi insulin juga berperan dalam akumulasi lemak di hepar. Kelebihan lemak di hati pada beberapa individu merupakan predisposisi terjadinya injuri pada hepatoseluler. Hal ini dapat disebabkan oleh toksisitas langsung oleh asam lemak bebas, stres oksidatif, lipid peroksida atau mekanisme lain. Selain itu, injuri pada hepatoselular dapat pula terjadi akibat proses inflamasi yang disertai dengan fibrosis yang progresif, proses ini dipegaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Model hipotesis ini disebut dengan 2-hit hypothesis, dimana “serangan” pertama merupakan akumulasi lemak sedangkan serangan kedua merupakan injuri hepatoseluler pada fatty liver.3
Gambar 2. Mekanisme terjadinya Steatosis.1
Stres Oksidatif dan Injuri Liver Stres oksidatif sering kali ditekankan sebagai mekanisme yang penting dalam injuri hepatoseluler pada NASH. Hal ini didasari pada beberapa penelitian yang dilakukan pada hewan dan manusia. Meskipun penelitian-penelitian tersebut tidak dapat menyebutkan bahwa hal ini menjadi penyebab utama, namun sebuah studi menemukan adanya manfaat pemberian 4
vitamin E pada NASH. Beberapa kemungkinan sumber dari stres oksidan yang berhasil diidentifikasi antara lain : sitokrom P450, peroxisomal β-oksidasi, kerusakan elektron pada mitokondria, serta pengaktifan sel-sel inflamasi. Produk-produk peroksida lipid reaktif merupakan stres oksidan yang dapat mempotensiasi stres oksidatif lebih lanjut. 3
Asam Lemak dan Injuri Liver Peningkatan kadar asam lemak bebas selain sebagai mediator terjadinya resistensi insulin ternyata juga bersifat toksik secara langsung pada hepatosit (lipotoksisitas). Mekanisme toksisitas tersebut antara lain : 1.
Disrupsi membran (efek detergen) pada konsentrasi yang sangat tinggi
2.
Menghambat Na +/K+ ATPase
3.
Menghambat glikolisis
4.
Melepaskan ikatan β-oksidasi mitokondria
5.
Gangguan mitokondria secara keseluruhan (asam lemak dikarboksilik)
6.
Aktivasi protein kinase C
7.
Gangguan regulasi homeostasis ion kalsium (Ca ++) intraseluler
8.
Aktivasi PPARα (peroxisome proliferator-acticated receptor alpha) secara terusmenerus
9.
Aktivasi reseptor nuklear secara tidak teratur [misalnya, THR (thyroid hormone receptor, SSHR (sex steroid hormone receptor), Fos/Jun]
10. Genotoksisitas yang disebabkan oleh proses peroksidase lipid yang disebabkan oleh aldehid reaktif 11. Pembentukan metabolit toksik yakni asam lemak etil ester. 12. Aktivasi MAP (mitogen-activated protein) Oleh karena itu, peningkatan aliran asam lemak bebas di liver pada lipolisis di perifer yang berlebihan memiliki peran langsung dalam toksisitas hepar.
3
Pembuangan Lemak Hati dan VLDL (very low density lipoprotein) Jalur utama degradasi asam lemak pada hati adalah melalui sekresi trigliserida sebagai VLDL. VLDL sendiri dibentuk melalui proses yang kompleks dengan bantuan protein ApoB100, Apolipoprotein E (ApoE). Dalam proses pembentukan ApoB100 terdapat bagian pembentukan ikatan disulfida dengan enzim protein disulfide isomerase dan sebuah protein 5
yang disebut microsomal triglyserida transfer protein (MTTP). Defek berat pada protein MTTP dapat menyebabkan suatu kondisi yang disebut abetalipoproteinemia dan ini berkaitan erat dengan terjadinya NASH dan sirosis (gambar 2). Sedangkan defek yang lebih ringan dapat meningkatkan resiko terjadinya fatty liver pada pasien diabetes. Selain itu, dalam proses pembentukannya, VLDL mengalami proses degradasi dalam retikulum endoplasma yang difasilitasi oleh PI-3 (phosphatidylinositol) dimana jalur ini ternyata bersamaan dengan jalur signalisasi insulin. Dalam beberapa percobaan, didapati bahwa pemberian insulin dapat meningkatkan proses degradasi VLDL sel hati sehingga meningkatkan akumulasi lemak intra selular.oleh karena itu, hal ini mengaitkan antara hiperinsulinemia dan NAFLD dimana terjadi peningkatan degradasi VLDL intraseluler sehingga mengganggu sekresi lemak dari hati.3
Lipodistrofi dan Peran dari Lemak Periferal Salah satu mekanisme untuk mengatur sirkulasi lipid adalah dengan pengambilan dan penyimpanan lemak di perifer. Kelainan pada proses deposisi lemak di perifer, dalam hal ini ketidakmampuan parsial maupun total untuk membentuk jaringan adiposa disebut juga sebagai lipoditrofi. Peristiwa ini berkaitan dengan steatosis hati, NASH dan sirosis dimana jumlah perlemakan hati setara dengan jumlah jaringan adiposa yang hilang. Mutasi pada pengkodean gen PPAR-γ, PPARG, kapsul protein lamin A (LMNA) berhubungan dengan terjadinya lipodistrofi parsial yang diduga berkaitan dengan NASH. Selain itu, ketiadaan lemak perifer pada lipodistrofi menyebabkan gangguan pada signalisasi leptin karena adanya defisiensi leptin yang bersumber dari adiposit. Sebuah ujicoba pemberian leptin pada pasien hipoleptinemia dengan lipodistrofi parsial dapat mengurangi volume liver
dan kadar
trigliserida di dalamnya.3
Perubahan Energi untuk Homeostasis dan Disfungsi Mitokondrial Adenosine triphosphate (ATP) berperan sangat penting dalam mempertahankan integritas sel. Berkurangnya jumlah ATP dapat menjadi predisposisi injuri hepatoseluler. Studi yang dilakukan oleh Dianzani tahun 1950an menunjukkan bahwa jumlah ATP berkurang pada kondisi fatty liver. Kemungkinan injuri mitokondrial merupakan akibat yang ditimbulkan oleh berkurangnya cadangan ATP hepatoseluler pada NASH. Injuri mitokondrial dapat menyebabkan mutasi dan kerusakan DNA mintondrial. Meskipun susunan gen pada mitokondria hanya berfungsi untuk pembentukan 17 jenis protein mitokondria esensial, namun fungsi dan integritas genom protein tersebut sangat penting bagi viabilitas sel. 3 6
Sitokin TNF-α juga berperan dalam “serangan kedua” pada patogenesis NASH. Peningkatan kadarnya oleh sintesa hepatosit dan sel Kupffer dapat disebabkan oleh (1) Nuclear factor κβ (NF-κβ) yang diperantarai oleh asam lemak bebas yang diinduksi oleh stress oksidatif. Atau (2) akibat endotoksemia yang dihasilkan oleh pertumbuhan bakteri intestinal yang berlebihan. Sebagai akibatnya adalah : (1) Menginduksi terjadinya resistensi insulin sehingga meningkatkan kadar asam lemak bebas lebih lanjut (2) mengganggu respirasi mitokondria sehingga memicu timbulnya radikal bebas. (3) memicu apoptosis dan nekrosis hepatosit. 1,3
Predisposisi Genetis NASH diperkirakan dipengaruhi oleh komponen faktor genetik yang diturunkan, komponen-komponen tersebut melibatkan : (1) determinasi sensitivitas insulin, (2) penyimpanan, oksidasi serta pelepasan lemak hati ke peredaran darah. (3) obesitas dan distribusi obesitas tersebut. (4) regulasi kadar besi di hati serta munculnya stress oksidatif dan (5) pembentukan sitokin.1
Kelebihan Besi (Iron Overload) Banyak penelitian yang telah menunjukkan adanya kaitan patogenesis NASH dan kelebihan besi di hati. Hal ini terjadi melalui mutasi gen hemokromasitosis (HFE). Besi berfungsi mengkatalisasi hidrogen peroksida menjadi kelompok molekul hidroksil melalui reaksi “Fenton”. Peran kelebihan besi pada NASH kemungkinan disebabkan oleh pembentukan spesies radikal oksigen bebas (ROS) pada proses reduksi Fe 3+ menjadi Fe2+.1,5
Adiponektin dan Resistin Adiponektin merupakan hormon yang disekresi secara khusus oleh jaringan adiposa yang memiliki efek yang menguntungkan dalam metabolisme lemak yakni meningkatkan bersihan lipid dari plasma dan memfasilitasi beta-oksidasi asam lemak di otot. Adiponektin juga mempunyai efek antiinflamasi yang menekan pembentukan TNF-α di hati. Berkurangnya kadar adiponektin di hati memiliki kaitan dengan beratnya gambaran histologi hati pada NASH. Sebaliknya, resistin merupakan sebuah protein yang juga dibentuk dari jaringan adiposa juatru berperan dalam terjadinya resistensi insulin. Paparan yang berlebihan terhadap resistin dapat menyebabkan terjadinya intoleransi glukosa, hiperinsulinemia, serta gangguan terhadap penekanan kadar asam lemak bebas.5 7
Mikroba Intestinal Terdapat
beberapa
penelitian yang
menunjukkan adanya
hubungan antara
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dengan kerusakan hati pada NASH. Studi yang dilakukan pada pasien alcoholic fatty liver disease menunjukkan adanya manfaat yang didapat dengan menghambat pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam saluran intestinal. Bakteri intestinal dapat meningkatkan stress oksidatif pada hepar melalui 2 mekanisme yakni (1) meningkatkan produksi etanol endogen dan (2) pelepasan lipopolisakarida (LPS). Etanol dan LPS dapat menstimulasi produksi sitokin inflamatori melalui mekanisme yang dimediasi oleh IKκβ dengan sel Kupffer sebagai sumber utama TNF-α.
Gambar 3. Mekanisme terjadinya steatohepatitis
Gambaran Klinis Riwayat Penderita NAFLD/NASH
biasanya
disertai
dengan
riwayat
obesitas,
diabetes
atau
hiperlipidemia, namun tidak selalu. Angka kejadian pasien NASH semakin tinggi pada pasien-pasien dengan indeks massa tubuh normal, meskipun pada pasien-pasien ini mungkin saja terjadi adiposis sentral dan resistensi insulin tersembunyi. Temuan klinis lainnya termasuk gambaran-gambaran yang dijumpai sindrom metabolik misalnya hipertensi, hiperurisemia, serta sindrom polikistik ovarium (hirsuitisme, oligomenorea, amenorea). Kriteria diagnostik sindrom metabolik berdasarkan adult treatment panel III (ATP III) dapat dilihat pada tabel 1. Penting sekali untuk menggali riwayat obesitas pada pasien NAFLD dan NASH sebab bisa saja saat pasien datang, telah terjadi perubahan pada berat badan akibat penuaan maupun sirosis sehingga riwayat obesitas di masa dahulu tertutupi. Kondisi-kondisi lain yang dapat ditemukan antara lain, sleep apnea pada obesitas, lipodistrofi, penyakit peroksisomal, mitokondrialopati, penyakit Weber-Christian, sindrom Mauriac, lipomatosis 8
Made-Lung, penyakit Wilson, paparan terhadap zat pelarut industri, paparan terhadap obatobatan (amiodaron, tamoxifen, analog nukleosida, serta methotrexate), penyakit celiac serta abetalipoproteinemia. Kondisi-kondisi diatas banyak memiliki kesamaan dalam hal terjadinya kelainan metabolisme lemak dan atau injuri/disfungsi mitokondrial. 3
Tabel 1. Kriteria diagnostik sindrom metabolik 6
Gejala dan Tanda Biasanya pasien dengan NASH datang dengan peningkatan kadar enzim hati di atas normal pada saat pemeriksaan kesehatan rutin atau saat pemantuan pemberian obat antihiperlipidemia. Kebanyakan pasien dengan NAFLD tidak mengeluhkan gejala apapun, namun 50 persen pasien NAFL dan NASH dapat mengeluhkan gejala-gejala yang menetap seperti fatiq, malaise, rasa tidak nyaman pada perut bagian kanan atas, dismotilitas saluran cerna, konstipasi, dengan tanda-tanda pada pemeriksaan fisik seperti hepatomegali, abnormalitas pada pemeriksaan antropometri, akantosis nigrikans (khususnya pada anakanak), lipomatosis, lipoatrofi/lipodistrofi, panikulitis, defisit neurologis, hingga tanda-tanda sirosis seperti eritema palmar, spider angiomata, splenomegali, ascites, edema, varises, ginekomastia serta gangguan menstruasi(tabel 2).2,6
Tabel 2. Gejala dan Tanda yang Sering Dijumpai pada NAFLD 8
9
Diagnosa Banding Diagnosa banding NAFLD atau NASH cukup banyak, antara lain : Hepatitis alkoholik Defisiensi Alfa-1 Antitripsin Hepatitis autoimun Hepatitis viral Hepatitis imbas obat Hemokromasitosis Celiac Sprue Sirosis hepatis Hipotiroidisme Keracunan vitamin A Sirosis bilier Primary sclerosing cholangitis
10
6
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Laboratorium Pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada penderita NASH antara lain
Kenaikan enzim hati (SGOT dan SGPT). Peningkatan ini jarang mencapai 10 kali lipat dari batas atas normal dan lebih sering < 1,5 kali batas atas normal. Biasanya kadar SGPT lebih tinggi dibanding SGOT. Peningkatan kadar SGOT yang lebih besar dari SGPT memberikan kecurigaan telah terjadi fibrosis atau bahkan sirosis (namun hal ini dapat berubah sejalan dengan pemberian obat antidiabetes).
Peningkatan nilai gamma glumatiltransferase (γ GT) serta alkalin fosfatase (ALP).
Hiperglikemia dapat terjadi berkaitan dengan diabetes pada kurang lebih 1/3 pasien.
Hiperlipidemia (khususnya trigliserida) dapat terjadi pada 20-25% pasien NASH.
Pemeriksaan marker viral khususnya hepatitis C harus dilakukan untuk mengeksklusi infeksi viral.6
Peningkatan kadar IgA serum meningkat pada 25% pasien NASH. Hal ini sejalan dengan dapat ditemukannya deposisi IgA pada sediaan histopatologi jaringan hati pasien dengan NASH
Dapat dijumpai peningkatan marker autoimun seperti antibodi antinuklear (ANA) dan pada sepertiga pasien. Jika positif, maka hal ini memiliki kaitan dengan tingkat fibrosis yang lebih berat.
Abnormalitas indeks besi serum (bukan dalam rangka hemokromasitosis terkait genetik). Hal ini dilakukan dengan pemeriksaan kadar besi dan ferritin serum, dan TIBC (total iron-binding capacity). Jika nilai feritin signifikan meningkat, maka
direkomendasikan
untuk
dilakukan
pemeriksaan
terhadap
gen
hemokromasitosis.2,6
Skor indeks besi dapat diperiksakan dari spesimen biopsi hati untuk mengevaluasi phlebotomi.
Peningkatan MCV (mean cell volume) atau disebut juga makrositosis dapat terjadi pada fatty liver yang disebabkan oleh alkohol (alcoholic liver disease/ALD). Pemeriksaan ini sangat spesifik (85-91%) dan mudah dilihat untuk membedakan NAFLD dan ALD. Namun sayangnya pemeriksaan ini kurang begitu sensitif (27-52%) 11
Apoptosis sel hati merupakan gambaran utama pada NASH, belakangan ini, biomarker terhadap apoptosis sel hati banyak diteliti sebagai marker yang potensial untuk NASH. Dua penelitian yang dilakukan oleh Wieckowska et all dan Yilmaz et al. Menemukan adanya hubungan antara sitokeratin-18 (CK-18) terhadap apoptosis yang terjadi pada NASH dengan sensitifitas dan spesifisitas 60-69% dan 87-97%.7
Pemeriksaan Pencitraan Pemeriksaan radiologi konvensional yang digunakan untuk mendiagosa fatty liver antara lain : ultrasonografi (USG), tomografi komputer (CT-Scan) serta pencitraan dengan resonansi magnetik (MRI). USG dapat mengidentifikasi steatosis hati dengan akurasi yang baik. kriteria penilaian USG pada steatosis antara lain (1) echokontras hepatorenal, (2) tingkat kecerarahan hati, (3) deep attenuation, serta (4) kejelasan vaskularisasi. Sensitifitas USG dalam sebuah penelitian pada 235 pasien di Italia adalah sebesar 64% dengan spesifisitas 97%, namun ketika penelitian lain dilakukan pada pasien dengan tingkat steatosis > 30% ditemukan sensitifitas USG sebesar 89,7% dengan spesifisitas 100%. Hamaguchi dkk (2007) menggunakan sistem penilaian skoring dengan 6 poin berdasarkan tingkat kecerahan (liver brightness), atenuasi, serta kejelasan vaskuler pada USG untuk mengevaluasi NAFLD dengan hasil sensitifitas 91,1% dengan spesifisitas 100% dibandingkan dengan biopsi hati. Namun penelitian ini dilakukan pada pasien yang relatif kurus. Jika dilakukan pada pasien yang gemuk/obesitas, sensitifitas dan spesifisitasnya hanya sebesar 49,1% dan 75% dalam menentukan steatosis. Sementara itu studi lain menyebutkan bahwa membedakan steatosis dengan fibrosis (NASH) merupakan hal yang sulit untuk dilakukan dengan USG. Selain itu, USG juga tidak mampu untuk menemukan hal lain yang ditemukan oleh pemeriksaan histologi hati yang mana sangat diperlukan untuk mendiagnosa NASH. CT-Scan tanpa kontras memiliki tingkat akurasi yang sama dengan USG pada steatosis > 30%, namun akurasinya lebih buruk pada steatosis < 30% dibandingkan dengan USG. Penilaian rasio atenuasi liver:spleen merupakan salah satu cara yang paling akurat dalam menetukan steatosis. Pemeriksaan dengan MRI lebih banyak memberikan gambaran pada steatosis hati dan memberikan gambaran yang lebih berkorelasi dengan gambaran mikroskopik. Namun keterbatasan modalitas terletak pada harganya yang mahal, tidak dapat dilakukan pada pasien dengan alat bantu medis yang diimplan ke tubuh, klaustrofobia, serta pasien dengan kadar besi darah yang terlalu tinggi.7
12
Secara
umum
disimpulkan
bahwa
diagnosa
pemeriksaan
radiologi
dapat
mengidentifikasi steatosis hati dengan akurasi yang cukup baik sehingga sering pasien yang tanpa keluhan sama sekali dapat didiagnosa dan mendapat perhatian secara klinis. 7 Teknik terbaru dalam pencitraan NASH adalah Ultrasound dengan kontras dengan menggunakan levovist (Shering, Berlin, Jerman) dimana pengambilan gambar dilakukan pada menit 5, 10 dan 50. Akurasi yang didapatkan adalah 100% pada kurva ROC. Perlu dilakukan studi yang lebih jauh terhadap teknik ini namun sepertinya cukup menjanjikan di masa yang akan datang.7
Biopsi Hati Biopsi hati merupakan standar baku dalam dalam diagnosa NAFLD, dimana pemeriksaan ini dapat membedakan fatty liver dari steatohepatitis serta evaluasi tingkatantingkatan fibrosis hati. Namun sayangnya prrosedur ini sifatnya invasif yang mungkin tidak nyaman bagi pasien, mahal, dan dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Apalagi saat ini tidak ada pengobatan yang spesifik untuk NASH. Perbedaan diagnosa NAFL dan NASH tidak lantas membuat perbedaan yang spesifik dalam penanganannya dalam praktik klinis. Hal-hal tersebut diatas menyebabkan praktisi klinis jarang melakukan biopsi hati terhadap kecurigaan NAFLD.8 Biopsi hati untuk pemeriksaan histologi dapat diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosa NASH, derajat dan tingkat penyakit tersebut serta untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Bisopsi hati secara umum dapat dilakukan/diindikaskan pada satu atau lebih keadaan dibawah ini : 9 Kadar feritin serum abnormal tanpa disertai peningkatan saturasi tranferin. Sitopenia Splenomegali Sangkaan klinis adanya penyakit hati kronis. Diabetes yang disertai dengan peningkatan abnormal AST/ALT yang persisten Obesitas dengan usia > 45 tahun atau dengan nilai ASL/ALT yang tidak normal Hepatomegali dengan penyebab yang tidak dapat dijelaskan. Terdapat 10 variabel histologi yang diperhatikan dalam penilaian aktifitas nekroinflamasi yang terjadi pada NASH : 10 1.
Steatosis makrovesikular : dibagi menjadi tingkat 0-3 berdasarkan jumlah persentase hepatosit yang terlibat (0 tidak ada ; 1 lebih dari 33% ; 2 33-66% ; 3 > 66%) ; zona distribusi steatosis dan keberadaan steatosis juga dicatat 13
2.
Ketidakteraturan dan pembengkakan sel hati (ballooning) : hal dievaluasi adalah zona lokasi yang terlibat, serta estimasi keparahannya (ringan ; nyata) yang dinyatakan berdasarkan jumlah hepatosit yang terlihat mengalami perubahan. (gambar 4)
3.
Intra-asinar (lobular) inflamasi : diabagi menjadi tingkat 0-3 berdasarkan jumlah fokus inflamasi dalam 20x pengamatan dengan pembesaran 20x (0 tidak ada ; 1 adalah 1-2/20x ; 2 adalah 4/20x ; 3 adalah >4/20x) yang dinilai adalah komponen sel-sel inflamasi (leukosit polimorfonuklear, limfosit dan sel-sel mononuklear lain, eosinofil dan mikrogranuloma) serta lokasinya (sinusoidal, yang dikelilingi jaringan hialin mallory atau nekrosis hepatoselular) juga dicatat.
4.
Inflamasi pada jalur portal : dibagi menjadi tidak ada, ringan, sedang dan berat (0-3) ; jenis inflamasi juga dicatat (limfosit, plasma atau eosinofil).
5.
Hialin Mallory : dibagi menjadi 0-2 (0 tidak ada, 1 sesekali, 2 beberapa) penilaian yakni pada bentuk hialin yang baik/buruk, lokasi.zona, serta adanya satelitosis (leukosit polimorfonuklear yang mengelilingi sel hati dengan hialin Mallory)
6.
Badan-badan asidofil : dihitung sebanyak 20x lapangan pandang dan dibagi 0-3 seperti pembagian pada inflamasi intra-asinus.
7.
Sel-sel PAS-D Kupffer : dihitung dengan cara yang sama dan dibagi menjadi 0-3
8.
Nukleus yang terglikogenasi : dibagi menjadi 0-3 (0 tidak ada, 1 jarang, 2 beberapa, 3 banyak) lokasi/zona juga dicatat.
9.
Lipogranuloma : lipogranuloma intra-asinar dinilai dan dibagi menjadi ada, jarang, sesekali, dan beberapa. Komponen selular lipogranuloma tersebut juga dicatat.
10. Besi pada hepatoselular : juga dicatat dan dibagi menjadi 0-4+
14
Tabel 3. Pembagian Derajat Aktifitas Nekroinflamasi pada Steatohepatitis 10
Gambar 4. Penilaian Pembengkakan Sel Hati (Ballooning). (A) Steatosis ringan tanpa pembengkakan, Skor untuk balloning “0”. (B) Skor untuk ballooning “1”. (C) Skor untuk ballooning “2”.11
Diagnosis Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa biopsi hati merupakan standar baku dalam diagnosa NAFLD. Maka dalam hal ini diperlukan adanya algoritma dalam pengambilan keputussan mengenai siapa yang perlu atau tidak perlu menjalani biopsi hati. Pertimbangan klinis paling utama untuk memulai kecurigaan terhadap NASH adalah peningkatan enzim hati dan hepatomegali. Gambar 5-7 memperlihatkan algoritma dalam pengambilan keputusan untuk biopsi hati pada NASH
15
Gambar 5. Algoritme Biopsi Hati pada Peningkatan Enzim Hati 8
Gambar 6. Algoritme Biopsi Hati pada Hepatomegali 8
16
Gambar 7. Algoritma pengambilan keputusan untuk biopsi dengan Skor NAFLD Fibrosis 12,13
Skor NAFLD fibrosis dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut12,13 - 1,657 + 0,037 x usia (tahun) + 0,094 x IMT (kg/m2) + 1,13 x GPT/DM (ada = 1, tidak ada = 0) + 0,99 x rasio SGOT/SGPT - 0,013 x Platelet (x 10 9/L) – 0,66 x albumin (g/dL)
Penatalaksanaan Standar baku hasil pengobatan yang diharapkan pada penatalaksanaa NASH adalah adanya adanya perbaikan secara histologi yang didapat dari pemeriksaan biopsi hati. Beberapa marker yang sering digunakan antara lain normalisasi nilai transferase, serta berkurangnya lemak yang dapat diketahui dari pencitraan noninvasif. Adapun marker-marker lain yang digunakan antara lain marker serum dari lipid peroksidase, pemeriksaan apoptosis, indeks resistensi insulin, indeks massa tubuh, komposisi lemak tubuh, pemeriksaan antropometri (khususnya lingkar pinggang), profil lipid, serta morfologi mitokondrial. 2
Intervensi Gaya Hidup Telah banyak studi yang memperlihatkan bahwa modifikasi gaya hidup dapat menurunkan aminotransferase dan memperbaiki steatosis hati pada pemeriksaan dengan USG, MRI, spektroskopi bahkan pemeriksaan histologi. Orlistat, dalam studi yang dilakukan oleh Ziegler-sagi dkk (2006) dapat memperbaiki nilai ALT dan steatosis mlalui pemeriksaan ultrasonografi, namun Harrison dkk. dalam penelitiannya menemukan bahwa orlistat tidak berpengaruh terhadap berat badan dan histologi hati. Dalam sebuah uji coba didapati bahwa
17
penurunan berat badan > 7% menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam hal steatosis, inflamasi lobular, pembengkakan, serta skor aktifitas NAFLD (NAS/ NAFLD activity score).4 Berikut ini merupakan rekomendasi modifikasi gaya hidup yang diberikan oleh AASLD (the American Assocition for the Study of Liver Disease) dalam penataaksanaan NAFLD 4 Secara umum, penurunan berat badan dapat mengurangi steatosis hati. Penurunan berat badan dilakukan dengan diet rendah kalori dan dikombinasikan dengan meningkatkan aktifitas fisik. (level 1A) Menurunkan berat badan sebesar 3-5% dari berat badan semula dapat memperbaiki steatosis, namun penurunan berat badan yang lebih besar (hingga 10%) bermanfaat untuk memperbaiki nekroinflamasi (level 1B) Aktifitas saja pada orang dewasa dengan NAFLD dapat mengurangi steatosis namun kemampuannya dalam memperbaiki aspek lain dalam hal histologi hati masih belum diketahui. (level 1B)
Metformin Metformin dalam rekomendasi yang disampaikan dalam AASLD tahun 2012 ternyata tidak bermanfaat dalam penanganan NAFLD termasuk NASH, oleh karena tidak dianjurkan dipakai sebagai terapi spesifik untuk NASH (level 1A) 4
Thiazolidinedione Pioglitazone dapat digunakan untuk menangani steatohepatitis pada pasien-pasien yang terbukti NASH dari hasil pemeriksaan histologi. Namun perlu diperhatikan bahwa sebagian besar partisipan yang ikut dalam penelitian tentang pioglitazone merupakan pasien nondiabetes. Oleh karena keamanan dan efikasi pioglitazone dalam jangka panjang belum diketahui (level 1B)4
Vitamin E Stres oksidatif diperkirakan merupakan kunci utama pada
mekanisme cedera
hepatoselular serta progresifitas penyakit pada NASH. Vitamin E sebagai anti-oksidan telah banyak diteliti manfaatnya dalam penatalaksanaan NASH. Rekomendasi AASLD mengenai vitamin E adalah : vitamin E (alfa tokoferol) dengan dosis 800IU/hari dapat memperbaiki histologi hati pada pasien NASH yang dibuktikan malalui pemeriksaan histologi, oleh karenanya vitamin E hendaknya diberikan sebagai farmakoterapi lini pertama pada pasien 18
NASH nondiabetik (level 1B). Sampai ada data yang mendukung efektifitas vitamin E terhadap pasien diabetes dengan NASH, pemberian vitamin E tidak direkomendasikan pada keadaan ini termasuk juga pada keadaan NAFLD tanpa adanya bukti biopsi, sirosis terkait NASH, serta sirosis kriptogenik.4
Asam Ursodeoksikolik (UDCA), Asam lemak Omega-3 dan Obat-Obat Lainnya Pemberian UDCA tidak direkomendasikan dalam penangan NAFLD dan NASH (level 1B), sementara rekomendasi pemberian asam lemak omega-3 dianggap masih terlalu dini sebagai pengobatan spesifik untuk NASH. Namun jika terdapat trigliseridemia pada pasien NASH, pemberian asam lemak omega-3 dapat digunakan sebagai farmakoterapi lini pertama.4
Pembedahan Bariatrik Pembedahan bariatrik tidak dikontraindikasikan pada pasien-pasien obesitas dengan NAFLD atau NASH dengan catatan pasien tidak dalam keadaan sirosis (level 1A). Saat ini penggunaan pembedahan bariatrik masih terlalu dini untuk dianggap sebagai terapi spesifik untuk penanganan NASH (level 1B).4
Konsumsi Alkohol pada Pasien NAFLD dan NASH Konsumsi alkohol dalam jumlah besar merupakan faktor resiko penyakit kronis dan harus dihindari pada pasien NAFLD dan NASH. The National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA) mendefinisikan konsumsi alkohol dalam jumlah besar yakni sebanyak 4x botol/gelas/kaleng (masing-masing 10g per kali botol/gelas/kaleng) dalam 1 hari atau 14x dalam seminggu pada pria dan 3x dalam sehari atau 7x dalam seminggu pada wanita. Rekomendasi yang disampaikan oleh AASLD mengenai alkohol adalah : pasien dengan NAFLD dilarang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak (level 1B). Saat ini belum ada rekomendasi yang dapat disampaikan dalam hal konsumsi alkohol dalam jumlah yang tidak benyak pada pasien dengan NAFLD (level 1B).4,8
Penggunaan Statin pada Pasien NAFLD dan NASH Statin merupakan obat yang sangat penting dalam penanganan dislipidemia. Saat ini banyak kekhawatiran dan saat ini jarang diberikan pada pasien dislipidemia yang diduga atau pasti didiagnosa penyakit hati kronis termasuk NAFLD atau NASH. Rekomendasi AASLD tentang penggunaan statin adalah bahwa statin dapat diberikan untuk menangani dislipidemia 19
pada pasien-pasien NAFLD dan NASH. (level 1B). Sampai ada pembuktian mengenai efikasi statin, maka statin tidak dianjurkan sebagai pengobatan spesifik dalam NAFLD atau NASH (level 1B).4 Pemberian probiotik pada beberapa studi menunjukkan adanya perbaikan yang ditunjukkan dengan penurunan nilai enzim hati.1
Kesimpulan Nonalcoholic steatohepatitis (NASH) adalah suatu penyakit hati dengan karakteristik adanya steatosis hepar yang disertai inflamasi dan injuri hepatosit (adanya gambaran pembengkakan sel hati) dengan atau tanpa adanya fibrosis NAFLD (Nonalcoholic liver diasease) mungkin merupakan kelainan hati yang paling sering Patogenesis NASH terdiri dari 2 tahap yakni : (1) terjadinya steatosis pada hati yang normal (first hit) (2) proses kedua yakni steatohepatitis, dimana terjadi inflamasi yang diperantarai oleh stres oksidatif dan sitokin (utamanya oleh TNFα/tumor necrosis factor alpha) (second hit) Patogenesis NASH sangat kompleks dan melibatkan beberapa faktor dan jalur patogenesis diantaranya : Resistensi insulin, stres oksidatif, kelebihan asam lemak, lipodistrofi, proses metabolisme lemak hati dan sintesa VLDL, disfungsi mitokondrial, sitokin inflamasi, predisposisi genetis, adiponektin dan resistin, kelebihan cadangan besi serta mikroba intestinal. Biasanya pasien dengan NASH datang dengan peningkatan kadar enzim hati di atas normal pada saat pemeriksaan kesehatan rutin atau saat pemantuan pemberian obat antihiperlipidemia. Tidak ada gejala dan tanda klinis yang khas pada NASH. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan biopsi hati, namun sebelumnya pemeriksaan laboratorium dan pencitraan perlu dilakukan terlebih dahulu Penatalaksanaan NASH mulai dari intervensi gaya hidup (penurunan berat badan, pengaturan diet serta aktifitas fisik, menghindari konsumsi alkohol dalam jumlah banyak), hingga farmakoterapi.
20
DAFTAR PUSTAKA 1. Medina J, Salazar LIF, Buey LG, Otero RM. Approach to the pathogenesis and treatment of nonalcoholic steatohepatitis. Diabetes Care, vol 27, no 9:2057-2066, 2004. 2. Chalasani N et al. The diagnosis and management of non-alcoholic fatty liver disease: practice guideline by the american association for the study of liver diasease, american collage of gastroenterology, and the american gastroenterological association. Hepatology,vol. 55, no. 6, 2012. DOI 10.1002/hep.25762 3. Neuschwander-Tetri BA, Caldwell S: Nonalcoholic steatohepatitis: summary of an AASLD Single Topic Conference. Hepatology 37:1202-1219, 2003. 4. Niederau C. NAFLD and NASH. Dalam Mauss S, Berg T, Rockstroh J, Sarrazin C, Wedemeyer H.penyunting. Hepatology a clinical textbook. Flying Publisher. Germany : 2009, 418-428. 5. Tendler DA. Pathogenesis of nonalcoholic fatty liver disease. Uptodate.2011. 6. Ramesh S, Sanyal AJ. Evaluation and management of non-alcoholic steatohepatitis. Journal of Hepatology 42 (2005) S2-S12. doi:10.1016/j.jhep.2004.11.022 7. Sears D. Fatty Liver. Medscape refferance. 2012 8. Torres DM, Harrison SA. Diagnosis and therapy of nonalcoholic steatohepatitis. Gastroenterology. 2008;134:1682–1698 9. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines. Nonalcoholic fatty liver disease and nonalcoholic steatohepatitis. World Gastroenterology Organisation. 2012 10. Brunt EM, Janney CG, Di Bisceglie AM, Neuschwander-Tetri BA, Bacon BR. Nonalcoholic steatohepatitis : a proposal for grading and staging the histological lession. 11. Kleiner DE, Brunt EM, Van Natta M, Behling C, Contos MJ, Cummings OW, et al. Design and validation of a histological scoring system for nonalcoholic fatty liver disease. Hpatology, 2005; 41:1313–21. PMID: 15915461. 12. Angulo P, Hui JM, Marchesini G, Bugianesi E, George J, Farrell GC, et al. The NAFLD fibrosis score: a noninvasive system that identifies liver fibrosis in patients with NAFLD. Hepatology 2007;45:846–854. 13. Machado MV, Pinto HC. Non-invasif diagnosis of nonalcoholic fatty liver disease. A critical appraisal. Journal of Hepatology 2013 vol. 58 j 1007–1019
21