newsletter #14 | SEPTEMBER 2014
Otak-Atik Parlemen
Opini Menegaskan Kehadiran Perempuan di Parlemen OLEH MAHARDDHIKA
Otak-Atik Koalisi-Oposisi OLEH ERIK KURNIAWAN
Kaleidoskop Pemilu 2014 (Agustus) #PustakaPemilu
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
pengantar
Otak-Atik Parlemen
Efektifitas pemerintahan dan pemberdayaan perempuan merupakan dua tujuan dalam UndangUndang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Jika merujuk hasil Pemilu 2014, secara hitung-hitungan angka, dua tujuan itu tak tercapai. UU No. 8/2012 cukup berambisi merampingkan partai parlemen agar kerja pemerintahan terpilih Pemilu 2014 lebih efektif. Ambang batas parlemen dinaikan, dari 2,5 persen jadi 3,5 persen di DPR RI. Ternyata partai parlemen bertambah satu, dari 9 menjadi 10. Pemilu legislatif menghasilkan caleg perempuan terpilih yang jumlahnya lebih sedikit dari Pemilu Legislatif 2009. Hasil pencoblosan 9 April hanya menghantarkan 17 persen perempuan ke parlemen.
Dua kegagalan agenda tersebut makin diperkuat dengan otak-atik parlemen di fase transisi pemerintahan. UU MD3 merupakan bentuk otak-atik parlemen yang makin menghambat peran perempuan di parlemen. Patut disyukuri, Mahkamah Konstitusi melalui putusan dalam uji materi UU MD3 (29/9) berpihak pada gerakan keadilan perempuan. Jika tidak, cita mewujudkan kebijakan yang berpihak pada kesetaraan lebih sulit dicapai tanpa sensitifitas gender dalam penyusunan pimpinan DPR RI. Di akhir periode pemerintahan 2009-2014, DPR RI mensahkan UU Pilkada (tak langsung). Melalui sejumlah jejak pendapat, hamper 90 persen warga ingin tetap pilkada langsung. Para pakar menyatakan pilkada tak langsung di Indonesia menyalahi konstitusi dan teori tata negara dan pemilu. Bahkan Kementerian Dalam Negeri yang sebelumnya melalui Dirjen Otonomi Daerah mengusulkan pilkada tak langsung berbalik mendukung pilkada langsung. Di sini pilkada tak langsung sebatas kepentingan sebagian elite politik yang mengotak-atik parlemen. Alhasil, dinamika parlemen bukan soal koalisi-oposisi, melainkan kuasa siapa mendapatkan apa. Hasil Pemilu 2014 ternyata berdampak mendorong dinamika transisi pemerintahan yang tak linear. Akumulasi mayor suara rakyat di pemerintahan belum tentu sejalan dengan harapan rakyat itu sendiri. Bahkan, jika demokrasi menuntut meritokrasi, pandangan para pakar pemilu bisa tak digubris orang-orang terpilih hasil pemilu. Lagi, kita menemukan paradoksal pemilu dalam demokrasi yang belum matang. []
Newsletter rumahpemilu.org Redaksi: Usep Hasan Sadikin, Heru Suprapto, Maharddhika, Nelvia Gustina, Bagus Purwoadi; Layout: Usep Hasan Sadikin; Ilustrasi: Usep Hasan Sadikin. Redaksi rumahpemilu.org menerima tulisan berita, opini, resensi film, feature seputar pemilu. Tulisan akan dimuat untuk kebutuhan publikasi www.rumahpemilu.org dan newsletter. Tulisan dikirim berformat word ke
[email protected].
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
opini Menegaskan Kehadiran Perempuan di Parlemen OLEH MAHARDDHIKA Perempuan legislator terpilih berhasil mengisi 97 dari 560 kursi di DPR untuk lima tahun ke depan. Jumlah ini masih jauh dari setara. Maka, “the politics of presence,” afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen perlu dilanjutkan dengan menempatkannya pada posisi strategis, salah satunya posisi pimpinan alat kelengkapan dewan. Perempuan, yang didorong oleh kebijakan afirmasi perempuan dalam pencalonan legislatif, menuai hasil yang kurang memuaskan di Pileg 2014 lalu. Ia hanya mampu mengisi 17, 32 persen kursi di DPR—97 dari 560 kursi. Jumlah kehadiran perempuan di DPR ini menurun dibandingkan periode 2009-2014 yang mencapai 18 persen dari total kursi di DPR. Perempuan caleg terpilih mencapai 103 orang. Kondisi ini hendaknya tidak dimaknai sebagai ketakmampuan perempuan (bertarung dengan laki-laki) dalam kancah politik. Ani Soetjipto, aktivis perempuan dan akademisi Universitas Indonesia, menilai masih kentalnya diskriminasi perempuan di ruang-ruang publik yang jadi sebab utama. Akibatnya, ia tak memiliki basis sosial sekuat yang dimiliki lakilaki. Sistem pemilu proporsional daftar terbuka memungkinkan laki-laki, yang lebih punya kesempatan di ruang-ruang publik ini, dikenal luas dan meraih suara terbanyak. Atas ruang-ruang yang tak setara itu, muncullah afirmasi keterwakilan perempuan. Afirmasi keterwakilan perempuan dalam politik adalah soal memberikan ruang yang setara dalam bidang tersebut. Anne Philips menyebut konsep “the politics of presence.” Ia menyarankan agar dilakukan genderisasi terhadap ruang pribadi, ruang domestik, dan ranah publik secara bersamaan. Tujuan politiknya adalah menciptakan bentuk pluralisme baru, termasuk pluralitas arena, peran, dan identitas politik perempuan. Dalam pencalonan anggota legislatif, kesetaraan ruang laki-laki dan perempuan 3
Dalam pencalonan anggota legislatif, kesetaraan ruang laki-laki dan perempuan sebetulnya telah didorong. UU No. 8 Tahun 2012 memaksa partai untuk memberikan setidaknya 30 persen ruang pencalonan anggota legislatif bagi perempuan. PKPU No. 7 Tahun 2013 menegaskan, partai yang tidak memenuhi afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon di suatu daerah pemilihan dinyatakan tidak bisa mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan. Di pemilu, UU dan PKPU itu telah mendorong ruang tanding politik yang setara antara laki-laki dan perempuan. Afirmasi keterwakilan perempuan dalam pencalonan ini telah berhasil dalam hal memberi ruang lebih luas bagi kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Terbukti, persentase pencalonan berhasil naik, yakni 33, 6 persen pada Pemilu 2009 dan 37 persen pada Pemilu 2014. Meskipun demikian, ternyata kehadiran caleg perempuan hasil Pemilu 2014 ini masih didominasi oleh hasil dari adopsi kebijakan afirmatif yang ditundukkan di bawah kuasa politik dan ekonomi para pejabat atau penguasa politik maupun elit ekonomi (Puskapol UI menyebutnya politik gender oligarki). Implementasi kebijakan afirmatif masih sangat terbatas pada pemenuhan syarat administratif agar partai dapat meloloskan diri untuk ikut dalam pemilu. 97 perempuan yang bisa masuk parlemen itu pun kemudian dijegal keterwakilannya di DPR. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) mengebiri ruang berpolitiknya. Hilangnya frasa 'dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut pertimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi' di enam pasal UU MD3 menutup peluang perempuan untuk bisa
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
anggota tiap-tiap fraksi' di enam pasal UU MD3 menutup peluang perempuan untuk bisa memimpin alat kelengkapan dewan. Enam pasal dalam UU MD3, yang menghilangkan klausul keterwakilan perempuan, ini adalah pasal 97 ayat (2) yang mengatur komposisi pimpinan komisi, pasal 104 ayat (2) terkait komposisi pimpinan badan legislasi, dan pasal 109 ayat (2) tentang komposisi pimpinan badan anggaran. Selain itu, keterwakilan perempuan juga dihapus dalam pasal 115 ayat (2) tentang komposisi pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), pasal 121 ayat (2) tentang mahkamah kehormatan dewan, pasal 152 ayat (2) terkait komposisi pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan pasal 158 ayat (2) tentang pimpinan panitia khusus. Dalam sidang perdana permohonan Perludem pada MK untuk melakukan judicial review UU MD3 atas hilangnya frasa ‘memperhatikan keterwakilan perempuan’ itu, Kamis (28/8), hakim Ahmad Fadlil Sumadi menyebut argumen permohonan perlu berangkat dari konstitusi, UUD 1945. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan. Ia menanyakan, apakah hak perempuan, seperti tersirat dalam UUD itu, masih terdiskriminasi? Pada praktiknya, hak konstitusional itu memang dinafikan. Perempuan, di DPR masa kepengurusan 2009—2014, tak ada yang jadi pimpinan DPR. Komposisi perempuan dalam anggota alat kelengkapan juga masih timpang. Di Badan Anggaran, ada 87 anggota laki-laki dan 7 perempuan. Di Badan Legislasi, komposisinya 43 laki-laki dan 7 perempuan. Badan Urusan Rumah Tangga terdiri atas 42 anggota laki-laki dan 11 perempuan. Badan Kehormatan terdiri atas 11 anggota laki-laki saja. Badan Kerja Sama Antar Parlemen terdiri atas 36 anggota laki-laki dan 14 perempuan. Sementara Badan Akuntabilitas Keuangan Negara komposisinya 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Posisi perempuan di komisi, yang berhubungan langsung dengan pembuatan 4
Posisi perempuan di komisi, yang berhubungan langsung dengan pembuatan kebijakan di berbagai bidang, juga timpang. Perempuan legislator lebih banyak ditempatkan pada bidang-bidang yang terstereotip dekat dengan perempuan, yaitu komisi VIII (Agama dan Sosial), IX (Tenaga Kerja), dan X (Pendidikan). Komposisi perempuan di komisi itu berturut-turut adalah 29,5%, 40,8%, dan 21,2% dari total anggota masing-masing komisi. Dua dari komisi ini dipimpin oleh perempuan, Ida Fauziyah dari PKB memimpin komisi VIII dan Ribka TJiptaning dari PDIP memimpin komisi IX. Sementara di komisi lain, komposisi perempuan menempati kisaran 5,8 % (Komisi III/ Hukum) hingga 19 % (Komisi II/ Pemerintahan dalam negeri) dari total anggota masing-masing komisi. Oleh karena itu, dalam kondisi ini, perempuan masih memerlukan afirmasi keterwakilan di parlemen. Ia masih membutuhkan ruang berpolitik yang setara dan tentunya “the politics of presence.” Maka, menempatkannya pada posisi pimpinan alat kelengkapan dewan adalah bentuk afirmasi keterwakilan perempuan dalam jumlahnya yang tak setara di parlemen. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan tak menghapus frasa 'dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut pertimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.' Dengan menjadi pimpinan alat kelengkapan, perempuan akan terlibat aktif dalam proses pembuatan keputusan, termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan kaum perempuan. Ketika perempuan dan laki-laki dalam parlemen—ataupun dalam pemerintahan secara umum—dalam posisi yang setara, kepentingan perempuan (demikian juga dengan laki-laki) tidak akan banyak dipinggirkan. Posisi pimpinan alat kelengkapan dewan strategis bagi perempuan untuk mengawal kepentingan. Dengan ada di pimpinan alat kelengkapan dewan, keterwakilan perempuan terjamin, apalagi pada saat voting dan pengambilan keputusan. Perempuan harus terwakili dalam posisi-posisi pengambil kebijakan di DPR.
NEWSLETTER #13 | AGUSTUS 2014
Posisi perempuan di komisi, yang Dalam membuat kebijakan, pimpinan berhubungan langsung dengan pembuatan hampir pasti harus hadir dan mengawal setiap kebijakan di berbagai bidang, juga timpang. pembahasan. Jika perempuan ada di posisi Perempuan legislator lebih banyak ditempatkan anggota, dengan kuantitasnya yang sedikit, ia pada bidang-bidang yang terstereotip dekat dengan dimungkinkan untuk dipindah-pindah membahas perempuan, yaitu komisi VIII (Agama dan Sosial), kebijakan lain yang jumlahnya banyak. Perempuan IX (Tenaga Kerja), dan X (Pendidikan). Komposisi tidak akan bisa fokus dalam setiap pembahasan perempuan di komisi itu berturut-turut adalah kebijakan. 29,5%, 40,8%, dan 21,2% dari total anggota Perempuan juga perlu ada di posisi masing-masing komisi. Dua dari komisi ini pimpinan sebagai representasi kepentingan dipimpin oleh perempuan, Ida Fauziyah dari PKB perempuan yang sering didorong organisasi memimpin komisi VIII dan Ribka TJiptaning dari masyarakat sipil. Nur Iman Soebono, dalam Jurnal PDIP memimpin komisi IX. Sementara di komisi Sosial Demokrasi (2009), menyatakan proses ini lain, komposisi perempuan menempati kisaran 5,8 juga menyangkut upaya membangun basis sosial % (Komisi III/ Hukum) hingga 19 % (Komisi II/ representasi politik perempuan, baik melalui Pemerintahan dalam negeri) dari total anggota lembaga-lembaga representasi politik formal masing-masing komisi. maupun informal, termasuk partisipasi langsung Oleh karena itu, dalam kondisi ini, (direct democracy). perempuan masih memerlukan afirmasi Ada pengaitan ulang antara gerakan keterwakilan di parlemen. Ia masih membutuhkan perempuan (sebagai bagian integral dari gerakan ruang berpolitik yang setara dan tentunya “the sosial), dengan aksi-aksi politik perempuan (yang politics of presence.” Maka, menempatkannya merupakan bagian dari demokrasi representasi). pada posisi pimpinan alat kelengkapan dewan Representasi politik yang diusung kalangan aktivis adalah bentuk afirmasi keterwakilan perempuan dan politisi perempuan setidaknya dalam jumlahnya yang tak setara di parlemen. Hal merepresentasikan tiga elemen penting, yakni ini hanya bisa dilakukan dengan tak menghapus mewakili pemilihnya (functional), partai politiknya frasa 'dengan memperhatikan keterwakilan (ideology), serta konstituen perempuan sebagai perempuan menurut pertimbangan jumlah anggota identitas (social). Perempuan dengan basis sosial tiap-tiap fraksi.' yang menguat diharapkan dapat mendobrak politik Dengan menjadi pimpinan alat gender oligarki di DPR. kelengkapan, perempuan akan terlibat aktif dalam Proses mensinergikan ketiganya dalam proses pembuatan keputusan, termasuk pengaitan ulang tindakan-tindakan politik dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang gerakan sosial perempuan, lanjut Nur Iman mengedepankan kepentingan kaum perempuan. Soebono, merupakan tantangan yang harus dijawab Ketika perempuan dan laki-laki dalam parlemen— kalangan perempuan di tengah-tengah kritik, ataupun dalam pemerintahan secara umum—dalam keraguan, dan bahkan cibiran masyarakat (laki-laki posisi yang setara, kepentingan perempuan pada umumnya) atas kemampuan dan keberdayaan (demikian juga dengan laki-laki) tidak akan banyak mereka. dipinggirkan. Tanpa mengecilkan kemampuan perempuan Posisi pimpinan alat kelengkapan dewan yang lolos karena oligarki politik dan ekonomi, strategis bagi perempuan untuk mengawal dalam konteks ini, kepercayaan perlu ditaruh pada kepentingan. Dengan ada di pimpinan alat setidaknya enam perempuan berlatarbelakang kelengkapan dewan, keterwakilan perempuan aktivis yang lolos di parlemen. Tak hanya itu, terjamin, apalagi pada saat voting dan pengambilan dukungan juga perlu diberikan pada perempuankeputusan. Perempuan harus terwakili dalam perempuan kader partai yang punya perspektif posisi-posisi pengambil kebijakan di DPR. gender. Mereka perlu terus didorong karena resiko Dalam membuat kebijakan, pimpinan hampir pasti 5 isu dan kepentingan perempuan kemungkinan harus hadir dan mengawal setiap pembahasan. Jika besar akan dikooptasi, tersubordinasi, dan bahkan
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
Dalam membuat kebijakan, pimpinan hampir pasti harus hadir dan mengawal setiap pembahasan. Jika perempuan ada di posisi anggota, dengan kuantitasnya yang sedikit, ia dimungkinkan untuk dipindah-pindah membahas kebijakan lain yang jumlahnya banyak. Perempuan tidak akan bisa fokus dalam setiap pembahasan kebijakan. Perempuan juga perlu ada di posisi pimpinan sebagai representasi kepentingan perempuan yang sering didorong organisasi masyarakat sipil. Nur Iman Soebono, dalam Jurnal Sosial Demokrasi (2009), menyatakan proses ini juga menyangkut upaya membangun basis sosial representasi politik perempuan, baik melalui lembaga-lembaga representasi politik formal maupun informal, termasuk partisipasi langsung (direct democracy). Ada pengaitan ulang antara gerakan perempuan (sebagai bagian integral dari gerakan sosial), dengan aksi-aksi politik perempuan (yang merupakan bagian dari demokrasi representasi). Representasi politik yang diusung kalangan aktivis dan politisi perempuan setidaknya merepresentasikan tiga elemen penting, yakni mewakili pemilihnya (functional), partai politiknya (ideology), serta konstituen perempuan sebagai identitas (social). Perempuan dengan basis sosial yang menguat diharapkan dapat mendobrak politik gender oligarki di DPR. Proses mensinergikan ketiganya dalam pengaitan ulang tindakan-tindakan politik dengan gerakan sosial perempuan, lanjut Nur Iman Soebono, merupakan tantangan yang harus dijawab kalangan perempuan di tengah-tengah kritik, keraguan, dan bahkan cibiran masyarakat (laki-laki pada umumnya) atas kemampuan dan keberdayaan mereka. Tanpa mengecilkan kemampuan perempuan yang lolos karena oligarki politik dan ekonomi, dalam konteks ini, kepercayaan perlu ditaruh pada setidaknya enam perempuan berlatarbelakang aktivis yang lolos di parlemen. Tak hanya itu, dukungan juga perlu diberikan pada perempuanperempuan kader partai yang punya perspektif gender. Mereka perlu terus didorong karena resiko isu dan kepentingan perempuan kemungkinan besar akan dikooptasi, tersubordinasi, dan bahkan masuk dalam daftar yang bukan prioritas dalam 6 perdebatan di parlemen.
masuk dalam daftar yang bukan prioritas dalam perdebatan di parlemen. Tak mudah memang bagi perempuan legislator untuk hanya memfokuskan diri pada kepentingan perempuan. Walau bagaimana pun, mereka adalah pribadi independen yang memiliki pemikiran dan keinginan sendiri. Selain itu, mereka juga memainkan representasi ganda; menjadi wakil partai yang harus mengakomodasi kepentingan partainya, menjadi wakil para konstituennya (baik laki-laki maupun perempuan), dan secara spesifik menjadi wakil para perempuan di luar parlemen karena kesamaan pengalaman dan kebutuhan. Meskipun demikian, pertanyaan tentang keterwakilan substantif tentu harus diajukan secara terus menerus agar para anggota parlemen perempuan dapat benar-benar berkontribusi bagi perbaikan kehidupan masyarakat Indonesia dan perempuan secara khusus. Di sisi lain, perempuan mesti siap bagaimana memaksimalkan perannya sebagai legislator dalam fungsi memperjuangkan anggaran, regulasi, dan pengawasan. Tentu ini akan baik bagi pendidikan demokrasi dan politik ke depan. [] MAHARDDHIKA Jurnalis rumahpemilu.org
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
opini Otak Atik Koalisi-Oposisi OLEH ERIK KURNIAWAN Geliat politik terkini pasca-putusan MK diprediksi bakan merubah potret koalisioposisi pendukung presiden terpilih 20142019. Pimpinan partai yang tergabung dalam koalisi merah putih mulai sibuk mengkalkulasi apakah akan bertahan pada komitmen yang ada atau berubah arah mendukung presiden terpilih. Komunikasi memang tengah dilakukan oleh partai koalisi pendukung Jokowi-JK. Hal tersebut dilakukan secara sadar mengingat masih kurangnya dukungan dukungan partai jika berdasar pada komposisi perolehan kursi. Koalisi pendukung Jokowi-JK yang terdiri dari PDI Perjuangan, Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura hanya menguasai 37% kursi diperlemen.
Persoalan lain yang lebih penting sebenarnya pada porsi penguasaan pemenang pemilu. Dari empat kali pelaksanaan pemilu paska-reformasi, kecenderungan yang muncul penguasaan porsi pemenang pemilu terus menurun. Pemilu 1999, PDI Perjuangan berhasil menguasai 33,12% kursi, Pemilu 2004 Partai Golkar menguasai 23,27% kursi, Pemilu 2009 Partai Demokrat 26,4% kursi dan Pemilu 2014 PDI perjungan menguasai 19,46% kursi. Hal ini yang kemudian akan menyulitkan ketika membentuk koalisi pendukung pemerintah karena harus kongkowan dengan banyak parpol. Akibatnya, butuh keperkasaan yang lebih dalam mengkomunikasikan program dan kebijakan pemerintah agar lolos saat akan ‘digoyang’ senayan. Melihat peta politik hasil Pemilu Legislatif 2014, dengan penyebaran penguasaan kursi yang bisa dibilang merata pada 10 partai penghuni DPR, PDI Perjuangan selaku pemenang Pileg dan Pilpres perlu menggandeng empat sampai lima partai lain kedalam barisannya. Dengan penguasaan 37% dari empat partai pengusung Jokowi-JK, koalisi ini masih memerlukan dukungan 14% kursi di parlemen. Kebutuhan dukungan itu bisa dipenuhi hanya dengan satu partai jika bisa menggandeng Golkar yang menguasai 16,25% kursi. Jika tidak, pilhannya harus menggandeng dua partai dari koalisi merah putih kecuali Gerindra karena pilihannya haruslah menjadi oposisi.
Efektifitas pemerintahan Model sistem presidensialisme kita memang menghendaki adanya perkawinan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif (convergence of power). Keharusan presiden untuk kawin dengan DPR membuat presidensialisme Indonesia mirip dengan presidensialisme di Amerika Latin. Oleh karena itu, presiden terpilih sudah seharusnya bisa mendapatkan dukungan lebih dari 50% di parlemen untuk melancarkan agenda kebijakan pemerintahan (Kartawidjaya; 2012). Dalam sistem presidensialisme ala amerika latin, upaya mendorong efektifitas pemerintahan selalu selalu dihadapkan pada persoalan banyaknya jumlah partai di parlemen. Oleh karena itu, dalam rangka memperkuat sistem presidensialisme selalu diawali dengan upaya Membangun oposisi yang kritis penyederhanaan partai. Ikhtiar penyederhanaan Pilihan untuk menjadi oposisi sudah partai telah banyak dilakukan melaui rekayasa selayaknya mendapatkan apresiasi dalam sistem pemilihan umum seperti penerapan membangun ilkim demokrasi kita kedepan. ambang batas parlemen dan penciutan daearah Oposisi memiliki peran yang strategis dalam pemilihan (district magnitude). melakukan pengawasan terhadap setiap Persoalan lain yang lebih penting kebijakan pemerintah. Menyampaikan kritik 7 sebenarnya pada porsi penguasaan pemenang dan memberikan solusi alternatif dari
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
kebijakan pemerintah. Menyampaikan kritik dan memberikan solusi alternatif dari kebijakan yang disampaikan pemerintah. Keingingan koalisi merah putih untuk menjadi koalisi permanen dalam lima tahun kedepan bisa menjadi gagasan awal yang cukup baik dalam membangun oposisi yang kritis. Untuk menjaga keseimbangan, perlu kejelian dari koalisi Jokowi-JK dalam membangun koalisi. Pertimbangan untuk membentuk kaolisi ramping sudah menjadi pertimbangan yang pas. Porsi penguasaan parlemen cukup dimaknai dengan mengusai lebih dari 50%, tidak perlu merangkul seluruh partai yang bersedia bergabung. Dalam konteks ini koalisi Jokowi-JK cukup mengajak Golkar untuk bergabung dalam koalisinya. Atau dua partai lainnya, bisa PPP dan PAN, Demokrat dan PAN atau Demokrat dan PPP. Dengan demikian, komposisi koalioposisi tidak terlalu timpang sehingga dapat membuka ruang untuk membangun oposisi yang kuat dan kritis. Kedaulatan anggota Bagi partai yang tergabung dalam koalisi merah putih pilihan untuk tetap menjaga komitmen dan menjadi oposisi atau berubah haluan dan mendukung koalisi pemerintah memang terbuka. Yang perlu digarisbawahi adalah, keinginan atau keputusan untuk mempertahankan komitmen atau berubah haluan jangan hanya didasarkan pada suara elit melainkan berdasarkan pada suara seluruh anggota partai. Dengan demikian kedaulatan anggota partai diakui karena aspirasinya menentukan arah kebijakan partai yang paling strategis. Pertanyaannya bagaimana mekanisme untuk menjaring aspirasi seluruh anggota partai? Menjelang pelaksanaan pemilu legislatif maupun pemilu preseiden, masingmasing partai banyak melakukan survei untuk mengetahui sejauhmana elektabilitasnya. Selayaknya hal yang sama bisa dilakukan dengan mengadakan survei atau polling untuk mengetahui kecenderungan suara para 8 anggota partai untuk memilih apakah akan
bisa dilakukan dengan mengadakan survei atau polling untuk mengetahui kecenderungan suara para anggota partai untuk memilih apakah akan menjadi oposisi atau bergabubg kedalam koalisi pendukung presiden pemilih. Tidak hanya bagi partai dalam koalisi merah putih, demikian juga dengan koalisi pendukung Jokowi-JK. Partai koalisi pendukung juga hendaknya dapat melakukan survei atau polling kepada para anggota dan konstituennya untuk mengetahui sejauh mana kecenderungan para anggota dan konstituennya dalam memilih partai yang akan bergabung dalam koalisi pendukung Jokowi-JK. Ini tantangan bagi partai untuk menghargai suara anggotanya. Kalau partai rela merogoh resource yang banyak untuk survei elektabilitas kenapa tidak untuk mendengar dan menyerap aspirasi seluruh anggota. [] ERIK KURNIAWAN Peneliti Indonesia Parliamentary Center
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
#pustakapemilu
Berharap Apa Lagi pada Afirmasi? OLEH LIA TORIANA & USEP HASAN SADIKIN Jika mengevaluasi hasil Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Legislatif) 2014, kita akan menemukan relevansi kekhawatiran Ani Soetjipto dalam bukunya “Politik Harapan”. Menurut Ani, kebijakan afirmasi perempuan dalam pencalonan 30 persen perempuan setiap partai setiap dapil menyertakan zyper system dalam nomor urut di sistem pemilu proporsional terbuka justru merupakan pelemahan perempuan berpolitik. Kompetisi bebas terbuka, oligarki, patriarkisme caleg perempuan, psikologi pemilih yang cenderung memilih nomor urut 1, akan menghasilkan caleg perempuan terpilih yang berkurang dan minim kualitas. Pemilu Legislatif 2014 menghasilkan 98 kursi untuk legislator perempuan dari 560 kursi DPR RI. Berarti ini berkurang 1 persen dari hasil Pileg 2009, 102 kursi. Ini kemunduran kuantitas. Dalam kualitas pun hasil Pileg 2014 caleg perempuan terpilih merupakan perempuan yang menjadi perpanjangan kuasa patriarki. Lebih banyak dari mereka merupakan istri dari petahana eksekutif di daerah, istri petahana legislator, atau istri dari elite partai. Jika bukan dari kalangan itu, yang terpilih lebih karena tingkat popularitasnya sebagai pesohor (artis misalnya). Dari semua fakta itu, masih kah kita berharap politik afirmasi perempuan? Jika masih, apa lagi yang mungkin dilakukan perspektif gerakan perempuan dalam afirmasi perempuan di pemilu?
Politik Harapan (2011) Penulis: Ani Soetjipto; Editor: Fitri Bintang Timur; Penerbit: Marjin Kiri; Halaman: 139 hal+xxi . Bingkai pendahuluan menjadi sesi perkenalan dari penulis kepada pembaca tentang apa yang ingin disampaikan dalam buku ini. Perjalanan pemikiran buku ini disampaikan lugas dan tidak bertele-tele. bisa dengan mudah memahami apa isi buku. Uraian singkat tersebut setidaknya menjadi acuan penting bagi pembaca Evaluasi dan optimisme sebelum memulai tur babak pertama hingga Politik Harapan Ani Soetjipto memaparkan ketiga. temuan-temuan empiris serta pemikirannya Bab pertama memaparkan perkembangan tentang tantangan dan masa depan gerakan gerakan perempuan di arena politik formal di perempuan dalam konstelasi politik Indonesia. Indonesia. Penulis menggunakan pendekatan Diawali dengan tajuk “Politik Harapan” tidak periodical pada bab ini. Rentang waktu berlebihan rasanya di tengah patriarkisme politik, pembahasan, 1998-2008. Isinya merupakan para pembaca diberikan setitik cahaya. Optimisme. kombinasi hasil studi dan analisis esai, Bingkai pendahuluan menjadi sesi memaparkan capaian, kendala dan tantangan yang perkenalan dari penulis kepada pembaca tentang 9 dihadapi oleh gerakan perempuan. apa yang ingin disampaikan dalam buku ini. Premis besar dalam bab pertama buku ini
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
memaparkan capaian, kendala dan tantangan yang dihadapi oleh gerakan perempuan. Premis besar dalam bab pertama buku ini adalah tantangan implementasi pengarus utamaan gender (PUG), khususnya pejabat publik dalam kebijakan, program, dan penganggaran. Gerakan sosial, (semestinya) juga gerakan perempuan pada masa kekinian lebih direlasikan dengan masyarakat sipil, bukan ekonomi bahkan politik. Salah satu penelitian empiris menemukan “struktur kesempatan politik” yang diusung gerakan sosial (justru) bias gender. Partai politik dan negara (lokal dan nasional) cenderung didominasi oleh laki-laki. Analisa dan jawaban tentang tantangan tersebut dipaparkan secara komprehensif dalam bab pertama. Bab kedua berisi catatan advokasi yang berfokus pada upaya mendesak perubahan sistemik lewat amandemen paket UndangUndang Politik yang berlangsung sepanjang 2007-2009. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghantam gerakan perempuan dengan kejutan pada akhir 2008. Pembatalan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10/ 2008 yang mengatur tata cara penentuan calon terpilih menggunakan nomor urut namun di sisi lain menerima secara konstitusional Pasal 53 dan 55 yang mengatur tentang kebijakan alternatif untuk kelompok perempuan. Inkonsistensi sikap politik pejabat publik pembuat dan pemutus kebijakan terpapar dalam pembahasan bab ini.
Seiring putusan pemilu serentak 2019, MK pun menghapuskan terma “presidencial threshold” dalam undang-undang presiden dan wakil presiden (pilpres). Ini berarti UU Pemilu yang akan dibuat pasca-pelantikan DPR RI 20142019 akan cenderung dikondisikan perumusnya menjadi jauh lebih terbuka terhadap partai baru masuk sebagai peserta Pemilu 2019. Jika gerakan perempuan berkemauan, afirmasi perempuan di pemilu tak hanya diupayakan dalam tataran 30 persen pencalonan pemilu legislatif. Afirmasi bisa diupayakan dalam bentuk kuota kursi perempuan di parlemen. Ini memungkinkan karena sekali lagi, UU Pemilu akan dibuat di rentang 2014-2019. Kerjasama antara aktivis perempuan dan aktivis pemilu yang semakin menguat, sangat baik dipertahankan untuk menghasilkan disain pemilu efektif dan efisien sekaligus berpihak pada perempuan (baca: kesetaraan dan keadilan). Jika pemilu dimaknai sebagai konversi suara menjadi kursi (saja) dampak pemaknaan prosedural ini menjauhkan pemilu dari demokrasi bermakna dari, oleh, dan untuk rakyat. Pemilu hanya melibatkan rakyat menjadi pemilih saja. Dalam kontestasi dan pascapencoblosan, rakyat tak rasakan dampaknya. Perempuan berjumlah setengah dari total warga Negara. Pemerintahan maskulin dan dijalankan laki-laki menciptakan ketaksejahteraan kaum perempuan yang berdampak pada degenerasi pertumbuhan rakyat. Perspektif kesetaraan gender melalui afirmasi perempuan Kuota perempuan di parlemen Bila kita tarik relevansi rentang 1998-2008 pada penting untuk meningkatkan kuantitas dan Putusan MK 2014 tentang penyelenggaraan kualitas perempuan di pemerintahan. pemilu serentak 2019 afirmasi perempuan di Maka “pemilu” penting direvitalisasi pemilu memungkinkan diperkuat. Joko Widodo kepada substansi demokrasi. Sehingga, pemilu dalam debat capres dan cawapres di tema adalah konversi suara rakyat menjadi kursi yang demokrasi dan penegakan hukum mengatakan, merepresentasikan rakyat. jika pemerintahannya terpilih ia akan Perspektif politik representatif mempertahankan pemilu serentak baik tingkat menekankan, jika jumlah penduduk perempuan nasional maupun daerah. Pemerintahan 2014adalah setengah dari seluruh jumlah penduduk, 2019 ini dengan dukungan parlemen jelas terjadi ketimpangan besar keterwakilan memungkinkan untuk didorong membuat undangperempuan di parleman. Lembaga perwakilan undang pemilu yang terbuka terhadap partispasi idealnya terdiri atas berbagai karakter kelompok perempuan. berdasarkan seks, ras, kelas, dan usia. Politik Seiring putusan pemilu serentak 2019, MK representatif menilai, entitas dari ragam warga 10 pun menghapuskan terma “presidencial hanya bisa utuh diwakilkan di threshold” dalam undang-undang presiden dan pemerintahan/parlemen oleh entitas yang
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
caleg secara personal. Apakah bakal caleg sudah melalui alur pembentukan perspektif feminisme dalam solidaritas perempuan? Pernahkah mengalami kekerasan? Sadarkah sebagai korban relasi? Beranikah menuturkan? Sudah dapatkah aksi saling berbagi pengalaman dan penguatan sebagai bentuk ilmu pengetahuan feminisme? Lalu apa proyeksi keadilannya dan bagaimana? Dengan menjawab pertanyaan itu, kita bisa menilai tak ada perspektif feminis di tubuh semua partai, setidaknya sampai Pemilu 2014. Bahkan partai yang mencitrakan diri partai perempuan dan partai yang banyak beranggota perempuan. Malah, ada partai paternalistik yang bangga berkampanye dengan latar belakang tokoh pelaku poligami. LSM perempuan Kalyanamitra berpendapat, sejak 1928 hingga Orde Lama, politik perempuan memberikan kontribusinya yang khas untuk dinamika demokrasi Indonesia. Setelah terlibat dalam Sumpah Pemuda, aktivis perempuan saat itu dengan puluhan organisasi perempuan seluruh Indonesia duduk bersama di Yogyakarta melaksanakan Kongres Perempuan Partai perempuan di pemilu Pertama. Nyata dan kuatnya politik patriarki di dalam Sayangnya, meski aktivis perempuan partai sangat menghambat afirmasi perempuan. beserta lembaganya cukup kuat dalam Jika tak bisa dibilang tak ada, sangat kecil pengorganisasian, partai perempuan tak pernah harapan perempuan bisa berdaya dalam mengikuti pemilu. Semakin disayangkan, saat keanggotaan, kaderisasi, dan pencalonan pemilu Orde Baru berkuasa, kelembagaan perempuan oleh partai. Dewan perempuan yang direkrut, yang dibentuk sebagai pengetahuan dan dicalonkan, dan terpilih melalui partai merupakan pemberdayaan perempuan berpolitik malah perempuan yang dekat dengan kuasa patriarki diberangus. Organisasi perempuan diganti partai. Vagina di sini sebatas mediasi tubuh organisasi bentukan Orde Baru. Melalui konsepsi oligarki patriarki partai. Ibuisme, perempuan didomestikan otoritrian Keadaan itu sebetulnya lebih dari cukup Soeharto. Perempuan memulai dari nol lagi untuk mendorong aktivis perempuan membentuk keperayaan dirinya untuk bisa terlibat dalam partai perempuan. Partai perempuan di sini tentu kontribusi publik. saja bukan partai bernama “Partai Perempuan”. Reformasi 1998 menjadi momentum besar Ini merupakan pelembagaan pemikiran kebangkitan gerakan massa, termasuk gerakan feminisme berdasarkan partisipasi tubuh perempuan. Didik Supriyanto dalam “Politik bervagina menyertakan pengalaman korban dan Perempuan Pasca-Orde Baru” (Perludem 2013) perlawanan dalam bingkai solidaritas perempuan menjelaskan, gerakan Ibu Peduli merupakan (sisterhood). gerakan terorgansiasi dengan baik yang terlibat Idealnya, aktivisme partai perempuan aksi menjatuhkan Orde Baru. Jelang Pemilu 1999, harus menyertakan alur pembentukan perspektif gerakan perempuan mempersiapkan keterlibatan feminisme terhadap anggotanya, khususnya bakal di politik formal. Sayangnya, perjuangan caleg secara personal. Apakah bakal caleg sudah “afirmasi perempuan” pertama kali terlalu melalui alur pembentukan perspektif feminisme 11 menguras tenaga sehingga pendirian partai dalam solidaritas perempuan? Pernahkah representatif menilai, entitas dari ragam warga hanya bisa utuh diwakilkan di pemerintahan/parlemen oleh entitas yang bersangkutan. Berdasar politik representatif, afirmasi perempuan bukanlah kebijakan sementara. Afirmasi perempuan dalam parlemen merupakan kebijakan selamanya. Keterwakilan dalam parlemen bukanlah soal seberapa mungkin entitas warga bisa diwakili. Keterwakilan dalam parlemen merupakan gambaran proporsi dari ragam entitas warga negara keseluruhan. Banyak negara lain yang menghasilkan kebijakan prokesetaraan menerapkan afirmasi perempuan dalam bentuk kuota kursi di parlemen. Di India, amandemen ke-74 menyatakan bahwa 33 persen kursi dalam badan kotapraja dicanangkan untuk perempuan. Bangladesh, 30 dari 330 kursi atau 9 persen. Di Tanzania, 20 persen dari kursi yang ada di tingkat nasional dan 25 persen kursi di tingkat lokal (IDEA).
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
di politik formal. Sayangnya, perjuangan “afirmasi perempuan” pertama kali terlalu menguras tenaga sehingga pendirian partai perempuan dinilai tak strategis. Di tengah perjuangan penghapusan kursi khusus militer di parlemen, gerakan perempuan malah meminta akses khusus kursi. Berdasar rentang hasil Pemilu 1999-2014, evaluasi afirmasi perempuan di pemilu adalah bagaimana meningkatkan keterpilihan perempuan secara kuantitas dan kualitas. Soal kuantitas, meski sempat bertambah presentase perempuan terpilih di Pemilu 1999 (9% dari 500), Pemilu 2004 (11,09% dari 550), dan Pemilu 2009 (17,89% dari 560), capaian jumla ini jelas jauh dari harapan 30%. Bahkan di Pemilu 2014 persentase menurun menjadi 17,32 dari 560%. Soal kualitas, tak adil jika penilaian negatif ditujukan terhadap kualitas perempuan di parlemen. Penilaian kualitas perempuan dewan perlu menyertakan pertimbangan keadaaan bahwa, DPR yang elitis, korup, miskin ideologi dan rendah empatik pada rakyat itu selalu dikuasai tubuh berotak penis dan otot sejak demokrasi ditetapkan Bapak Bangsa. Tapi tetap, kualitas perempuan di parlemen diakui menjadi tantangan. Faktanya, meski jumlah perempuan di parlemen 2009-2014 lebih banyak dibandingkan 2004-2009, undang-undang berpihak pada perempuan yang dihasilkan justru jauh lebih banyak di 2004-2009. Berdasarkan pengalaman itu, partai politik perempuan berperspektif feminisme dibutuhkan. Di dalamnya terus diupayakan kaderisasi politik perempuan untuk mengikuti afirmasi perempuan, baik itu dalam pencalonan atau kuota kursi di parlemen. Partai perempuan akan menjawab tantangan permasalahan kuantitas dan kualitas politik elektoral perempuan. Soal peluang partai perempuan berhasil masuk parlemen, Pemilu 2019 sangat memungkinkan. Disain pemilu serentak yang sudah disepakai MK telah menghapuskan presidential threshold. Sistem ini akan diarahkan pakar pembuat undang-undang pemilu untuk memungkinkan partai baru bisa mencalonkan presiden dalam penyatuan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif. 12 Tantangannya, kesetaraan dalam
presiden dalam penyatuan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif. Tantangannya, kesetaraan dalam feminisme partai perempuan akan dihadapkan pada konteks pemilu yang cenderung mempertahankan partai berfigur kuat. Didik Supriyanto dalam “Pemilu Serentak yang Mana?” (2012) menjelaskan, menyatukan pemilu eksekutif dan legislatif mendorong “efek menarik kerah” (coattail effect). Jika pemilih disodorkan surat suara pilihan presiden dan surat suara pilihan partai, maka pemilih cenderung memilih partai yang mencalonkan presiden yang disukai pemilih. Selain perlu figur menasional, partai perempuan pun membutuhkan pemetaan partai berdasarkan kedekatan ideologi. Efek menarik kerah sengaja dimungkinkan muncul untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dimulai dari koalisi yang dilakukan jauh dari sebelum pencoblosan. Selama ini, presiden, gubernur, dan bupati/wali kota tak bisa efektif (apa lagi utuh) mewujudkan visi, misi, program, dan janji kampanye karena parlemen tak kondusif mendukung kerja eksekutif. Pemilu serentak bertujuan agar figur yang lebih berpeluang menang didukung banyak partai agar elektabilitas pertai ikut mengikuti elektabitas figur. Memang, tantangannya tak ringan membentuk partai perempuan berperspektif feminisme menjadi peserta pemilu. Tapi jika mau membandingkan dengan pemilu sebelumnya, jelas Pemilu 2019 sangat mungkin. [] LIA TORIANA dan USEP HASAN SADIKIN, Penggiat di Kelompok Tutur Perempuan
NEWSLETTER #14 | AGUSTUS 2014
Kaleidoskop Pemilu 2014 Agustus 2014 1.
Tim Pemenangan Prabowo-Hatta melaporkan Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik ke Badan Reserse Kriminal Polri. Husni dilaporkan karena adanya surat edaran KPU Nomor 1446/Tanggal 25 Juli 2014 terkait pembukaan kotak suara. Surat edaran itu membuat sejumlah KPU di provinsi dan kota/kabupaten membuka kotak suara. Seluruh anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu pun diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Mereka diadukan sejumlah pihak ke DKPP karena dugaan pelanggaran kode etik.
3.
Berdasarkan pelanggaran selama penetapan rekapitulasi penghitungan suara itu, kubu Prabowo meminta Mahkamah Konstitusi agar: 1) Memerintahkan KPU sebagai Termohon menggelar pemungutan suara ulang di 33 provinsi, antara lain: -Pemungutan suara ulang di 5.802 TPS di DKI Jakarta; -Pemungutan suara ulang di 287 TPS Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara; -Pemungutan suara ulang di 12 kabupaten di Papua. 2) Membatalkan hasil rekapitulasi hasil penghitungan suara pilpres yang menetapkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang. 3) Menyatakan perolehan suara yang benar adalah Prabowo-Hatta 67.139.153 suara (50,25%), dan Jokowi-Kalla 66.435.124 suara (49,74%). Adapun sesuai dengan hasil penghitungan suara versi KPU, Jokowi-JK 70.997.883 suara (53,15%) dan Prabowo-Hatta 62.576.444 suara (46,85%).
6.
kalimat. Dia juga menyoroti permohonan untuk mengajukan pembatalan keputusan KPU yang menetapkan hasil Pilpres 2014.
7.
Tim Prabowo-Hatta menyampaikan berkas permohonan yang sudah diperbaiki berdasarkan nasihat hakim pada sidang perdana, Secara fisik, berkas permohonan menjadi lebih tebal dengan penambahan 50 halaman (dari 146 halaman menjadi 196 halaman). Berkas permohonan Prabowo-Hatta menjadi jauh berbeda dari berkas yang diajukan pada 26 Juli. Kesalahan ketik dan copy-paste yang disorot publik serta sempat dikritik hakim MK sudah hilang. Berkas permohonan menjadi lebih rapi, struktur permohonan lebih jelas, yaitu memisahkan kesalahan rekapitulasi dengan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Kecurangan yang didalilkan pun menjadi lebih detail dengan menjelaskan di tempat pemungutan suara mana saja kecurangan terjadi. Uraian masalah di 10 provinsi yang semula kosong pun kini sudah diisi. Secara garis besar, tim Prabowo-Hatta mempersoalkan tiga hal. Pertama, kesalahan rekapitulasi KPU. Kedua, pemilu yang cacat hukum dan tak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketiga, kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Petitum mereka tak berubah, yaitu meminta pembatalan surat keputusan KPU tentang hasil rekapitulasi suara nasional dan penetapan paslon terpilih serta MK diminta menetapkan perolehan suara versinya. Alternatif kedua, MK diminta menyatakan terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dan mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 2 (Jokowi-JK) serta memerintahkan pemungutan suara ulang di semua TPS di Indonesia. Alternatif ketiga, MK diminta memerintahkan pemungutan suara ulang di 48.165 TPS bermasalah di seluruh Indonesia, yakni 5.948 TPS di Jakarta, semua TPS di Provinsi Jawa Tengah dan Papua Barat, serta TPS di beberapa daerah lain.
Majelis hakim MK menemukan sejumlah kesalahan dalam berkas permohonan gugatan hasil pemilu yang diajukan kubu Prabowo-Hatta. Majelis mengultimatum Tim Prabowo agar melakukan perbaikan dalam waktu 1 x 24 jam. Hakim MK, Ahmad Fadlil Sumadi, menyarankan agar kuasa hukum Prabowo-Hatta membuat laporan dengan logis dan sistematis. Ia menilai banyak kesalahan dalam gugatan yang disampaikan, terutama dalam penyusunan kalimat. Dia juga menyoroti permohonan untuk 11. Dalam dua kali sidang pembuktian di MK, mengajukan pembatalan keputusan KPU yang 13 hampir semua saksi Prabowo-Hatta
NEWSLETTER #13 | AGUSTUS 2014
11.
Dalam dua kali sidang pembuktian di MK, hampir semua saksi Prabowo-Hatta mempersoalkan data pemilih di DPKTb. Namun, data yang diungkap itu ternyata salah. Tim hukum Prabowo-Hatta, misalnya, mengurai keanehan penggunaan DPKTb di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Namun, hal itu dibantah saksi-saksi yang dihadirkan KPU.
21.
Jokowi-JK telah sah secara konstitusional dilantik sebagai presiden-wakil presiden 20142019 sesuai keputusan KPU 22 Juli 2014. Sidang MK, menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta. Dalil-dalil yang diajukan tim Prabowo-Hatta, baik mengenai kesalahan rekapitulasi suara KPU maupun 13. KPU tetap meyakini, pembukaan kotak suara pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, sama sekali tak terbukti. sebelum ada perintah dari Mahkamah Konstitusi tidak Hal itu terungkap dalam putusan MK yang melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Meski dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, kemarin demikian, tindakan KPU itu dipertanyakan sejumlah mulai pukul 14.00 hingga pukul 21.00. anggota DKPP. Komisioner KPU, Sigit Pamungkas MK menolak dalil tim Prabowo-Hatta saat sidang menjelaskan, KPU tidak diam-diam tentang kesalahan penghitungan suara di 155.000 dalam membuka kotak suara karena telah meminta TPS yang dilakukan KPU. Pemohon mendalilkan seluruh KPU di daerah agar saksi kedua pasangan adanya penggelembungan suara untuk Jokowi-JK calon presiden dan calon wakil presiden dilibatkan, sekitar 1,5 juta suara, sedangkan Prabowo-Hatta begitu pula badan/panitia pengawas pemilu. kehilangan 1,2 juta suara. Namun, fakta Ditambah lagi, ada berita acara pada setiap persidangan menunjukkan, tidak ada bukti yang pembukaan kotak suara. Ketua KPU Husni Kamil meyakinkan telah terjadi pengurangan suara Manik menambahkan, pembukaan kotak suara untuk pasangan Prabowo-Hatta. dibutuhkan untuk mengambil sejumlah dokumen MK juga menyatakan tak dapat menerima guna menjawab gugatan hasil pemilu presiden di dalil tentang adanya pengabaian daftar penduduk MK. potensial pemilih pemilu (DP4) oleh KPU sebagai 15. Mantan hakim konstitusi Harjono; Guru Besar sumber dalam menyusun DPT. Menurut Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Muhammad Alim, pemohon tidak menjelaskan Saldi Isra; mantan anggota Bawaslu Bambang Eka cara pengabaian tersebut dilakukan. Lagi pula, Cahya Widodo; dan Ketua Perludem Didik penyusunan DPT pilpres didasarkan pada DPT Supriyanto, memberikan keterangan sebagai ahli pemilu legislatif. Ahli yang diajukan pemohon dalam sidang sengketa Pemilu Presiden 2014 di MK. juga tidak dapat menerangkan kaitan antara DPT Menurut para ahli ini, DPKTb dimaksudkan dan modus kecurangan untuk memenangkan menjamin hak konstitusional pemilih yang tidak calon tertentu. Pemohon juga mendalilkan tentang tercantum dalam daftar pemilih tetap. Hal tersebut adanya penggunaan DPTb dan DPKTb sebagai sejalan dengan putusan MK Nomor 102/PUUsarana untuk memobilisasi pemilih. VII/2009 yang memperbolehkan warga Pemohon mengajukan ahli yang menggunakan KTP/paspor/identitas kependudukan mengungkapkan seharusnya DPKTb tidak lainnya untuk mencoblos. DPKTb tak dimaksudkan digunakan lagi dalam Pemilu 2014 karena tidak untuk menguntungkan salah satu pihak atau ada dasarnya dalam UU Pilpres. Namun, menurut kontestan. Kedua kontestan sama-sama diuntungkan MK, penggunaan DPTb, DPK, dan DPKTb tidak oleh pemilih dengan KTP/paspor. bertentangan dengan hukum dan konstitusi. Sementara itu, Yusril meminta MK tidak Mekanisme DPKTb justru memberikan ruang terpaku pada persoalan perselisihan hasil pemilu bagi pemilih yang tidak tercantum dalam DPT belaka dalam menangani sengketa. Ia berharap MK untuk menyalurkan suaranya. DPTb, DPK, dan melihat masalah lebih substansial mengingat pemilu DPKTb harus dinilai sebagai instrumen terkait dengan persoalan konstitusionalitas dan transisional sampai tiba tertibnya administrasi legalitas penyelenggaraan pemilu. kependudukan. Meski demikian, MK mencatat adanya 21. Jokowi-JK telah sah secara konstitusional 15 penormaan secara tidak tepat oleh KPU dalam dilantik sebagai presiden-wakil presiden 2014-2019
NEWSLETTER #13 | AGUSTUS 2014
Meski demikian, MK mencatat adanya penormaan secara tidak tepat oleh KPU dalam peraturan KPU terkait DPKTb. DPKTb memang sangat rawan dipersoalkan. Karena bersifat transisional, pelaksanaannya harus dilakukan secara ketat dan dengan disiplin tinggi. MK memang menemukan ada pelanggaran dalam penggunaan KTP/paspor ketika memilih, misalnya diperbolehkannya pemilih untuk tidak memilih sesuai alamat yang tertera di KTP. Namun, MK berpendapat tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemilih KTP/paspor tersebut memilih calon tertentu. Pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan, baik di Papua, Papua Barat, maupun DKI Jakarta, sama sekali tak terbukti. Di Papua Barat, pemohon mendalilkan ada kerja sama antara pejabat daerah dan kepala-kepala suku di wilayah tersebut untuk mencoblos pasangan calon nomor 2. Namun, MK menyatakan bahwa pasangan calon nomor 2 tidak mungkin mampu menggerakkan struktur pemerintahan di sejumlah kabupaten di Papua Barat untuk mendukung mereka. Pasalnya, sebagian besar kepala daerah di Papua Barat merupakan pendukung pasangan calon nomor urut 1. Langkah KPU membuka kotak suara untuk menghadapi sengketa di MK tidak terbukti menguntungkan salah satu pihak atau pasangan calon. Langkah itu juga sudah melibatkan pengawas pemilu, saksi peserta pemilu, dan polisi. Demikian pertimbangan DKPP dalam putusan perkara pembukaan kotak suara pasca penetapan hasil Pilpres 2014 oleh KPU. Dalam sidang yang dipimpin Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie ini, putusan dibacakan bergantian empat anggota DKPP, yaitu Nur Hidayat Sardini, Valina Singka Subekti, Anna Erliyana, dan Saut Hamonangan Sirait. DKPP menyatakan, pembukaan kotak suara itu, jika dikaitkan dengan kepentingan KPU mempersiapkan menghadapi sengketa di MK, harus berdasarkan kebutuhan, permintaan atau perintah MK, atau ada perintah pengadilan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan proses hukum. Dengan pertimbangan tersebut, DKPP kemudian memberikan sanksi berupa peringatan kepada seluruh komisioner KPU, yaitu Husni Kamil Manik, Ida Budhiati, Juri Ardiantoro, Arif 16
kemudian memberikan sanksi berupa peringatan kepada seluruh komisioner KPU, yaitu Husni Kamil Manik, Ida Budhiati, Juri Ardiantoro, Arif Budiman, Fery Kurnia Rizkiyansyah, Hadar Navis Gumay, dan Sigit Pamungkas. Sanksi peringatan itu masuk kategori ringan jika dibandingkan bentuk sanksi lainnya, seperti pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap.