i
NILAI EKONOMI TOTAL DAN ANALISIS MULTISTAKEHOLDER HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN GIRIWOYO, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH
HILMAN FIRDAUS
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Ekonomi Total dan Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013
Hilman Firdaus NIM H44090076
iv
ABSTRAK HILMAN FIRDAUS. Nilai Ekonomi Total dan Analisis Multistakeholder Hutar Rakyat di Kabupaten Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI Hutan Rakyat memiliki fungsi ekonomi dan fungsi ekologi. Fungsi ekonomi dari hutan rakyat seperti kayu log dan kayu bakar dapat dikatakan sebagai fungsi tangible, sedangkan fungsi ekologi hutan rakyat seperti penyerap karbon dan penghasil mata air dapat disebut juga fungsi intangible. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kondisi aktual dari hutan rakyat, mengestimasi nilai ekonominya, menganalisis kelembagaan pengelolaan dan merumuskan rekomendasi pengelolaan yang lebih baik. Kondisi aktual dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Manfaat dari hutan rakyat Giriwoyo diestimasi dengan menggunakan metode Nilai Ekonomi Total (NET). Analisis kelembagaan dengan menggunakan metode Importance Performance Analysis (IPA). Hutan rakyat Giriwoyo memiliki NET sebesar Rp. 17.622.296.440/tahun. Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat dilihat dari struktur dan infrastruktur internal terlihat cukup baik. Berdasarkan hasil analisis IPA, fungsi petani dalam melakukan pemupukan dan peran pemerintah dalam melakukan koordinasi adalah yang harus diprioritaskan. Kata kunci: Giriwoyo, hutan rakyat, IPA, NET
ABSTRACT HILMAN FIRDAUS. Total Economics Value and Multistakeholders Analysis of Smallholder Forest at Giriwoyo District, Wonogiri, East Java. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI Smallholder Forest have economic and ecological functions. The economic function of smallholder forest, such as timber and firewood can be called as tangible values. The ecological functions which are called intangible values are absorbing carbons and retaining waters. The objectives of this research are to identify the actual condition of Giriwoyo smallholder forest, to estimate its economic value, to analyze its institutional management and to formulate recommendations for better management. The method used to identify the actual condition of Giriwoyo smallholder forest is descriptive analysis. The benefits of Giriwoyo smallholder forest are calculated using Total Economic Value (TEV) approach. Institutional management are analyzed using Importance Performance Analysis (IPA). The result of this research shows that Total economic value of Giriwoyo smallholder forest is about IDR 17.622.296.440 per annum. Its management institution seemed quite good because there was clear division of labour. Based on analysis of IPA, the function of farmers in doing a fertilization and the role of government in coordination must be prioritized. Keywords: Giriwoyo, IPA, Smallholder Forest, TEV
v
NILAI EKONOMI TOTAL DAN ANALISIS MULTISTAKEHOLDER Keywords: Giriwoyo, IPA, private forest, TEV. HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN GIRIWOYO, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH
HILMAN FIRDAUS
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
vii
Judul Skripsi
Nama NIM
: Nilai Ekonomi Total dan Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah : Hilman Firdaus : H44090076
Disetujui oleh
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
viii
ix
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah “Nilai Ekonomi Total dan Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.” Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Kedua orang tua yaitu Iwan Kuswandi (Alm) dan Siti Hanifah, serta Johan Apriandi, Anthi Dwi Putriani Anugrah, Tari Aprilia, dan Anindya Putriani Anugrah yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan perhatiannya. 2. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku penguji utama dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc selaku penguji wakil departemen yang telah memberikan berbagai masukan dan saran yang berguna bagi penulis. 4. Novindra, SP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik selama penulis menjalani masa perkuliahan. 5. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri, Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal, Kantor Kecamatan Giriwoyo, serta Badan Pusat Statistik Pusat yang telah membantu selama pengumpulan data. 6. Bapak Rujimin, Masyarakat Giriwoyo, Ibu Wahyu Ida Riyani, S.Hut, dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc, yang telah bersedia menjadi narasumber untuk penelitian ini. 7. Bapak Rujimin beserta keluarga yang telah memberikan tempat tinggal selama penulis melakukan survei lapang. 8. Teman terdekat penulis, Adila Ahmad, Fajar Cahya Nugraha, Galuh Mutdaman, Yulis Diana, Siti Annisa Putri, Sri Kuncoro, Irfan Nugraha atas bantuan semangat yang luar biasa. 9. Abida Hadi, Adinna Astrianti, Aulia Isnaini, Annisia Nifkiayu, Adinda Virantika, Lusi Dara Mega, Akmi Retno, Bahroin Idris, Dear Rahmatullah dan Petrus Romil sebagai teman berdiskusi selama penulis menyusun skripsi ini. 10. Keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) FEM IPB khususnya dosen, staff dan seluruh rekan-rekan ESL terutama angkatan 46 atas semua arahan, masukan, dan bantuannya. 11. Teman-teman sebimbingan, Ario Bismoko Sandjoyo, Agustina Rahayu, Rahayu Eka Putri, Lailatussayidah, Nurul Silmi, Akmal Hartanto, Aisya Nadhira, serta Febriana Adiya Rangkuti yang selalu memberikan bantuan dan semangat. 12. Rekan-rekan dari Go~Sei, Achfan Awaludin, Ayu Novianthi, Dwi Cahyaningtyas dan Yoga Try Utomo yang selalu memberikan semangat
x
13. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak.
Bogor, November 2013
Hilman Firdaus NIM H44090076
xi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
I.
II.
PENDAHULUAN
1
1.1 1.2 1.3 1.4
1 3 5 6
Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1 2.2 2.3 2.4
7 7 8
2.5 2.6 2.7 2.8 2.9
Hutan Rakyat Pengertian Nilai Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Konsep Nilai Sumberdaya dan WTP Terhadap Jasa Lingkungan Nilai Ekonomi Total Metode Kontingensi Teori Kelembagaan Analisis Multistakeholder Tinjauan Studi Terdahulu
9 10 13 13 14 15
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
18
IV.
METODE PENELITIAN
21
4.1 4.2 4.3 4.4
21 21 21 22 23 23 28
V.
VI.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan Responden Pengambilan Data Metode Analisis Data 4.4.1 Analisis Tata Kelola Kelembagaan 4.4.2 Nilai Ekonomi Total Kawasan Hutan 4.4.3 Importance Performance Analysis
GAMBARAN UMUM
31
5.1 5.1 5.2 5.3
31 32 34 35 35 36 37 37 37
Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat Giriwoyo Keadaan Umum Kecamatan Giriwoyo Keadaan Sosial Ekonomi Kecamatan Giriwoyo Karakteristik Responden WTP Nilai Warisan 5.3.1 Usia 5.3.2 Jenis Kelamin 5.3.3 Pendidikan Formal 5.3.4 Jenis Pekerjaan 5.3.5 Tingkat Pendapatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
38
xii
6.1 Kondisi Aktual Hutan Rakyat Giriwoyo 6.1.1 Kepemilikan, Penebangan dan Prasarana Hutan 6.1.2 Kualitas SDM 6.1.3 Tata Kelola dan Manfaat Hutan 6.2 Manfaat Ekonomi Kawasan Hutan Rakyat 6.2.1 Manfaat Langsung Hutan Rakyat 6.2.2 Manfaat Guna Tidak Langsung Hutan Rakyat 6.2.3 Nilai Pilihan Hutan Rakyat 6.2.4 Nilai Warisan Hutan Rakyat 6.2.5 Nilai Ekonomi Total Hutan Rakyat Giriwoyo
38 40 41 42 44 44 48 50 50 54
VII. KELEMBAGAAN PPHR DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT GIRIWOYO
56
7.1 Struktur dan Infrastruktur Kelembagaan 7.1.1 Aturan Informal 7.1.2 Boundary Rule 7.1.3 Monitoring dan Sanksi 7.1.4 Penyelesaian Konflik 7.2 Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan HR Giriwoyo 7.2.1 Peran PPHR Catur Giri Manunggal 7.2.2 Peran DISHUTBUN 7.2.3 Peran Akademisi 7.2.4 Peran Masyarakat 7.2.5 Rekomendasi Pengelolaan HR Giriwoyo 7.2.6 Kebijakan Tingkat Makro VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan 8.1 Saran DAFTAR PUSTAKA
56 58 61 61 62 62 66 67 68 69 69 71 73 73 74 76
xiii
DAFTAR TABEL 1
Matriks Penelitian Terdahulu.
16
2
Matriks Analisis Data
22
3
Ukuran Kuantitatif Nilai Kinerja
29
4
Ukuran Kuantitatif Nilai Kepentingan
29
5
Penggunaan Lahan Kabupaten Wonogiri Tahun 2011
33
6
Penggunaan Lahan Kecamatan Giriwoyo Tahun 2010
33
7
Populasi Giriwoyo Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2011
34
8
Populasi Giriwoyo Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2011
34
9
Data Inventarisasi Jumlah Volume Tegakan Tahun 2007
44
10 Data Potensi Kayu Berdasarkan Kelas Umur Tahun 2007
44
11 Data Pengguna Mata Air Tahun 2007
49
12 Sebaran Nilai WTP Warisan HR Giriwoyo
52
13 Hasil Regresi Nilai WTP Warisan HR Giriwoyo
53
14 Nilai Ekonomi Total HR Giriwoyo
54
15 Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR Desa Sejati
58
16 Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR Desa Guwotirto
59
17 Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR Kelurahan Girikikis
60
18 Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR Desa Tirtosuworo
60
xiv
DAFTAR GAMBAR 1
NET dari sumberdaya hutan
11
2
Diagram alur penelitian
20
3
Diagram kartesius tingkat kepentingan dan kinerja
29
4
Presentase responden berdasarkan usia
35
5
Presentase responden berdasarkan jenis kelamin
36
6
Presentase responden berdasarkan pendidikan formal
36
7
Presentase responden berdasarkan pekerjaan
37
8
Presentase responden berdasarkan tingkat pendapatan
37
9
Tingkatan organisasi pengelola hutan rakyat
39
10 Struktur organisasi PPHR Catur Giri Manunggal
56
11 Diagram garis hasil analisis IPA
64
12 Diagram kartesius hasil analisis IPA
65
xv
DAFTAR LAMPIRAN 1
Peta Kecamatan Giriwoyo
83
2
Uji Statistik WTP Nilai Warisan
83
3
Kuisioner analisis WTP
86
4
Kuisioner analisis IPA
89
5
Riwayat Hidup Penulis
91
xvi
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km, memiliki lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2. Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar ke-2 di dunia, yang ditandai dengan luasan hutan Indonesia lebih dari 130 juta hektar pada tahun 20111. Kekayaan yang berasal dari sumberdaya hutan menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Produksi HHK (Hasil Hutan Kayu) dan HHBK (Hasil Hutan Non Kayu) menjadi komoditi yang memiliki nilai jual tinggi merupakan sumber devisa yang tidak kecil bagi negara. Hutan secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan, berisi sumberdaya alam hayati dan didominasi oleh pepohonan yang lebat. Secara ekonomi, sumberdaya hutan di Indonesia memiliki manfaat yang sangat besar yang dapat dibedakan atas manfaat tangible dan manfaat intangible. Manfaat tangible merupakan manfaat yang dirasakan dalam bentuk fisik, seperti kayu, rotan, buah-buahan, madu, tanaman obat,dan lain-lain yang dapat bersifat ekonomis, sedangkan manfaat intangible merupakan manfaat yang berbentuk immaterial atau dapat dirasakan namun tidak nampak secara fisik, seperti fungsi hidrologi, rekreasi, penghasil oksigen, penyerap carbon, penyedia sumber air, habitat bagi berjuta flora dan fauna, sebagai penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem dari hutan perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat tanpa melupakan upaya konservasi sehingga tercapai keseimbangan antara perlindungan dan pemanfaatan yang lestari. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya hayati serta keseimbangan ekosistem
1
Luas Kawasan Hutan Dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan Sk Menteri Kehutanan. (http://www.dephut.go.id/files/Luas%20Kawasan%20Hutan%20Indonesia_update_Juli_2011.pdf) diakses tanggal 7 Oktober 2012.
2
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hutan Rakyat (HR) merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam membantu mengembangkan potensi hutan yang ada di Indonesia. Hutan Rakyat dapat memberikan manfaat secara luas, tidak hanya bagi pemiliknya, namun juga masyarakat dan lingkungan sekitar. Manfaat HR secara langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa2. Hutan rakyat, menurut UUD No 41 Tahun 1999 merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Ini berarti bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang telah dibebani hak milik, yang konsekuensi logisnya adalah bahwa hutan rakyat diusahakan tidak pada lahan negara. Potensi hutan rakyat di Indonesia diperkirakan sebanyak 262.929.193 batang atau setara 65.732.298 m2 (rata-rata per batang/pohon mempunyai volume 0,25 m3), yang terdiri dari jenis pohon jati, sengon, mahoni, bambu, akasia, pinus, dan sonokeling (BPS 2003) Hampir 50% dari total luas HR di Indonesia berada di Jawa-Madura. Potensi sebaran HR di Pulau Jawa–Madura diperkirakan seluas 2.585.014,06 ha, dengan taksiran volume kayu HR di Pulau Jawa-Madura sebesar kurang lebih 74.763.601,06 m3 atau 28,92 m3/ha (Mugiono 2009). Hutan rakyat di Jawa sudah dikenal sejak dahulu dan dipraktekan secara turun temurun, serta mempunyai karakteristik yang berbeda dari segi budidaya maupun status kepemilikannya dibanding dengan HR di luar Jawa. Budidaya dan manajemen pengelolaan HR di Jawa relatif lebih intensif dan lebih baik dibanding dengan di luar Jawa, hal ini disebabkan karena opportunity cost pengembangan HR diluar jawa lebih besar dibanding dengan tanaman perkebunan. Masyarakat luar jawa cenderung menanam tanaman perkebunan seperti karet dan sawit. Hutan Rakyat yang cukup berkembang di Pulau Jawa adalah HR yang berada di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Perkembangan HR Giriwoyo dapat dikatakan cukup baik, pada tahun 2007 HR Giriwoyo mendapatkan sertifikasi dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) atas
2
Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. (http://www.dephut.go.id/files/Ekonomi_HR.pdf) di akses tanggal 7 Oktober 2012
3
sistem pengelolaannya yang berkelanjutan. Masyarakat yang tinggal di sekitar HR Giriwoyo merasakan betul manfaat dari keberadaan HR ini, baik berupa manfaat tangible maupun intangible, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait perhitungan nilai ekonomi sumberdaya hutan rakyat agar dapat memberikan bukti yang riil terhadap besarnya potensi yang terkandung dalam HR Giriwoyo saat ini. Perhitungan nilai ekonomi (valuasi ekonomi) merupakan suatu upaya untuk mengkuantifikasikan manfaat barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu sumberdaya, dalam hal ini adalah sumberdaya hutan. Perhitungan Nilai Ekonomi Total atau Total Economics Value merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk valuasi ekonomi. Nilai ekonomi total sumberdaya hutan dapat dikelompokkan ke dalam nilai guna dan nilai non-guna. Pengelolaan dan pemanfaatan HR yang optimal dapat tercapai apabila kebijakan yang dihasilkan mengarah kepada keberlanjutan. Perlu adanya kerjasama dan pemahaman yang baik dari seluruh stakeholder mengenai pentingnya melestarikan HR, bukan hanya untuk menjaga nilai ekologinya saja, tetapi menjaga nilai ekonominya juga, sehingga pengelolaan dan pemanfataan yang berkelanjutan dapat tercipta. Hal itulah yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian mengenai valuasi ekonomi pada hutan rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
1.2 Perumusan Masalah Hingga saat ini, tidak diketahui pasti jumlah potensi keragaman hayati hutan yang dimiliki oleh Indonesia dan berapa besar manfaat yang bisa digali. Bahkan, sebelum keragaman hayati di Indonesia teridentifikasi, telah terjadi pemusnahan yang tak terhingga. Oleh karena itu, upaya konservasi sumberdaya alam di Indonesia dan pemanfaatannya secara lestari harus segera ditingkatkan. Adanya kerusakan sumberdaya hayati dapat menyebabkan dampak yang buruk seperti menurunnya nilai ekonomi hutan dan fungsi ekosistem hutan. Untuk menanggulangi hal tersebut, telah dilakukan upaya pemulihan dan peningkatan kemampuan fungsi dan produktivitas hutan dan lahan. Departemen Kehutanan telah menfasilitasi penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN) melalui berbagai kegiatan penanaman
4
tanaman penghijauan, pembuatan bangunan konservasi tanah dan air serta kegiatan RHL lainnya yang bersifat spesifik sesuai kebutuhan dan karakteristik lokasi. Kegiatan GERHAN dilaksanakan di dalam kawasan hutan seperti reboisasi, mangrove, dan lain-lain dan di luar kawasan hutan seperti penghijauan, hutan rakyat, hutan pantai/mangrove dan lain-lain. Hutan rakyat Giriwoyo di Kabupaten Wonogiri merupakan sumberdaya alam yang memiliki manfaat tinggi bagi masyarakat. Hutan rakyat yang ada saat ini di Kab. Wonogiri mayoritas merupakan dampak dari GERHAN pada tahun 2003, disamping adanya kegiatan-kegiatan dari Dishutbun Kab. Wonogiri yang mendukung pengembangan hutan rakyat, diantaranya terassering, penghijauan, dan lainnya. Masyarakat Giriwoyo sudah merasakan manfaat yang dihasilkan dari kayu rakyat, yang umumnya dijadikan sebagai investasi jangka panjang, digunakan untuk membiayai pendidikan anak, membiayai pernikahan dan hajatan-hajatan lainnya yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Berbagai kayu yang ditanam oleh masyarakat di Giriwoyo, antara lain Jati, Mahoni, Akasia, dan Sonokeling. Wonogiri merupakan salah satu kabupaten penghasil kayu rakyat yang cukup besar, dengan produksi kayu 12.000 m3/bulan atau 150.000 m3/tahun melalui SKSHH (catatan dari Dishutbun Kab. Wonogiri 2012). Selama ini yang sudah diperhitungkan oleh masyarakat masih terbatas pada tangible benefit. Sedangkan HR memiliki manfaat intangible, yaitu manfaat ekonomi yang tidak dapat dikuantifikasikan secara langsung karena tidak adanya nilai pasar untuk barang tersebut. Manfaat intangible bersumber
dari fungsi ekologi seperti pengendali
banjir, penyerapan karbondioksida, dan penghasil oksigen. Apabila fungsi ekologi terganggu dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Dengan demikian, kawasan HR Giriwoyo butuh pengelolaan agar fungsi ekologi dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan HR Giriwoyo belum dilakukan dengan baik karena dalam pengelolaannya hanya melibatkan petanit itu sendiri, hal ini terjadi karena belum ada bentuk hubungan antar kelembagaan yang baik. Kelembagaan yang baik berarti semua stakeholder yang berhubungan dengan HR harus dilibatkan dalam
5
pengelolaannya. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap para stakeholder agar kelembagaan dapat berjalan dengan baik dan pengelolaan HR pun dapat lestari. Jika hal ini tidak diatasi secara konsisten maka dapat menurunkan kualitas lingkungan hutan. Di sisi lain, valuasi ekonomi terhadap ekosistem HR diperlukan untuk menghitung besarnya nilai ekonomi total atas manfaat barang dan jasa ekosistem HR dan untuk mengetahui nilai dan pandangan masyarakat mengenai keberadaan HR Giriwoyo, melalui manfaat tangible dan intangible. Nilai ekonomi total dari ekosistem HR merupakan nilai moneter sumberdaya alam dan lingkungan yang mencerminkan nilai fungsi yang dimiliki sumberdaya alam dan lingkungan dari ekosistem hutan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah kondisi aktual HR Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri? 2. Berapakah nilai ekonomi total yang terkandung di dalam HR Giriwoyo? 3. Bagaimana bentuk kelembagaan dalam pengelolaan HR Giriwoyo? 4. Bagaimana rekomendasi pengelolaan HR agar tercipta pengelolaan yang lebih baik?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari potensi atau nilai apa saja yang dimiliki oleh HRGiriwoyo. Nilai tersebut dicari dan diklasifikasi mana yang termasuk pada use value, yang terdiri dari direct, indirect, dan optional value, serta mana yang termasuk pada non-use value yang terdiri dari bequest value, existence value, dan other non-use value. Nilai yang didapat kemudian digunakan untuk mengestimasi Nilai Ekonomi Total (NET) dari keseluruhan HR Giriwoyo. Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi kondisi aktual HR Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri.
6
2. Menghitung Nilai Ekonomi Total yang terkandung pada HR Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri. 3. Menganalisis struktur dan infrastruktur kelembagaan dalam pengelolaan HR Giriwoyo. 4. Merekomendasikan pengelolaan HR Giriwoyo yang lebih baik. Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, sebagai pengaplikasian ilmu yang sudah diperoleh pada kehidupan nyata. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang fungsi hutan rakyat, sehingga nanti masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemeliharaannya. 3. Penilaian yang bersifat ekonomis dan kuantitatif dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan mengenai alokasi sumberdaya. 4. Bagi peneliti lainnya, sebagai bahan rujukan terhadap aplikasi dan metodemetode kuantitatif dalam menilai manfaat suatu kawasan yang bersifat tangible maupun intangible.
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini mempunyai beberapa ruang lingkup dan batasan penelitian sebagai berikut: 1. Dalam menduga nilai total ekonomi, use value didapat dari hasil hutan kayu dan non kayu yang memiliki nilai pasar 2. Nilai guna langsung dari HR Giriwoyo yang diestimasi adalah potensi kayu log, kayu bakar dan empon-empon (kunyit). 3. Nilai guna tidak langsung yang diestimasi dari HR Giriwoyo adalah nilai penyerap karbon dan nilai mata air 4. Nilai guna pilihan yang diestimasi dari HR Giriwoyo adalah nilai manfaat keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. 5. Nilai keanekaragaman hayati sumberdaya hutan sekunder yang terdapat dalam penelitian Pranoto (2009) dapat digunakan untuk mengestimasi nilai keanekaragaman hayati dari HR Giriwoyo.
7
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat Menurut Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan berdasarkan statusnya dibagi ke dalam hutan negara dan hutan milik atau hutan hak. Hutan hak berada pada tanah yang dibebani hak milik dan biasa disebut hutan rakyat. Hutan rakyat sebagaimana yang tertulis dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/kpts/II/1997 adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman. Suharjito (2000) mendefinisikan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karena itu hutan rakyat disebut juga hutan milik. Departemen Kehutanan (1993) mendefinisikan bahwa hutan rakyat adalah suatu lapangan di luar hutan negara yang didominasi oleh pohon-pohonan, sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya. Tujuan pembangunan hutan rakyat adalah: 1.
Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal tidak produktif secara optimal dan lestari.
2.
Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat.
3.
Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku industri, serta kayu bakar.
4.
Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
5.
Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada pada kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
2.2 Pengertian Nilai Menurut Davis dan Johnson (1987), nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek (pada kasus ini sumberdaya hutan) pada tempat dan waktu tertentu, sehingga terjadi keragaman nilai sumberdaya hutan berdasarkan
8
persepsi dan lokasi masyarakat yang berbeda-beda. Nilai sumberdaya hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai sumberdaya hutan, dan hal tersebut dapat ditunjukkan dengan tingginya nilai sumberdaya hutan tersebut. Hal tersebut mungkin berbeda dengan persepsi masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dan tidak menerima manfaat secara langsung. Davis dan Johnson (1987) juga mengklasifikasi nilai berdasarkan cara penilaian, yaitu : (a) nilai pasar, yaitu nilai yang ditetapkan melalui transaksi pasar, (b) nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya tersebut oleh individu tertentu, dan (c) nilai sosial, yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilan masyarakat. Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993) membuat klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh.
2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menurut Fauzi (2004), sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumberdaya itu sendiri memiliki dua aspek yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Barang dan jasa yang dihasilkan tersebut seperti ikan, kayu, air, bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung nilai ekonominya karena diasumsikan bahwa pasar itu eksis (Market Based), sehingga transaksi barang dan jasa tersebut dapat dilakukan. Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi, juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya. Manfaat tersebut sering kita sebut sebagai manfaat fungsi ekologis, yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai
9
dari sumberdaya. Nilai tersebut tidak saja nilai pasar barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut (Fauzi 2004).
2.4 Konsep Nilai Sumberdaya dan WTP Terhadap Jasa Lingkungan Fauzi (2004) mengemukakan bahwa pengertian nilai atau value, khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Dari sisi ekologi, misalnya nilai dari hutan mangrove bisa berarti pentingnya hutan mangrove sebagai tempat reproduksi spesies ikan tertentu atau fungsi ekologis lainnya. Dari sudut pandang teknis, hutan mangrove merupakan wateri bank yang dapat mencegah banjir atau kenaikan air laut. Perbedaan mengenai persepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman mengenai pentingnya suatu ekosistem, oleh sebab itu diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Umumnya metode penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui pendekatan yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung mencakup teknik memperoleh nilai secara langsung dengan menggunakan percobaan dan survei. Teknik survei menggunakan kuisioner terdiri dari dua tipe yaitu perolehan ranking dari nilai, berupa keinginan untuk membayar dan kesediaan untuk menerima kompensasi. Secara umum nilai ekonomi didefinisikan
sebagai
pengukuran
jumlah
maksimum
seseorang
ingin
mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya, Secara formal konsep ini disebut kemauan membayar seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (Pearce dan Moran 1994). Pendekatan barang dan jasa secara ekonomi biasanya melalui pendekatan nilai pasar yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Namun para pemerhati lingkungan dan juga para ahli ekonomi percaya bahwa sumberdaya alam belum dapat dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Masih banyak masalah-masalah penelitian yang terjadi atas barang dan jasa yang
10
dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, seperti manfaat terumbu karang, keindahan bawah laut dan sebagainya. Jasa lingkungan adalah produk sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa manfaat langsung (tangible) dan/atau manfaat tidak langsung (intangible) antara lain: jasa wisata alam/rekreasi, jasa perlindungan tata air/hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan, penyerapan dan penyimpanan karbon (Pearce dan Moran 1994). Disisi lain pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran willingness to accept (WTA) yaitu jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan terhadap sesuatu, tetapi dalam prakteknya pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukuran berdasarkan insentif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia. Dalam pengukuran WTP terdapat tiga kondisi yang harus dipenuhi yaitu : (1) WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif; (2) batas atas WTP boleh melebihi pendapatan; (3) adanya konsistensi antara keacakan pendugaan dan keacakan perhitungan (Fauzi 2004).
2.5 Nilai Total Ekonomi Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993) membuat klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh. Secara garis besar, NET dapat diklasifikasikan seperti pada Gambar 1.
11
Gambar 1
NET dari sumberdaya hutan (Pearce, 1992 dalam Munasinghe 1993).
Nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna. Nilai guna langsung merupakan nilai dari manfaat yang langsung dapat diambil dari SDH. Sebagai contoh manfaat penggunaan sumber daya hutan sebagai input untuk proses produksi atau sebagai barang konsumsi. Berbeda dengan nilai guna tidak langsung, yaitu nilai dari manfaat yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dan dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung, seperti berbagai manfaat yang bersifat fungsional yaitu berbagai manfaat ekologis hutan. Sedangkan nilai bukan guna yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari hasil interaksi secara fisik antara hutan dan konsumen (pengguna). Nilai pilihan, mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan di masa yang akan datang. Hal ini meliputi manfaat-manfaat sumber daya alam yang “disimpan atau dipertahankan” untuk kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan yang disisihkan untuk
12
pemanenan yang akan datang), apabila terdapat ketidakpastian akan ketersediaan SDH tersebut, untuk pemanfaatan yang akan datang. Contoh lainnya adalah sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan. Nilai bukan guna meliputi manfaat yang tidak dapat diukur yang diturunkan dari keberadaan hutan di luar nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai bukan guna terdiri atas nilai keberadaan dan nilai warisan. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu SDH berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika dan kultural. Sementara nilai warisan adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDH, agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai-nilai ini tidak terefleksi dalam harga pasar (Bishop 1999). NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan Pengukuran sumberdaya (Fauzi 2004): 1. Sumberdaya hipotetikal. Adalah konsep pengukuran deposit yang belum diketahui namun diharapkan ditemukan pada masa mendatang berdasarkan survei yang dilakukan saat ini. Pengukuran sumberdaya ini biasanya dilakukan dengan mengekstrapolasi laju pertumbuhan produksi dan cadangan terbukti (proven reserve) pada periode sebelumnya. 2. Sumberdaya spekulatif. Konsep pengukuran ini digunakan untuk mengukur deposit yang mungkin ditemukan pada daerah yang sedikit atau belum
dieksploitasi,
di
mana
kondisi
geologi
memungkinkan
ditemukannya deposit. 3. Cadangan kondisional (conditional reserves). Adalah deposit yang sudah diketahui atau ditemukan namun dengan kondisi harga outputdan teknologi yang ada saat ini belum bisa dimanfaatkan secara ekonomis 4. Cadangan terbukti (proven resource). Adalah sumberdaya alam yang sudah diketahui dan secara ekonomis dapat dimaanfaatkan dengan teknologi, harga dan permintaan yang ada saat ini.
13
2.6 Metode Kontingensi (Contingent Valuation Method) Metode kontingensi (CVM) adalah suatu cara untuk menilai suatu manfaat non-use dan mengkonversinya ke dalam nilai moneter dengan metode survei. Metode CVM digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi dan berbagai macam ekosistem dan jasa pelayanan lingkungan. CVM adalah suatu metode mengumpulkan preferensi seseorang mengekspresikan kesediaan membayar seseorang. Pada dasarnya CVM menanyakan berapa kesediaan membayar mereka untuk memperoleh suatu manfaat (Garod dan Willis 1999). Wawancara dilakukan dengan menanyakan WTP dan WTA terhadap sumberdaya alam agar tetap terpelihara. CVM hanya dapat digunakan sebagai metode untuk mengestimasi nilai bukan guna yang tidak diperdagangkan di pasar, dan menilai barang yang tidak memiliki barang subtitusi, komplemen, dan pengganti yang diperdagangkan di pasar. Untuk menghasilkan informasi yang akurat maka diperlukan beberapa hal, yaitu rancangan kuisioner yang tepat, survey yang tepat dan teliti serta perhitungan ekonometrika yang rumit untuk menganalisis data.
2.7 Teori Kelembagaan Soemardjan dan Soelaeman (1974), menuliskan bahwa lembaga mempunyai fungsi sebagai alat pengamatan kemasyarakatan (social control) artinya kelembagaan dapat bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat yang berperan besar terhadap sirkulasi kelembagaan tersebut. Komponen dari kelembagaan antara lain; aturan formal, aturan informal dan mekanisme penegakan (enforcement). Soemardjan dan Soelaiman (1974), memperinci ciri-ciri lembaga kemasyarakatan sebagai berikut: 1. Merupakan unit yang fungsional, merupakan organisasi pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasilhasilnya. 2. Mempunyai tingkat kekekalan tertentu, yaitu telah teruji dan berupa himpunan norma-norma pencapaian kebutuhan pokok yang sewajarnya harus dipertahankan. 3. Mempunyai tujuan atau beberapa tujuan tertentu.
14
4. Mempunyai perangkat peralatan untuk mencapai tujuan lembaga tersebut, misalnya: bangunan gedung, mesin-mesin, alat-alat lain. 5. Mempunyai alat pengebor semangat, misalnya: lambang-lambang, panjipanji, slogan-slogan, semboyan-semboyan dan lain sebagainya. 6. Mempunyai tradisi atau tata-tertib sendiri.
Soemardjan dan Soelaiman (1974) secara umum menyimpulkan bahwa lembaga sosial merupakan suatu tatanan sosial yang mempunyai tiga fungsi pokok dalam kehidupan masyarakat, yaitu: 1. Sebagai pedoman (patokan) bagi para anggota masyarakat tentang cara bagaimana harus bersikap dan berperilaku dalam setiap usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. 2. Sebagai pertahanan atau penangkal (kekuatan) dalam melestarikan keutuhan masyarakat. 3. Sebagai pedoman bagi masyarakat dalam rangka usaha memelihara suatu ketertiban dan sekaligus memberantas segala perilaku anggota masyarakat yang menyimpang
2.8 Analisis Multistakeholder Analisis Multistakeholder akan mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Menurut Colfer et al. (1999), untuk menentukan siapa yang perlu
dipertimbangkan
dalam
analisis
multistakeholder
yaitu
dengan
mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap HR, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu: 1. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yang berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan. 2. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui dan dihormati. 3. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan.
15
4. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan. 5. Pengetahuan lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan. 6. Integrasi hutan/budaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam
oleh
kehilangan
hutan,
sehingga
mempunyai
dampak
kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri. 7. Defisit
kekuasaan,
berhubungan
dengan
hilangnya
kemampuan
masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka daritekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktikpraktik yang merusak.
2.9 Tinjauan Studi Terdahulu Suharti (2007) menduga permintaan dan manfaat kunjungan rekreasi dengan menggunakan metode biaya perjalanan di Kebun Wisata Pasirmukti. Nilai surplus konsumen sebesar Rp. 7.478 dengan menggunakan jumlah kunjungan selama satu tahun (Juli 2006 – Juni 2007). Nilai lokasi dihitung dengan menggunakan WTP Rp. 1.667.946.410 dan nilai rata-rata WTP sebesar Rp. 18.900. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap WTP adalah biaya perjalanan, pendapatan, jumlah rombongan, jarak tempuh, lama mengetahui Kebun Wisata Pasirmukti, jumlah rekreasi selama satu tahun, daya tarik, tempat rekreasi alternatif, jenis kelamin dan status hari. Miftahurrohmah (2012) mengestimasi nilai manfaat ekonomi total dari hutan
mangrove
Angke
Kapuk
pasca
rehabilitasi
adalah
sebesar
Rp.21.020.913.790,80, dengan rincian sebagai berikut; nilai manfaat langsung berupa kayu, ikan, bibit dan arang adalah sebesar Rp. 8.689.724.000,00, nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp. 12.285.357.670,80, dan manfaat pilihan sebesar Rp. 45.832.122,00. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan kelembagaan hutan mangrove yaitu terdri dari pemerintah, masyarakat, perusahaan, akademisi,
16
dan keamanan. Hubungan aktor dalam pengelolaan kelembagaan hutan mangrove berjalan harmonis dan sinergis. Mahesi (2008) menyatakan bahwa nilai jasa lingkungan di Kebun Raya Cibodas (KRC) lebih besar dari nilai jual pohon atau tanaman (dalam tahun). Yang menjadi permasalahan adalah nilai jasa lingkungan tidak langsung dirasakan secara ekonomi. Nilai sumberdaya hayati dapat dikelompokkan berdasarkan nilai ekologi, nilai komersial dan nilai rekreasi. Nilai ekonomi wisata dari sisi permintaan wisata yang didekati dari biaya perjalanan adalah sebesar Rp. 109.326.386.400/tahun per tahun. Nilai ini masih rendah. Surplus konsumen wisata dengan metode biaya perjalanan sebesar Rp.22.727 per individu, sedangkan berdasarkan kesediaan membayar sebesar Rp.12.218 per individu. Ringkasan gambaran penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Matriks Penelitian Terdahulu No. 1
Nama Peneliti Suharti
Alat Analisis Travel Cost Method
Hasil Menduga nilai ekonomi Kebun Wisata Pasirmukti dengan menggunakan willingness to pay (WTP) sebesar Rp. 1.667.946.410 dan nilai rata-rata WTP sebesar Rp. 18.900.
2
Miftahurrohmah
Total Economic Value dan Analisis stakeolders
Menduga nilai ekonomi total dari kawasan hutan mangrove Angke Kapuk setelah rehabilitasi sebesar Rp. 21.020.913.790,80. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove adalah pemerintah, masyarakat, perusahaan, akademisi dan keamanan.
3
Mahesi
Contingent Valuation Methoddan Travel Cost Method
Nilai ekonomi wisata dari sisi permintaan wisata yang didekati dari biaya perjalanan adalah sebesar Rp. 109.326.386.400/tahun, sedangkan berdasarkan kesediaan membayar sebesar Rp.12.218 per individu. Adanya surplus konsumen, baik surplus wisata maupun diluar wisata dapat dijadikan acuan dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi.
Beberapa penelitian diatas mengangkat topik valuasi atau penilaian terhadap suatu sumberdaya agar didapat nilainya secara moneter. Penelitian ini pada intinya membahas hal yang sama. Perbedaan penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah, dalam penelitian sebelumnya, belum ada
17
yang meneliti tentang nilai ekonomi total dan analisis struktur kelembagaan dengan obyek Hutan Rakyat. Selain itu, studi diatas lebih melihat jasa lingkungan dari segi permintaan wisata sehingga objeknya merupakan tempat wisata.
18
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional Perbaikan atau rehabilitasi pada suatu sumberdaya akan memberikan perubahan terhadap kondisi sumberdaya tersebut setelah dilakukan perbaikan. Kabupaten Wonogiri pada umumnya dan Kecamatan Giriwoyo pada khususnya awalnya merupakan kondisi yang gersang. Gerakan Penghijaunan Nasional (GERHAN) yang dilakukan oleh pemerintah setempat pada tahun 2003 merupakan upaya penghijauan dan penyelamatan lahan-lahan kritis. Pelaksanaan GERHAN di Kecamatan Giriwoyo mendorong berkembangnya Hutan Rakyat yang ada saat ini Keberadaan HR Giriwoyo merupakan hasil dilakukannya GERHAN, keberhasilan ini tentu meningkatkan kualitas dan tentu saja nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya hutan tersebut. Keberadaan HR Giriwoyo saat ini memiliki dampak yang cukup besar bagi masyarakat Giriwoyo, air yang pada awalnya kering sekarang cukup melimpah, bahkan tetap mengalir pada saat musim kemarau. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh nilai ekonomi total dari HR Giriwoyo. Nilai ekonomi total dari HR Giriwoyo yang didapat dari penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk penentuan kebijakan. Hal ini kemudian akan berimplikasi kepada kebijakan pemerintah untuk memperoleh HR yang bernilai ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Tahap pertama dalam melakukan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi aktual HR Giriwoyo. Identifikasi dilakukan dengan cara suvey langsung ke lapangan yang berlokasi di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, serta menggunakan metode analisis deskriptif hasil dari wawancara dengan key person setempat. Selanjutnya dilakukan identifikasi manfaat hutan melalui pendekatan Total Economic Value (TEV) dengan mewawancarai responden melalui panduan kuisioner. Nilai guna langsung (Direct Use Value) dari HR Giriwoyo yang dirasakan oleh masyarakat adalah hasil kayu log, kayu bakar dan empon-empon. Nilai guna tidak langsung (Non-Direct Use Value) yang didapat dari sumberdaya hutan HR
19
Giriwoyo adalah manfaat penyerap karbon dan manfaat mata air. Nilai pilihan dari HR giriwoyo merupakan nilai keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya, didapat dengan menggunakan metode benefit transfer. Nilai warisan (Bequest Value) diperoleh berdasarkan analisis Willingness to Pay (WTP) atau kesediaan membayar masyarakat untuk melestarikan hutan demi kelestarian di masa yang akan datang. Nilai dari manfaat hutan yang diperoleh tersebut kemudian dimoneterkan untuk menghitung nilai ekonomi total dari seluruh kawasan HR Giriwoyo. Informasi nilai ekonomi total ini kemudian dapat digunakan oleh pemerintah dalam pengelolaan hutan yang lestari dan penentuan kebijakan yang efektif. Selain menghitung nilai ekonomi total dari HR Giriwoyo, penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi kelembagaan dan menganalisis aktor / stakeholders yang berpengaruh terhadap pengelolaan dan pemanfaatan HR Giriwoyo. Identifikasi ini dirasa perlu dilakukan karena besarnya manfaat atau nilai ekonomi total yang terkandung dalam HR Giriwoyo, pasti ditentukan oleh kualitas kelembagaan dalam pengelolaannya. Analisis kelembagaan meliputi analisis struktur dan infrastruktur kelembagaan seperti aturan formal, informal, boundary rule, monitoring dan sanksi. Output dari suatu studi sebaiknya memberikan rekomendasi yang sesuai dengan kondisi lapangan, oleh karena itu dilakukan pula analisis Importance Performance Analysis untuk melihat kinerja dari fungsi atau peran stakeholder yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan HR Giriwoyo. Analisis ini dapat menggambarkan peran apa saja dari stakeholder yang perlu dipertahankan bahkan dimaksimalkan, sehingga hal ini dapat rekomendasi untuk pengelolaan yang lebih baik untuk kedepannya.
menjadi
20
HUTAN RAKYAT GIRIWOYO
POTENSI
Sertifikasi LEI, perlu dimaksimalkan melalui Pengelolaan yang optimal
Valuasi ekonomi potensi HR agar didapat nilai riil
IDENTIFIKASI MANFAAT
Direct use value
Inirect use value
Nilai Pilihan
Kayu Log
Mata Air
Keanekaragaman hayati
Kayu Bakar
Analisis Multistakeholder berdasarkan kepentingan dan kinerja
Penyerap Karbon
NILAI EKONOMI TOTAL
Importance Performance Analysis
Matriks posisi peran stakeholder
REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Gambar 2
Diagram alur penelitian
Nilai Warisan
21
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan HR yang berada di Giriwoyo, Kab. Wonogiri. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena dinilai dengan adanya kawasan HR di Giriwoyo ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar, sehingga harapannya setelah dilakukan valuasi maka pemegang keputusan dapat membuat kebijakan yang sesuai untuk tujuan pelestarian kawasan HR. Waktu pengambilan data dilakukan selama 1 (satu) bulan, yaitu pada bulan April 2013.
4.2 Penentuan Responden Pengambilan data dilakukan dengan cara menemui masyarakat sekitar lokasi penelitian. Objek penelitian adalah masyarakat Wonogiri yang berdomisili di sekitar kawasan HR Giriwoyo, sehat jasmani dan rohani dengan kriteria cukup dewasa, yaitu yang telah berumur 17 tahun, dan mampu berkomunikasi dengan baik. Untuk mengidentifikasi kondisi HR Giriwoyo, penulis mewawancari responden yang merupakan key person dari Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR), Pemerintah Kecamatan dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (DISHUTBUN) setempat, untuk analisis Willingness to Pay dipilih sebanyak 67 orang, sedangkan terkait Analisis Kinerja dan Kepentingan penulis mewawancarai key person dari masing-masing stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan HR Giriwoyo, yaitu PPHR, DISHUTBUN, Masyarakat dan Akademisi.
4.3 Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara: 1. studi literatur untuk mendapatkan data sekunder tentang karakteristik hutan rakyat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian; 2. observasi dengan cara mengamati dan mencatat hasil pengamatan di lapangan; 3. wawancara dengan menggunakan kuisioner untuk memperoleh data yang meliputi data umur, jenis kelamin, pendapatan, tingkat pendidikan, jarak
22
antara rumah dengan lahan hutan, dan kesediaan responden untuk membayar (WTP) agar jasa-jasa lingkungan di kawasan HR Giriwoyo tetap terjaga. 4. Penilaian responden terhadap kawasan HR tentang makna ekologis, kelestarian, dan keindahan HR Giriwoyo. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini seperti gambaran umum dan kondisi wilayah hutan di Kecamatan Giriwoyo diperoleh dari lembaga setempat, Dinas Kehutanan setempat, studi literatur, dan fasilitas internet.
4.4 Metode Analisis Data Dalam penelitian ini data yang terkumpul diolah secara manual dan menggunakan komputer dengan Software SPSS, Graph dan Microsoft Excel 2007. Tabel 2. Matriks Analisis Data No.
Tujuan Penelitian
Data yang Diperlukan
Alat Analisis Data Analisis deskriptif kualitatif
Sampel
1
Mengidentifikasi HR Kecamatan Giriwoyo Kab. Wonogiri
Data sekunder: Kondisi fisik dan pola pengelolaan Data primer: Survei dan wawancara pada pihak pengelola dan masyarakat setempat
Keyperson PPHR, DISHUTBUN, dan Pemerintah Kecamatan
2
Menghitung nilai ekonomi total yang terkandung pada HR Giriwoyo Kab. Wonogiri.
Data sekunder: Data vegetasi flora dan fauna, jenis kayu, luas areal HR dan keanekaragaman hayati dari dinas terkait dan studi literatur Data Primer: Wawancara langsung kepada responden
Total EconomicValue,
Dinas atau lembaga terkait dan 67 orang responden masyarakat
3
Menganalisis struktur kelembagaan dalam pengelolaan HR Giriwoyo.
Data primer mengenai aturan main yang terdapat dalam kelembagaan Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR)
Analisis Tata Kelola kelembagaan
Keyperson yang merupakan pengurus PPHR
4
Merekomendasikan pengelolaan HR agar tercipta pengelolaan yang lebih baik.
Data primer mengenai kinerja dan kepentingan peran pengelolaan dari stakeholders terhadap pengelolaan HR yang didapat melalui wawancara
Analisis Importance Performance Analysis (IPA)
4 orang responden yang mewakili stakeholder (PPHR, DISHUTBUN, Akademisi dan Masyarakat)
23
4.4.1
Analisis Tata Kelola Kelembagaan Karakteristik kelembagaan dan aturan Perkumpulan Pelestari Hutan
Rakyat
(PPHR)
diidentifikasi
dengan
menggunakan
analisis
deskriptif.
Karakteristik kelembagaan yang dianalisis meliputi beberapa hal yang bersifat kualitatif, yaitu: pertama, aktor dalam kelembagaan yang terdapat dalam PPHR Catur Giri Manunggal. Kemudian aktor tersebut diidentifikasi perannya dalam kelembagaan PPHR. Kedua, aturan main atau infrastruktur kelembagaan yang dibagi menjadi lima bagian yaitu: (1) aturan formal, yang dapat dibagi menjadi aturan eksternal dan internal; (2) aturan informal; (3) aturan keluar masuknya anggota atau boundary rules ; (4) aturan monitoring dan sanksi; dan (5) aturan dalam penyelesaian konflik yang terjadi dalam pelaksanaan kelembagaan.
4.4.2
Nilai Total Ekonomi Kawasan Hutan Pendugaan nilai manfaat dari seluruh kawasan hutan dapat dihitung
berdasarkan nilai ekonomi totalnya. Total Economic Value (TEV) dalam hal ini merupakan total dari penjumlahan nilai kegunaan langsung dari hutan rakyat dan nilai kegunaan tak langsungnya. TEV
=
DUV + NDV + NP + NW.....................................(1)
dimana: TEV
= Total Economic Value
DUV
= Direct Use Value
NDV
= Non-Direct Use Value
NP
= Nilai Pilihan
NW
= Nilai Warisan Dalam hal ini, nilai kegunaan langsung dapat dicari dari nilai ekonomis
atau nilai pasar produk hutan kayu dan non-kayu, sedangkan nilai kegunaan tak langsung dapat dicari dengan kemampuan pohon menyerap karbon, serta sebagai daerah resapan air yang belum tergantikan fungsinya, lalu fungsi-fungsi tersebut dikonversi ke dalam nilai moneter yang berlaku pada nilai saat ini. Untuk menduga nilai TEV, terlebih dahulu kita harus melakukan beberapa pekerjaan seperti menentukan kekayaan keanekaragaman hayati di kawasan hutan Giriwoyo dan mengelompokkan nilai guna langsung dan tidak langsung dari hutan tersebut.
24
Selanjutnya, melakukan valuasi terhadap manfaat-manfaat tersebut dengan pendekatan TEV.
1. Nilai Guna Kayu Log Nilai kayu log yang diestimasi adalah jenis kayu Jati, Mahoni dan Akasia, dan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: NKLi
= Ei x HKLi.......................................................................(2)
Keterangan: NKLi
= Nilai Total Kayu Log jenis-i (Rp/tahun)
Ei
= Etat volume tebang lestari kayu jenis-i (m3/tahun)
HKLi
= Harga kayu log per kubik jenis-i (Rp/m3)
i
= Jenis kayu (Jati, Mahoni, dan Akasia)
2. Nilai Ekonomi Kayu Bakar Nilai kayu bakar dihitung dengan cara pendekatan harga pasar. Untuk menghitung nilai ekonomi kayu bakar dari HR Giriwoyo digunakan harga kayu bakar yang berlaku di lokasi penelitian, lalu harga tersebut dikalikan dengan jumlah populasi penduduk pra-sejahtera yang ada di Kecamatan Giriwoyo. Asumsinya yang memanfaatkan kayu bakar tersebut adalah masyarakat prasejahtera karena mereka tidak memiliki cukup dana untuk menggunakan kompor gas. Nilai kayu bakar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: NKB
= Jkb x Pkb x KPS.............................................................(3)
Keterangan: NKB
= Nilai Ekonomi Kayu Bakar (Rp/tahun)
Jkb
= Jumlah penggunaan kayu bakar (ikat/tahun)
Pkb
= harga kayu bakar yang berlaku (Rp/ikat)
KPS
= jumlah keluarga pra-sejahtera
3. Nilai Ekonomi Empon-empon Untuk mendapatkan nilai ekonomi empon-empon di lokasi penelitian, digunakan pendekatan benefit transfer, berdasarkan Pranoto (2009), tingkat
25
produktivitas empon-empon (kunyit) di HR Desa Selopuro adalah sebesar 305 kg/ha/tahun, maka nilai kunyit dapat dihitung dengan persamaan matematis: NE
= PE x HE x LA.................................................................(4)
Dimana : NE
= Nilai Empon-empon/kunyit (Rp/tahun)
PE
= Potensi Empon-empon (kg/ha/tahun)
HE
= Harga Empon-empon (Rp/kg)
LA
= Luas areal HR (ha)
4. Nilai Penyerap Karbon Untuk menentukan nilai penyerap karbon di lokasi penelitian digunakan pendekatan benefit transfer. Menurut Mugiono (2009) perkiraan kandungan karbon dari kayu HR di Jawa-Madura adalah sebesar 40.724.689,34 ton, atau 15,75 ton/ha, maka nilai penyerap karbon dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini: NPK
= CO x PC x LA................................................................(5)
Keterangan: NPK
= nilai total penyerap karbon (Rp/tahun)
CO
= kandungan karbon dalam kayu/ha (15,75 ton/ha)
PC
= harga karbon, US$12/ton
LA
= Luas area penelitian (ha)
5. Nilai Ekonomi Mata Air Untuk mendapatkan nilai ekonomi mata air di lokasi penelitian, digunakan pendekatan dengan persamaan matematis: NMA
= nKK x USE x Pair..........................................................(6)
Keterangan: NMA
= Nilai Ekonomi Mata Air (Rp/tahun)
nKK
= jumlah kepala keluarga yang memanfaatkan mata air
USE
= rata-rata penggunaan air per rumah tangga (m3/tahun)
Pair
= harga air yang berlaku di PDAM Kab. Wonogiri (Rp/m3)
26
6. Nilai Keanekaragaman Hayati Nilai keanekaragaman hayati dihitung berdasakan pendekatan benefit transfer. Berdasarkan Ministry of State for Population and Environment (1993) dalam Pranoto (2009), nilai manfaat keanekaragaman hayati untuk hutan sekunder adalah sebesar US $32,5/ha/tahun, maka nilai keanekaragaman hayati dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini: NFF
= NKH x LA......................................................................(7)
Keterangan: NFF
= nilai total keanekaragaman hayati (Rp/tahun)
NKH
= nilai keanekaragaman hayati per hektar (Rp/ha)
LA
= luas areal penelitian (ha)
7. Analisis Nilai WTP Responden terhadap Nilai Warisan Tahap-tahap dalam melakukan penelitian untuk menentukan WTP sebagai nilai warisan HR Giriwoyo adalah sebagai berikut:
1. Membuat Pasar Hipotetik Pasar hipotetik dibentuk atas dasar menurunya kualitas lingkungan kawasan hutan Giriwoyo yang memiliki jasa lingkungan sebagai penyedia udara bersih dan penghasil mata air. Selanjutnya pasar hipotetik yang ditawarkan dibentuk dalam skenario sebagai berikut: Skenario: “Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan rakyat Giriwoyo ini ingin tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya upaya pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan akan menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Bapak/Ibu bersedia membayar sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik?”
27
Dengan skenario ini maka responden mengetahui gambaran tentang situasi hipotetik mengenai rencana pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya konservasi untuk pelestarian hutan rakyat Giriwoyo. Nilai pembayaran jasa lingkungan yang akan diberlakukan akan ditanyakan kepada responden mengenai WTP. Kepada setiap responden akan ditanyakan apakah mereka bersedia atau menolak terhadap pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya pelestarian yang akan diberlakukan. Alat survei yang digunakan adalah berupa kuisioner. WTP didapat dengan cara bertanya langsung kepada masyarakat dengan metode Open Ended dimana responden dapat bebas menjawab berapa saja jumlah yang ingin mereka bayarkan. Starting point atau batas minimal besarnya WTP ditentukan berdasarkan harga bibit pohon jati di lokasi penelitian, yaitu Rp.3.000.
2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP Jika kuisioner telah dibuat, maka survey dilakukan dengan wawancara langsung. Teknik yang digunakan dalam mendapatkan nilai penawaran pada penelitian ini yaitu dengan menawarkan kepada responden sejumlah uang tertentu dan menanyakan apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk memperoleh perbaikan kualitas lingkungan melalui pembayaran jasa lingkungan.
3. Memperkirakan Nilai Rata-rata WTP WTP dapat diduga dengan melakukan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah responden. Dugaan rataan WTP dicari dengan rumus: EWTP
=
∑
...........................................................(8)
dimana: EWTP
= Dugaan rataan WTP
Wi
= Nilai WTP ke-i
Pfi
= Frekuensi Relatif
n
= Jumlah responden (67 orang)
i
= Responden ke-i yang bersedia membayar jasa lingkungan
28
4. Menduga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Pendugaan akan dilakukan menggunakan analisis regresi linear dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: WTP = f (AGE, TGN, PDI, JOB, LHN, TR, JRK, KLS)..............(9) dimana: WTP
= Nilai WTP responden (Rp/orang)
AGE
= Usia responden (Tahun)
TGN
= Jumlah tanggungan responden (orang)
TR
= Rata-rata pendapatan rumah tangga (Rp/bulan)
PDI
= Tingkat pendidikan responden (tahun)
JOB
= Pekerjaan responden (dummy)
JRK
= Jarak rumah ke lokasi pemanfaatan jasa lingkungan (m)
LHN
= Kepemilikan lahan hutan (dummy)
KLS
= Persepsi kualitas jasa lingkungan (1=baik, 2=biasa, 3=jelek)
5. Menjumlahkan Data Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai tengah penawaran dikonversi terhadap total populasi yang dimaksud. Setelah menduga nilai tengah WTP maka milai WTP kemudian dijumlah sehingga didapat nilai WTP total yang penulis asumsikan sebagai nilai warisan dari HR Giriwoyo.
4.4.3 Importance Performance Analysis (IPA) Metode IPA dapat digunakan untuk menentukan kebjakan apa yang perlu dilakukan untuk pengelolaan HR Giriwoyo yang lebih baik. Responden yang merupakan stakeholder terkait pengelolaan HR Giriwoyo, yaitu PPHR, Dinas Kehutanan dan Kebudayaan Kab. Wonogiri, Masyarakat dan Akademisi diminta untuk menjawab pertanyaan terkait kinerja dan kepentingannya dari peran atau fungsi yang mereka kerjakan dalam proses pengelolaan HR Giriwoyo. Penentuan tingkat kinerja dan kepentingan dilakukan dengan menggunakan pembobotan dengan menggunakan skala 1-4 seperti pada Tabel 3 dan Tabel 4.
29
Tabel 3. Ukuran kuantitatif nilai kinerja Persepsi Responden
Nilai
Tidak baik Cukup Baik Baik Sangat Baik
1 2 3 4
Tabel 4. Ukuran kuantitatif nilai kepentingan Persepsi Responden Nilai Tidak penting 1 Cukup penting 2 Penting 3 Sangat penting 4 Sumber : Journal of Theorical Applied Electronic Commerce Research (2011)
Bobot penilaian kinerja peran masing-masing stakeholder dan bobot penilaian tingkat kepentingannya kemudian digambarkan ke dalam Diagram Cartesius. Masing-masing indkator diposisikan dalam sebuah bagan yang menunjukan tingkat kinerja dan kepentingan indikator tersebut. Indikator peran atau fungsi tersebut diletakan pada sebuah bagan yang dibagi menjadi empat kuadran. Secara jelas bangunan diagram cartesius tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. NILAI KEPENTINGAN tinggi
Prioritas Utama
Prioritas Rendah
rendah
Pertahankan prestasi
Berlebihan
tinggi
rendah
KINERJA
Sumber : Journal of Theorical Applied Electronic Commerce Research (2011)
Gambar 3
Diagram Cartesius tingkat kepentingan dan kinerja
Keterangan: Prioritas Utama (high importance & low importance) Prioritas Utama, kuadran ini memuat atribut-atribut yang dianggap penting oleh stakeholders, tetapi kinerja dari stakeholders belum sesuai sehingga belum
30
berpengaruh terhadap peningkatan pengelolaan HR Giriwoyo. Oleh karena itu penentu kebijakan perlu melakukan perbaikan pada atribut-atribut yang berada pada kuadran ini. Pertahankan Prestasi (low importance & high performance) Pertahankan prestasi, kuadran ini menunjukan atribut-atribut yang kinerjanya sangat baik sesuai dengan yang seharusnya sehingga berpengaruh nyata terhadap pengelolaan HR Giriwoyo. Prioritas Rendah (low importance & low performance) Prioritas rendah, kuadran ini menunjukan atribut yang dirasa kurang begitu penting untuk dilakukan.Kinerja atribut yang berada pada kuadran ini pun dirasa rendah sehingga perlu dilakukan peningkatan kinerja. Berlebihan (low importance & high performance) Berlebihan, kuadran ini menunjukan atribut yang dirasa kurang penting namun memiliki kinerja yang sangat tinggi, oleh karena itu tidak perlu untuk meningkatkan kinerja pada atribut yang berada pada kuadran ini karena akan menyebabkan terjadinya pemborosan sumberdaya.
31
V GAMBARAN UMUM
5.1 Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat Giriwoyo Pada tahun 1956, pasca masa penjajahan banyak hutan negara dalam kondisi rusak dan gundul, hal ini melatarbelakangi masyarakat untuk melakukan penanaman tanaman penghijauan di daerah tegalan dan pekarangan. Jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat saat itu adalah jenis tanaman jati, mahoni, akasia dan nangka. Kegiatan penanaman penghijauan saat itu dinamakan KBD (Kebun Bibit Dusun). Pengembangan KBD dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dengan dikoordinir oleh Kepala Dusun masing-masing. Masyarakat pernah mendapat bantuan bibit pohon jenis akasia dari World Food Program (WFP) dengan insentif sarden, susu, dan minyak goreng sebagai upah melakukan penanaman. Penghijauan terus dilakukan di Giriwoyo, terutama saat pemerintah mengeluarkan anjuran untuk menanam tanaman di lahan yang masih kosong guna menanggulangi banjir di Waduk Gajah Mungkur. Perkembangan penanaman di Giriwoyo dilatarbelakangi juga oleh kondisi yang dirasakan masyarakat saat itu, lahan kritis yang berbatu sehingga membuat masyarakat kesulitan air, udara yang panas dan gersang ketika musim kemarau dan banjir serta longsor ketika musim hujan membuat masyarakat berinisiatif untuk melakukan penanaman. Pada tahun 2003 dilaksanakan kegiatan GERHAN oleh Dinas Kehutanan seperti kegiatan reboisasi, penghijauan, hutan rakyat, hutan pantai/mangrove dan lain-lain. Kegiatan ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat Giriwoyo, melalui penyuluhan dan pemberian bibit menjadikan HR Giriwoyo semakin berkembang. Masyarakat mulai menyadari besarnya manfaat hasil hutan baik tangible maupun intangible sehingga merasa bahwa pengelolaan HR harus mulai dilakukan dengan baik, maka ada inisiatif dari petani HR untuk membentuk Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) sebagai Forest Management Unit (FMU) yang bertugas mengelola HR Giriwoyo. Melihat terus berkembangnya penanaman HR Giriwoyo, petani HR melalui PPHR dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PERSEPSI melakukan pengajuan sertifikasi hutan berbasis PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari). Usaha pengelolaan hutan berbasis masyarakat
32
lestari dari segi produksi, ekologi, dan sosial selayaknya mendapat pengakuan yang bisa mendorong munculnya insentif-insentif dari berbagai pihak atas berbagai jasa yang dikembangkan oleh PPHR. Untuk itu, PPHR Kecamatan Giriwoyo melakukan penyusunan dokumen pengajuan permohonan sertifikasi PHBML dengan sistem Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) kepada PT. Mutu Agung Lestari (MAL) sebagai lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi oleh LEI. Pada tahun 2007 HR Giriwoyo secara sah mendapatkan sertifikasi PHBML yang menyatakan bahwa pengelolaan HR Giriwoyo sudah memenuhi syarat pengelolaan hutan dari segi produksi, ekologi dan sosial.
5.2 Keadaan Umum Kecamatan Giriwoyo Giriwoyo merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah yang memiliki 16 Desa/Kelurahan. Total luas wilayah Giriwoyo sebesar 10.060,13 Ha, dengan rincian Kelurahan Giriwoyo (403,95 ha), Desa Sejati (533,27 ha), Desa Sendang Agung (479,82 ha), Desa Sirnoboyo (431,19 ha), Desa Platarejo (671,26 ha), Desa Tawangharjo (543,89 ha), Desa Guwotirto (688,28 ha), Desa Titosuworo (865,59 ha), Kelurahan Girikikis (923,71 ha), Desa Ngancar (666,71 ha), Desa Bulurejo (622,15 ha), Desa Gedung Rejo (870,61 ha), Desa Pidekso (469,94 ha), Desa Tungku Rejo (582,53 ha), Desa Bumi Harjo (465,60 ha) dan Desa Sulu Marto (843,25 ha). Kecamatan Giriwoyo secara georgafis berada pada ketinggian 169 meter diatas permukaan laut dan sebagian tanahnya terdiri dari tanah pegunungan yang berbatu kapur/gamping. Ibukota Kecamatan Giriwoyo adalah Kelurahan Giriwoyo, dengan batas-batas; sebelah Utara Giriwoyo berbatasan
dengan
Kecamatan Baturetno, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Batuwarno, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Eromoko dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Giritontro. Penggunaan lahan di Kabupaten Wonogiri didominasi oleh hutan rakyat, yaitu sebanyak 73.031 Ha (40,08%) yang terdiri dari lahan tegalan dan pekarangan. Tegalan dan pekarangan dapat dikatakan hutan rakyat karena lahan ini ditanami pepohonan oleh masyarakat. Pepohonan yang ditanam adalah jenis pohon Jati, Akasia dan Mahoni. Penggunaan lahan lainnya sebagai sawah
33
sebanyak 32.342 Ha (17,75%), untuk bangunan/pekarangan sebesar 27.504 Ha (37,97), hutan negara seluas 17.594 Ha (9,65%). Tabel 5. Penggunaan Lahan Wonogiri Tahun 2011 No Jenis Penggunaan Lahan 1 Sawah 2 Tegalan 3 Bangunan 4 Hutan Negara 5 Hutan Rakyat 6 Lain-lain Total Sumber: Wonogiri Dalam Angka (2012)
Luas (Ha) 32.342 69.140 27.504 17.594 3.891 31.765 182.236
Persentase (%) 17,75 37,94 15,09 9,65 2,14 17,43 100
Untuk yang lebih spesifik di Kecamatan Giriwoyo, gambarannya tidak jauh berbeda dengan Wonogiri secara umum. Penggunaan lahan di Giriwoyo didominasi oleh tegalan seluas 4575,88 Ha (45,49%) yang kurang lebih 50% nya terpusat di empat Desa/Kelurahan, lalu disusul oleh bangunan, sawah, hutan negara, padang rumput, dan lainnya. Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) pada tahun 2007, 50% dari luas wilayah Hutan Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, atau seluas 2434,24 Ha berada di Kelurahan Girikikis, Desa Guwotirto, Desa Titosuworo, dan Desa Sejati. Tabel 6. Penggunaan Lahan Giriwoyo Tahun 2010 No Jenis Penggunaan Lahan 1 Sawah 2 Tegalan 3 Bangunan 4 Hutan Negara 6 Lain-lain Sumber: Giriwoyo Dalam Angka (2011)
Luas (Ha) 1466,9 4575,88 2399,7 728 889,65
Persentase (%) 14,58 45,49 23,85 7,24 8,84
Besarnya penggunaan lahan sebagai hutan rakyat (tegalan) merupakan buah dari dilakukannya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2003. GERHAN dilakukan untuk mengimbangi laju degradasi sumberdaya hutan yang rata-rata setiap tahun mencapai 2,1 juta Ha, dan merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang saat ini mencapai lebih dari 3 juta Ha. Kecamatan Giriwoyo sendiri pada saat itu memiliki lahan kritis seluas 6.277 Ha, itulah yang menjadi target penyelenggaraan GERHAN di Giriwoyo. Pelaksanaan GERHAN meliputi pemberian bibit untuk reboisasi dan pembuatan terassering pada lahan miring. Jenis pohon yang
34
diberikan saat pelaksanaan GERHAN antara lain, pinus, jati, mahoni, puspa, sonokeling, johar, jambu mete, dan lainnya. Untuk kawasan Giriwoyo, menyesuaikan dengan kondisi tanahnya, maka jenis pohon yang ditanam saat GERHAN didominasi oleh jati, mahoni, akasia dan trembesi.
5.3 Keadaan Sosial Ekonomi Kecamatan Giriwoyo Jumlah penduduk Kecamatan Giriwoyo adalah 50.451 jiwa, yang terdiri dari 25.123 jiwa laki-laki dan 25.328 jiwa perempuan. Kondisi sosial masyarakat Giriwoyo berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Populasi Giriwoyo berdasarkan Pendidikan Tahun 2011 No Tingkat Pendidikan 1 Tamat Perguruan Tinggi 2 Tamat SMA 3 Tamat SMP 4 Tamat SD 5 Belum Tamat SD 6 Tidak Tamat SD 7 Tidak Sekolah sumber: Profil Kecamatan Giriwoyo (2012)
Jumlah 490 6090 14552 6145 3271 4371 4327
Keadaan ekonomi masyarakat Giriwoyo dideskripsikan berdasarkan mata pencaharian masyarakat yang ditunjukan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Jumlah Populasi Giriwoyo Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2011 No Jenis Pekerjaan 1 Petani 2 Buruh 3 Pengusaha 4 Pengusaha Kecil 5 Buruh Bangunan 6 Buruh Industri 7 Pedagang 8 Pengangkutan 9 Pegawai Negeri 10 ABRI/TNI 11 Pensiunan 12 Lain-lain sumber: Profil Kecamatan Giriwoyo (2012)
Jumlah 6785 5104 1020 161 1340 1003 417 1593 463 16 572 13706
Dari tabel terlihat bahwa mata pencaharian masyarakat Giriwoyo paling banyak adalah sebagai petani dan buruh. Pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Giriwoyo adalah menanam padi dan palawija. Masyarakat yang bekerja sebagai petani merupakan masyarakat yang memiliki lahan sendiri, sedangkan yang bekerja sebagai buruh tani merupakan mereka yang bekerja di lahan orang lain.
35
5.4 Karakteristik Responden WTP Nilai Warisan Jumlah responden untuk Willingness to pay (WTP) Hutan Rakyat Giriwoyo adalah sebanyak 67 orang yang merupakan masyarakat yang tinggal sekitar HR di 4 desa, yaitu Desa Sejati, Girikikis, Guwotirto, dan Tirtosuworo. Responden diminta untuk menjawab kuisioner mengenai nilai warisan. Karakteristik umum responden WTP tergambar melalui usia, jenis kelamin, pendidikan formal, pekerjaan dan pendapatan tiap bulan.
Usia Tingkat usia responden yang diwawancara bervariasi, dengan usia yang paling muda yaitu 23 tahun dan yang paling tua adalah 82 tahun. Responden paling banyak berada pada kisaran usia 41-50 tahun, yaitu sebanyak 20 orang (30%), selanjutnya pada rentang usia 51-60 sebanyak 17 orang (25%), pada rentang usia 61-70 sebanyak 11 orang (16%), pada rentang usia 31-40 sebanyak 9 orang (15%), pada rentang usia 21-30 sebanyak 7 orang (11%), dan untuk usia diatas 70 tahun sebanyak 2 orang (3%). Sebaran usia responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 25
20
20
17
15 10
11
10 7
5
2
0 21-30 tahun
31-40 tahun
Gambar 4
41-50 tahun
51-60 tahun
61-70 tahun
>70 tahun
Persentase responden berdasarkan usia
Jenis Kelamin Pada umumnya responden WTP untuk nilai warisan ini adalah laki-laki, karena laki-laki berperan penting dalam keluarga sebagai pengambil keputusan. Dari total 61 jumlah responden, perbandingan jumlah responden antara laki laki dan perempuan adalah 41 responden (61%) laki-laki, dan 26 responden (39%) perempuan. Sebaran jenis kelamin responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
36
50
41
40 26
30 20 10 0 Laki-laki
Gambar 5
Perempuan
Persentase responden berdasarkan jenis kelamin
Pendidikan Formal Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini diklasifikasikan menurut lama tahun dalam menempuh pendidikan formal, dimulai dari tidak sekolah/tidak lulus Sekolah Dasar (SD) sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Responden yang tidak lulus SD sebanyak empat orang (6%), responden yang menempuh pendidikan hanya sampai lulus SD sebanyak 32 orang (48%), responden yang menempuh pendidikan sampai lulus SMP sebanyak 16 orang (24%), responden yang menempuh pendidikan sampai lulus SMA ada sebanyak 14 orang (21%), dan responden yang menempuh pendidikan sampai selesai S1 ada sebanyak 1 orang (1%). Sebaran pendidikan formal responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 40
32
30 16
20 10
14
4
1
0 Tidak lulus SD
Gambar 6
Lulus SD
Lulus SMP
Lulus SMA
Lulus S1
Persentase responden berdasarkan pendidikan formal
Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan responden terbagi menjadi lima jenis pekerjaan, yaitu petani, wiraswasta, pegawai swasta, buruh, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan ibu rumah tangga. Sebagian besar responden bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak 37 orang (55%), wirausaha empat orang (2%), pegawai swasta tiga orang (5%),
37
ibu rumah tangga sebelas orang (16%), buruh sebelas orang (16%), dan PNS satu orang (2%). Sebaran jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 40 30 20 10 0
37
Gambar 7
4
11
11
3
1
Persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan dibagi menjadi lima kisaran, yaitu antara < Rp.500.000 - > Rp.2.000.000 per bulan. Sebaran pendapatan responden paling banyak berada pada rentang Rp.500.000 – Rp.1.000.000 per bulan, yaitu sebanyak 34 orang (50%). Responden yang memiliki pendapatan dibawah Rp.500.000 per bulan sebanyak 20 orang (30%), responden yang memliki pendapatan Rp.1.000.001 – Rp.1.500.000 per bulan sebanyak tujuh orang (10%), tiga orang responden (5%) memiliki pendapatan Rp.1.500.001 – Rp.2.000.000 per bulan, dan tiga orang (5%) yang memiliki pendapatan diatas Rp.2.000.000 . Sebaran tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 40 35 30 25 20 15 10 5 0
34
20 7
<500.000
Gambar 8
500.000 1.000.000
1.000.001 1.500.000
3
3
1.500.001 2.000.000
>2.000.000
Persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan
38
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Kondisi Aktual Hutan Rakyat Giriwoyo Giriwoyo merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah yang memiliki 16 Desa/Kelurahan dengan total luas wilayah sebesar 10.060,13 Ha. Sebelah Utara Giriwoyo berbatasan
dengan
Kecamatan Baturetno, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Batuwarno, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Eromoko dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Giritontro. Sebagian Kecamatan Giriwoyo tanahnya terdiri dari tanah pegunungan yang berbatu kapur/gamping. Wilayah Hutan Rakyat Wonogiri mencakup di empat Desa/Kelurahan, yaitu Kelurahan Girikikis, Desa Guwotirto, Desa Titosuworo, dan Desa Sejati yang didominasi oleh tanaman Jati, Mahoni, Akasia, dan Trembesi. Keberadaan HR Giriwoyo didukung dengan dilakukannya GERHAN pada tahun 2003 yang melakukan program reboisasi dan penyelamatan lahan-lahan kritis di Giriwoyo. HR Giriwoyo terus mengalami perkembangan, terlihat pada tahun 2006, para petani hutan rakyat berinisiatif membentuk Perkumpulan Pelestari Hutan (PPHR) dan bersama LSM Persepsi mengajukan sertifikasi terharadap HR Giriwoyo. Proses sertifikasi ini diajukan oleh PPHR atau disebut juga Forest Management Unit (FMU) “Catur Giri Manunggal” bekerjasama dengan LSM Persepsi kepada Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Manfaat dari sertifikasi hutan antara lain dapat mempengaruhi harga jual kayu di tingkat Nasional maupun Internasional. Harga kayu yang sudah tersertifikasi lebih tinggi dibandingkan kayu yang tidak tersertifikasi. Kayu yang telah memiliki sertifikat diakui oleh dunia bahwa kayu tersebut berasal dari hutan yang pengelolaannya sudah ramah lingkungan, artinya kayu tersebut didapat bukan dengan penebangan liar, tetapi dengan memperhatikan keberlanjutan dari ekosistem hutan tersebut. Namun hasil dari wawancara dengan salah satu key person dari PPHR, harga standar kayu sertifikasi masih belum terasa langsung oleh masyarakat yang menjual hasil kayunya dikarenakan banyak masyarakat yang menjual kayu dengan spesifikasi volume atau umur dibawah
39
standar sertifikasi, sehingga harga yang mereka dapat tidak setinggi kayu sertifikasi yang seharusnya. Pengelolaan HR Giriwoyo diawasi langsung oleh PPHR. PPHR merupakan organisasi tingkat Kecamatan yang mewadahi masyarakat pemilik hutan rakyat untuk berinteraksi. Untuk mendukukung PPHR, terdapat organisasi yang cakupannya lebih sempit, yaitu Gabungan Pelestari Hutan Rakyat (GPHR) di tingkat Desa. Setiap Desa yang merupakan cakupan HR Giriwoyo memiliki GPHR masing-masing. Selanjutnya, dibawah GPHR terdapat Kumpulan Pelestari Hutan Rakyat (KPHR). KPHR merupakan organisasi, atau wadah berinteraksi bagi masyarakat pemilik hutan rakyat di tingkat dusun di sebuah Desa. KPHR merupakan organisasi dibawah PPHR dan GPHR, dimana ketiga elemen ini saling berkoordinasi
dalam
melakukan
berbagai
kegiatan
guna
mendukung
pengembangan HR Giriwoyo.
PPHR GPHR KPHR Gambar 9
Tingkatan organisasi pengelola hutan rakyat
Hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu dimanfaatkan untuk dijual ke pasar umum, dijual ke tetangga serta untuk kebutuhan sendiri. Penjualan ke pasar umum sebagian besar dalam bentuk glondongan, bukan dalam bentuk olahan. Cabang dan ranting dimanfaatkan untuk kandang ternak serta untuk kayu bakar. Hutan Rakyat Giriwoyo merupakan salah satu dari sebagian kecil hutan di Indonesia yang sudah memiliki sertifikasi berdasarkan sistem LEI (Lembaga Ekolabeling Indonesia). Sistem LEI memandang pengelolaan HR harus memperhitungkan tiga aspek tertentu, yaitu Aspek Produksi, Sosial dan Ekologi.
40
6.1.1 Kepemilikan, Penebangan dan Prasarana Hutan Kepemilikan lahan HR di Giriwoyo jelas dan berkekuatan hukum, hal ini dibuktikan dengan adanya surat bukti kepemilikan berupa Surat Hak Milik (SHM) dan Letter-C. Sebanyak kurang lebih 70% masyarakat memiliki SHM sebagai bukti sah kepemilikan lahannya, sedangkan sisanya memiliki status Letter-C. Letter-C merupakan surat kepemilikan lahan berdasarkan pengakuan dari pemerintah desa setempat. Batas-batas antar lahan telah diketahui dengan jelas dan sudah disepakati oleh masing-masing pemilik, biasanya masyarakat menggunakan batas buatan seperti jalan pembatas dan susunan batu untuk memisahkan lahan satu dengan lahan lainnya. Untuk menjaga agar batas antar lahan tetap jelas, kadang dilakukan perawatan terhadap batas wilayah tersebut oleh kedua belah pihak. Kegiatan pengelolaan hutan tetap menjadi tanggung jawab masing-masing pemilik, oleh karena itu kualitas hutan sangat dipengaruhi oleh keseriusan dan kemampuan pemilik lahan dalam menjaga dan mengelola hutan tersebut. Pada umumnya kegiatan pemeliharaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah dengan melakukan penjarangan, memotong cabang atau ranting tanaman, menegakkan tanaman yang miring untuk tanaman yang masih kecil, dan hanya sebagian kecil dari pemilik lahan memberi pupuk pada tanamannya. Penebangan pohon atau pemanenan dilakukan dengan istilah tebang butuh. Umumnya masyarakat menebang pohon ketika mereka butuh biaya untuk pendidikan, biaya pengobatan, membuat rumah, untuk pesta, dan kebutuhan lain yang membutuhkan dana cukup besar. Dasar pertimbangan penebangan antara lain; 1. Besarnya pohon sesuai dengan kebutuhan uang yang diperlukan. 2. Pohon yang bernilai uang lebih dari yang dibutuhkan akan dibiarkan. 3. Posisi pohon yang dipilih adalah yang tidak menyebabkan longsor dan paling mudah dijangkau transportasi. 4. Jenis pohon yang ditebang utamanya Jati tetapi apabila kebutuhan dapat dicukupi dengan menebang pohon non-Jati, maka Jati tidak ditebang. 5. Pohon yang ditebang terlalu rapat.
41
Proses penebangan dilakukan dengan cara pemilik lahan sebelumnya sudah sepakat untuk melakukan transaksi. Pihak pembeli akan datang ke lokasi penebangan dengan membawa tenaga kerja untuk menebang dan alat/chainsaw. Tenaga dan alat serta sarana yang digunakan dalam proses penebangan semua ditanggung oleh pembeli. Keamanan tebang ditanggung oleh pembeli juga, misalkan apabila saat penebangan pohon yang ditebang menimpa pohon lain sampai rusak, maka pembeli wajib mengganti pohon yang rusak juga. Perencanaan tebang yang terpola untuk tujuan produksi masih belum dilakukan di HR Giriwoyo, karena selama ini penebangan hanya berdasarkan kebutuhan seperti untuk membangun rumah, biaya sekolah, pesta atau biaya berobat. Akses jalan desa ke hutan terlihat sudah cukup baik, sudah dilakukan pengecoran. Akses jalan ini berguna selain untuk prasarana transportasi umum yang menghubungkan antar dusun dan antar desa, juga berguna sebagai batas antar lahan. Kondisi jalan yang baik memudahkan kendaraan untuk mengakses dan mengangkut hasil hutan yang akan ditebang.
6.1.2
Kualitas SDM Pengetahuan budidaya kayu baik praktek dan teori mulai dari pembibitan
sampai pemanenan pada umumnya sudah dipahami oleh pengelola karena telah diwarisi secara turun temurun. Kebanyakan pengetahuan yang mereka dapat secara turun temurun merupakan metode tradisional, misalnya untuk pemupukan dilakukan dengan cara menimbun seresah di sekitar batang pohon atau mematikan hama dengan cara manual. Lalu mengenai jarak tanam, para pengelola masih berpikir bahwa kayu merupakan investasi mereka untuk jangka panjang, maka harus ditanam sebanyak mungkin, karena itu hutan di HR Giriwoyo cenderung padat dengan rata-rata jarak tanam 1 x 1 meter. Jarak tanam yang terlalu rapat disebabkan pula karena tidak dilakukannya penjarangan oleh petani. Penjarangan tidak dilakukan karena berbagai alasan; pertama, butuh biaya untuk melakukan penjarangan, kedua, sayang ditebang karena lama untuk menumbuhkannya. Dengan jarak tanam yang terlalu dekat akan mengakibatkan pertumbuhan kayu tidak terlalu optimal.
42
Untuk transaksi penjualan kayu, harga yang diterima oleh pengelola masih dirasa kurang adil dan sering dimanipulasi oleh pembeli karena pengetahuan pengelola tentang taksiran kualitas kayu, volume, dan informasi harga kayu yang ditebang masih minim. Posisi tawar yang sangat rendah dari pengelola karena menjual kayu dalam keadaan terdesak karena kebutuhan turut pula menjadi alasan mengapa harga yang didapat oleh pengelola tidak sesuai.
6.1.3
Tata Kelola dan Manfaat Hutan Pada dasarnya aturan kelola hutan yang ada dari pembibitan, penanaman,
pemeliharaan sampai pemanenan merupakan tata kelola yang berkembang di masyarakat secara turun temurun dan merupakan suatu kesepakatan yang tidak tertulis, misalnya membuat terassering dari tatanan batu untuk menahan tanah sebagai media tanam, menanam tanaman kayu di lahan kritis, melakukan penjarangan, memberi pagar bambu pada tanaman baru untuk menghindari gangguan hewan, mengumpulkan seresah di bawah tegakan pohon sebagai pupuk alami, tidak menebang tanaman di sekitar lokasi mata air, dan lainnya . Dewasa ini, untuk menguatkan tata kelola dan aturan pengelolaan HR Giriwoyo, maka dibuatkan peraturan sah dari tingkat KPHR sampai PPHR. Peraturan yang dirumuskan KPHR sampai PPHR yang mengatur tata kelola HR agar tetap lestari kemudian disahkan oleh Kepala Desa setempat dan kemudian dijadikan sebuah Perdes (peraturan desa). Beberapa aturan dari PPHR yang kemudian di-perdeskan antara lain kesepakatan menanam minimal lima pohon tiap menebang satu pohon, hanya menebang kayu yang memenuhi syarat pertumbuhan (diameter > 60 cm), dan sebagainya, namun aturan-aturan ini tidak sepenuhnya dipatuhi oleh petani karena alasan-alasan tertentu. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, pengelolaan HR Giriwoyo dibawahi langsung oleh PPHR. Anggota PPHR yang diberi nama Catur Giri Manunggal adalah semua kepala keluarga (KK) yang ada di wilayah tiga desa (Sejati, Tirtosuworo, Guwotirto) dan satu kelurahan (Girikikis). Fungsi dari PPHR adalah sebagai forum perkumpulan dari empat GPHR yang ada di tiga desa dan satu kelurahan dalam pengelolaan hutan rakyat. PPHR sampai KPHR sudah memiliki struktur organisasi yang jelas. Anggota dan pengurus sudah memiliki
43
tugas dan tanggung jawab masing-masing yang jelas. Struktur kepengurusan, pembagian tugas, tanggung jawab, hak, dan kewajiban tersebut dirumuskan dalam musyawarah dan kemudian dituliskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Pada awalnya pembentukannya, PPHR melaksanakan beberapa kegiatan yang rutin dilaksanakan, seperti pertemuan rutin tiap bulannya dari tingkat KPHR sampai GPHR, arisan di tingkat KPHR, dan sebagainya. Belakangan ini PPHR hanya melaksanakan pertemuan yang bersifat insidental. Pada tingkat PPHR agenda pertemuan yang dibahas lebih bersifat pembahasan-pembahasan masalah atau kemajuan dari program pengelolaan yang sedang berjalan, sedangkan kegiatan pelaksanaan pengelolaan hutan lebih banyak dilakukan di tingkat KPHR dan GPHR. Secara umum anggota kelompok merupakan pemilik sekaligus pengelola lahan. Ada beberapa pengelola yang belum memiliki lahan secara sah karena masih ikut pada orang tua. Ada juga beberapa anggota yang merupakan warga dari desa lain diluar empat desa yang tergabung dalam PPHR, hal ini karena orang tersebut membeli lahan hutan yang lokasinya berada di area PPHR. Batas masing-masing lahan kepemilikan sudah ditandai dengan jelas. Menurut wawancara yang dilakukan dengan warga pemilik lahan, sejauh ini belum pernah terjadi konflik atau sengketa yang berhubungan dengan kepemilikan lahan. Untuk menanggulangi terjadinya konflik, PPHR sudah menyediakan beberapa tindakan penyelesaian jika nantinya terjadi konflik, yaitu melalu institusi lokal dari tingkat RT, dusun, bahkan sampai tingkat desa. Berdasarkan informasi dari masyarakat dan hasil pengamatan langsung di lapangan, ada beberapa perubahan kondisi lingkungan akibat adanya HR ini, antara lain: 1. munculnya mata air baru dan mata air lama tidak pernah kering bahkan bertambah, hanya pada musim kemarau debit air berkurang 2. udara menjadi lebih sejuk 3. munculnya beberapa jenis satwa seperti kera, celeng, burung, landak, musang, ular, trenggiling, dan tupai.
44
6.2 Manfaat Ekonomi Kawasan Hutan Rakyat 6.2.1
Manfaat Langsung Hutan Rakyat (Direct Use) Manfaat langsung yang dirasakan masyarakat sekitar kawasan HR
Giriwoyo ini adalah hasil kayu log. Masyarakat pemilik lahan hutan bisa langsung menjual kayu log kepada pembeli dengan harga yang sudah disepakati. Penebangan kayu log pada HR Giriwoyo belum terjadwal dengan baik, banyak masyarakat yang menjual kayu log karena tebang butuh. Potensi kayu sebagai manfaat langsung HR Giriwoyo dibagi menjadi tiga komoditi, yaitu Kayu Jati, Mahoni, dan Akasia. Berdasarkan data hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) bekerjasama dengan PERSEPSI, terlihat potensi kayu HR Giriwoyo seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Data Inventarisasi tegakan tahun 2007 No 1 2 3
Uraian Luas Wilayah (Ha) Luas Hutan Efektif (Ha) Total Potensi Kayu (m3) Jati Mahoni Akasia Trembesi 4 Volume Tebang Lestari (m3/th) Jati Mahoni Akasia Trembesi 5 Populasi Tanaman (tegakan/ha) Jati Mahoni Akasia Trembesi Sumber: PPHR (2007)
Jumlah 3.010,86 2.434,24 85.078.21 61.021.33 11.941.52 9.133.71 2.982,18 1.525.35 1.005.98 340.18 157.12 22 459 324 83 48 4
Usia tegakan yang dominan di HR Giriwoyo berkisar pada rentang 1-10 tahun, komposisi persentase kelas umur dari total volume tegakan yang telah terinvent oleh PPHR dan PERSEPSI dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Data potensi kayu berdasarkan kelas umur tahun 2007 Kelas Umur (tahun) Jati (%) 1 – 10 60,77 11 – 20 28,87 21 – 30 5,99 >30 4,37 Total 100 Sumber: PPHR (2007)
Mahoni (%) 62,48 25,5 7,98 4,05 100
Akasia (%) 59,98 28,68 10,79 1,55 100
Trembesi (%) 34,54 27,86 21,73 15,88 100
45
1. Nilai Ekonomi Kayu Jati Tabel 9 menggambarkan total volume tegakan untuk HR Giriwoyo. Total volume kayu jati di kawasan HR Giriwoyo adalah sebesar 61.020,94 m3. Pohon jati di kawasan HR Giriwoyo paling banyak berumur sekitar 1-10 tahun, dengan asumsi rata rata umur pohon jati di HR adalah 10 tahun, berdasarkan hasil survei dengan petani HR di sekitar lokasi penelitian, pohon jati berumur sepuluh tahun rata-rata memiliki diameter, atau garis tengah batang sebesar 10-13 centimeter. Harga yang berlaku di lokasi penelitian untuk pohon jati yang memiliki diameter 10-13 cm adalah sebesar Rp.900.000/m3 (PPHR 2013), dengan etat volume tebang lestari per tahun sebesar 1005,98 m3/tahun, maka dapat dihitung bahwa nilai ekonomi dari kayu jati adalah: NKLjati = HKLjati x Ejati NKLjati = Rp.900.000/m3 x 1005,98 m3/tahun NKLjati = Rp.905.382.000/tahun Dimana: NKLjati : Nilai Kayu Log jenis jati (Rp/tahun) HKLjati : Harga kayu log jenis jati (Rp/m3) Ejati : Etat volume tebang lestari per tahun jenis jati (m3/tahun)
2. Nilai Ekonomi Kayu Mahoni Pada tabel 9 terlihat bahwa potensi total dari kayu mahoni di kawasan HR Giriwoyo adalah sebesar 10.927,47 m3. Untuk kelas umur, penyebaran umur tumbuhan akasia di kawasaan HR Giriwoyo sebagian besar berkisar antara 1-10 tahun (62,48% dari jumlah total volum mahoni di HR Giriwoyo). Dengan asumsi rata-rata umur pohon mahoni di HR Giriwoyo adalah sepuluh tahun, diameter batang pohon mahoni berumur sepuluh tahun berkisar pada 10-13 centimeter dengan harga Rp.700.000/m3 (PPHR 2013). Etat volume tebang lestari pohon mahoni berdasarkan data PPHR adalah sebesar 340,19 m3/tahun, maka dapat dihitung bahwa nilai ekonomi dari kayu mahoni adalah: NKLmahoni = HKLmahoni x Emahoni NKLmahoni = Rp.700.000/m3 x 340,19 m3/tahun NKLmahoni = Rp.238.133.000/tahun Dimana: NKLmahoni = Nilai Kayu Log jenis mahoni (Rp/tahun) HKLmahoni = Harga kayu log jenis mahoni (Rp/m3) Emahoni = Etat volume tebang lestari per tahun jenis mahoni (m3/tahun)
46
3. Nilai Ekonomi Kayu Akasia Potensi total volume pohon akasia di kawasan HR Giriwoyo adalah sebesar 9133,71 m3 dan sebagian besar tumbuhan akasia berada pada kelas umur 1-10 tahun yaitu sebanyak 59,98% dari total tumbuhan akasia yang ada di kawasan HR Giriwoyo. Riap dari tumbuhan jati, mahoni dan akasia tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara 0,90 – 1,01 cm/pohon/tahun, maka diameter pohon akasia berumur sepuluh tahun berkisar antara 9 - 10 centimeter. Harga kayu akasia yang berlaku di lokasi penelitian untuk diameter 9-10 centimeter adalah sebesar Rp.800.000/m3. Etat tebang lestari pohon akasia di HR Giriwoyo adalah 151,12 m3/tahun, maka dapat dihitung bahwa nilai ekonomi dari kayu akasia adalah: NKLakasia = HKLakasia x PKLakasia NKLakasia = Rp.800.000/m3 x 151,12 m3/tahun NKLakasia = Rp.120.896.000/tahun Dimana: NKLakasia = Nilai Kayu Log jenis akasia (Rp/tahun) HKLakasia = Harga kayu log jenis akasia (Rp/m3) Eakasia = Etat volume tebang lestari per tahun jenis akasia (m3/tahun)
4. Nilai Ekonomi Total Kayu Log Berdasarkan perhitungan nilai ekonomi kayu masing-masing dari kayu jati, kayu mahoni, dan kayu akasia, maka dapat kita hitung potensi kayu total yang terdapat pada kawasan HR Giriwoyo adalah: NKLtotal = NKLjati + NKLmahoni + NKLakasia NKLtotal = Rp.905.382.000 + Rp.238.133.000 + Rp.120.896.000 NKLtotal = Rp. 1.264.411.000/tahun Nilai
kayu
log
tersebut
sudah
diperhitungkan
kelestariannya,
karena
menggunakan data etat volume lestari, sehingga manfaat lain dari HR Giriwoyo tetap dapat diperhitungkan.
5. Nilai Ekonomi Kayu Bakar Pertumbuhan HR Giriwoyo memberikan maanfaat langsung yang lain selain kayu log. Batang atau dahan/ranting dari pohon yang kering dapat dijadikan kayu bakar yang tentu saja memiliki nilai ekonomi. Belum ada yang meneliti potensi kayu bakar HR Giriwoyo secara langsung, namun kita dapat menghitung potensi kayu bakar secara ekonomi dengan menggunakan pendekatan sebagai
47
berikut; harga kayu bakar yang dijual di sekitar lokasi penelitian adalah Rp.15.000/2 ikat. Dua ikat kayu bakar rata-rata dapat digunakan memasak selama tujuh hari (satu minggu) dalam satu keluarga, berarti kebutuhan kayu bakar dalam satu tahun adalah 96 ikat. Asumsikan masyarakat yang menggunakan kayu bakar adalah keluarga pra sejahtera di Kecamatan Giriwoyo. Menurut data dari buku Wonogiri Dalam Angka (2012) total masyarakat pra sejahtera di Kecamatan Giriwoyo adalah sebanyak 2.443 kepala keluarga , maka potensi ekonomi kayu bakar HR Giriwoyo adalah sebesar: NKB = Jkb x Pkb x KPS NKB = 96 ikat/tahun x Rp.7.500/ikat x 2.443 NKB = Rp. 1.758.960.000/tahun Dimana: NKB = Nilai Kayu Bakar (Rp/tahun) Jkb = Jumlah kayu bakar yang digunakan (ikat/tahun) KPS = Jumlah keluarga pra sejahtera di Kecamatan Giriwoyo
6. Nilai Ekonomi Empon-empon Selain menanam pohon untuk dimanfaatkan kayunya, petani HR Giriwoyo juga menanam tanaman bawah yang ditanam secara tumpangsari. Istilah tanaman bawah dalam bahasa lokal adalah empon-empon. Empon-empon ditanam sebagai alternatif pendapatan bagi petani. Waktu panen yang jauh lebih cepat dibanding panen kayu diharapkan dapat menjadi pendapatan tambahan bagi para petani hutan rakyat. Berdasatkan survey lapangan, jenis empon-empon yang dominan ditanam oleh petani HR di Kecamatan Giriwoyo ini adalah kunyit. Pendekatan benefit transfer digunakan untuk menghitung nilai potensi kunyit di HR Giriwoyo. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pranoto (2009), tingkat produktivitas kunyit di hutan rakyat Desa Selopuro, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri adalah sebesar 305 kg/ha/tahun. Hasil penelitian tersebut dapat digunakan melihat lokasi HR yang berdekatan dan karakteristik masyarakatnya hampir sama. Harga per kilogram kunyit yang berlaku di lokasi penelitian saat peneliti melakukan survey adalah sebesar Rp.2.500/kg, maka potensi emponempon HR Giriwoyo adalah: NE NE NE
= PE x HE x LA = 305 kg/ha/tahun x Rp.2.500/kg x 2328 ha = Rp.1.775.100.000/tahun
48
Dimana : NE PE HE LA
6.2.2
= Nilai Empon-empon/kunyit (Rp/tahun) = Potensi Empon-empon (kg/ha/tahun) = Harga Empon-empon (Rp/kg) = Luas areal HR (ha)
Manfaat Tidak Langsung Hutan Rakyat (Indirect Use)
1. Nilai Penyerap Karbon Suatu hutan memiliki fungsi penyerap karbon, hal ini disebabkan karena tumbuhan yang berada pada hutan tersebut secara alamiah melakukan fotosintesis untuk menghasilkan makanan bagi tumbuhan itu sendiri. Proses fotosintesis ini secara tidak langsung berguna bagi manusia karena dapat menyerap gas karbon yang merugikan bagi manusia. Kemampuan hutan untuk menyerap karbon tergantung pada besarnya volume biomassa pada hutan tersebut. Untuk menghitung nilai penyerap karbon pada HR Giriwoyo, maka digunakan metode benefit transfer. Menurut Mugiono (2009) perkiraan kandungan karbon dari kayu HR di Jawa-Madura adalah sebesar 40.724.689,34 ton, atau 15,75 ton/ha. Total luas areal HR Giriwoyo adalah seluas 2328 Ha (Wonogiri dalam angka 2012), dan harga karbon di pasar Internasional rata-rata US$12/ton (Thoha 2013) dengan nilai kurs US$1 bernilai Rp. 9.800 (per April 2013). Dengan data-data tersebut, maka nilai penyerap karbon HR Giriwoyo adalah sebesar: NPK = CO x PC x LA NPK = 15,75 ton/ha x Rp. 117.600/ton x 2328 ha NPK = Rp. 4.311.921.600/tahun Dimana: NPK = Nilai Penyerap Karbon (Rp/tahun) CO = Kandungan karbon dalam kayu (ton/ha) PC = Harga karbon (Rp/ton) LA = Luas areal HR (ha)
2. Nilai Ekonomi Mata Air Hutan secara alami memiliki manfaat fungsi hidrologis, dimana hutan melalui akar pepohonannya dapat mengatur aliran air tanah. Fungsi hidrologis dari hutan menghasilkan beberapa mata air yang berada di beberapa daerah di sekitar HR Giriwoyo. Keberlanjutan mata air ini sangat dipengaruhi oleh kelestarian HR Giriwoyo, berdasarkan data yang didapat dari masing masing desa
49
Sejati, Tirtosuworo, Girikikis dan Guwotirto, total ada 32 mata air yang tersebar di empat desa tersebut. 32 mata air tersebut kondisinya masih cukup baik bahkan pada musim kemarau sekalipun. Menurut penduduk, memang terjadi penurunan kualitas maupun kuantitas air pada saat musim kemarau, namun itu tidak terlalu signifikan. Total pengguna dari 32 mata air tersebut adalah sebanyak 3.725 kepala keluarga (KK), data penggunaan mata air di Kecamatan Giriwoyo dapat dilihat pada Tabel 11 Tabel 11. Data jumlah penggunaan mata air tahun 2007 No 1
Desa Guwotirto
2
Girikikis
3
Sejati
4
Tirtosuworo
Total Sumber: PPHR (2007)
Dusun Ngladon Karangduwet Klumpit Sidorejo Baksari Sidorojo Tameng Tameng Bamban Bamban Glonggong Tail Jamberwangi Sejati Tukluk Tukluk Turi Gn. Wiyu Tulakan Glagahan Darmosito Simpar Simpar Ngampel Ngampel Klego Klego Klego Klego Tangkluk Banyuripan Gebang
Nama Mata Air Sumbertirto Sumberkali timbo Sumber Klumpit Sumber Agung Pancuran Brangkal Lemah Mendak Kali Mbatu Kali Bamban Kathekan Sumber Glongong Sumber Tail Sumber Pancuran Sumber Kakap Kali Tukluk Ngobalan Kali Tawang Clerang Waru Kali Ringin Sumber Darmosito Mekarsari Sido Mulyo Karang Pulut Puring Sumberejo Ngobalan Klego Winong Kali Andhong Banyuripan Gebang
Pengguna 700 74 83 64 34 26 328 60 105 55 69 60 100 230 470 300 60 76 30 25 76 55 55 43 112 129 32 52 52 66 72 32 3.725
Menurut PDAM (2013) rata-rata penggunaan air per kepala keluarga adalah sebanyak 30m3/bulan, dengan mengasumsikan seluruh rumah masyarakat Giriwoyo tergolong dalam kategori Rumah Tangga 1 (Rumah sederhana), maka menurut daftar tarif yang dikeluarkan oleh PDAM Kabupaten Wonogiri, jumlah
50
harga yang harus dibayar per KK dengan konsumsi 30m3/bulan adalah sebesar Rp.3.800/m3. Berdasarkan tarif itu, maka kita bisa mendapatkan nilai ekonomi mata air HR Giriwoyo adalah sebesar: NMA NMA NMA Dimana: NMA nKK USE Pair
= nKK x USE x Pair = 3.725 x 360 m3/tahun x Rp.3.800/m3 = Rp.5.095.800.000/tahun = Nilai Ekonomi Mata Air (Rp/tahun) = jumlah rumah tangga yang memanfaatkan mata air = rata-rata penggunaan air per rumah tangga (m3/tahun) = harga air yang berlaku di PDAM Kab. Wonogiri (Rp/m3)
6.2.3 Nilai Pilihan Hutan Rakyat (Option Value) Nilai Pilihan Hutan Rakyat Kecamatan Giriwoyo diestimasi dengan menggunakan metode benefit transfer. Metode tersebut dapat dilakukan dengan cara menghitung besarnya nilai keanekaragaman hayati HR Giriwoyo. Menurut Ministry of State for Population and Environment (1993) dalam Pranoto (2009), nilai manfaat keanekaragaman hayati untuk hutan sekunder adalah sebesar US $32,5/ha/tahun apabila keberadaan hutan tersebut penting secara ekologis dan terpelihara. Nilai tersebut dapat digunakan karena Pranoto (2009) menggunakan nilai tersebut untuk menghitung nilai keanekaraman hayati HR di Desa Selopuro, Wonogiri yang memiliki karakteristik HR mirip dengan HR Giriwoyo. Nilai tersebut merupakan nilai pada tahun 1993, dengan asumsi inflasi sebesar 5,57%, maka nilai manfaat keanekaragaman hayati saat ini adalah sebesar US $96,1/ha/tahun. Nilai manfaat keanekaragaman hayati HR Giriwoyo didapat dengan mengalikan nilai diatas dengan luas areal keseluruhan HR Giriwoyo, yaitu sebesar 2328 Ha. Dengan nilai tukar US $1 = Rp.9.800 (April 2013), maka didapat
nilai
keanekaragaman
hayati
HR
Giriwoyo
adalah
sebesar
Rp.2.192.463.840/tahun.
6.2.4
Nilai Warisan Hutan Rakyat (Bequest Value) Nilai Warisan HR Giriwoyo diestimasi dengan menggunakan pendekatan
analisis Willingness To Pay (WTP), yaitu seberapa besar uang yang ingin dibayarkan masyarakat untuk tetap menjaga dan melestarikan jasa lingkungan HR Giriwoyo agar tetap lestari untuk anak cucu mereka. Pendekatan WTP ini
51
dilakukan dengan mewawancarai 67 responden yang tinggal di sekitar HR dimana mereka diminta pendapatnya tentang kesediaan untuk melakukan pembayaran guna menjaga fungsi lingkungan HR Giriwoyo agar tetap lestari. Langkahlangkah yang dilakukan untuk mendapatkan nilai warisan HR Giriwoyo adalah sebagai berikut
1. Membuat Pasar Hipotetik Pasar hipotetik dibentuk atas dasar menurunya kualitas lingkungan kawasan hutan Giriwoyo yang memiliki jasa lingkungan sebagai penyedia udara bersih dan penyerap gas-gas polutan. Selanjutnya pasar hipotetik yang ditawarkan dibentuk dalam skenario sebagai berikut: Skenario: “Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan rakyat Giriwoyo ini ingin tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya upaya pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan akan menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Bapak/Ibu bersedia membayar sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik sehingga dapat diwariskan kepada anak cucu Ibu/Bapak?”
2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP Berdasarkan hasil wawancara, dari 67 responden yang diwawancarai yang merupakan petani HR dan bukan petani, terdapat 20 responden yang tidak bersedia membayar, 14 orang dari mereka beralasan bahwa mereka tidak bersedia membayar karena itu merupakan tanggung jawab petani HR, sedangkan enam orang sisanya beralasan mereka tidak mempunyai pendapatan lebih untuk membayar. Sebanyak 47 responden setuju untuk membayar karena sebagian besar dari mereka sudah sadar akan pentingnya fungsi hutan, sehingga ingin menjaga agar manfaat tersebut dapat dirasakan terus menerus oleh generasi mendatang. Distribusi nilai WTP masyarakat dapat dilihat pada Tabel 12.
52
Tabel 12. Sebaran Nilai WTP Warisan HR Giriwoyo No 1 2 3 4 5 6 7 Total
WTP (Rp/bulan) 3.000 5.000 7.500 10.000 15.000 20.000 30.000
Jumlah 11 19 1 8 3 3 2 47
Frekuensi Relatif 0.23 0.41 0.02 0.17 0.06 0.06 0.05 1.00
Nilai WTP (Rp/bulan) 33.000 95.000 7.500 80.000 45.000 60.000 60.000 380.500
3. Memperkirakan Nilai Rata-rata WTP WTP masyarakat untuk melestarikan HR cukup bervariasi, mulai dari Rp.3000 sampai Rp.30.000 per bulan. Berdasarkan hasil perhitungan data WTP masyarakat, didapat bahwa total nilai WTP yang dikeluarkan responden adalah sebesar 380.500 per bulan dengan rata-rata WTP masyarakat adalah sebesar Rp.8.100/bulan atau Rp.92.700/tahun. Nilai ini terbilang cukup kecil dikarenakan sebagian besar penduduk Giriwoyo memiiki pendapatan yang relatif rendah.
4. Menjumlahkan Data Nilai warisan didapat dengan mengalikan nilai WTP per tahun dengan jumlah populasi Kabupaten Wonogiri, yaitu sebanyak 13.200 KK (Wonogiri dalam angka 2012), maka Nilai Warisan dari HR Giriwoyo adalah sebesar Rp.1.223.640.000/tahun.
5. Menduga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTP dan menganalisis penggunaan metode WTP untuk Nilai Warisan HR Giriwoyo, dilakukan analisis regresi berganda. Variabel yang mempengaruhi WTP masyarakat untuk Nilai Warisan yang ditetapkan adalah usia, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, pekerjaan, kepemilikan lahan, pendapatan, jarak ke lahan hutan, dan persepsi responden terhadap kondisi kualitas lingkungan saat ini. Hasil dari wawancara dengan 67 responden kemudian di input kedalam software SPSS 16 dengan memberikan kode (skala likert) untuk variabel-variabel tertentu untuk kemudian dilakukan analisis regresi linier berganda. Hasil regresi WTP Nilai Warisan HR Giriwoyo dapat dilihat pada Tabel 13.
53
Tabel 13. Hasil Regresi Nilai WTP Warisan HR Giriwoyo Variabel Constant Usia (AGE) Tanggungan (TGN) Pendidikan (PDI) Pegawai Negeri (PNS) Wirausaha (WRA) Swasta (SWA) Ibu Rumah Tangga (IRT) Buruh (BRH) Kepemilikan Lahan (LHN) Pendapatan (TR) Jarak (JRK) Kualitas Jasling (KLS)
Koefisien -5879,353 109,629 -160,313 339,913 7772,400 -2801,544 1639,066 4979,461 374,472 5307,284 3141,085 -1091,194 -1905,090
T -0,719 1,-59 0,249 0,979 1,143 -0,919 0,4 1,807 0,154 1.767 3,830 -0.68 -1,286
Sig 0,477 0,297 0,805 0,335 0,261 0,365 0,692 0,080** 0,879 0,086** 0,001* 0,501
VIF 2,862 1,147 1,932 1,843 1,387 1,310 2,253 1,443 4,226 1,422 4,812 1,576
Korelasi Tidak nyata Tidak nyata Tidak nyata Tidak nyata Tidak nyata Tidak nyata Nyata Tidak nyata Nyata Nyata Tidak nyata Tidak nyata
0.207 R square R adjusted Durbin-Watson F-stat Sumber: Data Primer (2013) *pada taraf nyata 5% ** pada taraf nyata 10%
0,001
0,588 0,443 2,061 4,044
Berdasarkan tabel diatas, model yang dihasilkan pada penelitian ini cukup baik. Nilai R2 sebesar 0,588 (58,8%) menunjukan bahwa 58,8% keragaman WTP responden dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang terdapat didalam model, sedangkan 41,2% diterangkan oleh variabel-variabel lain diluar model. Selanjutnya untuk melihat baik atau buruknya model, dilakukan beberapa pengujian terhadap model, yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas. Uji Normalitas digunakan untuk menguji apakah data yang didapat untuk WTP Nilai Warisan HR Giriwoyo ini menyebar normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, dan didapat bahwa nilai P-value sebesar 0,424, jika P-Value (0,424) > taraf nyata (α = 10%) artinya data menyebar normal pada taraf nyata 10%. Uji Multikolinearitas dilihat dari nilai VIF tiap variabel, jika nilai VIF semua variabel kurang dari sepuluh, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas dalam model tersebut, atau variabel penjelas dalam model tersebut tidak terlalu berkorelasi satu sama lain (Lind et al, 2008). Uji Autokorelasi dilihat menggunakan nilai Durbin-Watson (DW) yang dihasilkan dalam pengolahan data. Nilai DW yang didapat dari model ini adalah sebesar 2,061, jika nilai DW suatu model berada diantara 1,55 sampai
54
2,46, artinya tidak terjadi autokorelasi dalam model tersebut (Firdaus, 2004). Model yang dihasilkan dalam analisis regresi nilai WTP Warisan HR Giriwoyo, yaitu : WTPw = -5879,353 + 109,63 AGE - 160,31 TGN + 339,913 PDI + 7772,4 PNS - 2801,544 WRA + 1639,066 SWA + 4979,461 IRT + 374,472 BRH + 5307,284 LHN + 3141,085 TR - 1091,194 JRK - 1905,090 KLS Variabel penjelas yang berpengaruh nyata pada model diatas adalah pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, kepemilikan lahan dan pendapatan keluarga. Beberapa variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP masyarakat ketika diuji menggunakan analisis linier berganda adalah usia, jumlah tanggungan, pekerjaan sebagai PNS, wirausaha, swasta, buruh, karak ke lokasi lahan hutan, dan persepsi masyarakan terhadap jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan.
6.2.5 Nilai Ekonomi Total Hutan Rakyat Giriwoyo Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan penjumlahan total dari semua kuantifikasi nilai ekonomi dari setiap manfaat HR Giriwoyo. Semua hasil kuantifikasi manfaat ekonomi dari HR Giriwoyo dapat dilihat pada Tabel 14 Tabel 14. Nilai Ekonomi Total HR Giriwoyo No
Jenis Manfaat
Nilai Guna Langsung Nilai Kayu Jati Nilai Kayu Mahoni Nilai Kayu Akasia Nilai Kayu Bakar Nilai Empon-empon 2 Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Penyerap Karbon Nilai Air 3 Nilai Keanekaragaman Hayati 4 Nilai Warisan Nilai Ekonomi Total
Nilai Ekonomi (Rp/tahun)
1
905.382.000 238.133.000 120.896.000 1.758.960.000 1.775.100.000 4.311.921.600 5.095.800.000 2.192.463.840 1.223.640.000 17.622.296.440
Tabel diatas menunjukan bahwa hutan memiliki manfaat lain selain kayu yang apabila ditaksir secara ekonomi memiliki nilai yang sangat tinggi, bahkan nilainya berlipat ganda dibandingkan dengan nilai jual kayu. Nilai guna langsung yang dapat dihitung adalah sebesar Rp.4.798.471.000/tahun yang didapat dari
55
menjumlahkan antara nilai kayu log, nilai kayu bakar, dan nilai empon-empon. Nilai guna tidak langsung sebesar dan nilai pilihan berturut turut adalah sebesar Rp.9.407.721.600/tahun dan Rp.2.192.463.840/tahun, kemudian nilai warisan adalah sebesar Rp.1.223.640.000/tahun. Hasil perhitungan nilai guna tidak langsung merupakan yang terbesar dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya, hal ini menggambarkan, betapa berharganya suatu ekosistem hutan dengan segala manfaat yang terkandung didalamnya. Secara keseluruhan, maka Nilai Ekonomi Total dari HR Giriwoyo adalah sebesar Rp.17.622.296.440/tahun. Nilai Ekonomi ini setidaknya dapat memberikan gambaran riil kepada masyarakat mengenai potensi yang terkandung dalam HR Giriwoyo. Saat ini banyak pemuda di daerah Giriwoyo khususnya dan Wonogiri pada umumnya pergi merantau untuk mencari pekerjaan. Selama ini pemuda merantau karena merasa kebutuhannya tidak akan tercukupi jika hanya menetap di Desa. Perhitungan NET HR Giriwoyo ini, terutama nilai guna langsung dapat memberikan penjelasan besarnya nilai uang yang didapat dalam usaha penanaman hutan (hasil kayu log, kayu bakar dan empon-empon), sehingga harapannya dapat meningkatkan minat para pemuda di daerah Wonogiri untuk menanam hutan, setidaknya di lahan pekarangan. Kebutuhan kayu selama ini cukup baik, sehingga petani tidak akan kesulitan dalam menjual hasil hutannya, apabila masyarakat sadar akan potensi ini dan mengembangkannya, ini akan berdampak pada pertumbuhan masyarakat di daerah Wonogiri itu sendiri.
56
VII KELEMBAGAAN PPHR DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT GIRIWOYO
7.1 Struktur dan Infrastruktur Kelembagaan Infrastruktur Kelembagaan adalah seluruh kelembagaan dalam bentuk aturan main (rule of the game). Aturan main pada kelembagaan PPHR Catur Giri Manunggal ini diatur berdasarkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang mengatur fungsi, hak, dan kewajiban pengurus dan anggota kelompok PPHR AD/ART dibuat oleh anggota sendiri dalam forum musyawarah dan bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan HR Giriwoyo. Selain itu PPHR Catur Giri Manunggal memiliki aturan-aturan informal, aturan informal yang berupa hasil kesepakatan terkait dengan jadwal rapat, boundary rule, monitoring dan sanksi, serta aturan penyelesaian dalam menyelesaikan konflik. Struktur organisasi PPHR Catur Giri Manunggal dapat dilihat pada Gambar 10. MUSYAWARAH PPHR
KETUA
SEKRETARIS
SEKSI BUDIDAYA
SEKSI PENGEMBANGAN ORGANISASI
BENDAHARA
SEKSI USAHA
SEKSI HUMAS
SEKSI KEAMANAN
Sumber: PPHR (2007)
Gambar 10
Struktur organisasi PPHR Catur Giri Manunggal
Struktur organisasi PPHR Catur Giri Manunggal terdiri dari ketua yang membawahi sekretaris, bendahara, beserta sejumlah seksi. Masing-masing jabatan menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya Mereka menjalankan tugas dengan ikhlas karena tidak mendapatkan imbalan apapun dari kepengurusan ini. Adapun
57
tugas dan tanggung jawab dari tiap-tiap jabatan di PPHR Catur Giri Manunggal adalah sebagai berikut: 1. Ketua Ketua bertugas untuk memimpin rapat-rapat yang dilakukan oleh PPHR, mengkoodinasi kegiatan PPHR, mengambil keputusan dalam keadaan darurat, memberi pengarahan kepada anggota pengurus yang lain, dan bertindak atas nama PPHR dalam membangun hubungan dengan pihak lain. 2. Sekretaris Sekretaris bertanggung jawab terhadap urusan surat menyurat atau kearsipan, membuat notulensi setiap pertemuan yang diselenggarakan dan atau dihadiri PPHR, membuat data perkembangan PPHR, serta mewakili ketua apabila berhalangan untuk hadir. 3. Bendahara Bendahara bertanggung jawab terhadap keuangan yang ada di PPHR, membuat anggaran biaya PPHR, serta mengarsipkan bukti-bukti keuangan di PPHR. 4. Seksi Budidaya Seksi budaya bertugas memberikan pengarahan kepada petani dalam pembudidayaan hutan/lahan kosong untuk kelestarian hutan. Pengarahan yang dilakukan secara bertahap, dimulai dari pembibitan dan penanaman, perawatan, serta pemanenan hasil yang baik dan layak. 5. Seksi Usaha Seksi usaha bertugas untuk mencari pasar, menyalurkan hasil hutan untuk pemanfaatan baik
ke sektor industri,
pedagang, maupun untuk
pemukiman. 6. Seksi Pengembangan Organisasi Seksi pengembangan organisasi bertanggungjawab dalam koordinasi dan kerjasama antara PPHR, GPHR dan KPHR. Bertugas pula dalam melakukan peningkatan sumberdaya manusia dalam kepengurusan PPHR, GPHR, dan KPHR.
58
7. Seksi Humas Seksi humas bertugas untuk memberikan informasi baik dari dalam maupun keluar PPHR, mengatur hubungan antar organisasi pelestari hutan rakyat, serta menyusun aturan mengenai tata cara apabila ada kunjungan ke PPHR. 8. Seksi Keamanan Seksi keamanan bertanggung jawab atas keamanan dalam hubungan antar anggota PPHR sampai KPHR dan bertanggung jawab terhadap keutuhan hutan.
7.1.1
Aturan Informal Aturan informal adalah aturan yang tidak diatur langsung dalam AD/ART.
Aturan informal pada umumnya ditentukan berdasarkan kesepakatan para anggota suatu kelembagaan saja. Aturan informal biasanya berisi kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas komunikasi sehingga dapat mempererat kekeluargaan antar anggota dan pengurus PPHR. Aturan informal pada PPHR Catur Giri Manunggal diantaranya jadwal kumpul, jadwal pengajian, dan arisan. Kumpul atau rapat dilakukan ditingkat KPHR agar lebih efektif. Berikut adalah jadwal kumpul/rapat dari tiap-tiap GPHR;
1. GPHR Desa Sejati Untuk meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota, GPHR Desa Sejati memiliki agenda pertemuan rutin, jadwal pertemuan GPHR Desa Sejati dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR di Desa Sejati No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KPHR Sejati Juru Tengah Tangkluk Karangasem Saratan Tukluk Turi Gunung Wiyu Tulakan Glagahan
Sumber: Data PPHR (2007)
Waktu Malam minggu kliwon Malam jumat kliwon Malam minggu legi Tanggal 14 malam Insidental Malam minggu pahing Malam selasa pon Malam tanggal 3 Sesuai pertemuan RT Malam tanggal 19
Tempat Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Masing-masing RT Rumah kadus
Jam 20.00 20.00 20.00 20.00
Keaktifan Tidak aktif
Tidak aktif 20.00 20.00 20.00 20.00
Tidak aktif Tidak aktif
59
Data diatas merupakan jadwal pertemuan KPHR di Desa Sejati. Pertemuan umumnya dilakukan di rumah kadus (RW) pertemuan ini menjadi ajang silaturahmi antar anggota, selain itu sebagai wadah untuk bertukar informasi. Pertemuan tersebut pada awalnya terjadwal seperti yang dituliskan dan aktif ketika proses sertifikasi, dari sepuluh ada empat dusun yang tidak aktif dikarenakan ketua KPHR dari dusun tersebut biasanya memiliki kepentingan lain. Belakangan ini setelah proses sertifikasi selesai, pertemuan tidak dilakukan rutin seperti di jadwal, melainkan hanya bersifat insidental.
2. GPHR Desa Guwotirto Untuk meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota, GPHR Desa Guwotirto memiliki agenda pertemuan rutin, jadwal pertemuan GPHR Desa Guwotirto dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR di Desa Guwotirto No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KPHR Klumpit Lemahbang Karangduwet Gawang Grenjeng Sidorejo Baksari Ngladon Tambakrejo Ketro
Waktu Malam minggu legi Setiap tanggal 11 Setiap tanggal 27 Malam minggu legi Selasa kliwon Malam rabu legi Malam rabu legi Malam minggu pon Malam minggu legi Setiap tanggal 20
Tempat Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus Rumah Bu Sukini Rumah kadus Rumah kadus Rumah kadus
Jam 17.00 17.00 20.00 12.00 20.00 19.30 20.00 19.00 12.00
Keaktifan
Tidak aktif Tidak aktif Tidak aktif
Sumber: Data PPHR (2007)
Sama dengan GPHR Desa Sejati, jadwal diatas merupakan jadwal rutin untuk melakukan pertemuan ketika proses sertifikasi. Terdapat sepuluh dusun di Desa Guwotirto dan hanya tiga desa yang tidak aktif, disebabkan beberapa hal seperti, ketua KPHR yang berhalangan, atau anggota KPHR yang tingkat keaktifannya rendah. Belakangan ini, masing-masing KPHR di Desa Guwotirto tidak lagi melakukan pertemuan sesuai jadwal diatas, melainkan insidental. 3. GPHR Kelurahan Girikikis Untuk meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota, GPHR Desa Girikikis memiliki agenda pertemuan rutin, jadwal pertemuan GPHR Desa Girikikis dapat dilihat pada Tabel 17.
60
Tabel 17. Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR di Kelurahan Girikikis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KPHR Bamban Glonggong Gude Jambewangi Keji Kerok Ngrombo Pulebener Sembung Tail Tameng
Waktu Setiap tanggal 10 Malam minggu legi Malam senin legi Kamis wage Malam jumat legi Malam minggu pon Sabtu pahing Malam minggu pon Malam rabu legi Malam minggu pon Malam minggu kliwon
Tempat Sumarjo Gedung PKK Samen Rumah anggota Rumah kadus Rumah kadus Gubug Kerja Rumah Kadus Rumah Kadus Rumah Kadus Rumah Kadus
Jam 20.00 19.00 19.00 12.,00 20.00 20.00 12.00 20.00 20.00 20.00 20.00
Keaktifan
Sumber: Data PPHR (2007)
Kelurahan Girikikis memiliki 11 dusun. Dari data diatas terlihat bahwa seluruh KPHR di Kelurahan Girikikis aktif melakukan pertemuan pada saat proses sertifikasi. Hal ini disebabkan karena masyarakat memiliki tingkat keaktifan yang cukup tinggi dalam pengembangan dan pengelolaan HR Giriwoyo. Namun setelah proses sertifikasi, pertemuan lebih bersifat insidental dan tidak terjadwal.
4. GPHR Desa Tirtosuworo Untuk meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota, GPHR Desa Tirtosuworo memiliki agenda pertemuan rutin, jadwal pertemuan GPHR Desa Tirtosuworo dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR di Kelurahan Girikikis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KPHR Talunombo Manggung Darmosito Simpar Tlogobandung Ngampel Nongkosuwit Klego Ngemplak Tangkluk Gebang
Waktu Sabtu pon Rabu pahing Malam minggu legi Senin legi Sabtu legi Minggu wage Malam minggu legi Setiap tanggal 1 Malam minggu wage Malam minggu pahing Setiap tanggal 25
Tempat Bapak Kasiman Bapak Putut Nur Bapak Sumin Ibu Nanik Bapak Kariman Bapak Warsodo Bapak Pamen Bapak Cipto Bapak Teguh Bapak Suparjo Bapak Karwanto
Jam 19.00 19.00 20.00 11.,00 12.00 12.00 20.00 20.00
Keaktifan Tidak aktif Tidak aktif
Tidak aktif Tidak aktif Tidak aktif
13.00
Sumber: Data PPHR (2007)
Sama seperti Kelurahan Girikikis, Desa Tirtosuworo memiliki 11 dusun atau 11 KPHR. Tingkat keaktifan KPHR di Desa Tirtosuworo cenderung paling rendah dibanding desa lainnya. Jadwal diatas merupakan jadwal pertemuan rutin
61
ketika dilakukannya proses sertifikasi. Belakangan ini pertemuan KPHR tidak dilaksanakan rutin
sesuai jadwal
diatas,
melainkan bersifat
insidental.
Kesimpulannya, jadwal-jadwal yang disepakati sebelumnya dan terjadwal sudah tidak dilaksanakan sesuai jadwal lagi. Pertemuan sudah tidak dilakukan rutin karena tidak ada hal yang perlu dimusyawarahkan rutin, sehingga pertemuan belakangan ini lebih bersifat insidental, ketika ada instruksi dari PPHR, atau ketika ada hal penting yang harus dibahas.
7.1.2
Boundary Rule Boundary Rule adalah sejumlah aturan yang secara spesifik mengatur
bagaimana seseorang dapat keluar atau masuk sebagai anggota atau pengurus dari PPHR Catur Giri Manunggal. Aturan keanggotaan diatur dalam Anggaran Dasar PPHR Catur Giri Manunggal. Syarat untuk menjadi anggota PPHR adalah: 1. semua warga yang berdomisili di Desa Sejati, Girikikis, Guwotirto, atau Tirtosuworo 2. mempunyai kemauan untuk memajukan pertanan dan melestarikan hutan rakyat 3. menaati aturan yang dibuat bersama dalam AD dan ART. Pada AD/ART dituliskan pula seseorang dapat berakhir keanggotaannya apabila pindah tempat, karena meninggal dunia, dan atas permintaan sendiri. Pengurus dan seksi-seksi dipilih oleh anggota dalam rapat anggota (musyawarah besar/mubes) dengan susunan kepengurusan: Ketua, Sekretaris, Bendahara,
dan
seksi-seksi
sesuai
kebutuhan
(Seksi
Budidaya,
Seksi
Pengembangan Organisasi, Seksi Usaha, Seksi Keamanan, dan Seksi Humas).
7.1.3
Monitoring dan Sanksi Monitoring atau proses mengawasi pada PPHR ini diserahkan pada
masing-masing Desa. Empat Desa yang tergabung dalam PPHR melalui GPHR melakukan monitoring diantaranya monitoring penjualan kayu. Misalnya petani akan menjual kayunya, maka dari GPHR akan mencatat penjualan tersebut dan akan dilaporkan langsung ke PPHR. Sama halnya untuk monitoring terhadap
62
aturan-aturan yang berlaku, lebih diserahkan pada GPHR yang ruang lingkupnya lebih kecil, sehingga memudahkan dalam hal pengawasan, pendataan, dll. Sejauh ini penerapan sanksi dalam PPHR dirasa masih belum perlu dilakukan. Dalam AD/ART tidak ada aturan yang jelas mengenai pemberian sanksi. Berdasarkan hasil wawancara, selama ini jarang ada anggota yang diberikan sanksi tertentu, jika ada terjadi konflik atau sebagainya, sejauh ini selalu dapat diselesaikan dengan kekeluargaan sehingga tidak ada yang dikenakan sanksi.
7.1.4
Penyelesaian Konflik Tidak ada aturan yang jelas mengenai penyelesaian konflik dalam
AD/ART. Penyelesaian konflik dalam lingkup PPHR Catur Giri Manunggal, masih mengedepankan kekeluargaan. Selama ini pernah terjadi sengketa atau perselisihan mengenai batas lahan satu dengan yang lain, tahap aal penyelesaian adalah ditingkat dusun (KPHR). Masalah dimusyawarahkan dan dicari jalan keluarnya di lingkup dusun, jika ditingkat dusun belum dapat selesai maka dialihkan ke tingkat desa (GPHR). Menurut hasil wawancara, sejauh ini permasalahan atau sengketa yang terjadi selalu dapat diselesaikan paling tidak ditingkat desa, karena ditingkat desa ada yang mereka sebut hakim atau orang yang diakui berhak menentukan batasbatas wilayah antar lahan. Hakim yang merupakan Sekretaris Desa yang dipercaya membuat keputusan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, sehingga apabila sudah diputuskan seadil-adilnya oleh hakim, masyarakat bisa menerimanya dengan ikhlas.
7.2 Rekomendasi Pengelolaan HR Giriwoyo Stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan HR Giriwoyo adalah para pihak atau aktor yang berkaitan langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan HR Giriwoyo. Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfataan HR Giriwoyo terdiri dari PPHR, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri, masyarakat umum, serta akademisi. Stakeholders atau aktor pada pengelolaan dan pemanfaatan di HR Giriwoyo cenderung sedikit, karena
63
sumberdaya yang berada pada HR Giriwoyo memiliki sifat Non-rivalry dan excludable, sehingga tidak banyak konflik yang terjadi dalam pemanfaatannya. Untuk dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang sesuai, maka penuliis melakukan wawancara terhadap responden yang merupakan key person dari masing-masing stakeholder yang terkait dengan pengelolaan hutan, kemudian dijabarkan fungsi atau peran dari masing-masing stakeholder yang berkaitan dengan kelestarian HR. Wawancara dilakukan untuk menilai kinerja dan kepentingan dari fungsi atau peran masing-masng stakeholder. Pengaruh dan kepentingan peran stakeholder kemudian diproyeksikan ke dalam diagram kartesius agar terlihat penyebaran kinerja dan kepentingannya. Peran dari masingmasing stakeholder yang dinilai dalam analisis dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Peran masing-masing stakeholder No 1
Stakeholder PPHR
2
Dishutbun
3
Akademisi
4
Masyarakat
Peran Melakukan prunning Melakukan kerjasama dengan pihak luar Melakukan pemupukan rutin Melakukan pertemuan rutin anggota Menetapkan peraturan formal pengelolaan Koordinasi kegiatan dengan pihak terkait Memberikan penyuluhan Monitoring pelaksanaan kegiatan Melakukan kajian terkait HR Memberikan rekomendasi hasil studi Keterlibatan dalam perencanaan kebijakan Melakukan punlikasi hasil studi Pemanfaatan sumber mata air Pemanfaatan kayu bakar Mendukung pelestarian HR Pemanfaatan kayu log
Kode A.1 A.2 A.3 A.4 B.1 B.2 B.3 B.4 C.1 C.2 C.3 C.4 D.1 D.2 D.3 D.4
Setelah dijabarkan peran dari masing-masing stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan HR Giriwoyo, kemudian dilakukan wawancara terhadap stakeholder terkait perannya yang terdapat pada tabel 19. Hasil wawancara tersebut kemudian dilakukan kuantifikasi dengan menggunakan pembobotan dengan skala 1-4 berdasarkan kinerja dan kepentingan dari masing-masing fungsi stakeholder. Hasil dari pembobotan tersebut dapat dilihat pada Tabel 20.
64
Tabel 20. Bobot peran masing-masing stakeholder No 1
Stakeholder PPHR
2
Dishutbun
3
Akademisi
4
Masyarakat
Kode A.1 A.2 A.3 A.4 B.1 B.2 B.3 B.4 C.1 C.2 C.3 C.4 D.1 D.2 D.3 D.4
Bobot kinerja 2 4 2 2 4 2 2 1 3 3 3 4 2 3 3 3
Bobot kepentingan 3 4 4 2 4 4 3 2 4 4 4 4 2 3 3 3
Tabel 20 merupakan hasil dari wawancara setelah dilakukan pembobotan oleh penulis. Penulis melakukan wawancara terkait peran atau fungsi dari masingmasing stakeholder, jawaban dari responden kemudian dikuantifikasi dengan menggunakan pembobotan seperti pada tabel 3 dan 4. Hasil pembobotan tersebut kemudian digambarkan kedalam bentuk diagram garis untuk melihat sebaran bobot kinerja dan kepentingan peran dari semua stakeholder yang terlibat. Hasil pembobotan kinerja dan kepentingan dalam bentuk diagram garis dapat dilihat pada Gambar 11.
Bobot Kinerja dan Kepentingan Kinerja
4
3 2 A.1
4
4
2 A.2
A.3
4
2 A.4
3 2
2 B.1
Gambar 11
B.2
B.3
Kepentingan
4 3
2 1 B.4
C.1
4 3
C.2
4 3
C.3
4
3
2 C.4
D.1
D.2
3
D.3
3
D.4
Diagram garis tingkat kinerja dan kepentingan peran Stakeholders
Diagram garis menggambarkan bahwa bobot kinerja rata-rata berada dibawah bobot kepentingan, hal ini menunjukan bahwa kesadaran dari masingmasing stakeholder akan peran atau fungsinya sudah tinggi, namun dalam
65
pengerjaannya belum maksimal. Kebijakan peningkatan kinerja sangat dibutuhkan untuk memaksimalkan pengelolaan HR. Peningkatan kinerja masing-masing stakeholder melalui kebijakan ini dirasa dapat dilakukan, karena melihat tingkat kesadaran stakeholder akan pentingnya peran mereka masing-masing yang sudah tinggi. Hasil pembobotan kinerja dan kepentingan ini kemudian dipetakan kedalam diagram kartesius untuk mengklasifikasikannya kedalam empat kuadran agar dapat dilihat komponen mana yang harus diprioritaskan dalam perumusan kebijakan oleh pemegang keputusan. Pemetaan bobot tingkat kinerja dan kepentingan peran stakeholders dapat dilihat pada Gambar 12. PRIORITAS UTAMA (kuadran 1)
PRIORITAS RENDAH (kuadran 3)
PERTAHANKAN PRESTASI (kuadran 2)
BERLEBIHAN (kuadran 4)
Keterangan: A.1 : Melakukan Prunning A.2 : Melakukan kerjasama A.3 : Melakukan pemupukan terhadap tanaman A.4 : Pertemuan rutin
B.1 : Menetapkan peraturan B.2 : Melakukan koordinasi kegiatan B.3 : Melakukan penyuluhan B.4 : Monitoring
C.1 : Melakukan kajian terkait HR C.2 : Rekomendasi hasil studi C.3 : Keterlibatan dalam perencanaan kebijakan C.4 : Publikasi hasil untuk kegiatan pembelajaran
D.1 : Pemanfaatan sumber air D.2 : Pemanfaatan kayu bakar D.3 : Mendukung pelestarian D.4 : Pemanfaatan kayu log
Gambar 12
Diagram kartesius tingkat kinerja dan kepentingan peran stakeholders
66
Hasil pengukuran unsur-unsur peran atau fungsi masing-masing stakeholder
ini
berdasarkan
tingkat
kepentingan
dan
kinerjanya
yang
memungkinkan pihak penentu kebijakan untuk dapat memfokuskan usaha-usaha perbaikan untuk hal-hal atau atribut yang dianggap penting saja dan mempertahankan kinerja yang selama ini sudah cukup baik. Diagram diatas menunjukan poin-poin mana saja yang harus dibenahi dan mana saja yang harus dipertahankan. Poin yang bobot kinerjanya tidak cukup tinggi tentu harus ditingkatkan agar pengelolaan HR yang lebih baik dapat tercapai, begitu pula poin yang bobot kepentingannya rendah, harus ditingkatkan kesadaran akan pentingnya kinerja dari masing-masing stakeholder untuk pengelolaan HR Giriwoyo yang lebih baik.
7.2.1
Peran PPHR Catur Giri Manunggal Peran PPHR Catur Giri Manunggal dalam diagram diatas dibagi menjadi
A.1, A.2, dan A.3. A.1 merupakan peran PPHR dalam melakukan prunning atau pengelolaan terhadap tanaman hutan, A.2 menggambarkan peran PPHR dalam melakukan kerjasama dalam upaya peningkatan kualitas HR, A.3 menggambarkan peran PPHR dalam upaya pemupukan tanaman, dan A.4 menggambarkan peran PPHR dalam melakukan pertemuan rutin. Masing-masing fungsi dari PPHR dilihat kinerja dan kepentingannya terhadap kelestarian HR Giriwoyo kemudian tingkat kinerja dan kepentingan tersebut dikuantifikasikan dengan menggunakan bobot. Berdasarkan hasil wawancara, peran PPHR dalam melakukan prunning dan pertemuan antar anggota dinilai tidak begitu mempengaruhi kelestarian HR Giriwoyo, dan menurut petani kegiatan prunning kurang penting untuk dilakukan, hasil ini tergambar dalam diagram yang menunjukan bahwa A.1 dan A.4 berada pada kuadran 3 yang berarti fungsi ini berada dalam kategori prioritas rendah. Peran PPHR dalam melakukan kerjasama dalam upaya peningkatan kualitas HR sangat berpengaruh terhadap kelestarian. PPHR sejauh ini telah bekerjasama dengan beberapa pihak untuk upaya peningkatan kualitas HR, buktinya adalah sertifikasi yang mereka dapatkan, selain itu petani masih memiliki kesadaran yang sangat tinggi dalam menanam kembali, hal ini didukung dari peraturan setempat
67
yang mengharuskan petani untuk menanam lima pohon jika menebang satu pohon, hasil ini tergambar dalam diagram yang menunjukan bahwa A.2 berada pada kuadran 2 yang berarti fungsi ini sudah dijalankan oleh PPHR dengan cukup baik sehingga harus terus dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan. Melakukan pemupukan yang sesuai terhadap tanaman selama ini tidak dilakukan oleh petani, petani melakukan pemupukan dengan cara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, namun petani menganggap fungsi pemupukan ini penting untuk kedepannya sehingga terlihat dari diagram bahwa A.3 berada pada kuadran 1 atau pada kategori prioritas utama. Fungsi PPHR dalam mengadakan pertemuan rutin dinilai kurang bagus. Dalam tahap awal perencanaan sertifikasi, PPHR mempunyai jadwal rutin pertemuan tiap minggu atau bulan, namun sekarang pertemuan sudah jarang dilakukan dan dirasa kurang penting dilakukan, oleh karena itu fungsi ini cukup perlu untuk ditingkatkan, terlihat dari posisi A.4 terletak di kuadran 3 atau kategori prioritas rendah.
7.2.2
Peran Pemerintah (DISHUTBUN) Peran DISHUTBUN dalam analisis ini dibagi menjadi empat fungsi, yaitu
menetapkan peraturan formal dalam pengelolaan HR (B.1), melakukan koordinasi kegiatan dengan pihak terkait (B.2), memberikan penyuluhan kepada petani (B.3), dan monitoring pelaksanaan kebijakan (B.4). Peran DISHUTBUN dalam menetapkan peraturan formal dirasa sangat berpengaruh dan sangat penting terhadap perkembangan HR Giriwoyo, dapat dilihat bahwa B.1 berada pada kuadran 2, yang artinya fungsi ini dirasa sudah cukup baik dijalankan sehingga perlu untuk dipertahankan. Peran dinas dalam melakukan koordinasi dengan PPHR dinilai kurang maksimal, namun fungsi ini dirasa penting oleh dinas. Selama ini memang sudah terbangun koordinasi antara dinas dengan PPHR, namun masih kurang maksimal dirasakan pengaruhnya, maka dari itu fungsi ini berada pada kuadran 1 yang berarti sangat perlu untuk ditingkatkan. B.4 berada pada kuadran 3, hal ini menunjukan bahwa kegiatan monitoring lapangan juga dirasa kurang penting dilakukan karena sejauh ini tidak memberikan pengaruh terhadap kemajuan HR Giriwoyo, oleh karena itu fungsi monitoring perlu ditingkatkan. Selama ini
68
kegiatan monitoring lebih diserahkan kepada pemerintah desa masing-masing agar lebih efektif. Pemberian penyuluhan kepada petani merupakan kegiatan yang sangat berpengaruh dan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini terlihat dari pelaksanaan GERHAN yang dilakukan oleh DISHUTBUN dapat memberikan perubahan yang sangat besar terhadap kemajuan HR Giriwoyo, namun belakangan ini penyuluhan jarang dilakukan oleh dinas, oleh karena itu B.3 berada pada kuadran 3.
7.2.3
Peran Akademisi Peran akademisi dalam pengembangan kawasan HR dibagi menjadi empat
peran, yaitu melakukan kajian terkait HR (C.1), memberikan rekomendasi hasil studi (C.2), keterlibatan dalam perencanaan kebijakan bersama pemerintah setempat (C.3), dan publikasi hasil studi untuk kegiatan pembelajaran (C.4). Melakukan studi atau kajian terkait HR dirasa sangat penting dan berpengaruh untuk kemajuan HR, karena dengan melakukan studi terhadap HR, akademisi dapat melihat kondisi aktual, permasalahan, dan dapat memberikan rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Begitu pula dengan rekomendasi hasil studi, hal ini dirasa sangat penting untuk dilakukan, namun belum terlalu berpengaruh terhadap kemajuan HR karena rekomendasi yang diberikan biasanya tidak selalu diimplementasikan karena mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kondisi di lapangan. Dalam merencanakan kebijakan terhadap pengelolaan HR, selama ini pemerintah melibatkan Akademisi sebagai narasumber, keterlibatan Akademisi dalam proses ini dinilai sangat penting dan cukup berpengaruh dalam pengembangan HR, karena dalam proses ini Akademisi dapat memberikan saransaran dan masukan kepada pembuat kebijakan sesuai dengan studi yang pernah dilakukan sebelumnya. Peran Akademisi dalam mempublikasikan hasil studinya selama ini dinilai sangat baik, hasil studi berupa jurnal dan makalah dapat menjadi bahan pembelajaran bagi mahasiswa, dan fungsi ini dianggap penting sehingga harus dipertahankan. Kesimpulannya peran dari akademisi sejauh ini dilihat cukup baik dan perlu dipertahankan, seperti yang terlihat pada gambar 12, semua atribut dari akademisi berada pada kuadran 2 atau kategori pertahankan prestasi.
69
7.2.4
Peran Masyarakat Masyarakat merupakan salah satu stakeholder yang secara langsung
berkaitang dengan pengelolaan HR Giriwoyo, walaupun masyarakat tidak memiliki lahan hutan, namun masyarakat umum dapat merasakan manfaat dari keberadaan HR Giriwoyo. Peran masyarakat dibagi menjadi tiga peran, yaitu pemanfaatan sumber mata air (D.1), memanfaatkan hasil hutan non-kayu (D.2), dan mendukung pelestarian HR (D.3), dan pemanfaatan kayu log (D.4) Peran masyarakat dalam pemanfaatan sumber air tidak terlalu berpengaruh dan mereka tidak menganggap perlu untuk menjaga sumber mata air. Dalam memanfaatkan hasil kayu bakar, masyarakat merasa manfaat yang dihasilkan HR cukup besar, manfaat kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak dapat dengan mudah ditemukan. Masyarakat juga merasa hal ini penting untuk dipertahankan bahkan ditingkatkan. Kontribusi masyarakat umum dalam mendukung pelestarian HR sejauh ini dirasa cukup berpengaruh, karena masyarakat turut membantu dalam proses perbaikan sarana dan prasarana HR, seperti dalam perbaikan jalan, dan pembuatan tanggul. Dari hasil yang ditampilkan pada Gambar 12, masyarakat merupakan stakeholder yang harus diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Secara umum masyarakat memang merasakan manfaat dari keberadaan HR Giriwoyo, namun kesadaran masyarakat dalam melakukan pelestarian terhadap HR dan segala komponen pendukungnya harus ditingkatkan, terlihat dari fungsi masyarakat rata-rata memiliki bobot kepentingan yang rendah sehinggan kesadaran masyarakan perlu ditingkatkan.
7.2.5
Rekomendasi Pengelolaan HR Giriwoyo Dasar dalam memberikan rekomendasi kebijakan merujuk dari penyebaran
peran stakeholders berdasarkan tingkat kinerja dan kepentingannya terhadap kemajuan HR Giriwoyo. Peran dari stakeholders yang berada pada kategorikategori selain pertahankan prestasi pada diagram kartesius hasil analisis IPA tentu harus ditingkatkan. Pada kuadran 1 atau disebut juga kategori prioritas utama, atribut yang termasuk dalam kategori ini adalah yang harus menjadi fokus utama. Pada kuadran 1 terdapat atribut peran dari PPHR dalam melakukan
70
pemupukan tanaman (A.3) dan peran dari DISHUTBUN dalam melakukan koordinasi kegiatan (B.2). Pada kuadran 2 terdapat atribut A.2, B.1, C.1, C.2, C.3, dan C.4, hal ini menunjukan atribut-atribut ini sudah dirasa cukup baik dan perlu dipertahankan. Akademisi sejauh ini dinilai cukup baik dalam melaksanakan fungsinya, melakukan studi, memberikan rekomendasi kebijakan, melakukan kajian-kajian dan perencanaan kebijakan seharusnya dapat meningkatkan pengelolaan HR. Pemerintah dan Akademisi harus terus bekerjasama dalam meningkatkan kualitas pengelolaan HR, karena dengan kegiatan studi dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi perencanaan kebijakan pengelolaan HR. Peran PPHR dalam melakukan kerjasama dengan pihak lain dinilai cukup baik, dari pemaparan ketua PPHR, HR Giriwoyo selama ini sering dikunjungi oleh berbagai instansi atau lembaga dalam maupun luar negeri, hal ini jelas akan meningkatkan kerjasama di masa yang akan datang. Peran dinas dalam membuat peraturan dan kebijakan dilaksanakan dengan cukup baik, dinas membuat peraturan mengenai syarat tebang minimal, dokumentasi penjualan kayu, dan lainnya yang bertujuan untuk kelestarian. Fungsi-fungsi tersebut yang perlu dipertahankan oleh masing-masing stakeholder terkait Pada kategori prioritas rendah atau kuadran 3, terdapat atribut A.1, A.4, B.3, B.4, D.1. Melakukan prunning sejauh ini dianggap oleh petani kurang berpengaruh, maka dari itu harus ditingkatkan penyuluhan terkait mengenai teknis pelaksanaan yang baik dan kelebihan prunning, sejauh ini mungkin petani belum mengerti teknis dan manfaat dari dilakukannya prunning sehingga petani tidak begitu mempedulikan pelaksanaan prunning terhadap tanaman yang mereka tanam. Melakukan pertemuan rutin antar anggota juga perlu dimaksimalkan, sejauh ini petani melakukan pertemuan jika ada agenda penting saja. Pemerintah mungkin dapat melakukan penyuluhan rutin agar intensitas interaksi antar petani dapat meningkat, kegiatan ini jelas akan memberikan informasi lebih banyak kepada petani sehingga dapat berpengaruh pada peningkatan kualitas HR Giriwoyo. Peran pemerintah dalam penyuluhan dan monitoring pun dirasa kurang maksimal, sebaiknya pemerintah dapat bekerja sama dengan pemerintah setempat
71
atau PPHR untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dengan memberikan sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan formal. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penyuluhan harus terus ditingkatkan karna akan berdampak baik pada kemajuan pengelolaan HR. Monitoring dari pemerintah juga harus dimaksimalkan, selama ini monitoring hanya dilakukan oleh pemerintah setempat, namun koordinasi antara pemerintah setempat pun berjalan kurang maksimal. Pemerintah sebaiknya turun langsung untuk monitoring kondisi lapang untuk mengetahui kondisi dan permasalahan di lapangan sehingga dapat direspon dengan cepat. Kuadran 4 diisi oleh atribut-atribut yang merupakan fungsi dari masyarakat. Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan HR Giriwoyo juga harus dilibatkan dalam pengembangan HR Giriwoyo, karena secara tidak langsung sebenarnya masyarakat pun merasakan manfaat dari keberadaan HR Giriwoyo. Sumber mata air merupakan manfaat yang muncul karena keberadaan HR yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Pemerintah sebaiknya dapat membuat saluran air yang menghubungkan mata air dengan pemukiman agar memudahkan masyarakat untuk mendapatkan air bersih. Kegiatan ini tentu akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, karena dapat menghemat biaya yang dikeluarkan untuk jasa PDAM, dengan ini mungkin kesadaran masyarakat dalam menjaga sumber mata air yang dihasilkan HR Giriwoyo akan tumbuh sedikit demi sedikit.
7.2.6
Kebijakan Tingkat Makro Manfaat yang dihasilkan oleh HR Giriwoyo sangatlah besar, baik manfaat
tangible
maupun
intangible.
Menurut
pembahasan
sebelumnya,
setelah
diidentifikasi dan dilakukan valuasi terhadap manfaat HR tersebut, didapat nilai ekonomi total HR sebesar Rp.17.622.296.440/tahun. Nilai ekonomi HR berbanding lurus dengan kelestariannya. Kelestarian HR Giriwoyo sekarang ini masih terjaga, hal ini disebabkan karena bentuk kelembagaan pengelolaan yang terstruktur dari tingkat PPHR sampai KPHR. Kuat dan baiknya kelembagaan pengelolaan suatu sumberdaya jelas sangat berpengaruh terhadap kelestarian sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, kinerja instansi atau lembaga yang
72
berhubungan langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan HR Giriwoyo ini harus terus ditingkatkan, dan harus saling berkoordinasi satu sama lain sehingga nilai ekonomi yang terkandung dalam HR Giriwoyo dapat terus terjaga. Dalam teori ekonomi, biasanya pembangunan memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan konservasi lingkungan dengan alasan pembangunan dilakukan untuk mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan. Hal ini dikarenakan konservasi lingkungan tidak pernah diberikan suatu nilai real, sehingga para pemegang kebijakan memiliki pandangan untuk mengutamakan pembangunan yang jelas-jelas memiliki nilai real. Perhitungan Nilai Ekonomi Total atau teknik valuasi pada penelitian ini dilakukan untuk memberikan nilai real terhadap suatu sumberdaya, sehingga dapat dilihat bahwa suatu sumberdaya memiliki potensi yang luar biasa besar. Pembangunan sebetulnya sangat berpengaruh terhadap keberlajutan suatu sumberdaya karena sumberdaya dan lingkungan memiliki fungsi pendukung kehidupan, yang tanpa itu kehidupan manusia tidak dimungkinkan. Nilai ekonomi suatu sumberdaya sangat dipengaruh oleh kegiatan konservasinya, semakin baik pengelolaan dan perlindungannya, maka semakin besar nilai ekonomi suatu sumberdaya tersebut. Kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi akibat proses pembangunan sebenarnya menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan indikator pembangunan suatu negara. Namun penurunan PDB akibat kerusakan sumberdaya tersebut selama ini tidak dihitung dalam pembangunan terutama di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perubahan sehingga dapat menunjukan bahwa konservasi maupun degradasi dapat menyebabkan keuntungan atau kerugian bagi PDB. Selain itu, Nilai Ekonomi Total HR Giriwoyo dapat dijadikan gambaran atau acuan bagi pemerintah untuk penentuan kebijakan di daerah lainnya. Dari NET terlihat secara rinci nilai ekonomi dari masing-masing fungsi suatu sumberdaya, hal ini dapat memberikan gambaran bahwa, fungsi mana dari suatu sumberdaya tersebut yang paling potensial untuk dikembangkan, sehingga dengan mengetahui nilai ekonomi total dari suatu sumberdaya, akan sangat membantu memaksimalkan potensi dari sumberdaya tersebut tanpa melakukannya secara berlebihan.
73
VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan 1.
Kondisi aktual HR Giriwoyo pada saat ini masih cukup terjaga, hal ini didukung oleh adat istiadat secara turun temurun yang mengajarkan bahwa jika menebang satu pohon maka harus menanam lima pohon. Ajaran ini terus ditetepkan oleh masyarakat sampai pada akhirnya sekarang jarak antar tegakan cenderung rapat. Jenis pohon yang ditanam oleh masyarakat di lahan adalah jenis pohon Jati, Mahoni, sedikit akasia dan trembesi.
2.
Nilai ekonomi total (NET) Hutan Rakyat Kecamatan Giriwoyo adalah sebesar Rp.17.622.296.440/tahun. Nilai ekonomi total diperoleh dari manfaat-manfaat yang terkandung dalam HR Giriwoyo. Nilai guna langsung yang terdiri dari nilai kayu log, nilai kayu bakar dan nilai emponempon menyumbang 29,26% dari NET atau sebesar Rp.4.798.471.000. Nilai guna tidak langsung yang terdiri dari nilai penyerap karbon dan nilai penghasil mata air menyumbang sebesar 57,74% dari NET yaitu sebesar Rp.9.407.721.600. Nilai pilihan yang merupakan nilai keanekaragaman hayati
menyumbang
sebesar
13,37%
dari
NET
atau
sebesar
Rp.2.192.463.840 dan nilai warisan sebesar Rp.1.223.640.000/tahun. 3.
Kelembagaan di HR sudah terstruktur dengan baik berkat adanya KPHR sampai PPHR. Pembagian kerja, tanggung jawab, hak dan kewajiban masing-masing anggota sudah tercantum pada AD/ART organisasi tersebut, Kegiatan rutin dari KPHR sampai PPHR belakangan ini sudah jarang dilakukan, dan hanya dilakukan apabila ada hal mendesak yang perlu dibahas.
4.
Dalam melakukan fungsinya, beberapa stakeholder terlihat belum berada pada kinerjanya yang maksimal. Berdasarkan hasil analisis IPA, terdapat beberapa atribut yang menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan, yaitu fungsi dari PPHR dalam melakukan pemupukan tanaman (A.3) dan peran dari DISHUTBUN dalam melakukan koordinasi kegiatan (B.2). Peran PPHR dalam melakukan prunning dan melaksanakan pertemuan rutin, serta peran DISHUTBUN dalam melakukan penyuluhan kepada petani
74
dan monitoring juga perlu ditingkatkan, namun prioritasnya tidak terlalu tinggi. Kebijakan yang dihasilkan oleh pemegang keputusan sebaiknya mengacu pada poin atau kinerja masing-masing stakeholder yang dirasa penting dan memiliki kinerja yang belum maksimal.
8.2 Saran 1.
Kebutuhan hidup terus meningkat, biaya hidup terus meningkat pula. Apabila kondisi hutan tetap seperti ini dan biaya hidup terus meningkat, maka pilihan masyarakat adalah menebang hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya masyarakat masih menganut sistem tebang butuh. Jika tidak ada kebijakan untuk menanggulangi pada hal tersebut, maka penebangan secara besar-besaran tinggal menunggu waktunya. Perlu adanya kebijakan dari instansi terkait, pemerintah pada khususnya untuk mencegah terjadinya hal tersebut, misalnya dengan memberikan pinjaman kredit dengan pohon sebagai jaminannya dan membayarnya ketika pohon sudah dalam kondisi siap tebang yang optimal. Pemerintah memberikan pinjaman dana bagi masyarakat dan menerima pohon sebagai jaminan atas pinjamannya. Banyaknya pohon harus sesuai dengan jumlah uang yang dipinjam untuk memenuhi kebutuhan, sehingga dengan seperti ini, masyarakat tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pohon pun tetap tumbuh.
2.
Perlu adanya bantuan bibit unggul dan penyuluhan tentang tata cara penanaman dan perawatan yang baik. Selama ini masyarakat menanam dan merawat dengan cara tradisional hasil didikan turun temurun, perlu dilakukan pelatihan kepada masyarakat cara menanam dan merawat agar hasil kayu dapat optimal.
3.
Perlu penjelasan mengenai jenis jenis kayu yang berkualitas baik beserta harganya, sehingga saat menjual produk kayunya masyarakat paham harga yang pantas dan tidak dibohongi oleh pembeli. Jika kayu yang dihasilkan masyarakat memiliki kualitas yang baik, maka posisi tawar masyarakat akan lebih baik ketika transaksi jual beli.
75
4.
Pertemuan harus kembali rutin dan dijadwalkan, agar interaksi antar anggota kembali terjalin sehingga kelembagaan semakin kuat.
5.
Pemerintah perlu berkoordinasi dengan PPHR Giriwoyo agar semua masalah dan perkembangan yang ada di HR Giriwoyo dapat dengan cepat direspon oleh pemerintah, sehingga pemerintah dapat menentukan kebijakan yang baik untuk kelestarian HR Giriwoyo.
6.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, untuk meningkatkan pengelolaan HR Giriwoyo agar kualitasnya semakin baik, pihak penentu kebijakan sebaiknya memprioritaskan poin atau atribut yang berada pada kuadran 1 dan 3 dalam diagram kartesius analisis IPA. Atribut yang harus ditingkatkan adalah peran petani dalam melakukan pemupukan dan prunning terhadap tanamannya, peran petani dalam melaksanakan pertemuan rutin, peran masyarakat dalam pengelolaan sumber air, peran pemerintah dalam memberikan penyuluhan serta peran pemerintah dalam melakukan kegiatan monitoring.
76
DAFTAR PUSTAKA
Adirianto, B. 2012. Potensi Nilai Ekonomi Total Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. (Anonim). 2012. Catatan SKSHH Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri. (Anonim). 2011. Giriwoyo Dalam Angka Tahun 2011. Wonogiri: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri. (Anonim).
Pusat
Konservasi
Keanekaragaman
Hayati
(http://www.Pusat
Konservasi Keanekaragaman Hayati-tnghs.or.id/) diakses tanggal 5 Desember 2012). (Anonim). 2012. Potensi Hutan Rakyat di Indonesia (http://www.bps.go.id) diakses tanggal 5 Desember 2012). (Anonim). 2012. Profil Kecamatan Giriwoyo. Wonogiri: Pemerintah Kecamatan Giriwoyo. (Anonim). 2012. Wonogiri Dalam Angka Tahun 2012. Wonogiri: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri. (Anonim). 2007. Dokumen Pengajuan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) Sistem LEI. Wonogiri: Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) dan PERSEPSI. (Anonim). 2013. Website PDAM Kabupaten Wonogiri Giri Tirta Sari (www.pdamwonogiri.com) diakses tanggal 26 April 2013 Bishop, J T. 1999. Valuing Forest: A Review of Methods and Applications in Developing Countries. London. International Institute for Environmental and Development. Bryson J M. 2004. What To Do When Stakeholders Matter: Stakeholders Identification and Analysis Techniques. Public Management Review 6 (1): 21-53 Colfer, C J P and Prabhu, R. 1999. Who Count Most? Assesing Human WellBeing in Sustainable Forest Management Volume 8, The Criteria & Indicators Toolbox Series. Bogor: Center for International Forestry Research.
77
Darusman, D dan Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. PROSIDING Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan (hal. 4-13). Davis L S, Johnson K N. 1987. Forest Management. Third Edition. New York: McGrawHill Book Company. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2003. Kumpulan laporan studi lapang praktikpraktik social forestry. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta: Bumi Aksara. Garod, G and Willis, K G. 1999. Economics Valuation of the Environment Methods and Case Studies. Edward Elgar Publishing Limited. Hindra, B. 2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat. PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan (hal. 14-23) Hanley, N dan Spash, C L. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environmental. Edward Elgar Publishing. England. Harahab, N. 2011. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Dalam Perencanaan Wilayan Pesisir. Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 7A (5967) . Lind, A D, Marchal W G, and Wathen S A. 2008. Teknik-Teknik Statistika dalam Bisnis dan Ekonomi Menggunakan Kelompok Data Global. Jakarta: Salemba Empat. Mahesi, V. 2008. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Kebun Raya Cibodas. [Skripsi]. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya .Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Meng, S W, Hideki N and Philip G. 2011. The Use of Importance-Performance Analysis (IPA) in Evaluating Japan’s E-Government Services. Journal of Theoretical and Applied Electronic Commerce Research VOL 6 (17-30). Universidad de Talca. Chile. Merryna, 2009. Analisis Willingness To Pay Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan Mata Air Cirahab (Desa Curug Goong, Kecamatan
78
Padarincang, Kabupaten Serang, Banten). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor Miftahurrohmah, 2012. Analisis Manfaat Ekonomi dan Kelembagaan Hutan Mangrove Pasca Rehabilitasi (Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Mugiono, I. 2009. Workshop Penyiapan Prakondisi Hutan Rakyat Menuju Implementasi Sistem Legalitas Kayu dan Rencana Proyek Karbon di Pulau Jawa-Madura. Munasinghe, M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development. Washington D.C: World Bank. Pearce D, Davis M, 1994. The Economic Value of Biodiversity, IUCN the World Conservation Union. Earthscan Publication Ltd. London. Pranoto, S A. 2009. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan (Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Selopuro, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah). [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor. Rumfaker, M. 2010. Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan di `Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat.[Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Soemardjan, S dan Soelaeman S. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Suhana, 2008 Analisis Ekonomi Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Suharjito, D. 2004. Pengelolaan Hutan Negara Pola Kolaboratif Perusahaan HPH (TI) dan Masyarakat Lokal: Prospek dan Kendala. Jurnal Kehutanan Masyarakat vol 2. Bogor: Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat. Suharti, F. 2007. Analisis Permintaan dan Surplus Konsumen Kebun Wisata Pasirmukti dengan Metode Biaya Perjalanan. [Skripsi]. Jurusan Ilmuilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
79
Thoha, A S. 2013. Peluang Hutan Komunitas dalam Perdagangan Karbon (www.latin.or.id/index.php/berita-redd/44-peluang-hutan-komunitas-danperdagangan-karbon.html) diakses tanggal 24 Oktober 2013 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
80
81
LAMPIRAN
82
83
Lampiran 1. Peta Kecamatan Giriwoyo
Lampiran 2. Uji Asumsi Statistik WTP Nilai Warisan b
Model Summary
Std. Error of the Model 1
R
R Square .767
a
.588
Adjusted R Square .443
Estimate
Durbin-Watson
4953.19362
a. Predictors: (Constant), KLS, IRT, TGN, SWA, WRA, TR, BRH, LHN, PDI, PNS, AGE, JRK b. Dependent Variable: WTP
2.023
84
UJI ASUMSI – NORMALITAS One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N
47
Normal Parameters
a
Mean
.0000000
Std. Deviation Most Extreme Differences
4.25839406E3
Absolute
.128
Positive
.128
Negative
-.078
Kolmogorov-Smirnov Z
.878
Asymp. Sig. (2-tailed)
.424
a. Test distribution is Normal.
Untuk menguji normalitas digunakan Uji Kolmogorov – Smirnov P-Value (Asymp. Sig) 0,424 > 0.1, artinya data menyebar normal pada taraf nyata 10% UJI ASUMSI – MULTIKOLINEARITAS Coefficients Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
-5879.353
8182.042
AGE
109.629
103.533
TGN
-160.313
PDI
339.913
PNS
a
Standardized Coefficients Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
-.719
.477
.197
1.059
.297
.349
2.862
644.463
.029
.249
.805
.872
1.147
347.312
.150
.979
.335
.518
1.932
7772.400
6797.779
.171
1.143
.261
.542
1.843
WRA
-2801.544
3049.310
-.119
-.919
.365
.721
1.387
SWA
1639.066
4096.763
.050
.400
.692
.763
1.310
IRT
4979.461
2755.842
.299
1.807
.080
.444
2.253
BRH
374.472
2437.482
.020
.154
.879
.693
1.443
LHN
5307.284
3004.183
.400
1.767
.086
.237
4.226
TR
3141.085
820.154
.503
3.830
.001
.703
1.422
JRK
-1091.194
1603.584
-.164
-.680
.501
.208
4.812
KLS
-1905.090
1481.643
-.178
-1.286
.207
.634
1.576
a. Dependent Variable: WTP
85
UJI ASUMSI – AUTOKORELASI b
Model Summary
Std. Error of the Model 1
R
R Square .675
a
Adjusted R Square
.456
.264
Estimate
Durbin-Watson
2350.77184
2.061
a. Predictors: (Constant), KLS, IRT, TGN, SWA, WRA, TR, BRH, LHN, PDI, PNS, AGE, JRK b. Dependent Variable: RES2
Uji Autokorelasi dilakukan dengan dengan uji statistik Durbin – Watson. Nilai DurbinWatson pada model WTP Nilai warisan adalah 2,061, jika nilai DW 1,55 < DW <
2,46, artinya tidak terjadi autokorelasi dalam model. UJI ASUMSI – HETEROSKEDASTISITAS
Dari grafik scatterplots, terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteros dalam model regresi
86
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Analisis WTP Analisis WTP sebagai nilai warisan HR Giriwoyo DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN Jalan Kamper Level Wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 Telepon (0251) 421 762, (0251) 621 834, Fax (0251) 421 762 KUESIONER PENELITIAN Nomor Responden Tanggal Wawancara Nama No. HP/Telp. Alamat
: : : : :
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Nilai Ekonomi Total dan Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat Di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri.”oleh Hilman Firdaus, mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Mohon partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat memberikan data yang objektif. Informasi ini dijamin kerahasiaannya, tidak untuk dipublikasikan, dan tidak untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/i saya ucapkan terimakasih. Petunjuk : Isi dan pilihlah salah satu jawaban dengan memberikan tanda [x] pada bagian yang sudah tersedia A. 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7.
Karakteristik Responden Jenis Kelamin :[a]. Laki-laki [b]. Perempuan Usia : ....... Tahun Status :[a]. Menikah [b]. Belum Menikah Jika sudah menikah berapa jumlah (orang) anggota keluarga yang ditanggung? ..........Orang Pendidikan Formal Terakhir : [a]. Tidak Sekolah [b]. SD Kelas [1] [2] [3] [4] [5] [6] [c]. SMP/Sederajat Kelas [1] [2] [3] [d]. SMA/Sederajat Kelas [1] [2] [3] [e]. Perguruan Tinggi [Diploma] [Sarjana] [Magister] Pekerjaan : [a]. Petani (Pemilik/Penggarap) [b]. PNS [c]. Wiraswasta [d]. Pegawai Swasta [e]. Supir/ojek [f]. Ibu Rumah Tangga [g]. Lainnya : ....... Status Kependudukan : [a]. Penduduk Asli [b]. Penduduk Pendatang : alasan ....... Pendapatan per bulan (dalam rupiah) : [a]. <500.000 Tepatnya : Rp........
87
8.
9. 10.
11.
[b]. 500.001 – 1.000.000 Tepatnya : Rp........ [c]. 1.000.001 – 1.500.000 Tepatnya : Rp........ [d]. 1.500.001 – 2.000.000 Tepatnya : Rp........ [e]. >2.000.000 Tepatnya : Rp........ Apakah ada pendapatan lain selain pekerjaan yang Saudara/i sebutkan diatas? [a]. Ya, bekerja sebagai............................... [b]. Tidak Berapakah pendapatan per bulan yang Saudara/i dapatkan dari pekerjaan sambilan tersebut? Rp.................... Apakah ada anggota keluarga lainnya yang bekerja? [a]. Ya [b]. Tidak Jika Ya, berapa total pendapatan mereka perbulannya? Rp..................... Total pendapatan perbulan 1 rumah tangga : Rp.........................
B. Kondisi Tempat Tinggal 1. Kira-kira berapa jarak (dalam meter) anata rumah Saudara/i dengan Hutan Rakyat? [a]. <50 Tepatnya .............................. Tepatnya .............................. [b]. 51 – 150 [c]. 151 – 250 Tepatnya .............................. [d]. 251 – 350 Tepatnya .............................. [e]. 351 – 450 Tepatnya .............................. [k]. >450 Tepatnya .............................. 2. Apakah Anda suka dengan tempat tinggal anda sekarang? [a]. Suka [b]. Tidak uka Alasan : (jawaban boleh lebih dari satu, beri nomor) [ ] faktor kondisi tempat tinggal [ ] faktor tetangga [ ] faktor lingkungan sekitar [ ] faktor harga tanah [ ] faktor dekat dengan tempat kerja [ ] faktor keturunan/tanah warisan [ ] lainnya: ....... 3. Bagaimana kondisi jasa lingkungan (mata air dan kesejukan udara) dari Hutan Rakyat yang anda rasakan sekarang? [a]. Jelek [b]. Biasa [c]. Baik 4. Harapan Anda sebagai penduduk yang tinggal dekat Hutan Rakyat? .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
88
C. Kesediaan Masyarakat untuk Melakukan Pembayaran Jasa Lingkungan dari Hutan Rakyat Giriwoyo SKENARIO
“Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan rakyat Giriwoyo ini ingin tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya upaya pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan akan menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Bapak/Ibu bersedia membayar sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik sehingga dapat diwariskan kepada anak cucu Ibu/Bapak?”
1. Apakah Saudara/i setuju jika dilakukan suatu upaya perbaikan kualitas hutan agar jasa lingkungan dapat terjaga? [a]. Setuju [b]. Tidak 2. Berapa besar uang (dalam rupiah/bulan) yang ingin Saudara/i berikan kepada lembaga yang Saudara/i percayai sebesar jasa lingkungan yang Saudara/i gunakan? Rp..................../bulan 3. Berikan alasan mengapa Saudara/i memberikan imbalan tersebut? ........................................................................................................................................ [a]. Diri sendiri [b]. Anggota keluarga [c]. Orang lain [d]. Pengelola Hutan Rakyat [e]. Lainnya: ....... 4. Ada beberapa alasan mengapa beberapa orang tidak berkenan untuk membayar sedikitpun dalam upaya perlindungan Hutan Rakyat Giriwoyo untuk mencegah terjadinya kekurangan atau penurunan kualitas dan kuantitas mutu jasa lingkungan di masa yang akan datang. Dapatkah Saudara/i menjelaskan mengapa saudara tidak berkenan untuk memberikan imbalan? [a]. Saya tidak punya uang lebih / saya tidak mampu membayar [b]. Perubahan kualitas / kuantitas terlalu kecil untuk dianggap penting [c]. Saya pikir masalah degradasi ini buka prioritas [d]. Saya perlu lebih banyak informasi / waktu untuk menjawab pertanyaan ini [e]. Lainya.......
89
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian IPA DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN Jalan Kamper Level Wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 Telepon (0251) 421 762, (0251) 621 834, Fax (0251) 421 762 KUESIONER PENELITIAN Tanggal Wawancara : Nama : No. HP/Telp. : Alamat : Mewakili unsur : PPHR / DISHUTBUN / Akademisi / Masyarakat (lingkari) Kuesioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Nilai Ekonomi Total dan Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat Di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri.”oleh Hilman Firdaus, mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Informasi ini dijamin kerahasiaannya, tidak untuk dipublikasikan, dan tidak untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/i saya ucapkan terimakasih. 1. 1. 2. 3.
Karakteristik Responden Jenis Kelamin :[a]. Laki-laki [b]. Perempuan Usia : ....... Tahun Pendidikan Formal Terakhir : [a]. Tidak Sekolah [b]. SD Kelas [1] [2] [3] [4] [5] [6] [c]. SMP/Sederajat Kelas [1] [2] [3] [d]. SMA/Sederajat Kelas [1] [2] [3] [e]. Perguruan Tinggi [Diploma] [Sarjana] [Magister] 4. Pekerjaan : [a]. Petani [b]. PNS [d]. Pegawai Swasta [e]. Ibu Rumah Tangga
[c]. Wiraswasta [f]. Lainnya:......
2. Pertanyaan Umum 1. Menurut bapak/ibu, bagaimana kondisi Hutan Rakyat (HR) di Indonesia secara umum? ........................................................................................................................................ ....................................................................................................................................... 1. Menurut bapak/ibu, bagaimana perkembangan HR di Kecamatan Giriwoyo sejauh ini? ........................................................................................................................................ .......................................................................................................................................
90
2. Apakah HR Giriwoyo memiliki kelebihan dibandingkan dengan HR di lokasi lain?jika Ya, apa kelebihan tersebut? ........................................................................................................................................ ....................................................................................................................................... 3. Menurut bapak/ibu, apa saja yang menjadi rintangan yang menghambat kemajuan pengelolaan dan pemanfaatan HR di Giriwoyo? ........................................................................................................................................ ...................................................................................................................................... 4. HR Giriwoyo merupakan hutan yang memiliki sertifikat ramah lingkungan berdasarkan sistem LEI, menurut bapak/ibu sejauh mana sertifikasi ini dapat mempengaruhi produksi? ........................................................................................................................................ ....................................................................................................................................... 3. Peran Stakeholders No 1
Stakeholder PPHR
2
Dishutbun
3
Akademisi
4
Masyarakat
No 1
Stakeholder PPHR
2
Dishutbun
3
Akademisi
4
Masyarakat
Peran Melakukan prunning Melakukan kerjasama dengan pihak luar Melakukan pemupukan rutin Melakukan pertemuan rutin anggota Menetapkan peraturan formal pengelolaan Koordinasi kegiatan dengan pihak terkait Memberikan penyuluhan Monitoring pelaksanaan kegiatan Melakukan kajian terkait HR Memberikan rekomendasi hasil studi Keterlibatan dalam perencanaan kebijakan Melakukan punlikasi hasil studi Pemanfaatan sumber mata air Pemanfaatan kayu bakar Mendukung pelestarian HR Pemanfaatan kayu log Kode Bobot kinerja A.1 ........ A.2 ........ A.3 ........ A.4 ........ B.1 ........ B.2 ........ B.3 ........ B.4 ........ C.1 ........ C.2 ........ C.3 ........ C.4 ........ D.1 ........ D.2 ........ D.3 ........ D.4 ........
Kode A.1 A.2 A.3 A.4 B.1 B.2 B.3 B.4 C.1 C.2 C.3 C.4 D.1 D.2 D.3 D.4 Bobot kepentingan ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........ ........
4. Saran 1. Bagaimana saran bapak/ibu mengenai perencanaan sampai pelaksanaan kebijakan agar tercapai pengelolaan dan pemanfaatan HR yang lestari?.......................................
91
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 Juni 1991 dari ayah Iwan Kuswandi dan ibu Siti Hanifah. Penulis adalah putra ketiga dari lima bersaudara. Penulis memulai jenjang pendidikan di TK Mexindo kemudian meneruskan ke SDN Bangka 4, SMP Negeri 3 dan SMA Negeri 5 Kota Bogor sampai lulus. Pada tahun 2009 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Surat Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Penulis juga pernah aktif dalam keorganisasian kampus seperti Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture Xpression sebagai anggota, HIMPRO REESA sebagai anggota divisi Internal Development pada tahun 2010/2011 dan sebagai ketua umum pada tahun 2011/2012. Pada tahun 2012 juga penulis pernah melaksanakan Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) didanai oleh Dikti dengan judul “Intangible Value yang Tidak Pernah Diperhitungkan oleh Masyarakat Giriwoyo, Wonogiri”.