NOMINA DERIVASIONAL BAHASA JEPANG : SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI GENERATIF I Kadek Antartika
Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha Jalan Jend. A Yani 67 Singaraja 81116, Telp. 0362-21541, Fax. 0362-27561 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Affixation is one of word formations found in most languages including in Japanese. Word formation which changes lexical identity and resulted a new lexicon is called derivation. This study was conducted to determine the process of derivational noun formation in Japanese. The results of this study show that (1) the process of the formation of Japanese noun derivational is done by embedding derivational affixes to the root of verbs, nouns, and adjectives, such as prefix{su-, ma-} suffixes {-mamire, -darake, -sei,-te, -tate, -gachi-Gimi,sa, -mi, -Me, sei} (2) there are forms which are appropriate according to word formation rules but are not used in Japanese due to blocking of other forms representing the word.e.g *utaite, *nomitate. Afixation process in the formation of noun derivational resulted morphophonemic. Phonological processes that take place between them are the assimilation of consonant and vowel insertion / i / at the root of verbs that end in a consonant. Keywords : derivation, blocking, word formation
PENDAHULUAN Morfologi merupakan bidang ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk beluk bentuk kata serta pengaruh perubahanperubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik. (Ramlan, 1987:21) Salah satu hal yang menjadi kajian dalam bidang morfologi adalah proses pembentukan sebuah kata. Dalam proses pembentukan suatu kata bahasa-bahasa di dunia ini masing-masing memiliki cara-cara pembentukan katanya artinya dari beberapa proses morfologis yang ada, tidak semua proses morfologis itu bisa ditemukan dalam setiap bahasa. Kemungkinan ada proses morfologis yang sama sekali tidak dikenal dalam bahasa tersebut. Bahasa Jepang misalnya adalah bahasa
yang memiliki keunikan dalam segi fonologis, struktur maupun dari segi morfologi kata. Secara fonologis bahasa Jepang dikenal sebagai bahasa yang kaya dengan huruf, tetapi miskin dengan bunyi. Bunyi dalam bahasa Jepang berbentuk suku kata jika ditulis dengan huruf bahasa Jepang. Suku kata tersebut merupakan suku kata terbuka, yaitu diakhiri dengan vokal. Sehingga keistimewaan bunyi bahasa Jepang adalah tidak adanya bunyi yang diakhiri dengan konsonan (suku kata tertutup), kecuali bunyi [N] saja. Sehingga bahasa Jepang secara fonologi termasuk tipologi bahasa vokalik. Bunyi vokal bahasa Jepang hanya terdiri dari lima buah yaitu, /a/, /i/,/u/,/e/,dan/o/ meskipun secara fonemik bunyi vokal itu sama, tetapi dalam realisasinya sedikit berbeda, terutama pada vokal /u/ yang direalisasikan dengan bibir tidak bulat yaitu menjadi bunyi [Ɯ]. Sementara konsonan bahasa Jepang secara fonemik terdiri dari konsonan /k,g,s,z,t,d,n,h,b,p,m,/ dan /N/ di akhir kata atau suku kata. Setiap konsonan tersebut jika | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 27
mengahadapi vokal tertentu ada yang mengalami perubahan. (Sutedi, 2003:17-24) Sementara, dari segi gramatikanya, keunikan itu bisa kita lihat dari posisi predikat kalimatnya yang selalu berada di posisi akhir. Hal ini bisa kita lihat dari contoh berikut.
Dari contoh di atas, bisa dilihat bahwasanya kata tabemasu ‘makan’ merupakan predikat kalimat berada pada posisi setelah objek kalimat yaitu gohan ‘nasi’. Selanjutnya keunikan bahasa Jepang terutama juga bisa kita lihat dari proses pembentukan katanya. Berkaitan dengan tipologi bahasa, Comrie (1983:39-49) mengemukakan bahasabahasa di dunia ditinjau dari tipologi morfologisnya dapat dikelompoknya menjadi empat tipe bahasa antara lain : tipe isolasi, aglutinasi, fusi dan inkorporasi. Berdasarkan tipologi tersebut bahasa Jepang termasuk bertipe aglutinasi yaitu banyaknya kata yang dibentuk dari gabungan morfem dengan morfem. hal itu dapat dibuktikan dengan ditemukannya afiks, baik prefiks maupun sufiks dalam pembentukan kata. Dalam bahasa Jepang terdapat lima jenis bentuk turunan (word formation) yang dikemukakan Tsujimura (1996:148-155) diantaranya yaitu afiksasi, pemajukan (compounding), reduplikasi, penyingkatan (clipping), dan peminjaman (borrowing). Lebih lanjut Sutedi (2008) mengemukakan bahwa diantara kelima proses pembentukan kata yang terdapat dalam bahasa Jepang, proses afiksasi merupakan proses yang paling banyak terjadi dalam pembentukan kata bahasa Jepang. Proses pembentukan kata melalui afiksasi yang tidak menghasilkan identitas leksikal baru disebut dengan infleksi. Sementara derivasi adalah kaidah pembentukan kata yang dapat mengubah identitas kata dari leksem dasar, seperti misalnya nomina bisa diderivasi atau dibentuk dari verba, adjektiva diderivasi atau dibentuk dari kelas nomina dan yang lainnya. Untuk proses pem28 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |
bentukan kata derivasional seperti kasus tersebut, secara umum disebut dengan istilah denominal (diderivasi atau dibentuk dari nomina), deverbal (diderivasi atau dibentuk dari verba), dan deadjektival (diderivasi atau dibentuk dari adjektiva) (Haspelmath, 2002:68) Menurut Hurford & Heasley (1983:206), proses morfologi derivasi merupakan tiga proses yang terjadi secara simultan yakni: (1) proses morfologis, (2) proses sintaksis, (3) proses semantis. Korelasi ketiga proses tersebut dijelaskan pada proses morfologi derivasional dalam bahasa Inggris seperti penurunan read →reader. Dari sudut pandang proses semantis, derivasi ini telah mengubah makna (leksem). Keduanya adalah dua leksem yang berbeda dan mengacu kepada konsep yang berbeda. Dari sudut pandang proses morfologis, derivasi ini mengubah bentuk read→reader dengan penambahan –er. Dari sudut pandang proses sintaksis, derivasi ini mengubah kategori sintaksis yakni mengubah V (read) →N (reader) Dalam bahasa Jepang banyak ditemukan kata-kata bentuk turunan baik itu verba, adjektiva, maupun nomina. Di antara ketiga jenis kata tersebut penulis ingin mengetahui bagaimana proses pembentukan nomina derivasional bahasa Jepang. Dipilihnya nomina karena nomina merupakan representasi dari alam dan segala isinya bila dipandang dari segi semantisnya. Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di atas maka ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah proses pembentukan serta afiks-afiks apa yang dapat membentuk nomina derivasional dalam bahasa Jepang ? 2. Bagaimanakah fungsi dan makna afiks pembentuk nomina derivasional bahasa Jepang ? Morfologi generatif berawal dari pandangan Chomsky (1970) yang dituangkan dalam makalahnya yang berjudul “Remarks on Nominalization”. Pandangan Chomsky untuk kembali menekuni bidang morfologi mendapat sambutan dari para linguis. Diantaranya adalah Halle Halle (1973), Aronoff (1976) (Lihat Simpen,
2009 : 85). Tataran morfologi berdasarkan teori morfologi generatif model Halle memiliki tiga komponen yang tidak bisa dihilangkan salah satunya. Ketiga komponen tersebut adalah (1) list of morphemes ‘daftar morfem’, selanjutnya disingkat DM, (2) word formation rules ‘kaidah/aturan pembentukan kata’, selanjutnya disingkat APK, dan (3) filter ‘saringan’ (Halle, 1973: 3 – 8) . Dalam DM ditemukan dua macam anggota yaitu akar kata (yang dimaksud adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik derivasional maupun infleksional. Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan. Misalnya, write dalam bahasa Inggris harus diberi keterangan : termasuk verba dasar, bukan berasal dari bahasa Inggris dan lain-lain. Komponen kedua adalah APK, yaitu komponen yang mencakup semua kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu, APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata, dan bentuk-bentuk potensial yang belum ada realitas. Bentuk-bentuk potensial sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentuk-bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan. Misalnya, bentuk utaite* ‘penyanyi’ dan nomitate* ‘baru minum’dalam bahasa Jepang. Komponen ketiga, yaitu komponen saringan berfungsi menyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh APK dengan menempeli beberapa idiosinkrasi, seperti idiosinkrasi fonologi, idiosinkrasi leksikal, atau idiosinkrasi semantik. Idiosinkrasi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk yang dihasilkan APK yang dianggap “aneh”. Hal ini dimaksudkan agar bentuk-bentuk potensial/tidak lazim tidak masuk dalam kasus dalam kasus dalam kamus. Halle (1973) menambahkan sebuah komponen lagi, yaitu komponen kamus. Komponen kamus berfungsi untuk menampung kata-kata hasil APK yang lolos saringan, dan kata-kata yang tidak lolos saringan menjadi bentuk poten-
sial. Alur pembentukan kata sesuai dengan teori morfologi generatif model Halle dapat digambarkan sebagai berikut.
Halle dalam Simpen ( 2009:87) Sementara Aronoff memiliki pandangan yang agak berbeda dengan Halle yang ia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul “Word Formation in generative grammar” terutama dalam kaidah pembentukan kata. Aronoff menganggap kata adalah bentuk minimal dalam pembentukan kata. Istilah kata yang dimaksud harus diartikan sebagai leksem, sehingga teori Aronoff yang dikenal dengan word-based morphology lebih tepat disebut lexeme-based morphology. Sementara Halle menganggap morfem sebagai bentuk minimal pembentukan kata. Dalam teori morfologi yang berdasarkan kata, kata dasar yang dipakai harus memenuhi syarat : (1) dasar pembentukan kata adalah kata, (2) kata yang dimaksud adalah kata yang benarbenar ada dan bukan hanya merupakan potensial saja, (3) aturan pembentukan kata (WFR’s) hanya berlaku pada kata tunggal bukan kata kompleks atau lebih kecil dari kata (bentuk terikat), (4), dan (5) masukan dan keluaran dari WFR’s harus termasuk dalam katagori sintaksis yang utama (Aronoff, 1976:40) Pembentukan kata (word formation) menurut Aronoff dilakukan dengan jalan memanfaatkan leksikon yang ada dalam kamus dengan | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 29
APK. Kamus membuat leksikon yang memiliki informasi kategorial (nominal, verba, adjektiva, dll), sedangkan APK hanya memuat afiks yang hanya memiliki informasi relasional. Artinya, afiks itu memiliki kemampuan untuk bergabung dengan bentuk tertentu dalam proses pembentukan kata baru atau kata turunan. Selanjutnya Aronoff mengajukan konsep blocking ‘pembendungan’ dengan tujuan untuk membendung munculnya suatu kata karena telah ada kata lain yang mewakilinya. (Aronoff, 1976:43). Berikutnya, Aronoff juga mengajukan sebuah kaidah yang disebut adjustment rules ‘kaidah penyesuaian’ dimana pembubuhan afiks memerlukan adanya perubahan bentuk, baik bentuk dasar maupun bentuk afiks itu sendiri. Dari proses pembentukan kata bisa memungkinkan terjadinya kaidah pemenggalan Truncation Rules dan juga kaidah alomorfi atau Allomorphy Rules (dalam Reteg, 2002:30-31)
dasar verba, adjektiva atau nomina itu sendiri. Sementara teknik baca markah digunakan untuk mengetahui peran afiks sebagai penanda proses derivasi. PEMBAHASAN
METODE
Derivasi adalah proses morfemis yang mengubah identitas leksikal dan disertai perubahan status kategorial (Verhaar,2004:143). Alat pembentuk kata pada proses derivasi adalah afiks. Afiks adalah satuan gramatik terikat yang ada dalam satu kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru (Ramlan, 2001:55). Proses pembentukan kata menurut morfologi generatif meliputi daftar morfem (DM), Kaidah Pembentukan Kata (KPK), saringan, dan kamus. Pembentukan nomina derivasional bahasa Jepang akan diuraikan berdasarkan keempat komponen tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan afiks-afiks yang berfungsi dalam proses pembentukan nomina derivasional bahasa Jepang dengan menggunakan metode simak yang sering dipadankan dengan istilah metode observasi dalam peneletian bidang sosial. Penulis menyimak penggunaan bahasa tulis pada sumber tertulis seperti buku, kamus, media cetak dan lainnya. Data diperoleh dengan teknik catat dengan mengggunakan instrumen berupa kartu data. Data yang diperoleh adalah berupa kata-kata turunan nomina dari proses derivasi. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode agih yang menggunakan bahasa obyek penelitian sebagai penentunya dengan menggunakan teknik bagi unsur langsung sebagai teknik dasarnya dan teknik baca markah sebagai teknik lanjutan. Melalui teknik ini dapat diketahui bentuk-bentuk derivasi yang menghasilkan bentuk kata turunan nomina. Apakah kata turunan nomina tersebut berasal dari bentuk
A. Daftar Morfem Daftar morfem dalam teori morfologi generatif merupakan komponen tempat menampung unsur-unsur pembentuk kata. Unsur tersebut diantaranya, kata dasar bebas dan afiks. 1. Bentuk Dasar Bebas Bentuk dasar bebas merupakan bentuk yang telah memiliki kategori tertentu, seperti verba, adjektiva, dan nomina. Bentuk dasar menjadi dasar pembentukan kata kompleks yang statusnya dapat dibedakan pula. Kategori kata dasar mencangkup kata dasar verba, nomina, dan adjektiva. a) Kata Dasar Verba Verba bahasa Jepang selalu diikuti berbagai konjugasi yang menempel di belakangnya. Mi-salnya, akhiran bukan lampau -(r)u yang melekat pada akar verba. Bentuk akar tersebut merupakan suatu bentuk yang tidak bisa diuraikan lagi secara morfologi. Sebagai contoh kak-u ‘menulis’ nom-u ‘minum, kaer-u ‘pulang’ taberu ‘makan’, mi-ru ‘melihat. Bila akhiran –(r)u
30 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |
dilekatkan pada akar maka hasilnya adalah verba dengan kala bukan lampau (Tsujimura, 1996:129130) Verba dalam bahasa Jepang dalam bentuk kamus diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: Grup 1 adalah semua verba yang yang dalam bentuk kamusnya tidak diakhiri oleh –eru atau – iru, namun akar verbanya diakhiri –u serta dalam bentuk infinitnya ditambahkan –i pada akarnya. Verba tipe ini dikenal dengan verba konsonan (shiin dooshi) apabila akhiran-u dihilangkan. Seperti pada contoh berikut. Bentuk Kamus Kaku Hanasu Yobu
Akar Kata KakHanasYob-
Bentuk Infinit KakiHanashiYobi-
Makna
Uru
Ur-
Uri-
Menjual
Tomaru
Tomar-
Tomari-
Menginap
Menulis Berbicara Memanggil
Grup 2, sebagian besar verba diakhiri –eru dan – iru pada bentuk kamusnya. Verba ini dikenal dengan sebutan verba berakal vokal (boin dooshi) apabila akhiran –ru pada akar katanya dilesapkan. Berikut adalah beberapa contoh verba tipe 2. Bentuk Kamus Miru Akeru Taberu
Akar Kata MiAkeTabe-
Bentuk Infinit MiAkeTabe-
Makna
Okiru
Oki-
Oki-
Bangun
Melihat Membuka Makan
Grup 3 adalah merupakan verba yang tidak beraturan yang hanya terdiri dari dua verba. Verba tersebut adalah: Bentuk Kamus Kuru Suru
Akar Kata KiShi-
Bentuk Infinit KiShi-
Makna Datang Melakukan
b) Kata Dasar Adjektiva Adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan tentang sifat atau keadaan nomina, verba dan adjektiva itu sendiri. Dalam bahasa Jepang adjektiva diklasifikasikan menjadi dua yaitu yang berakhiran (gobi) –I yang disebut dengan kata sifat I atau ikeiyooshi dan yang berakhiran gobi NA atau DA dikenal dengan sebutan kata sifat na atau nakeiyooshi. Konjugasi adjektiva-i terjadi pada fonem /i/ sedangkan adjektiva na perubahannya terjadi pada /da/. Konjugasi atau perubahan adjektiva dalam bahasa Jepang hampir mirip dengan kelas kata verbanya, tetapi dalam adjektiva tidak terdapat perubahan bentuk perintah. Sebab makna adjektiva dalam bahasa Jepang yaitu, kata yang berfungsi untuk menunjukkan keadaan, sifat, perasaan yang diakhiri huruf /i/ atau /da/. Berikut adalah contoh dari kedua adjektiva tersebut. (Sutedi, 2008:60) Adjektiva-i Bentuk Kamus Nagai Ookii Takai
Akar Kata Naga Ooki Taka
Bentuk Lampau Naga-katta Ooki-katta Taka-katta
Makna Panjang Besar Mahal
Adjektiva NA Bentuk Kamus Hitsuyoo-da Anzen-da
Akar Kata Hitsuyoo Anzen
Bentuk Makna Lampau Hitsuyoo-datta Perlu Aman Anzen-datta
c) Kata Dasar Nomina Nomina, menurut Kridalaksana dijelaskan sebagai kategori yang secara sintaktik tidak mempunyai potensi untuk (1) bergabung dengan kata tidak dan (2) mempunyai potensi untuk didahului kata dari. Nomina meliputi benda baik yang konkrit maupun yang abstrak. Dalam bahasa Jepang kelas kata nomina tidak memiliki kategori gender dan pada umumnya tidak mengenal kategori jamak dan tunggal | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 31
dalam nomina bahasa Jepang. Akan tetapi untuk nomina yang memiliki unsur atau fitur makna manusia bisa dilekati sufiks { –tachi}. Seperti kata hito ‘orang’ ketika ditambah sufiks {–tachi} menjadi hitotachi ‘orang-orang. Begitu halnya dengan kata gakusei ‘murid’ bila ditambahkan sufiks –tachi akan menjadi gakuseitachi ‘muridmurid’ Jadi sufiks {–tachi} ini menambahkan makna jamak pada kata yang dilekatinya. Hal unik yang terdapat pada nomina bahasa Jepang karena biasanya diikuti oleh paradigma konjugasi seperti halnya yang terjadi pada adjektiva na. berikut adalah salah satu contoh paradigma konjugasi yang terjadi pada nomina. Konjugasi Bukan lampau Lampau Negatif
Nomina Tokei-da Tokei-datta Tokei-ja-na-i
Negatif lamapu Tokei-ja-na-katta
Makna Ini jam Ini jam (dulu) Ini bukan jam Ini bukan jam (dulu)
(Tsujimura,1996:127)
2. Afiks Afiks merupakan unsur yang termuat dalam daftar morfem. Berdasarkan posisi dan cara melekatnya afiks dalam bahasa Jepang terdiri dari dua yaitu prefiks yang melekat di awal dan sufiks yang terdapat di akhir. Koizumi (1993 : 96) memaparkan bahwa afiks derivasional bisa diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu, pertama adalah afiks derivasi yang mengubah identitas kata, misalnya kata onna ‘perempuan’ yang berkelas kata nomina setelah dibubuhi afiks {– rashii} menjadi adjektiva onnarashii yang berarti feminim. Kedua adalah afiks derivasi yang menambahkan suatu kekhususan secara gramatikal pada identitas kata yang sama. Misalnya seperti verba yomu ‘membaca’ jika dibubuhi afiks -areru akan menjadi verba pasif yomareru ‘dibaca’. Akan tetapi jenis yang kedua hanya terjadi pada kelas kata verba saja. Sementara itu afiks nomina derivasional juga terdiri dari prefiks yaitu {su- } dan {ma-} 32 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |
sedangkan sufiksnya antara lain {-sa,-mi,-me,sei,-gachi,-gimi,-mamire,-darake,-te,-tate}. Adapun fungsi dan makna afiks-afiks nomina derivasional tersebut secara lebih rinci akan dijelaskan melalui proses pembentukan katanya. B. Kaidah Pembentukan Kata KPK adalah komponen kedua dalam morfologi generatif . KPK merupakan tempat memproses bentuk turunan. Muatan yang terdapat dalam daftar morfem ditarik dalam komponen KPK, kemudian diproses sehingga melahirkan kata turunan atau kata kompleks. Kedudukan bentuk dasar dalam bahasa Jepang yang berpotensi sebagai bentuk asal, pada tulisan ini dikodekan dengan huruf A. kaidah yang dikemukan dalam KPK dapat digambarkan seperti berikut. [A] [[A] + Af] Artinya, bentuk asal [A] diproses berdasarkan afiksasi sehingga menjadi bentuk kompleks. [[A] +Af] gabungan bentuk asal dengan afiks derivasional dalam bahasa Jepang dapat dilihat dalam contoh berikut. Bentuk Asal [kak] [kao]
Afiks [[kak]+te] [[kao]+su-]
Bentuk Kompleks kakite ‘penulis’ sugao ‘wajah polos (tanpa kosmetik)
Deskripsi lebih lanjut rumus ini adalah dengan substansi afiks dalam bahasa Jepang yang berupa prefiks (pref) dan sufiks (suf) menjadi seperti berikut di bawah ini. [A] [A]
[[A] + Pref] [[A] + Suf]
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam bahasa Jepang afiks nomina derivasinal terdiri dari dua yaitu prefiks dan sufiks. Prefiks nomina derivasinalnya yaitu {su-} dan {ma-}. Sedangkan untuk sufiksnya yaitu {-sa,mi,-me,-sei,-gachi,-gimi,-mamire,-darake,-te,-tate}. Kaidah pembentukan kata afiks derivasional
ini akan dijabarkan secara rinci seperti berikut. Penjelasan dibagi ke dalam dua kelompok yaitu pembentukan kata dengan prefiks dan dengan sufiks.
{su-}
+
kak ‘melukis’
→
{su-}
+
tomar ‘menginap’
→
sugaki ‘lukisan tanpa pewarnaan’ sudomari ‘hanya untuk menginap’
1. Pembentukan Kata dengan Prefiks Dalam bahasa Jepang prefiks tidak me- {su-} + yom ‘membaca’ → suyomi miliki alomorf dalam proses afiksasi. prefiks ‘hanya pembacaan’ dilekatkan di depan bentuk asal atau A, sehingga proses pembentukan katanya ditentukan oleh Dari uraian di atas, terbukti bahwa prefiks delingkung-an segmen pertama dari bentuk A yang rivasional {su-} ketika dilekatkan pada akar kata berkelas nomina tetap menjadi nomina. Makna dilekati oleh prefiks tersebut. prefiks tersebut jika dilekatkan pada nomima yaitu ‘tanpa menambahkan sesuatu apapun’ pada a). Prefiks {su-} makna bentuk dasarnya. Selain itu juga, prefiks [A] [[A] + su-] {su-} yang bermakna seperti itu umum-nya dile Penambahan afiks derivasional {su-} u- katkan pada bentuk dasar nomina yang berkaitan mumnya tidak menyebabkan perubahan identi- dengan anggota tubuh. Seperti kao ‘wajah’, te tas kata. Namun prefiks ini bisa dilekatkan pada ‘tangan, hada ‘kulit, me mata. Sementara ketika bentuk dasar beberapa nomina deverbal. Berikut dilekatkan pada akar verba, setelah proses afikini merupakan contoh bentuk-bentuk yang dile- sasi yang akan menghasilkan bentuk turunan nomina, serta makna pembuhuhan prefiks {su-} kati prefiks {su-}. pada verba menunjukkan makna ‘tanpa menambahkan tindakan apapun’. Prefiks Nomina Nomina Proses pelekatan sufiks {su-} baik pada + kao ‘wajah’ → sugao ‘wajah {su-} bentuk dasar nomina maupun verba, mengakibatpolos (tanpa kan adanya proses morfofonemik. Hal ini dapat kosmetik)’ kita lihat dari data berikut. + te ‘tangan’ → sude ‘tan{su-}
{su-}
+
hada ‘kulit’
→
{su-}
+
ashi ‘kaki’
→
{su-}
+
me ‘mata’
→
Prefiks {su-}
Akar Verba +
yak ‘bakar-an’
gan polos (tanpa hiasan)’ suhada ‘kulit polos (tanpa polesan)’ suashi ‘kaki telanjang (tanpa alas)’ sume ‘mata telanjang (tanpa alat bantu)’ Nomina
→
suyaki ‘hanya dibakar’
{su-}
+
kao ‘wajah’
→
{su-}
+
te ‘tangan’
→
{su-}
+
kak ‘melukis’
→
{su-}
+
tomar ‘menginap’
→
sugao ‘wajah polos (tanpa kosmetik)’ sude ‘tangan polos (tanpa hiasan)’ sugaki ‘lukisan tanpa pewarnaan’ sudomari ‘hanya menginap’
Dari data tersebut dapat diketahui terjadi asimilasi bunyi konsonon hambat dental tak bersuara /t/ menjadi bunyi konsonan hambat dental bersuara /d/ dan bunyi konsonan hambat velar tak bersuara | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 33
/k/ menjadi velar bersuara /g/ pada bentuk dasar setelah dilekatkan prefiks {su-} karena diapit oleh bunyi vokal yang bersuara. Di samping itu juga, terjadi penyisipan segmen vokal /i/ di posisi akhir kata pada bentuk pangkal verba yang diakhiri konsonan. b). Prefiks {ma-} [A] [[A] + ma-]
Pelekatan prefiks {ma-} pada bentuk dasar mengakibatkan adanya proses morfofonemik. Berikut adalah data yang menunjukkan adanya perubahan fonologis setelah afiksasi. {ma-} + kokoro ‘hati’ → magokoro ‘hati yang tulus’ {ma-} + kao ‘wajah’ → magao ‘wajah yang sesungguhnya’
Dari uraian data di atas terjadi proses Sama halnya prefiks {su-} prefiks derivasional asimilasi bunyi konsonan bunyi hambat velar tak {ma-} ketika dilekatkan pada bentuk dasar tidak bersuara /k/ menjadi bunyi hambat velar bersuamengubah identitas katanya. Hal ini bisa kita li- ra /g/ pada bentuk dasar setelah dilekati prefiks hat dari data berikut. {ma-} karena berada diantara lingkungan bunyi vokal yang bersuara. Prefiks {ma-} +
Nomina mizu‘air’
→
{ma-}
+
kokoro ‘hati’
→
{ma-}
+
ningen ‘manusia’
→
{ma-}
+
kao ‘wajah’
→
{ma-}
+
ue ‘atas’
→
{ma-}
+
shita ‘bawah’
→
{ma-}
+
ushiro ‘belakang’
→
nomina mamizu ‘air murni’ magokoro ‘hati yang tulus’ maningen ‘manusia yang manusiawi’ magao ‘wajah yang sesungguhnya’ maue ‘persis di atas’ mashita ‘persis di bawah’ maushiro ‘persis di belakang’
Dari uraian data di atas, terdapat beberapa makna prefiks {ma-} dimana ketika dilekatkan dengan bentuk dasar nomina kategori menunjukkan posisi, seperti ue, shita, ushiro makna prefiks {ma} adalah persis/ pas pada posisi yang dimaksud sesuai makna bentuk dasarnya. Sementara bila dilekatkan dengan nomina seperti ningen, kokoro, kao bisa memiliki makna polos, lugu atau tanpa niat lain. Jadi, makna prefiks ini bisa berubah sesuai dengan bentuk dasar yang dilekatinya. 34 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |
2. Pembentukan Kata dengan Sufiks Seperti halnya dengan prefiks, dalam bahasa Jepang sufiks tidak memiliki alomorf dalam proses afiksasi. Sufiks dalam proses afiksasi dilekatkan di belakang bentuk asal atau A, sehingga proses pembentukan katanya ditentukan oleh lingkungan segmen terakhir dari bentuk asal yang dilekati oleh sufiks tersebut. Berikut akan dipaparkan beberapa sufiks derivasional bahasa Jepang. a). Sufiks {-sa} [A] [[A] + -sa] Sufiks derivasional {-sa} ketika dilekatkan pada bentuk dasar kata adjektiva akan mengasilkan perubahan pada bentuk turunannya menjadi nomina seperti yang terdapat pada data di bawah berikut ini. Sufiks {-sa}
+
Akar adjektiva → taka ‘tinggi’
{-sa}
+
naga ‘panjang’
→
{-sa}
+
hiro ‘luas’
→
{-sa}
+
atsu ‘panas’
→
Nomina takasa ‘tingginya’ nagasa ‘panjangnya’ hirosa ‘luasnya’
atsusa ‘panasnya’
fukasa ‘dalamnya’ Dari paparan di atas, bahwasanya makna sufiks {-sa} ketika dilekatkan pada adjektiva menunjukkan makna derajat. Sufiks ini biasanya tidak bisa melekat pada adjektiva kategori warna seperti, aka ‘merah’ bila dibubuhi sufiks {-sa} menjadi akasa* bentuk ini merupakan bentuk potensial akan tetapi dari segi semantisnya akan sulit sekali untuk mengukur derajad dari warna merah itu sendiri. Selain itu juga sudah ada kata atau bentuk lain yang menyatakan gradasi dari warna tersebut, misalnya makka yang artinya merah pekat, pinku ‘merah muda’. Jadi bentukan itu yang oleh aronoff mengalami pembendungan atau blocking karena telah adanya morfem lainnya. {-sa}
+
fuka ‘dalam’
→
b) Sufiks {-mi} [A] [[A] + -mi] Seperti halnya pada sufiks {-sa} sufiks {-mi} merupakan sufiks derivasional yang melekat pada bentuk dasar adjektiva. Ketika sufiks ini dilekatkan pada bentuk dasarnya maka menghasilkan perubahan pada identitas kata pada bentuk dasar pada bentuk turunannya menjadi nomina. Berikut adalah data yang dapat dilihat mengenai perubahan yang dimaksud. Sufiks
Akar adjektiva
Nomina
{-mi}
+
ama ‘manis’
→
{-mi}
+
tanoshi ‘senang’
→
{-mi}
+
kanshi ‘sedih’
→
{-mi}
+
kurushi ‘lara’
→
omomi ‘berbobot’ tanoshimi ‘dengan senang hati’ kanashimi ‘kesedihan’ kurushimi ‘duka lara’
Dari uraian data di atas bahwasanya, bila kita bandingkan dengan sufiks {-sa} yang sama-sama bisa mengubah adjektiva menjadi nomina memiliki perbedaan dengan sufiks {-mi} dari segi semantisnya agak berbeda dimana sufiks {-mi}
bila dilekat pada adjektiva bermakna menunjukkan ciri khas yang dimiliki oleh suatu keadaan tertentu. c) Sufiks {-me} [A] [[A] + -me] Sufiks derivasional {-me} juga melekat pada bentuk dasar adjektiva. Proses derivasi sufiks tersebut menghasilkan perubahan identitas kata pada bentuk turunannya menjadi nomina. Berikut adalah data afiksasi dengan sufiks {-me}: Sufiks
Akar adjektiva
Nomina
{-me}
+
haya ‘cepat’
→
{-me}
+
ooki ‘besar’
→
{-me}
+
kata ‘keras’
→
{-me}
+
naga ‘panjang’
→
{-me}
+
oo ‘banyak’
→
{-me}
+
usu ‘tipis’
→
hayame ‘sedikit agak cepat’ ookime ‘sedikit agak besar’ katame ‘sedikit agak keras’ nagame ‘sedikit agak panjang’ oome ‘sedikit agak banyak’ usume ‘sedikit agak tipis’
Berdasarkan data di atas makna yang muncul setelah afiksasi sufiks {-me} adalah me-nunjukkan sedikit agak. d) Sufiks {-sei} [A] [[A] + -sei] Pembubuhan sufiks {-sei} bisa meyebabkan perubahan identitas kata pada morfem bebasnya dan sekaligus juga bisa tidak mengakibatkan adanya perubahan identitas pada bentuk dasarnya. Hal ini sangat bergantung pada morfem bebas yang dilekatinya. Perbedaan itu bisa kita lihat pada | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 35
data berikut. Sufiks
e) Sufiks {-gachi } [A] [[A] + -gachi] Adjektiva Nominal
Nomina
{-sei}
+
juuyoo ‘penting’
→
{-sei}
+
anzen ‘aman’
→
{-sei}
+
kanoo ‘bisa/ mampu’
→
{-sei}
+
hitsuyoo ‘perlu’
→
{-sei}
+
kiken ‘bahaya’
→
juuyousei ‘kepentingan’ anzensei ‘keamanan/ kenyamanan’ kanoosei ‘kebermampuan’ hitsuyousei ‘keperluan’ kikensei ‘keberbahayaan’
Perubahan identitas kata terjadi pada bentuk turunan ketika morfem bebasnya merupakan kata adjektiva yang dalam bahasa Jepang merupakan kata sifat tipe /Na/ yang disebut keiyoodooshi (dalam hal ini bisa disebut adjektiva nominal) setelah dilekati sufiks {-sei}. Untuk derivasi yang tidak mengubah identitas kata dengan pelekatan sufiks {-sei} bisa dilihat pada data berikut. Sufiks
Nomina
Nomina
Sufiks derivasional {-gachi } bisa dilekati pada beberapa nomina dan verba yang jumlahnya sangat terbatas. Berikut data bentuk turunan yang dilekati sufiks {-gachi} Sufiks {-gachi}
+
{-gachi}
+
Nomina → byooki ‘sakit’ → enryoo ‘malu’ Akar Verba → okure ‘terlambat’
Sufiks {-gachi}
+
{-gachi}
+
kumor ‘berawan’
→
{-gachi}
+
yasum ‘libur’
→
+
36 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |
Nomina okuregachi ‘sering terlambat’ kumorigachi ‘sering berawan’ yasumigachi ‘sering libur’
Dari uraian data di atas bahwa pelekatan sufiks {-gachi} pada akar verba menghasilkan perubahan identitas kata menjadi nomina pada bentuk turunannya. Sementara makna dari sufiks {-gachi} adalah menunjukkan makna kecenderungan, kerap/ banyak menjadi. Sufiks {-gachi} yang memiliki makna ‘sering’ digunakan untuk mengungkapkan sesuatu peristiwa atau keadaan yang tidak begitu diharapkan terjadi. Sehingga proses pembentukan kata dengan sufiks ini terbatas pada kata-kata tertentu saja, terutama jenis verba keadaan. Pelekatan sufiks {-gachi}pada akar verba yang diakhiri dengan bunyi konsonan mengakibatkan adanya proses morfofonemik. Perubahan fonologis yang terjadi setelah adanya proses afiksasi adalah adanya penyisipan segmen vokal /i/ untuk memisahkan gugus konsonan diantara konsonan posisi akhir akar verba dengan konsonan di posisi awal sufiks {-gachi}.
→ ningensei ningen ‘manusia’ ‘kemanusiaan’ → seisansei {-sei} + seisan ‘produktif’ ‘produktivitas’ → shokubutsusei {-sei} + shokubutsu ’tumbuhan’ ‘nabati’ → kokuminsei {-sei} + kokumin ‘rakyat’ ‘watak bangsa’ Dari uraian data di atas pelekatan sufiks {-sei} pada nomina memang tidak mengubah identitas kata pada bentuk turunannya. Namun perubahan terjadi dari segi semantisnya yaitu menunjukkan makna memiliki ciri, watak atau sifat. f) Sufiks {-gimi} {-sei}
Nomina byookigachi ‘sering sakit’ enryoogachi ‘sering malu’
[[A] + -gimi]
menjadi nomina. Sufiks {-te} bisanya melekat pada verba. Berikut adalah data proses afiksasi Sufiks derivasional {-gimi} bisa dilekat- dari sufiks tersebut. kan pada beberapa verba, proses derivasi sufiks ini bisa dilihat pada data berikut. Sufiks Akar Nomina [A]
Sufiks {-gimi}
+
{-gimi}
+
{-gimi}
+
Akar Verba tsukare ‘capek’
→
futor ‘gemuk’
→
yase ‘kurus’
→
Nomina
{-te}
+
tsukaregimi ‘sedikit merasa capek’ utorigimi ‘sedikit merasa gemuk’
{-te}
+
{-te}
+
{-te}
yasegimi ‘sedikit merasa kurus’
Dari uraian data di atas, pelekatan sufiks {-gimi} hanya terbatas pada beberapa verba. Dari segi semantis, sufik {-gimi}menunjukkan makna merasa sedikit atau kondisi/keadaan yang menunjukkan kecenderungan agak. Bentukan dari proses afiksasi ini terbatas pada kata tertentu karena bentukan ini cenderung hanya untuk mengungkapkan hal yang berlawanan dengan harapan.Karena dalam bahasa Jepang untuk menyatakan makna sedikit lebih banyak digunakan kata chotto yang memiliki beberapa makna ‘sedikit, sepertinya, agaknya’. Di samping itu pula sama halnya sufiks {-gachi}, sufiks {-gimi} terbatas hanya melekat pada verba keadaan. Pelekatan sufiks {-gimi}pada akar verba yang diakhiri dengan bunyi konsonan mengakibatkan adanya proses morfofonemik. Perubahan fonologis yang terjadi setelah adanya proses afiksasi adalah adanya penyisipan segmen vokal /i/ untuk memisahkan gugus konsonan di antara konsonan posisi akhir akar verba dengan konsonan di posisi awal sufiks {-gimi}. g) Sufiks {-te} [A] [[A] + -te] Proses derivasi sufiks {-te} bila dilekatkan pada bentuk dasar akan menghasilkan perubahan identitas kata pada bentuk turunannya
Verba kak ‘menulis’
→
kakite ‘penulis’
hanas ‘berbicara’ kik ‘mendengar
→
hanasite ‘ pembicara’ kikite ‘pendengar’
+
odor ‘menari’
→
odorite ‘penari’
{-te}
+
→
kaite ‘pembeli’
{-te}
+
ka ’membeli’ ur ‘menjual’
→
urite ‘pendengar’
→
Berdasarkan uraian data di atas makna sufiks {-te}bila dilekatkan pada verba menunjukkan seseorang yang melakukan. Namun tidak semua jenis verba bisa dilekati oleh sufiks ini. Misalnya, verba uta ‘bernyanyi’ bila dibubuhi sufiks {-te} akan menjadi utaite* ‘penyanyi’. Bentuk turunan utaite* menurut kaidah pembentukan katanya memang bentuk potensial, tetapi bentuk turunan tersebut tidak pernah dipakai dalam bahasa Jepang karena sudah ada bentuk atau kata lain yang menyatakan untuk penyanyi yaitu kashu. Pelekatan sufiks {-te}pada akar verba yang diakhiri dengan bunyi konsonan mengakibatkan adanya proses morfofonemik. Perubahan fonologis yang terjadi setelah adanya proses afiksasi adanya penyisi segmen vokal /i/ untuk memisahkan gugus konsonan diantara konsonan posisi akhir akar verba dengan konsonan di posisi awal sufiks {-te}.Penyisipan bunyi vokal /i/ juga terjadi pada akar verba yang diakhiri dengan vokal /a/ ketika dilekati sufiks {-te}. h) Sufiks {-darake} [A] [[A] + -darake] Sufiks derivasional {-darake} melekat pada nomina tanpa mengubah identitas katanya | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 37
setelah proses afiksasi. Berikut adalah contoh data afiksasi sufiks {-darake}. Sufiks {-darake}.
Nomina +
machigai ‘kesalahan’
Nomina →
{-darake}
+
ana ‘lubang’ →
{-darake}.
+
hokori ‘debu’
→
{-darake}
+
gomi ‘sampah’
→
doro ’lumpur’
→
{-darake}.
+
machigaidarake ‘banyak kesalahan’ anadarake ‘banyak lubang’ hokoridarake ‘banyak debu’ gomidarake ‘banyak sampah’ dorodarake ‘banyak lumpur’
Dari uraian data di atas bahwasannya sufiks {-darake}, dari segi semantisnya menunjukkan makna penuh dengan (sesuatu) . Namun bentuk ini umumnya digunakan untuk mengungkapkan sesuatu sindiran atas kondisi atau keadaan yang dimaksud. Sehingga makna yang dimunculkan oleh sufiks ini menunjukkan makna konotasi negatif. i) Sufiks {-mamire} [A] [[A] + -mamire]
{-mamire}
+
ase ‘keringat’
→
{-mamire}
+
shiraga ‘uban’
→
asemamire ‘banyak keringat’ shiragamamire ‘banyak uban’
Dari urain data tersebut tampak kemiripan makna sufiks {-mamire} dengan {-darake}. Memang kedua sufiks tersebut menunjukkan makna penuh, banyak akan sesuatu. Akan tetapi sufiks {-mamire} hanya digunakan untuk sesuatu yang berkenaan dengan badan atau tubuh kita. Sedangkan {-darake} untuk di lingkungan sekitar di luar badan kita. j) Sufiks {-tate} [A] [[A] + -tate] Proses derivasi sufiks {-tate} ketika dilekatkan pada bentuk dasar verba akan menghasilkan perubahan identitas kata pada bentuk turunannya menjadi nomina. Berikut adalah beberapa data yang bisa dilekati sufiks tersebut. Sufiks {-tate}
+
{-tate}
+
Akar Verba yak ‘bakar’
Nomina →
→ deki ‘matang’ → nur ‘mengecat’
yakitate ‘baru dibakar’ dekitate ‘baru dimasak’ nuritate ‘baru dicat’
Proses derivasi pada sufiks {-mamire} {-tate} + bila dilekatkan pada morfem dasar tidak akan mengubah identitas katanya. Hal ini bisa dilihat Dari uraian data di atas bahwasannya verba bahadari data berikut. sa Jepang bila mengalami proses afiksasi makna yang muncul dari penggunaan sufiks {-tate} ini Sufiks Nomina Nomina menunjukkan baru saja dikerjakan. Sufiks {-tate} ini hanya bisa dilekatkan pada verba yang men→ doromamire {-mamire} + doro unjukkan adanya hasil yang bisa diindera secara ‘lumpur’ ‘banyak lumpur’ kasat mata. Misalnya, verba nur ‘mengecat’ dibolehkan dilekati sufiks ini karena hasil dari ak{-mamire} + chi ‘darah’ → chimamire ‘banyak tivitas mengecat itu bisa kita amati. Sedangkan darah’ kata nom ‘minum’ bila dilekati sufiks {-tate} menjadi nomitate* ‘baru minum’ meski secara 38 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |
kaidah pembentukannya merupakan bentuk potensial, tetapi bentuk tersebut tidak digunakan dalam bahasa Jepang karena ada bentuk gramatikal lain yang menyatakan makna aktivitas yang baru saja dilakukan yaitu perubahan konjugasi verba ke bentuk lampau atau kakokei + bakari da. Bentuk gramatikal tersebut bisa digunakan untuk semua jenis verba. Pelekatan sufiks {-tate}pada akar verba yang diakhiri dengan bunyi konsonan mengakibatkan adanya proses morfofonemik. Perubahan fonologis yang terjadi setelah adanya proses afiksasi adanya penyisi segmen vokal /i/ untuk memisahkan gugus konsonan diantara konsonan posisi akhir akar verba dengan konsonan di posisi awal sufiks {-tate}.
lui proses afiksasi yang bertanda (*) merupakan bentuk turunan yang mengalami pembendungan dalam komponen saringan, sehingga tidak bisa lolos dalam komponen kamus. Akan tetapi, bentuk turunan itu dapat dimasukkan ke dalam bentuk potensial yang mungkin bisa muncul dalam bahasa Jepang di masa yang akan datang.
C. Saringan Saringan merupakan komponen ketiga dalam morfologi generatif. Komponen ini berfungsi untuk menyaring bentuk turunan yang diproses dalam komponen kaidah pembentukan kata. Kata-kata yang berterima akan diteruskan ke komponen kamus, sedangkan bentuk turunan yang tidak berterima akan tersimpan dalam komponen saringan dengan menempelkan segala macam ideosinkresi. Kaidah pembentukan kata dalam proses pembentukan kata bentuk asal berupa verba uta ‘bernyanyi’ bila dibubuhi sufiks {-te} semestinya berdasarkan kaidah pembentukan kata melalui proses afiksasi, kata itu menjadi utaite* ‘penyanyi’. Demikian pula halnya dengan kata nom ‘minum’ bila dilekati sufiks {-tate} semestinya berdasarkan kaidah pembentukan kata melalui afiksasi, kata itu akan menjadi nomitate* ‘baru minum’. Bentuk-bentuk turunan seperti utaite* ‘penyanyi’, nomitate* ‘baru minum’ sesuai dengan kaidah pembentukan kata tidak menyalahi aturan tetapi tidak akan pernah muncul dalam pemakaian bahasa sehari-hari karena bentuk ini sudah digantikan dengan bentuk turunan yang lain yaitu kashu ‘penyanyi’ dan nonda bakari ‘baru minum’ Bentuk turunan bahasa Jepang mela-
PENUTUP
D. Komponen Kamus Komponen ini menurut Halle (1973) kurang dianggap memegang peranan yang penting karena kamus dan daftar morfem merupakan komponen yang diredundansi dalam sistem pembentukan kata. Kata-kata yang sudah lolos dari komponen saringan akan ditampung oleh komponen kamus.
Berdasarkan pada apa yang telah diuraikan dalam pembahasan maka dapat ditarik simpulan mengenai proses pembentukan kata nomina derivasional bahasa Jepang sebagai berikut. Pertama, pembentukan nomina derivasional bahasa Jepang dilakukan dengan melekatkan afiks derivasional dengan bentuk dasar baik bentuk dasar verba, nomina, dan adjektiva. Dimana terdapat dua kategori afiks derivasional yaitu afiks yang ketika dilekatkan pada bentuk dasarnya masih mempertahankan identitas kata dari bentuk dasarnya seperti prefiks {su-,ma-} serta sufiks {-mamire,-darake, -sei} bila bentuk dasarnya yang dilekati adalah nomina. Serta afiks yang ketika dilekatkan pada bentuk dasar adjektiva dan verba memiliki fungsi untuk mengubah identitas katanya menjadi nomina. Seperti prefiks {su-} dan sufiks {-te,-tate, -gachi-gimi} bila dilekatkan pada bentuk dasar verba, maka setelah mengalami proses afiksasi identitas katanya berubah menjadi nomina. Sementara sufiks {-sa,-mi,me,sei} bila dilekatkan pada bentuk dasar adjektiva akan menghasilkan perubahan identitas kata pada bentuk turunannya menjadi nomina. Kedua, terdapat bentuk-bentuk yang menurut kaidah pembentukan katanya sesuai | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 39
akan tetapi bentuk itu tidak digunakan dalam bahasa Jepang karena adanya pembendungan dari bentuk lain yang mewakili kata tersebut. Ketiga, proses afiksasi nomina derivasional bahasa Jepang mengakibatkan adanya proses morfofonemik. Proses perubahan bunyi yang terjadi diantaranya adalah adanya asimilasi bunyi konsonan dan penyisipan bunyi vokal /i/ pada akar verba yang diakhiri konsonan dan bunyi vokal /a/ setelah proses afiksasi. DAFTAR PUSTAKA Aronoff, Mark. 1976. Word Formation in Generative Grammer. Cambridge: Massachusets Institute of Technology, The MIT Press. Akira, Miura dan Naomi, Hanaoka. 1988. Gaikokujin no Tame no Nihongo Reibun Mondain Shiruzu 13. Tokyo: Aratake Shuppansha. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta. Comrie, Berbard. 1983. Language Universal and Linguis tic Typology. Oxford : Basil Black Well Halle, Moris. 1973. Prolegomena to a Theory of Word For mation in English. dalam Linguistic Inquiry, Vol. IV No.1. Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: United State of America by Oxford University Press Inc. Hurford, James R & Heasley, Brendan. 1983. Semantics: a coursebook. Cambridge: Cambridge University Press. Koizumi, Tamotsu. 1993. Gengogaku Nyuumon. Tokyo: Taishukan Shoten. Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ramlan, M. 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Cetakan ke VIII. Yogyakarta: C.V. Karyono. ______ 2001. Morfologi. Yogyakarta: C.V.Karyono. Reteg, I Nyoman. 2002. Afiksasi Bahasa Dawan: Sebuah Kajian Morfologi Generatif. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana. Simpen, I Wayan. 2009. Morfologi Sebuah Pengantar Ringkas. Denpasar : Udayana University Press. Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-Dasar Linguistik Jepang (edisi ketiga). Bandung : Humaniora. Verhaar, J.W.M. 2004. Azas-Azas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Uniersity Press. Yuriko, Sagawa. dkk. 1998. Kyooshi to Gakushuusha no Tame no Nihongo Bunkei Jiten. Tokyo: Kuroshio Shup
40 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |