NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-ISRA’ AYAT 23-25 DAN AKTUALISASINYA DALAM DUNIA MODERN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Pendidikan Islam
oleh:
KHANIF NIM : 073111029
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Khanif
NIM
: 073111029
Jurusan/ Program Studi
: Tarbiyah/PAI
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/ karyasaya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 4 April 2012 Saya yang menyatakan
Khanif NIM. 073111029
ii
iii
iv
v
ABSTRAK Judul
: Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Q.S Aktualisasinya Dalam Dunia Modern Penulis : Khanif NIM : 073111029
Al-Isra’
Ayat
23-25dan
Skripsi ini membahas nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. Kajiannya dilatar belakangi oleh minimnya pendidikan aqidah (Mengesakan Allah) dan berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidaini). Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan:(1) Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25? (2) Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan agama berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia modern? Permasalahan tersebut dibahas melalui kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang Islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah sumber primer yang berasal dari Al-Quran dan yang kedua adalah sumber sekunder yang berasal dari data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian seperti: Tafsir klasik dan tafsir kontemporer. Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun. Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya yaitu Allah SWT.kedua, Pendidikan birrul walidainiyakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan menyembah selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benar-benar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka.(2) aktualisasinilai-nilai pendidikan berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia modern yaitu pertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mengajarkan kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama tidak lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan.kedua, pendidikan birrul walidaindalam dunia modern sekarang inijustru perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut usia sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan perhatian lebih dari orangorang terdekat terutama seorang anak, malahan mereka kebanyakan diasingkan dari keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik. Akhirnya, mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena ijin dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25 Dan Aktualisasinya Dalam Dunia Modern”. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman dan pembawa rahmat bagi makhluk seluruh alam. Dalam penulisan ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini terlepas dari keterbatasan penulis sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan. Tidak ada kata yang pantas penulis ungkapkan kepada pihak-pihak yang membantu proses pembuatan skripsi ini, kecuali terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang selalu mengembangkan keilmuan di Fakultas Tarbiyah. 2. Nasirudin, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang selalu memberi arahan dan nasehat. 3. Dr. Musthofa, M.Ag. selaku pembimbing I danAlis Asikin, M.A. selaku pembimbing II yang telah berkenan untuk meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya, untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 4. Dosen jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman 5. Ayahanda H. Subkhan dan ibunda Hj. Mutiah yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan baik moril maupun materiil dan tidak pernah bosan mendoakan penulis dalam menempuh studi dan mewujudkan cita-cita. 6. Teman-teman penulis yaitu Adam Fatukaloba, Rois Ma’sum dan Mukhlisin yang ikut memberikan motivasi selama menempuh studi, khususnya dalam proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari yang mereka berikan.
vii
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi, metodologi dan analisisnya. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berharap, semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.
Semarang,4 April2012 Penulis
Khanif 073111029
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................
ii
PENGESAHAN .................................................................................................. iii NOTA PEMBIMBING ....................................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................ vi TRANSLITERASI ............................................................................................. vii KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii DAFTAR ISI .....................................................................................................
x
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 3 D. Kajian Pustaka ................................................................................... 3 E. Metode Penelitian..................................................................... ......... 5 F. Sistematika Pembahasan............................................................. ....... 8 BAB II : DESKRIPSI Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25 ............................................. 9 A. Surat Al-Isra’ Ayat 23-25 .................................................................. 9 1. Redaksi Ayat dan Terjemahan ...................................................... 9 2. Munasabah ................................................................................... 9 3. Asbabun Nuzul ............................................................................ 11 B. Pendapat Mufasir Klasik Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’ Ayat .... 14 C. Pendapat Mufasir Kontemporer Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25 ....................................................................................... 19
ix
BAB III : NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25 ..................................................................................................... 25 A. Pendidikan Tauhid ........................................................................... 25 B. Pendidikan Birrul Walidaini ............................................................ 31
BAB IV : AKTUALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25 DALAM DUNIA MODERN ......................................... 42 A. Penguatan Akidah Peserta Didik ..................................................... 42 B. Penanaman Nilai Birrul Walidaini .................................................. 51
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 58 A. Kesimpulan ...................................................................................... 58 B. Saran ................................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
x
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Quran merupakan kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad SAW) melalui perantara malaikat Jibril ditulis dalam lembaran-lembaran (mashahif) sampai kepada umat manusia secara mutawatir dan membacanya termasuk ibadah, diawali dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas.1Al-Quran juga sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Di dalamnya mencakup ajaran tentang I’tiqad (keyakinan), akhlak (etika), sejarah, serta amaliyah (tindakan praktis).2 Al-Quran merupakan peraturan bagi umat sekaligus sebagai way of lifenya yang kekal hingga akhir masa. Oleh karena itu, kewajiban umat Islam adalah memberikan perhatian yang besar terhadap Al-Quran baik dengan cara membacanya, menghafalkan atau mempelajarinya. Dalam Al-Quran tidak terdapat sedikitpun kebatilan serta kebenarannya terpelihara dan dijamin keasliannya oleh Allah SWT sampai hari kiamat.3Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hijr ayat 9 yang artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.4 Al-Quran diturunkan bertujuan untuk menjadi petunjuk (hudan) dan pedoman bagi manusia dalam menata perjalanan hidupnya dunia sampai akhirat. Al-Quran sebagai petunjuk tidak akan bermanfaat sebagaimana mestinya jika tidak dibaca, dipahami maknanya (kognitif), dihayati kandungannya (afektif), dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (psikomotor).5Al-
1
Muhammad „Aly As Shabuny, Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Quran, (Bairut: Alim Al Kutub, 1985), hlm. 8 2
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 56
3
Raghib As Siraji, Cara Cerdas Hafal Al-Qur’an, (Solo: Aqwam, 2010), hlm. 16
4
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Indonesia Inggris, (Solo: Qamari, 2008), hlm. 515
5
Mana‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, (Bogor: Pustaka Literatur Antarnusa, 2007), hlm. 19
1
Quran bukanlah merupakan kitab undang-undang dan lebih lagi bukan buku sains dan teknologi. Menurut Fazlur Rahman bahwa tujuan pokok Al-Quran adalah ajaran moral. jika melihat kebelakang, keadaan dimana pertama kali Al-Quran diturunkan, maka akan ditemui keadaan masyarakat Makkah yang penuh dengan berbagai problem sosial. Dari yang paling kronis berupa praktek-praktek polyteisme penyembahan kepada berhala-berhala, eksploitasi terhadap orang miskin-miskin, penyalahgunaan di dalam perdagangan, sampai pada tidak adanya tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Meresponi situasi masayarakat seperti itu, Al-Quran meletakkan ajaran tauhid atau ketuhanan Yang Maha Esa, di mana setiap manusia harus bertanggungjawab kepadanya, dan pemberantasan kejahatan sosial dan ekonomi dari tingkat yang paling bawah sampe ke tingkat yang paling atas.6 Selain
pelajaran
mengenai
aqidah,
dalam
ayat
ini
penulis
juga
mengidentifikasi masalah lain yang menjadi pokok kandungannya, diantaranya yaitu aspek akhlak yang menjelaskan tentang birrul walidain (berbuat baik pada kedua orang tua). Dimana akhlak seorang anak terhadap kedua orangtua saat-saat mereka sangat membutuhkan yakni di saat kedua orang tua dalam usia lanjut. Bagaimana seorang anak berbuat baik kepeda kedua orang tua karena pada saat lanjut usia perilaku mereka berubah seperti anak-anak dan banyak lupa. Ini termasuk bagian dari perilaku birrul walidain seorang anak terhadap kedua orang tua.7
B. Rumusan Masalah Dalam tulisan ini, yang penulis jadikan sebagai rumusan masalah adalah: 1. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 23-25? 2. Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan agama berdasarkan Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia modern?
6
A. Qodri Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
hlm. 92 7
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 45
2
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung pada surat Al-Isra‟ ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. Sedangkan manfaat yang dapat kita ambil dari penelitian telaah Al-Quran ini adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan wawasan yang lebih komprehensif terhadap pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. 2. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu membantu dalam usaha penghayatan dan pengamalan terhadap isi kandungan dan nilai-nilai yang ada pada Al-Quran baik yang tersirat atau pun yang tersurat, lebih khusus lagi pada Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. 3. Penelitian ini dapat memberikan sedikit sumbangan bagi literatur ilmu pendidikan dalam beberapa aspek, yaitu aspek aqidah, akhlak, dan mua‟malah.
D. Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan kajian penting dalam sebuah penelitian yang akan kita lakukan. Kajian pustaka disebut juga kajian literal. Kajian pustaka merupakan sebuah uraian tentang literatur yang relevan dengan bidang atau topik tertentu.8 Penelitian pustaka ini pada dasarnya bukan penelitian yang benar-benar baru. Sebelum ini banyak yang sudah mengkaji objek penelitian tentang nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, penulisan dan penekanan skripsi ini harus berbeda dengan skripsi yang telah dibuat sebelumnya. Adapun telaah yang digunakan pada penulisan skripsi ini ialah menggunakan prior research (penelitian terdahulu). Prior research yaitu penelitian terdahulu yang telah membahas nilai-nilai pendidikan. Namun prior research yang digunakan penulis dalam pembuatan skripsi ini, adalah nilai-nilai pendidikan yang telah dikhususkan objek kajiannya, seperti nilainilai pendidikan akidah dan akhlak, dan lain sebagainya. Diantara prior research yang dimaksudkan diantaranya adalah sebagai berikut :
8
Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm 72
3
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak menurut Al Qur’an surat At Taghabun ayat 14. Disusun oleh Faiq Jauharotul Huda. Di sini dinyatakan nilai-nilai pendidikan akhlak yang dilakukan kepada anak dengan menggunakan metode pembiasaan yang sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari harus mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan anak. Penerapan pendidikan antara periode satu dengan periode yang lainnya harus berbeda, sebagai perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perbedaan usia dan bahkan peningkatan karakter dan paradigma anak. Jadi pendidikan akhlak yang dilakukan kepada anak seharusnya menggunakan metode pembiasaan yang sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.9 2. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat 199. Disusun oleh Zaenal Abidin.10 Di sini dinyatakan bahwa pola pendidikan Islami adalah pola pendidikan Qurani yang diaplikasikan oleh Rasulullah Saw. dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya melalui metode-metode pendidikan yang dicontohkan oleh beliau. Metode pendidikan Qurani adalah suatu cara atau tindakan-tindakan dalam lingkup peristiwa pendidikan yang terkandung dalam Al-Quran dan Assunnah. Jadi metode dalam pendidikan akhlak seharusnya menganut kepada pendidkan yang diajarkan oelh Rasulullah yang terkandung dalam Al-Quran dan As-sunnah 11 3. Nilai-nilai pendidikan social dalam Al-Quran surat Al Ma’un. Disusun oleh Nikmatul Ulfa. Di sini dinyatakan bahwa pembiasaan dalam pendidikan memiliki peranan yang sangat penting karena dengan membiasakan kepada anak terhadap hal-hal yang baik akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi yang sedang tumbuh dengan metode pembiasaan, pembelajaran diharapkan akan lebih bermakna bagi siswa. Jadi Metode pembiasaaan tepat untuk diterapkan dalam pengamalan pendidikan ahklak sebagai mata pelajaran yang dapat mendorong
9
Faiq Jauharotul Huda (3101332), Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Al-Qur’an Surat AtTaghabun Ayat 14, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td 10
Zaenal Abidin (3102044), Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Surah Al-A’raf Ayat 199, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007), td 11
Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2005), hlm.
216
4
siswa menghayati sekaligus mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.12 4. Nilai-nilai pendidikan keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin ayat 20. Disusun oleh Sri Mulyati.13 Di sini dinyatakan bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman, sesorang akan lebih mantap, lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu mengingat keagungan dan kebesaran Illahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah ilmu tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang agama Allah SWT (dinullah), sebab keduanya merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah.14 Dari beberapa kajian pustaka di atas, maka jelaslah bahwa tulisan skripsi yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 belumlah ada yang membahasnya. Dari hal inilah, penulis akan mencoba memaparkan dan menganalisis tentang nilai-nilai pendidikan yang ada pada Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dan Aktualisasinya dalam dunia modern.
E. Metode Penelitian 1. Fokus Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti mengemukakan fokus penelitian sebagai berikut : nilai-nilai pendidikan pada Q.S Al-Isra‟ yang meliputi tentang aspek pendidikan aqidah dan aspek pendidikan birrul walidain (berbuat baik pada kedua orang tua), Bagaimana akhlak seorang anak terhadap kedua orangtua di saat mereka sangat membutuhkan yakni di saat kedua orang tua dalam usia lanjut. Seharusnya seorang anak berbuat baik kepeda kedua orang tua karena pada saat lanjut usia perilaku mereka berubah seperti anak-anak dan banyak lupa. Ini bagian dari perilaku birrul walidain seorang anak terhadap kedua orang tua. Penelitian ini secara tidak langsung juga merupakan studi sejarah mengenai cerita isra‟ mi‟rajnya nabi Muhammad SAW, karena hal tersebut juga
12
Nikmatul Ulfa, Nilai-Nilai Pendidikan Social Dalam Al-Quran Surat Al-Ma’un, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td 13
Sri Mulyati, Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan Anak Dalam Al-Quran Surat Al-Jin Ayat 20, (Semarang : Perpustakaan fakultas tarbiyah, 2010), td 14
Musa Sueb, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Padoman Ilmu Jaya, 1996), hlm. 63
5
terdapat pada Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25, dan yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengenai isi dari Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. 2. Sumber Data Data penelitian ini diperolehdari kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang Islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah sumber primer, dan yang kedua adalah sumber sekunder. a) Sumber Primer Sumber primer adalah data yang diperoleh dari sumber inti. Dalam melakukan kajian mengenai suatu ayat, maka jelaslah kalau yang menjadi sumber data primer adalah berasal dari Al-Quran. b) Sumber Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian, dan memberi interpretasi terhadap sumber primer. Sumber data sekunder dapat berupa kitab-kitab tafsir maupun buku-buku bacaan yang masih relevan dengan pembahasan skripsi ini.15 Kitab-kitab tafsir yang penulis jadikan sebagai referensi penulisan skripsi adalah sebagai berikut : 1) Tafsir klasik : a) Tafsir Al Maraghi, karya Ahmad Musthafa Al Maraghi b) Tafsir Al Munir, karya Muhammad Nawawi Al Jawi c) Tafsir Fi Dzilalil Quran, karya Sayyid Quthb 2) Tafsir kontemporer : a) Tafsir Al Misbah, karya M.Quraish Shihab. b) TafsirAl-Azhar, karya Abdul Malik Karim amrullah c) Tafsir Al Bayan, karya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy 15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), hlm. 231
6
3. Metode Pengumpulan Data Tidak
kalah
penting
dari
metode-metode
lain,
adalah
metode
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, dan sebagainya.16 Menjadikan perpustakaan sebagai sumber data utama, yang dimaksud adalah untuk menggali teori dan konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, dan memanfaatkan data sekunder, serta menghindari duplikasi penelitian. Kemudian ditelaah dan dikritisi, serta mengadakan interpretasi secara cermat dan mendalam. 4. Metode Analisis Data Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis dengan metode yang diinginkan. Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan ini adalah metode tahlili. Metode
Tahlili
adalah
menafsirkan
ayat-ayat
Al-Quran
dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang mencakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang mentafsirkan ayat tersebut. Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang terkandung dalam Al-Quran, ayat demi ayat, dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut mencakup berbagai aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya. Dan tak ketinggalan pula pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in, maupun ahli tafsir lainnya.17
16
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, hlm. 231
17
Nashrudin Baidan, Methodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 31
7
F. Sistematika Pembahasan Bab pertama dimulai dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua
mendeskripsikan tentang Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 menurut para mufassir yakni menurut mufassir klasik dan mufassir kontemporer.
Bab ketiga
pemaparan nilai-nilai pendidikan dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25.
Bab keempat analisa dari aktualisasi pendidikan Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia modern. Bab kelima
kesimpulan secara keseluruhan serta memberi saran jika perlu.
8
BAB II DESKRIPSI Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25 A. Surat Al-Isra’ Ayat 23-25 1. Redaksi Ayat dan Terjemahan “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "Ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil", Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat”.1 2. Munasabah Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muqarabah) dan kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah). Ia juga bisa berarti hubungan atau persesuaian. Secara terminologi munasabah adalah ilmu Al-Quran yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar ayat atau surat dalam Al-Quran secara keseluruhan dan latar belakang penempatan tertib ayat dan suratnya. Menurut Quraisy Shihab munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang 1
Idris Abdul Somad, Dkk., Al-Quran dan Tafsirnya, (Semarang: PT. Citra Effhar, 1993), hlm. 550-551.
9
menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.2 Pendapat lain mengatakan bahwa munasabah merupakan sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui alasan-alasan penertiban bagian-bagian dari Al-Quran. Bahkan pendapat lain mengatakan munasabah merupakan usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian, ilmu ini menjelaskan aspek-aspek hubungan antara beberapa ayat atau surat Al-Quran baik sebelum maupun sesudahnya. Hubungan tersebut bisa berupa hubungan am (umum) dan khas (khusus), antara yang abstrak dan yang kongkrit, antara sebab dan akibat, antara yang rasional dan yang irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif. Adapun yang menjadi ukuran (kriteria) dalam menerangkan macammacam munasabah ini dikembalikan kepada derajat kesesuaian (tamatsul atau tasyabuh) antara aspek-aspek yang dibandingkannya. Jika munasabah itu terjadi pada masalah-masalah yang satu sebabnya dan ada kaitan antara awal dan akhirnya, maka munasabah ini dapat dipahami dan diterima akal. Sebaliknya, jika munasabah itu terjadi pada ayat-ayat yang berbeda sebabnya dan masalahnya tidak ada keserasian antara satu dengan lainnya, maka hal itu tidak dikatakan berhubungan (tanasub), karena sebagian ulama mengatakan:
“Munasabah adalah suatu urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia dikemukakan terhadap akal, niscaya akal menerimanya”.3 Jadi dapat disimpulkan bahwa munasabah termasuk hasil ijtihad mufasir, bukan tawqifi (petunjuk Nabi), buah penghayatannya terhadap kemukjizatan (i’jaz) Al-Quran dan rahasia retorika (makna) yang dikandungnya.4 Adapun letak persesuaian antara surat ini dengan surat an-Nahl dan sebabnya surat ini diletakkan sesudahnya adalah sebagai berikut:
2
Nashruddin Baidam, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 184-185. 3
Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 161-162. 4
Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, hlm. 161-162.
10
1. Bahwa Allah SWT. pada surat An-Nahl menceritakan tentang perselisihan umat Yahudi mengenai hari Sabtu, sedang pada surat ini Allah menunjukkan Syari’at Ahlus-Sabti (Syariat Yahudi) yang telah allah syari’atkan dalam Taurat. Menurut riwayat yang dikeluarkan dari Ibni Jarir dan Ibnu Abbas, bahwa dia pernah mengatakan: Sesungguhnya isi Taurat seluruhnya terdapat pada lima belas ayat dari surat Bani Israil. 2. Bahwa setelah Allah SWT. memerintahkan Nabi SAW. supaya bersabar dan menahan agar jangan bersedih dan jangan bersempit dada terhadap tipu daya orang-orang Yahudi pada surat yang lalu, maka pada surat ini Allah menyebutkan tentang kemuliaan Nabi-Nya dan keluhuran di sisi Tuhannya. 3. Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan beberapa nikmat yang banyak, sehingga karenanya surat itu disebut surat An-Ni’am. Maka, di sini pun Allah menyebut beberapa nikmat khusus maupun umum. 4. Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan bahwa lebah mengeluarkan dari dalam perutnya suatu minuman yang bermacam-macam dan mengandung obat bagi manusia. Maka Allah berfirman dalam surat Al-Isra’ ayat 82 yaitu: “Dan kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. 5. Pada surat yang lalu, Allah SWT menyuruh supaya menyantuni kepada kerabat. Hal yang sama juga diperintahkan oleh Allah di samping diperintahkan pula agar memberi sesuatu kepada orang miskin dan ibnu sabil.5 3. Asbabun Nuzul Menurut bahasa “Asbabun Nuzul” berarti sebab-sebab turunnya ayatayat Al-Quran. Al-Quran di turunkan Allah SWT. kepada Muhammad SAW. secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 23 tahun. Al-Quran diturunkan untuk memperbaiki akidah, akhlak, ibadah dan pergaulan manusia yang sudah
5
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm. 1-2.
11
menyimpang dari kebenaran. Sebab al-Nuzul atau asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat) di sini dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunnya ayat-ayat tertentu. Shubhi Al-Shahih memberi definisi asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat) yaitu:
“Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, tau memberi jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut” Berdasarkan rumusan di atas bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu. 6 Surat ini mempunyai beberapa nama, antara lain yang paling populer adalah surat Al-Isra’ dan surat Bani Isra’il. Ia dinamai al-Isra’ karena awal ayat ini berbicara tentang Al-Isra’ yang merupakan uraian yang tidak ditemukan secara tersurat selain pada surat ini. Demikian juga dengan nama Bani Isra’il, karena hanya di sini diuraikan tentang pembinaan dan penghancuran Bani Isra’il. Ia juga dinamakan dengan surat subhana karena awal ayatnya dimulai dengan kata tersebut. Nama yang populer bagi kumpulan ayat ini pada masa Nabi SAW. adalah surat Bani Isra’il. Pakar hadits at-Tirmidzi meriwayatkan melalui Aisyah ra., istri Nabi bahwa Nabi SAW. tidak akan tidur sebelum membaca surat Az-Zumar dan Bani Isra’il. Surat ini menurut mayoritas ulama turun sebelum Nabi SAW. berhijrah ke Madinah, dengan demikian ia merupakan salah satu surat makiyyah.7 Surat AlIsra’ di turunkan di kota Makkah, setelah turunnya surat Al-Qashas. Dalam urutan yang ada di dalam Al-Quran, surat Al-Isra’ berada setelah surat Al-Nahl dan memiliki 111 ayat.8 Ada yang mengecualikan dua ayat, yaitu ayat 73 dan 74, dan
6
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Quran 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 89-90. 7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 401. 8
Amr Khalid, Spiritual Al-Quran, (Yogyakarta: Darul Hikmah, 2009), hlm. 339.
12
ada yang menambahkan juga ayat 60 dan ayat 80. Masih ada pendapat lain menyangkut pengecualian-pengecualian beberapa ayat Makiyyah. Pengecualian itu disebabkan karena ayat-ayat yang dimaksud dipahami sebagai ayat yang membicarakan tentang keadaan yang diduga terjadi pada periode Madinah, namun pemahaman tersebut tidak harus demikian. Karena itu penulis cenderung mendukung pendapat ulama yang menjadikan seluruh ayat surat ini Makiyyah. Memang peristiwa hijrah terjadi tidak lama setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi SAW., yakni sekitar setahun lima bulan dan ini berarti turunnya surat ini pada tahun XII kenabian, di mana jumlah kaum muslimin ketika saat itu relatif banyak, walau harus diakui bahwa dibukanya surat ini dengan uraian tentang peristiwa Isra’, belum tentu ia langsung turun sesudah peristiwa itu. Bisa saja ada ayat-ayat yang turun sebelumnya dan ada juga yang turun sesudahnya. 9 Imam AlBiqa’i berpendapat bahwa tema utama surat ini adalah ajakan menuju ke hadirat Allah SWT., dan meninggalkan selain-Nya, karena hanya Allah pemilik rincian segala sesuatudan Dia juga yang mengutamakan sesuatu atas lainnya. Itulah yang dinamakan taqwa yang batas minimalnya adalah pengakuan Tauhid/Keesaan Allah SWT. Yang juga menjadi pembuka surat yang lalu (An-Nahl) dan puncaknya adalah ihsan yang merupakan penutup uraian surat An-Nahl. Ihsan mengandung makna fana’, yakni peleburan diri kepada Allah SWT. Semua nama-nama surat ini mengacu pada tema itu. Namun subhana yang mengandung makna penyucian Allah SWT. Merupakan nama yang paling jelas untuk tema itu, karena siapa yang Maha Suci dari segala kekurangan, maka dia sangat wajar untuk diarahkan kepada-Nya semata-mata hanya untuk pengabdian dan berpaling dari selain-Nya. Demikian juga nama Bani Israil. Siapa yang mengetahui rincian keadaan mereka dan perjalanan mereka menuju negeri suci yaitu Bait Al-Maqdis yang mengandung makna isra’, yaitu perjalanan malam, akan menyadari bahwa hanya Allah yang harus dituju. Dengan demikian, semua nama surat ini mengarah kepada tema utama yang disebut dengan aqidah.
9
M. Quraish Shihab, hlm. 401-402.
13
Thabathaba’i berpendapat bahwa surat ini memaparkan tentang Keesaan Allah SWT. dari segala macam persekutuan. Surat ini lebih menekankan sisi pensucian Allah dan sisi pujian kepada-Nya, karena itu berulang-ulang disebut di sini kata subhana (Maha Suci). Ini terlihat pada ayat 1, 43, 93, 108, bahkan penutup surat ini memuji-Nya dalam konteks bahwa Dia tidak memiliki anak, tidak juga sekutu dengan kerajaan-Nya dan Dia tidak membutuhkan penolong.10 B. Pendapat Mufasir Klasik Tentang Penafsiran Surat Al-Isra’ Ayat 23-25 Menurut bahasa kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassirutafsiran” yang artinya adalah keterangan, penjelasan atau menerangkan dan mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Tafsir Al-Quran adalah penjelasan atau keterangan-keterangan tentang firman Allah SWT. yang berhubungan dengan makna dan tujuan kandungan atau keterangan dan penjelasan tentang sesuatu kata atau kalimat yang digunakan di dalamnya.11 Adapun pengertian tafsir secara istilah seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Al-Jazairi adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh para pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekati dengan jalan mengemukakan salah satu petunjuknya (dilalahnya). Imam Al-Kilabi mengartikan tafsir adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan tujuan yang dikehendaki oleh nash atau teks Al-Quran tersebut. Dari pengertian tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, atau pemahaman manusia dalam menyikapi nilai-nilai samawi atau nilai-nilai Ilahiyyah yang terdapat di dalam Al-Quran. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan dalam penafsiran Al-Quran sangat mungkin terjadi karena dipengaruhi oleh latar belakang, disiplin ilmu, metode dan corak yang digunakan oleh para penafsirnya sendiri.12
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, hlm. 402-
11
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 79.
12
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, hlm. 79-80.
403.
14
Maksud dari potongan ayat di atas adalah Tuhanmu memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali terhadap Tuhan yang dari padanyalah keluar kenikmatan dan anugerah atas hamba-hamba-Nya, dan tidak ada yang dapat memberi nikmat kecuali Dia.13 Dalam tafsir Imam Qurthubi dinyatakan bahwa kata Qodhoo itu artinya memerintahkan (amara), mengharuskan (alzama), dan mewajibkan (awjaba). Ibnu Abbas, Hasan, dan Qatadah berkata: “Qodhoo di sini bukanlah qodhoo yang berarti memutuskan suatu perkara (qodho’uhukmin), melainkan qodhoo yang berarti memerintahkan suatu perkara (qodho amri)”.14 Kata ”qodhoo” Maksudnya memerintahkan, semua perintah mengandung konsekuensi hukum wajib15 (alaslufilamri lil wujub)16. Menurut Imam Nawawi dalam kitab Murohu Lubaid tafsir an-Nawawi perintah di sini adalah perintah yang mewajibkan.17 Menurut Ibn Abbas, Hasan dan Qatadah, Allah telah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan (mengesakan) Dzatnya. Selanjutnya Allah telah menjadikan perbuatan berbakti kepada kedua orangtua sebagai kewajiban yang berkaitan dengan hal itu, sebagaimana Dia juga mengaitkan antara syukur (berterima kasih) kepada orang tua dengan syukur kepada-Nya.18
13
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm. 58.
14
Muhammad Al-Fahham, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa AlAba’, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), hlm. 133. 15
Nizam Muhammad Saleh Ya’kubi dan Muhammad Shadik, TerjemahQurratu Al-Ainaini Fi Fadhail Birri Al-Wahdain Wa 55 Hikayah Fi Birri Al-Walidaini Li Thiflika, (Solo: Ziyad Visi Media, 2009), hlm. 18. 16
Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, (Jakarta: Saadiyyah Putra,. ), hlm. 11.
17
Muhammad An-Nawawi, Murohu Lubaid Tafsir An-Nawawi,(Semarang: Toha Putra,. ),
hlm. 476. 18
Muhammad Al-Fahham, hlm. 133-134.
15
Maksud dari potongan ayat di atas adalah agar kamu berbuat baik dan kebajikan terhadap orang tua, supaya Allah telah menyertai kamu. 19 Yang dimaksud dengan kata “ihsan” atau berbuat baik dalam ayat tersebut adalah berbakti kepada keduanya yang bertujuan untuk mengingat kebaikan orang tua karena sesungguhnya dengan adanya orang tua seorang anak itu ada dan Allah menguatkan hak-hak orang tua dengan memposisikan di bawah kedudukan setelah beribadah kepada Allah yakni mengtauhidkan Allah.20 Allah mengurutkan kedua amal tersebut dengan menggunakan lafazh tsumma yang memberikan pengertian “tertib” atau “teratur”. Dalam tafsir Al-Munir karya Wahban AzZuhaili dijelaskan bahwa Allah sering mengaitkan antara perintah untuk beribadah kepadanya dengan perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan cara memperlakukan mereka berdua dengan perlakuan yang baik dan sempurna. Hal itu disebabkan karena kedudukan mereka berdua di bawah kedudukan Allah. Yang merupakan sebab hakiki (yang sesungguhnya) dari keberadaan manusia (di muka bumi). Adapun mereka berdua (keduanya) hanyalah merupakan sebab zhahiri (yang nampak) dari keberadaan anak-anak, di mana mereka berdua akan mendidik mereka dalam suasana yang penuh dengan cinta, kelembutan, kasih sayang, dan sikap mengutamakan anak dari pada diri mereka berdua. Oleh karena itu, di antara sikap yang menunjukkan kesetiaan dan muru’ah seorang anak adalah membalas kebaikan mereka berdua itu, baik dengan cara memperlihatkan perilaku yang baik dan akhlak yang disenangi maupun dengan memberikan bantuan berupa materi jika mereka berdua memang membutuhkannya dan jika sang anak memang mampu melakukan hal tersebut.21 Maksud dari potongan ayat di atas adalah apabila kedua orang tua atau salah seorang di antaranya berada di sisimu hingga mencapai keadaan lemah, 19
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm. 58.
20
Abdullaah bin Ibrahim Al-Ansari, Fathul Bayan Fi Maqosidil Quran, (Bidaulatil Qitrin: Ihya’ Turosil Islam, 1248), hlm. 375. 21
Muhammad Al-Fahham, hlm. 135.
16
tidak berdaya dan tetap berada di sisi mereka berdua pada awal umurmu, maka kamu wajib belas kasih dan sayang terhadap keduanya. Kamu harus memperlakukan kepada keduanya sebagaimana orang yang bersyukur terhadap orang yang telah memberi karunia kepadanya. Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu AI-Haddaj yang katanya: Pernah saya berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyab, segala apa yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran mengenai birru i-walidain, saya telah tahu, kecuali firman-Nya: Apa yang dimaksud perkataan yang mulia di sini? Maka, berkatalah Ibnu AI-Musayyab: yaitu seperti perkataan seorang budak yang berdosa di hadapan tuannya yang galak.22 Menurut imam Jalalain dalam kitabnya tafsir jalalain yang dimaksud dengan perkataan yang mulia adalah perkataan yang yang baik dan sopan (jamilan layyinan),23 begitu juga menurut imam Nawawi perkataan yang mulia yakni perkataan yang lembut dan baik yang bertujuan untuk menghormati.24 Setelah Allah melarang melontarkan ucapan buruk dan perbuatan tercela, maka Allah SWT. menyuruh berkata-kata baik dan berbuat baik kepada keduanya.25 Maksud potongan ayat di atas adalah rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan adalah hendaknya seorang anak selalu menyenangkan hati kedua orang tuanya berapapun besarnya, baik itu dengan perkataan, dengan sikap dan perangai yang baik, dan jangan sekali-kali menyebabkan mereka itu murka atau benci atas putra-putrinya.26 Dalam Kitab Tafsir Imam Qurthubi menjelaskan Allah SWT telah menyebutkan aspek 22
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm. 61-62.
23
Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, (Surabaya, Darul Ilmi,. ), hlm. 230.
24
Muhammad An-Nawawi, hlm. 476.
25
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Terjemah Lubaib Tafsir Min Ibni Katsir, (Kairo: Mus’assasah, 1994), hlm. 238. 26
Maimunah Hasan, Rumah Tangga Muslim, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2000), hlm.
86-87.
17
pendidikan (yang dilakukan oleh kedua orang tua) itu secara khusus dengan maksud agar seorang hamba mau mengingat akan kasih sayang kedua orang tua kepada anaknya serta rasa letih yang telah dirasakan oleh mereka berdua dalam mendidik anaknya. Hal ini dapat menambah rasa sayang dan cinta dalam hati seorang hamba kepada orang tuanya.27 Maksud dari potongan ayat di atas adalah ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” adalah janganlah kamu merasa cukup dengan kasih sayangmu yang telah kamu berikan kepada mereka berdua, karena kasih sayangmu itu tidaklah kekal. Akan tetapi, hendaklah kamu berdoa kepada Allah agar dia mengasihi keduanya dengan kasihnya yang kekal, dan jadikanlah do’a itu sebagai balasan atas kasih sayang dan pendidikan yang telah mereka berikan kepadamu saat kamu masih kecil. Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, baik berupa perasaan berbakti dan menyakiti jika kamu orangorang yang baik yakni orang-orang yang taat kepada Allah, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat yakni orang-orang yang kembali kepada Allah dengan berbuat taat kepada-Nya.28 Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25 menurut mufasir klasik yaitu berisi tentang pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan akhlak birrul walidaini yang mana keduanya saling keterkaitan. Di sini Allah menempatkan posisi berbuat baik kepada orang tua langsung di bawah posisi pengesaan Allah dan penghambaan kepada-Nya tanpa disela dengan apapun. Menurut Imam AnNaisaburi dalam tafsirnya bahwa Allah sengaja menempatkan berbuat baik kepada
27
Muhammad Al-Fahham, Hlm. 135-136.
28
Bahrul Abu Bakar , Terjemah Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 1137.
18
orang tua langsung setelah ibadah kepada Allah karena keeratan korelasinya dengan ibadah, diantaranya: 1. Keduanya adalah fasilitator kelahiran mereka di muka bumi sekaligus fasilitator pendidikan mereka. Tidak ada persembahan yang lebih agung setelah persembahan Allah daripada persembahan orang tua. 2. Pemberian mereka mirip seperti pemberian Allah karena keduanya tidak meminta pujian maupun pahala dibalik pemberiannya. 3. Allah SWT tidak pernah jemu memberi kenikmatan pada hamba, mesti hambaNya melakukan dosa besar sekalipun. Begitu juga orang tua, mereka tidak akan memutuskan aliran kemurahan mereka pada anaknya meskipun ia tidak berbakti kepadanya. 4. Sama seperti Allah yang hanya menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, orang tua pun hanya menginginkan kesempurnaan bagi anaknya. Seorang anak tidak akan bisa sempurna kecuali berkat peran dan obsesi ayahnya. Buktinya, orangtua tidak pernah iri pada anaknya meskipun ia diungguli dan anak lebih baik
dari
pada
diri
mereka,
bahkan
justru
mereka
senang
dan
mendambakannya. Sebaliknya seorang anak tidak menginginkan jika ada orang lain yang lebih baik dari pada dirinya. C. Pendapat Mufasir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al-Isra’ Ayat 23-25 Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu telah menetapkan sesuatu ketetapan yang harus dilaksanakan yaitu jangan engkau menyembah selain Dia.29 Agar tidak menyembah tuhan-tuhan yang lain selain Dia. Termasuk pada pengertian menyembah tuhan selain Allah yakni mempercayai adanya kekuatan lain yang dapat mempengaruhi jiwa dan raga, selain kekuatan yang datang dari Allah. Semua benda yang ada yang kelihatan ataupun yang tidak adalah makhluk
29
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Bayaan, (Bandung: PT Al-Ma’arif,. ), hlm. 812.
19
Allah.30 Thahir Ibn Asyur menilai ayat ini dan ayat-ayat berikutnya merupakan perincian tentang syari’at Islam yang ketika turunnya merupakan perincian pertama yang disampaikan kepada kaum muslimin agar di Mekkah. Menurut Sayyid Quthb ayat ini berkaitan dengan tauhid (mengesakan Allah), bahkan dengan tauhid itu dikaitkan dengan segala ikatan dan hubungan, seperti ikatan keluarga, kelompok, bahkan ikatan hidup.31 Menurut Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dalam Tafsir Ibn Katsiir Allah berfirman seraya memerintahkan agar hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya.32 Begitu juga menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Tafsir Al-Azhar pada ayat 22 di atas tujuan hidup dalam dunia ini telah dijelaskan yaitu mengakui hanya satu Tuhan itu yakni Allah SWT. barangsiapa mempersekutukan-Nya dengan yang lain maka akan tercela dan terhina. Pengakuan bahwa hanya satu Tuhan tiada bersyarikat dan bersekutu dengan yang lain. Bahwasanya Tuhan Allah itu sendiri yang menentukan, yang memerintah dan memutuskan bahwa Dialah yang mesti disembah, dipuji dan dipuja. Dan tidak boleh dan dilarang keras menyembah selain Dia. Oleh sebab itu, maka cara beribadah kepada Allah, Allah sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah ibadah kepada Allah yang hanya dikarang-karangkan sendiri. Untuk menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia mengutus Rasul-rasul-Nya.33 Maksud dari ayat di atas adalah supaya berbuat ihsan kepada ibu bapak34 yakni berbuat baik kepada keduanya dengan sikap sebaik-baiknya. Allah
30
Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta, Menteri Agama Republik Indonesia, 1990), hlm. 343. 31
M. Quraish Shihab, hlm. 62.
32
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh Hlm. 238.
33
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1999), hlm. 4030. 34
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 812.
20
memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapak sesudah memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya. Dengan maksud agar manusia memahami betapa pentingnya berbuat baik terhadap ibu bapak dan mensyukuri kebaikan mereka seperti betapa besarnya penderitaan yang telah mereka rasakan pada saat melahirkan, betapa pula banyaknya kesulitan dalam mencari nafkah dan dalam mengasuh serta mendidik putra-putra mereka dengan penuh kasih sayang. Maka pantaslah apabila berbuat baik kepada kedua ibu bapak, dijadikan sebagai kewajiban yang paling penting diantara kewajiban-kewajiban yang lain dan diletakkan Allah dalam urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa.35 menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Bayaan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan tugas yang pertama sesudah beriman.36 Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam lanjutan ayat ini terang sekali bahwasanya berkhidmat kepada ibu bapak, menghormati kedua orang tua yang telah menjadikan sebab bagi manusia dapat hidup di dunia ini ialah kewajiban yang kedua sesudah beribadah kepada Allah.37 Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Quran bahwa sebuah ikatan yang pertama sesudah ikatan akidah adalah ikatan keluarga. Atas dasar inilah susunan ayat mengaitkan berbakti kepada kedua orang tua dengan pengabdian kepada Allah, sebagai deklarasi akan tingginya nilai berbakti kepada keduanya di sisi Allah.38 Maksud dari ayat di atas adalah jika usia keduanya atau salah seorang di antara keduanya, ibu dan bapak itu sampai meninggal tua sehingga tak kuasa lagi hidup sendiri sudah sangat bergantung kepada belas kasih puteranya hendaknya sabar dan berlapang hati memelihara orang tua. Bertambah tua terkadang bertambah dia seperti kanak-kanak seperti dia minta dibujuk, minta
35
menteri Agama Republik Indonesia, hlm. 554.
36
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 817.
37
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), hlm. 4031.
38
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Quran,(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 248.
21
belas kasihan anak. Terkadang ada juga bawaan orang tua membosankan anak, maka janganlah keluar dari mulut seorang anak walaupun itu satu kalimat yang mengandung rasa bosan atau jengkel di saat memelihara orang tua.39 Maksud dari ayat di atas adalah hendaklah katakan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang mulia, yang pantas, kata-kata yang keluar dari mulut orang yang beradab, sopan dan santun.40 Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan agar merendahkan diri kepada kedua orang tua dengan penuh kasih sayang. Yang dimaksud dengan merendahkan diri dalam ayat ini adalah mentaati apa yang mereka perintah selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan syara’. Taat anak kepada kedua orang tuanya merupakan tanda kasih sayang kepada kedua orang tuanya yang sangat diharapkan terutama pada saat keduanya sangat memerlukan pertolongannya. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir AL-Misbah Pada ayat ini tidak membedakan antara ibu dan bapak. Memang pada dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak selalu demikian. Thahir Ibn Asyur menulis bahwa Imam Syafi’i pada dasarnya mempersamakan keduanya sehingga bila ada salah satu yang hendak didahulukan, sang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan bapak sebagai tiga dibanding satu, penerapannya pun harus setelah memperhatikan faktor-faktor yang dimaksud.41 Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan untuk mendoakan kedua orang tua mereka, agar diberi limpahan kasih sayang Allah
39
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar , hlm. 4031.
40
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, hlm. 4033.
41
M. Quraish Shihab, hlm. 67.
22
sebagai imbalan dari kasih sayang kedua orang tua itu dengan mendidik mereka ketika masih kanak-kanak.42 Hanya saja ulama menegaskan bahwa doa kepada orang tua yang dianjurkan di sini adalah bagi yang muslim, baik masih hidup maupun telah meninggal. Sedangkan bila ayah atau ibu yang tidak beragama Islam telah meninggal terlarang bagi anak untuk mendoakannya. Al-Quran mengingatkan bahwa ada suri tauladan yang baik bagi kaum muslimin dari seluruh kehidupan Nabi Ibrahim as.43 Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, mengenai seseorang yang terburu nafsu mengucapkan kata-kata yang tidak sopan terhadap ayah ibunya, padahal bukan bermaksud menyakiti hati mereka, atau melakukan sesuatu perbuatan yang keliru, padahal dalam hatinya bermaksud baik dengan perbuatan itu, maka allah berfirman: “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu”.44 Syu’bah menceritakan dari Yahya bin Sa’id dari Said bin al-Musayyab, ia mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang berbuat dosa lalu bertaubat, berbuat dosa lalu bertaubat.” Demikian juga yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ma’mar, Atha’ bin Yasar, Said bin Jubair dan Mujahid mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang kembali kepada kebaikan”. Ibnu Jarir berkata: “di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa awwaabiin ialah orang yang bertaubat dari dosa dan meninggalkan maksiat menuju kepada ketaatan, bertolak dari apa yang dibenci Allah menuju kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya.” Apa yang dikatakan Ibnu Jarir inilah yang benar
42
Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, hlm. 556-557.
43
M. Quraish Shihab, hlm. 68.
44
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm. 34.
23
karena kata awwaabiin (orang-orang yang kembali) diambil dari kata al-aub yang berarti kembali.45 Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25 menurut mufasir kontemporer yaitu berisi tentang pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan birrul walidaini yang mana keduanya saling keterkaitan. Keyakinan akan keesaan Allah serta kewajiban mengikhlaskan diri kepada-Nya adalah dasar yang padanya bertitik tolak segala kegiatan. Setelah itu kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orang tua. Allah memerintahkan berbuat baik terhadap kedua orang tua dikarenakan sebab-sebab sebagai berikut: 1. karena kedua orang tua itulah yang memberi belas kasih kepada anaknya, telah bersusah payah dalam memberikan kebaikan kepadanya dan menghindarkan dari bahaya. Oleh sebab itu, wajib lah hal itu diberi imbalan dengan berbuat baik dan syukur kepada kedua orang tua. 2. Bahwa kedua orang tua telah memberikan kenikmatan kepada anak, ketika anak itu sedang dalam keadaan lemah dan tidak berdaya sedikitpun. Oleh karena itu, wajib hal itu di balas dengan rasa syukur ketika kedua orang tua itu telah lanjut usia.
45
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, hlm. 241.
24
BAB III NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25
A. Pendidikan Tauhid Secara bahasa tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhiidan, yang berarti menjadikan sesuatu satu. Secara syara’ tauhid berarti mengesakan Allah dalam penciptaan dan pengaturan, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya dan meninggalkan ibadah kepada yang lain, menetapkan Asmaul Husna dan Sifat yang Mulia bagi-Nya, dan membersihkan-Nya dari sifat kurang dan tercela. 1 jadi pengertian tauhid adalah meng-Esakan Allah dengan beribadah kepada-Nya, yakni agama yang disampaikan oleh para rasul Allah yang berisi tentang tauhid untuk hamba-Nya. Allah SWT dalam ayat-ayat-Nya memerintahkan untuk menyembah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan selalu mengabdi kepada-Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 23 yaitu:
Maksud dari potongan ayat di atas adalah dan Tuhanmu memerintahkan agar kamu (manusia) jangan menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali terhadap Tuhan (Allah). Dari pada-Nyalah keluar kenikmatan dan anugerah atas hamba-hambanya dan tidak ada yang dapat memberi kenikmatan kecuali Dia (Allah).2 Allah SWT melarang manusia mengada-adakan tuhan yang lain selain Allah, seperti menyembah patung dan arwah nenek moyang dengan maksud supaya dapat mendekatkan diri kepadanya. Termasuk yang dilarang itu ialah meyakini adanya tuhan selain Allah mengakui adanya kekuasaan yang lain selain Allah yang dapat mempengaruhi dirinya, ataupun kekuatan ghaib yang lain. Larangan ini ditujukan kepada seluruh manusia, agar mereka tidak tersesat dan tidak menyesal karena melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan terhadap Penciptanya. Padahal mereka seharusnya
1
Sugeng Ristianto, Tauhid Kunci Surga Yang Diremahkan, (Semarang: Rasail, 2010), hlm. 1.
2
Ahmad Mustafa al-Marai, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993),
hlm. 59.
25
mensyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, tidak mengadaadakan tuhan yang lain, yang lain sebenarnya tidak berkuasa sedikitpun untuk memberikan pertolongan kepada mereka, dan tidak berdaya pula untuk memberi mudarat.3 Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun.4 Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya. Dialah yang memberikan kehidupan dan kenikmatan pada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang memuja-muja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib yang lain, berarti ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan serta tak berhak disembah.5 Ini merupakan perintah untuk mengesakan Allah dalam penyembahan sesudah larangan berlaku syirik. Perintah yang diungkapkan dengan gaya keputusan, perintah yang bersifat niscaya seperti keniscayaan sebuah keputusan pengabdian. Dalam ayat ini memberi frame pada perintah yang ada berupa penekanan, disamping menekan khusus atas masalah ini, yang dapat dilihat peniadaan, pengecualian dan penekanan masalah tauhid dalam kehidupan.6 Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu sesuai dengan keyakinan tadi. Oleh karena itu, iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatan.7 pengakuan atas keesaan Allah mengandung kesempurnaan dan kepercayaan kepadanya dari dua segi, yakni segi rububiyyah dan segi uluhiyyah.
3
Departemen Agama, Tafsir Al-Quran, (Semarang: PT. Citra Effhar, 1993), hlm. 553.
4
Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), hlm. 488.
5
Departemen Agama, hlm. 545.
6
Sayyid Quthb, Terjemah Fi Zhilali-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 248.
7
Ahmad Taufiq dan Muhammad Rohmadi, Pendidikan Agama Islam Pendidikan Karakter Berbasis Agama, (Surakarta: Yuma Pressindo, 2010), hlm. 12.
26
Rububiyyah ialah pengakuan terhadap keesaan Allah sebagai Dzat Yang Maha Pencipta, Pemelihara dan memiliki semua sifat kesempurnaan. Sedangkan uluhiyyah ialah komitmen manusia kepada Allah sebagai satu-satunya Dzat yang dipuji dan disembah. Komitmen kepada Allah itu terwujud dalam sikap pasrah, tunduk dan patuh sepenuh hati sehingga seluruh amal perbuatan bahkan hidup dan mati seseorang semata-mata hanya untuk Allah SWT.8 Manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Allah SWT. dalam konteks ini menyadari sepenuhnya bahwa dibalik kekuasaan yang ada pada manusia ini, ada kekuasaan lain Yang Maha Besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Ia akan selalu berbuat kebajikan dalam kehidupan ini, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap masyarakat dan terhadap alam di sekitarnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.9 Zat Allah jelas tidak dapat kita tangkap dengan indera, akan tetapi AlQuran memberikan informasi tentang adanya Tuhan dengan sifat-Nya yang sempurna. Dari ayat-ayat yang bertebaran di dalam Al-Quran disimpulkan bahwa ada 99 nama Tuhan yang mulia (asma’ al-husna) yang menggambarkan sifat-Nya Yang Sempurna. Memperhatikan sifat-sifat Tuhan itu semua dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki berbagai sifat yang tidak ada bandingannya. Sebagai Tuhan, Dia tidak bekerja sama dengan makhluk-Nya. Dia menciptakan karena itu semua makhluk hanya tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang atau makhluk tidak berhak untuk dengan Dia, Yang Maha Pencipta. Dia berkuasa, berilmu dan dapat bertindak apa saja jika Dia menghendaki. Menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah ajaran inti agama (Islam). Sikap tauhid adalah meyakini dan mempercayai bahwa Allah Esa Zat-Nya, Sifat-Nya, Perbuatan-Nya, Wujud-Nya. Dia juga Esa Memberi Hukum, Esa Menerima Ibadah, Esa dalam Memberi Perlindungan kepada makhluk-Nya. Kepercayaan dan amal-amal ibadah akan menjadi rusak bila sikap tauhid (akidah)
8
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 87.
9
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 351-352.
27
labil dan lemah. Menurut M. Quraish Shihab dan ulama tafsir bahwa Keesaan Allah itu mencakup: a. Keesaan Zat Keesaan Zat-Nya mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian, karena jika zat yang mana kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih, maka itu berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Sedangkan semua unsur yang ada, Dia tidak membutuhkannya. Ini yang dimaksudkan. Allah berfirman dalam surat Faatthir ayat 15 yaitu:
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. b. Keesaan Sifat Adapun Keesaan sifat-Nya antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi (isi) dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjukkan sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjukkan rahmat atas kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-A’raaf ayat 180 yaitu: “hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. c. Keesaan Perbuatan Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya semuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya terjadi dan
28
apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak moderat) kecuali bersumber dari Allah SWT. Allah berfirman dalam surat Yaasiin ayat 83 yaitu: “Maka Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. d. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya Kalau ketiga Keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini, maka Keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna Keesaan terdahulu. Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat, salah satu ragamnya yang makin jelas adalah amalan yang ditetapkan cara atau kadarnya langsung oleh Allah atau melalui Rasul-Nya, dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan karena Allah. Allah berfirman dalam surat Al-An’aam ayat 162 yaitu: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.10 Adapun cara-cara untuk memelihara ketauhidan adalah: a. Dengan selalu menambah ilmu pengetahuan (terutama ilmu-ilmu agama). Kunci dari semua kehidupan dan iptek tentu ada di dalam kandungan Al-Quran. Oleh karena itu, hendaklah kita dapat menyimak dan mengkaji apa yang ada dalam kandungannya, agar kita tidak menjadi manusia yang lemah imannya dan sombong. Firman Allah dalam Q.S Al-Mujadalah ayat 11: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. 10
Mumi Jamal, Dkk,. Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2005), hlm.
754-758.
29
Banyak
gambaran
dari
Al-Quran
dan
As-Sunnah
yang
mengungkapkan tentang keagungan Allah. Jika seseorang Muslim mau memperhatikan ayat-ayat Allah, tentu hatinya akan bergetar dan jiwanya akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Agung, anggota-anggota jasmaniahnya akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Tinggi dan Maha Berkuasa, serta kekhusu’annya akan semakin bertambah kepada Allah SWT. Jelaslah bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman seseorang akan lebih mantap, lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu mengingat keagungan dan kebesaran Ilahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah ilmu tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang agama Allah SWT(dinnullah), sebab keduanya merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah. b. Memperbanyak amal shaleh (terutama shalat). Dalam tarikh, para sahabat Nabi SAW akan mempergunakan dengan sebaik-baiknya pada setiap kesempatan yang ada untuk selalu beramal shaleh. Seperti apa yang dituturkan Abu Bakar As-Shiddiq, “tatkala ditanya oleh Rasulullah SAW “Siapakah diantara kamu sekalian yang berpuasa pada hari ini?” Abu Bakar menjawab, “saya”. Beliau bertanya lagi, “lalu siapakah di antara kamu yang menjenguk orang sakit pada hari ini?” Abu Bakar menjawab lagi, “Saya.” Lalu Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah amal-amal ini menyatu dalam diri seseorang melainkan dia akan masuk Surga”.11 Dalam tarikh di atas menunjukkan kepada kita bahwa Abu Bakar AsSiddiq ra, sangat antusias dalam mempergunakan setiap kesempatan untuk memperbanyak ibadah. Jadi, bukan hanya dari amalan-amalan shalatnya, meskipun shalat adalah perkara fardhu. Dalam Al-Quran Surat Thaha ayat 14, Allah berfirman:
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”.
11
Musa Sueb, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm. 60-66.
30
Nabi muhammad SAW telah mengatakan dengan tegas, bahwa shalat itu baru akan membawa hasil jika apa yang dibaca di dalam shalat dimengertinya. “tidaklah dari seseorang muslim yang berwudhu maka dimengerti yang diucapkan, melainkan setelah shalat selesai shalat itu adalah seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya (tidak berdosa). Allah SWT tidak melarang kita dalam meraih kesenangan duniawi. Dan dalam pengejaran tersebut kita harus menyesuaikan dengan tuntunan norma ajaran agama yang telah ditetapkan nya serta didasari karena ketaatan kita kepada Allah SWT. Jadi, kita dalam mencari rizqi di dunia ini bukan semata-mata rakus duniawi dalam segi harta benda dan yang sejenisnya, yang memabukkan. c. Menjauhi segala yang dilarang Allah dan Rasulnya. Allah SWT menyerukan kepada manusia agar menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah karena dikhawatirkan manusia akan berjalan di luar garis yang telah ditentukannya. Jangankan menyimpang, mendekati laranganlarangannya pun maka dikhawatirkan manusia akan terperosok di dalamnya. Terperosoknya manusia kepada hal-hal yang ingkar, tentu saja akan banyak membawa kepada kehidupan kelak di akhiratnya.12 Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan tauhid pada ayat ini adalah Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan dan menyembah kepada-Nya, serta melarang menyekutukan Allah dengan apapun oleh sebab itu yang berhak disembah hanyalah Allah yang telah menciptakan alam dan semua isinya. Maka apabila ada manusia yang memuja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib berarti ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan serta tak berhak disembah.
B. Pendidikan Birul Walidaini Menurut keluasan pengertiannya, istilah Al-Birr meliputi aspek kemanusiaan dan pertanggungjawaban ibadah kepada Allah SWT. dalam jalur
12
Musa Sueb, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, hlm. 60-66.
31
hubungan kemanusiaan dalam tata hubungan hidup keluarga dan masyarakat wajib dipahami bahwa kedua orang tua yaitu ayah dan ibu menduduki posisi yang paling utama. Walaupun demikian, kewajiban beribadah kepada Allah dan taat kepada Rasul tetap berada di atas hubungan horisontal kemanusiaan. Berarti bahwa, dalam tertib kewajiban berbakti, mengabdi dan menghormati kedua orang tua (ayah dan ibu) menjadi giliran berikutnya setelah beribadah kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Motivasi atau dorongan dan kehendak berbuat baik kepada orang tua (birrul walidaini) telah menjadi salah satu akhlak yang mulia (mahmudah). Dorongan dan kehendak tersebut harus tertanam sedemikian rupa, sebab pada hakikatnya hanya bapak dan ibulah yang paling besar dan banyak berjasa kepada setiap anak-anaknya. Ayah adalah penanggung jawab dan pelindung anak dalam segala hal, baik segi ekonomi, keamanan, kesehatan, dan juga pendidikannya. Pada prinsipnya ayah menjadi sumber kehidupan dan yang telah menghidupkan masa depan anak. Sedangkan ibu tidak kalah besar pengorbanannya dari pada ayah. Ibulah yang hamil dengan susah payah, kemudian melahirkannya dengan penderitaan yang tiada tara. Lalu membesarkannya dengan penuh rasa kasih sayang. Dalam kedudukan sebagai anggota keluarga, ibu adalah kawan setia ayah yang berfungsi sebagai pendidik anak/anak-anaknya. Pemelihara keluarga dengan menciptakan ketentraman, keamanan dan kedamaian rumah tangga.13 Sesudah Allah memerintahkan supaya menyembah jangan menyembah selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benarbenar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka, apakah mereka benar-benar mendambakan kebaktiannya kepada kedua ibu bapak dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah pernyataan lahiriyah saja, sedang di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan membangkang. Itulah sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar13
A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm.
392.
32
benar orang-orang yang berbuat baik, yaitu benar-benar mentaati tuntunan Allah, berbakti kepada kedua ibu bapak dalam arti yang sebenar-benarnya, maka Allah akan memberikan ampunan kepada mereka atas perbuatannya.14 Allah SWT. dalam ayat-Nya memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik dan berterima kasih kepada mereka dengan perbuatan dan ucapan. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "Ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat”. Kata “ihsan” dalam ayat ini disebut tanpa alif lam ta’rif, sehingga mengandung makna umum. Ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan berbuat baik kepada orang tua dengan kebaikan berupa apa saja baik secara perbuatan, perkataan, perlakuan baik, dengan badan ataupun dengan harta benda. Kemudian Allah menegaskan pentingnya hal tersebut saat mereka berdua telah berusia lanjut. Karena pada saat itu mereka berdua sangat membutuhkan untuk diperlakukan dengan baik, lemah lembut, kasih sayang, hormat dan dimuliakan. Allah melarang untuk berbuat buruk kepada mereka. Membangkang, mengucapkan “Ah” kepada mereka, mengangkat suara dimuka mereka, menghardik dan memaki, menjelek-jelekan dan merendahkan mereka. Allah 14
Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Depag., 1990), hlm. 561.
33
SWT. Berfirman, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya dengan perkataan “Ah”atau, jangan menyakiti mereka walaupun dengan cara yang paling ringan”. Janganlah engkau menampakkan rasa bosanmu atau rasa terbebani dalam dirimu di depan mereka. Tetap bersabar dalam menghadapi kemungkinan mereka berbuat salah atau lupa di hadapanmu. Kemudian Allah berfirman, “janganlah engkau membentak mereka. Yakni jangan mengangkat suara di muka mereka atau berbicara dengan menunjukkan wajah kesal. Jangan pula menatap mereka dengan tatapan ketidaksenangan atau mengibaskan tanganmu dan meninggalkan mereka berdua. Setelah melarang mengucapkan kata-kata jelek dan berbuat buruk, Allah memerintahkan untuk mempergauli mereka dengan ucapan dan perbuatan baik. Dia berfirman, “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. Atau ucapan yang lemah lembut dan baik dengan hormat dan etika. Hal ini disesuaikan dengan kondisi, kesempatan, waktu dan tempat. Di dalam ayat ini nampak adanya beberapa ketentuan dan sopan santun yang harus diperhatikan sang anak terhadap kedua ibu bapaknya antara lain: 1. Anak tidak boleh mengucapkan kata “Ah” kepada kedua orang tua ibu bapaknya hanya karena sesuatu sikap atau perbuatan mereka yang kurang disenangi akan tetapi dalam keadaan serupa itu hendaklah anak-anaknya berlaku sabar, sebagaimana perlakuan kedua orang tua ketika mereka merawat dan mendidiknya di waktu anak itu masih kecil. Inilah awal tingkatan dalam memelihara kedua orang tua dengan penuh tata krama.15 2. Anak tidak boleh menghardik atau membentak kedua orang tua sebab dengan bentakan itu kedua orang tua akan terlukai perasaannya. Menghardik kedua orang tua adalah mengeluarkan kata-kata kasar pada saat anak menolak pendapat kedua orang tua atau menyalahkan pendapat mereka sebab pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat anaknya. Larangan menghardik dalam ayat ini adalah sebagai penguat dari larangan mengatakan “Ah” yang biasanya
15
Sayyid Quthb, Terjemah Fi Zhilalil-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 249.
34
diucapkan oleh seorang anak terhadap kedua orang tua pada saat ia tidak menyetujui pendapat kedua orang tuanya.16 3. Hendaklah anak mengucapkan kepada kedua orang tua dengan kata-kata yang mulia. Kata-kata yang mulia ialah kata-kata yang diucapkan dengan penuh khidmat dan hormat, yang menggambarkan tata adab yang sopan santun dan penghargaan yang penuh terhadap orang lain.17 Ini merupakan sikap positif yang sangat tinggi tingkatannya, yakni hendaknya ucapan sang anak kepada kedua orang tuanya menunjukkan sikap hormat dan cinta.18 Kemudian Allah berfirman, “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua”. Merendahkan diri di depan mereka berdua dengan perbuatanmu sebagai wujud kasih sayangmu dan penghormatan atas jasa-jasa mereka. Layanilah mereka seperti layaknya pembantu melayani majikannya. Taati mereka dalam kebaikan, penuhi panggilannya, tunaikan kebutuhannya, tutupi kesalahannya, lakukan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan jauhi hal-hal yang menyakiti dan dibenci mereka.19 Al-Faqih Abu Laits Samarqandy menegaskan: “sekalipun (umpamanya) perintah berbakti kepada kedua orang tua itu tidak dimuat dalam Al-Quran dan umpamanya tidak tekanannya, pasti akal sehat akan mewajibkannya, oleh itulah bagi yang berakal sehat harus mengerti kewajibannya terhadap kedua orang tua. Apalagi hal itu telah ditekankan oleh Allah dalam Semua kitabnya (yakni) Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran juga telah disampaikan kepada Nabi bahwa: “Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua”.20 Allah memerintahkan agar merendahkan diri kepada kedua orang tua dengan penuh kasih saying. Yang dimaksud merendahkan diri dalam ayat ini ialah mentaati apa yang mereka perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Taat anak kepada kedua orang tuanya 16
Departemen Agama Republik Indonesia, hlm. 556.
17
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, hlm. 556.
18
Sayyid Quthb, hlm. 249.
19
Abdul Aziz Al-Fauzan, Fikih Sosial Tuntunan dan Etika Hidup Bermasyarakat, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), hlm. 244-245. 20
Abu Lait Samarqandy, Terjemah Tanbihul Ghafilin, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2000),
hlm. 119.
35
merupakan tanda kasih sayangnya kepada kedua orang tuanya yang sangat diharapkan terutama pada saat kedua ibu bapak itu sangat memerlukan pertolongannya. Ditegaskan bahwa sikap rendah diri itu haruslah dilakukan dengan penuh kasih sayang agar tidak sampai terjadi sikap rendah diri yang dibuat-buat hanya sekedar untuk menutupi celaan orang lain atau untuk menghindari rasa malu pada orang lain, akan tetapi agar sikap merendahkan diri itu betul-betul dilakukan karena kesadaran yang timbul dari hati nurani.21 Dalam hal ini Allah tidak membedakan antara ibu dengan bapak. Memang pada dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah tetapi ini tidak selalu demikian. Thahir Ibnu Asyur menulis bahwa Imam Syafi’i pada dasarnya mempersamakan keduanya, sehingga bila ada salah satu yang hendak didahulukan maka seorang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan bapak sebagai tiga dibanding satu, namun penerapannya pun harus setelah memperhatikan faktor-faktor yang dimaksud. Doa kepada kedua orang tua yang diperintahkan di sini menggunakan alasan ( ) dipahami oleh sementara ulama dalam arti disebabkan karena mereka telah mendidikku di waktu kecil. Jika berkata sebagaimana, maka rahmat yang dimintakan itu adalah yang kualitas dan kuantitasnya sama dengan apa yang seorang anak peroleh dari keduanya. Adapun bila disebabkan karena, maka limpahan rahmat yang dimohonkan anak kepada keduanya itu diserahkan kepada kemurahan Allah SWT. dan ini dapat melimpah jauh lebih banyak dan besar daripada apa yang mereka limpahkan kepada seorang anak. Sangat wajar dan terpuji jika seorang anak memohonkan agar kedua orang tua memperoleh lebih banyak dari yang kita peroleh, serta membalas budi melebihi budi mereka. Ayat ini juga menuntun agar seorang anak mendoakan kedua orang tuanya. Hanya saja ulama menegaskan bahwa doa kepada kedua orang tua yang dianjurkan di sini adalah bagi yang muslim, baik masih hidup maupun telah meninggal.
21
Departemen Agama, hlm. 556-557.
36
Sedangkan bila kedua orang tua tidak beragama Islam telah meninggal, maka terlarang bagi anak untuk mendoakannya, Al-Quran mengingatkan bahwa ada suri tauladan yang baik bagi kaum muslimin dari seluruh kehidupan Nabi Ibrahim. Allah berfirman dalam surat Al-Mumtahannah ayat 4 yaitu : “kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (QS. Al-Mumtahannah: 4)22 Kemudian dilanjutkan dengan firman Allah, “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat”. Allah lebih tau apa yang ada di dalam hati manusia dari pada manusia itu sendiri, baik berupa penghormatan kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada mereka atau meremehkan hak dan durhaka kepada mereka. Allah akan memberi balasan kepada seseorang atas kebaikan atau keburukan yang mereka perbuat. Maka jika seseorang telah memperbaiki niatnya terhadap kedua orang tua dan taat kepada Allah mengenai berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang telah Allah perintahkan serta menunaikan suatu kewajiban yang wajib seseorang tunaikan terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni seseorang atas kekurangan yang dia lakukan. Karena Dialah Yang Maha Pengampun terhadap orang yang mau bertaubat dari dosanya dan berhenti dari maksiat kepada Allah, lalu kembali taat kepada-Nya serta melakukan hal-hal yang dicintai dan disukai Allah.23 Ayat tersebut juga merupakan janji bagi orang yang berniat hendak berbuat baik kepada orang tua dan juga ancaman terhadap orang yang meremehkan hak-hak orang tua serta berusaha untuk durhaka terhadap mereka berdua.24
22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 454-455. 23
Ahmad Mustafa Al-Maragi, hlm. 67.
24
Ahmad Musthafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Misbah, hlm. 67.
37
Allah memperingatkan agar seorang anak benar-benar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua orang tua dan tidak menganggap sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergerak dalam hati seorang anak, apakah mereka benar-benar mendambakan kebaktiannya kepada kedua orang tua dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah pernyataan lahiriyah saja, sedangkan di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan membangkang. Itulah sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-benar orang yang berbuat baik yaitu benar-benar mentaati tuntutan Allah, berbakti kepada kedua orang tua dalam arti yang sebenar-benarnya, maka Allah akan memberi ampunan kepada mereka atas perbuatannya.25 Penegasan ini dihadirkan di sini sebelum pembicaraan lebih lanjut tentang tugas kewajiban dan prinsip-prinsip moral yang lain, agar dijadikan barometer dalam setiap ucapan dan perbuatan. Juga untuk membuka pintu tobat dan rahmat bagi yang bersalah atau kurang dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Karena selagi hati seseorang masih baik (saleh) maka pintu ampunan tetap terbuka. Dan orang-orang yang pandai bertobat adalah mereka yang setiap kali berbuat salah mereka segera kembali kepada Tuhan dengan memohon ampunan-Nya.26 Jadi pada hakikatnya syukur kepada orang tua merupakan bagian dari perilaku baik seorang hamba kepada Allah, pelaksanaan terhadap perintahnya dan pemenuhan terhadap seruannya. Syukur kepada orang tua merupakan upaya untuk menghadapkan diri kepada Allah melalui sebuah ibadah agung yang bernama “berbakti kepada orang tua”. Hal itu bertujuan agar orang berbakti kepada kedua orang tuanya dapat memperoleh keberuntungan di sisi Tuhannya, Sang Dzat yang telah menciptakannya, yaitu keberuntungan berupa tempat kembali yang diharapkan, akhir yang diharapkan.27 Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tua mereka dengan alasan sebagai berikut:
25
Departemen Agama, hlm. 561.
26
Sayyid Quthb, hlm. 249.
27
Muhammad Al-Fahham, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa AlAba’, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), hlm. 136-137.
38
1. Kasih sayang kedua ibu bapak yang telah dicurahkan kepada anak-anaknya dan segala macam usaha yang telah diberikan agar anak-anaknya menjadi anakanak yang saleh, jauh dari jalan sesat. Maka pantaslah apabila kasih sayang yang tiada taranya itu dan usahanya tak mengenal payah itu mendapatkan balasan dari anak-anaknya dengan berbuat baik kepada mereka dan mensyukuri jasa baik mereka itu. 2. Anak-anak adalah bagian tulang dari kedua ibu bapak. 3. Anak-anak sejak masih bayi hingga dewasa, baik makanan ataupun pakaian menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, maka sepantaslah apabila tanggung jawab itu mendapat imbalan budi dari anak-anaknya. Kedua orang tua biasanya terdorong secara fitrah untuk mengasuh dan memperhatikan anaknya. Mereka berkorban apa saja, bahkan mengorbankan dirinya demi sang anak. Ibarat sebatang pohon ia menjadi rimbun dan menghijau sesudah menyedot semua makanan yang ada pada asal bibitnya sehingga biji itu menjadi terkoyak. Juga laksana anak ayam yang menetas sesudah ia menghisap habis isi telur sehingga tinggal kulitnya saja. Begitulah sang anak manusia. Ia menguras kebugaran, kekuatan, dan perhatian kedua orang tuanya sehingga mereka berdua menjadi tua renta, jika memang takdir menunda ajal keduanya. Meski demikian, kedua orang tua tetap merasakan bahagia atas segala pengorbanannya. Sedangkan, sang anak biasanya cepat sekali ia melupakan itu semua, dan ia pun segera melihat kedepan kepada istri dan anak cucunya. Dan begitulah kehidupan ini terus melaju.28 Pada prinsipnya kehidupan keluarga menurut Islam ialah keluarga menjadi ajang utama untuk menerapkan perintah-perintah Al-Quran dan AlHadist. Keharmonisan hidup berkeluarga, hubungan orang tua dengan anak menyangkut kewajiban, serta hak dan kewajiban anak untuk berbakti atau berbuat baik kepada kedua orang tua yang telah diatur secara mutlak di dalamnya. Sikap anak kepada kedua orang tua yang selaras dengan tuntutan Al-Quran dan Al-
28
Sayyid Quthb, hlm. 248.
39
Hadist.29 berbakti kepada kedua orang tua sebagai perbuatan yang paling baik, pengorbanan yang paling mulia dan paling dicintai Allah. Perilaku ini merupakan faktor terbesar didapatkannya pahala, kebaikan dan dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga merupakan jalan terdekat untuk mencapai keridhaan Allah dan surga-Nya. Bahkan Allah telah menjadikan keridhaan-Nya terletak pada keridhaan orang tua, kebencian-Nya terletak pada kebencian orang tua, dan menjadikan kedua orang tua sebagai pintu tengah surga, bahkan menjadikan surga berada di bawah telapak kaki keduanya.30 Allah menyandarkan perintah menyembah kepada-Nya dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua mengisyaratkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan setelah memenuhi hak Allah. Allah memerintahkan kepada manusia agar memberi perhatian khusus kepada kedua orang tua khususnya orang tua yang telah lanjut usia. Sebab di usia yang telah lanjut, orang tua lebih membutuhkan pertolongan dan perhatian dari anak-anaknya. Merawat orang tua yang lanjut usia tidaklah mudah. Sebab sifat mereka menyerupai anak kecil, butuh disuapi, dimandikan, dibaringkan dan sebagainya. Oleh karenanya, dibutuhkan kesabaran dan perhatian yang ekstra dalam melayaninya.31 Secara singkat dapat dikatakan bahwa nikmat yang paling banyak diterima oleh manusia ialah nikmat Allah, sesudah itu nikmat yang diterima dari kedua ibu bapak. Itulah sebabnya maka Allah SWT meletakkan kewajiban berbuat baik kepada ibu bapak pada urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah.32 Dengan gaya penuturan yang sejuk dan lembut serta gambaran masalah yang inspiratif ini, Al-Quran menyingkap rasa kesadaran manusia untuk berbakti dan rasa kasih sayang yang ada dalam nurani seorang anak terhadap orang tuanya. Dikatakan demikian karena suatu kehidupan yang
29
A. Munir dan Sudarsono, hlm. 395.
30
Abdul Aziz Al-Fauzan, hlm. 239.
31
Achmad Yani Arifin, Berbakti Kepada Orangtua, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008),
hlm. 62. 32
Departemen Agama Republik Indonesia, hlm. 555-556.
40
berjalan seiring dengan eksistensi makhluk hidup senantiasa mengarahkan paradigma mereka ke depan, ke arah anak cucu, kepada generasi baru, generasi masa depan. Jarang sekali hidup ini membalikkan pandangan manusia ke arah belakang, kepada nenek moyang, ke arah kehidupan masa silam, ke generasi yang sudah berlalu. Oleh karena itu, diperlukan dorongan kuat untuk menyingkap tabir hati nurani seorang anak agar ia mau menoleh ke belakang serta melihat para bapak dan para ibu. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak Birrul walidaini pada ayat ini adalah perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua yaitu, pertama untuk menjaga keridhaan dan kenyamanan hati orang tua. Menjaga keridhaan tidak mudah karena persoalan ridha menyangkut urusan hati. Untuk dapat menjaga keridhaan orang tua seorang anak harus betul-betul peka dan empati atas keadaan orang tua sebab tidak jarang sesuatu yang seseorang anggap baik, justru orang tua menganggap sebaliknya dan ini perlu disadari karena pikiran anak berbeda dengan pikiran orang tua. Dan yang kedua yaitu memelihara pergaulan dengan orang tua, misalnya merendahkan diri dihadapan mereka, berkata lembut, bersikap sopan, dan sebagainya. Hal ini sangat penting dan harus ada perhatian khusus karena setiap hari seorang anak berinteraksi dengan kedua orang tua. Terlebih disaat orang tua telah memasuki usia lanjut tentunya mereka sangat memerlukan perhatian lebih dari seorang anak.
41
BAB IV AKTUALISASI NILAI PENDIDIKAN Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25 DALAM DUNIA MODERN
A. Penguatan Akidah Peserta Didik Modernisasi merupakan suatu proses dalam pembangunan, yang bermakna suatu usaha untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam lingkungan/masyarakat berbeda
keadaan
semula.
Hasan
Basri
mengemukakan
perubahan
dalam
(modernisasi, yaitu: perubahan tersebut sifatnya progresif (maju) bukan sebaliknya (retriregsif), perubahan yang menyeluruh dalam berbagai segi kehidupan manusia. Pergeseran kehidupan yang bukan hanya dari segi material (duniawi) namun juga mencakup juga segi spritualnya (ukhrowi) yang lebih baik). Jadi modernisasi adalah upaya manusia dalam mengusahakan segala sesuatu dalam kehidupan agar menjadi baru dan selaras dengan kemajuan Iptek yang kesinambungan tanpa harus mengesampingkan kehidupan ukhrawi.1 Pendidikan agama di sekolahan umum, terlebih lagi di madrasah, bukan sekedar mengajar anak untuk hafal bacaan shalat atau semacamnya. Propenas (UU No. 25 tahun 2000) menyebutkan bahwa “pendidikan agama di sekolahan umu (TK, SD, SLTP, dan SMU) bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan dan ketaqwaan serta pembinaan akhlak mulia dan budi pekerti luhur”. Untuk mencapai tujuan yang disebut tadi, maka perlu ada penambahan jam pelajaran untuk setiap minggunya. Oleh karena itu, di dalam propenas juga disebutkan (di dalam matriks) agar terjadi “bertambahnya
jumlah
jam
pelajaran
agama,
minimal
3
jam
pelajaran
perminggunya”. Hal ini harus dipahami bahwa pelajaran agama di sekolahan umumpun tidak sekedar bertujuan untuk mampu menghafal bacaan shalat, namun lebih besar dari itu, sampai pada meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dan pembinaan akhlak . oleh karena itu wajar kalau kemudian penulis pertegas arah
1
Musa Sueb, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm. 46-47.
46
pendidikan agama di sekolahan umum.2 Ada dua sasaran, sekaligus merupakan arah pendidikan agama yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: Pertama, pendidikan agama di sekolahan umum hendaknya mampu mengajarkan aqidah peserta didik sebagai landasan keberagamaan. Dengan kata lain, agama diajarkan di sekolah untuk menjaga akidah peserta didik atau menjaga keimanan dan ketaqwaannya. Oleh karena itu, pendidik yang mengajar agama harus beragama yang sama dengan agama peserta didik. Pendekatan yang diberikan juga tidak banyak menekankan pada kajian kritis yang kritis. Kalau menggunakan argumentasi rasional (dalil aqli) sasarannya adalah untuk memperkuat akidah tadi. Dalam waktu bersamaan, pengertian menjaga akidah juga hendaknya meliputi menjaga pemahaman akidah yang diikuti oleh peserta didik. Dengan kata lain, jika peserta didik mengikuti aliran sunni (ahlusunnah wal jama’ah), tidak pada tempatnya untuk mengangkat guru agama yang mengikuti aliran syi’ah untuk mengajar mereka, kecuali ada kesepakatan dari pihak orang tua. Demikian pula sebaliknya. Seandainya melakukan kajian kritis, maka tetap dalam koridor akidahakidah yang diikuti. Jadi, bukan hanya seagama, namun juga sepaham dalam aliran akidah, sehingga tidak akan timbul masalah yang tidak diinginkan. Sudah barang tentu, jika sudah semakin dewasa, perbedaan aliran dalam paham aqidah tidak menjadi masalah jika masih dalam satu agama. Bahkan di tingkat pendidikan tinggi akan diberikan kajian kritis yang mencakup kajian yang mengkritisi paham-paham dalam aqidah Islam. Kedua, pendidikan agama mengajarkan kepada peserta didik pengetahuan tentang ajaran agama Islam. Untuk sasaran ini, dalam beberapa hal memang diperlukan kognitif atau hafalan. Namun, dalam praktik dan evaluasinya harus melibatkan praktik sehari-hari. Pelajaran bacaan shalat, do’a-do’a, bahkan juga bacaan ayat-ayat Al-Quran memerlukan hafalan. Dari hafalan itupun seharusnya dibarengi dengan praktik secara rutin dan serius. Ambil contoh tentang shalat. Disamping peserta didik diberi pelajaran hafalan untuk menjalankan shalat, dalam kenyataanya praktik mendirikan shalat juga harus menjadi perhatian serius. Artinya, 2
A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm.
73.
47
peserta didik tidak sekedar diberi pelajaran pengetahuan tentang shalat dengan segala bacaan yang harus dihafalkan, namun juga sekaligus hendaknya dipraktekkan untuk melakukan shalat, terlebih lagi untuk menjalankan shalat jama’ah. Sekolah/madrasah hendaknya berusaha menyediakan tempat untuk shalat atau mendirikan bangunan musholla atau masjid permanen. Akan lebih baik lagi jika bukan hanya menggalakkan shalat wajib di musholla atau di masjid saja, namun juga peserta didik dianjurkan menjalankan ibadah sunnah, seperti shalat dhuha, tadarrus Al-Quran dan lainnya. Demikian untuk pelajaran yang lainnya, seperti zakat, puasa, yang lainnya, termasuk selain pelajaran ibadah. Sesuai dengan tingkat berpikir peserta didik, ajaran Islam juga agar dimaknai secara kontekstual. Sebagai contoh ajaran zakat. Ajaran Islam tentang zakat disampaikan kepada peserta didik tidak dengan cara pemberian beban, oleh karena zakat adalah kewajiban. Namun, agar mampu memberi penjelasan bahwa zakat justru memberi inspirasi dan sekaligus landasan untuk etos kerja dari belajar yang rajin untuk sukses, sampai dengan kerja keras untuk menjadi orang yang mampu mengeluarkan zakat. Jadi, ketika peserta didik mendengar katakata zakat , yang terlintas di dalam pikirannya bukan beban kewajiban, namun jutru semangat etos kerja untuk menjadi orang yang mampu membayar zakat (kaya) dan kebanggaan untuk mampu melaksanakan kewajiban berupa membayar zakat. Kemudian dapat disaksikan bahwa pelajaran agama Islam tentang zakat mempunyai keterkaitan dengan keberhasilan belajar peserta didik dalam materi pelajaran secara keseluruhan.3 Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi, yang sering disebut sebagai pendekatan holistik atau integralistik. 3
A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, hlm. 73-75.
48
Dalam hal ini menurut nilsen bahwa ada 3 faktor yang ikut membentuk kualitas keberagamaan peserta didik, yaitu: a. Kualitas pemahaman tentang Tuhan sebagai nilai tertinggi dalam sistem agama. b. Kadar keagamaan sehari-hari terutama bagaimana menghayati hubungan antara nilai-nilai ideal agama dengan kenyataan kehidupan yang melibatkannya. c. Pandangan tentang dirinya, siapa hakikat dirinya, evaluasi tentang diri dan kemampuannya. Menurut Paul Hirst bahwa ajaran agama termasuk ranah kepercayaan dan bukan pengetahuan yang dapat diverifikasi secara umum. Karena itu materi agama yang diajarkan di sekolah hendaklah lebih bersifat deskriptif dan bukan penyajian yang mengagung-agungkan. Sedangkan menurut Dearden hendaklah dibedakan antara pendidikan agama dengan indoktrinasi. Pendidikan agama sebagai bagianbagian integral dari pendidikan pada umumnya, tak lepas dari prinsip pendidikan modern yang menurut Moran terdapat kecenderungan yang berprinsip bahwa fakta sentral dari gerakan pendidikan modern adalah adanya pengakuan terhadap anak didik sebagai faktor penentu dalam seluruh rancangan pendidikan. Pendidikan bukanlah untuk mencetak peserta didik sesuai dengan cetakan yang telah disiapkan lebih dahulu, tetapi untuk mengembangkan kekuatan-kekuatannya yang normal ke dalam tatanan alamiahnya.4 Agama Islam adalah agama yang mengajarkan kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa bertauhid kepada Allah semata, ini ditegaskan Luqman dengan suatu larangan berbuat syirik (menyekutukan Allah) kepada anaknya, sebagaimana firman Allah: “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Luqman: 12)
4
Ahmad Ludjito, Guru Besar Bicara: Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam, (Semarang: Rasail Media Group, 2010), hlm. 23-24.
49
Demikianlah Luqman telah menanamkan jiwa tauhid sebagai dasar agama ke dalam diri anaknya sebelum ia mengajar dan mengisi fikiran anaknya dengan ilmu pengetahuan. Dipenuhinya jiwa anaknya dengan semangat ke-Tuhanan Yang Maha Esa supaya di dalam jiwa anaknya terbit nur Ilahi, cahaya hidayah Allah yang akan membimbing serta memimpin hidupnya ke jalan yang lurus dan benar, jalan keselamatan dan kesejahtraan hidup di dunia dan akhirat. Juga agar jiwa anaknya penuh dengan akhlak dan moral ke-Tuhanan. Supaya semangat kesucian Allah mengalir dalam hati nurani dan pribadinya, ibarat sungai yang dapat memuaskan dahaga dan menyuburkan tanah. Demikian pula ilmu pengetahuan itu untuk berbakti kepada Allah dan menurut sepanjang keridhaan-Nya tidak disalah gunakan untuk menghancurkan peradaban dan kebudayaan, untuk merusak dan membinasakan dunia seisinya. Dengan dasar tauhid ini diharapkan jiwa anak mendapat kekuatan untuk menundukkan hawa nafsu yang menjadi biang keladi segala bentuk kejahatan dan kehancuran, mendapatkan kebebasan dan terlepas dari cengkraman syirik, khurafat dan takhayul, terhindar dari poengaruh kekuatan alam dan benda serta kekuasaan yang banyak dianggap orang mempunyai kesucian dan kesaktian, yang ke semua itu untuk memelihara nilai-nilai hidupnya sebagai makhluk yang termulia.5 keimanan adalah sesuatu yang teraplikasikan dalam niat, ucapan, dan perbuatan. Ia dapat menambah ketaatan seseorang kepada tuhan dan mengurangi kadar kemaksiatan terhadap-Nya,6 bukan hanya terletak pada hubungan antara manusia dengan Tuhannya saja (berupa penegasan simbol dan praktik ritual), tetapi juga meliputi masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kemanusiaan, yaitu mendidik peserta didik untuk menjadi insan yang baik, sehingga secara otomatis menjadi warga negara yang bermanfaat. Kalau dibahas lebih detail, “bermanfaat” artinya bahwa seseorang yang selesai dididik dalam proses pendidikan seharusnya tidak membawa mudarat (madharat) bagi orang lain. Lebih jauh, seseorang (peserta
5
A Shamad Hamid, Benalu Benalu Aqidah, (Jakarta: Qithi, 2005), hlm. 43-44.
6
Sa’id Abdul Azhim, Ukhuwah Imaniyyah Persaudaraaan Iman, (Jakarta: Qisthi, 2005),
hlm. 163.
50
didik) bukan hanya tidak mendatangkan mudarat terhadap orang lain, tetapi lebih dari itu dapat membawa manfaat.7 Pemahaman atau pemaknaan dan komitmen yang rendah terhadap ketaqwaan itulah yang menjadi penyebab utama jarang menyentuh makna yang sebenarnya dan praktik tentang taqwa dalam realitas pendidikan. Faktor lain adalah kebanyakan ahli kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan agama, dan para pembuat kebijakan pendidikan belum berfikir ke arah sana. Mestinya dengan adanya perubahan UUD 1945, terutama sekali yang berkaitan dengan pendidikan, maka perhatian itu harus serius. Penjabaran taqwa ke dalam proses pembelajaran telah tercabut dari akar maknanya. Kondisi ini diperkuat dengan model pendidikan yang lebih mengutamakan dimensi intelektual (kognitif) ketimbang pengembangan karakter dan kepribadian manusia. Maka seringkali dalam proses pembelajaran, terutama dalam sistem persekolahan, terlalu menekankan pada hafalan dan apa yang harus masuk keotak, serta jarang memberikan ruang kepada penanaman nilai ketaqwaan sebagai tuntutan tujuan pendidikan. Makna essensi taqwa itu sendiri kurang mendapatkan penjelasan dan uraian sampai pada perwujudan nilai dalam sikap dan perilaku peserta didik. Penulis tidak yakin bahwa di tingkat madrasah pun terdapat penjabaran yang lebih detail, lebih kongkrit dan lebih realistis tentang makna taqwa yang sebenarnya. Padahal Al-Quran banyak sekali menyebut kata taqwa, dan hampir selalu ungkapan takwa dibarengi dengan penyebutan amal shalih. Ini berarti bahwa praktik ketaqwaan harus mencakup perilaku kesalehan individual dan sosial dalam bentuk amal tadi. Ketika ketaqwaan diwujudkan dalam kehidupan sosial yang baik (shalih), barulah ajaran Islam itu dapat disebut membumi atau dipraktekkan dalam kehidupan keseharian.8 tujuan pendidikan mengacu pada makna taqwa seperti ini maka penjabarannya ke dalam rumusan operasional merupakan keharusan. Tujuan pendidikan seperti didefinisikan oleh para ahli pendidikan memang bermacammacam, namun yang terpenting dapat penulis sebutkan sederhana, misalnya,
7
A. Qodri Azizi, hlm. 137-138.
8
A. Qodri Azizi, Pendidikan
Untuk Membangun Etika, hlm. 135-136
51
mendidik peserta didik untuk menjadi insan yang baik, sehingga secara otomatis menjadi warga negara yang bermanfaat.9 jika ciri-ciri di dalam Al-Quran itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik, maka ia akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, serta bagi bangsa dan negara.10 Faktor-faktor yang memperkuat nilai-nilai ketauhidan terhadap peserta didik diantaranya ialah berikut: 1. sikap selalu memperbaharui syahadat sehingga orang yang bersangkutan terjaga dari perbuatan-perbuatan yang mengarah pada kesyirikan. 2. sikap tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang berubah dan menjanjikan hasil secara cepat (budaya instan). Sesuatu yang cepat berubah akan pula menjadi using. 3. sikap asyik dalam beribadah sehingga membentuk pribadi yang kokoh dan tidak mudah tergoda oleh pesona kehidupan duniawi. 4. sikap berhati-hati dalam ibadah dan ada rasa kekhawatiran bahwa nilai ibadah masih jauh dari sempurna. 5. sikap tawakkal yang tidak menenggelamkan pertimbangan akal sehingga tidak terpuruk ke dalam sikap fatalitas. Contoh, sikap Umar Ibn Khattab ketika menghindar untuk berkunjung ke sebuah daerah yang terserang penyakit menular. 6. sikap menyadari kelemahan dirinya sebagai manusia, terutama godaan hawa nafsu, sehingga senantiasa memohon perlindungan Allah.11 Maksud dari keterangan di atas adalah membentuk kepribadian peserta didik dan peran penting untuk menciptakan generasi yang lebih baik itulah tujuan pendidikan, yang jelas akan mengarahkan guru untuk mendidik peserta didik agar menjadi insan yang baik yang berarti menjadi warga negara yang baik pula. Ketika seorang muslim, sebagai wujud pendidikan yang berhasil, menjadi warga negara yang baik, ia tidak akan merugikan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat dan negara. Sebaliknya ia memberi manfaat kepada orang lain, masyarakat, negara dan agamanya. Keberhasilan pendidikan menciptakan kepribadian yang baik bagi peserta 9
A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, hlm. 137
10
A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, hlm. 138
11
Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah Islam, (Yogyakarta: Uii Press, 2001), hlm 33-34
52
didik mempunyai implikasi bahwa individu-individu peserta didik atau mantan peserta didik setelah dewasa tidak akan merugikan orang/warga negara lain, masyarakat atau negara. Agar dapat bermanfaat terhadap warga negara yang lain atau negara secara keseluruhan diperlukan kemampuan pengetahuan, ilmu, skill bagi tiaptiap peserta didik. Kemampuan memberi bekal kepada peserta didik untuk memiliki kemampuan pengetahuan/ilmu atau skill ini juga tergantung kepada keberhasilan pendidikan. Inilah manfaat dari pendidikan akidah.12 Modernisasi sebagai proses usaha pembaharuan dalam masyarakat dengan menggunakan hasil-hasil modernisasi ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia tidaklah berlawanan dengan ajaran Islam, sebaliknya malah justru diharapkan relisasinya. Agama Islam tidak melarang umatnya menggunakan hasil-hasil iptek, selagi modernisasi tersebut membawa manfaat serta memberi kemaslahatan bagi perkembangan perekonomian umat, sehingga dapat meningkatkan drajat hidup umat manusia. Juga, dalam menggunakan segala sesuatunya tidak menyimpang dari ajaran-ajaran-Nya dan tidak melampaui batas. Selain itu serta dalam era globalisasi dengan pencarian kebutuhan hidup jasmaniah, tentu saja juga harus berupaya menyeimbangkan dengan ruhaniah. Usaha untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan dunia ini merupakan realisasi agar pemikiran peserta didik tenang dan jernih, jasmani sehat dan bergairah untuk beribadah kepada Allah SWT, serta dapat membantu atau berbuat baik terhadap semua manusia.13 Ketidakpahaman akan modernisasi merupakan penyalahtafsiran tentang kemajuan, agar umat manusia dapat hidup lebih baik kepada hanya diperuntukkan keduniaan. Hal ini merupakan lebih berbahaya dari pada kebodohan. Terlenanya manusia dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan dalam modernisasi merupakan penyebab manusia terkena ujub dunia14. Sudah tentu dekade keimanan akan semakin tajam menggerogoti sanubari umat manusia.15 Agar peserta didik bisa
12
A. Qodri Azizi, hlm. 138-139.
13
Musa Sueb, hlm. 58.
14
Ujub adalah keangkuhan, kesombongan dan rasa bangga terhadap hal-hal yang bersifat
keduniaan. 15
Musa Sueb, hlm. 59.
53
berprestasi, maka ia haruslah kedudukan yang sama, mempunyai kesempatan yang sama, dan yang lebih penting lagi mempunyai kemerdekaan untuk berprestasi itu sendiri. Agar itu semua terpelihara, maka haruslah tidak terjadi kezaliman atau perampasan hak sebagian manusia untuk kepentingan manusia yang lain,16 yang selalu mengandung nilai-nilai yang berimplikasi pada kehidupan sosial. Dan hampir semua ajaran Islam mempunyai makna untuk kehidupan dunia yang baik, jika dipraktekkan.17 Dengan dasar tauhid tidak bisa terlepas dengan bagaimana pelaksanaan sebagai konsekwensi dari pengakuan tersebut terhadap diri peserta didik. Peserta didik bisa saja menyebut dirinya bahwa ia adalah seorang Muslim, seorang Mu’min yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun apakah pengakuan tersebut benar-benar telah sesuai antara lidah dan hatinya, antara ucapan dan amal perbuatan sebagai seorang Muslim dan Mu’min yang sesungguhnya sebagaimana dikehendaki oleh ajaran Islam itu sendiri. Yang jelas bagi peserta didik yang mempercayai dengan sepenuh hati bahwa tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya tentu ia akan membuktikan keyakinan itu dengan perbuatan nyata berupa amal ibadah sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta senantiasa menjaga serta memelihara hubungannya dengan Allah dengan sebaik-baiknya. Firman Allah: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Adz-Dzariyat: 56)18 Ayat Al-Quran ini sudah jelas bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah agar mereka menyembah Allah semata. Hanya Allahlah yang patut disembah, hanya Dia yang patut diabdi, keridhaanya menjadi tujuan dari semua tindakan. Inilah esensi dari risalah seluruh Nabi Muhammad yang hampir-hampir tidak dapat terungkapkan oleh Nabi sendiri kecuali dalam Firman Allah yang berarti “Marilah kubacakan apa
16
A. Qodri Azizy, hlm. 97.
17
A. Qodri Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika Sosial, hlm. 141. A. Shamad Hamid, hlm. 48.
18
54
yang diharamkan bagimu oleh Tuhanmu yaitu janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia”. Bahwa tauhid adalah perintah Tuhan yang tertinggi dan terpenting dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Tuhan untuk mengampuni semua dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid. Allah tidak akan mengampuni dosa syirik terhadap-Nya tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan sesuatau dengan Allah maka sungguh dia sudah berbuat dosa yang besar. Jelas sekali tidak ada satupun perintah dalam Islam yang bisa dilepaskan dari tauhid. Seluruh agama itu sendiri kewajiban untuk menyembah Tuhan, untuk mematuhi perintah-perintah-Nya dan akan hancur begitu tauhid dilanggar. Memang melanggar tauhid berarti meragukan bahwa Allah adalah Satu-satunya Tuhan. Dan ini berarti meyakini adanya wujud-wujud lain selain Allah sebagai Tuhan sebuah keyakinan yang hanya mungkin muncul dari mereka yang meragukan keterikatan manusia dengan firman Tuhan.19 Jadi dapat disimpulkan dari keterangan di atas bahwa aktualisasi nilai-nilai pendidikan akidah dalam dunia modern memiliki tujuan agar umat manusia dapat hidup lebih baik dan lebih sejahtera, baik dari segi lahiriyyah maupun segi batiniyyahnya dalam menggeluti tatanan kehidupan di dunia ini dengan tanpa mengesampingkan
kehidupan
ukhrawinya.
Agar
tujuan
modernisasi
yang
bernafaskan Islami itu tercapai dan dapat mensejahterakan kehidupan umat manusia dari dunia sampai akhirat, maka seseorang harus selalu membina dan memupuk secara kontinyu keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.20
B. Penanaman Nilai Birrul Walidaini Tidak diragukan lagi bahwa mendidik anak merupakan sebuah tanggung jawab yang sangat berat dan pekerjaan yang sangat melelahkan. Tanggung jawab ini dimulai dari masa kehamilan, melewati masa menyusui, dan diakhiri dengan masa pembentukan kepribadian dan pemberian perhatian kepada anak. Itu semua merupakan sebuah tugas yang bersifat moril dan materiil. Berapa banyak ibu yang
19
Isma’il Raji Al-Faruqi, Terjemah tauhid: Its Implications For Thought And Life, (Bandung: Pustaka Jalan Ganesha, 1988), hlm. 17. 20
Musa Sueb, hlm. 59-66.
55
merasakan tubuhnya lemah, uratnya letih, dan bebannya terasa semakin berat akibat beratnya proses kehamilan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahqaaf Ayat 15: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (AlAhqaaf:15) Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Allah SWT menjadikan syukur kepada orang tua dengan cara yang telah disebutkan dalam Al-Quran sebagai salah satu perwujudan rasa syukur kepada Allah.21 Barang siapa yang bersyukur kepada kedua orang tua, maka sesungguhnya dia telah bersyukur kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam Surat Luqman ayat 14: “bersyukurlahkepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu”. ( Luqman: 14) Ditegaskan bahwa sikap rendah diri itu harus dilakukan dengan penuh kasih sayang agar tidak sampai terjadi sikap rendah diri yang dibuat-buat hanya untuk sekedar menutupi celaan orang lain atau untuk menghindari rasa malu pada orang lain, akan tetapi agar sikap merendahkan diri itu betul-betul dilakukan karena
21
Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 132.
56
kesadaran yang timbul dari hati nurani. Dasar-dasar Islam ialah wawasan tajam terhadap sistem kehidupan Islam yang sesuai dengan kedua sumber pokok (Al-Quran dan As-Sunnah) yang menjadi dasar bagi perumusan tujuan dan pelaksanaan pendidikan Islam. Pendidikan Islam harus memperhatikan dua sudut dalam aspek kehidupan manusia secara terpadu tanpa adanya pemisah. Seperti aspek jasmaniah dan ruhaniah, akliyah dan qolbiyah, individu dan sosial, duniawiyah dan ukhrawiyah. Pendidikan Islam mengarahkan kepada pembentukan insan kamil, yakni khalifah Allah yang pada hakikatnya ialah menjadi manusia saleh (manusia yang dapat menjadikan rahmat bagi semesta alam).22 Penanaman nilai birrul walidaini akan menjadi nyata bila seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya lima hal sebagai berikut: 1. Janganlah kamu jengkel terhadap sesuatu yang kamu lihat dilakukan oleh salah satu dari orang tua atau oleh kedua-duanya yang menyakitkan hati orang lain, tetapi bersabarlah menghadapi semua itu dari mereka berdua, dan mintalah pahala Allah atas hal itu, sebagaimana kedua orang tua itu pernah bersikap sabar terhadapmu ketika kamu kecil. 2. Janganlah kamu menyusahkan keduanya dengan suatu perkataan yang membuat mereka berdua merasa tercela. Hal ini merupakan larangan menampakkan perselisihan terhadap mereka berdua dengan perkataan yang disampaikan dengan nada menolak atau mendustakan mereka berdua, di samping ada larangan untuk menampakkan kejemuan, baik sedikit maupun banyak. 3. Ucapkanlah dengan ucapan yang baik kepada kedua orang tua dan perkataan yang manis, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, sesuai dengan kesopanan yang baik, dan sesuai dengan tuntutan kepribadian yang luhur. Seperti ucapan: Wahai Ayahanda, wahai Ibunda. Dan janganlah kamu memanggil orangtua dengan nama mereka, jangan pula kamu meninggikan suaramu di hadapan orangtua, apalagi kamu memelototkan matamu terhadap mereka berdua.23
22
Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, hlm. 132.
23
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Terjemah Lubaib Tafsir Min Ibni Katsir, (Kairo: Mus’assasah, 1994), hlm. 238.
57
4. Bersikaplah kepada kedua orang tua dengan sikap tawadhu’ dan merendahkan diri, dan taatlah kamu kepada mereka berdua dalam segala yang diperintahkan terhadapmu, selama tidak berupa kemaksiatan kepada Allah. Yakni, sikap yang ditimbulkan oleh belas kasih dan sayang dari mereka berdua, karena mereka benar-benar memerlukan orang yang bersifat butuh pada mereka berdua. Dan sikap seperti itulah, puncak ketundukan dan kehinaan yang bisa dilakukan. 5. Hendaklah kamu berdoa kepada Allah agar dia merahmati kedua orang tua dengan
rahmatnya yang abadi, sebagai imbalan kasih sayang mereka berdua terhadap dirimu ketika kamu kecil, dan belas kasih mereka yang baik terhadap dirimu.24 Maksud dari keterangan di atas adalah Janganlah seorang anak memandang kedua orang tua kecuali dengan belas kasih, jangan meninggikan suara melebihi tingginya suara orang tua, jangan mendahului kehendaknya. 25 Anak harus menundukkan pandangan dan membungkukkan diri dihadapan ibu bapaknya, maka secara otomatis ia tidak boleh berkacak pinggang di depan orang tuanya, apalagi bersikap menantang. Karena adanya keharusan sikap menunduk di hadapan ibu bapak ini, maka hal yang harus diperhatikan ialah anak tidak boleh bersujud seperti ia sujud dalam shalat di hadapan ibu bapaknya karena ingin melakukan perintah ini. Sebab sujud hanyalah boleh dilakukan manusia terhadap Allah semata-mata26, yang bertujuan untuk bertawadhu’ kepada kedua orang tua.27 Kalau diaktualisasikan dalam dunia modern ini, justru perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut usia sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang terdekat terutama seorang anak, malahan mereka kebanyakan diasingkan dari keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik. Akhirnya, mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain. Memang
24
Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm.
62-63. 25
Muhammad Husain At-Thobatobai, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Quran, (Libanan: Yayasan A’lami, 1991), hlm. 96. 26
Muhammad Thalib, 40 Tanggung Jawab Anak Terhadap Orang Tua, (Yogyakarta: Ma’alimul Usrah, 2005), hlm. 27. 27
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 476.
58
memasukkan orang tua ke panti jompo bukanlah tindakan tercela. Tetapi alangkah lebih baik jika seorang anak sendiri yang merawatnya. Bukankah dulu seorang anak dirawat orang tuanya sendiri. Dulu orang tua sangat takut berpisah dengan anak tetapi mengapa sekarang pada usia lanjut dipisah dengan dititipkan di panti jompo dan lain sebagainya.28 Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah berkata bahwa orang yang diberi kesempatan oleh Allah untuk merawat kedua orangtuanya yang lanjut usia merupakan keuntungan yang sangat besar. Namun sebaliknya, bagi mereka yang hanya bisa menyaksikan orang tuanya sampai lanjut, tapi tidak berbuat kebaikan terhadapnya, maka akan sangat merugi di akhirat kelak.29 Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya nista, sungguh nista, sungguh nista!ditanyakan kepada Rasulullah, “siapakah wahai Rasul?” Beliau bersabda, “orang yang bisa menerima kedua orangtuanya atau salah satunya yang sudah berusia lanjut, tetapi ia tidak bisa masuk surga”. (H.R. Muslim)30 Memasukkan orang tua ke panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin tetapi alangkah lebih baiknya jika kita sendiri yang merawat mereka. Bukankah dulu seorang anak dirawat sendiri oleh mereka, benar bahwa fasilitas di panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin. Tetapi rasa tenang tinggal di rumah sendiri dengan ditemani anak-anak dan cucu-cucu tidak akan diperoleh di panti jompo.31 Inti ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw tidak lain adalah membentuk manusia yang berakhlak
dan
memiliki
moralitas
yang
baik.
Rasulullah
sendiri
menyatakan:”sesungguhnya aku diutus tidak lain dalam rangka menyempurnakan akhlakul karimah”. Oleh karena itu Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak, ia merupakan ruh dari semua perbuatan, aktivitas, kreasidan karya manusia. Kualitas perilaku seseorang diukur dari faktor moral/akhlak ini, sebagai cermin dari
28
Achmad Yani Arifin, Berbakti Kepada Orang Tua, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008),
hlm. 62. 29
Achmad Yani Arifin, Berbakti Kepada Orang Tua, hlm. 45-48. Imam Muslim, Shahih Muslim, (Sankapurah Pinang: Sulaiman marai, 31 Achmad Yani Arifin, Berbakti Kepada Orang Tua, hlm. 62. 30
.), hlm. 420.
59
kebaikan hatinya. Rasulullah saw dalam sebuah hadits mengatakan:”ketahuilah bahwa didalam jasad manusia itu ada segumpal daging, bila ia baik akan baiklah manusia itu dan apabila ia rusak, rusak pulalah manusia itu. Ketahuilah, itu adalah hati”.32 Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Pentingnya kedudukan akhlak dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyyah (sunnah dalam bentuk perkara) Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Akhmad yaitu: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak, dan diriwayatkan oleh imam Tarmizi yaitu: “mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya”. dan akhlak Nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam.33 Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dari isi pendidikan Islam. Posisi ini terlihat dari kandungan Al-Quran sebagai referensi paling penting tentang akhlak bagi kaum muslimin, individu, keluarga, masyarakat dan umat. Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta membuat hidup dan kehidupan menjadi baik. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak masyarakat manusia tidak akan berbeda dari kumpulan hewan.34 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilakunya, baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai mahkluk individu dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang dialami ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materiil, sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-
32
Zulkarnain, Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 8. 33
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 348-349. 34
Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), hlm. 89.
60
nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia.35 Jadi dapat disimpulkan penanaman nilai birrul walidaini adalah berbuat baik kepada orang tua yakni berbakti kepada orang tua. Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada orang tua lebih-lebih saat mereka sudah usia lanjut. Perintah untuk tetap berbakti kepada orang tua yang sudah lanjut usia mengindikasikan bahwa ketaatan kepada orang tua harus dilakukan secara menyeluruh. Menyeluruh artinya dalam seluruh hidup seorang anak. Selagi seorang anak masih hidup di dunia maka seorang anak wajib berbakti kepada mereka. Menyeluruh juga bisa diartikan berbakti kepada orang tua secara total baik dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh. Dengan hati seorang anak dapat mendoakan orang tua. Dengan lisan seorang anak dapat bertutur kata dengan baik kepada mereka. Dengan anggota tubuh seorang anak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka di saat mereka sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya sendiri.
35
Mahjuddin, Kuliah Akhlak-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 39.
61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan dalam Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern yaitu: 1. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun.Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya. Dia-lah yang memberikan kehidupan dan kenikmatan pada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang memuja-muja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib yang lain, berarti ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan serta tak berhak disembah.kedua, Pendidikan birrul walidaini (berbuat baik kepada kedua orang tua) yakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan menyembah selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benar-benar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka, apakah mereka benar-benar mendambakan kebaktiannya kepada kedua ibu bapak dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah pernyataan lahiriyah saja, sedang di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan membangkang. Itulah sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-benar orang-orang yang berbuat baik, yaitu benar-benar mentaati tuntunan Allah, berbakti kepada kedua ibu bapak dalam arti yang sebenarbenarnya, maka Allah akan memberikan ampunan kepada mereka atas perbuatannya. 62
2. aktualisasinilai-nilai pendidikan berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia modern yaitupertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mengajarkan kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama tidak lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi, yang sering disebut sebagai pendekatan holistik atau integralistik.kedua, pendidikan birrul walidaini (berbuat baik kepada kedua orang tua) dalam dunia modern sekarang inijustru perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut usia sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang terdekat terutama seorang anak, malahan mereka kebanyakan diasingkan dari keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik. Akhirnya, mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain.Memang memasukkan orang tua ke panti jompo bukanlah tindakan tercela. Tetapi alangkah lebih baik jika seorang anak sendiri yang merawatnya. Bukankah dulu seorang anak dirawat orang tuanya sendiri. Dulu orang tua sangat takut berpisah dengan anak tetapi mengapa sekarang pada usia lanjut dipisah dengan dititipkan di panti jompo dan lain sebagainya. B. Saran–saran Dari keterangan di atas penulis mempunyai saran-saran yaitupertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mampu mengajarkan aqidah peserta didik sebagai landasan keberagamaan. Dengan kata lain, akidah diajarkan di sekolah untuk menjaga akidah peserta didik atau menjaga keimanan dan 63
ketaqwaannya. Oleh karena itu, pendidik yang mengajar agama harus beragama yang sama dengan agama peserta didik. Pendekatan yang diberikan juga tidak banyak menekankan pada kajian kritis yang kritis. Kalau menggunakan argumentasi rasional (dalil aqli) sasarannya adalah untuk memperkuat akidah tadi. Dalam waktu bersamaan, pengertian menjaga akidah juga hendaknya meliputi menjaga pemahaman akidah yang diikuti oleh peserta didik.Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi dengan adanya penambahan jam pelajaran setiap minggunya.kedua, pendidikan birrul walidaini(berbuat baik kepada kedua orang tua) seharusnya seorang anak memandang kedua orang tua kecuali dengan belas kasih, jangan meninggikan suara melebihi tingginya suara orang tua, jangan mendahului kehendaknya.Anak harus menundukkan pandangan dan membungkukkan diri dihadapan ibu bapaknya, maka secara otomatis ia tidak boleh berkacak pinggang di depan orang tuanya, apalagi bersikap menantang.Pada masa sekarang, memasukkan orang tua ke panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin tetapi alangkah lebih baiknya jika seorang anak sendiri yang merawat mereka. Bukankah dulu seorang anak dirawat sendiri oleh mereka, benar bahwa fasilitas di panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin. Tetapi rasa tenang tinggal di rumah sendiri dengan ditemani anak-anak dan cucu-cucu tidak akan diperoleh di panti jompo.
64
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Zaenal (3102044), Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat 199, Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007. Abdul Azhim Sa’id, Ukhuwah Imaniyyah Persaudaraaan Iman, Jakarta: Qisthi, 2005. Abu Bakar Bahrul, Terjemah Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990. Abu Lait Samarqandy Abu, Terjemah Tanbihul Ghafilin, Surabaya, Mutiara Ilmu, 2000. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Agil Husin Al-MunawarSaid, Al-Quran Membangun Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Ahmad Ludjito, Guru Besar Bicara: Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam, Semarang: Rasail Media Group, 2010. Aly As Shabuny Muhammad, Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Quran, Bairut: Alim AlKutub, 1985. Al-Qattan Mana’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka Literatur Antarnusa, 2007. Al-Maragi Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993. Al-Ansari Abdullaah bin Ibrahim, Fathul Bayan Fi Maqosidil Quran, Bidaulatil Qitrin: Ihya’ Turosil Islam, 1248. Al-Fahham Muhammad, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa AlAba’, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006. Alu Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Terjemah Lubaib Tafsir Min Ibni Katsir, Kairo: Mus’assasah, 1994. Al-Fauzan Abdul Aziz, Fikih Sosial Tuntunan dan Etka Hidup Bermasyarakat, Jakarta: Qisthi Press, 2007. Al-Fahham Muhammad, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa AlAba’, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006. Al-Qarni Aidh, Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press, 2007.
An-Nawawi Muhammad, Murohu Lubaid Tafsir An-Nawawi, Semarang: Toha Putra,. An-Nahlawi Abdurrahman, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006. As Siraji Raghib, Cara Cerdas Hafal Al-Qur’an, Solo: Aqwam, 2010. Azizy A. Qodri, Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003. Baidam Nashruddin Baidam, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Bahreisy Salim dan Bahreisy Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990. Baidan Nashrudin, Methodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh Abdullah, Terjemah Lubaib Tafsir Min Ibni Katsir, Kairo: Mus’assasah, 1994. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Indonesia Inggris, Solo: Qamari, 2008. Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993. Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta: Depag., 1990. Departemen Agama, Tafsir Al-Quran, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993. Huda Faiq Jauharotul (3101332), Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Al-Qur’an surat At Taghabun ayat 14, Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008. Hasbi Ash-Shiddieqy T.M., Al-Bayaan, Bandung: PT Al-Ma’arif,. . Hakim Abdul Hamid, As-Sullam, Jakarta: Saadiyyah Putra,.
.
Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, JAkarta: Friska Agung Insani, 2003.
Husain At-Thobatobai Muhammad, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Quran, Libanan: Yayasan A’lami, 1991. Ibn Rusn Abidin, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Jauhari Muchtar Heru, Fiqih Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2005. Jalalain Imam, Tafsir Jalalain, Surabaya, Darul Ilmi,.
.
Junaedi Mahfud, Ilmu Pendidikan Islam Filsafat dan Pengembangan, Semarang: Rasail Media Group, 2010. Khalid Amr, Spiritual Al-Quran, Yogyakarta: Darul Hikmah, 2009. Malik Karim Amrullah Abdul, Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1999. Mahjuddin, Kuliah Akhlak-Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 1991. Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta: Menteri Agama Republik Indonesia, 1990. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. Mulyati Sri, Nilai-nilai pendidikan keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin ayat 20, Semarang : Perpustakaan fakultas tarbiyah, 2010. Munir A. dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993. Mubarok Latif Zaky, dkk., Akidah Islam, Yogyakarta: Uii Press, 2001. Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993. Muslim Imam, Shahih Muslim, Sankapurah Pinang: Sulaiman marai,
.
Naim Ngainun , Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009. Nikmatul Ulfa, Nilai-nilai pendidikan social dalam Al Qur’an surat Al Ma’un, Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008. Quraish Shihab M., Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Quraish Shihab. M , Membumikan Al-Quran, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007. Quthb Sayyid, Fi Zhilalil-Quran, Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Raji Al-Faruqi Isma’il, Terjemah tauhid: Its Implications For Thought And Life, Bandung: Pustaka Jalan Ganesha, 1988. Ristianto Sugeng, Tauhid Kunci Surga Yang Diremahkan, Semarang: Rasail, 2010. Setyosar Punaji, Metode penelitian pendidikan, Jakarta : Kencana, 2010. Shamad Hamid A, Benalu Benalu Aqidah, Jakarta: Qisthi, 2005. Sueb Musa, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, Jakarta: Padoman Ilmu Jaya, 1996. Supiana dan Karman M., Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002. Syadali Ahmad dan Rofi’i Ahmad, Ulumul Quran 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Taufiq Ahmad dan Rohmadi Muhammad, Pendidikan Agama Islam Pendidikan Karakter Berbasis Agama, Surakarta: Yuma Pressindo, 2010. Thalib Muhammad, 40 Tanggung Jawab Anak Terhadap Orang Tua,Yogyakarta: Ma’alimul Usrah, 2005. Tim Departemen Agama Fisif-ut , Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Universitas Terbuka, 2005. Ya’kubi Nizam Muhammad Saleh dan Shadik Muhammad, TerjemahQurratu AlAinaini Fi Fadhail Birri Al-Wahdain Wa 55 Hikayah Fi Birri Al-Walidaini Li Thiflika, Solo: Ziyad Visi Media, 2009. Yani Arifin Achmad, Berbakti Kepada Orangtua, Yogyakarta: Insan Madani, 2008. Yusuf Ali Anwar, Studi Agama Islam,Bandung: Pustaka Setia, 2003. Zulkarnain, Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama Lengkap
: Khanif
TTL
: Demak, 21 Februari 1987
Nomor Induk Mahasiswa
: 073111029
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Alamat Asal
: Lengkong Rt: 003/IIV Sayung Demak
Pendidikan Formal
:
1. SDN Sayung IV, lulus
tahun 2001
2. MTs NS Sayung, lulus
tahun 2004
3. MAK Futuhiyyah Mranggen , lulus tahun
tahun 2007
4. IAIN Walisongo Semarang Fak. Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2007, lulus tahun 2012
Yang menyatakan,
Khanif