MAKALAH UNTUK SEBUMI INTERNATIONAL SEMINAR Topik Sub Topik Nama Institusi Kontak Email Address
: Politik, Sosial, Ekonomi dan Pertahanan : Kewirausahaan dan Daya Saing Global : Guido Benny, S.Sos, ME : Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia : Phone No: 085692369807; 02193061891. :
[email protected] :Jl.Margonda Gg.Kober No.57A Pondok Cina, Depok 16424 Indonesia
Nationalist In Thinking, Worldminded In Action: The Attitude Of Indonesian Consumers Nearby The ASEAN Free Trade I. ABSTRACT In the ASEAN’s Ministries of Trade’s Conference in 2006, it was decided that the implementation of economic integration under the ASEAN Free Trade Area (AFTA) to be accelerated to 2015. Many observers have argued and some study have been conducted about the readiness of Indonesian business toward globalization. However, the study in the perspective of Indonesian consumers was very rare. Then, the researcher conducted a study in order to understand the attitude of Indonesian consumers towards economic globalization. The study adapted the constructs of consumers’ nationalism and worldmindedness revealed by Rawwas, Rajendran, and Wuehrer (1996). Data was collected, in September -October 2007, using survey questionnaires to 488 respondents in 13 cities (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Balikpapan, Denpasar, Makassar, Medan, Manado, Palembang, Surabaya dan Mataram). To increase the validity of the study, the respondents were carefully selected with judgemental quota sampling, using gender and cohort variables. The research revealed some startling results. Normatively, the consumer nationalism was quite high. Majority of respondents argued that the purchase of imported goods should be pressed as low as possible; that they should not buy foreign products and they should prefer Indonesian ones; and that the domestic products should become their first choice. Furthermore, most respondents agreed to the restriction of imported products that come to Indonesia if the products could be produced locally. Even, they agreed if the government protect local industries by implementing trade barriers to foreign products and by banning the imported goods that threaten local industry’s continuity. However, from the conative dimension, the nationalism of consumers showed the contradictive state. Most respondents show their hesitation to stop buying imported goods and to begin buying Indonesian products. Pragmatism also showed by consumers by not paying any attention if the products were subsidized by the origin countries. Keyword: Consumer Nationalism, Worldmindedness, Globalization, Consumer Attitude.
1
II. LATAR BELAKANG Konferensi para menteri se-ASEAN ke-38 di Kuala Lumpur pada tanggal 22 Agustus 2006 memutuskan percepatan implementasi integrasi ekonomi dalam skema ASEAN Free Trade Area (AFTA) dari tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015 (www.aseansec.org, diakses pada tanggal 10 Mei 2007 pukul 17.22 WIB). Dalam hal ini ada dua skenario yang dapat diproyeksikan. Skenario pertama adalah skenario optimis dimana kesepakatan ini dapat menjadi kesempatan emas bagi bangsa dan negara Indonesia pada umumnya dan dunia usaha Indonesia pada khususnya, apabila kita mampu dan siap untuk bersaing dengan para pebisnis dari negeri jiran (ASEAN). Sebaliknya, skenario kedua akan terjadi apabila masyarakat Indonesia tidak mampu dan tidak siap untuk bersaing. Kesepakatan ini akan menjadi bumerang yang mematikan dalam arti dunia usaha domestik akan semakin terpuruk dalam persaingan yang keras. Bahkan dikhawatirkan negara dan masyarakat hanya akan menjadi pasar sekaligus penonton belaka. Skenario pesimis menghadapi AFTA pernah diutarakan oleh pengamat ekonomi dari UGM, Sri Adiningsih bahwa dengan Cina dan Vietnam Indonesia bahkan sulit bersaing untuk ekspor. Sedemikian rendahnya daya saing Indonesia karena beberapa pusat perbelanjaan atau departement store di Indonesia masih mengimpor besar-besaran dari Cina. Sementara Ketua Kadin Indonesia bidang investasi, Bambang Sujagad, mengatakan, Indonesia belum siap menghadapi percepatan tenggang waktu AFTA termasuk dalam bidang investasi. Masih terlalu banyak kendala seperti faktor keamanan, kepastian otonomi daerah, kepastian Hukum dan lain-lain. Masalah otonomi daerah, menurut Bambang, masih sangat krusial dan akan menjadi salah satu keraguan investor asing masuk ke Indonesia, karena terlalu banyak peraturan otonomi daerah yang overlapping dengan peraturan pemerintah pusat. Misalnya dalam hal pungutan pajak, retribusi dan lain-lain. Pengusaha Indonesia sendiri dinilai belum siap dalam menghadapi AFTA karena kemampuan pengusaha bertanding sangat lemah ketimbang pengusaha dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan lain-lain. Dikhawatirkan pengusaha Indonesia hanya akan menjadi obyek, bukan subyek, dalam AFTA. [www.sinarharapan.co.id, diakses pada tanggal 6 Desember 2007 pukul 11.20 WIB] Dengan melihat kondisi Indonesia saat ini, kemungkinan terjadinya skenario kedua lebih besar akan terjadi, apabila pemerintah, masyarakat dan dunia usaha tidak mempersiapkan diri. Lihat saja kondisi dunia usaha di Indonesia akhir-akhir ini, dimana tampak kalau banyak lapangan usaha dalam negeri yang telah dikuasai oleh pebisnis asing. Berbagai lapangan usaha yang didominasi asing tersebut misalnya adalah industri perbankan, telekomunikasi, penyiaran, pertambangan, entertainment sampai agribisnis dan peternakan. Sebenarnya potensi produk dari dunia usaha Indonesia untuk dapat berkembang dan bersaing cukup besar mengingat Indonesia yang kaya akan sumber daya alam dan potensi kependudukan masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang terbesar di antara negara-negara ASEAN dapat dijadikan basis pengungkit untuk menguasai pasar ASEAN. Intinya, untuk dapat menguasai pasar ASEAN, pebisnis Indonesia dapat memulainya dengan menguasai pasar domestik. Menyadari hal ini, Pemerintah telah mendorong supaya seluruh rakyat Indonesia berpartisipasi dan aktif mencintai serta menggunakan produk buatan bangsa sendiri. Hal ini penting karena keberhasilan produk dalam negeri untuk bersaing di 2
luar negeri akan lebih dimungkinkan jika rakyat Indonesia sendiri dapat mencintai, menghargai dan menggunakan produk dalam negeri. Hal ini diingatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat meresmikan Pameran Produksi Indonesia (PPI) 2006 di Arena Pekan Raya Jakarta pada tanggal 7 Agustus 2006. Menurut Presiden, mencintai dan menggunakan produk dalam negeri, selain produk nasional dapat berjaya di pasar lokal juga mampu bersaing di pasar global. Terkait dengan latar belakang tersebut, peneliti ingin mendeskripsikan tentang sikap konsumen Indonesia terhadap produk asing dan global. Dengan menggunakan konstruk nasionalisme dan worldmindedness konsumen yang dikemukakan oleh Rawwas, Rajendran, and Wuehrer (1996), peneliti telah melakukan suatu kajian yang dilakukan antara April – Oktober 2007. III. PEMBAHASAN Kajian dilakukan dengan menggunakan kuesioner survei kepada 487 responden di 13 kota (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Balikpapan, Denpasar, Makassar, Medan, Manado, Palembang, Surabaya dan Mataram). Untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas studi, kuesioner telah diuji dengan 2 pretest sehingga seluruh nilai indikatornya dipandang cukup valid dan reliabel. Responden pun dipilih dengan menggunakan metode judgemental quota sampling, dengan menggunakan criteria gender dan cohort. Dari 487 orang responden, jumlah responden pria dan wanita cukup berimbang (50,3 berbanding 49,7). Berdasarkan pengelompokkan cohort, 23,8 persen responden berasal dari responden berusia 15 – 19 tahun, 26,1 persen berusia 20 – 34 tahun, 26,5 persen responden berusia 35 – 49 tahun, dan 23,6 persen responden berusia 50 tahun atau lebih. Dari sisi pendidikan terakhir, mayoritas responden berpendidikan SMU (45,4%). Berdasarkan pekerjaannya, pelajar/mahasiswa (29,4 persen) merupakan bagian terbesar dari responden, diikuti oleh karyawan swasta (27,3 persen), pegawai negeri sipil (19,3 persen), ibu rumah tangga (9,9 persen), dan berwiraswasta (9,9 persen). Selanjutnya, dari sisi pengeluaran rumah tangga, bagian terbesar dari seluruh responden ternyata berpenghasilan sampai dengan Rp 1 juta (35,1 persen). Rincian dari seluruh Deskripsi Responden ditunjukkan dalam Tabel 1. Kecenderungan konsumen untuk lebih menyukai produk domestik telah diistilahkan sebagai nasionalisme konsumen (consumer nationalism) dalam literatur-literatur penelitian (Rawwas, Rajendran, and Wuehrer, 1996: 20). Konsumen nasionalis menilai bahwa membeli produk impor adalah sesuatu yang salah karena dapat merusak ekonomi domestik, menyebabkan hilangnya lapangan kerja dan tidak patriotik. Ketika meneliti konsumen nasionalis tersebut, Shimp dan Sharma (1987) menemukan bahwa nasionalisme konsumen berhubungan terbalik dengan pembelian produk asing. Konsumen yang nasionalisme-nya tinggi cenderung memperhatikan aspek positif dari produk domestik dan mengabaikan kebaikan produk impor. Dalam kajian yang dilakukan penulis, konstruk nasionalisme konsumen diukur dengan menggunakan 14 indikator pertanyaan berskala likert. Secara deskriptif, 14 indikator pertanyaan tersebut disederhanakan menjadi 3 dimensi, yakni dimensi nasionalisme terhadap produksi domestik, sikap terhadap produk impor, dan persepsi dampak barang impor terhadap perekonomian nasional. Tabel 2 menggambarkan output statistik hasil survei mengenai sikap nasionalisme konsumen. Pada dimensi pertama nasionalisme konsumen, yakni 3
dimensi nasionalisme terhadap produk domestik, bagian terbesar dari konsumen setuju dengan pernyataan-pernyataan bahwa masyarakat Indonesia seharusnya selalu membeli produk buatan Indonesia; bahwa mereka berkeinginan berhenti membeli produk-produk impor dan beralih ke produk buatan Indonesia; bahwa membeli produk Indonesia selalu merupakan pilihan terbaik; dan bahwa produk Indonesia harusnya menjadi pilihan utama. Sejumlah 47,8 persen sampai dengan 71,7 persen responden setuju dengan empat pernyataan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sikap nasionalisme konsumen dari responden masih cukup tinggi. Walaupun demikian, catatan perlu diberikan pada indikator bahwa mereka berkeinginan berhenti membeli produk-produk impor dan beralih ke produk buatan Indonesia, yang menunjukkan bahwa hanya sejumlah 47,8 persen responden yang setuju dan sangat setuju dengan pernyataan ini. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat ini terdapat keragu-raguan responden untuk berhenti membeli produk-produk impor dan beralih ke produk buatan Indonesia. Pada dimensi kedua nasionalisme konsumen, yakni dimensi sikap terhadap produk impor, bagian terbesar dari konsumen setuju dengan pernyataan-pernyataan bahwa perdagangan atau pembelian barang dari negara-negara lain seharusnya ditekan sekecil mungkin, kecuali bila memang terpaksa dibutuhkan; bahwa larangan terhadap semua impor seharusnya diberlakukan, kecuali bila memang produk impor tersebut dibutuhkan; bahwa mereka seharusnya hanya membeli produk asing yang tidak dapat kita peroleh di dalam negeri; dan bahwa hanya produk yang tak tersedia negara kita saja yang boleh diimpor. Namun, ketika ditanyakan bahwa apakah mereka lebih suka tidak membeli barang impor yang disubsidi oleh pemerintah negara yang bersangkutan, ternyata pendapat konsumen menjadi cenderung ragu-ragu. Hal ini menunjukkan, walaupun responden menyatakan bahwa mereka merupakan masyarakat yang cenderung nasionalis, namun sikap pragmatis tetap menjadi pilihan utama mereka. Apabila produk impor disediakan dengan harga lebih murah, terdapat kecenderungan bahwa mereka mungkin akan memilihnya. Pada dimensi ketiga nasionalisme konsumen, yakni dimensi persepsi dampak barang impor terhadap perekonomian nasional, bagian terbesar dari konsumen ternyata setuju dengan pernyataan-pernyataan bahwa mereka seharusnya tidak membeli produk asing karena akan merugikan bisnis dan ketenagakerjaan Indonesia, bahwa barang-barang impor berdampak negatif terhadap perekonomian negara kita, bahwa pemerintah harus memproteksi industri domestik dengan jalan menciptakan hambatan perdagangan untuk produk asing, bahwa barang-barang impor yang dapat mengancam keberlangsungan industri lokal harus dilarang, dan bahwa mereka seharusnya hanya menerima barang impor dari negara-negara yang menerima impor dari Indonesia. Pada kenyataannya, tidak semua produk di pasar diproduksi secara domestik, dan juga tidak semua konsumen adalah nasionalis. Dalam kebanyakan negara, konsumen berhadapan dengan banyak alternatif pembelian yang harus dipilih (Netemeyer et al., 1991). Lagipula, dengan meningkatnya imigrasi, adopsi anak-anak asing ke banyak negara, peningkatan perkawinan antar bangsa, dan transformasi terus-menerus di dunia oleh karena teknologi sehingga jarak menjadi tidak relevan, budaya baru tercipta di banyak negara (Weiner, 1994). Budaya hibrida ini (misalnya, di Kanada atau Swiss) melahirkan penghargaan terhadap ”dunia bersama” dan kesejahteraan umum dan menunjukkan empati dan pengertian terhadap masyarakat 4
lain, yang oleh Sampson dan Smith (1957) disebut sebagai ”consumer worldmindedness”. Perubahan budaya yang ”berorientasi global” ini membuat pengambilan keputusan pembelian menjadi sulit untuk dikategorisasi dan dimodelkan. Dalam artikelnya, Samiee (1994) meninjau lebih dari 60 penelitian mengenai asal negara dari produk. Samiee menemukan bahwa ketika banyak literatur telah mempelajari nasionalisme (misalnya Han, 1988; Shimp and Sharma, 1987), sangat jarang riset meneliti mengenai worldmindedness dan pengaruhnya terhadap proses pengambilan keputusan konsumen (Rawwas, Rajendran, and Wuehrer, 1996). Pada Tabel 3, ditampilkan deskripsi Sikap Worldmindedness Konsumen. Bagian terbesar dari seluruh responden menyatakan bahwa mereka tidak setuju bahwa mereka lebih menyukai produk impor dibandingkan dengan produk dalam negeri (modus jawaban adalah tidak setuju). Sejumlah 42,9 persen bahkan menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Bagian terbesar responden juga menyatakan tidak setuju bila taraf hidup mereka akan meningkat jika tersedia barang-barang impor (modus jawaban adalah tidak setuju). Bahkan, sejumlah 57,1 persen responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Namun, ketika dinyatakan bahwa tempat produksi suatu barang tidak mempengaruhi keputusan mereka untuk membeli suatu produk, ternyata sebagian besar responden setuju dengan pernyataan ini. Hal ini menunjukkan, keputusan pembelian konsumen tidak dipengaruhi oleh tempat asal produksi suatu produk/merek. Walau demikian, apabila tersedia produk dalam negeri yang tersedia bagi konsumen dengan mutu yang cukup baik dan harga yang relatif terjangkau, produk tersebut akan mendapatkan kesempatan yang cukup baik untuk mendapatkan preferensi konsumen. IV. KESIMPULAN Dalam era dunia yang semakin mengglobal, dimana perekonomian ASEAN akan semakin terintegrasi, terdapat kekuatiran bahwa kesempatan ini tidak akan dapat dimanfaatkan oleh para pelaku usaha Indonesia. Bahkan terdapat kekuatiran bahwa masyarakat Indonesia yang berjumlah besar ini akan menjadi pasar dan penonton saja dalam perekonomian ASEAN yang semakin terintegrasi. Dari sisi nasionalisme konsumen, terdapat kabar yang cukup menggembirakan. Konsumen Indonesia, yang di-survei dalam kajian, menunjukkan bahwa sikap nasionalisme mereka masih cukup tinggi. Mereka masih bersikap positif terhadap produk domestik, dibandingkan dengan produk impor. Secara umum, mereka juga berpersepsi bahwa barang impor dapat berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Walau demikian, sikap pragmatis juga ditunjukkan oleh sebagian besar konsumen. Apabila produk impor disediakan dengan harga lebih murah, terdapat kecenderungan bahwa mereka mungkin akan memilihnya. Demikian juga, pada saat ini terdapat keragu-raguan responden untuk berhenti membeli produk-produk impor dan beralih ke produk buatan Indonesia. Hal ini menunjukkan pada saat ini, tindakan konsumen Indonesia yang cenderung worldminded, belum siap untuk berubah apabila tidak ada perubahan dalam produk Indonesia yang dipersepsi masih lebih rendah mutunya atau lebih mahal harganya dari sebagian produk impor. 5
Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi para pelaku dunia usaha Indonesia. Untuk dapat eksis dalam persaingan global (atau setidaknya di tingkat ASEAN), mereka harus mampu menyediakan produk buatan dalam negeri dengan harga terjangkau dan mutu yang cukup baik. Sikap konsumen yang cenderung nasionalis merupakan kabar baik, namun mereka harus dilayani dengan baik, agar dapat tercipta kesetiaan konsumen terhadap produk domestik. LAMPIRAN Tabel 1. Deskripsi Responden (n = 487 responden) Variabel
Kategori
Jumlah responden 245 242
Persentase dari keseluruhan 50,3 49,7
Jenis Kelamin:
Pria Wanita
Usia responden
15 sd 19 tahun 20 sd 34 tahun 35 sd 49 tahun 50 tahun atau lebih
116 127 129 115
23,8 26,1 26,5 23,6
Pendidikan terakhir
SD Sederajat SMP Sederajat SMU Sederajat Akademi / D3 Universitas
3 50 221 40 173
,6 10,3 45,4 8,2 35,5
Pekerjaan
Pegawai Negeri Sipil Karyawan Swasta TNI/Polri Wiraswasta Ibu rumah tangga Pelajar/mahasiswa Tidak/belum bekerja Lainnya
94 133 6 40 48 143 18 5
19,3 27,3 1,2 8,2 9,9 29,4 3,7 1,0
Rp 1 juta atau kurang 171 Rp 1.000.001 sd 133 2.000.000 Rp 2.000.001 sd 81 3.000.000 Rp 3.000.001 sd 47 4.000.000 Rp 4.000.001 sd 21 5.000.000 Rp 5.000.001 atau 33 lebih Tidak berpenghasilan 1 Sumber: Pengolahan data dari kuesioner survei
35,1
Pengeluaran rumah tangga per bulan
27,3 16,6 9,7 4,3 6,8 ,2
6
Tabel 2. Sikap Nasionalisme Konsumen
Dimensi-Dimensi Sikap Nasionalisme Konsumen 1. Dimensi Nasionalisme terhadap Produk Domestik Kita seharusnya selalu membeli produk buatan Indonesia Saya berkeinginan berhenti membeli produk-produk impor dan beralih ke produk buatan Indonesia. Membeli produk Indonesia selalu merupakan pilihan terbaik. Produk Indonesia harusnya menjadi pilihan utama. 2. Dimensi 2: Sikap terhadap Produk Impor Perdagangan atau pembelian barang dari negara-negara lain seharusnya ditekan sekecil mungkin, kecuali bila memang terpaksa dibutuhkan Larangan terhadap semua impor seharusnya diberlakukan, kecuali bila memang produk impor tersebut dibutuhkan. Kita seharusnya hanya membeli produk asing yang tidak dapat kita peroleh di negara kita. Hanya produk yang tak tersedia negara kita saja yang boleh diimpor. Saya lebih suka tidak membeli barang impor yang disubsidi oleh pemerintah negara yang bersangkutan.
Sangat tidak setuju dan tidak setuju
Netral/ RaguRagu
Setuju dan Sangat setuju
Nilai Modus mean
83 123 (17,1%) (25,3%)
281 (57,7%)
3,57
Setuju
94 160 (16,4%) (32,9%)
233 (47,8%)
3,36
Setuju
94 138 (16,4%) (28,3%)
255 (52,4%)
3,48
Setuju
41 (8,4%)
97 (19,9%)
349 (71,7%)
3,87
Setuju
61 81 (12,5%) (16,6%)
345 (70,8%)
3,75
Setuju
115 90 (23,6%) (18,5%)
282 (57,9%)
3,43
Setuju
112 100 (23,0%) (20,5%)
275 (56,5%)
3,39
Setuju
95 84 (19,5%) (17,2%)
308 (63%)
3,53
Setuju
73 192 (15,0%) (39,4%)
222 (39,2%)
3,36
Raguragu
7
Dimensi-Dimensi Sikap Nasionalisme Konsumen 3. Dimensi 3: Persepsi Dampak Barang Impor terhadap perekonomian nasional Kita seharusnya tidak membeli produk asing karena akan merugikan bisnis dan ketenagakerjaan Indonesia Barang-barang impor berdampak negatif terhadap perekonomian negara kita. Pemerintah harus memproteksi industri domestik dengan jalan menciptakan hambatan perdagangan untuk produk asing. Barang-barang impor yang dapat mengancam keberlangsungan industri lokal harus dilarang. Kita seharusnya hanya menerima barang impor dari negara-negara yang menerima impor kita.
Sangat tidak setuju dan tidak setuju
Netral/ RaguRagu
Setuju dan Sangat setuju
Nilai Modus mean
129 107 251 (26,5%) (22,0%) (51,54%)
3,37
Setuju
116 139 (23,8%) (28,5%)
232 (47,6%)
3,31
Setuju
115 139 (23,6%) (28,5%)
233 (47,8%)
3,29
Setuju
66 96 (13,5%) (19,7%)
325 (66,7%)
3,69
Setuju
111 111 (22,8%) (22,8%)
265 (54,4%)
3,37
Setuju
Keterangan: Angka di atas menunjukkan jumlah responden yang memberikan pernyataan. Angka tidak di dalam kurung menunjukkan jumlah responden, sedangkan angka di dalam kurung menunjukkan persentase responden yang menjawab pernyataan tersebut dibandingkan dengan keseluruhan responden kajian (N = 487).
Sumber: Pengolahan data dari kuesioner survei
8
Tabel 3. Sikap Worldmindedness Konsumen Sangat tidak setuju dan tidak setuju Saya merasa lebih menyukai produk impor daripada produk dalam negeri Taraf hidup akan meningkat jika tersedia barang impor Tempat produksi suatu barang tidak mempengaruhi keputusan saya untuk membeli merek produk.
Netral/ RaguRagu
Setuju dan Sangat setuju
Nilai Modus mean
209 133 (42,9%) (27,3%)
145 (29,8%)
2,83
Tidak Setuju
278 115 (57,1%) (23,6%)
94 (19,3%)
2,51
Tidak Setuju
75 82 (15,4%) (16,8%)
330 (67,8%)
3,58
Setuju
Keterangan: Angka di atas menunjukkan jumlah responden yang memberikan pernyataan. Angka tidak di dalam kurung menunjukkan jumlah responden, sedangkan angka di dalam kurung menunjukkan persentase responden yang menjawab pernyataan tersebut dibandingkan dengan keseluruhan responden kajian (N = 487).
Sumber: Pengolahan data dari kuesioner survei
9
BIBLIOGRAPHY: Han, C.M., (1988), “The Effects of Cue Familiarity on Cue Utilization: The Case of Country of Origin”, paper presented to the Conference of the Academy of International Business, San Diego, CA. Kotler, Philip, and Kevin Lane Keller, (2006), Marketing Management¸12th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Netemeyer, R.G., Durvasula, S. and Lichtenstein, D.R., (1991), “A Cross-National Assessment of the Reliability and Validity of the CETSCALE”, Journal of Marketing Research, 28 August, pp.320-327. Rawwas, M..Y.A., Rajendran, K.N. and Wuehrer, G.A., (1996), “The Influence of Worldmindedness and Nationalism on Consumer Evaluation of Domestic and Foreign Products”, International Marketing Review, Vol.13 No.2, pp 20 – 38. Samiee, S., (1994), “Customer Evaluation of Products in a Global Market”, Journal of International Business Studies, Third Quarter, pp.579 – 604. Sampson, D.L., and Smith, H.P., (1957), “A Scale to Measure Worldminded Attitudes”, The Journal of Social Psychology, Vol.45, pp.99 – 106. Shimp, T.A. and Sharma, S., (1987), “Consumer Ethnocentrism: Construction and Validation of the CETSCALE”, Journal of Marketing Research, Vol.24, August, pp.280-289. Weiner, E., (1994), “The Last Approaching Future”, Arthur Andersen, Retailing Issues Letter, Vol.6, 4, pp 1 – 4.
10