NATIONAL CHILD RIGHTS BASED SITUATION ANALYSIS 2016
Status of Children - Indonesia Child Rights Based Analysis of Children without Parental Care or at risk of Loosing Parental Care
EXECUTIVE SUMMARY Penelitian NCRSA (National Child Rights Based Situation Analysis) dibuat atas inisiatif dari SOS Children’s Villages Indonesia untuk memaparkan situasi terkini mengenai anak tanpa pengasuhan orang tua dan anak yang rentan kehilangan pengasuhan orang tua di Indonesia. Pemetaan yang dilakukan dalam penelitian NCRSA akan menunjukkan kelompok target yang banyak terdapat di Indonesia berdasarkan data statistik nasional. Pemetaan situasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan untuk pengembangan program-program SOS Children’s Village Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan mix-method yaitu menggabungkan data kuantitatif sebagai data utama dan data kualitatif sebagai data pendukung untuk memperdalam narasi data statistik. Data kuantitatif didapatkan dari data sekunder yang didapat dari lembaga-lembaga terkait baik dari pemerintah, lembaga donor maupun lembaga sosial lain. Data kualitatif didapat melalui wawancara dengan narasumber terkait di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi terpilih. Selain wawancara, peneliti melakukan diskusi kelompok terarah (DKT) dengan forum anak di salah satu provinsi untuk mewadahi suara anak dalam penelitian ini. Pengumpulan data sekunder di tingkat nasional (mewakili 34 provinsi di Indonesia) diambil dari data BPS, Kemensos dan Departemen lain yang terkait. Datadata tambahan dari NGO, INGO dan penelitian lain juga melengkapi data penelitian ini. Tiga provinsi dipilih sebagai representasi data kualitatif mengenai situasi umum anak yang kehilangan atau rentan kehilangan pengasuhan orang tua, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah dan NTT. Terdapat tiga analisa yang akan diungkap dalam penelitian ini, yaitu: (1) Trend utama (kecenderungan) persoalan anak tanpa pengasuhan orang tua atau yang beresiko kehilangan pengasuhan orang tua ditingkat nasional dan tiga provinsi terpilih; (2) pelanggaran hak yang terjadi terhadap mereka; (3) Identifikasi pengemban tugas utama (duty bearers) dan strategi utama yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak dari kelompok target. Sebagai pengantar, situasi umum anak Indonesia dipaparkan. Indonesia berada di peringkat kelima diantara negara ASEAN lain dalam Indeks Pembangunan Manusia, dengan kategori menengah dalam perhitungan IPM. Sedangkan lima provinsi dengan IPM terendah di Indonesia adalah Papua, Papua Barat, NTT, Sulawesi Barat, dan NTB. Pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen). Diantaranya, masih banyak anak 1
Indonesia harus hidup dalam beragam situasi sulit yang membuat kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidupnya terganggu. Kemiskinan anak dialami oleh 44,4 juta anak atau lebih dari 50% dari jumlah keseluruhan anak di Indonesia. Jumlah terbanyak penduduk miskin di Indonesia terdapat di Provinsi Jawa Timur dengan 4.748.420 Juta Jiwa, kemudian Jawa Tengah dengan 4.561.830 Juta Jiwa, dan ketiga adalah Jawa Barat dengan 4.238.960 Juta Jiwa. Sedangkan jika dilihat secara perbandingan penduduk miskin dengan jumlah penduduk secara keseluruhan, presentase penduduk miskin tertinggi ada di Provinsi Papua 27.8 % (864.110 jiwa), kedua Papua Barat 26.26% (225.460 jiwa) dan ketiga Nusa Tenggara Timur dengan 19.6 % (991.880 jiwa) dari jumlah keseluruhan penduduk masingmasing provinsi tersebut. Untuk daerah penelitian lain yaitu Sumatera Utara memiliki presentase jumlah penduduk miskin 9.85% atau berada di urutan 17 dari 33 Provinsi, sedangkan untuk bilangan jumlah ada pada urutan 30 dari 33 provinsi dengan jumlah 1.360.600 jiwa penduduk miskinnya. Daerah penelitian lainnya yaitu Jawa Tengah mencatat jumlah yang besar 4.561.830 jiwa penduduk miskin, nomer dua secara nasional setelah Jawa Timur dan secara presentase 13.58 % ada di urutan 21 dari 33 Provinsi. Di bidang pendidikan, indikator bidang pendidikan dapat diamati dari Angka Partisipasi Sekolah (APS). Untuk anak usia 7-17 tahun APS tahun 2012 sebesar 91,46 persen (BPS, Susenas 2012). Secara umum APS anak perempuan pada setiap jenjang sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan APS anak laki-laki. Dalam hal Angka Putus Sekolah pada jenjang pendidikan SD adalah sebesar 1,5 persen pada tahun 2012. Pada jenjang pendidikan SMP, angka putus sekolah mencapai 0,86 persen dan pada jenjang pendidikan sekolah menengah angka putus sekolah mencapai 0,36 persen. Hampir separuh (44,01 persen) anak berumur 7-17 tahun yang putus sekolah disebabkan karena tidak adanya biaya, 9,64 persen karena bekerja, 4,18 persen karena sekolah jauh, 3,95 persen karena menikah atau mengurus rumahtangga, dan sisanya karena alasan lainnya. Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam situasi pendidikan anak Indonesia adalah adanya kesenjangan pada akses pendidikan di daerah perkotaan dengan perdesaan. Angka Buta Huruf di Indonesia untuk anak usia 5-17 adalah sekitar 12,64 persen. Jika dilihat menurut tipe daerah, persentase anak usia 5-17 tahun yang buta huruf di daerah perdesaan (14,79 persen) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan (10,33 persen). Kesenjangan ini juga terjadi di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Berdasarkan data Susenas tahun 2013, presentase anak usia 0-6 tahun yang dapat mengakses PAUD di perkotaan lebih tinggi 10.08% dibanding di perdesaan. Di bidang kesehatan, kualitas kesehatan anak antara lain dapat diamati dari Angka Kematian Bayi (AKB). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2012) AKB tercatat sebesar 40 setiap 1000 bayi lahir hidup atau turun 58,7 persen dibandingkan tahun 1991 (97 kematian per 1000 kelahiran hidup), sehingga dalam hal kesehatan dasar, Indonesia berhasil menurunkan angka kematian balita dari 97 per seribu kelahiran pada 1991 menjadi 40 per seribu kelahiran pada 2012 (SDKI 2012). Dalam hal pemberian ASI eksklusif, baru sekitar 44,76 persen anak berumur 2-4 tahun mendapatkannya. Imunisasi lengkap pada anak berumur 1-4 tahun baru mencakup 70,12 persen. Dalam pemenuhan hak sipil dan kewarganegaraan, dari Susenas 2012, masih ada 28 persen anak berumur 0-17 tahun di Indonesia yang tidak memiliki akte kelahiran, hampir separuh (42 persen) beralasan karena mahalnya pembuatan akte. Indonesia termasuk salah satu negara yang cakupan pencatatan kelahirannya kurang 2
baik. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi untuk pencatatan, prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan pencatatan yang biasanya berada di tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan amanat UU No.11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan UU No.13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Kementerian Sosial memiliki tugas untuk menentukan kriteria masyarakat rentan yang harus diberikan bantuan. Kriteria tersebut selanjutnya tertuang dalam Permensos No.8 tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial. Anak yang kehilangan pengasuhan orang tua dan berpotensi kehilangan pengasuhan orang tua dalam kategori yang dibuat oleh ISS &UNICEF (2004) sangat berhimpit dengan kategori atau kelompok anak yang dikategorikan ke dalam masyarakat rentan dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ini. Anak Kehilangan Pengasuhan Orang Tua terdapat pada Kelompok pertama yaitu Penduduk Terlantar yang didalamnya terdiri dari Balita Anak Terlantar (usia 5 tahun kebawah), Anak Terlantar (usia 5-18 tahun) dan Penduduk Lanjut Usia Terlantar (usia 60 tahun keatas). Sehingga dapat disimpulkan bahwa Anak Tanpa Pengasuhan Orang tua sangat berhimpitan dengan Balita Terlantar dan Anak Terlantar. Berikut rekapitulasi PMKS tahun 2014 oleh Kementrian Sosial. Tabel 1. Rekapitulasi Nasional Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tahun 2014 Pusdatin Kesos Jenis PMKS Jumlah
Q
Sumber data
1
Anak Balita Terlantar
1,217,800
Jiwa
susenas 2012
2
Anak Terlantar
2,894,200
Jiwa
susenas 2012
3
Anak Jalanan
33,400
Jiwa
unit teknis
Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
4,028
Jiwa
unit teknis
4
Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan dan Diperlakukan Salah
1,466
Jiwa
unit teknis
5
Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus
5,876
Jiwa
unit teknis
6 7
Anak Dengan Kedisabilitasan
8
Perempuan rawan Sosial ekonomi
9
Korban Tindak Kekerasan
10
532,130
Jiwa
susenas
10,512,040
Jiwa
susenas
4,114
Jiwa
unit teknis
Lanjut Usia Terlantar
2,440,200
Jiwa
susenas
11
Penyandang Disabilitas
6,008,600
Jiwa
susenas
12
Tuna Susila
57,653
Jiwa
unit teknis
13
Pengemis
19,861
Jiwa
unit teknis
14
Gelandangan
19,799
Jiwa
unit teknis
92,303
Jiwa
unit teknis
15
Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
16
Korban Penyalah Guna NAPZA
418,058
Jiwa
BNN
Rumah Tangga
PPLS Dasil 1
9,412
Jiwa
unit teknis
28,030
Jiwa
unit teknis
17 18 19
Fakir Miskin Pemulung Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis
6,121,800
3
20
Komunitas Adat Terpencil
122,080
Jiwa
unit teknis
21
Korban Bencana Alam
3,604,960
Jiwa
BNBP
22
Korban Bencana Sosial
22,924
Jiwa
unit teknis
23
Pekerja Migran Bermasalah Sosial
7,995
Jiwa
unit teknis
24
Orang Dengan HIV Aids
97,960
Jiwa
unit teknis
25
Korban Traficking
93,905
Jiwa
unit teknis
26
Kelompok Minoritas
31,858
Jiwa
unit teknis
Indonesia
34,402,452
I. Trend Utama dari Kelompok Target Kelompok target dibedakan menjadi dua kategori, yaitu anak tanpa pengasuhan orang tua dan anak yang rentan kehilangan pengasuhan orang tua. Identifikasi kelompok anak yang kehilangan pengasuhan orang tua diantaranya adalah: A. Anak Tanpa Pengasuhan Orang Tua 1. Anak kehilangan salah satu atau kedua orang tua Kehilangan orang tua yang disebabkan oleh meninggalnya salah satu atau kedua orang tua merupakan penyebab paling pasti dalam membawa anak pada situasi tanpa pengasuhan orang tua. Data dari Yayasan yatim mandiri yang dilansir Antara News (Maruli, 2013) menyebutkan, Jumlah anak yatim di Indonesia saat ini mencapai 3.176.642 anak dengan jumlah terbanyak ada di NTT dengan jumlah mencapai 492.519 anak, kemudian disusul Papua yang jumlahnya mencapai 399.462 anak. Kompilasi data nasional PMKS 2014 menunjukkan data anak terlantar yaitu sejumlah 2.894.200 dan jumlah balita terlantar, yaitu sejumlah 1.217.800, dimana anak yatim piatu termasuk di dalamnya. Laporan Situasi Anak Nasional 2015 yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial menyatakan 5% di LKSA adalah yatim piatu dan 24% anak yatim 2.
Anak yang kedua orang tua bekerja di luar daerah Pembahasan disini difokuskan pada anak dari buruh migran internasional dikarenakan data-data yang tersedia untuk isu ini lebih mudah didapat. Indonesia memiliki jumlah buruh migran yang terbilang lumayan tinggi. Data yang tercatat oleh BNP2TKI terdapat sekitar 275.736 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan hampir 60% diantaranya adalah perempuan. Sedangkan dari status pernikahan, hampir separuh dari TKI tersebut sudah menikah. Dilihat dari statistik tersebut, bisa disimpulkan banyak anak-anak dari buruh migran tersebut harus ditinggalkan oleh orang tuanya untuk bekerja di luar negeri. Anak-anak buruh migran yang ditinggalkan tersebut berpotensi besar mengalami penelantaran dan hambatan dalam pengasuhan yang layak dari orang tua atau walinya (Brelian, ND). Kasus anak yang kehilangan pengasuhan orang tua banyak muncul di daerah pedesaan yang angka migrasinya tinggi akibat orang tua bekerja ke kota atau ke luar negeri. Biasanya anak-anak tersebut diasuh oleh kakek/neneknya. Anak terlantar atau mengalami pengabaian karena orang tua berada di luar negeri dalam waktu yang lama. Kondisi lebih buruk terjadi ketika orang tua menikah lagi sehingga anak kehilangan pengasuhan orang tuanya secara permanen. 4
3.
Anak dalam penjara (Anak yang Berhadapan dengan Hukum) ABH sebenarnya tidak disebutkan secara spesifik dalam artikel 20 di KHA yang mengatur mengenai anak-anak yang kehilangan pengasuhan keluarga. Namun anak yang berhadapan dengan hukum sangat erat kaitannya dengan penelantaran atau pemaparan terhadap kekerasan selama masa kanak-kanak (Unicef, 2006). Dalam laporan Unicef (2006) disebutkan bahwa pengalaman kekerasan pada anak-anak dan penelantaran meningkatkan kemungkinan anak ketika dewasa ditangkap sebagai anak nakal sebanyak 53% sedangkan 72% anak remaja yang melakukan tindak pelanggaran serius merupakan korban kekerasan saat anak-anak. Penyebab anak berhadapan dengan hukum bermacam-macam. Menurut Bappenas (2008) kasus terbanyak dari anak-anak yang berhadapan dengan hukum adalah pencurian (60 persen) dan perkelahian (13 persen). Sementara itu, menurut Unicef (2014) banyak anak ditangkap atas kejahatan yang mereka lakukan atas pengaruh teman sebaya atau karena mereka diabaikan oleh keluarga Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terbaru di tahun 2012, terdapat perubahan cara pandang dalam menangani kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Jika dalam UUSPPA tahun 1997 memandang bahwa perbuatan (pidana) harus dibalas dengan hukuman yang setimpal maka dalam UUSPPA baru ini, pendekatan yang diambil adalah keadilan restoratif (restorative justice) dimana seorang anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan pidana (Muliyawan, 2015). Hal ini tercermin dalam Pasal 1 angka (6) yang menyebutkan " keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali kepada pada keadaan semula, dan bukanlah pembalasan. Dalam UU yang baru ini, dikenal istilah diversi dalam menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana formal ke proses di luar peradilan pidana dengan syarat atau tanpa syarat (Muliyawan, 2015). Diversi ini bisa dilakukan pada saat di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat anak diperiksa di Pengadilan Negeri. Menurut Muliyawan (2015), tujuan proses diversi untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak (pelaku), menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, juga mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Dengan demikian, penanganan anak yang berkonflik dengan hukum tidak serta merta dipenjaran namun dapat dikembalikan ke orang tua atau dititipkan ke lembaga binaan Depsos seperti LPKA (lembaga Pembinaan Khusus Anak) atau LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara). 4.
Anak korban pernikahan dini Batas usia anak-anak adalah 18 tahun. Namun Undang-Undang Pernikahan di Indonesia memberikan batas 16 tahun untuk perempuan, dan 19 tahun untuk laki-laki yang diperbolehkan menikah. Artinya secara legal anak perempuan di Indonesia dapat menikah saat masih dalam batas usia anak-anak. Belum lagi yang mendaftarkan pernikahan dengan usia yang dipalsukan, dimana hal ini mudah dilakukan jika anak tidak memiliki akte (Baker, 2015). Begitu anak-anak masuk ke gerbang pernikahan, maka mereka sudah tidak dikategorikan anak-anak. Sebagian dari mereka lalu tinggal di rumah baru atau di rumah mertua, sehingga terpisah dari keluarganya dan kehilangan kesempatan untuk mendapat perlakuan sebagai mana layaknya anak-anak. 5
Mereka secara dramatis masuk ke kehidupan dewasa, mendapat beban dan tanggung jawab sebagaimana halnya orang dewasa. Penyebab pernikahan dibawah umur sangat kompleks, diantaranya adalah ketidaksetaraan jender, kemiskinan, praktik agama dan nilai-nilai tradisi yang negatif, kegagalan hukum, konflik, bencana dan keadaan darurat lainnya (Kemen PP&PA, 2013). Indonesia adalah Negara dengan kasus pernikahan dini yang tinggi. Profil anak Indonesia (Kemen PP&PA, 2013) menyebutkan, tahun 2012 tercatat 1,67 persen anak perempuan 10-17 tahun di Indonesia berstatus kawin dan pernah kawin. Unicef (Herlinda, 2015) memberikan pernyataan bahwa setidaknya 1 dari 6 anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Kepala Perwakilan Unicef Indonesia Gunilla Olsson (Herlinda, 2015) memaparkan bahwa jumlah pernikahan anak-anak angkanya menembus 340.000 pertahun. Sementara itu, 50.000 anak perempuan di Indonesia diperkirakan menikah sebelum usia 15 tahun. Pernikahan bagi anak dibawah umur, merupakan fenomena yang masih terus berlanjut. Tahun 2015 merupakan saat yang historis bagi upaya-upaya global untuk mengakhiri perkawinan usia anak. Pada bulan September, Pemerintah di setiap negara di seluruh dunia akan menyetujui untuk menghapus perkawinan usia anak pada tahun 2030 sebagai bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG)(Baker, 2015) . B. Anak yang Rentan Kehilangan Pengasuhan Orang Tua 1. Anak hidup dalam kemiskinan Kondisi kesejahteraaan anak di Indonesia belum baik. Laporan Kemensos RI (2015) tentang situasi anak di Indonesia menyebutkan bahwa ada 52,7% anak hidup dengan kurang dari 2$ per hari. Anak yang hidup dalam keluarga termiskin berada dalam kondisi paling rentan, terutama dalam hal tempat tinggal, sanitasi, kematian bayi, putus sekolah, serta tidak dibuatkan akte kelahiran. Pada tahun 2015 terjadi perbaikan kondisi kesejahteraan masyarakat, yang dipengaruhi oleh berbagai program pengentasan kemiskinan seperti beras untuk keluarga miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT), maupun Program Keluarga Harapan (PKH). Program PKH ini telah membantu memperkuat keluarga di Indonesia dan memberi harapan untuk keluar dari kemiskinan. Pada tahun 2014, program ini membantu sekitar 3 juta keluarga miskin di 33 provinsi (World bank, 2015). Beberapa capaian dari hasil pelaksanaan program ini adalah meningkatnya probabibilitas murid sekolah dasar yang melanjutkan ke sekolah menengah (8,8%), partisipasi di sekolah menengah meningkat 10%. Selain itu PKH juga berhasil meningkatkan kunjungan pemeriksaan ibu hamil, meningkatkan kemungkinan anak mendapat imunikasi lengkap, dan mengurangi stunting (World bank, 2015). Penguatan kemampuan keluarga dalam memberikan fasilitas pendidikan dan kesehatan kepada anak-anaknya, memunculkan harapan agar semakin banyak anak yang dibesarkan di rumah, berada bersama orang tuanya sehingga mendapatkan pengasuhan yang normal. Rumbel (2015) dari UNICEF, menyampaikan bahwa kemiskinan adalah alasan utama anak dimasukkan ke panti asuhan. Anak dimasukkan ke lembaga pengasuhan agar mendapat pendidikan, kesehatan, makanan, tempat tinggal yang lebih baik. Membantu keluarga miskin akan mengatasi masalah mereka sehingga tidak perlu mengirim anak-anaknya ke tempat lain. 2.
Anak yang dilacurkan Salah satu kondisi yang juga menyebabkan anak kehilangan pengasuhan orang tua adalah mereka yang menjadi korban pelacuran, atau dikenal dengan istilah anak yang dilacurkan. Prostitusi anak merupakan salah satu bentuk Eksploitasi Seksual 6
Komersial terhadap Anak (ESKA). Bentuk ESKA lainnya adalah perdagangan anak untuk tujuan seksual dan Pornografi anak. Masing-masing bentuk ini kerapkali saling berhubungan erat satu sama lainnya (Shalahuddin, 2011). Dilihat dari laporan kasus eksploitasi seksual terhadap anak, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah anak yang mengalami eksploitasi seksual komersial. Tahun 2011 KomNas Perlindungan Anak menerima pengaduan 480 anak korban ESKA, jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan jumlah pengaduan tahun 2010 yakni 412 kasus. Data yang diterima KomNas Perlindungan Anak dari hasil investigasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Pontianak di Malaysia tahun 2010, di perbatasan antara Brunei Darusalam dan Malaysia, ditemukan ratusan anak-anak remaja Indonesia terjebak menjadi korban eksploitasi seksual terselubung. Kompilasi data nasional penyandang masalah kesejahteraan sosial tahun 2014 yang disusun oleh Pusdatin Kesos menunjukkan terdapat 93,905 korban traficking, diantaranya adalah anak-anak. Maraknya perdagangan anak yang diikuti dengan banyaknya anak yang dilacurkan, menjadi potret buruk situasi pengasuhan anak di Indonesia. Mereka kehilangan pengasuhan yang baik dari orang tua, dan kehilangan fungsi sosial budaya keluarga yaitu mengembangkan potensi seluruh anggota keluarga sebagai makhluk sosial dan berperilaku dalam kesepakatan masyarakat (Yustiana, 2007). Peneliti Yayasan Bandungwangi, Supriyati (2011) menyatakan bukanlah jalan keluar yang bijak untuk mengembalikan anak yang dilacurkan ke orangtuanya. Alasannya karena pada kenyataannya orang tua terlibat dalam ikut mendorong/membujuk/memaksa anak masuk ke dalam dunia prostitusi. Jika dikembalikan ke orang tuanya anak-anak ini beresiko dijual kembali atau dipaksa nikah dini, supaya mudah diceraikan.Seharusnya anak-anak yang dilacurkan ini mendapatkan perlindungan dari aparat hukum secara ramah dan bijak melalui penyediaan lembaga perlindungan yang ramah anak. Sebagaimana termaktub dalam undang-undang perlindungan anak pasal 68, anak-anak korban perdagangan anak dan anak yang dilacurkan berhak mendapatkann rehabilitasi. Meskipun demikian, pengembalian anak kepada keluarga tetap perlu melihat konteks penyebab anak masuk dalam perdagangan maupun prostitusi. Karena jika penyebabnya adalah orang tua yang tidak bertanggung jawab maka mengembalikan anak kepada orang tua beresiko membuat anak diterjunkan lagi ke dunia perdagangan manusia dan prostusi (Supriyati, 20111). Pada situasi tersebut lembaga pengasuhan atau keluarga pengganti dapat mengambil peran untuk memberikan peluang kehidupan yang lebih baik untuk anak. 3.
Pekerja rumah tangga anak (PRTA) Rendahnya kesejahteraan membuat anak-anak bekerja atau dipekerjaan menjadi pembantu rumah tangga (saat ini disebut sebagai pekerja rumah tangga anak). Bekerja di sector rumah tangga beresiko membuat anak –anak dikirim jauh dari daerah tempat tinggalnya dan kehilangan pengasuhan orang tua. Pekerja rumah tangga anak memiliki kerentanan sendiri karena terpisah jauh dengan keluarganya (ILO, 2015). Profesi sebagai pekerja rumah tangga merupakan profesi yang memiliki posisi tawar yang sangat lemah, sehingga rentan dengan berbagai eksploitasi, kekerasan dan pelecehan, bahkan untuk orang dewasa. Terdapat 42% PRT (termasuk PRTA/Pekerja Anak) mengaku mengalami kekerasan fisik, psikologis dan/atau seksual (Ratnawati, 2015). Kordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi PRT, Lita Anggraini (Purnom, 2015) menyatakan Sepanjang tahun 2015 ini, setidaknya ada 376 kasus 7
kekerasan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT). Dari jumlah tersebut 65 persen dari kasus kekerasan terhadap PRT, adalah multi kekerasan, seperti upah yang tidak dibayar, penganiayaan dan pelecehan. Sisanya adalah perdagangan manusia. Posisi rentan anak-anak sebagai pekerja rumah tangga seringkali tidak disadari. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa bekerja di sektor rumah tangga lebih aman untuk anak, selain itu anak dianggap tidak menuntut upah. Bagi anak perempuan yang menjadi PRTA, salah satu faktor pendorong adalah tingginya angka putus sekolah. Kondisi ekonomi yang memaksa mereka bekerja. Bekerja di sektor rumah tangga dapat menjadi salah satu alternatif bagi mereka yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan khusus untuk membantu mereka keluar dari masalah sosial ekonomi. Karenanya menghapus jumlah pekerja rumah tangga anak tidak mudah. Tahun 2009 tercatat sejumlah 437.000 PRT di Indonensia berusia di bawah 18 tahun (Survei Pekerja Anak Nasional, ILO –BPS 2009). Anak-anak yang dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga dihadapkan pada lingkungan kerja yang buruk, yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka, baik fisik maupun psikologis. Anak-anak perlu dibantu untuk terhindar dari dipekerjakan menjadi pekerja rumah tangga anak. Keluarga yang berfungsi sepenuhnya untuk melindungi dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan keselamatan hidup anak, dapat menjadi filter agar anak tidak dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga anak. 4.
Anak jalanan Rendahnya kesejahteraan secara ekonomi, membuat beberapa anak harus hidup di jalanan, dan melakukan kegiatan ekonomi di jalan. Namun tidak semua anak turun ke jalan karena himpitan ekonomi, tapi karena alasan lain seperti masalah keluarga, terpengaruh teman, dll. Hasil penelitian Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Depsos tahun 2003 (Sinung, 2006), penanganan anak jalanan di seluruh wilayah Indonesia belum memiliki pola dan pendekatan yang tepat dan efektif, karena menyasar ke anak saja sementara keluarga tidak diberdayakan. Ditambah lagi dengan tekanan ekonomi yang mengakibatkan tidak berfungsinya keluarga, sehingga tidak ada pilihan lain. Anak pun lari ke jalanan. Jumlah anak jalanan di Indonesia, berdasarkan rekapitulasi nasional data PMKS 2014 adalah 33,400 jiwa. Menteri Sosial era Kabinet Indonesia bersatu II, Salim Segaf Al-Jufri (Faqih, 2013), menyatakan bahwa pada 2014 atau saat masa berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu II, Indonesia terbebas dari anak jalanan. Salim menyatakan bahwa tugas utama adalah melakukan pemberdayaan kepada orang tua , karena hampir 80% anak jalanan muncul karena kemiskinan. Pada kenyataannya meskipun belum dapat membebaskan Indonesia dari anak jalanan, tampak bahwa keseriusan pemerintah membuahkan hasil. Disebutkan dalam profil anak terlantar Indonesia 2015, oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak RI terdapat penurunan jumlah anak jalanan sejak tahun 2006 sampai dengan 2013. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan adanya Program Kesejahteraan Sosial anak jalanan atau PKS-Anjal. Alokasi PKS Anjal mayoritas di provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa timur. Hal ini karena ketiga provinsi tersebut memiliki jumlah anak jalanan terbesar dan berikut lembaga yang menanganinya. Anak yang hidup di jalan adalah anak-anak yang rentan kehilangan pengasuhan orang tua. Sebagian dari mereka justru sudah kehilangan pengasuhan orang tua karena hidup terpisah dan kehilangan kontak dengan keluarganya. Anakanak yang masih berada bersama keluarga dan hidup bersama di jalan, juga rentan dengan berbagai pengaruh dari lingkungan yang keras dimana keluarga tidak cukup 8
solid untuk mengikat anak agar selalu kembali ke keluarga. Anak jalanan yang masih memiliki keluarga yang tinggal di rumah, juga rentan terpengaruh lingkungan dan tidak pulang. Faktor yang dianggap memperbanyak jumlah anak yang turun ke jalan adalah kemiskinan dan lemahnya fungsi keluarga bagi anak. Mudahnya mencari uang di jalan membuat intervensi sering mengalami kegagalan. Pendampingan, pemberdayaan keluarga, dan penguatan peran keluarga baik secara sosial maupun ekonomi menjadi alternatif yang dapat ditempuh untuk mengurangi jumlah anak yang turun ke jalan.
5.
Anak berkebutuhan khusus Berdasarkan rekapitulasi nasional data PMKS Tahun 2014 disebutkan bahwa jumlah anak dengan kedisabilitasan sebanyak 532,130 jiwa. Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang. Jika dibandingkan data Susenas 2003, 2006, 2009, 2012 terdapat peningkatan dan penurunan persentas penyandang disabilitas. Meskipun hasil pendataan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan konsep, dimana susenas 2003 dan 2009 menggunakan konsep kecacatan, sedangkan susenas 2006 dan 2012 menggunakan konsep disabilitas, tampak terjadi peningkatan prevalensi antara susenas 2003 dengan 2009 dan susenas 2006 dengan 2012. Laporan Unicef mengenai keadaan anak penyandang disabilitas di dunia (2013) menyampaikan tingginya tingkat kerentanan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus. Respon terhadap situasi anak penyandang disabilitas umumnya terbatas pada institusionalisasi, ditinggalkan atau ditelantarkan. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan mendapatkan diskriminasi karena keterbatasan mereka. Diskriminasi karena disabilitas berujung pada marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan bahkan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari invisibilitas. Tidak banyak Negara yang memiliki informasi yang bisa diandalkan tentang berapa banyak warganya yang merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas macam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, anak-anak dengan disabilitas terkucilkan dan oleh sebab itu terputus dari berbagai akses layanan publik yang sebenarnya mereka berhak mendapatkannya. Anak berkebutuhan khusus sangat bergantung kepada penerimaan dan penolakan keluarga. Di Indonesia masih banyak keluarga yang menganggap anak berkebutuhan khusus sebagai aib atau kutukan sehingga disembunyikan dari keluarga. Keluarga juga kerap tidak mengerti bagaimana memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak berkebutuhan khusus sehingga mereka dititipkan di lembaga yang dianggap mampu mendidik, jauh dari lingkungan keluarga. Anoverlis hulu, jurnalis asal Nias (2015) menuliskan kasus-kasus akibat penerimaan yang kurang dari keluarga terhadap anak berkebutuhan khusus yang membuat mereka diperlakukan kurang tepat. Seperti dipasung, tidak diakui keberadaannya, tidak dirawat, bahkan mendapatkan kekerasan seksual. Penanganan yang tidak tepat akan memberikan hambatan bagi perkembangan kemampuan anak berkebutuhan khusus tersebut sehingga semakin jauh dari kemungkinan hidup mandiri dan bermanfaat. Sebaliknya, apabila penerimaan baik anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan dukungan sosial yang cukup untuk membantunya hidup mandiri dan bermasyarakat.
9
Anak berkebutuhan khusus rentan kehilangan pengasuhan karena dijauhkan dari keluarga, atau jika tinggal bersama keluarga mereka rentan terhadap pengabaian dan diskriminasi karena dianggap lemah dan tidak bisa diharapkan. Keluarga merupakan lingkaran terpenting bagi anak berkebutuhan khusus. Penguatan peran keluarga sangat penting bagi perkembangan anak berkebutuhan khusus yang dapat berdampak pada kehidupan anak berkebutuhan khusus di masa datang. 6.
Anak korban bencana alam Sesuai data dari Kemensos (2015), jumlah penduduk yang terkena bencana alam dari tahun 2012 sampai tahun 2015 adalah 3,604,960. Tidak ada data khusus mengenai jumlah anak yang terdampak bencana alam. Namun seperti banyak ditunjukkan oleh riset bahwa anak-anak merupakan kelompok paling rentan terkena dampak dari bencana (Tanner, 2010). Anak-anak dapat menjadi korban langsung dari bencana maupun kehilangan orang tua akibat bencana alam ini. Anak-anak yang menjadi penyintas bencana juga masih mengalami kerentanan dalam masalah gizi, kesehatan, kesehatan mental, pendidikan dan kehilangan harta benda dalam situasi pasca bencana. Selama kurun waktu 2010 sampai 2015, di Indonesia tercatat 1,992,130 jiwa terdampak bencana (The International Disaster Database, 2016). Dampak bencana akan menjadi lebih parah dipengaruhi oleh struktur politik, sosial dan ekonomi daerah tersebut seperti misalnya urbanisasi yang mengakibatkan jumlah penduduk meningkat, polusi, kerusakan lingkungan, praktik pertanian yang buruk dan penggunaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan ataupun deforestasi (Martin, 2010). Menurut Menteri Desa Tertinggal, Marwan Jafar, di Indonesia terdapat 96 daerah tertinggal yang termasuk kategori rawan bencana (Yulianingsih, 2016). 7.
Anak yang terdampak konflik sosial-politik Kementerian Sosial memiliki kategori baru untuk memasukkan data masyarakat yang memiliki masalah kesejahteraan sosial yaitu korban bencana sosial. Korban bencana sosial didefinisikan sebagai orang atau kelompok yang terkena dampak atau menjadi korban meninggal akibat bencana yang diakibatkan oleh persitiwa atau serangkaian persitiwa yang diakibatkan oleh manusia (Kemensos, 2012). Bencana sosial ini meliputi konflik sosial antar kelompok, antar komunitas masyarakat seperti perang suku atau konflik antar etnis, dan teror. Dampak konflik sosial dan kekerasan pada anak diantaranya adalah rekrutmen anak menjadi tentara anak (kombatan), korban luka atau meninggal, menjadi pengungsi, kehilangan keluarga dan trauma. Menurut laporan dari Child Soldiers Global Report (2008), anak-anak yang tinggal di daerah konflik rentan menjadi tentara anak. Ketika konflik di Aceh, terdapat anak usia dibawah 18 tahun yang ditahan di disidangkan, bahkan terdapat laporan anak yang disiksa karena terlibat dengan GAM (Child Soldiers Global Report, 2008). Dalam laporan yang sama disebutkan bahwa pernah ada anak usia 16 tahun ditahan di Ambon karena meletakkan bom di taxi yang melukai sopir taxi karena konflik SARA dan akhirnya ditahan—disatukan dengan napi dewasa lain—selama 7 tahun. Anak-anak dibawah usia 18 tahun yang masuk ke pesantren-pesantren juga disangkakan menjadi korban indoktrinasi ajaran-ajaran ekstrimis (Child Soldiers Global Report, 2008). 8.
ODHA di Indonesia Jumlah akumulatif anak yang tertular oleh HIV per tahun 2014 dilaporkan anak-anak dalam kelompok usia 15-19 tahun terdapat 813 penderita, dalam kelompok 10
usia 5-14 tahun sebanyak 234 penderita, dan dalam kelompok usia kurang dari 4 tahun sebanyak 553 anak. Sedangkan dilihat dari persentase kejadian kasus AIDS menurut kelompok umur 15-19 tahun dilaporkan sebanyak 3,1, kelompok usia 5-14 tahun sebanyak 0,8, kelompok usia 1-4 tahun 1,7, dan kelompok usia kurang dari 1 tahun 1,4 kejadian. Anak dengan HIV/AIDS rentan menjadi korban penelantaran dikarenakan masih tingginya stigma masyarakat terhadap HIV yang menyebabkan kesulitan untuk menerima anak dengan status HIV/AIDS sehingga mereka tidak mendapatkan akses yang layak untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan. Bahkan penolakan terhadap anak dengan HIV/AIDS dapat dilakukan oleh keluarganya sendiri. Setelah orang tua anak tersebut meninggal dan harus diasuh oleh keluarga besarnya, masih banyak ditemukan keluarga yang menelantarkan anak dengan HIV/AIDS karena takut tertular. Anak dengan HIV/AIDS pada umumnya terinfeksi sejak lahir tetapi seringkali terabaikan dan tidak teridentifikasi sampai mereka sakit parah. Hal ini dikarenakan orang tua dengan HIV/AIDS tidak menyadari pentingnya deteksi dini terhadap HIV/AIDS sehingga anaknya tertular. Dilihat dari jenis pekerjaan dari penderita AIDS yang didata oleh Kementerian Kesehatan jumlah penderita AIDS terbanyak malah justru dari kalangan ibu rumah tangga. Data ini menunjukkan keterkaitan dengan kerentanan anak-anak kehilangan pengasuhan orang tua dengan HIV/AIDS. Anak dengan orang tua yang terkena HIV/AIDS memiliki dampak sosial diantaranya stigma dan diskriminasi status HIV orang tua mereka. Mereka juga rentan mengalami masalah gizi dan kesehatan karena orang tua ataupun pengasuh tidak mampu menyediakan dikarenakan orang tua tidak mampu bekerja lagi. Orang tua dengan HIV/AIDS juga tidak mampu memberikan pengasuhan yang layak terhadap anaknya sehingga anak-anak mereka harus diasuh oleh anggota keluarga yang lain atau terpaksa diserahkan kepada panti asuhan (Lentera anak pelangi, 2014). Dilihat dari propinsi yang memiliki orang dengan HIV/AIDS tertinggi adalah Kalimantan Barat, diikuti dengan Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, dan Sumatera Utara. 9.
Anak korban kekerasan Kekerasan terhadap anak menurut UU Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 dapat meliputi kekerasan fisik, psikis atau seksual. Data dari kemensos, tercatat ada 1.466 anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan perlakuan salah selama tahun 2014 (Kemensos, 2014). Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat terjadinya peningkatan pelaporan kasus kekerasan dari tahun 2011 sampai 2014, dimana tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, dan tahun 2014 ada 5066 kasus (Setyawan, 2015). Anak menjadi korban atau pelaku kekerasan diidentifikasi terjadi di tiga lokus, yaitu di lingkungan keluarga, sekolah dan di masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat (Setyawan, 2015). Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa anak rentan menerima kekerasan justru di lingkungan terdekat anak. KPAI mengidentifikasi pelaku kekerasan di lingkungan keluarga, bisa orang tua atau orang yang dekat di lingkungan rumah. Di lingkungan sekolah, kemungkinan pelaku kekerasan kepada anak adalah guru, pekerja di sekolah seperti cleaning service, tukang kantin, satpam. Sedangkan di masyarakat bisa jadi orang yang tidak dikenal (Setyawan, 2015).
11
II. Situasi Anak Tanpa Pengasuhan Orang Tua di 3 Propinsi Terpilih A. Provinsi Sumatera Utara Sumatera Utara merupakan Provinsi keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Pada Tahun 2014 penduduk Sumatera Utara berjumlah 13.766.851 jiw. Pada tahun 2014 penduduk Sumatera Utara lebih banyak tinggal di daerah perdesaan dibanding daerah perkotaan. Jumlah penduduk yang tinggal di perdesaan adalah 6,98 juta jiwa (50,74 %) dan yang tinggal di daerah perkotaan sebesar 6,78 juta jiwa (49,26 %) Jika dilihat dari komposisinya, jumlah Anak di Sumatera Utara dapat di kategorikan cukup banyak, jumlah penduduk yang berusia 0-19 Tahun mencapai 41,82% atau berjumlah 5.757.483 jiwa dari total 13.766.851 jiwa. Jumlah kepemilikan akta kelahiran di Sumatera Utara masih sangat rendah. Berdasarkan data PMKS Tahun 2015, anak terlantar di provinsi Sumatera Utara sebesar 25.841 anak. Terdiri dari 7.939 bayi terlantar dan 17.902 anak terlantar. Jumlah anak terlantar di Provinsi Sumatera Utara berada di urutan nomor dua di Indonesia. Berikut paparan mengenai anak-anak yang rentan kehilangan pengasuhan orang tua yang dijumpai di Sumut. Tabel 3.13 Data penyandang masalah kesejahteraan sosial (pmks) provinsi Sumatera Utara tahun 2015 NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
JENIS PMKS Anak balita terlantar (ABT) Anak terlantar (AT) Anak berhadapan dengan hukum (ABH) Anak jalanan (AJ) Anak dengan kedisabilitasan (ADK) Anak korban tindak kekerasan atau diperlakukkan salah (AKTKADS) Anak yang memerlukan perlidungan khusus (AYMPK) Penyandang disabilitas (PD) Kelompok minoritas (KM) Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Korban penyalahgunaan napza (KP NAPZA) Korban trafficking (KT) Korban tindak kekerasan (KTK) Pekerja migran bermasalah sosial (PMBS) Korban bencana alam (KBA) Korban bencana sosial atau pengungsi (KBS) Perempuan rawan sosial ekonomi (PRSE) Fakir miskin (FM) Keluarga bermasalah sosial psikologis (KBSP) KAT JUMLAH
JUMLAH 7.939 17.902 4.823 2.674 2.635 152
7.754 42.736 2.659 1.441 1.644 480 919 952 6.110 17.711 444.263 315.379 KK 2.292 KK 1.752 KK 945.704 Sumber : Dinas Sosial Kab/Kota MEDAN (Update April 2015 )
Beberapa kasus perlindungan anak yang diidentifikasi menjadi prioritas di provinsi ini diantaranya adalah: (a) Anak Berhadapan dengan Hukum 12
(b)
(c)
(d)
(e)
Sumatera Utara tercatat memiliki jumlah anak nakal tertinggi di Indonesia di PMKS tahun 2012. Dari anak-anak tersebut, jumlah anak yang dipenjara sejumlah 80 tahanan anak dan 152 narapidana anak. Exploitasi Pada Anak Termasuk Didalamnya Traficking, Pekerja Anak Dan Pekerja Seksual Komersial Anak Gambaran tentang bagaimana terjadinya ekploitasi seksual pada Anak dapat dilihat dari proses penelitian yang dilakukan PKPA Medan terhadap “Pemetaan situasi prostitusi anak di kota Medan” tahun 2013 sd 2014. Selain itu, dari kondisi sebelumnya dapat diketahui melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Ecpat Indonesia di Kota Medan tahun 2008, bahwa 74% dari 50 prostitusi anak masih berstatus pelajar ditingkat sekolah SLTP dan SLTA dan 26% diantaranya terpaksa putus sekolah ditingkat SD. Sementara itu kasus Trafficking dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) berdasarkan monitoring media cetak oleh PKPA dalam kurun waktu tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan, 2011 (13 kasus/26%) dan 2012 (36 kasus/60%). Prostitusi anak salah satu dari bentuk ESA semakin “dekat” dengan institusi pendidikan/sekolah. Sampai saat ini belum adanya model/konsep yang relevan untuk pencegahan dan penanganan prostitusi anak. Anak Jalanan Deputi Direktur Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Medan Misran Lubis mengatakan, anak jalanan menjadi fenomena klasik dan keberadaannya tetap eksis, populasinya terus berkembang setiap tahunnya. data dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 mengedentifikasi jumlahnya mencapai 2.867 anak, jumlah terbesar ada di lima kota yakni Medan (663 anak) Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak), Nias Selatan (224 anak) dan Tanah karo (157 anak). Kekerasan terhadap Anak Data kasus Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak Dan Keluarga Berencana (BPAKB) Sekretariat daerah (setda) Provinsi Sumatera Utara dan gugus tugas perlindungan anak Januari s/d desember 2015 terdapat 45 kasus dengan rincian: Bullying 1 Kasus, Pencabulan 2 Kasus, Ditelantarkan 1 Kasus, Incest 1 Kasus, Pemerkosaan 1 Kasus, Pembunuhan 1 Kasus, KDRT 21 Kasus, Perdagangan Orang 14 Kasus. Sumber data yang di kumpulkan Biro PPAKB Setda Provinsi Sumatera Utara ini berasal dari: Anak Melapor atau Ibu Kandung sendiri Ke Biro BPAKB, Laporan Surat Pengaduan dari KPAID (Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah) Sumatera Utara, Polda Sumut, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), Sakti Peksos (Satuan Bakti Pekerja Sosial) Dinas Sosial, Subdit Renakta (Remaja, Anak, dan Wanita) Polda Sumatera Utara, Surat dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (permohonan tanggapan dan proses hukum yang adil), LBH APIK, sebagai pendamping korban Yayasan Pusaka Indonesia. Dari cacatan tersebut terlihat bahwa provider dari penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara beragam. Situasi Pengasuhan Anak di LKSA Pada tahun 2014, terdapat 585 LKSA yang dikelola oleh pemerintah yang tersebar di provinsi Sumatera Utara. LKSA tersebut memiliki kapasitas 585 anak namun dihuni oleh 11,756 anak. Hal ini sangat berbeda dengan LKSA yang dikelola swasta yang berjumlah 147 yang dihuni oleh 5,631 anak.
13
B. Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur Berdasarkan data Biro Pemerintahan Setda Provinsi NTT tahun 2014 jumlah penduduk di provinsi NTT tahun 2014 sebanyak 5.356.567 jiwa yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Sementara itu kabupaten/Kota pada tahun 2014 yang memiliki jumlah penduduk yang tertinggi adalah kabupaten TTS sebesar 459.972 jiwa dan terendah di kabupaten Sumba tengah sebanyak 82.678 jiwa. Jenis pekerjaan masyarakat NTT adalah di sektor Informal meliputi berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain, berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga atau buruh tidak tetap, berusaha dengan buruh tetap, dan pekerja tidak dibayar. Sedangkan di sektor Formal meliputi buruh atau karyawan, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non pertanian, dan pekerja tidak dibayar Pembahasan disini hanya dikhususkan untuk Kabupaten Sikka dimana SOS Children’s Village Indonesia bekerja. Dilihat dari status kepemilikian akta kelahiran di Kabupaten Sikka, terdapat 30,9 % anak di Kab. Sikka yang tidak memiliki akta kelahiran. Terdapat hambatan administrasi dengan aturan adat yang mempengaruhi kepemilikan akta kelahiran di Sikka. Aturan Perkawinan Adat di Sikka di junjung sebagai hukum perkawinan yang tertinggi. Implikasinya pada saat upacara Perkawinan Adat belum dapat dilakukan, maka perkawinan di Gereja yang kemudian dicatat pada Kantor Catatan Sipil atau pencatatan di KUA tidak dapat dilakukan. Tidak tercatatnya pasangan-pasangan tersebut secara resmi dalam administrasi kependudukan menyebabkan tidak memiliki buku nikah dan akibatnya tidak dianggap sebagai pasangan dan tercantum sebagai pasangan dalam Kartu Keluarga. Anak-anak yang lahir dari pasangan-pasangan ini, jika mengurus Akta Kelahiran hanya akan tercantum nama Sang Ibu pada kolom orang tuanya dan tingkat kesadaran untuk memperoleh Akta Kelahiran bagi anak juga rendah. Keluarga baru akan mengurus akta kelahiran anak jika terbentur suatu kebutuhan, misalnya di gunakan untuk anak bersekolah. Begitupun pada sebagian anak sekolah masih belum memiliki akta kelahiran karena dalam proses pengurusan akta masyarakat menganggap hal tersebut memerlukan biaya yang besar, dan memerlukan beberapa prosedur administrasi yang harus di penuhi. Jarak, waktu, akses informasi kepada warga masih menjadi penghambat terpenuhinya hak anak terhadap Akta kelahiran. Data yang diperoleh dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten SIKKA, jumlah Anak Balita Terlantar adalah 218 Balita dan Anak Terlantar berjumlah 870 orang anak. Jumlah ini merupakan kumulasi dari jumlah anak-anak yang terdpat di LKSA (Lembaga Kesejahteraan Soaial Anak) yang berada di Kabupaten Sikka. Pemerintah melalui Dinas Sosial Kabupaten menyalurkan Program PKSA berupa bantuan danai tunai kepada Anak-anak yang berada didalam LKSA tersebut. Selain itu sejumlah LKSA di Sikka yang juga mendampingi Anakanak rentan terhadap kehilangan pengasuhan orang tua terdapat bantuan tunai kepada kereka yang disalurkan melalui LKSA yang menjadi mitra dari Dinas Sosial Kabuaten Sikka. Anak kehilangan pengasuhan di NTT, selain terdapat dalam LKSA, mereka juga banyak tinggal di shelter, asrama maupun kos-kosan. Anak-anak tersebut harus keluar dari rumah dan tinggal di tempat-tempat tersebut karena lokasi sekolah yang tersedia biasanya jauh dari desa tempat tinggal mereka. Selain anak yang sudah kehilangan orang tua, anak-anak yang rentan kehilangan pengasuhan orang tua di Kabupaten Sikka dapat ditemukan seperti beberapa kategori dibawah ini. (a) Eksploitasi Pada Anak, termasuk Explotasi Seksual & Ekonomi dan Perdagangan Anak di NTT dan Kabupaten SIKKA pada khususnya. 14
Rilis Catatan Akhir Tahun 2013 (Catahu 2013) LBH APIK NTT memberikan gambaran bahwa pemerintah dan stakeholder lainnya telah gagal dalam memberikan jaminan aman bagi perempuan dan anak. Rilis Catahu 2013 LBH APIK NTT yang dilakukan dengan menggunakan riset media dan riset pengaduan kasus menempatkan anak-anak sebagai korban terbesar dari berbagai kasus yang dihadapi oleh perempuan dan anak. Tercatat 58% (115 anak) korban trafiking, aniaya, perkosaan, pelecehan seksual dan lainnya adalah anak-anak. Sisanya 41% adalah perempuan dewasa dan 1 % dialami oleh laki-laki dewasa. Eksploitasi anak untuk kepentingan ekonomi juga merupakan kasus yang sangat marak. Tercatat dalam Catahu 2013 LBH APIK NTT bahwa Kasus trafiking dengan korban anak-anak mencapai 51.35%. atau 57 Korban dari total 111 korban trafiking. Hal ini semakin menambah catatan buram upaya perlindungan anak yang sementara digalakkan oleh pemerintah NTT. Selain eksploitasi anak untuk kepentingan ekonomi, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak juga samakin tinggi pada tahun 2013. Kasus percabulan yang berhasil diliput media di NTT, 83.3% korbannya adalah anak –anak. Begitu juga dengan kasus perkosaan di mana korban terbesar adalah anakanak dengan persentase sebesar 84.62. untuk kasus pelecehan seksual di tahun 2013 semuanya dialami oleh anak. (b) Kekerasan pada Anak Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di SIKKA masih terus terjadi. Berdasar data Divisi Perempuan Truk_F pada tahun 2015 terdapat 123 orang korban yang terdiri dari 47 orang korban adalah perempuan dewasa dan 78 Korban Anak. Dari 123 Korban, 74 orang mengalami KDRT, 35 orang kekerasan seksual, 3 orang menjadi korban di ranah Publik dan 11 orang adalah korban perdagangan orang. Kasus yang dialami oleh istri dan anak menjadi kasus yang paling banyak diadukan, 60% dari keseluruhan kasus. Umumnya para istri adalah Ibu rumah tangga dan tidak memiliki kemandirian ekonomi dan 7,4% atau 10 orang belum menikah secara sah. Ditahun 2015 terdapat 2,46% kasus pemisahan anak dari Ibu kandung (biologis) oleh suami dan keluarganya. Kasus ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2014, anggapan bahwa anak sebagai milik laki-laki masih kental dalam masyarakat adat di Sikka. Dokumen Divisi perempuan Truk_F menunjukkan korban kekerasan seksual 35 orang atau 43,05% , dengan dengan korban kekerasan seksual masih dalam usia anak. Sebanyak 22 orang atau 24,64% . Dua orang anak ( 0,44%) adalah kasus insest, dimana pelaku adalah ayah kandung. 77% pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dekat dengan korban dan korban kenal seperti : ayah, saudara, Om , Paman, Kakak, teman, pacar dan tetangga. 100% perempuan yang menjadi korban sudah dipilih dan ditarget oleh pelaku kekersan. 80% kekerasan seksual dilakukan dengan modus tipu daya/tipu muslihat. Usia korbah kekerasan seksual anak dan perempuan 3 sampai dengan 51 tahun, sedangkan usia pelaku 17 sampai 70 tahun. (c) Anak Berhadapan dengan Hukum Di Kabupaten Sikka jumlah dari ABH angkanya memang tidak menunjukkan jumlah yang tinggi, misalnya di banding dengan beberap kabupaten/kota lain di Indonesia. Hal ini dibenarkan juga oleh Koordinator Advokasi Truk_F yang 15
menjelaskan bahwa sebagian besar Anak-anak yang melakukan tindak kriminalistas tidak dengan serta merta berhadapan dengan hukum, karena sebagian besar kemudian di selesaikan dengan musyawarah adat atau mediasi antar keluarga pelaku dengan korban, dimana memang di sebagian besar daerah di NTT, termasuk Kabupaten Sikka aturan adat istiadat masih sangat kuat dikalangan masyarakat.
(d) Anak Buruh Migran NTT merupakan salah satu kantong TKI yang memiliki banyak TKI dalam jumlah besar dan tersebar di berbagai Negara. Begitupun di Kabupaten SIKKA dan hampir sama merata di beberapa Kabupaten lainnya di NTT. Bahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dalam kunjungannya ke Atapupu, Februari 2015 menegaskan NTT menjadi provinsi darurat perdagangan manusia (human traffiking) melalui skema TKI ilegal. Banyak orang tua di NTT merelakan anaknya untuk menjadi TKI setelah disogok dengan uang “sirih pinang” dan iming-iming gaji besar, ungkapnya. Dampaknya, gambaran banyaknya Buruh Migran dari NTT tidak terlalu tampak tercermin dari data resmi statistik yang ada karena lebih banyaknya skema TKI illegal tersebut. (e) Perkawinan Anak Menurut hasil dari penelitian yang dilakukan PSKK UGM yang bekerja sama dengan Plan Indonesia, yang di lakukan pada tahun 2011 di 8 kabupaten di Indonesia, yaitu: Kabuaten Indramayu (Jawa Barat), Kab. Grobokan dan Kab. Rembang (Jawa Tengah), Kab. Tabanan (Bali), Kab. Timor tengah selatan, Kab. Sikka, Kab. Lembata (NTT), angka pernikahan anak di Indonesia memang masih sangat tinggi. Dalam studi, perkawinan anak adalah perkawinan formal dan ikatan informal antara laki-laki dan perempuan di bawah usia 18 tahun. Masalah perkawinan anak ini sendiri adalah masalah yang kompleks, karena masalah ini tidak hanya melibatkan anak itu sendiri, tapi juga ada faktor orang tua, serta sosial-budaya di daerah anak itu berada. C. Provinsi Jawa Tengah Penduduk Jawa Tengah di tahun 2014 menurut BPS tercatat 33,52 juta jiwa atau 13,29 % dari total penduduk Indonesia. Jawa Tengah merupakan propinsi ketiga terpadat di Indonesia. Pada umumnya penduduk menumpuk di daerah perkotaan dibandingkan di kabupaten. Jumlah rumahtangga di Jawa Tengah sebesar 9,0 juta dengan rata-rata penduduk per rumahtangga sebesar 3,7 jiwa. Jumlah anak usia kurang dari 19 tahun adalah 11,198 juta atau 33,4% dari total jumlah penduduk Jawa Tengah. BPS Jawa Tengah melaporkan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin sebesar 5,26 juta atau 16,21% dari total penduduk Jawa Tengah. Pada tahun 2014 angka kemiskinan menjadi 4,81 juta atau 14,44% dari total penduduk Jateng dimana jumlah penduduk miskin di pedesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan di perkotaan. Pada tahun 2014 jumah keluarga pra sejahtera di Jateng mencapai 2,66 juta 16
jiwa atau 26,11 % dari total keluarga. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah ada di Kabupaten Brebes sebesar 62,55 dan tertinggi ada di Kota Salatiga sebesar 79,98. Jumlah penduduk usia 0-4 tahun yang memiliki akta kelahiran di Provinsi Jawa Tengah adalah 1.198.211 anak atau 48,25% dari jumlah total anak usia 0-4 tahun (2005). Namun pada tahun 2015 BP3AKB Jawa Tengah melaporakan bahwa 67,3% anak di Jawa Tengah masih belum mempunyai akte kelahiran, sehingga berdampak pada terhambatnya akses anak untuk mendapatkan layanan-layanan terkait dengan perlindungan sosial dan layanan dasar lainnya termasuk kesehatan dan pendidikan. Selain itu, anak tanpa akte kelahiran rentan mengalami perdagangan anak (BP3AKB, 2015). Situasi sosial dan ekonomi di Jawa Tengah yang sudah dipaparkan diatas memiliki kontribusi dalam situasi anak terlantar di di provinsi tersebut. Berikut data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial anak di Jawa Tengah. Tabel 3.26. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Jawa Tengah Tahun 2014 No. A.
Jenis PMKS
L
P
TOTAL
KETERLANTARAN 1.
Anak balita terlantar
109,900
142,062
250,962
2.
Anak terlantar
11,297
14,302
25,599
Disabilitas anak
25,221
18,864
44,085
Disabilitas Fisik
14,988
11,254
26,242
- Tubuh (daksa)
8,584
6,267
14,851
- Mata (netra)
2,206
1,733
3,939
- Rungu/Wicara (bisu-tuli)
4,198
3,254
7,452
Disabilitas Mental
7,490
5,573
13,063
- Mental retardasi
4,849
3,664
8,513
- Mental eks psikotik
2,641
1,909
4,550
Disabilitas Ganda
2,743
2,037
4,780
B.
KECACATAN 3.
C.
KORBAN TINDAK KEKERASAN 4.
Anak korban tindak kekerasan
432
402
834
5.
Anak yang memerlukan perlindungan khusus
294
459
753
D.
KETUNAAN SOSIAL 6.
Anak jalanan
2,952
525
3,477
7.
Anak mengalami masalah dengan hukum
1,315
252
1,567
8.
Keluarga bermasalah sosial-psikologis
18,626
20,724
39,350
Identifikasi persoalan anak di Provinsi Jawa Tengah diantaranya adalah: (a) Anak Berhadapan dengan Hukum Dalam laporan NCRSA tahun 2012, disebutkan bahwa Provinsi Jawa Tengah menempati peringkat tertinggi untuk anak yang berada di penjara yaitu 14,548 anak. Menurut data dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, jumlah anak yang bermasalah dengan hukum di tahun 2014 tercatat 1,567 anak dan anak nakal di Jateng dalam data PMKS 2012 tercatat 8,135 anak, selisih 2,096 lebih sedikit dibandingkan dari data tahun 2008. Berkurangnya jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ini juga terjadi secara nasional 17
dikarenakan diterapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak per 31 Juli 2014. Persoalan yang muncul dengan ABH adalah masih adanya anak yang tinggal di penjara dewasa pada dimana pada bulan November 2014 terdapat 31 anak. Tidak hanya anak yang berkonflik dengan hukum, layanan yang diterima oleh anak yang sebagai korban juga belum optimal, terutama monitoring ketika anak sudah dikembalikan kepada keluarga. Hal ini tentunya hak anak belum sepenuhnya terpenuhi. Apalagi kasus yang dihadapi atau dialami oleh anak yang mempunyai dimensi masalah yang beragam yang menuntut dukungan, intervensi sosial yang komprehensif dan sistematis. Terutama bagi anak-anak yang berada pada situasi rentan atau beresiko (BP3AKB Jateng, 2015). (b) Anak hidup dalam Kemiskinan Jawa Tengah merupakan provinsi kedua yang memilki jumlah penduduk miskin setelah Jawa Timur dengan jumlah 4,863,400 penduduk miskin (BPS, 2012). Tingkat pengangguran di Jawa Tengah adalah 6.01%. Provinsi Jateng juga menempati posisi provinsi kedua terbanyak yang memiliki jumlah rumah tidak layak huni sebesar 984,404 (PMKS, 2012). Situasi kemiskinan tersebut menyebabkan angka tenaga kerja yang bekerja di luar daerah atau negara di Jateng cukup tinggi yaitu 92,587 TKI di tahun 2014. Daerah yang paling banyak mengirimkan TKI di Jateng adalah Cilacap, Kendal, Brebes, Pati, Banyumas, dan Grobogan (BNP2TKI, 2016). Persoalan-persoalan yang akan muncul karena hambatan ekonomi menurut FGD dengan anak-anak adalah terbatasnya akses anak terhadap pendidikan, pemenuhan gizi yang tidak ideal, kedua orang tua harus bekerja sehingga kebutuhan anak kurang terperhatikan, anak menjadi salah pergaulan. Selain itu, dikarenakan keadaan ekonomi keluarga yang kekurangan anak harus bekerja untuk bisa sekolah atau bahkan harus meninggalkan sekolah untuk bekerja. (c) Anak Korban Kekerasan Jawa Tengah memiliki jumlah keluarga yang bermasalah sosial psikologis sejumlah 39,350 di tahun 2014, dimana ini mendudukkan Jateng di urutan ke-4 secara nasional. Keluarga yang bermasalah sosial-psikologis rentan mengalami perceraian. Menurut Arist Merdeka Sirait, angka perceraian di Jawa Tengah terbilang cukup tinggi yaitu 12,000 kasus setiap tahun (Prabowo, 2015). Ketika terjadi perceraian dalam keluarga, anak menjadi rentan menghadapi persoalan-persoalan psikologis, sosial dan pengasuhan. Persoalan pertama yang dihadapi anak adalah anak akan kehilangan hak asuh salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Putusan pengadilan banyak menetapkan hak asuh hanya untuk salah satu orang tua saja sehingga anak menjadi kehilangan hak untuk pengasuhan dari orang tua yang lain (Prabowo, 2015). Selain itu, hasil dari wawancara di daerah dampingan SOS di Tambakrejo maupun di Ambarawa menemukan bahwa di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah banyak ditemukan kejadian setelah orang tua bercerai anak kemudian diasuh oleh kakek atau neneknya karena orang tua yang mendapatkan hak asuh harus bekerja di luar daerah. Setelah orang tua yang bercerai menikah lagi, anak harus mengikuti keluarga baru yang tidak mungkin akan menimbulkan persoalan terhadap 18
anak. Keluarga barunya dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak sehingga mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut. Berdasarkan data yang dihimpun BP3AKB (Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana) Provinsi Jawa Tengah, kasus kekerasan pada anak yang terjadi di Jawa Tengah masih terus terjadi dari tahun ke tahun, pada tahun 2011 dilaporkan ada 1084 kasus, tahun 2012 ada 1.352 kasus, tahun 2013 sebanyak 1.035 kasus, tahun 2014 terdapat 1.114 kasus, dan hingga bulan September 2015 sudah terjadi 1.046 kasus kekerasan pada anak. Sedangkan data dari Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) Jawa Tengah kasus kekerasan anak yang dilaporkan pada tahun 2012 ada 483 kasus dengan korban 78 anak laki-laki dan 405 anak perempuan. Pada 2013 ada 595 kasus dengan korban anak lakilaki 104 dan 491 anak perempuan. Adapun di tahun 2014 kasus meningkat menjadi 799 kasus dengan perincian yang menjadi korban 152 laki-laki dan 627 anak perempuan (Rofiuddin, 2015). (d) Anak dalam Pengasuhan Alternatif di Jawa Tengah Beberapa penjelasan diatas memberikan gambaran mengenai faktor-faktor penyebab anak kehilangan pengasuhan orang tua. Anak tanpa pengasuhan orang tua tersebut banyak yang dimasukkan ke dalam LKSA. Terdapat sekitar 22,616 anak yang berada di 565 LKSA di seluruh Jawa Tengah. Kota Semarang memiliki jumlah LKSA terbanyak yaitu 75 LKSA dengan penerima manfaat sebanyak 3,722 anak. Sedangkan daerah lain yang memiliki LKSA terbanyak setelah Semarang ada di Jepara, Demak, Grobogan dan Kabupaten Semarang. Menurut data sebelumnya, Grobogan merupakan daerah dengan pengirim TKI yang banyak, daerah yang memilki angka kematian ibu terbanyak ketiga seluruh Jawa Tengah dan juga kabupaten dengan jumlah keluarga pra sejahtera terbanyak di Jateng sebesar 60% dari jumlah KK (BPS Jateng, 2014). Daerah lain yang teridentifikasi memiliki jumlah keluarga pra sejahtera tinggi adalah Demak dengan 36% dari jumlah KK. Sedangkan daerah lain yang memilki LKSA terbanyak disinyalir memiliki faktor-faktor lain diluar kemiskinan yang menyebabkan anak kehilangan pengasuhan orang tua. Sebagai kesimpulan, faktor resiko anak rentan kehilangan pengasuhan orang tua dapat dimasukkan dalam beberapa kategori, seperti: a. Faktor sosio-budaya Ketidaksetaraan jender menjadi penyebab pernikahan dini pada anak. Pernikahan dini ini berpengaruh terhadap anak perempuan yang masih dibawah umur menjadi seorang ibu. Selain itu, resiko penelantaran anak dikarenakan ibu dibawah umur semakin meningkat dikarenakan ketidakmatangan sosial dari ibu, dukungan yang kurang terhadap ibu remaja dan stigma masyarakat terhadap ibu remaja. Ada korelasi budaya patriarki yang kental di masyarakat Indonesia dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Budaya patriarki yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan cenderung bertindak sewena-wena sehingga rentan mengalami kekerasan.
19
Kemampuan mengasuh anak dari orang tua yang masih kurang sehingga menyebabkan banyak kasus kekerasan terhadap anak untuk alasan dispilin. Nilai-nilai tradisi yang negatif seperti orang tua yang merasa anak adalah milik orang tua seringkali orang tua menjadi eksploitatif dan menjadi penyebab anak dilacurkan serta anak terpaksa bekerja. Penggunaan media, terutama media sosial yang tidak bijak sehingga mengakibatkan pornografi anak dan juga mempengaruhi terjadinya kasus kekerasan seksual pada anak. Kegagalan hukum dalam melindungi anak berkontribusi dalam kerentanan anak kehilangan pengasuhan orang tua. Hukum yang tidak berjalan semestinya menyebabkan banyak kasus perdagangan anak sehingga muncul anak yang dilacurkan, atau anak korban bencana alam yang rentan untuk diperdagangkan melalui mekanisme adopsi yang pengaturannya di Indonesia belum berlajan baik. b. Faktor psiko-sosial Permasalahan sosial-psikologis keluarga seperti perceraian yang mengakibatkan anak rentan untuk ditelantarkan dan menerima kekerasan. Angka kekerasan pada anak yang tinggi berkontribusi pada penyebab ketelantaran anak. Laporan kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat baik di tingkat nasional maupun di beberapa provinsi yang diteliti seperti di Jawa Tengah menjadi perhatian besar dan menjadi faktor penting sebagai penyebab ketelantaran anak. Konsumsi napza (narkotika dan zat adiktif lain) pada orang tua juga menjadi faktor penting dalam penelantaran anak. Orang tua yang mengkonsumsi napza mengalami ketidakstabilan emosi dan kerentanan ekonomi yang berkontribusi pada terjadinya penelantaran anak. Persoalan psiko-sosial dalam rumah tangga seperti kurangnya perhatian orang tua terhadap anak, pengabaian terhadap kebutuhan anak ataupun konflik dalam rumah tangga menjadi penyebab anak turun ke jalan dan mempengaruhi kejadian anak bertindak kriminal sehingga harus berkonflik dengan hukum. c. Faktor ekonomi Kemiskinan Kemiskinan menjadi faktor utama yang mempengaruhi persoalanpersoalan lain yang menjadi penyebab penelantaran anak. Diantaranya adalah pengangguran, kedua orang tua harus bekerja, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, kekurangan kemampuan orang tua dalam mengasuh anak, perceraian, pernikahan dini, dan juga anak bekerja. Migrasi orang tua yang meninggalkan anak di daerahya. Dengan alasan ekonomi banyak orang tua terpaksa bekerja di luar daerah dan meninggalkan anaknya di rumah bersama dengan keluarga besar. Faktor ekonomi mempengaruhi partisipasi anak dalam pendidikan. Anak rentan untuk bekerja dan berakibat putus sekolah.
20
Sebagian anak jalanan bekerja di jalanan dengan tujuan ekonomi meskipun masih memiliki hubungan dengan keluarga (children in the street). d. Faktor kesehatan Anak dengan HIV/AIDS memiliki kerentanan untuk ditelantarkan dikarenakan stigma dari masyarakat. Mereka rentan ditelantarkan oleh keluarganya jika orang tuanya sudah meninggal, memilki kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan atau pendidikan. Jumlah ibu rumah tangga yang menduduki prosentase tertinggi jumlah ODHA berdampak terhadap pengasuhan anak. Kebutuhan gizi & pendidikan anak tidak dapat dipenuhi dengan layak karena orang tua tidak dapat bekerja, anak rentan untuk terpisah dari orang tuanya karena orang tua tidak mampu melakukan kewajiban pengasuhannya. Disabilitas anak atau orang tua. Penyandang disabilitas memilki kerentanan ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas pengasuhan. Namun, tidak ada data atau pelaporan yang menghubungkan disabilitas orang tua mempengaruhi penelantaran anak. Lebih banyak adalah disabilitas anak yang menjadi latar belakang orang tua untuk menelantarkan anak. Anak yang terlahir sebagai anak disable menjadi rentan untuk dimasukkan institusi, ditinggalkan atau ditelantarkan. e. Faktor eksternal lain karena bencana alam dan konflik Bencana alam. Indonesia merupakan daerah yang memiliki potensi bencana yang cukup besar mulai dari tsunami, gempa bumi, banjir, longsor, ataupun gunung meletus. Bencana menimbulkan dampak terpisahnya anak dengan orang tua dikarenakan orang tua yang meninggal maupun tidak ditemukan lagi. Konflik sosial yang terjadi di Indonesia berlatar belakang konflik SARA seperti di Maluku, Sampit, ataupun konflik horizontal antara negara dan masyarakat seperti di Aceh atau Papua. Dampak konflik terhadap anak adalah anak dapat menjadi bagian dari konflik tersebut seperti menjadi kombatan, atau juga korban, menjadi pengungsi, kehilangan keluarga dan trauma.
III.
Pengasuhan Alternatif untuk Anak Tanpa Pengasuhan Orang Tua
Anak-anak terlantar diatas rentan terpisah dengan orangtuanya. Bagi anakanak yang terpisah dengan orang tuanya, ada beberapa pengasuhan alternatif yang biasanya terjadi: 1) Diasuh oleh keluarga besarnya atau kerabat, 2) diasuh keluarga lain didalam/diluar negeri atau biasa disebut Adopsi, 3) ditempatkan di lembaga yang disebut LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) atau di Panti Asuhan, 4) bagi anak yang berkonflik dengan hukum ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), 5) dan terakhir ditempatkan pada lembaga pendidikan seperti pesantren. Berikut akan diberikan gamabran sekilas mengenai situasi anak dalam pengaruhan alternatif: A.
Anak yang diasuh di LKSA (lembaga Kesejahteraan Sosial Anak)
21
Berita VOA Maret 2015, menyebutkan bahwa Indonesia memiliki angka tertinggi perkapita di dunia jumlah anak yang tinggal di lembaga pengasuhan. Direktur Kesejahteraan Sosial Anak di Kementerian Sosial, Edi Suharto (2015) menyatakan ada lebih dari lima ribu panti asuhan di Indonesia, yang pengawasannya ada di tingkat kabupaten dan propinsi. Ditinjau dari data jumlah anak penerima Bantuan sosial melalui LKSA pada tahun 2015 terdapat 110.000 anak penerima bantuan. Tidak semua anak yang berada di panti kehilangan pengasuhan orang tua dalam konteks kedua orang tua meninggal. Laporan Kementrian sosial 2015 mengenai situasi anak di Indonesia, menyebutkan hanya 5% anak yatim piatu yang tinggal di lembaga kesejahteraan sosial anak. Sebanyak 24% anak yatim, 3% piatu dan 60% anak yang masih memiliki orang tua lengkap, tinggal di lembaga pengasuhan, yang tersebar di 51,666 Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Alasan menitipkan anak di panti adalah karena kondisi ekonomi/kemiskinan dan orang tua berharap anak mendapatkan pendidikan yang lebih baik di panti. Artinya kemungkinan anak akan terus berada di panti sampai pendidikan berakhir. Banyaknya jumlah panti yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan keterbatasan pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi memunculkan berbagai resiko yang dapat merugikan anak. Survey pada tahun 2007 oleh Save the Children menunjukkan hasil bahwa sebagian besar panti membatasi terjalinnya hubungan antara anak dengan keluarganya bahkan menghalangi hubungan tetap tersebut. Anak yang berada di dalam LKSA juga rentan menerima pengasuhan yang tidak memadai dan rentan terhadap perlakuan kekerasan serta diremehkan oleh staff. Ketua komisi anak, Aris Merdeka Sirait kepada kompas.com (2015) menyatakan bahwa anak-anak yang berada di panti berada dalam posisi rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun seksual. Hal ini dikarenakan pelaku kejahatan bisa bersembunyi di balik kedok pelayanan panti asuhan. Hal ini didukung oleh penelitian oleh anak yang berada di panti asuhan (2007). Penelitian yang dilakukan oleh anak ini menggambarkan kehidupan mereka di dalam dan diluar panti. Sisi kehidupan yang dianggap menyenangkan diantaranya adalah banyak teman sementara sisi yang menyedihkan antara lain jauh dari keluarga, makanan yang buruk, keharusan bekerja dan aturan yang ketat. Kehidupan sekolah menjadi impian semua anak yang terlibat dalam penelitian namun juga menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan, antara lain bagaimana kondisi mereka selepas SLTA. Kekhawatiran ini diperkuat dengan terbatasnya dukungan pada saat mereka berada di panti, hubungan dengan keluarga yang tidak dekat, dan ketiadaan teman di lingkungan rumah serta panti. Keterbatasan pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi membuat anak-anak yang tinggal di panti ataupun LKSA lain menjadi rentan terhadap berbagai resiko kekerasan dan perlakuan yang salah terhadap anak. Sinergi antara pemerintah dengan pihak swasta serta masyakat sangat dibutuhkan untuk melindungi anak-anak dari situasi yang lebih buruk. B.
Anak yang diasuh oleh Keluarga Besar Dalam kondisi dimana anak tidak bisa mendapatkan pengasuhan secara langsung dari orang tuanya, maka peran pengasuhan dapat diambil oleh keluarga besar. Cantwell dan Holzcheiter (2008) dalam ulasannya terhadap pasal 20 KHA menyebutkan bahwa lingkungan keluarga sangat penting bagi pertumbuhan anak. Seringkali lingkungan keluarga diidentikan dengan keluarga kandung. Namun dalam kondisi dimana anak membutuhkan pengasuhan diluar keluarga kandungnya, keluarga 22
besar juga harus dilihat sebagai solusi yang bisa diambil untuk menghadirkan lingkungan keluarga bagi anak. Keluarga besar memiliki peluang lebih besar mengasuh anak dengan empati yang baik, dan meningkatkan lebih banyak lagi jumlah anak-anak yang dibesarkan di rumah. Sejak tahun 2011 Kementrian Sosial RI menerbitkan Peraturan Menteri Sosial RI 30/HUK/2011 tentang standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Aturan tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 21 Tahun 2013, tentang Pengasuhan Anak. Kedua peraturan tersebut mengatur pentingnya pengasuhan anak dalam keluarga dan pengasuhan alternatif. Kebijakan tersebut mengubah peran panti asuhan yang sebelumnya terbatas pada layanan bagi anak di dalam panti, didorong menjadi pihak yang ikut mengusahakan anak kembali ke keluarga dan memprioritaskan mendukung pengasuhan di dalam keluarga. Apabila karena sebab tertentu pengasuhan di dalam keluarga inti tidak dimungkinkan, anak bisa mendapatkan pengasuhan alternative seperti melalui kekerabatan, orang tua asuh, wali, adopsi. Panti asuhan adalah alternatif terakhir. C.
Anak Berada di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Tahun 2012 mulai berlaku sejak 31 Juli 2014. Dalam UU ini, prinsip yang dipakai adalah keadilan restoratif dan diversi yang bertujuan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar (klinikhukum, 2015). Dengan demikian, anak tidak ditempatkan di penjara, kecuali untuk anak usia 14 tahun lebih dengan ancaman pidana lebih dari 7 tahun. Anak yang berkonflik dengan hukum akan ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Selain LPKA, satu area di lokasi tersebut berfungsi juga sebagai Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). Sebelum sidang vonis, anak yang berperkara akan berada di LPAS. Data dari Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyebutkan, di tahun 2014 tercatat ada 3.276 anak yang berkonflik dengan hukum dengan 59,31% diantaranya terpaksa harus berbagi tempat dengan warga binaan dewasa. Hal ini tentu saja berdampak kurang baik bagi perkembangan fisik maupun psikis anak (Kemenkumham 2, 2015). Kehadiran LPKA dan LPAS menjadi jawaban untuk melindungi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum.
IV.
Tinjauan Mengenai Potensi Pelanggaran Hak Anak
Situasi pengasuhan alternatif tersebut rentan terjadi pelanggaran hak anak. Dalam studi ini ditemukan bentuk pelanggaran hak anak dalam pengasuhan alternatif meliputi: a. LKSA: orang tua tidak menjalankan tanggung jawab utamanya dalam melakukan bimbingan terhadap anak (pasal 15), Terpisah dari orang tua (pasal 9), Diskriminasi (pasal 2), Kepentingan Terbaik Anak tidak diprioritaskan (pasal 3), Anak-anak rentan mendapatkan kekerasan, diperlakukan tidak manusiawi dan tidak dihargai (pasal 37-a), Anak tidak mendapatkan jaminan sosial, layanan kesehatan dan perawatan anak yang memadai (pasal 26 & 18, paragraph 3), rentan mendapatkan eksploitasi (Pasal 34 & 32) 23
b. LPKA: tidak mendapatkan proses peradilan yang adil (pasal 40), kehilangan kemerdekaannya (Pasal 37 (b)-(d)) c. Diasuh oleh keluarga besar: Diskriminasi (pasal 2), Anak rentan mendapatkan perlakuan yang kejam, penghukuman atau direndahkan (Pasal 37 (a)), Kehilangan Bimbingan Orang Tua (Pasal 15), Anak tidak selalu mendapatkan Lingkungan tinggal yang sehat dan memadai (Pasal 27), Anak rentan mendapatkan eksploitasi (pasal 32&34)
V. Kewajiban, Tanggung Jawab dan Strategi Pemangku Tugas A. Kebijakan dan Strategi Perlindungan dan Pengasuhan Anak Terdapat kebijakan perlindungan anak yang di atur dalam peraturan di tingkat internasional, nasional, maupun daerah. Kebijakan di tingkat internasional banyak mengacu kepada Konvensi Hak Anak (KHA) yang mencakup isu anak secara komprehensif termasuk perlindungan terhadap anak. Sedangkan di tingkat nasional, payung hukum untuk melakukan kewajiban Negara terhadap perlindungan anak telah di buat secara cukup komprehensif dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini, dengan meratifikasi berbagai perjanjian internasional terkait hak anak. Meski demikian, terdapat beberapa bidang yang belum tercakup dan belum lengkapnya penerjemahan kewajiban internasional ke dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Bidang-bidang dimaksud antara lain: minimnya pelarangan penuh hukuman korporal/fisik di semua latar terjadinya kekerasan; terbatasnya cakupan definisi resmi dari ‘kekerasan emosional’ dan ‘penelantaran’, serta ‘inses’ dan ‘perkosaan’; ketentuan terkait usia perkawinan; dan minimnya ketentuan yang jelas yang menyatakan bahwa anak yang terlibat dalam segala bentuk eksploitasi seksual seharusnya selalu diperlakukan sebagai korban (UNICEF Indonesia, 2015). Di tingkat daerah, terutama di 3 propinsi daerah penelitian, peraturan yang dibuat banyak berkaitan dengan upaya perlindungan dan peningkatan kualitas hidup anak dan perempuan, mewujudkan daerah layak anak di tingkat kabupaten, bahkan di beberapa tempat terdapat inisiatif untuk mengembangkan desa atau kelurahan layak anak. Arah kebijakan perlindungan anak yang dimuat dalam RPJMN 2015-2019 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) adalah sebagai berikut: Memperkuat sistem perlindungan anak dan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dengan melakukan berbagai upaya pencegahan dan penindakan. Meningkatkan kapasitas kelembagaan perlindungan anak dan perempuan dari berbagai tindak kekerasan dan perlakuan salah lainnya. Peningkatan ketersediaan layanan bantuan hukum bagi kelompok marjinal. Sedangkan penjabaran lebih rinci atas pelaksanaan RPJMN 2015-2019 untuk mencapai sasaran pembangunan perlindungan anak sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No.2/2015 dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN-PA). RAN-PA telah diamanatkan dalam UU No.35/2014 Bab II Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) sebagai kewajiban negara dalam menghargai, 24
melindungi, dan memenuhi hak-hak anak. Oleh karena itu, RAN–PA memuat koordinasi lintas sektor termasuk lembaga non pemerintah dan dunia usaha dalam mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan anak di Indonesia. Di tingkat daerah, RAN-PA dapat dikembangkan menjadi Rencana Aksi Daerah (RAD) terkait perlindungan anak dan diintegrasikan dengan program pemerintah daerah. Dalam hal ini, peranan Pemerintah Daerah dan masyarakat sipil sangat penting untuk melaksanakan aksi pemenuhan hak dan perlindungan yang diperuntukkan bagi anak. Sasaran utama RAN-PA ini adalah anak, yang berdasarkan UU No.35/2014 tentang Perubahan Atas UU No.22/2003 tentang Perlindungan Anak merupakan individu berusia 0 sampai sebelum 18 tahun termasuk anak yang berada di dalam kandungan. Intervensi yang dilakukan dalam RAN-PA ini dibagi kedalam tiga kategori berdasarkan kebutuhan selama siklus hidup usia anak, yakni Pondasi yang Kuat 1000 Hari Pertama Kehidupan (0 - 2 tahun), Pilar yang Kokoh dalam 10 Tahun Perkembangan Anak (>2 - 12 tahun), dan Atap yang Melindungi (>12 – <18 tahun). Selain itu, di tingkat nasional terdapat beberapa strategi dalam perlindungan dan pengasuhan anak yang diwujudkan melalui Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) dan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PTPPO). B. Program dan Peran Duty Bearer Program yang dijalankan oleh Pemerintah dalam kaitannya dnegan perlindungan dan pengasuhan anak diupayakan melalui intervensi yang komprehensif. Terdapat program perlindungan sosial di bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan melalui Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera. Program Kementrian berkaitan dengan upaya perlindungan dan pengasuhan anak dijalankan oleh beberapa kementrian terkait seperti dalam Kementrian Sosial yang memiliki dua program besar, yaitu: (1) Program Bantuan LKSA, dan (2) Program Keluarga Harapan (PKH). Sedangkan dalam Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), terdapat tiga isu strategis pada program perlindungan anak, yaitu: 1) Peningkatan kualitas hidup dan tumbuh kembang anak; 2) Peningkatan perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya; dan 3) Peningkatan kapasitas kelembagaan pemenuhan hak dan perlindungan anak. Peningkatan kualitas hidup dan tumbuh kembang anak tidak hanya dilihat dari aspek fisik, namun juga non fisik seperti mewujudkan lingkungan yang layak bagi anak. Semua ini dikembangkan melalui pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Di tingkat kabupaten, program yang dijalankan dilakukan oleh beberapa dinas atau lembaga terkait, seperti: (1) Provinsi Sumatera Utara: a. Dinas Kesejahteraan dan Sosial b. Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan Keluarga Berencana. c. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sumatera Utara d. Forum Diversi (2) Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur Pemerintah Daerah fokus dalam mewujudkan Kabupaten Layak Anak. Dalam mewujudkan ini, Pemerintah Daerah bersinergi dengan semua stakeholder yang ada dan berkarya di Wilayah Kabupaten Sikka yaitu: 25
NGO: PLAN Internasional, WVI ADP Sikka, CHILD FUND, SOS Children’s Village. Multilateral: UNICEF. Lembaga Keagamaan: Keuskupan. (3) Provinsi Jawa Tengah a. Dinas Kesejahteraan dan Sosial: memberikan bantuan di luar panti untuk anak jalanan, ABH (anak nakal), anak terlantar, dan PKH. b. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan Keluarga Berencana. c. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Tengah yang tersebar di semua 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
C. Strategi & Program Perlindungan dan Pengasuhan Anak Non Pemerintah Identifikasi aktor atau stakeholder yang berperan dalam kegiatan pencegahan, diantaranya adalah LKSA & NGO. Daftar NGO yang memilki program penguatan keluarga dan masyarakat diantaranya adalah: SOS Children’s Villages Indonesia, Plan Indonesia, World Vision Indonesia, Save the Children, dan Yayasan Setara Semarang. Sedangkan identifikasi stakeholder yang berperan dalam penanganan kasus perlindungan anak, diantaranya adalah: P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaa Perempuan dan Anak) di Jawa Tengah dan Sikka, KPAID Sumatera Utara, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara, Truk_F Kabupaten Sikka, NTT, dan Save the Children. Identifikasi lembaga yang memerankan fungsi advokasi, diantaranya adalah: UNICEF dan Save the Children.
VI.
Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan dengan mempertimbangkan kompetensi SOS Children’s Village Indonesia dan analisis situasi umum anak untuk memperbaiki situasi anak yang beresiko kehilangan pengasuhan atau sudah kehilangan pengasuhan, adalah: 1. Memperkuat dan meningkatkan program penguatan keluarga untuk mendukung anak-anak yang rentan kehilangan pengasuhan orang tua supaya tetap berada dalam lingkungan keluarganya. 2. Mengembangkan langkah-langkah strategis untuk melakukan reunifikasi anak dalam pengasuhan alternatif yang dimiliki oleh SOS Children’s Village Indonesia dengan mempertimbangkan penguatan keluarga maupun keluarga besar anak tersebut baik dari segi ekonomi maupun psiko-sosial. 3. SOS Children’s Village Indonesia memberikan peningkatan kapasitas kepada masyarakat untuk membentuk sistem perlindungan anak di masyarakat. 4. Tergabung dalam kelompok kerja atau forum lembaga yang memiliki program strategis terhadap perlindungan anak di tingkat nasional maupun daerah untuk mengkoordinasi program-program perlindungan anak supaya terbentuk sebuah sinergi. 5. Mendukung dan atau bekerjasama dengan pemerintah atau lembaga lain dalam penanganan angka persoalan anak yang terpisah dari orangtuanya, termasuk: pengentasan kemiskinan, kekerasan pada anak, akses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. 6. Mendukung pemerintah dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
26