NINE MONTHS
Oleh: Ch. Happyninatyas © 2008 Happyninatyas. All rights reserved www.diditho.net/author/happyninatyas
1
Margo tiba-tiba dikejutkan dengan adanya makhluk mungil di dalam rahimnya. Kekasihnya, Ndharu, panik dan kemudian meninggalkan dirinya. Kehamilannya pun menjadi buah bibir di kantornya. Tekanan semakin berat didapatkannya dari masyarakat dan orang tua. Godaan untuk melakukan aborsi di klinik aborsi ilegal menghampirinya. Namun, sebuah surat dari seorang janin yang diaborsi oleh ibunya mengubah hidup Margo. Dia pun berkesempatan begabung dengan sebuah yayasan yang menampung para wanita hamil tanpa suami. Cerita seru soal warna-warni kehidupan; kebahagiaan menceritakan perkembangan janin bulan demi bulan; kegelisahan soal majority rules dan ajakan untuk menikah; dan kemarahan terhadap orang-orang yang menghakimi wanita hamil tanpa suami... dituangkan Margo dalam sebuah catatan selama masa kehamilannya. Tahun 2027, semua catatan itu dibaca oleh anaknya....
2
Dedicated to every pregnant women ... with or without husband
3
FIRST Month
Engkau tahu… ini adalah hari kedua belas di mana aku baru tahu kalau engkau ada bersamaku. Terkejut? Ya! Aku sangat terkejut waktu itu. Terutama, ketika aku melihat garis merah di bagian tengah batang tipis berwarna putih itu. Aku memastikannya hingga dua kali dan garis itu tetap muncul. Aku seperti tersengat listrik. Aku menangis. Aku takut. Aku belum siap. Tapi… tentu saja aku tidak mau menolakmu karena aku memang ingin mempunyaimu. Aku bingung bagaimana caranya memberi tahu Ayahmu tentang engkau? Namun, aku lebih takut lagi memikirkan bagaimana reaksi kakek dan nenekmu. Hingga sekarang, aku memutuskan untuk diam. Untuk memikirkan cara terbaik dan yang paling tepat. Kebingungan ini terus menghinggapiku… sampai detik ini. Namun, kondisiku kini sudah jauuuh lebih tegar dibandingkan kemarin-kemarin. Aku sendiri bingung mengapa aku tidak merasa takut lagi, padahal bukankah aku seharusnya takut karena orang lain yang merasakan posisiku kebanyakan akan merasa takut. Sambil aku memikirkan bagaimana caranya memberitahukan kabar dirimu kepada semua orang, aku berjanji kepadamu untuk menceritakan semuanya. Aku mau menulis ini untukmu setiap malam sebelum aku tidur (tapi dengan catatan: kalau aku lagi mood, ya? He-he-he. Yah… aku memang tipe orang yang sangat tergantung dengan mood). Tidak seperti kebanyakan ibu-ibu lain yang menyimpan banyak rahasia kepada anaknya, aku tidak mau. Aku akan menceritakannya secara lengkap kepadamu dari awal hingga akhir penantian ini. Tak ada rahasia di antara kita berdua. Aku janji. Janji…. Aku harap, engkau mau bersabar. Engkau tinggal di situ baik-baik, ya… nanti aku akan menyelesaikan semuanya… Anyway, welcome to… apa, ya… quasi-world? Ha-ha-ha… dunia yang nggak jelas… @@@
4
Halo apa kabar? Malam ini aku sedang sendiri di kamar ini. Ah, engkau pasti suka dengan kamar kecilku. Ayahmu juga suka seharian di sini. Dinding kamarku dicat dengan warna yang hangat, kuning, yang selalu memberikan energi baru di pagi hari. Pada keempat sisi dinding kamarku terpasang tiga belas lukisanku. Aku suka sekali bermainmain dengan indahnya warna-warni cat air. Benar-benar membuat hatiku sangat nyaman. Engkau pasti suka dengan lukisanku… mmm… pokoknya harus suka apa pun alasannya… haha-ha…. O iya… kalau saatnya nanti tiba, engkau pasti akan kagum ketika melihat rangkaian bunga bougenville dan bunga sepatu yang merambat di depan jendela kamarku. Sehabis pulang kerja, biasanya aku minum kopi di depan jendela itu sambil mengutak-ngatik laptop di meja kerjaku. Tapi, aku tidak mau lagi menyentuh minuman favoritku itu… karena aku punya engkau sekarang. Ngomong-ngomong, sudah seminggu aku tidak meminumnya. Tadi sore, Ayahmu meneleponku. Aku senang sekali mendengar kabar kalau lusa dia akan pulang. Sudah tiga minggu ia berada di Kalimantan. Ah, aku benar-benar rindu padanya. Aku rindu pelukannya… tapi saat ini aku lebih rindu dengan oleh-olehnya. Katanya dia sudah membelikan aku cincin batu mata kucing dari Martapura. Aku, sih, sebenarnya nggak tahu seperti apa bentuk batu mata kucing itu… dan aku juga nggak terlalu peduli. Tapi yang jelas, aku benar-benar senang karena ia akan memberikan aku cincin. CINCIN! Belum pernah aku diberi sebuah cincin oleh seorang pria. Meskipun itu hanya sebuah benda yang… biasa saja, sih, sebenarnya… tapi cincin itu diberikan oleh seorang pria yang aku sayangi. Duuh… aku jadi ingin menangis…. Menangis karena terharu atau karena bingung… serba nggak jelas. Hmm… ngomong-ngomong soal oleh-oleh, aku, kan, sebenarnya juga punya oleh-oleh untuk dia. Oleh-oleh berupa cerita… tentang engkau…. Apakah engkau tahu bagaimana kira-kira reaksi Ayahmu? Bahagiakah? Sedih? Atau… marah? Aku jadi serem membayangkannya. Semoga dia mau menerima kenyataan ini, sama seperti aku yang mau menerima semua ini. Aduh… mengapa tiba-tiba aku jadi merasa mual dan nggak enak begini, ya? Wah… apa yang engkau lakukan di dalam sana? Mau menyerangku, ya? @@@
5
Pagi-pagi sebelum masuk kantor, aku tadi sempat mampir ke laboratorium klinik tak jauh dari kantorku. Aku hanya ingin memastikan kalau engkau benar-benar ada. Bukannya apa-apa… besok Ayahmu akan datang dan aku ingin segala sesuatunya memang sudah benar. Jadi, aku pun tahu secara pasti bagaimana memberitahu ini semua kepadanya. Sehabis makan siang (astaga, engkau harus tahu betapa rakusnya aku hari ini… eh, engkau, kan, ikut makan juga, ya…) aku kembali ke klinik itu untuk mengambil hasil pemeriksaan. Dokter mengucapkan selamat kepadaku. Ternyata engkau sekarang benar-benar menjadi bagian dariku. Dia mengatakan, usiamu sekarang sudah empat minggu. Wah, aku gemetar sekali waktu itu. Setibanya di kantor, Wyne temanku mulai usil tanyatanya kenapa aku tiba-tiba melarikan diri setelah jam makan siang. Nah, dari situ aku baru kebingungan. Kalau temanteman kantorku sampai tahu bagaimana, ya? Takut juga, sih…. Ah, sudahlah…. Tak akan seseram itu… mungkin…. O iya, baru saja Ayahmu menelepon. Katanya, dia sudah nggak sabar bertemu denganku. Jangan sedih… kalau aku sudah memberitahukan dia tentang engkau, pasti dia juga merasa nggak sabar bertemu denganmu… mmm… semoga…. Tadi, aku baru saja mengganti seprai tempat tidur Ayahmu, tempat di mana engkau dibentuk… ha-ha-ha. Kamar kami bersebelahan… setidaknya kami menyebutnya demikian…. Kamarku adalah ruang kerja dengan karpet wol tebal yang nyaman, sementara kamarnya adalah ruang tidur yang sebenarnya tempat aku tidur juga. Ya… aku memang selalu butuh tempat untuk menyendiri. Makanya aku minta jatah kamar pada Ayahmu. Lagipula, rumah kecil ini, kan, dibeli pakai uangku juga…. Eh, kok, ngelantur. Hmmm… aku bingung… kira-kira bagaimana cara yang tepat menceritakan ini semua, ya? Ayo, dong, engkau harus bantu aku! OK, aku tahu. Bilang saja begini: “Selamat, ya! Sepertinya kamu bakal punya junior, deh.” Iiiih… culun banget. Atau: “Ndru, kira-kira kamu mau nggak punya anak?” Aaah… nggak banget, deh. Dia pasti akan bilang ‘nggak’ atau ‘belum saatnya’. Padahal, engkau sudah telanjur ada, kan? Mmm… kalimat yang seperti apa, ya, yang terkesan diplomatis, tegas, dan tidak menuntut? Bagaimana kalau: “Ndru, kamu pernah bilang kalau apa yang terjadi di antara kita berdua akan dilalui bersama. Sekarang kita nggak lagi berdua. Beberapa bulan lagi, kita akan kedatangan anggota baru. Kita akan melalui ini bersama, kan?” Waduuuh… kok, dangdut kayak sinetron Ram Punjabii, ya?
6
Ah, sudahlah… kita lihat sajalah bagaimana besok. Hmmm… mengapa tiba-tiba aku kangen kopi? Aduh… aku benarbenar ingin minum secangkir vanilla latte. Kalau aku minum… engkau nggak akan sakit, kan? Ayolah… engkau pasti kuat…. Hmmm… ya… ya… baiklah… aku akan menahan keinginanku. Tapi kalau hanya sekedar mencium bau kopi yang diseduh nggak apa-apa, kan? @@@ Halo, Sayang! Aku merasa menjadi wanita pengecut hari ini! Sore tadi aku menjemput Ayahmu di bandara. Kulitnya menjadi lebih gelap sekarang dan badannya agak kurus, tapi dia tetap tampan. Jantungku berdegup sangat kencang ketika dia memelukku. Entah mengapa, aku merasa khawatir janganjangan ia merasakan sesuatu yang berbeda dari badanku. Kami makan malam bersama di sebuah kafe kecil yang menyediakan masakan Italia. Hampir saja aku mau memesan segelas kopi. Kami berdua akhirnya memesan pizza ukuran besar. Mmm… aku nggak tahu apakah itu sehat untukmu. Yang jelas, rasanya enak… ayo ngaku… engkau menikmati juga, kan? Tapi, rasanya aku memang perlu beli buku banyak tentang penantian ini. Dan engkau tahu? Aku menitikkan air mata ketika dia memberikan aku cincin oleh-oleh itu. Aku memeluknya sebagai tanda terima kasih dan waktu itu Ayahmu sempat bingung melihatku yang berubah menjadi amat sentimentil. Cincin perak itu dihiasi sebuah batu kehitaman yang berbentuk oval. Di bagian tengahnya seperti ada garis putih vertikal seakan membelah batu itu. Persis seperti mata kucing yang terkena cahaya. Kelak engkau akan kuperlihatkan, deh. Dan yang paling mengesankan, dia memakaikannya di jari manisku. Rasanya benar-benar membuatku melayang. Aku nggak tahu mengapa tiba-tiba aku merasa benar-benar menjadi seorang perempuan yang gemar diberi sanjungan dan kejutan romantis seperti ini. Sambil makan, dia menceritakan semua pengalamannya ketika berada di Kalimantan dengan berapi-api. Aku jadi nggak tega mau memotong ceritanya yang lucu-lucu itu dan menggantinya dengan ceritaku tentang engkau…. Aku takut memecah kebahagiaannya. Aku pikir, besok, toh, masih ada hari. Ayahmu hari ini menginap di rumahnya, jadi sekarang aku sendiri di rumah kami. Sekarang aku agak menyesal mengapa aku tidak menceritakanmu kepadanya di kafe tadi.
7
Tak apalah… besok saja aku bercerita. Lagipula besok, kan, hari Minggu, dia pasti akan ke sini. Gila, badanku terasa sangat lelah akhir-akhir ini. Apakah ini karenamu? Aku ingin tidur sekarang. Bye…. @@@ Hari ini air mataku turun lagi. Bukan karena terharu seperti kemarin… tapi karena reaksi Ayahmu. Ya, aku telah memberitahu Ayahmu tentang engkau. Dia benar-benar kaget. Wajahnya langsung memucat, tubuhnya melemas. Sorot matanya memberi pertanda kalau dia seolah-olah… nggak percaya kalau engkau ada. Hei… jangan sedih, ya…. Aku tadi mengatakan kepadanya, “Ndru, I am expecting now. Kata dokter usia kandunganku sudah tiga minggu.” Dan engkau tahu apa jawabannya? Tapi… engkau harus janji dulu agar jangan tersinggung karena aku akan membelamu…. Dia menjawab, “Bagaimana bisa?” Uh… dalam hati aku ingin berteriak, “Karena spermamu membuahi indung telurku!” Tapi aku lebih memilih diam. Ayahmu itu memang seperti itu. Aku tahu betul sifatnya. Dia cepat sekali panik dan selalu telat berpikir. Yang maju duluan itu ego lelakinya daripada otak dewasanya. Aku nggak tahu mengapa aku begitu santai waktu mengabarkan berita itu kepadanya. Mungkin karena aku memang ingin mempertahankanmu. Meskipun penolakan datang, aku tetap membelamu. Kemudian Ayahmu berkata lagi, “Aku belum siap untuk menjadi seorang Ayah dan kita, kan, sudah berjanji untuk tidak punya anak dulu.” Dalam hati aku menjawab, “Bukankah itu sebuah konsekuensi dari sebuah hubungan seks? Lagi pula aku sudah bilang mengapa nggak pakai kondom?” Tapi sekali lagi aku memilih diam. Kalau aku terus ngotot, maka keadaan akan semakin runyam. Harus ada yang menjadi es dalam api yang membara. Engkau tahu? Akhirnya dia pergi begitu saja dari rumah kita. Membanting pintu dan membuka pagar tanpa ditutup kembali, lalu melangkahkan kakinya entah ke mana. Aku hanya memandang punggungnya dari balik jendela ruang tamu sampai nggak terlihat lagi. Lalu, aku masuk ke kamar ini, di sini, dan menuliskan kisah ini kepadamu. Aku sediiiiih sekali…. Aku memang nggak bisa mengekspresikan perasaanku di depan orang lain, lebih baik kusimpan sendiri semuanya dalam hati… dan sekarang memilih bercerita denganmu. Aduuuuh… aku nggak boleh nangis lagi!
8
Aku nggak tahu apakah semua pria seperti itu? Mmm… Ayahmu adalah satu-satunya pria yang aku kenal, maksudku yang pernah menjadi kekasihku. Oleh karena itu, aku nggak tahu banyak mengenai sikap pria. Naif sekali aku ini. Sebenarnya, satu-satunya hal yang membuatku sedih bukanlah soal penolakan Ayahmu, tapi rasa sepi yang begitu mendalam yang aku rasakan saat ini. Mungkin perasaan mengerikan dalam diri manusia adalah ketika merasakan kesepian. Dan sekarang aku merasakannya. Aku nggak akan menyalahi siapa-siapa. Nggak juga menyalahkan Ayahmu. Setiap kali kami berdua bercinta, aku menikmatinya. Nggak ada paksaan, bukan pula aku merasa dimanfaatkan. Dan aku pun sangat sadar konsekuensinya. Makanya, aku berani melakukannya, meskipun anggapan umum masyarakat sangat buruk. Aku nggak peduli. Hmmm… apa yang harus aku lakukan agar rasa sepi ini hilang? Menurutmu, apakah aku harus menelepon Ayahmu? Atau teman-temanku? Aku rasa jangan dulu. Untuk saat ini, bagaimana kalau engkau sajalah yang menjadi penghiburku. Maukah engkau menemaniku? Hei… kita berdua akan menjadi satu tim yang kompak nantinya…. Tinggal satu lagi bebanku. Bagaimana caranya aku memberitahukan keberadaan engkau kepada kakek-nenekmu – orang tuaku. Sebenarnya itu yang paling aku takutkan. Ah… masih ada hari esok. Biarlah kesusahan hari ini untuk hari ini saja dan kesusahan esok untuk esok. Aku sudah mengantuk dan segera tidur dengan mata bengkak ini. Bye, dear…. @@@ Ayahmu akhirnya datang kepadaku setelah menghilang. Hati kecilku memang mengatakan kalau dia akan datang karena aku yakin dia adalah pria yang baik. Dia menangis dan berlutut kepadaku untuk meminta maaf atas apa yang telah dia lakukan sebelumnya kepadaku dan kepadamu. Katanya, dia butuh waktu untuk berpikir panjang, makanya kemarin dia pergi dan tak memberi kabar. Kami kemudian berpelukan dan sama-sama menangis. Wajahku tenggelam di bahunya yang lebar. Itu adalah pelukan terindah yang pernah aku rasakan dalam tiga tahun kami bersama. Emosi kami menyatu bersama dengan air mata. Dia telah memberiku getaran energi yang mengisi kesepianku. Kami pun beberapa saat tertidur dan sebelum kami berdua memejamkan mata, Ayahmu itu mengenang kisah “pembuatanmu”. Ha-ha-ha… sangat lucu dan indah. Aku jadi malu untuk menceritakannya kepadamu.
9
Pada saat kami berbaring, Ayahmu mengatakan sesuatu yang indah di telingaku. Katanya, “Kita akan melalui ini bersama-sama, meskipun sangat berat. Karena kita tim yang tangguh.” Tim yang tangguh. Aku, engkau, dan Ayahmu. Dan engkau nggak akan rugi mempunyai orang tua seperti kami. He-he-he. Hei… dia tadi menciummu melalui perutku. Apakah engkau merasakan kehangatan ciumannya? Ah… sudah dulu, ya, ceritanya. Aku ingin kembali ke pelukan hangat Ayahmu di tempat tidur. Tadi, aku terbangun karena aku merasa berhutang cerita indah ini kepadamu. Cerita indah? Ya… setidaknya untuk hari ini. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari, bukan? Selamat malam, Sayang…. @@@ Sepulang dari kantor, aku menyempatkan diri mampir ke toko buku untuk membeli buku-buku tentang penantian menjadi ibu. Aku bertemu beberapa wanita bahagia yang juga tengah menantikan buah hati mereka di antara rak-rak yang memajang buku-buku tentang kesehatan wanita. Dari wajah mereka yang cerah, aku tahu mereka tengah berbahagia. Ah, aku sok tahu, ya… he-he-he. Aku mengamati mereka. Sesekali mereka mengusap-usap perut buncit mereka dan mengurut bagian belakang panggul. Uuuh… bagaimana, ya, rasanya? Akankah perutku akan sebesar mereka? Mengerikan juga, ya… karena aku nanti nggak akan bisa melihat ujung kakiku sendiri. Selama perjalanan dalam bus menuju rumah kita… gila macet banget jalan-jalan itu… aku nggak sabar membaca babbab awal buku yang barusan kubeli. Kata buku itu, saat ini engkau masih dalam tahap pra-embrio. Ada pembelahan sel yang sangat cepat terjadi untuk membentuk tiga lapisan, endoderm, ectoderm, dan mesoderm yang nantinya mereka akan membangun tubuhmu. Dari satu sel membelah menjadi banyak dan akhirnya membentuk suatu tubuh yang utuh. Tanpa sadar, setetes air mataku mengalir di pipi. Ada perasaan yang aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku baru sadar kalau aku akan menjadi bagian dari sebuah keajaiban penciptaan manusia…. Meskipun saat ini engkau masih berupa pra-embrio (apa pun itu sebutan mereka untukmu), di mataku engkau sudah menjadi satu manusia utuh…. Ah, aku baru saja mendengar pintu pagar terbuka. Itu Ayahmu datang. Aku lupa belum membuatkan ice lemon tea kesukaannya… he-he-he. Aku pergi dulu, ya?
10
SECOND Month
SAYANG… usiamu kini sudah dua bulan, menurut buku engkau sudah menjadi embrio. Cie… sudah tambah besar, nih…. Katanya engkau sudah mulai menggumpal-gumpal. Aku lelah sekali hari ini. Di kantor tadi banyak kerjaan yang menumpuk. Bosku cerewetnya luar biasa. Semua pekerjaanku dianggap salah. Aku jadi ingin menangis, padahal biasanya kalau aku dimarahi “masuk telinga kiri keluar telinga kanan”. Mungkin gara-gara hamil, aku jadi lebih sensitif, ya? Ya ampun… jangan bilang kalau kesensitifan ini berlangsung hingga sembilan bulan! Kebayang, deh, kalau aku PMS alias premenstruation syndrome aja bener-bener nyusahin. Dan ini aku harus mengalaminya setiap hari selama sembilan bulan? OH, NO! OK, begini saja. Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan? Engkau nggak boleh menyusahkanku atau membuat tuntutan macam-macam, nanti aku akan… akan apa, ya? O ya, nanti kalau engkau sudah besar, engkau boleh mengganti namamu kalau engkau nggak suka dengan nama yang aku dan Ayahmu berikan. Bagaimana? Kalau setuju engkau boleh menendangku… kalau nggak…. Eh, engkau belum bisa menendang perutku, ya? Ya sudah kalau begitu, mau nggak mau engkau harus setuju. Tawaranku itu sebuah tawaran mewah, lho. Bayangkan, aku saja sudah ingin sekali mengganti namaku yang kampungan, tapi nggak diperbolehkan sama kakek-nenekmu. Coba engkau pikirkan di zaman millenium ini masih ada nama Ameenah. Ya, namaku Ameenah Kusumah. Kusumah itu nama Ayahku, kakekmu. Aku benci setengah mati dengan nama itu karena kebetulan aku pernah punya pembantu yang namanya sama: Aminah. Iya, sih, nama dia pakai “i”, sedangkan aku pakai “ee”. Tapi tetap saja dibacanya sama. Teman-temanku dulu juga sering meledekku. Aku ingat, dulu aku ingin ganti nama yang lebih indah, seperti Annie atau Georgina, seperti tokoh di novel
11
favoritku Lima Sekawan. Tapi untunglah aku seorang Katolik yang apabila dibaptis diperbolehkan untuk menambahkan nama baru, yaitu nama santa pelindung. Maka, aku waktu itu memilih nama Margaretha, jadi nama lengkapku sekarang Margaretha Ameenah Kusumah. Memang, sih, nama tambahan itu nggak tercantum dalam akte kelahiran, tapi setelah dibaptis, aku memaksa temantemanku memanggilku dengan nama Margareth. Dan sekarang, teman-temanku banyak yang memanggilku Margo. Jadi, menarik, kan, tawaranku untuk memperbolehkanmu mengganti namamu kelak? He-he-he. Oh ya, malam ini sebenarnya Ayahmu dan aku ingin membicarakan bagaimana cara memberitahu kedua kakek dan nenekmu tentang kehadiranmu. Tapi, kok, Ayahmu belum pulang juga, ya? Mungkin sekarang dalam perjalanan pulang. Perutku rasanya dihinggapi banyak sekali kupu-kupu yang menggelitikku kalau aku memikirkan bagaimana reaksi kakek-nenekmu nanti…. Engkau pasti bingung, ya, mengapa persoalan ini menjadi pelik. Besok aku ceritakan. Sekarang aku mau mandi dulu. @@@ Rasanya dunia ini benar-benar nggak adil! Engkau tahu, Ayahmu itu benar-benar mengesalkan! Dia, tuh, kadang-kadang nggak tahu bagaimana perasaan wanita seperti aku. Aku benar-benar ingin membenamkan diri di tengah lautan rasanya. Untung saja aku nggak bisa berenang jadi pasti aku akan cepat mati tenggelam. Mataku sembab karena semalaman menangis. Aku benarbenar nggak menyangka kalau Ayahmu akan mempunyai pendapat seperti itu. Kemarin, aku sudah memberitahu engkau kalau aku dan Ayahmu akan memikirkan cara memberitahu kedua kakek nenekmu perihal kehadiranmu. Dan Ayahmu, SECARA MENGEJUTKAN, bilang kalau dia belum siap untuk menghadapi masalah baru dengan kakek nenekmu alias kedua orang tuanya. Katanya, “Menjadi seorang calon Ayah saja merupakan beban yang sangat berat.” SINTING! DIA PIKIR AKU NGGAK BEBAN?!? Padahal sebelumnya, ketika aku memberitahu tentang kehamilanku kepadanya, dia sudah bisa menerima. Aduh, Sayang, jangan tersinggung, ya… aku bisa menjelaskan semua. Aku sadar ada yang berbeda dari dia. Aku belum pernah melihat dia semurung itu selama hidupku. Tapi aku pikir itu nggak adil kalau dia bisa bertindak atau berkata secuek itu kepadaku dengan alasan tertekan atau beban. Karena marah, aku tidak mengizinkan dia pulang ke rumah kami. Biar saja dia tidur
12
di rumah orang tuanya. Aku nggak mau mengangkat telepon darinya sedari siang tadi. Sayang, sebenarnya hal ini nggak akan jadi serumit ini kalau saja kami berdua menjalani apa yang disebut majority rules… peraturan hukum dan norma susila yang berlaku di masyarakat gitu, deh…. Namun, untukku dan Ayahmu, majority rules itu nggak selamanya cocok diterapkan untuk semua orang. Dan nggak selalu majority rules itu benar… setidaknya itu anggapan kami. Aku pikir, orang yang hidup dengan keminoritasannya akan mempunyai daya tahan yang lebih tinggi dan mempunyai cara menarik untuk menjalani hidupnya. Kami berdua memang bersepakat untuk nggak mau menikah dan nggak mau punya anak, meskipun dalam hati kecilku jika benih anak itu muncul aku akan dengan sukacita menyambutnya. Namun, kami ingin tetap hidup bersama. Menurut majority rules tadi, itu amat tidak boleh… a big no-no. Mereka bilang itu dosa karena kitab suci agama mana pun melarangnya. Aku pikir nggak ada yang bisa menghakimi siapa pun. Dan kalau pakai alasan kitab suci… mmm… aku pikir kitab suci itu multiinterpretasi karena aku nggak tahu siapa yang menulis kitab itu dan segala sesuatu yang tertulis hanya diketahui maksudnya secara pasti oleh si penulisnya sendiri. Kecuali kalau di dalam kitab itu ada bagian khusus penjelasan, seperti layaknya peraturan perundang-undangan. Undang-undang saja juga masih dapat diinterpretasikan berbeda-beda. Aku punya kedekatan khusus dengan ‘Tuhan’ dengan caraku sendiri. Maka dari itu, aku selalu menggunakan tanda kutip jika menuliskan kata Tuhan. Ah, aku pikir biarlah aku yang akan bertanggungjawab akan semuanya seorang diri dengan-‘Nya’. Aku nggak akan mendengarkan orang lain yang… ah, entahlah…. Aku bisa menjelaskan semua dengan seksama kepada ‘Tuhan’. Aku dan Ayahmu benar-benar saling mencintai… tapi nggak tahu, deh, sekarang…. Kami berdua nggak suka dengan komitmen yang menurut kami sangat berat, yaitu suatu pernikahan. Benar-benar nggak kebayang, deh, hidup dalam komitmen yang resmi seperti itu. Agak susah, sih, menjelaskannya. Tanpa menikah pun sebenarnya kami sudah mempunyai komitmen bersama, misalnya untuk saling setia karena kalau pun di antara kami ada yang jalan dengan orang lain pasti yang lain merasa marah dan cemburu. Itu komitmen. Tapi, entah mengapa kalau komitmen itu dibawa ke ranah yang lebih luas, yaitu di depan ‘Tuhan’, negara, dan masyarakat… rasa-rasanya, kok… tambah berat dan terasa ngeri. Aku benar-benar nggak bisa main-
13
main dengan lembaga perkawinan itu. Ya… pastinya segala sesuatu yang formal terasa lebih berat ketimbang yang informal. Ah… semoga engkau tahu maksudku…. Dan kami berdua juga sepakat untuk tidak ingin memiliki anak. Aduh… engkau jangan marah, ya…. Terus terang, kami belum siap untuk menjadi orang tua. Kami selalu khawatir dengan banyak hal mengenai masa depan. Namun, dalam hatiku yang terdalam aku ingin juga punya seorang anak. Seorang saja, jangan banyak-banyak! Entahlah, rasanya menyenangkan saja kalau membayangkan wajah anak kecil yang mirip denganku. Lalu membesarkannya dengan caraku sendiri dan menjadikan anak itu ‘seseorang’. Tapi… agaknya rasa takut dan khawatir lebih dominan ketimbang rasa menyenangkan akan mempunyai anak. Bolehkah aku bertanya suatu hal kepadamu? Tapi janji jangan marah, ya…. Apakah engkau sebenarnya ingin dilahirkan, Sayang? Maaf, kalau pertanyaanku aneh… tapi itu sebenarnya hal yang selalu terngiang di kepalaku. Karena sejujurnya, aku pun lebih memilih untuk nggak keluar dari rahim nenekmu. Menurutku, hidup ini benar-benar berat dan penuh konsekuensi rumit yang nggak bisa sebatas dianggap sebagai panggung sandiwara. Kalau saja ini adalah sandiwara, pasti ada masa di mana kita istirahat sejenak untuk mempersiapkan adegan berikutnya atau istirahat karena ada iklan yang memotong sandiwara itu. Tapi kalau hidup nggak bisa sedetik pun istirahat seperti itu karena waktu kita istirahat pun merupakan suatu pilihan yang mengandung konsekuensi. Andai saja hidup itu sebatas televisi yang dilengkapi tombol power on/off…. Aku benar-benar nggak tega kalau ternyata nanti engkau kecewa dengan melihat dunia yang makin nggak karuan ini. Sayang, dunia ini memang indah, namun lebih banyak tidaknya. Satu hal yang bikin aku nggak mau melahirkan makhluk baru ke dunia ini adalah soal lingkungan yang ketika engkau besar nanti sudah nggak kondusif lagi. Saat ini saja, kualitas udara sudah benar-benar mengerikan. Kalau engkau bangun pagi-pagi di Jakarta dan melihat seperti ada selaput tipis yang menyelimuti gedunggedung bertingkat, ketahuilah itu bukan kabut pagi yang menyejukkan. Itu adalah partikel-partikel debu yang menyesakkan dada. Kalau sudah begitu, di mana aku bisa menjemur bayi mungilku di pagi hari? Haruskah di bawah tabung yang diterangi lampu neon ultraviolet? Beruntunglah aku karena sewaktu aku kecil, nenekmu sempat menjemurku di taman depan rumah yang udaranya masih segar. Belum lagi air yang sudah tidak jernih lagi atau sumber makanan yang sudah terkontaminasi oleh pengawet atau
14
zat kimia berbahaya. Dan yang paling mengerikan adalah belakangan ini banyak sekali penyakit-penyakit aneh. Tahukah engkau kalau dulu penyakit-penyakit berbahaya, seperti kanker baru menyerang mereka yang sudah ‘berumur’? Namun, sekarang banyak teman-teman seumuranku mengalaminya dan aku pikir kian tahun, anak-anak pun bisa terkena. Aku takut, jangan-jangan nantinya penyakit kanker sudah dianggap biasa seperti layaknya influenza. Sempat terpikir di benakku, bagaimana kalau aku hanya mengangkat anak saja yang sudah telanjur hadir di dunia dan memberikan perhatian kepada mereka… ketimbang harus melahirkan makhluk mungil yang tak layak sengsara. Jangan lagi menambah beban dunia yang semakin berat…. @@@ Halo… aku masih marah dengan Ayahmu. Berkali-kali teleponnya aku tolak dan SMS-nya aku diamkan saja. Aku kesepian, nih…. Biar saja, sepi sudah jadi teman baikku sekarang. Begitu pulang kantor, tebak apa yang aku lakukan? Sehabis mandi aku membiarkan diriku telanjang dan berdiri di depan cermin besar yang ada di lemari pakaianku. Aku melihat wajahku. Hidungku masih normal. Pipiku nggak tampak tembem dan leherku belum berlipat-lipat karena timbunan lemak. Semua masih terlihat menarik. Aku lalu memperhatikan perutku. Belum ada pembesaran yang berarti, tapi aku merasakan sesuatu yang aneh di dalamnya. Entahlah, aku nggak bisa menjelaskan sesuatu itu… mungkin hanya perasaanku saja. Aku lalu memandangi payudaraku. Sepertinya, kok, terlihat lebih transparan, ya? Maksudku, mengapa urat-urat halus berwarna merah dan kebiruan terlihat dari luar? Hiii… aku sebenarnya geli banget kalau melihat guratan pembuluh darah atau urat yang terlihat dari permukaan kulit. Membuatku merinding. Daerah puting susuku pun mulai menghitam. Sebel! Jadi terlihat dekil. Setelah terdiam cukup lama, aku menyimpulkan kalau aku membenci tubuhku sekarang. Terserah, engkau mau marah atau tersinggung atau sedih… yang jelas aku nggak suka perubahan tubuhku yang akan semakin aneh nantinya. Jujur saja… aku sekarang jadi membenci kehamilanku…. Aku sempat menangis di depan cermin itu. Menangis seorang diri. @@@
15
Sudah beberapa hari ini aku sengaja nggak menulis untukmu. Dan selama waktu itu, aku merasa semakin kosong. Aku memang praktis sendirian. Hanya engkau temanku. Aku memang mempunyai banyak teman, tapi aku rasa mereka bukan teman yang bisa diajak berbagi untuk masalah ini… mungkin saja mereka adalah para pendukung majority rules. Jangan tanya juga soal Ayahmu karena aku nggak mau tahu lagi soal dia. Sudah beberapa hari ini aku mengubah nomor telepon genggamku untuk menghindarinya. Engkau tahu apa yang aku pikirkan beberapa hari terakhir ini? Aku berpikir mengapa aku nggak bisa hidup dan berpikir layaknya orang kebanyakan. Seperti apa yang dianggap sebagai majority rules. Tiba-tiba saja aku berpikir kalau aku ingin menikah! Hidup normal dengan suami dan anak-anakku. Aku ingin merasakan indahnya saat-saat dilamar oleh seorang pria atau berjalan menuju altar dengan pakaian pengantin yang anggun dan membuat iri semua wanita lajang yang hadir di kapel. Aku ingat ketika menyaksikan satu per satu para sahabat kecilku menikah, Sarah, Mediana, Loli, dan Nera. Waktu itu aku selalu geleng-geleng kepala tidak habis pikir mengapa mereka mau menghabiskan waktu mereka dengan keterikatan abadi dan menjemukan. Kemudian, aku pun mulai mendengarkan keluhan Loli yang merasa diperalat oleh suaminya yang sangat mengagungkan tradisi patrilineal, yang menganggap semua urusan rumah tangga dan keperluan suami adalah tugas wanita… atau keluhan Sarah yang selalu ribut dengan mertuanya, dan pahitnya, suami Sarah yang ‘anak mami’ itu selalu membela ibunya… atau mendengarkan cerita Nera dan Mediana yang saling membanggakan bayi mungil mereka masing-masing. Bayi mereka benar-benar lucu… gemuk dan menggemaskan… apalagi si Milo anaknya Mediana yang punya rambut kriwil dan berlesung pipi…. Dua orang yang berbahagia dalam perkawinannya. Sementara dua orang lainnya merasa iri kepadaku yang masih bebas atau iri kepada Nera dan Mediana yang dinilai mempunyai kehidupan perkawinan yang sempurna. Memang, hidup itu nggak ada yang tahu juntrungannya. Menurutku, semuanya serba fifty-fifty. Dan entah mengapa semuanya bisa dengan mudah terjungkal-balikkan. Nggak ada yang tahu kalau Dado-nya Loli yang begitu manis seperi anak anjing waktu pacaran bisa seganas srigala setelah menikah. Untung saja nggak ada kekerasan fisik di dalam rumah tangga mereka. Dan aku? Dulu aku begitu yakin dengan prinsipku untuk tetap berada di luar pagar pernikahan ternyata… sekarang ini aku justru berpikir untuk dijerat masuk ke dalam pagar
16
itu. Aku tahu… yang membuat pikiranku berubah adalah engkau. Ah, aku jadi benar-benar membencimu…. Akhir-akhir ini aku jadi begitu sensitif, lemah, dan selalu merasa nggak aman. Apalagi, semua harus kuhadapi dengan kesendirian. Kehamilan ini menjadi menyebalkan…. Nah, benar, kan, teori fifty-fifty-ku… pada bulan pertama aku begitu antusias dan mengharapkanmu, tapi sebulan kemudian aku membencimu. Air mataku keluar lagi… air mata yang nggak perlu dan nggak penting…. @@@ Aku semakin nggak nyaman dengan tubuh gendutku yang aneh ini. Entah sudah beberapa kali aku mondar-mandir buang air kecil dan menurut buku, itu adalah sesuatu yang alamiah karena kandungan yang membesar akan menekan kandung kemih. Dan masih menurut buku, tubuhmu sudah mulai terbentuk. Cekungan mata dan lubang hidung sudah tampak semakin dalam. Kaki dan tanganmu bagaikan kuncup bunga yang bersiap mekar. Dan tubuhmu dengan nyaman melengkung seperti udang. Mengapa engkau harus ada? Mengapa tubuhku harus rela menderita untuk mempertahankanmu? Mengapa mau-maunya aku sendirian menghadapi kehadiranmu? Besok aku mau bolos kerja… mungkin untuk beberapa hari. Aku harus pergi ke sebuah tempat di mana dapat memberikan kenyamanan berpikir untukku. Mungkin aku bisa menginap di sebuah hotel kecil di pinggir kota. Sendirian…. Ya iyalah… dengan siapa lagi? O ya… Ayahmu belum juga menghubungi aku, padahal nomor teleponku sudah kuganti lagi ke nomor lama. Aku benar-benar nggak tahu apa yang ada dipikirannya. Dasar makhluk egois yang nggak berperasaan! @@@ Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku terpaksa harus menggugurkan engkau. Ternyata aku nggak sekuat yang aku duga sebelumnya. Aku nggak bisa melalui ini semua sendirian. Aku bingung ke mana larinya pemikiran-pemikiran hebatku mengenai keberanian untuk mendobrak apa yang diyakini sebagai majority rules oleh masyarakat? Tiba-tiba aku merasa menjadi seorang pecundang. Aku menjadi pengecut. Biar saja, aku harus mengakuinya. Aku memang seorang pengecut! Kata orang, sebelum umur kandungan mencapai tiga bulan, aborsi bisa dengan aman dilakukan. Ya, tekadku sudah
17
bulat. Lagipula engkau masih berupa gumpalan-gumpalan darah dan panjangmu pun masih mungkin masih sekitar satu sentimeter. Aku berjanji kepada engkau… proses ini nggak akan sakit. Engkau nggak akan merasakan apa-apa…. Dan catatan ini akan kubakar perlahan bersama kesedihan dan kekosonganku…. @@@ Tadi pagi aku sudah menemukan klinik aborsi. Gila… semua serba mudah ditemukan berkat teknologi canggih bernama internet. Aku datang ke salah satu ‘klinik’ yang disebut dalam situs pencari andal, Google. Kebetulan, tak jauh dari tempatku bekerja. Jadi, sore tadi aku menyempatkan diri untuk mampir. Tempatnya memang agak tersembunyi. Di belakang rumah tua yang digunakan sebagai kantor. Awalnya aku bingung apakah ini adalah tempat yang dimaksud. Aku berniat bertanya kepada seorang pedagang rokok yang mangkal di depan rumah itu, tapi aku malu. Rupanya, kebingungan itu tertangkap oleh seorang pria. Dia langsung menebak niatku, dan… ternyata dia tahu maksudku. Kata seorang pria, yang kuduga sebagai calo, mengatakan klinik itu merupakan tempat yang tepat untuk aborsi. Dia bilang, proses tersebut akan dilakukan oleh seorang dokter, lagipula harganya termasuk murah, hanya dua juta rupiah saja. “Itu adalah harga yang pantas karena dilakukan oleh seorang profesional. Kalau Mbak mau ditangani dukun beranak atau bidan yang amatir, ya… bisa lebih murah.” Begitu pria itu berkata padaku. Ah… hampir saja aku lupa. Dia sempat memberikan aku kartu namanya. Coba sebentar aku cari di dalam tasku. Ini dia… namanya Komar dan dia juga memberikan nomor telepon genggamnya. Dia wanti-wanti kepadaku agar meneleponnya terlebih dulu agar aku bisa diantar ke ‘tempat tujuan’. Sindikat yang rapi. Sayang… (aku sudah gila rupanya… aku masih memanggilmu Sayang, sementara besok atau lusa engkau akan aku kukeluarkan dari rahimku), maaf seribu kali maaf kalau ini harus aku lakukan. Aku tahu ini salah. Namun, aku nggak mau fase berat ini kutanggung sendirian. Terkutuklah Ayahmu itu yang dengan mudah mengucapkan janji setia, namun ingkar di kemudian hari. Yah… aku sudah lihat gelagatnya sekarang… boro-boro meneleponku. Persetan dengannya! Hidupku nggak akan berhenti begitu saja tanpa kehadirannya atau… tanpa kehadiranmu….
18
Tekadku sudah bulat. Besok, aku berselancar lagi di dunia maya untuk mencari tahu bagaimana proses aborsi sebenarnya. Satu-satunya hal yang MUNGKIN menghalangiku adalah bayangan rasa sakit yang bakal kuderita. Namun, pastilah kalau yang dikatakan pria itu benar bahwa yang akan melakukan aborsi adalah seorang dokter, maka dia akan membiusku terlebih dulu. Lagipula usiamu, kan, baru dua bulan…. Baru saja ponselku berbunyi. Sebuah telepon rindu alias miscalled dengan nomor yang tak aku kenal… kode areanya pun tak familiar, 0561, nomor mana pula lagi? Sudahlah… aku benar-benar mengantuk…. @@@ Aku ingin menangis sepanjang hari ini. Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku di Bandung… dan berbaring di sebelah ibuku untuk menenangkan diri. Aku benar-benar ingin marah, namun nggak bisa kukeluarkan… tepatnya aku nggak tahu makhluk mana yang bisa aku cabik-cabik dengan kemarahanku. Harusnya Ayahmu yang kurang ajar itu yang menjadi sasaranku… untung saja dia nggak ada di sini. Kalau saja ada… tentunya akan ada pertumpahan darah. Berkonsentrasi menjadi hal yang mewah untukku hari ini. Selama delapan jam bekerja, mungkin hanya 15 menit aku bisa berkonsentrasi… itu saja karena diajak rapat sebentar oleh Bu Martina, bosku. Semua kerjaanku berantakan. Sampaisampai teman-temanku khawatir karena, menurut mereka, aku tampak pucat dan gugup. Mudah-mudahan mereka nggak tahu kalau aku hamil. Rasa kesendirian dan kesunyian ini benar-benar mencekamku. O ya, tadi aku sudah menemukan beberapa artikel tentang teknik aborsi dari internet. Damn, I love that technology. Beberapa ada yang memakai pendekatan tradisional yang hanya beda tipis dengan mistis dan sisanya menggunakan alat atau teknologi yang lebih modern. Aduuuh… aku nggak mau minum jamu-jamuan apalah itu. Membayangkan rasa pahit yang akan bersarang di pangkal lidahku saja membuatku merinding. Tapi… sebenarnya aku lebih takut lagi dengan cara modern dengan menggunakan sejenis vacuum… ssshhhhh… ya, ampun… alat itu akan masuk ke vaginaku dan… iiiiihhhh…. Margo… tenang saja… ada teknologi kimia yang bernama anastesi…. Dan engkau, janinku Sayang, aku rasa engkau nggak akan merasa sakit sama sekali… karena… otakmu, kan, belum berkembang. Jadi, respon sakit pun belum ada, bukan?
19
Coba aku cek dulu di buku…. Damn, ternyata otakmu sudah ada, meskipun belum sempurna. Nah, mungkin karena belum sempurna, maka respon juga belum sempurna. Teleponku berdering. Nanti aku lanjutkan lagi…. Duh… siapa, sih. Iseng banget! Dasar penelepon nggak niat. Diangkat, terus dimatiin teleponnya. Tapi, nomornya sepertinya aku pernah tahu… nomor kodenya sama seperti telepon kemarin… 0561. Daerah mana, ya? Siapa penelepon itu? Ah, bodo amat! Balik lagi soal aborsi… aku jadi ingin menangis. Entahlah… harusnya ini menjadi keputusan yang sulit dan berat, namun mengapa semua begitu gampang buatku kali ini? Ada apa denganku? Biar saja. Aku nggak mau terganjal dengan masalah dosa atau moral atau hukum atau apalah…. Yang jelas kalau kalau aku hidup sesuai dengan aturan dosa atau moral atau hukum nggak akan membantuku sama sekali. Apakah hukum akan membantuku dalam membesarkan anak? Bah! Untuk mendapatkan akta kelahiran bagi anak di luar pernikahan saja susah setengah mati. Apakah dengan moral aku akan dengan mudah mencari uang untuk anakku kelak? Hmmm… kalau saja masyarakat tahu anakku nggak punya Ayah, tentu saja pergunjingan terus menggelayutiku dan anakku. Lalu, apakah dengan menjunjung perintah agama, aku akan terbantu jika aku kesusahan dalam membesarkan anak? Ah, aku mau lihat… kalau misalnya aku sedang tertimpa musibah, apakah orang-orang beragama itu nggak akan berteriak, “Tuh, kan, itu hukuman Tuhan kalau berani-beraninya berbuat zinah.” Zinah? Ha-ha-ha…. Jadi untuk apa terlalu memikirkan itu semua? Besok pagi aku akan menelepon calo itu untuk mendapatkan jadwal aborsi. @@@ Hah?!? Engkau tahu berapa jumlah pasien dokter itu dalam sehari? Sepuluh wanita! Berarti ada 10 janin yang akan digugurkan. Tadi pagi saat aku menghubungi calo aborsi itu, ia mengatakan kalau minggu ini jadwal dokter sibuk sekali. Dalam sehari paling banyak hanya bisa ‘menangani’ 10 pasien, dengan catatan usia kandungan tak lebih dari tiga bulan. “Minggu ini sepertinya susah, Mbak. Lagi panen. Mungkin karena musim hujan, kali ya… ha-ha-ha… jadi hawanya cocok untuk kawin. Tapi mungkin bisa saya selipkan. Nanti saya hubungi lagi.” Begitu kata si calo kepadaku.
20
Gila! Aku membayangkan, calo itu tentulah mempunyai organizer book untuk menuliskan semua jadwal dan janji semua pasien yang dicaloinya. Hmmm… bisnis aborsi rupanya menggiurkan juga. Kalau seorang ‘pasien’ membayar dua juta rupiah, maka kalau sehari ada 10 pasien, dokter itu mendapat 20 juta rupiah! Gila! Gila! Tapi… meskipun aku berniat melakukan aborsi, sempat terlintas di benakku… apakah yang melakukan aborsi itu dokter sungguhan ataukah hanya dokter-dokteran? Sebab, kalau itu dokter sungguhan… berani juga dia melakukan praktek ilegal yang nggak sesuai dengan sumpah profesinya. Terserahlah. Yang penting bagaimana aku bisa melakukannya dengan cepat. @@@ Si calo itu belum menghubungiku. Dan ketika aku mencoba menghubunginya ponselnya menyahut, “Maaf, nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan.” Celaka! God… I’m getting nervous…. @@@ Akhirnya… akhirnya…! Calo itu sudah menyisipkan aku dijadwalnya. Lusa, jam lima sore. Ketika jam makan siang, aku menerima kabar itu. Wyne, awalnya sempat curiga karena aku tadi sempat keceplosan menyebutkan kata rahim dan bayi. Tapi untung saja aku bisa mengalihkan pembicaraan. Dasar memang dia orang usil, selalu mau tahu urusan orang. Aku pun kemudian langsung mengajukan cuti dua hari kepada bosku dengan alasan aku harus kembali ke Bandung untuk menengok orang tuaku. Syukurlah langsung diberi. Lagipula pekerjaanku sudah selesai. Semoga dua hari itu cukup untuk pemulihan. Ada suatu perasaan yang aneh yang menggelayuti hatiku. Ketika si calo itu meneleponku, aku merasa lega dan senang. Namun, setelah beberapa saat kemudian… aku merasa nggak karuan. Ada perasaan cemas dan ketakutan luar biasa hingga malam ini… hingga aku menulis cerita ini. Mungkin aku merasa khawatir membayangkan bagaimana sakitnya proses itu nanti. Atau… rasa bersalah? Ah… aku harus menjauhkan rasa itu. Aku nggak mungkin merasa bersalah. Keputusanku sudah benar. SUDAH BENAR TITIK. @@@
21
Deg-deg-an terus sepanjang hari. Tak sanggup berpikir apalagi berkonsentrasi. Semua pekerjaanku serba salah. Badanku terus gemetar. Kepalaku pusing. Bicaraku ngawur. Bosku menyuruhku istirahat pulang. Sedikit lega, tapi…. Pergulatan batinku luar biasa mengganggu. Mungkin sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai dialog antara malaikat pelindung dan setan. Di satu sisi, malaikat itu menentangku dengan segala upaya agar aku nggak melakukan aborsi. Namun, si setan itu memberikan tandingan logika yang menurutku masuk akal. Yah, itung-itung sebagai dasar pembenar. Engkau tahu, sekarang sudah hampir jam dua pagi. Aku mencoba memejamkan mata, namun nggak juga bisa terlelap. Gelisah terus…. Membayangkan bagaimana besok dan tiba-tiba perutku mulas nggak karuan. Aku merasa ada yang salah dari proses ini semua. Aku tahu salahku ada di mana: aku nggak membicarakannya kepada orang lain! Harusnya aku minta pendapat orang lain. Tapi… ini, kan, masalahku sendiri. Kalau orang lain aku mintai pendapat, sudah bisa dipastikan mereka akan dengan senang hati menghakimi aku. Nggak… nggak… keputusanku sudah benar, kok. Oh ‘Tuhan’… (lho, kok, aku tiba-tiba menyebut nama mulia itu?). Damn… di mana Ayahmu di kala aku membutuhkan dia? God…. ‘Tuhan’… aku ingin bicara dengan-Mu empat mata, eh, enam mata, melalui tulisan ini. Ini aku, Margo, semoga ‘Tuhan’ masih kenal denganku. Aku Margo yang sejak beberapa tahun lalu memutuskan untuk menjadi seorang penganut agama yang freelance yang kalau lagi mood saja baru aku ingat ‘Tuhan’. Ingat, kan? Ah… tentu saja ‘Tuhan’ ingat. ‘Tuhan’ bukanlah ‘Tuhan’ kalau nggak ingat aku. Aku ingin menjelaskan semua kepada-‘Mu’ tentang kegelisahanku ini. Tapi tolong jangan hakimi aku (Damn… ini bukan saatnya untuk mengeluarkan air mata). Aku bisa menjelaskan semua tentang rencana aborsi yang akan kulakukan esok. Aku tahu, di mata-‘Mu’ itu semua nggak benar. Salah. Terkutuk. Dosa besar. Tapi ‘Tuhan’ harus dengar semua alasanku. Buka kuping-Mu lebar-lebar! Aku hanya nggak ingin menjalani ini semua SENDIRIAN. Berat rasanya jika nggak ada orang yang mau mendukung aku. Si Ndharu nggak tahu pergi ke mana. Tuhan, ‘Engkau’ tahu, kan, kalau bulan lalu aku senang dengan kehamilanku (eh, tapi bukan yang waktu pertama kali aku tahu dari hasil testpack, lho. Kalau itu aku benar-benar kaget). Aku juga makin senang ketika Ndharu akhirnya mau mendampingiku
22
(WAKTU ITU). Sebenarnya aku nggak keberatan kalau aku hamil, asalkan jangan ditinggal sendiri. Sebenarnya aku bukan tipe wanita manja. Harusnya aku bisa menjalani semuanya sendirian. Tapi… ini sesuatu yang berat. Anak itu nggak mungkin tercipta dengan sendirinya. Kalau aku manusia berkelamin ganda dan bisa membuahi diriku sendiri, aku yakin aku siap menghadapi konsekuensi dan menjalani semuanya itu dengan sendiri pula. Sayangnya, aku bukan wanita berpenis. Jadi, aku merasa nggak adil kalau aku bersusah-susah sendiri, dong. ‘Tuhan’, aku tahu di dalam hati-‘Mu’ pasti ingin mengatakan, “Yang nyuruh bikin anak siapa? Wong, mau-maunya sendiri, kok” Iya, ‘Tuhan’… benar ini maunya aku dan maunya Ndharu. Seharusnya, sebelum aku bercinta dengan Ndharu kami berdua sudah benar-benar sadar akan menanggung konsekuensinya. Tapi, namanya juga lagi nafsu… ‘Tuhan’ nggak tahu, sih, rasanya…. Kalau tahu pasti ‘Tuhan’ mau memahamiku. Itu semua sudah telanjur. Nggak mau, ‘Tuhan’… nggak mau! Aku nggak mau menghadapi masa depan dengan anakku sendirian karena ini bukan semata anakku saja. Ini hasil patungan. Jadi, kalau ini kujalani seorang diri, aku merasa semuanya nggak adil. Enak saja! ‘Tuhan’ pasti juga tahu kalau hampir setiap hari ada berita tentang penyakit, bencana alam, lingkungan yang sudah nggak sehat, dan belum lagi kriminalitas yang semakin menggila. Bagaimana kalau anakku nanti mengalami itu semua? Lalu aku harus menghadapinya sendirian dan mencari biaya untuknya sendirian. Sedangkan anakku itu, sekali lagi, adalah hasil patungan. Nggak adil, kan? Maka dari itu, ‘Tuhan’, aku memutuskan untuk menggagalkan kandunganku. Semoga ‘Tuhan’ mau memahamiku…. Dan engkau, anakku yang ada di dalam kandunganku, semoga engkau juga memahamiku. Anakku sayang, ini adalah malam terakhir aku menulis catatan ini untukmu. Aku akan membakarnya lembar demi lembar supaya engkau membacanya di sana, entah di mana, nanti. Maafkan aku. @@@ Ketika aku tersadar, ternyata aku sudah berada di unit gawat darurat di sebuah rumah sakit tak jauh dari klinik aborsi itu. Badanku sangat lunglai dan otakku serasa nggak bekerja. Mataku berat, maklum saja kemarin malam aku benarbenar nggak tidur. Namun, lebih dari itu semua… perasaanku semakin nggak karuan.
23
Sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan, aku mendatangi klinik aborsi itu setengah jam sebelum ‘operasi’ dimulai. Calo itu menemaniku dan menghantarku kepada seorang wanita yang berperan sebagai kasir. Aku menyetorkan dua juta rupiah kepada wanita itu. Entah berapa komisi yang diperoleh si calo. Seorang perawat kemudian menunjukkan arah ke mana aku harus pergi. Melewati sebuah lorong yang berlangit-langit tinggi dan, kata dia, aku sudah ditunggu di kamar ketiga. Langkahku terasa berat ketika memasuki kamar yang di pintunya tertulis angka tiga. Seorang pria dengan berjas putih seperti layaknya pakaian yang dipakai seorang dokter dan dua orang perawat sudah menyiapkan peralatan dengan bentuk yang aneh di atas sebuah meja di samping tempat tidur berseprai putih yang dialasi perlak cokelat. Selanjutnya aku nggak tahu lagi karena semuanya menjadi gelap. Dan aku hanya tahu kisah seterusnya dari seorang perawat yang merawatku di UGD rumah sakit itu. Kata dia, aku dibawa ke UGD dalam keadaan pingsan dan aku langsung diberi supply oksigen. Perawat itu tahu kalau aku adalah ‘pasien’ klinik aborsi karena dia sudah hapal dengan wajah calo yang mengantarku ke rumah sakit itu. Mungkin beberapa wanita juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Ketika pertama kali membuka mata, aku langsung memegang perutku dan mengusap-usapnya. Aku nggak merasakan ada sesuatu yang diambil dari perutku. Lalu, aku meraba celana dalamku… kering. Nggak ada darah. Nggak ada rasa sakit. “Bayi Mbak masih ada di dalam rahim dan keadaannya baik-baik saja.” Begitu tiba-tiba perawat yang ketika itu duduk di sisiku itu berkata. Air mataku langsung meleleh dan aku menangis sejadijadinya. Perawat itu memelukku sambil mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Dia lalu memindahkan aku ke bilik pemulihan, duduk di sebelah ranjangku, dan memegang erat telapak tanganku yang dingin. Wanita yang kira-kira berusia 40 tahun itu memperkenalkan dirinya dengan nama Suster Gabriella. Sebuah nama yang cantik sesuai dengan rupanya yang juga menawan. Matanya begitu teduh dan seakan dapat langsung menembus hatiku yang terdalam. Suster Gabriella bertanya kepadaku bagaimana perasaanku ketika mengetahui bahwa janin yang ada di rahimku ternyata masih ada. Aku terdiam cukup lama. Dalam hati terbersit perasaan senang karena akhirnya niatku itu terbatalkan. Namun, kekhawatiran bagaimana dengan
24
kesendirianku selanjutnya tetap ada. Aku memilih diam. Dia juga diam. Nggak lama kemudian dia membuka suara, “Menanggungnya seorang sendiri memang tidak mengenakkan. Namun, kadang orang justru menciptakan kesendirian itu tanpa mau mengundang orang lain untuk masuk. Orang sering kali berasumsi kalau orang lain akan menyingkir, padahal belum tentu. Masih banyak cinta yang diberikan oleh Tuhan kepada seseorang dengan cara ajaib… yah… kadang-kadang letakknya tersembunyi. Namun, segala sesuatu yang tersembunyi ketika ditemukan seringkali lebih indah dari yang nyata-nyata terlihat langsung.” Aku belum cerita kepada Suster itu tentang apa yang terjadi kepadaku, tapi sepertinya dia tahu. Mulutku masih terkunci dan hatiku seperti diaduk-aduk. Aku memandang lampu neon di langit-langit rumah sakit dan air mata mulai mengalir lagi. Memang, selama ini aku hanya memberitahukan kehamilanku kepada Ndharu saja. Aku nggak menceritakan kepada teman-temanku atau keluargaku. Hanya Ndharu dan tentu saja si Calo dan para perawat di klinik aborsi itu…. Kalau yang diceritakan Suster Gabriella itu benar bahwa nggak semua orang akan menghakimi aku… berarti aku beruntung mendapatkan dukungan, tapi kalau ternyata dugaanku salah? “Bagaimana dengan penolakan? Adakah cerita soal penolakan, Suster?” tanyaku kemudian. Suster itu kemudian mengusap air mataku dengan tangannya yang harum dan lembut. Sebuah kemanjaan yang sudah lama kurindukan. Dia berkata, penolakan itu mungkin ada. Tapi nggak harus dihadapi dengan keputusasaan. “Ketika air sungai membentur batu, air itu justru mengalir lebih deras dan kuat dari sebelumnya. Jika terpaksa berbenturan dengan rintangan, ya… harusnya menjadikan orang menjadi lebih kuat.” Dalam hati aku berkata, berbicara itu gampang… menyembuhkan luka hati itu nggak mudah. Ndharu awalnya memberikan harapan kepadaku, tapi… setelah itu dia pergi begitu saja! Tanpa kabar. “Menyembuhkan luka hati memang tidak mudah,” kata Suster itu seakan tahu apa yang aku pikirkan, “Tapi apa untungnya mengingat-ingat luka itu. Segala sesuatu yang terus dipikirkan akan terus membekas.” Hmmm… benar juga apa yang dikatakan Suster itu. Wanita itu kemudian melanjutkan perkataannya kepadaku, “You’re the driver not the passenger in life. Yang memutuskan segala sesuatu di kehidupan Mbak adalah Mbak sendiri. Jangan mau disetir oleh orang lain dan jangan mau disetir oleh
25
kekhawatiran yang sumbernya bukan berasal dari diri Mbak sendiri. Sekarang janin itu masih ada, terserah Mbak…” Suster Gabriella lalu minta izin meninggalkan aku sejenak. Seorang suster lain masuk dan mengukur tekanan darah dan suhu badanku. Dia mengatakan bahwa aku sudah bisa pulang ke rumah, katanya aku harus banyak sekali istirahat karena mungkin aku terlalu lelah dan stres sehingga pingsan. Dia sempat berkata kalau biaya perawatanku sudah dibayar oleh orang yang mengantarku ke rumah sakit itu. Ketika aku hendak meninggalkan ruang pemulihan, Suster Gabriella menyerahkan kertas yang dilipat. Kertas itu langsung diletakkan di genggamanku. “Baca di rumah pada saat pikiranmu sudah jernih,” pesannya. Dia sempat berjalan di sampingku, sementara seorang suster lainnya mendorong kursi rodaku. Sebuah taksi sudah dipesan dan aku masuk ke dalamnya dengan pikiran masih kalut. Bahkan, aku nggak sempat mengucapkan terima kasih kepada Suster Gabriella. Di dalam taksi pun aku hanya diam dan melamun saja. Sampai-sampai sopir taksi yang berusaha bersikap ramah kepadaku jadi jutek gara-gara aku cuekin. Sopir taksi itu sampai harus berkali-kali mengatakan kalau alamat yang aku sebutkan sudah ditemukan. Aku sudah sampai di rumah. Dengan langkah gontai aku membuka pintu ruang tamu. Aku langsung mengempaskan tubuh lelahku di atas hamparan karpet wol di kamarku dan memejamkan mata sejenak. Tiba-tiba aku teringat kertas yang diberikan Suster Gabriella. Mataku menyapu perlahan seluruh untaian kata yang ada di sana. Dan kau tahu, Sayang? Itu adalah air mata terderas yang pernah aku keluarkan seumur hidupku. Lebih deras dari air mata yang kukeluarkan pada saat pemakaman Mutant, anjing kesayanganku, atau air mata penolakan dari Ndharu, atau air mata kesepian. Aku menangis hingga terlelap dalam tidur. Tengah malam, aku terbangun dan aku langsung bersujud di depan patung kecil Pietta, patung yang menggambarkan Bunda Maria tengah memangku jenazah Yesus saat diturunkan di kayu salib. Untuk pertama kalinya dalam belasan tahun terakhir aku kembali berkomunikasi dengan Tuhan dan Ibu-Nya itu dalam konteks pemikiran Tuhan yang seperti dulu, tanpa tanda kutip (meskipun pemikiran itu hanya bisa bertahan untuk sesaat). Pada saat itu, aku merasa malu telah berniat melakukan tindakan bodoh untuk menggugurkanmu. Aku bersyukur ‘Tuhan’ telah mengirimkan Suster Gabriella kepadaku. Mungkin itu adalah cara ‘Tuhan’ untuk merangkulku kembali, ternyata ‘Tuhan’ masih mencintaiku.
26
Malam itu merupakan malam terindah untukku. Aku merasa telah didekati ‘Tuhan’ dengan cara yang luar biasa. Setelah memohon maaf, tubuhku serasa dipeluk oleh kehangatan yang menembus hatiku dan rahimku. Apakah engkau juga merasakannya, Sayang? Dan aku pun tertidur di depan patung itu dan membiarkan lilin yang ada di samping patung tetap menyala. Kalau saja ini terjadi kepada orang lain dan orang lain itu menceritakannya kepadaku, mungkin aku hanya mencibir sambil mengatakan hal itu sebagai salah satu adegan klise. Tapi semua kejadian ajaib ini aku alami sendiri. Apakah engkau ingin tahu apa yang tertulis di kertas pemberian Suster Gabriel itu, Sayang? Ini dia, bacalah:
Diary of an Unborn Child October 5- Today my life began. My parents do not know it yet. I am as small as a seed of an apple, but it is I already. And I am to be a girl. I shall have blond hair and blue eyes. Just about everything is settled though, even the fact that I shall love flowers. October 19- Some say that I am not a real person yet, that only my mother exists. But I am a real person, just as a small crumb of bread is yet truly bread. My mother is. And I am. October 23- My mouth is just beginning to open now. Just think, in a year or so, I shall be laughing and later talking. I know what my first word will be: MAMA. October 25- My heart began to beat today all by itself. From now on, it shall gently beat for the rest of my life without ever stopping to rest! And after many years, it will tire. It will stop and then I shall die. November 2- I am growing a bit every day. My arms and legs are beginning to take shape. But I have to wait a long time yet before those little legs will raise me to my mother’s arm, before these little arms will be able to gather flowers and embrace my father. 27
November 12- Tiny fingers are beginning to form on my hands. Funny how shall they grow! I’ll be able to stroke my mother’s hair with them. November 20- Today the doctor told Mom that I am living here under her heart. Oh, how happy she must be! Are you happy, Mom? November 25- My Mom and Dad are probably thinking about a name for me. But they don’t even know that I am a little girl. I want to be called Kathy. I am getting so big already. December 10- My hair is growing. It is smooth and bright and shiny. I wonder what kind of hair Mom has. December 13- I am just about able to see. It is dark around me. When Mom brings me into the world, it will be full of sunshine and flowers. But what I want more than anything is to see my Mom. How do you look, Mom? December 24- I wonder if Mom hears the whispering of my heart? Some children come into the world a little sick. But my heart is strong and healthy. It beats so evenly: tup-tup-tup-tup. You’ll have a healthy little daughter, Mom! December 28- Today my mother killed me. Dulu aku pernah menulis kepadamu tentang kekhawatiranku: bagaimana jika anak yang ada di kandunganku ini ternyata memang nggak ingin dilahirkan? Namun, aku nggak pernah berpikir sebaliknya: bagaimana aku tahu kalau ternyata anak itu sesungguhnya memang ingin dilahirkan? Kalau saja, engkau di dalam rahimku sudah bisa menulis… aku akan mengirimkan berlembar-lembar kertas dan sebuah pena ke dalam supaya engkau bisa menulis bagaimana perasaamu di dalam sana. Karena aku yakin, engkau pasti tahu apa yang dirasakan olehku. Kalau saja bisa…. Aku akan menelan kertas dan pena itu untukmu dan aku menunggu tulisanmu pada keesokan hari yang keluar lewat duburku haha-ha. Sayang, aku mau minta maaf karena telah mempunyai rencana jahat itu. Adakah engkau menerima maafku? Semua
28
akan kuberikan untuk menebus kesalahanku ini. Mungkin engkau tersinggung atau marah atau dendam kepadaku, terlebih ketika engkau membaca catatan ini. Aku ibu yang buruk, ya? Tapi lihat saja, aku berusaha berubah menjadi ibu paling keren. Aku janji akan menebusnya. Kalau pada waktunya nanti engkau membaca ini dan engkau merasa kalau aku bukanlah ibu yang keren, engkau boleh memprotesnya, Sayang. O ya, ada satu cerita yang terlupa. Keajaiban masih terus terjadi. Pagi hari setelah aku terbangun dari tidurku (dengan mata terbengkak di sepanjang sejarah hidupku) aku berniat mengucapkan terima kasih kepada Suster Gabriella. Aku menelepon rumah sakit tempatnya bekerja. Aku mengatakan kepada operator untuk disambungkan ke bagian UGD. Namun, ketika aku meminta seorang petugas di UGD untuk menyambungkannya dengan Suster Gabriella, dia mengatakan nggak ada perawat yang bernama Gabriella. Aneh. Aku berpikir, mungkin petugas itu sedang kesal karena tengah menangani banyak pasien gawat darurat, sehingga hanya menjawab sekenanya saja. Telepon kuputar sekali lagi dan jawaban yang kuterima tetap sama: tidak ada orang yang bernama Gabriella. Benar-benar penasaran aku dibuatnya. Tapi aku bertekad harus mengucapkan terima kasih kepada Suster itu. Sebelum jam kantor dimulai, aku menyempatkan diri untuk mampir ke rumah sakit itu. Bagaimana pun caranya, aku harus menemukannya. Aku sudah membawakan seikat bunga mawar yang kubeli di depan rumah sakit. Tempat pertama yang kukunjungi adalah UGD. Aku bertanya kepada tiga orang yang berbeda, seorang cleaning service, seorang perawat, dan seorang petugas administrasi. Pertanyaanku sama: adakah seseorang di sini bernama Gabriella? Dan jawaban mereka juga sama: tidak ada. Tak puas dengan itu, aku langsung menuju ke bagian kepegawaian karena hatiku benar-benar mendesakku untuk melakukannya. Untung saja di bagian itu sudah ada orang meskipun masih jam setengah delapan pagi. Seorang pria setengah baya memandangku dengan heran karena aku begitu tergopoh-gopoh menghampirinya sambil membawa seikat bunga. Aku mengatakan kepadanya, apakah ada seorang pegawai di rumah sakit ini yang bernama Gabriella? Karena aku ingin mengucapkan rasa terima kasih dan memberikan seikat bunga itu kepadanya. Dia mengatakan belum pernah mendengar nama itu, malah dia menertawakanku. Kata dia, apakah orang yang dicariku adalah seorang bintang telenovela Mexico? Namun, aku terus mendesaknya untuk mencari nama itu melalui komputer di hadapannya. Dia pun akhirnya luluh dan membuka
29
file kepegawaian. Nama Gabriella dia ketikkan pada sebuah kolom pencarian nama, lalu jari telunjuk kanannya menekan tombol enter. Layar berubah warna menjadi biru dengan dialog box yang tertulis: Maaf, Data Tidak Ditemukan. Gila! Bapak itu kemudian menanyakan ciri-ciri orang yang kumaksud. Aku menyebutkan semua, rambutnya panjang dan digelung ke atas, matanya tajam tapi lembut, pipinya bersemu merah, bibirnya tipis merah tanpa pulasan lipstik, badannya semampai, dan kulitnya kuning langsat. Hanya satu kalimat yang bapak itu lontarkan, “Kayaknya cantik banget, tuh.” Duh… kesel banget, deh. Dia menanyakan lagi apakah aku nggak salah ingat nama. Aku seratus persen yakin kalau Gabriella adalah namanya karena ketika Suster itu memperkenalkan dirinya, aku sempat teringat dengan seorang teman lamaku yang mempunyai nama sama dengannya. Aku kemudian memberikan mawar yang sedari tadi kupegang kepada Bapak tua itu. Daripada mubazir, sudah dibeli tapi dibawa pulang kembali. Kebingungannku terus berlanjut hingga di kantor, bahkan hingga pulang ke rumah. Aku mencoba mengingat-ingat kembali peristiwa saat Suster itu memperkenalkan diri. Aku yakin, ingatanku nggak salah. Sempat terpikir juga, sih, dibenakku jangan-jangan itu suster ngesot yang sering jadi primadona di film-film horor Indonesia, tapi pikiran itu langsung kutepis. Gila aja, mana ada suster ngesot cantik dan baik hati begitu. Atau jangan-jangan sebenarnya suster ngesot itu adalah suster yang baik hati, namun diubah menjadi karakter yang mengerikan oleh si penulis skenario. Tapi, nggak, kok, dia waktu itu, kan, jalan di samping kursi rodaku. Dia nggak ngesot. Aku mengambil kertas pemberian Suster misterius itu dan membacanya sekali lagi. Setiap kali membacanya pasti aku menangis. Ternyata di bawah tulisan itu ada sebuah gambar yang sebelumnya nggak aku perhatikan. Seorang wanita berkerudung tengah berlutut di depan seorang wujud malaikat. Gambaran itu begitu familiar. Itu, kan, gambaran “Maria mendapat kabar sukacita dari Malaikat Gabriel”. Aku jadi teringat dengan gambar salah satu peristiwa gembira doa rosario. Persis seperti itu. Meskipun aku seorang Katolik freelance, aku masih ingat dengan nukilan kisah dari Injil itu. Maria mendapat kunjungan dari Malaikat Gabriel yang memberi kabar kalau Maria akan mengandung bayi Yesus. Waktu itu Maria sempat panik karena sebenarnya dia belum menikah. Namun, Malaikat Gabriel mengatakan kalau janin itu dikandung oleh Roh Allah sendiri. Dan Maria pun kemudian memberi jawaban kepada
30
Malaikat agung itu, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan. Terjadilah kepadaku sesuai dengan perkataanmu itu.” Setelah beberapa saat aku baru ngeh dan muncul pikiran aneh di benakku. Malaikat Gabriel… Suster Gabriella…. Hiii… bulu romaku langsung merinding. Bulan Desember sepertinya masih lama, kan? Dan ini bukan saatnya mendapatkan keajaiban Natal atau Christmas magic. Aduh… pikiranku anehaneh saja. Siapa aku bisa-bisanya punya bayangan di kunjungi malaikat. Pikiran yang terlalu agung, sehingga membuatku malu sendiri. Jelas-jelas janin yang ada di dalam kandunganku merupakan kontribusi sperma milik Ndharu. Prosesnya pun jelas-jelas merupakan hal yang dilarang oleh ‘Tuhan’ yang dianut kebanyakan orang. Argh… stupid mind! Sayang, terlepas dari itu semua aku merasa berterima kasih telah diingatkan untuk bisa menerima setiap peristiwa, meskipun sebenarnya nggak aku duga. Ah… di mana pun Suster Gabriella itu berada, aku sudah menyampaikan rasa terima kasihku kepadanya melalui ‘Tuhan’. Dan aku yakin ‘Tuhan’ akan menyampaikannya kepada Suster Gabriella itu. @@@ Selamat malam, Sayang? Apa kabarmu sepanjang hari ini? Semoga engkau nggak marah kepadaku karena… ya, kau tahulah… aku nggak mau mengingatnya lagi… karena kalau aku mengingatnya terus, aku akan terjebak pada penyesalan di masa lalu. Sekarang, waktunya melihat ke masa depan. Benar, kan, Sayang? Ah, engkau memang janin yang sangat koorperatif. Kalau ibu-ibu lain mengalami morning sickness karena meningkatnya hormon human chorionic gonadotrophin (hCG) -cieh… bukannya sok pintar, lho… aku juga tahunya dari buku- aku malah nggak merasakannya sama sekali. Wah, jangan-jangan hormonku nggak meningkat. Masa, sih? Hmmm… tapi aku pernah mendengar kalau nggak semua wanita hamil itu mengalami mual-mual. Lusa, aku akan ke dokter kandungan. Hmmm… menurut buku saktiku itu, engkau saat ini sudah mempunyai telinga meskipun belum sempurna. Wah, besok kita akan berbelanja beberapa kasetnya Mozart, ya? Engkau akan suka dengan komposisinya yang jenius itu. Kata orang, musiknya itu baik untuk kecerdasanmu. Rangka tubuhmu itu sudah terbentuk, meskipun masih tulang rawan. Hatimu juga sudah mulai dapat memproduksi sel darah dan kelenjar seksmu mulai terbentuk. Ngomong-ngomong soal seks, engkau ini bakal menjadi seorang bayi laki-laki atau perempuan, ya?
31
Anyway, aku harus mulai memikirkan siapa orang yang akan kuberitahu tentang kehamilanku ini. Aku takut kalau orang tuaku akan jatuh pingsan kalau aku kabarkan peristiwa ini. Apa mungkin lebih baik aku memberitahu kakakku terlebih dulu? Ah, dia lagi… laki-laki yang nggak sensitif lagipula dia ada di Bali. Atau mungkin sahabatku, April. Ya… dia orang yang tepat. Tapi itu anak sudah pulang dari tugas luar negerinya belum, ya? Kabar terakhir dia masih ada Melbourne. Coba besok aku kirim e-mail ke dia. OK, Sayang… aku lelah sekali hari ini. Aku mandi dulu lalu tidur. Bye…. @@@ Hari ini di kantor begitu menyebalkan. Kapan, ya, kantor menjadi tempat yang menyenangkan? Semua orang sepertinya berlomba mencari muka kepada atasan. Ah, terserah merekalah… itu hidup dan pilihan mereka sendiri. O ya… tadi aku sudah menghubungi April. Dia langsung balas, katanya besok di baru selesai tugas. Berarti kirakira beberapa hari lagi kita akan bertemu. Nanti dia akan mengabari aku. Wah… April itu akan menjadi tantemu yang menyenangkan. Dia itu begitu tergila-gila dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan bayi. Engkau tahu parfum favoritnya? Minyak telon dicampur bedak bayi. Hanya kalau ke kantor saja, ‘parfum’ itu disingkirkan. Dan snack favoritnya? Biskuit bayi. April sudah berganti-ganti pacar puluhan kali. Dan setiap kali dia meminta pacar-pacarnya untuk membantu dalam proses pembuatan anak, mereka langsung kabur… ha-ha-ha. Dia itu lebih gila dari aku. Kangen sekali aku padanya. Dulu, sewaktu pertama kali kami bertemu di bangku kuliah aku sudah yakin kalau dia bakal menjadi teman baikku. Dan benar saja. Kami berdua sering berburu lakilaki bareng… untung saja tipe kami berbeda, kalau sama aku jelas kalah. April itu wanita yang cantik. Darah Cina dari ibunya memberikan kesempurnaan bagi darah Ambon Ayahnya. Aku selalu meledeknya nona kopi susu. Namun, setelah bekerja, kami malah jarang sekali bertemu. Dia bekerja sebagai sekretaris direktur pada sebuah perusahaan farmasi Jerman. Makanya, dia sering bepergian ke luar negeri. Iri juga, sih, tapi dia pantas mendapatkannya. Kapan, ya aku bisa ke luar negeri? Suatu saat aku janji bisa ke sana. Aku akan menunggumu hingga besar agar kita berdua bisa berkelana ke Eropa. Bagaimana, setuju? O ya, aku tadi sudah mengecek jadwal dokter kandungan. Besok sore sepulang dari kantor kita akan pergi bersama,
32
ya? Ini adalah kunjungan pertamaku. Sebenarnya aku agak deg-degan, sih, tapi aku yakin semua akan baik-baik saja. Eh, ya ampun! Ngomong-ngomong uang dua juta yang aku bayarkan kepada klinik aborsi itu bagaimana, ya? Enak saja, aku, kan, membatalkan niatku. Berarti uang itu bisa aku ambil, dong? Coba aku telepon dulu si Calo itu. Hah… akhirnya boleh… setelah dipotong uang perawatan di UGD rumah sakitku waktu itu. Awalnya si Calo ngotot nggak mau mengembalikan uangku. Namun, setelah aku ancam akan membocorkan prektek aborsi ilegal itu kepada polisi, dia akhirnya menyerah meskipun dengan nada marah-marah. Ya sudah, sekarang aku harus mengerjakan beberapa surat kontrak untuk klien. Besok aku sambung lagi, ya, Sayang? PS: Maafkan aku… aku lupa kalau aku punya janji denganmu untuk berbelanja kaset Mozart… aduh, maaf…. Besok sepulang dari dokter kita mampir ke toko kaset. @@@ Aku heran! Aku dulu benci sekali dengan buah bit yang berwarna ungu itu. Tapi tadi siang begitu mengambil uangku dari klinik aborsi, aku tiba-tiba ingin sekali makan buah bit itu. Pertama, aku mencarinya di Pizza Hut di dekat kantorku. Ternyata, nggak ada. Lalu aku naik bus ke arah Jalan Sudirman untuk mampir sebentar di American Grill. Dan buah berwarna ungu janda itu ada! Sayang, apakah itu permintaan darimu? Aku baru tahu rasanya ngidam… kalau benar-benar menginginkan sesuatu memang benar-benar harus dituruti. Sinting! Ups… jangan marah, ya? Aku menghabiskan satu setengah mangkuk salad yang komposisinya hanya terdiri dari: buah bit, brokoli, dan jamur champignon mentah dengan dilumuri vinegar. Yaiks… kalau dalam kondisi normal… aku selalu menghindari vinegar yang rasanya asam setengah mati itu. Dan aku memakan semua itu seperti babi kelaparan. Sampai-sampai aku tiba di kantor lewat dari jam dua… he-he-he. Bosku awalnya mencakmencak, namun ketika aku menjawab pertanyaannya, dia malah tertawa. Kata bosku, lidah, bibir, dan beberapa bagian gigiku berwarna ungu. Malu banget, deh. Sekitar jam enam, aku sudah menunggu di depan ruang praktek dokter kandunganku, dr. Kristin Dewanti, SpOG. Aku pura-pura tanya ke Mbak Anis, teman sekantorku yang punya tiga anak kembar yang montok-montok hasil bayi tabung, dokter kandungan mana yang jempolan untuk tetanggaku. Dan dia merekomendasikan dokter Kristin itu. Ya sudah….
33
Aku sedikit iri, sih, dengan ibu-ibu lain yang juga duduk di ruang tunggu. Pasalnya, kebanyakan dari mereka diantar oleh para suami mereka. Untung saja di sebelahku sama-sama sendiri. Untung? NGGAK!!! Ibu-ibu itu cerewetnya setengah mati. Wanita yang sedang mengandung tujuh bulan itu aktif sekali bertanya kepadaku. Kerja di mana? Kok, suaminya nggak nganter? Hamil berapa bulan? Anak ke berapa? Fuiiih… begitu tahu aku sedang mengandung anak pertama, dia langsung bercerita mengenai pengalaman melahirkannya. Maklum, dia sudah melahirkan lima kali dan yang dikandungnya sekarang adalah anak keenam. Bukan main… rahimnya kuat sekali! Dan yang paling membuatku panik adalah ketika dia bertanya kepadaku apakah aku pernah bercinta selama masa kehamilan. My God, aku ingin mati saja mendengarnya… mana suara dia keras banget hingga membuat ibu-ibu yang sedang berbincang-bincang di ruang tunggu lainnya berhenti sejenak untuk mendengar kisah wanita tadi. Hatiku menjerit, “Suster, kapan giliranku dipanggil?” Tanpa merasa beban, wanita tadi bercerita mengenai posisi-posisi seks yang aman untuk wanita hamil. “Daripada suami nyeleweng?” Begitu alasannya. Wah, nggak heran, deh, kalau anaknya bisa enam. Dia lalu menasehati aku agar jangan makan terlalu banyak. Kata dia, lebih baik kandungannya jangan terlalu besar, biarkan si jabang bayi dibesarkan di luar kandungan saja. Sebab, tambah dia dengan semangat yang masih menyala-nyala, temannya pernah mengalami proses kelahiran yang fatal karena bayi yang terlalu besar, hingga akhirnya perineum temannya itu disobek hingga nyaris mencapai anus. Mendengar cerita itu, beberapa ibu langsung mengerenyitkan dahi dan memonyongkan bibir mereka seakan merasakan kenyerian yang diderita oleh teman si ibu tadi sembari mengelus-ngelus kandungannya. Aku tahu, dalam hati mereka pasti berujar, “Hiii… amit-amit jabang bayi.” Aku hanya tersenyum kecut, meskipun hatiku ciut juga. Semoga itu hanyalah cerita imajinasinya saja. Melihat mimik mengerikan dari sebagian besar ibu-ibu tadi, si ibu bermulut besar ini malah semakin semangat. Belum lagi dia selesai bercerita tentang kisah horor melahirkan, ponselku berbunyi. April menyelamatkan jiwaku. Dengan gaya elegan, aku meminta izin kepada ibu itu untuk menerima telepon. Dengan penuh kelegaan bercampur kegembiraan aku menyapa April. Dia berjanji akan menemuiku hari Minggu ini. Wah, senangnya apalagi ketika dia berkata telah membelikan aku oleh-oleh. Namun, belum lagi kami selesai bicara,
34
namaku dipanggil oleh suster untuk segera masuk ke dalam ruang prektek dokter. Deg-degan! Benar saja, kekhawatiranku terwujud. Dokter itu menanyakan soal suamiku. Aku bilang suamiku sedang tugas di luar kota. Semoga dokter itu nggak tahu kalau aku tengah berdusta karena aku nggak pandai melakukannya. Dia menanyakan riwayat kesehatanku dan riwayat kesehatan pasanganku. Wah, mati aku! Aku nggak tahu pasti soal penyakit yang kerap kali timbul di keluarga Ndharu. Gawatkah kalau aku bilang nggak tahu? Aku hanya tahu kalau Ayahnya pernah dirawat di rumah sakit karena diabetesnya kumat. Itu saja. Dokter itu kemudian mengambil sampel darahku untuk mengetahui apakah ada kelainan darah, mengukur tekanan darah (yang ternyata normal… hore), memeriksa payudaraku, dan memeriksa rambut, mata, dan gigi untuk mendeteksi adanya gangguan pola makan. Ketika dia menyuruhku membuka mulut, dia tertawa. Lidah dan gigi grahamku berwarna ungu. Aku mengaku habis makan buah bit dan dia bilang itu bagus. Fuih…. Terakhir, dia menyuruhku mengambil sampel urine untuk melihat kadar gulaku. Hasilnya baru akan terlihat besok. Dia menyarankan jangan terlalu kelelahan karena kandunganku masih tergolong rawan. Namun, selebihnya kondisiku bagus. Besok aku disuruh mengambil hasil laboratorium dan kalau hasilnya buruk segera cek kembali, namun kalau hasilnya baik, kembali lagi bulan depan untuk pemeriksaan melalui USG. Hei… ngomong-ngomong aku memenuhi janjiku, Sayang. Engkau sudah mendengarnya, kan? Aku sudah membeli empat kaset seri Mozart for Baby untuk engkau dengarkan. Bagaimana? Indah, bukan? Setiap kali aku menulis catatan ini, kaset itu wajib kuputar. Sekarang, aku akan memperdengarkannya hingga aku tertidur.
35
THIRD Month
Hallo there… engkau akhirnya memasuki awal bulan ketiga. Masih enam bulan lagi engkau ada di dalam diriku. Aku cukup lega karena hasil tes laboratorium ternyata bagus. Engkau akan menjadi seorang bayi yang sehat. Pada minggu ini bagian tubuhmu mulai terlihat jelas meskipun belum sempurna sekali. Kecanduanku terhadap buah bit mulai meningkat tajam. Itu berarti kocekku mulai berkurang. Aku sebenarnya selalu melihat wujud buah bit di supermarket-supermarket. Namun, aku nggak tahu bagaimana cara mengolahnya. O ya, berat badanku sudah naik 2,5 kilogram. Mengerikan! Bukan apa-apa berarti aku harus mulai mencari pakaian dalam baru, pakaian luar baru, dan sepatu bersol datar. Hingga sekarang aku masih nekat memakai sepatu high heels. Habisnya aku nggak pe-de kalau pakai flat-shoes. Pokoknya aku mau menjadi ibu hamil yang trendy dan cantik. O ya… aku mempunyai dorongan yang aneh, nih… aku, kok, ingin difoto bugil ya? Itu, lho… seperti Demi Moore yang dalam keadaan hamil tua berani tampil syuuur di cover majalah Playboy. Ngidam yang aneh…. Baru saja April kirim SMS… dia bilang, besok aku akan dijemput. Katanya, sih, dia mau sekalian pamer mobil baru… April… April…. Eh, sudah hampir jam empat! Aku harus membuat pembetulan kerjaanku karena jam tujuh malam nanti tugas itu harus dikirim vi e-mail kepada Bu Martina. Bye… see you tomorrow…. @@@ Gile… mobilnya April keren banget, VW Beatle hijau tua, benar-benar mirip kodok. Dari awal, aku sudah mengingatkan April kalau aku nggak mau belanja-belanji. Aku cuma mau makan. Dia hanya tertawa saja. April itu gila belanja. Yah… kalau penghasilanku sebesar dia, aku pun berniat mati di antara belanjaanku. Dia terlihat semakin cantik, meskipun dengan dandanan minimalis. Pakaiannya juga sederhana, hanya slip dress
36
sederhana bermotif bunga pink. Baby pink… apalagi! Dia berkomentar kalau aku terlihat lebih gemuk… ya iyalah! Apalagi aku memakai sweater off shoulder yang agak kedombrongan plus jeans. Di sepanjang jalan menuju restoran pilihan April kami berdua seperti orang kesurupan. Memutar lagu-lagu Brand New Heavies sambil bernyanyi dengan gerakan gila. Aku hampir lupa kalau aku sedang hamil. Ngomong-ngomong apakah engkau menyukai lagu-lagu kami, Sayang? Panik, ya? Setelah kemarin mendengarkan lagu-lagu Mozart yang mengendurkan urat syaraf terus langsung berubah haluan ke musik yang menghentak haha-ha… nggak papa, kan? Akhirnya sampai juga di Sonata Café. Kata April, di kafe ini menyajikan masakan Eropa yang super-duper yummy. Kebetulan, pemilik kafe ini adalah salah seorang distributor obat yang dihasilkan di pabrik tempat April bekerja. Tempatnya benar-benar nyaman, semi terbuka, dan banyak sekali tanaman hijau. Sebenarnya aku ingin buah bit… tapi itu masih bisa aku tahan. Kapan lagi makan gratisan? Aku memesan wagyu beef steak. Sejak dulu aku selalu penasaran seperti apa, sih, rasanya sapi yang selalu diberi bir untuk minum. Katanya, sih, akan berpengaruh pada dagingnya. Dan ternyata benar… dagingnya benar-benar empuk dan ketika disimpan di lidah, seperti meleleh dengan sendirinya… sluruuup…. Nak, awas, ya, kalau kamu minta menu itu setiap hari… aku nggak mampu beli. Aku juga sempat merasakan masakan yang dipesan April, foie gras alias hati angsa. Sebenarnya, sih, aku nggak terlalu suka jerohan, tapi mendengar cerita April bahwa hati angsa ini berbeda dengan hati-hati bebek atau angsa lainnya, aku jadi tertarik untuk mencicipi. Jadi, kata April, hati angsa yang dimakannya itu adalah yang mengandung lemak. Biasanya pada musim dingin, angsa akan makan sebanyak-banyaknya dan menyimpan lemak di dalam hatinya untuk bekal bermigrasi ke tempat yang lebih hangat… dan dalam perjalanannya dicegat oleh manusia untuk disembelih hi-hi-hi…. Rasanya hati berlemak itu ternyata enak juga. Lho, kok, jadi ngomongin makanan, ya? Sejak aku hamil memang jadi sering lapar. Kembali ke masalah pokok. Waktu si pelayan selesai mencatat pesanan kami, aku langsung bilang ke April, “Pril, gue hamil.” Dan… engkau tahu apa komentarnya? “Monyet, kurang ajar, nggak sopan… harusnya, kan, gue duluan yang hamil.” Begitu ujarnya dengan suara yang agak keras. Meskipun terlihat seperti wanita elegan, kalau soal sumpah-
37
serapah memang April jagonya. Tapi aku lega juga mendengar komentarnya… setidaknya aku merasa kalau dia memang orang yang tepat untuk kuajak berbicara. Aku lalu menceritakan setiap detil kegelisahanku tentang kehamilan ini, termasuk cerita tentang rencana aborsi yang pernah terlintas dalam benakku. Tak kusangka dia jadi menangis. Karena aku tak tahan melihat orang nangis, aku pun jadi ikut menangis… tentu saja kami jadi pusat perhatian di kafe itu. Meskipun tak kuharapkan, dia menjadi begitu emosional ketika aku menyinggung-nyinggung soal Ayahmu. Dia sempat bilang, “Kurang ajar, ya, laki-laki itu. Tenang Go, gue akan belain elo kalo dia macem-macem.” Aku merasa sedikit lega setelah bercerita dengannya. Benar kata Suster Gabriella, kita nggak boleh negative thinking terhadap semua orang. Lagipula mengapa aku bisa melupakan April, ya? April langsung memegang perutku dan memaksa bahwa dia juga harus ikut terlibat dalam kehamilanku. Maksudnya, kalau aku harus berbelanja keperluan bayi, dia harus diajak. Kalau aku sedang ngidam, dia pun harus diajak. Kata dia, sih, supaya ketularan. Padahal, dia, kan, tinggal mencari sperma saja? Bocah sinting. Engkau tahu, April terus-menerus mencecarku dengan ratusan pertanyaan seputar kehamilan dan sepertinya dia lebih excited daripada aku. Dan dia sudah mendaftar untuk jadi fairy godmother-mu…. Aku lega akhirnya ada orang yang mendukungku. April kemudian memberi aku oleh-oleh, sebuah baju cantik! Sepotong tube dress berwarna (baby!) yellow dengan renda rajut putih dipinggir-pingirnya. Sepertinya bisa kupakai minimal sampai usia kandunganku memasuki bulan ketujuh. Dan sebenarnya ada kejutan lain menungguku di rumah. Karena terburu-buru, dia hanya mengantarku hingga di depan pagar saja. Ketika pintu ruang tamu terbuka, aku dikejutkan dengan surat yang diselipkan di bawah pintu. Engkau bisa menebak itu dari siapa? AYAHMU! Sebenarnya aku sudah mencoba sedikit demi sedikit melupakannya. Rasanya, baru saja aku secara perlahan akan hidup dengan tenang, tiba-tiba dia muncul lagi. Agak sedikit nggak adil, sih, berpikiran seperti itu, tapi aku benar-benar nggak mau hidupku dipermainkan. Aku bahkan dengan April sudah berpikir dan berencana untuk menjadi sepasang orang tua untuk membesarkan engkau. Tapi, tibatiba…. Awalnya aku nggak mau membuka surat itu, tapi karena rasa penasaranku yang membuncah… yah, apa boleh buat? Aku akan menyalinkan isi surat itu untukmu.
38
Hai… tadi aku ke sini, tapi rumah ini kosong. Kata tetangga, kamu pergi dengan temanmu. Aku tahu kamu pasti marah sama aku. Beberapa minggu ini aku dapat tugas ke desa-desa di sekitar Pontianak, di sana nggak ada sinyal telepon. Aku beberapa kali menghubungi handphone-mu, tapi nggak nyambung. Belakangan, aku mencoba lagi, bisa masuk, tapi aku merasa takut. Margo, kamu berhak marah kepadaku. Aku memang seorang pengecut. Aku juga malu dengan diriku sendiri. Di Pontianak, aku berpikir banyak dan pikiran itu nggak bisa kutuliskan di sini semua. Sekarang, aku berniat kembali kepadamu dan kepada bayi kita. Semoga kamu mau memaafkanku. Love, Ndharu. PS: Maukah kamu meneleponku setelah membaca surat ini? Aku malas berkomentar atas surat ini dan aku juga nggak mau menarikmu masuk ke dalam masalah ini. Aku nggak mau mengajakmu bersekutu denganku dan memusuhi Ayahmu. Kelak, engkau punya pendapat sendiri.
@@@ Kemarin malam (setelah aku selesai menulis catatan untukmu), Ayahmu datang ke rumah ini. Belum pernah aku bersikap sedingin itu sebelumnya kepada dia. Dia mengucapkan banyak maaf kepadaku dan mencoba menjelaskan banyak hal seputar pergulatan batinnya. Bahkan, dia ingin mencium kakiku, namun aku suruh dia berdiri lagi. Aku hanya diam. Menangis pun tidak. Aku sendiri heran, ada apa denganku? Sepertinya, aku merasa enggan untuk menanggapinya dan dia pun agak kesal dengan sikapku itu. Kami berdua dulu pernah berjanji satu sama lain, jika suatu ketika kami bertengkar pintu komunikasi harus tetap dibuka. 39
Segawat apa pun konfliknya, kalau kedua pihak tetap mau bicara (meskipun dengan makian) selalu ada jalan keluar. Dan itu benar. Kami sering sekali bertengkar, namun hanya bertahan sehari karena akhirnya kami bisa mengkomunikasikan masalah itu. Sekarang? Aku juga nggak tahu…. Rasanya membuka mulut itu sulit sekali. Hanya satu kalimat yang sempat terucap tanpa ekspresi wajah yang berarti, “Aku butuh waktu, Ndru.” Ayahmu menginap di sini dan selama tiga hari dia cuti. Ya sudahlah, toh, ini rumahnya juga. Hanya saja, aku tidur di kamar kerjaku. Sebenarnya aku ingin menelepon April untuk minta pendapatnya, tapi setelah kupikir-pikir sepertinya nggak bagus melibatkan orang ketiga di antara konflik intern. Sepanjang hari tadi, kami pun hanya berdiam diri. Tiba-tiba aku kangen dengan Suster Gabriella. Apa yang akan dia katakan, ya, jika ada konflik seperti ini? @@@ Selamat pagi, Anakku…. Ini aku, Petrus Ndharu, Ayahmu. Tadi malam aku melihat ibumu mengetik dengan serius di laptop ini. Memang kurang ajar, sih, tapi ketika aku membuka file dia… setelah dia berangkat kerja tentunya… aku menemukan catatan ini. Semoga dia mau memaafkanku untuk yang satu ini (wah, yang kemarin saja belum termaafkan, kok, ini mau minta maaf lagi…). Aku sudah membaca semua… sesekali aku mengeluarkan air mata. Ini, tho, yang rasanya menangis. Aku sudah lama tidak menangis, mungkin sejak SD. Ternyata, kekasihku mengalami pergulatan yang luar biasa. Aku tahu sifat dia… untuk sesuatu yang berat dia pasti menyimpannya dalam hati ketimbang menceritakannya kepadaku. Termenung aku setelah membaca semua. Aku merasa menjadi orang terdungu di dunia. Dia dengan jelas merekam segala kedunguanku. Aku benar-benar merasa menyesal telah pergi darinya untuk beberapa waktu. Sebenarnya aku tidak mau memakai alasan gender untuk membenarkan suatu masalah. Jujur saja, sebagai pria aku nggak pernah tahu beratnya wanita yang sedang mengandung. Tak hanya perubahan fisik yang sangat complicated, tapi juga perubahan psikologis yang tak kalah rumit. Aku hapal, dari apa yang sudah ditulis olehnya… sepertinya ada beberapa sifat yang bukan milik dia. Ah… terkutuklah aku yang senang beranalisa, sementara aku tidak sadar kalau aku yang menyebabkan kekacauan ini.
40
Nak, aku mau minta maaf kepadamu. Aku bukan Ayah yang baik pada mulanya, tapi aku berjanji akan menjadi Ayah terkeren di seluruh dunia nantinya. Kalau setelah kamu membaca catatan ini, kemudian merasa kalau aku bukanlah Ayah yang keren… kamu boleh menuntut aku. Sekarang, aku sedang bingung bagaimana mencairkan hubunganku dengan ibumu. Aku sudah sangat-sangat-sangat jatuh cinta kepadanya. Aku harus mendapatkan dia kembali… aku rela menebus segala kedunguanku itu dengan cara apa pun. Tunggu saja setelah dia pulang kerja….
@@@ Malam ini LUAR BIASA INDAH untukku. Ada keajaiban kecil di rumah kita yang tak kusangka-sangka. Sepulang kerja, aku kesal sekali karena lampu teras rumah nggak dinyalakan oleh Ayahmu. Semakin kesal, tatkala aku mendapati pintu rumah juga terkunci. Dalam hati aku mendongkol, seharusnya kalau mau pergi dari rumah ini beritahu aku, kek, setidaknya. Pintu kubuka perlahan dan cahaya temaram menyapa mataku. Di hadapanku terlihat sebuah meja bertaplak yang di atasnya sudah tersedia makanan. Di atas meja dan di beberapa sudut lantai diletakkan lilin-lilin beraroma vanila. Keterkejutanku mengalahkan rasa heranku: “Ini meja siapa?” Karena kami memang nggak punya meja. Semua serba ‘melantai’. Tape recorder di dalam kamarku dinyalakan. Lagu-lagu klasik milik Nat King Cole diperdengarkan. Ndharu muncul di pintu kamarku dengan rangkaian bunga Casablanca di tangannya kirinya dan kotak kecil putih di tangan kanannya. Dia pun kemudian berlutut di depanku sambil mengucapkan, “Will you marry me, Margo?” Dia kemudian membuka kotak kecil berwarna putih dan mengeluarkan sebuah cincin emas putih (aku duga, sih, demikian karena kalau perak nggak mungkin semengilap itu) dengan satu berlian berbentuk hati. Aku mengangguk perlahan dengan segera. Aku juga bingung… seharusnya aku masih marah dengannya, tapi mengapa aku begitu luluh sekarang? Mungkin jauh di bawah alam sadarku, aku sebenarnya masih mencintai Ndharu. Dia kemudian memakaikan cincin itu di jari manis tangan kiriku. Anjiiiing… (ups… ini kata yang buruk, Sayang… engkau tidak boleh menirunya)! Adegan melamar seperti ini sudah kodian di film-film. Aku selalu menertawakan dan memandang picisan adegan seperti itu. Aku ingat sekali waktu kami
41
berdua nonton Friends dalam episode Monica melamar Chandler dengan seisi ruangan dipenuhi lilin… aku langsung ketawa ngakak dan berkomentar, “Bo’… standar banget nggak, sih, adegan berlutut untuk melamar?” Lalu aku bilang kepada Ndharu, “Ndru, kalau kamu melamarku dengan cara kayak gitu. Aku bukannya menangis terharu, tapi bakalan ngakak!” Dan… malam ini… aku MENANGIS (!!!) menerima lamaran Ayahmu itu. Malu-maluin, ya? Bagaikan menyedot ludah sendiri. Tapi aku heran kenapa semuanya jadi begitu indah. Sekarang aku tahu bagaimana perasaan Monica sekarang. Kami menangis bersama sambil berpelukan dan saling mengucapkan kata maaf dan cinta. Dia juga menciummu melalui perutku. Adakah engkau merasakannya? Selama aku bekerja tadi, aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku hanya melayang ke masalah ini. Dan… aku menyadari kalau aku sebenarnya masih mencintai Ayahmu. Di dalam bus menuju ke rumah, aku benar-benar merasa berbuat nggak adil. Mungkin Ndharu ingin memperbaiki semuanya, sama seperti aku ingin memperbaiki hidupku setelah kejadian rencana aborsiku itu. JADI, KAMI AKAN MENIKAH!!!!! O ya… ups, maaf ya, Sayang… aku jadi nggak beraturan menulisnya. Ternyata menulis dalam keadaan sedih justru lebih lancar dibandingkan dalam keadaan gembira. Tadi, dia memasakkan spageti untukku. Rasanya, sih, standar… pakai bumbu saus Prego yang sudah jadi. Tapi di lidahku, ini adalah spageti terenak yang pernah kumakan. Selain spageti, ada segunduk salad dengan buah bit yang banyak. Aku heran, kok, dia tahu kalau aku lagi ngidam buah bit? Sampai akhirnya dia mengaku telah membaca semua catatanku untukmu…. Ah, sudahlah… aku terlalu bergembira untuk memarahinya. Sehabis mandi, aku minta izin untuk menuliskan catatan bahagia ini untukmu. Dan aku melihat catatan dia untukmu… manis juga. Namun, aku wanti-wanti kepada Ndharu agar jangan sekali-kalinya lagi melihat catatan rahasia ini. It’s a little secret between mother and child. Sayang, sebelum aku mengakhiri catatan ini untuk hari ini… aku sempat berpikir: tidakkah ini terlalu sempurna dan terlalu manis? Mengapa segala sesuatunya menjadi terlalu mudah? Mmm… aku bukannya nggak mau bersyukur atas kebahagiaan ini, tapi apakah kebahagiaan ini benar-benar sesuatu yang tulus? @@@
42
Tadi siang aku menelepon April untuk memberitahu berita gembira itu. Namun, dia nggak terlalu senang dengan kabar itu. Dia justru berusaha menyadarkan aku tentang sikap Ndharu yang plin-plan. “Margo… Margo… elo sendiri cerita ke gue kalau laki elo itu pernah dua kali menghindar. Pertama, ketika elo cerita soal kehamilan elo dan dia pergi sambil beralasan belum siap jadi Ayah. Terus dia balik lagi dan ketika elo bertanya bagaimana cara membicarakannya kepada orang tua kalian, dia pergi lagi dengan alasan belum siap berkonfrontasi dengan orang tua. Sekarang? Dia balik lagi dan bilang mau bertanggung jawab dan akan nikahin elo. TIGA kali, Go! Jangan-jangan nanti dia bakal pergi lagi entah ke mana dan nggak balik-balik lagi.” Komentar April pedas memang, namun kadang aku memerlukan komentar seperti itu sekedar untuk penyeimbang. Aku lalu berkata kepadanya kalau kali ini dia benarbenar serius dan aku tahu itu. Aku sudah bersamanya tiga tahun dan aku hapal dengan tabiatnya. “Termasuk tabiatnya yang sering ninggalin elo? Apakah waktu itu, elo juga udah nyangka kalau dia akan ninggalin elo dua kali? Itu tabiat dia?” April kembali menyerangku. Memang, penolakan Ndharu itu sebenarnya nggak pernah aku duga. Lalu, April pun berusaha meyakinkan aku jangan merasa bersalah karena aku pernah niat untuk aborsi, lalu dengan bodoh menerima pinangan Ndharu. Meskipun dia segera minta maaf karena mengeluarkan kalimat yang agak kasar, aku masih sedikit sakit hati mendengarnya. Ya… begitulah April. Aku tahu maksud dia sebenarnya baik. Jadi, ya sudahlah…. Aku kemudian berkata kepadanya kalau ingin memberikan kesempatan kepada Ndharu sekali lagi. Tapi seandainya (amit-amit…) Ndharu menyakitiku, aku berharap April mau tetap mendampingiku. Dan dengan antusias April menjawab, “Tentu saja!” She’s my very good friend. Setelah percakapan itu, aku jadi berpikir yang anehaneh. Apakah mungkin Ndharu akan menghindar lagi? Aku benar-benar takut sekali karena aku tengah menata hidupku lagi ketika tiba-tiba dia datang kembali kepadaku. ‘Tuhan’, semoga apa yang dikhawatirkan April nggak benar…. Aku sendiri hari ini belum melihat Ndharu. Ketika aku pulang, ada secarik kertas post it di kaca lemari. Dia berpesan kalau saat ini dia ada di kantor untuk memberikan presentasi mengenai tugas luar kotanya itu. Lho, bukankah dia kemarin bilang kalau hari ini masih cuti?
43
@@@ Halo, Sayang? Apa kabar? Sudah lama aku nggak menulis catatan ini untukmu. Baru beberapa hari, sih, tapi rasanya aku sudah kangen banget untuk bercerita. Maaf, kemarinkemarin aku benar-benar nggak enak badan plus sibuk banget di kantor. Banyak kontrak yang harus dibuat dan dianalisa. Kadang, aku benar-benar menyesal telah mengambil fakultas hukum, dan menjebakkan diri dengan rutinitas menjemukan yang hanya bergaul dengan dokumen-dokumen. O ya, ada berita gembira untukmu! Kata buku, engkau sekarang sudah bukan lagi sebuah (atau seorang ya?) embrio, melainkan sudah berwujud seorang janin. Engkau sudah bewajah dan sudah mulai tampak samara-samar jenis kelaminmu (penasaran banget…). Engkau sudah punya otot yang mulai berkembang perlahan sehingga sudah dapat berkontraksi dan bergerak. Tapi, kok, aku belum merasakan gerakanmu, ya? Mungkin di jadwal kunjunganku ke dokter aku bisa tahu jawabannya. O ya… beberapa hari terakhir ini aku memang masih terbayang-bayang dengan apa yang dikatakan oleh April tentang Ndharu. Tapi syukurlah, kekhawatiran itu mulai tertepis setelah ‘percakapan serius’ kami sepulang acara makan bersama. Itu adalah ‘percakapan serius’ kami yang pertama. Dan buatku, itu adalah hal yang sangat manis. Kami berdua membicarakan soal orang tua kami masingmasing… terutama dari segi psikologi dan kesehatan apabila kami nanti akan memberitahukan soal kehadiranmu. Kami memutuskan untuk memberitahukan hal ini kepada orang tuanya terlebih dulu, baru setelah itu orang tuaku. Alasannya hanya soal jarak. Orang tuaku, kan, ada di Bandung, sementara orang tuanya ada di Jakarta. Aku melihat kalau Ndharu memang bersungguh-sungguh dari caranya berbicara dan berargumentasi. Akhirnya, aku memutuskan untuk memberi tahu kedua orang tuanya kira-kira minggu depan. Tadinya, Ndharu memaksa agar aku nggak usah ikut ke rumah orang tuanya saat dia akan memberi tahu soal kehamilanku kepada mereka. Namun, aku memaksa agar diikutsertakan dalam percakapan itu dan dia pun akhirnya mengalah. Tunggu sebentar, ya… sepertinya ada telepon masuk. Dari bosku! Katanya aku akan dikirim ke Manado tiga hari untuk mengambil dokumen-dokumen dari klien kantor. Berangkatnya dua hari lagi. My God… boleh nggak, sih, wanita hamil naik pesawat terbang? Nggak apa-apa kali, ya? Takut, nih….
44
Ndharu marah (baru saja aku memberitahu dia soal ini)! Katanya aku nggak boleh berangkat ke Manado karena trimester pertama rawan keguguran dan salah satu pemicunya mungkin saja karena naik pesawat. Wah, gawat! Aku, kan, nggak bisa begitu saja menolak pekerjaan. Lagipula, mana dia tahu soal itu…. Aku, kan, yang hamil dan aku juga yang tahu soal bagaimana ketahanan janinku. Aku yakin kalau engkau kuat. Ya, kan, Sayang? Kami pun akhirnya bertengkar. Ndharu menyuruhku mengatakan yang sejujurnya tentang kehamilanku kepada bosku. Enak saja! Masak bosku lebih dahulu tahu soal kehamilanku dibandingkan kedua orang tuaku? Aku berkata kepadanya kalau aku akan nekat pergi ke sana sendiri dengan atau tanpa restu darinya. Bisa ditebak… akhirnya kami berdua sama-sama ngambek. ‘Tuhan’… aku nggak tahu, deh. Kalau dalam kehidupan pernikahan nanti, akankah sering terjadi percekcokan seperti ini? Sayang… aku tahu, kok, kamu janin yang kuat. Aku yakin nggak akan terjadi apa-apa dengan kita berdua. @@@ Ndharu tetap membujuk agar aku mengurungkan niat untuk pergi ke Manado. Sepertinya nggak mungkin karena tiket sudah ada di tanganku. Dan malam tadi, Ndharu hanya bisa pasrah sambil mengelus-elus perutku (maksudnya ditujukan kepadamu) agar aku sehat-sehat saja. Sebenarnya aku gugup juga, sih, tapi aku percaya kalau kita berdua akan baikbaik saja. Astaga! Aku hampir saja lupa kalau ada berita gawat dari kantor. Sepertinya dua teman kantorku, Belinda dan Wyne, tahu, deh, kalau aku sedang hamil. Aku benar-benar terkejut ketika secara nggak sengaja bertemu mereka berdua di toilet. Aku nggak tahu kalau mereka ada di dalam sana juga. Ketika aku keluar dari bilik toilet, aku berdiri di depan cermin dan membetulkan pakaianku. Hari ini aku memakai setelan rok, blus, serta blazer. Sejak hamil, aku hampir nggak pernah melepaskan blazerku. Namun, tadi di toilet, aku merasa nggak nyaman dengan pakaianku. Mungkin karena rokku sudah mulai terasa sempit. Jadi, aku melepaskan blazerku dan mengeluarkan blusku dari rok untuk ditata lagi. Ketika aku menurunkan zipper rokku, mereka tiba-tiba keluar dari bilik toilet mereka masing-masing hampir secara bersamaan dan menyapaku. Aku panik dan segera memasukkan
45
lagi blus ke dalam rokku dan merapikannya dengan segera. Dasar si Wyne… dia tiba-tiba nyeletuk, “Jeng, kok, sekarang elo gendutan, ya?” Dengan gaya sok cuek aku mengiyakan. Namun, mata Belinda ternyata mengamati perutku. Dia itu sudah pernah dua kali hamil dan aku takut kalau dia tahu ada perubahan di tubuhku. “Nggak pernah olahraga, ya? Tuh, liat perut elo gede banget. Bo’, elo nggak hamil, kan?” Pertanyaan Belinda membuatku gugup dan aku benar-benar nggak bisa menutupi kegugupanku itu (padahal, aku jago berakting, lho). Aduh, harusnya aku tahu kalau pertanyaan Belinda itu mungkin juga hanya bercanda, namun aku menanggapinya dengan agak berlebih. Duh…. Aku langsung berkelit dengan mengatakan, “Apaan, sih?” Kalau itu diucapkan dengan gaya yang sedikit cuek atau sambil bercanda pasti nggak akan dipandang aneh. Tapi tadi setelah mengucapkan kalimat itu, aku langsung meraih blazer yang kuletakkan di pinggir washtafel dan pergi meninggalkan mereka begitu saja. Kok, aku bisa panik begitu, ya? Margo tolol…. Sebenarnya perutku itu nggak gede-gede amat, kok, tapi ya… memang gedenya itu aneh… gede di bagian bawah…. Sepertinya aku harus membeli banyak baju baru, nih. Sayang, aku harap engkau juga nggak marah, ya, sama ibumu ini. Aku bukannya mau menyangkal kehadiranmu di depan orang lain, namun ini bukan saat yang tepat untuk mengumumkannya kepada orang lain, setidaknya sampai kakek nenekmu tahu. Semoga ketika aku pulang dari Manado nanti, mereka sudah melupakan semua. Besok pagi, kita berdua berangkat ke ujung utara Sulawesi, Sayang. Aku tahu engkau adalah janin yang sehat dan kuat. Jadi, kita berdua bisa bersenang-senang di sana. OK, then… I have to make my suitcase ready. @@@ Sayang… aku kesepian di sini. Sudah dua hari kamu dan ibumu meninggalkan aku sendiri. Untung saja dia tidak membawa laptopnya ini juga. Jadi, aku bisa ikut nulis di sini. Ibumu itu kadang-kadang menjadi seorang wanita yang sangat keras kepala. Sesungguhnya aku benar-benar merasa khawatir dengan kesehatan kalian berdua. Tapi untung saja ibumu memberi kabar bahwa penerbangan dan kesehatan kalian berdua baik-baik saja. Aku agak sedikit lega. Ups… aku baru saja membaca catatan terakhir ibumu untuk kamu, Nak. Ternyata dia tidak menginginkanku mengisi catatan ini… hiks… hiks… hiks… aku ditolak oleh calon
46
istriku sendiri…. Dan ternyata dia masih meragukan kesungguhanku, terlebih setelah mendengar cerita April. Dia memang tidak salah… aku saja yang benar-benar bodoh. Ngomong-ngomong kamu akan menjadi seorang anak lakilaki atau seorang anak perempuan, ya? Aku merasa kalau kamu akan menjadi seorang anak perempuan yang cerdas dan centil seperti ibumu dan aku akan menjadi seorang Ayah yang beruntung karena merasa paling tampan karena dikelilingi wanita-wanita jagoanku… huahahahaha…. Sebenarnya, aku mempunyai tujuan ketika berniat untuk menulis di sini. Aku hendak memberimu sebuah nama. Di kantor, aku tadi sempat berselancar di dunia maya untuk membaca-baca artikel mengenai pertumbuhan manusia sejak embrio. Ternyata benar apa yang dibaca oleh ibumu. Saat ini kamu sudah berupa janin dan bukan lagi berupa embrio. Maka dari itu, aku merasa harus memberimu sebuah nama. Aku sengaja tidak mau berkompromi dengan ibumu soal nama ini. Karena apa? Karena aku tahu kalau aku berbaik hati ingin berdiskusi dengan dia, tentu saja dia akan memaksakan nama yang sudah dipilihnya. Ngomong-ngomong aku tidak tahu apakah dia sudah memikirkan sebuah nama untukmu. Dia tidak pernah cerita kepadaku… kalau denganmu? Kalau dia sudah memaksa, aku pasti tidak berdaya. Kadang-kadang harga diriku sebagai seorang pria bisa terkoyak-koyak kalau sudah berhadapan dengan kemauan keras ibumu itu. Satu-satunya yang kusuka dari sifatnya yang suka memaksa itu adalah ketika dia melakukannya di ranjang… hahahahaha (hmmm… semoga dia memberikan catatan ini setelah kamu dewasa hahahaha…) Maka, suka atau tidak suka… mau protes atau tidak… aku akan memberimu sebuah nama: NARWASTU. Jadi, mulai sekarang kamu akan kupanggil Narwastu. Big love, Ayah. PS: calon istriku yang cantik, jangan marah, ya, kalau aku lancang menulis ini semua. Lagipula, aku, kan, Ayahnya Narwastu juga… no more secret, ya… I love you more today than yesterday and less today than tomorrow. @@@ Narwastu. Nama yang indah. Tadinya aku ingin marah ketika tahu kalau Ayahmu mulai lancang lagi menulis-nulis sesuatu di sini. Namun, ketika aku membaca tulisannya hingga habis. Aku hanya tersenyum dan tertawa sendiri.
47
Ndharu… Ndharu… kadang-kadang aku merasa gemas sekali dengan makhluk itu. Begitu aku selesai membaca tulisnya, aku langsung membangunkan dia dari tidurnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia menjawab pertanyaanku: Apa arti Narwastu? Kalau tadinya dia malas-malasan bangun, setelah mendengar pertanyaanku dia jadi benar-benar bangun. Kata dia, Narwastu berarti akar wangi atau bau-bauan yang dibuat dari akar wangi. Narwastu dalam bahasa Latinnya disebut Andropogon zizanicides. “Aku berharap anak kita nanti akan menjadi anak yang dapat mengharumkan kehidupannya sendiri dan kehidupan orang lain di sekitarnya.” Tumben, biasanya dia nggak pernah bicara seserius itu. Mungkin karena naluri sebagai calon Ayah sudah timbul, kali. Aku lalu membisikinya dengan ucapan terima kasih karena telah memilihkan nama yang indah untukmu. Dan engkau tahu apa jawabnya? “Akhirnya, sebagai seorang pria aku merasa berguna juga.” Konyol, kan? Itulah Ayahmu. Ok, Sayang. Mulai sekarang aku akan memanggilmu Stu, kependekan dari Narwastu (apa pun jenis kelaminmu…). Stu, aku lelah sekali. Perjalanan yang kita lakukan bersama membuat badanku nggak karuan. Perutku juga kekenyangan gara-gara ditraktir Ayahmu di American Grill makan salad buah bit sehabis menjemputku di bandara. Bye, Stu. @@@ Apa yang dikatakan Ayahmu sepertinya benar. Aku tadi sempat masuk ke kantor hanya setengah hari saja karena badanku benar-benar nggak enak…. Rasa letih yang kurasakan sangat aneh menurutku. Entahlah… susah mendeskripsikannya. Tadi setelah membereskan dokumen dari Manado (sebel boro-boro bisa jalan-jalan di sana… acaranya padat sekali) aku minta izin pulang cepat. Untung dikasih sama bosku, meskipun dari wajahnya tersirat ketidaksetujuan. Stu, mungkin dalam beberapa hari ke depan aku cuti menulis dulu, deh, kayaknya. Sekarang, kok, aku lebih suka berbaring daripada duduk, ya? Kalau duduk rasanya jadi engap. O ya hampir lupa… tadi Tante April titip salam untukmu, Stu. Dia meneleponku, selama tujuh bulan ke depan dia akan diberi training oleh perusahaannya di Jerman. Sebel banget nggak, sih. Dia berjanji kepadaku kalau saatnya nanti aku melahirkan dia akan datang di sisiku, membuat video kelahiranmu. Senang, ya, punya Tante baik….
48
Aduh, Stu… aku nggak kuat lagi… aku harus segera berbaring. Daah… @@@ Stu… kamu baik-baik saja di dalam sana, Nak? Aku khawatir, tapi ibumu kumat lagi keras kepalanya. Ini sudah hari kedua dia tidak masuk kerja. Dia bersikukuh tidak ingin dibawa ke dokter. Dia bilang baik-baik saja hanya terlalu lelah. Ibumu berkata, tidak akan ada keguguran karena tidak ada tanda-tanda sakit perut yang melilit atau pendarahan. Ah, si keras kepala itu tahu apa. Dia, kan, belum pernah hamil sebelumnya. Besok akan kuseret dia menuju ke dokter kandungan untuk di USG. Lagian, sih, dia nekat banget pergi ke Manado di saat kandungan sedang rawan-rawannya. Stu, aku harap kamu nggak apa-apa. Dari Ayahmu yang sedang khawatir. @@@ Halo, Stu… long time no see (in writing). Aku tadi baru pulang berbelanja beberapa baju di factory outlet di Bogor (tanpa sepengetahuan Ayahmu tentu saja)! Aku sudah mulai nyaman bergerak. Sekarang kalau aku berbaring terlalu sering, malah nafas jadi engap. Ketika mencoba baju di ruang ganti, ternyata bentuk perutku memang sudah nyata dan aku baru sadar kalau pipiku mulai terlihat sedikit tembem. Aku bingung bagaimana cara menyamarkan ‘kegendutanku’ ini di depan teman-teman kantorku, ya? Aku membeli sebuah tunik berpotongan dada rendah, satu stel pakaian semi kasual untuk ngantor dengan ukuran lebih besar sedikit, terusan baby doll berwarna hijau lumut dengan hiasan sequin, celana panjang khusus untuk orang hamil, dua buah bra (aku pikir payudaraku mulai membesar dan terlihat seksi), serta lima celana dalam khusus untuk ibu hamil. Sebenarnya berbelanja di sana begitu menyenangkan sampai petugas kasir memperlihatkan nominal yang harus kubayar. Hampir enam ratus ribu. Dan aku nggak membawa uang sebanyak itu. Alhasil, terpaksa menggunakan kartu kredit. Ndru, Ayahmu marah lagi kepadaku karena aku membatalkan janji untuk pergi ke dokter. Begitu dia pulang
49
dari kantor, dia makin marah setelah tahu kalau aku sebenarnya pergi berbelanja. Lho, suka-suka aku, dong… aku, kan, yang hamil. Jangan dijadikan obyek terus, dong. Orang hamil juga perlu didengarkan keinginannya. Untung saja Ayahmu mau memijatku sebentar. Pijatannya memang enak sekali. Besok aku harus kembali ke kantor. Nggak enak rasanya sudah kebanyakan bolos. Apalagi belakangan ini performaku semakin merosot…. @@@ Ketika aku naik bus sepulang dari kerja tadi, aku sebangku dengan seorang wanita berseragam (mungkin dia seorang sales promotion girl karena di seragamnya ada tulisan nama sebuah produk sabun) kira-kira seumuran denganku. Mungkin karena aku secara nggak sadar sering mengelus-elus perutku selama di perjalanan, wanita itu menanyakan apakah aku sedang hamil. Aku mengiyakan dan dia mengucapkan selamat kepadaku. Berceritalah dia panjang lebar. Aku jadi merasa kasihan mendengar ceritanya. Bagaimana tidak, dia bulan lalu dia baru saja digugat cerai oleh suaminya gara-gara dia mandul. “Awalnya, sih, saya marah. Siapa, sih, yang ingin mandul? Saya juga nggak minta, kok. Tapi setelah cerai, saya jadi sadar mungkin mantan suami saya itu bukanlah orang yang tepat untuk saya. Kalau orang yang tepat pasti mau menerima kekurangan saya. Benar nggak, Mbak?” Aku mengangguk tanda setuju. Heran juga kenapa mantan suaminya itu nggak bisa mencari jalan tengah lain, seperti mengadopsi anak. “Tadinya sebelum dicerai, mantan suami minta persetujuan saya untuk dimadu. Enak aja. Saya masih bisa kerja cari uang sendiri, kok, ngapain mau jadi istri tua? Mendingan cerai aja.” Aku juga setuju dengan pendapatnya itu. Ternyata dia tipe wanita pemberani. Dengan tubuh langsing dan tinggi ditambah wajahnya yang manis plus punya pekerjaan sendiri, dia mempunyai daya tawar yang tinggi. Dia juga kemudian bercerita kalau saat ini tengah menjalin asmara dengan seorang duda tua yang sudah cerai dan beranak dua. “Sebenarnya, sih, kalau boleh memilih jodoh saya ingin yang masih muda karena saya sendiri juga masih muda, tapi mau gimana lagi. Mungkin memang jodohnya orang mandul, ya, duda beranak. Soalnya kalau suami saya kelak minta anak,
50
saya nggak bisa ngasih… bisa-bisa saya diceraikan lagi. Lagipula saya juga janda, nggak enak rasanya kalau berjodoh sama jejaka. Apa mau dikata sudah nasibnya begini. Bener nggak, Mbak?” Nah, kali ini aku nggak bisa mengiyakan atau mengnggak-kan pernyataan dia tadi. Sebagai jawaban, aku hanya bisa memberikan sebuah senyuman yang kubuat sehingga terkesan senyuman yang multitafsir. Di dalam hati aku justru bertanya-tanya… memangnya kemandulan itu dianggap sebagai aib, sehingga mematikan impian, termasuk impian soal jodoh, dan harus terima nasib begitu saja? Enak saja! Sebelum turun dari bus, dia berpesan kepadaku agar menjaga kandunganku baik-baik dan kalau sudah melahirkan kelak, anak harus dirawat baik-baik. “Mbak termasuk beruntung, lho, sudah diberi rahim yang sehat dan bisa punya anak.” Huaaa… hiks… hiks… aku jadi ingin menangis, Stu. Kadang, aku kurang merasa kalau sebenarnya aku memang beruntung. Aku sudah berjanji kepada wanita yang nggak kutahu namanya itu untuk merawatmu dengan baik.
51
FOURTH Month
Aku dapat surat peringatan dari kantorku, katanya performaku akhir-akhir ini menurun. Aku jadi ingin tertawa mendengarnya. Memang benar, dalam sebulan aku bisa bolos beberapa hari dan minta izin pulang cepat beberapa kali pula. Ketika bosku minta surat keterangan sakit dari dokter, aku selalu bilang bahwa aku nggak pernah ke dokter. Bosku pasti kesal sekali, deh… ha-ha-ha. Aku nggak tahu apakah ini karena bawaan bandel darimu atau memang aku lagi kumat bandelnya. Stu, kalau engkau lahir nanti engkau akan tahu betapa bandelnya aku dan semoga saja itu nggak akan nurun ke kamu. Tapi karena kebandelanku itulah Ayahmu jadi jatuh cinta kepadaku. Engkau tahu, Stu, ini adalah pekerjaanku yang keempat dalam setahun ini. Dan sejak aku lulus kuliah empat tahun lalu, berarti ini adalah kantorku yang ketujuh… ha-ha-ha. Hmmm… entahlah… aku ini orangnya luar biasa moody dan cepat bosan. Untukku, selain untuk mencari ilmu, bekerja hanya sebatas mencari kebahagiaan titik. Ya… standar, sih, seperti orang lain. Tapi aku sama sekali nggak peduli dengan karier atau ambisi menjadi bos. Nah, celakanya tibatiba kalau rasa bosan itu muncul, aku bisa dengan santai menghadap bos dan mengatakan kalau aku ingin keluar dengan alasan bosan. Sampai orang lain tercengang-cengang karena aku dengan mudah memutuskannya (dengan alasan konyol pula). Dan tahun ini adalah yang terparah: empat perusahaan dalam satu tahun. Tiga perusahaan awal, masing-masing hanya bertahan sekitar satu bulan saja. Harus masuk rekor, nih. Aku juga bingung, kalau orang lain merasa stres di kala tidak bekerja, aku malah senang. Aku bisa melakukan banyak hal, seperti jalan-jalan ke tempat-tempat terpencil, ikut kursus, bisa mengerjakan hobi berkebunku (yang setelah aku hamil, aku jadi malas sekali melakukannya… kasihan tanaman-tanamanku), dan bisa membaca buku-buku keren yang semasa aku bekerja biasanya aku nggak pernah punya waktu untuk membaca. Nah, kalau tabunganku sudah mulai di ambang batas perpisahan… barulah aku panik mencari pekerjaan baru… ha-ha-ha…. Ayahmu dan kedua orang tuaku sudah bosan dengan cerita aku keluar kerja… he-he-he. Aku pernah berkata kepada
52
Ndharu, “Ndru, sepertinya aku nggak mau kerja lagi, deh. Kamu mau nggak membiayai hidupku.” Dia tertawa mendengarnya, namun kemudian menyetujui itu. Ah, sudahlah…. O ya… aku hampir lupa, engkau sekarang sudah empat bulan di rahimku, lho…. Aku akan membuat janji dengan dokter Kristin untuk keperluan USG. Aku sudah nggak sabar ingin melihat bentukmu, Stu. @@@ Gila… gila… aku belum pernah se-nervous ini. Ndharu sudah membuat janji dengan orang tuanya. Kami berdua akan bertemu Sabtu ini. Tapi, gugupnya sudah terasa dari sekarang, hingga aku benar-benar nggak bisa tidur. Menulis catatan ini pun aku nggak konsentrasi. @@@ Besok kami akan bicara dengan orang tua Ndharu. Gugup setengah mati. Besok aku akan menceritakan banyak hal tentang ini semua kepadamu, Stu. @@@ Kegembiraan Sabtu pagi di rumah orang tua Ndharu ternoda dengan berita dari kami berdua. Stu, sebelumnya aku minta maaf kepadamu kalau engkau terpaksa menghadapi semua ini. Jangan marah, ya, Stu…. Awalnya, orang tua Ndharu senang kalau aku berkunjung ke rumah mereka. Maklum, mereka saat ini hanya tinggal berdua saja. Kedua kakak Ndharu sudah menikah. Ndharu langsung mengumpulkan kedua orang tuanya untuk duduk di meja makan. Dan dia pun berkata, “Romo, Ibu, kami berdua hendak menikah.” Kedua orang tua Ndharu, terutama ibunya, terkejut dengan gembira. Mungkin dalam hati mereka bersyukur semua anaknya telah mendapat jodoh masing-masing. Namun, kegembiraan berhenti begitu saja ketika Ndharu mengatakan kalau aku sudah hamil empat bulan. Orang tua Ndharu serentak menjerit, “Gusti…!” Persis seperti adegan di sinetron. Agak aneh, sih, reaksinya… hehe-he… karena aku pikir itu adalah sesuatu yang tak perlu dijeriti. Romo langsung menggebrak meja sambil mengeluarkan kata makian, “Memalukan nama baik keluarga besar! Dasar anak ndak tahu diri. Hidup di dunia percabulan. Seperti orang yang ndak beragama saja. Romo malu punya anak dan calon mantu seperti kalian.”
53
Makian itu belum seberapa. “Dan kamu sebagai perempuan,” Romo masih berbicara dengan mata yang menyalanyala dan menunjuk kepadaku, “Harusnya kamu menjaga kehormatan kamu hingga waktunya nanti. Jangan seperti perempuan murahan begitu.” F#@k! Segera aku bangkit dari tempat dudukku dan tanpa mengucap sepatah kata pun aku langsung keluar dari rumah Ndharu. Aku sudah nggak sanggup lagi menangis. Kata-kata kakek-kakek yang sok ningrat (hari gini masih bangga dengan keningratannya? Dasar feudal!) itu terlalu murahan untuk mendapatkan air mataku yang mahal ini. Sayup-sayup aku mendengar langkah dan suara Ndharu memanggil namaku di belakangku. Ndharu memintaku jangan pergi dulu sebelum dia menyelesaikan pembicaraan dengan orang tuanya. Siapa yang nggak gerah mendengar stempel ‘perempuan murahan’ seperti itu? Mengapa yang harus disalahkan selalu pihak perempuan dan mengapa penis pria selalu mendapatkan kemenangannya? Aku bersikeras untuk tetap pergi seorang diri. Namun, perkataan Ndharu sedikit melegakanku. Dia bilang bahwa sebenarnya dia sangat marah dengan perkataan Romonya itu. Lalu aku menghardiknya, “Kalau begitu mengapa kamu nggak marah balik sama Romomu itu?” “Aku belum sempat melakukannya karena kamu keburu pergi. Bagiku mengejarmu lebih penting. Ayolah, Go, aku juga kesal, kok, tapi ini semua harus diselesaikan dulu. Kalau kamu sayang sama aku… tolong kamu tunggu aku di warung bakso di depan kompleks perumahan ini. Nanti aku akan menyusulmu. Aku janji,” jawab Ndharu disertai anggukanku. Aku semakin yakin kalau kami berdua adalah pasangan yang klop. Hal yang paling susah untukku adalah mengendalikan emosi. Emosiku seringkali meledak-ledak, sementara Ndharu selalu berhasil membuat kepala dan hatiku kembali dingin. Namun, ketika giliran Ndharu yang emosi, aku lebih memilih diam karena aku nggak pandai merangkaikan kata-kata yang menenangkan. Ngomong-ngomong soal emosi, aku baru melihat emosi Ndharu yang ekstrem baru-baru ini saat aku hamil. Kembali ke cerita awal. Selama kurang-lebih tiga perempat jam aku menunggu Ndharu di warung bakso yang panas itu (sejak hamil aku seringkali merasa kepanasan yang nggak jelas). Sudah semangkuk bakso, es campur dan dua kantong emping habis, dan Ayahmu belum muncul juga. Baru saja aku berniat untuk pergi setelah membayar apa yang sudah aku makan, tiba-tiba dia muncul dengan memanggul sebuah ransel besar yang biasa dipakainya untuk naik gunung.
54
Mataku bertanya-tanya, meskipun mulutku nggak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya berkata dengan singkat, “Ceritanya di rumah saja.” Dia akhirnya menyetop taksi. Ranselnya yang besar ternyata cukup repot jika harus diletakkan di bagasi taksi yang di dalamnya juga terdapat ban serep. Jadi, dia duduk di depan sopir dan ranselnya diletakkan di sebelahku. Selama satu jam perjalanan, tak satu patah kata pun yang terucap. Ada, sih, tapi itu cuma memberitahu sopir taksi soal arah jalan. Aku hanya bisa menduga-duga saja pergulatan apa yang ada di batin Ndharu saat itu. Sebagai anak terakhir yang begitu dimanja oleh kedua orang tuanya, pastilah berat jika mempunyai konflik sebesar itu. Di balik kemandirian dan kedewasaannya, Ndharu sebenarnya adalah sosok anak mami. Sebenarnya, sih, nggak ada yang salah dengan kemanjaan seperti itu. Namun, kalau sudah melampaui batas, ya… bisa kukatakan sebagai BANCI! Tiba-tiba aku jadi emosi sendiri ketika teringat komentar Ndharu saat kuberitahu bahwa aku hamil. Waktu itu dia sempat berkata kalau dia belum siap untuk berkonflik dengan orang tuanya. Memang BANCI!!! Tak sadar, air mataku pun meleleh. Pasti sopir taksi itu mengira kalau kami berdua sedang bertengkar hebat. Karena beberapa kali, mata si sopir itu mengawasiku lewat spion. Persetanlah! Di ruang tamu, kami duduk saling berhadapan. Dia membuka pembicaraan terlebih dulu. “Go, kalau selama ini mungkin kamu menganggapku banci, kamu salah. Aku hanya perlu moment yang tepat untuk mengambil keputusan.” Kok, dia tahu isi pikiranku yang menuduhnya banci, ya? Tapi, alasannya, kok, selalu saja soal moment… moment… moment. Bosan! Ndharu bercerita bahwa kedua orang tuanya nggak akan merestui pernikahan kami atau pun mengakui cucu yang dikandung di luar nikah. Stu, maaf sekali… engkau harus mendengar ini. Tapi percaya kepadaku, Nak… kelak semua akan berubah. Romo dan Ibu Ndharu juga menyinggung soal status kebangsawananku. Kata mereka sebagaimana dikutip Ayahmu, dosa Ndharu tambah besar karena menghamili wanita jelata dan berasal dari tanah Sunda lagi. Romo mengatakan, nggak ada sejarah di dalam keluarga besarnya yang mengambil menantu orang Sunda. Aku tertawa ngakak mendengar ceritanya. Halo… ini sudah tahun 2006, harusnya kisah ini muncul pada saat TVRI masih berjaya! Yah… aku paham, sih, kedua kakak Ndharu memang menikah dengan putri-putri berdarah biru (cuih…) dan dirayakan secara besar-besaran dengan menggunakan atribut keraton. Aku bingung, dulu aku pernah beberapa kali bertemu Romo dan
55
Ibu Ndharu, namun mereka nggak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu di depanku. Mungkin, karena waktu itu aku masih berstatus sebagai pengacara, kali, sehingga mereka takut untuk mempermasalahkan soal itu. Ndharu sendiri hanya pernah diingatkan sepintas lalu saja oleh mereka soal mencari pacar yang satu suku dan keturunan ningrat. “Jadi, menurutmu apa yang menjadi kekhawatiran mereka terbesar?” tanyaku. “Cuma satu. Mereka malu dengan keluarga besar. Kalau saja kamu pernah bertemu dengan keluarga besarku… ha-ha-ha… kamu pasti berpikir kalau mereka nggak tersentuh arus globalisasi. Kedua kakakku saja yang bodoh mau ikut-ikutan arus seperti itu di zaman orang bisa orgasme lewat internet seperti sekarang ini. Mereka rela dijodohin… takut nggak kebagian warisan, kali,” jawab Ndharu. Dia, tuh, selalu membuat perumpamaan yang lucu. Aku kemudian bertanya kepada Ayahmu, apakah dia mempunyai ganjalan soal ini. Namun, dia menjawab sudah nggak ada lagi. Sebenarnya, menurut Ndharu, kedua orang tuanya itu baik dan pengertian untuk semua hal kecuali dalam hal keluarga besar dan menjaga kemurnian keturunan mereka. Dan sekarang, Ndharu resmi bergabung denganku di rumah kami. Dulu, dia sering berbohong kepada orang tuanya dengan mengatakan tidur di mes kantor ketika menginap di rumah kami. Ada sedikit kelegaan, meskipun bukan kelegaan yang menyenangkan. Aku sudah tahu bagaimana sikap kedua orang tuanya. Sekarang, tinggal memrediksi reaksi kedua orang tuaku. Aku bersikeras untuk mengetahui komentar mereka pada bulan ini juga. Sebab, aku pikir kalaupun mendapat reaksi yang sama seperti orang tua Ndharu, aku bisa menghabiskan bulan ini dengan bersedih secara sekaligus, sehingga bulan depan kita bisa memikirkan hal lain yang lebih penting. Paling lama minggu depan, aku dan Ayahmu harus ke Bandung. Stu, Sayangku… ada banyak hal yang ingin kuberitahu kepadamu tentang ini semua. Namun, tunggu dulu, Nak… mungkin baru bulan-bulan mendatang aku bisa menjelaskannya kepadamu. Sabar, ya…. @@@ Gawat… gawat… gawat… akhirnya kehamilanku benar-benar menjadi hot gossip di kantorku. Aku tahu siapa yang menyebarkannya, Belinda dan Wyne. Susah juga, ya, berkantor yang hampir semua pegawainya wanita semua. Sampai-sampai tadi aku dipanggil oleh Mbak Anis untuk masalah ini. Dia
56
mengatakan kalau berita itu sampai di telinganya dari beberapa rekan kerjaku yang nggak disebutkan namanya. Sebelum aku menghadap Mbak Anis, aku menyempatkan diri untuk bercermin di kamar mandi untuk memastikan ukuran perutku. Hmmm… nggak gede-gede amat, kok, sebenarnya. Lagipula kalau memakai blazer justru sama sekali nggak kelihatan. Mbak Anis mempersilakan aku duduk di depan mejanya. Di kantorku yang hanya berpegawai 15 orang ini, dia berfungsi sebagai administrator plus bagian kepegawaian. Untunglah aku dipanggil oleh Mbak Anis lebih dulu dan bukan oleh Bu Martina, bosku. Dia membuka percakapan dengan menanyakan kabarku dan kesehatanku. Aku mulai gugup karena feeling-ku merasakan bahwa sebentar lagi pertanyaannya akan mengarah ke persoalan perutku. Nafas panjang aku tarik dalam-dalam. Dan benar saja. Setelah berbasa-basi sebentar, Mbak Anis menanyakan soal kebenaran gosip itu. Lucu, deh, cara Mbak Anis mengungkapkan pertanyaan itu. Mungkin karena persoalan itu agak sensitif, jadi dia pun bertanya dengan hati-hati. “Begini Margo, bukannya saya ingin tahu persoalan pribadi kamu. Tapi, belakangan ini ada gosip mengenai kamu. Jangan menuduh saya seperti wartawan infotainment, lho, ya? Soalnya kondisi ini nantinya akan berpengaruh juga dengan kinerja kamu. Kamu, kan, saat ini sudah mau mendekati masa akhir kontrak enam bulanmu dan akan diangkat sebagai pegawai tetap.” Bingung, kan, maksud pertanyaannya apa? Aku juga bingung. Makanya aku bertanya balik kepada Mbak Anis, apa, sih, maksudnya? Agaknya dia jadi bingung sendiri dan akhirnya muncul juga pertanyaan itu, “Apakah kamu benar hamil, Go?” Aku benar-benar nggak tega denganmu, Stu. Kemarin, engkau sudah mendapatkan penolakan dari Romo dan Ibu Ndharu. Sekarang, apakah aku harus menyangkal keberadaanmu di depan teman-teman kantorku? “Ya, Mbak, saya memang sedang hamil empat bulan.” Tiba-tiba kalimat itu muncul dari mulutku. Mbak Anis manggut-manggut, entah apa maksudnya. Aku pasrah saja. Lalu, dia bertanya mengenai status pernikahan di dalam curriculum vitae yang dulu kulampirkan dalam berkas lamaran kerja dulu. “Saya baru akan menikah dua atau tiga bulan lagi.” Begitu jawabanku. Dia manggut-manggut lagi. Mbak Anis sepertinya bingung mau mengatakan apa. Dalam kontrak kerja yang aku tanda tangani sekitar lima setengah bulan lalu sama sekali nggak disebutkan persyaratan nggak boleh hamil. Dia lalu mengaitkan soal performaku yang
57
akhir-akhir ini menurun dan banyak acara membolosnya. Ternyata dia cerdas juga untuk mencari alasan pembenar untuk mencari tahu kebenaran gosip itu: menghubungkannya dengan performa kerja. Feeling-ku mengatakan, sepertinya aku akan dipecat akhir bulan ini. Kalau dari sudut pandang perusahaan, pastilah pegawai seperti aku dianggap sebagai beban. Apalagi aku masih tergolong pegawai baru. Perusahaan harus mengizinkan aku dengan sukarela mengambil cuti melahirkan tiga bulan dan digaji pula. Belum lagi pascamelahirkan akan ada banyak alasan untuk izin karena anak sakit atau apalah. Dan yang paling dahsyat, menurutku, adalah perusahaan menggunakan alasan menolak pegawai yang nggak bermoral. Hmmm… kita lihat saja nanti, Stu, apakah feeling-ku itu benar atau nggak? Ya ampun… Mbak Anis ketahuan banget, sih, gugupnya. Masak sama orang hamil saja takut. Sebenarnya dia itu orangnya pengertian dan ramah, namun terkadang dia agak susah memosisikan dirinya dengan sifat seperti itu ketika harus berhadapan dengan tugasnya. Benar saja. Mbak Anis kemudian mengatakan kalau aku boleh curhat ke dia sebagai teman dan bukannya sebagai manajer personalia. Aduh, kenapa, sih, dengan orang-orang? Nggak semua orang hamil yang kebetulan belum atau tidak menikah hidup sengsara, lho… siapa tahu memang ingin. Kok, tiba-tiba beberapa orang seakan menganggap hina dan beberapa orang lainnya menganggap wanita dengan kondisi seperti itu perlu dikasihani. Sebenarnya, sih, Mbak Anis itu orang yang asyik kalau diajak bicara. Tapi, aku, kan, sedang nggak ingin curhat karena memang nggak ada yang menggelisahkan perasaanku… setidaknya untuk saat ini. Lalu aku bilang kepadanya bahwa aku belum perlu curhat. Dalam hati aku bertanya, memangnya untuk apa pakai curhat segala. Meskipun dia bilang posisinya sebagai teman, aku sanksi kalau apa yang akan kuceritakan nantinya benar-benar disimpan secara pribadi dan nggak mempengaruhi penilaian kerjaku. Karena aku nggak mau curhat, Mbak Anis kemudian menyuruhku untuk kembali bekerja. Aku benar-benar pasrah… mungkin besok gosip akan semakin berkembang? Entahlah…. Stu, kelak ketika engkau besar nanti dunia akan sangat berubah dan nggak sesimpel ketika engkau menjalaninya sewaktu kecil. Orang-orang di sekitarmu kadang muncul sebagai sosok yang tak terduga. Aku sendiri merasa sulit untuk menemukan teman yang benar-benar tulus. Kalau engkau membaca catatan ini nanti dan punya banyak pertanyaan,
58
engkau boleh bertanya kepadaku. Semoga aku atau Ayahmu mempunyai jawaban untuk kebingunganmu itu. I love you, Stu. @@@ Semua orang di kantorku masih sibuk berbisik-bisik nggak jelas tentang kita berdua, Stu. Mungkin ada baiknya kalau aku mengakhirinya. Tapi dengan cara seperti apa, ya? Kau tahu, Stu, sepanjang hari tadi terlebih saat rapat besar, perutku seakan menjadi pusat perhatian. Para wanitawanita itu saling sikut, lirik, dan berbisik ketika aku lewat di depan mereka. Sebelum rapat tepatnya tadi pagi, si Siwi, office girl kantorku yang terkenal latah itu, tibatiba berteriak latah ketika secara nggak sengaja menumpahkan ember berisi cairan pembersih lantai. “Eh, hamil… hamil… hamil… mampus gue!” serunya. Waktu itu aku tepat melintas di depannya. Mumpung kebanyakan orang belum datang ke kantor, aku memanggil Siwi sebentar. Dia terlihat sangat gugup dan benar-benar nggak berani menatap mataku. Aku langsung menanyakan kepadanya apakah ada gosip tentangku yang sedang beredar akhir-akhir ini. Awalnya dia diam saja dan menggeleng perlahan. Lalu aku menyuruhnya untuk menatap mataku. Dia tidak mau juga. “Kalau elo nggak berani menatap mata gue, berarti elo bohong, Wi. Udahlah, ngaku aja,” ujarku. Tak terasa, ternyata tanganku telah terlalu keras mencengkeram lengan Siwi, sehingga membuat mulutnya meringis. Aku, kok, jahat banget, ya? Tapi bagaimana lagi… rasa penasaranku benarbenar sudah memuncak. “Iya… iya… Mbak. Ya, Allah, tolong. Ada gosip katanya Mbak Margo lagi bunting… eh, bunting… ya, Allah… bunting… eh, bunting.” Sambil latah Siwi menjelaskan. Dia lalu mengatakan kalau gosip itu dia dapatkan secara nggak sengaja ketika menguping pembicaraan Belinda dan Wyne waktu makan siang. Aku lantas bertanya lagi kepadanya apakah semua orang di kantor sudah tahu tentang gosip ini dan dia hanya mengangguk lemas. Cengkeraman tanganku kulepaskan. “Ya udah, elo boleh pergi, Wi,” ujarku. Wah, Stu, saat itu aku ngerasa keren banget. Engkau harus melihat gayaku yang mirip bos mafia saat melepaskan informannya yang sudah memberikan bocoran tentang strategi lawan. Cool benget. Hmmm… aku sedang merencanakan strategi ‘pembalasan’. Sebenarnya, itu bukan gosip. Bahwa aku hamil adalah benar. Bagaimana, ya, caranya? Ndharu belum aku beri tahu soal ini.
59
Astaga, aku hampir lupa memberitahu orang tuaku kalau Sabtu ini kami akan berkunjung ke Bandung. Ok… see you, Stu… aku harus telepon mereka dulu, ya…. @@@ Rencanaku berhasil, Stu! Aku benar-benar senang sekali hari ini. Tadi pagi saat memilih-milih pakaian yang akan kupakai ke kantor, aku menemukan ide brilian (menurutku, sih, begitu). Aku mengambil tube dress kuning pemberian April lalu memakainya dipadukan dengan celana panjang putih berpotongan pinggang rendah sehingga perutku yang agak membuncit terlihat menonjol. Untuk menutupi bagian bahu yang telanjang, aku memakai bolero berbahan rajutan yang juga berwarna putih. Aku mengambil tas putih besarku dan sepatu cokelat berhak lima sentimeter dari rak. Astaga! Aku sekarang benar-benar terlihat seperti wanita hamil yang cantik. Ayahmu yang tadi mengintip tibatiba memelukku dari belakang dan mencium pipiku. Dia juga mengatakan kalau aku cantik, namun dia heran mengapa aku memakai pakaian itu untuk ke kantor. Karena aku biasanya menutupi perutku dengan memakai blazer. Aku hanya tertawa. Ini adalah taktikku. Dan sudah bisa diduga sebelumnya, semua mata para makhluk di kantor melihatku dengan takjub. Sebenarnya, nggak ada aturan tertulis di kantorku untuk memakai pakaian formal three pieces: blus, rok, dan blazer, makanya aku cukup pede dengan apa yang aku pakai. Lagipula di semua kantor pasti selalu ada pengecualian aturan berbusana bagi wanita hamil. Nggak mungkin, kan, dengan perut yang membuncit dipaksakan pakai rok mini…. Akhirnya keluar juga komentar dari Belinda yang bilang bahwa aku seperti ibu hamil dan menyusui dengan memakai pakaian seperti itu. Lalu dengan santainya aku bilang, “Lha… memang gue hamil, kok.” Aku ingat tampangnya Belinda yang menunjukkan mimik bengong yang lucu. Dan ketika makan siang, semakin banyak orang yang seakan ingin minta konfirmasi kepadaku. Dan berkali-kali aku mengulangi kalimat ini: “Iya, gue hamil. Udah mau lima bulan, nih” untuk setiap pertanyaan: “Elo emang beneran hamil, Go?”. Atau kalimat ini: “Gue emang belum merit” untuk setiap pertanyaan: “Kok, merit nggak ngundang-ngundang, sih?”. Stu, hatiku benar-benar lega setelahnya. Aku sudah mengatakan dengan benar sesuai dengan keadaanku yang sebenarnya. Perkara mereka mau mencibirku atau menghakimiku dengan stempel wanita nggak baik atau murahan itu masalah mereka bukan masalahku. Kok, mau-maunya, ya, orang-orang meluangkan waktu mereka untuk membicarakan orang lain?
60
Hmmm… aku juga sudah nggak peduli lagi apakah aku akan dipecat atau nggak gara-gara ini. Ketika aku menceritakan hal ini kepada Ayahmu, dia tertawa ngakak. Katanya aku sudah mulai lagi kumat gilanya. O ya, hampir saja aku lupa memberitahukanmu bahwa orang tuaku akan menerima kita Sabtu ini alias lusa. Aku yakin reaksi orang tuaku nggak akan bereaksi seperti orang tua Ndharu. Mmm… semoga saja…. @@@ Besok kita akan ke Bandung, Stu…. Ndharu sudah memesan sebuah kamar hotel tak jauh dari rumahku. Hatiku nggak sekhawatir waktu kami berdua menghadap Romo dan Ibu Ndharu, namun Ndharu berkata kalau hatinya benar-benar gelisah melebihi kegelisahaan sewaktu menghadap kedua orang tuanya. Kok, justru kebalikan, ya? Kami berdua sudah sepakat kalau yang akan bicara kepada Mama dan Papaku adalah aku sendiri, meskipun Ndharu awalnya bersikeras kalau dia yang akan berbicara. Narwastuku… bantu kami berdua dengan doamu, ya, Nak. Terserah apa doamu. Apa pun yang terjadi besok, Ayah dan Ibumu tetap mencintaimu. @@@ Bulan ini memang bulan yang berat untuk kita. Kemarin, aku sudah berbicara dengan Mama dan Papa dan… dugaanku meleset. Mereka amat berang dan kami terlibat perang mulut yang nyaris tak berkesudahan kalau saja Ndharu nggak segera membawaku pergi. Stu… ini sama sekali bukan salahmu. Jangan pernah merasa kalau semua kekacauan ini diakibatkan olehmu. Itu sama sekali nggak benar. Dan kalau kamu nanti mendengar ada orang lain yang memberimu cap sebagai ‘anak haram’, itu sama sekali nggak benar. Seorang anak yang lahir ke dunia ini selalu dalam keadaan yang bersih dan nggak ada yang haram. Jangan sampai engkau merasa sakit hati dengan cemoohan itu dan jangan sampai benakmu menjadi lelah karena memikirkan hal itu. Jangan buang-buang energimu untuk hal yang nggak perlu dan sama sekali nggak penting. Aku benar-benar kecewa dengan sikap kedua orang tuaku, Stu. Adegannya kurang-lebih sama seperti di rumah Ndharu minggu lalu. Mama telah menyiapkan hidangan lezat untuk menyambut kami dan semua terlihat berbahagia. Malahan, Mama sudah menduga kalau kedatanganku untuk memberitakan berita
61
gembira soal pernikahan. Maklum, dari dulu Mama dan Papa selalu saja menyuruhku untuk cepat-cepat menikah. “Ya, Mama memang benar. Aku dan Ndharu memang ingin menikah, namun yang akan maju ke altar nanti nggak hanya aku dan Ndharu saja, melainkan juga Narwastu yang ada di dalam kandunganku,” jawabku. Aku mendengar Narita, adikku, memecahkan piring yang dipegangnya. Tak hanya Narita yang terkejut. Mama dan Papa langsung bereaksi dengan keras. Papa langsung menggebrak meja sementara Mama berteriak dengan keras. Satu-satunya reaksi dariku adalah memeluk perutku erat-erat. Aku nggak mau engkau mendengar semua kebrutalan ini. Kalau saja aku tahu letak telingamu, Nak, aku akan segera menutupnya. Air mataku langsung meleleh dan untung saja Ndharu memelukku. Papa langsung menyumpah-serapahi Ndharu sebagai lakilaki bejat dan mengatakan kepadaku sebagai penganut ajaran sesat seks bebas. Entah aku mendapatkan kekuatan dari mana, tiba-tiba aku membalasnya dengan jeritan. “Aku hanya melakukan seks dengan satu orang saja selama hidupku, hanya dengan Ndharu. Dan itu Papa sebut sebagai seks bebas? Sementara Papa melakukan dengan dua wanita selingkuhan Papa bukan dianggap sebagai seks bebas?” Harusnya aku nggak menuliskan ini untukmu, Stu… tapi aku sudah telanjur berjanji nggak akan ada rahasia di antara kita. Belasan tahun lalu, Papaku pernah kepergok oleh kami berjalan dengan wanita lain. Hati Mama memang sungguh besar karena mau tanpa syarat memaafkannya… atau memang dia yang begitu bodoh? Ah, tipis bedanya. Mama memang tak punya pilihan lain kecuali memaafkan karena di dalam ajaran Katolik memang tak diperkenankan untuk bercerai. Sejak kejadian itu, kami sekeluarga pindah rumah dan memulai kehidupan baru. Papa berubah menjadi sosok religius dan kini terlibat dalam dewan gereja. Namun, baru saja aku membuka luka lama. Mama langsung menangis dan Papa langsung menghardikku untuk jangan kembali mengungkit-ungkit apa yang sudah lewat dan aku melihat ada luka dari tatap matanya. “Kalau saja reaksi kalian nggak sekeras ini, aku juga bisa bersikap lunak. Setiap orang pernah jatuh ke dalam lubang dan kalau saja orang yang jatuh itu hanya dimakimaki dan bukannya diberi tangga atau tali untuk keluar dari lubang, orang itu nggak akan pernah tertolong, kecuali dengan sendirinya dia mau berusaha keluar. Beruntung bagi Papa karena dulu kami mau mengulurkan tangan kami untuk Papa.”
62
Ucapanku berhenti karena telapak tangan Papa mendarat di pipiku. Ndharu yang sedari tadi juga bingung hendak bersikap apa melihat pertengkaran kami kemudian bangkit dari duduknya dan mengajakku pergi keluar rumah. Dia mengatakan kepada Mama dan Papa kalau kami berdua baru mau bicara lagi jika mereka sudah siap berdialog. Di kamar hotel aku menangis di pelukannya. Semuanya sudah telanjur terluka. Aku terluka, Mama dan Papa juga terluka. Aku nggak mau membenarkan diriku sendiri dan menyalahkan mereka… tapi yang jelas, seharusnya semua itu nggak pernah terjadi. Ayahmu menenangkanku, “Dua tahun lagi kita berdua sudah 30 tahun. Masak masih mau bergantung sama orang tua terus, sih. Ayolah, ini, kan, urusan kecil. Kita bisa hadapi masalah ini berdua. Buang saja sakit hatimu.” Benar juga kata dia. Suasana hatiku langsung membaik. Ada kalanya aku harus membebaskan diri dari rasa ketergantunganku dari segala hal, termasuk dari kedua orang tua. Aku pun kemudian menanyakan kepada Ayahmu apakah hal yang diungkapkannya tadi menjadi pertimbangan utama ketika dia memutuskan untuk bersikap ‘berani’ kepada Romo dan Ibunya. Ndharu hanya tersenyum. Setelah kudesak dia baru menjawab, “Mungkin kedengarannya agak sadis. Umurku sudah 28 tahun. Anggap saja harapan hidupku berada di garis normal, maka waktu yang terbanyak akan aku habiskan adalah hidup bersamamu dan bersama Narwastu dibandingkan dengan kedua orang tuaku.” Stu, sekali lagi aku mau memberitahu kepadamu kalau kelak engkau membaca semua catatan ini, janganlah engkau membacanya dengan mata saja. Baca juga dengan pikiran dan hatimu karena aku nggak mau engkau menerima begitu saja apa yang telah kutuliskan. Engkau harus mempunyai pendapat sendiri mengenai semua ini karena aku nggak pernah bermaksud untuk mempengaruhimu. Nak, jangan membaca buku hanya dari depan saja. Cobalah untuk membacanya dari samping atau sesekali dari belakang karena kebenaran nggak bisa dilihat dari satu sisi saja. @@@ Hari ini sungguh melelahkan. Maklumlah, dua hari kemarin benar-benar menguras emosi dan energiku. Sakit kepalaku memuncak hari ini. Apakah ini merupakan pengaruh dari hormon estrogen yang terus meningkat? Di kantor semua berjalan seperti biasa. Teman-temanku mulai memanjakan aku. Ah, ternyata mereka bisa juga
63
bersikap manis. Sesekali mereka mengusap-usap perutku. Dan topik perbincangan yang sering diangkat pada saat makan siang adalah seputar kehamilan, melahirkan, dan membesarkan anak-anak. Oh, senangnya…. Mereka kadang masih mempertanyakan soal Ayahmu, Stu. Dan pertanyaan yang sering muncul adalah, “Kok, elo mau, sih, digantungin begitu aja soal status perkawinan elo?” Dan aku harus menjawab apa? Terlalu panjang menjelaskannya kepada mereka karena aku dan Ayahmu adalah sepasang kekasih yang aneh (baca: maklum, kami belum menganut majority rules). Dan kebanyakan orang sulit untuk menerima orangorang aneh, bukan? He-he-he…. Yang penting bagiku adalah cukup engkau saja yang tahu, Stu. Tadi teman bermainku waktu aku masih kecil, Mediana, menelepon untuk mengajakku untuk bereuni bersama. Wah, pasti seru sekali, deh. Kata Medi, Nera baru saja pindah rumah, jadi sekalian syukuran kecil-kecilan. Sudah lamaaa sekali kami nggak ketemuan. Kangen banget…. Tadinya Nera ingin mengajak reuni minggu depan, tapi sepertinya harus ditunda sampai dia dapat pembantu baru. Mungkin sekitar bulan depan. Stu, engkau harus berkenalan dengan tantetantemu yang seru itu. @@@ Stu… besok siapkan dirimu, ya…. Engkau harus tampil dengan ganteng atau cantik karena besok aku akan melihatmu lewat ultrasonografi alias USG. Aku sudah memesan kepada Ayahmu untuk ikut ke dokter bersamaku. Aku nggak mau lagi sendiri dan dicurigai oleh pasien-pasien lain yang selalu menanyakan, “Kok, sendirian aja? Ke mana suaminya?” Untung saja Ndharu mau ikut. Awas saja kalau dia sampai menolak ikut. Besok kita janjian ketemu di rumah sakit sepulang kantor. Jadi, Stu… sampai jumpa besok. Aku sudah nggak sabar melihat kondisimu di dalam sana. @@@ Beberapa jam yang lalu, aku baru saja melihat sebuah keajaiban Tuhan. Aku melihatmu, Stu. Aku melihatmu…. Belum pernah aku melihat Ayahmu sesentimentil itu sebelumnya. Engkau terlalu sempurna untuk dideskripsikan dengan katakata, Nak. Sungguh…. Saat dokter Kristin menyuruhku berbaring setelah minum air hingga kandung kemihku terasa penuh (aku juga baru tahu kalau mau di USG harus minum banyak), jantungku benar-benar
64
berdetak keras. Sampai-sampai kegugupanku terbaca dokter Kristin, sehingga dia menertawakanku. Dia mengatakan, pengalaman USG pertama selalu menjadi pengalaman yang emosional bagi calon orang tua. Kemudian perutku diolesi jel yang menurutku sangat berlebihan jumlahnya, lalu alat USG yang bentuknya seperti setrika itu mulai digerakkan di atas perutku. Pantulan gelombang suara alat itu kemudian diubah menjadi gambar. Aku dan Ndharu melihat ke arah monitor kecil yang menampilkan gambar hitam-putih yang tak begitu jelas. ‘Setrika’ itu kemudian digerakkan lagi ke bagian bawah perut dan aku melihat cahaya berkedip. “Yang berkedip-kedip itu adalah jantungnya,” dokter Kristin memberitahu kami. Ndharu langsung berkomentar, “Ya Tuhan, benar-benar ajaib.” Aku hanya bisa menahan tangis. Kata-kata dokter Kristin tadi merupakan kata terindah yang pernah kudengar seumur hidupku… “Itu jantungnya”. Dokter kemudian menunjukkan kepala dan tulang punggungmu. Dia juga memperlihatkan tangan dan kakimu yang mungil dan belum terbentuk sempurna. Ndharu terlihat begitu terpesona dengan bentukmu, Stu, sampai-sampai dia meminta kepada dokter Kristin untuk memotret engkau. Kata dokter, pertumbuhanmu normal. “That’s my Narwastu.” Sebenarnya aku benar-benar penasaran untuk tahu jenis kelaminmu, namun Ndharu menolak dengan alasan biarkan itu menjadi kejutan manis di akhir penantian. Lagipula dokter pun masih sulit melihat jenis kelaminmu, Stu. Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Ayahmu hanya memandangi potretmu. Potret USG pertamamu itu nanti akan aku selipkan di dalam catatan ini agar engkau tahu bahwa dulu engkau hanya sebesar biji rambutan. Saat aku dan Ayahmu berbaring di tempat tidur pun, potretmu masih menjadi pokok pembicaraan. Stu, engkau pasti nggak bisa ngebayangin bagaimana terpesonanya kami terhadapmu. Ada hal yang paling menyentuh yang dikatakan Ndharu. “Go, Narwastu itu begitu ajaib, ya? Harusnya, kedua orang tua kita melihat keajaiban ini bersama-sama kita sekarang ini. Lebih afdol lagi kalau melihatnya pada waktu USG tadi. Masak sesuatu yang begitu indah seperti ini ‘ditolak’ dimana-mana?” Dan aku menyetujui apa yang dikatakan Ayahmu. Engkau terlalu berharga untuk ditolak. @@@
65
Stu, maaf aku baru bisa menulis lagi sekarang, setelah beberapa lama…. Beberapa hari terakhir ini kami berdua seperti orang gila. Setiap malam, kami belum bisa tidur sebelum melihat potretmu. Baru saja Ndharu berpesan kepadaku kalau kami berdua harus segera memikirkan soal upacara perkawinan. Hmmm… tiba-tiba aku, kok, merasa sudah cukup nyaman dengan kehidupan seperti ini, ya? Menikah di depan gereja dan diiringi lagu-lagu indah memang pernah menjadi impianku… namun, aku punya semacam ketakutan untuk berkomitmen. Wah… semoga saja ketakutan itu bisa hilang. Sebenarnya aku sudah merasa nyaman dengan Ndharu dan setelah enam bulan kami hidup serumah, aku merasa nggak menemukan hal-hal aneh dengannya. Yah… aku juga berpikir tentangmu, Stu, terutama soal surat-surat atau dokumendokumenmu di kemudian hari. Kalau kami nggak menikah, pasti akta kelahiran atau urusan pendaftaran sekolah yang penuh dengan birokrasi itu akan tersendat. Aku dulu pernah menangani kasus seperti itu pada klienku. Klienku seorang wanita yang punya anak di luar pernikahan dan dia benar-benar kelabakan ketika harus mengurus akta kelahiran. Petugas enggan memberikan akta karena orang tuanya nggak punya akta pernikahan. Padahal, itu, kan, hak asasi setiap warga negara. Ada yang salah memang dengan negeri ini. Stu… semoga saja ikatan perkawinan itu nggak akan menyeramkan seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Sebenarnya satu-satunya hal yang membuatku ngeri adalah bagaimana kalau Ndharu… tiba-tiba nggak setia kepadaku. Selingkuh seperti Papaku dulu. Aku berani bertaruh kalau aku nggak bisa punya hati sebesar Mama untuk memaafkan pasangannya yang sudah berkhianat. Aku terlalu cerdas untuk itu. Sialnya, pernikahan ini nggak mungkin diceraikan. Siapa yang sanggup membayangkan? Menurutmu, Stu, apakah aku harus membicarakan ketakutan ini kepada Ndharu?
66
FIFTH Month
Aku dipecat. Yah… aku sudah menduga sebelumnya. Hari ini kontrak enam bulanku memang sudah habis dan apa pun pertimbangannya, keputusan akhir mutlak berada di tangan kaum kapitalis, bukan? Tadi siang Mbak Anis memanggilku. Dia bilang aku harus menghadap Bu Martina, bosku. Bu Martina menyuruhku duduk. Matanya itu, lho, nggak putus-putus melihat perutku yang sudah lima bulan (yup, sekarang sudah tepat lima bulan) berisi jabang bayi. Hmmm… mungkin dia nggak pernah melihat orang hamil, kali, ya? Selanjutnya… Bu Martina memecatku. Adegannya, sih, nggak sekejam reality show The Apprentice saat Donald Trump berkata “You’re fired!” kepada peserta yang gagal, tapi ini lebih halus yang… menurutku justru menyebalkan. Bu Martina berbicara ngalor-ngidul dan nggak jelas. Kenapa, sih, nggak langsung aja? Akhirnya, dia bilang kalau kinerjaku selama ini kurang memuaskan kantor konsultan hukum yang sudah berdiri sejak tahun 1986 itu (kok, kayak slogan kecap ya?). Kemudian aku bertanya kepadanya apakah selama aku bekerja, pekerjaanku ada yang tidak beres. Dalam hati aku memang penasaran karena setahuku semua pekerjaanku selalu beres. Mungkin aku memang sering minta izin nggak masuk atau bolos kerja, namun itu semua nggak mengganggu pekerjaanku. Semua selalu selesai tepat pada waktunya. Lalu, Bu Martina menjawab pekerjaanku dengan suara datar. Kata dia, pekerjaanku memang selalu selesai sesuai dengan jadwal, namun banyak yang kurang maksimal. “Lalu mengapa dari awal nggak diutarakan kepada saya secara langsung. Bukankah saya juga mempunyai hak untuk mengembangkan diri di kantor ini?” tanyaku. Aku sempat melihat mimik Bu Martina yang agak terkejut mendengar pertanyaanku. Dia pun berusaha menutupi kegugupannya dalam menjawab pertanyaanku. Kata dia, harusnya seorang profesional seperti aku sudah bisa menilai pekerjaan mana yang maksimal dan mana yang nggak untuk diserahkan ke atasan. Oh my God… who am I? A mind reader? Memangnya aku tahu pemikiran orang? Kalau pekerjaanku memang nggak maksimal, mengapa hasil rekomendasiku sering dipakai dalam menyelesaikan beberapa
67
kasus? Oh… rasanya aku ingin sekali memuntahkan pertanyaan itu kepada Bu Martina. Namun, setelah aku pikir kenapa juga aku membuang energiku untuk hal yang menurutku susah diubah. Itu kantor dia… dan dia punya kuasa untuk memberhentikan aku dengan menggunakan alasan apa pun, bukan? “Apakah ini ada kaitannya dengan kehamilanku, Bu?” tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku. Aku merasa tolol sekali karena jawabannya pasti nggak ada. Dan benar saja… dia bilang sama sekali nggak ada kaitannya dengan itu. Hmmm… semoga apa yang dikatakannya itu benar karena aku paling benci kepura-puraan. Dan kau tahu, Stu… berikutnya adalah adegan favoritku. Aku kemudian bilang kepadanya, “Baiklah, Bu. Saya mengucapkan terima kasih atas kerja sama selama ini. Dan saya minta izin untuk memberitahukan kepada beberapa klien yang telah saya pegang selama ini bahwa saya telah mundur dari kantor ini.” Ha-ha-ha… dan lucunya Bu Martina secara spontan berkata, “Jangan!” Aku hanya bisa tersenyum simpul. Bagaimana nggak karena aku mempunyai dua klien yang sudah merasa cocok denganku. Ke mana pun aku pergi, mereka pasti memintaku untuk membantu menyelesaikan masalah hukum mereka. Selama enam bulan terakhir ini, dua klienku telah memberikan kontribusi besar bagi kantor hukum Bu Martina itu. Sekarang… ya… aku akan di rumah untuk sementara waktu, Stu. Aku sudah terbiasa, kok… ha-ha-ha. Kata Ndharu, dia menyuruhku untuk beristirahat sebentar hingga tiga bulan setelah aku melahirkan. Menurut dia, jarang ada perusahaan yang mau menerima wanita hamil. Alasannya… ya, apalagi kalau bukan masalah kompensasi cuti dan sekitarnya itu. Ya, ampun… kasihan banget, sih, jadi wanita hamil. Stu… Stu… nasibmu, kok, selalu ditolak begitu, sih? He-he-he… @@@ Hari ini hari yang mengejutkan bagiku. Aku sama sekali nggak menduga kalau Mama meneleponku. Tadi aku mampir ke toko buku untuk mencari beberapa buku dan ponselku berdering. Di layar tertera nomor telepon yang sudah kukenal, dari orang rumah. Di ujung sana terdengar suara Mama. Demi ‘Tuhan’… aku benar-benar merasa senang bercampur khawatir… akan ada masalah apa selanjutnya? Mama bertanya bagaimana kandunganku. Dia menanyakanmu, Stu! Aku jawab baik-baik saja dan menurut USG pertumbuhanmu normal.
68
Mama terdiam sejenak, sementara aku sama sekali nggak punya ide untuk menanyakan sesuatu. Sebenarnya aku ingin menanyakan kabar Mama dan Papa, tapi aku takut salah. Cukup lama kami berdua berdiam diri. Aku mencari tempat yang nyaman untuk duduk sambil bicara. “Meen, Papamu sakit.” Mama membuka suara. Ya, Tuhan… apa lagi ini? Pikiran burukku sudah stand by mengeluarkan ide brilian: pasti aku yang dituduh menjadi penyebab sakit itu. Mama kemudian mengatakan kalau tekanan darah tinggi Papa kumat dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Rasa bersalah itu benar-benar mendominasi hatiku. “Apakah Mama butuh kambing hitam dan menjadikan aku penyebab sakitnya Papa?” aku bertanya dengan bibir bergetar. Aku tahu, apa yang aku tanyakan itu mungkin malah memperburuk keadaan. Mama langsung menghardikku dan menangis. Seandainya aku digambarkan seperti komik Jepang, pasti di kepalaku sekarang ada batu besar yang membuat kepalaku gepeng. Dia mengatakan, Papa langsung sakit sehari setelah aku dan Ndharu pulang dari Bandung. Meskipun ini terdengar kasar dan nggak sopan, aku bertanya lagi apa yang sebenarnya diinginkan Mama karena feeling-ku membisikkan bahwa ada udang di balik batu. Sebabnya, beberapa waktu lalu ketika kaki Papa patah karena jatuh dari motor saja aku sama sekali nggak diberitahu. Mama menjawab, “Mungkin ada baiknya kalau kamu pulang, Meen. Tengoklah dulu Papamu.” “Mama jawab dulu pertanyaanku, apakah aku dianggap sebagai penyebab?” Dan telepon terputus. Mungkin karena pulsa Mama sudah habis. Aku kemudian menelepon Narita. Untung saja dia nggak ada di dekat-dekat Mama atau Papa. Aku menanyakan kabar sesungguhnya dari Papa. Narita menjawab dengan ogah-ogahan, sampai akhirnya dia berkata dengan sinis, “Elo, tuh, ya… selalu bikin segala sesuatunya menjadi runyam.” Aku benar-benar sakit hati, Stu. Rasanya seperti banyak sekali duri mawar yang tertancap di jantungku. Ponsel kututup. Aku nggak mampu lagi berdiri dan badanku benar-benar lemas. Sampai-sampai dua pramuniaga toko buku menolong aku berdiri dan memapahku berjalan. Perutku seperti kram dan kakiku terasa berat untuk diangkat. Seorang pramuniaga memberhentikan taksi untukku. Satusatunya tujuan yang kuingat adalah kantor Ndharu. Pikiranku benar-benar kacau dan aku sama sekali nggak mendengarkan ocehan sopir taksi yang sepertinya ingin menghiburku. Satu-satunya kalimat yang kudengar darinya
69
adalah, “Jangan terlalu bersedih, Bu. Kasihan anak yang ada di dalam. Nanti dia jadi ikut-ikutan sedih.” Ndharu yang sudah kuberitahu via SMS kalau aku mau datang ke kantornya sudah menunggu di pintu lobi. Aku langsung memeluknya erat-erat dan semua mata orang yang kebetulan ada atau lewat di situ sudah pasti melihat kami. Dia memapahku untuk duduk di sofa lobi dan aku menumpahkan semua ceritaku kepadanya. Setelah selesai bercerita dan menarik nafas panjang tiga kali, perasaanku lebih damai. Stu, maaf kalau engkau harus mengalami ini semua. Seharusnya, masa penantian kelahiranmu ini dipenuhi dengan suka cita… selayaknya yang dilakukan oleh ibu-ibu lain. Umurku sudah 28 tahun, tapi mengapa sepertinya aku masih berada di bawah bayang-bayang orang tua? Mengapa dalam setiap tindakan yang aku lakukan harus mempertimbangkan perasaan orang tua. Kapan aku bisa menjadi manusia merdeka? Kapan aku punya kehendak bebas? Kalau aku berlaku semaunya sendiri, pasti dicap sebagai anak durhaka atau anak yang nggak tahu diri. Kapan seorang anak mutlak mempunyai kebebasannya sendiri tanpa memikirkan soal balas budi atau berbakti kepada orang tua. Ya ampun, aku benarbenar benci dengan hal yang justru dibuat sebagai utang budi ketimbang ungkapan kasih sayang itu. Ketika aku sepakat hidup bersama dengan Ndharu tanpa ikatan pernikahan, itu adalah pilihanku. Aku sudah tahu segala konsekuensinya dan aku secara sadar mau menerimanya. Seharusnya aku nggak usah lagi diberatkan dengan bagaimana perasaan orang tua kalau aku melakukan hal itu. Biarlah semua resiko ditanggung olehku seutuhnya. Stu, ketika saatnya tiba nanti engkau sudah selesai dengan kuliahmu. Aku akan memberimu kebebasan seutuhnya kepadamu. Pergilah ke mana hatimu membawa. Jangan engkau kembali lagi kepadaku atau kepada Ayahmu untuk urusan membalas budi atau membaktikan diri kepada kami. Engkau sudah bukan lagi milik kami, tapi sudah menjadi milik dunia. Aku dan Ayahmu hanya mengantarmu saja. Banyak orang yang percaya kalau apa yang dilakukan oleh orang tua kelak akan menurun ke anaknya. Seperti Wyne yang dulu sempat bertanya, “Bagaimana kalau nanti anak elo juga ikut-ikutan kayak elo… hamil duluan baru kawin?” Hmmm… sebenarnya kalau itu terjadi denganmu aku nggak peduli sepanjang engkau sudah mampu berdiri sendiri. Itu pilihanmu. Namun, jangan sampai engkau melakukan semua itu dalam keadaan nggak sadar karena kebebasan memilih itu baru terjadi kalau orang dalam keadaan sadar. Ya… setidaknya itu adalah pendapatku.
70
@@@ Setelah berita Papanya sakit, aku melihat ibumu sering bengong di dalam kamar. Di tangannya memang ada sebuah buku tebal, namun aku melihat matanya kosong dan jarinya tak kunjung membalikkan lembaran buku itu. Makan pun dia sudah tak selahap dulu. Aku memang belum dan tidak akan pernah hamil. Jadi, aku tidak tahu bagaimana perasaan wanita hamil itu seperti apa dan bagaimana beratnya membawa calon kehidupan di dalam rahim. Namun, aku mencoba berempati kepadanya. Kalau dari catatan yang dibuatnya untukmu, Stu… aku rasa semua yang dilaluinya itu memang berat. Dan sekarang mungkin adalah masa terberatnya. Aku bisa merasakannya. Aku yakin dia bukan stres gara-gara tidak bekerja, tapi lebih karena tuduhan yang telah di arahkan kepadanya bahwa dia telah menyebabkan Ayahnya sakit. Aku pernah membaca sebuah artikel yang menyebutkan kalau wanita hamil dan setelah melahirkan lebih rentan terkena depresi. Dan… aku takut ini terjadi pada Margoku sayang. Karena aku benar-benar mencintainya sampai-sampai setiap kali berangkat kerja aku merasa takut sesuatu yang buruk akan menimpanya. Sebenarnya ini bukan hanya masalah dia saja, tetapi ini juga masalahku. Maka, baru akhir minggu kemarin aku berbohong kepada Margo. Aku mengatakan kepadanya kalau aku tugas ke luar kota, padahal aku pergi menemui kedua orang tuanya di Bandung dan… menghadap ke orang tuaku. Aku merasa bahwa semua ini harus benar-benar diselesaikan dengan tuntas. Ketika aku tiba di rumah Margo di Bandung, Papanya baru pulang dari rumah sakit dan keadaannya sudah jauh lebih baik. Mereka terkejut akan kedatanganku. Mamanya langsung menanyakan kabar Margo dan kamu, Stu. Aku menjelaskan dengan jujur apa yang sedang terjadi pada Ibumu yang akhir-akhir ini jarang sekali berkomunikasi denganku dan lebih banyak bengong. Mata Nenekmu yang terlihat lelah menjadi berkaca-kaca. Dia mengatakan, kejadian tempo hari seharusnya memang tidak usah terjadi. Dia kemudian menanyakan kepadaku apakah kami berdua memang sudah tinggal serumah dan aku katakan memang benar sudah selama enam bulan. Nenekmu menumpahkan segala kegundahannya. Sebagai orang tua, dia merasa kecewa dengan perbuatan kami karena tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan adalah hal yang dilarang oleh agama dan norma susila. Aku hanya mengangguk-angguk, meskipun aku sebenarnya tidak bisa menerima alasan itu. Lagi pula ini bukan saat yang tepat untuk ‘berkelahi’ lagi.
71
“Namun, apa boleh buat semuanya sudah terjadi. Tante sudah bicara dengan Oom… ya… mau apa lagi. Kami berdua sudah bisa menerima. Jadi kapan kalian akan menikah?” tanya nenekmu. Ah… untuk pertanyaan ini aku benar-benar tidak bisa menjawab karena aku memang tidak punya jawaban pasti. Aku hanya mengira-ngira mungkin dua bulan lagi kalau semuanya urusan seputar orang tua sudah beres. Nenekmu hanya mengangguk-angguk. Aku benar-benar nggak tega melihat wajahnya yang penuh dengan guratan kelelahan. Aku pun kemudian pamit dengan perasaan sedikit lega. Meskipun sudah sore, aku langsung meneruskan perjalanan ke Jakarta (untung saja sudah ada jalan tol Jakarta-Bandung…) menuju ke rumah orang tuaku. Kalau boleh jujur, aku lebih pe-de berbicara di depan orang tua Margo dibandingkan kepada orang tuaku. Aku tiba di sana sekitar pukul delapan malam. Untung saja ada orang di rumah. Aku melihat mobil Masku, Gatot, terparkir di garasi. Aku memberanikan diri mengetuk pintu… dan Romo yang membukakannya. Jantungku berhenti berdetak sesaat. Aku pikir jantung Romo juga berhenti sepersekian detik. Tanpa ada sepatah kata pun aku langsung masuk dan duduk di ruang tamu. Masku dan kedua anaknya yang tadinya sedang ribut bermain bersama Ibu langsung berhenti sejenak. Priska, keponakanku, langsung menyambutku dan memelukku. Ah… senangnya menjadi anak-anak, tidak punya beban berat. Raut muka Ibu berubah begitu melihatku… entahlah apakah itu raut muka jengkel atau rindu. Dia menghampiri dan memelukku. Melihat itu, Romo segera berdehem. Kami berempat, termasuk Mas Gatot, duduk di ruang tamu. Sebenarnya aku sendiri bingung mau bicara apa. “Jadi bagaimana, apakah Romo dan Ibu mau merestui saya?” “Kamu ini kemarin sudah pergi begitu saja dengan tidak sopan. Sekarang kamu kembali lagi ke sini untuk meminta restu? Coba di mana sopan-santunmu kepada orang tua.” Setidaknya hanya sampai di situ ucapan Romo yang sempat aku ingat. Selanjutnya aku mendengar ceramah mengenai moralitas agama dan kejawen secara samar-samar. Dan selanjutnya aku mendengar secara jelas, “Romo tidak akan melamarkan calonmu itu.” Nah, berarti selesailah sudah. Aku kemudian minta diri untuk pamit dan disambut dengan dingin. Saat aku berjalan sekitar seratus meter dari rumah, Ibu menyusulku dengan tergopoh-gopoh. Dia berusaha menenangkanku. Ibu mengatakan ikut berempati dengan kami berdua. Dia menitipkan salamnya
72
kepada Margo dan berharap pada saat menikah nanti tetap memberi kabar kepadanya. “Ibu ndak bisa apa-apa. Ibu ndak bisa melawan Romo. Ibu hanya berdoa saja untuk kalian berdua. Soal lamaran, Ibu juga ndak bisa nekat maju sendirian, nanti Romo marah. Ya wis, kowe sing ati-ati.” Ah, entah siapa yang gila. Selama ini aku takut sekali dengan Romo, tapi setelah berpacaran dengan Margo aku jadi punya keberanian. Aku juga bingung, kok, bisa aku secara drastis berubah jadi mbeling? Dulu aku hanya melihat sosok wanita, ya seperti Ibu, selalu menurut apa kata suami. Dua kakak iparku juga tipe yang tunduk dengan suami. Margo… Margo… kok, bisa-bisanya aku jatuh cinta sama wanita seperti dia. Ah… yang jelas semua sudah selesai. Kini, aku, ibumu, dan kamu akan melanjutkan hidup kita lagi. Sampai catatan ini selesai ditulis, aku belum memberitahu tentang apa yang aku lakukan kemarin kepada ibumu. Nanti aku akan menyuruhnya membaca tulisan ini supaya dia pun mungkin menjadi lega sedikit. Lagi pula aku bingung dari mana aku harus mulai bercerita. @@@ Dear Stu, Aku baru sadar sudah cukup lama aku nggak menulis untukmu. Tadi pagi, sebelum Ndharu berangkat kerja, aku disuruh duduk dan membaca catatan yang ditulis olehnya. Aku senaaaang sekali dia mengambil sikap seperti itu. Akhirnya, meskipun tidak berakhir 100 persen happy ending, ada juga penyelesaian terbaik. Aku berutang pada Ayahmu. Mungkin aku akan memasak untuknya. Memasak? Ah… nggak mungkin banget. Aku, kan, nggak bisa masak. Lagipula Ndharu sudah menerima keadaanku ini… ha-ha-ha. Sekarang aku hanya masak dengan bumbu yang sekenanya saja. Hmmm… mungkin OK juga kalau aku mulai belajar masak dari sekarang. Amit-amit, deh… he-he-he. Berarti aku harus mulai belanja peralatan dapur, dong. Mendingan uangnya untuk beli baju, deh…. Ya ‘Tuhan’… aku benar-benar nggak percaya akhirnya masalah orang tua bisa menunjukkan jalan terang. Stu, aku benar-benar senang sekali.
@@@ Hari ini Mama meneleponku. Kami berdua bercakap-cakap soal kehamilanku seolah dulu nggak pernah terjadi apa-apa.
73
Aku senang karena akhirnya aku punya kesempatan untuk bertanya tentang banyak hal soal kehamilanku ini. Kalau sejauh ini aku hanya tahu dari buku, kini bisa mendengar kesaksian secara langsung. Aku mengeluhkan soal gatal-gatal di sekitar anus yang sudah kurasakan seminggu terakhir ini. Kata Mama, wanita hamil lebih rentan terkena wasir alias ambeien karena rahim akan menekan pembuluh darah sehingga pembuluh darah di sekitar anus membengkak. Meskipun benar-benar mengganggu, Mama menyarankan agar aku untuk tidak mengonsumsi obat karena dapat mengganggu kesehatanmu, Stu. Saran klasiknya adalah minum air putih banyak-banyak dan makan sayur berserat. Duh… tapi semakin hari semakin gatal. Aku sudah nggak tahan lagi, apalagi setelah pup. Kalau nanti aku agak lama nggak nulis catatan ini untukmu berarti ambeienku belum sembuh yang membuatku jadi susah untuk duduk. Mungkin mengompresnya dengan air es akan membuat gatalnya berkurang. Yah… nungging, deh! Bye, Stu. @@@ Stu, meskipun hampir seminggu ambeienku belum sembuh, aku harus duduk untuk menuliskan sesuatu yang seru kepadamu. Sore tadi setelah Maghrib aku dikejutkan oleh kedatangan dua orang pria yang nggak aku kenal. Aku agak takut juga, sih, mana Ndharu belum pulang lagi…. Ketika aku membukakan pintu, salah satu dari mereka mengaku Ketua RT sementara yang seorang lainnya adalah warga setempat. Aku baru ingat, ya ampun… selama enam bulan tinggal di sini aku lupa untuk bersosialisasi. Mereka mengenalkan diri tanpa mau berjabat tangan denganku, namun beberapa menit kemudian aku sudah lupa lagi nama mereka. Duuuh…. Aku mempersilakan mereka masuk dan duduk di meja makan yang masih berantakan. Maklum, aku sedang bereksperimen membuat macaroni schotel. Bapak RT itu langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Dia sebenarnya membawa mandat dari warga RT setempat yang sedang resah atas keberadaanku dan Ndharu. Mendengar itu, aku tersenyum di dalam hati… ada apa lagi, nih. “Maaf, ya, Mbak… tapi ada laporan dari warga… katanya di rumah ini dijadikan tempat kumpul kebo. Jadi, saya selaku RT di sini berniat untuk menjembatani keresahan warga. Apakah memang benar demikian, Mbak?” Gila, ya… ternyata ada orang yang begitu perhatian sama kami. Jadi terharu. Hmmm… kira-kira siapa, ya, warga
74
yang tahu tentang status perkawinan kami? Aku nggak sadar kalau ternyata jawabanku sedang ditunggu. Untung cincin pemberian Ndharu masih kupakai dan kutunjukkannlah cincin itu kepada mereka, tanpa berbicara. “Jadi Mbak sudah menikah? Kalau sudah, kok, cincinnya ada di jari manis di tangan kiri? Bukannya biasanya kalau cincin kawin itu ada di tangan kanan?” Ternyata mereka cerdas juga. Aku berusaha tampil setenang mungkin dan setelah menarik nafas panjang, aku baru memuntahkan pembelaanku. “Pak, ini jari-jari saya… jadi saya berhak untuk meletakkan cincin ini di jari mana saja yang saya mau. Kami memang salah karena kami belum mengurus surat pindah atau kartu keluarga atau lapor kepada Bapak. Kalau Bapak meminta bukti surat nikah, terus terang saya nggak bisa menunjukkannya karena surat itu pun ada di rumah orang tua saya karena sebenarnya kami tidak menyangka kalau kami akan tinggal di sini. Nama saya pun masih belum dicoret dari daftar nama keluarga. Maaf, ya, Pak… sebenarnya saya jadi tersinggung dengan pernyataan Bapak itu.” Aku bisa melihat gerak tubuh Pak RT yang agak rikuh mendengarkan penjelasan tipuanku itu. Lalu aku menanyakan lagi apa yang menyebabkan warga menjadi curiga kepadaku. Pria yang duduk di sebelah Pak RT akhirnya membuka suara. Dia bilang kalau Ndharu sering pulang pergi dan kadang nggak pulang ke rumah. Ya ampun… hanya dengan alasan simpel itu bisa berujung pada malapetaka ini? Aku langsung tertawa dan nggak berniat mengklarifikasi kecurigaan itu. Mungkin karena aku diam saja, mereka langsung berpamitan pulang dan meminta maaf kepadaku. Hmmm… padahal rumah kami ada di kompleks perumahan. Aku pikir hal seperti ini nggak mungkin terjadi di daerah perumahan, ternyata…. Memang, sih, seharusnya aku mungkin lebih sering keluar rumah dan berkunjung ke tetangga. Tapi di kiri, kanan, depan, dan belakang rumah kami belum ada penghuninya. Lalu… aku harus jalan ke blok lain untuk berkenalan? Males banget…. Ketika pulang dari kerja, Ndharu kuceritakan tentang semua itu, namun ia hanya tersenyum saja. Ah, payah. Lalu dia berkata kepadaku agar akhir pekan ini kami gunakan untuk mempersiapkan pernikahan. Dia pun mengeluarkan selembar kertas bertuliskan daftar apa-apa saja yang diperlukan untuk mengurus pernikahan. Dan salah satunya adalah… surat keterangan dari RT…! Nah lho, barusan aku bilang ke Pak RT kalau aku sudah menikah. Kali itu Ndharu justru tertawa lebar. Kurang ajar, memang.
75
Untung saja hubunganku dengan Mama (entah dengan Papa) sudah membaik. Jadi, mungkin perizinan RT akan diurus di Bandung. Sementara Ndharu akan diurus di rumahnya. Soal pernikahan di gereja, agaknya akan sedikit rumit karena diharuskan ikut kursus pernikahan dan sedikit wawancara dengan pastor (selain menyiapkan juga surat-suratnya). Mengapa, sih, harus serumit ini? By the way, sebenarnya aku masih mau bercerita, tapi ambeienku nggak tertahankan. Ndharu sudah ngomel-ngomel menyuruhku pergi ke dokter, tapi aku takut. @@@ Hallo there, my lovely, Stu…. Ambeienku sudah mendekati 100 persen pulih… senangnya. Itu semua berkat bubur gandum yang kukonsumsi setiap pagi. Tadi siang aku membaca sebuah artikel di majalah tentang sebuah organisasi sosial yang bergerak di bidang pendampingan wanita-wanita hamil tanpa suami. Aku pikir menarik juga kalau meluangkan beberapa hari untuk bergabung di situ. Lagi pula tempatnya nggak terlalu jauh dari rumahku. Mungkin besok aku akan menelepon organisasi itu, nama organisasi itu adalah Yayasan Bunda Mulia. Siapa tahu aku bisa ikut-ikutan nimbrung. Stu… aku sekarang lebih suka memakai kemeja dan kaos Ayahmu. Dia sampai ngomel-ngomel karena pakaian kerjanya selalu berada di mesin cuci. Harusnya dia senang, dong, aku nggak menghambur-hamburkan uang untuk berbelanja pakaian hamil banyak-banyak. Lagi pula aku lebih suka memakai pakaiannya karena aku terlihat lebih seksi. Engkau tahu, Stu… setelah aku mandi, aku sengaja berkaca dalam keadaan bugil dan engkau tahu apa yang kutemukan di tubuhku? Stretch marks di mana-mana, di paha, perut, dan di pantat… aku jadi ingin menangis. Dulu aku begitu menjaga kondisi kulitku dengan suplemen vitamin E dan memakai segala krim untuk membuat kulitku terhindar dari radikal bebas dan stretch marks. Dan ternyata… guratan-guratan tipis berwarna putih itu mampir juga di kulitku. Maaf ya, Stu… tapi aku berhak, dong, untuk sebel. Aku juga baru menyadari kalau linea nigra-ku, alias garis gelap yang membelah perut secara vertikal, sudah mulai tampak. Mengerikan…. Aku segera melihat buku ajaibku untuk mencari tahu apa yang harus aku lakukan dengan problem kulitku. Dan aku jadi takut, deh… karena di sana disebutkan ibu hamil nggak boleh memakai minyak aromaterapi karena bisa terserap melalui kulit dan dapat mempengaruhi
76
janin. Selama ini, kan, body lotion-ku mengandung aromaterapi. Kalau saja aku nggak beli buku ini dan membacanya pasti aku nggak tahu. Terus bagaimana dengan ibu-ibu hamil lainnya yang memang nggak tahu tentang ini dan terus tetap memakai lotion aromaterapi berarti kasihan, dong, anak-anak mereka. Gila… susah banget, sih, jadi wanita hamil… banyak banget pantangannya. Aku pikir ini sesuatu yang nggak adil buat wanita hamil. Menyebalkan. Sorry I have to say this, Stu… tapi sekali lagi boleh, dong, aku kesal. O ya… menurut buku itu, ternyata engkau juga sedang mengalami ‘permasalahan’ kulit ya? Ada bulu-bulu halus bernama ‘lanugo’ yang tumbuh di seluruh tubuhmu sebagai pengatur suhu. Ha-ha-ha… aku, kok, membayangkanmu seperti anak monyet, ya? Kalau saja aku kaya, pasti aku akan seperti Tom Cruise yang membeli alat USG empat dimensi agar bisa melihat janin mungil yang berbentuk aneh di dalam sana. Stu… ngomong-ngomong aku sudah mulai bosan, nih, dengan kaset Mozart yang selalu kuputar saat menulis catatan ini. Boleh, nggak, ya, diganti dengan lagu-lagu lain, seperti lagu-lagunya Ella Fitzgerald atau Chet Baker yang suaranya seksi banget itu. Iya, sih, di dalam bukubuku tentang bayi yang selalu disinggung pasti musik klasik. Memangnya kamu suka dengan musik-musiknya Mozart, Stu? @@@ Tadi pagi aku nekat pergi ke Yayasan Bunda Mulia itu dan bertemu dengan Kepala Yayasannya, Ibu Rosi. Dia dulu seorang biarawati lalu keluar, namun herannya dia tetap mempertahankan hidup sendiri tanpa menikah dan akhirnya mendirikan Yayasan itu. Aku mengutarakan niatku untuk bergabung dengan Yayasan ini dan ternyata dia menyambut dengan gembira, namun dia mengingatkan kalau di sini honor yang diberikan nggak begitu besar. Sebenarnya itu nggak masalah untukku asal bisa menutupi biaya transportasi saja. Wanita bertubuh tambun dan sangat ramah itu kemudian bertanya kepadaku apa yang bisa aku berikan kepada Yayasan ini. Nah, aku justru bingung. Aku menjawab, mungkin dengan latar belakang pendidikanku aku bisa menjadi pendamping kalau-kalau Yayasan ini atau para wanita hamil di sini perlu pendampingan secara hukum. I have no idea what should I say…. Bu Rosi setuju, namun diharapkan aku juga bisa mengajar satu mata pelajaran untuk mereka karena hampir
77
setiap hari di Yayasan ini ada semacam kelas keterampilan untuk mereka. Bu Rosi bertanya apakah aku bisa memasak? Aku menggeleng. Bisa merajut atau menjahit atau menyulam? Aku menggeleng lagi. Dia tertawa dan saat itu aku merasa bukan seorang wanita tulen. Lalu dia menawarkan aku untuk mengisi kelas bahasa Inggris. Hmmm… meskipun bahasa Inggrisku nggak terlalu istimewa, aku menyanggupinya. Tiba-tiba fokus pembicaraan mengarah ke kehamilanku. Aku sendiri waktu itu justru lupa akan kehamilanku. Setelah aku menjelaskan kalau aku tengah mengandung lima bulan, Bu Rosi menanyakan sudah berapa tahun aku menikah. Aku benci sekali pertanyaan itu. Should I answer that question? Aku menggelengkan kepalaku, aku mengatakan bahwa aku baru akan menikah dalam waktu dekat ini, namun sebenarnya aku sudah hidup bersama dengan my so called husband enam bulan terakhir. Bu Rosi hanya menggelengkan kepala sambil tertawa, “Anak muda zaman sekarang. Ya sudah kamu bisa sekalian ikut senam hamil di sini kalau begitu dan ikut kelas cara merawat anak sekalian.” Kami berdua lalu tertawa. Namun, dalam hati aku menjawab, sepertinya libido itu nggak dibatasi oleh zaman dulu dan zaman sekarang, deh. Bu Rosi mengajakku berkeliling kompleks Yayasan. Dari gerbang luar, aku nggak menyangka kalau ternyata Yayasan ini cukup luas. Kompleks itu terdiri dari tiga rumah, satu rumah yang disebut Rumah Utama digunakan sebagai kantor, ruang kelas, ruang rapat, dan ruang praktek dokter; satu rumah yang berukuran agak kecil digunakan untuk dapur dan ruang makan; dan rumah terakhir yang disebut sebagai Rumah Penantian (aduh, nggak banget, deh, namanya… terlalu seram…) digunakan untuk tempat tidur para bunda (begitu Yayasan ini menyebut para wanita hamil yang dibina di sana). Rumah Penantian itu dibagi-bagi dalam sepuluh kamar dan satu kamar berisi dua tempat tidur. Jadi para bunda yang bisa ditampung di Yayasan ini paling banyak hanya 20 orang. Rumah Penantian yang memanjang berhadapan langsung dengan Rumah Utama dan dapur. Di antara Rumah Penantian dan Rumah Utama terdapat taman yang benar-benar terawat dengan pepohonan rindang dan beraneka ragam tanaman bunga. Di pinggir kiri dan kanan taman berdiri masing-masing gazebo bambu sederhana yang beratap ijuk. Taman itu, kata Bu Rosi, digunakan sebagai tempat senam. Dia menyebutkan kalau semua biaya operasional Yayasan ini didukung sepenuhnya oleh sebuah lembaga donor dari Eropa. Hmmm… pantas saja.
78
“Kami berusaha menekan angka aborsi pada kehamilan yang tidak diinginkan. Biasanya para bunda merasa malu dan ditekan oleh keluarga atau partner mereka sehingga mereka memilih untuk menggugurkan janin mereka. Kadang kala, masyarakat di sekitar mereka juga memberi cemoohan dan membuat para bunda semakin tertekan. Maka, kami berusaha ‘merangkul’ mereka hingga mereka melahirkan. Setelah itu, mereka boleh pulang atau hingga mereka benar-benar siap untuk kembali kepada keluarga. Saya tidak mau menjelaskan secara panjang lebar tentang kondisi para bunda atau Yayasan ini. Biar Margo sendiri yang mencari tahu,” jelas Bu Rosi. Ya… aku pun pernah merasakan bagaimana pahitnya keadaan itu. Mungkin nanti aku dan para bunda bisa saling bertukar pengalaman dan saling menguatkan. Bu Rosi juga menjelaskan kalau saat ini ada lima bunda yang tinggal di Yayasan dan seorang bunda sebulan lagi akan melahirkan. Kalau sudah diprediksi akan melahirkan secara normal, bunda bisa melahirkan di Yayasan. Namun, kalau beresiko terpaksa melahirkan di rumah sakit yang letaknya tak jauh dari Yayasan itu. Hari ini aku hanya sebentar di Yayasan. Baru hari Senin nanti aku mulai bekerja di sana. Semoga aku punya banyak teman yang bisa dijadikan tempat curhat masalah kehamilan. Stu, aku merasakan seperti ada kedamaian di sana, meskipun aku belum bertemu dengan para bunda yang katanya sedang berada di dalam kelas. @@@ Sepanjang Sabtu ini aku dan Ayahmu membicarakan soal rencana perkawinan kita (bukan kami… tapi kita, karena kamu juga akan diberkati nanti… he-he-he). Jujur saja, ya… aku sekarang melihat Ndharu jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Dia lebih serius. Mungkin ini semua dikarenakan faktor kamu, Stu, dia sudah bersiap untuk menjadi ayah. Tadi kami sudah menelepon ibu kami masing-masing untuk urusan surat-surat RT. Mereka dengan senang hati membantunya, tapi Ibu Ndharu pasti melakukannya tanpa sepengetahuan Romo… he-he-he. Semua ibu pasti ingin membantu anaknya untuk meraih kebahagiaan. Aku nggak tahu bagaimana perasaan itu yang sebenarnya, karena aku belum menjadi seorang ibu yang sebenarnya. Rasanya sudah nggak sabar, deh, ingin cepat-cepat menjadi seorang ibu. Menurut rencana, kami akan menikah pada saat usia kandunganku tujuh bulan, sekalian syukuran nujuh-bulanan.
79
Ndharu sudah merancang bentuk perkawinannya (gila, kan, sebelumnya dia itu tipe orang yang cuek). Tamu yang diundang, di luar keluarga tentunya, nggak lebih dari 50 orang saja dan dia akan memesan meja di sebuah restoran untuk merayakannya secara sederhana setelah acara pemberkatan di gereja. Keuangan kami benar-benar sudah terbatas, jadi semua serba sederhana saja, termasuk untuk urusan kostum. Ndharu akan memakai setelan jasnya yang sudah lama (baca: satusatunya setelan jas yang dia punya) dan karena aku nggak mungkin memakai kebaya… ya… aku akan membuat gaun putih yang sederhana dan yang jelas akan cukup menampung perutku yang gendut. Sehabis misa sore, kami sudah menghadap pastor yang kira-kira mau memberkati pernikahan kami. Seperti sudah diduga, pastor itu menggeleng-gelengkan kepalanya, begitu tahu kalau aku sudah hamil terlebih dahulu sebelum menikah. Ah, itu sudah menjadi makanan biasa untuk kami. Pastor menanyakan mengapa kami nggak cepat-cepat menikah setelah tahu kalau aku hamil. Aku lalu menjawab, kalau menikah di saat usia kandungan masih kecil akan serba tanggung dalam memilih baju pengantin. “Perut malah lebih kelihatan kayak orang yang nggak pernah olahraga alias berlemak ketimbang terlihat seperti orang hamil. Mendingan nunggu perut gede aja sekalian,” ujarku yang disambut sikutan Ndharu. Aku nggak sempat melihat wajah Pastor tadi secara jelas, yang jelas dia langsung memberikan sedikit wejangan. Namun, pada akhirnya dia mau memberkati kami. Ah… akhirnya. Besok kami tinggal mem-booking gereja dan restoran yang ada di dekat gereja. Stu… aku senang sekali. Bukan karena soal pernikahan ini, tapi karena Ndharu yang jadi lebih dewasa. @@@ Semua beres. Gereja dan restoran sudah di-booking. Aku nggak tahu, deh, kami merasa semuanya, kok, dipermudah, ya. Padahal, aku ingat cerita dari beberapa temanku yang begitu sulit mendapat gereja dan gedung untuk pernikahan di pertengahan tahun. Mereka paling nggak harus memesan setahun sebelumnya karena biasanya di bulan-bulan itu banyak sekali pasangan yang mau menikah. Aku pikir ini bukan sekedar kebetulan. Ini ada faktor kamu, Stu. Kini aku percaya apa yang disebut sebagai rezeki anak. Mungkin ‘Tuhan’ telah membuat ini semua untuk kamu. Stu, setelah tadi ditraktir sea food sama Ndharu aku benar-benar kekenyangan dan mau cepat-cepat tidur. Lagi
80
pula besok pagi jam delapan aku harus sudah ada di Yayasan. Aku benar-benar excited. O ya, akhir minggu depan kami harus mengikuti kursus singkat persiapan perkawinan di gereja. Kok, aku malas, ya… harus ikut-ikutan seperti itu. @@@ Aku sudah berkenalan dengan dengan kelima bunda yang ada di sana. Tunggu… tunggu… (aku butuh waktu lama untuk mengingat nama dan angka) mereka itu kalau nggak salah bernama: Marisa, Billy, Petra, Sandi, dan Pipit. Mereka umumnya masih bersekolah dan kuliah, kecuali si Petra yang sudah bekerja sebagai resepsionis di sebuah perusahaan asing. Bulan depan, Sandi akan melahirkan. Sebenarnya aku ingin banget ngobrol-ngobrol sama mereka lebih banyak, tapi hari ini Bu Rosi memintaku untuk menilai beberapa kontrak kerjasama Yayasan. Jadwalku mengajar bahasa Inggris setiap hari Selasa dan Kamis. Berarti besok. Aku juga nggak tahu, nih, apa yang harus aku ajarkan karena mereka. Bu Rosi, sih, menyarankan agar cara mengajarku nggak usah terpaku seperti sekolah. Semua serba santai dan nggak ada kurikulum yang mengekang. Kata dia, yang penting mereka diberi kesibukan. Hmmm… mungkin kelasku itu nantinya akan berbentuk kelas percakapan saja kali, ya? Hari ini aku sempat chatting sebentar dengan April. Tahun ini dia mencanangkan program mencari bibit unggul untuk rahimnya. Aku benar-benar ngakak mendengarnya. Lalu aku usulkan, mumpung April masih di Jerman, bagaimana kalau mengambil bibit dari bank sperma. Dia menolak, katanya nggak seseru kalau terlibat langsung dalam proses pembuatannya. Aku lalu bercerita soal rencana pernikahanku dua bulan lagi. Dia mencak-mencak karena aku memilih tanggal di mana dia nggak bisa hadir. Kata dia, kalau ingin pulang ke Indonesia sebelum masa training selesai, dia harus membayar sendiri ongkos pesawat yang sangat mahal itu. O ya, hari ini Nera juga sudah menyebarkan undangan house warming-nya via SMS. Katanya dia sengaja mengirim undangan jauh-jauh hari supaya teman-temannya bisa menyediakan waktu. Wah… pas sekali waktunya: dua minggu lagi. Minggu depan aku kursus dan minggu depannya lagi baru reuni. Pasti teman-temanku akan terkejut dengan kehamilanku karena aku belum menceritakannya kepada mereka. Sudah dulu, ya, Stu… aku harus menyiapkan materi yang akan kuberikan besok. By the way, sekarang aku boleh mendapat fasilitas periksa hamil gratis dari Yayasan…
81
cihui… plus senam hamil gratis di sore hari…. Ini rezeki kamu, Stu…. Love you! Mmmmuach…. @@@ Aku deg-degan karena belum pernah mengajar sebelumnya. Tapi untung saja kelima bunda itu sangat kooperatif dalam arti sangat menyenangkan dan terbuka jika diajak berbicara. Aku mengajak mereka berkumpul di gazebo dan duduk di atas karpet sambil bersandar. Yayasan ini memang benar-benar memahami kebutuhan wanita hamil (ya iyalah…) karena disediakan banyak bantal dari yang besar hingga kecil untuk tempat duduk dan bersandar. Kami memulai percakapan dalam bahasa Inggris dengan topik awal yang standar, seputar perkenalan dan mengapa kami semua ada di sini. Wah, mereka jago-jago, terutama Billy karena dia adalah mahasiswa sastra Inggris. Aku jadi malu…. Pipit agak sedikit tersendat-sendat, tapi bukan suatu masalah karena kami semua dengan senang hati menuntunnya berbicara. Bahasa campuran Inggris-Indonesia sangat terbuka di kelas kami… he-he-he. Untung ada Billy yang kosakata bahasa Inggrisnya begitu melimpah. Engkau mau berkenalan dengan mereka, kan, Stu? Pertama adalah Marisa. Dia seharusnya masih duduk di bangku SMA kelas tiga dan dari penampilan serta bahasa tubuhnya pasti dia termasuk anak gaul di sekolahnya. Dia sempat tertangkap polisi gara-gara narkoba, meskipun dia sendiri belum menjadi pecandu. Namun, penderitaannya belum selesai. Setelah ditebus oleh Ayahnya dari kantor polisi, Marisa kemudian diperkosa olehnya. Ibunya hanya cuek saja ketika Marisa diberitahu soal kejadian itu. Dia pun akhirnya hamil dan akhirnya memberitahukan kondisinya itu kepada sekolahnya, namun pihak sekolah justru menyarankan untuk keluar saja. Merasa putus asa, dia pun pergi menumpang di rumah salah satu temannya. Kebetulan, tante temannya itu adalah Bu Rosi, sehingga dibawalah dia ke Yayasan. Marisa nggak bercerita apakah kemudian Ayahnya diproses oleh polisi atau nggak. Selanjutnya Billy, Bunda yang paling lama tinggal di Yayasan ini dibandingkan dengan empat bunda lainnya. Perempuan 20 tahun yang bertubuh mungil itu saat ini sedang hamil tujuh bulan. Dia sedang cuti kuliah. Sebenarnya, pacar Billy, Devo, mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Namun, karena pacarnya itu masih duduk di kelas dua SMA, orang tua pacarnya menjadi sangat marah kalau Devo yang masih di bawah umur itu putus sekolah gara-gara harus menjadi kepala keluarga. Keluarga Billy merasa nggak terima
82
atas tindakan tersebut dan terjadilah perseteruan yang besar. Billy memilih kabur dan dibawa ke Yayasan ini oleh seorang teman kuliahnya. Keluarganya nggak ada yang tahu kalau Billy ada di sini dan hanya Devo yang tahu. Setiap malam minggu, Devo selalu berkunjung ke Yayasan. Oh, Stu, mereka manis sekali, ya…. Kisah Petra lain lagi. Karena nggak terima diputuskan cintanya, mantan pacar Petra memerkosanya dan dia pun hamil. Setelah itu entah ke mana perginya pria kurang ajar itu. Dia merasa masa depannya sudah hancur karena dia baru saja diterima bekerja sebagai resepsionis. Dalam kontrak kerja disebutkan Petra nggak boleh menikah apalagi hamil sampai satu tahun kerja. Dia sempat berpikir untuk aborsi, kemudian dokter yang dikunjunginya menolak permintaan itu dan menganjurkan untuk datang ke Yayasan ini. Kasus perkosaan juga menimpa Sandi yang sebenarnya sudah hampir lulus kuliah. Namun, dia diperkosa oleh sekawanan perampok yang menyatroni rumahnya. Dia mengaku mengalami trauma yang hebat pascakejadian itu. Dia baru bisa terbuka baru-baru ini. Orang tuanya-lah yang membawa Sandi ke sini karena dia selalu merasa tegang dan sering menangis jika berada di rumah. Orang tuanya yang memang berada di Palembang setiap akhir bulan selalu berkunjung ke Yayasan, namun setiap malam mereka selalu menelepon Sandi. Untuk Sandi, pihak Yayasan menyediakan seorang psikolog khusus untuk memulihkan traumanya. Jadwal konsultasinya pun dapat dibilang paling sering dibandingkan empat bunda lainnya. Aku yakin traumanya itu belum 100 persen hilang dan sebenarnya aku takut ketika mendengarkan cerita Sandi. Bukannya apa-apa, tapi dia bisa bercerita tanpa ekspresi yang berarti dari wajahnya dan nada suaranya pun terdengar sangat datar. Mungkin kalau dia bercerita sambil menangis, aku justru nggak takut. Terakhir, Pipit. Dia sebenarnya bunda yang paling lugu di sana. Umurnya masih 18 tahun dan terpaksa berhenti kuliah karena orang tuanya merasa kecewa atas kehamilannya yang baru memasuki usia empat bulan. Kata Pipit, dia ditipu oleh pacarnya yang umurnya jauh lebih tua dari dia dan ternyata… pacarnya itu sudah mempunyai istri dan seorang anak. Kata pacarnya itu, Pipit harus mau menunjukkan rasa cintanya melalui hubungan seks. Namun, setelah kejadian itu pacarnya entah kabur ke mana dan Pipit baru tahu dari seorang temannya kalau pria brengsek itu sudah berkeluarga. Pipit merasa nggak berdaya dan takut mengganggu rumah tangga pacarnya itu. Pada waktu kandungannya berusia dua bulan, dia kabur dari rumah karena nggak tahan dengan
83
cemoohan orang tua dan sindiran para tetangganya. Pipit diajak ke Yayasan ini oleh ibu temannya yang kebetulan jadi juru masak di Yayasan. Aku pun kemudian memperkenalkan diriku dan bercerita tentangmu, Stu. Mereka agak terperangah ketika aku menjelaskan kalau aku belum menikah. Yah… mereka pikir mungkin aku orang yang mereka anggap normal. Aku nggak tahu, ya, apakah ini hanya perasaanku saja atau bukan, tapi setelah mereka tahu tentang aku, mereka jadi lebih ramah dari sebelumnya. Dan buntut-buntutnya kami jadi ngerumpi. O ya ada kejadian lucu, Stu. Si Pipit itu sebenarnya mengerti saat orang lain berbicara dalam bahasa Inggris, namun ketika ingin ikut nimbrung, dia terlihat stres karena nggak bisa mengutarakan maksudnya. Sampai-sampai dia memohon, “Can I speak Indonesian, please. Just for this gossip only.” Kami hanya tertawa. Stu, beberapa cuplikan kisah mereka sebenarnya pernah juga aku alami, terutama soal pandangan orang tentang ibu hamil yang belum menikah. Dan ketika mendengar cerita mereka hatiku benar-benar… entahlah… seperti ikut merasakan kepedihan mereka. Ternyata mereka yang lebih muda dariku punya masalah yang lebih besar. Kalau saja aku ada di posisi seperti mereka, mungkin aku belum tentu bisa mengatasi permasalahan itu setegar mereka. Bahkan, mungkin aku bisa saja berubah menjadi perempuan yang antipenis gara-gara mendapatkan pengalaman buruk dengan pria. Stu, kadang aku bersyukur dilahirkan menjadi seorang wanita yang bisa memberikan kehidupan dengan segala sifat kefemininan yang aku punya. Namun, tak jarang pula aku benar-benar merasa sedih ketika berbenturan dengan diskriminasi dan pelecehan yang dilakukan oleh para pria. Aku harap Ndharu nggak akan bersikap seperti itu setelah aku menikah nanti. Kalau saja engkau terlahir sebagai laki-laki… aku akan sangat sedih jika engkau bersikap kampungan terhadap para perempuan. Jangan, ya, Nak…. Namun, kalau nanti engkau terlahir sebagai perempuan… jadilah perempuan yang kuat tanpa harus menanggalkan sisi femininmu. Perempuan itu seperti kantong teh, kelihatannya lemah namun ternyata dia dapat menahan panas…. @@@ Sudah dua hari ini aku merasakan pening yang muncul secara hebat, sehingga aktivitasku terganggu. Kata bidan di Yayasan, itu akibat perubahan volume dan peredaran darah
84
akibat kehamilan. Aku harus lebih sering berjalan-jalan supaya sirkulasi darah menjadi lancar. Maaf, ya, Stu… aku sepertinya harus menghentikan tulisan ini sekarang. Kepalaku terus berdenyut. @@@ Hai… baru saja aku pulang dari kursus persiapan perkawinan di gereja. Aduh… rasanya membooooosankan sekali. Materi kemarin hingga hari ini benar-benar membuat aku dan Ndharu ingin tidur. Mungkin cara penyampaiannya saja kali, ya, yang agak membosankan. Tapi demi selembar sertifikat… apa boleh buat. Dan seperti yang sudah diduga sebelumnya, kami berdua menjadi bintang kelas. Bukannya apa-apa… fokusnya adalah soal perut buncitku… yah, seperti biasa, bukan? Aku, sih, sudah sangat biasa dengan ini semua. Dan semakin lama aku justru semakin percaya diri. Namun, ada satu hal yang agak menjadi kekhawatiranku. Aku sebelumnya, kan, pernah bercerita kepadamu soal ketakutanku untuk menikah, kan? Nah, ketakutan ini sekarang muncul lagi. Aku nggak tahu kenapa…. Terlebih setelah mendengar pandangan perkawinan dari sudut pandang agama yang diberikan oleh salah seorang pemateri tadi. Aku hanya bisa meraba-raba perasaanku karena aku memang belum yakin soal apa yang menggangguku sebenarnya. Dan salah satu hal yang muncul di pikiranku adalah bahwa betapa agama itu menjadi sesuatu yang mistis. Dan ketika perkawinan itu dibawa di depan agama… kok, jadi terkesan bahwa perkawinan itu menjadi suatu ikatan yang mistis, ya? Ah… sudahlah… aku jadi seram kalau harus membayangkan lebih jauh lagi. Menurutmu, Stu… apakah aku harus segera bilang kepada Ndharu soal ini? Dia sudah menyiapkan segalanya… terus kalau tiba-tiba aku datang padanya sambil berkata, “Ndru, aku takut menikah” lalu apa pendapatnya nanti? Aku sebenarnya mau hidup selamanya dengan Ndharu, tapi boleh nggak tanpa menikah?
85
SIXTH Month
Tadi di Yayasan ada pesta syukuran nujuh-bulanan untuk Billy. Ayah bayi yang ada di kandungannya, Devo, muncul masih menggunakan seragam putih abu-abu. Stu… sumpah, deh, mereka itu maniiiis banget. Kenapa, sih, orang tua mereka begitu kejam. Aku benar-benar bisa melihat cinta di mata mereka berdua. Sudah menjadi kebiasaan bagi Yayasan untuk mengadakan syukuran sederhana nujuh-bulanan bagi para bunda. Kata Bu Rosi, tujuh bulan kandungan itu lebih merupakan saat peralihan. Sebelum tujuh bulan, bayi yang ada di dalam rahim masih tergolong rawan, namun setelah tujuh bulan kalau terjadi apa-apa yang menyebabkan kelahiran prematur, bayi tersebut masih bisa diselamatkan. Untuk itu, dalam acara nujuh-bulanan ini mengandung unsur doa mohon keselamatan dalam melahirkan. Sebelum acara makan-makan, kami duduk melingkar di ruang pertemuan dan saling berpegangan tangan. Kemudian Bu Rosi memimpin doa… sebuah doa sederhana, namun menyentuh. Salah satu bagian yang kusuka adalah: “Ya, Allah… tidak ada yang tahu apa rencana-Mu atas kami. Kami tidak bisa memilih dari rahim siapa kami akan lahir. Namun, kami yakin setiap langkah kami sudah dipersiapkan dengan begitu indah oleh-Mu, meskipun bagi kami hal itu terkadang tidaklah indah. Kami hanya bisa menulis segala rencana hidup kami dengan menggunakan pensil, namun penghapusnya kami berikan kepada-Mu. Engkau bisa menghapus semua jika Engkau mau….” Benar, Stu… I write my plans in pencil but I give God the eraser. Aaahhh…. Devo tadi membawa banyak kue untuk penghuni Yayasan. Kue yang paling cepat habis adalah tiramisu. Siapa juga yang nggak doyan tiramisu…. Aku bisa melihat Billy begitu bahagia dengan bayi yang masih ada di rahimnya dan kehadiran seorang kekasih di sisinya. Devo sesekali memegang perut Billy, mungkin dia sedang merasakan tendangan mungil anaknya. Lalu telinganya ditempelkan di perut Billy dan mereka berdua tertawa cekikikan. Sementara mereka berdua tertawa, aku melihat Petra mengeluarkan air mata. Sebenarnya aku paling nggak bisa melihat orang lain menangis. Aku mendekati Petra yang duduk
86
seorang diri di pojok ruangan dan merangkul bahunya perlahan. Dengan agak kaget dia berusaha menghapus air matanya. Aku tersenyum kepadanya. Katanya, dia sudah lama nggak menonton televisi untuk menghindari melihat hal-hal indah seputar cinta sepasang kekasih. Dan kini dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Billy dan Devo saling berkasih-kasihan. Benar-benar miris mendengarnya. Aku hanya bisa bilang kalau semua orang mempunyai kesulitannya sendiri-sendiri dan kegembiraan untuk masing-masing orang akan datang dengan cara yang berbeda-beda. Kurang-lebih aku tahu bagaimana kesedihan Petra. Mungkin dia sudah bersusah payah menyelesaikan sekolahnya dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang baik dan setelah bekerja dia tentu memimpikan membangun sebuah keluarga. Namun, seseorang telah mengambil mimpinya. Bu Rosi memberitahu kepadaku, biasanya kebanyakan dari para bunda di sini mengalami sindrom pasca-nujuh-bulanan. Kata dia, setiap kali syukuran nujuh-bulanan selesai digelar, biasanya ruang konsultasi psikolog selalu penuh. Aku sendiri malah belum pernah berkenalan dengan psikolog Yayasan yang biasanya selalu datang pada sore atau malam hari. Bu Rosi bilang, para bunda yang tinggal di sini datang dengan cerita yang memilukan dan entah mengapa memori-memori yang harusnya bisa dikubur, muncul lagi setelah ada upacara nujuh-bulanan seperti tadi. Ya… ya… mungkin hormon yang menyebabkan demikian (kasihan, ya, hormon… selalu jadi kambing hitam) Stu, engkau beruntung, Nak, mempunyai Ayah yang begitu mencintaimu. Aku juga beruntung memiliki Ndharu yang sekarang sudah lebih dewasa… meskipun dulu aku nyaris kehilangan dia. Ngomong-ngomong, engkau sekarang sudah enam bulan, lho… bulan depan kita bikin acara syukuran seperti mereka yang digabungkan dengan acara pernikahan kita. Hiks… hiks… mengerikan rasanya kalau aku menyebut-nyebut kata pernikahan. @@@ Pagi tadi aku sengaja memotokopi surat dari Suster Gabriella yang dulu pernah menyelamatkanku dari rencana aborsi. Aku membagi-bagikan surat itu kepada para Bunda. Materi diskusi kami hari ini adalah soal aborsi. Aku menyuruh Marisa membacakan surat berupa buku harian singkat itu dengan suara keras. Cara Marisa membacakannya sungguh menyentuh hingga dia sendiri sempat
87
mengeluarkan air mata. Dalam waktu singkat, Billy, Petra, dan Pipit juga ikut menangis. Hanya Sandi yang nggak ikut menangis. Setelah emosi sedikit berkurang, aku membuka diskusi dengan menceritakan pengalamanku. Setiap kali mengenang kebodohanku yang pernah berencana melakukan aborsi, aku selalu menangis… dan begitu pula tadi… sebentar-bentar aku menangis. Para Bunda merasa tersentuh mendengar ceritaku tentang Suster Gabriella yang misterius. Ketika ceritaku selesai, Sandi tiba-tiba berdiri dan berkata, “May I go? I don’t want to attend this class today.” Dia nggak mau ikut diskusi. Aku mempersilakan dia pergi. Hatiku bertanya-tanya apakah topik yang aku ambil begitu menyinggung perasaannya? Namun, aku ditenangkan oleh Pipit (ya, dia menenangkanku dengan menggunakan bahasa Indonesia… he-he-he). Pipit bilang, Sandi orangnya memang sensitif dan semua orang di Yayasan ini sangat memakluminya. Billy menambahkan, sewaktu Sandi datang pertama kali ke Yayasan, dia benar-benar sangat kacau dan hampir seperti orang gila. Kondisinya sekarang sudah sangat jauuuh lebih baik dan lebih mau terbuka dan berkomunikasi dengan orang lain. Kalau pun suatu ketika dia menarik diri, mungkin dia merasa ketakutan kalau-kalau traumanya akan kembali lagi. Aku benar-benar kagum dengan para Bunda yang ada di depanku. Satu sama lain benar-benar saling menjaga dan saling menguatkan. Aku belum pernah mendengar ada bunda yang menggosipkan atau membicarakan bunda yang lain. Billy kemudian mencairkan suasana dengan mengungkapkan pendapatnya. Dia bilang kalau aborsi memang nggak pernah terlintas di benaknya, meskipun dia sendiri benar-benar merasa kaget ketika mengetahui kalau dirinya hamil. Dia mengatakan, dirinya dan Devo melakukannya tanpa paksaan. Dan meskipun berat, semua harus ditanggung. Dia akan menjadi guru les bahasa paruh waktu dan mungkin meneruskan pekerjaan dia sebelumnya sebagai dubber untuk membiayai anaknya nanti. Sementara yang dilakukan Devo adalah menyisihkan uang jajan dari orang tuanya yang jumlahnya memang besar. Kami jadi tertawa mendengarnya. Sementara Marisa, Petra, dan Pipit mengaku pernah merencanakan aborsi. Marisa pernah berusaha minum coca-cola dicampur aspirin untuk menggugurkan kandungannya, namun nggak berhasil. Dia benar-benar nggak habis pikir, bagaimana dia harus menyebut bayi yang ada di dalam kandungannya, “Should I call it my child or my brother?” Dalam pemikirannya yang sederhana, mungkin dia merasa bingung. Bayi itu berasal dari benih Ayahnya, oleh karena
88
itu dia harus memanggilnya adik… tapi bayi itu berasal dari kandungannya sendiri dan itu artinya dia harus memanggilnya anak. Marisa berjanji nggak pernah akan pulang lagi ke rumahnya dan berharap Bu Rosi mau membantu mencarikan pekerjaan untuknya. Aku terkejut ketika mendengar Marisa bahwa dia sudah bisa menerima keadaannya sekarang. Gila, ya? Dia hebat sekali bisa berdamai dengan rasa sakit hatinya. Nggak hanya usaha aborsi, Petra pun pernah mencoba menyayat pergelangan tangannya. Aku memang melihat ada bekas jahitan di tangan kirinya yang sudah mulai memudar, tapi nggak pernah terpikir olehku kalau itu adalah jejak bunuh diri. Dia belum tahu apa yang akan dilakukan terhadap bayinya kelak, masih ada empat bulan lagi waktu untuk berpikir. Pipit juga masih bingung soal nasib bayinya nanti. Yang menjadi perhatian utamanya saat ini adalah bagaimana bisa tampil sebagai wanita pemberani yang bisa melabrak mantan pacarnya itu dan membangun rasa tega hati untuk hadir di tengah keluarga mantan pacarnya. Kata dia, rasanya ingin sekali ketika bayinya lahir nanti, dia langsung menyerahkan bayi itu kepada mantan pacarnya. Kalau lakilaki itu menolak, Pipit ingin melakukan tes DNA. Stu, semakin lama aku bergaul dengan para bunda itu… aku semakin bisa belajar tentang hidup tapi sekaligus aku merasa ngeri…. Kadang-kadang aku merasa ingin menutup kedua telingaku ketika mendengarkan mereka bercerita, terlebih ketika cerita itu benar-benar ‘menyeramkan’. Ketika aku menceritakan semua itu kepada Ndharu, dia hanya berkomentar singkat, “Kok, bisa, ya, ada pria yang begitu kejam sama wanita?” Terang saja aku jadi naik darah mendengar komentar itu. Jelaslah! Dia, kan, pernah berniat meninggalkan aku. Sekarang aku masih marah kepadanya. Meskipun dia merayuku setengah mati… aku memilih tidur di kamarku sendiri… di sini! @@@ Pagi tadi aku sudah mendapatkan telur dadar, sosis rebus, susu, dan setangkai bunga soka di dalam gelas (kurang ajar berani-beraninya dia memetik bunga yang sudah kutanam susah-susah) yang kesemuanya tertata di atas meja makan. Ndharu sudah pergi ke kantor, namun meninggalkan rayuannya berupa sarapan. Aku memang lapar, sih… tapi, enak saja, memangnya aku wanita murahan mau dirayu dengan sarapan… voucher belanja, kek. Di samping susu ada sebuah
89
kartu kecil (itu, kan, pembatas bukuku!) bertuliskan: “Maaf, ya, kemarin. Silakan menikmati sarapannya. Kalau nggak mau dimakan… tolong berikan kepada Narwastu saja.” Hmmm… ya, sudah… aku berikan sarapan tadi kepadamu, Stu. Enak, nggak? Di Yayasan, aku tadi mengikuti kelas untuk pertama kalinya, habisnya hari ini belum ada pekerjaan lagi. Para bunda duduk di depan sebuah meja yang di atasnya terdapat sebuah boneka bayi. Seorang bidan, yang aku lupa siapa namanya (jelas saja aku lupa, karena dia adalah tenaga lepas yang kebetulan baru pertama kali datang ke Yayasan), menjelaskan soal dampak persalinan bagi tubuh. Ya Tuhan… aku pikir setelah melahirkan penderitaan wanita sudah berakhir. Bidan itu menyebutkan perubahan tubuh apa saja yang dapat terjadi setelah melahirkan. Payudara membengkak yang terjadi akibat produksi air susu ibu alias ASI, nyeri perut karena rahim terus berkontraksi untuk kembali ke ukuran semula, sakit kepala akibat pengurangan volume sirkulasi darah, dan keluarnya sisa-sisa darah dan lendir dari vagina. Yang paling menjijikkan untukku adalah kemungkinan menetesnya air seni secara tibatiba karena proses pengembalian kandung kemih ke posisi semula seperti sebelum hamil dan… keringat berlebih… yaiks… aku, kan, membenci keringat. Katanya, sih, itu semua untuk mengeluarkan cairan berlebih yang terbentuk saat kehamilan. Aku pikir cukup engkau saja yang aku punya, Stu. Dan jangan sekali-kali engkau meminta adik!!! Mungkin kedengarannya aku adalah seorang ibu yang kejam, ya… tapi engkau pun harus tahu kalau aku juga mempunyai hak atas tubuh dan rahimku. Selama di dalam kelas, pikiranku melayang entah ke mana, namun baru kembali lagi ketika Sandi mengacungkan jarinya dan bertanya bagaimana caranya menghentikan produksi ASI. Aku jadi benar-benar terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaannya. Dugaan demi dugaan membayangi pikiranku, sampai-sampai aku nggak mendengar jawaban dari Bu Bidan seutuhnya. Mungkin Sandi memang nggak mau memberikan ASI kepada bayinya kelak karena dia ingin melanjutkan skripsinya. “… ASI bisa dengan sendirinya akan berhenti berproduksi. Semakin dia tidak digunakan, produksinya akan berkurang.” Hanya penjelasan itu yang sempat aku dengar dari Bu Bidan. Aku nggak tahu, mungkin semua Bunda di sini juga merasa nggak bersemangat untuk menyusui bayi yang sebenarnya… dengan terpaksa mereka terima. Eh, terkecuali
90
Billy… dia memang yang paling bersemangat terhadap kelahiran bayinya. Sebenarnya… (mungkin) jika satu orang terdekat dari para Bunda itu mendukung kehamilan mereka, tentu saja akan berdampak sangat positif. Dalam kasus Billy, dia begitu bersemangat menanti bayinya karena ada Devo yang mendukungnya, meskipun keluarga kedua belah pihak menolaknya. Satu cinta bisa mengubah segalanya. Ah… aku hanya bisa bicara omong kosong saja. Mungkin keadaan yang sebenarnya memang nggak bisa disederhanakan seperti itu. Aku menghampiri Sandi di ruang baca. Biasanya setelah acara wajib -seperti senam, makan, konsultasi, dan berbagai kelas- , para Bunda dibebaskan untuk melakukan hobi mereka, seperti membaca, memasak, merajut, atau apalah karena Yayasan sebisa mungkin memberikan fasilitas bagi mereka. Sandi duduk di sebuah kursi malas di pojok ruangan. Dia tersenyum ketika melihatku masuk ruangan. Setelah mengambil sebuah novel, aku duduk tak jauh dari dia. Sebenarnya aku ingin sekali mengajaknya berbicara dan meminta maaf atas topik diskusi kemarin yang mungkin membuatnya nggak nyaman. Tapi aku takut akan mengganggu privasinya atau malah membuat dia merasa nggak aman. Biar dia saja yang memulai pembicaraan. Namun, setelah lama ditunggu, dia juga nggak bicara-bicara. Sampai akhirnya dia pergi meninggalkan ruang baca sembari mengurut-ngurut panggulnya yang lebar. Ndharu meneleponku. Dia mengaku bingung karena merasa serba salah menghadapiku (lagi-lagi hormon menjadi alasan jituku mengapa aku begitu sensitive kemarin) dan dia bermaksud meminta maaf. Sebenarnya pikiranku sedang nggak fokus saat itu karena aku menemukan banyak pertanyaan hari ini. Semoga aku nggak dalam keadaan khilaf mau memaafkannya he-he-he…. @@@ Tadi dalam diskusi di gazebo aku dikagetkan dengan erangan Sandi yang tiba-tiba. Dia berusaha menahan sakit di perutnya. Para Bunda dan aku begitu panik. Aku pikir Sandi memang sudah waktunya melahirkan. Pipit menyuruh Sandi membaringkan tubuhnya dan Petra memanggil seorang bidan jaga di Rumah Utama. Bidan Emi (ah, akhirnya aku hapal juga namanya…) datang sambil tergopohgopoh. Kami semua keluar dari gazebo untuk memberikan Sandi dan Bidan sedikit ruang. Namun, mata kami terus mengamati mereka berdua. Sandi menjelaskan kalau dia mengalami kontraksi. Bidan kemudian menanyakan apakah jarak kontraksi
91
yang dirasakan teratur. Sandi menggeleng. Badan Sandi kemudian dimiringkan ke arah kiri dan setelah itu dia mengaku kalau sakitnya sedikit menghilang. Bidan Emi kemudian membantu Sandi bangun dari tidurnya dan menyuruhnya untuk berjalan-jalan sebentar. Kami semua mengekor, ikut berjalan di belakang Sandi dan Bidan Emi. Sandi mengatakan kalau dirinya lebih nyaman. “Wah, itu kontraksi palsu namanya,” kata Bidan Emi. Entah mengapa para Bunda, kecuali Sandi, dan aku menarik nafas lega sambil mengelus perut buncit kami masing-masing. Dan engkau tahu, Stu, kami melakukannya bersamaan secara spontan. Sandi yang melihat kami langsung tertawa terbahak-bahak. Senangnya bisa melihat tawa Sandi…. @@@ Ndharu memaksa ikut ke acara reuniku dengan temanteman masa kecilku. Mana asyiknya, sih, kalau di acara ladies day out ada satu pria nyempil. Alasan dia, kasihan melihatku membawa-bawa perut besar naik bus. Aku sempat beradu mulut dengan dia dan akhirnya Ayahmu mengalah. Namun, dia mengajukan berbagai persyaratan yang harus kupatuhi. Ternyata… aku memang butuh Ndharu untuk mencari alamat. Uuuhh… sebel banget… aku terpaksa naik ojek dan sengaja diputar-diputar supaya bayar ojeknya jadi mahal. Tapi waktu pulang tadi, aku nggak cerita soal ini semua. Habisnya nanti dia bakal bilang, “Tuh, kan, kamu dibilangin ngeyel, sih.” Rumah Nera ternyata keren banget. Bentuknya minimalis dengan jendela yang besar. Langit-langit rumahnya pun tinggi sehingga sirkulasi udara sangat lancar. Taman depannya begaya tropis dengan tanaman palem air yang rimbun di dalam kolam gentong. Wah… Nera memang pintar mencari suami he-he-he. Dan seperti yang sudah kuduga sebelumya, Sarah, Mediana, Loli, dan Nera sontak berteriak ketika melihatku (baca: perutku) muncul di pintu depan rumah. Gemparlah seluruh ibu-ibu itu. Mereka mulai menuduhku sebagai pengkhianat karena nggak mengundang mereka dalam upacara pernikahanku. Aku hanya tertawa saja. Mereka baru berhenti ‘menuduhku’ ketika aku menceritakan semua. Engkau harus melihat ekspresi wajah mereka, Stu, apalagi saat aku mengatakan kepada mereka kalau aku belum menikah. Mereka sepertinya mengasihaniku, seolah di dalam pikiran mereka aku ditinggal pergi oleh pria yang telah menghamiliku. Baru setelah aku beri tahu kalau sekarang aku
92
tinggal serumah dengan Ayah dari anak yang ada di kandunganku, mereka segera menyorakiku. Wah… kalau sudah ngumpul-ngumpul begini, berasa masih lajang saja. Eh, aku, kan, secara de jure masih lajang. Dulu, mereka berempat adalah teman bermainku dari TK hingga SMA. Tempat tinggal kami di Bandung pun masih dalam satu kompleks, maklum Ayah-Ayah kami bekerja di perusahaan yang sama. Baru setelah tamat SMA, beberapa karyawan di perusahaan tempat mereka bekerja terpaksa harus dimutasi ke kantor pusat di Jakarta, termasuk Ayah Sarah, Mediana, Loli, dan Nera. Sejak itu, kami jadi jarang berkomunikasi dan bertemu. Sekarang… semua begitu berubah. Masing-masing punya kehidupan sendiri yang nggak pernah kami sangka sebelumnya. Nera sudah punya Delila kecil dan Mediana dengan Milo-nya yang tampan. Loli juga tengah mengandung tiga bulan, sementara Sarah berjuang mati-matian untuk bisa hamil. Di antara kami, yang paling drastis berubah adalah Nera. Dulu dia itu terkenal dengan sifat kutu bukunya. Sampai-sampai kami bengong ketika dia memutuskan untuk mengambil jurusan kimia waktu kuliah S1 dan S2-nya. Tapi sekarang, dia bisa tampil sangat gaya. Mediana masih tampil sebagai ibunya anak-anak, tempat kami curhat dulu. Sementara Sarah dan Loli masih menjadi yang paling cantik dan paling gaya. Keduanya selalu menjadi incaran para pria dan mereka tak pernah setahun pun hidup menjomblo. Sementara aku? Di kelompok itu, aku dinobatkan sebagai orang paling nyeleneh alias aneh. Di pinggir kolam renang (aduh, mak, kapan aku bisa punya kolam renang sendiri, ya?), kami makan-makan sambil ngerumpi dengan topik favorit seputar kehamilan dan perkawinan. Loli mengaku ketakutan dengan kelangsungan perkawinannya dengan Dado, suaminya, setelah mempunyai anak nanti. “Gue baru sadar belakangan ini kalau tujuan pernikahan gue ama Dado itu hanya sekedar untuk mempunyai anak. Dado itu laki-laki yang sangat dominan dan memuja perannya sebagai penguasa wanita. Waktu pertama kali gue hamil, dia bener-bener seneng dan langsung menganggap anak gue nanti adalah laki-laki. Nah, kalau ternyata yang lahir adalah perempuan gimana?” curhatnya, “Sempet, sih, ada bayangan kalau gue mencari laki-laki lain aja. Buat gue gampang benget, deh, mencari laki-laki baru.” Bukannya membuat orang menjadi lebih tenang, Nera malah semakin menakut-nakuti dengan memberikan teori-teori ilmiah yang pernah dibacanya. Menurut bukunya itu, Loli saat ini membutuhkan hormon oksitosin yang membuat perasaan
93
suatu pasangan mempunyai keterhubungan yang nyaman. Sewaktu berpacaran dan baru menikah biasanya yang bereaksi adalah hormon dopamine yang membuat pasangan saling tergila-gila satu sama lain alias berahi. “Berahi pada waktunya akan hilang. Dan biasanya, sih, krisisnya pada usia empat sampai lima tahun dalam perkawinan. Kalau dilihat dari sisi biologi, usia empat tahun itu merupakan waktu yang dibutuhkan untuk membesarkan anak dari bayi. Perhatian orang tua pasti tercurah untuk anak itu. Setelah anak berusia empat tahun dan bisa diasuh oleh orang lain, berarti itu waktunya bagi orang tua untuk mencari pasangan baru untuk mempunyai anak lagi. Makanya, kalian sering denger omongan orang, kan, yang bilang kalau nikmatnya perkawinan itu biasanya cuma bertahan selama lima tahun pertama? Jadi, lebih baik sekarang coba tingkatin hormon oksitosin elo, Li, misalnya dengan berpelukan, main pijit-pijitan, atau make love,” Nera menjelaskan panjang lebar. Kami semua saling bertatapan dengan pandangan ngeri dan terdiam beberapa saat. Mediana kemudian berusaha menengahi dan mencoba menenangkan situasi dengan mengatakan semua itu, kan, hanya teori saja, selanjutnya tergantung oleh indivisu masing-masing. Dan aku sendiri ketika itu hendak berteriak, “Hallo… gue belum merit dan dalam krisis ketakutan untuk menikah… jadi jangan buat gue semakin takut, dong.” Nggak hanya aku saja yang takut, Loli pun terlihat gelisah. Dasar Nera sinting!!! Memang benar, ya, perkawinan itu indahnya hanya lima tahun? Hua… hiks… hiks… aku harus menceritakan ini kepada Ndharu. Nera masih melanjutkan ceritanya tentang teori tadi. Ketika Nera mengalami kesulitan dalam melahirkan Delila, dokter malah menganjurkan dia dan suaminya untuk bercinta dengan alasan untuk meningkatkan hormon oksitosin yang dapat memperlancar persalinan. “Nggak seperti di Indonesia yang sebentar-sebentar dokter menganjurkan operasi sesar. Waktu itu Milo diprediksi akan dilahirkan normal dan dokter tetap berupaya untuk kelahiran normal, cuma mungkin aku gugup dan merasa nggak nyaman saja. Alhasil, gue dan Taro bugil di sebuah kamar rawat inap yang kebetulan kosong dan kami bercinta dengan posisi sendok. Percaya nggak percaya… setelah itu gue ngerasa nyaman dan akhirnya gue bisa ngelahirin Delila.” Wah… sepertinya di buku ajaibku itu nggak ada cerita soal bercinta yang ternyata bisa melancarkan persalinan, deh. Apa mungkin, ya, itu hanya berlaku di Amerika saja.
94
Delila memang dilahirkan di sana, waktu Nera dan suaminya sama-sama mendapat beasiswa di negeri Paman Sam itu. Lagi-lagi semua pandangan menunjukkan rasa ngeri… antara percaya dan nggak percaya terhadap cerita Nera. Hmmm… ngomong-ngomong soal bercinta, aku sudah lamaaa sekali nggak bercinta…. Aduh, jadi horny, nih… apalagi kalau mengingat pembicaraan tentang seks di masa hamil yang dikuliahi oleh Mediana dan Nera. Aku sebenarnya merasa kasihan mendengar cerita Loli yang punya suami dominan seperti Dado dan ingin menasihatinya dengan ide-ide gila supaya suaminya bisa sesekali tunduk kepada Loli. Tapi, kelihatannya Loli sendiri, kok, merasa nggak keberatan dengan perlakuan suaminya itu, ya? Aku curiga jangan-jangan dia dan Dado adalah pasangan sado-masokhis yang baru merasakan kenikmatan kala menyiksa dan disiksa… ha-ha-ha. Selama dia belum keberatan dan meminta pertolongan sebaiknya aku nggak boleh ikut campur, kali ya? Tapi untung saja nggak ada kekerasan fisik. Kalau ada, tanpa diminta pasti aku sudah menghajar si Dado itu. O ya… si Sarah juga bercerita tentang dosa kecil (dia sendiri, lho, yang menamainya demikian) yang pernah dilakukannya. Dia memamerkan status barunya, yaitu MBA alias married but available. Loli menanggapinya dengan sangat antusias seolah dia ingin mengikuti jejak Sarah. Aduh… memang, sih, laki-laki mana yang nggak tergiur dengan tubuh indah dan wajah beningnya Sarah, tapi aku merasa kalau dia sudah keterlaluan. Sarah mengatakan kalau dia merasa kesal terhadap suaminya yang anak mami. Dia lalu mencari sosok laki-laki yang menurutnya bisa dijadikan sosok pengayom. Akhirnya, dia sempat berpacaran dengan seorang pemilik tempat bowling yang juga sudah menikah. Aiiih… inginnya, sih, aku menjerit “Stay away from my lover”, tapi nggak bisa. Aku merasa takut jangan-jangan Ndharu juga dimangsa oleh Sarah. Meskipun dia bercerita tentang dosanya itu panjang-lebar, aku nggak bisa benar-benar berkonsentrasi mendengarkannya. Adanya perselingkuhan adalah ketakutan terbesarku dalam perkawinan. Aku bisa berkata seperti itu karena dulu orang tuaku juga pernah mengalaminya. Papaku pernah selingkuh beberapa kali dan ketahuan oleh kami, anakanaknya dan Mama. Dan itu benar-benar sangat menyakitkan. Menurutku waktu itu Mamaku adalah wanita paling tolol yang mau menerima Papa kembali. Namun, sekarang aku berpikir kalau Mama adalah wanita yang berhati besar mau menerima dia kembali. Memang, sih, setelah Papa meninggalkan para
95
selingkuhannya dia berubah dan menjadi lebih baik. Tapi… tetap saja dia adalah pengkhianat. Setelah aku mendengar penuturan Mama pascaperselingkuhan itu, aku baru mengerti kalau semuanya hanya sekedar permainan balas dendam yang cantik. Dulu Mama pernah melakukan kesalahan besar yang membuat Papa marah. Mama pernah terjebak dalam utang sekian belas juta plus bunganya yang digunakan untuk ikut program perawatan tubuh: menghilangkan lemak, selulit, dan mengencangkan payudara. Mama memang pernah terjebak pada fase kecentilan seperti itu dan aku nggak tahu kalau uang yang dipakai adalah uang Papa tanpa sepengetahuannya. Dan Papa nggak pernah marahmarah di depan anak-anak tentang ini semua. Kata Mama, Papa sudah memaafkannya. Ya ampun… masa hanya karena alasan itu Mama memaafkan perselingkuhan Papa? Uang dibalas pengkhianatan! Kadang aku pikir Mama nggak punya otak, deh. Tapi sudahlah… kalau Mama nggak memaafkan Papa aku nggak tahu apakah aku akan seperti sekarang ini… atau jangan-jangan justru aku mempunyai masa depan yang lebih baik dengan papa yang lain. Aku sudah nggak mau lagi mengurusi persoalan orang tuaku. Ternyata, Mediana (seperti biasa) cepat tanggap akan kebisuanku terhadap cerita Sarah. Dulu waktu Papaku selingkuh hanya dia yang kuajak curhat. Jadi, mungkin dia tahu mengapa aku diam saja dari tadi. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan sembari mengelus-elus punggungku. O ya… aku sempat mengajukan pertanyaan: mengapa orang (harus) menikah? Mereka bingung dengan pertanyaanku karena ternyata mereka nggak pernah memikirkan hal itu (gila yang benar saja!). Aku akhirnya menjelaskan tentang kegelisahanku. Dan jawabannya seragam: kalau soal itu jangan dipikirkan, dijalankan saja. Aduh, kayaknya, kok, nggak mutu banget, ya…. Bahkan, Nera yang aku anggap otaknya paling cemerlang dan paling memuja logika menjawab kalau dia menikah karena alasan hormon! Rupanya dan lagilagi hormon yang menjadi pengendali kehidupan manusia. Apa memang benar, ya, kalau semua itu hanya sekedar tahapan hidup manusia tanpa mempunyai makna. Hanya sekedar pengesahan hubungan seks dan mempunyai anak, sehingga nggak dicap sebagai perawan tua dan nggak sendirian di masa tua. Apa mungkin aku yang terlalu berlebihan memikirkan hal itu. Tapi… rasa-rasanya nggak mungkin hanya berdasarkan alasan let it flows saja. Stu, menjadi dewasa itu rumit banget. O ya, tadi sebelum pulang dari rumah Nera, aku sempat melihat Delila yang digendong oleh Taro (mereka berdua kedengarannya merupakan kombinasi yang lezat, ya, Stu… he-he-he). Mereka
96
baru pulang dari berjalan-jalan agar nggak mengganggu acara Nera. Delila benar-benar anak yang lucu, chubby, manis, dan menggemaskan. Wajahnya Jepang sekali seperti Ayahnya, tapi rambutnya keriting sekali seperti Nera yang Ambon manise. Yah… aku baru sekali ini melihat orang Jepang yang berambut keriting alami. Sebentar lagi Delila mau dimasukkan ke playgroup. Hmmm… aku sungguh-sungguh nggak sabar ingin melihat rupamu seperti apa, Stu. Eh, itu Ayahmu baru saja datang. Dia baru membeli makan malam untuk kita, Stu. Aku pergi dulu, ya… untuk makan dan mungkin… mencoba bercinta ha-ha-ha. Bye now. @@@ Nggak terasa sudah satu minggu lebih aku nggak menulis untukmu. Maaf, ya…. Aku dan Ayahmu hampir setiap malam dalam minggu ini sibuk bercinta (mungkin aku harus memberikan catatan ini saat engkau benar-benar dewasa, Stu… he-he-he). Dan benar kata Mediana dan Nera, ternyata bercinta di saat hamil mempunyai sensasi yang berbeda. Semua bagian tubuhku sepertinya sangat sensitif. Dan entah mengapa, aku lebih merasa seksi dibandingkan sebelum aku hamil. Kulitku terasa lebih lembut dan rambut panjangku semakin lebat. Atau itu hanya perasaanku saja, ya? Yang jelas… baik aku maupun Ndharu sangat menikmati kehamilanku di minggu-minggu ini. Aku lebih ingin berdandan sepanjang hari dan memanjakan tubuhku. Untung saja Ndharu bersedia dengan senang hati memijatku dengan lulur. Tadi April mengirimi aku artikel via e-mail tentang melahirkan di dalam air. Dan dia menyuruhku untuk melakukannya. Kata artikel itu, melahirkan di dalam air membuat si ibu merasa lebih nyaman, rileks, dan rasa sakit jadi berkurang. Hmmm… OK juga, sih, tapi aku nggak tega kalau nanti si anak jadi kelelep air gimana? Belum lagi membayangkan darah yang akan mengubah warna air menjadi merah dan aku berasa mandi di lautan darah. Tapi memangnya di Indonesia ada hal seperti itu? Sebenarnya itu akan menjadi pengalaman menarik, sih…. Ngomong-ngomong soal melahirkan, Ndharu masih berusaha mencari uang tambahan kalau-kalau aku terpaksa melahirkan secara sesar. Belum lagi biaya perkawinan. Ya ampun, banyak sekali uang yang harus dikumpulkan. Mungkin aku harus mulai mencari uang tambahan juga, ya. Pekerjaan apa yang bisa kulakukan tanpa harus memerlukan tenaga atau fisik yang berlebihan, ya? Nanti aku pikirkan.
97
Stu, aku khawatir, deh. Kok, engkau belum juga menendang-nendangku, sih, padahal ini sudah bulan keenam, lho. Engkau sehat-sehat saja, kan? Semoga, ya…. Coba besok aku akan menanyakan hal ini kepada bidan di Yayasan. @@@ Tadi pagi Sandi melahirkan di klinik Yayasan!!!!! Perasaan gembira sekaligus sedih memenuhi hati semua orang yang ada di Yayasan. Seperti biasa, begitu aku datang Bu Rosi menyuruhku menggantikan tugasnya untuk membuatkan laporan tahunan bagi pihak donor Yayasan karena dia hendak diwawancara oleh sebuah media. Dari Rumah Utama aku mendengar Pipit memanggil-manggil Bidan untuk menolong Sandi karena air ketubannya sudah pecah. Aku langsung tergopoh-gopoh keluar dan ikut memapah Sandi menuju klinik Yayasan bersama-sama Petra dan Marisa. Aku benar-benar nggak tega melihat wajah Sandi yang tengah mengerang kesakitan. Akhirnya dia dibaringkan di tempat tidur khusus di klinik oleh perawat jaga, sementara aku diminta Sandi menghubungi kedua orang tuanya di Palembang. Orang tuanya akan datang pada malam hari karena penerbangan Palembang-Jakarta baru ada lagi sekitar sore hari. Mereka kemudian menitipkan doa untuk putrinya. Sebentar-bentar Sandi menjerit kesakitan dan memegang perutnya yang sudah mulas. Keringat mulai mengucur dari seluruh wajah dan tubuhnya. Aku sampai merinding seolah ikut merasakan sakitnya persalinan itu. Tak lama, Bu Rosi dan Bidan sampai di klinik dan menyuruh kami semua keluar. Aku dan para Bunda hanya bisa mengintip dari jendela kecil di pintu klinik. Kami melihat persalinan Sandi secara bergantian dan membayangkan kelak akan tiba waktunya untuk merasakan hal yang sama seperti Sandi. Bu Bidan, Bu Rosi, dan seorang perawat jaga mensterilkan tangan mereka lalu Bu Rosi dan Perawat tadi berusaha membimbing Sandi untuk mengejan dan mengambil nafas. Kami yang menonton secara bergantian benar-benar ikut merasakan ketegangan itu. Pipit malah sampai ikut berteriak-teriak segala. Sekitar 20 menit kemudian, suara bayi menangis terdengar. Bu Rosi menggendong anak Sandi dan membawanya ke ruang sebelah klinik lewat pintu tembus klinik. Beberapa bunda pergi ke ruang sebelah untuk melihat wajah si bayi mungil. Namun, mereka kembali lagi karena ternyata ruangan dan pintunya sama sekali nggak berjendela. Aku melihat Bu
98
Bidan sedang memberikan suntikan dan jahitan di selangkangan Sandi. Bu Rosi kemudian keluar memanggilku. Aku disuruh menelepon Suster Fransiska di Yayasan Welas Asih. “Nomornya ada di meja saya dan tolong bilang ke Suster kalau bayinya sudah lahir. Tolong dijemput.” Waktu itu aku benar-benar nggak tahu apa maksudnya dan ketika aku bertanya kepada Bu Rosi apa maksudnya, dia hanya menjawab, “Suster Fransiska sudah tahu maksudnya.” Ya sudah, aku nggak berani bertanya lebih lanjut karena suasana masih tegang. Aku berbicara dengan Suster Fransiska sama persis seperti yang dipesankan Bu Rosi. Suster itu hanya menjawab, “Baiklah, kami akan segera menjemputnya. Kira-kira lima belas menit lagi kami akan tiba di sana.” Ingin rasanya aku berteriak, “Halo… ada yang mau menjelaskan kepadaku apa yang terjadi sebenarnya?” Aku lalu kembali ke ruang sebelah klinik. Para bunda masih duduk di depan klinik sambil ngerumpi. Kuketuk pintu ruangan itu lalu kubuka perlahan. Aku melihat perawat itu tengah menggendong bayi Sandi dan memberikannya susu yang berwarna kekuningan dari botol. Bu Rosi lalu menyuruhku masuk sebentar. Tampaknya wanita itu ingin berbicara sesuatu kepadaku, namun mata dan pikiranku nggak bisa menanggapinya. Aku lebih serius memandangi bayi yang dibungkus selimut tebal yang sedang digendong oleh perawat itu. Wajahnya masih kemerahan, rambutnya tebal, matanya masih terpejam, hidung dan mulutnya yang mungil serasa tenggelam di antara botol susu dan pipinya yang tembem. Aku langsung mengelus perutku dan berpikir apakah wajah Narwastuku kelak akan semungil itu? Baru sebentar aku mengagumi manusia baru ini, Bu Rosi menarik lenganku dan berbisik kepadaku. Aku kemudian mengikuti dia menuju kantornya. Para Bunda masih duduk di depan klinik, namun Bu Rosi menyuruh mereka untuk kembali melakukan aktivitas seperti sedia kala. Aku duduk di depan meja Bu Rosi. Dan (akhirnya) dia menjelaskan kepadaku tentang semua hal yang aku ingin tahu, namun dengan syarat aku nggak boleh membuka mulut sedikit pun mengenai apa yang dibicarakan di kantor Bu Rosi. Ternyata, Sandi menghendaki bayinya untuk diadopsi. Dia nggak ingin memiliki apalagi merawat bayinya. Maka dari itu, dia nggak diizinkan untuk melihat wajah bayinya. Bayi itu nantinya akan diserahkan kepada Yayasan Welas Asih. Kata Suster Fransiska, sudah ada pasangan yang akan mengadopsi bayi itu.
99
Pintu kantor diketuk. Seorang biarawati dan dua orang wanita masuk ke ruangan dan mengatakan kalau mereka dari Yayasan Welas Asih. Bu Rosi mengajak mereka menuju ruang tempat si bayi berada dan aku mengekor di belakang mereka. Para Bunda sudah nggak lagi duduk-duduk di depan klinik. Entah ke mana mereka sekarang. Aku hanya berdiri di depan klinik mengintip Sandi yang masih tidur, sementara rombongan ibu-ibu tadi masuk ke dalam ruangan si bayi. Tak lama kemudian, mereka keluar dan salah seorang wanita menggendong bayi itu. Aku memandangnya dengan perasaan yang bercampur aduk nggak jelas. Bu Rosi menghampiriku dan mengatakan supaya aku mendampingi Sandi. “Kalau Sandi terbangun dari tidurnya, setidaknya dia menemukan seorang teman yang mendukung keputusannya. Jangan menghakimi atau menyinggung-nyinggung soal bayinya.” Begitu Bu Rosi berpesan. Dia lalu meminta izin karena harus ikut ke Yayasan Welas Asih untuk mengurus surat-surat adopsi dan riwayat kesehatan Sandi dan surat keterangan lahir si bayi. Bu Bidan lalu berpesan kepadaku apabila ada apa-apa yang terjadi terhadap Sandi, tolong hubungi dia melalui telepon karena dia harus kembali lagi ke tempat prakteknya. Baru sore nanti dia akan kembali untuk memeriksa kondisi Sandi. Aku masuk ke dalam klinik dan menarik sebuah kursi untuk kuletakkan di samping tempat tidur Sandi. Aku melihat wajahnya yang tidur dengan damai. Sambil membetulkan letak selimutnya, aku berusaha membayangkan kira-kira bagaimana perasaan Sandi yang telah membawa-bawa bayi itu di dalam kandungannya selama sembilan bulan dan setelah tiba pada waktunya melahirkan, dia nggak pernah melihat bayinya itu. Seakan tahu apa yang ada di pikiranku, dia secara tiba-tiba membuka matanya dan berujar, “Mungkin orang-orang berpikir aku adalah perempuan yang kejam. Membuang begitu saja anak yang pernah ada di dalam kandunganku.” Aku nggak bisa berkata-kata karena memang aku nggak tahu harus berkata apa karena takut menyinggung perasaannya. Yang bisa kulakukan adalah duduk di sampingnya dan mengusap tangannya. Entah dapat ide dari mana, aku kemudian merekam pembicaraan kami dengan menggunakan ponselku secara diam-diam. Ponselku itu kumasukkan ke dalam saku jaket yang kupakai dalam hati aku berdoa supaya suara Sandi bisa menembus jaket dan ternyata berhasil, meskipun volume ponselku harus benar-benar maksimal. Aku hanya ingin berbagi kisah ini dengan Ndharu dan engkau, Stu. Nggak ada yang lain. “Tapi orang-orang harus bisa juga memahami perasaanku yang sesungguhnya. Aku sudah merasa cukup lama berkompromi dengan mereka dan berpura-pura tabah menjalani ini semua,”
100
mulut Sandi bercerita, namun matanya tak berkedip menatap langit-langit. Sebenarnya aku masih bingung mau menanggapi apa. Tanganku semakin mempererat genggaman tangannya. Dan aku hanya bisa mengatakan kalau aku mengerti keputusan yang diambilnya. Sebab, jika aku berada di posisinya mungkin saja aku melakukan hal yang sama. Aku berpikir kehamilan yang nggak diinginkan yang bukan disebabkan oleh perkosaan saja sudah repot, apalagi ini karena perkosaan. Traumanya pasti bertubi-tubi. “Setelah pemerkosaan oleh tiga anjing-anjing itu,” Sandi berkata dengan mata berkaca-kaca, “Perasaanku hancur. Rasanya ingin mati saja. Aku benar-benar nggak punya keberanian untuk keluar rumah. Kuliah dan teman-teman sudah kutinggalkan. Padahal aku dengan susah payah hampir menjadi seorang sarjana. Skripsiku sudah sampai bab lima. Kengerian kisahku ada di semua koran Palembang. Semua orang sudah tahu kisahku. Wartawan-wartawan sialan kemudian juga menulis kalau aku hamil karena perampok itu dengan gaya bahasa hiperbola tanpa wawancara terlebih dahulu denganku.” Sandi menangis. Aku merasa kalau tangisan itu adalah tangisan untuk melepas rasa sakit secara perlahan. Lalu dia melanjutkan ceritanya, “Saat itu aku seperti orang gila yang terus menangis histeris. Orang tuaku memanggil pastor dan suster untuk mendoakan aku. Percuma saja, aku toh sudah tak peduli lagi dengan yang namanya Tuhan. Mungkin Tuhan juga yang membuatku begini. Yang ada dipikiranku cuma satu, mengaborsi bayi itu. Dan mereka melarangku. Katanya itu sama saja dengan melakukan pembunuhan. Aku tahu orang tuaku ada pada posisi yang serba salah. Mereka tak tahan melihatku menderita, namun di pihak lain mereka takut untuk melanggar perintah Tuhan. Entah mengapa mereka lebih memilih nggak melanggar 10 Perintah Allah dan membiarkan aku membuang waktu nggak berguna selama sembilan bulan.” Tangisannya menjadi lebih deras. Aku ingin sekali memeluknya, tapi posisinya susah karena dia tidur sementara aku duduk. “Dan yang lebih tolol adalah mengapa aku mau mematuhi kemauan mereka untuk mempertahankan bayi itu dan aku dibawa ke sini. Tapi setidaknya di sini aku bertemu dengan orangorang baru yang nggak tahu secara detil tentang kisahku. Aku kemudian bisa kembali pulih secara perlahan. Mbak, apakah Mbak tahu mengapa aku bisa berubah secara perlahan?” Sandi menoleh ke arahku dan aku benar-benar bisa melihat mata sendunya secara langsung. Aku menggeleng sambil mengusap air matanya.
101
“Aku akhirnya menganggap kehamilanku kemarin sebagai suatu tumor besar yang akan dioperasi. Aku nggak pernah berkomunikasi dengan janinku atau merasa senang ketika janin itu menendang-nendang perutku. Kalau orang lain menanyakan soal kehamilanku, sebenarnya ada topeng yang sedang kupasang kencang-kencang di mukaku, sehingga aku terlihat lebih ceria. Dan setiap kali aku sendiri lagi di kamar, topeng itu kubuka. Karena terlalu keras usahaku untuk membukanya, sampai-sampai wajahku terluka. Ada luka lagi dan aku pasti menangis lagi.” Dalam hati aku hanya membatin, mengapa dia nggak cerita sebelumnya karena aku yakin semua topik diskusi bahasa Inggris kami sering membuatnya terluka. “Sekarang aku sudah lega. Semua sudah berakhir. Tumorku sudah diangkat dan hidupku yang sudah cacat ini bisa berlanjut lagi. Entah apakah masih ada pria yang mau menjadi suamiku nanti. Tapi aku yakin kalau luka ini masih akan tetap membekas sampai aku mati.” “Maaf, ya, San. Tapi aku harus ngomong ini. Aku paling benci kalau ada perempuan yang masih merasa putus asa jika nggak ada pria yang mau mengawini. Enak aja, kita terlalu berharga untuk sekedar menangisi hal-hal nggak penting kayak gitu,” ketusku. Setelah mengucapkan itu, aku langsung menyesal mengapa aku begitu tolol terpancing emosi. Habisnya mau bagaimana lagi, Stu, aku memang benci sekali kalau perempuan jadi pengemis cinta. Aku curiga janganjangan Sandi banyak terpengaruh sinetron nggak bermutu. Tapi, aku sadar moment-nya memang nggak pas. Bodohnya aku! Sandi malah marah-marah kepadaku (ya iyalah, aku memang bodoh). Dia bilang, “Mbak bisa saja ngomong kayak gitu karena Mbak nggak ngerasain apa yang aku rasain.” Aku benar-benar panik, Stu. Bibirku rasanya sudah habis kugigiti sembari berpikir mencari kalimat penyelamat. “Sandi jangan salah tangkap…. Aku pikir, keadaan kamu yang sekarang ini justru bisa dijadikan patokan untuk mencari jodoh yang tepat untukmu. Kalau kamu bertemu dengan pria yang mempermasalahkan masa lalumu, berarti dia bukan pria yang tepat. Tapi kalau dia bisa menerima kamu apa adanya, ya, berarti he’s the right man.” “Oh… gitu, ya?” tanya Sandi. Uuuhhh… untung dia bisa menerima alasan itu. Sandi kembali memejamkan matanya. Aku baru pertama kali melihat wanita yang baru melahirkan mengalami kesedihan seperti ini. Wajah Sandi terlihat sangat letih. Dulu sewaktu aku membesuk Mediana setelah melahirkan Milo, dia terlihat sangat gembira meskipun tampak kelelahan. Tak hentinya dia memamerkan wajah lucu bayinya dan menceritakan
102
proses kelahirannya kepada setiap orang yang menjenguknya di rumah sakit. Kalau ada 20 orang yang menjenguknya, berarti dia menceritakan sebanyak 20 kali tentang kisah membahagiakan itu. Kelelahan bisa diubah seketika menjadi kegembiraan karena apa yang didapat Mediana adalah seorang malaikat kecil yang lucu. Tapi Sandi? Apakah mungkin kalau dia melihat wajah bayinya itu (aku nggak tahu apa jenis kelaminnya karena makhluk mungil yang tadi kulihat begitu rapat dibungkus selimut tebal) hati Sandi jadi luluh dan bisa menerima dia? Kalau bayi Sandi dijajarkan dengan puluhan bayi lainnya, aku benar-benar nggak bisa membedakan, lho, mana bayi Sandi dan mana bayi ibu X atau ibu Z. Buatku, mereka punya wajah yang sama. Wajah mungil, rapuh, tanpa dosa, dan menggemaskan. Aku juga nggak bisa membedakan mana bayi yang ayahnya seorang pemerkosa, perampok, tuna netra, koruptor, atau ayah baik-baik. Aku pikir bayi-bayi itu juga nggak tahu siapa dan bagaimana kelakuan orang tua mereka. Mereka baru tahu kalau ada orang lain yang memberitahu kepada mereka. Stu, ada ibu yang ingin sekali mempunyai anak, namun ada juga yang mengutuk ketika tahu kalau dirinya tengah mengandung. Ada ibu yang setelah mempunyai anak lalu menyianyiakannya, namun ada juga yang berusaha mati-matian punya anak, tapi tak kunjung diberi oleh Tuhan. Yang masih merupakan misteri untukku, bagaimana dengan si janin? Apakah ada janin yang sebenarnya nggak ingin dilahirkan, tapi terpaksa harus dilahirkan? Atau adakah janin yang begitu ingin dilahirkan tetapi tak kunjung diberi izin oleh Tuhan untuk lahir? Beri tahu kepadaku mengenai misteri itu, Stu. Seperti apa di awang-awang sana? Apakah para roh janin itu sengaja dibariskan oleh Tuhan dan ketika sampai di ujung antrian si roh itu dicemplungkan begitu saja oleh Tuhan ke dalam rahim wanita di seluruh dunia? Apakah Tuhan menggunakan sistem random atau pakai rumus tertentu untuk menentukan roh janin mana yang sesuai dengan kepribadian calon orang tuanya?
103
SEVENTH Month
Sandi sudah dibawa pulang oleh kedua orang tuanya ke Palembang. Tadi pagi Bu Rosi menerima telepon dari orang tua Sandi yang mengabarkan kalau perampok sekaligus pemerkosa anaknya sudah berhasil ditangkap, setelah selama ini buron. Kondisi Sandi dikabarkan semakin membaik dan dia sama sekali nggak pernah menyinggung soal bayinya. Ah, syukurlah kalau Sandi baik-baik saja. Ternyata nggak hanya aku yang merasakan kekosongan ini, empat bunda lainnya juga merasakannya. Billy menanyakan kepadaku mengapa Yayasan memisahkan Sandi dengan anaknya. Ternyata mereka takut kalau hal tersebut akan terjadi kepada mereka. Aku sudah telanjur berjanji untuk tutup mulut kepada Bu Rosi terhadap kasus Sandi. Namun, aku benar-benar nggak tega mendengarkan kegelisahan mereka. Terserah, deh, mau dicekik atau dibunuh oleh Bu Rosi, aku harus menceritakannya kepada mereka. Setelah mendengarkan ceritaku tentang adopsi, mereka bisa menerima keputusan yang diambil Sandi. Marisa, Petra, dan Pipit mengatakan kalau mereka kemungkinan besar juga akan membiarkan anak-anak mereka kelak akan diberikan kepada Yayasan untuk diadopsi. Namun, mereka tetap ingin melihat wajah bayi mereka kelak. Kalau Billy, sih, sudah jelas… dia tetap ingin merawat anaknya bersama pacarnya yang masih SMA itu. “Mengapa, sih, ada ibu yang sudah berlelah-lelah dan bersakit-sakit selama sembilan bulan kemudian rela melepas anaknya begitu saja begitu lahir dan diberikan kepada orang lain?” tanya Billy. Aku sebenarnya takut kalau pertanyaan Billy akan memicu konflik di antara sesama Bunda karena hal itu merupakan hal yang sensitif. “Apakah elo akan berpikir sama seperti yang elo katakan barusan jika ternyata dulu elo diperkosa?” kata Petra dengan ketus. Ketakutanku menjadi kenyataan, Stu, terjadi perang mulut di antara mereka. Entah mengapa yang ada dipikiranku saat itu justru mengutuki para pria yang telah membuat para bunda begitu menderita seperti itu. Apa, sih, yang ada dipikiran mereka waktu itu? Tidakkah mereka bisa berpikir panjang soal akibat perbuatan mereka kelak?
104
Sebenarnya bukan kapasitasku untuk memberikan terapi psikologis kepada para Bunda itu, namun aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakan bahwa jika ada hambatan berkomunikasi, semua emosi bisa ditumpahkan dengan menggunakan media lain, seperti tulisan atau gambar. Lalu aku menyuruh Marisa, Petra, dan Pipit untuk membuat surat singkat tak lebih dari satu halaman untuk para pria yang telah menyebabkan mereka menjadi ‘seperti ini’. Kali ini surat boleh ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Aku meminta mereka meletakkan surat itu di meja kerjaku besok. Stu, engkau saat ini sudah mencapai usia tujuh bulan, lho. Bulan ini aku akan membuat acara syukuran kecilkecilan untukmu… sekaligus syukuran pernikahan kita… huaaa… aku telah menyebutkan kata itu lagi…. Stu, bulan ini aku akan menikah…. @@@ Ketika sampai di Yayasan, aku sudah mendapati empat buah amplop putih dari para bunda. Oh, ternyata Billy juga ikut menulis surat yang aku minta. Aku mulai membaca surat itu satu persatu. Dari Marisa Dulu Risa pernah sangat bangga kepada Papa. Papa adalah orang tua yang ramah dan pandai. Tapi itu dulu. Mungkin Risa pernah bikin banyak kesalahan, sangat bandel di sekolah, atau membuat kecewa Papa. Tapi Risa rasa Risa nggak pantes untuk ngedapetin balasan dari Papa seperti itu. Risa tahu sebenarnya Papa ingin membalaskan dendam Papa kepada Mama melalui Risa, kan? Risa tahu Papa sering merasa terintimidasi oleh Mama… tapi itu urusan kalian berdua. Risa heran mengapa kalau orang tua bertengkar dan punya masalah, yang menjadi korban selalu anak-anaknya. Itulah mengapa Risa males ada di rumah. Pertanyaan Risa sekarang adalah: Kenapa Papa melakukan itu kepada Risa? Risa mau bilang makasih banget karena Risa sudah kehilangan masa muda Risa. Sampai jumpa di neraka. Dari Petra Untuk si Tolol Drian dari Goa Hantu, Sejak SMA, gue punya impian. Setelah tiga tahun bekerja nanti, minimal gue harus udah punya mobil meskipun itu mobil bekas dan nyicil. Gue seneng akhirnya gue kerja juga. Tapi belum ada setahun, gue terpaksa keluar. Siapa lagi
105
penyebabnya kalau bukan elo, Yan. Syahwat dan ego elo yang besar nggak sebanding dengan otak elo yang mungil dan nyali elo yang cuma seujung kuku. Sekarang elo puas, kan, bikin gue sengsara? Gue udah nggak mau lagi nyari-nyari elo untuk minta pertanggung-jawaban atas bayi ini. Kalau elo bersedia pun, gue nggak akan mau dikawinin sama elo karena gue udah telanjur jijik. Petra. Dari Pipit Mbak Margo, surat ini ingin saya tujukan kepada mantan pacar saya yang dungu sesaat setelah bayi saya nanti lahir: Untuk Mas Tri dan istri di tempat, Dengan ini saya mau menyerahkan bayi yang baru lahir ini kepada Mas Tri dan istri Mas. Bayi ini adalah darah daging Mas sendiri. Masih ingat, kan, ketika Mas membujuk saya untuk melakukan hubungan suami-istri dan berniat untuk menikahi saya kalau ternyata saya hamil. Dan ternyata… saya tertipu. Saya memang bodoh, tapi setidaknya saya jujur. Mas Tri selama ini telah menipu saya. Ternyata Mas sudah punya istri dan satu anak, kan? Nah, saya terpaksa berhenti kuliah karena hamil dan hubungan dengan keluarga saya pun jadi buruk. Jadi, saya pikir imbalan yang paling tepat adalah Mas harus merawat bayi ini daripada bayi ini harus diadopsi oleh orang lain. Dari saya yang sudah nggak bisa marah lagi, Pipit Lutfia. NB: Kalau nggak percaya bayi itu adalah anak Mas Tri, boleh dicek DNA-nya. : Khusus untuk istri Mas Tri… tolong dijaga Mas-nya… jangan sampai matanya belanja nglirak-nglirik daun muda. Kasihan nanti Pipit-Pipit yang lain pada berjatuhan kena tipu. Dari Billy Dear Devo, Aku senang bulan depan aku akan melahirkan anak kita. Semoga semuanya berjalan sangat lancar dan semua sehat. Aku tahu perjalanan kita masih panjang dan saaaaaangaaaaattt berat. Sampai sekarang, aku nggak habis pikir mengapa orang tua kita nggak bisa ngertiin kita. Selama aku di sini, aku belum pernah ditengokin sama orang tuaku atau keluargaku. SMS pun juga nggak, padahal aku setiap bulan selalu mengirimkan kabar via SMS tentang kondisiku. Memang, sih, kita yang salah, tapi semuanya sudah telanjur, kan? Mau diapain lagi kalau sudah telanjur terjadi? Harusnya kita,
106
kan, melihat ke depan dan mencari solusi, ya? Ah, sudahlah kita berdoa saja semoga ada jalan buat kita. Sayang kamu… Billy the Lover. Hua… hiks… hiks… semakin lama aku di Yayasan, aku semakin menyadari kalau masalahku nggak ada apa-apanya dengan mereka. Aku benar-benar gemas dengan… orang-orang picik! Coba lihat si Marisa yang terpaksa harus berhenti sekolah karena hamil atau Petra yang juga harus keluar dari kerja. Mengapa sekolah atau kantor nggak bisa mengerti kondisi darurat seperti itu, ya? Tapi yang paling nggak masuk akal adalah sekolah yang bisa menyuruh siswinya yang dalam kondisi ‘istimewa’ itu untuk keluar. Sepertinya nggak ada alasan kuat? Siswi itu, kan, bukan seorang pelaku kriminal… dia itu korban. Hmmm… mungkin kepala sekolah atau guru-gurunya malu dengan guru-guru atau kepala sekolah dari sekolah tetangga. O ya Stu, tadi aku mengirim SMS kepada Mama (itu karena aku kangen dengan dia). Dia mengirim salam kepadamu, Stu. O ya… dari kemarin-kemarin aku ingin cerita kepadamu kalau semua surat-surat untuk keperluan pernikahan sudah selesai. Ndharu niat banget mau ngurusin itu semua. Aku bilang kepada Mama mungkin pernikahanku nggak akan seindah apa yang dibayangkan atau diharapkan oleh semua orang tua. Mama bilang nggak apa-apa asalkan keluarga di Bandung diberitahu. Stu, aku takut…. Aku janji besok Ndharu harus kuberitahu soal ketakutanku ini. @@@ Sehabis bercinta tadi pagi (moment itu selalu tepat untuk digunakan berdiskusi karena suasana hati masih berbunga-bunga… he-he-he), aku curhat ke Ayahmu… apalagi kalau bukan soal nikah-phobiaku ini. Aku membuka diskusi dengan ucapan, “Ndru, sepertinya aku takut untuk menikah.” Ya, Ayahmu langsung kaget tentunya, namun dia berusaha menanggapinya dengan tenang. Ndharu bertanya apakah ini menyangkut dirinya. Aku menggeleng dengan cepat dan mencoba mengingatkan dia akan kesepakatan kami dulu: untuk nggak menikah. Kali ini Ayahmu langsung duduk tegak di tempat tidur kami. Matanya memandang lurus mataku. Dia bilang kepadaku tentang apa yang tertulis di catatan ini. Memang, aku pernah menulis di awal catatan ini bahwa aku ingin ‘hidup normal’ mengikuti majority rule untuk membangun sebuah
107
keluarga dalam ikatan perkawinan. Aku pun bingung mengapa tiba-tiba aku bisa begitu menggebu-gebu untuk berdiri di depan altar untuk mengatakan I do, tapi di sisi lain aku merasa enggan terikat. Ndharu adalah pria yang pas untukku dan aku nggak mau kehilangan dia. Ayahmu kemudian membimbingku perlahan untuk mencari sumber kekhawatiranku. Dia telah menemukan satu hal: kekhawatiran akan perubahan sifat. Aku mengakui kalau aku takut kalau dia tiba-tiba berubah dan yang paling mengerikan adalah adanya suatu pengkhianatan. Dia nggak bisa menjanjikan kalau dirinya nggak akan berubah. Time change, people change, begitu katanya. Jawaban itu awalnya sangat menggelisahkanku. Lalu dia berkata, “Aku tahu kamu tipe orang yang membutuhkan jaminan untuk semua hal. Kalau untuk benda-benda duniawi memang bisa dimintakan jaminan, tapi kalau untuk sifat manusia atau masa depan hidup… bagaimana caranya? Margo, kalau saja aku bisa memberikan jaminan, aku mau saja… tapi tolong beri tahu bagaimana caranya membuat jaminan seperti itu. Apakah kamu mau menyita hatiku jika ternyata nanti di masa depan aku berubah? Yang aku bisa katakan sekarang adalah aku MAU setia sama kamu dan aku MAU membahagiakanmu. Kata MAU harus kamu garis bawahi. Hanya itu yang aku bisa katakan.” Aku menangis… bukan karena sedih, tapi karena aku benar-benar gelisah. Sudah tentu jawaban Ndharu masih kuanggap nggak jelas dan mengambang karena pikiranku masih belum menerima begitu saja. Tapi dia memintaku untuk percaya dengan hati. Aku lalu bercerita soal perselingkuhan Papa dan Ndharu memahami ketakutanku itu. Dia kembali mengingatkanku soal kata MAU yang digarisbawahi tadi. Lalu, dia membimbingku lagi untuk mencari tahu kegelisahan apa lagi yang kurasakan. Dia menemukan satu lagi: soal bersumpah di depan sesuatu yang aku pandang sebagai mistis. Aku tertawa… he’s damn right. Dia juga tertawa. Basicly, we have the same problem. Aku bukan orang yang percaya dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan mistik, tapi kalau kami jadi menikah dan mengikat janji di depan altar berarti aku harus percaya kepada sesuatu yang mistik itu. Aku pikir daya tarik terbesar dari ‘Tuhan’ adalah kemisteriusan-Nya. Bagi orang yang benar-benar mau percaya dengan segenap hati mereka kepada Tuhan, kemisteriusan-‘Nya’ itu kadang bisa membawa keajaiban atau memberikan kelegaan hati. Dan buatku segala sesuatu yang misterius itu adalah mistik. Sebenarnya aku nggak mau benar-benar menyerahkan segala jiwa ragaku untuk urusan per-Tuhan-an ini… karena bagiku dan Ndharu yang penting adalah nggak merugikan orang
108
lain. Tapi di sisi lain, aku benar-benar nggak mau bermainmain dengan perkawinan. Ketika tanganku berada di atas kitab suci dan mengucap janji till death do us part… aku benar-benar masuk ke dalam dunia mistis yang membuatku merasa nggak nyaman. Membayangkannya saja membuat tubuhku bergetar. Ah, sudah berkali-kali aku menuliskan hal ini di catatan ini… tapi kegelisahan ini terus datang, Stu. Ndharu bisa memahamiku karena dia juga mengalami kegelisahaan itu, tapi bedanya dia nggak terlalu memikirkannya secara dalam-dalam. Menurut dia, Tuhan itu ada karena memang diciptakan oleh pikiran manusia itu sendiri. “Lihat saja di setiap masa peradaban manusia, Tuhan pasti dipersepsikan dengan citra yang berbeda-beda. Pada zaman Nabi Musa, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang gampang murka dan kerap memberikan hukuman kalau umat-Nya tidak setia. Tapi di zaman Nabi Isa, citra Tuhan berubah sebagai sosok yang mau merangkul orang-orang yang berdosa. Setiap zaman, manusia menciptakan Tuhan yang baru,” ujarnya. Benar, sih, apa yang dikatakan Ndharu. Tapi, aku nggak paham maksudnya. Lalu dia bilang supaya aku menciptakan sendiri Tuhan yang nggak membuatku merasa takut. Stu, aku tetap nggak ngerti…. Untuk yang satu ini, aku nggak bisa mendiskripsikannya dengan kata-kata. Mungkin Ndharu juga nggak bisa menangkap maksudku sepenuhnya. Aku menduga kalau yang dimaksudkan oleh Ayahmu adalah jangan membuat segala sesuatunya menjadi sesuatu yang memberatkan. Tapi aku bukan tipe orang yang menerima begitu saja pepatah ‘let it flows’ karena semua harus didasarkan oleh alasan. Bisa nggak, ya, pernikahan di sini nggak usah pakai acara keagamaan? Stu, untung hari ini adalah hari Sabtu jadi kami nggak terburu-buru oleh waktu, takut terlambat masuk ke kantor karena diskusi tadi berlangsung selama dua jam lebih. Tapi aku bisa sedikit lega, sih, setelah diskusi ini. @@@ Tadi aku menelepon Mediana (aku ngerumpi dengan menggunakan telepon Yayasan tentunya he-he-he…). Aku benarbenar butuh masukan dari dia soal pernikahan. Ternyata, dia juga mengalami hal yang sama denganku, yaitu timbul keraguan untuk menikah justru pada minggu-minggu terakhir sebelum dia menghadap penghulu. Bedanya, kalau aku ragu soal pernikahan itu sendiri, sementara Mediana ragu apakah
109
pria yang akan dinikahinya sebentar lagi itu adalah pria yang tepat untuknya. Huaaa… hiks… hiks… aku merasa sendirian. Mediana malah berkomentar, “Kok, ada, ya, orang yang punya keraguan seperti itu?” Sialan…. Tapi, menurut Mediana kalau menjelang hari-H banyak hal kecil yang bisa memicu konflik. Wah… kalau itu aku nggak tahu, deh. @@@ Baru saja aku bertanya lagi kepada Ayahmu, “Apa tujuan kita menikah?” Dan dia nyaris berteriak, “Kamu mulai lagi! Bukankah kemarin sudah selesai?” Tapi aku tahu dia hanya bercanda… karena aku menanyakan setelah kami bercinta… hehe-he. Ndharu menjelaskan kalau setiap orang punya tujuan masing-masing, meskipun mereka adalah sepasang kekasih. Ya, aku tahu itu… tujuanku dan tujuan Ndharu pasti berbeda. Dia kemudian menjelaskan tujuannya: untuk mencapai keteraturan hidup. “Kalau dulu sewaktu aku masih lajang hidupku serba nggak teratur, pulang dari kantor suka-suka, mau makan di mana dan makan apa juga terserah, dapat gaji dihamburhamburin untuk apa saja seenak hati. Kalau sudah menikah, aku pulang untuk keluargaku, mau makan juga ada yang menemani, terus gaji pun sudah jelas mau dialokasikan untuk apa.” Ya Tuhan, kok, dia bisa berpikir sesimpel itu, ya? “Lalu ketika kita sekarang hidup bersama tanpa menikah, apa kamu nggak bisa mendapat keteraturan itu?” tanyaku. Lalu dia menjawab juga dengan hal yang simpel tapi menyebalkan untuk didengar, “Ada satu keteraturan lagi yang lupa kusebutkan. Aku mau mencoba hidup teratur di dalam masyarakat, yaitu pria dan wanita yang ingin hidup dalam satu rumah harus menikah terlebih dahulu. Ikut majority rules sajalah.” Sebel nggak, sih, mendengarnya? Apa mungkin kekhawatiranku itu sesuatu yang berlebihan? @@@ Hari ini benar-benar hari yang penuh warna-warni. Siang tadi aku dan para Bunda berkumpul di gazebo untuk membicarakan surat-surat yang sudah dibuat beberapa hari yang lalu. Ada bagian yang membuat air mata mengalir dan ada bagian yang membuat perut kami seperti dikocok-kocok, apalagi saat membahas surat Pipit. Marisa malah membuat
110
fragmen kocak menggambarkan Pipit yang sedang mengetuk pintu mantan pacarnya sambil membawa keranjang rotan berisi bayi untuk diserahkan kepada pria kurang ajar itu. Ha-haha… susah untuk ditulis dengan kata-kata, Stu. O ya, tadi aku meminta pendapat mereka soal pernikahan… aku penasaran saja apa pendapat mereka tentang hal itu. Pertama, aku bertanya apakah mereka memimpikan sebuah pernikahan. Mereka terdiam sejenak dan tiba-tiba aku merasa bodoh. Mungkin menikah memang pernah menjadi mimpi mereka, namun dengan kondisi seperti itu mereka bisa jadi kehilangan rasa kepercayaan diri untuk berteman dengan pria lagi… yah, kira-kira sama seperti yang diutarakan Sandi. Aku jadi benar-benar nggak enak waktu itu. Lalu segera saja diskusi aku alihkan. Aku jadi curhat soal nikahphobiaku dan akhirnya suasana kembali mencair. Pipit bilang, harusnya aku merasa bersyukur karena belum tentu semua wanita bisa menikah. Dia, misalnya, nggak tahu apakah besok-besok bisa menikah atau nggak. Jawaban Pipit tepat seperti apa yang kuperkirakan. Tapi, menurutku, menikah itu nggak bisa disamakan dengan makanan atau pakaian yang kalau kita punya harus benar-benar disyukuri karena di tempat lain ada orang yang masih kelaparan atau orang yang telanjang. Nggak menikah pun harusnya kita juga bisa bersyukur, dong. Satu jawaban yang benar-benar kocak datang dari bibir Petra. Tapi, menurutku usulan dia patut kucoba: Pernikahan sebagai piala kemenangan! “Mbak Margo sudah merasa nyaman dengan kekasih Mbak?” Aku memberi anggukkan kepada Petra. “Mbak pernah punya pikiran kalau ternyata suatu saat bosan terhadap kekasih Mbak, Mbak akan mencari kekasih lain?” Aku menggeleng dengan cepat karena memang itu nggak pernah ada di dalam pikiranku. “Apakah Mbak benar-benar percaya dengan pasangan Mbak kalau dia nggak akan meninggalkan Mbak sampai kapan pun?” Aku mengangguk. Ya, aku benar-benar percaya kalau Ndharu akan tetap setia kepadaku dan aku juga berusaha untuk setia juga kepadanya. Bahkan, sebenarnya ketika kami melalui masa sulit di awal kehamilanku aku masih yakin kalau Ndharu sebenarnya nggak akan pergi begitu saja. “Sekarang Mbak nggak usah fokus ke soal pernikahan. Pikirkan saja bagaimana indahnya kalian akan hidup bersama. Anggap saja upacara pernikahan itu hanya sekedar suatu acara biasa. Tapi di otak Mbak isinya, ‘Asyik, sebentar lagi aku bisa hidup bersama dengan orang yang aku kasihi.’” “Sekarang saja aku sudah hidup bersama, tanpa menikah,” aku menanggapi. Dia terdiam sesaat.
111
“Mbak suka berkompetisi?” tanyanya. Aku mengiyakan karena sejak kecil aku orangnya selalu nggak pernah puas dan selalu ingin lebih dari orang lain. Petra menyuruhku untuk menganggap upacara pernikahanku kelak sebagai simbol kemenangan aku dan Ndharu. “Anggap saja kalau Mbak sudah memenangkan seorang pria yang begitu banyak diidamkan oleh banyak wanita karena kebaikannya. Begitu juga dengan kekasih Mbak, anggap saja kekasih Mbak itu sudah memenangkan Mbak yang digilai oleh banyak pria karena kecantikan Mbak. Ini sekaligus menandakan kalau pihak lain yang tahu diri sudah nggak bisa mengganggu kalian berdua. Kalau yang nggak tahu diri, beda lagi urusannya…,” Petra lalu tertawa dan bunda-bunda lain juga tertawa. Duh, aku jadi merasa seperti anak kecil, deh. Ha-ha-ha… boleh juga… boleh juga usulnya…. Dan ternyata Ndharu bersedia membayangkan kosep itu. Kata dia, kalau itu bisa membuatku merasa nyaman, dia nggak keberatan. Lagipula dia mengakui kalau ide itu sangat kocak dan gara-gara usulan itu, Ndharu malah terinspirasi untuk membuat upacara perkawinan di gereja nanti seperti penganugerahan medali emas di olimpiade ha-ha-ha…. Berasa jadi Susi Susanti dan Alan Budikusuma di Olimpiade Barcelona… ha-ha-ha…. Stu, tiba-tiba aku merasa excited sekali. O ya, tadi sebelum acara ngrumpi wanita hamil selesai, aku meminta Billy, Petra, dan Marisa untuk menjadi pengiring pengantin di gereja karena kebetulan mereka bertiga punya keyakinan (cieh… keyakinan he-he-he…) yang sama denganku dan mereka setuju. @@@ Aku dan Ayahmu sudah sibuk dengan persiapan upacara pernikahan. Kami hanya mengundang sekitar dua puluh orang saja, teman-teman dekatku, teman-teman sekantor Ndharu, dan keluarga inti saja. Soal pakaian, kemarin aku jalan-jalan ke toko yang menjual barang-barang bekas… dan aku menemukan sebuah gaun yang cocok. Gaun empire line tanpa lengan berwarna putih yang terbuat dari bahan sifon. Pagi hari tadi, di kelas menjahit, aku minta diajarkan memasang pita pada gaun itu. Bu Kiki, guru menjahit Yayasan, malah menawarkan diri untuk membuatkan gaun untuk para pengiring pengantin dengan model serupa. Ah, senangnya… aku sudah memberikan uang kepadanya untuk dibelanjakan bahan dan sebagian lagi sebagai ongkos jahit.
112
Baru saja aku menelepon Mediana, Loli, Sarah, dan Nera untuk mengundang mereka. Mediana menawarkan Nissan Teranonya untuk dijadikan mobil pengantin kami plus suaminya yang dipaksa menjadi sopir ha-ha-ha… seru… seru… dan Sarah dengan senang hati akan menjadi make up artist-ku… cihui…. Loli mengusulkan agar aku mengadakan malam pelepasan masa lajang dan memanggil penari pria telanjang. Ide yang buruk! Bagaimana bisa aku memperlihatkan ‘pemandangan menakjubkan’ itu di depan anak-anak? Maksudku, di depan engkau, Stu. Memang, sih, engkau ada di dalam rahimku dan nggak melihat secara langsung… tapi aku merasa kalau engkau sudah menjadi satu bagian manusia utuh yang selalu kubawa ke mana-mana. Yah… mungkin sebagai jalan tengahnya, kami akan buka kamar saja di hotel di sekitar gereja. Tapi apa, dong, yang kami lakukan nanti. Nonton tari telanjang jelas nggak. Minum alkohol juga nggak karena aku dan Loli sedang mengandung. Cerita soal seks sebagai bekal malam pertama jelas nggak karena aku dan Ndharu sudah menjadi pakar untuk itu. Lalu sharing soal lika-liku rumah tangga juga sudah basi karena pada waktu kami bertemu di rumah Nera semua sudah tuntas. Apa, dong? Masak berbagi cerita horor? Itu, kan, bukan pajamas party…. Kita lihat saja, nanti. @@@ Hai Stu… maaf baru menulis lagi karena sudah beberapa hari ini perutku benar-benar nggak beres. Sebentar-sebentar perut bagian bawah terasa nyeri, terlebih saat hendak berdiri setelah duduk terlalu lama. Belum lagi kembung yang sering kali membuat perutku terasa nggak enak. Bu Bidan Yayasan bilang kalau itu adalah gejala yang normal karena rahim yang semakin membesar akan menekan usus sehingga usus akan bergerak lebih lambat. Jika hal tersebut ditambah dengan makan makanan yang mengandung gas, itu akan menyebabkan perut semakin kembung. Dia menyarankan supaya aku harus sering-sering berolahraga dan makan dengan porsi sedikit, namun sering. Bagaimana bisa aku makan dengan porsi sedikit? Sepertinya aku semakin kalap untuk makan. Berat badanku saja sudah naik lebih dari enam kilogram. Dan menurutku itu sudah sangat berlebihan. Satu hal yang benar-benar aku khawatirkan darimu, Stu, adalah engkau belum juga menendang-nendang perutku. Ketika aku menanyakannya ke Bu Bidan, dia malah membuatku semakin ngeri. Biasanya ibu sudah bisa merasakan gerakan bayi pada minggu ke-14. Besok sepertinya aku harus meminta dokter Kristin melakukan ‘peneropongan’ melalui USG.
113
Aku janji kalau besok dokter nggak menemukan kelainan terhadap dirimu, Stu (iiiihh… amit-amit, deh), kita akan berpesta. Bagaimana kalau kita bersenang-senang dengan berbelanja kaset baru untukmu (ya Tuhan, aku benar-benar sudah bosan dengan Mozart dan komplotannya itu) dan bermanja-manja di salon? Ayolah, Stu… engkau harus berjanji kepadaku untuk tetap sehat. Aku ragu kalau malam ini aku bisa tidur. @@@ Aku gembiraaaa sekali! Hari ini aku sudah puas dengan melakukan pemotongan rambut, creambath, plus pijat refleksi. Apakah engkau juga merasakan kenikmatan itu, Stu? O ya, aku juga mendapat sepasang sepatu baru warna hijau lumut dengan ukuran satu nomor lebih besar dari biasanya (aku tahu ini pasti kesalahan hormone yang membuat ukuran kakiku semakin besar) dan engkau sudah mendapatkan tiga keping CD baru. Bye bye Mozart… hallo Jammie Cullum, Julie London, dan Buddha Bar! Engkau perlu penyegaran juga, kan? Lagipula, bagaimana bisa kecerdasan hanya muncul dari satu sumber (baca: musik klasik saja). Semakin banyak sumber, aku pikir engkau akan semakin cerdas. Janjiku sudah kutepati, kan, Stu? Aku senang karena engkau ternyata dalam kondisi sehat. Tadi pagi aku pamit kepada Bu Rosi karena aku harus ke dokter. Setelah melihat kondisimu melalui USG, dokter Kristin menyatakan kalau engkau tumbuh dengan normal. Engkau sudah jauh lebih besar dibandingkan dulu. Tadi aku sudah bisa melihat bentukmu yang benar-benar sudah menyerupai seorang bayi mungil, Stu. Tanganmu… kakimu… kepalamu… semua sudah terbentuk. Aku tadi tergoda untuk melihat lebih jelas ke bagian bawah tubuhmu, Stu, untuk mengetahuhi apa jenis kelaminmu. Tapi karena gambar di monitor nggak begitu jelas aku jadi nggak bisa melihatnya. “Wah, kelaminnya sudah kelihatan, tuh. Mau tahu nggak?” goda dokter Kristin. Aku kemudian buru-buru memejamkan mata. Aku ingin ada kejutan manis di akhir penantian ini. Dokter bilang kalau kehamilan yang pertama biasanya tendangan baru terasa pada minggu ke-18 hingga minggu ke21. Itu pula mungkin saat tendangan pertama sulit dirasakan oleh sang ibu karena gerakannya seperti desiran dalam perut. Hmmm… apakah mungkin perut ‘keroncongan’ yang aku rasakan kala aku lapar atau angin yang bergejolak di dalam perut saat terasa kembung itu sebenarnya adalah tendanganmu? Bagaimana aku tahu… baru pertama kali ini aku
114
hamil. Dokter itu bilang kalau si janin menendang ke arah rahim, ibu biasanya nggak merasakannya. Namun, kalau tendangannya ke arah dinding perut, barulah benar-benar terasa. Yah… setidaknya penjelasan itu bisa membuat perasaanku tenang dan memacu pemikiran positif. Anggap saja selama ini engkau menendang ke arah rahim. Ada suatu penjelasan dokter yang membuatku terperangah seperti orang yang menerima sebuah kejutan manis. Kata dia, pada bulan ini, sidik jarimu sudah sudah terbentuk dan engkau sudah bisa menggenggam atau mengisap ibu jari (tapi tadi aku melihat gambarmu di monitor nggak sedang mengisap jempol…). Engkau juga sudah bisa merespons sentuhan, cahaya tertentu, dan suara. Oooh… apakah engkau sudah bisa mendengarkan suaraku, Stu? Aku akan sering bercakap-cakap denganmu mulai saat ini. Dan yang paling lucu adalah ternyata engkau juga sudah bisa menguap atau cegukan ha-haha… betapa lucunya. O ya, Stu… engkau harus berjanji kepadaku jangan ceritakan acara ke salon tadi kepada Ayahmu. Soalnya aku tadi salah masuk ke salon yang mahal, sehingga… tahu sendirilah… aku harus menggesek kartu debetku untuk semua pelayanannya. Aku merasa nggak enak dengan Ayahmu yang akhir-akhir ini sedang giat menabung untuk kelahiranmu. Sssstt… ini rahasia kita berdua, ya! @@@ Semuanya serba repot! Emosiku benar-benar memuncak… Ndharu sudah ketakutan kalau-kalau aku nekat membatalkan pernikahan. Hamil saja sudah membuatku repot dan baru siang tadi aku ditelepon Ndharu agar aku dan dia menghadap pastor Thomas malam ini. Itu juga sudah dimarah-marahi sama pastornya karena seharusnya kami menghadap ke pastor Thomas beberapa minggu yang lalu karena harus ada pengumuman di gereja. Untung saja aku sudah lebih dulu hamil, sehingga dianggap sebagai pernikahan darurat (padahal aku sama sekali nggak menganggap hal itu sebagai hal yang darurat). Maka, jadilah aku menjalani wawancara kanonik yang singkat bersama Pastor itu dengan hati mendongkol. Dia menyuruhku untuk berbicara di bawah sumpah lagi…. Memangnya ada bedanya berbicara di bawah sumpah dengan yang tanpa sumpah? Buatku, kok, sama saja? Kalau benar, ya, katakan benar dan kalau salah katakan salah. Memang, sih, di dalam agama Katolik, penyelidikan kanonik itu merupakan hal yang esensial. Dari situ bisa diketahui apakah calon pengantin dalam keadaan terpaksa atau nggak, sudah siap atau belum,
115
atau ada hal-hal lain yang dapat menghalangi terjadinya suatu pernikahan. Tahu nggak, Stu, aku benar-benar menjawab sekenanya dan enggan menjelaskan panjang-lebar. Satu-satunya pertanyaan yang kujawab dengan panjang adalah soal apa tujuanku menikah. Sebenarnya aku sudah tahu akan ada pertanyaan itu, tapi karena semua dilakukan secara mendadak aku belum mempersiapkan jawabannya. Lagipula, itu, kan, masih dalam permenunganku. Aku selalu percaya bahwa jawaban refleks, yaitu jawaban spontan yang keluar setelah mendengar suatu pertanyaan, benar-benar mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Dan waktu itu aku langsung menjawab, “Untuk meningkatkan kualitas hidup.” Horeee… jawaban apa pula itu? Ketika pastor Thomas menanyakan lebih lanjut apa yang kumaksud, aku benar-benar memutar otak. Aku percaya kalau itu adalah jawaban dari hati, maka dari itu aku harus mencari tahu apa yang dimaksud dengan jawaban itu. Mataku kupejamkan sejenak, aku mencoba mengosongkan pikiran, dan aku menarik nafas panjang dua kali, baru kujawab pertanyaan itu. “Saya nggak tahu, Pastor,” itu jawabanku yang pertama. “Saya pikir, ada sesuatu yang menarik dari sebuah perkawinan karena ketika saya hendak menjalaninya, saya merasa ketakutan. Semua hal yang membuat saya takut pastilah sesuatu yang menarik untuk diteliti.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku, Stu. “Kalau benar-benar dipikir secara sadar, orang yang memutuskan untuk hidup di dalam suatu perkawinan itu haruslah memiliki keberanian untuk mengurangi sedikit dari yang dimilikinya untuk diberikan kepada pasangan dan menerima sedikit dari pasangan untuk menjadikan dirinya lebih. Saya pikir itu adalah fase pembelajaran penting untuk manusia, setidaknya buat saya.” Kening Pastor itu mengerenyit dan dia bertanya apa inti jawabanku. Jujur saja, ya, Stu… aku sendiri bingung, jadi apalagi si Pastor. Kadang-kadang aku memang seperti orang kesurupan yang berbicara tanpa dipikirkan lebih dulu. Dan waktu itu aku menjawab bahwa aku hanya memiliki sedikit keberanian untuk hal itu. “Tetapi saya mau mencobanya di tengah ketakutan yang saya rasakan. Dan saya yakin kalau saya berhasil melampaui fase itu, berarti kualitas hidup saya akan meningkat.” Sumpah, Stu, waktu itu aku jadi ingin menangis mendengar jawaban bodoh yang baru saja keluar dari mulutku. Pastor Thomas mengatakan kalau dia baru pertama kali mendengar jawaban seperti itu karena sebelumnya dia mendengar alasan
116
untuk menikah dari para pasangan yang ditanganinya tak jauh-jauh dari persoalan jatuh cinta. Sekarang, setelah aku pikir-pikir apa yang sore tadi kukatakan terasa benar. Selama ini aku dan Ayahmu sudah hidup bersama tanpa menikah dan kami saling mencintai. Tapi kalau di dalam suatu perkawinan sepertinya harus ada usaha lebih dari hanya sekedar jatuh cinta. Ya, tak hanya sekedar JATUH cinta, tapi harus BANGUN cinta dan itu seringkali membutuhkan pengorbanan yang menyakitkan. Celakanya lagi kami nggak boleh bercerai. Dan aku yakin kalau aku bisa melalui semua itu, berarti kualitas hidupku akan membaik, setidaknya dari segi emosional ha-ha-ha…. Ya ampun, barusan aku ngomong apa, ya, Stu? O ya… aku mau tidur di kamarku sendiri malam ini. Aku masih kesal dengan Ayahmu gara-gara memberitahukanku soal ini secara mendadak (hmmm… kayak gini, sih, mau menikah…). @@@ Tante April sedang jatuh cinta, Stu. Kami baru saja ngobrol-ngobrol via internet. Sayang aku nggak punya webcam di rumah, jadi aku nggak bisa menyapa pacar barunya, Olsen Jeremiah Manuhutu, secara langsung. April… April… sudah jauh-jauh pergi ke Jerman, kok, dapetnya orang Ambon juga. Meskipun Olsen sudah lama jadi warganegara Belanda dan bersekolah di Jerman… tetap saja masih doyan nasi pulen juga he-he-he. April bercerita bagaimana anehnya dia sekarang. Dia benar-benar bisa bertingkah seperti orang gila yang rela mendengarkan ‘kuliah’ Olsen tentang iklim atau fenomena alam lainnya. Maklum, pacarnya itu mahasiswa postgraduate geografi. Mereka bertemu di sebuah kafe yang kebetulan dijadikan tempat nongkrong orang-orang Indonesia di Jerman. Aku hanya bisa tertawa membaca ceritanya. Temanku itu bisa berlama-lama menciumi aroma tubuh pacarnya, meskipun tanpa minyak wangi. Mereka baru berkenalan selama sebulan, namun sudah sangat memiliki satu sama lain. April selalu menyebut pacarnya itu saat chatting denganku sebagai ‘sang pria unggulan’ (baca: pria yang memenuhi kualifikasi sebagai calon Ayah anaknya he-he-he… maklum, dia itu ingin sekali hamil). Dan entah berapa kali dia menulis kata ‘tergila-gila’ dalam obrolan kami. Yah… memang begitu, kan? Orang jatuh cinta itu mirip seperti orang yang punya kelainan jiwa obsesive-compulsive disorder. Sama-sama kehilangan kadar serotonin, yaitu pemancar saraf, di dalam darah. Kalau sudah begitu, mereka bisa bertingkah laku seperti layaknya orang gila.
117
April mengkhawatirkan bagaimana kalau tiba waktunya dia harus pulang ke Indonesia, sementara Olsen sama sekali nggak bisa diajak ikut. Lalu aku menyarankan supaya dia minum Prozac, obat syaraf, sehingga kadar serotonin kembali meningkat dan mengurangi rasa jatuh cinta yang sangat dimabuk kepayang itu. Dan April marah-marah atas saranku itu he-he-he. Ngomong-ngomong soal cinta yang bisa membuat orang bertingkah layaknya seperti orang gila, aku jadi merasa kangen ingin merasakannya lagi dengan Ndharu. Dulu aku baru bisa tidur kalau Ayahmu sudah menyanyikan sebuah lagu untukku lewat telepon. Kalau dipikir-pikir memang gila…. Mungkin sekarang fasenya sudah lewat. Stu, aku masih marahan sama Ayahmu. Sudah dua hari aku tidur di kamarku. Kami sama sekali nggak berbicara satu sama lain dan dia juga nggak berusaha untuk berbaikan denganku. Dari kemarin aku melihat Ayahmu sibuk mengurus perkawinan dan aku sempat mendengar dia menelepon Ibunya dan Mamaku. Hmmm… menurutmu, apakah aku yang harus minta maaf kepadanya, Stu? Ya… aku rasa demikian. Aku harus menghentikan sifat kekanak-kanakanku. @@@ Seminggu lagi menjelang pernikahan. Gaun pengantinku sudah kuambil dari laundry dan kugantungkan di luar lemari pakaianku. Baju yang indah dengan pita warna kuning dan hijau lumut di bagian bawah dada. Bu Kiki sudah membuatkan rangkaian mahkota dari ranting, daun, dan bunga kering. Aku meletakkan sepatu warna hijau lumutku yang masih baru di lantai tepat gaun itu bergantung. Jas hitam milik Ndharu sudah kusandingkan di sebelah gaunku plus mahkota yang sama dengan milikku. Dua buah medali yang disepuh emas juga sudah dikalungkan di hanger baju kami. Tinggal ditambahkan bunga tangan, maka jadilah kami seolah-olah pemenang medali emas olimpiade. Dari sore tadi, aku memandangi pakaian itu tanpa merasa ada getaran tertentu di hatiku. Entahlah, tapi menurut teman-temanku yang sudah menikah, mereka merasa terharu ketika memandang gaun yang akan dipakai pada upacara pernikahan mereka. Di meja tempatku menuliskan catatan ini juga sudah dipenuhi oleh kertas-kertas yang berisi tulisan tangan Ndharu. Apa lagi isinya kalau bukan soal tetek-bengek pernikahan. Ndharu benar-benar sudah melakukan banyak hal soal pernikahan ini. Tadi Mama meneleponku untuk menanyakan sejauh mana persiapan upacara sudah dilakukan dan dia menawarkan bantuan jika memang aku memerlukan bantuannya.
118
Aku diminta untuk memesankan satu kamar hotel untuk Ua Deden dan keluarganya. Stu, aku jadi takut. Betul… perasaan itu datang lagi. Aku sudah nggak bisa terima dengan ide yang menganggap kalau pernikahan itu adalah suatu simbol kemenangan seperti yang diutarakan Petra tempo hari. Naif banget kalau aku pada hari-H nanti masih menganggapnya demikian. Aku harus bisa mengatasi ketakutan akan kekuatan mistis yang ada dalam upacara pernikahan itu. Tapi bagaimana caranya? Aku yakin aku bisa mengatasinya. Sepertinya aku harus banyak melihat film-film tentang keluarga sehingga emosiku menjadi terpancing. Ya… aku rasa itu ide yang bagus. Aku akan mengajak Ndharu menemaniku menonton. Semoga aku bisa mengatasinya. Tolong Bantu aku, ya, Nak… @@@ Hari ini adalah hari pernikahanku. Tapi itu adalah bayangan aku dan Ndharu beberapa hari yang lalu. Pernikahan itu akhirnya batal. Dan aku yang menyebabkan kebatalan itu. Memang, aku merasa nggak enak dengan semua orang yang telah kumintai bantuan, keluargaku, dan keluarga Ndharu. Namun, yang terutama adalah aku merasa bersalah kepada Ndharu. Sudah empat hari ini aku tinggal di Yayasan. Bu Rosi yang menyuruhku karena tadinya aku hendak mencari indekos untuk tinggal sementara waktu. Dia bilang daripada aku nggak terurus, lebih baik aku tinggal di Yayasan. Kemarin, Mama dan adik-adikku menengokku. Aku mencoba menjelaskan kepada mereka mengapa aku membatalkan pernikahan itu, namun Mama menyuruhku untuk beristirahat saja dan nggak usah bicara terlalu banyak. Kata dia, Ndharu sudah menjelaskan semua. Mama menyuruhku beristirahat saja dan menenangkan diri. Sudah tiga hari ini aku memang agak nggak enak badan dan dokter Yayasan hanya menyuruhku istirahat saja. Engkau tahu, Stu, esok hari setelah aku menulis catatan terakhir untukmu aku merasa kegelisahanku semakin memuncak. Aku kemudian ngobrol-ngobrol dengan Bu Rosi mengenai kegelisahan ini. Aku mengatakan kepada dia, ini semata-mata bukan karena Ndharu… tetapi lebih karena ada yang nggak beres denganku. Lalu aku menjelaskan bagaimana ngerinya aku bersumpah di depan Tuhan yang beraura mistis dan kekhawatiran akan terjadinya perubahan sifat, baik yang terjadi secara natural maupun terpaksa, setelah perkawinan berlangsung. Hanya kalimat singkat yang keluar dari mulut Bu Rosi, “Agaknya kamu memang belum siap untuk menikah. Jangan dipaksakan kalau memang belum siap.”
119
Dari segala keluh-kesah kegelisahanku yang nggak jelas ternyata sumbernya hanya ketidak-siapan? Aku benar-benar sayang dan ingin hidup bersama dengan Ndharu, tapi nggak mau diikat dalam sebuah sakramen pernikahan. Setelah aku pikir, mungkin Bu Rosi benar. Aku memang belum siap. Dia hanya berpesan kepadaku agar ketidaksiapan ini nggak mempengaruhi kesiapan merawat bayi yang ada di dalam kandunganku kelak. Memang, selama aku tinggal bersama Ndharu, kami berdua seperti layaknya orang yang berada dalam satu indekos saja. Aku nggak pernah membuatkan teh untuknya atau menyucikan bajunya atau hal-hal yang biasa dilakukan oleh istri-istri pada umumnya. Dan sebenarnya aku juga malas untuk melakukan semua itu karena aku nggak bisa terima mengapa perempuan yang harus melayani. Ndharu juga nggak keberatan dan nggak menuntut tentang hal itu. Dia sudah merasa nyaman kalau aku mau menemaninya ngobrol dan bercanda bersama. Satu-satunya keterikatan kami adalah dalam berhubungan seksual. Itu saja. Selebihnya, serba individual. Aku sudah cukup nyaman dengan semua itu dan, benar kata Bu Rosi, aku memang belum siap untuk terjerumus ke dalam lembaga perkawinan. Memang, sih, aku dan Ndharu bisa membuat komitmen dalam perkawinan untuk mempertahankan apa yang sudah ada. Tapi kalau tetap sama, buat apa menikah? Pasti akan ada sesuatu yang berbeda. Aku benar-benar percaya akan kesakralan lembaga perkawinan, sehingga jika aku nanti masuk ke dalamnya… secara otomatis akan ada tanggung jawab lebih yang aku pun nggak tahu itu semua akan dipertanggungjawabkan kepada siapa. Stu, waktu itu aku hanya bisa menangis di depan Bu Rosi. Aku bingung bagaimana harus mengatakan ketidaksiapanku kepada Ndharu. Yang ada di pikiranku adalah aku harus pergi dari rumah. Aku menyampaikan niatku itu, namun Bu Rosi menyuruhku untuk menenangkan diri di Yayasan. Aku diperbolehkan menginap sampai aku merasa siap untuk kembali. Aku memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk memberitahu kepada Ndharu. Malam itu juga, aku mampir ke sebuah restoran Pizza dan memesan dua porsi spageti dan seporsi salad untuk dibawa pulang. Takut keburu Ayahmu pulang ke rumah, aku segera menata meja. Taplak putih kupasang dengan tangan bergetar, kunyalakan beberapa lilin, dan kutata semua makanan yang sudah kubeli beserta piring dan perangkat makan lainnya. Semua itu kukerjakan dengan air mata dan kegalauan hati. Aku sayang kepada Ndharu dan aku takut membuatnya kecewa dengan keputusanku.
120
Aku duduk pada salah satu kursi di meja itu, ketika Ndharu pulang. Aku sempat menangkap raut wajah gembira Ndharu di ruang tamu yang hanya berterangkan cahaya lilin. Namun, raut mukanya seketika berubah tatkala dia mendekatiku dan melihat wajahku yang sembab dengan air mata berlinang. Begitu tangannya meraih lenganku, aku seolah merasakan kalau aku mengirimkan getaran perasaanku kepadanya. Aku berusaha melepaskan tangannya dari lenganku dan secara perlahan aku mulai berlutut di hadapannya. Wajah Ndharu masih menyiratkan kebingungan dan berusaha membuatku duduk kembali di atas kursi. Perlahan, aku melepaskan cincin di jari manis kiriku. Sambil mengucapkan kata maaf, aku mengembalikan cincin yang dia berikan pada malam saat melamarku itu. Stu, aku ingin mengembalikan cincin pemberiannya itu dengan suasana yang sama sewaktu dia memberikannya kepadaku malam itu. Ndharu memang terkejut dengan keputusanku itu, namun dia mau memahamiku. Kata dia, lebih baik dari awal aku menyatakan keberatannya daripada menjalani fase berikutnya dengan keterpaksaan. Berkali-kali aku menyatakan kepadanya betapa sayangku kepadanya dan betapa inginnya aku hidup bersamanya… namun nggak dalam ikatan pernikahan. Dia kemudian memelukku. Ketika itu aku benar-benar nggak tahu apa arti pelukan itu. Tanda perpisahankah atau penerimaan maafku? Lalu Ndharu membisikkan sebuah kalimat, “Tidak apa-apa, aku memahami ketakutanmu.” Aku sungguh lega mendengarnya. Kami duduk saling berhadapan dan nggak satu pun dari kami yang menyentuh makanan yang sebenarnya adalah makanan favorit kami itu. Aku mengatakan kalau aku ingin menenangkan diri keluar dari rumah, namun Ndharu mencegahku. “Ndru, aku benar-benar butuh suasana baru untuk menenangkan diri.” Pagi-pagi, aku menelepon Bu Rosi. Aku menerima tawarannya tinggal di dalam salah satu kamar di Rumah Penantian di Yayasan. Aku tahu Ndharu melepasku dengan sangat berat hati dari pelukannya yang mempunyai getaran yang berbeda. Dia memelukku lama sekali di dalam kamarku di Rumah Penantian. “Kamu di sini baik-baik. Kalau kamu membutuhkan aku teleponlah. Aku akan membereskan apa yang harus kubereskan berkaitan dengan pernikahan kita.” Aku lalu memberikan beberapa nomor telepon teman-temanku yang sempat aku undang. Aku meminta Ndharu untuk menyampaikan permintaan maafku kepada mereka.
121
Dia mengecupku dan perutku sebelum pergi. Waktu itulah kami berdua merasakan tendanganmu, Stu, untuk pertama kalinya. Akhirnya engkau membawa senyuman untuk kami, Stu. Terima kasih. Kemarin Ayahmu datang menengokku sambil membawa laptop ini dan banyak pesan dari teman-temanku. Aku membayangkan bagaimana repotnya (dan mungkin malu) ketika mengabari semua orang yang telah diundang tentang batalnya pernikahan kami. Aku benar-benar merasa beruntung telah menemukan Ndharu di antara milyaran pria di dunia ini. Dia memintaku untuk kembali ke rumah, namun aku masih merasa belum siap. Setidaknya aku baru mau kembali setelah tanggal di mana hari pernikahan kami ditetapkan. “Aku akan datang menjemputmu kapan saja kamu sudah merasa siap untuk kembali. Kita bisa melanjutkan hidup bersama tanpa upacara pernikahan yang menyiksamu,” pesan Ndharu sebelum meninggalkan kamarku. Stu, di kamar ini aku sangat bahagia karena aku mulai terhibur dengan tendangan-tendanganmu. Sedikit-sedikit aku sudah mulai bisa membedakah apakah itu ‘tendangan’ dari kakimu atau sikutmu. Aku menikmati setiap ‘obrolan’ kita di malam hari sebelum tidur. Di sini… aku juga sering ditemani oleh para bunda dan sesekali Bu Rosi. Aku menolak untuk bertemu dengan psikolog Yayasan seperti yang ditawarkan oleh Bu Rosi. Keyakinan terhadap diriku untuk menyelesaikan masalah ini masih sangat besar dan belum butuh pertolongan dari seorang profesional. Stu, semoga engkau nggak kecewa dengan keputusan yang kuambil. Love you very much. @@@ Hari ini aku sudah mulai aktif kembali di Yayasan. Kerjaanku ternyata menumpuk. Para Bunda memberikan kejutan manis untukku berupa rangkaian bunga sebagai tanda selamat datang kembali. Mereka mengatakan kalau mereka mendukung keputusanku, meskipun keputusan itu dianggap oleh mereka sebagai keputusan yang gila. Ponselku mulai kuaktifkan kembali, setelah beberapa hari ini benar-benar kumatikan. Entah berapa puluh pesan tiba-tiba muncul di layar ponsel. Aku benar-benar terharu dengan dukungan teman-temanku. Sarah malahan menobatkan aku sebagai 2006 Run Away Bride ha-ha-ha. Aku bukannya mau lari dari kehidupan perkawinan, tapi perasaanku ini, lho, benarbenar nggak bisa terima.
122
Kalau boleh jujur, aku belum pernah merasa selega ini sebelumnya. Baru kali ini aku bersikap jujur dengan diriku sendiri tanpa memedulikan that damn majority rules dan apa kata orang tentang aku dan Ndharu. Aku sungguh-sungguh merasa sangat nyaman. Kalau dianalogikan seperti apa, ya? Oh… mungkin seperti kalau kita sedang sakit perut karena diare dan ketika hendak ke WC ada antrian panjang yang membuat kita stress. Dan setelah menunggu sekian lama akhirnya sampai juga giliran kita. Mmm… ngomong apa, sih, si Margo ini? Ngomong-ngomong, hari ini engkau agresif sekali… sampai-sampai aku bisa melihat dengan jelas jejak tendangan kakimu menonjol di perutku. Aku sempat panik, namun kata Billy itu adalah sesuatu yang wajar. Ah, aku jadi merasa lega. Aku lelah sekali, Nak…. Engkau juga tidur, ya. Selamat malam…. Ibu sayang engkau. @@@ Di Yayasan ada pesta lagi. Kali ini untukku. Ndharu sengaja cuti dari pekerjaannya. Dia datang ke Yayasan dengan taksi dan menurunkan banyak makanan kegemaranku… masakan Italia dan salad. Aku tengah berbaring di dalam kamar karena mengalami kram perut saat Ndharu tiba. Dia bilang ada syukuran kecil-kecilan untuk Narwastu. He is so sweet. Setelah acara, Ndharu mengajakku bicara. Kata dia, Romonya benar-benar murka karena anaknya hidup bersama dengan seorang perempuan yang sedang mengandung tanpa menikah. “Menghamili perempuan tanpa menikah saja sudah aib, apalagi dilanjutkan dengan hidup bersama.” Begitu komentar Romo seperti yang ditirukan Ndharu. Aku hanya tertawa. Kemudian aku menyerahkan permasalahan itu kepada Ayahmu karena hal itu merupakan urusan keluarganya. Meskipun dengan berat hati, aku mengatakan kepadanya, aku akan merelakan Ndharu pergi untuk menikahi perempuan lain karena itu adalah haknya untuk menikmati kehidupan di dalam ikatan perkawinan. Sedangkan aku… hingga saat ini nggak bisa memberikan kehidupan seperti itu untuknya. Ndharu hanya mengusap-usap kepalaku sambil menjawab bahwa dia sama sekali nggak kepikiran untuk hidup dengan wanita lain selain aku. Hmmm… semoga itu benar. Meskipun Mama atau Papaku nggak pernah (atau belum) menyatakan keberatan mereka terhadap keputusanku, aku sudah tahu kira-kira apa yang harus kukatakan kepada mereka.
123
“Tanpa bermaksud untuk kurang ajar, sudah waktunya aku memisahkan diri dengan mereka dan memilih jalan hidupku sendiri yang kuanggap nyaman.” Siang tadi Ndharu sudah memilih aku dan Narwastu sebagai jalan hidupnya. @@@ Aku sudah minta izin kepada Bu Rosi untuk diperbolehkan tinggal di Yayasan hingga aku melahirkan nanti. Entahlah… rasanya aku lebih aman di sini untuk sementara waktu dan membuatku agar nggak lekas lelah. Sebagai kompensasinya, aku mempersilakan Yayasan memotong gajiku untuk biaya sewa kamar. Namun, Bu Rosi menolaknya. Aku benar-benar merasa nggak enak.
124
EIGHTH Month
Belakangan ini aku jadi jarang menulis catatan ini untukmu, Stu. Maaf, ya… karena hampir setiap sore aku dan para Bunda mengikuti senam hamil di teras Rumah Penantian. Sesudah senam aku langsung mandi dan biasanya langsung tidur nyenyak karena kelelahan. Seperti sekarang ini…. O ya, sekarang Narwastuku sudah berusia delapan bulan. Selamat ya…. @@@ Billy melahirkan!!! Sebenarnya kelahirannya lebih cepat beberapa hari dari yang diperkirakan dokter. Aku juga nggak tahu apa sebabnya… yang jelas subuh tadi aku mendengar jeritan keras dari kamar Billy. Pipit yang masih memakai mukena sehabis salat subuh membangunkan aku dengan menggedor-gedor pintu kamar. Begitu aku keluar kamar, ternyata Marisa dan Petra sudah ada di depan kamar Billy. Pipit mengatakan kalau kamar Billy terkunci dan Billy tak kunjung membukanya. Dia hanya mengerang-ngerang saja. Satpam yang berjaga di depan kompleks Yayasan segera dipanggil melalui interkom. Dengan menggunakan linggis, akhirnya pintu kamar Billy berhasil dibuka dari luar. Kami melihat Billy meringkuk di tempat tidurnya yang sudah basah. Aku menduga kalau itu adalah air ketuban. Celakanya, perawat atau bidan Yayasan baru datang jam sepuluh pagi. Dia harus segera dilarikan ke rumah sakit. Sebenarnya ada sebuah mobil Kijang operasional yang terparkir di garasi dan kuncinya ada di dalam kantor, namun nggak ada sopir. “Gue bisa nyetir… tapi udah lama banget nggak nyetir. Nggak apa-apa, kan?” kata Marisa. Tanpa pikir panjang dan berharap akan kekuatan doa, kami menyetujuinya. Dengan berlari, aku mengambil kunci kantor di kamar tidur dan berlari (lagi) sambil memegang perutku ke arah kantor, sementara Pak Satpam membopong Billy menuju mobil. Aku melemparkan kunci kepada Marisa dan segera duduk di sampingnya. Di bangku tengah, Billy dipangku Pak Satpam dan Pipit. Sementara dari bangku belakang, Petra mencoba menenangkan Billy. Marisa menyetir dengan kesintingan penuh. Ternyata dia belum begitu lancar! Aku benar-benar telah salah duduk di
125
bangku depan. Stu, pasti engkau mendengar dari dalam perutku bagaimana Billy mengerang dan menangis semakin kencang, sementara Petra, Pak Satpam, dan Pipit mencoba menenangkan Billy, aku menjerit kepada Marisa supaya menyetir dengan hati-hati, dan Marisa membalas jeritanku dengan kata makian. What a story morning glory! Rem mobil mendecit dan meninggalkan jejak hitam pada aspal tepat di depan ruang gawat darurat sebuah rumah sakit yang letaknya nggak jauh dari Yayasan. Aku berteriak minta bantuan. Beberapa perawat bergegas mengambil brankar dan membaringkan Billy di atasnya. Billy menjerit, “Udah nggak kuat lagi.” Salah seorang perawat berteriak, “Partus… partus….” Billy dibawa ke dalam sebuah ruang yang lengkap dengan alat-alat mengerikan. Kami diusir dan disuruh menunggu di luar. Pipit menangis terisak-isak, “Semoga Billy nggak apaapa, ya, Mbak?” Sementar Marisa mengaku kakinya kram karena terlalu tegang menyetir. Ketika seorang petugas keamanan rumah sakit menyuruh kami memindahkan mobil dari depan pintu UGD, Marisa malah menyerahkan kunci mobil kepada petugas keamanan itu, “Pindahin aja sendiri. Nggak tahu apa kaki gue lagi kram.” Marisa… Marisa… anak itu bisa bereaksi secara tak terduga kalau sedang panik. Untung si petugas nggak marah dan cuma menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia lalu memindahkan mobil dan menyerahkan kembali kunci mobil. Seorang perawat keluar menemui kami. Dia memberitakan kepada kami kalau Billy butuh operasi sesar karena bayinya terlilit tali pusat dan ketubannya sudah hampir kering. Dia butuh tanda tangan persetujuan operasi dari keluarga. Karena nggak ada keluarga, aku segera berdiri dan menandatangani lembaran yang disodorkan olehnya. Pipit menangis lagi, katanya dia nggak tega dengan apa yang dialami Billy. Pak Satpam Yayasan yang aku lupa namanya (ingat, kan, Stu, kalau aku mengalami amnesia selektif untuk masalah nama) itu menghampiri aku dan mengatakan kalau Bu Rosi sudah diberitahu. Wah, aku malah lupa kalau Bu Rosi harus diberitahu. Aku jadi teringat Devo. Bagaimana cara menghubungi dia? Tak ada satupun dari para Bunda yang membawa ponsel dan tahu nomor telepon Devo. Sudahlah, nanti kalau Billy selesai dioperasi baru kutanyakan. Ya Tuhan… kelahiran benar-benar bisa datang kapan saja. Stu… awas kalau kamu minta lahir di saat-saat yang nggak tepat. Billy masih mendingan, bayinya minta lahir di rumah, bukan di taksi atau pasar swalayan. Aku mohon kerjasamanya, ya, Stu….
126
Bersamaan dengan datangnya Bu Rosi, perawat tadi keluar lagi memberi kabar kalau bayinya sudah lahir. It’s a baby boy! Kami diizinkan melihat si ibu dan bayi secara bergantian. Stu… masak aku menangis ketika melihat anaknya Billy. Dia adalah makhluk lucu yang menggemaskan… dan begitu bulat. Billy yang sedang diberi pijatan kepala oleh Bu Rosi minta agar Devo dikabari dan dia memberikan nomor teleponnya. Oleh dua orang perawat, Billy dipindahkan ke ruang rawat inap, sementara anaknya yang sudah disusui dipindahkan ke kamar bayi. Aku hendak pinjam ponsel Bu Rosi untuk menelepon Devo, tapi Bu Rosi justru memelototiku. Dia membuka cardigan yang dikenakannya dan menyuruhku memakainya. Stu… ternyata aku lupa memakai bra di balik daster tidurku. Ups… ah, lagipula mana ada, sih, pria yang horny melihat dada ibu hamil. Devo tiba di rumah sakit naik motor besarnya dan tetap menggunakan seragam sekolah putih abu-abunya. Aku mengucapkan selamat kepadanya. Di kamar, Billy sudah ditemani oleh bunda-bunda lainnya. Kami sempat diperlihatkan jejak jahitan operasi di perut Billy. Yaiks… luar biasa mengerikan. Aduh… amit-amit… amit-amit… engkau harus lahir secara normal, ya, Stu. Wah, kalau saja aku membawa kamera… pemandangan romantis ini pasti kurekam: Billy berada di tempat tidur sambil menyusui bayinya sementara Devo berada di sisi Billy yang dengan takjub melihat anaknya. Ah… aku jadi iri. @@@ Sudah beberapa hari ini Billy kembali ke kamarnya di Rumah Penantian. Kamarnya yang selalu semerbak dengan wangi minyak telon sudah menjadi tempat tongkrongan favorit di Yayasan ini. Apa lagi penyebabnya kalau bukan karena anaknya. O ya, bayi itu dipanggil Darren. Tadinya kalau perempuan Billy hendak menamainya Debi, singkatan dari Devo-Billy. Bayi itu sangat-sangat mirip dengan ibunya. Kemarin aku memberikan kado pemerah susu untuk Billy. Kata dia, alat itu sangat membantu kalau produksi ASI-nya tibatiba berlebih, sementara Darren belum mau minum. “Kalau ASI nggak dikeluarin, dada rasanya sakit,” ujarnya. Whoa… aku jadi ngilu mendengar ceritanya. Devo setiap hari berkunjung ke Yayasan sepulang dari sekolah dan beberapa kali menginap untuk bergiliran jaga dengan Billy pada malam hari. Suara tangis Darren benarbenar luar biasa untuk bayi sekecil itu. Aku jadi sering
127
terjaga. Nggak kebayang, deh, kalau aku sudah punya bayi sendiri bagaimana, ya? Soalnya aku paling nggak bisa diganggu kalau sudah tidur. Nah, tuh, sekarang Darren mulai nangis lagi. Duuuh…. Stu, kalau engkau nanti merepotkanku di malam hari… kubuang kau jauh-jauh! He-he-he…. @@@ Baru saja Billy keluar dari kamarku. Dia baru selesai curhat. Aku jadi kasihan kepadanya…. Dia bingung bagaimana meneruskan hidupnya. Setelah Darren lahir, dia baru merasakan pusingnya memikirkan masa depan mereka bertiga. Beruntung bagi Billy, Yayasan masih mau menampungnya. Namun, dia nggak mau terus-terusan bergantung dan mengemis pada Yayasan. Bu Rosi sendiri belum mengeluarkan ultimatum kepada Billy untuk segera keluar dari Yayasan. Tapi, waktu pertama kali seorang bunda masuk ke Yayasan ini, dia diberitahukan bahwa setelah melahirkan Yayasan akan mengakhiri tugas pengayomannya. “Devo juga stres memikirkan hal ini. Di satu sisi dia masih berstatus pelajar dan nggak mungkin putus sekolah. Tapi di sisi lain, dia punya tanggung jawab sebagai ayah. Waktu hamil, kok, gue nggak pernah kepikiran hal ini, ya, Mbak?” kata Billy. Aku hanya bisa menyarankan kalau perlu ada tindakan yang tegas dari mereka berdua. Sudah saatnya Devo mengambil keputusan, terlebih terhadap kedua orang tuanya. Posisi Devo sebagai anak tunggal di dalam keluarga yang sangat berkecukupan sebenarnya sangat menguntungkan dia. Dilihat dari segi psikologis, mungkin kedua orang tua Devo merasa malu kalau sampai anak mereka nggak lulus SMA gara-gara harus nyari uang untuk membeli susu bagi Darren. Billy bercerita kalau orang tuanya sudah tahu kalau dia sudah melahirkan, pun orang tua Devo. Kata Devo, orang tua Billy sudah bersikap masa bodoh dengan anaknya. Sementara orang tua Devo malah mengancam kalau anaknya masih sering bertemu dengan Billy, maka dia akan disekolahkan ke luar negeri. Setelah aku tanya kira-kira apa yang menjadi penyebab utama orang tua kedua belah pihak itu menjadi begitu marah, barulah aku mengelus dada. Billy bilang karena merasa malu. Ya… ya… itu sama dengan pengalamanku. Aku heran mengapa orang tua harus merasa malu kepada orang lain dan takut akan penilaian orang lain terhadap mereka, ya? Kalau aku ada di posisi sebagai orang tua, aku justru akan merasa
128
malu kalau aku nggak bisa membahagiakan anak-anakku. Komentar orang lain, kok, dipikirin. Belum tentu orang lain itu benar. Kalau saja salah satu dari Billy atau Devo sudah bekerja tentu situasinya nggak akan serumit ini. Kalau sikap orang tua sudah demikian teguh, ya… harus dibalas juga dengan sikap teguh. Kalau memang mau serius, Devo terpaksa harus keluar dari rumah orang tuanya dan mencari kerja. Mungkin saranku terdengar agak keras untuk Billy sehingga menyebabkan dia terkaget-kaget. “Ya… adu kuat mental saja. Mbak pikir orang tua nanti juga akan melunak,” ujarku. Hei… ada SMS dari Ndharu: Aku tgs ke Medan empat hari. Besok aku mampir ke Yayasan sebelum ke bandara. Jaga diri ya. Take care. Love you. Uuugh… aku jadi kangen sama dia. @@@ Aku sudah mulai gila di kamar ini karena setiap malam aku mendengar bayi menangis. Bukan berarti aku nggak mau bertoleransi, tapi lama-lama aku bisa gila. Ketika aku terbangun di tengah malam, aku cenderung nggak bisa tidur. Anehnya, ini baru terjadi waktu kehamilanku sudah mulai membesar. Apakah ini salah satu fenomena dalam kehamilan? Mungkin ini bisa dijadikan pemanasan untukku sebelum aku mengalaminya sendiri, tapi aku pikir nggak usah pakai pemanasan pun aku bisa. Aduh… Darren… mbok ya kalau mau menangis cukup berbisik-bisik saja. Uuuhh… aku ingin pulang ke rumah. Tapi apa, ya, kirakira komentar Ndharu. Dulu dia sudah berkali-kali mengajakku pulang, tapi aku menolak dengan alasan aku perlu waktu untuk menenangkan diri. Sekarang aku sudah nggak merasa tenang lagi di sini. Bagaimana caranya, ya, supaya Ndharu mengajakku pulang lagi. Semoga sepulangnya dari Medan dia mau memohon-mohon kepadaku untuk diajak pulang. Sebenarnya, sih, aku gengsi kalau tiba-tiba pulang tanpa diminta hi-hi-hi. Tuh, Darren mulai menangis lagi…. @@@ Tadi sore aku dan Petra berjalan-jalan ke mal sekedar melihat-lihat pernak-pernik bayi. Kata orang-orang, para ibu sudah boleh belanja untuk keperluan bayi setelah usia kandungan tujuh bulan. Tapi… ya ampun, harga baju-baju sekecil itu bisa jauh lebih mahal dibandingkan baju-bajuku?
129
Nggak masuk akal. Baju-baju itu, kan, hanya bisa dipakai sebentar saja. Belum lagi boks bayinya, peralatan makannya, susunya… mengerikan! Yang tadinya aku berniat membeli beberapa barang, jadi kubatalkan. Mungkin mal bukan tempat yang tepat untukku berbelanja keperluan bayi. Ya sudahlah… baju bayi buatan sendiri (belajar dari kelas menjahit hehe-he) mungkin sudah cukup. Petra mengajakku masuk ke toko kosmetik. Dia membeli satu botol kecil minyak zaitun. Kata dia, minyak itu manjur untuk mengatasi rasa gatal akibat perut yang terus membesar. Hmmm… perutku memang sering terasa gatal, sih, tapi biasanya langsung kugaruk saja. Oooh… ternyata ada cara lain yang lebih beradab, tho…. Aku jadi ikut-ikutan membeli, deh…. Sewaktu kami makan malam di food court, Petra menanyakan pendapatku soal adopsi. Sebenarnya dia ingin sekali membesarkan anaknya, tapi di sisi lain dia belum siap secara finansial apalagi setelah melihat betapa mahalnya barang-barang untuk bayi itu. “Gue bener-bener gemes sama Darren dan gue ngebayangin mungkin anak gue juga bisa selucu itu. Tapi kayaknya kalau sendirian dan nggak ada yang support gue, bakalan repot banget kali ya?” kata Petra. Dari awal pertemuan dengannya, aku belum pernah mendengar Petra bercerita tentang reaksi keluarganya atas kehamilan ini. Aku sebenarnya nggak mau mengungkit atau sok ingin tahu urusan orang, tapi aku pikir ini adalah waktu yang tepat untuk menanyakannya. Sambil menahan air mata, Petra menceritakan kalau dia nggak berani memberitahukan kehamilan itu kepada orang tuanya yang ada di Probolinggo. Meskipun bukan menjadi tulang punggung keluarga, Petra merupakan anak yang sangat dibanggakan oleh orang tuanya. Petra yang setamat SMA termasuk dua besar peraih NEM tertinggi se-Probolinggo mendapatkan beasiswa dari gerejanya untuk berkuliah di salah satu akademi sekretaris terkemuka di Surabaya. Setelah tamat, orang tuanya menyuruh Petra bekerja di sekitar rumahnya. Namun, dia berkeras untuk bekerja di Jakarta. “Mbak, mereka sudah benar-benar percaya sama gue dan nggak tega aja rasanya kalau tiba-tiba memberi kabar ini. Selama ini gue bohong sama mereka. Gue masih transfer uang seadanya untuk ibu dan setiap kali ada telepon dari rumah pasti nggak pernah gue angkat. Takut nangis… apalagi kalau yang menelepon itu ibu. Sekarang tabungan benar-benar sekarat. Mungkin gue harus bilang ke ibu kalau perusahaan tempat gue kerja mulai bangkrut dan gue dipecat.”
130
Susah, deh, mau memberi masukkan apa kepada Petra. Itu hak dia mau membesarkan anaknya atau menyerahkannya untuk diadopsi. Satu hal yang kusampaikan kepadanya adalah jangan pernah membohongi diri sendiri dan dengarkan apa yang dikatakan oleh hati. Jangan pernah mengikuti aturan orang kebanyakan alias majority rules yang sebenarnya membuat hati menjadi nggak nyaman. Menurutku itu adalah dosa besar yang nggak termaafkan. Petra tertawa, meskipun tawanya terdengar sangat getir. Tapi benar juga, sih, apa yang dikatakan Petra. Di Yayasan memang diajarkan beberapa keterampilan, seperti menjahit, merajut, dan memasak, namun masih sebatas untuk dikonsumsi sendiri. Mungkin ada baiknya jika keterampilan itu bisa dikembangkan sebagai salah satu sumber mata pencarian untuk sementara waktu. Ketika para bunda sudah keluar dari Yayasan atau dalam masa transisi, seperti yang dialami Billy, setidaknya ilmu itu bisa dijadikan sumber penghasilan pengganjal, minimal bisa untuk membeli susulah. Ya… ya… ya… boleh juga kalau itu diusulkan. @@@ Ha-ha-ha… aku berhasil membuat Ndharu membujukku pulang kembali ke rumah. Aku memakai strategi klasik wanita yang nggak pernah gagal… seduction… he-he-he. Stu, kalau nanti engkau dilahirkan sebagai seorang wanita… o ho, engkau harus sadar dengan kekuatan yang dimilikimu ini. Dan jika engkau nantinya adalah pria… engkau harus super hatihati terhadap strategi ini. Setibanya di Jakarta, Ndharu langsung menengokku ke Yayasan. Dia datang tepat ketika makan siang terhidang di dapur. Ayahmu membawa dua dus bika ambon dan tiga sirup markisa yang lezat. Ndharu mengajakku berbicara empat mata. Aku lalu menyuruhnya untuk menunggu ke kamarku karena aku harus membereskan piring. Begitu aku sampai di kamar, Ndharu mencium perutku lalu kutengadahkan kepalanya dan kucium bibirnya dengan super lembut. That was my hottest kiss ever he-he-he. Seperti yang sudah kuduga, saat dimabuk kepayang (alah… bahasanya…) secara spontan dia mengajakku pulang ke rumah. Aku pura-pura mengelak, namun tanganku terus membelai rambut dan tengkuknya secara perlahan. Hingga akhirnya dia memintaku dengan mata memelas… dan OK akhirnya cita-citaku terwujud. Besok dia akan menjemputku!!! Jadi, baru saja tadi aku selesai beres-beres mengemasi barang-barangku. Cihui… besok
131
pulang… aku nggak lagi mendengar tangisan Darren di malam hari…. @@@ Ndharu benar-benar such a very sweet guy. Ketika aku membuka pintu kamarku, ternyata sudah ada sebuah boks kayu mungil berwarna putih dengan kain berwarna kuning muda di sekelilingnya. Di samping boks terdapat tumpukan baju bayi, peralatan makan, dan tetek-bengek lainnya. Semua berwarna baby yellow. Satu hal yang terlintas di benakku waktu itu adalah dari mana dia dapat uang untuk membeli itu semua (semoga saja dia nggak beli ini semua di mal). Dan dia menjawab, “Untung kamu nggak mau nikah, jadi uang untuk itu bisa kubelikan kado buat Narwastu. Kalau kamu mau kuajak menikah, kasihan Narwastu nggak bisa punya barang-barang ini.” Nggak jelas, siapa yang sakit jiwa…. Bagaimana, Stu… apakah engkau senang dengan kejutan ini? Yang jelas, engkau harus menyukai warna kuning… ha-haha…. Well, I’m home… and I want to sleep peacefully with my two babies… love you both. @@@ Ternyata berenang itu sangat nyaman untuk orang hamil seperti aku. Sakit pinggang, punggung, kram bisa hilang dan menimbulkan perasaan sangat rileks. Apakah engkau juga menikmatinya, Stu? Meskipun demikian, aku nggak begitu nyaman dengan ‘pakaian renang’ yang kupakai. Selama akhir minggu kemarin, aku ikut Ndharu ke acara family gathering kantornya di sebuah pulau di utara Jakarta. Kebetulan, di kompleks vila tempat kami menginap ada sebuah kolam renang dan aku sempat bersenang-senang di dalamnya. Tadinya aku nggak mau renang karena nggak punya baju renang yang berdesain khusus bagi kaum berperut buncit. Tapi Ndharu memaksaku untuk mencicipi kesegaran air kolam itu dan menyuruhku memakai T-Shirt dan celana pendek. Setiap kali aku berenang, aku benci sekali kalau melihat orang yang berenang tapi nggak pakai baju renang. Kesannya norak banget. Dan aku akhirnya harus menjadi bagian dari kumpulan norak itu? Gengsi, dong, apalagi kalau dilihat orang-orang. Akhirnya aku meminta Ndharu menemaniku berenang pada malam hari, dari jam sembilan sampai setengah sepuluh, di saat orang-orang tengah menikmati api unggun di pantai.
132
Nikmat banget… apalagi setelah itu aku berendam di bath tub yang kuisi air hangat dan kutaburi dengan bath salt. Berasa di surga, deh. Stu… Ayahmu itu lucu banget…. Masak dia mengenalkan aku kepada teman-teman kantornya sebagai, eternal lover… hi-hi-hi. “This is Margo, my eternal lover.” Begitu cara dia memperkenalkan aku kepada teman-temannya. Ndharu pasti bingung mau menyebutku apa. Istri juga bukan karena nggak ada kekuatan hukum, kekasih juga bukan karena tingkatannya sudah lebih dari itu… he-he-he. Tapi aku suka, kok, dengan sebutan Ndharu… he’s my eternal lover too…. Untungnya, teman-teman Ndharu nggak terlalu banyak tanya. Toh, mereka sudah tahu mengenai berita batalnya pernikahan kami. @@@ Tadinya aku ingin membolos kerja karena badanku lelah sekali, tapi untung nggak jadi karena aku bakal ketinggalan berita. Bu Rosi tadi memberitahukan kepadaku kalau Billy dan keluarganya sudah dipindahkan ke rumah pribadinya. Pasalnya, Devo sudah memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan berniat mencari kerja. Mendengar itu, perasaanku antara senang dan takut. Senang karena akhirnya mereka punya sikap dan takut karena membayangkan bagaimana jika apa yang kuprediksikan ternyata nggak terjadi. Aku jadi merasa ikut bertanggung jawab atas usulku itu. Devo, menurut Bu Rosi, tiba-tiba datang ke Yayasan dengan membawa dua koper besar. Dengan muka yang polos, dia minta izin untuk diperbolehkan tinggal di Yayasan menemani Billy dan Darren. Dia diperbolehkan tinggal di Yayasan hanya semalam. Kalau tinggal berlama-lama Bu Rosi merasa nggak enak dengan pihak donor dan para bunda yang lain. “Tujuan Yayasan, kan, untuk menampung para wanita yang mengalami kehamilan yang tak diinginkan, bukan untuk keluarga,” kata Bu Rosi. Kasihan juga Billy, belum lagi luka jahitan sesarnya kering harus berkemas-kemas untuk pindah. Bu Rosi juga bingung bagaimana caranya membantu mereka. Yah, semoga saja ada jalan keluar yang terbaik. Di Yayasan sekarang sepi banget, hanya tinggal tiga bunda, Marisa, Pipit, dan Petra. @@@
133
Aura tak bersemangat mulai menggelayuti para Bunda. Aku yang berkenalan belum selama mereka saja juga merasa kehilangan. Pertama Sandi… kemudian Billy…. Mungkin mereka punya kecemasan yang sama… sama-sama nggak tahu harus ke mana setelah melahirkan nanti. Daripada jadi nggak produktif, aku meminta izin kepada Bu Rosi untuk mengajak para Bunda jalan-jalan dengan mobil operasional. Dia setuju dan akhirnya kami berjalan-jalan bersama Pak Rinto, supir Yayasan, ke pasar batu permata, Jatinegara. Seperti yang kuduga, mereka segera meninggalkan kesedihan mereka. Aku tahu bagaimana cara membuat para wanita menjadi bersemangat kembali, yaitu dengan berbelanja. Apalagi pasar ini merupakan surganya batu-batu dan bahan imitasi untuk membuat aksesori. Aku mengatakan kepada mereka supaya jangan berbelanja apa pun karena aku yang akan membelanjakan untuk mereka. Aku membeli beberapa gulung senar, lusinan batuan alam dan imitasi berbagai bentuk berwarna-warni, serta pengait. Mereka harus membuat aksesori sendiri dan untung saja mereka antusias dengan ideku itu. Jadi, setibanya di Yayasan mereka punya kegiatan baru yang sangat menyenangkan karena aku yakin kebanyakan wanita pasti senang dengan aksesori. Syukur-syukur karya mereka bisa dipasarkan. Stu… engkau ada apa, sih, sepanjang hari ini? Terusterusan menendangku…. Engkau baik-baik saja, kan? @@@ Pagi yang tenang di Yayasan berubah menjadi gempar. Orang tua Devo tiba-tiba datang mencari Kepala Yayasan dengan wajah penuh kemarahan. Aku bingung dari mana mereka tahu tempat ini, ya? Oh… mungkin sewaktu Devo mengunjungi Billy di sini, dia pernah diantar oleh sopirnya. Orang tua Devo diajak masuk ke dalam kantor dan aku disuruh ikut menemani Bu Rosi sekaligus menjadi saksi. Aku benar-benar takut dan deg-degan karena itu semua gara-gara usulku. Ibu Devo mulai membentak-bentak Bu Rosi dan menuduhnya menyembunyikan anak mereka. Sambil menudingnuding Bu Rosi, dia berteriak supaya Yayasan ini jangan ikut campur urusan orang lain. Kalau engkau melihat matanya, Stu… benar-benar mengerikan. Untung Bu Rosi orangnya sangat sabar dan nggak ikut-ikutan terpancing emosi. Dia dengan tenang memberikan penjelasan bahwa Yayasan ini sama sekali nggak berniat untuk mencampuri urusan orang
134
lain. Dia malah mengatakan kalau Devo dan Billy saat ini tinggal di rumahnya. “Kami menampung Billy untuk ‘menyelamatkan’ dia dari tekanan keluarga atau orang lain terhadap kehamilannya yang sebenarnya tidak diinginkan. Tekanan-tekanan itu bisa saja menyebabkan seorang wanita memutuskan untuk mengaborsi janinnya. Itu adalah misi kami. Nah, mengenai Devo, sebenarnya itu adalah keputusan dia sendiri. Kami hanya membantu untuk sementara waktu daripada mereka bertiga telantar karena baik Devo maupun Billy belum ada yang bekerja, maka lebih baik kami tampung sementara,” jelas Bu Rosi. Aku ingin memberikan pandangan dari sisi hukum, tapi aku jadi bingung sendiri soal posisi Devo. Dia, menurut Undang-undang, masih disebut sebagai anak karena berusia di bawah 18 tahun dan kalau masih dianggap anak, maka dia ada di bawah tanggung jawab orang tuanya. Ketentuan itu bisa gugur kalau si anak tadi sudah menikah dan dengan demikian dia sudah dianggap sebagai orang dewasa, sehingga dia punya hak penuh atas dirinya sendiri. Nah, si Devo ini sudah punya anak sendiri dan sebenarnya dia bisa dianggap sebagai orang dewasa… kalau saja dia sudah menikah! Aduh… kenapa juga Devo dan Billy nggak menikah dulu, sih? Aku jadi bingung bagaimana caranya membantu Devo dan Billy. Bu Rosi mengajak kedua orang tua Devo pergi menemui anak mereka di rumahnya. Aku dan Bu Rosi naik mobil yang disopiri oleh Pak Kardi, sementara orang tua Devo mengikuti dari belakang dengan mobil mereka. Di mobil, aku dan Bu Rosi berusaha mencari jalan keluar yang menyenangkan bagi mereka semua. Yang kami khawatirkan sebenarnya adalah Billy, karena posisinya nggak menguntungkan. Dia nggak didukung oleh keluarganya dan secara psikologis, moril, dan materil dia punya tanggung jawab yang lebih besar terhadap Darren. Kalau saja Devo diambil paksa oleh orang tuanya, maka celakalah Billy karena dia belum punya ikatan resmi dengan Devo. Kecuali kalau kasus ini dibawa ke jalur hukum, sehingga ada efek paksaan atau Devo benar-benar nekat melawan orang tuanya. Astaga… ternyata menikah itu penting, ya, untuk hal-hal seperti ini…. Aduh, semoga aku dan Ndharu nggak dapat masalah kalau hidup tanpa menikah. Devo sedang berada di teras sambil menggendong Darren ketika kami tiba. Dia terlihat panik saat mobil orang tuanya berhenti di depan rumah Bu Rosi. Bu Rosi menyuruh Devo, Billy, dan kedua orang tua Devo duduk di ruang tamu. Agaknya Billy sudah bisa membaca apa yang akan terjadi, makanya dia langsung bicara, “Kita boleh bicara, tapi
135
tolong saya nggak mau ada yang berbicara dengan berteriakteriak karena di sini ada Darren. Saya nggak mau anak suci ini mendengar omongan kasar dari orang dewasa. Kalau ada yang berteriak sedikit saja, saya akan pergi dari sini membawa Darren.” Wow… saat itu aku baru percaya dengan yang namanya naluri keibuan. Aku hampir nggak percaya kalau Billy berbicara seperti itu. Aku kemudian menawarkan diri untuk menggendong Darren, sementara mereka berbicara. Dan engkau tahu, Stu… ini adalah kali pertama aku menggendong bayi yang belum genap berusia satu bulan. Sebenarnya aku takut, tapi sok berani saja. Ketika Darren tidur di gendonganku… dia benar-benar selembut merpati dan aku langsung jatuh cinta kepada makhluk kecil itu. Aku jadi merasa bersalah telah membenci tangisan tengah malamnya. Bu Rosi bertindak sebagai penengah dan memberikan waktu kepada orang tua Devo untuk berbicara lebih dulu. Mereka meminta Devo untuk pulang ke rumah, bersekolah, dan meninggalkan Billy. Sementara Devo baru mau pulang ke rumah kalau orang tuanya juga mau menerima Billy dan Darren. Sepertinya itu adalah harga mati dari Devo. Aku lega, untung saja Devo punya keberanian seperti itu. Aku membawa Darren masuk ke dalam kamar tidur Billy dan membaringkannya di atas tempat tidur. Dari situ aku mendengar suara Ayah Devo meninggi, “Kamu gila? Apa kata orang ada anak SMA yang sudah punya anak? Hei, berapa uang yang kamu perlukan untuk biaya hidup kamu dan anakmu? Nanti kami akan beri untuk dua puluh tahun sekaligus, tapi jangan lagi berhubungan dengan Devo.” Kaget benar aku karena nggak menyangka kalau orang tua Devo mengeluarkan kalimat kasar untuk Billy. Aku mendengar Billy tertawa. Suara tawa itu lama-kelamaan mendekat ke arahku. Dia masuk kamar kemudian memelukku. Tawanya berganti menjadi tangisan. Aku bisa merasakan bagaimana sakit hatinya dia. Aku mendengar suara Devo yang sepertinya hendak menelan Ayahnya bulat-bulat. Dia kemudian mengusir kedua orang tuanya. Entah mengapa, hati kecilku sepertinya bersorak-sorai dan berkata, “Orang tua memang harus sekalisekali dibegitukan oleh anak biar nggak sok kuasa”. Billy menangis semakin kencang, sehingga membuat anaknya ikut menangis. Dia kemudian berusaha menenangkan Darren, sementara tangisnya sendiri tak kunjung mereda. Bu Rosi berusaha menenangkan, tapi aku mendengar ibu Devo mengajak suaminya untuk pergi dari rumah itu. Beberapa saat kemudian deru mobil terdengar. Aku keluar dari kamar
136
berpapasan dengan Devo yang hendak masuk ke dalam. Wajahnya terlihat tegang dengan mata memerah. Bu Rosi menutup pintu dan aku melihat air mata mengalir di pipinya. Aku memeluknya. Dia mengatakan, Devo dan keluarganya biar saja tinggal di rumahnya sampai mereka menemukan tempat tinggal sendiri. Bu Rosi bilang kalau dia senang karena di rumahnya kini agak ramai. “Hitung-hitung mereka kuanggap seperti anak sendiri dan Darren jadi cucuku. Lagipula Darren itu ngangenin…,” kata Bu Rosi. Aku segera masuk ke kamar Billy. Billy dan Devo sedang berpelukan. Dan aku mengucapkan kalimat yang bodoh, “Devo, you’re a very brave guy. Gue bangga sama kalian berdua. Tapi sepertinya kalian berdua harus segera menikah secepatnya. Ini penting untuk kejelasan status kalian. Dan salah satu dari kalian harus segera mencari pekerjaan.” Engkau tahu di mana letak kebodohanku, Stu? Aku sudah pernah bilang kepadamu, kan, kalau terkadang aku bisa berbicara tanpa dipikir dulu…. Bagaimana aku bisa dengan gampangnya menyarankan orang lain untuk menikah kalau aku sendiri antimenikah? Stu, aku berdoa semoga mereka diberi jalan keluar yang paling tepat. @@@ Devo kusuruh datang ke kantor Ndharu besok karena di sana sedang dibutuhkan seorang sopir. Kemarin malam Ndharu kuberitahu soal ini dan kebetulan di kantornya sedang mencari seorang sopir untuk mengantar-antar barang. Ya sudah, semoga itu memang rezekinya Darren. O ya, tadi aku diberi kalung oleh Marisa. Dia berhasil membuatnya sendiri. Keren juga ternyata kalau kupakai. Aku pikir kalau karya mereka dijual pasti laku. Bu Rosi belum mau memikirkan kemungkinan untuk ‘mengkaryakan’ para bunda karena dia masih sibuk dengan urusan Yayasan yang lain. Lagian, sih, aku heran mengapa dia nggak merekrut orang lain untuk membantunya di urusan administrasi? Cari donor, mengurus surat-surat, keuangan, koordinasi pegawai, sampai urusan rumah tangga ditangani oleh dia semua. Baru sejak ada aku saja dia agak bisa santai. Pada dasarnya, Bu Rosi mempersilakan kalau para bunda punya inisiatif sendiri untuk berjualan. Asalkan mereka jangan membawa nama Yayasan karena Bu Rosi nantinya akan merasa nggak enak dengan pihak donor yang telah memenuhi kebutuhan hidup mereka.
137
Wah, aku belum sempat beres-beres kamar untukmu. Hmmm… enaknya engkau tidur di mana, ya? Kami hanya punya dua kamar tidur… engkau ingin tidur di kamarku atau di kamar Ayahmu? Di kamar Ayahmu saja, ya? Biar nanti dia yang bangun malam untuk mengganti popokmu he-he-he. @@@ Setelah ikut tes beberapa kali selama beberapa hari lalu, akhirnya Devo diterima menjadi sopir di kantor tempat Ndharu bekerja. Benarkan… aku percaya kalau itu adalah berkatnya Darren. Kira-kira bagaimana, ya, rasanya orang yang biasa ke mana-mana diantar sopir, kini harus menjadi sopir. Mungkin gajinya juga lebih besar dari sopir orang tuanya. Bu Rosi senang sekali ketika mendapat kabar kalau anak angkatnya (dia sekarang menggunakan istilah itu untuk Billy dan Devo) sudah mendapat kerja, meskipun gajinya hanya cukup untuk makan saja. Bekas jahitan operasi sesar Billy yang sempat sedikit terbuka lagi beberapa hari lalu, kini sudah mengering. Bu Rosi nantinya akan mengajak Billy untuk membantu administrasi Yayasan setelah dia selesai memberikan ASI eksklusif kepada Darren. Marisa sudah menjadi koordinator teman-temannya dalam membuat aneka aksesori. Katanya, dia malah sudah belanja lagi batu-batuan di Jatinegara. Stu, aku senang, deh, kalau mereka juga senang.
138
NINTH Month
Sorry, Stu, aku baru menulis lagi setelah beberapa hari absen. Soalnya setiap kali pulang kerja, aku pasti berbenah untuk menyiapkan bakal tempat tidurmu. Ndharu sempat memarahiku karena kegiatan itu benar-benar menyita energiku. Jadi, terpaksa, deh, aku absen nulis untukmu karena aku butuh waktu tidur yang ekstra. Sejak kemarin, tempat tidurmu sudah siap. Nggak apaapa, kan, kalau harus berbagi dengan kami. Kamar tidur Ndharu sekarang jadi sempit karena ada boksmu. Kamar tidurku (aku tetap menyebutnya kamar tidur, meskipun nggak ada kasur. Hanya ada karpet, meja tulis, dan lemari, he-hehe) juga lebih sempit karena ketambahan lemari kecil khusus untuk menyimpan barang-barangmu. Waktu aku membereskan isi lemari pakaianku dan Ndharu, aku melihat tumpukan gaun putih dan jas hitam yang tadinya akan dipakai dalam pesta pernikahan kami. Pakaian itu masih dalam keadaan rapi terbungkus plastik laundry. Ndharu melipatnya dan meletakkan pakaian itu di bagian bawah lemari. Aku mengambil gaun itu dan mengamatinya barang sejenak. Tetap, lho, nggak ada perasaan atau getaran sentimental atau menyesali bahwa ternyata aku nggak jadi menikah. Ketika aku merentangkan gaun itu, secarik kertas terjatuh. Hua-ha-ha-ha… aku benar-benar terbahak-bahak membaca tulisan di kertas itu. Ndharu menuliskannya untukku. Engkau harus membacanya sendiri karena aku nggak akan menuliskannya di sini. Kertas itu sudah kubungkus dengan plastik dan kutempel di kaca lemari, tempat aku biasanya berdandan. Engkau harus membacanya, Stu. O ya… tadi aku sempat chatting dengan tante April. Dia marah-marah karena aku sudah lama banget nggak on-line. Ya iyalah… capek. Dia juga marah-marah karena aku terlambat memberi tahu perihal batalnya pernikahanku. Perasaanku, dia sudah pernah kuberi tahu tentang hal itu, tapi ternyata belum. Aku jadi merasa nggak enak. Tapi kemarahannya langsung reda ketika aku menulis: “Pril, kok, marah-marah melulu. Elo lagi hamil, ya?” Eh, dia senang banget aku tuduh seperti itu… ha-ha-ha… April… April…. Katanya besok dia mau beli test pack.
139
Dia masih menanyakan kabarmu, Stu. Aku bilang, ini adalah bulan-bulan terakhirmu untuk segera dilempar ke dunia. Dan Tantemu itu masih bersikeras supaya aku mau melahirkanmu di dalam air. Ngomong-ngomong soal melahirkan, aku juga jadi sedikit panik, nih. Aku membayangkan rasa sakitnya. Apakah benarbenar menusuk atau nggak, ya? Besok aku harus mulai bertanya-tanya kepada Nera, Mediana, Billy, atau mungkin juga kepada Mama…. Kalau ke Mama tanya nggak, ya? Entahlah, sejak peristiwa dulu aku jadi malas berhubungan atau merepotkan keluarga di Bandung. Sudahlah, jalani saja sendiri…. Stu, aku nggak bisa lama-lama duduk, nih… karena pinggang dan punggungku sudah mulai sakit. Bye, dear… love you. @@@ Aku nggak mau tanya-tanya lagi soal melahirkan. Kayaknya, semakin banyak tanya, aku jadi semakin takut, deh. Mediana, waktu aku tanya soal itu, mengatakan kesakitan yang amat sangat justru waktu kontraksi. Menurut dia, rahimnya seperti spons yang diperas-peras. Tapi waktu mengejan dan mengeluarkan Milo ke dunia, malah nggak merasa sakit. “Pokoknya kuncinya ada pada pernafasan. Ingat-ingat saja teknik pernafasan yang diajarkan di senam hamil. Harusnya kalau gue ingat teknik pernafasan, waktu kontraksi pasti nggak terasa sakit. Keburu panik duluan, sih. Maklum, nggak pengalaman,” kata Mediana. Dia juga bilang kalau rasa sakitnya benar-benar terbayar saat melihat Milo dibawa ke pelukannya. Hmmm… kalau yang itu, sih, aku sudah sering mendengar dari kebanyakan ibu-ibu. Tapi, masak, sih? Waktu aku melihat Billy di kamarnya menjelang kelahiran Darren, aku jadi bisa merasa bagaimana sakitnya dia. Belum lagi ketika Billy menunjukkan jahitan sesarnya uuuuhhh…. Meskipun sudah dibius lokal, dia masih bisa merasakan bayi di rahimnya. Dia melihat proses pengangkatan Darren dari rahimnya dari kaca besar bulat di langit-langit ruang operasi. Sakitnya baru terasa ketika obat biusnya habis. Perutku rasanya jadi ngilu. Positive thinking saja kali, ya. Semoga proses persalinanku nanti nggak sesakit yang kubayangkan. Tolong, ya, Stu… jangan membuat Ibumu yang cantik ini kesakitan. O ya, April kirim e-mail, katanya dia nggak hamil haha-ha… kocak… kocak….
140
@@@ Aku mendapat kabar dari Bu Rosi, besok Billy dan Devo menikah. Mereka berdua akan diberkati di kapel rumah sakit tempat Darren dilahirkan dan dilanjutkan dengan syukuran sederhana di Yayasan. Tapi setelah pemberkatan, Devo langsung bekerja lagi. Kata Bu Rosi, mereka berdua sudah memberi kabar kepada orang tua masing-masing. Semoga saja mereka besok datang. Bu Rosi menyuruhku untuk membacakan ayat kitab suci untuk mereka. Mau aku tolak tapi, kok, nggak enak, ya… bukannya apa-apa… tapi aku sudah lupa tata cara bagaimana membacanya hi-hi-hi…. Aku akan mengajak Ndharu besok. Jadi dia bisa berangkat bareng Devo ke kantor. Pakai baju apa, ya, besok? Tergoda juga, sih, untuk pakai gaun pengantinku itu… tapi aneh, nggak, ya? Jangan-jangan malah aku yang terlihat menonjol daripada pengantinya. Besok jadwalku lumayan padat. Ke pernikahan Devo dan ke dokter Kristin. Aku ingin memastikan kalau posisi Narwastuku sudah benar dan aku ingin tanya kemungkinan aku bisa melahirkan normal. O ya, Marisa sudah punya agen tunggal untuk memasarkan karya-karya para Bunda. Bu Kiki bersedia menjualkan aksesori-aksesori itu kepada kenalannya. Baguslah, Bu Kiki, kan, juga buka jahitan di rumahnya. Jadi banyak pelanggannya bisa sekalian dibujuk untuk membeli aksesori itu supaya matching dengan baju yang dijahitnya. Ah… belakangan ini aku merasa senang teruuus…. @@@ Cihuiii… posisimu sudah benar! Kepalamu sudah berada di bawah dan kata dokter engkau bisa dilahirkan secara normal. Pagi tadi aku akhirnya memakai baju tunik putih plus songket dan kalung batu panjang. Untung saja, aku nggak pakai gaun pengantinku karena Billy saja hanya memakai kebaya putih yang sangat sederhana. Aku berangkat ke kapel rumah sakit bersama Ndharu yang memutuskan untuk membolos kerja dengan alasan sakit. Pemberkatan nikah mereka sungguh sederhana. Tanpa musik, sedikit teman-teman yang datang, dan tanpa orang tua yang merestui. Bu Rosi bilang, mereka mendapat dispensasi khusus dari gereja karena seharusnya mereka membawa surat jaminan
141
dari kedua orang tua mereka untuk menikah. Bu Rosilah yang kemudian bertindak sebagai penjamin. Meskipun mereka berdua sudah hidup bersama, aku bisa melihat wajah-wajah tegang dan aura kegugupan. Billy dan Devo pun sempat menangis ketika mengucapkan janji nikah. Aku juga jadi ikut menangis hingga Ndharu berbisik kepadaku, “Mau menikah juga, ya, sebenarnya?” Dan aku langsung memukulnya. Aku merasa terharu karena aku tahu bagaimana lika-liku percintaan mereka dan tahu bagaimana beratnya ditolak oleh orang tua. Untung saja Devo punya sikap yang tegas. Sepanjang acara syukuran di Yayasan (meskipun tanpa dihadiri mempelai pria), Ndharu terus-terusan menggendong Darren. Lucu banget… coba aku membawa kamera. Dia bilang, masak hati orang tua nggak luluh melihat gembil dan manisnya wajah malaikat itu. Sepanjang sore, aku dan Ayahmu tiba-tiba mengkhayal bagimana nanti kalau sudah menjadi orang tua. Aku mengatakan, lebih baik berdiskusi untuk hal-hal yang akan dihadapi dalam waktu dekat, seperti berbagi peran mengurus bayi. Ndharu memaksa agar biaya persalinan dan membesarkan anak diserahkan kepadanya. Aku menolak karena aku nggak mau mentang-mentang sudah merasa berperan dengan memberikan uang, Ayahmu jadi malas mengganti popok. Bagiku berperan secara fisik lebih penting daripada hanya sekedar uang. Akhirnya, kami membuat shift kerja yang ganti setiap seminggu sekali, terutama untuk bangun di malam hari. Karena itu menjadi hal yang paling menggelisahkan bagiku. Dia juga mau menyuci dan menyetrika pakaianmu nanti, lalu mau membuatkan susu jika perlu, serta berbelanja untuk kebutuhanmu. Sementara aku? Aku rasa selama sembilan bulan mengandungmu sudah cukup mengubah struktur tubuh dan hormonku. Jadi, sebagai kompensasinya aku boleh, dong, lebih sedikit bersantai-santai setelah melahirkan. Bukan begitu, Stu? Jadi, kalau engkau mau cengeng… ke Ayahmu saja, ya? Hi-hi-hi…. @@@ Baru kemarin aku membatin kalau belakangan ini semua begitu lancar… eh, tadi pagi ada sebuah surat yang mengejutkan datang dari kepolisian. Dari tanggal surat, seharusnya surat itu sudah sampai kira-kira seminggu yang lalu. Aku nggak tahu, mengapa surat itu baru tiba di meja Bu Rosi hari ini.
142
Sejak aku masih menjadi pengacara, aku benci sekali jika harus berhubungan dengan polisi. Aura kantor polisi itu jelek banget. Dan Bu Rosi menyuruhku untuk menemaninya pergi ke sana besok. Bu Rosi bingung mengapa polisi tiba-tiba mencari dirinya. Aku berasumsi, mungkin polisi hendak menanyakan soal salah satu bunda di Yayasan ini. Mereka bertiga, kan, pernah mengalami perkosaan. Mungkin ada salah satu pelakunya tertangkap atau butuh keterangan saksi atau apalah. Semoga polisi itu nggak aneh-aneh. @@@ Stu, masak Yayasan dicurigai sebagai penyalur bayi yang hendak dijual? Kasarnya, Yayasan dijadikan tempat pengembangbiakan ibu-ibu yang akan beranak dan setelah mereka beranak, bayinya dijual. Hah?!? Aku masih shock dengan tuduhan itu. Dari mana, ya, kira-kira ide itu menghampiri ke kepala polisi-polisi itu? Bu Rosi sampai gemetar ketika dituduh seperti itu. Dia menjawab semua pertanyaan penyidik dengan terbata-bata. Aku jadi kasihan dengan dia. Penyidik itu mengatakan, kalau pihaknya mendapat laporan kalau ada kegiatan yang mencurigakan di Yayasan yang mengarah pada perdagangan bayi. Tadi, Bu Rosi hanya dimintai keterangan awal. Kami berdua menjelaskan segala sesuatu yang bisa kami jelaskan: soal misi Yayasan, soal keterlibatan pihak donor asing, dan dukungan dari beberapa yayasan lainnya. Sayangnya, kami nggak membawa akta pendirian Yayasan dan beberapa dokumen penting lainnya yang mendukung misi Yayasan. Polisi menyuruh kami untuk kembali besok dengan membawa dokumen-dokumen tadi. Kadang, aku merasa gondok. Yang butuh siapa… yang repot siapa…. Heran…. Aku menyuruh Bu Rosi membuat surat kuasa untukku, jadi besok biar aku saja yang datang ke kantor polisi bersama dengan sopir.
143
NEW Born
Aku mempunyai dua kromosom, X dan Y. Sementara ibumu sama-sama mempunyai dua kromosom, namun jenisnya hanya X saja, tidak variatif, ya? Kromosomku, si X dan si Y, sembilan bulan lalu tengah mengadakan lomba lari dengan hadiah indung telur ibumu dan aku tidak tahu siapa yang menang… sampai hari ini. Ternyata si X yang menang!!!! My baby girl won the competition!!! @@@ Astaga… Ayahmu itu bukannya menuliskan perasaannya setelah anaknya lahir, malah bercerita soal kromosomnya yang bertanding lari… ha-ha-ha. Aku terbangun di sebuah kamar sempit dengan batas tirai kain berwarna hijau. Yup, aku ada di rumah sakit dan baru saja tersadar dari tidur panjangku. Meskipun nggak mengikuti episode terakhir ini dari awal, Ndharu masih di sini menungguiku sejak kelahiranmu dan senantiasa mau menyediakan segelas kopi enak yang sudah lama nggak kurasakan. Aku masih nggak menyangka kalau engkau lahir lebih cepat dua minggu. Semua gara-gara mobil itu! Ketika aku harus membawa dokumen-dokumen Yayasan, mobil operasional yang kutumpangi ditabrak dari belakang oleh orang sinting yang nggak tahu diri. Meskipun aku memakai sabuk pengaman, ternyata kursi yang aku duduki jadi agak terlipat gara-gara benturan itu. Pak Kardi langsung membukakan pintu mobil di sampingku dari luar mobil. Aku masih bisa turun dan aku melihat Pak Kardi membentak-bentak sopir yang menabrak mobil kami. Tiba-tiba perutku mulas dengan cukup hebat. Aku pikir, mungkin itu adalah kontraksi palsu, sama seperti yang dialami oleh Sandi dulu karena aku belum waktunya melahirkan. Aku lalu berjalan beberapa langkah dan mengatur nafasku, namun kontraksi itu masih terus berlangsung. Karena panik, aku menyuruh Pak Kardi membawaku ke rumah sakit. Untung saja mobil yang bagian belakangnya penyok itu masih bisa berjalan. Dan di mobil, benar kata Mediana, aku merasa rahimku sudah seperti spons yang diperas. Aku mengambil nafas dari hidung dan
144
mengeluarkannya dari mulut dengan cepat karena nggak tahan dengan sakitnya. Awalnya kontraksi itu berlangsung sekitar 15 menit setiap 20 menitan sekali. Namun, rasa panik itu benar-benar membuat segalanya menjadi lama dan sakit. Setibanya di rumah sakit, aku menyuruh Pak Kardi menelepon Ndharu. Aku sudah benar-benar merasa tak berdaya karena kontraksi itu jadi muncul setiap dua menit sekali. Dokter menyuntikkan sesuatu di punggung bawahku, mungkin itu epidural. Aku merasa ada bagian bawah tubuhku yang membuka, kemudian mengerut. Dokter kemudian menyuruhku menaikkan kedua kakiku. Aku mengatakan kalau aku belum saatnya melahirkan, namun dokter menjawab bayi akan segera lahir. Aku masih bisa merasakan sedikit dorongan dari rahim dan tiba-tiba aku merasakan ketubanku pecah. Semua jadi terasa sangat cepat… aku disuruh mengejan, mendorong rahimku… dan salah seorang perawat berkata kepalanya hampir keluar. Akhirnya… dengan beberapa kali dorongan, aku bisa mengeluarkan Narwastuku. Suara tangismu menggema di ruangan. Bayi perempuan cantik berwarna agak keunguan itu diperlihatkan kepadaku…. Persis buah bit… ha-ha-ha. Aku memberikan ciuman selamat datang kepadamu. Aku gembira luar biasa… dan bagaimana perasaanmu saat itu, Nak? Seorang perawat membawamu yang sudah dalam keadaan bersih kepadaku untuk disusui. Perawat itu bilang, semoga bayinya sudah bisa menyusu. Aku tahu engkau jagoan… ternyata engkau sudah bisa menyusu. Tubuhmu begitu lunak dan sangat rapuh. Kulitmu yang berwarna merah keunguan tampak mengilap. Aku mengelus rambut halusmu dan menyentuh pipimu yang bulat. Penantian panjangku akhirnya berakhir. Aku menyesal karena aku belum sempat difoto telanjang pada waktu hamil…. Sebel! Perawat itu kemudian berkata kepadaku kalau engkau harus dimasukkan ke dalam inkubator untuk menjaga kestabilan suhu badanmu. Kata Ayahmu, di inkubator itu tertulis: Nama Bayi : Narwastu Lahir : 11 Oktober 2006 Berat Badan : 3.00 kilogram Panjang : 45.3 cm Nama Ayah : Petrus Ndharu Nama Ibu : Margaretha Ameenah Kusumah @@@ LAST WORD (Baca: Disclaimer) Untuk Narwastuku,
145
Aku sudah menyelesaikan tugasku menulis catatan ini. Aku hanya menggambarkan apa yang terjadi selama engkau di dalam kandunganku. Tentang warna-warni kehidupan ini, orang-orang yang telah memberikan aku ‘kehidupan’, aturan dan pendapat orang lain yang agak nggak masuk akal, dan sebagainya. Perasaan dan pikiranku pasti mempengaruhi catatan ini. Namun, sebaiknya engkau jangan mau terpengaruh dengan perasaan dan pikiran milikku atau Ayahmu yang tercurah dalam catatan ini. Itu hanyalah tindakan bodoh. Berpikirlah dengan otak dan hatimu sendiri. Jangan mau dipengaruhi orang lain yang malahan membuatmu menjadi nggak nyaman. Be brave… Love you Ibu dan Ayah. PS: Beri tahu aku, apakah ternyata engkau senang telah dilahirkan atau nggak…
146
N A R W A S T U
Burma, 11 Oktober 2027 Aku baru saja selesai membaca semua catatan ini dan… aku benar-benar terharu. Begitu banyak hal yang terjadi selama aku masih di rahim Ibu. Ah, aku terlalu keren untuk dibilang sebagai anak yang dulu sempat tidak diinginkan hihihi…. Ibu dan Ayah memberikan catatan ini sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-21. Sebelum berangkat ke Burma dua hari menjelang ulang tahunku, ibu memberikan sebuah bungkusan yang hanya boleh dibuka tepat pada hari ulang tahunku. Dan ternyata… semua itu tentang mereka dan aku. Di akhir catatan ini, ada dua lembar kertas kosong yang aku pikir sayang jika dibiarkan seperti itu. Jadi, lebih baik kugoreskan penaku (meskipun aku tidak pandai menulis) untuk mengomentari semua tulisan Ibu. Ya… mereka telah menepati janji untuk menjadi kedua orang tua yang ‘keren’ (untuk tidak menyebut mereka sebagai orang tua yang ajaib hihihi). Hingga aku sebesar ini, mereka masih juga belum mau menikah… hihihi…. Ibu menempelkan secarik kertas di kaca lemari pakaiannya. Kertas itu ditulis oleh Ayah yang berbunyi: “Margo, kalau kamu berubah pikiran, tiba-tiba ingin menikah… lamarlah aku!” Hihihi…. Aku dibesarkan dengan kesintingan mereka. Mungkin hanya Ndharu, Ayahku, yang memberikan penjelasan teori big bang atau ledakan besar ketika aku bertanya kepadanya dari mana asal bintang-bintang di langit. Itu dia jelaskan ketika aku berusia lima tahun, saat teman-teman sebayaku menerima jawaban bahwa bintang itu ada karena Tuhan yang menciptakan. Aku juga yakin kalau hanya Ameenah, ibuku, yang menggambarkan skema perjalanan sperma menuju indung telur untuk menjawab pertanyaanku dari mana seorang bayi berasal. Dan itu kudapatkan jauh sebelum aku menerima pelajaran biologi, yaitu pada waktu aku berusia enam tahun, di mana teman-temanku mendapat penjelasan bahwa bayi itu datang ke dunia karena diantar oleh burung bangau dari surga. Saat aku lulus dari SMA, mungkin hanya orang tuaku yang tega melepas anaknya untuk pergi ke luar negeri
147
seorang diri tanpa tujuan yang pasti. Mereka memberikan bekal uang secukupnya dan tiket ke India (kalau aku ingin kembali ke Indonesia aku harus membeli tiket itu dengan uangku sendiri). Aku baru kembali setahun kemudian dengan pengalaman yang luar biasa. Aku menjadi SANGAT TERBIASA dengan hal yang berbeda dari orang kebanyakan sejak kecil. Ibuku selalu mengingatkan, belum tentu majority rules yang dianut oleh banyak orang adalah yang terbenar dan ternyaman untukku. Nggak heran kalau teman-temanku banyak yang menganggapku aneh hihihi…. Hingga kini aku tidak tahu harus mengategorikan kedua orang tuaku itu sebagai orang normal atau tidak hihihi…. Tapi aku sudah terlalu nyaman dengan mereka. And here I am… aku juga sudah merasa nyaman dengan hidupku dan dengan pekerjaanku sekarang sebagai asisten seorang arkeolog. Aku senang telah dilahirkan. Ok, got to go now… karena sebentar lagi buruanku akan segera lewat…. Harus ada tidak ada untuk ada. Me, Narwastu. Single daughter of the unmarried Ameenah and Ndharu.
© 2008 Happyninatyas. All rights reserved www.diditho.net/author/happyninatyas
148