Negara & Bangsa Butuh Sosok Kwik & Sri Mulyani OLEH: DEREK MANANGKA http://www.rmol.co/read/2016/09/07/259750/Negara-&-Bangsa-Butuh-Sosok-Kwik-&-Sri-Mulyani-
RABU, 07 SEPTEMBER 2016 , 08:55:00 WIB
Derek Manangka/Net KONSEP ekonomi dan pembangunan Indonesia ala Kwik Kian Gie dan Sri Mulyani Indrawati bisa saja berbeda bahkan bertolak belakang. Ibarat sumbu dan poros, keduanya membentang di koordinat yang berbeda dengan titik tuju yang berlawanan. Ibarat "mashab" dan keahlian, konsep mereka berdua, seperti air dan minyak yang tak bisa dicampur. Tetapi sejatinya, kalau ada kemauan dan kejujuran, di balik semua perbedaan dua ekonom kondang tersebut pasti ada perspektif ataupun konsep yang bisa digunakan dan dimanfaatkan oleh negara bagi kepentingan bangsa. Kwik jebolan institusi pendidikan Belanda (Eropa), sementara Sri Mulyani lulusan Amerika Serikat. Secara dialektika, tidak ada yang bisa mengatakan ilmu yang berasal dari Eropa lebih baik dibanding yang dari Amerika ataupun sebaliknya. Bahkan secara realita bisa dikatakan ilmu Eropa dan ilmu Amerika Serikat memiliki kekuatan dan ciri khasnya masing-masing. Yang pasti ilmu Eropa dan ilmu Amerika sudah diaplikasikan dan hasilnya jelas. Kemakmuran di dua benua itu lebih baik ketimbang Indonesia. Berkat konsep yang tepat guna yang diadopsi di dua benua itu, kesejahteraan hidup masyarakat yang tinggal di dua benua itu, lebih baik ketimbang di belahan lain, termasuk Indonesia. Lalu untuk apa kita sebagai Indonesia, tidak menjadikan dua kiblat berbeda itu sebagai sebuah pembelajaran? Tokh kita sendiri tak punya atau belum punya kiblat.
1
Sudah 71 tahun kita merdeka, tapi kita jauh tertinggal dengan banyak negara. Satu yang paling nyata dengan Korea Selatan. Dengan Korea Selatan, negara yang selisih waktu kemerdekaan kita hanya berselang 2 hari, ketertinggalan sudah sangat jauh. Korea Selatan merdeka pada 15 Agustus 1945, kita pada tanggal 17 Agustus 1945. Masa beda waktu dua hari merdeka, bisa berbeda jauh kemajuan dan kemakmuran seperti sekarang? Pasti ada sesuatu yang salah. Tapi baiklah bukan saatnya kita mencari siapa yang salah. Mari kita ke soal perbedaaan Kwik dan Sri Mulyani saja dulu. Mari perbedaan dua ekonom yang berbeda guru ini, kita jadikan sebagai pembelajaran. Suara bising yang dibuat Kwik, yang merasa aneh melihat Sri Mulyani ditugasi mengurus soal keuangan negara, volumenya jangan diperbesar lagi. Jadikanlah konsep dan pemikiran dari Kwik sebagai seorang ekonom senior bersinerji dengan ekonom junior Sri Mulyani. Persoalannya sekarang, terpulang kepada Presiden yang mewakili negara sekaligus sebagai pemimpin, "user" atau pengguna. Maukah Presiden sebagai pemimpin melihat potensi tersembunyi yang ada di balik perbedaan "mashab" dua ekonom ini? Semestinya Presiden mau. Semestinya Presiden mengambil inisiatif, mempertemukan pemikiran mereka dalam satu ruang yang segar. Beri mereka motivasi sebagai pakar, untuk membantu Presiden. Pemikiran KKG perlu diakomodir. Agar pemikiran bekas menteri dan pengusaha itu, tidak mengganggu kredibilitas dan akuntabilitas SMI yang nota bene sudah dipercaya mnjadi menteri atau pembantu Presiden. Bantuan Kwik dan Sri Mulyani, masih sangat dibutuhkan. Karena bantuan yang ada - dari para pembantu Pak Presiden saat ini - untuk kepentingan Presiden sendiri, agaknya masih belum cukup. Gali sari patih pemikiran mereka berdua.
2
Minta Kwik Kian Gie berdamai kalau bukan dengan Sri Mulyani, yah dengan dirinya. Yakinkan Sri Mulyani memahami pola pikir Kwik yang usianya segenerasi dengan ayahnya. Tantang mereka untuk mengeluarkan segala kemampuan dan enerji positif. Kalau dua-duanya benar punya darah merah putih yang kental, mereka pasti bisa mengeluarkan semua kemampuan. Jika kemampuan masing-masing bisa disinerjikan, hasil positifnya tidak hanya untuk mereka berdua tapi seluruh rakyat Indonesia. Bila demikian hasilnya tak ada lagi yang bisa melihat Kwik sebagai WNI keturunan Tionghoa yang sengaja bervokal agar kelihatan berbeda. Mencoba tampil beda dengan sesama etniknya, seperti Ahok, Gubernur DKI Jakarta misalnya. Demikian pula tak ada lagi tudingan terhadap Sri Mulyani bahwa setelah enam tahun bekerja di Bank Dunia, dia membawa misi neolib ataupun paham ekonomi lainnya yang tidak sesuai dengan isme Indonesia. Persoalan yang dihadapi Indonesia dalam krisis berkepanjangan saat ini, terlalu banyak. Demikian banyak pula konsep yang sudah dibuat dan diterapkan. Tapi hasil akhirnya belum memuaskan. Di antara demikian banyak persoalan tersebut, tanpa sadar kita terjebak oleh eforia demokrasi. Dengan alasan demokrasi, dimana semua pihak berbicara dan merasa paling benar serta paling kompeten. Sudah begitu, kalau bicara soal kepiawaian dalam bidang ekonomi, siapapun bisa mengaku piawai. Padahal ketika bicara ekonomi, muatan terbanyak justru isu politik. Banyak keputusan di bidang ekonomi tidak bisa jalan atau tak dapat dijalankan, karena tidak adanya kemauan politik. Itu pula sebabnya potensi Kwik dan Sri Mulyani tertutupi oleh suara-suara rancu. Terjadi begitu banyak kerancuan. Ekonom menjadi politisi, politisi menjadi ahli hukum, pakar hukum menjadi pelobi. Ekonom - politisi - pakar hukum bersaing kemudian berusaha menjadi pengusaha. Karena tujuan akhirnya mereka hanyalah ingin menjadi penguasa. DPR yang fungsinya jelas-jelas sebagai lembaga legislatif, bermetamorfosa menjadi
3
lembaga judikatif dan eksekutif. Rancu! DPD yang menjadi tempat berkumpulnya para Senator, hanya sekedar hadir seperti asesoris negarawan di Gedung Parlemen, Senayan. Agak rancu! Kerancuan berlanjut. Dunia maritim diurus jebolan Akademi Militer Angkatan Darat, tentara menjadi Satpam, polisi menjadi tentara mirip "fortune soldier", aktifis LSM berubah menjadi seperti pesaing dan oposan pemerintah. Tak ketinggalan, media dan wartawan pun menjadi penyebar informasi yang sudah di-framing dan di-formating sesuai kepentingan si pemilik media. Presiden sudah dua kali melakukan perombakan kabinet. Tapi hasilnya belum dapat dikatakan semua anggota kabinet dalam pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sudah kompak. Polarisasi masih tetap ada. Kubu-kubuan antara "orang Jokowi" dan "orang JK", belum bisa dihapus. Imbasnya polarisasi, kata halus dari "kubu-kubuan", makin merembet ke masyarakat. Presiden tidak sepatutnya membiarkan polarisasi di kabinet. Sebab yang lebih banyak merugi akibat dari polarisasi itu masyarakat banyak. Presiden seharusnya tidak boleh terlalu banyak melakukan pembiaran. Jangan biarkan Meneg Rini Soemarno dicekal oleh DPR-RI. Apalagi menganggap bahwa pencekalan itu akan selesai dengan sendiri, tanpa harus diselesaikan. Jangan biarkan Menteri Rini seperti "untouchable". Kalau Arcandra Tahar dipersoalkan dwi kewarganegaraannya, klarifikasi pula soal tudingan bahwa Rinsoe memegang dwi kewarganegaraan karena ia lahir di Virginia, AS. Sebab akibat pencekalan Menteri Rini di parlemen, roda pemerintahan sebetulnya tidak semuanya berputar. Akibat tudingan ke Rinsoe soal dwi kewargnegaraan didiamkan, muncul anggapan Pak Presiden bersikap diskriminatif.
4
Jangan pula biarkan posisi Menteri ESDM kosong, dirangkap oleh seorang Menko yang sudah terlanjur super sibuk. Buang budaya "care taker" atau "Plt", sebab sesunguhnya SDM kita cukup banyak yang tersedia (menganggur). Negara kita penuh penganggur. Kenapa Pak Presiden tidak tantang - KKG, bagaimana kalau dia urusi sejumlah pos penting yang ditangani secara "care taker"? Jangan biarkan Pak KKG menjadi "penganggur intelektual", tidak bisa menyalurkan adrenalin kepeduliannya. Menghadapi persaingan global yang demikian ketat, Presiden sebagai pemimpin, butuh tim yang kuat. Juga Presiden tidak boleh terjebak oleh suara-suara bising yang saling membanting dan menjatuhkan. Redam semua suara bising itu dengan cara Indonesia yang mengedepankan persaudaran. Bukan dengan cara dikotomi dan paradigma kaku. Kembali ke soal KKG dan SMI, dua sosok ini merupakan ekonom sekaligus aset SDM yang sangat berharga dan potensil bagi bangsa dan negara. Bahwa keduanya memiliki kekurangan dan subyektifitas, hal itu merupakan persoalan tersendiri. TAPI sayang sekali kalau potensi mereka tak tergunakan secara maksimal. Kapasitas terpasang mereka, seharusnya digunakan semua. Presiden yang baru 4 tahun lalu masih menjabat Walikota Solo, perlu diingatkan. Bahwa mengurus Indonesia, harus dengan paradigma dunia. Bukan per sektor kekotaan. Coba lihat dua peristiwa penting yang baru digelar di RRT dan Laos. KTT G-20 dan KTT ASEAN plus. Dua KTT itu adalah simbolisasi. Semua pemimpin yang bertemu di dua KTT tersebut datang dengan ideologi dan konsep yang berbeda. Mashab mereka saling bersaing. Tapi karena mereka sadar tidak mungkin berhasil bekerja sendiri, maka mereka tokh merasa perlu bekerja sama. Dan dalam rangka kerja sama itu, semua pihak harus menyingkirkan perbedaan-perbedaan. Demikian kurang lebih reaksi sejumlah sahabat yang mengikuti ulasan soal sikap Kwik Kian
5
Gie terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia. Ulasan itu tertuang di "Catatan Tengah" edisi 5 September 2016. (Kwik Kian Gie "Memusuhi" Sri Mulyani - Ada Apa?) Reaksi berbentuk tertulis yang sudah muncul di time line akun Facebook, tidak dikutip lagi. Yang diprioritaskan, reaksi para sahabat melalui Japri (jaringan pribadi). Tetapi yang lebih penting lagi dari reaksi-reaksi itu, dan bisa disebut sebagai "benang merah", semuanya peduli atas kondisi dan masa depan Indonesia. Bahwasanya pengungkapan reaksi itu menggunakan bahasa seperti yang anda baca ini, itu hanya soal gaya dan tehnis kosa kata. Yang pasti kita rindu melihat harmonisnya hubungan antara Kwik Kian Gie dan Sri Mulyani Indrawati, dua diantara ekonom terbaik bangsa Indonesia. Dan Pak Presiden, tidak terus menerus dibilang........... [***] Penulias adalah wartawan senior
6