NASKAH PUBLIKASI
SOSIALISASI UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DALAM BAHASA SUNDA (Sebuah Penelitian Kualitatif)
REZA KUSUMA PUTRA RINA MULYATI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2009
NASKAH PUBLIKASI
SOSIALISASI UUD 1945 DALAM BAHASA SUNDA
Telah Disetujui Pada Tanggal ______________________
Dosen Pembimbing Utama
(Rina Mulyati, S.Psi., M.Si)
SOSIALISASI UUD 1945 DALAM BAHASA SUNDA Reza Kusuma Putra Rina Mulyati Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggali efektifitas alih bahasa serta pemahaman masyarakat adat Kampung Naga pasca sosialisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Penelitian ini mengambil lima orang responden yang merupakan perwakilan tiap lembaga yakni Mahkamah Konstitusi, Universitas Pendidikan Indonesia, Balai Bahasa Bandung, serta Kampung Naga dimana semua responden terlibat dalam alih bahasa UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam atau indepth interview. Data di analisis dengan teknik analisis tematik dengan langkah-langkah berupa penggolongan tema-tema untuk kemudian memasukkannya ke dalam sub kategori dan kategori serta mengintegrasikannya. Selanjutnya diperoleh model yang menggambarkan efektivitas serta pemahaman masyarakat pasca sosialisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak efektif serta tidak dipahaminya UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Dari tiga parameter untuk tercapainya efektivitas sosialisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda hanya satu parameter yang tercapai yakni terpenuhinya kepentingan masyarakat Kampung Naga dalam hal ini perlindungan terhadap masyarakat adat, sementara dua parameter lain yakni alat-alat pendukung atau draft UUD 1945 dalam bahasa Sunda, jangka waktu penanaman UUD 1945 dalam bahasa Sunda tidak tercapai. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi dalam pemahaman terhadap UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Dari tiga kawasan tingkat pemahaman hanya satu kawasan yang tercapai yakni kawasan kognitif hal ini terjadi karena masyarakat adat Kampung Naga mengetahui informasi tentang UUD 1945 dalam bahasa Sunda hanya sebatas pemahaman secara indrawi, sedangkan untuk dua kawasan lainnya yakni kawasan afektif serta kawasan psikomotor tidak tercapai. Meskipun tidak efektif serta tidak dipahaminya UUD 1945 dalam bahasa Sunda tetap memiliki faktor pendorong yakni dari adanya faktor draft UUD 1945 dalam bahasa Sunda serta amanat UUD 1945. Sosialisai UUD 1945 di dorong oleh enam komponen yang membentuknya. Komponen yang pertama adalah faktor konteks yaitu adanya masyarakat sunda yang tidak mengerti bahasa Indonesia dan adanya masyarakat adat Kampung Naga. Meskipun demikian faktor konteks ini tidak memberikan dukungan besar dalam upaya sosialisai. Komponen pembentukkan yang kedua adalah adanya dukungan yang muncul dari pihak Ketua dan hakim-hakim MK, masukan dari daerah atau pihak pengusul, serta peran dan tugas MK sebagai pengawal konstitusi. Kendatipun demikian dukungan tersebut tetap tidak memberikan kontribusi besar. Pihak pengusul dalam hal ini daerah pun tidak siap dalam upaya melakukan sosialisasi.
Komponen yang ketiga adalah tantangan dalam sosialisasi UUD dalam bahasa Sunda. Hambatan dalam sosialisasi ini berupa terbtasnya draft UUD 1945 dalam bahasa Sunda, penyerahan wewenang sosilisasi, terbatasnya waktu sosialisasi. Dari ketiga hambatan ini, memperjelas tidak efektif serta tidak dipahaminya UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Komponen yang keempat adalah upaya untuk menanggulangi hambatan sosialisasi. Namun upaya untuk menanggulangi hambatan dalam sosialisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda tidak dilakukan. Komponen yang kelima adalah strategi sosilisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda berupa sosialisasi langsung dan sosialisasi tidak langsung. Sosialisasi langsung yakni melalui pertemuan langsung dengan Kampung Naga, Pesantren, pejabat pemerintah daerah, serta tokoh-tokoh masyarakat atau ulama. Sedangkan untuk sosialisasi tidak langsung melalui media cetak dan elektronik serta melalui forum-forum ilmiah seperti seminar, diskusi, kuliah umum. Namun sekali lagi upaya mlibatkan media-media sebagai alat sosialisasi tidak memberikan dampak yang postif. Komponen yang keenam adalah tujuan atau outcome sosialisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Namun tidak adanya upaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan sehingga berdampak pada adanya tujuan-tujuan yang tidak tercapai dalam sosialisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda yakni tujuan ideal berupa tidak dipahaminya UUD 1945 dalam bahasa Sunda oleh masyarakat sunda, tujuan maksimal yakni tidak tumbuhnya kesadaran berkonstitusi, dan tujuan praktis yakni tidak adanya judicial review dan berperkara ke MK. Namun untuk pemenuhan hak warga negara yakni hak masyrakat Kampung Naga terpenuhi. Tidak adanya upaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan sosialisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda ternyata berpengaruh pada tidak adanya hubungan serta lemahnya tujuan terkait sejauhmana pemahaman masyarakat sunda dan efektifitas UUD 1945 dalam bahasa Sunda dengan Sosialisasi UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Hal ini dapat dilihat dari tujuan yang tercapai hanya tujuan minimal yakni tersebarnya informasi mengenai UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Terbatasnya draft UUD 1945 dalam bahasa Sunda serta terbatasnya waktu sosialisasi menjadi faktor yang mengakibatkan tidak efektifnya sosialisai UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Sedangkan dalam konteks pemahaman hanya sebatas pada ranah kognitif karena masyarakat baru hanya menerima informasi mengenai UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Kata kunci : Sosialisasi, Undang-Undang Dasar 1945, Bahasa Sunda.
PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian kata ini tentunya sudah tidak asing lagi di dengar oleh seluruh warga negara Indonesia. UUD 1945 yang memuat pokok-pokok pikiran bangsa, cita-cita luhur dan filosofis bangsa, menggambarkan visi bangsa Indonesia yang dijalakan atas dasar Pancasila. Jimly (2005) mengemukakan UUD 1945 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia. Isinya mencakup dasar-dasar normatif yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political control)
terhadap
penyimpangan
dan
penyelewengan
dalam
dinamika
perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political engineering) ke arah cita-cita kolektif bangsa. UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi Negara Indonesia yang menjadi acuan penyelenggaraan negara, tentunya hal ini mengatur tentang hubungan antara pemerintah sebagai penyelenggara negara dengan rakyatnya. Dalam salah satu kalimat preambul UUD 1945 menegaskan bahwa penyelengara negara dalam hal ini pemerintah harus ”mensejahterakan kehidupan bangsa”. Melihat wacana diatas memberi gambaran tentang bagaimana posisi UUD 1945. Apa yang terkandung dalam UUD 1945 adalah merupakan kerangka besar bangsa Indonesia dalam upaya membangun bangsanya. Kerangka besar yang akan menjadi acuan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal inilah yang menempatkan UUD 1945 tidak hanya sebagai sumber hukum tertinggi Negara Indonesia, tetapi UUD
1945 adalah kitab suci yang akan menjadi pedoman setiap warga Indonesia dalam upaya membangun bangsanya. Hans Kelsen dalam Jimly (2008) mengemukakan agar ketentuan dasar konstitusi atau UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, maka diperlukan organ yang memiliki tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Organ tersebut harus berada dan terpisah dari organ legislatif yang membuat undang-undang. Organ ini disebut dengan Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Landasan teoritis tersebut di respon oleh Indonesia dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dilandasi oleh Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. MKRI merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). The living constitution yang dijadikan MKRI sebagai tujuan, sekaligus menegaskan bahwa pentingnya keberadaan UUD 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia. Guna menumbuhkan kesadaran berkonstitusi setiap warga Negara Indonesia, tentunya harus ada upaya terus-menerus untuk mendekatakan UUD 1945 kepada masyarakat sehingga dapat menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi. Dengan adanya peran serta fungsi tugas dari MKRI sebagai pengawal konstitusi, MKRI melakukan beberapa upaya yang bertujuan untuk mendekatakan konstitusi kepada masyarakat. Pengalihbahasaan UUD 1945 ke dalam bahasa asing, pengalihaksaraan ke dalam bahasa asing, serta UUD 1945 ke dalam format braile adalah langkah nyata guna mendekatkan konstitusi kepada masyarakat. Pengalihbahasaaan ke dalam bahasa asing yang sudah dilakukan antara lain bahasa Inggris. Pengalihbahasaan
ke dalam bahasa Arab dibantu oleh seorang Guru Besar dari Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, dipilihnya bahasa Arab atas dasar bahwa Negara Indonesia merupakan negra dengan dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Pengalihbahasaan ke dalam bahasa Mandarin bekerjasama dengan Majelis Tao Indonesia, hal ini dilakukan karena adanya desakan antara lain disampaikan Ketua Harian Paguyuban Tionghoa 'Hakka' di Yogyakarta, Suryadi Suryadinata. Dalam alih bahasa ke dalam bahasa Arab dan bahasa Mandarin tidak hanya dilakukan alih bahasa, namun disertai dengan pengalihaksaraan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab hal serupa juga terjadi dalam bahasa Mandarin. Sedangkan untuk UUD 1945 ke dalam format breile bekerjasama dengan Yayasan Mitra Netral hal ini dilakukan agar komunitas tunanetra kedepan dapat berperan lebih banyak dan lebih aktif dalam mengawal, menjaga dan mempertahankan demokrasi di Indonesia. Upaya untuk mendekatkan konstitusi tidak hanya sampai disitu saja, adanya permasalahan terkait upaya untuk mendekatkan UUD 1945 kepada masyarakat mendorong MK untuk terus berupaya mencari solusi-solusi lain. Hal lain juga disinggung oleh Jimly adalah soal masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang perubahan UUD 1945. Nilai konstitusi belumlah cukup hanya dituangkan di atas kertas. UUD sebagai dokumen tertulis yang berisi nilai-nilai dan
norma-norma
dasar
serta
cita-cita
kolektif
sebagai
bangsa
terus
dimasyarakatkan sehingga menjadi kesadaran kognitif masyarakat (Kompas, 2004). Pemahaman isi serta substansi UUD 1945 kurang dikenal oleh lapisan masyarakat Indonesia. Pengenalan UU saat ini hanya dimiliki oleh kalangan eliet
tertentu yang berkepentingan langsung dalam pembuatan dan pelaksanaan UU. Akibatnya, kesadaran kebangsaan dan partisipasi politik menjadi semu karena hanya dituntut kewajibannya tanpa mengetahui hak yang bisa dinikmatinya (Kompas, 2005). Jimly (2008) mengemukakan salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya mendekatakan UUD 1945 sebagai konstitusi kepada masyarakat umum adalah karena pembahasan masalah konstitusi dan materi muatan yang terkadung di dalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan teori, dan rujukan praktik yang berasal dari luar negri. Bahkan saat ini kita belum memiliki pakar Hukum Tata Negara atau politik yang menguasai Hukum Tata Negara Adat. Jimly mengatakan UUD 1945 masih belum membumi. Ia memperkirakan semenjak lahir hingga mengalami empat kali perubahan, baru sekitar 20 persen dari seluruh warga negara Indonesia yang mengetahui, mengerti, dan paham mmengenai keberadaan UUD 1945 (Kompas, 2006) Untuk itu, MK meluncurkan domestikasi UUD 1945, yaitu menjadikan UUD 1945 dan pengakajiannya dilakukan dengan merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia dan masalah nyata yang dihadapi masyarakat. Masalah nyata yang dihadapi masyarakat Indonesia adalah terkait masalah bahasa. Masih adanya masyarakat pelosok dalam hal ini adalah masyarakat Kampung Adat ataupun suku-suku adat pedalaman di berbagai wilayah Indonesia yang tidak memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Kampung Adat ataupun suku-suku adat terpencil ini, tentunya memiliki kekhususan tersendiri. Terisolir serta tertutupnya komunikasi mereka dengan
dunia luar menjadikan Kampung Adat serta suku-suku adat tersebut mengembangkan kebiasaan, kebudayaan, bahkan bahasa percakapan tersendiri. Contohnya adalah Kampung Naga, Kampung Mahmud, Kampung Cigondewa, Suku Badui, Suku Asmat, Suku Dani, serta masih banyak lagi suku-suku adat lainnya. Melihat kondisi di atas MK melakukan pengalihbahasaan ke dalam bahasa daerah yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat tersebut. Alih bahasa UUD 1945 bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Bali, bahasa Batak, bahasa Bima, serta tidak ketinggalan bahasa Sunda adalah upaya lain guna mendekatkan konstitsui kepada masyarakat. Bedasarkan hasil penelurusaran peneliti UUD 1945 dalam bahasa Sunda sampai saat ini sudah sampai pada tahap sosialisasi kepada masyarakat sunda di Jawa Barat. Salah satu lokasi sosialisasi adalah masyarakat adat Kampung Naga. Kampung Naga merupakan kampung adat di wilayah Kabuapten Tasikmalaya dengan tutur kata bahasa Sunda sebagai percakapannya. Berangkat dari dari data dan informasi di atas peneliti ingin mengetahui dan menggali tentang pemahaman terhadap UUD 1945 dalam bahasa Sunda pasca alih bahasa serta efektifitas alih bahasa UUD 1945 dalam bahasa Sunda. Berkaitan dengan masalah yang diangkat, penulis merupakan warga masyarakat asli keturunan sunda. Penelitian ini juga merupakan sumbangsih penulis dalam upaya melestarikan budaya daerahnya. Pertanyaan penelitian ini, adalah : 1. Apakah pengalihbahasaan UUD 1945 ke dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa akan mempermudah pemahaman masyarakat terkait?
2. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam bahasa Sunda 3. Apakah program alihbahasa merupakan solusi untuk memahamkan masyarakat terhadap Undang-Undang Dasar 1945?
METODE PENELITIAN A. Responden Responden dalam penelitian ini merupakan perwakilan dari tiga institusi yang terlibat langsung dalam program alih bahasa Undang-Undang Dasar 1945 kedalam bahasa Sunda. Ketiga institusi itu yakni : 1. Mahakamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) 2. Universitas Penidikan Indonesia (UPI) 3. Masyarakat Adat Kampung Naga. B. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ialah metode wawancara mendalam. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami individu berkenaan topic yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan pendekatan lain. (Banister dkk dalam Poerwandari, 2005). C. Metode Analisis Data Metode analisis data yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Analisis kualitaif merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan dan Biklen dalam Moleong, 2006).
PEMBAHASAN Pembahasan mengenai temuan-temuan di lapangan akan disuguhkan peneliti, namun sebelumnya peneliti akan mencoba sedikit memberikan gambaran tentang tujuan dari penelitian ini. Kerangka besar dari penelitian ini adalah peneliti mencoba untuk mengkombinasikan dua disiplin ilmu yakni psikologi dan hukum kedalam satu wadah penelitian. Kerangka besar tersebut coba peneliti kerucutkan yakni dalam bentuk penelitian yang terdiri dari dua tujuan. Pertama untuk mengetahui sejauhmana pemahaman masyarakat tentang perubahan UUD 1945 pasca pengalihbahasaan, untuk menjawabnya taxonomy dari bloom digunakan sebagai pendekatannya. Tujaun penelitian yang kedua adalah untuk mengetahui efektivitas alih bahasa UUD 1945 kedalam bahasa Sunda yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), pendekatan yang dilakukan menggunakan faktor-faktor efektivitas penanaman hukum dari Selo Soemardjan. Realisasi dari pencarian informasi tersebut didapatkan peneliti hasil dari temuan-temuan dilapangan. Kemudian oleh peneliti dicoba untuk dikumpulkan lewat pentemaan secara sederhana. Hal yang perlu digaris bawahi dalam penelitian ini adalah responden dalam penelitian ini hanya merupakan perwakilan
dari pihak institusi yang mencoba untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang sejauhmana program tersebut berjalan. Namun sebelum sampai pada proses fenomena tentang pemahaman serta efektifitas alih bahasa UUD 1945 versi bahasa Sunda ini, menarik kiranya kita terlebih dahulu membahas proses awal digulirkannya program alih bahasa UUD 1945 ke dalam bahasa Sunda. Pada awalnya semua responden menyatakan bahwa program alih bahasa ini sangat penting dan menyetujuinya. Masih adanya sebagian masyarakat sunda yang tidak memahamai konteks UUD 1945 dalam bahasa Indonesia yang kemudian direlisasikan melalui alih bahasa UUD 1945 ke dalam bahasa Sunda secara sederhana bahwa hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya berjalan. Adanya pengakomodiran aspirasi rakyat dalam hal ini masyarakat sunda melalui peran serta tugas dari Mahkamah Konstitusi Republik Indoneisa menumbuhkan sikap positif disebagaian kalangan masyarakat sunda. Responden dua, tiga, dan empat mengungkapkan munculnya rasa bangga dan bahagia dengan adanya program alih bahasa karena pemerintah peduli atas kelestarian budaya dan bahasa daerah khusunya sunda. Rasa bangga ini adalah salah satu ciri sikap positif terhadap suatu bahasa atau dialek (Chaer, 2004). Garvin & Mathiot dalam Chaer & Agustina, (2004) mengemukakan tiga ciri positif sikap bahasa sebagai berikut : 1. Kesetiaan bahasa yang menggambarkan kondisi suatu masyarakat untuk tetap mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh dari bahasa lain. Contoh bangsa yang tetap setia terhadap bahasanya adalah bangsa Prancis dan Jepang.
2. Kebanggaan bahasa yang merupakan situasi suatu masyarakat untuk mengembangkan bahasanya serta menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. 3. Kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, ciri yang ketiga ini sangat erat kaitannya dengan perilaku bahasa masyarakat atau penggunaan bahasa (language use) Maslow dalam Jalaludin, (1996) mengemukakan “Need Hierarchy Theory” pada kebutuhan harga diri (Belonging Needs). Kebutuhan ini mencakup kebutuhan terhadap status, kemuliaan, kehormatan, perhatian, reputasi, apresiasi, serta dominasi. Hal ini juga diungkapkan oleh oleh responden dua, tiga, dan empat adanya apresiasi terhadap kebudayaan sunda. Lebih jauh lagi responden lima mengungkapkan, sebelum digulirkan program ini selalu diliputi kekhawatiran tentang perlindungan masyarakat adat. Setelah digulirkannya penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda responden mengungkapkan munculnya rasa aman sebagai bagian dari masyarakat adat Kampung Naga terutama sejak diberlakukannya UU tentang perlindungan masyarakat adat. Maslow dalam Jalaludin, (1996) mengemukakan “Need Hierarchy Theory” pada kebutuhan rasa aman (Needs of Safety). Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan ancaman fisik. Hal ini juga dirasakan oleh responden dari masyarakat adat Kampung Naga. Responden satu mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dari progam alih bahasa. Dalam tujuan idealnya bahwa UUD 1945
dipahami oleh masyarkat yang tidak memahami bahasa Indonesia khusunya masyarakat Sunda. Selain itu juga terdapat tujuan maksimal yakni munculnya inisiatif dari pihak lain yang mencoba alih bahasa, serta tumbuhnya kesadaran berkonstitusi. Tidak hanya itu saja, responden mengungkapkan tujuan minimal dari program alih bahasa yakni tersebarnya informasi alih bahasa lewat sosialisasi. Upaya untuk mencapai semua tujuan dari program alih bahasa adalah melalui sosialisasi, karena lewat sosialisasi akan diketahui sejauhmana tujuantujuan tersebut dapat tercapai. Sosialisasi yang sudah dilakukan antara lain : 1. Aparatur penyelenggaran tingkat propinsi dan daerah di wilayah Jawa Barat. Sosialisai UUD 1945 versi bahasa Sunda untuk tingkat propinsi dilaksanakan di tempat berbeda. Tempat tersebut yakni : a. Kantor Gubernur Jawa Barat yakni Gedung Sate Sosialisai UUD 1945 versi bahasa Sunda dihadiri oleh jajaran muspida propinsi Jawa Barat, tokoh-tokoh masyarakat, Kampung Adat, Akademisi, Praktisi, LSM, Pusat Kajian Kesundaan, Guru, Dosen, Medai Cetak dan Elektronik diwilayah Bandung dan kalangan-kalangan lainnya. b. Kabupaten Soreang Konsep sosialisai UUD 1945 versi bahasa Sunda di wilayah Kabupaten Soreang menggunakan media Wayang Golek Pimpinan Kang Asep Sunandar Sunarya. Bedasarkan penuturan pihak Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) acara tersebut dihadiri oleh kurang lebih 10.000 orang warga. c. Pemerintah daerah wilayah Jawa Barat
Sosialisasi UUD 1945 versi bahasa Sunda untuk tingkatan daerah-daerah wilayah Jawa Barat antara lain. Pemerintah Kota dan Kabupaten Garut, Pemerintah Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, Pemerintah Kota dan Kabupaten Ciamis, Pemerintah Kota dan Kabupaten Banjar. 2. Kampung Adat “Dina Pasal 51 Ayat (1) poin b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 ngenaan Mahkamah Konstitusi, disebatkan yen kesatuan masyarakat hukum adat sapanjang anu hirup jeung sasuai sareng parkembangan masyarakat jeung prinsip Nagara Kasatuan Republik Indonesia anu diatur dina undang-undang ngabogaan hak jeung kawenangan konstitusional, lamun hak konstitusionalna dirugikeun ku ayana undang-undang anu di sahkeun ku Pamarentah” Dasar diatas dijadikan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) untuk melakukan sosialisasi UUD 1945 versi bahasa Sunda di Kampung Adat. Juma’at tanggal 13 April 2007 Kampung Naga adalah salah satu Kampung Adat yang menjadi tempat sosialisasi UUD 1945 versi bahasa Sunda. Namun tidak hanya Kampung Naga saja Kampung Mahmud menjadi area sosialisasi. 3. Institusi Pendidikan Formal dan Agama Area ketiga sosialisasi UUD 1945 versi bahasa Sunda adalah universitasuniversitas yang telah ditunjuk oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) antara lain UNISBA, UNINUS, UPI, UNPAD. Sedangkan untuk Institusi Pendidikan Agama antara lain Pesantren Al MUSADDIYAH Garut, Pesantren CIPASUNG Tasikmalaya, Pesantren SURYALAYA Tasikmalaya. Selo Soemardjan
(Soekanto Soerjono, 1981) mengungkapkan bahwa
efektivitas penanaman hukum dalam hal ini UUD 1945 versi bahasa Sunda ditentukan oleh terpenuhinya faktor-faktor sebagai berikut : 1. Usaha-usaha menanamkan hukum didalam masyarakat, yaitu penggunaan
tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum. 2. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Artinya, masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum karena compliance, identification, internalization atau kepentingan-kepetingan mereka terjamin pemenuhannya. 3. Jangka waktu penanaman hukum, yaitu panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Terpenuhinya faktor-faktor di atas berarti akan memberi dampak positif terhadap upaya penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Namun kondisi ini bertolak belakang dengan realitas dilapangan. Warga Kampung Naga menyambut bahagia atas keberadaan UUD 1945 versi bahasa Sunda. Namun, responden lima mengungkapkan bahwa di Kampung Naga, warga tidak memiliki draft UUD 1945 versi bahasa Sunda. Padahal Kampung Naga merupakan salah satu lokasi dilakukannya sosialisasi. Kondisi serupa juga dialami oleh responden dua. Responden dua merupakan perwakilan instansi daerah yang mewadahi perlindungan dan pengembangan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia di wilayah Kota Bandung serta terlibat langsung dalam kegiatan lokakarya alih bahasa. Responden dua mengungkapkan tidak adanya draft UUD 1945 versi bahasa Sunda serta tidak tahunya responden mengenai pelaksanaan sosialisasi UUD 1945 versi bahasa
Sunda yang tealah dilakukan bahkan sebagian karyawan instansi tidak mengetahui tentang adanya alih bahasa UUD 1945 versi bahasa Sunda. Dalam pemahaman masyarakat terhadap UUD 1945 versi bahasa Sunda, sistematika yang dilakukan akan menentukan sejauhmana keberhasilan tingkat pemahaman akan dicapai. Menurut Bloom dalam Gulo (2005) mengungkapkan tiga kawasan perilaku individu, yakni : 1) Kawasan Kognitif. 2) Kawasan Afektif. 3) Kawasan Psikomotor. Taksonomi perilaku di atas menjadi rujukan penting dalam proses terjadinya perubahan perilaku. Suharna dalam Gulo (2005) mengungkapkan proses kognitif adalah proses untuk memperoleh pengetahuan di dalam kehidupan yang diperoleh melalui pengalaman. Berkenaan dengan pengalaman di sini adalah pengalaman indrawai. Proses kognitif melibatkan indra yaitu penglihatan, penciuman, perabaan, pengecapan dan pendengaran, di samping kesadaran dan perasaan. Responden lima mengungkapkan pada saat berlangsungnya sosialisasi oleh Mahkamah Konstitusi, masyarakat Kampung Naga mengetahui tentang adanya UUD 1945 versi bahasa Sunda. Keberadaan UUD 1945 versi bahasa Sunda disambut baik oleh masyarakat adat Kampung Naga. Responden lima mengungkapkan draft UUD 1945 versi bahasa Sunda mudah dipahami serta mudah dibaca. Lebih lanjut responden lima menambahkan bahwa tidak hanya untuk kalangan orang dewasa draft UUD 1945 versi bahasa Sunda bisa dipahami
dan dibaca, tapi dapat dipahami dan dibaca oleh kalangan anak-anak tingkat sekolah. Semua gambaran diatas oleh peneliti dibuat model proses implikasi alih bahasa UUD 1945 versi bahasa Sunda dan dinamika psikologis yang didasarkan pula pada analisis isi terhadap data yang diperoleh Gambaran model tersebut sebagai berikut :
FAKTOR PENDORONG
Amanat UUD 1945 pasal 32
UUD 45 versi bahasa Sunda
CONTEXT Adanya masyarakat sunda yang tidak mengerti bahasa Indonesia
Masyarakat adat Kampung Naga
STRATEGIES Sosialisasi Langsung
1)
FENOMENA UTAMA SOSIALISASI UUD 1945 VERSI BAHASA SUNDA
a)
Kampung Adat
b)
Pesantren
c)
Instansi pendidikan
d)
Pejabat pemerintah daerah
e)
Tokoh Masyarakat/Ulama
INTERVENING DUKUNGAN PROGRAM a) Ketua&hakim MK b)
Masukan dari daerah/pengusul
c)
Peran serta tugas MK
Media cetak&elektronik
b)
Seminar, diskusi
INTERVENING HAMBATAN-HAMBATAN i)
Terbatasnya draft
ii)
Penyerahan wewenang sosialisasi
iii)
Terbatasnya waktu
MELEMAHKAN
Tidak tumbuhnya kesadaran konstitusi
Minimal
Sosialisasi Tidak langsung a)
UUD 1945 tidak dipahami masyarakat pelosok sunda
Maksimal
2)
OUTCOME/CONSEQUENCES Ideal
Penyebaran informasi UUD 45 versi sunda
Praktis
Judicial review berperkara ke MK
Hak warga terpenuhi
INTERVENING TIDAK ADA UPAYA MENGATASI HAMBATAN
dan
negara
Berdasarkan model gambar dapat dijelaskan bahwa dinamika psikologis gambaran implikasi alih bahasa UUD 1945 versi bahasa Sunda berkaitan dengan pemahaman terhadap UUD 1945 versi bahasa Sunda serta efektivitas alih bahasa, dimana terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam proses pembentukannya yaitu, faktor pendorong, strategi, tujuan, konteks, dukungan, hambatan serta kiat mengatasi hambatan. Komponen tersebut sangat erat kaitannya dalam pembentukan pemahaman serta efektivitas alih bahasa UUD 1945 versi bahasa Sunda. Lebih lanjut, pola antar hubungan faktor itu dapat dijelaskan demikian: Dimulai dari faktor pendorong, faktor pendorong ini terdiri dari Amanat UUD 1945 pasal 32 dan UUD 1945 versi bahasa Sunda. UUD 1945. Pasal 32 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang berbunyi : (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Berbicara mengenai kelestarian sebuah bahasa terutama bahasa daerah, Suhardi (2002) mengungkapkan adanya kekhawatiran dari kalangan pendidik serta pengamat masalah bahasa terutama mengenai pemakaian bahasa pada anak muda yang menunjukkan gejala makin berkurangnya kemampuan berbahasa daerah khususnya anak muda yang tinggal di kota-kota besar. Kedua faktor pendorong tadi membuat responden dua, tiga dan empat menyatakan penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda sangat penting.
Kemudian proses penyebaran ini terjadi dalam beberapa konteks. Konteks yang dimaksud adalah situasi tempat atau lingkungan yang memunculkan proses penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Konteks ini berupa adanya masyarakat sunda yang tidak mengerti bahasa Indonesia, lalu adanya kebutuhan dari masyarakat adat Kampung Naga. Responden lima mengungkapkan adanya UUD 1945 versi bahasa Sunda sesuai dengan harapan dari masyarakat adat Kampung Naga. Proses penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda ini juga dipengaruhi oleh dukungan. Dukungan ini berasal dari ketua dan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi, masukan dari daerah dan pihak pengusul, peran serta tugas Mahkamah Konstitusi. Hal ini dibuktikan dengan adanya pihak percetakan swasta yakni PT. Kiblat Media Utama yang mencetak UUD 1945 versi bahasa Sunda. UUD 1945 yang memuat hak-hak warganegara, menjadikan penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda penting. Responden lima mengungkapkan masyarakat adat Kampung Naga merasa aman dengan penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Maslow (Jalaludin, 2007) mengemukakan “Need Hierarchy Theory” pada kebutuhan rasa aman (Needs of Safety). Kebutuhan ini menjadikan masyarakat adat Kampung Naga menyambut positif. Penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda diwujudkan dengan membuat strategi. Ada dua macam strategi yakni penyebaran langsung dan penyebaran tidak langsung. Penyebaran langsung merupakan inisiasi langsung dari Mahkamah Konstitusi yang mencakup peserta, media, area, serta sasaran sebagai patokan. Media wayang golek menjadi hal yang unik dalam upaya penyebaran UUD 1945
versi bahasa Sunda. Selanjutnya penyebaran tidak langsung yang dilakukan melalui media cetak dan elektronik di wilayah Jawa Barat serta melaui forumforum ilmiah seperti seminar. Perjalanan tidaklah selalu mulus, begitupun penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Adanya hambatan-hambatan membuat penyebaran menjadi terhambat. Pertama adalah terbatasnya draft UUD 1945 versi bahasa Sunda. Responden satu mengungkapkan setiap alih bahasa UUD 1945 hanya mencetak 1000 eksemplar. Responden lima mengungkapkan tidak adanya draft UUD 1945 versi bahasa Sunda adalah imbas dari terbatasnya draft. Hambatan kedua adalah penyerahan wewenang penyebaran kepada pemerintah propinsi Jawa Barat untuk didistribusikan keseluruh wilayah Jawa Barat dengan menggunakan dana APBD. Penyerahan wewenang ini belum dijalankan oleh pihak pemprov Jawa Barat. Ironisnya adalah tidak adanya draft dialami oleh instansi yang terlibat dalam lokakarya alih bahasa serta letak instansi berdekatan dengan kantor Gubernur Jawa Barat. Selo Soemardjan
(Soekanto Soerjono, 1981) mengemukakan
penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum. Hambatan ketiga yakni terbatasnya wilayah penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Berdasarkan penuturan responden satu hanya wilayah-wilyah tertentu yang telah dilakukan. Kota dan kabupaten Tasikmalaya, kota Ciamis, kota Banjar, pesantren, universitas, dan kampung adat. Hambatan ke empat adalah terbatasnya waktu. Masih menurut Selo Soemardjan (Soekanto Soerjono, 1981) mengemukakan panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha
menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Banyaknya hambatan penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Namun, tidak diimbangi dengan upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Sehingga penyebran UUD 1945 versi bahasa Sunda tidak berjalan optimal. Pada akhirnya penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda sampai pada tujuan. Namun tujuan idealnya yakni dipahaminya UUD 1945 versi bahasa Sunda tidak terpenuhi. Begitupun dengan tujuan maksimalnya serta tujuan praktis yakni tumbuhnya kesadaran konstitusi, judicial review dan berperkara ke MK. Kendatipun dua tujuan sebelumnya tidak terpenuhi, tetapi tujuan minimalnya yakni tersebarnya informasi UUD 1945 versi bahasa Sunda serta tepenuhinya kebutuhan warganegara yakni warga masyarakat Kampung Naga. Sejalan dengan masih adanya tujuan yang tidak terpenuhi ternyata ada hubungan yang saling melemahkan satu sama lain penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Demikianlah gambaran penelitian ini menjelaskan dinamika psikologis penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Gambaran ini juga menjelaskan tentang pemahaman masyarakat tentang perubahan serta kefektifan alih bahasa UUD 1945 terhadap pemahaman.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda, masyarakat belum memahami tentang perubahan UUD 1945 pasca alih bahasa. Hal ini bisa dilihat dari tiga sistematika perubahan perilaku yakni kawasan kognitif, kawasan afektif, dan kawasan psikomotor baru mencapai kawasan kognitif. Masyarakat baru mengetahui informasi perubahan saja, terutama melalui penyebaran UUD 1945 versi bahasa Sunda. Dalam hal efektivitas alih bahasa UUD 1945 mengalami hal yang sama. Dari tiga faktor efektivitas yang dikemukakan oleh Selo Soemardjan (Soekanto Soerjono, 1981) terdapat dua faktor yang tidak terpenuhi yakni tidak adanya draft UUD 1945 versi bahasa Sunda dan jangka waktu yang relatif singkat.
SARAN 1. Bagi Responden Peneltian Konsep pemahaman terhadap UUD 1945 versi bahasa Sunda yang dipahami sekarang hanya merupakan tahapan awal yang tidak akan memberikan perubahan secara langsung. Hal ini seharusnya memberikan dorongan kepada semua pihak yang terlibat untuk mengoptimalkan faktor-faktor pendukung sehingga menghasilkan sebuah konsep pemahaman UUD 1945 versi bahasa Sunda yang komprehensif. Upaya ini juga harus didukung dengan keseriusan baik dari pihak pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan setiap tugasnya setiap program yang ditujukan demi kesejahteraan rakyat.
2. Bagi Instansi Hendaknya instansi atau dalam hal ini adalah pemerintah memiliki parameter serta tujuan yang lebih jelas dalam mengembangkan sebuah program yang ditujukan bagi rakyatnya. Sehingga manfaatnya bisa dirasakan secara maksimal. Selain itu juga gencarnya sosialisasi yang dilakukan tentunya akan memberi dampak positif bagi masyarakat yang menjadi sasaran dari keberadaan program tersebut.3. Bagi Peneliti Selanjutnya Luasnya kajian psikologi hukum memberikan keleluasaan bagi penelitipeneliti yang memiliki arahan untuk menggeluti psikologi hukum dalam melakukan penelitian. Carut-marut sistem hukum Indonesia adalah merupakan laboratorium besar yang dapat dijadikan sebagai kajian-kajian penelitian selanjutnya. Minimnya penelitian-penelitian psikologi hukum di Indonesia adalah pertanda bahwa keberadaan psikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang dinantikan kontribusinya dalam memperbaiki tatanan masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jalarta : Konstitusi Press. Asshiddiqie, Jimly. 2008. KMenuju Negara Hukum yang Demokratis Jakarta : Konstitusi Press. Bunging, B. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT Grafindo Persada. Chaer, Abdul., Leoni Agustina.2004.Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta. Jalaluddin, H. 1996. Psikologi Agama. Jakarta: Rajagrafindo Perkasa. Meleong, L.J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Purnadi, Purbacaraka. & Soerjono, Soekanto. 1978. Perihal Kaedah Hukum; Alumni. Soekanto, Soerjono. 1981. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung. Soekanto, Soerjono. 1989. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti. W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasindo Winarno, Surachman, Dasar dan Teknik Research Pengantat Metodologi, Tarsito, Bandung, 1972. Surat Kabar dan Majalah : Kompas, 10 Agustus 2004 Kompas, 17 januari 2005 Situs-situs Internet : www.kompas.com www.republika.co.id www.mahkamahkonstitusi.go.id
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Reza Kusuma Putra
No Mahasiswa
: 04320273
Alamat
: Kp Subanagara Rt : 02 Rw : 02 Kec Purbaratu Kota Tasikmalaya
Telp
: (0265) 339621 / 0815 468 36 468