Vol.4/No.1 | Januari - Maret 2015
ISSN 2303-2707
3 Perbandingan Interaksi Matahari - Bumi dengan Interaksi Matahari dengan Planet lain Diterbitkan oleh Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) LAPAN Pelindung Kepala LAPAN Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Penanggung Jawab Kepala Pusat Sains Antariksa Redaktur Anwar Santoso, M.Si. Editor Fitri Nuraeni, M.Si. Drs. Jiyo, M.Si
daftar isi Cuaca Antariksa
17 Aktivitas Matahari 7 Penentuan Profil Kerapatan Elektron Ionosfer menggunakan 18 Aktivitas Geomagnet Teknik Okultasi GPS 20 Koneksitas Jaringan ALELapan dan Indeks T 9 Sistem Pengamatan Geomagnet Regional di Balai Produksi dan Pengujian Roket (BPPR) Pameungpeuk 22 Review Cuaca Antariksa 12 Informasi Ionosfer dari Jaringan 24 Profil LPD Sumedang International GNSS Service (Bagian26 Warta Lapan 5) 27 Kalender Astronomi : Jan. 13 Sistem Informasi Siaga Cuaca Maret 2015 Antariksa 28 Teka Teki Silang Berhadiah 15 Manajemen Data Sains Antariksa ISSN 2303-2707
Kontributor Drs. A. Gunawan Admiranto Dr. Buldan Muslim R. Kesumaningrum, M.Si Rizal Suryana Visca Wellyanita Sri Ekawati
Siti Maryam Santi Sulistiani, S.Si. Setyanto Cahyo P. Cucu Eman H. Annis Siradj Mardiani,A.Md Varuliantor Dear, S.T. Irvan Fajar Syidik, S.T. Neneng Destiani Penata Letak Endah Oktaviani, S.Ds. Sekretariat Jaja Sudrajat Sudirman Sujana Alamat Jl. Dr. Djundjunan No.133 Bandung 40173 Telepon: (022) 6012 602 / 6038 005 Fax: (022) 6014 998 / 6038 005 HP: 0813 2121 0002
Untuk pemesanan Buletin Cuaca Antariksa Kirim faks permohonan langganan Buletin Cuaca Antariksa ke :
(022) 6038 005
Buletin Cuaca Antariksa (BCA) Vol. 4 No. 1 edisi Januari-Maret 2015 ini telah hadir di hadapan Anda. Dalam kesempatan ini, Redaksi mengucapkan “Selamat Natal 2014” dan “Selamat Menyongsong Tahun Baru 2015”. Dalam rangka menyongsong tahun baru, kami hadir dengan semangat baru dalam memberikan berbagai informasi cuaca antariksa dan dampaknya di lingkungan bumi kepada para pembaca yang budiman. Dampak dan pengaruh cuaca antariksa terhadap aktivitas kehidupan di Bumi, masih menjadi pembahasan menarik dalam edisi Buletin Cuaca Antariksa kali ini. Dengan semburan energi dan partikel-partikelnya, matahari mampu menciptakan kondisi yang tidak menentu dan berdampak buruk bagi teknologi modern. Pada edisi ini dipaparkan review kondisi cuaca antariksa 3 bulan yang sudah berlalu dan estimasi 3 bulan yang akan datang. Pusat Sains Antariksa, yang memiliki kompetensi dan tugas di bidang sains antariksa tentu harus menjawab tantangan untuk melakukan mitigasi terhadap dampak cuaca antariksa yang merugikan. Penelitian dan pengembangan dilakukan di bidang matahari, lingkungan antariksa, geomagnet dan magnet antariksa, serta ionosfer dan telekomunikasi, dengan didukung oleh bidang teknologi pengamatan yang terintegrasi dalam program cuaca antariksa. Pemantauan
cuaca antariksa dilakukan oleh Pusat Sains Antariksa LAPAN sejak tahun 2009. Pemantauan dilakukan secara terus menerus dan terintegrasi untuk menghasilkan informasi cuaca antariksa dalam suatu sistem yang diberi nama Sistem Pemantauan dan Informasi Cuaca Antariksa (SPICA) yang telah diluncurkan pada tanggal 27 Januari 2014 dan diresmikan oleh Kepala LAPAN. Beberapa artikel lain seperti Perbandingan Interaksi Matahari-Bumi Dengan Matahari-Planet Lain, Penentuan Profil Kerapatan Elektron Ionosfer Menggunakan Teknik Okultasi GPS, Informasi Ionosfer Dari Jaringan International Gnss Service, Sistem Pengamatan Geomagnet di Balai Produksi dan Pengujian Roket Pameungpeuk, Manajemen Data Sains Antariksa, Aktivitas Cuaca Antariksa dan Sistem Informasi Siaga Cuaca Antariksa. Beberapa agenda fenomena antariksa dapat dilihat pada Kalender Astronomi serta beberapa kejadian yang berasal dari langit dapat dilihat pada Galeri Antariksa. Semua informasi tersebut dikemas dengan gaya bahasa ilmiah populer sehingga Pembaca bisa mudah memahami fenomena cuaca antariksa dan dampaknya. Akhir kata, selamat membaca semoga mendapat pencerahan dan pengayaan pengetahuan. Salam Bandung, Desember 2014 Redaksi
Perbandingan Interaksi Matahari-Bumi dengan Interaksi Matahari dengan Planet Lain Oleh :
A. Gunawan Admiranto Bidang Matahari dan Antariksa
Sebagai pusat tata surya, matahari memberikan pengaruh yang cukup besar bagi seluruh anggota tata surya. Pancaran partikel dan radiasi yang datang dari matahari menghasilkan dampak berbedabeda bagi setiap planet anggota tata surya ini, tergantung pada kondisi sik planet dan atmosfernya, terutama medan magnetnya. Artikel ini mencoba meninjau dampak pancaran radiasi partikel dan gelombang elektromagnetik yang datang dari matahari terhadap planet-planet anggota tata surya dan akan dibandingkan dengan yang terjadi di bumi. Di sini akan ditunjukkan bagaimana radiasi matahari itu memberikan dampak yang bermacam-macam pada masing-masing planet, dan hal ini akan dilihat dalam kaitannya dengan yang berlangsung di bumi dalam rangka Angin surya Secara terus-menerus matahari melemparkan materinya dalam bentuk partikel-partikel bermuatan ke ruang angkasa dan aliran ini diberi nama angin surya. Setiap detiknya matahari kehilangan massa satu juta ton yang dibawa oleh angin
surya ini. Kecepatan angin surya tidak selalu tetap, saat matahari aktif kecepatan akan lebih tinggi dibandingkan dengan saat matahari tidak aktif, dan kecepatannya saat mencapai daerah di dekat bumi adalah sekitar 400 km/detik. Ekor komet menjadi bukti dari adanya pancaran angin surya yang datang dari matahari. Terlihat bahwa komet ini memiliki ekor seperti layang-layang yang tertiup angin, dan memiliki dua ekor, yaitu ekor debu yang berwarna putih dan ekor ion yang berwarna biru seperti pada gambar 1. Ekor debu muncul karena tumbukan komet dengan partikelpartikel di ruang antar planet, sedangkan ekor ion muncul karena tumbukan komet dengan partikelpartikel angin surya. Bila jauh dari matahari ekor komet akan pendek sekali, atau tidak ada, sedangkan saat berada di dekat matahari ekornya menjadi sangat panjang. Angin surya itu sendiri merupakan pancaran partikelpartikel energi tinggi yang terdiri atas proton, netron, dan elektron dan bergerak dengan kecepatan 300800 km/detik. Tekanan termal yang tinggi di korona matahari mengatasi
gaya gravitasi dan mengakibatkan pengembangan korona. Kemudian karena ada perbedaan tekanan yang sangat tinggi antara tekanan angin surya dan tekanan di daerah ruang antar bintang (mencapai 10 orde magnitudo) terjadilah angin surya ini. Angin surya terbagi menjadi dua komponen, yaitu komponen lambat dan komponen cepat. Angin surya lambat memiliki kecepatan sekitar 400 km/detik dengan temperatur sekitar 1,4-1,6x106 K dan komposisi yang mirip dengan komposisi korona matahari. Angin surya cepat memiliki kecepatan sekitar 750 km/detik dengan komposisi yang mirip dengan
Gambar 1 : Dua ekor komet yang muncul ketika komet bergerak mendekati matahari. Yang berwarna biru adalah ekor ion akibat hembusan angin surya, dan yang berwarna putih adalah ekor debu akibat tumbukan komet dengan partikel-partikel yang terdapat di ruang antar planet. (Sumber Gambar : http://bdaugherty. tripod.com/ gcseAstronomy/comets.html)
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
3
komposisi fotosfer matahari. Angin surya lambat memiliki kerapatan yang lebih besar daripada angin surya cepat dan variasi kerapatannya lebih besar. Angin surya lambat berasal dari daerah yang terletak di daerah ekuator matahari yang dikenal dengan nama streamer belt. Sedangkan angin surya cepat datang dari daerah-daerah lubang korona yang merupakan daerah dengan garis-garis gaya medan magnet terbuka yang kemudian bisa menghasilkan streamer. Karena kecepatannya cukup tinggi maka angin surya ini kemudian bisa bergerak cukup jauh di ruang antar planet dan bisa mencapai bumi. Angin surya ini terbawa oleh garis-garis gaya medan magnet matahari yang menjulur ke luar, dan karena matahari ini berputar maka aliran angin surya ini akan berputar juga sehingga pola pancaran angin surya akan mirip dengan alat penyiram halaman rumput yang berputar. Selain itu, karena sumbu medan magnet matahari tidak berimpit dengan sumbu rotasinya, maka pancaran angin surya ini tidak berada pada satu bidang dan menghasilkan sebuah efek yang
disebut efek rok balerina seperti yang disajikan pada gambar 2, dan akibatnya kadang-kadang orbit bumi berada di bawah dan kadangkadang di atas pancaran angin surya ini. Seperti sudah diuraikan di atas, secara terus menerus matahari memancarkan partikel-partikel ke angkasa luar dalam bentuk angin surya, seperti yang disajikan pada gambar 3. Angin surya yang sampai ke bumi berinteraksi dengan medan magnet bumi sehingga medan ini berbentuk seperti komet dan disebut magnetosfer. Bentuk seperti komet ini terjadi karena hembusan angin surya pada bagian yang menghadap matahari (bagian siang) memampatkan magnetosfer sehingga magnetosfer ini hanya ada sampai pada jarak 10 jari-jari bumi (63.700 km). Sebaliknya pada bagian yang membelakangi matahari (bagian malam) magnetosfer ini meluas sampai pada jarak 1000 jari-jari bumi (6.370.000 km). Magnetosfer bumi merupakan perisai bumi terhadap pancaran partikel-partikel dari matahari yang bisa membahayakan kehidupan makhluk di bumi. Partikel-partikel yang datang ke arah bumi ditangkap
oleh magnetosfer bumi dan terkungkung dalam medan ini. Daerah tempat terkungkungnya partikel-partikel oleh medan magnet bumi dinamakan sabuk radiasi van Allen, mengikuti nama seorang peneliti dari Amerika Serikat yang banyak melakukan penelitian tentang magnetosfer bumi. Bila di matahari terjadi peristiwa pelontaran massa korona, berarti berlangsunglah peningkatan pancaran partikel-partikel energi tinggi dari angkasa matahari yang dipancarkan dalam bentuk angin surya. Bila partikel-partikel ini sampai di bumi akan berinteraksi dengan magnetosfer bumi dan menimbulkan peristiwa badai medan magnet bumi dan aurora. Skema magnetosfer bumi dapat dilihat pada gambar 4. Aurora adalah lengkungan lembaran cahaya berwarna-warni yang selalu bergerak-gerak di langit, seperti yang disajikan pada gambar 5. Peristiwa ini sudah lama diamati manusia, dan sudah banyak juga orang yang berusaha menjelaskan apa sebenarnya aurora ini. Aristoteles pada abad ke empat sebelum Masehi menyebut aurora
Gambar 2 : Efek rok balerina pada pancaran angin surya. Pada satu ketika orbit bumi bisa berada di bawah aliran angin surya, tetapi pada kesempatan lain berada di atas pancaran angin surya ini. (Sumber : http://en.wikipedia.org/ wiki/Solar_wind)
Gambar 3 : Gambaran skematis interaksi radiasi dan pancaran partikel dari matahari dengan medan magnet bumi
Gambar 4 : Skema magnetosfer bumi
4
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
sebagai "chasmata", atau letusan yang terjadi di langit. Seorang ahli matematika sekaligus juga astronom dari Prancis yang bernama P. Gassendi pada awal abad 17 menyebutnya aurora borealis atau cahaya utara karena ia mengira bahwa peristiwa ini hanya terjadi di belahan bumi utara saja. Ternyata aurora tidak hanya terdapat di utara saja, sebab seorang penjelajah bangsa Inggris bernama James Cook mengamati peristiwa ini yang berlangsung di belahan langit selatan. Ia lalu menamakannya aurora australis atau cahaya selatan. Sekarang sudah diketahui bahwa aurora adalah peristiwa yang terjadi di atmosfer bumi, yang terjadi pada ketinggian antara 100 sampai 1000 km dari permukaan bumi. Tetapi mengapa aurora tidak pernah diamati di daerah ekuator? Suatu partikel bermuatan yang bergerak dalam medan magnet akan sulit sekali untuk bisa menembus garis-garis gaya medan magnet itu. Partikel ini hanya bisa bergerak searah garis gaya medan magnet yang bersangkutan. Garis-garis gaya medan magnet bumi berawal di kutub-kutub bumi sehingga partikel-partikel bermuatan yang jatuh di daerah kutub akan bergerak searah garis gaya medan. Akibatnya
partikel-partikel ini akan mudah masuk ke dalam atmosfer bumi. Me s k i p u n d e m i k i a n , y a n g menghasilkan aurora dan badai medan magnet bumi bukanlah partikel-partikel dari peristiwa pelontaran massa korona itu sendiri, melainkan dari arus listrik yang dihasilkan oleh partikel-partikel itu saat memasuki magnetosfer bumi. Dalam hal ini, para ahli mendapatkan bahwa peristiwa badai medan magnet bumi dan aurora akan terjadi jika arah medan magnet yang dibawa oleh pelontaran massa korona ini adalah ke selatan. Medan magnet yang terbawa oleh pelontaran massa korona menyambung dengan medan magnet bumi yang menghadap matahari (bagian siang) dan melalui garis-garis gaya medan magnet inilah energi magnet dihantarkan ke dalam magnetosfer. Sebagian dari partikel-partikel ini mengikuti arah medan magnet dan sebagian lagi masuk ke lapisan i o n o s f e r. A t o m - a t o m d a n molekul-molekul nitrogen dan oksigen yang banyak terdapat di atmosfer mengalami ionisasi. Di sini molekul-molekul udara terbakar dan dipancarkanlah cahaya dengan warna-warna tertentu sesuai dengan jenis atom/molekul yang mengalami
ionisasi. Dalam arah barat timur panjang aurora bisa mencapai ribuan kilometer, tetapi dalam arah utara selatan tebalnya tidak sampai satu kilometer sehingga memberikan penampakan seperti tirai. Bentuk aurora yang tidak selalu tetap (seperti tirai yang bergerak-gerak) bukan disebabkan oleh aliran atmosfer, tetapi akibat adanya perubahan medan magnet pada daerah tempat aurora terbentuk. Hal ini persis seperti pada tabung sinar katoda di pesawat televisi. Perubahan medan magnet yang dialami elektron setelah elektron ditembakkan memberikan gambar yang terus bergerak waktu kita lihat di layar kaca. Dalam hal aurora, layar kacanya adalah udara, dan elektron-elektronnya adalah partikel yang masuk menembus udara. Peristiwa interaksi antara partikel-partikel yang datang dari matahari dengan planet-planet anggota tata surya tidak terbatas pada bumi saja. Planet-planet lain seperti Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus juga mengalami interaksi semacam ini secara berbeda dengan yang dialami bumi, tergantung pada kondisi sik dan proses-proses yang berlangsung di permukaan dan atmosfer planet tersebut.
Gambar 5 : Aurora yang muncul setelah terjadinya flare Hari Bastille pada tanggal 14 Juli 2000 Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
5
1. Merkurius Planet ini adalah planet yang terdekat jaraknya dari matahari. Oleh sebab itu, proses yang diminan yang berlangsung di atmosfernya adalah angin surya. Selain itu, kedekatannya dengan matahari membuat magnetosfer Merkurius sangat didominasi medan magnet matahari, meskipun bagian inti Merkurius yang berupa logam berukuran cukup besar relatif terhadap ukuran planet tersebut secara keseluruhan. Pengukuran kuat medan magnet Merkurius yang dilakukan oleh wahana ruang angkasa Mariner 10 menunjukkan bahwa kuat medan magnet Merkurius ini hanya 1,1% kuat medan magnet Bumi. Ini karena inti Merkurius sudah memadat dan dingin sehingga tidak planet ini tidak bisa lagi membangkitkan medan magnet yang cukup kuat. Selain itu, hal lain yang cukup berperan adalah bahwa Merkurius memiliki laju rotasi yang lambat yang membuatnya semakin tidak bisa membangkitkan medan magnet yang kuat, sekuat bumi.
6
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
2. Venus Planet ini adalah planet yang agak unik karena diselubungi awan yang sangat tebal sehingga permukaannya tidak bisa diamati menggunakan teleskop. Venus tidak memiliki medan magnet yang dibangkitkan oleh oleh intinya yang disebabkan oleh rotasinya yang lembat (satu hari Venus sama dengan 243 hari bumi) dan tiadanya konveksi di daerah selubung Venus. Oleh sebab itu, medan magnet yang ada di planet ini merupakan medan magnet yang muncul akibat induksi antara medan magnet ruang antar planet yang dibawa oleh angin surya dengan ionion yang terdapat atmosfer atas Venus ini. Akibatnya magnetosfer yang ditimbulkannya tidak sebesar dan semeluas magnetosfer bumi.
3. Mars Mars adalah sebuah planet yang kecil dan kering. Selain itu, di Mars atmosfernya sangat tipis sehingga tidak ada efek rumah kaca yang bisa menghangatkan permukaan planet ini. Mars juga tidak memiliki vulkanisme seperti yang berlangsung di bumi sekarang ini. Mars yang seperti sekarang ini disebabkan oleh ukurannya yang kecil yang membuat proses pemadatan dan pendinginannya menjadi lebih cepat sehingga bagian inti yang tersusun dari besi dan nikel tidak bisa berada dalam keadaan cair yang memungkinkannya menjadi penghantar listrik. Oleh sebab itu, planet ini tidak lagi memiliki medan magnet, dan menurut para ahli medan magnet Mars sudah lenyap 4 miliar tahun yang lalu. Tiadanya medan magnet Mars membuatnya angin surya yang datang dari matahari berinteraksi dengan ionosfer Mars dan membentuk magnetosfer dengan cara seperti yang berlangsung di Venus. Hal ini mengakibatkan magnetosfer Mars menjadi sangat kecil bisa dibandingkan dengan Bumi. Sumber Gambar : http://www.mieliestronk.com/ http://www.solarviews.com/ http://www.citypress.co.za/
Penentuan Profil Kerapatan Elektron Ionosfer Menggunakan Teknik Okultasi Gps Oleh :
Buldan Muslim Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi http://www.custodiandc.com/
Indonesia yang sebagian besar berupa lautan membutuhkan teknik pengukuran pro l kerapatan elektron di atas Indonesia untuk melengkapi ionosonda yang tidak dapat menjangkau seluruh wiayah Indonesia. Salah satu metode penentua pro l kerapatan elektron adalah menggunakan teknik okultasi GPS. Ok u l t a s i a d a l a h p e r i s t i w a tertutupnya benda langit oleh benda lain yang terletak antara pengamatan dan benda langit tersebut. Salah satu contoh peristiwa okultasi adalah ketika terjadi gerhana matahari. Matahari tertutup sementara oleh adanya bulan yang terletak di antara bumi dan matahari. Okultasi pada peristiwa gerhana matahari adalah tertutupnya cahaya dalam panjang gelombang tampak yang dapat dilihat oleh mata manusia. Okultasi saat gerhana matahari akan berakhir jika posisi bulan sudah tidak segaris dengan matahari dan bumi. Istilah okultasi saat ini sudah meluas sampai pada okultasi radio dari sinyal satelit. Okultasi radio terjadi pada gelombang radio yang dipancarkan dari satelit pada saat lintasannya melalui ionosfer dan atmosfer. Adanya atmosfer dan ionosfer yang terletak antara satelit
dan penerima sinyal akan menghalangi sinyal radio yang diterima di receiver yang terletak dalam satu garis lurus antara satelit dan penerima sinyal radio. Sinyal radio justru akan diterima di lokasi yang tidak segaris dengan arah propagasi sinyal satelit karena adanya pembiasan sinyal radio oleh ionosfer. Jika okultasi benda angkasa tergantung pada ukuran benda langit, maka pada okultasi sinyal radio oleh atmosfer dan ionosfer tergantung pada karakteristik atmosfer dan ionosfer. Oleh karena
itu, teknik okultasi berkembang menjadi teknik penginderaan jauh karena dengan diketahuinya efek propagasi sinyal radio ketika melalui atmosfer dan ionosfer, maka kerapatan lapisan-lapisan tersebut dapat diestimasi Efek atmosfer pada okultasi sinyal satelit Global Positioning System (GPS) tergantung pada kerapatan, temperatur, tekanan, dan kelembaban atmosfer. Efek ionosfer pada okultasi sinyal satelit GPS tergantung pada kerapatan ionosfer dan frekuensi yang digunakan.
Gambar 1 : Pengamatan ionosfer dengan teknik okultasi GPS (http://www.ips.gov.au/IPSHosted/STSP/meetings/aip/lizabeth/image1.jpg)
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
7
Salah satu data GPS yang dapat digunakan untuk penentuan kerapatan elektron ionosfer menggunakan teknik okultasi adalah data GPS yang diterima di satelit orbit rendah (satelit LEO) yang terletak sekitar 600 800 km dari bumi kita. Elizabeth Essex dari Latrobe University menjelaskan bahwa teknik okultasi GPS dengan satelit orbit rendah FEDSAT1 dapat digunakan untuk mengamati lapisan-lapisan ionosfer bagian bawah (bottomside ionosphere) dan ionosfer bagian atas (topside ionosphere) serta plasmaphere, seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Ketika melewati ionosfer, sinyal GPS mengalami perubahan kecepatan, dan pembelokan arah s i n y a l . Pe r u b a h a n k e c e p a t a n propagasi sinyal GPS terjadi dalam bentuk percepatan untuk kecepatan fase gelombang pembawa dan perlambatan untuk kecepatan grup gelombang yang dibawa oleh sinyal GPS. Perubahan kecepatan sinyal GPS ketika melalui ionosfer tergantung pada frekuensi yang digunakan sehingga memungkinkan untuk mendapatkan jumlah total elektron yang dilalui oleh sinyal GPS dari satelit sampai receiver yang biasa disingkat dengan Slant Total Electron Content (STEC). Fernandez menerangkan dalam disertasi Doktornya yang berjudul Contributions to the 3D ionospheric sounding with GPS data pada tahun 2004 bahwa penentuan kerapatan elektron ionosfer dapat dilakukan berdasarkan 2 tipe data. Pertama, pembelokan arah propagasi yang diukur dari sudut bending dan yang kedua dari data STEC. Untuk cara
8
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
kedua diasumsikan bahwa sudut bending di ionosfer relatif kecil sehingga bisa diabaikan. Dengan cara ini lintasan sinyal dari satelit GPS ke penerima di satelit orbit rendah dapat dianggap lurus sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2. Dari data STEC yang ditentukan dari data GPS yang diterima di satelit LEO, data posisi satelit LEO yang dihitung dari data GPS di satelit LEO, dan data satelit GPS yang dihitung dari data navigasi GPS maka dapat ditentukan kerapatan elektron pada ketinggian p dari pusat bumi menggunakan teknik inversi Abel. Krankowski seorang peneliti dari Polandia dalam makalahnya yang berjudul Ionospheric electron density o b s e r v e d b y F O R M O S A T3/COSMIC over the European region and validated by ionosonda data yang terbit di Journal of Geodesy edisi
Mei 2011 telah membandingkan hasil estimasi kerapatan elektron dari teknik okultasi dengan hasil pengamatan ionosonda di tiga stasiun seperti ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini. Krankowski juga menyimpulkan bahwa validasi keandalan dari pengamatan ionosfer dengan okultasi GPS menggunaan satelit Constellation Observing System for Meteorology, Ionosphere and Climate (COSMIC) adalah pekerjaan berat yang membutuhkan analisis dan statistik generalisasi dari sejumlah besar data. Namun dari validasi dengan sejumlah ionosonda terlihat bahwa teknik ini sudah tampak sangat menjanjikan untuk menyediakan pro l yang akurat dari kerapatan elektron ionosfer dengan resolusi vertikal tinggi pada skala global.
Gambar 2 : Geometri lintasan sinyal GPS dengan mengabaikan sudut bending (Fernandez, 2004)
Gambar 3 : Perbandingan profil kerapatan elektron yang diestimasi dengan teknik okultasi GPS dengan pengamatan ionosonda.
Dari pro l kerapatan elektron, parameter kerapatan maksimum lapisan F2 (NmF2) dapat diturunkan, sehingga parameter frekuensi kritis lapisan F2 (foF2) dapat diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian oleh Xinan Yue dari University Corporation for Atmospheric Research, di Boulder, yang telah diterbitkan di Proceedings of the 16th International Technical Meeting of the ION Satellite Division pada tahun 2013, diketahui bahwa akurasi estimasi NmF2 rata-rata sekitar 15 % untuk daerah lintang rendah dan tengah serta tinggi. Validasi foF2 dari teknik okultasi GPS di satelit COSMIC dengan pengamatan ionosonda menunjukkan bahwa korelasi antara kedua pengamatan sekitar 0,9 dan kesalahannya sekitar 0,6 MHz. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut kita ketahui bahwa untuk wilayah Indonesia teknik okultasi GPS tidak hanya sangat menjanjikan tetapi lebih dari itu akan menghasilkan pengamatan ionosfer dengan resolusi spasial yang tinggi yang tidak mungkin diperoleh hanya dengan beberapa ionosonda. Selain itu, data foF2 COSMIC yang diturunkan berdasarkan teknik okultasi GPS dapat digunakan untuk validasi model foF2 yang telah dikembangkan Lapan seperti model sederhana ionosfer lintang rendah Indonesia (MSILRI) dan model ionosfer lainnya.
SISTEM PENGAMATAN GEOMAGNET DI PAMEUNGPEUK Oleh :
Cucu Eman Haryanto dan Setyanto C. Pranoto Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
Pe m a n t a u a n t e r h a d a p aktivitas geomagnet di Lapan dilakukan dalam rangka penelitian cuaca antariksa. Untuk mendukung penelitian tersebut maka dioperasikan magnetometer di beberapa tempat di Indonesia, salah satu diantaranya di Balai Produksi dan Pengujian Roket (BPPR) Pameungpeuk. Pengamatan aktivitas geomagnet di BPPR Pameungpeuk telah dilakukan sejak Januari 2013 hingga saat ini dengan lokasi pengamatan berada di koordinat Lat : S 07 38,968 dan Long: E 107 41,591. Adapun instrumen yang digunakan di stasiun ini adalah magnetometer MAGSON. Magnetometer ini melakukan perekaman tiga komponen medan magnet bumi yaitu: komponen H (arah utaraselatan), komponen D (arah timur-barat), dan komponen Z (arah vertikal) dengan sampling 1-256 data tiap detik. Selain untuk mengetahui variabilitas medan magnet permukaan pengukuran, medan magnet ini juga digunakan untuk menganalisis pulsa magnet seperti Pi2, Pc1
Pc2 Pc3 dan Pc5 (setelah melalui tahapan pengolahan data) serta penelitian yang berkaitan dengan interaksi medan magnet Bumi dengan Matahari, Ionosfer dan lingkungan antariksa. Fluxgate Magnetometer Magson Magnetometer MAGSON merupakan sebuah alat ukur digital bertipe fluxgate magnetometer yang memiliki presisi tinggi dan rendah noise seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Selain dilengkapi dengan sensor medan magnet yang ringan dan berukuran kecil bertipe ring core , instrumen ini juga memiliki beberapa tur yang terintegrasi diantaranya: dapat digunakan untuk multi sensor, memiliki koneksi jaringan TCP / IP dan penerima GPS. Instalasi Peralatan Untuk mengetahui lokasi penempatan magnetometer dengan noise lingkungan yang rendah maka dilakukan pengukuran di lokasi yang telah direncanakan. Pengukuran dilakukan dengan dua cara yaitu dengan stasioner
http://www.solarham.net/ Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
9
untuk melihat variasi medan Tabel 1 : Fitur MAGSON - Digital Fluxgate Magnetometer magnetnya dan kedua dilakukan No Fitur Fitur No dengan mobile untuk kemudian 1 Pengukuran 3 atau 6 komponen 6 Kontrol magnetometer dan output medan magnet (rentang pengukuran data melalui layar sentuh, layanan dilakukan pembuatan plot peta ± 65000 nT) jaringan dan antarmuka serial. anomali medan magnet di lokasi Pengukuran elektronik dan suhu Perekaman data pada SD Card 2 7 tersebut. Gambar 2 menunjukkan sensor dengan tingkat sampling yang lokasi magnetometer dimana berbeda (ASCII atau format data 3 Pengukuran kemiringan (2 sumbu pengukuran dilakukan pada 44 biner) : 1 Hz, 10 Hz dan 50 Hz masing-masing sensor)-Opsional. lokasi. Lingkaran yang terdapat pada 8 Akses data dan perekaman data 4 Pengukuran sudut rotary encodergambar tersebut menunjukan titik dilakukan secara simultan Opsional. pengukuran dengan jarak antaa tiap 9 Sinkronisasi waktu dan penentuan 5 Kontrol magnetometer dan output posisi dengan penerima GPS lokasi sejauh 5 meter. Pada Gambar data melalui layar sentuh, layanan 1 tersebut kontur dengan warna biru 10 Kontrol suhu - Opsional jaringan dan antarmuka serial. merupakan daerah dengan gangguan medan magnet yang H a l i n i d i l a k u k a n u n t u k akuisisi MAGSON menyimpan rendah dan merupakan area yang memudahkan perawatan, terutama data medan magnet ke dalam baik untuk penempatan sensor. pada saat proses kalibrasi sensor. compact- ash. Perangkat lunak I n s t a l a s i m a g n e t o m e t e r Ilustrasi dari perubahan tersebut yang diinstal pada embedded PC MAGSON di BPPR Pameungpeuk dapat dilihat pada Gambar 3. mengunduh data tersebut melalui telah dilakukan pada bulan Januari Instalasi Magson juga meliputi FTP dan selanjutnya dikirimkan ke 2013, namun pada bulan Juni 2013 instalasi perangkat lunak yang server di Bandung melalui jaringan sensornya mengalami kerusakan berfungsi untuk mengirimkan secara i n t e r n e t . D a n G a m b a r 5 akibat terendam air rembesan. Pada realtime data medan magnet dari m e n u n j u k a n Komponen saat itu sensor disimpan dalam stasiun Pameungpeuk ke server data pengamat medan magnet dan rumah sensor berupa lubang di Bandung melalui internet via t r a n s f e r d a t a d i B P P R sedalam kurang lebih 1 meter. Pada G P R S . Blok diagram Sistem Pameungpeuk. Panel atas bagian kiri instalasi kedua dilakukan beberapa Pengamat Geomagnet dan Transfer menunjukan sensor beserta rumah p e r u b a h a n d i a n t a r a n y a ; ( 1 ) Data di stasiun Pameungpeuk sensor dalam keadaan terbuka, panel mengubah ketinggian dudukan ditunjukan pada Gambar 4. Sistem atas bagian kanan menunjukan data sensor dan, (2) mengubah ukuran penutup rumah sensor menjadi sedikit lebih tipis dari sebelumnya.
y
x
Gambar 1 : Titik lokasi magnetometer untuk menentukan anomali medan magnet
10
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
Gambar 2 : titik penempatan magnetometer untuk mengetahui lokasi anomali medan magnet lokal di BPPR Pamengpeuk.
loger beserta rumahnya. Sensor dan data loger dihubungkan oleh kabel yang panjangnya 20 meter. Sumber listrik untuk sensor dan data loger diperoleh dari baterai 60A dengan tegangan 12V. Charging baterai tersebut menggunakan panel surya yang ditunjukan pada panel bawah bagian kiri. Sedangkan panel bawah bagian kanan menunjukan embedded PC yang dilengkapi oleh sistem transfer data. Embeded PC
dan data loger dihubungkan melalui switch hub dengan menggunakan kabel LAN. Panjang kabel dari data loger ke switch hub adalah 50 meter sedangkan dari embedded PC adalah 1 meter. Variasi Data Medan Magnet Di BPPR Pameungpeuk Gambar 6 menunjukkan variasi harian komponen H, D, dan Z hasil pengamatan tanggal 1 Mei 2013, serta di erensiasinya. Dilihat dari
gra k tersebut diketahui nilai di erensiasinya kurang dari 0,8 nT yang menggambarkan bahwa data pengamatan di BPPR Pameungpeuk memiliki level noise yang relatif rendah sehingga dapat digunakan untuk penelititan geomagnet dan cuaca antariksa.
Gambar 3 : Perubahan Konstruksi Rumah sensor.
Gambar 4 : Blok diagram sistem pengamatan geomagnet Pameungpeuk.
(a)
Gambar 5 : Komponen pengamat medan magnet dan transfer data di Pameungpeuk
(b)
Gambar 6 : variasi harian medan magnet bumi (a), dan differensiasinya (b) hasil pengamatan di BPPR Pameungpeuk 1 Mei 2013.
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
11
Informasi Ionosfer dari Jaringan International GNSS Service Oleh :
Sri Ekawati Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Informasi yang cukup penting dari hasil pengolahan data jaringan International GNSS Service (IGS) bagian (5) atau bagian terakhir ini adalah data lintang dan bujur. Dari data tersebut kita dapat mengetahui dimana tepatnya pengukuran ionosfer tersebut bila diproyeksikan diatas permukaan bumi. Seperti yang telah dibahas pada bagian (3) dan (4), data hasil pengolahan menjadi le *.CMN dengan format ASCII pada kolom 6 adalah Lintang (IPP, Ionospheric Pierce Point) dan pada kolom 7 adalah bujur (IPP). Apakah IPP itu ? dan seberapa pentingkah informasi tersebut ? Ionospheric Pierce Point (IPP) Titik potong ionosfer atau IPP adalah titik perpotongan antara garis lurus, yang menghubungkan penerima ke satelit GNSS/GPS, dengan garis lurus dari titik pusat bumi ke titik ionosfer 350 km dari p e r m u k a a n b u m i . Ga m b a r - 1 menunjukkan ilustrasi konsep IPP. Jarak penerima ke satelit GNSS/GPS adalah sekitar 22.000
Gambar-1. Ilustrasi konsep Ionospheric Pierce Point (IPP)
12
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
Tabel 1 : Contoh data posisi koordinat pengukuran ionosfer tanggal 10 April 2014
Julian Date Waktu 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8 2456757.8
5.01667 5.1 5.18333 5.26667 5.03333 5.11667 5.2 5.28333 5 5.08333 5.16667 5.25 5.33333 5.225 5.30833 5.25
PRN Azimut Elevasi Lintang Bujur STEC VTEC 14 14 14 14 16 16 16 16 22 22 22 22 22 27 27 32
45.42 47.89 50.42 53.02 229.35 232.78 236.66 240.99 150.69 152.28 153.51 154.45 155.16 193.04 191.5 321.93
30.16 31.1 32.04 32.95 55.29 57.07 58.71 60.2 65.2 62.77 60.33 57.89 55.47 30.51 32.15 30.88
-3.12 -3.37 -3.62 -3.87 -7.82 -7.64 -7.48 -7.31 -7.68 -7.84 -8 -8.16 -8.33 -11.1 -10.87 -2.81
110.26 110.29 110.31 110.33 105.29 105.31 105.34 105.36 107.53 107.56 107.61 107.66 107.71 105.76 105.94 103.97
122.69 123.34 124.02 124.29 83.3 85.17 86.85 88.41 76.83 77.69 78.89 79.88 80.93 87.43 87.05 143.68
83.68 85.44 87.22 88.72 83.53 86.39 89 91.39 83.9 83.4 83.07 82.4 81.66 63.85 65.32 96.94
S4 0.06 0.06 0.05 0.06 0.02 0.01 0.01 0.02 0.01 0.02 0.03 0.03 0.02 0.07 0.07 0.05
Gambar-2. Variasi TEC terhadap waktu dan Lintang
kilometer dan titik temu ionosfer di sekitar 350 kilometer. Gambar-1 merupakan ilustrasi saja dan bukan gambaran sebenarnya karena perbandingan jarak antara penerima GNSS/GPS ke titik IPP dengan jarak penerima ke satelit GNSS/GPS mencapai 1 : 63. Pemilihan ketinggian ionosfer di titik ~350 km diatas permukaan bumi telah dijelaskan di artikel bagian (3). Dengan konsep ini maka
Index S4 terhadap Posisi Koordinat Pengukuran
Latitude (Lintang Selatan)
Bagian (5)
Longitude (Bujur Timur)
Gambar-3 Variasi Indeks S4 terhadap posisi koordinat pengukuran
penentuan lokasi tempat pengukuran ionosfer tersebut dapat diketahui. Bahkan dengan adanya koordinat posisi diatas permukaan bumi, pemetaan ionosfer, baik itu pemetaan sintilasi ataupun Total Electron Content (TEC), dapat dengan mudah dilakukan. Posisi koordinat pengukuran ionosfer File *.CMN berformat ASCII yang diperoleh dari jaringan IGS (telah dijelaskan pada bagian (3) dan (4)) menyediakan informasi koordinat (lintang dan bujur) pengukuran ionosfer seperti yang ditunjukkan Tabel-1. Ada 32 satelit (PRN) yang berputar melewati penerima GNSS/GPS di bumi secara bergantian sehingga pada suatu waktu terdapat 4 11 sinyal
Sistem Informasi Siaga
Cuaca Antariksa Oleh :
Siti Maryam Bidang Teknologi Pengamatan
Cuaca antariksa adalah perubahan kondisi di matahari dan antariksa. Untuk memudahkan pemahaman, istilah dalam cuaca antariksa dianalogikan dengan cuaca di bumi. Bila di bumi ada angin, maka di antariksa ada angin surya. Bila di bumi ada badai, maka di antariksa ada badai matahari, badai geomagnet, dan badai ionosfer. Bila di bumi ada hujan, maka di antariksa juga ada istilah hujan meteor. Tidak seperti cuaca di permukaan yang dampaknya bisa langsung dirasakan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya yang ada di permukaan bumi, maka dampak cuaca antariksa
satelit yang diterima oleh suatu penerima GNSS/GPS. Tabel-1 merupakan contoh data posisi dari konsep IPP yang telah dibahas sebelumnya. Sebagai ilustrasi contoh pada kasus satelit PRN 14 memiliki posisi dengan sudut elevasi 30,16 dan sudut azimuth 45,42 dan dengan konsep IPP dapat di proyeksikan ke permukaan bumi di koordinat -3.12 LS dan 110,26 BT. Variasi TEC terhadap waktu dan lintang Gambar-2 menunjukkan perubahan nilai TEC terhadap waktu dan lintang. Pada bagian ini akan dibahas TEC terhadap posisi lintang karena pembahasan TEC terhadap waktu telah dijelaskan pada bagian (1), (3) dan (4). Nilai TEC tinggi terlihat setiap puncak-puncak
pengukuran berwarna hijau berada di daerah sekitar -5 LS. Nilai TEC rendah terlihat berwarna biru yaitu berada di daerah -14 LS. Informasi posisi tersebut dapat menjelaskan area/titik distribusi dengan kerapatan elektron yang tinggi atapun rendah. Gambar-3 menunjukkan cakupan pengukuran ionosfer oleh satelit GNSS/GPS. Selain itu, pada gambar tersebut juga diberikan informasi mengenai lokasi terjadinya fenomena sintilasi ionosfer sedang (0,25<S4 0,5) dan kuat (0,5<S4 1). Apa itu sintilasi ionosfer telah dibahas dibagian (2). Sintilasi sedang pada Gambar-3 berada di sebelah barat laut dan barat daya dari titik penerima GNSS/ GPS.
terhadap kehidupan manusia lebih pada sistem atau teknologi yang dikembangkan untuk membantu kehidupan manusia, seperti satelit navigasi dan komunikasi, jaringan listrik dan komunikasi radio. Hal paling penting dalam mitigasi dampak cuaca antariksa adalah lengkapnya informasi tentang kondisi cuaca antariksa pada w a k t u t e r t e n t u . Un t u k i t u diperlukan dukungan berbagai peralatan yang akan menghasilkan informasi kondisi matahari, geomagnet, dan ionosfer. Dari situs SWPC (Space Weather Prediction Center, www.swpc. noaa.gov), sistem informasi siaga cuaca antariksa (Space Weather Alerts) bisa dijadikan acuan untuk melengkapi informasi kondisi cuaca antariksa (Gambar 1). Situs ini mampu memberikan informasi yang bisa dipelajari dan difahami
pengguna. Sistus ini menyajikan informasi kondisi cuaca antariksa dengan dukungan basis data yang lengkap dan mutakhir. Informasi mitigasi disajikan dalam format gra k dan narasi dan dimuat pada halaman situs web. Informasi mitigasi terdiri dari peristiwa X-ray Flux, semburan matahari (Radio Events), Geomagnetic Sudden Impulse, Geomagnetic K-index, Electron Flux, Proton 10MeV dan 100MeV Flux yang disampaikan bentuk simbol-simbol dengan kemampuan clickability . Hanya menekan simbol mitigasi, maka informasi kondisi cuaca antariksa akan ditampilkan. Informasi gra k menunjukan produk kondisi cuaca antariksa selama seminggu yaitu enam hari terakhir dan hari saat ini (hari yang berjalan). Gra k ini juga menyajikan informasi Peringatan kondisi cuaca
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
13
antariksa selama tujuh hari, tetapi lebih difokuskan pada hari saat ini. Sistem informasi siaga cuaca antariksa dilengkapi denga arsip sejak bulan Februari 2002 dengan deskripsi informasi peringatan cuaca antariksa yang bermanfaat dan untuk mendukung proses ploting pada mitigasi yang disesuaikan d e n g a n s k a l a N OA A ( d a l a m Koordinat Universal Time - UTC). Simbol-simbol yang muncul pada gra k mewakili produk informasi fenomena cuaca antariksa. Terdapat tujuh simbol yang merupakan informasi yang diplot pada waktu kondisi waspada (Tabel 1). Fitur lainnya dari sistem informasi siaga cuaca antariksa adalah sajian informasi mitigasi dalam bentuk teks yang lengkap dengan kode dan nomor seri pesan ( Tabel 2). Informasi kondisi cuaca antariksa pada tur ini adalah informasi bulan berjalan dan bulan sebelumnya. Pusat Sains Antariksa melalui Sistem Pemantau Informasi Cuaca Antariksa ( S PI C A ) ber upaya melakukan mitigasi terhadap dampak yang merugikan akibat cuaca antariksa. Walaupun belum sampai kepada informasi clickability , sebagai unit kerja yang memiliki kompetensi di bidang sains antariksa, Pussainsa terus berupaya mengembangkan sistem basis data kondisi matahari, geomagnet, dan ionosfer untuk mendukung layanan informasi cuaca antariksa.
Tabel 1. Simbol Informasi Mitigasi Kondisi Cuaca Antariksa Simbol
Arti
Keterangan
Tabel 2. Fitur Format Teks Informasi Siaga Cuaca Antariksa
Gambar 1. Informasi Siaga Cuaca Antariksa 14
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
Manajemen Data
Sains Antariksa Oleh :
Rizal Suryana Bidang Teknologi Pengamatan
Data merupakan sebuah catatan atas fakta yang dapat berupa angka, simbol, huruf atau merupakan gabungan dari ketiga hal tersebut. Data belum memiliki arti atau informasi secara lengkap sehingga memerlukan pengolahan lebih lanjut. Data sains antariksa merupakan catatan hasil pengamatan atau pengukuran yang meliputi matahari, ionosfer dan geomanget. Pengamatan akitivitas matahari, ionosfer dan geomanget menggunakan berbagai macam jenis peralatan pengamat seperti teleskop optik, radio teleskop, ionosonda, penerima Global Navigation System Satellite (GNSS), radar, jaringan Automatic Link Establishment (ALE) dan ugate magnetometer. Setiap data hasil pengamatan memiliki format dan struktur data yang berbeda-beda tergantung pada alat pengamatannya. Perbedaan struktur data hasil pengamatan berdampak pada kesulitan dalam pengelolaan, penggunaan dan pengembangan basis data sains antariksa. Repositori Data Sains Antariksa (RDSA) merupakan tempat/wadah penyimpan data hasil pengamatan yang berasal dari Balai/Loka Pengamatan Dirgantara berupa sistem aplikasi berbasi web yang disediakan oleh bidang teknologi pengamatan. Peneliti L APAN Bandung dapat mengambil data
dengan mengakses alamat website https:// rdsa.bdg. lapan.go.id. Pada aplikasi tersebut pengguna mengalami kesulitan untuk mendapatkan data hasil pengamatan, ketika pengguna akan mendapatkan data hasil pengamatan berdasarkan tanggal. Pengguna harus melakukan pencarian data dari ribuan data yang tersedia dan pengembangan aplikasi mengalami kesulitan. Pengembangan aplikasi RDSA dibutuhkan sebuah kata kunci, penentuan indeks dan metode pencarian yang tepat. Data hasil pengamatan yang dibuat secara otomatis oleh sistem, maka metode pencarian data dapat dilakukan dengan menggunakan kata kunci atau penentuan indeks. Tetapi untuk data hasil pengamatan yang dilakukan secara manual tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama. Pe n g g u n a a n k a t a k u n c i d a n penentuan indeks menjadi tidak tepat, hal ini disebabkan struktur data dan penamaan data yang tidak konsisten sehingga sulit untuk mencari kata kunci ataupun penentuan indeks. STRUKTUR DIREKTORI HASIL PENGAMATAN Struktur direktori dari masingmasing alat pengamatan memiliki struktur yang berbeda-beda dan tergantung dari jenis peralatan. Struktur data hasil pengamatan
SUNSPOT Tahun BULAN Data Sket-sunspot TAHUN BULAN Data Bilangan-sunspot TAHUN BULAN Data (a) Struktur Data Sunspot
IPS71 Tahun Bulan Hari RAW SUR Data DOP Data VIS RAW Data (b) Struktur Data IPS71
Beacon Data Data (c) Struktur Data GNU Beacon
Gambar 1. Contoh Struktur Direktori Peralatan Pengamatan
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
15
Nama data/Alat Tahun BULAN
GNU Beacon memiliki struktur direktori penyimpan NamaAlatPengamat DataHasilPengamatan. Pembeda antara satu data hasil pengamatan yang satu dengan yang lainya, ditentukan dengan cara memberikan nama le hasil pengamatan dengan lokasi pengamatan dan tanggal pengamatan. St r u k t u r d a t a S U N S P O T memiliki struktur data yang relatif jelas tetapi mengalami duplikasi data. Struktur data SUNSPOT memiliki struktur NamaAlat Tahun/NamaParameter Bulan DataHasilPengamatan.
Duplikasi data akan mengakibatkan kebingungan untuk memastikan data yang benar. Struktur data IPS71 memiliki struktur data yang sudah terstruktur dengan baik namun masih memiliki struktur data paling bawah yang tidak sama. Struktur data IPS71 yaitu NamaAlat Tahun Bulan Hari Raw NamaParameter Data/Raw Data. Struktur data tersebut merupakan contoh struktur data hasil pengamatan untuk semua
16
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
Data Hari Parameter Tahun Data Gambar 2. Struktur Data Hasil dari Restruktur
peralatan yang ada. RE-STRUKTURISASI DATA HASIL PENGAMATAN Struktur data seperti pada gambar 1 akan dilakukan restrukturisasi data, hal ini bertujuan untuk membuat struktur data yang sama dengan data lainnya. Ketika data pengamatan sains antariksa memiliki struktur data yang ssama, maka akan memudahkan pengguna dalam pengambilan data berdasarkan tanggal pengamatan dan pengembangan aplikasi menjadi lebih mudah. Proses re-strukturisasi data akan membuat struktur data baru sesuai dengan format sebagai berikut NamaData Tahun Bulan Hari DataHasilPengamatan. Nama data hasil pengamatan tidak mengalami perubahan terkecuali pada data hasil pengamatan secara manual dengan format nama data sebagai berikut : namadata_ namalokasi_tanggalpengamatan. Restruktur data dibuat berdasarkan Struktur data pada gambar 2 menjadi struktur data yang akan selalu digunakan pada manajemen
data hasil pengamatan sains antariksa. Apabila sebuah peralatan pengamatan menyimpan data hasil pengamatan satu hari kedalam satu le data maka strukturnya menjadi NamaData/Alat Tahun Bulan DataHasil Pengamatan. Ketika satu peralatan pengamat menghasilkan lebih dari satu le data dalam satu kali pengamatan dan setiap le data tersebut menyatakan parameter/hasil tertentu, misalnya IPS71 dalam satu kali pengamatan akan menghasil 3 le data yang berbeda, maka strukturnya NamaData/Alat Tahun Bulan Hari Parameter DataHasilPengamatan.
AKTIVITAS
MATAHARI September – November 2014 Oleh :
Santi Sulistiani Bidang Matahari dan Antariksa
Selama bulan September 2014 dicatat 146 are kelas C, 12 are kelas M, dan 1 are kelas X. Flare terkuat selama bulan September diklasi kasikan sebagai X1.6 yang mencapai puncak tanggal 10 September pukul 17:45 UT. Kilatan r a d i a s i u l t r a v i o l e t d a r i a re mengionisasi lapisan atas atmosfer Bumi, mengganggu komunikasi radio HF selama lebih dari satu jam. Flare ini berasal dari daerah aktif NOAA 12158 (posisi N14 E02), disertai semburan radio tipe II dan lontaran massa korona (CME) halo dengan laju proyeksi-bidang-langit sekitar 1200 km/det. Meskipun demikian, CME ini tidak menimbulkan badai geomagnet kuat karena medan magnetnya sebagian besar mengarah ke utara. Aktivitas matahari bulan Oktober lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, dengan lebih banyak are kelas C dan M, dan enam buah are kelas X. Keenam are kelas X ini berasal dari daerah aktif NOAA 12192 yang berada di belahan selatan matahari. Sejauh ini, NOAA 12192 adalah daerah aktif terbesar (mencapai luas maksimum sebesar 16 kali permukaan Bumi pada tanggal 26 Oktober) selama siklus matahari 24, menghasilkan 26 are kelas M dan 6 are kelas X selama keberadaannya di piringan matahari yang menghadap ke Bumi tanggal 16-31 Oktober. Kesemua are kuat
tersebut tidak disertai oleh CME kecuali are M4.0 yang terjadi tanggal 24 Oktober. Namun CME itu pun tidak mengarah ke Bumi. LASCO C2 SOHO mendeteksi CME mulai pukul 05:00 UT tanggal 1 November. CME ini berkaitan dengan erupsi lamen di kuadran selatan-timur sekitar pukul 04:00 UT dan berasosiasi dengan sebuah are Hyder kelas C2.7 yang dimulai pukul 04:44 UT dan mencapai puncak pukul 05:34 UT (Gambar 1). Flare di posisi S22 E52 yang tidak berasosiasi dengan grup bintik ini termasuk Long Duration Event (LDE) dengan durasi lebih dari 2 jam. Karena berasal dari belahan timur, CME ini tidak menimbulkan gangguan di Bumi. Aktivitas matahari bulan No v e m b e r s e d i k i t m e n u r u n dibandingkan Oktober. Flare paling kuat terjadi di daerah aktif NOAA 12205 tanggal 7 November, yaitu are X1.6 yang mencapai puncak pukul 17:26 UT (Gambar 2). Daerah aktif NOAA 12192 muncul kembali di piringan matahari sebagai NOAA 12209 tanggal 13 November (Gambar 3). Flare terkuat dari daerah aktif ini adalah are M5.7 tanggal 16 November yang mencapai puncak pukul 17:48 UT.
Gambar 1 : CME yang mulai dideteksi oleh LASCO C2 SOHO tanggal 1 November 2014 pukul 05:00 UT. (Sumber: Solar and Heliospheric Observatory)
Tabel 1 : Prediksi bilangan sunspot bulanan periode Desember 2014 - November 2015 Prediksi Bilangan Sunspot
Bulan
Desember 2014
71.5 ±7
Januari 2015
70.3 ±8
Februari 2015
69.1 ±9
Maret 2015
67.8 ±9
April 2015
66.5 ±10
Mei 2015
65.1 ±10
Juni 2015
63.6 ±10
Juli 2015
62.1 ±11
Agustus 2015
60.4 ±11
September 2015 58.8 ±11 Oktober 2015
57.1 ±11
November 2015 55.4 ±11
(metode filter Kalman, http://sidc.oma.be/ products/kalfil):
Gambar 2 : CME yang menyertai flare X1.6 tanggal 10 September 2014 di daerah aktif NOAA 12158. (Sumber: Solar and Heliospheric Observatory)
Gambar 3 : Daerah aktif NOAA 12192 dan perbandingannya dengan ukuran Bumi. (Sumber: The SolarTerrestrial Centre of Excellence (STCE), Belgia)
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
17
AKTIVITAS GEOMAGNET September – November 2014 Oleh :
Visca Wellyanita dan Cucu Eman H. Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
Pada tanggal 9 September 2014, bintik matahari melepaskan energinya yang mengakibatkan are yang berlangsung terus menerus. Flare yang terjadi ini disertai lontaran massa korona (CME) yang mengarah ke bumi. Ketika CME terbawa angin surya menuju Bumi dan medan magnetik ruang antar planet (IMF) berarah selatan, maka akan meghasilkan rekoneksi yang mengakibatkan sejumlah partikel yang terbawa oleh CME akan masuk ke dalam bumi. Peristiwa tersebut menyebabkan badai geomagnet skala menengah pada tanggal 12 September 2014 dengan nilai Dst turun sampai -75 nT (Gambar 1). Gangguan geomagnet ini tidak terlalu besar dikarenakan arah medan magnetik ruang antar planet berputar menuju arah utara sehingga rekoneksi terputus. Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Tanjungsari dan Balai Penginderaan Jauh (BPJ) Pare-pare pada tanggal 10 September 2014 menunjukan nilai indeks K = 4 (Gambar 2). Sedangkan stasiun Menado menunjukan nilai K = 4 dan pada tanggal 12 September 2014. Indeks tersebut menandakan bahwa gangguan yang berupa badai geomagnet terdeteksi secara lokal pada setiap stasiun pengamatan tersebut. Aktivitas geomagnet pada bulan Oktober 2014 mengalami 4 kali badai geomagnet lemah (Gambar 3). 18
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
Gambar 1 : Indeks Dst bulan September 2014 memperlihatkan 1 kejadian badai menengah pada tanggal 12 September 2014.
Gambar 2 : Indeks K bulan September 2014 stasiun BPJ Pare-pare
Gambar 3 : Indeks Dst bulan Oktober 2014 memperlihatkan 4 kali badai geomagnet lemah yaitu pada tanggal 9, 14,20 dan 28 Oktober 2014.
Gambar 4 : Indeks K bulan Oktober 2014 BPJ Pare-pare
Badai geomagnet skala menengah yang pertama terjadi pada tanggal 9 Oktober 2014 dengan penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -38 nT. Badai geomagnet yang kedua terjadi pada tanggal 14 Oktober 2014 dengan penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -31 nT. Badai geomagnet yang ketiga terjadi pada tanggal 20 Oktober 2014 dengan penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -36 nT. Badai geomagnet yang keempat terjadi pada tanggal 28 Oktober 2014 dengan penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -39 nT. Di matahari pada tanggal 24 Oktober 2014 terdeteksi adanya CME tetapi berasal dari balik matahari sehingga tidak mengarah ke Bumi. Loka Pengamatan Atmosfer (LPA) Kototabang pada tanggal 15 Oktober 2014 dan 24 Oktober 2014 memiliki nilai indeks K = 5 yang artinya bahwa terdeteksi adanya gangguan geomagnet pada daerah sekitar stasiun pengamatan ini, akan tetapi tidak terdeteksi pada stasiun pengamat geomagnet lainnya (Gambar 4 dan 5). Ini menandakan bahwa gangguan yang terjadi di s t a s i u n Ko t o t a b a n g t e r s e b u t merupakan gangguan lokal. Pada awal November, yaitu tanggal 1 November 2014 dan 4 November 2014 terdeteksi adanya CME di matahari, akan tetapi tidak mengarah ke Bumi, sehingga tidak menyebabkan terjadinya badai geomagnetik di Bumi. Pada tanggal 7 November 2014 terdeteksi halo C M E dengan kecepatan 600 km/detik dan arahnya menyapu Bumi sehingga menyebabkan badai magnetik pada tanggal 10 November 2014 dengan penurunan nilai Dst -55 nT (Gambar 6). Badai magnetik tersebut tidak terlalu besar dikarenakan medan magnetik ruang
Gambar 5 : Indeks K bulan Oktober 2014 LPA Kototabang
Gambar 6 : Indeks Dst bulan Novemberr 2014 memperlihatkan 1 kali badai geomagnet skala menengah pada tanggal 10 November 2014 dan 1 kali badai berskala lemah pada tanggal 16 November 2014.
Gambar 7 : Indeks K bulan November 2014 LPA Kototabang
antar planet kembali berarah utara yang menyebabkan rekoneksi terputus. Gangguan geomagnet berskala kecil lainnya juga terjadi pada tanggal 16 November 2014 dengan nilai Dst terendah -39 nT. Gangguan geomagnet tersebut teramati juga di LPD Sumedang, L PA Kototabang dan B P D Pontianak pada tanggal 4, 10 dan
16 November 2014 dengan nilai indeks K = 4 di stasiun Tanjungsari dan Pontianak dan K = 5 di LPA Kototabang (Gambar 7). Indeks tersebut menandakan bahwa gangguan yang berupa badai geomagnet terdeteksi secara global sehingga dapat teramati pada beberapa stasiun geomagnet di Indonesia. Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
19
Koneksitas Jaringan ALE-LAPAN dan Indeks T Regional Oleh :
Annis Siradj Mardiani Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Pengamatan jaringan komunikasi ALE (Automatic Link Establishment) sirkit komunikasi Pekanbaru Bandung (Jarak 1073 km) dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut untuk periode bulan Oktober, frekuensi 7 MHz dan 10 MHz merupakan frekuensi yang
dapat digunakan pada pagi, sore serta malam hari. Namun demikian, frekuensi 14 MHz merupakan frekuensi yang dapat digunakan hampir sepanjang hari. Sedangkan untuk bulan November, frekuensi 10 MHz dan 14 MHz hampir dapat digunakan sepanjang hari dan
frekuensi 7 MHz dapat digunakan sepanjang malam dan pagi hari, tetapi tidak dapat digunakan untuk siang hari. Masih dalam tabel 1, frekuensi 18 MHz, keberhasilan komunikasi tinggi pada siang hingga malam hari, namun tidak dapat digunakan untuk dini hingga pagi hari. Un t u k s i r k i t k o m u n i k a s i Pameungpeuk-Bandung (Jarak 87 km) dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2, selama bulan Oktober, frekuensi 3 MHz memiliki keberhasilian tinggi kecuali pada
Tabel 1. Keberhasilan komunikasi selama bulan Oktober & November 2014 untuk sirkit Pekanbaru - Bandung SIRKIT / FREKUENSI
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Pekanbaru-Bandung Frekuensi 7 Frekuensi 10 Frekuensi 14 Frekuensi 18 Frekuensi 21 Frekuensi 25 Pekanbaru-Bandung
WAKTU (WIB) 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Oktober 2014
November 2014
Frekuensi 3 Frekuensi 7 Frekuensi 10 Frekuensi 14 Frekuensi 18 Frekuensi 21 Frekuensi 25
Tabel 2. Keberhasilan komunikasi bulan Oktober & November 2014 untuk sirkit Pameungpeuk - Bandung SIRKIT / FREKUENSI
0
1
2
3
4
5
6
Pameungpeuk-Bandung Frekuensi 3 Frekuensi 7 Frekuensi 10 Frekuensi 14 Pameungpeuk-Bandung Frekuensi 3 Frekuensi 7 Frekuensi 10 Frekuensi 14 Keterangan :
20
Frekuensi dapat digunakan Frekuensi tidak dapat digunakan
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
7
8
WAKTU (WIB) 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Oktober 2014
November 2014
pukul 7:00 15:59 WIB. Frekuensi 7 MHz dapat digunakan sepanjang siang dan malam hari, sedangkan f re k u e n s i 1 0 M H z m e m i l i k i keberhasilan tinggi pada pukul 6:00 sampai 23:59 WIB. Frekuensi 14 MHz dapat digunakan pada siang hari hingga malam hari (12:00 2 3 : 5 9 ) . Po l a k e b e r h a s i l a n komunikasi untuk bulan November tidak banyak berubah pada sirkit ini. Tabel 3, adalah sirkit komunikasi Biak Bandung (Jarak 3220 km). Dari Tabel 3, Keberhasilan paling tinggi terjadi pada siang hingga malam hari (9:00 20:59) dengan
menggunakan frekuensi 21 MHz untuk bulan Oktober. Masih dalam bulan Okterber, frekuensi 18 MHz tercatat hanya memiliki keberhasilan selama 3 jam yaitu 14:00-16:59 begitu pula dengan frekuensi 25 MHz yang tercatat hanya memiliki keberhasilan pada 16:00-18:59. Sedangkan selama bulan November, keberhasilan komunikasi sirkit ini hanya terjadi beberapa jam saja di sore sampai menjelang malam hari, pada frekuensi 18 MHz pukul 17:0019:59 serta pada frekuensi 21 MHz tercatat pukul 17:00 18:59.
Kondisi ionosfer yang terpantau dari L o k a Pe n g a m a t D i r g a n t a r a Sumedang selama periode September November 2014 menunjukkan nilai maksimum foF2 harian bernilai 14 Mhz (Gambar 1). Tidak ada penurunan atau kenaikan nilai foF2 yg signi kan yang teramati pada periode ini. Untuk rekomendasi frekuensi terbaik dalam komunikasi HF, dapat diilhat pada buku prediksi edisi triwulan I tahun 2015, atau dapat menghubungi Pusat Sains Antariksa Lapan di nomor telepon: 0226012602.
Tabel 3. Keberhasilan komunikasi selama bulan Oktober & November 2014 untuk sirkit Biak - Bandung SIRKIT / FREKUENSI
0
1
2
3
4
5
6
Biak-Bandung Frekuensi 18 Frekuensi 21 Frekuensi 25 Biak-Bandung
7
8
WAKTU (WIB) 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Oktober 2014
November 2014
Frekuensi 18 Frekuensi 21 Keterangan :
Frekuensi dapat digunakan Frekuensi tidak dapat digunakan
Regional
95 94 94 93 Th. 2015
91 89 88 88 87 86 85 Gambar 1. Profil HBA ionosfer di atas Tanjungsari, Sumedang tanggal 6-11 September 2014.
85 Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
21
Review Cuaca Antariksa September-November 2014
http://www.esa.int/ Oleh :
R. Kesumaningrum Bidang Matahari dan Antariksa
Terdapat aktivitas matahari yang cukup tinggi pada rentang September-November 2014 dengan adanya bintik matahari yang berukuran besar dan kompleks di permukaan matahari yaitu AR 12192. Pada tanggal 18 Oktober 2014, bintik mulai terlihat pada tepi timur piringan matahari dan terus membesar dalam beberapa hari rotasinya.
Gambar 1. Densitas proton dan kecepatan angin matahari pada tanggal 18-30 Oktober 2014 yang diperoleh dari satelit ACE.
Gambar 2. Bintik matahari AR 12192 yang diamati 21 29 Oktober 2014 hasil pengamatan Lapan Bandung (Bid. Matsa © Heri Sutastio)
Gambar 3. Flare kelas X3.1 yang erupsi dari piringan matahari yang menghadap ke Bumi pada 24 Oktober 2014. Citra matahari pada panjang gelombang 171 dan 304 Angstroms hasil pengamatan SDO NASA. Tidak terdeteksi CME yang mengarah ke Bumi.(Credit: NASA/SDO).
Gambar 4. Indeks aktivitas geomagnet dengan indeks Dst pada bulan Oktober 2014 yang menunjukkan tidak ada badai magnetik yang terjadi pada saat adanya daerah aktif AR12192 di permukaan matahari.(Sumber: http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/) 22
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
Gambar 5. Daerah aktif 12209 yang muncul sejak tanggal 14 November 2014 hingga menghilang di tepi barat piringan matahari tanggal 24 November 2014 merupakan sisa dari daerah aktif 12192. (Sumber: Solarmonitor.org)
Pada tanggal 23 Oktober 2014 bintik AR 12192 mencapai ukuran 80.000 mil atau setara dengan 10 kali diameter Bumi. Bintik ini menjadi yang terbesar untuk siklu ke-24 aktivitas matahari. Terdeteksi sebanyak 4 kali flare kelas X dan sedikitnya 20 kali flare kelas M, seluruhnya bersumber dari daerah aktif AR2192. Daerah aktif kemudian menghilang ke balik piringan matahari pada tanggal 29 Oktober 2014. Dari pengamatan satelit ACE terhadap angin matahari (Gambar 1) terlihat adanya peningkatan kecepatan angin matahari pada tanggal 21 Oktober 2014. Pada tanggal 18-23 Oktober sejak kemunculannya di tepi timur sampai ke meridian piringan matahari (Gambar 2 dan 3), tidak terdeteksi adanya
lontaran massa korona (CME) maupun adanya peningkatan kerapatan angin matahari meskipun banyak terjadi flare (Gambar 4). Sebagai respon terhadap flare matahari, kondisi propagasi HF ionosfer pada 21-23 Oktober 2014 menurun dan hal ini memungkinkan terjadinya fadeout komunikasi HF, sedangkan pada 24-26 Oktober 2014 kondisi propagasi HF diduga normal kembali. Daerah aktif AR12192 kembali muncul di permukaan matahari yang menghadap ke Bumi pada tanggal 14 November 2014 hingga 24 November 2014 sebagai daerah aktif AR12209. Daerah aktif 12209 tidak sebesar dan seaktif sebulan sebelumnya saat berupa AR 12192, namun tetap dengan konfigurasi magnetik kompleks ' Beta-Gamma-Delta(- S dqcdsdj rh 3 (tiga) kali flare kelas M, dengan flare terkuat kelas M5.7 yaitu pada 16 November pukul 17:48 UT
bersumber dari daerah aktif AR 12209. Tidak terdeteksi fenomena CME, semburan radio dan peningkatan angin surya yang signifikan. Lingkungan geomagnet Bumi berada dalam kondisi tenang tanpa ada badai (Gambar 5). Selain bersumber dari daerah aktif AR12192 dan AR12209, aktivitas matahari medium berasal dari daerah aktif AR 12205. Terdeteksi 5 kali flare kelas M terkuat kelas M7.9 pada 05 Nopember pukul 09:47 UT bersumber dari AR2205. Meski flare hanya pada kelas medium, namun diikuti dengan peristiwa CME, semburan radio tipe II dan III dan peningkatan densitas angin surya terjadi pada 03, 04 dan 05 Nopember 2014. Flare dan CME ini tidak menimbulkan badai magnet di lingkungan Bumi. Bintik matahari lainnya umumnya merupakan bintik kecil dengan konfigurasi sederhana (Alpha) atau (Beta) dan flare yang dihasilkan merupakan flare lemah. Meskipun terdapat flare kuat dari daerah aktif AR 12192, AR12205 dan AR12209 dan beberapa diantaranya menimbulkan flare, namun tidak terjadi rekoneksi medan magnetik sehingga tidak terjadi badai geomagnet. Dengan demikian lingkungan cuaca antariksa cenderung berada dalam kondisi tenang.
http://www.uib.no/ Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
23
PROFIL LOKA PENGAMATAN DIRGANTARA (LPD) SUMEDANG Oleh :
Neneng Destiani
Gambar 1. Kondisi lingkungan Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang.
Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang adalah salah satu fasilitas pengamatan dirgantara dari 6 (enam) loka / balai pengamatan yang dikelola oleh Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lapan (Gambar 1). Dibangun sejak tahun 1975 dan telah melakukan pengamatan aktivitas matahari secara radio yang bekerja pada frekuensi 200 MHz. Pembangunan sik LPD Sumedang dimulai pada tahun 1977 dan peresmiannya dilakukan oleh Kepala LAPAN pada tanggal 13 Maret 1980 sebagai Stasiun Pengamat Matahari. Kemudian pada tahun 1989 berganti nama menjadi Stasiun Pengamat Matahari dan Ionosfer.
Setelah itu, kembali berganti nama m e n j a d i S t a s i u n Pe n g a m a t Dirgantara (SPD) Tanjungsari pada April 2001, dan sejalan dengan perkembangan misi yang diembannya menjadi Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang pada tahun 2011. LPD Sumedang yang berlokasi di Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 31, Sumedang, Jawa Barat, memiliki tugas dan fungsi melakukan aktivitas pengamatan, perekaman, pengolahan dan pelaporan data antariksa serta sosialisasi pemanfaatan data dan penyiapan bahan pelaksanaan kerjasama teknis di bidangnya.
Peralatan yang terdapat di LPD Su m e d a n g m e l i p u t i Fl u x g a t e Magnetometer, Teleskop NGT 18 inci, Teleskop Celestron 8 inci, Spektrograf Radio SN 4000, Ionosonda IPS 71 dan Automatic Weather Station (AWS). Masing-masing alat-alat tersebut memiliki fungsi sebagai berikut :
Gambar 2. Rangkaian Peralatan pengamat geomagnet Fluxgate Magnetometer
Gambar 3. Rangkaian peralatan pengamat aktivitas matahari, radio spektrograf SN 400
24
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
1. Fluxgate Magnetometer digunakan untuk mengukur variasi geomagnet komponen H, D, Z dalam skala waktu tertentu untuk mengetahui tingkat gangguan pada medan magnet bumi (Gambar 2).
2. Spektrograf Radio SN 4000 digunakan untuk mengamati aktivitas matahari secara radio dalam rentang frekuensi 18 1800 MHz (Gambar 3). 3. Teleskop NGT 18 inci digunakan untuk pengamatan objek malam seperti planet, bintang dsb. Teleskop ini dilengkapi dengan kamera CC D SpectraSource 1024x1024 dan spektrograf dengan disperse 121Å/mm (Gambar 4).
Gambar 4. Teleskop NGT 18 inci
Gambar 5. Teleskop Celestron 8 inci
Gambar 5. Teleskop Celestron 8 inci
6. Ionosonda IPS-71 digunakan untuk mengamati lapisan ionosfer (50-1000 Km) Gambar 7. Sistem peralatan IPS-71 menghasilkan ionogram yang memuat parameter ionosfer. Parameter ionosfer yang diamati adalah frekuensi minimum (fmin) 4. Te l e s k o p C e l e s t ro n 8 i n c i dan frekuensi kritis (fo) masingdigunakan untuk pengamatan masing lapisan juga ketinggian matahari berupa bintik (sunspot) (h) baik secara vertical sounding matahari (Gambar 5). maupun oblique sounding 5. Automatic Weather Station (AWS) (Gambar 7). adalah peralatan klimatologi Selain melakukan pengamatan pertanian otomatis yang matahari dan ionosfer, L P D digunakan untuk mengukur Sumedang juga melayani cuaca. Unsur cuaca yang diamati permintaan data dan kunjungan dari terdiri dari radiasi surya, suhu dan berbagai instansi. Sampai November kelembaban udara, kecepatan 2 0 1 4 , L P D Su m e d a n g t e l a h angin, suhu tanah, dan curah melayani 11 permohonan data dan hujan (Gambar 6). 20 kunjungan dari berbagai instansi, lembaga atau sekolah. Salah satu contohnya seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Contoh Foto kegiatan kunjungan SD IT As-Samadani dan mahasiswa Universitas Garut (Uniga) di LPD Sumedang
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
25
Warta Lapan
Rangkaian Kegiatan HUT Lapan 2014 di Pussainsa Oleh :
Jaja Sudrajat dan Sudirman Sujana Humas Pussainsa / PSTA
Dalam rangka memperingati ulang tahun Lapan ke-51, telah dilakukan beberapa kegiatan di Pusat Sains Antariksa. Beberapa kegiatan yang dilakukan dan melibatkan masyarakat luas dan masyaraat ilmiah adalah Festival Sains Antariksa 2014 dan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2014. Festival Sains Antariksa 2014 yang digelar oleh Pusat Sains Antariksa Lapan berlangsung pada hari Sabtu, 11 Oktober 2014 bertempat di kantor Pusat Sains Antariksa Lapan, Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung, mulai pukul 08.00 WIB – 15.00 WIB. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Deputi Sains, Drs. Afif Budiyono, MT. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa mengenai antariksa, pengetahuan astronomi melalui eksplorasi alam semesta, melakukan ekperimen yang terkait dengan antariksa serta bagaimana memanfaatkan ruang angkasa dengan lebih baik untuk kepentingan manusia di masa depan. Kegiatan ini juga bermaksud untuk lebih memperkenalkan Lapan ke masyarakat luas. Dalam Festival Sains Antariksa 2014 yang bertemakan “Space: Guiding Your Way” disampaikan juga ceramah ilmiah berjudul “ Sejarah Perkembangan Navigasi Manusia” oleh Abdul Rachman, MSi. dan “Perkembangan Satelit Navigasi dan Fungsinya”oleh Drs. Jiyo, MSi. Disamping itu ada juga lomba menggambar bagi pelajar kelas 1 – 3 SD, Kuis Juara Antariksa bagi pelajar
26
Buletin Cuaca Antariksa Januari - Maret 2015
Gambar 1. Peserta dan panitia SNSAA 2014 kelas 4 – 6 SD, Lomba KTI Penjelajahan Planet Baru bagi pelajar SMP/ MTs, dan Lomba KTI Microgravity X-periment bagi pelajar SMA/SMK/MA (Gambar 2). Masih dalam rangkaian acara ulang tahun Lapan ke-51, Pusat Sains Antariksa dan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer menyelenggarakan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 yang merupakan SNSAA ke-4 sejak awal pertama diselenggarakan tahun 2011 (Gambar 1). Hadir pada seminar tersebut Kepala Lapan, Prof. Dr. Thomas Djamaluddin sekaligus menyampaikan materi kunci dan membuka secara resmi acara seminar. Dalam paparannya dikatakan, sebagai lembaga litbang, Lapan harus mampu menjaga eksistensi dan menyesuaikan diri dengan perubahan waktu dan visi misi pemerintahan. Materi pokok yang dibahas pada seminar ini adalah tentang pengamatan Geomagnet di Wilayah Indonesia Timur, disampaikan oleh Teti Zubaedah (Universitas Mataram). Sistem Pengukuran dan Karakteristik Respon Impuls Kanal Propagasi HF oleh Gamantyo, Guru Besar ITS – Surabaya. Selanjutnya tentang Proposal Observatorium Nasional, dipaparkan oleh Taufiq Hidayat dari Astronomi ITB. Kemudian tentang Pengembangan Sistem Monitoring Gelombang Ionosfer terkait Gempa Bumi dan Tsunami Menggunakan Data GPS, oleh Buldan Muslim Peneliti dari Pussainsa – Lapan.
Gambar 2. Penjurian Lomba Karya Tulis Ilmiah mengenai eksperimen microgravity Materi yang terkait dengan Sains Atmosfer yaitu Antisipasi Dampak Periode Hiatus Pemanasan Global terhadap Iklim Indonesia, oleh Tri Wahyu Hadi (ITB). Analisis Curah Hujan Dasarian dan Validasinya Berbasis Data Downscalling CCAM di Pulau Jawa, oleh Haries Wardhana dari PSTA Lapan. Dan terakhir tentang Kemampuan Komputasi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim Nasional, oleh Didi Satiadi dari PSTA Lapan. Selain makalah oral, pada seminar tersebut ditampilkan makalah poster berjumlah 45 makalah dari peneliti PSTA, Pussainsa dan instansi lain. Dalam acara penutupan, Deputi Sains Lapan, Drs. Afif Budiyono, MT menyatakan bahwa seminar seperti ini sangat penting untuk saling bertukar informasi, hasil penelitian dan pembahasan tantangan iptek ke depan dalam rangka memberi kontribusi yang nyata bagi pembangunan nasional.
KALENDER
Kami segenap redaksi Buletin Cuaca Antariksa Mengucapkan
Januari - Maret 2015 (3- 4 JANUARI 2015) HUJAN METEOR QUADRANTIDS Hujan meteor ini berlangsung dari tanggal 1-5 Januari denga puncak nya pada tanggal 3 malam sampai 4 pagi hari. Pengamatan terbaik sebaiknya dilakukan pada tengah malam. (5 JANUARI 2015) BULAN PURNAMA Bulan purnama berlangsung pada 04.53 UT (20 JANUARI 2015) BULAN BARU Bulan baru berlangsung pada 13.14 UT. FEBRUARI Dawn wahana antariksa NASA akan tiba di Ceres. Ceres yang merupakan planet kerdil merupakan objek terbesar di sabuk asteroid antara Mars dan Jupiter. Misi Dawn selama beberapa bulan adalah untuk mempelajari Ceres dan mengirimkan gambar-gambar dari dekat mengenai planet kerdil tersebut.
MERRY
CHRISTMAS
and
happy NEW YEAR 2015
(3 FEBRUARI 2015) BULAN PURNAMA Bulan purnama terjadi pada 23.09 UT (6 FEBRUARI 2015) JUPITER BERADA PADA POSISI OPOSISI Jupiter akan berada pada posisi terdekatnya dengan bumi dan tepat menghadap langsung matahari, sehingga seluruh permukaan dan satelitnya akan sepenuhnya diterangi matahari. (18 FEBRUARI 2015) BULAN BARU Bulan baru beralngsung pada 23.47 UT (22 FEBRUARI 2015) KONJUNGSI VENUS DAN MARS. Amati disebelah barat setelah matahari terbenam, Venus dan Mars akan teramati sangat dekat. (5 MARET 2015) BULAN PURNAMA Bulan purnama terjadi pada 18.05 UT.
Merry 2015
(20 MARET 2015) BULAN BARU Bulan baru berlangsung pada 09.36 UT (22 MARET 2015) GERHANA MATAHARI TOTAL Jalur perlintasannya dimulai di tengah Samudra Atlantik dan bergerak ke utara melintasi Greenland dan ke Siberia Utara. Sementara gerhana parsial akan terlihat di Islandia, Eropa, Asia Timur dan Barat laut Afrika. (22 MARET 2015) EKUINOKS MARET Ekuinoks Maret terjadi pada 22.45 UT. Matahari akan bersinar langsung diatas ekuator.
happy NEW YEAR 2015
http://fashionplaceface.com/
TEKA TEKI SILANG
1
2
3
MENDATAR 3. Aurora yang diberi nama oleh James Cook 7. Tertutupnya benda langit oleh benda lain yang terletak antara pengamatan dan benda langit 9. Indeks aktifitas magnet untuk pengataman diwilayah equatorial geomagnet
4
Vol.3/No.1 Jan - Mar 2014 5
6
7
8
9
11
12
10
13 14
7. 15
16
8.
17
9. 18
11. Suar 5. Frekuensi kritis lapisan F2 ionosfer 6. I l m u u k u r u n t u k perhitungan sifat - sifat garis, sudut, bidang, dan ruang
Angin surya lambat berasal dari Daerah di ekuator matahari yang merupakan asal dari angin surya lambat Lokasi utama penempatan data dan pengelolaanya Salah satu peralatan klimatologi yang ditempatkan di LPD Sumedang
19
Jawaban TTS Vol.2/No.4 Okt - Des 2014 MENURUN 1. Software prediksi kondisi lapisan ionosfer yang dikembangkan LAPAN 2. Medan berbentuk komet akibat interaksi angin surya dengan medan magnet bumi 4. Sistem pemantau informasi cuaca antariksa LAPAN 5. Satelit yang dapat digunakan untuk mengamati lapisan ionosfer dengan teknik okultasi 6. Salah satu instrumen pengamatan aktivitas geomagnet 8. Indeks gangguan medan magnet pada komponen horizontal 10. Nilai frekuensi minimum lapisan ionosfer 11. Aurora lintang utara Bumi 13. Rotasi Venus untuk 1 hari memerlukan ... hari di Bumi 15. chasmata 16. Satuan densitas medan magnet Gunting dan Kirimkan Jawaban Anda melalui POS ke alamat : Redaksi Buletin Cuaca Antariksa Pusat Sains Antariksa - Lapan Jl. Dr Djunjunan 133A Bandung 40173 atau melalui faksimili 022-6014 998 / 6038 005 Jawaban kami terima paling lambat tanggal 15 Maret 2014 Disediakan 3 hadiah menarik untuk pengirim dengan jawaban yang benar Nama pemenang diumumkan pada Buletin Cuaca Antariksa edisi April - Juni 2015
ISSN 2303-2707