NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL QUR’AN SURAH AL BAQARAH AYAT 67 – 73
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam
pp
Oleh:
SETYO UTOMO NIM : 073111033
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Setyo Utomo
NIM
: 073111033
Jurusan / Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa tulisan ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian / karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 21 Februari 2012 Saya yang menyatakan,
Setyo Utomo NIM : 073111033
ii
PENGESAHAN
Naskah tulisan dengan: Judul
: Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah Ayat 67-73
Nama
: Setyo Utomo
NIM
: 073111033
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam telah diujikan dalam sidang Munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam. Semarang, 7 Juni 2012 DEWAN PENGUJI Ketua
Sekretaris
Nasirudin, M.Ag
Fakrur Rozi, M.Ag
NIP. 19691012 1996 1 002
NIP. 19691220 199503 1 003
Penguji I
Penguji II
Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag
Drs. Karnadi, M.Pd
NIP. 19560624 198703 1 002
NIP. 19680317 199403 1 003
Pembimbing I
Pembimbing II
Nasirudin, M.Ag
H. Mursid, M.Ag
iii
NOTA PEMBIMBING
Semarang, 21 Februari 2012
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalāmu’alaikumwr. wb Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah tulisan dengan: Judul
: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM QUR’AN SURAH AL BAQARAH AYAT 67-73
Nama
: Setyo Utomo
NIM
: 073111033
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
AL
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah tulisan tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah.
Wassalāmu’alaikumwr.wb. Pembimbing I,
Nasirudin, M.Ag
iv
NOTA PEMBIMBING
Semarang, 21 Februari 2012
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalāmu’alaikumwr. wb Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah tulisan dengan: Judul
: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM QUR’AN SURAH AL BAQARAH AYAT 67-73
Nama
: Setyo Utomo
NIM
: 073111033
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
AL
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah tulisan tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah.
Wassalāmu’alaikumwr.wb. Pembimbing II,
H. Mursid, M.Ag
v
ABSTRAK Judul
: Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam QS. Al Baqarah Ayat 67-73
Penulis
: Setyo Utomo
NIM
: 073111033
Tulisan ini membahas kandungan yang ada dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73. Data yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah data yang bersifat primer maupun sekunder. Sumber primer adalah data yang diperoleh dari sumber inti. Dalam melakukan kajian mengenai suatu ayat, maka jelaslah kalau yang menjadi sumber data primer adalah berasal dari Al Qur’an, tepatnya pada QS. Al Baqarah ayat 67-73. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian, dan memberi interpretasi terhadap sumber primer. Sumber data sekunder dapat berupa kitab-kitab tafsir maupun buku-buku bacaan yang masih relevan dengan pembahasan tulisan ini. Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode library research. Library research adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis dengan metode yang diinginkan. Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan ini adalah metode tahlili. Metode ini menguraikan makna yang dikandung oleh Al Qur’an, ayat demi ayat, dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut mencakup berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayatayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya. Dan tidak ketinggalan pula pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in, maupun ahli tafsir lainnya. Kajian ini menunjukan bahwa dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73 terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak yang meliputi : (1) Akhlak dalam bertanya. Dalam tulisan ini dibahas mengenai kejelekan Bani Israil yang tidak memiliki etika dalam bertanya, dimana mereka menanyakan sesuatu hal yang membuat mereka berada pada permasalahan yang lebih sulit. (2) Akhlak kepada orang tua. (3) Kesabaran pendidik. (4) Kejujuran pendidik. (5) Ketaatan peserta didik.
vi
TRANSLITERASI ARAB-LATIN Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam tulisan ini berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang [al-] disengaja secara konsisten agar sesuai teks Arabnya. ا
a
ط
t
ب
b
ظ
z
ت
t
ع
‘
ث
s
غ
g
ج
j
ف
f
ح
h
ق
q
خ
kh
ك
k
د
d
ل
l
ذ
ż
م
m
ر
r
ن
n
ز
z
و
w
س
s
ه
h
ش
s
ء
’
ص
s
ي
y
ض
d
Bacaan Mad:
Bacaan Diftong:
aa = a panjang
ْ = َاوau
ii = I panjang
ْ = اَيa
uu = u panjang
vii
KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tulisan yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah Ayat 67-73. Tulisan ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program sarjana pendidikan jurusan pendidikan agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Penulis mengakui bahwa tersusunnya tulisan ini berkat bantuan, dorongan, dan kerja sama dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Sudja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan ijin penulis untuk menyusun tulisan. 2. Nasirudin, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 3. Nasirudin, M.Ag. dan H.Mursid, M.Ag. selaku Pembimbing yang telah dengan sabar dan tekun serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dalam pembuatan tulisan ini. 4. Bapak / Ibu dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat. 5. Dewan penguji ujian Munaqosyah, Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag. dan Drs. Karnadi, M.Pd, Nasirudin, M.Ag, Fakrur Rozi, M.Ag. 6. Ayahanda Misdi dan Ibunda Wagiyah, atas do’a, kasih sayang, perhatian, dan segala yang telah diberikan untukku. 7. Abah KH. Ali Masykur, atas kesabaran dan bimbingan yang diberikan untuk menempa diriku di pesantren Al Mabrur yang akan selalu kurindu. Dan semua dewan assatidz yang telah mengajariku di Pesantren Al Mabrur. 8. Sahabat-sahabat IKSAMA, Misbachul Munir, Teguh, AniQul, Mas Recina, Mbak Kholifah, Genk Keluarga Sakinah, dan teman yang lainnya
viii
yang tak bisa kusebut satu persatu, yang telah menjadi bagian dari cerita hidupku. 9. Rekan-rekan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Mukhlisin, Ahmad Zaeni, Khanif, pak Dhe (Multazam), Gus Basith, Dayat, Si Kembar (Ridho dan Rodhi), Mas Agus Prasetyo Handoko, Chocky (Azkar Muzakki), Gus Acank (Ahksan Zamzami), dan teman-teman seperjuangan yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Atas segala bantuan dari semua pihak, penulis hanya dapat memohon kepada Allah Yang Maha Pengasih, semoga kebaikannya mendapat balasan yang sebaik-baiknya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tulisan ini masih jauh dari sempurna, meskipun penulis telah mencurahkan seluruh kemampuan penulis. Apa-apa yang benar dalam tulisan ini adalah datangnya dari Allah SWT, sedangkan apa yang salah berasal dari diri yang lemah ini. Untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati.
Semarang, 19 Juni 2012 Penulis,
Setyo Utomo
ix
DAFTAR ISI hlm HALAMAN JUDUL ...................................................................................
I
PERNYATAAN KEASLIAN .....................................................................
ii
PENGESAHAN ...........................................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING ................................................................................
iv
ABSTRAK ...................................................................................................
vi
TRANSLITERASI ......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Penegasan Istilah ....................................................................
9
C. Rumusan Masalah ..................................................................
12
D. Tujuan Penelitian ...................................................................
12
E. Kajian Pustaka ........................................................................
13
F. Metode Penelitian .................................................................
15
BAB II : NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL QUR’AN SURAH AL BAQARAH AYAT 67-73 A. Nilai .......................................................................................
18
1. Pengertian Nilai…………………………………………
18
2. Macam-macam Nilai …………………………………...
19
3. Metode Pendidikan Nilai ………………………………
20
B. Pendidikan…………………………………………………..
22
1. Pengertian Pendidikan ………………………………….
22
2. Faktor-faktor Pendidikan ……………………………..
24
C. Akhlak ……………………………………………………...
29
1. Pengertian Akhlak ……………………………………
29
2. Proses Pembentukan Akhlak …………………………
31
x
D. QS. Al Baqarah ayat 67-73…………………………………
33
BAB III : ASBABUN NUZUL, MUNASABAH, DAN TAFSIR AYAT A. Asbabun Nuzul QS. Al Baqarah Ayat 67-73 ........................
37
B. Munasabah QS. Al Baqarah Ayat 67-73 ...............................
39
C. Pendapat Mufasir Mengenai QS. Al Baqarah Ayat 67-73.....
45
BAB IV : ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM QS. AL BAQARAH AYAT 67-73 A. Akhlak Dalam Bertanya ……………………………………
61
B. Akhlak Kepada Orang Tua ...................................................
63
C. Nilai Kesabaran Pendidik …………………………………..
69
D. Nilai Kejujuran Pendidik …………………………………..
71
E. Nilai Ketaatan Peserta Didik ……………………………….
73
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ...........................................................................
75
B. Saran-saran .............................................................................
76
C. Penutup ...................................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan orang-orang Islam, Allah SWT telah memberikan pegangan dan tuntunan kepada setiap hambanya agar nantinya dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, serta tidak keluar dari tatanan koridor syari‟ah yang telah ditentukan. Pegangan tersebut adalah kitab suci Al Qur‟an. Al Qur‟an merupakan sumber hukum yang pertama dan utama bagi setiap orang Islam. Di dalam Al Qur‟an terdapat banyak sekali pembahasan mengenai aturan kehidupan bagi manusia. Al-Qur'an adalah mu'jizat terbesar bagi kerasulan Nabi Muhammad SAW yang merupakan sumber dari seluruh ajaran Islam, dan juga sebagai wahyu Allah SWT terakhir yang menjadi rahmat, hidayah dan syifa‟ bagi seluruh manusia. Oleh sebab itu Al-Qur'an menegaskan bahwa ajarannya selalu sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan serta petunjuk bagi manusia dalam kancah kehidupannya. Al Qur‟an juga merupakan kitab suci yang sangat komprehensif, selain berisi tentang perintah dan larangan, Al Qur‟an berisi juga tentang fakta ilmiah yang bermanfaat bagi manusia. Selain itu, di dalam Al Qur‟an terdapat pula cerita sejarah mengenai umat sebelum Nabi Muhammad SAW, dimana dengan adanya cerita tersebut kita dapat mengambil banyak pelajaran agar kita tidak mengulangi kesalahankesalahan yang dilakukan umat terdahulu. Al Qur‟an adalah kitab suci yang menjadi sumber dalam ajaran Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai rahmad yang tak ada taranya bagi alam semesta. Setiap mu‟min yakin bahwa membaca Al Qur‟an termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang berlipat ganda, sebab
1
yang dibacanya adalah kitab suci. Al Qur‟an adalah sebaik-baik bacaan bagi orang mu‟min, baik dikala senang ataupun susah. Malahan membaca Al Qur‟an bukan sekedar pahala saja, namun juga menjadi obat dan penawar bagi orang yang sedang gelisah jiwanya. Pada suatu ketika datanglah seorang seseorang kepada sahabat Nabi yang bernama Ibnu Mas‟ud, seseorang tersebut meminta sebuah nasehat kepada Ibnu Mas‟ud. Orang tersebut berkata : ”wahai Ibnu Mas‟ud, berilah padaku nasehat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang gelisah, dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tenteram, jiwaku gelisah, fikiranku kusut, makan tidak enak, tidurpun tak nyenyak”. Maka Ibnu Mas‟ud menasehatinya, ia berkata : “kalau penyakit itu menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat engkau dapat membaca Al Qur‟an, atau engkau dengar baik-baik orang yang sedang membaca Al Qur‟an, atau yang
kedua, engkau
mengunjungi majlis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah SWT, atau engkau cari waktu dan tempat yang sunyi agar engkau dapat berkhalwat dengan Allah SWT, seperti di waktu malam buta. Disaat orang sedang nyenyak dalam tidurnya, bangunlah untuk mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah SWT ketenangan jiwa, ketenteraman fikiran, dan ketenangan hati. Seandainya dengan cara ini jiwamu belum juga terobati, maka mintalah kepada Allah agar engkau diberi hati yang lain, sebab hati yang engkau pakai bukan lagi hatimu ”. Setelah itu orang tersebut kembali ke rumahnya, dan mengamalkan semua yang dinasehatikan oleh Ibnu Mas‟ud r.a., dia mengambil air wudlu dan membaca Al Qur‟an dengan khusyu‟. Selesai membaca Al Qur‟an orang tersebut berubah kembali lagi jiwanya menjadi jiwa yang tenteram, fikirannya jenih, dan kegelisahnnya hilang sama sekali.1 1
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971), hlm.102
2
Tentang keutamaan dan kelebihan Al Qur‟an, Rasulullah SAW. Menyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang artinya : ada dua golongan manusia yang sungguh sungguh dengki kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah Al Qur‟an yang kemudian ia baca di siang dan malam, dan orang yang diberi kekayaan harta yang ia gunakan untuk segala hal yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam versi yang berbeda Nabi Muhammad bersabda :
Dari Ibnu Mas‟ud r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda : Tidak diperbolehkan hasud (iri hati), kecuali dalam dua hal, yaitu seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah kemudian dibelanjakan dalam kebenaran dan seseorang yang dikaruniai ilmu oleh Allah kemudian diamalkan dan diajarkannya. (HR. Al Bukhari)2 Di dalam Islam, bukan hanya membaca saja yang dijanjikan akan mendapatkan pahala dan rahmad, tetapi orang yang mendengarkan Al Qur‟an ketika dibacapun juga mendapat pahala. Para ulama‟ sepakat bahwa mendengarkan Al Qur‟an sama halnya dengan membacanya. Dasar naqlinya adalah sebagai berikut :
Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (QS Al A‟raf :204)3.
2
Imam Abi Abdillah Muhammad, Shahih Bukhari Juz 1, (Beirut : Darul Kitab Al Alamiyyah, 1992), hlm.. 44 3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah, 2004), hlm.238
3
Dari hadis riwayat Imam Bukhari di atas, dapat kita simpulkan bahwa jika ada seseorang membaca Al Quran kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran. Dalam uraian diatas, tentunya adalah wajar jika Al Qur‟an dikatakan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dan itulah sebabnya Al Qur‟an dijadikan sebagai petunjuk untuk kita selaku orang Islam. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 2 dan An Nahl ayat 89:
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.(QS Al Baqarah:2 )4
Dan ingatlah akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. ( QS An Nahl : 89)5 Sebagai pedoman hidup, mempelajari dan mengkaji Al Qur‟an hukumnya adalah wajib. Sebagai perumpamaan, katakanlah Al Qur‟an adalah sebagai lampu yang digunakan penerangan seseorang ketika 4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Bandung : J-ART, t.t. ), hlm. 2 5 Departemen agana RI, Al Aliyy, (Bandung : CV Penerbit Dionegoro, 2008), hlm. 221
4
berjalan dalam kegelapan . Dapat kita simpulkan bahwa lampu adalah sesuatu hal yang wajib dibawa ketika seseorang akan berjalan dalam kegelapan. Al Qur‟an adalah lampu, dan jalan yang gelap adalah ibarat kehidupan di dunia yang tidak kita ketahui kelanjutannya. Jika ada orang mengarungi kehidupan di dunia, dan ia tidak memiliki bekal berupa pengetahuan tentang Al Qur‟an, maka hidup orang tersebut akan jauh dari jalan yang lurus (kebenaran). Pentingnya belajar Al Qur‟an juga pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya, Nabi menjelaskan keutamaan orang yang mau belajar Al Qur‟an dan mengamalkannya. Nabi Muhammad SAW. Bersabda :
ْضًَ اهللُ عَنْوُ عَهْ النَ ِبًِ صَّلَى اهللُ عَّلَيْوِ وَسَّلَمَ قَا لَ خَيْرُ كُم ِ َعَهْ عُثْمَانَ ر )ن وَعَّلَمَ ُو (رواه البخاري َ مَهْ تَعَّلَ َم الْقُرْآ Dari Utsman r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : sebaik-baik diantaramu yaitu yang belajar Al-Qur‟an dan mengajarkannya. (HR Al Bukhari)6 Sebagai agama yang senantiasa memberi pedoman kepada pemeluknya di segala aspek, Islam mengatur manusia untuk menyembah Tuhan. Namun terkadang masih kita temui diantara saudara kita yang masih belum tepat dalam menjalankan ritual penyembahan kepada Tuhan YME (Allah SWT). Banyak dari mereka yang belum mampu meninggalkan tradisi-tradisi yang sebenarnya merupakan larangan dalam agama islam itu sendiri. Contohnya adalah : ada saudara kita yang tinggal di sekitar pantai masih sering melakukan upacara pemberian sesaji kepada sang penguasa laut (Nyi Roro kidul). Atau mereka yang kesehariannya adalah sebagai petani, mereka juga masih melakukan upacara pemberian sesaji kepada dzat yang mereka yakini mampu memberi keberkahan terhadap hasil panen mereka (Dewi Sri). 6
Imam Abi Abdillah Muhammad, Shahih Bukhar Juz 5, (Beirut : Darul Kitab Al Alamiyyah, 1992), hlm. 427
5
Dengan mendalami Al Qur‟an secara baik, diharapkan kita mampu menjalankan ibadah dengan benar tanpa tercampuri hal-hal yang mendatangkan kemusyrikan dalam diri kita. Hidup di dunia tak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, terkadang banyak masalah yang datang tak terduga. Perintah sabar juga telah ada dalam Al Qur‟an, seperti firman Allah SWT :
Dan bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu(QS Ar Rum : 60)7
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkanoleh Allah. (QS Luqman : 17)8 Ayat-ayat diatas merupakan perintah untuk kita bersabar dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Tulisan ini merupakan telaah ayat dalam dunia pendidikan, jadi kesabaran juga diperlukan oleh orangorang terlibat dalam dunia pendidikan (termasuk di dalamnya pengajar dan peserta didik). Seorang pengajar butuh kesabaran dalam menghadapi segala masalah dalam prosesnya mendidik peserta didiknya. Begitupun dengan peserta didik, mereka harus memiliki kesabaran dalam
menimba ilmu di sekolahan. Mencari ilmu ibarat
memasukan air kedalam kendi, jadi kita harus bersabar dalam 7
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah, 2004), hlm 579 8 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah, 2004), hlm 582
6
memasukan air tersebut kedalam kendi harus sedikit demi sedikit, tidak serta merta dituangkan begitu saja. Dalam masalah di atas, penulis mengkhususkan kajian Al Qur‟an pada surat Al Baqarah ayat 67-73 yang berbunyi sebagai berikut9 :
67.Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?".Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". 68. Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu 9
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah, 2004), hlm 13
7
adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". 69. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." 70. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." 71. Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu 72. Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. 73. Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tandatanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (QS. Al Baqarah : 67-73) Kemudian yang menjadi latar belakang pada tulisan ini adalah mengenai aplikasi isi kandungan ayat tersebut dalam kehidupan seharihari, apakah masih relevan atau sudah diabaikan oleh sebagian dari saudara kita. Di zaman yang semakin maju ini, kita tidak memungkiri bahwa kualitas akhlak dalam diri anak semakin mengalami kemerosotan, atau bahkan sama sekali tidak memiliki tata krama dalam pergaulan. Di media cetak maupun berita dari televisi sering kita jumpai berita mengenai pembunuhan oleh anak kandung terhadap orang tuanya
8
sendiri. Baik karena masalah yang sederhana maupun masalah yang berkaitan dengan harta benda. Kaitannya dalam dunia pendidikan, ada beberapa hal yang juga perlu kita perhatikan. Diantaranya yaitu kesabaran seorang pendidik maupun peserta didik. Dalam menjalankan proses belajar mengajar diperlukan rasa sabar diantara mereka, guru harus terus bersemangat dalam mencerdaskan peserta didiknya, dan peserta juga jangan sampai putus asa dalam menyerap ilmu yang diberikan oleh gurunya. Selain nilai pendidikan akhlak diatas, dalam skripsi ini juga akan penulis jelaskan pula mengenai kejujuran pendidik dan ketaatan peserta didik. Atas dasar beberapa realita yang penulis temukan di atas, adalah alasan penulis mengapa isi kandungan dari QS. Al Baqarah ayat 67-63 perlu dikaji lebih mendalam lagi. Dan selanjutnya pembahasan masalah tersebut akan penulis kaji dalam tulisan yang berjudul : “NILAINILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM Al QUR’AN SURAH AL BAQARAH AYAT 67-73”.
B. Penegasan Istilah Sebelum membahas lebih mendalam mengenai isi dari QS Al Baqarah ayat 67-73, akan penulis kemukakan lebih dahulu apa arti nilai dan pendidikan. Nilai yaitu esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan. Kata majemuk "nilai-nilai" menurut Muhaimin berasal dari kata dasar "nilai" diartikan sebagai asumsiasumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan penting10. Dalam hal ini, nilai yang dimaksudkan adalah mengenai surat Al Baqarah ayat 67-73. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memliki kekuatan 10
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 110.
9
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pengertian yang pertama mengacu kepada pendidikan pada umumnya, yaitu pendididkan yang dilakukan oleh masyarakat umum. Dan pendidikan adalah pengaruh bimbingan dan arahan dari orang dewasa kepada orang lain, untuk menuju kearah kedewasaan, kemandirian,
serta
kematangan
mentalnya.
Pekerjaan
mendidik
mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia.11 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran 12 . Jalaludin mengartikan pendidikan sebagai proses usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiannya dalam membimbing melatih, dan
menanamkan nilai dan dasar pandangan
hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia yang sesuai dengan sifat hakiki dan ciri kemanusiaannya.13 Akhlak adalah jamak dari tunggal khuluq, sedangkan khuluq itu sendiri merupakan lawan dari khalq. Khuluq itu dapat dilihat dengan mata batin, sedangkan khalq dapat dilihat dengan mata lahir. Kedua kata tersebut berasal dari akar yang sama, yaitu berasal dari kata khalaqa. Kemudian kata khuluq diartikan sebagai sesuatu yang telah tercipta atau terbentuk dari suatu proses. Kebiasaaan merupakan tindakan yang tidak memerlukan pemikiran ataupun pertimbangan. Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa akhlaq adalah kehendak dan tindakan yang sudah menyatu dengan pribadi seseorang dalam kehidupannya,
11
Made Pidarta, landasan kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007) ,hlm.2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka. 2003), hlm. 263 13 Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Ar Ruzz, 2009), hlm. 21 12
10
sehingga
tidak
dapat
dipisahkan
dan
tidak
pertimbangan atau pemikiran untuk menjalankannya.
lagi
memerlukan
14
Secara etimologi, lafadz Al Qur‟an bersal dari kata alquru’ , yang berarti mengumpulkan. Dan secara istilah, Al Qur‟an dapat diartikan firman (perkataan) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang memiliki mu‟jizat dengan surat. Namun ada pula yang berpendapat jika Al Qur‟an adalah berasal dari kata “qara’a” yang brarti bacaan. Dalam buku Mahabis fi ulumil Qur‟an Al Qur‟an juga biasa diartikan sebagai berikut : Kalam Allah atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan ibadah. Definisi kalam adalah kelompok atau jenis yang meliputi segala kalam, dan dengan menghubungkannya kepada Allah, berarti tidak termasuk kalam manusia, jin, dan malaikat. Dan Al Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, jadi kalam Allah yang dirunkan kepada Nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad bukanlah dinamakan Al Qur‟an, seperti Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS, Taurat kepada Nabi Musa AS, dan Zabur kepada Nabi Dawud AS.15 Sedangkan yang diteliti dalam tulisan ini adalah mengenai QS. Al Baqarah
67-73”. QS. Al Baqarah
adalah surat ke dua dari urutan
susunan surat dalam Al Qur‟an, meskipun demikian surat Al Baqarah adalah surat yang diturunkan ke 87 setelah surat Al Muthaffifin 16. Dan QS. Al Baqarah terdiri dari 286 ayat dan tergolong surat Madaniyyah yang sebagian besar turun pada permulaan tahun Hijriyyah (kecuali pada ayat ke 281 yang turun di Mina ketika nabi Muhammad SAW. Melakukan haji wada’). QS. Al Baqarah
dinamakan juga dengan
sebutan Fustatul Qur’an , artinya puncaknya Al Qur‟an, hal itu dikarenakan memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam 14
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail, 2010), hlm.31 Manna Khalil Al Qattan, Mahabis fi ulumil Qur’an, terjemah Mudzakir, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), hlm. 17 16 Abdullah Umar, MushthalichulAttajwid, (Semarang : Karya Toha Putra, t.t.),hlm. 10 15
11
surat lain. Al Baqarah juga dikenal dengan nama surat “alif-lammim”,karena surat ini dimulai dengan lafadz Alif-laam-miim. Dinamakan surat Al Baqarah karena didalam surat ini memuat cerita mengenai penyembelihan sapi betina yang diperintahkan kepada orang-orang Bani Israil. Dalam cerita tersebut juga digambarkan mengenai sifat dan watak orang Yahudi pada umumnya.
C. Rumusan Masalah Dalam tulisan ini, yang penulis jadikan sebagai rumusan masalah adalah : Nilai-nilai pendidikan akhlak apakah yang terkandung dalam QS. Al Baqarah 67-73 ?.
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung pada QS Al Baqarah ayat 67 sampai 73. Sedangkan manfaat yang dapat kita ambil dari penelitian telaah Al Qur‟an ini adalah sebagai berikut : a. Meningkatkan wawasan yang lebih komprehensif terhadap pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam QS Al Baqarah ayat 67-73. b. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu membantu dalam usaha penghayatan dan pengamalan terhadap isi kandungan dan nilai-nilai yang ada pada Al Qur‟an baik yang tersirat ataupun yang tersurat, lebih khususs lagi pada QS Al Baqarah ayat 6773. c. Penelitian ini dapat memberikan sedikit sumbangan bagi literatur ilmu pendidikan akhlak dalam beberapa aspek, yaitu akhlak dalam bertanya, akhlak seorang anak kepada orang tua,
12
kesabaran pendidik, kejujuran pendidik, ketaatan peserta didik pada gurunya.
E. Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan kajian penting dalam sebuah penelitian yang akan kita lakukan. Kajian pustaka disebut juga kajian literal. Kajian pustaka merupakan sebuah uraian tetntang literatur yang relevan dengan bidang atau topik tertentu.17 Penelitian pustaka ini pada dasarnya bukan penelitian yang benarbenar baru. Sebelum ini banyak yang sudah mengkaji objek penelitian tentang nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, penulisan dan penekanan skripsi ini harus berbeda dengan skripsi yang telah dibuat sebelumnya. Adapun telaah yang digunakan pada penulisan skripsi ini ialah menggunakan
prior research (penelitian terdahulu). Prior research
yaitu penelitian terdahulu yang telah membahas nilai-nilai pendidikan. Namun prior research yang digunakan penulis dalam pembuatan skripsi ini, adalah nilai-nilai pendidikan yang telah dikhususkan objek kajiannya, seperti nilai-nilai pendidikan akhlak, sosial, dan lain sebagainya. Diantara prior research yang dimaksudkan diantaranya adalah sebagai berikut : 1.
Nilai-nilai pendidikan akhlak menurut Al Qur’an surat At Taghabun ayat 14. Skripsi tersebut disusun oleh FaiqJauharotul Huda (NIM : 3101332), isi skripsi tersebut memaparkan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat At Taghabun ayat 14. Nilai-nilai yang ada didalam skripsi tersebut antara lain sikap mau memaafkan, menahan amarah, dan mau mengampuni. Dengan demikian skripsi tersebut hanya terfokus pada QS At Taghabun ayat 14.18
17
Punaji Setyosari, Metode penelitian pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm 72 Faiq Jauharotul Huda (3101332), Nilai-nilai pendidikan akhlak menurut Al Qur’an surat At Taghabun ayat 14, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td 18
13
2.
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat 199. Disusun oleh Zaenal Abidin (NIM 3102044), skripsi tersebut berisi tentang pendidikan akhlak yang meliputi sikap pemaaf,
amar
ma‟ruf nahi munkar, dan berpaling dari sifat yang bodoh.19 3.
Nilai-nilai pendidikan kesehatan mental dalam qiyamullail. Disusun oleh Abdul Jalil (NIM 3102307). Skripsi ini berisi mengenai kesehatan fisik dan mental, ketanangan jiwa, dan upaya untuk menjauhkan diri dari penyakit hati.20
4.
Nilai-nilai pendidikan dalam film children of heaven.Disusun oleh Solikhul Munthaha (NIM 3100354), berisi tentang berbakti pada orang tua, sesama, tetangga, dan juga brisi tentang kesehatan jasmani.21
5.
Nilai pendidikan akhlak dalam syairan kitab ta’limul muta’alim. Disusun oleh Mohamad Mahfudz (NIM 3103246). Skripsi ini berisi tentang taqwa, zuhud, sabar, takut dosa, cara mencari ilmu yang bermanfaat, menjaga lisan, serta sikap pemaaf.22 Dari beberapa kajian pustaka diatas, maka jelaslah bahwa
tulisan skripsi yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam QS Al Baqarah ayat 67-73 belumlah ada yang membahasnya. Dari hal inilah, penulis akan mencoba memaparkan dan menganalisis tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada pada QS Al Baqarah ayat 67-73.
19
Zaenal Abidin (3102044), Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat 199, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007), td 20 Abdul Jalil (3102307), Nilai-nilai pendidikan kesehatan mental dalam qiyamullail, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td 21 Solikhul Munthaha (3100354), Nilai-nilai pendidikan dalam film children of heaven, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007), td 22 Mohamad Mahfudz (3103246), Nilai pendidikan akhlak dalam syairan kitab ta’limulmuta’alim , (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td
14
F. Methode Penelitian 1. Fokus Penelitian Dalam
penelitian
ini,
peneliti
mengemukakan
fokus
penelitian sebagai berikut : nilai-nilai pendidikan akhlak pada QS. Al Baqarah ayat 67-73 yang meliputi akhlak kepada orang tua, akhlak dalam mengajukan pertanyaan, kesabaran pendidik dalam menempa
peserta
didiknya,
kejujuran
pendidik
dalam
menyampaikan ilmu yang dimilikinya, dan ketaatan peserta didik kepada pendidiknya. Penelitian ini secara tidak langsung juga merupakan studi sejarah mengenai cerita sapi betina dan watak orang Bani Israil, karena hal tersebut juga terdapat pada QS Al Baqarah ayat 67-63, dan yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengenai isi dari QS Al Baqarah ayat 67-63. 2. Sumber Data Data penelitian ini diperoleh dari kitab suci Al Qur‟an yang menjadi pedoman hidup orang islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah sumber primer, dan yang kedua adalah sumber sekunder. a. Sumber Primer Sumber primer adalah data yang diperoleh dari sumber inti. Dalam melakukan kajian mengenai suatu ayat, maka jelaslah kalau yang menjadi sumber data primer adalah berasal dari Al Qur‟an. b. Sumber Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumbersumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian,
15
dan memberi interpretasi terhadap sumber primer. Sumber data sekunder dapat berupa kitab-kitab tafsir maupun buku-buku bacaan yang masih relevan dengan pembahasan skripsi ini. Kitab-kitab tafsir yang penulis jadikan sebagai referensi penulisan skrisi adalah sebagai berikut : Tafsir Al Maraghi, karya Ahmad Musthafa Al Maraghi. Tafsir Al Mishbah, karya M.Quraish Shihab. Tafsir Fi Dzilalil Qur‟an, karya Sayyid Quthb Kitab Al „Aliyy, terbitan dari Departemen Agama Republik Indonesia. Tafsir Al Qur‟an Majid Annur karya Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Tafsir „Aidh Al Qarni, karya Qisthi Press Tafsir Hasiyat Al Sawi „Ala Tafsir Al Jalalayn, karya Al Sayh Ahmad ben Muhammad Al Sawi.
3. Metode Pengumpulan Data Dalam rangka membahas dan memecahkan masalah yang ada dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode library research. Library research adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu. Menjadikan perpustakaan sebagai sumber data utama, yang dimaksud adalah untuk menggali teori dan konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, dan memanfaatkan data sekunder, serta menghindari duplikasi penelitian.Kemudian ditelaah dan dikritisi, serta mengadakan interpretasi secara cermat dan mendalam.
16
4. Metode Analisis Data Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis dengan metode yang diinginkan. Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan ini adalah metode tahlili. Metode Tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat Al Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayatayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang mencakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang mentafsirkan ayat tersebut23. Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al Qur‟an, ayat demi ayat, dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut mencakup berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya. Dan tidak ketinggalan pula pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi‟in, maupun ahli tafsir lainnya.
23
Nashrudin Baidan, Methodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 31
17
BAB II NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM QS. AL BAQARAH AYAT 67-73
A. Nilai 1. Pengertian Nilai Nilai disamping juga sebagai produk dari masyarakat, juga merupakan alat atau media
untuk
menyelaraskan
antara
kehidupan
pribadi
dengan
kehidupan
bermasyarakat (dalam arti berhubungandengan orang lain). Menanamkan nilai yang baik juga merupakan fungsi utama pendidikan. Ada banyak tokoh pendidikan yang mengartikan apa itu nilai. Nilai menurut Milton Rokeach dan James Bank yang dikutip oleh Chabib Thoha dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam adalah sebagai suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.1 Masih dalam buku yang sama Chabib Thoha juga mengutip pendapat J.R. Fraenkel yang mendefinisikan nilai sebagai berikut: A value is an idea a concept about what some one thinks isimportant in life 2 . Dari pengertian yag dikemukakan oleh J.R. Fraenkel, ini menunjukkan bahwa nilai bersifat subyektif, artinya tata nilai pada masyarakat satu belum tentu tepat diterapkan untuk masyarakat yang lain, hal tersebut dikarenakan nilai diambil dari suatu hal yang penting bagi masyarakat tertentu. Sebagai contoh untuk memahami devinisi nilai dari JR. Fraenkel adalah sebagai berikut : 1
ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 60.
2
ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 60.
18
Segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di daerah pedalaman dari pada segenggam emas. Hal tersebut dikarenakan segenggam garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan. Sedangkan segenggam emas hanya sebagai perhiasan. Segenggam emas lebih berarti dari pada sekarung garam bagi masyarakat perkotaan.
Adanya perbedaan tersebut adalah dikarenakan segi manfaat dari suatu hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Pengertian ketiga yang dikutip oleh Chabib Thoha dalam buku yang sama mengenai pengertian nilai, dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurut Sidi Gazalba pengertian nilai adalah sebagai berikut : Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar atau salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi atatu tidak disenangi3. Pengertian diatas menunjukan adanya hubungan antara subjek penilaian dengan objek. Seperti halnya garam dikatakan bernilai karena ada subjek yang menganggapnya penting, jika garam tidak ada yang membutuhkan, maka garam dapat dikatakan tidak memiliki nilai. Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil satu kesimpulan tentang definisi nilai yaitu hasil dari pendapat seseorang mengenai suatu hal. 2. Macam-macam Nilai Menurut Noeng Muhadjir nilai dibedakan menjadi dua macam, yaitu nilai Ilahiyahdan nilai Insaniyah 4 . Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang bersumber dari
3
ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 61.
4
ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)., hlm. 64.
19
agama (wahyu Allah), sedangkan nilai Insaniyah adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula. Nilai Ilahiyah dapat dibagi menjadi dua, pertama nilai ubudiyah yaitu nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya berlaku dan beribadah terhadap Tuhannya. Nilai uluhiyah sering kita sebut dengan istilah “hablum minallah”. Kedua, nilai muammalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Tuhan bagi manusia untuk dijadikan pedoman dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Nilai Insaniyah terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai indiviual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai poltik dan nilai estetik. Nilai ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannnas”. Dari kedua jenis nilai di atas maka nilai Ilahiyah merupakan nilai yang tidak lagi bersifat subyektif melainkan menjadi obyektifpada kalangan agama tertentu. Hal ini dikarenakan nilai Ilahiyah tentunya didasarkan pada firman Tuhan yang terdapat dalam kitab suci agama tertentu. Meski nilai pada masyarakat berbeda namun beragama sama,tentu saja aplikasi beragama pada masyarakat tersebut tetaplah sama. Begitu juga nilai-nilai Ilahiyah dalam agama Islam tentulah sama walau berada dalam masyarakat yang memiliki budaya berbeda. Berdasarkan adanya dua macam nilai di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat menemukan nilai-nilai Ilahiyah maupun Insaniyyah yang ada dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73.
3. Metode Pendidikan Nilai Menurut Noeng Muhajir yang dikutip oleh Chabib Thoha, setidaknya terdapat empat macam metode pendidikan nilai, yaitu : nilai dogmatik, nilai deduktif, nilai induktif, dan nilai reflektif5. Adapun mengenai penjelasannya adalah sebagai berikut :
5
ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)., hlm. 85
20
1. Metode Dogmatik Metode dogmatik yaitu metode yang mengajarkan nilai-nilai kepada siswa dengan jalan menyajikan kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa adanya dan tidak boleh mempersoalkan hakekat kebenaran tersebut. Kelemahan dari metode ini yaitu siswa kurang mampu untuk mengembangkan daya pikir dan rasionalitas dalam menghayati nilai-nilai kebenaran. Dampak dari penerapan ini sering terjadi adanya penerapan ibadah dengan jalan taqlid buta tanpa mengetahu dasarnya. 2. Metode Deduktif Metode deduktif adalah cara menyajikan kebenaran nilai-nilai dengan jalan menguraikan konsepsi tentang kebenaran itu untuk dipahami oleh siswa. Metode ini berangkat dari kebenaran sebagai teori yang memiliki nilai-nilai baik, kemudian ditarik beberapa contoh terapan dalam kehidupan sehari-hari atau diterik ke dalam nilai-nilai
yang lebih sempit ruang lingkupnya.
Kelebihan metode ini bagi anak-anak yang masih belajar pada tahap pemula akan lebih baik, sebab mereka dikenalkan beberapa teori nilai kemudian ditarik beberapa rincian yang lebihsempit yang disertakan kasus dalam masyarakat. 3. Metode Induktif Metoode ini merupakan kebalikan dari metode deduktif, artinya siswa dikenalkan beberapa kasus dalam kehidupan sehari-hari, baru kemudian diajak untuk menganalisa dan mengambil kesimpulan tentang nilai-nilai yang baik dan benar. Metode ini cocok bagi peserta didik yang sudah mampu berfikir abstrak. Sehingga mereka mampu melakukan kajian dan analisis dari kasus konkrit kemudian dibuat kesimpulan yangberisfat abstrak. 4. Metode Reflektif Metode ini merupakan gabungan dari metode induktif dan metode deduktif. Yaitu mengajarkan nilai dengan jalan memberikan konsep secara umum kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, atau melihat kasus
21
kemudian mempelajari sistemnya. Metode ini baik digunakan untuk peserta didik yang telah memiliki kemampuan berfikir abstrak, sekaligus memiliki bekal teori tentang nilai yang cukup. Sebagai konsekuensinya, pendidik harus benar-benar menguasai teori-teori secara umum tentang nilai sekaligus dituntut memiliki daya penalaran yang tinggi untuk mengembalikan setiap kasus dalam jajaran konsepsi sistem nilai.
B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Pendidikan berasal dari kata dasar didik yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Kata didik merupakan kata kerja, ketika mendapat awalan pe dan akhiran an, maka berubah menjadi pendidikan yang merupakan kata benda. Jika diartikan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan6. Jika kita mengutip dari pendapat Jalaludin dan Abdullah dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan, maka pendidikan diartikan sebagai proses usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiannya dalam membimbing melatih, dan menanamkan nilai dan dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia yang sesuai dengan sifat hakiki dan ciri kemanusiaannya.7 Untuk mengetahui lebih banyak lagi mengenai pengertian pendidikan, penulis akan menyebutkan devinisi pendidikan dari beberapa ahli yang
6
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka. 2003), hlm. 263 7 Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Ar Ruzz, 2009), hlm. 21
22
penulis kutip dari buku Dasar-dasar Kependidikan karya Fuad Ihsan. Diantara tokoh yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut8 : a. Driyarkara
mengartikan
pendidikan
sebagai
upaya
memanusiakan manusia muda. Pengertian ini sangat sulit kita fahami karena devininsi yang diberikan sangatlah sederhana dan singkat. Namun hemat penulis dalam menanggapi pendidikan yang diartikan oleh Driyarkara adalah sebagai pembinaan yang diberikan oleh oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Dalam konsep Islam, jika berbicara tentang pendidikan, maka orang dikatakan tua tidak hanya dilihat dari faktor usianya, namun lebih tertuju pada pendalaman pengetahuan yang dimilki. b. Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan tingkah laku di dalam masyarakat di mana ia hidup. c. Ki Hadjar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti, fikiran, dan tubuh anak. Dalam undang-undang tersebut No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pengertian pendidikan adalah sebagai berikut : pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dari beberapa devinisi yang ada, maka dapat kita simpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah usaha manusia untuk dalam menyiapkan dirinya untuk kehidupan yang lebih bermakna. Adanya 8
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 4
23
pendidikan sendiri adalah agar terwujudnya manusia yang memiliki kekuatan spiritual kegamaan, kecerdasan, dan akhlak yang mulia.Hal tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1. 2. Faktor-faktor Pendidikan Dalam pendidikan setidaknya ada enam faktor yang dapat membentuk pola interaksi dalam pendidikan itu sendiri. Enam faktor tersebut adalah : tujuan, pendidik, peserta didik, materi pendidikan, method pendidikan, dan situasi lingkungan9. a. Tujuan Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan10. Tujuan sangat penting untuk mengetahui sampai sejauh mana pendidikan yang dilaksanakan dikatakan berhasil. Hal tersebut dikarenakan, jika pendidikan tidak memiliki tujuan yang jelas, maka proses pendidikan akan berjalan tidak beraturan dan terkesan semrawut. Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 disebutkan beberapa tujuan pendidikan, diantaranya adalah agar peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar ia memilki memliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
b. Pendidik Pada hakikatnya pendidika tidak akan lepas dari faktor pendidik. Pendidik merupakan faktor sentral dalam pndidikan. 9
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 7 Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), hlm.41
10
24
Pendidik sendiri dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu pendidik berdasarkan kodrat dan berdasarkan jabatan11. Pendidik menurut kodrat adalah orang tua itu sendiri. Orang tua sebagai pendidik merupakan pendidik yang pertama dan utama, karena secara kodrati semua manusia dilahirkan dalam keadaan yang tiada memiliki daya untuk berbuat apa-apa dan tiada memiliki pengetahuan apa-apa. Dengan pertolongan orang tualah, bayi mampu tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Sebagai pendidik, orang tua juga melakukan proses pendidikan bahkan ketika si bayi masih berada dalam kandungan. Pendidikan semacam ini dikenal dengan pendidikan prenatal. Dalam tahap ini perbuatan yang dilakukan ibu ketika mengandung anaknya akan berdampak kepada pertumbuhan anaknya. Pendidik yang menurut jabatan adalah seorang guru. Guru sebagai pendidik menerima tanggung jawab dari tiga pihak, yaitu : orang tua, masyarakat, dan negara. Namun jika dalam hal ini adalah guru agama islam, maka pertanggung jawaban guru juga akan dihadapkan atas nama agama, yaitu kepada Allah SWT. Ada beberapa syarat untuk menjadi pendidik dalam pendidikan Islam, diantaranya yaitu : sudah berumur dewasa, sehat jasmani dan rohani, ahli dalam bidang pelajaran yang diampu, harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi12.
c. Peserta Didik Peserta didik merupakan subjek dari pendidikan yang ada. Dalam pendidikan yang masih tradisional, peserta didik dipandang 11
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 8 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 80 12
25
sebagai organisme yang pasif yang hanya menerima informasi dari orang dewasa. Seorang peserta didik harus menghormati pendidiknya agar ia mendapat keberkahan dari ilmu yang ia pelajari. Bahkan dalam terjemah kitab Ta’limul Muta’alim diterangkan demikian : Menurutku, hak yang paling utama adalah hak seorang guru. Dan hak itu wajib bagi setiap orang Islam. Sungguh ia berhak diberi kemuliaan. Setiap ia mengajar satu huruf, tak cukup memberinya seribu uang dirham13. Ada banyak cara yang harus dilakukan peserta didik untuk menghormati gurunya. Yang pada intinya seorang peserta didik harus mendapat ridho seorang guru dan jangan sampai membuat guru marah dan sakit hati. Menurut Al Zanurji ada beberapa cara yang dapat dilakukan peserta didik untuk menghormati seorang guru, diantaranya yaitu: 1. Tidak berjalan di depan guru 2. Tidak duduk ditempat duduk guru 3. Tidak memperbanyak omongan ketika bersama guru 4. Tidak mengetuk pintu rumah atau kamar seorang guru 5. Menghormati pula anak beserta keluarga guru14
Istilah peserta didik dalam dunia pesantren dikenal dengan istilah santri. Kata santri dalam ejaan arab ditulis dengan huruf sin, nun, ta’, dan ra. Dimana masing-masing huruf tersebut memiliki arti tersendiri. Yang pertama yaitu huruf sin, sin berasal dari kata satirul anil uyub yang berarti orang yang mampu menutup aib. Maksud dari 13
Syekh Al Zanurji, Ta’limul Muta’alim Terjemah Ma’ruf Asrori, (Surabaya : Pelita Dunia, 1996), hlm. 35 14 Syekh Al Zanurji, Ta’limul Muta’alim Terjemah Ma’ruf Asrori, (Surabaya : Pelita Dunia, 1996), hlm. 35
26
kata tersebut adalah agar peserta didik itu mampu menjaga dirinya dari perbuatan yang menyebabkan orang lain malu karena perbuatannya. Oleh karena itu peserta didik harus bisa menutupi kekurangan yang dimiliki temannya ataupun siapa saja. Huruf yang kedua adalah nun, nun berasal dari kata nahyun anil munkar yang berarti mencegah dari perbuatan munkar. Maksudnya adalah peserta didik diharapkan memiliki perilaku yang baik dan bisa mencegah adanya perbuatan buruk, baik dari dirinya sendiri ataupun perbuatan buruk dari orang lain. Ta’ berasal dari kata taibun anil dzunub yang berarti bertaubat atas semua dosa-dosa. Pengertian bertaubat dari dosa kita artikan taubat kepada Allah SWT. atas dosa yang diperbuat. Namun devinisi taubat dari dosa bisa kita tafsir sebagai mengetahui kesalahan yang diperbuat. Dengan adanya kesadaran tersebut, peserta didik diharapkan bisa memperbaiki kesalahannyadan tidak mengulanginya kembali. Huruf yang terakhir yaitu ra’. Huruf ra’ merupakan kepanjangan dari rahmatal lil alamin yang berarti sayang terhadap semua orang. Sebagai peserta didik diharapkan pula memiliki sifat mau menyayangi sesama tanpa memikirkan perbedaan yang ada.
d. Materi Pendidikan Materi yang dimaksudkan disini adalah segala hal yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Dalam memberikan materi kepada peserta didik harus memenuhi syarat utama, yaitu : 1. Materi harus sesuai dengan tujuan pendidikan. 2. Materi harus sesuai dengan peserta didik15. 15
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 9
27
Dua hal tersebut setidaknya harus ada dalam pemilihan materi yang ditawarkan kepada peserta didik. Dapat dikatakan bahwa materi pendidikan yang berbasis umum akan berbeda dengan yang berbasis kejuruan. Dan kemudian materi juga harus disesuaikan dengan peserta didik berdasarkan jenjang tingkat pendidikannya. Hal ini agar peserta didik mampu berfikir sesuai dengan tingkatannya, jangan sampai malah terbebani dengan materi yang terlalu berat.
e. Metode Pendidikan Secara bahasa metodhe berasal dari dua kata, yaitu : meta dan hodos. Meta berarti ”melalui.” dan hodos berarti ”jalan atau cara”. Metodhe adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan16. Penerapan metode harus tepat agar interaksi antara pendidik dan peserta didik dapat berjalan dengan baik. Dalam mengajar, seorang guru tidak harus terpaku pada satu metode saja, namun sebaliknya penggunaan metode haruslah bervariasi agar proses belajar mengajar tidak berjalan membosankan.
f. Situasi Lingkungan Situasi lingkungan akan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Lingkungan yang ada pada peserta didik yang palng berpengaruh adalah lingkungan keluarga, hal tersebut dikarenakan sebagian besar kegiatan peserta didik berada di rumah. Perhatian dan motivasi dari keluarga harus selalu diberikan kepada peserta didik agar tercipa suasana yang kondusif dalam belajar. Jika perhatian tidak ada dari keluarga, maka peserta didik akan cenderung menghabiskan kegiatannya dilingkungan tempat ia bermain. 16
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), hlm.46
28
Keadaan seperti ini sangant tidak baik untuk pendidikan peserta didik, karena aktifitas yang ada pada lingkungan ini biasanya hanya sebatas bermain-main dan mencari kesenangan semata. Dikhawatirkan pada lingkungan ini akan membawa peerta didik ke dalam kenakalan remaja yang tidak terkontrol lagi. Lingkungan yang terakhir adalah lingkungan sekolahan di mana peerta didik belajar. Kualitas dan mutu sebuah lembaga pendidikan tentunya juga berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan peerta didik. Dapat diambil kesimpulan bahwasanya lingkungan keluarga, teman, dan sekolahan harus semuanya mndukung keadaan belajar pada peserta didik. Jika ada satu lingkungan yang bermasalah, maka akan berdampak pula pada keadaan lingkunagn yang lain. Namun yang perlu lebih mendapat perhatian adalah ligkungan keluarga yang merupakan pondasi dasar pendidikan seorang anak.
C. Akhlak 1. Pengertian Akhlak Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa arab akhlaqun yang berarti budi pekerti, tingkah laku, tabiat. Menurut istilah, mengutip dari pendapat Nasirudin, akhlak adalah kehendak yang sudah menyatu dengan pribadi seseorang dalam kehidupannya sehingga sulit untuk dipisahkan17. Banyak ulama’ yang mencoba mendefisinikan mengenai akhlak, diantara mereka yang mengartikan akhlak adalah sebagai berikut : Imam Ghazali mengartikan akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan17
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail, 2010), hlm. 32
29
perbuatan dengan mudah dan gampang dan tanpa memerlukan pemikiraan dan pertimbangan. Jika sifat itu tertanam dalam jiwa maka menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal dan syari'at . Ibnu Miskawaaih, akhlak suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang
mendorongnya
untuk
berbuat
tanpa
pikir
dan
pertimbangan18. Abuddin Nata, ahklak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan tersebut telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran19. Ahmad Amin ahklak adalah kebiasaan kehendak, ini berarti bahwa kehendak itu apabila telah melalui proses membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu disebut ahklak20.
Dari beberapa pengertian akhlak diatas, maka secara sederhana akhlak dapat diartikan sebagai sesuatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaan seseorang, dan dalam mewujudkan perbuatan tersebut tidak perlu lagi memerlukan sebuah pertimbangan. Menurut Nasirudin akhlak dibangun atas empat unsur, yaitu : tindakan baik dan buruk, kemampuan melaksanakan, pengetahuan terhadap perbuatan baik dan buruk, adanya kecenderungan jiwa terhadap salah satu perbuatan baik atau buruk21. Sebagai mana kita ketahui akhlak dibedakan menjadi dua, yaitu akhlak yang terpuji dan akhlak yang tercela. Akhlak yang terpuji sering kita 18
Sirajuddin Zar, Filsfat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta Rja Grafindo Persada, 2004, hlm. 135. Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo, 1997), hlm. 5. 20 Ahmad Syadzali, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoove, 1993), hlm. 102 . 21 Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail, 2010), hlm. 32 19
30
sebut dengan istilah akhlakul karimah ataupun akhlakul mahmudah. Sedangkan akhlak yang tercela sering dikenal dengan istilah akhlakus sayyiah ataupun akhlakul madzmumah. Akhlak sendiri memiliki fungsi bagi kehidupan kita. Dengan mempelajari akhlak, kita dapat membedakan mana perbuatan yang baik, dan mana perbuatan yang buruk, sehingga kita dapat menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Islam dengan baik.
2. Proses Pembentukan Akhlak Mengenai pembentukan akhlak, ada perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akhlak tidak dapat dirubah karena sudah merupakan hal yang melekat pada diri seseorang. Dan adapula yang berpendapat bahwa akhlak masih dapat dirubah dengan beberapa gemblengan. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Tasawuf, Nasirudin menjelaskan beberapa cara untuk merubah akhlak, diantaranya yaitu : a) Melalui pemahaman b) Melalui pembiasaan c) Melalui teladan yang baik22
Pemahaman seseorang mengenai akhlak dapat diperoleh dari mana saja, bisa dari teman, guru di sekolah, ataupun ustadz. Pemahaman tersebut diperoleh dengan proses belajar, sehingga seseorang mampu mendapat sebuah informasi mengenai dampak akibat akhlak baik maupun buruk. Akhlak yang baik akan memiliki dampak yang baik pula, entah itu dari sudut pandang agama maupun masyarakat. Sedangkan akhlak yang buruk akan berdampak buruk pula.
22
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail, 2010), hlm. 36
31
Dengan mengetahui dampak dari akhlak baik dan akhlak yang jelek, tentunya seseorang akan lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitasnya, sehingga ia akan lebih cenderung melakukan perbuatan yang baik. Pembentukan yang kedua yaitu dengan cara pembiasaan. Cara ini biasa dilakukan di lembaga pendidikan dari PAUD sampai jenjang kuliah. Dalam lembaga pendidikan, siswa selalu dituntut untuk melakukan aktifitas yang mencerminkan akhlak terpuji, agar nantinya pembiasaan yang dilakukan di sekolah akan selalu dilakukan peserta didik ketika ia tidak berada di sekolah. Pembiasaan yang tidak kalah pentingnya adalah pembiasaan yang dilakukan di lingkungan keluarga. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan pembiasaan yang baik bagi anak. Pembiasaan akhlak terpuji bisa dimulai dari membaca doa sebelum melakukan kegiatan maupun setelah selesai, melakukan kegiatan ibadah, bertutur kata yang sopan, dan lain sebagainya. Yang terakhir yaitu pembentukan melalui teladan yang baik. Akhlak seseorang akan terbentuk dari teladan orang yang ada di dekatnya, seperti orang tua, kakak, guru. Jika seseorang ketika di rumah ia selalu dihadapkan pada perbuatan orang tua yang selalu melakukan perbuatan baik, maka secara tidak langsung itu merupakan proses pendidikan yang mampu membentuk kepribadian seorang anak. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, jika anak ketika di rumah selalu dihadapkan dengan keadaan orang tua yang suka bertengkar, berkata kotor, maka itu akan menjadi teladan yang berpotensi akan diikuti oleh anak. Pembiasan dari seorang guru juga sangat penting. Dalam peribahasa disebutkan “guru makan berdiri, murid kencing berlari”. Peribahasa tersebut merupakan gambaran betapa penting guru untuk menjaga perbuataanya, karena perbuatan guru juga merupakan teladan bagi peserta didiknya.
32
Semua cara diatas, mulai dari pembentukan melalui pemahaman, pembiasaan, dan teladan, haruslah dijalankan secara bersamaan. Jangan sampai
dilakukan
secara
terpisah,
karena
akan
menyebabkan
pembentukan akhlak yang baik tidak akan berjalan maksimal. Sebagai contoh, seorang anak telah mengetahui bahwasanya sholat adalah kewajiban bagi setiap muslim, dan di sekolah ia belajar telah dilakukan kegiatan sholat berjamaah sebagai langkah pembiasaan, namun ketika ia di rumah, ia dihadapkan dengan keadaan orang tua yang menjadi teladan di rumah malah tidak melakukan sholat, maka si anak ketika di rumah juga akan terbiasa untuk tidak sholat.
D. Qs. Al Baqarah Ayat 67-73 Al Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi sumber dalam ajaran Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia yang diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW , sebagai rahmad yang tak ada taranya bagi alam semesta.Dalam buku Mahabis Fi Ulumil Qur’an Al Qur’an juga biasa diartikan sebagai berikut : Kalam Allah atau firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan ibadah. Definisi kalam adalah kelompok atau jenis yang meliputi segala kalam, dan dengan menghubungkannya kepada Allah, berarti tidak termasuk kalam manusia, jin, dan malaikat. Dan Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, jadi kalam Allah SWT yang dirunkan kepada Nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad bukanlah dinamakan Al Qur’an, seperti Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS, Taurat kepada Nabi Musa AS, dan Zabur kepada Nabi Dawud AS.23 Sedangkan yang diteliti dalam tulisan ini adalah mengenai QS. Al Baqarah 67-73. Adapun bunyi dari ayat tersebut adalah sebagai berikut : 23
Manna Khalil Al Qattan, Mahabis fi ulumil Qur’an, terjemah Mudzakir, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), hlm. 17
33
67.Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?".Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". 68. Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". 69. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
34
yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." 70. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." 71. Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu 72. Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. 73. Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. QS. Al Baqarah adalah surat ke dua dari urutan susunan surat dalam Al Qur’an, meskipun demikian surat Al Baqarah adalah surat yang diturunkan ke 87 setelah surat Al Muthaffifin24. Dan QS. Al Baqarah terdiri dari 286 ayat dan tergolong surat Madaniyyah yang sebagian besar turun pada permulaan tahun Hijriyyah (kecuali pada ayat ke 281 yang turun di Mina ketika nabi Muhammad SAW Melakukan haji wada’). QS. Al Baqarah dinamakan juga dengan sebutan Fustatul Qur’an , artinya puncaknya Al Qur’an, hal itu dikarenakan memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat lain 25. Al Baqarah juga dikenal dengan 24
Abdullah Umar, MushthalichulAttajwid, (Semarang : Karya Toha Putra, t.th.),hlm. 10 Wikipedia , Surat Al Baqarah, dalam : http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Baqarah. diunduh pada tanggal 12 Desember 2011 25
35
nama surat “alif-lam-mim”,karena surat ini dimulai dengan lafadz Alif-laammiim. Dinamakan surat Al Baqarah, juga karena didalam surat ini memuat cerita mengenai penyembelihan sapi betina yang diperintahkan kepada orangorang Bani Israil. Cerita tersebut ada dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73, dalam cerita tersebut juga digambarkan mengenai sifat dan watak orang Yahudi pada umumnya.
36
BAB III ASBABUN NUZUL, MUNASABAH, DAN TAFSIR QUR’AN SURAT AL BAQARAH AYAT 67-73 A. Asbabun Nuzul QS. Al Baqarah Ayat 67-73 Secara bahasa, asbabun nuzul dapat diartikan dengan sebab turunnya Al Qur’an. Kita tahu bahwa Al Qur’an diturunkan selama 23 tahun secara mutawatir (berangsur-angsur), dan bertujuan untuk memperbaiki tata cara kehidupan orang yang hidup pada masa zaman jahiliyyah. Namun pembahasan sebab diturunkannya Al Qur’an di atas, bukanlah maksud dari asbabun nuzul dalam tulisan ini.Secara bahasa, kata asbabun nuzul berasal dari kata asbab dan nuzul. Kata asbab sendiri merupakan mufrod (bentuk tunggal) dari kata sabab yang artinya alasan atau sebab. Sebab adalah kejadian atau sesuatu hal yang melatar belakangi suatu wahyu Al Qur’an diturunkan1. Sedangkan kata nuzul secara bahasa berarti turun. Jadi, kata asbabun nuzul dapat diartikan sebagai sebab-sebab turunnya Al Qur’an. Secara terminologi, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama’. Menurut Dr. Shubhi al-Shalih definisi dari asbabun nuzul adalah Sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu2 Mohammad Ali Ash Shabuny mengartikan asbabun nuzul sebagai sebab atau masalah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat alQur'an.3
1
Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an, (Pekalongan : Al Asri, 2008), hlm. 9 Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an I, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 90 3 Mohammad Ali Ash Shabuny, Pengantar Study Al Qur’an Terjemah Moch. Chudlori Umar, (Bandung : Al Ma’arif, 1987), hlm. 45 2
37
Dari penjelasan itu dapat diambil pengertian bahwa sebab turunnya al-Qur'an (turunnya suatu ayat) ada kalanya berbentuk pertanyaan suatu ayat atau beberapa ayat turun guna menerangkan hal yang berhubungan denganperistiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Anggapan mempelajari asbabun nuzul tidak bermanfaat dan membuang-buang waktu adalah tidak benar. Karena dengan mempelajari asbabun nuzul itu sendiri, ada beberapa faedah yang dapat kita ambil, diantaranya yaitu4 : a. Mengerti segi rahasia yang mendorong disyariatkannya beberapa hukum. b. Jalan yang kuat untuk memahami arti dan makna Al Qur’an, karena dengan mengetahui sebabnya maka akan tahu pula perkara yang diakibatkan. Dilihat dari segi turunnya, Al Qur’an dibedakan ke dalam dua kelompok, yang pertama adalah ayat yang tidak memiliki sebab dan hubungan dengan suatu kejadian. Bagian yang kedua adalah ayat yang memiliki sebab dengan suatu peristiwa5. QS. Al Baqarah yang menjadi bahan pembuatan skripsi ini, juga ada ayat yang memiliki asbabun nuzul dan ada juga yang tidak memiliki asbabun nuzulnya. Ayat dari surat Al Baqarah yang memiliki asbabun nuzul adalah sebagai berikut : Ayat 6-7, 19, 26-27, 44, 62, 76, 79, 80-81, 89, 94, 97, 99, 100, 102, 104, 106, 108, 109, 114, 115, 119, 120, 125, 130, 135, 142, 143, 150, 154, 158, 159, 164, 170, 174, 177, 178, 184, 186, 187, 188, 189, 190, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 2001, 204, 207, 208,
4
Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an, (Pekalongan : Al Asri, 2008), hlm. 10 Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu l-Qur’an, (Semarang: Rasail Media Group, 2008), hlm.74
5
38
214, 215, 217, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 228, 229, 230, 231, 232, 238, 240, 241, 245, 256, 257, 267, 272, 274, 278, 285, 2866 Berdasarkan keterangan mengenai mana-mana ayat dari QS. Al Baqarah yang memiliki sebab diturunkannya secara khusus, maka QS. Al Baqarah ayat 67-73 yang menjadi bahan kajian skripsi ini, adalah tidak memiliki asbabun nuzul. Dengan kata lain, QS. Al Baqarah ayat 67-73 tidak memiliki sebab yang khusus ketika ayat tersebut diturunkan. B. Munasabah QS. Al Baqarah 67-73 Secara etimologi munasabah berarti al mugharabah yang berarti mendekati atau menyerupai7. Secara terminologi, Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai berikut : Ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagianbagiannya tersusun harmonis8. Selain pengertian di atas, munasabah juga diartikan sebagai sesuatu yang menerangkan korelasi (hubungan) antara suatu ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada di belakangnya atau yang ada di mukanya. Dari definisi tersebut, maka ketika kita mencoba mengkaji suatu ayat, maka tidak
dibenarkna
jika
hanya
memperhatikan
bagian
dari
satu
pembicaraan, kecuali jika hanya ingin tahu arti secara mufrodat saja.
6
Islam wikipedia, Asbabun Nuzul, dalam http://islamwiki.blogspot.com. diakses pada tanggal 12 septembar 2011 7
Kadar M. Yusuf, Studi Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 101 Kadar M. Yusuf, Studi Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 101 8 Anjar Nugroho Sb, Pengertian munâsabah dalam http://pemikiranislam.wordpress.com, diakses pada tanggal 12 septembar 2011 7
39
Munasabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagianbagiannya
saling
terkait.
Sehingga
ilmu
munasabah
dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain9. QS. Al Baqarah ayar 67-73 adalah menceritakan tentang sapi betina, namun secara tidak langsung cerita ini menggambarkan beberapa sifat-sifat yang jelek maupun kedurhakaan yang dimiliki oleh orang Bani Israil. Dalam ayat ini, kejelekan yang dimilki oleh orang Bani Israil adalah sifat ngeyel yang ada dalam diri mereka. Sehingga ketika disuruh untuk menyembelih seekor sapi betina apa saja, mereka malah mengajukan pertanyaan yang nantinya membuat mereka rerjebak dalam kesulitan. Mengenai munasabah QS. Al Baqarah ayat 67-73, ayat ini memiliki hubungan dengan ayat sebelumnya. Dimana dalam ayat sebelumnya juga disebutkan beberapa kedurhakaan orang-orang Bani Israil. Diantara kedurhakaan mereka antara lain: 1. Mengingkari janji 2. Berlebihan / melampaui batas pada hari sabtu 3. Merubah dan menyembunyikan isi yang ada dalam kitab Taurat 4. Melakukan permusuhan terhadap nabi dan rasul utusan Allah, dan bahkan sampai membunuh mereka10.
Dari hubungan diatas, maka munasabah dari QS. Al Baqarah ayat 67-73 adalah sebagai berikut :
9
Anjar Nugroho Sb, Pengertian Munâsabah, dalam http://pemikiranislam.wordpress.com, diakses pada tanggal 12 septembar 2011 10
Wahibah Zuhaili, Tafsir Munir, (Beirut : Darul Fikri, 2003), hlm. 203
40
1. Munasabah sebelum ayat a. QS. Al Baqarah ayat 65
Dan Sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina".(QS. Al Baqarah : 65)11 Dalam ayat ini dijelaskan bagaiman perilaku yang juga dimilki oleh orang Bani Israil. Pada masa Nabi Daud, orang-orang Bani Israil dilarang keras untuk menangkap ikan di sungai. Hari sabtu merupakan hari yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk bebas dari segala macam urusan duniawi. Adanya larangan tersebut ternyata banyak dari mereka yang tidak mematuhinya, sebagian dari mereka memakai cara licik untuk melanggar perintah dari Allah. Mereka tidak mengail ikan pada hari sabtu, namun mereka membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan masuk ke kolam yang mereka buat.Atas tindakan mereka itu, Allah mengutuk mereka menjadi kera12. Sebagian ahli tafsir memandang bahwa ini sebagai suatu perumpamaan , artinya hati mereka menyerupai hati kera, karena sama-sama tidak menerima nasehat dan peringatan. Pendapat jumhur mufassir ialah mereka betul-betul berubah menjadi kera, hanya tidak beranak, tidak Makan dan minum, dan hidup tidak lebih dari tiga hari.
11
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971), hlm. 20 12 M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2010), hlm. 265
41
b. QS. Al Baqarah ayat 63 dan 64
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa". (QS. Al Baqarah : 63)13 Ketika datang wahyu berupa kitab Taurat, banyak orang Bani Israil yang enggan untuk melaksanakan apa yang ada di dalamnya. Allah SWT. memerintahkan Malaikat untuk mengangkat gunung Turisin ke atas kepala orang-orang Bani Israil, karena merasa takut pada akhirnya orang Bani Israil mau bersujud dan bersedia menjalankan apa yang ada di dalam kitab Taurat. Namun orang Bani Israil untuk kesekian kalinya mengingkari janji yang mereka buat, hat tersebut telah dijelaskan pada QS. Al Baqarah ayat 64, yang berbunyi :
Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmatNya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi.(QS. Al Baqarah : 64)14 Itulah salah satu sifat buruk Bani Israil, dengan mudah mengingkari janji yang telah mereka buat. Mereka tidak lagi 13
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971), hlm. 20 14 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971), hlm. 20
42
melaksanakan kitab Taurat yang menjadi tuntunan bagi mereka. Ketika ditinggal Nabi Musa untuk bermunajat di gunung Turisin, mereka malah menyembah patung berbentuk sapi.15
c. QS. Al Baqarah ayat 61
Serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (QS. Al Baqarah : 61)16 Ayat ini menerangkan juga salah satu bentuk kedurhakaan mereka,
orang Bani Israil adalah orang yang berani membunuh
utusan Allah SWT tanpa alasan yang benar. Karena tindakan mereka tersebut, mereka semakin mendapat murka dari Allah. Selain membunuh nabi, mereka berani merubah ataupun mengurangi isi kandungan yang ada dalam kiat Taurat. Penjelasan dan ayat mengenai merubah isi taurat akan dipaparkan pada bab setelah ini.
d. QS. Al Baqarah ayat 42
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.(QS Al Baqarah : 42)17
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2010), hlm. 263 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971), hlm. 19 17 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971), hlm. 16 16
43
Kedurhakan yang tampak pada orang Bani Israil pada ayat ini adalah keberanian mereka menyembunyikan isi kandungan yang ada dalam kitab Taurat. Sesuatu yang disembunyikan di sini adalah menyembunyikan keterangan mengenai nabi akhir zaman yang ada pada kitab Taurat. Dalam kitan Al Barzanji diterangkan, ada seorang bernama Ka’ab Al Achbar. Dia menceritakan bahwa ayahnya telah mengajarinya mengenai kitab Taurat. Namun ternyata ada satu lampiran yang belum diterangkan oleh ayahnya. Hal itu ia ketahui setelah ayahnya wafat, ia membuka sebuah kotak yang ternyata di dalalmnya terdapat satu lembar isi dari Taurat. Lampiran tersebut menerangkan mengenai nabi akhir zaman. Ciri nabi yang dimaksudkan dalam lampiran tersebut adalah : nabi yang lahir di Makkah, hijrah ke Madinah, kerajaannya di kota Syam, dan lain sebagainya 18 . Namun keterangan mengenai Nabi tersebut sengaja mereka sembunnyikan, dan hal ini merupakan kedurhakaan yang besar bagi mereka.
2. Munasabah Setelah Ayat Munasabah ayat pada QS. Al Baqarah 67-73 yang terletak setelahnya adalah pada QS. Al Baqarah ayat 74. Pada keterangan di atas, munasabah ayat adalah tertuju pada sifat-sifat yang dimiliki oleh orang Bani Israil. Pada ayat QS. Al Baqarah ayat 74 dijelaskan mengenai keadaan bani Israil secara keseluruhan. Meski memiliki sifat yang jelek, Allah selalu memberi kemudahan bagi mereka agar hati mereka luluh dan mau menjalankan segala perintah yang ada. Namun apa yang terjadi, segala kebaikan yang diberikan Allah SWT tidaklah membuat mereka luluh, namun hati mereka malah semakin menjadi keras. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 74 : 18
Al Barzanji, Majmu’, (Semarang : Pustaka Al Alawiyah, t.th.), hlm. 12
44
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.(QS. Al Baqarah : 74)19 Ayat di atas adalah bukti kedurhakan Bani Israil yang semakin parah, meski telah diberi begitu banyak kemudahan, hati mereka malah bertambah keras. Dalam ayat di atas malah digambarkan hati mereka lebih keras dari pada sebilah batu. Batu yang begitu keras saja, jika terkena air secara terus menerus akan menjadi berlubang, atau bahkan akan hancur. Namun hati bain Israil yang telah begitu banyak diberi kenikmatan malah tidak tahu diri dan semakin durhaka. C. Pendapat Mufasir Mengenai QS. Al Baqarah ayat 67-73 1. Ayat 67
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?". Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (QS. Al Baqarah : 67) 19
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971), hlm. 22
45
Nabi Musa berkata kepada orang-orang Bani Israil : sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi betina. Alasan penyembelihan ini tidak lain karena ada masalah pembunuhan yang tak kunjung diketahui siapa pelakunya. Orang Bani Israil saling menuduh satu sama lain, sehingga terjadi kributan diantara mereka. Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa orang yang terbunuh adalah orang tua yang kaya raya. Pembunuhnya sendiri tidak lain adalah anak-anak pamannya sendiri yang menginginkan warisan dari orang tua tersebut. Setelah dibunuh, mayat lelaki tua tersebut dibuang ke kampung lain. Selang beberapa waktu, para pembunuh tadi kembali ke kampung tersebut dan melakukan tuduhan bahwa pelaku pembunuhan adalah berasal dari kampung tersebut. Hasbi ash-Shiddiqiey berpendapat bahwa mayat tersebut memang dibuang dikampung yang lain, namun dijelaskan pula bahwa tempat pembuangan mayat adalah di sebuah tanah lapang yang terletak di dusun lain tersebut. Pembunuh tadi datang ke kampung lain tersebut juga bermaksud untuk meminta uang tebusan atas kematian saudaranya. Akhirnya terjadi pertengkaran diantara mereka, dan pada akhirnya masalah ini dihadapkan kepada Nabi Musa. Nabi Musa langsung bertanya kepada si tertuduh tadi, dan tentunya tuduhan tersebut ditolak karena mereka bukanlah pelaku pembunuhan. Masalah ini akhirnya bertambah sulit karena belum ada pihak yang mengakui pembunuhan tersebut. Sebagai solusi paling akhir, orang Bani Israil meminta Nabi Musa untuk berdoa kepada Allah AWT agar diberi petunjuk siapa sebenarnya pelaku pembunuhannya. Tidak lama setelah itu turunlah wahyu dari Allah SWT untuk menyembelih sapi betina. Dalam Al Qur’an disebutkan kata baqarun, yangsecara bahasa berarti sapi betina, sementara jantannya disebaut saur yang berarti 46
banteng
20
. Perintah penyembelihan terhadap sapi betina sendiri
sebenarnya memiliki alasan, yaitu untuk meremehkan binatang tersebut (sapi betina), karena sapi betina adalah jenis binatang yang diagungagungkan dan disembah oleh orang-orang Bani Israil. Pada bab lain pemakalah akan menjelaskan sebab-sebab orang Bani Israil menyembah binatang sapi betina. Tabiat yang tampak pada diri orang Bani Israil dalam cerita sapi betina ini adalah terputusnya hati diantara mereka 21 . Hal tersebut disebabkan oleh dangkalnya keimanan mereka. Tidak hanya itu, orang Bani Israil juga sering enggan untuk melaksanakan printah rasul kepada mereka dengan mencari berbagai macam alasan. Dampak yang jelas pada sifat orang Bani Israil juga terlihat pada cerita ini. Dalam kasus diatas disebutkan bahwa untuk mengungkap pelaku pembunuhan tersebut, mereka diperintah untuk menyembelih sapi betina. Namun karena kejelekan yang dimiliki orang bani Israil, mereka tidak langsung melaksanakan perintah yang diberikan Nabi Musa. Kemudian pada ayat , perintah dari Nabi Musa
mereka anggap sebagai olokan terhadap mereka, sehingga mereka meragukan perintah yang diberikan oleh nabi Musa. Dari perbuatan Bani Israil ini, dapat kita ketahui bagaimana sifat yang mereka miliki. Dengan kesabaran yang dimiliki Nabi Musa, beliau memberikan jawaban yang begitu sopan atas apa yang dikatakan oleh orang Bani Israil, Nabi Musa menjelaskan bahwa tidaklah mungkin seorang utusan menyuruh untuk melakukan hal yang bodoh. Dan Nabi Musa berkata : “ aku berlindung kepada Allah SWT agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang bodoh.22
20
Ahmad Musthafa Al Maraghi,Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha Putra, 1992), hlm. 250 21 Sayyid Quttub, Fi Zhilalil Qur’an terjemah As’ad yasin dkk, (Depok : Gema Insani, 2008), hlm. 93 22 Sayyid Quttub, Fi Zhilalil Qur’an terjemah As’ad yasin dkk, (Depok : Gema Insani, 2008), hlm. 94
47
Sebagaimana yang kita pelajari di tingkat dasar tentang Aqoid yang berjumlah 50, empat diantaranya adalah membahas mengenai sifat wajib bagi rasul, yaitu : sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tablig (menyampaikan wahyu), fatonah (cerdas). Dan empat membahas tentang sifat muhal bagi para rosul, yaitu : kidzib (berbohong), kiyanah (ingkarjanji), kitman (menyembunyikan wahyu), baladah (bodoh) 23 , harus dapat kita fahami bahwa sebagai salah satu rasul, tidaklah mungkin Nabi Musa melakukan tindakan bodoh, karena sifat bodoh itu tidak mungkin ada pada diri rosul yang memilki sifat cerdas (pandai). Dalam tafsir Aidh diterangkan bahwa orang Bani Israil ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mengajukan pertanyaan kepada nabi Musa, dan mereka berkata, “ Kami bertanya kepadamu tentang si pembunuh mayat ini, tetapi kamu malah menyuruh kami menyembelih sapi betina !”.24 Dan ketika mereka mau melaksanakan printah nabi Musa, mereka malah mempersulit diri mereka sendiri dengan berbagai pertanyaan. Padahal perintah yang diberikan oleh Nabi Musa adalah perintah untuk menyembelih sapi betina yang mereka kehendaki seperti apa. Adapun pertanyaan yang diberikan Bani Israil akan penulis bahas dalam pembahasan tafsir ayat berikutnya.
2. Ayat 68
Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan
23
Ahmad Almarzuqi, Aqidatul Awam, (Kudus : Menara Kudus, t.th.), hlm. 15 Qisthi Press, ‘Aidh Al Qarni, (Jawa Timur : Qisthi Press, 2008), hlm. 53
24
48
antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". ". (QS. Al Baqarah : 68) Seperti yang penulis jelaskan diatas, ketika mereka sudah akan melakukan perintah nabi Musa, mereka malah menyulitkan diri mereka sendiri dengan berbagai pertanyaan. Dengan dalih meminta petunjuk kepada Allah, Bani Israil meminta Nabi Musa agar berkenan berdoa kepada Allah agar diberi petunjuk seperti apa sapi yang harus disembelih agar kasus pembunuhan cepat terselesaikan. Pada ayat yang berbunyi qoolud’ulana...........dst, Ahmad Mustafa Al-Maragi berpendapat bahwa setelah orang Bani Israil mendengar keterangan yang sangat menakjubkan, mereka memohon kepada Nabi Musa agar diterangkan ciri sapi yang harus disembelih tersebut. Hal menakjubkan yang dimaksudkan di sini adalah mengenai keajaiban setelah sapi disembelih dapat menghidupkan orang yang telah meniggal dunia. Adapun cara menghidupkannnya adalah dengan cara sebagian anggota badan dari sapi dipukulkan kepada orang yang meninggal tersebut25. Banyak dari mereka yang bertanya mengenai ciri khas sari sapi betina tersebut, kemudian oleh Allah SWT mereka diperintah untuk mencari sapi yang sulit dicari. Padahal jika mereka langsung melaksanakan perintah Nabi Musa, tanpa bertanya banyak mengenai ciri sapi tersebut, mereka tidak perlu susah-susah mencari sapi yang memiliki ciri-ciri yang sangat rumit. Pertanyaaan pertama dari Bani Israil yang mengenai ciri sapi betina tersebut dijawab oleh Allah bahwa sapi tersebut tidak tua dan tidak muda. Kemudian orang Bani Israil langsung disuruh untuk melaksankan perintah yang diberikan, yaitu mencari sapi betina yang tidak tua dan tidak muda. 25
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha Putra, 1992), hlm. 254
49
Dalam tafsir Aidh al-Qarni disebutkan bahwa alasan mencari sapi yang tidak tua dan tidak muda adalah karena pada usia tersebut seekor sapi sedang berada pada masa pertumbuhan yang baik. Kemudian orang Bni Israil di ingatkan agar tidak bertanya tentang pertanyaan sepele yang akan membuat mereka menyulitkan diri merekan sendiri, karena barang siapa yang mengajukan pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan, maka jawaban yang akan diberikan akan menyulitkan orang yang bertanya.26
3. Ayat 69
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."(QS. Al Baqarah : 69) Jawaban dari Allah SWT ternyata belum membuat orang Bani Israil melaksanakan perintah yang diberikan kepada mereka. Orang Bani Israil masih saja bertanya lagi tentang ciri-ciri yang lebih mendetail lagi mengenai sapi tersebut. Mereka berkata : “mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya sapi itu ?” Dari apa yang mereka tanyakan ini, sudah tentu mereka mempersulit diri mereka sendiri dengan menunutut jawaban yang lebih terperinci. Nabi Musa menjawab : “sesungguhnya Allah berfirman, bahwasanya sapi betina itu adalah sapi yang kuning, yang tua warnanya, dan menyenangkan orang-orang yang memandangnya”. Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an diterangkan bahwa pertanyaan yang diajukan bani Israil adalah perbuatan yang mempersempit daerah 26
Qisthi Press, ‘Aidh Al Qarni, (Jawa Timur : Qisthi Press, 2008), hlm.53
50
pemilihannya (memilih sapi betina), pada awalnya masalah ini adalah lapang, mereka diperintah mencari sapi yang bersifat umum. Namun karena kebodohan mereka sendiri, mereka terbebani dengan mencari sapi betina yang lebih spesifik. Dalam ayat 68 telah dijelaskan bahwa mereka dibebani dengan mencari sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, dan sekarang pada ayat 69 mereka lebih terbebani lagi dengan sapi yang berwarna kuning dan dapaat membuat senang orang-orang yang memandangnya. Menyenangkan orang yang memandang tidak bisa terjadi kcuali jika tidak terdapat keindahan, vitalitas, kegesitan, dan warna yang indah. Sikap mereka ini menunujukan bahwa mereka adalah orang-orang yang rewel, namun mereka malah bertindak lebih dari itu dengan cara mempersulit diri sendiri, sehingga Allah SWT mempersulit mereka27. Dalam tafsir Aidh al-Qarni dijelaskan pula bahwa warna kuning merupakan warna terbaik pada binatang, karena membuat terpesona bagi orang-orang yang memandangnya. Ada yang berpendapat mengenai warna sapi tersebut adalah warna hitam pekat, namun pendapat yang paling kuat adalah sesuai dengan makna lahir dalam Al Qur’an, yang menyebutkan sapi tersebut berwarna kuning tua28.
4. Ayat 70
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."(QS. Al Baqarah :70)
27
Sayyid Quttub, Fi Zhilalil Qur’an terjemah As’ad yasin dkk,(Depok : Gema Insani, 2008), hlm. 95 Qisthi Press, ‘Aidh Al Qarni, (Jawa Timur : Qisthi Press, 2008), hlm. 53
28
51
Mereka (orang-orang Bani Israil) berkata : “mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan sesungguhnya insya Allah kami akan mendapat petunjuk ”. Pertanyaan ini menunjukan permintaan tambahan keterangan dari keterangan yang telah diberikan sebelumnya, dan kemudian mereka menjelaskan sebab dari terulangnya mereka. Mereka beralasan bahwa ciri-ciri sapi betina masih membingungkan bagi mereka.29 Dalam tafsir Aidh al-Qarni dijelaskan, setelah bertanya yang kesekian kali untung orang Bani Israil mengucapkan lafadz insya Allah, karena kalau seandainya mereka tidak mengucapkan kalimat itu mereka tidak akan mendapat hidayah/petunjuk dari Allah SWT. Dikutip dari tafsir Al Maraghi, keterangan mengenai penggunaan kata insya Allah juga seperti apa yang Nabi Muhammad sabdakan, yaitu : Seandainya mereka masih tetap bertanya tanpa henti, dan tidak mengatakan insya Allah, tentulah tidak dijelaskan kepada mereka (sapi bretina tersebut) untuk selama-lamanya. Insya Allah selamalamanya mereka tidak akan bisa mendapatkan penjelasan tentang sapi tersebut30. Ketidak tahuan ataupun ketidak pahaman mereka mengenai ciri sapi betina tidak lain adalah karena kebodohan mereka sendiri, mereka bertanya tentang hal yang membuat mereka bertambah sulit.
5. Ayat 71
Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak 29
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000), hal 132 30 Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha Putra, 1992), hlm. 256
52
tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS. Al Baqarah : 71) Jawaban yang diberikan oleh Nabi Musa-pun bertambah sulit, Nabi Musa menjawab : “sapi tersebut belum pernah dipekerjakan untuk membajak sawah atau mengairi ladang, tidak ada cacatnya dan tidak ada warna lain pada tubuhnya kecuali kuning”. Dari ciri yang diberikan tersebut dapat kita bayangkan betapa sulit untuk mencari sapi yang sedemikian rupa itu. Sapi yang belum pernah untuk digunakan untuk membajak sawah ataupun mengairi ladang sangat sulit dicari, karena pada umumnya sapi yang telah menginjak usia sedang (tidak tua tidak pula muda) telah digunakan untuk pekerjaan di ladang. Dan ciri yang belum ada cacatnya, juga membuat pencarian sapi yang diperintahkan bertambah sulit. Dalam keterangan diatas disebutkan bahwasanya sapi tersebut tidaklah memiliki cacat dalam tubuhnya, dalam tafsir Aidh al-Qarni dijelaskan bahwa maksud dari sapi yang tidak cacat adalah sapi yang tidah puncang, buta, dan sakit. Sapi dengan keadaan tidak cacat sangat dimungkinkan adalah sapi yang belum pernah dipekerjakan. Dan sapi tersebut cuma memiliki satu warna dalam tubuhnya yaitu kuning31.
Orang-orang bani Israil berkata kepada nabi Musa : sekarang engkau telah menjelaskan sapi betina yang sebenarnya. Kata “sekarang” yang mereka gunakan dalam perkataan mereka, adalah bentuk penghinaan mereka kepada Nabi Musa, mereka menganggap Nabi Musa sangat lamban untuk memberikan keterangan yang terakhir tadi (sapi tersebut belum pernah dipekerjakan untuk membajak sawah atau mengairi ladang,
31
Qisthi Press, ‘Aidh Al Qarni, (Jawa Timur : Qisthi Press, 2008), hlm.54
53
tidak ada cacatnya dan tidak ada warna lain pada tubuhnya kecuali kuning) . Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an diterangkan bahwa ciri yang sedemikian banyak tersebut menjadikan persoalan yang dimiliki Bani Israil bertambah sulit, namun orang Bani Israil malah berkata : “sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sesungguhnya”. Dalam perkataan orang Bani Israil tadi, mereka menggunakan kata “barulah sekarang”, dari kata-kata tersebut seolah-olah mereka menganggap apa yang dikatakan oleh Nabi Musa tidaklah benar, atau juga berarti apa yang disampaikan Nabi Musa pada awalnya adalah salah, kecuali keterangan yang terakhir32. Al Maraghi menafsirkan lebih sederhana mengenai ayat ini, beliau dengan singkat menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan jawaban dari Bani Israil yang telah merasa cukup dengan apa yang mereka dapatkan dari Nabi Musa33.
Setelah mendapat keterangan dari Nabi Musa, mereka lalu mencari sapi yang telah ditentukan ciri-cirinya. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil mendapatkan sapi yang dimaksudkan dan kemudian mereka langsung menyembelihnya.
Ayat tersebut ditafsirkan bahwa mereka (orang-orang Bani Israil) hampir saja tidak mampu melaksanakan perintah yang diberikan Nabi Musa untuk menyembelih seekor sapi betina, hal tersebut dikarenakan mereka mengalami kesulitan dalam mencari sapi yang telah disebutkan
32
Sayyid Quttub, Fi Zhilalil Qur’an terjemah As’ad yasin dkk, (Depok : Gema Insani, 2008) hlm. 95 Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha Putra, 1992), hlm. 257 33
54
ciri-cirinya. Ayat ini dapat diartikan pula orang-orang Bani Israil enggan untuk melaksanakan perintah yang diberikan34. Kesulitan Bani Israil dalam mencari sapi betina tidak akan terjadi andai saja mereka langsung melaksanakan perintah untuk menyembelih sapi betina pada saat pertama kali diperintah, namun mereka malah mengajukan pertanyaan yang malah membuat diri mereka menjadi sulit. Padahal jika mereka menyembelih sapi apa saja, barang tentu sudah diterima oleh Nabi Musa.
6. Ayat 72
Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. (QS. Al Baqarah : 72) Dan ketika seseorang diantara kalian membunuh jiwa yang tidak berdosa, kemudian kalian saling menuduh tentang siapa pembunuhnya, karena si pembunuh tidak mengakui perbuatannya. Kemudian Allah SWT berkehendak memperlihatkan tanda kebenaran rasul-Nya. Allah SWT memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi betina, dan Allah SWT akan menghidupkan kembali mayat yang telah dibunuh tadi untuk memberi tahu siapa pelaku yang sebenarnya. Melalui mukjizar tersebut Allah SWT menyingkapkan bukti yang telah disamarkan oleh si pembunuh dan disembunyikan oleh saksi. Ayat ini diakhirkan penyebutannya, padahal ayat ini merupakan sebab adanya perintah menyembelih sapi betina. Ayat ini sengaja tidak disebutkan pada awal cerita, karena tujuan yang paling utama dalam ayat
34
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm.133
55
tersebut adalah menyembelih sapi betina untuk menyingkap misteri pembunuhan yang terjadi35.
7. Ayat 73
Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tandatanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (Al Baqarah : 73) Pukullah oleh kalian orang yang terbunuh dengan sebagian anggota sapi yang telah kalian sembelih, anggota tubuh yang dimaksudkan adalah anggota mana saja yang ada dalam sapi tersebut. Dalam tafsir Al Maraghi, bagian tubuh yang dimaksud adalah lidah sapi tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa anggota tubuh yang dimaksudkan adalah pahanya. Dalam tafsir An Nur diterangkan paha yang dmaksud adalah paha bagian kanan.
Dalam tafsir Al Maraghi diterangkan bahwa setelah si mayyit dipukul dengan bagian tubuh sapi betina yang disembelih tadi, mayyit tersebut hidup kembali dan kepalanya masih berlumuran darah segar. Nabi Musa tidak melakukan pemukulan terhadap si mayit, namun sebaliknya dilakukan sendiri oleh seorang dari Bani Israil. Hal ini dikarenakan Nabi Musa kawatir kalau-kalau orang Bani Israil
35
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha Putra, 1992), hlm. 258
56
menganggap ini sebagai sihir belaka. Dengan cara seperti itulah Allah SWT menghidupkan si mayyit36. Si mayyit pada akhirnya menceritakan siapa yang sebenarnya telah membunuhnya, dan pelakunya tidak lain adalah anak paman si mayyit sendiri. Setelah diketahui siapa pelakunya, maka si pelaku dikenai hukuman mati. Adapun sapi tersebut dimiliki oleh orang Bani Israil yang salih dan taat kepada Allah SWT. Dalam kitab tafsir Hasiyat al Sawi ‘ala Tafsir al Jalalayn diceritakan secara mendetail mengenai siapa pemilik sapi tersebut. Terdapatlah seorang dari Bani Israil memiliki sapi yang masih kecil. Sebelum ia wafat, ia meletakkan sapi tersebut di tengah hutan dan berpesan kepada istrinya untuk memberikan sapi tersebut kepada putranya saat dewasa kelak. Sang anak dari orang Bani Israil yang salih tadi, tumbuh menjadi anak yang berbakti kepada ibunya. Setiap hari ia pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan menjualnya. Hasil penjualan dari kayu bakar tersebut ia bagi kepada 3 bagian, sepertiga untuk dirinya sendiri, sepertiga untuk ibunya, dan sepertiga yang terahir ia gunakan untuk bersedekah. Sang anak dalam kehidupan kesehariannya, juga membagi waktunya ke dalam tiga kegiatan. Sepertiga sang anak gunakan waktunya untuk bekerja dan istirahat, seperiga lagi ia gunakan untuk melayani dan membantu ibunya, dan sepertiganya lagi, ia gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Pada suatu hari, sang ibu memerintahkan anak untuk pergi ke hutan. Di hutan tersebut, si ibu berpesan agar si anak mengambil seekor sapi yang telah ditingglkan ayahnya, karena sang ayah sudah berwasiat agar ketika si anak sudah besar, sapi tersebut herus diberikan kepadanya.
36
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha Putra, 1992), hlm. 259
57
Sebelum mengambil sapi, sang ibu menasihati anaknya agar berdoa mohon perlindungan kepada Tuhannya Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan Ya’qub37. Ketika sapi sudah ditemukan, sang anak bergegas pulang, namun tiba-tiba ada hal yang sangat menkjubkan. Si sapi tadi meminta anak untuk menaiki punggungnya, karena perjalanan menuju pulang amatlah jauh. Ketika diminta untuk menaiki punggung si sapi, sang anak berkata :” sesungguhnya ibuku tidak menyuruhku unuk melakukan hal yang sedemikian rupa”, dan sapi tersebut berkata : “seandainya kamu ikuti apa yang aku pinta, maka engkau tak akan kuasa untuk membawaku selamalamanya”. Ketika sampai dirumah, si ibu meminta anaknya untuk membawa sapi tersebut kepasar dan dijual dengan harga 3 Dinar. Ketika hendak kepasar, sang anak didatangi seorang malaikat, namun sang anak tidak tahu kalau yang ia temui adalah malaikat. Malaikat tadi berkata : “berapa engkau jual sapimu tersebut ?”, sang anak menjawab : “aku menjual sapi tersebut denagn harga 3 Dinar atas pesan ibuku”. Malaikat tadi menjawab : “juallah sapi tersebut dengan harga 6 Dinar tanpa sepengetahuan ibumu ”. mendapat tawaran tersebut, sang anak tidak tergiur, ia menolak harga tersebut karena ibunya tidak menyuruhnya menjual sapi itu dengan harga 6 Dinar. Sang anak pulang dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Dan ibunya pun berkata : “jualah sapi tersebut dengan harga 6 Dinar”. Akhirnya sang anak kembali dengan sapinya untuk dijual kepasar dengan harga 6 Dinar. Namun lagi-lagi malaikat mendatanginya untuk membeli sapinya dengan harga 12 Dinar dengan syarat sang ibu tidak tahu. Namum lagi-lagi anak tersebut menolaknya karena harga tersebut tidak diperintah oleh ibunya dan akhirnya anak tersebut kembali pulang untuk menceritakan hal yang aneh yang terjadi padanya.
37
Syaih Zainuddin bin Abdul Azizi, Irsyadul Ibad, (Indonesia : Alharamain, t.th.), hlm. 92
58
Mengetahui kejadian yang aneh yang meninpa anaknya tersebut, sang ibu tahu kalau orang ingin membeli sapi anaknya tersebut adalah malaikat. Dan sang ibu berkata : “wahai anakku sesungguhnya, orang tadi adalah malaikat, temui dia dan katakan apakah sapi ini harus dijual apa tidak”. Setelah anak tadi bertemu dengan Malaikat, Malaikat berkata : “sesungguhnya ada kasus pembunuhan dikalangan kaum Bani Israil, juallah sapimu kepada mereka dengan emas yang besarnya sama dengan sapi yang engkau miliki”.38 Cerita diatas merupakan bagian dari skripsi ini yang menjelaskan dari mana orang Bani Israil mendapatkan sapi untuk mengetahui kasus pembunuhan yang terjadi.
Allah SWT memperlihatkan tanda-tanda kebesaranNya, serta membuktikan kebenaran Al Qur’an dan Muhammad melalui cara mampu menginformasikan hal-hal ghaib, dalam hal ini berupa cerita umat di masa yang telah lampau. Tanda-tanda yang dimaksudkan adalah menghidupkan orang yang telah meninggal dengan cara yang menakjubkan, yaitu dengan cara memukul orang yang telah mati dengan sebagian anggota tubuh hewan yang telah mati pula. Dan kemudian mayyit yang hidup kembali mampu menceritakan perihal mengenai kematiannya, sehingga hilanglah saling tuduh menuduh diantara kaum Bani Israil39. Tafsir Al Maragi juga mengutarakan hal yang sama pada tafsir An Nur, dimana tanda-tanda yang dimaksudkan adalah menghidupkan orang yang telah mati dan orang tersebut mampu menjelaskan penyebab kematiannya sehingga jelas siapa pelaku pembunuhan atas dirinya.40 38
Al Sayh Ahmad ben Muhammad Al Sawi, Hasiyat Al Sawi ‘Ala Tafsir Al Jalalayn, (Beirut : Dar Al Kotob Al Ilmiyyah, 2009), hlm. 51 39 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000), hal 134 40 Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha Putra, 1992), hlm. 259
59
Arti secara sederhana yaitu : supaya kamu memahami. Dalam pembahasan ini, hal-hal yang perlu dipahani adalah mengenai rahasiarahasia agama, peraturan agama, hukum agama, serta manfaat tunduk dan patuh pada agama. Selain itu, supaya dapat menjauhkan diri dari hawa nafsu dan menjalankan perintah Allah SWT41.
41
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 135
60
BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM QS. AL BAQARAH AYAT 67-73
A. Akhlak Dalam Bertanya Dapat kita lihat bagaimana Bani Israil datang kepada Nabi Musa dan bertanya tentang masalah yang mereka hadapi. Tindakan Bani Israil tersebut harus dapat kita jadikan pelajaran agar kita mengerti adab bagaimana mengajukan sebuah pertanyaan. Orang Bani Israil datang kepada Nabi Musa dan bertanya kepada Nabi Musa mengenai masalah pembunuhan yang terjadi. Setelah memohon kepada Allah SWT akhirnya Nabi Musa mendapat petunjuk agar orang Bani Israil menyembelih sapi untuk menghidupkan orang yang telah mati. Pada awalnya, perintah penyembelihan adalah untuk sapi macam apa saja yang orang Bani Israil kehendaki, namun pada kenyataanya mereka malah bertanya tentang pertanyaan yang membuat diri mereka menjadi bertambah sulit. Disuruh menyembelih apa saja, orang Bani Israil malah bertanya mengenai jenis kelamin dan usia sapi yang dimaksudkan. Setelah diberi jawaban, mereka malah kembali bertanya lagi mengenai warna sapi tersebut. Meski pada akhirnya Nabi Musa memberikan jawaban mengenai warna sapi yang dimaksudkan, orang Bani Israil masih saja bertanya tentang hal yang semakin membuat mereka berada dalam kesulitan yang semestinya tidak terjadi. Islam sangat melarang pemeluknya untuk bertanya dengan cara yang dilakukan orang Bani Israil, Islam melarang kita untuk bertanya tentang hal yang membuat diri kita sendiri bertambah kesulitan karena pertanyaan yang kita ajukan. Maka dari itu, sebagai orang muslim kita jangan banyak
61
bicara. Karena hal tersebut dilarang oleh Allah SWT. Allah berfirman dalam QS. Al-Maaidah ayat 101 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah SWT. memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah SWT. Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS. Al-Maaidah : 101)1 Ayat di atas sangatlah jelas, kita sebagai orang Islam dilarang untuk bertanya yang dengan pertanyaan tersebut membuat diri kita terjerumus ke dalam hal yang bertambah sulit. Dengan memahami ayat ini, kita hendaknya tidak melakukan kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang Bani Israil yang terjebak ke dalam permasalahan yang lebih rumit karena pertanyaan-pertanyaan mereka yang diajukan kepada Nabi Musa. Selain hal di atas, sebagai peserta didik perlu diketahui pula ketika di dalam kelas ada juga etika untuk mengajukan petanyaan kepada seorang guru. Pertama, jangan bertanya kepada guru ketika guru belum memberikan kesempatan bertanya. Seandainya kesempatan tersebut tidak diberikan, maka carilah waktu yang tepat untuk bertanya, jangan sampai kita memotong pembicaraan dari guru. Karena kita tahu, memotong pembicaraan adalah akhlak yang tercela. Kedua, ketika hendak mengajukan pertanyaan, mulailah dengan mengacungkan jari terlebih dahulu.
1
Departemen Agana RI, Al Aliyy, (Bandung : CV Penerbit Dionegoro, 2008), hlm. 66
62
B. Akhlak Anak Kepada Orang Tua Salah satu karakteristik seorang muslim adalah memperlakukan kedua orang tuanya dengan baik. Memperlakukan orang tua dengan baik merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat agung, Al Qur’an dan Hadis sudah begitu jelas memaparkannya. Allah SWT mewahyukan banyak ayat yang memperkuat pesan tentang penegasan bahwa ridha Allah SWT tergantung pada ridha orang tua. Perintah untuk menghormati orang tua dengan jelas diterangkan dalam Al Qur’an, salah satunya adalah pada QS. An Nisa ayat 36.
Sembahlah Allah SWT. dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah SWT. tidak menyukai orangorang yang sombong dan membangga-banggakan diri ( QS. An Nisa : 36)2 Dalam ayat diatas dapat kita ketahui bersama, bahwa menghormati orang tua merupakan perintah agama yang harus kita patuhi. Terlepas dari
2
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah, 2004), hlm 109
63
ayat di atas, QS. Al Baqarah yang menjadi bahan skripsi ini juga penulis temukan tentang nilai pendidikan akhlak terhadap orang tua. Mungkin jika kita artikan secara bahasa QS. Al Baqarah ayat 67-73, kita tidak akan menemukan nilai pendidikan akhlak terhadap orang tua. Nilai pendidikan akhlak terhadap orang tua, penulis temukan pada cerita pembunuhan yang terjadi pada orang Bani Israil di zaman Nabi Musa. Ketika terjadi pembunuhan orang-orang Bani Israil berbondong-bondong mendatangi Nabi Musa untuk meminta petunjuk mengenai siapa pelaku pembunuhan tersebut. Ketika ditanya demikian, Nabi Musa meminta orang Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi apapun jenisnya sesuai keinginan mereka. Namun kenyataannya, orang-orang Bani Israil malah mengajukan pertanyaan mengenai ciri-ciri sapi yang dimaksudkan. Karena banyak bertanya, pada akhirnya mereka mendapati kesulitan dalam menemukan ciri sapi tersebut. Telah kita ketahui bersama, kesulitan yang dialami orang Bani Israil adalah karena ulah mereka sendiri. Sapi yang sulit tersebut, ternyata dimiliki seorang dari Bani Israil yang salih dan taat kepada Allah SWT. Ketika masih hidup, orang Bani Israil yang salih tersebut meletakkan sapinya ditengah hutan, dan ia berdoa kepada Allah SWT agar sapinya dijaga dan dapat diberikan kepada anaknya kelak. Pada akhirnya Orang Bani Israil yang salih tadi meninggal dunia, dan singkat cerita anakya telah tumbuh dewasa menjadi anak yang taat beribadah dan selalu berbakti kepada ibunya. Meski hidup dalam kekurangan si anak tidak pernah mengeluh, bahkan hasil kerjanya yang sedikit selalu tak lupa ia sisihkan untuk ibunya. Pada suatu hari si ibu menceritakan kepada si anak kalau ayahnya dulu telah mewarisinya seekor sapi yang telah di tinggal ditengah hutan. Ibunya meminta agar si anak mengambilnya. Perjalanan mengambil sapi
64
merupakan ujian bagi anak, seberapa besar rasa hormat yang dimiliki anak kepada si ibu. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa sebelum mengambil sapi tersebut, anak tersebut diajarkan doa oleh ibunya. Doa tersebut berisi tentang permohonan perlindungan kepda Tuhannya Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan Ya’qub3. Ujian yang diterima anak tersebut adalah sebagai berikut : 1. Sapi tersebut bukanlah sapi sembarangan dan bisa bicara. Sapi tersebut meminta anak untuk menaikinya karena perjalanan sangat jauh. Namun si anak menolak dengan alasan ibunya tidak memerintahkannya untuk berbuat demikian. Dan si sapi pun berkata : “seandainya engkau melakukan hal tadi (menaiki punggung sapi), maka selamanya engkau tak akan mampu untuk membawaku bersamamu, dan seandainya engkau memerintahkan gunung untuk lepas dari tempat asalnya, maka gunung tersebut akan mengikuti apa yang engkau perintahkan, hal tersebut adalah karena kebaikan dan ketaatanmu kepada ibumu.” 2. Setelah sapi tersebut sampai di rumah, sang ibu memerintahkan anak untuk menjual sapi dengan harga 3 Dinar dan dilarang menjual sapi tersebut selain dengan harga itu. Maka beranglatlah anak tersebut ke pasar untuk menjual sapi. Ketika dalam perjalanan menuju pasar, Allah SWT. mengirim satu malaikat untuk menguji kebaktian anak kepada ibunya. Meski ada yang menawar harga yang tinggi, si anak tidak mau menjualnya karena ibunya tidak menyuruh menjual sapi dengan harga yang ditawarkan meski lebih tinggi harganya.
Dari cerita di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa si anak memiliki rasa bakti yang luar biasa terhadap ibunya. Hal ini haruslah kita 3
Syaih Zainuddin bin Abdul Azizi, Irsyadul Ibad, (Indonesia : Alharamain, t.th.), hlm. 92
65
jadikan sebuah pelajaran, dengan lebih mengkaji QS. Al Baqarah ayat 6773 dapat memotivasi diri kita untuk birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua). Rachmat Djatnika dalam bukunya menerangkan ada beberapa kewajiban seorang anak kepada orang tuanya ketika masih hidup, diantaranya yaitu 4: 1. Berbuat baik kepada ayah dan ibu meskipun mereka berbuat lalim. 2. Berkata halus dan mulia kepada ibu dan ayah. 3. Berkata lemah lembut kepada ibu dan ayah.
Seorang anak menurut Islam dituntut untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya bagaimanapun keadaannya. Artinya, sebagai seorang muslim jangan sampai kita menyakiti orang tua, bagaimanapun juga mereka yang telah membesarkan dan mendidik kita. Terlalu banyak kebaikan yang orang tua berikan kepada kita, sampai-sampai ada pepatah mengatakan bahwa kasih anak kepada orang tua adalah sepanjang galah, sedangkan kasih orang tua kepada anak adalah sepanjang jalan. Apapun yang kita lakukan terhadap orang tua, tidaklah akan cukup untuk membayar semua jasa-jasa mereka. Untuk itulah Islam mewajibkan pemeluknya untuk selalu berbuat baik kepada orang tuanya apapun dan bagaimana keadaan mereka. Berkata yang baik kepada orang tua telah ditegaskan dalam QS. Al Isra’ ayat 23-24 :
4
Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 204
66
23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. 24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(QS. Al Isra’ : 23-24)5 Mengucapkan kata “Ah” kepada orang tua saja tidak diperbolehkan oleh agama, apalagi jika kita mengucapkan kata-kata yang menyakitkan atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada kata “Ah”. Untuk itu hendaklah kita selalu menjaga setiap ucapan yang kita keluarkan, jangan sampai kita menyinggung perasaan mereka. Murka Allah SWT tergantung murka orang tua, itulah gambaran betapa penting kedudukan orang tua dalam agama Islam. Menghormati orang tua merupakan keharusan bagi setiap muslim. Untuk meningkatkan rasa bakti kita, penulis akan mencoba menceritakan
juga
mengenai
seorang ahli ibadah dengan orang tuanya. Tersebutlah ada seorang ahli ibadah bernama Juraij, pada suatu hari ketika ia sedang shalat, ibunya memanggilnya sampai tiga kali. Mendapati tidak ada jawaban dari anaknya, si ibu langsung marah dan berdoa pada
5
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah, 2004), hlm. 366
67
Allah SWT. agar tidak dicabut nyawa sang anak sebelum ia melihat wajah seorang pelacur. Pada saat yang sama ada seorang pelacur yang melakukan zina dengan seorang penggembala. Ketika hamil, pelacur tersebut berkata jika yang menghamilinya adalah seorang ahli ibadah bernama Juraij. Mengetahui kabar tersebut, masyarakat sekitar marah dan merusak tempat ibadah Juraij. Ketika akan dihukum oleh penguasa setempat, Juraij teringat akan doa ibunya, dan ia meminta ijin untuk melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum ia dihukum. Setelah selesai melakukan shalat, Juraij menghampiri pelacur tersebut dan bertanya kepada bayi yang ada dalam kandungan
tentang siapa
ayahnya yang sebenarnya. Keajaiban terjadi, si bayi yang ada dalam kandungan menjawab bahwa ayah yang sebenarnya adalah seorang penggembala.
Mengetahui
hal
tersebut,
orang
yang
hadir
mengumandangkan lafadz tahlil dan takbir, dan mereka berjanji akan membangun kembali tempat ibadah yang dulu pernah mereka rusak.6 Contoh-contoh diatas merupakan kewajban kita terhadap orang tua ketika mereka masih hidup. Meskipun kedua orang tua kita telah tiada, kita tetap memiliki kewajiban terhadap mereka. Adapun bentuk bakti kita terhadap orang tua ketika mereka telah tiada adalah : 1. Mendoakan orang tua dan memintakan ampunan kepada Allah SWT. 2. Menepati janji yang pernah dibuat oleh kedua orang tua kita 3. Memuliakan teman-teman kedua orang tua kita 4. Bersilaturrahim kepada kerabat-kerabat orang tua7
6
Muhammad Ali Al Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal terjemah Ahmad Baidowi, ( Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001), hlm. 77 7 Umar bin Ahmad Baraja’, Akhlak Al Banin juz 2, (Surabaya : Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabahan, t.th.), hlm. 19
68
C. Kesabaran Pendidik Dalam kajian mengenai QS. Al Baqarah ayat 67-73, ada nilai tentang kesabaran yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, kesabaran yang penulis maksudkan adalah kesabaran yang terfokus terhadap pendidik dan juga peserta didik. Dalam cerita mengenai sapi betina dalam QS. Al Baqarah tersebut, Nabi Musa penulis ibaratkan sebagai seorang pendidik, dan orang Bani Israil adalah sebagai peserta didik. Kita dapat melihat bagaimana kesabaran yang dimiliki Nabi Musa ketika menghadapi segala macam hal yang dilakukan oleh orang-orang Bani Israil. Ketika Nabi Musa memberikan petunjuk mengenai masalah pembunuhan yang terjadi, orang-orang Bani Israil malah mencemooh Nabi Musa, mereka menganggap Nabi Musa sebagai pembohong. Meskipun diperlakukan demikian, Nabi Musa tetap bersabar menghadapi mereka, ketika dicemooh Nabi Musa tetap memberikan jawaban dengan sopan dan halus. Ketika jawaban yang Nabi Musa berikan kepada Bani Israil selalu dirasa kurang cukup, Nabi Musa tetap sabar dalam memberikan jawaban yang diperlukan. Semua kesabaran yang dilakukan Nabi Musa adalah sebuah contoh kepada para tenaga pendidik untuk selalu bersabar dalam menghadapi peserta didiknya. Dengan adanya kesabaran yang ada dalam diri tenaga pendidik, tentunya segala tindak kekerasan dalam lingkungan sekolah tindak akan terjadi, namun sangat kita sayangkan sampai saat ini masih kita jumpai beberapa tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Tindakan ini amatlah sangat disayangkan, mengingat guru merupakan figur sentral dalam membentuk perkembangan peserta didik.
69
Sikap sabarpun tidak hanya harus dimiliki pendidik saja, namun sikap sabar juga harus ada dalam diri peserta didik. Mencari ilmu bukanlah hal yang sifatnya instan, butuh proses yang begitu panjang. Mencari ilmu diibaratkan dengan menuangkan air ke dalam kendi, harus sabar dan tidak tergesa-gesa. Jika kita memasukkan air kedalam kendi secara tergesa-gesa, maka air yang masukpun tidak akan banyak. Sabar sendiri merupakan sikap yang utama dari perangai kejiwaan yang dapat menahan perilaku tidak baik dan tidak simpati. Pendapat lain mengatakan bahwa sabar adalah menjauhi larangan, bersikap tenag saat mendapat cobaan, dan menampakkan sikap tidak membutuhkan walaupun kemelaratan menimpa kehidupannya.8 Abdul Wahhab Sya’rani membagi sabar ke dalam tiga alamat, yaitu sabar untuk taat pada Allah SWT, sabar menghadapi musibah, dan sabar atas segala ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT9. Sabar dalam taat kepada Allah SWT maksudnya adalah kita tidak hanya menjalankan perintah Allah SWT saja, namun kita juga harus menjauhi segala yang menjadi larangannya. Terkadang sebagian dari kita ada yang sudah menjalankan perintah Allah SWT, seperti shalat, zakat, puasa, dll., namun terkadang mereka belum mampu untuk meninggalkan larangan Allah SWT. Atau sebaliknya, ada orang yang tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT, seperti tidak mencuri, tidak meminum minuman keras, tidak berzina, namun disisi lain ia juga enggan untuk menjalankan sesuatu hal ynag menjadi perintah Allah SWT. Musibah adalah bentuk rasa sayang Allah SWT kepada hambanya. Dengan adanya musibah, berarti Allah SWT tengah mengukur seberapa dalam iman dan taqwa dalam diri kita. Untuk itu Allah SWT meminta kita 8
Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah, Sabar Dan Syukur, (Semarang : Pustaka Nun, 2010), hlm. 15 Abdul Wahhab Sya’roni, Al Minah Al Saniyah, (Indonesia :Dar Al Hya’ Al Kutun Al Arabiyyah, t.th.), hlm. 16 9
70
agar kita bersabar dalam menghadapi segala ujian. Kita sebagai orang Islam harus yakin jika Allah SWT tidak akan menguji kita melebihi batas kemampuan kita. Allah SWT berfirman :
Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya(QS. Al Baqarah : 286)10 Ayat diatas haruslah menjadikan motivasi kepada kita jika Allah SWT tidak akan menguji kita melebihi batas kemampuan kita. Begitu besar rasa sayang Allah SWT kepada semua hamba-hambanya, maka untuk itu, bersabar atas ujian yang diberikan oleh Allah SWT adalah merupakan sebuah keharusan bagi kita. Jangan sampai kita berputus asa dari segala ujian yang diberikan Allah SWT kepada kita.
D. Kejujuran Pendidik Dasar dari pengambilan nilai kejujuran pendidik adalah kejujuran Nabi Musa dalam menyampaikan wahyu yang ia dapat dari Allah SWT kepada orang-orang Bani Israil. Ketika Nabi Musa didatangi orang-orang Bani Israil untuk menyelesaikan masalah pembunuhan yang terjadi, Nabi Musa berdoa kepada Allah SWT untuk diberi petunjuk. Ketika petunjuk telah diberikan, Nabi Musa menyampaikan petunjuk dari Allah kepada Bani Israil dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran. Tak ada wahyu yang dikurangi ataupun ditambahi. Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan 10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah, 2004), hlm. 61
71
benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah SWT menyanjung orangorang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah kejujuran seorang pendidik dalam menyampaikan ilmu yang ia miliki kepada peserta didiknya. Sebagai pendidik, guru dituntut untuk menyampaikan pelajaran kepada peserta didiknya dengan penuh kejujuran. Apalagi kaitannya dengan pelajaran tentang Islam, tanggung jawab yang dipikul sangantlah besar. Hal tersebut dikarenakan terdapat hubungannya dengan keimanan kepada Allah SWT. Pelajaran Agama Islam harus disajikan dengan pas, tidak boleh menambah materi ataupun mengurangi yang ada. Menambah sesuatu yang tidak ada pada pelajaran Agama Islam, akan berpotensi menimbulkan bid’ah. Begitupun sebaliknya, mengurangi sesuatu yang telah ada pada Islam akan membuat peserta didik menerima Islam tidak secara kaffah (menyeluruh). Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 42 :
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak sedangkan kamu Mengetahui. ( QS. Al Baqarah : 42) Ayat di atas sebenarnya mengandung arti bahwa maksud dari sesuatu yang disembunyikan adalah adanya Nabi akhir zaman. Namun, Al Qur’an adalah wahyu yang sangat kompleks, sehingga ayat tersebut penulis jadikan dasar larangan seseorang terlebih lagi guru untuk menyembunyikan ilmu yang ia miliki.
72
E. Ketaatan Peserta Didik Dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73, terdapat cerita yang menerangkan sifat ngeyel yang dimiliki oleh orang Bani Israil. Ketika mereka meminta petunjuk kepada Nabi Musa tentang sebuah masalah, mereka malah membangkang dan tidak mau mentaati apa yang diperintahkan oleh Nabi Musa. Sehingga pada akhirnya mereka malah terjebak kedalam permasalahan yang lebih besar. Cerita di atas seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu mentaati apa yang diperintahkan oleh guru. Dalam kitab ta’limul muta’alim diterangkan ada dua orang yang jika memberi nasehat kita tidak mentaatinya, maka hidup kita akan hancur. Dua orang tersebut adalah guru dan dokter. Sebagai seorang murid sudah seharusnya kita mentaati apa yang diperintahkan oleh guru kita. Seorang guru selalu mengarahkan peserta didiknya ke arah yang lurus, tidak mungkin guru menyesatkan muridnya. Dalam kitab ta’limul muta’alim sahabat Ali berkata : “aku adalah budak dari seseorang yang telah mengajariku sebuah ilmu walaupun hanya sekedar satu huruf”. Perkataan sahabat Ali tersebut merupakan sebuah pelajaran bahwa guru merupakan seseorang yang harus kita taati. Dalam pesantren, seorang santri tidak hanya dituntut untuk mentaati gurunya, namun juga dituntut untuk menanamkan rasa ta’dzim di hatinya kepada seorang guru. Ta’dzim disini berarti bahwa murid itu harus selalu taat pada gurunya kapan saja dan di mana saja. Ada banyak cara yang harus dilakukan peserta didik untuk menghormati gurunya. Yang pada intinya seorang peserta didik harus mendapat ridha seorang guru dan jangan sampai membuat guru marah dan sakit hati. Menurut Al Zanurji ada beberapa cara yang dapat dilakukan peserta didik untuk menghormati seorang guru, diantaranya yaitu : tidak
73
berjalan di depan guru, tidak duduk ditempat duduk guru, tidak memperbanyak omongan ketika bersama guru, tidak mengetuk pintu rumah atau kamar seorang guru, menghormati pula anak beserta keluarga guru11. Belajar dari kejadian yang dialami oleh orang Bani Israil, tentunya kita jangan sampai melanggar apa yang guru perintahkan kepada kita. Dengan harapan, kita mendapat ridha dari Allah SWT karena kita telah mendapat ridha dari guru. Bagaimanapun juga guru adalah orang tua yang member kehidupan untuk hati kita. Ingatlah kata-kata yang disampaikan oleh nenek moyang kita, guru itu berarti digugu lan ditiru. Digugu lan ditiru adalah berasal dari bahasa jawa, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah dipatuhi dan dijadikan sebagai panutan. Jadi sebagai murid, kita harus selalu taat pada guru kita. Jangan sampai kita melukai hati dan perasaan guru, karena hal tersebut dapat menjadikan ilmu kita tidak barakah dan manfaat. Ditiru bermakna bahwasanya guru haruslah menjadi teladan yang baik bagi peserta didiknya.
11
Syekh Al Zanurji, Ta’limul Muta’alim Terjemah Ma’ruf Asrori, (Surabaya : Pelita Dunia, 1996), hlm. 35
74
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari kajian yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73 adalah sebagai berikut : 1. Akhlak dalam bertanya Sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk mengajukan pertanyaan yang penting saja. Selain itu kita juga dilarang bertanya tentang hal yang menyebabkan kita berada permasalahan yang lebih rumit. 2. Akhlak kepada orang tua Menghormati dan berbuat baik kepada orang tua adalah sebuah kewajiban. Karena ridha Allah SWT itu tergantung pada ridha orang tua. Dan sebaliknya, murka Allah SWT juga tergantung pada murka orang tua. 3. Nilai kesabaran seorang pendidik Seorang pendidik harus memiliki kesabaran dalam mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Lihatlah bagaimana Nabi Musa tetap bersabar dan tenang ketika mendapat berbagai macam pertanyaan dari orang Bani Israil, padahal sebelumnya Nabi Musa sudah memberikan keterangan kepada mereka mengenai permasalahan yang mereka hadapi. 4. Nilai kejujuran seorang pendidik Dalam menyampaikan sebuah ilmu, seorang pendidik harus memiliki kejujuran atas ilmu yang ia sampaikan kepada peserta didiknya. Berkaca pada apa yang ada dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73, kejujuran Nabi Musa dalam menyampaikan berita ataupun
75
informasi dari Allah SWT kepada Bani Israil, haruslah menjadi pelajaran bagi kita. 5. Nilai ketaatan seorang peserta didik Kaitannya dengan apa yang ada dalam QS. Al Baqarah ayat 6773, peserta didik harus mau dan patuh terhadap apa saja yang disampaikan guru mereka. Bagaimanapun juga, apa yang disampaikan guru kepada peserta didiknya adalah untuk kebaikan peserta didiknya sendiri. Akibat dari ketidak mauan untuk mendengarkan perkataan seorang guru dapat kita lihat pada apa yang dialami oleh orang Bani Israil yang terjebak ke dalam permasalahan yang lebih rumit karena tidak langsung mematuhi apa yang diperintahkan oleh Nabi Musa.
B. SARAN-SARAN 1. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk pribadi yang cerdas, ulet, kreatif, mandiri dan bertanggung jawab, namun hal yang lebih penting saat ini adalah pendidikan budi pekerti. Pendidikan akhlak/budi pekerti hendaknya juga ditekankan dalam proses belajar mengajar, bagaimanapun pintarnya seseorang, cerdas dan cerdiknya seseorang tapi tanpa dilandasi akhlak yang baik, maka akan sia-sialah ilmu yang didapat. Justru ilmu yang didapat akan dimanfaatkan untuk kepentingan terhadap hal-hal negatif. Tanpa budi pekerti yang baik, niscaya dunia ini akan rusak. 2. Untuk memajukan dunia pendidikan Islam, penggalian terhadap nilai-nilai dalam Al-Qur'an harus terus dilakukan. Karena pada dasarnya semua ilmu itu bersumber dari Al-Qur'an, selain itu hal ini juga bertujuan untuk memberi keseimbangan (balance) terhadap kemajuan IPTEK di dunia barat yang telah berkembang pesat dengan berbagai dampak positif dan negatif di dalamnya. 3. Penanaman nilai yang ada QS. Al Baqarah ayat 67-73 dalam pendidikan Islam adalah hal yang sangat penting, hal ini dikarenakan banyak generasi muda yang sudah tidak lagi memiliki adab sopan santun terhadap orang tuanya sendiri. Selain itu juga banyak di antara mereka yang tidak memiliki
76
kesopanan dalam bertutur kata dan bertanya, seperti orang Bani Israil saja. Penanaman QS. Al Baqarah pada ayat 67-73 juga perlu ditekankan untuk mendongkrak dan meningkatkan iman kita kepada Allah SWT. 4. Penanaman nilai-nilai akhlak dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73 haruslah dilakukan sedini mungkin, karena kerusakan aqidah dan moral bangsa sudah sedemikian parah, diharapkan dengan dilakukannya hal tersebut, moral bangsa khususnya generasi muda dapat semakin baik. Karena generasi muda merupakan kunci bagi kehidupan bangsa. Baiknya moral generasi muda suatu bangsa maka selamatlah bangsa itu dan hancurnya moral generasi muda suatu bangsa maka hancurlah bangsa itu.
C. PENUTUP Demikianlah serangkaian uraian singkat dalam penjabaran tulisan ini.Dengan penuh semangat akhirnya skripsi ini telah selesai ditulis. Semua kata yang tertuang dan ditulis dalam skripsi ini dikerjakan secara serius dan bertanggung jawab, namun harus diakui semua yang di dunia ini tidak ada yang sempurna termasuk dalam hal ini tulisan ini. Sudah semestinya tulisan ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan yang melekat dari awal sampai akhir penulisan. Untuk itu tidak ada usaha yang lebih berharga kecuali melakukan kritik terhadap apa yang ada dalam tulisan ini, baik dari segi isi maupun pemilihan kosakata. Kritik konstruktif sangat diharapkan untuk memperbaiki skripsi ini. Namun penulis berharap, walaupun masih terdapat kekurangan dan kesalahan, skripsi ini dapat memberikan manfaat (walaupun sedikit) pengetahuan yang telah dikaji di dalamnya dan memberikan sumbangsih dalam pendidikan Islam, serta pengayaan khasanah Islam pada umumnya, atau paling tidak dapat memenuhi standar minimal dari criteria kegunaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Amin.
77
DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Abi Muhammad, Shahih Bukhari Juz 1, Beirut : Darul Kitab Al Alamiyyah, 1992 Abdillah, Abi Muhammad, Shahih Bukhari Juz 5, Beirut : Darul Kitab Al Alamiyyah, 1992 Abidin, Munirul, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, Jakarta : Darul Falah, 2005 Ahmad, Al Sayh ben Muhammad Al Sawi, Hasiyat Al Sawi ‘Ala Tafsir Al Jalalayn, Beirut : Dar Al Kotob Al Ilmiyyah, 2009 Anas, Idhoh, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an, Pekalongan : Al Asri, 2008 Anjar
Nugroho
Sb,
Pengertian
munâsabah
dalam
http://pemikiranislam.wordpress.com diakses pada tanggal 12 septembar 2011 Baidan, Nashrudin, Methodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 Bahri, Syaiful Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2006 Barzanji, Al Majmu’, Semarang : Pustaka Al Alawiyah, t.th Baidowi, Ahmad, Menjadi Muslim Ideal terjemah, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta : DEPAG, 1971 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang: CV Al Waah, 2004 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, Bandung : J-ART, t.t. Departemen Agana RI, Al Aliyy, Bandung : CV Penerbit Dionegoro, 2008 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka 2003 Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islami, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996
Hasan, Iqbal, pokok-pokok materi methodology penelitian & aplikasinya, Jakarta : Graha Indonesia, 2002 Ichwan, Nor Mohammad, Studi Ilmu-Ilmu l-Qur’an, Semarang: Rasail Media Group, 2008 Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2008 Islam wikipedia, asbabun nuzul, dalam http://islamwiki.blogspot.com. diakses pada tanggal 12 septembar 2011 Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Ar Ruzz, 2009 Khalil, Manna Al Qattan, Mahabis fi ulumil Qur’an, terjemah Mudzakir, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2001 Mahsun, Taha, Qishah Al Anbiya’, Surayabaya : Maktabah ahmad Nabahan, t.th. Marzuqi, Ahmad, Aqidatul Awam, Kudus : Menara Kudus, t.th. Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993 Muhammad, Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000 Musthafa, Ahmad Al Maraghi,Tafsir Almaragh TerjemahAnshari dkk, Semarang : Karya Toha Putra, 1992 Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, Semarang : Rasail, 2010 Nata, Abuddin, Ahlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo, 1997 Pidarta, Made, landasan kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2007 Press, Qisthi, ‘Aidh Al Qarni, Jawa Timur : Qisthi Press, 2008 Quttub, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’anAs’ad yasin dkk, Depok : Gema Insani, 2008 Quraish, M. Shihab, Tafsir Al Mishbah, Jakarta : Lentera Hati, 2010 Setyosari, Punaji, Metode penelitian pendidikan, Jakarta : Kencana, 2010 Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2010 Sunarto, Ahmad, Sabar Dan Syukur, Semarang : Pustaka Nun, 2010 Syadali, Ahmad, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoove, 1993 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2010
Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 Umar, Abdullah, MushthalichulAttajwid, Semarang : Karya Toha Putra, t.th. Umar, bin Ahmad Baraja’, Akhlak Al Banin juz 2, Surabaya : Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabahan, t.th. Wahhab, Abdul Sya’roni, Al Minah Al Saniyah, Indonesia : Dar Al Hya’ Al Kutun Al Arabiyyah, t.th. Wikipedia , Surat Al Baqarah, dalam : http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_AlBaqarah. diunduh pada tanggal 12 Desember 2011 Yusuf, Kadar, Study Ak Qur’an, Jakarta : Amzah, 2009 Zainuddin, Syaih bin Abdul Azizi, Irsyadul Ibad, Indonesia : Alharamain, t.th. Zanurji, Ta’limul Muta’alim Terjemah Ma’ruf Asrori, Surabaya : Pelita Dunia, 1996 Zar, Sirajuddin, Filsfat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta Rja Grafindo Persada, 2004 Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, Damasyik : Darul Fikri, 2003
RIWAYAT HIDUP
A.
Identitas Diri 1. Nama lengkap
: Setyo Utomo
2. Tempat & Tgl. Lahir
: Wonogiri, 21 Februari 1989
3. NIM
: 073111033
4. Alamat Rumah
: Desa Singorojo, RT.07 RW.01, Kecamatan
Singorojo, Kabupaten Kendal
B.
5. HP
: 081 90 18 17 17 5
6. E-mail
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. SDN 01 SINGOROJO, Lulus Tahun 2001 b. SMPN 02 SINGOROJO , Lulus Tahun 2004 c. MA NU 04 AL MA’ARIF BOJA, Lulus Tahun 2007 d. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Lulus Tahun 2012 2. Pendidikan Non-Formal a. MDA 01Tarbiyatul Athfal Singorojo b. Pondok Pesantren Al Islah Al Mardhiyah, Singorojo c. Pondok Pesantren Al-Mabrur, Jl. Seroja No. 39, Sapen, Boja, Kendal
Semarang, 21 Februari 2012
Setyo Utomo NIM: 073111033