NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK)
Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2015
i KATA PENGANTAR Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan diiringi puji syukur ke hadirat-Nya, kegiatan penyusunan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman
Sistem
Keuangan
(UU
JPSK)
telah
dapat
diselesaikan.
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan ini sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum bagi implementasi sistem pengamanan dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya yang tertuang dalam mekanisme Jaring Pengaman Sistem Keungan (JPSK). Pengalaman krisis yang pernah dihadapi Indonesia dan negara lain, mendorong suatu kesadaran bahwa kewaspadaan dan kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi krisis sistem keuangan di masa mendatang mutlak diperlukan. Implementasi dari kewaspadaan dan kesiapan tersebut dapat dilakukan melalui koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam sistem keuangan Indonesia dalam kerangka JPSK. Dalam hal ini, koordinasi dilakukan dalam rangka memelihara dan menangani Stabilitas Sistem Keuangan secara terpadu dan efektif. Koordinasi tersebut antara lain meliputi
pemantauan
terhadap
kondisi
Stabilitas
Sistem
Keuangan
sekaligus menetapkan tindakan yang perlu dilakukan dalam menghadapi permasalahan di dalam sistem keuangan dan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan tidak normal. Keberadaan UU JPSK diharapkan dapat memberikan keyakinan bagi pengambil
keputusan
dalam
mengambil
kebijakan
dalam
rangka
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya. Hal ini dilakukan dengan melibatkan seluruh lembaga/otoritas yang terkait di dalam sistem keuangan. Di sisi lain, keberadaan UU JPSK ini juga diharapkan
dapat
menghindarkan
para
pengambil
keputusan
dan
kebijakan yang diambil dari dispute yang dapat terjadi karena kurangnya koordinasi dan keterbukaan informasi serta governance dalam mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas.
2015 2015 rangka mendukung Stabilitas Sistem Keuangan nasional yang aman, sehat, Selanjutnya, disahkannya UU JPSK merupakan langkah nyata dalam
ii terpercaya, dan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan Indonesia. Kondisi tersebut dapat membawa implikasi positif dalam rangka menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Tim Penyusun Naskah Akademik Kementerian Keuangan
iii DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Identifikasi Masalah C. Tujuan dan Kegunaan D. Metode
i iii 1 1 8 8 9
BAB II. KAJIAN TEORI DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur Dalam UU JPSK Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Keuangan Negara
12 12 19
BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT A. Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No.4 Tahun 2008 B. Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait
77
BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS A. Landasan Filosofis B. Landasan Sosiologis C. Landasan Yuridis
96
SOSIOLOGIS,
DAN
24 29
77 79
96 97 98
BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG A. Sasaran B. Jangkauan dan Arah Pengaturan C. Ruang Lingkup Materi Muatan
100
BAB VI. PENUTUP A. Simpulan B. Saran
141 141 144
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
145
100 100 101
1
BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG Pada akhir tahun 1990–an, Indonesia mengalami krisis
moneter yang diawali krisis di sektor perbankan. Krisis tersebut berimbas pada perekonomian dan stabilitas nasional sehingga Stabilitas Sistem Keuangan nasional menghadapi tantangan yang sangat berat. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional menurun tajam, ditandai dengan terjadinya penarikan dana secara besar-besaran oleh nasabah perbankan. Akibatnya, sejumlah Bank mengalami kesulitan likuiditas dan permasalahan solvabilitas yang menjurus kepada runtuhnya sistem perbankan nasional dan pada gilirannya berdampak pada terganggunya sistem
pembayaran
dan
perekonomian
nasional.
Untuk
menyelamatkan perekonomian nasional pada saat itu, Pemerintah harus
mengeluarkan
biaya
program
penjaminan
simpanan,
program rekapitalisasi perbankan, dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dengan jumlah sekitar Rp. 640 triliun.1 Dalam menangani krisis yang terjadi pada akhir tahun 1990-an tersebut, Pemerintah belum mempunyai landasan hukum yang memadai untuk melakukan langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal. Terlebih lagi, pada saat itu belum ada mekanisme koordinasi yang baik antara Bank Indonesia (BI) sebagai
otoritas
moneter
dan
pengawas
perbankan
dengan
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai otoritas fiskal. Belajar dari krisis tersebut, Pemerintah secara terusmenerus melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh dan lebih siap dalam Enoch et al, “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two Years of Living Dangerously 1997-1999” IMF Working Paper WP/01/02, IMF, 2001. 1
2
menghadapi Kondisi Tidak Normal. Upaya perbaikan tersebut meliputi penataan kembali kelembagaan yang ada, antara lain melalui reorganisasi Kemenkeu, amandemen Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI), dan pendirian Lembaga Penjamin Simpanan melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 (UU LPS). Sebagai
negara
dengan
sistem
perekonomian
terbuka,
Indonesia terkena imbas langsung akibat dinamika kondisi perekonomian regional atau global. Dalam kurun waktu 15 (lima belas) tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi rangkaian krisis keuangan yang terjadi baik di tingkat nasional, regional maupun
global.
Pengalaman
menghadapi
krisis
regional
di
kawasan Asia pada tahun 1997/1998, krisis reksa dana domestik tahun 2005, dan krisis keuangan global yang dipicu krisis US subprime mortgage tahun 2008, yang berlanjut dengan krisis utang
di
negara-negara
kawasan
Eropa
tahun
2011
telah
memberikan pelajaran berharga. Berdasarkan fakta yang ada, dapat dipetik suatu pelajaran bahwa krisis dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, sehingga dibutuhkan kesiapan untuk menghadapi
Kondisi
Tidak
Normal2
sekaligus
dampaknya.
Dampak Kondisi Tidak Normal baik secara langsung maupun tidak
langsung
mendatang
terhadap
diperkirakan
perekonomian akan
semakin
nasional besar
di
masa
mengingat
perkembangan di bidang ekonomi dan keuangan yang demikian pesat. Hal ini dapat dilihat dari besaran ekonomi, kecanggihan, dan interkonektivitas antarnegara sebagai akibat globalisasi, sehingga dapat memberikan efek menular yang luas dan cepat. 2
Istilah yang digunakan dalam RUU JPSK adalah “Kondisi Tidak Normal”, bukan “Keadaan Darurat” sebagaimana digunakan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, atau “Krisis” sebagaimana UU APBN 2014 karena walaupun maknanya hampir sama tetapi secara psikologis pilihan istilah “Kondisi Tidak Normal” lebih diterima pasar, dalam rangka mempercepat proses penanganan masalah stabilitas sistem keuangan.
3
Mekanisme koordinasi dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya
secara
terpadu dan efektif menjadi semakin penting setelah munculnya krisis keuangan global pada awal tahun 2008. Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari berbagai negara melakukan pembahasan yang intensif untuk menyusun langkah-langkah penanggulangan ancaman krisis tersebut. Indonesia mengambil langkah-langkah inisiatif dengan penyusunan kebijakan strategis di berbagai sektor keuangan, antara lain: relaksasi penilaian aset berdasarkan harga pasar (marked to market valuation), suspensi bursa efek untuk sementara, redefinisi kriteria pembiayaan darurat dalam UU APBN, penghentian lelang SBN, peningkatan besaran jumlah simpanan yang dijamin, relaksasi ketentuan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), dan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK). Penerbitan Perpu JPSK telah memberikan landasan hukum bagi
otoritas
terkait
dalam
mengambil
langkah-langkah
memelihara SSK dan menangani permasalahannya. Langkah tersebut
dilakukan
melalui
pengambilan
keputusan
untuk
menyelamatkan sistem keuangan yang terganggu karena adanya Bank bermasalah yang dapat berdampak sistemik. Dalam situasi yang sangat sulit sebagaimana dialami pada tahun 2008, Perpu JPSK telah memberikan keyakinan bagi otoritas untuk mengambil keputusan secara transparan, kredibel, akuntabel, dan taat azas. Hal ini dapat dilakukan untuk menghindarkan sistem perbankan nasional dari tekanan Kondisi Tidak Normal. Namun, dalam perkembangannya Perpu JPSK ini tidak mendapat persetujuan DPR RI untuk dijadikan Undang-Undang. Keputusan tersebut merupakan hasil rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah
4
tanggal 14 Desember 2008 dan hasil rapat paripurna tanggal 18 Desember 2008. Berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat itu, maka atas penolakan tersebut perlu diterbitkan UU Penolakan Perpu sesuai bunyi ketentuan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4) bahwa: Dalam hal Rancangan Undang-Undang mengenai penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang menjadi Undang-Undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. (3)
Sampai saat ini UU Pencabutan Perpu JPSK belum pernah ditetapkan. Oleh karena itu, secara yuridis formal, Perpu tersebut masih tetap berlaku. Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004 ditentukan pengaturan tentang penolakan Perpu, yang substansinya sebagian hampir sama dengan UU No. 10 Tahun 2004, bahwa: (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
5
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. (5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. (6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang. (7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang. (8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi UndangUndang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Bertolak dari ketentuan ini, Perpu JPSK yang sudah dinyatakan ditolak pada rapat paripurna, seharusnya perlu diikuti dengan pengajuan RUU Pencabutan Perpu. RUU tersebut dapat diajukan
oleh
DPR
atau
Presiden,
sekaligus
menuangkan
pengaturan akibat hukum yang timbul atas pelaksanaan Perpu tersebut karena sangat mungkin pada saat Perpu diberlakukan terjadi perubahan terhadap kondisi yang ada. Perubahan ini akan menimbulkan
persoalan
Pencabutan Perpu.
jika
tidak
diperjelas
dalam
UU
6
Sekalipun ada penolakan Perpu bukan berarti peluang pengajuan RUU JPSK menjadi tertutup. UU JPSK sangat penting untuk dibentuk dalam rangka mengatur sistem pengamanan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya dalam Keadaaan Tidak Normal. Pembentukan ini sekaligus sebagai pengejawantahan UU BI dan UU LPS serta dalam
rangka
mempertegas
dan
memperjelas
kewenangan
lembaga/otoritas yang terkait dengan hal tersebut. Sebelum UU JPSK terbentuk, Pemerintah bersama-sama dengan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
(DPR)
telah
menetapkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Hal ini merupakan tindak lanjut dari penataan kembali kelembagaan di sektor keuangan. Dengan ditetapkannya
UU
tersebut,
fungsi,
tugas,
dan
wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di Industri Keuangan nonBank (IKNB) dan sektor pasar modal beralih dari Kemenkeu ke OJK sejak tanggal 31 Desember 2012. Di sisi lain, fungsi,
tugas,
dan
wewenang
pengaturan
dan
pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari BI ke OJK mulai tanggal 31 Desember 2013. Dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, seluruh lembaga/otoritas yang terkait, harus tetap waspada karena tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat. Hal ini dapat terjadi mengingat dinamika perekonomian global yang bergerak sangat cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang demikian erat satu sama lain. Di samping itu, gejolak sistem keuangan di Eropa dan Amerika masih belum teratasi sehingga lembaga/otoritas dalam sistem keuangan harus selalu siap siaga untuk
mengantisipasi
datangnya
krisis
dengan
menyiapkan
7
berbagai bentuk kebijakan dan Protokol Manajemen Krisis (PMK)/ Crisis Management Protocol. Belajar dari pengalaman pencegahan dan penanganan krisis tahun 1997/1998 dan 2008, serta penanganan krisis reksa dana pada tahun 2005, diyakini bahwa suatu JPSK diperlukan di Indonesia. memelihara
JPSK
merupakan
Stabilitas
sistem
Sistem
yang
dibentuk
Keuangan
dan
untuk
menangani
permasalahannya. Untuk itu, JPSK perlu dituangkan dalam bentuk UU tersendiri. Hal ini sangat penting untuk memberikan landasan
hukum
dalam
mekanisme
koordinasi
antar
lembaga/otoritas serta pengambilan keputusan yang terpadu, transparan,
akuntabel,
menanggulangi
dan
permasalahan
cepat Bank
agar
dapat
segera
dalam
kondisi
sistem
keuangan tidak normal. UU JPSK akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi lembaga/otoritas
dalam
upaya
memelihara
stabilitas
dan
menangani Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam keadaan darurat, UU
ini
memberikan
lembaga/otoritas
dalam
tugas sistem
dan
kewenangan
keuangan
untuk
kepada
melakukan
tindakan tertentu, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersamasama. UU ini juga mengatur mengenai tindakan yang tidak diatur atau diatur secara berbeda di dalam peraturan perundangundangan yang menjadi dasar penyelenggaraan kegiatan masingmasing
lembaga/otoritas
tersebut
dalam
upaya
mengatasi
permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Penyusunan UU JPSK secara yuridis merupakan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
8
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang dan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. B.
IDENTIFIKASI MASALAH Masalah yang teridentifikasi dalam Naskah Akademik RUU
JPSK ini mencakup 4 (empat) hal, yaitu: 1. Apakah permasalahan yang dihadapi dalam upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahan yang timbul karenanya ketika Kondisi Tidak Normal? 2. Apakah dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang JPSK dapat mengatasi permasalahan yang timbul dalam upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahan yang timbul? 3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang JPSK? 4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan Rancangan Undang-Undang C.
TUJUAN DAN KEGUNAAN Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, maka tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan memelihara
permasalahan Stabilitas
yang
Sistem
dihadapi
Keuangan
dalam
dan
upaya
menangani
permasalahannya. 2. Merumuskan urgensi Rancangan Undang-Undang JPSK dalam mengatasi permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.
9
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis RUU JPSK. 4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU JPSK. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU JPSK. D.
METODE Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan penelitian sehingga harus menggunakan metode penyusunan naskah akademik yang berbasis metode penelitian hukum.
Penyusunan
naskah
akademik
RUU
JPSK
ini
menggunakan metode yuridis normatif. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah melalui studi kepustakaan/library research yang menelaah (terutama) data sekunder berupa: bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer
meliputi UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan permasalahannya, antara lain: 1.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
2.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara;
3.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
4.
Undang-Undang Nomor Perbendaharaan Negara;
1
Tahun
2004
tentang
10
5.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
6.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
7.
Undang-Undang Nomor 19 Berharga Syariah Negara;
8.
Perpu Nomor 04 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan;
9.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang;
Tahun
2008
tentang
Surat
10. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 03 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; 11. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; 12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; 13. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015; dan 14. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015. Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi hasil kajian dan laporan yang dihasilkan baik oleh lembaga maupun akademisi pada level nasional dan internasional. Di luar studi pustaka, penyusunan Naskah Akademik ini juga dilengkapi dengan metode diskusi terarah/Focus Group Discussion (FGD), workshop, wawancara, serta dengar pendapat dengan narasumber yang ahli di bidangnya.
11
Bahan dan hasil diskusi yang telah diperoleh selanjutnya diolah secara sistematis kualitatif. Bahan-bahan hukum tertulis yang
telah
terkumpul
diklasifikasikan
sesuai
dengan
permasalahan yang telah diidentifikasi. Langkah selanjutnya yaitu dilakukan content analysis terhadap dokumen bahan hukum dan dikomparasikan dengan informasi narasumber, sehingga dapat menjawab permasalahan yang diajukan.
12
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A.
KAJIAN TEORITIS Saat ini perbankan dinilai sebagai entitas yang memiliki
posisi paling strategis dalam sistem keuangan dan perekonomian Indonesia dibandingkan dengan entitas keuangan lain seperti asuransi, dana pensiun, pasar modal, dan pembiayaan. Industri perbankan memiliki karakteristik yang unik karena adanya sistem pembayaran yang hanya dimiliki oleh Bank. Sistem pembayaran tersebut mengalokasikan dana kepada para pihak sesuai dengan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, adanya gangguan dalam sistem perbankan dapat menimbulkan risiko finansial karena sifatnya yang menghubungkan antarpasar dan antarlembaga jasa keuangan. Dalam cakupan perekonomian yang lebih luas, perbankan menjalankan
fungsi
intermediasi
yang
memiliki
keterkaitan
dengan hampir semua kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, kegagalan fungsi suatu Bank akan berdampak pada kegagalan sistem keuangan di mana Bank tersebut berada. Lebih lanjut, hal ini dapat mendorong kegagalan sistem perekonomian apabila Bank yang bermasalah tersebut memiliki konektivitas yang luas dengan sistem perekonomian. Perbankan menghadapi risiko yang cukup kompleks, baik risiko yang bersumber dari tata kelola Bank itu sendiri, dari sistem di mana Bank itu berada, atau dari pemangku kepentingan yang memiliki keterkaitan dengan Bank tersebut dalam proses bisnisnya. Risiko yang dihadapi suatu Bank yaitu credit risk, market risk, liquidity risk, operational risk, legal and regulator risk,
13
reputation risk, strategic bussiness risk, dan compliance risk. Lebih lanjut, dalam kondisi tertentu, perbankan tidak hanya terimbas oleh risiko-risiko di atas saja namun justru dapat menjadi sumber risiko bagi Bank lain, sistem keuangan, bahkan perekonomian secara lebih luas. Jika dilihat dari sisi total aset, industri perbankan masih mendominasi industri jasa keuangan domestik. Berdasarkan data OJK, aset perbankan secara total mencapai sekitar 5.615 triliun rupiah pada tahun 2014 atau sekitar 53% dari gross domestic product (GDP) Indonesia. Sebagai pembanding, pada periode yang sama total aset IKNB hanya mencapai 1.530 triliun rupiah atau kurang lebih hanya sebesar 14,5% terhadap GDP. Kemudian berdasarkan komposisi aset dalam industri keuangan, komposisi aset perbankan mencapai 78,6% dan 77,9% dari total aset industri keuangan pada tahun 2014 dan 2013.
Gambar 1
14
Tidak
selamanya
industri
perbankan
dalam
keadaan
normal, dalam situasi tidak normal terdapat golongan Bank yang digolongkan sebagai Systemically Important Bank (SIB) atau biasa disebut Bank SIB. Bank SIB adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Mempertimbangkan pentingnya sektor perbankan dalam kaitannya dengan sektor keuangan maka perlu ada upaya untuk menciptakan sistem keuangan yang sehat dan stabil pada sektor perbankan. Upaya tersebut perlu dibangun melalui mekanisme koordinasi yang jelas, terarah oleh para pemegang otoritas yang memiliki fungsi berbeda. Dalam keadaan normal masing-masing lembaga/otoritas
menjalankan
fungsinya
untuk
menjamin
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan. Namun dalam keadaan tidak normal atau dalam menangani Bank SIB, diperlukan pengintegrasian masing-masing fungsi lembaga/otoritas sehingga dapat diambil keputusan dan ditetapkan langkah-langkah yang diperlukan
agar
tetap
dapat
terpelihara
Stabilitas
Sistem
Keuangan dan tertangani dengan cepat permasalahan yang timbul terkait Stabilitas Sistem Keuangan. Mekanisme inilah yang harus dibangun melalui sistem JPSK. Sistem ini menggambarkan bagaimana mekanisme kerja antarlembaga/otoritas yang memiliki kewenangannya masingmasing yang perlu dipadukan sehingga terbangun suatu jaring yang mampu menjaga Stabilitas Sistem Keuangan nasional dari ancaman krisis. Stabilitas Sistem Keuangan merupakan kondisi
15
sistem keuangan yang berfungsi secara efektif serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan/atau luar negeri. Schich berpendapat bahwa dengan memiliki JPSK, para pemegang otoritas cenderung memiliki rasa percaya diri yang kuat dalam menghadapi krisis keuangan, sehingga potensi terjadinya krisis keuangan menjadi lebih kecil.3 Tanpa adanya JPSK, permasalahan kecil di sektor keuangan dapat menjadi pemicu krisis (full-blown crisis), sebagaimana yang dikatakan oleh Schich berikut: “Without an appropriate financial safety net, even simple rumours of problems regarding solvency or liquidity of a financial institution have the potential to become selffulfilling and turn into a full-blown financial crisis.” Penyelenggaraan JPSK dimaksud menjadi tanggung jawab KSSK dengan anggota terdiri dari pimpinan Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. Proses pengambilan keputusan KSSK dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga/otoritas secara bertanggung jawab demi kepentingan bangsa dan negara karena terkait dengan persoalan yang sangat krusial
yaitu menjamin
tetap terpeliharanya Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB. Oleh karena itu penyelenggaraannya harus berlandaskan asas kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas,
dan kepastian
hukum. Hal ini juga digariskan dalam arah kebijakan dan strategi utama sektor keuangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 -2019. Namun demikian, sampai saat ini pengaturan terkait dengan penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB belum diatur secara detail dalam suatu undang-undang. Sebastian Schich, Financial Crisis: Deposit Insurance and Related Financial Safety Net Aspects, Financial Market Trends, OECD, 2008. 3
16
Padahal dampaknya jika tidak ditangani dengan baik akan sangat luas dan berpotensi menyebabkan terganggunya perekonomian nasional karena cakupan sistem keuangan nasional secara luas dapat meliputi berbagai sektor, seperti perbankan, pasar uang, pasar modal, industri keuangan bukan Bank, dan lainnya. Namun demikian, ruang lingkup sistem keuangan di dalam UU JPSK ini adalah sistem perbankan. Hal ini mengingat sistem perbankan saat ini menguasai kurang lebih 80% dari keseluruhan market share sektor keuangan nasional. Dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan, UU JPSK sebagai bagian dari upaya untuk mengimplementasikan pemeliharaan
Stabilitas
Sistem
Keuangan
dan
penanganan
permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan hanya akan mengatur penanganan
permasalahan
Bank
sepanjang
Bank
tersebut
termasuk di dalam daftar Bank SIB. Sementara itu, mekanisme penanganan permasalahan Bank yang tidak termasuk di dalam daftar
Bank
SIB
lembaga/otoritas
akan
sesuai
diselesaikan dengan
oleh
masing-masing
kewenangan
masing-masing
berdasarkan undang-undang. Pengaturan di dalam UU JPSK tersebut diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang sama serta memastikan tidak terjadi
tumpang
lembaga/otoritas adanya
landasan
tindih
(overlap)
dengan
kewenangan
lembaga/otoritas
hukum
yang
jelas,
antara
lainnya.
proses
satu
Dengan
pengambilan
keputusan oleh lembaga/otoritas dapat dilakukan dengan cepat dan tepat, karena fungsi-fungsi dalam JPSK dilakukan oleh beberapa lembaga/otoritas yang saling berkaitan. Oleh karena itu pengaturan mengenai pembagian tugas dan tanggung jawab, koordinasi dan kerja sama, serta pertukaran informasi perlu diatur dengan jelas dan tegas.
17
Pada dasarnya, konsep JPSK di Indonesia sudah pernah disusun
namun
masih
memerlukan
penyempurnaan
dan
penyesuaian dengan perkembangan saat ini. Konsep tersebut telah dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dimana komponen JPSK terdiri dari: (1) OJK sebagai otoritas pengatur dan pengawas Bank; (2) BI sebagai otoritas moneter dan lender of the last resort (LoLR) bagi Bank; (3) LPS sebagai otoritas yang berfungsi menjamin simpanan nasabah Bank dan melakukan resolusi Bank gagal; dan (4) Kementerian Keuangan
sebagai
otoritas
fiskal
dan
koordinator
dalam
pencegahan dan penanganan krisis. Adapun
uraian
mengenai
fungsi
masing-masing
lembaga/otoritas tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Pengaturan dan pengawasan Bank yang efektif; Fungsi ini merupakan jaring pengaman pertama (first line of defense) dalam JPSK. Mengingat pentingnya fungsi tersebut, dalam (guiding
kerangka principles)
JPSK
digariskan
bahwa
prinsip-prinsip
pengawasan
dan
dasar
pengaturan
terhadap lembaga dan pasar keuangan oleh otoritas terkait harus senantiasa ditujukan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, pengawasan dan pengaturan tersebut harus berpedoman pada best practices dan standar yang berlaku. 2. Lender of the Last Resort (LoLR); Adanya kebijakan LoLR yang baik terbukti sebagai salah satu alat yang efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan LoLR dalam kondisi normal dan Kondisi Tidak Normal telah mengacu pada international best practices. Pada prinsipnya, LoLR untuk kondisi normal hanya diberikan kepada Bank yang mengalami
18
kesulitan likuiditas tetapi masih solven dengan agunan yang likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam Kondisi Tidak Normal, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama
dengan
mempertimbangkan
tetap
mensyaratkan
agunan.
Untuk
solvensi
mengatasi
dan
kesulitan
likuiditas yang berdampak sistemik, BI sebagai LoLR dapat memberikan pinjaman likuiditas khusus kepada Bank umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah. 3. Penjaminan simpanan yang memadai; dan LPS juga merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Program penjaminan Pemerintah (blanket guarantee) yang diberlakukan untuk menangani krisis sejak tahun 1998 berhasil memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dapat mendorong moral hazard yang berpotensi menimbulkan krisis dalam jangka panjang. Untuk itu, ditetapkan UU No. 24 Tahun 2004 tentang
LPS yang mengatur secara detail
mengenai skema penjaminan simpanan. Dalam undangundang tersebut, LPS memiliki dua fungsi utama, yaitu: (i) menjamin simpanan nasabah Bank; dan (ii) turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. 4. Penanganan Kondisi Tidak Normal yang efektif. Fungsi ini dituangkan dalam kerangka kebijakan JPSK agar Kondisi Tidak Normal dapat ditangani secara cepat tanpa membebani perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan kewenangan penanganan
masing-masing Kondisi
Tidak
lembaga/otoritas Normal
sehingga
dalam setiap
lembaga/otoritas memiliki wewenang, tanggung jawab, dan akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian, Kondisi Tidak
19
Normal dapat ditangani secara efektif, cepat, serta tidak menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi. Dengan adanya penyempurnaan terhadap konsep JPSK, diharapkan tidak hanya memperkuat upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya, namun juga dapat
mencegah
timbulnya
biaya
yang
lebih
besar
pada
perekonomian apabila terjadi Kondisi Tidak Normal dan adanya permasalahan Bank. Diamond & Dybvig dan Nadezhda M. & John R.Walter berpendapat bahwa JPSK memberikan kontribusi positif terhadap
perekonomian
karena
biaya
pencegahan
dan
penanganan krisis menjadi lebih rendah.4 B.
KAJIAN
TERHADAP
ASAS/PRINSIP
YANG
TERKAIT
DENGAN PENYUSUNAN NORMA Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
12
Tahun
2011
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan, Penyusunan UU JPSK ini berupaya untuk memenuhi asas-asas sebagai berikut: 1. Kejelasan Tujuan UU tentang JPSK disusun untuk melaksanakan amanat Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam rangka
menjaga
keseimbangan
kemajuan
dan
kesatuan
ekonomi nasional. 2. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat RUU JPSK ini disusun oleh Kemenkeu. Berdasarkan Pasal 5 UUD
1945,
Kementerian
Keuangan
Republik
Indonesia
merupakan unsur lembaga eksekutif yang memiliki wewenang untuk mengajukan RUU JPSK. Douglas D Diamond and Philip H Dybvig, “Bank Runs, Deposit Insurance, and Liquidity” dalam Journal of Political Economy Volume 91 No. 3, 1983, hlm. 401419. 4
20
3. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Hal-hal yang diatur dalam UU JPSK ini merupakan hal mendasar yang diperlukan untuk mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dilakukan karena penyelenggaraan JPSK memiliki implikasi yang luas dalam rangka menjaga agar kepentingan negara tidak terganggu. Disamping itu, beberapa poin pengaturan di dalamnya menggantikan ketentuan di dalam UU lain yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini ataupun menambah ketentuan yang belum diatur. Untuk itu, diperlukan peraturan setingkat undang-undang. 4. Dapat dilaksanakan Pengaturan dalam UU JPSK ini mengadopsi hasil kajian internasional dan praktik-praktik sesuai dengan standar internasional yang telah disesuaikan dengan memperhatikan kebutuhan, urgensi, kondisi sistem keuangan saat ini, sistem hukum, dan sistem keuangan di Indonesia. Selain itu, pengaturan
tersebut
juga
telah
menyesuaikan
dengan
kebutuhan berdasarkan pengalaman lembaga/otoritas dalam menghadapi
krisis
di
masa
lalu.
Penyesuaian
tersebut
memungkinkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UU JPSK dapat dilaksanakan. 5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan Jangkauan dan arah pengaturan dalam UU JPSK merupakan penyempurnaan
atas
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan yang telah ada dalam rangka mewujudkan JPSK sebagai upaya untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya. Dengan adanya pengaturan tersebut,
koordinasi
dalam
rangka
pemantauan
dan
21
pemeliharaan
Stabilitas
Sistem
Keuangan,
penanganan
Kondisi Tidak Normal, Permasalahan Bank SIB, baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak Normal, akan dapat dilakukan dengan lebih baik. 6. Kejelasan Rumusan UU JPSK telah memenuhi ketentuan persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan karena disusun dengan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti. Dengan demikian, pengaturan di dalam UU JPSK diharapkan tidak menimbulkan
berbagai
macam
interpretasi
dalam
pelaksanaannya. 7. Keterbukaan Sebagai upaya untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, KSSK
berhak
memperoleh
data/informasi
yang
akurat,
lengkap, terkini, dan tepat waktu agar dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Data/informasi tersebut dapat berasal dari Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS, maupun sumber lain yang diperlukan. Pemberian informasi tersebut dikecualikan dari ketentuan mengenai kerahasiaan Bank dan kerahasiaan
data/informasi
yang
dikelola
oleh
lembaga/otoritas anggota KSSK. Selain itu, dalam penanganan permasalahan Bank, sektor swasta dapat berperan serta menyelesaikan permasalahan Bank dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan RUU ini pun dilakukan dengan pelibatan stakeholders terkait sesuai dengan prinsip keterbukaan. Selain memperhatikan asas terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, UU JPSK juga mendasarkan
22
pada asas-asas yang terkait dengan pengamanan sistem keuangan yaitu.: 1. Asas Kepentingan Umum Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Bahwa dalam pelaksanaannya, JPSK harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas untk mencapai kesejahteraan umum. Pelaksanaan JPSK selanjutnya akan menjadi tugas dan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS yang dilakukan dengan memegang prinsip gotong royong. Lebih lanjut, perlu ditekankan bahwa JPSK merupakan kesatuan
yang
utuh,
saling
menunjang,
selaras
antara
berbagai kepentingan, serta terkoordinasi dalam satu kendali yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan JPSK. 2. Asas efektivitas Asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam hal ini, JPSK harus dilaksanakan dengan berorientasi pada tujuan JPSK yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam rangka menghadapi permasalahan Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank SIB, JPSK harus mampu menyelesaikan permasalahan tersebut secara cepat dan tepat dengan biaya yang wajar 3. Asas kepastian hukum Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian
23
hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :5 1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu; 2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik 3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7. Tidak boleh sering diubah-ubah; dan 8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari. Bahwa norma yang mengatur JPSK harus mencerminkan suatu kepastian hukum. Peraturan yang terkait dengan JPSK harus menjadi pedoman dan dasar hukum yang jelas bagi pengambil keputusan dalam menetapkan langkah-langkah
“Asas Kepastian Hukum”, http://tesishukum.com/pengertian-asaskepastian-hukum-menurut-para-ahli/ . Diunduh pada tanggal 6 Mei 2015. 5
24
penanganan Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank SIB. C.
KAJIAN
TERHADAP
PRAKTIK
PENYELENGGARAAN,
KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT 1. Praktik Penyelenggaraan dan Permasalahan yang Dihadapi Dengan ditetapkannya UU OJK, Indonesia memiliki empat lembaga/otoritas yang masing-masing memiliki peran dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Perubahan yang signifikan
adalah
pengalihan
fungsi
pengaturan
dan
pengawasan Bank di bidang mikroprudensial dari BI kepada OJK. Selain itu, LPS juga diberi wewenang yang lebih luas untuk dapat melakukan pemeriksaan pada Bank setelah berkoordinasi dengan OJK. Dengan bertambahnya jumlah lembaga/otoritas yang terlibat dalam menjaga stabilitas sistem perbankan, koordinasi, kerja sama, dan tukarmenukar informasi perlu ditingkatkan. Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi krisis yang terjadi pada tahun 2008 dan krisis-krisis sebelumnya, pengambilan keputusan yang tidak didasari atas landasan hukum yang kuat akan menghasilkan suatu keputusan yang
menimbulkan
landasan
hukum
polemik
tersebut
di
masyarakat.
menimbulkan
Ketiadaan
permasalahan
dalam pelaksanaan mekanisme pengambilan keputusan, antara lain koordinasi, prosedur, tanggung jawab dan wewenang
lembaga/otoritas,
sekaligus
tidak
adanya
perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. Lebih lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan penurunan
25
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan
sistem
keuangan
di
Indonesia.
Kondisi
tersebut
kemudian berdampak secara langsung terhadap Stabilitas Sistem Keuangan dan perekonomian nasional secara umum sehingga akan menimbulkan kondisi yang lebih buruk apabila tidak ditangani dengan baik. Kondisi di atas dapat dihindari apabila terdapat payung hukum
dalam
bentuk
undang-undang
yang
mengatur
mengenai fungsi, tugas, tanggung jawab, dan wewenang lembaga/otoritas yang terkait dengan penanganan SSK dalam suatu jarring pengaman yang sistematis. Pengaturan tersebut akan memberikan landasan hukum yang kuat sebagai
dasar
dalam
pengambilan
keputusan
oleh
lembaga/otoritas terkait, terutama pada Kondisi Tidak Normal. Kebutuhan akan adanya landasan hukum atas halhal tersebut di atas akan dituangkan di dalam UU JPSK. Upaya untuk menciptakan sistem keuangan yang sehat dan stabil harus dilakukan dengan mekanisme koordinasi yang
jelas
dalam
rangka
pengambilan
kebijakan
dan
penetapan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pemeliharaan dan penanganan permasalahan SSK. Untuk itu,
diperlukan
suatu
JPSK
yang
bertujuan
untuk
memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, yang penyelenggaraannya berlandaskan atas asas kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas, dan kepastian hukum. Dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya, diperlukan langkahlangkah
pengambilan
kebijakan
antarlembaga/otoritas
dalam suatu kerangka koordinasi yang efektif, transparan,
26
dan akuntabel dengan didukung oleh data dan informasi yang dapat diandalkan. Pemberian mandat, wewenang, dan tanggung jawab antarlembaga/otoritas harus didefinisikan secara jelas dalam suatu UU sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan. 2. Perbandingan Praktik Penyelengaraan di berbagai Negara Sejauh
ini,
mekanisme
koordinasi
antar
lembaga/otoritas di sektor keuangan yang diterapkan di banyak
negara
pengalaman, negara.
memiliki
kondisi,
Misalnya
keragaman
dan
Amerika
sesuai
kebutuhan Serikat
(AS),
dengan
masing-masing yang
pernah
menghadapi krisis cukup dalam pada tahun 2008, saat ini memiliki suatu komite koordinasi yang berfungsi untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act (“Dodd-Frank Act”) AS mengamanatkan pembentukan Financial Stability Oversight Council (FSOC) dengan Secretary of the Treasury bertindak sebagai koordinator. Dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, komite tersebut diberikan kewenangan untuk memfasilitasi koordinasi
peraturan,
memfasilitasi
pertukaran
dan
pengumpulan informasi, menetapkan pengawasan terhadap industri keuangan nonbank secara lebih terkonsolidasi, merekomendasikan pengawasan yang lebih ketat dalam kondisi tertentu, serta menetapkan langkah yang perlu diambil terhadap lembaga keuangan yang mengancam Stabilitas Sistem Keuangan AS.
27
Selain AS, Korea juga memiliki Macroeconomic Financial Meeting (MEFM), sebuah forum tingkat deputi yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Di samping itu, Inggris juga memiliki forum koordinasi yang beranggotakan HM Treasury, Bank of England, dan subsidiarinya yaitu The Prudential Regulation Authority (PRA). Forum ini dibentuk berdasarkan nota kesepahaman. Forum/komite koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan juga dimiliki oleh Australia, Kanada, dan Jepang. Pada
umumnya,
forum/komite
di
negara-negara
tersebut dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan, atas dasar pemikiran bahwa terdapat interkoneksi antar risiko sistem keuangan dan risiko fiskal. Penanggung beban terakhir (ultimate burden) dari upaya penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB adalah Pemerintah selaku pengelola fiskal. Di
Indonesia,
lembaga/otoritas
yang
memiliki
kewenangan untuk melakukan penanganan SSK adalah Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. Kewenangan masing-masing lembaga/otoritas tersebut sebagai berikut: a. Kemenkeu terkait kebijakan fiskal dan penyediaan pendanaan yang bersumber dari APBN; b. BI terkait kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial; c.
OJK terkait kebijakan mikroprudensial; dan
d. LPS
terkait
dengan
penjaminan
simpanan
dan
penyelesaian Bank gagal. Dalam UU JPSK ini, dibentuk suatu komite yang disebut KSSK, dengan keanggotaan sebagai berikut:
28
a. Menteri
Keuangan
sebagai
koordinator
merangkap
anggota; b. Gubernur BI sebagai anggota; c.
Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota; dan
d. Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota. Lebih lanjut, perlu menjadi perhatian bahwa tidak tertutup kemungkinan terdapat wewenang antarinstitusi yang saling beririsan ketika menyelesaikan isu tertentu. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu ditunjuk lead authority
dalam
forum/komite.
Pada
umumnya,
forum/komite di beberapa negara diketuai oleh pemerintah. Sebagai contoh, MEFM Korea diketuai oleh perwakilan dari pemerintah dan Financial Stability and Development Council (FSDC) India diketuai oleh Menteri Keuangan. Penunjukan Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa terdapat interkoneksi antara risiko sistem keuangan dan risiko fiskal. Di samping itu, ultimate burden dari upaya penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB adalah Pemerintah selaku pengelola fiskal. Merujuk pada struktur dan mekanisme KSSK pada negara
lain
kebutuhan, dianut,
sekaligus
kondisi,
maka
dan
Menteri
dengan sistem Keuangan
mempertimbangkan ketatanegaraan ditetapkan
yang
sebagai
koordinator KSSK. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan Menteri Keuangan sebagai koordinator KSSK adalah: 1) Menteri Keuangan menanggung risiko dampak sistemik dari sektor keuangan yang menyangkut kemungkinan terjadinya risiko fiskal (risiko keuangan negara);
29
2) Menteri
Keuangan
sebagai
negara/pemerintahan
dan
pembantu
atas
nama
kepala
Pemerintah
berkewajiban untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dan stabilitas perekonomian nasional; dan 3) Menteri
Keuangan
berdasarkan
akuntabilitas
fiskal
harus mampu mempertanggungjawabkan kepada DPR dan masyarakat selaku pembayar pajak atas setiap biaya fiskal yang dikeluarkan. D.
KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU YANG AKAN DIATUR DALAM UU JPSK TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP ASPEK KEUANGAN NEGARA Dalam
rangka
memelihara
SSK
dan
menangani
permasalahan yang timbul karenanya maka perlu ditentukan langkah antisipatif, proaktif, dan koordinatif yang harus dilakukan oleh lembaga/otoritas yang terlibat, baik secara sendiri-sendiri maupun
terkoordinasi,
dalam
suatu
unit
organisasi
KSSK.
Lembaga/otoritas tersebut akan memiliki keyakinan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan karena mekanisme bekerjanya diatur dengan jelas di dalam UU JPSK. Sebagai contoh, di dalam Penanganan Permasalahan Bank SIB, BI sebagai otoritas yang berwenang akan memiliki keyakinan yang lebih tinggi dalam memberikan
Pinjaman
Likuiditas
Khusus
(PLK)
mengingat
ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU JPSK dan hanya diberikan kepada Bank SIB dimana BI juga terlibat di dalam penyusunan daftar Bank SIB tersebut. Di samping itu, keberadaan jaminan Pemerintah dalam penyaluran PLK menjadi satu hal yang mendukung
keyakinan
BI.
Pada
akhirnya,
langkah-langkah
30
kebijakan dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan serta kecepatan, ketepatan, dan keyakinan pengambilan keputusan dalam
menangani
Kondisi
Tidak
Normal
dan
menangani
permasalahan Bank yang dilakukan oleh lembaga/otoritas dapat memberikan ketenangan dan keyakinan bagi masyarakat luas, sehingga tidak menimbulkan dampak meluas dan mengganggu perekonomian nasional. Dalam UU JPSK perlu diatur PMK sehingga ada kejelasan mengenai tingkat eskalasi penyelesaian Bank bermasalah, yang terdiri dari penyelesaian permasalahan oleh Bank itu sendiri (recovery plan yang telah disetujui oleh OJK), fungsi LoLR BI, resolusi Bank LPS, dan mekanisme APBN. Sebelum menggunakan dana APBN sebagai buffer terakhir, diharapkan penanganan Bank bermasalah
dapat
terselesaikan
pada
tahapan-tahapan
sebelumnya. Namun demikian, dalam hal penggunaan dana APBN harus dieksekusi untuk mencegah memburuknya kondisi SSK yang dikhawatirkan akan menjalar pada stabilitas perekonomian lebih
luas,
penggunaan
dana
tersebut
diharapkan
dapat
dilaksanakan secara efektif. Efektivitas
tersebut
dapat
terwujud
dengan
adanya
mekanisme koordinasi antar pemegang otoritas dan PMK yang diatur
di
dalam
permasalahan disiapkan
UU
dan
lebih
JPSK
dapat
langkah-langkah
awal.
Selain
itu,
mendeteksi
lebih
penanganannya program
dini dapat
penyelesaian
permasalahan Bank sebagaimana diatur di dalam UU JPSK ini melibatkan pihak swasta melalui mekanisme private solution. Pelibatan swasta tersebut diharapkan dapat meminimalisasi, baik peluang eskalasi penanganan pada dana APBN maupun besaran dana APBN yang digunakan.
31
Berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
saat ini, penggunaan dana APBN melalui mekanisme pemberian pinjaman
dan
penyertaan
modal
kepada
LPS
tidak
dapat
dilakukan. Oleh karena, itu perlu ada suatu ketentuan bahwa dana APBN dapat digunakan untuk pemberian pinjaman dan penambahan modal kepada LPS dengan memperoleh persetujuan DPR terlebih dahulu. Dengan
adanya
pengaturan
JPSK
akan
terbangun
koordinasi yang terpadu dan efektif antar pemegang otoritas dalam menangani Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak Normal. Dengan demikian, mekanisme pemeliharaan SSK dan penanganan permasalahannya akan dapat dilakukan secara cepat dan efektif. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu: 1) terdapat mekanisme koordinasi dan pembagian tanggung jawab yang jelas di antara lembaga/otoritas terkait dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan, tanpa mengurangi independensi masing-masing lembaga/otoritas; 2) adanya transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme pengambilan keputusan dalam rangka penanganan Kondisi Tidak Normal; 3) terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan tindakan penanganan permasalahan Bank SIB; dan 4) terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk tindakan penanganan
Kondisi
Tidak
Normal
dan
penanganan
permasalahan Bank SIB dengan tetap berpedoman pada ketentuan dan kemampuan keuangan negara serta hak budget DPR.
32
Upaya
penyelenggaraan
JPSK
tersebut
dilakukan
oleh
Negara melalui pembentukan KSSK. Dengan demikian, koordinasi yang dilakukan dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB, memiliki landasan hukum yang kuat. Hal ini akan berimplikasi positif dalam rangka pemulihan kondisi perekonomian karena terjaganya Stabilitas Sistem Keuangan. Untuk menciptakan koordinasi antar lembaga/otoritas yang efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka pemeliharaan Stabilitas
Sistem
Keuangan
dan
penanganan
masalahnya,
pembagian fungsi, tugas, dan wewenang KSSK perlu diatur secara jelas. Sebagai contoh, MEFM Korea, yang merupakan forum tingkat deputi untuk melakukan sharing dan review atas analisis risiko Stabilitas Sistem Keuangan6. Forum ini terdiri dari Ministry of Strategy and Finance, The Bank of Korea, The Financial Service Commission, dan The Financial Supervisory Service. Di dalam forum tersebut, setiap lembaga/otoritas mendiskusikan hasil analisis dan identifikasi potensi risiko serta mengkaji respon kebijakan yang dapat diambil. Pada dasarnya, pemeliharaan SSK dalam kondisi normal dilakukan oleh masing-masing lembaga/otoritas sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, terdapat kebutuhan untuk mempertimbangkan terlebih dahulu dan/atau
memutuskan
suatu
kebijakan
dalam
kerangka
koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam KSSK. Beberapa kebutuhan tersebut antara lain menetapkan status SSK, langkahlangkah penanganan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah “Republic of Korea: Financial Sector Assessment Program-Crisis Preparedness and Crisis Management Framework-Technical Note” IMF Country Report No. 15/5, IMF, 2015. 6
33
penanganan permasalahan Bank yang tidak dapat lagi ditangani oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Presiden. Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas tersebut, KSSK perlu
diberikan
kewenangan.
Sebagai
contoh,
untuk
dapat
menentukan status SSK, KSSK perlu mempunyai wewenang untuk memperoleh hasil penilaian kondisi SSK dari masing-masing anggota KSSK terlebih dahulu. Hasil penilaian tersebut juga perlu dilengkapi dengan data dan informasi pendukung, serta kerangka kerja penilaian yang digunakan oleh masing-masing anggota. Lebih lanjut, untuk menetapkan langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, KSSK juga perlu mendapatkan rekomendasi dari masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah penanganan dimaksud. KSSK juga berwenang untuk memperoleh daftar Bank SIB terkini yang ditetapkan oleh OJK setelah berkoordinasi dengan BI. Pengkinian daftar Bank SIB dilakukan oleh OJK secara berkala, misalnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan, atau sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengkinian sewaktu-waktu tersebut hanya dapat dilakukan pada saat kondisi SSK normal. Dengan mempertimbangkan luasnya cakupan tugas dan wewenang KSSK, maka ditunjuk sekretaris KSSK yang dapat menjalankan sebagian tugas dan/atau wewenang KSSK apabila menerima pendelegasian dari KSSK. Di samping itu, dalam rangka mendukung kelancaran tugas KSSK, diperlukan suatu sekretariat untuk
membantu
penyelenggaraan
rapat
hingga
melakukan
monitoring terhadap tindak lanjut keputusan rapat, melakukan kompilasi analisis umum berdasarkan indikator, dan laporan surveillance
dari
masing-masing
anggota
KSSK,
menyusun
standard operating procedure bagi sekretariat KSSK, dan tugas-
34
tugas
kesekretariatan
lain
dalam
rangka
mendukung
terlaksananya koordinasi yang baik antaranggota KSSK. Hal tersebut juga sejalan dengan praktik di Amerika Serikat, dimana Financial Stability Oversight Council (FSOC) mempunyai kelompok kecil dengan staf independen yang mengelola dan menyimpan dokumen serta menyusun keterbukaan dokumen kepada
publik.
Kelompok
staf
independen
ini
juga
bisa
beranggotakan para ahli untuk mendukung kerja komite dan penyusunan legal drafting (jika diperlukan) serta pelaporan kepada Kongres. Selain itu, praktek di India melalui Financial Stability and Development Council (setara dengan KSSK) juga memiliki subcommittee yang merupakan sekretariat KSSK. Jabatan sekretaris dipegang oleh Pejabat Direktur Eksekutif Bank Sentral, dengan mendapat dukungan kesekretariatan dari Financial Stability Unit. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya, KSSK didukung oleh kesekretariatan yang dipimpin oleh sekretaris KSSK. Sekretaris KSSK seyogyanya dijabat oleh seorang pejabat yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu di Kemenkeu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Lebih lanjut, untuk tata laksana
kesekretariatan
KSSK
sebaiknya
diatur
dengan
Keputusan Menteri Keuangan. Juga dimungkinkan bagi KSSK membentuk gugus tugas, kelompok kerja, atau alat kelengkapan lain untuk membantu pelaksanaan tugas KSSK, mengundang pihak lain sebagai narasumber, serta menyelenggarakan rapat persiapan pelaksanaan rapat KSSK yang melibatkan pejabat perwakilan dari masing-masing lembaga/otoritas anggota KSSK. Mekanisme
dalam
menetapkan
tindakan
penanganan
Kondisi Tidak Normal harus dilakukan lebih awal dan sesegera mungkin7. Selain itu, standar dan indikator yang digunakan Loc.cit, lihat 4.
7
35
untuk melakukan asesmen terhadap entitas yang diawasi juga harus jelas. Terdapat beberapa prinsip yang perlu menjadi perhatian dalam mekanisme penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, yaitu: a. Kecepatan pengambilan keputusan Keputusan dilakukan
penanganan sesegera
terhadap
mungkin.
permasalahan
Tindakan
cepat,
harus pesan
(signalling) yang jelas, dan kepemimpinan yang didefinisikan secara baik akan memberikan dampak positif terhadap kepercayaan publik. b. Transparansi dan kredibilitas keputusan Menjaga
integritas
dan
kepercayaan
publik
dalam
penanganan permasalahan SSK menjadi faktor yang sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional. Untuk itu, diperlukan adanya proses yang menjamin bahwa penanganan dilakukan secara transparan
dan
lembaga/otoritas
akuntabel, yang
serta
kompeten.
dilakukan Dengan
oleh
demikian,
diperlukan data dan informasi yang handal (reliable), staf yang berkualitas, koordinasi institusional yang erat, dan komunikasi publik yang baik. c.
Kepastian hukum Keputusan
yang
diambil
dalam
rangka
penanganan
permasalahan SSK oleh KSSK merupakan keputusan yang sah dan mengikat, sehingga dapat memberikan kepastian hukum. d. Akuntabilitas penggunaan dana publik Mekanisme penanganan permasalahan SSK memerlukan dukungan pendanaan dari APBN. Hal ini harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
36
di bidang keuangan negara dan dengan mempertimbangkan kecepatan pengambilan keputusan. Berdasarkan hal-hal di atas, maka KSSK secara rutin perlu menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu atas permintaan dari anggota KSSK.8 Mekanisme rapat seperti itu sudah dilakukan oleh Korea
melalui
MEFM
dimana
komite
tersebut
juga
menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun9. Rapat KSSK dihadiri oleh seluruh anggota KSSK dan dipimpin oleh koordinator KSSK. Dalam Kondisi Tidak Normal diperlukan adanya pengambilan keputusan secara terpadu dan cepat serta tepat, berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Mengingat keputusan yang diambil di dalam KSSK merupakan keputusan yang strategis dan berdampak luas pada perekonomian nasional, maka keputusan rapat harus memperoleh keyakinan dari semua lembaga/otoritas untuk menghindari perselisihan atas keputusan yang diambil di kemudian hari. Hal ini sekaligus mencerminkan suatu kebulatan pendapat dan tekad dari masingmasing anggota KSSK untuk melakukan upaya terbaik dalam penanganan permasalahan SSK. Dalam hal tidak mencapai kata mufakat, usulan keputusan yang diajukan anggota KSSK dinyatakan ditolak dan pendapat akhir masing-masing anggota KSSK di dalam rapat tersebut harus didokumentasikan. Usulan yang ditolak dapat diajukan kembali dalam rapat KSSK berikutnya maksimal 1 (satu) kali.
8
Pasal 45 ayat (1) huruf b UU OJK ditentukan dalam kondisi normal FSSK melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. 9
Korea Financial Stability Report, The Bank of Korea, 2014.
37
Mengingat pentingnya proses pengambilan keputusan dan dampak atas hasil keputusan yang sangat luas, maka proses pengambilan keputusan harus dihadiri oleh seluruh anggota KSSK.
Apabila
berhalangan
terdapat
hadir
diselenggarakan
secara
kondisi fisik,
menggunakan
dimana maka
media
anggota
rapat
KSSK
komunikasi
KSSK dapat
elektronik
dimana peserta rapat KSSK harus saling melihat dan/atau mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat, serta didokumentasikan secara utuh. Dalam kondisi ini, anggota KSSK yang berhalangan hadir secara fisik menunjuk pejabat yang akan mewakilinya untuk menandatangani keputusan rapat KSSK. Dalam hal anggota KSSK berhalangan sementara, anggota KSSK yang bersangkutan diwakili oleh pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keputusan rapat KSSK mencakup penetapan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, dan/atau langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB. Hasil keputusan rapat tersebut harus dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam secara tertulis atau melalui sarana elektronik. Pelaporan tersebut harus ditatausahakan dengan baik dan lengkap
sebagai
kelengkapan
apabila
dibutuhkan
di
masa
mendatang, terutama apabila timbul permasalahan hukum atas keputusan yang diambil. Jangka waktu pelaporan kepada Presiden harus dilakukan paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam mengingat dari hasil keputusan rapat KSSK dimungkinkan adanya penggunaan dana APBN untuk menangani Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB. Selain itu, sangat penting bagi Presiden untuk mengetahui kondisi sistem keuangan karena
38
ketidakstabilan sistem keuangan berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat mengingat dinamika perekonomian global yang bergerak sangat cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang demikian erat satu sama
lain.
Oleh
karena
itu,
setiap
anggota
KSSK
harus
mewaspadai dan mengantisipasi risiko tersebut. Dalam hal ini, masing-masing lembaga/otoritas telah menyusun PMK sebagai bagian dari upaya pencegahan dan penanganan Kondisi Tidak Normal. PMK tersebut paling kurang memuat tentang mekanisme pemantauan
Stabilitas
indikator-indikator
Sistem
Keuangan
penyusun,
yang
mekanisme
terdiri
dari
pengambilan
keputusan, serta mekanisme koordinasi dan komunikasi. Protokol tersebut disusun berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing lembaga/otoritas. Di dalam kerangka koordinasi KSSK, apabila PMK anggota KSSK menunjukkan Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang Tidak
Normal,
maka
anggota
yang
bersangkutan
dapat
mengusulkan kepada KSSK untuk menyelenggarakan rapat guna membahas permasalahan tersebut. Dalam rapat KSSK dimaksud, KSSK mendapatkan data dan informasi dari masing-masing anggota KSSK sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai penilaian
kondisi
pembayaran Keuangan
otoritas
moneter,
serta dan
makroprudensial,
menyampaikan
makroprudensial,
pengaruhnya
rekomendasi
BI
terhadap
dan
sistem
Stabilitas
Sistem
langkah-langkah
penanganan
permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan. OJK, selaku otoritas mikroprudensial menyampaikan penilaian
39
kondisi lembaga keuangan dan pasar keuangan dan pengaruhnya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, OJK juga menyampaikan pengawasan
data
Bank
khusus,
SIB
dan
dalam
status
langkah-langkah
Bank
dalam
penanganan
permasalahan Bank SIB. Dari sisi fiskal, Kemenkeu menyampaikan penilaian kondisi kesinambungan
fiskal
dan
pasar
SBN
yang
mempengaruhi
Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkahlangkah penanganan kondisi fiskal dan pasar SBN agar tetap berkesinambungan.
LPS
menyampaikan
penilaian
kondisi
kecukupan dana penjaminan simpanan yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkahlangkah
penanganan
untuk
memenuhi
kecukupan
dana
penjaminan simpanan. Setelah memperoleh data, informasi, kerangka penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan, dan pertimbangan dari seluruh anggota KSSK, maka KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan. Apabila Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dalam kondisi normal, penanganan permasalahan
Stabilitas
Sistem Keuangan dikembalikan kepada masing-masing anggota KSSK sesuai bidang tugas dan ketentuan peraturan perundangundangan yang ada. Apabila
KSSK
menetapkan
SSK
dalam
Kondisi
Tidak
Normal, maka penetapan ini perlu disertai dengan penetapan langkah-langkah penanganan permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, penanganan Bank SIB dalam status Bank dalam pengawasan khusus, dan penanganan kondisi lembaga keuangan dan/atau pasar keuangan, kondisi kesinambungan fiskal dan pasar SBN, serta kecukupan dana penjaminan simpanan. Langkah-langkah penanganan tersebut
40
dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam. Flowchart (Gambar 1) di bawah ini memberikan gambaran mekanisme bekerjanya proses pengambilan keputusan dalam sistem jaring pengaman ketika Kondisi Tidak Normal.
Gambar 1
Berdasarkan flowchart di atas terlehat bahwa tindakan mengatasi permasalahan Bank SIB dilakukan secara cermat dan hati-hati (prudent). OJK sebagai otoritas pengawas perbankan, dalam
melaksanakan
tugasnya
harus
mampu
melakukan
identifikasi Bank yang dikategorikan sebagai Bank SIB yang
41
dilakukan
dengan berkoordinasi dengan BI. Bank SIB, sesuai
karakteristiknya, dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan. Kegagalan tersebut dapat terjadi, baik secara operasional maupun finansial. Dengan mempertimbangkan potensi risiko tersebut, maka Bank tersebut diwajibkan untuk membuat rencana pemulihan sebagai tindakan siaga apabila Bank tersebut mengalami permasalahan keuangan di masa mendatang. Penyusunan rencana dimaksud merupakan upaya untuk mencegah eskalasi permasalahan individu Bank SIB tersebut pada sistem perbankan dan sistem keuangan secara lebih luas. Penyusunan
rencana
pemulihan
oleh
merupakan
bentuk
komitmen
awal
Bank
SIB
Bank
tersebut
SIB
untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya, rencana pemulihan tersebut harus mendapatkan persetujuan OJK sebagai otoritas pengawas perbankan. Apabila Bank SIB yang bersangkutan belum mempunyai rencana pemulihan, maka Bank tersebut harus menerapkan langkah-langkah
penyehatan
yang
telah
ditetapkan
OJK
berdasarkan penilaian yang dilakukan OJK terhadap kondisi Bank tersebut.
Memperhatikan
kewenangan
kepada
OJK
bahwa
UU
untuk
OJK
menetapkan
memberikan peraturan
pelaksanaan dari undang-undang di bidang jasa keuangan, pengaturan
lebih
lanjut
mengenai
rencana
pemulihan
permasalahan keuangan Bank SIB diatur dalam Peraturan OJK. Salah satu permasalahan keuangan perbankan adalah kesulitan likuiditas, yang perlu diatur dengan jelas mekanisme penanganan kesulitan tersebut sebagaimana flowchart (Gambar 2) di bawah ini:
42
Gambar 2
Pada praktiknya, apabila Bank mengalami kekurangan likuiditas, Bank dapat mencari sumber dana lain dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Namun demikian, terdapat kemungkinan bahwa kondisi likuiditas di pasar uang sedang ketat atau Bank dilanda penarikan dana besar-besaran (Bank run) sehingga tidak mampu
memperoleh
dana
untuk
mengatasi
kesulitan
likuiditasnya. Dalam kondisi demikian, Bank sentral sebagai LoLR dapat memberikan pinjaman kepada Bank untuk mengatasi kesulitan keuangan tersebut. Pinjaman tersebut diberikan setelah penanganan mandiri yang dilakukan Bank dimaksud, dengan dibantu
oleh
OJK
sesuai
kewenangannya,
belum
dapat
menyelesaikan permasalahan likuiditas. BI, sesuai ketentuan dalam UU No. 23 tahun 1999 yang telah diubah beberapa kali (terakhir dengan UU No. 6 tahun 2009), mempunyai dua fasilitas pembiayaan untuk mengatasi
43
kesulitan likuiditas perbankan, yaitu Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD). Kedua fasilitas tersebut menegaskan peran Bank Indonesia sebagai Lender of The Last Resort (LoLR) dan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. FPJP dapat diakses oleh semua Bank yang mengalami permasalahan likuiditas tetapi masih solven. Dalam hal ini, FPJP diberikan oleh BI berdasarkan informasi dan rekomendasi dari OJK, sebagai otoritas pengawas perbankan, atas kondisi Bank yang mengajukan FPJP tersebut. Ketentuan mengenai FPJP saat ini
diatur
di
dalam
Peraturan
Bank
Indonesia
(PBI)
No.
14/16/PBI/2012. Pengaturan lebih lengkap di dalam PBI tersebut memberikan
keleluasaan
pada
BI
untuk
dapat
melakukan
penyesuaian terhadap kondisi yang terjadi secara lebih cepat. Selain
pinjaman
likuiditas
jangka
pendek,
fasilitas
pembiayaan lain yang dikenal di Indonesia untuk mengatasi kesulitas
likuiditas
Bank
adalah
FPD.
Berdasarkan
karakteristiknya, FPD memiliki kesamaan dengan Emergency Liquidity Assistance (ELA), dimana ELA merupakan fungsi dari Bank sentral dan merupakan instrumen LoLR.10 FPD merupakan pinjaman likuiditas dari BI kepada Bank SIB yang mengalami kesulitan likuiditas, namun masih memenuhi tingkat solvabilitas sementara
pemberian
pinjaman
likuiditas
jangka
pendek
diperkirakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas dimaksud. Konsep fasilitas LoLR sendiri pertama kali dikemukakan oleh
Henry
Thornton
pada
awal
abad
ke-19
dengan
menghubungkan prinsip-prinsip dasar praktek Bank sentral yang
M Manna, “Emergency Liquidity Assistance at Work: Both Words and Deeds Matter” Studi e Note di Economia Anno XIV No. 2-2009, 2009, hlm. 155-186. 10
44
baik dengan pemberian pinjaman darurat11. Kemudian Walter Bagehot
yang
dikenal
sebagai
peletak
teori
LoLR
modern
menyebutkan bahwa FPD digunakan untuk mengatasi risiko sistemik.12
Selain itu, Bagehot mengemukakan tiga prinsip
pemberian LoLR yakni: a. pemberian pinjaman harus didukung dengan agunan yang memadai dan diberikan hanya untuk Bank yang solven; b. pemberian pinjaman dengan suku bunga penalti; dan c. pengumuman kesediaan untuk meminjamkan tanpa batas dari Bank sentral dimana hal ini penting untuk meyakinkan kredibilitas Bank sentral. Pengalaman historis menunjukkan bahwa fungsi LoLR yang efektif dapat mencegah panik pada berbagai kejadian.13 Sejalan dengan itu, Mishkin berargumen bahwa Bank sentral dapat mendorong
pemulihan
krisis
keuangan
dengan
memberikan
pinjaman dalam rangka menjalankan perannya sebagai LoLR.14 Selain itu, terdapat banyak contoh sukses praktik LoLR di negaranegara maju. Berdasarkan standar praktik terbaik di dunia internasional, pendekatan LoLR dapat dilakukan melalui dua metode utama yaitu metode yang menganut ambiguitas konstruktif dan metode yang menganut transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan pengalaman
Indonesia
dalam
melakukan
penanganan
permasalahan Bank, faktor utama yang menjadi perhatian baik
H Thornton, An Enquiry into the Nature and Effects of the Paper Credit of Great Britain, Augustus M. Kelley, Fairfiled, 1802. 12 W Bagehot, Lombard Street: A Description of the Money Market, H.S. King, London, 1873. 11
13M
Bordo, "The Lender of Last Resort: Alternative Views and Historical Experience", Economics Review 76 (1), 1990, hlm. 18–29. 14Frederic S Mishkin, “The International Lender of Last Resort: What Are The Issues?” NBER Working Paper, IMF, 2000.
45
dari sisi penanganan permasalahan Bank itu sendiri, maupun dari sisi hukum dan politik adalah transparansi dan akuntabilitas tindakan
penanganan
permasalahan
Bank
tersebut
oleh
lembaga/otoritas yang berwenang. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, konsep penanganan permasalahan Bank, dalam hal ini
pemberian
FPD,
harus
mencerminkan
suatu
proses
penanganan yang transparan dan akuntabel. Dong He berargumen bahwa meskipun terdapat alasan yang tepat untuk menjaga ambiguitas atas kriteria (constructive ambiguity) dalam pemberian bantuan likuiditas, namun dengan prosedur yang tepat, kejelasan akuntabilitas dan kewenangan serta aturan keterbukaan akan meningkatkan stabilitas keuangan, mengurangi moral hazard, dan melindungi LoLR dari pengaruh politik yang tinggi.15 Dengan pemikiran serupa, Nakaso mengemukakan bahwa pendekatan LoLR
di
Jepang
telah
beralih
dari
ambiguitas
konstruktif
(constructive ambiguity) ke arah kebijakan transparansi dan akuntabilitas.16 Dalam UU BI, BI dapat memberikan FPD kepada Bank yang berdampak sistemik dengan pembiayaan dari APBN. Dalam UU JPSK, fasilitas pembiayaan darurat ini diubah menjadi PLK yang diberikan oleh BI dengan jaminan dari Pemerintah. Fasilitas tersebut hanya akan diberikan kepada Bank SIB yang telah ditetapkan di awal oleh OJK setelah berkoordinasi dengan BI dan disampaikan secara berkala dalam rapat KSSK. Daftar Bank SIB ditetapkan di awal tanpa menunggu terjadinya Kondisi Tidak Normal (predetermined). Hal tersebut akan memberikan keyakinan kepada KSSK dalam memutuskan pemberian PLK dan kepada BI 15Dong
He, “Emergency Liquidity Support Facilities” IMF Working Paper No.WP/00/79, IMF, 2000. 16H Nakaso, “The Financial Crisis in Japan During the 1990s: How the Bank of Japan Responded and the Lessons Learnt” BIS Papers No. 6, BIS, 2001.
46
sebagai otoritas yang memberikan dana PLK mengingat BI terlibat di dalam proses penyusunan daftar Bank SIB dalam konteks koordinasi dengan OJK. Pada saat ini, ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank, pemberian FPD, dan sumber pendanaan yang berasal dari APBN diatur dalam Nota Kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 17 Maret 2005. Selanjutnya, mekanisme pemberian FPD tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang FPD dan PBI Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Berdasarkan ketentuan di dalam peraturan tersebut, pada prinsipnya BI bertanggung jawab untuk menganalisis risiko sistemik yang dapat mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan sementara keputusan atas pemberian FPD diambil bersama antara BI dan Kemenkeu. Pemberian FPD dimaksud dilakukan dengan ketentuan yang jelas dan transparan, persyaratan yang selektif – hanya untuk Bank yang masih solven dan adanya agunan – serta berdasarkan keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI. Namun demikian, mekanisme tersebut kurang sesuai lagi saat ini, mengingat fungsi pengawasan perbankan telah dilimpahkan dari BI ke OJK. Pada dasarnya, PLK bisa diberikan dalam kondisi normal dan Kondisi Tidak Normal. Dalam kondisi normal, PLK harus didasarkan
pada
suatu
aturan
yang
jelas
sehingga
dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya krisis (self-fulfilling crises), dan memberikan insentif tumbuhnya disiplin pasar. Hal itu juga dapat mengurangi campur tangan politik dan mencegah bias yang mengarah pada pelonggaran aturan (forbearance). Fasilitas LoLR pada kondisi normal hanya dapat diberikan kepada Bank yang
47
solven dengan agunan yang memadai dan memenuhi syarat. Dalam Kondisi Tidak Normal, PLK harus menjadi bagian yang terintegrasi
dari
suatu
strategi
manajemen
penanganan
permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang komprehensif dan dirumuskan secara baik. Walaupun kerangka yang digunakan antara satu negara dengan negara lain berbeda, terdapat suatu konsensus umum mengenai pertimbangan utama dalam pemberian FPD pada kondisi normal dan Kondisi Tidak Normal. Dong He membahas tentang aspek pemberian FPD kepada satu institusi yang tidak sehat dan teknis pertimbangan pemberian FPD pada kondisi normal maupun tidak normal.17 Pertimbangan utama dalam pemberian FPD antara lain sebagai berikut: 1. Adanya prosedur, kewenangan, dan akuntabilitas yang jelas. 2. Kerja sama yang erat dan pertukaran informasi antara Bank sentral, otoritas pengawas perbankan (jika terpisah dari Bank sentral),
otoritas
penjamin
simpanan
(jika
ada)
dan
kementerian keuangan. 3. Keputusan
pemberian
pinjaman
kepada
lembaga
yang
berkategori SIB dan berisiko insolvensi dengan/atau tanpa agunan yang memadai harus diambil secara bersama-sama antara otoritas moneter, pengawas perbankan, dan fiskal. 4. Pinjaman kepada Bank di luar kategori SIB, jika ada, hanya diberikan kepada Bank yang benar-benar solven dengan penyertaan agunan yang memadai dan memenuhi syarat. 5. Pemberian pinjaman secara cepat. 6. Pinjaman dalam bentuk mata uang domestik. 7. Pinjaman dengan suku bunga di atas suku bunga rata-rata pasar. 17Loc.cit,
lihat 14.
48
8. Menjaga stabilitas moneter yang efektif. 9. Bank-bank peminjam harus diperiksa dan diawasi secara ketat dan dibatasi aktivitasnya. 10.
Pinjaman hanya untuk jangka pendek, sebaiknya tidak
melebihi tiga hingga enam bulan. 11.
Prosedur
penyelesaian
permasalahan
(exit
strategy)
ditetapkan dengan jelas. Kebijakan PLK yang transparan akan berfungsi sebagai salah
satu
alat
manajemen
krisis
yang
efektif
dan
dapat
mengurangi moral hazard serta mendorong disiplin pasar yang pada
akhirnya
pemberian
akan
PLK
mendorong
harus
diawali
terciptanya
dengan
SSK.
Proses
permintaan
untuk
memperoleh PLK dari Bank SIB yang kesulitan likuiditas namun masih solven kepada BI. Berdasarkan pengajuan tersebut, BI kemudian meminta persetujuan KSSK. Persetujuan KSSK tersebut diperlukan karena dampak pemberian PLK akan melibatkan masing-masing institusi anggota KSSK. Selain itu, KSSK juga mempunyai
tugas
untuk
penanganan
permasalahan
menetapkan Bank
dimana
langkah-langkah pemberian
PLK
termasuk didalamnya. Persetujuan KSSK akan diberikan apabila berdasarkan informasi dan rekomendasi dari OJK sebagai otoritas pengawas perbankan, Bank SIB yang mengajukan PLK tersebut masih memenuhi ketentuan mengenai solvabilitas, permodalan, dan
tingkat
kesehatan
Bank,
serta
kemampuan
untuk
mengembalikan PLK. Untuk memberikan kepastian pengembalian dana PLK kepada BI sehingga tidak akan mengurangi modal BI, Pemerintah memberikan jaminan atas pemberian PLK tersebut. Sebagai konsekuensinya, apabila Bank SIB tidak mampu melunasi PLK
sesuai
perjanjian,
kekurangannya.
maka
Pemerintah
akan
melunasi
49
Pengaturan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara pemberian
PLK
serta
pemberian
jaminan
Pemerintah
akan
diputuskan oleh KSSK untuk diatur dengan peraturan perundangundangan sesuai dengan kewenangan Pemerintah, BI, dan OJK. Hal ini diatur selain untuk mengurangi moral hazard, juga untuk memberikan keleluasaan kepada masing-masing institusi sesuai dengan kebutuhan KSSK serta dapat disesuaikan dengan kondisi yang terjadi. Pada proses mendapatkan PLK tersebut, Bank SIB harus menyusun rencana pembayaran agar dapat melunasi PLK pada saat jatuh tempo. Bank SIB penerima PLK diharapkan untuk segera melunasi dana pembiayaan tersebut karena biaya bunga PLK yang lebih tinggi dari suku bunga pasar akan semakin membebani Bank SIB apabila tidak segera dilunasi. Di samping itu, Bank SIB yang belum melunasi PLK tersebut dilarang untuk melakukan aktivitas-aktivitas keuangan yang dapat menambah beban keuangan. Transaksi tersebut meliputi transaksi dengan pihak terafiliasi, pembagian dividen, dan pemberian manfaatmanfaat
keuangan
yang
akan
mengurangi
kemampuan
permodalan Bank. Sebagaimana diketahui, permasalahan pada Bank SIB akan mempengaruhi SSK. Oleh karena itu, pelarangan terhadap aktivitas yang dapat mengurangi modal Bank SIB diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan Bank SIB yang bermasalah sehingga SSK dapat tetap terjaga. Penegakan
terhadap
pelarangan
aktivitas-aktivitas
keuangan tersebut di atas dan penerapan rencana pembayaran dilakukan oleh OJK sebagai otoritas pengawas perbankan. Dalam pelaksanaannya, OJK dapat menempatkan pengawas pada Bank SIB penerima PLK sehingga pengawasan dapat dilakukan secara lebih
intensif.
Disamping
itu,
penempatan
pengawas
dapat
50
mencegah Bank untuk melakukan aktivitas keuangan yang dilarang. Pengawasan tersebut dilakukan oleh OJK dengan berkoordinasi dengan BI. Permasalahan
yang
dihadapi
oleh
Bank
tidak
hanya
mengenai likuditas tetapi juga mengenai solvabilitas. Apabila OJK mengidentifikasi solvabilitas,
suatu
maka
Bank
OJK
SIB
harus
mengalami
permasalahan
melakukan
penanganan
permasalahan tersebut berdasarkan kewenangannya, termasuk melaksanakan rencana penyehatan (recovery plan) yang harus dimiliki oleh Bank SIB. Bersamaan dengan itu, OJK perlu memberitahukan kepada LPS mengenai hal tersebut dalam rangka memberikan ruang gerak kepada LPS untuk menyiapkan langkahlangkah penanganannya. Untuk
mengakomodasi
ketentuan
yang
mengatur
keterlibatan LPS di dalam penanganan permasalahan solvabilitas Bank, konsep pengaturan di dalam UU JPSK akan memperluas tugas
dan
wewenang
LPS
dalam
rangka
penanganan
permasalahan solvabilitas Bank SIB. Sebagaimana diketahui, berdasarkan UU LPS, otoritas hanya dapat mulai melakukan langkah-langkah
penanganan
Bank
setelah
Bank
tersebut
dinyatakan sebagai Bank gagal. Oleh karena itu, pengaturan dalam UU JPSK ini akan memperluas tugas dan wewenang LPS dalam rangka penanganan Bank SIB sebelum Bank tersebut dinyatakan sebagai Bank gagal. Apabila kondisi Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas semakin memburuk sehingga menyebabkan Bank SIB tersebut ditetapkan sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK), OJK mempunyai opsi untuk menunjuk pihak tertentu sebagai pengelola statuter. Selain itu, OJK juga dapat melibatkan LPS untuk melakukan pengalihan sebagian atau seluruh aset
51
dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank atau pihak lain, atau yang dikenal sebagai transaksi purchase and assumption (P&A). Apabila OJK tidak berhasil menangani permasalahan Bank SIB tersebut sesuai kewenangannya, maka OJK akan meneruskan penanganan Bank SIB tersebut kepada KSSK melalui usulan penyelenggaraan rapat KSSK untuk membahas permasalahan tersebut. Dalam rapat KSSK, akan diputuskan langkah-langkah penanganan Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang antara lain dilakukan dengan menyerahkan Bank SIB tersebut kepada LPS. Penyerahan Bank SIB oleh KSKK akan memberikan
kepastian
hukum
bagi
LPS
dalam
melakukan
penanganan Bank SIB bermasalah. Hal ini melengkapi pengaturan dalam Pasal 21 UU No. 24 Tahun 2004. Selain penyerahan Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas kepada LPS, KSSK juga menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh anggota KSSK yang lain sesuai kewenangan masing-masing. LPS sebagai otoritas resolusi, perlu mengembangkan alat resolusi untuk menangani permasalahan Bank SIB dengan efisien, dapat diandalkan, dan credible.18 Strategi resolusi yang baik harus dapat meminimalisir penggunaan dana LPS dan kerugian pihak lain
(stakeholder),
namun
tetap
dapat
mempertahankan
kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan. Di dalam UU No. 24 Tahun 2004, LPS memiliki metode resolusi berupa penyertaan modal sementara (PMS) atau open bank
assistance.
PMS
dapat
memperbaiki
permasalahan
solvabilitas Bank dan mempertahankan kepercayaan nasabah terhadap sistem keuangan19. Namun demikian, belajar dari 18“General
Guidance for Resolutionof Bank Failures” by the International Association of Deposit Insurers (IADI – 2005). Bank for International Settlements, Switzerland, 2005. 19 Robert Solow, On the Lender of Last Resort in C. P. Kindleberger and J. P. Laffargue (eds.), Financial Crisis: Theory, History, and Policy, Cambridge University Press, Cambridge, 1982
52
berbagai pengalaman Bank bermasalah di negara-negara lain, metode PMS dirasakan kurang efektif dalam menangani Bank bermasalah karena tidak menyelesaikan akar permasalahan yang sebenarnya20. Selain itu, konsekuensi penggunaan metode ini dapat menimbulkan permasalahan moral hazard karena dapat memotivasi pelaku perbankan lain untuk melakukan kegiatan yang lebih berisiko,21 menggerus dana LPS lebih cepat dalam periode yang singkat22, dan mengurangi market discipline karena melindungi depositor dan kreditor yang tidak masuk dalam skema perlindungan LPS23. Untuk itu, perlu adanya metode resolusi lain yang lebih efektif serta dapat disesuaikan dengan kondisi sistem keuangan dan kondisi Bank secara lebih khusus. Saat ini, otoritas resolusi di berbagai negara di dunia memiliki pilihan metode-metode resolusi, seperti Federal Deposit Insurance
Corporation
(Amerika
Serikat),
Deposit
Insurance
Corporation of Japan (Jepang), dan Korea Deposit Insurance Corporation (Korea). Secara umum, metode resolusi yang dimiliki oleh otoritas resolusi di negara tersebut mencakup pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank bermasalah kepada Bank lain (P&A), pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank bermasalah kepada entitas perantara (bridge bank), serta penyertaan modal sementara (open bank assistance). Ketersediaan pilihan metode resolusi yang lebih banyak ini juga telah sesuai dengan Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions yang dikeluarkan oleh FSB.
Bolzico, Y Mascaro and P Granata, “Practical Guidelines for Effective Bank Resolution” World Bank Policy Research Working Paper no. 4389, World Bank, 2007. 20J
21Ibid. 22Robert
Solow, Op.Cit., 52 5 - Open Bank Assistance Transactions” FDIC Resolutions Handbook, FDIC.
23“Chapter
53
Pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Gagal kepada Bank atau pihak lain Transaksi pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank kepada Bank atau pihak lain, atau yang dikenal dengan metode P&A, merupakan metode resolusi Bank yang paling umum. Berdasarkan survei International Association of Deposit Insurers (IADI) tahun 2012 terhadap 91 otoritas resolusi di seluruh dunia, sebanyak 53 otoritas resolusi telah memiliki kewenangan untuk melakukan transaksi P&A. Dalam suatu transaksi P&A, Bank atau pihak lain membeli (purchase) sebagian atau seluruh aset Bank bermasalah dan mengasumsikan (assume) sebagian atau seluruh kewajiban Bank bermasalah, termasuk simpanan yang dijamin. Transaksi P&A pada umumnya menawarkan biaya yang lebih
rendah
dan
lebih
efisien
dalam
penyelesaian
Bank
bermasalah dibandingkan dengan proses likuidasi. Penerapan metode ini tidak merugikan nasabah karena pelayanan terhadap nasabah Bank bermasalah tersebut tidak terganggu24. Dengan membeli aset dan/atau kewajiban dari Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas, Bank dapat meningkatkan pangsa pasar dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan merger atau akuisisi. Sementara itu, aset dan/atau kewajiban yang tidak dapat dialihkan kepada Bank sehat akan tetap berada dalam Bank SIB tersebut di bawah penanganan LPS. Dengan demikian, Bank SIB tersebut telah berkurang dampak sistemiknya sehingga penanganannya diperkirakan akan lebih mudah. Namun, keberhasilan transaksi P&A juga bergantung pada ada atau tidaknya Bank atau pihak lain yang mau membeli aset dan/atau kewajiban Bank SIB yang mengalami permasalahan23. 24Claire
L McGuire, Simple Tools to Assist in the Resolution of Troubled Banks, World Bank, Washington, DC, 2012.
54
Salah satu kemungkinan terburuk adalah LPS tidak dapat menemukan Bank sehat yang bersedia membeli aset dan/atau kewajiban Bank SIB dimaksud. Untuk itu, perlu diatur ketentuan tentang batas waktu maksimal untuk melakukan transaksi P&A dan tindak lanjut dalam hal transaksi P&A tidak dapat dilakukan, termasuk perlu tidaknya penambahan modal untuk menarik minat calon pembeli. Pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Gagal kepada entitas perantara Apabila struktur Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas terlalu kompleks dan/atau terdapat beberapa Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas pada waktu bersamaan, implementasi transaksi P&A akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Salah satu solusinya adalah LPS dapat melakukan pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB tersebut kepada sebuah entitas perantara. Metode ini dikenal dengan istilah bridge bank, yang merupakan salah satu variasi dari transaksi P&A.25 Pada tahun 2012, pendekatan ini sudah diterapkan oleh 39 negara, antara lain Australia, Brasil, Kanada, Jerman, Jepang, Meksiko, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat. Bahkan di Inggris, otoritas resolusi juga memiliki perluasan wewenang hingga pengalihan saham Bank bermasalah26. Bridge bank adalah bentuk kepemilikan sementara Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas
oleh LPS untuk
dilakukan restrukturisasi dan selanjutnya dijual kepada Bank
J Bolzico, Y Mascaro and P Granata, Loc.cit. Policies and Frameworks – Progress so Far”, Basel Committee on Banking Supervision, 2011. 25
26Resolution
55
atau pihak lain yang sehat.27 Melalui metode bridge bank, LPS membentuk Bank Perantara untuk menjembatani pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank SIB tersebut kepada Bank lain yang sehat. Bank Perantara digunakan sebagai sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB yang ditangani LPS. Bank Perantara tersebut menjalankan
kegiatan
usaha
perbankan
sebagaimana
pada
umumnya dan selanjutnya akan dialihkan kepada pihak lain. Metode bridge bank dapat digunakan untuk menyelamatkan Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang dinilai masih mempunyai nilai jual dan peluang untuk disehatkan. Melalui pembentukan Bank Perantara yang berbadan hukum perseroan terbatas, LPS dapat bergerak lebih cepat untuk mempertahankan nilai Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian. Dalam rangka penanganan Bank SIB yang mengalami permasalahan dibutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Dalam pendirian bridge bank oleh LPS, tidak berlaku ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana diatur dalam UU PT. Dalam rangka menangani Bank SIB yang bermasalah secara cepat dan menjaga pelayanan kepada nasabah dari Bank yang diselamatkan agar tidak terganggu, dibutuhkan penyesuaian perizinan Bank gagal. Dalam hal ini, perizinan Bank Perantara yang diberikan oleh OJK dapat
disesuaikan
menjadi
2
(dua)
tahap
sesuai
dengan
kebutuhan operasional Bank Perantara.
Glenn Hoggarth, Jack Reidhill, and Peter J. N Sinclair, “On the Resolution of Banking Crises: Theory and Evidence” Bank of England Working Paper No. 229, Bank of England, 2004. 27
56
Untuk tahap pertama, OJK perlu memberikan persetujuan prinsip kepada Bank Perantara untuk dapat melakukan persiapan pendirian
Bank.
Sebelum
mendapatkan
persetujuan
prinsip
tersebut, Bank Perantara harus memiliki anggaran dasar yang paling tidak memuat kegiatan usaha sebagai Bank, modal disetor yang memenuhi UU PT, struktur organisasi, manajemen risiko, pedoman terkait tata kelola perusahaan yang baik, dan laporan keuangan bulanan. Tahap kedua adalah memberikan izin usaha Bank setelah persiapan pendirian Bank selesai dilakukan oleh Bank Perantara. Pada tahapan ini, Bank Perantara harus memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum untuk Bank umum, telah memiliki susunan direksi dan dewan komisaris, serta rencana bisnis terkait mekanisme
pengalihan
baik
terkait
sumber
daya
manusia
maupun infrastruktur Bank Perantara. Dalam penetapan direksi dan dewan komisaris, uji kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh OJK berdasarkan ketentuan uji kemampuan dan kepatutan bagi Bank dalam penanganan LPS. Di dalam proses ini tidak diberikan pembatasan waktu. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Bank Perantara akan hidup sampai batas waktu yang tidak ditentukan melainkan dengan semangat optimis diharapkan dapat sesegara mungkin dibeli oleh calon pembeli. Pada praktik di beberapa negara, jangka waktu pengalihan aset dan/atau kewajiban tersebut dapat lebih atau kurang dari dua tahun. Sebagai contoh, di Kanada masa pendirian bridge bank maksimum selama dua tahun dengan opsi perpanjangan waktu satu tahun sebanyak tiga kali. Sedangkan di Meksiko, bridge bank dapat beroperasi selama enam bulan dengan masa perpanjangan enam bulan lagi sebanyak satu kali. Menurut The European Comission operasional bridge bank sebaiknya
57
dibatasi selama satu tahun dengan opsi perpanjangan satu tahun28. Apabila hanya sebagian aset dan/atau kewajiban pada Bank Perantara yang berhasil dijual kepada Bank lain yang sehat, maka penanganan sisa aset dan/atau kewajiban yang tidak laku akan menjadi wewenang LPS. Karakteristik bridge bank memungkinkan pihak otoritas untuk
bekerja
mempersiapkan
pengalihan
aset
dan/atau
kewajiban. sementara kegiatan operasional layanan perbankan masih dapat berjalan. Karakteristik seperti ini memberikan keuntungan tersendiri bagi LPS untuk mempertahankan nilai jual Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas tersebut. Di sisi lain, metode ini membutuhkan usaha yang lebih dari pihak LPS untuk memastikan proses metode ini berjalan lancar. Bridge bank juga mungkin membutuhkan dukungan likuiditas dari pihak otoritas terkait. Selain itu, potensi kerugian juga masih bisa terjadi antara lain jika terdapat kesalahan perhitungan nilai jual yang ternyata lebih kecil dari biaya operasional bridge bank dan tidak adanya
calon
pembeli
yang
berminat
dengan
bridge
bank
tersebut.29 Dalam melakukan transaksi pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank bermasalah kepada Bank atau pihak lain, terdapat kemungkinan adanya selisih antara aset dan/atau kewajiban tersebut. Apabila hal ini terjadi, LPS harus memiliki kewenangan untuk melakukan pembayaran kepada pihak lain untuk menutup selisih nilai tersebut sehingga pihak lain tersebut bersedia menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban tersebut. Selain itu, LPS juga berwenang untuk mengalihkan sebagian atau seluruh
aset
dan/atau
kewajiban
Bank
tanpa
persetujuan
kreditur, debitur, dan RUPS Bank. Apabila setelah jangka waktu 28Loc.cit, 29Loc.cit,
lihat 24. lihat 22.
58
yang ditentukan LPS tidak berhasil menjual Bank Perantara secara keseluruhan, LPS akan melakukan metode P&A terhadap Bank Perantara tersebut. Keberhasilan metode bridge bank tidak hanya tergantung pada kerangka hukum dan kerangka kerja yang kuat, namun juga tergantung pada ketersediaan dana untuk mendukung operasional Bank Perantara sebagai Bank. Karena Bank Perantara tersebut dapat menerima simpanan dan memberikan pinjaman, Bank Perantara ini tetap tunduk kepada perundang-undangan tentang perbankan
namun
diberikan
pengaturan
tertentu
mengenai
persyaratan dan tata cara pendirian, permodalan, perizinan dan pengangkatan anggota direksi dan komisaris yang diangkat untuk pertama kalinya. Dalam
proses
pembentukan
Bank
Perantara
tersebut,
terdapat kemungkinan bahwa LPS akan menghadapi kesulitan dalam mencari partner kepemilikan saham atas Bank Perantara tersebut. Sementara itu, proses pembentukannya harus dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin untuk menghindari kemungkinan adanya potensi bank run. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan
Terbatas
disebutkan
bahwa
persyaratan
pendirian perseroan adalah oleh dua orang atau lebih. Sehingga, melalui UU JPSK perlu diberikan pengecualian bagi LPS terkait persyaratan pendirian perseroan agar proses pendirian Bank Perantara tersebut dapat dilakukan dengan segera. Di samping itu, BI juga dapat menetapkan pengaturan tertentu bagi Bank Perantara terkait dengan kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Pengaturan tertentu bagi Bank Perantara tersebut diberikan karena adanya keterbatasan waktu yang dimiliki oleh LPS dalam melakukan penanganan Bank.
59
Apabila dalam penanganan permasalahan Bank SIB, LPS mengalami kesulitan likuiditas dan/atau modal LPS kurang dari modal awal yang LPS yang ditetapkan Pemerintah, maka LPS dapat menjual SBN yang dimilikinya dan/atau memperoleh pinjaman
dari
pihak
lain.
Dalam
rangka
penanganan
permasalahan Bank SIB, maka dengan persetujuan KSSK, LPS dapat menjual SBN yang dimiliki kepada BI berdasarkan harga pasar. Di dalam konsep pengaturan UU JPSK, Pemerintah dapat memberikan jaminan atas pinjaman yang diperoleh oleh LPS. Lebih lanjut, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS. Ketentuan tersebut disusun untuk memberikan keyakinan kepada LPS dalam melakukan langkah-langkah penanganan permasalahan Bank sekaligus untuk menjaga kepercayaan publik terhadap peraturan
LPS.
Namun
demikian,
perundang-undangan,
berdasarkan
terdapat
ketentuan
tumpang
tindih
ketentuan mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS. Di satu sisi pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS telah diatur dalam Pasal 85 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS menyatakan “Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1), Pemerintah dengan
persetujuan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
menutup
kekurangan tersebut” dan Ayat (2) yang menyatakan “Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah”. Selain itu, Pasal 30 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015 berbunyi “Pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas.” Di sisi lain, dalam UU yang mengatur mengenai keuangan negara dan perbendaharaan negara, pemberian pinjaman dari
60
Pemerintah hanya dapat diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang telah ditetapkan di dalam kedua UU tersebut. Pasal 22 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara berbunyi “Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya”. Selain itu, Pasal 33 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi “Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah
kepada
Negara/Badan
Pemerintah Usaha
Milik
Daerah/Badan
Usaha
Milik
Daerah
dengan
yang
sesuai
tercantum/ditetapkan dalam UU tentang APBN.”. Pada
dasarnya,
ketentuan
dalam
UU
tentang
APBN
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi landasan hukum bagi Pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Namun, hal tersebut hanya berlaku pada tahun anggaran berjalan sesuai dengan masa berlaku UU tersebut, yaitu 1 (satu) periode anggaran atau 1 (satu) tahun. Oleh karena itu, risiko tidak dituangkannya ketentuan tersebut pada UU tentang APBN di masa mendatang sangat terbuka. Ketiadaan
pengaturan
tersebut
dapat
menimbulkan
ketidakjelasan landasan hukum untuk pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS sehingga dapat menimbulkan keraguraguan,
baik
pada
lembaga/otoritas
maupun
KSSK,
dalam
mengambil keputusan. Lebih lanjut, kondisi tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum di masa yang akan datang apabila dilakukan pemberian Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS tanpa landasan hukum yang jelas. Oleh karena itu, di dalam UU JPSK perlu diatur ketentuan bahwa pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS dikecualikan dari
ketentuan dalam UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun
61
2004 tentang Perbendaharaan Negara mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh Pemerintah. Untuk menjalankan fungsi tata kelola yang baik, LPS berkewajiban untuk melaporkan segala perkembangan aktivitas penanganan permasalahan kepada KSSK, yang dimulai dari aktivitas penyerahan penanganan permasalahan Bank SIB oleh KSSK
kepada
LPS
hingga
selesainya
proses
penanganan
permasalahan tersebut. Fungsi pelaporan tersebut dimaksudkan agar aktivitas penanganan permasalahan selalu dapat terkoordinir dengan
baik
dan
tidak
menimbulkan
benturan-benturan
kepentingan dengan anggota KSSK. Restrukturisasi perbankan dalam Kondisi Tidak Normal Dalam
Kondisi
Tidak
Normal,
terdapat
kemungkinan
terjadinya kegagalan sejumlah Bank dalam waktu yang bersamaan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Penanganan bank-bank bermasalah tersebut memerlukan pendekatan khusus yang mungkin berbeda dengan penanganan permasalahan Bank dalam kondisi normal. Pasal 37A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur upaya penyehatan industri perbankan. Dalam upaya melaksanakan penyehatan industri perbankan, apabila BI menilai bahwa permasalahan yang terjadi di industri perbankan membahayakan
perekonomian
nasional, dapat
dibentuk suatu badan khusus. Atas permintaan BI, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR, dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara. Pemerintah
pernah
membentuk
badan
khusus
dalam
rangka melakukan upaya penyehatan perbankan setelah krisis tahun 1998 yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN yang dibentuk berdasarkan Kepres No. 27 Tahun 1998
62
tentang Pembentukan BPPN, mempunyai tugas pokok untuk melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi Bank yang dinyatakan tidak sehat oleh BI. Karena kinerjanya yang dinilai kurang memuaskan, lembaga ini dibubarkan pada tanggal 27 Februari 2004 berdasarkan Kepres No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN. BPPN yang dibentuk Pemerintah pada tahun 1998 pada dasarnya
merupakan
salah
satu
bentuk
badan
khusus
independen atau Asset Management Company (AMC). Badan khusus independen ini merupakan entitas yang berfungsi untuk memfasilitasi penyehatan Bank dan mengelola atau menghapus aset bermasalah sehingga asetnya menarik bagi calon investor baru. Penanganan perbankan setelah krisis melalui pembentukan badan khusus independen telah banyak diimplementasikan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Thailand, Swedia, Tiongkok, dan Korea Selatan, meskipun diadopsi dengan strategi yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Terdapat
hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
terkait
penanganan permasalahan Bank SIB dalam Kondisi Tidak Normal oleh badan khusus yang independen, antara lain: 1. Badan khusus independen umumnya rentan terhadap tekanan politik dari pihak tertentu. Menurut Klingebiel (2000), untuk negara
berkembang,
bentuk
badan
khusus
memberikan
lingkup intervensi politik yang cukup besar sehingga rentan untuk
mengalami
kegagalan.
Dari
hasil
penelitian
yang
dilakukannya terkait berbagai badan khusus di beberapa negara, perbandingannya hanya sepertiga yang bisa dikatakan berhasil dalam penanganannya untuk menyehatkan Bank.
63
2. Jika aset yang dialihkan kepada badan khusus independen tidak dikelola secara aktif, keberadaan badan khusus dapat memicu terjadinya penurunan disiplin kredit dalam sistem keuangan. Belajar dari pengalaman pembentukan BPPN dan badanbadan khusus independen di negara-negara lain, terdapat suatu pendekatan untuk membentuk suatu badan khusus yang tidak independen. Dalam UU tentang JPSK ini dibentuk suatu badan khusus yaitu Badan Restrukturisasi Perbankan (BRP) sebagai suatu badan hukum. Selanjutnya, dalam kondisi tertentu, KSSK dapat sewaktu-waktu mengaktifkan serta menetapkan lama masa tugas atas badan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kondisi tertentu adalah Kondisi Tidak Normal dimana KSSK menilai terdapat permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional. Atas pengaktifan dan penyelenggaraan BRP tersebut, KSSK harus melaporkannya kepada Presiden. Penyelenggaraan dan penetapan kepengurusan atas badan khusus ini dilakukan oleh KSSK sebagai trustee. Hal ini berbeda dengan BPPN sebelumnya, dimana diharapkan pengelolaan badan khusus oleh LPS dapat meminimalisasi tekanan politik dan memberikan jaminan adanya good governance dalam pengelolaan aset dan/atau kewajiban Bank SIB yang dialihkan. Anggaran BRP bersumber dari APBN, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bankbank yang ditangani, dan sumber lain sesuai dengan peraturan perundangan. Agar dapat menjalankan tugas restrukturisasi perbankan, BRP ini diberi kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan kewenangan LPS. Kewenangan badan restrukturisasi ini antara lain sebagai berikut:
64
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham Bank atau organ lain yang setara; b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang direksi dan dewan komisaris Bank atau organ lain yang setara; c.
menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak Bank, termasuk kekayaan Bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;
d. meninjau
ulang,
membatalkan,
mengakhiri,
dan
atau
mengubah kontrak yang mengikat Bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan Badan Restrukturisasi Perbankan merugikan Bank; e.
menjual, melelang, atau mengalihkan kekayaan Bank di dalam negeri maupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum;
f.
menjual, melelang atau mengalihkan tagihan Bank dan/atau menyerahkan
pengelolaanya
kepada
pihak
lain,
tanpa
memerlukan persetujuan nasabah debitur; g.
mengalihkan pengelolaan kekayaan dan/atau manajemen Bank kepada pihak lain;
h. melakukan penyertaan modal sementara pada Bank secara langsung atau melalui konversi tagihan Badan Restrukturisasi Perbankan terhadap Bank menjadi saham Bank; i.
melakukan penagihan piutang Bank yang sudah pasti dengan penerbitan surat paksa;
j.
melakukan pengosongan atas tanah dan/atau bangunan milik atau yang menjadi hak Bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;
65
k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai Bank dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan, dan pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui
kegiatan
yang
merugikan
Bank
dalam
penganganan Bank khusus tersebut; l.
menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami Bank dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal Bank yang bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan anggota dewan komisaris atau organ yang setara, dan/atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan;
m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang
saham
Bank
dalam
penanganan
Badan
Restrukturisasi Perbankan; n. meminta data, informasi, dan dokumen dari Bank dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan dan dari pihak lain; o. membekukan aset milik pengurus Bank, pemegang saham Bank,
dan/atau
pihak
terafiliasinya
yang
terindikasi
melakukan tindakan yang merugikan Bank, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri; dan p. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang Badan Restrukturisasi Perbankan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf o. Terkait dengan upaya penyelesaian permasalahan Bank, Key Attributes
(2014)
memberikan
pedoman
bahwa
alternatif
66
penyelesaian permasalahan Bank seharusnya tidak bergantung kepada public ownership ataupun bail-out funds.30 Sejalan dengan hal tersebut, menurut Beck, penyelesaian permasalahan Bank melalui mekanisme pasar dinilai lebih tepat dibandingkan dengan penyelesaian melalui dana publik31. Dengan demikian, alternatif penyelesaian penyelesaian
permasalahan melalui
Bank
mekanisme
harus
pasar.
mengedepankan
Lebih
lanjut,
jika
diperlukan, lembaga/otoritas dapat menyediakan insentif sebagai alternatif penyelesaian melalui mekanisme pasar tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil asesmen atas kondisi Indonesia dalam Peer Review
of
Indonesia
2014
bahwa
solusi
penyelesaian
permasalahan seharusnya tidak mengandalkan dana publik dan tidak pula memberikan pernyataan atau harapan bahwa dana tersebut tersedia32. Hal ini dilakukan untuk menghindari motif moral hazard bagi para pelaku industri perbankan. Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dapat memberikan insentif dan/atau fasilitas berupa fiskal maupun non fiskal kepada Bank SIB
yang
dapat
menyelesaikan
permasalahannya
melalui
mekanisme pasar. Insentif tersebut dapat diberikan antara lain dalam bentuk kemudahan dalam pemberian izin menjadi Bank devisa, kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan GWM Rupiah, perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang timbul apabila Bank melakukan merger atau konsolidasi, kemudahan dalam pemberian izin pembukaan kantor cabang Bank, penggantian
Loc.cit, lihat 4. Beck, The Incentive Compatible Design of Deposit Insurance and Bank Failure Resolution-Concepts and Country Studies, 2003. 32“Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions, Key Attributes-Financial Stability Board 2014: Peer Review of Indonesia”, Financial Stability Board, 2014. 30
31T
67
sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence, atau insentif perpajakan. Sebagai contoh, Bank of Japan pernah memberikan insentif berupa penghapusan non performing loan (NPL) perbankan. Oleh karena itu, jika dipandang perlu dan dengan mempertimbangkan kondisi
Stabilitas
Sistem
Keuangan
yang
ada,
maka
lembaga/otoritas dapat memberikan insentif tersebut. Sifat dan jenis insentif akan ditentukan kemudian berdasarkan kebutuhan dan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan secara situasional. Sumber pendanaan untuk penanganan Bank dapat berasal dari kekayaan BI, kekayaan LPS, dan APBN. Dalam hal Bank SIB mengalami
kesulitan
likuiditas
namun
masih
memenuhi
ketentuan tingkat solvabilitas, Bank SIB dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas pinjaman likuiditas jangka pendek dari BI. Apabila fasilitas tersebut belum dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas, Bank tersebut dapat mengajukan permohonan kepada BI untuk memperoleh PLK. Sumber pendanaan atas kedua fasilitas tersebut berasal dari kekayaan BI. Dalam proses penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB, BI bertindak sebagai penyedia dana PLK mengingat BI memiliki sumber pendanaan yang dapat segera dieksekusi selaku otoritas moneter yang juga ikut berperan dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. PLK dimaksud hanya diberikan kepada Bank SIB yang mengalami permasalahan. Hal ini dilakukan karena permasalahan pada Bank tersebut dapat mengakibatkan gangguan atau kegagalan pada sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial.
68
Peran serta Pemerintah dalam proses pemberian PLK adalah memberikan jaminan kepada BI atas pemberian PLK dimaksud. Jaminan tersebut direalisasikan apabila Bank SIB tidak mampu melunasi PLK. Jaminan Pemerintah tersebut dilakukan melalui pembayaran kekurangan oleh Pemerintah kepada BI. Dalam hal ini, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan bertindak sebagai penjamin atas pemberian PLK dimaksud mengingat fungsi Pemerintah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan di bidang keuangan yang memiliki kepentingan sekaligus peran serta dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. Lebih lanjut, persyaratan dan tata cara mengenai pemberian PLK, jaminan Pemerintah atas PLK, serta pengawasan terhadap Bank SIB penerima PLK diputuskan oleh KSSK untuk ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangan Pemerintah,
BI,
dan
OJK.
Hal
ini
diatur
dengan
mempertimbangkan fungsi KSSK, yaitu untuk memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, sehingga KSSK adalah wadah yang tepat untuk menetapkan hal tersebut. Di samping itu, KSSK yang beranggotakan pimpinan lintas lembaga/otoritas di sektor keuangan, diharapkan dapat memiliki pandangan dan pertimbangan yang lebih komprehensif dalam penanganan permasalahan Bank SIB. Penanganan
permasalahan
Bank
SIB
oleh
LPS
menggunakan pendanaan yang berasal dari kekayaan LPS. Apabila dalam proses penanganan tersebut LPS mengalami kesulitan likuiditas dan/atau modal LPS menjadi kurang dari ketentuan mengenai modal awal yang ditetapkan Pemerintah, LPS dapat menerima pinjaman dari Pemerintah. Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS tersebut dimungkinkan mengingat ketentuan Pasal 85 Ayat (1) UU No. 24
69
Tahun 2004 tentang LPS menyatakan bahwa “Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut” dan Ayat (2) menyatakan bahwa “Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah”. Selain itu, UU No. 27 Tahun
2014
tentang
APBN
Tahun
Anggaran
2015
juga
menyebutkan dalam Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi “Pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas.” Namun demikian, ketentuan dalam UU tentang APBN tersebut hanya dapat menjadi landasan hukum bagi Pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada LPS pada tahun anggaran berjalan. Hal ini sesuai dengan masa berlaku UU tersebut yaitu 1 (satu) periode anggaran atau 1 (satu) tahun. Oleh karena itu, terdapat
potensi
dituangkan
pada
risiko UU
bahwa
tentang
ketentuan APBN
di
tersebut
periode
tidak
anggaran
berikutnya. Berdasarkan ketentuan dalam UU yang mengatur mengenai keuangan
negara
dan
perbendaharaan
negara,
pemberian
pinjaman oleh Pemerintah hanya dapat diberikan kepada pihakpihak tertentu. Pasal 24 Ayat (7) berbunyi “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat
dapat
memberikan
pinjaman
dan/atau
melakukan
penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR” dan Pasal 22 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara berbunyi “Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya”. Selain itu, Pasal 33 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi “Pemerintah Pusat
70
dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN.” Berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang ada serta dengan mempertimbangkan kebutuhan akan pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS, di dalam UU JPSK perlu diatur ketentuan yang dapat menjadi landasan hukum bagi pemberian pinjaman dimaksud. Ketentuan tersebut perlu mengatur bahwa pemberian pinjaman oleh Pemerintah, dengan menggunakan
dana
APBN,
kepada
LPS
dikecualikan
dari
ketentuan mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh Pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Penggunaan dana APBN dalam rangka penanganan Bank SIB dalam Kondisi Tidak Normal seperti yang telah dijelaskan di atas, dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan/atau melebihi pagu yang telah ditetapkan dalam APBN dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari DPR. Hal tersebut mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 27 Ayat (4) yang berbunyi “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya,
rancangan
perubahan
yang APBN
selanjutnya dan/atau
diusulkan
dalam
disampaikan
dalam
Laporan Realisasi Anggaran.” Dengan demikian, pengaturan hal ini dalam UU tentang JPSK sejalan dengan salah satu dari tiga fungsi DPR, yaitu fungsi
71
anggaran sesuai dengan amanat Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” Persetujuan tertulis DPR diberikan kepada Pemerintah paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah permohonan persetujuan tertulis disampaikan oleh Pemerintah mengingat pengambilan keputusan perlu dilakukan dengan cepat. Ketika suatu Bank mengalami kegagalan sistem perbankan dan tidak dapat mengikuti sistem pembayaran, maka hal tersebut dapat mempengaruhi sistem pembayaran Bank lainnya. Eskalasi permasalahan Bank SIB, terlebih dalam Kondisi Tidak Normal, dapat terjadi dengan sangat cepat dan dapat menimbulkan efek domino terhadap sektor riil karena krisis perbankan akan menghambat
proses
intermediasi
keuangan.
Selain
itu,
permasalahan perbankan akan menyebabkan formulasi kebijakan moneter menjadi kurang efektif. Persetujuan
tertulis
DPR
tersebut
dituangkan
dalam
kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR. Persetujuan tertulis tersebut juga termasuk persetujuan DPR mengenai tambahan nilai bersih SBN yang akan diterbitkan dalam rangka penjaminan PLK atas Bank SIB kepada BI dan juga pemberian pinjaman kepada LPS dan/atau LPS mengalami kesulitan likuiditas. Penerbitan SBN oleh Pemerintah kepada BI harus mendapat persetujuan dari DPR. Penerbitan SBN ini boleh melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN tahun anggaran berjalan dan harus dilaporkan dalam APBN Perubahan dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Hal ini sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi
72
“Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan Ayat (4) yang berbunyi “Dalam hal-hal tertentu, Menteri dapat menerbitkan Surat Utang Negara melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat dan dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan.” Dalam penanganan permasalahan Bank sebagai bagian dari upaya untuk memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, Pemerintah dapat menerbitkan SBN. Penerbitan SBN untuk penanganan permasalahan Bank tersebut perlu dikecualikan dari tujuan penerbitan SUN dan tujuan penerbitan SBSN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN yang berbunyi “Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan sebagai berikut: a. membiayai defisit Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Negara;
b.
menutup
kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran; c. mengelola portofolio utang negara” dan dalam ketentuan pada Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang berbunyi “SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek”. Dalam rangka penjaminan PLK oleh Pemerintah kepada BI yang dibayarkan melalui SBN, BI dapat membeli SBN melalui pasar perdana. SBN yang dibeli oleh BI merupakan SBN yang dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan kewenangan BI untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yaitu melakukan
pengendalian
moneter,
yang
salah
satunya
73
dilaksanakan dengan melakukan operasi pasar terbuka di pasar uang, baik rupiah maupun valuta asing, seperti yang tercantum dalam
UU
No.
23
tahun
1999
tentang
Bank
Indonesia
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang. Pembelian SBN dalam rangka penanganan permasalahan Bank SIB oleh BI dikecualikan dari ketentuan Pasal 55 Ayat (4) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI yang berbunyi “Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diri sendiri, kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan oleh Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter”. Pembelian SBN oleh BI dilakukan berdasarkan keputusan KSSK dengan mempertimbangkan paling kurang kesinambungan APBN, tingkat kesehatan neraca BI, efektivitas kebijakan moneter, dan kondisi pasar SBN. Pembelian SBN tersebut didasarkan atas keputusan KSSK dengan pertimbangan bahwa KSSK berfungsi untuk memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan sehingga KSSK merupakan wadah yang tepat untuk memutuskan hal tersebut. Selain itu, KSSK diharapkan dapat memiliki pandangan dan pertimbangan yang lebih komprehensif dalam penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan permasalahan
Bank
SIB
mengingat
KSSK
beranggotakan
pimpinan lintas lembaga/otoritas di sektor keuangan. Apabila Bank SIB tidak dapat melunasi PLK pada saat jatuh tempo maka Pemerintah membayarkan jaminan PLK kepada BI. Pemerintah memperoleh hak tagih atas kekurangan pelunasan
74
PLK tersebut kepada Bank SIB setelah membayarkan jaminan kepada BI. Apabila Bank SIB tidak dapat membayar kekurangan pelunasan kepada Pemerintah, maka selisih antara dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk membayarkan jaminan PLK dengan
pengembalian
dana
yang
diterima
oleh
Pemerintah
merupakan biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam rangka memelihara dan menangani permasalahan
Stabilitas
Sistem Keuangan. Selisih kurang tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara sebagaimana dalam ketentuan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam UU tersebut, kerugian negara didefinisikan sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Apabila terdapat selisih antara dana yang dikeluarkan oleh LPS dengan hasil penjualan Bank SIB setelah ditangani oleh LPS, maka
selisih
kurang
tersebut
diakui
sebagai
biaya
yang
dikeluarkan dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS yang menyatakan bahwa salah satu fungsi LPS adalah turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Dalam menangani
melaksanakan
fungsinya
permasalahannya,
setiap
memelihara
SSK
lembaga/otoritas
dan
dalam
sistem keuangan dituntut memiliki akuntabilitas yang baik dengan
mekanisme
pelaporan
yang
jelas
dan
transparan.
Pelaporan yang terbuka untuk publik telah dijalankan oleh beberapa negara dengan manajemen sistem keuangan yang maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat.
75
Di Amerika Serikat, FSOC memberikan kesempatan kepada publik untuk dapat mengakses kesepakatan-kesepakatan tertentu dalam rapat-rapat yang diadakan komite tersebut, dan juga melaporkan notulen rapat kepada publik. Lebih lanjut, agenda rapat dan alasan rapat diadakan tertutup ataupun terbuka telah diumumkan kepada publik melalui website FSOC sekurangkurangnya
tujuh
akuntabilitas
hari
sejenis
sebelum
juga
rapat
dilakukan
diadakan33. oleh
Financial
Praktik Policy
Committee Meeting (FMCM) yang melakukan publikasi notulen rapat dan hasil-hasil keputusan rapat melalui website Bank of England34. Di Indonesia, prinsip keterbukaan informasi kepada publik diatur oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pada
prinsipnya,
hak
setiap
warga
negara
untuk
mengetahui rencana, proses, serta alasan pengambilan keputusan kebijakan publik dijamin oleh UU. Hal tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan dan efektif. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, badan publik juga diberikan diskresi untuk merahasiakan informasi kepada publik.
Oleh
karena
itu,
berdasarkan
prinsip
keterbukaan
informasi, KSSK harus memberikan informasi kepada publik mengenai keputusan KSSK dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
KSSK
juga
diberikan
diskresi
untuk
dapat
menetapkan jenis dan tata cara pemberian akses informasi kepada publik. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, KSSK harus melaporkan secara berkala kepada Presiden terkait dengan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan minimal 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Dalam setiap penanganan Kondisi Tidak Normal, 33Website 34Website
Financial Stability Oversight Council (FSOC) Bank of England
76
apabila KSSK memutuskan untuk mengaktifkan BRP, maka KSSK melaporkan pelaksanaan tugas dan wewenang badan tersebut kepada Presiden.
77
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT A.
Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008 Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi krisis yang
terjadi
pada
tahun
2008
dan
krisis-krisis
sebelumnya,
pengambilan keputusan yang tidak didasari atas landasan hukum yang
kuat
akan
menghasilkan
suatu
keputusan
yang
menimbulkan polemik di masyarakat. Ketiadaan landasan hukum tersebut
menimbulkan
permasalahan
dalam
pelaksanaan
mekanisme pengambilan keputusan, antara lain koordinasi, prosedur,
tanggung
jawab
dan
wewenang
lembaga/otoritas,
sekaligus tidak adanya perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. Lebih lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan sistem keuangan di Indonesia. Kondisi tersebut kemudian berdampak secara langsung terhadap Stabilitas Sistem Keuangan dan perekonomian nasional secara umum sehingga akan menimbulkan kondisi yang lebih buruk apabila tidak ditangani dengan baik. Secara yuridis formal, saat ini masih berlaku Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK. Pembentukan Perpu ini dilakukan dalam rangka menghadapi ancaman krisis keuangan global yang dapat
membahayakan
Stabilitas
Sistem
Keuangan
dan
perekonomian nasional. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu landasan hukum yang kuat dan cepat, dengan
mekanisme
koordinasi antar lembaga/otoritas yang terkait dalam pembinaan sistem
keuangan
nasional,
serta
mekanisme
pengambilan
keputusan dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan secara terpadu dan efektif. Pada saat itu tidak
78
memungkinkan dibentuk UU secara normal karena situasi yang sangat mendesak untuk mengatasi krisis. Tujuan Perpu JPSK ini untuk menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam Perpu ini diatur mengenai ruang lingkup JPSK yang meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Pencegahan krisis dilakukan
melalui
penanganan
penanganan
masalah
solvabilitas
kesulitan dari
likuiditas
Bank
dan
dan
Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu antara lain dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi Bank atau bantuan likuiditas bagi LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu, pencegahan krisis dapat
pula
dilakukan
dengan
menambah
modal
berupa
penyertaan modal sementara (PMS) terhadap Bank dan LKBB yang mengalami masalah solvabilitas. Penanganan Krisis pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama seperti pencegahan Krisis, namun penanganan Krisis dilakukan pada saat kondisi sistem keuangan dalam keadaan Krisis yang membahayakan Stabilitas Sistem Keuangan dan perekonomian nasional. Dalam rangka pelaksanaan JPSK, berdasarkan Perpu ini dibentuk
Komite
Stabilitas
Sistem
Keuangan
(KSSK)
yang
beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan
penanganan
Krisis
dalam
sistem
keuangan.
Sumber
pendanaan untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal dari dana APBN yang diberikan Pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau secara tunai. Untuk memberikan fleksibilitas agar Krisis dapat dicegah atau ditangani segera, penerbitan SBN dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang tentang Surat Berharga
79
Syariah Negara (SBSN). Dalam situasi ini, yang bertindak sebagai pembeli SBN di pasar primer adalah Bank Indonesia. Dalam rangka akuntabilitas, Menteri Keuangan melaporkan penerbitan SBN tersebut kepada DPR. Penggunaan dana APBN untuk pencegahan dan penanganan krisis harus mendapat persetujuan dari DPR. Perpu ini seharusnya tidak dapat berlaku lama karena penggunaan hak prerogatif Presiden di bidang legislasi ini harus dilakukan pengujian untuk dinilai tingkat kemendesakannya oleh DPR pada masa sidang berikutnya. DPR diberi kewenangan untuk menerima atau menolak Perpu. Dalam Rapat Paripurna tanggal 29 September 2009, Perpu ini tidak mendapatkan persetujuan DPR. Oleh karena itu Presiden perlu mengajukan RUU JPSK baru yang muatannya
disesuaikan
dengan
perkembangan
pengaturan
pemegang otoritas keuangan yang sudah berubah. B.
Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pengaturan dalam RUU JPSK memuat beberapa ketentuan
baru
dalam
memelihara Keuangan,
rangka dan
menyesuaikan
menangani
terutama
dalam
langkah-langkah
permasalahan hal
penetapan
Stabilitas Bank
dalam Sistem
SIB
dan
penanganan permasalahan Bank. Terkait penetapan Bank SIB, ketentuan di dalam UU ini akan mengatur mengenai penetapan secara periodik Bank SIB tanpa menunggu kondisi Tidak Normal (predetermined). Selain itu, UU JPSK juga mengadopsi mekanisme penanganan permasalahan Bank SIB, baik dengan mewajibkan Bank SIB untuk menyusun rencana pemulihan (recovery plan) resolusi Bank maupun pembiayaan (funding), berdasarkan best practice di beberapa negara di dunia.
80
Dalam kaitannya dengan undang-undang yang berlaku saat ini, UU JPSK disusun untuk mengatur hal-hal khusus (sebagai lex spesialis) dan untuk melengkapi hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang yang sudah ada. Selain itu, UU JPSK juga disusun
dengan
mempertimbangkan
peraturan
perundang-
undangan yang sudah ada untuk menjaga konsistensi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Berikut analisa beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan norma yang akan diatur dalam JPSK: 1. Terkait dengan Kecukupan Dana Penjaminan Simpanan UU LPS mengatur penjaminan simpanan nasabah bank yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani APBN atau risiko yang menimbulkan moral hazard. Penjaminan simpanan nasabah bank dilaksanakan oleh
LPS. Penjaminan
dilakukan
LPS
simpanan
bersifat
terbatas
nasabah tetapi
bank
dapat
yang
mencakup
sebanyak-banyaknya nasabah. LPS merupakan suatu lembaga independen, transparan, dan akuntabel yang memiliki fungsi (Pasal 4): 1. menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan 2. turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Dalam menjalankan fungsinya, LPS bertugas salah satunya melaksanakan penjaminan simpanan (Pasal 5). Penjaminan simpanan
nasabah
bank
adalah
penjaminan
yang
dilaksanakan oleh LPS atas simpanan nasabah bank (Pasal 1 angka 8). Mengenai sistem penjaminan simpanan nasabah bank yang terdiri dari aspek kepesertaan, simpanan yang dijamin, premi, pembayaran klaim penjaminan, diatur mulai
81
dari Pasal 8-20 UU LPS. Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Penjaminan simpanan nasabah bank diberikan terhadap simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 10). Nilai Simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 11 ayat (1)). Nilai yang dijamin diharapkan dapat melindungi seluruh simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan sebagian besar nasabah bank di Indonesia. Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia diwajibkan untuk menjadi peserta dan membayar premi penjaminan.
Dalam
hal
bank
tidak
dapat
melanjutkan
usahanya dan harus dicabut izin usahanya, LPS akan membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Likuidasi ini merupakan tindak lanjut dalam penyelesaian bank yang mengalami kesulitan keuangan. Penghitungan premi dilakukan sendiri oleh bank (Pasal 14 ayat (1)). LPS dapat melakukan verifikasi
atas
perhitungan
premi
tersebut.
Bank
dapat
dikelompokkan dalam beberapa kelompok dengan masingmasing kelompok memiliki skala risiko kegagalan yang relatif sama. Pembedaan tingkat premi dilakukan berdasarkan skala risiko kegagalan untuk setiap kelompok tersebut. Misalnya tingkat premi untuk kelompok bank dengan skala risiko kegagalan terendah adalah 0,1%, maka tingkat premi untuk
82
kelompok bank dengan skala risiko kegagalan tertinggi tidak dapat ditetapkan melebihi 0,6%. Jika LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas atau modal dan cadangan penjaminan tidak cukup untuk membiayai penanganan Bank Gagal, LPS dimungkinkan untuk mendapat bantuan dana termasuk tambahan modal sesuai dengan keputusan Komite Koordinasi. 2. Terkait
Dengan
Fungsi,
Tugas,
Dan
Wewenang
Komite
Koordinasi Menurut Pasal 1 angka 9, Komite Koordinasi adalah komite yang beranggotakan Menteri Keuangan, Lembaga Pengawas Perbankan (LPP), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang memutuskan kebijakan penyelesaian dan penanganan suatu Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik. Ruang lingkup kerja LPS adalah pada penanganan Bank Gagal baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik. Sebelum dinyatakan Bank Gagal, LPS menerima pemberitahuan dari LPP mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. LPS
melakukan
penyelesaian
Bank
Gagal
baik
yang
berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik setelah
LPP
atau
Komite
Koordinasi
menyerahkan
penyelesaiannya kepada LPS. Apabila kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya tingkat solvabilitas bank, tindakan penyelesaian dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan ini, penyelesaian dan penanganan Bank Gagal diserahkan
83
kepada LPS yang akan bekerja setelah terlebih dahulu dipertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha bank terhadap perekonomian nasional. Dalam hal pencabutan izin usaha bank diperkirakan memiliki dampak terhadap perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan LPS yang didasarkan pada Keputusan Komite Koordinasi. Akan tetapi sejak UU OJK diundangkan, maka fungsi, tugas, dan wewenang Komite Koordinasi dilaksanakan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) (Pasal 69 ayat (3) UU OJK). Dengan adanya JPSK,
fungsi, tugas, dan
wewenang Komite Koordinasi dilaksanakan oleh KSSK. Selanjutnya,
Ketentuan
mengenai
protokol
koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 berlaku
sampai
dengan
diundangkannya
undang-undang
mengenai jaring pengaman sistem keuangan. 3. Terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, salah satunya mengatur tentang protokol koordinasi. Menurut Pasal 44 UU OJK, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota terdiri atas: a. Menteri
Keuangan
selaku
anggota
merangkap
koordinator; b. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota; c. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan d. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menurut Pasal 1 angka 25,
adalah forum koordinasi yang dibentuk
84
untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan
Komisioner
Lembaga
Penjamin
Simpanan
selaku
anggota, dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota. Dalam kondisi normal, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (Pasal 45 ayat (1)): a. wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan; b. melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan; c. membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan
tindakan
dan/atau
membuat
kebijakan
dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan d. melakukan pertukaran informasi. Dalam
kondisi
penanganan
tidak
krisis,
normal
Menteri
untuk
Keuangan,
pencegahan Gubernur
dan Bank
Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan
Komisioner
Lembaga
Penjamin
Simpanan
yang
mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan
rapat
guna
memutuskan
langkah-langkah
pencegahan atau penanganan krisis (Pasal 45 ayat (2). Menteri Keuangan,
Gubernur
Bank
Indonesia,
Ketua
Dewan
Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan Forum Koordinasi
85
Stabilitas Sistem Keuangan, dalam kondisi tidak normal (Pasal 45 ayat (3). Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing (Pasal 45 ayat (4). Keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu
bank
gagal
yang
ditengarai
berdampak
sistemik
mengikat Lembaga Penjamin Simpanan (Pasal 45 ayat (5). Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 46). Selanjutnya,
Ketentuan
mengenai
protokol
koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 berlaku
sampai
dengan
diundangkannya
undang-undang
mengenai jaring pengaman sistem keuangan FKSSK diganti menjadi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui aturan JPSK. Perubahan Forum Koordinasi menjadi Komite dikarenakan istilah “forum” dinilai kurang memadai karena dapat diartikan hanya sebagai wadah untuk berkoordinasi tanpa memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menetapkan suatu produk hukum. “komite” dinilai lebih tepat karena merupakan lembaga yang lebih formal dan dapat menetapkan suatu produk hukum. 4. Konsepsi “Keadaan Darurat” UU Keuangan Negara tidak mengenal “kondisi tidak normal” melainkan “keadaan darurat”. Istilah “keadaan darurat” dapat terlihat di UU Keuangan Negara maupun UU APBN 2015. Menurut Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam keadaan darurat Pemerintah dapat
86
melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Menurut UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN tahun Anggaran 2015 Pasal 30, menyatakan bahwa keadaan darurat apabila terjadi hal hal sebagai berikut: a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya yang menyebabkan turunnya pendapatan negara, dan/atau meningkat nya belanja negara secara signifikan b. kondisi sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional; dan/atau c. kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara signifikan. Pemilihan untuk tidak menggunaan terminologi darurat” respon
“keadaan
dalam pengaturan JPSK adalah agar tidak terjadi pasar
yang
unpredictable.
menggunakan terminologi
Ditakutkan
kalau
“keadaan darurat” justru akan
memperburuk keadaan. Pemilihan istilah “tidak normal” lebih general, yang di dalamnya ada keadaan “krisis” maupun “darurat”. 5. Terkait dengan Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah dengan persetujuan DPR jika terjadi keadaan darurat Menurut Pasal 30 ayat (1) angka 6 UU APBN Tahun Anggaran
2015,
Pemerintah
dengan
persetujuan
Dewan
Perwakilan Rakyat dapat melakukan langkah-langkah antara lain
melakukan
pemberian
pinjaman
kepada
Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas.
Dalam
keadaan
darurat,
Pemerintah
dapat
87
melakukan penarikan pinjaman siaga yang berasal dari kreditur bilateral dan multilateral sebagai alternatif sumber pembiayaan
dalam
hal
kondisi
pasar
tidak
mendukung
penerbitan SBN (Pasal 30 ayat (2) UU APBN Tahun Anggaran 2015). Pasal 24 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: mengatur bahwa Pemerintah hanya dapat memberikan penyertaan modal kepada perusahaan swasta
yang
memenuhi
kondisi
tertentu
dalam
rangka
penyelamatan perekonomian nasional. Kemudian dalam Pasal 33
ayat
(1)
Undang-Undang
No.1
Tahun
2004
tentang
Perbendaharaan Negara, mengatur bahwa Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undangundang
tentang
APBN.
Dalam
hal
LPS
mengalami
permasalahan likuiditas atau modal LPS kurang dari modal awal
yang
melakukan
ditetapkan pemberian
Pemerintah, pinjaman
atau
Pemerintah
perlu
penyertaan
modal
kepada LPS. Namun demikian, ketentuan di dalam kedua Undang-Undang
tersebut
tidak
memungkinkan
adanya
mekanisme tersebut. Oleh karena itu, dalam UU JPSK perlu diatur
suatu
ketentuan
yang
mengecualikan
pemberian
pinjaman atau penyertaan modal Pemerintah kepada LPS dari ketentuan mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh Pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004. Dalam UU yang menjadi dasar penetapan APBN setiap tahunnya terdapat ketentuan yang mengatur bahwa dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberikan pinjaman
88
kepada LPS apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas. Namun demikian, UU tentang APBN hanya berlaku pada tahun anggaran berjalan sesuai dengan masa berlaku UU tersebut, yaitu 1 (satu) periode anggaran atau 1 (satu) tahun. Dalam hal ini terdapat kemungkinan bahwa ketentuan tersebut tidak dituangkan kembali di dalam UU APBN tahun anggaran berikutnya. Selain itu, Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan kepada Bank Indonesia yang dapat terealisasi dalam bentuk penerbitan SBN. Penerbitan SBN tersebut akan dianggarkan dalam UU APBN. Oleh karena itu,
UU
JPSK
akan
mengakomodir
ketentuan-ketentuan
tersebut. Langkah-langkah lain yang dilakukan Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal kondisi sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan
perannya
secara efektif dalam perekonomian nasional maka
langkah-
langkah untuk mengatasi keadaan kondisi keuangan tersebut dilaksanakan berdasarkan hasil koordinasi antara Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia
(BI), Ketua
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner LPS dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai OJK (Pasal 30 ayat (4) UU UU APBN Tahun Anggaran 2015). 6. Persero yang Sahamnya Dimiliki Negara Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), menyatakan bahwa persyaratan pendirian perseroan adalah oleh dua orang atau lebih. Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua)
89
orang atau lebih tidak berlaku bagi Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara (Pasal 7 ayat (7) UU PT)) Dalam hal dilakukan pendirian Bank baru sebagai Bank perantara oleh LPS yang akan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB, LPS akan menghadapi kesulitan dalam mencari partner kepemilikan sahamnya. Di samping itu, proses pembentukannya harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari potensi bank run. Dengan demikian, ketentuan kepemilikan tunggal Bank baru
dimaksud
perlu
dibuka
kemungkinannya
melalui
pengaturan dalam UU JPSK. Dalam rangka menangani Bank SIB yang bermasalah secara cepat dan menjaga pelayanan kepada nasabah dari Bank yang diselamatkan
agar
tidak
terganggu,
dibutuhkan
penyederhanaan perizinan Bank, sehingga tidak mengikuti ketentuan atau dikecualikan sebagaimana diatur dalam UU PT. 7. Terkait dengan Pembentukan Badan Khusus dalam Rangka Penyehatan Perbankan Dalam pasal 37A UU Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang
Perbankan
diatur
mengenai
ketentuan
pembentukan badan khusus yang memiliki wewenang untuk melakukan
upaya
membahayakan
penyehatan
terhadap
perekonomian
nasional.
perbankan Badan
yang
khusus
tersebut melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan
dimaksud.
Badan
wewenang antara lain:
khusus
tersebut
mempunyai
90
a. mengambil
alih
dan
menjalankan
segala
hak
dan
wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham ; b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris bank; c. menguasai,
mengelola
dan
melakukan
tindakan
kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri; d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga,
yang
menurut
pertimbangan
badan
khusus
bank,
Direksi,
merugikan bank ; e. menjual
atau
mengalihkan
kekayaan
Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum; f. menjual
atau
mengalihkan
tagihan
bank
dan
atau
menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur; g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen bank kepada pihak lain; h. melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank; i. melakukan penagihan piutang bank yang sudah past i dengan penerbitan Surat Paksa; j. melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh
91
pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang; k. melakukan
penelitian
dan
pemeriksaan
untuk
memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui
kegiatan
yang
merugikan
bank
dalam
program penyehatan tersebut; l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan; m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan; n. melakukan menunjang
tindakan
lain
pelaksanaan
yang
diperlukan
wewenang
untuk
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m. Apabila KSSK dibentuk oleh UU JPSK, maka KSSK yang akan
menilai
terdapat
permasalahan
perbankan
yang
membahayakan perekonomian nasional. KSSK pula yang akan memutuskan
untuk
mengaktifkan
Badan
Restrukturisasi
Perbankan (BRP). Untuk itu, UU JPSK akan mengakomodir ketentuan mengenai hal tersebut. 8. Terkait Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) Menurut UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 11 menyatakan
bahwa
Dalam
hal
suatu
Bank
mengalami
92
kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank
Indonesia
darurat
yang
dapat
memberikan
pendanaannya
menjadi
fasilitas
pembiayaan
beban
Pemerintah.
Namun demikian, pendanaan oleh Pemerintah kurang sesuai dengan konsep LoLR dimana BI seharusnya menjadi penyedia dana dalam waktu singkat. Di samping itu, pendanaan oleh Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sehingga membuka peluang munculnya moral hazard dan bank run. Oleh karena itu perlu diatur ketentuan mengenai pendanaan oleh BI dengan jaminan Pemerintah untuk Bank yang mengalami kesulitan
likuiditas
namun
masih
memenuhi
ketentuan
solvabilitas. 9. Terkait dengan Penerbitan SUN/SBN Terkait dengan penerbitan Surat Utang Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, bahwa SUN ditujukan yaitu, membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran, dan mengelola portofolio utang Negara. Kewenangan menerbitkan Surat Utang Negara menurut Undang-Undang tersebut, ada pada Pemerintah, yang dilaksanakan oleh Menteri. Pemerintah dalam hal ini Menteri apabila akan menerbitkan Surat Utang Negara terlebih dahulu berkonsultasi
dengan
Bank
Indonesia.
Dengan
adanya
masukan dari Bank Indonesia didalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah, agar dalam penerbitannya surat utang Negara dapat
dilakukan
persyaratan
yang
tepat dapat
waktu,
dan
diterima
dilakukan oleh
pasar,
dengan serta
93
menguntungkan pemerintah. Penggunaan dan pengelolaan surat utang Negara yang baik, dapat mengurangi kerugian Negara yang ditimbulkan oleh berbagai resiko keuangan. Sesuai dengan tujuan penerbitan surat utang Negara menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, diketahui bahwa didalam Undang-Undang Surat Utang Negara, tidak mengenal kondisi tidak normal. Sehingga kewenangan mengenai penerbitan Surat Utang Negara ada pada pemerintah, dalam hal ini Menteri, dan penerbitannya pun telah ditentukan secara eksplisit di dalam Undangundang. Sedangkan, dalam mengenai penanganan kondisi tidak normal, dan / atau penanganan bank SIB, tidak diatur oleh
UU
SUN,
yang
mengakibatkan
dimungkinkannya
penerbitan SBN/ surat utang Negara selain yang diterbitkan oleh menteri dalam hal ini keadaan yang mempengaruhi status stabilitas system keuangan. Untuk mengakomodasi hal ini, dalam UU JPSK diatur mengenai
pengecualian
atas
penerbitan
SBN
untuk
penanganan permasalahan Bank dari tujuan penerbitan SUN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2002. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Ketentuan di dalam Pasal 4 UU ini membatasi penerbitan SBSN hanya untuk membiayai APBN termasuk membiayai pembangunan proyek, sehingga
tidak
memungkinkan
bagi
Pemerintah
untuk
menerbitkan SBN sebagai upaya penanganan permasalahan Bank.
Oleh
mengenai
karena
itu,
pengecualian
UU atas
JPSK
mengatur
penerbitan
ketentuan
SBN
untuk
penanganan permasalahan Bank dari tujuan penerbitan SBSN
94
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2008. Substansi yang akan diatur dalam UU JPSK memiliki keterkaitan dengan beberapa undang-undang sistem keuangan dan keuangan negara. Oleh karena itu untuk menyamakan persepsi dan menghindari penafsiran yang berbeda, maka dalam UU JPSK digunakan terminologi yang sama dengan undang-undang sebagaimana tersebut di atas, dengan tetap memperhatikan
ketentuan
yang
diatur
dalam
beberapa
undang-undang tersebut. UU JPSK memuat beberapa pengaturan, baik yang belum diatur maupun yang sudah diatur, namun perlu disesuaikan. Oleh karena itu, terdapat beberapa ketentuan dalam UU JPSK yang akan menggantikan (over rule) dan/atau menambahkan beberapa ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang yang ada saat ini. Hal tersebut diperlukan mengingat langkahlangkah pengambilan keputusan yang cepat dan tepat dalam Kondisi Tidak Normal belum diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang ada saat ini. 10. Terkait Pertukaran Data dan Informasi Prinsip keterbukaan informasi kepada publik diatur oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada prinsipnya, hak setiap warga negara untuk mengetahui rencana,
proses,
serta
alasan
pengambilan
keputusan
kebijakan publik dijamin oleh UU. Hal tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan dan efektif. Namun demikian, dalam keadaan tidak normal dan/atau bank SIB, pertukaran data dan informasi antar anggota KSSK tidak boleh ada yang dirahasiakan mengingat tugas
KSSK
adalah
memelihara
SSK
dan
menangani
95
permasalahannya. Di sisi lain, badan publik diberikan diskresi untuk
merahasiakan
informasi
kepada
publik.
Namun,
berdasarkan prinsip keterbukaan informasi publik, KSSK harus
memberikan
keputusan
KSSK
informasi
dalam
kepada
rangka
publik
pelaksanaan
mengenai tugas
dan
wewenangnya. KSSK juga diberikan diskresi untuk dapat menetapkan jenis dan tata cara pemberian akses informasi kepada publik.
96
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A.
Landasan Filosofis Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945,
diperlukan
berkelanjutan.
pembangunan
Salah
satu
wujud
ekonomi
nasional
nyatanya
adalah
yang dengan
menciptakan perekonomian yang stabil dan tangguh. Hal ini dapat terwujud salah satunya melalui Stabilitas Sistem Keuangan. Namun demikian, perkembangan saat ini membawa sistem keuangan Indonesia pada kondisi yang semakin rentan terhadap risiko yang bersumber baik dari global maupun domestik. Lebih lanjut, sumber risiko domestik dapat berasal dari sektor keuangan sendiri maupun sektor lain yang memiliki keterkaitan. Untuk mengantisipasi ancaman risiko global terhadap sistem
perekonomian
nasional
diperlukan
adanya
kepastian
hukum, perlindungan terhadap masyarakat, peraturan yang sesuai dengan international best practice, lembaga/otoritas yang berfungsi
dengan
baik
serta
mempunyai
kewenangan
yang
memadai untuk menjaga kestabilan sistem keuangan. JPSK
diselenggarakan
untuk
memelihara
SSK
dan
menangani permasalahan yang timbul dalam rangka menjalankan amanat yang lebih luas sesuai dengan ketentuan Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang
Dasar
1945
(UUD
1945)
yaitu
menjaga
keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan mempertimbangkan amanat tersebut maka KSSK sebagai unit organisasi
diberi
kewenangan
mengambil
keputusan
keauangan
dan
khusus
strategis
mengatasi
untuk
dalam
permasalahan
dapat
segera
menangani
sistem
Bank
SIB
dalam
97
Keadaan Tidak Normal. Ketentuan tersebut dapat memberikan perlindungan
hukum
lembaga/otoritas
sekaligus
mengingat
keyakinan peran
kepada
masing-masing
lembaga/otoritas dilaksanakan sebagai bagian dari pelaksanaan tugas pemerintahan yang sangat penting dan berdampak luas. Dengan adanya UU JPSK, diharapkan terwujud mekanisme pengamanan sistem keuangan nasional untuk memelihara SSK dan menangani permasalahannya. Pada akhirnya, pembangunan ekonomi Indonesia yang stabil, berkesinambungan, dan efektif dapat terwujud. B.
Landasan Sosiologis Stabilitas Sistem Keuangan merupakan faktor yang sangat
penting dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan. Dalam Kondisi Tidak Normal akan timbul kepanikan di tengah masyarakat. Dalam kondisi tersebut Bank mengalami masalah kesulitan likuiditas, sehingga kepercayaan publik terhadap Bank akan berkurang, bahkan akan memicu penarikan dana besar-besaran (bank run) oleh masyarakat. Apabila tidak ada langkah penanganan yang diambil oleh Pemerintah ataupun terdapat kesalahan penanganan dalam upaya untuk
menyelamatkan
Bank
tersebut,
maka
kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional akan semakin menurun. Pada akhirnya, hal ini akan mengganggu perekonomian nasional. Oleh karena itu penanganan sistem keuangan dalam menghadapi Kondisi Tidak Normal menjadi tanggung jawab Pemerintah,
lembaga/otoritas
di
sektor
keuangan,
pelaku
ekonomi, dan masyarakat pengguna sistem keuangan. Tanggung jawab bersama tersebut dapat meringankan tugas Pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, sehingga dapat mewujudkan
98
perekonomian nasional yang tumbuh secara berkelanjutan. Untuk tidak menimbulkan lembaga/otoritas
dispute atas keputusan yang diambil oleh
yang
menangani
penyelesaian
Bank
SIB,
dilakukan mekanisme pengambilan keputusan yang jelas dan akurat. C.
Landasan Yuridis Perlunya
pembentukan
UU
JPSK
dalam
rangka
melaksanakan perintah Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang menyatakan bahwa “Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri” dan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai protokol koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai jaring pengaman sistem keuangan”. UU JPSK akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi lembaga/otoritas
dalam
upaya
menjaga
dan
menciptakan
stabilisasi sistem keuangan. Seiring dengan kebutuhan dan perkembangan, materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja mengatur hal-hal seperti yang diperintahkan oleh UndangUndang tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, tetapi mencakup pula Asas dan Tujuan, Penyelenggaraan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, Penanganan Permasalahan Bank, Insentif Dan/Atau
Fasilitas
Dalam
Rangka
Penanganan
Bank
SIB,
99
Pendanaan, Pertukaran Data Dan Informasi, serta Akuntabilitas dan Pelaporan. Dengan demikian, UU JPSK dimaksudkan untuk mengisi kekurangan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, dengan menetapkan ketentuan mengenai: 1.
Peningkatan koordinasi antara lembaga/otoritas yang terkait dengan pengelolaan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia;
2.
Peningkatan kualitas regulasi tentang penanganan sistem keuangan dalam Kondisi Tidak Normal;
3.
Penyusunan dasar hukum yang lebih kuat kepada regulator dalam
membuat
kebijakan
penanganan
Kondisi
Tidak
Normal; dan 4.
Peningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, khususnya sektor perbankan.
100
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A.
Sasaran Hal atau keadaan yang ingin dicapai dengan membentuk
Undang-Undang JPSK adalah: 1. Tersusunnya
pengaturan
yang
menyelenggarakan
sistem
pengamanan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya yang disusun dalam Jaring Pengaman Sistem Keuangan. 2. Terciptanya kepastian hukum bagi lembaga/otoritas dalam melakukan koordinasi dan menetapkan suatu kebijakan dalam rangka
pemantauan
dan
pemeliharaan
Stabilitas
Sistem
Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan terhadap Bank SIB. B.
Jangkauan dan Arah Pengaturan
1. Mengatur
pemeliharaan
penanganan
stabilitas
permasalahan
sistem
yang
keuangan
dan
penyelenggaraannya
berlandaskan kepada asas kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas, dan kepastian hukum. 2. Mengingat pentingnya sektor perbankan dalam kaitannya dengan sektor keuangan maka upaya menciptakan sistem keuangan yang sehat dan stabil saat ini difokuskan pada sektor perbankan.
Upaya
tersebut
harus
dilakukan
dengan
mekanisme koordinasi yang jelas dalam rangka pengambilan kebijakan dan penetapan langkah-langkah yang diperlukan untuk pemeliharaan dan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.
Tim
2015 2015
101
3. Mengatur mekanisme koordinasi dalam rangka menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan yang dilakukan secara terpadu dan efektif. 4. Jaring Pengaman Sistem Keuangan negara difokuskan pada tiga hal, yaitu (i) koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, (ii) penanganan Kondisi Tidak Normal, serta (iii) penanganan permasalahan Bank SIB, baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak Normal. 5. Jaring Pengaman Sistem Keuangan negara pada dasarnya hanya
memuat
pengaturan
mengenai
penanganan
permasalahan Bank SIB yang tidak dapat ditangani oleh otoritas secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Sedangkan untuk Bank yang tidak termasuk
dalam Bank SIB, penanganan permasalahan Bank tersebut dilaksanakan oleh otoritas sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam undang-undang terkait. Meskipun demikian, dalam Kondisi Tidak Normal dan terdapat permasalahan perbankan yang masif dan membahayakan perekonomian nasional, KSSK dapat mengaktifkan Badan Restrukturisasi Perbankan untuk penyehatan Bank SIB maupun yang bukan Bank SIB. C.
Ruang Lingkup Materi Muatan 1. Ketentuan Umum Ketentuan Umum yang berisi pengertian istilah atau frasa yang meliputi: a. Jaring
Pengaman
Sistem
Keuangan
adalah
sistem
pengamanan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya.
102
b. Sistem Keuangan adalah sistem yang terdiri dari lembaga keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi
pengumpulan
pengalokasiannya
dana
untuk
masyarakat
mendukung
dan
aktivitas
perekonomian nasional. c. Stabilitas
Sistem
Keuangan
adalah
kondisi
Sistem
Keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan/atau luar negeri. d. Kondisi Tidak Normal adalah kondisi Sistem Keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dan
efisien,
yang
ditunjukkan
dengan
memburuknya
berbagai indikator ekonomi dan keuangan. e. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah. f. Systemically Important Bank, yang selanjutnya disebut Bank SIB, adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau
keseluruhan
bank-bank
lain
atau
sektor
jasa
keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. g. Pinjaman Likuiditas Khusus, yang selanjutnya disingkat PLK, adalah pinjaman likuiditas atau pembiayaan likuiditas berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank SIB yang masih memenuhi ketentuan solvabilitas namun mengalami kesulitan likuiditas dan pemberian
103
pinjaman
atau
pembiayaan
likuiditas
jangka
pendek
diperkirakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas dimaksud. h. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disingkat SBN, adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. i. Bank Perantara adalah bank yang didirikan oleh LPS untuk digunakan
sebagai
saran
resolusi
dengan
menerima
pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani LPS dan selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan dalam jangka waktu tertentu akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain. j. Badan Restrukturisasi Perbankan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menangani permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional. k. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia. l. Otoritas Jasa Keuangan adalah otoritas jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. m. Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. n. Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. o. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.
104
2. Ruang Lingkup Materi a) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) Penyelenggaraan JPSK Di dalam RUU JPSK perlu dituangkan secara jelas menganai
tujuan
diterapkannya
JPSK
yaitu
untuk
memelihara stabilitas sistem keuangan dan menangani permasalahannya.
Selanjutnya,
di
dalam
penyelenggaraannya JPSK harus berlandaskan pada asasasas yang dapat menjamin bahwa JPSK dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat luas yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh Pemerintah, BI, OJK, dan LPS. Di dalam penyelenggaraan JPSK oleh lembaga/otoritas tersebut perlu diperhatikan prinsip-prinsip keselarasan dan koordinasi antara satu lembaga/otoritas satu dengan yang lain secara efektif. Selanjutnya, adanya kepastian
hukum
diwujudkan
dalam
untuk
penyelenggaraan
menjadi
dasar
dalam
JPSK
perlu
pengambilan
kebijakan yang dilakukan oleh lembaga/otoritas terkait. Penyelenggaraan
Jaring
Pengaman
Sistem
Keuangan
meliputi: a. koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan; b. penanganan Kondisi Tidak Normal; dan c. penanganan
permasalahan
Bank
SIB,
baik
dalam
kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak Normal.
105
b) Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Pembentukan KSSK Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini dan mengacu pada standar praktik yang telah diterapkan di berbagai
negara,
pengambilan kerangka
diperlukan
kebijakan
koordinasi
adanya
antar
yang
langkah-langkah
lembaga/otoritas
efektif,
dalam
transparan,
serta
akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas dalam suatu komite yang ditetapkan dengan undang-undang. Mekanisme
koordinasi
antar
lembaga/otoritas
tersebut dapat diwujudkan melalui pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, Ketua Dewan Komisioner LPS. Dalam hal ini Menteri Keuangan akan bertindak sebagai koordinator merangkap anggota. Setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya. Komite
Stabilitas
Jaring
Pengaman
Sistem
Keuangan
Sistem
Keuangan
menyelenggarakan dalam
rangka
melaksanakan kepentingan negara di bidang perekonomian. Tugas dan Kewenangan KSSK Komite Stabilitas Sistem Keuangan mengemban tugas untuk: a. melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan; dan b. melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang diakibatkan oleh Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank SIB.
106
Dalam
rangka
menyelenggarakan
memelihara stabilitas sistem keuangan permasalahannya,
KSSK
perlu
JPSK
untuk
dan menangani
memiliki
beberapa
kewenangan. Sebagai contoh, untuk dapat menentukan status Stabilitas Sistem Keuangan, KSSK perlu mempunyai wewenang untuk memperoleh hasil penilaian kondisi SSK dari masing-masing anggota KSSK terlebih dahulu. Hasil penilaian tersebut juga perlu dilengkapi dengan data dan informasi pendukung, serta kerangka kerja penilaian yang digunakan oleh masing-masing anggota. Lebih lanjut, untuk menetapkan langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, KSSK juga perlu memperoleh rekomendasi dari masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah penanganan
dimaksud.
KSSK
juga
berwenang
untuk
memperoleh daftar Bank SIB terkini dari OJK, baik secara berkala atau atau sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara rinci, KSSK berwenang untuk: a. menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan; b. menetapkan langkah penanganan Kondisi Tidak Normal; c. menetapkan langkah penanganan permasalahan Bank SIB yang tidak dapat lagi ditangani oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya; d. memberi
persetujuan
pemberian
PLK
dari
Bank
Indonesia kepada Bank SIB; e. menyerahkan
penanganan
permasalahan
solvabilitas
Bank SIB kepada Lembaga Penjamin Simpanan; f.
menetapkan keputusan mengenai pembelian SBN yang dimiliki
Lembaga
Penjamin
Simpanan
Indonesia untuk penanganan Bank SIB;
oleh
Bank
107
g. menetapkan keputusan mengenai pembelian SBN di pasar perdana oleh Bank Indonesia untuk penanganan Kondisi
Tidak
Normal
dan/atau
penanganan
permasalahan Bank SIB; h. menetapkan keputusan mengenai tata kelola KSSK dan sekretariat KSSK. i.
meminta
hasil
penilaian
kondisi
Stabilitas
Sistem
Keuangan dari masing-masing anggota KSSK, beserta data dan informasi pendukungnya; j.
meminta informasi mengenai kerangka kerja penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang digunakan oleh masing-masing anggota KSSK;
k. meminta daftar Bank SIB terkini dari Otorias Jasa Keuangan secara berkala atau sewaktu-waktu; l.
meminta rekomendasi dari masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh Menteri
Keuangan,
Bank
Indonesia,
Otoritas
Jasa
Keuangan, dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan; m. meminta informasi dari Lembaga Penjamin Simpanan mengenai perkembangan penanganan Bank SIB; n. meminta laporan dari Lembaga Penjamin Simpanan mengenai pengelolaan Badan Restrukturisasi Perbankan; Kesekretariatan dan Alat Kelengkapan KSSK Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KSSK dibantu oleh sekretariat KSSK yang dipimpin oleh sekretaris KSSK. Sekretariat KSSK berada di lingkungan Kementerian Keuangan.
Sekretaris
KSSK
merupakan
pejabat
di
lingkungan Kementerian Keuangan yang ditugaskan oleh Menteri Keuangan. Anggaran sekretariat KSSK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sekretariat
108
KSSK dapat menyelenggarakan rapat yang dihadiri oleh pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mempersiapkan pelaksanaan rapat KSSK. Organisasi dan tata
kerja
Sekretariat
KSSK
ditetapkan
oleh
Menteri
Keuangan. Apabila diperlukan, KSSK dapat membentuk gugus tugas atau kelompok kerja untuk membantu pelaksanaan tugas KSSK. Gugus tugas atau kelompok kerja, dibentuk untuk melaksanakan tugas khusus, misalnya membangun kerangka atau pedoman analisis dan melakukan kajian hukum.
KSSK
dapat
meminta
informasi,
pendapat,
dan/atau masukan dari pihak lain yang diperlukan dalam pelaksanaan tugasnya. Pihak lain yang dapat diminta informasi, pendapat, dan/atau masukan, misalnya menteri yang membidangi hukum, aparat penegak hukum, dan ahli dalam bidang ekonomi atau perbankan. Tata Cara Pengambilan Keputusan Dalam rangka mewujudkan tujuan JPSK, yaitu untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dan menangani permasalahannya, maka perlu diatur suatu ketentuan mengenai tata cara pengambilan keputusan yang diadakan oleh KSSK. Pengambilan keputusan KSSK dilakukan dalam rapat KSSK. Rapat KSSK dihadiri oleh seluruh anggota KSSK dan dipimpin oleh koordinator KSSK. Dalam hal anggota KSSK berhalangan hadir secara fisik pada waktu dan tempat rapat yang telah ditentukan, rapat KSSK dapat diselenggarakan melalui sarana komunikasi elektronik yang memungkinkan anggota KSSK saling melihat dan/atau mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam
109
rapat. Pelaksanaan rapat KSSK harus didokumentasikan baik secara tertulis dan/atau secara elektronik. secara utuh mulai
dari
awal
sampai
Pendokumentasian
dengan
dilakukan
berakhirnya
secara
tertulis
rapat.
dan/atau
secara elektronik. Dalam hal anggota KSSK berhalangan sementara atau tetap, anggota KSSK yang bersangkutan diwakili oleh pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “pejabat pengganti adalah termasuk pejabat sementara, atau istilah
lainnya
sesuai
perundang-undangan. berhalangan
dengan
Namun,
sementara
atau
ketentuan
peraturan
jika
koordinator
KSSK
tetap,
koordinator
KSSK
diwakili oleh pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rapat KSSK dinyatakan sah dan dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh seluruh anggota KSSK atau diwakili oleh pejabat pengganti. Kehadiran anggota KSSK sebagaimana dimaksud berupa kehadiran secara fisik maupun kehadiran melalui sarana komunikasi elektronik. Pengambilan keputusan dalam rapat KSSK dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal tidak tercapai mufakat, usulan keputusan yang diajukan oleh anggota KSSK dinyatakan ditolak dan pendapat akhir masing-masing anggota KSSK didokumentasikan. Usulan keputusan yang diajukan oleh anggota KSSK dapat diajukan kembali oleh anggota KSSK yang bersangkutan paling banyak 1 (satu) kali. Keputusan rapat KSSK mengenai penetapan
Kondisi
Tidak
Normal,
langkah-langkah
penanganan Kondisi Tidak Normal, dan/atau langkahlangkah penanganan permasalahan Bank SIB dilaporkan
110
oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak penetapan Kondisi Tidak Normal. Penyampaian laporan dilakukan secara tertulis
atau
melalui
sarana
elektronik.
Penyampaian
laporan harus ditatausahakan dengan baik dan lengkap. Yang
dimaksud
dengan
“baik
dan
lengkap”
adalah
penatausahaan dokumentasi yang dilakukan memenuhi tata cara
dan
kaidah
yang
berlaku.
Setiap
keputusan
ditandatangani oleh seluruh anggota KSSK. Dalam hal rapat diselenggarakan
melalui
anggota
yang
KSSK
sarana
komunikasi
berhalangan
hadir
elektronik,
secara
fisik
menunjuk pejabat yang mewakilinya untuk menandatangani keputusan rapat KSSK. c)
Pemantauan dan Pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan Anggota
KSSK
melakukan
pemantauan
dan
pemeliharaan stabilitas sistem keuangan sesuai dengan tugas
dan
wewenang
masing-masing
anggota
KSSK.
Pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan merupakan bagian dari protokol manajemen krisis masingmasing anggota KSSK. Dalam
rangka
pemantauan
dan
pemeliharaan
stabilitas sistem keuangan, KSSK menyelenggarakan rapat KSSK secara berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu atas permintaan anggota KSSK. Anggota KSSK menyampaikan hasil pemantauan dan pemeliharaan baik secara berkala maupun sewaktu-waktu dalam rapat KSSK.
111
d) Penanganan
Permasalahan
Stabilitas
Sistem
Keuangan Anggota KSSK dapat meminta penyelenggaraan rapat KSSK
kepada
Koordinator
KSSK
apabila
protokol
manajemen krisis yang dimilikinya mengindikasikan adanya Kondisi Tidak Normal pada bidang yang menjadi tanggung jawabnya yang dapat mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan. Permintaan penyelenggaraan rapat KSSK disertai dengan hasil penilaian protokol manajemen krisis anggota KSSK yang bersangkutan yang mengindikasikan adanya Kondisi Tidak Normal pada bidang yang menjadi tanggung jawabnya yang dapat mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam rapat KSSK, anggota KSSK memberikan informasi sebagai berikiut: 1. Bank Indonesia menyampaikan: a. penilaian
kondisi
moneter,
makroprudensial,
dan
sistem pembayaran yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan; dan b. rekomendasi
langkah-langkah
penanganan
permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan
sistem
pembayaran
yang
mempengaruhi
Stabilitas Sistem Keuangan. 2. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan: a. penilaian kondisi lembaga jasa keuangan dan pasar modal
yang
mempengaruhi
stabilitas
sistem
keuangan; b. data Bank SIB dalam status bank dalam pengawasan khusus; dan c. rekomendasi langkah-langkah penanganan kondisi lembaga
jasa
keuangan
dan
pasar
modal
yang
112
mempengaruhi
stabilitas
sistem
keuangan
serta
penanganan Bank SIB dalam status Bank dalam pengawasan khusus. Yang
dimaksud
dengan
“bank
dalam
pengawasan
khusus” adalah status pengawasan terhadap bank yang dinilai oleh Otoritas Jasa Keuangan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. 3. Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan: a. penilaian simpanan
kondisi yang
kecukupan
dana
mempengaruhi
penjaminan
Stabilitas
Sistem
penanganan
untuk
Keuangan; dan b. rekomendasi
langkah-langkah
memenuhi kecukupan dana penjaminan simpanan. 4. Menteri Keuangan menyampaikan: a. penilaian kondisi kesinambungan fiskal dan pasar SBN yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan; dan b. rekomendasi langkah-langkah penanganan kondisi kesinambungan
fiskal
dan
pasar
SBN
yang
mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan. Rapat KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi normal atau tidak normal. Penetapan status Stabilitas
Sistem
Keuangan
didasarkan
pada
data,
informasi, kerangka penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan, dan pertimbangan dari seluruh anggota KSSK, termasuk pertimbangan profesional masing-masing anggota KSSK. Yang dimaksud dengan “pertimbangan profesional (professional judgement)” adalah suatu proses pragmatik melalui
faktor-faktor
berupa
pengalaman,
pembenaran
113
terhadap tindakan, merespon terhadap motivasi dari luar, dan belajar dari kesalahan. Dalam hal KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan
dalam
Kondisi
mempertimbangkan
Tidak
rekomendasi
Normal,
dari
dengan
masing-masing
anggota KSSK, KSSK menetapkan langkah-langkah dalam rangka: a. penanganan
permasalahan
makroprudensial,
dan
di
sistem
bidang
moneter,
pembayaran
yang
mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan; b. penanganan
Bank
SIB
dalam
status
Bank
dalam
pengawasan khusus dan penanganan kondisi lembaga jasa
keuangan
dan/atau
pasar
modal
yang
mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan; c. Penanganan kondisi lembaga jasa keuangan dan/atau pasar modal dalam Kondisi Tidak Normal tidak diatur secara spesifik dalam Undang-Undang ini sehingga penanganannya
dilakukan
berdasarkan
ketentuan
peraturan perundang-undangan; d. penanganan kondisi kesinambungan fiskal dan pasar SBN yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan; dan/atau e. penanganan bank dan pemenuhan kecukupan dana penjaminan simpanan. Penanganan
permasalahan
kecukupan
dana
penjaminan simpanan dilakukan berdasarkan UndangUndang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. Langkahlangkah penanganan dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam. Selain langkah-langkah penanganan di atas,
114
KSSK
dapat
mengusulkan
kepada
Presiden
untuk
menetapkan kenaikan besaran nilai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. e) Penanganan Permasalahan Bank 1. Penanganan Permasalahan Bank SIB (a)
Tindakan Mengatasi Permasalahan oleh Bank Penetapan Bank SIB dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan
berkoordinasi
dengan
Bank
Indonesia pada kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal. Pengkinian Bank SIB dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu pada kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal. Penetapan Bank SIB berdasarkan pengkinian sewaktu-waktu dilakukan setelah memperoleh persetujuan Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Bank SIB harus menerapkan rencana pemulihan yang telah disusunnya dan yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk mengatasi masalah keuangan. Rencana pemulihan (recovery plan) merupakan rencana langkah-langkah yang akan dilakukan oleh Bank dan/atau pemegang saham Bank untuk mengatasi masalah keuangan. Rencana penyehatan disusun sejak Bank ditetapkan sebagai Bank SIB dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. Selama rencana pemulihan belum disetujui oleh Otoritas
Jasa
Keuangan,
Bank
SIB
harus
menerapkan langkah penyehatan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan lebih lanjut
115
mengenai
rencana
pemulihan
diatur
dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. (b)
Tindakan Mengatasi Kesulitan Likuiditas Bank Bank SIB yang mengalami kesulitan likuiditas dapat
mengajukan
permohonan
kepada
Bank
Indonesia untuk mendapatkan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. Berdasarkan Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, Bank yang
mengalami
kesulitan
likuiditas
dapat
mengajukan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada Bank Indonesia sebagai lender of the last resort
sepanjang
memenuhi
Bank
ketentuan
yang
solvabilitas
bersangkutan dan
memiliki
agunan yang cukup. Pinjaman likuiditas jangka pendek yang disediakan untuk Bank SIB
adalah
dalam rangka pelaksanaan peran Bank Indonesia untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. Pinjaman
likuiditas jangka pendek untuk Bank
Syariah adalah berupa pembiayaan likuiditas jangka pendek
berdasarkan
prinsip
syariah.
Bank
Indonesia berdasarkan informasi dan rekomendasi dari Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas syariah.
jangka
pendek
Pemberian
berdasarkan
pinjaman
likuiditas
prinsip jangka
pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan
prinsip
syariah
dilakukan
sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Bank Indonesia dan peraturan pelaksanaannya.
116
Dalam hal Bank SIB mengalami kesulitan likuiditas
namun
masih
dan
pemberian
solvabilitas
memenuhi
ketentuan
pinjaman
likuiditas
jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah diperkirakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas Bank SIB, Bank SIB dimaksud dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan PLK kepada Bank Indonesia. PLK untuk Bank Syariah adalah berupa Pembiayaan Likuiditas Khusus berdasarkan prinsip syariah.
Bank
Indonesia
setelah
berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta penyelenggaraan rapat KSSK untuk memutuskan pemberian PLK dalam hal terdapat Bank SIB yang mengajukan permohonan PLK. Dalam rapat KSSK, Bank
Indonesia
setelah
berkoordinasi
dengan
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan usulan antara lain besarnya jumlah PLK yang diberikan, jangka waktu, dan suku bunga PLK. Bank
Indonesia
meminta
penyelenggaraan
rapat KSSK apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Bank SIB yang mengajukan PLK telah memenuhi syarat dan ketentuan pemberian PLK. Dalam rapat KSSK, Bank Indonesia
menyampaikan
usulan
antara
lain
besarnya jumlah PLK yang diberikan, jangka waktu, dan suku bunga PLK. Bank Indonesia memberikan PLK kepada Bank SIB berdasarkan Keputusan KSSK.
Persetujuan
berdasarkan
KSSK
informasi
dan
diberikan
apabila
rekomendasi
dari
117
Otoritas
Jasa
Keuangan,
Bank
SIB
masih
memenuhi ketentuan mengenai solvabilitas dan tingkat
kesehatan
kemampuan
Bank
untuk
serta
perkiraan
mengembalikan
PLK.
Pemerintah memberikan jaminan pelunasan atas PLK yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank SIB. Dalam hal Bank SIB tidak dapat melunasi
PLK
perjanjian,
pada
saat
Pemerintah
jatuh
tempo
merealisasikan
sesuai jaminan
pelunasan dengan membayar secara tunai dan/atau dengan
menerbitkan
SBN
yang
dapat
diperdagangkan untuk Bank Indonesia. Ketentuan mengenai
pemberian
persyaratan,
dan
PLK
termasuk
jaminan
tata
cara,
pemerintah
atas
pelunasan PLK serta pengawasan terhadap Bank SIB
penerima
Pelaksanaan peraturan
PLK
diputuskan
keputusan
KSSK
perundang-undangan
kewenangan
pemerintah,
Bank
oleh
KSSK.
diatur
dalam
sesuai
dengan
Indonesia,
dan
Otoritas Jasa Keuangan. Bank SIB penerima PLK dilarang melakukan transaksi
dengan
membagikan finansial
dividen
lainnya,
pihak
terkait,
dan
memberikan
sebelum
melunasi
termasuk manfaat seluruh
kewajiban PLK. Yang dimaksud “pihak terkait” adalah sesuai dengan ketentuan batas maksimum pemberian kredit. Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank SIB penerima PLK dalam rangka memastikan
118
penggunaan
PLK
dan
pelaksanaan
rencana
pembayaran kembali PLK sesuai dengan perjanjian. Dalam Keuangan
rangka pengawasan, Otoritas Jasa dapat menempatkan
pengawas
pada
Bank SIB penerima PLK. (c)
Tindakan
Mengatasi
Permasalahan
Solvabilitas
Bank Dalam hal terdapat Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penanganan permasalahan solvabilitas berdasarkan
kewenangannya,
pelaksanaan
rencana
penyehatan
termasuk Bank
SIB
dimaksud. Yang dimaksud dengan “permasalahan solvabilitas” dialami
adalah
Bank
kewajiban
SIB
kesulitan
permodalan
sehingga
tidak
penyediaan
modal
yang
memenuhi
minimum
yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Termasuk dalam penanganan solvabilitas antara lain adalah konversi kewajiban Bank SIB menjadi modal (bail-in) sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. Otoritas kepada
Jasa
Lembaga
Keuangan Penjamin
memberitahukan Simpanan
untuk
melakukan persiapan penanganan Bank SIB. Dalam hal Bank SIB ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan khusus, Otoritas Jasa Keuangan dapat: 1. menunjuk dimaksud
pengelola dalam
statuter
sebagaimana
Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan; atau
tentang
119
2. meminta
Lembaga
Penjamin
Simpanan
melakukan langkah persiapan penanganan Bank SIB berupa pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank atau pihak lain. Langkah
persiapan
penanganan
Bank
SIB
dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada saat Bank dalam pengawasan khusus agar pada saat
Lembaga
penyerahan Penjamin
Penjamin
Bank
SIB
Simpanan dari
menerima
KSSK,
Simpanan
Lembaga
telah
siap
mengimplementasikan pengalihan sebagian atau seluruh
aset
dan/atau
kewajiban
Bank
SIB.
Langkah persiapan Lembaga Penjamin Simpanan antara
lain
berupa
melakukan
penilaian
aset
dan/atau kewajiban Bank SIB, menawarkan kepada Bank atau pihak lain yang bersedia menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB, dan/atau melaksanakan uji tuntas (due dilligence). Dalam hal penanganan tidak dapat mengatasi masalah
solvabilitas
Bank
SIB,
Otoritas
Jasa
Keuangan meminta penyelenggaraan rapat KSSK disertai
dengan
rekomendasi
langkah-langkah
penanganan permasalahan Bank SIB dimaksud. Permasalahan
solvabilitas
tidak
dapat
diatasi
apabila kondisi semakin memburuk atau batas waktu
Bank
berakhir.
dalam
Rapat
menetapkan
pengawasan
KSSK
khusus
diselenggarakan
langkah-langkah
telah untuk
penanganan
120
permasalahan solvabilitas Bank SIB dimaksud. Langkah-langkah penanganan Bank SIB
paling
sedikit: 1. memutuskan
penyerahan
Bank
SIB
kepada
Lembaga Penjamin Simpanan untuk dilakukan penanganan berdasarkan Undang-Undang ini dan
Undang-Undang
mengenai
Lembaga
Penjamin Simpanan. Bank SIB yang diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan merupakan Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Otoritas
Jasa
kewenangan
Keuangan
yang
sesuai
dimilikinya,
dengan
sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. 2. Selain hal tersebut di atas juga menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh anggota
KSSK
masing-masing
sesuai
dengan
kewenangan
dalam
rangka
mendukung
pelaksanaan penanganan Bank SIB oleh LPS. Penanganan Bank SIB dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dengan cara: a. mengalihkan
sebagian
atau
seluruh
aset
dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank atau pihak lain; b. Penanganan bank seperti ini dikenal sebagai transaksi purchase and assumption. Yang dimaksud
dengan
“pihak
lain”
adalah
perorangan atau badan hukum selain Bank.
121
c. mengalihkan
sebagian
atau
seluruh
aset
dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank baru yang dibentuk khusus sebagai Bank Perantara; dan/atau; d. Penanganan bank seperti ini dikenal sebagai transaksi purchase and assumption melalui bridge bank. e. melakukan
penanganan
sesuai
dengan
Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Bank SIB, jenis dan kriteria aset dan kewajiban Bank SIB yang dapat dialihkan kepada Bank Perantara,
Bank
penerima,
dan/atau
pihak
penerima lain diatur dengan Peraturan Lembaga Penjamin Penjamin
Simpanan. Simpanan
Peraturan antara
lain
Lembaga mengatur
prosedur pelaksanaan pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank kepada Bank Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak penerima lain, dan prosedur pengoperasian Bank Perantara Lembaga Penjamin Simpanan mendirikan Bank Perantara untuk menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB dan menjalankan aktivitas usaha Bank. Dalam rangka pendirian Bank Perantara oleh Lembaga Penjamin Simpanan, tidak berlaku ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud
dalam
Undang-Undang
tentang
122
Perseroan Terbatas. Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin Bank Perantara dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan
prinsip
untuk
melakukan
persiapan pendirian bank. b. izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha bank setelah persiapan pendirian bank selesai dilakukan. Persetujuan prinsip diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. anggaran
dasar
yang antara lain memuat
kegiatan usaha sebagai bank; b. modal
disetor
sebagaimana
diatur
dalam
undang-undang tentang Perseroan Terbatas; dan c. Struktur organisasi
dan
sumber daya
manusia, pedoman manajemen risiko, good corporate governance, prosedur kerja, rencana bisnis, proyeksi neraca dan laba rugi, laporan arus
kas
bulanan.
Untuk
pemenuhan
persyaratan ini dapat menggunakan surat pernyataan dari Lembaga Penjamin Simpanan bahwa persyaratan dimaksud akan dipenuhi dengan
menggunakan
data
dan/atau
setelah
memenuhi
dokumen Bank SIB. Izin
usaha
diberikan
persyaratan: a. kewajiban
penyediaan modal minimum bank
umum; b. susunan direksi dan dewan komisaris; dan
123
c. rencana
tindak
pengalihan, sumber
meliputi cara dan jadwal
pemenuhan
daya
dan
manusia
pengelolaan
serta
migrasi
infrastruktur Bank Perantara. Uji
kemampuan
Perantara
dan
dilakukan
Kepatutan oleh
bagi
Bank
Otoritas
Jasa
Keuangan terhadap calon dewan komisaris dan direksi berdasarkan ketentuan Uji Kemampuan dan Kepatutan bagi bank dalam penanganan Lembaga Penjamin Simpanan. Susunan direksi dan komisaris dapat menjalankan tugas dan wewenang
sebelum
uji
kemampuan
dan
kepatutan (fit & proper test) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Bank Perantara dalam menjalankan kegiatan usaha wajib: a. menyampaikan
kepada
Otoritas
Jasa
Keuangan laporan berkala dan dokumen lain yang diwajibkan bagi Bank Umum; dan b. memenuhi persyaratan terkait prinsip kehatihatian dan indikator tingkat kesehatan Bank Umum. Persyaratan prinsip kehati-hatian dan indikator tingkat
kesehatan
bank
yang
diberlakukan
kepada Bank Perantara mengikuti ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai bank dalam penanganan/penyelamatan Lembaga Penjamin Simpanan. Dalam
rangka
melaksanakan
pengalihan
sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban
124
Bank SIB kepada Bank penerima dan/atau pihak
penerima
Perantara,
lain
atau
Lembaga
kepada
Penjamin
Bank
Simpanan
memiliki kewenangan: a. mengalihkan kewajiban Bank SIB berupa simpanan
nasabah
kewajiban
lain
penyimpan
kepada
bank
dan
penerima
dan/atau pihak penerima lain yang diikuti dengan pengalihan sebagian atau seluruh aset Bank SIB dimaksud tanpa persetujuan kreditur,
debitur,
Simpanan
dan
nasabah
“pihak
lainnya”.
penyimpan
yang
dialihkan adalah jumlah seluruh simpanan nasabah
penyimpan
yang
tercatat
pada
pembukuan Bank SIB saat penyerahan Bank SIB oleh KSSK kepada LPS. Yang dimaksud dengan persetujuan dari “pihak lainnya” antara lain persetujuan dari rapat umum pemegang saham Bank SIB. b. melakukan
pembayaran
kepada
Bank
Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak penerima lain untuk menutup selisih apabila nilai aset Bank SIB yang dialihkan lebih kecil dibandingkan dengan nilai kewajiban Bank SIB yang dialihkan. Pembayaran selisih antara nilai aset Bank SIB dengan nilai kewajiban Bank SIB yang dialihkan kepada Bank Perantara merupakan penyertaan
modal
Lembaga
Penjamin
Simpanan kepada Bank Perantara tersebut.
125
Penyertaan
modal
Simpanan
pada
Lembaga
Bank
merupakan
Penjamin
Perantara
penempatan
bukan investasi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Pembayaran selisih antara nilai aset Bank SIB dengan nilai kewajiban Bank SIB yang dialihkan kepada Bank penerima, dan/atau pihak penerima lain merupakan beban dalam rangka menjaga stabilitas sistem perbankan. c. melakukan wewenang lainnya sebagaimana diatur
dalam
Undang-Undang
Lembaga
Penjamin Simpanan. Bank
Indonesia
dapat
menetapkan
pengaturan
tertentu yang berlaku bagi Bank Perantara terkait dengan kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan harus
segera
menjual
Bank
Perantara
atau
mengalihkan seluruh aset dan kewajiban Bank Perantara kepada Bank atau pihak lain. Bank Perantara
harus
segera
dijual
setelah
mempertimbangkan
antara
lain
ukuran,
kompleksitas
permasalahan,
perekonomian.
Pelaksanaan
Perantara
atau
pengalihan
dan
kondisi
penjualan seluruh
aset
Bank dan
kewajiban Bank Perantara pada Bank atau pihak lain dilakukan secara terbuka dan transparan. Bank Perantara yang telah dijual kepada Bank atau pihak lain,
status
sebagaimana
Bank
tersebut
dimaksud
dalam
menjadi
Bank
Undang-Undang
126
Perbankan dan tidak lagi disebut sebagai Bank Perantara.
Dalam
hal
kondisi
keuangan
dan
permodalan Bank Perantara menurun dan tidak sesuai profil risiko berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, maka Lembaga Penjamin Simpanan wajib menambah modal paling rendah sesuai profil risikonya. Pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau
kewajiban
Bank
SIB
oleh
Lembaga
Penjamin Simpanan kepada Bank Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak penerima lainnya, terjadi demi hukum sejak akta pengalihan ditandatangani. Pengalihan demi hukum berlaku pula terhadap pengalihan perizinan yang dimiliki Bank SIB kepada Bank Perantara. Perizinan yang dialihkan dan operasional akibat peralihan perizinan disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Setelah dilakukan pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban kepada Bank Perantara, Bank penerima dan/atau pihak penerima lain, Lembaga Penjamin Simpanan meminta Otoritas Jasa Keuangan untuk mencabut izin usaha Bank yang telah dialihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau
kewajibannya.
Lembaga
Penjamin
Simpanan melakukan proses likuidasi terhadap bank yang telah dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan Undang-Undang tentang tindakan rangka
Lembaga Penjamin Lembaga
Penjamin
menjalankan
Simpanan.
Seluruh
Simpanan
penanganan
Bank
dalam SIB
berdasarkan undang-undang ini sah demi hukum.
127
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Bank SIB, jenis dan kriteria aset dan kewajiban Bank SIB yang dapat dialihkan kepada Bank Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak penerima lain diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. Dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan antara lain diatur prosedur pelaksanaan pengalihan aset
dan/atau
Perantara,
kewajiban
Bank
Bank
penerima,
kepada
dan/atau
Bank pihak
penerima lain, dan prosedur pengoperasian Bank Perantara. Dalam rangka penanganan Bank SIB, Lembaga Penjamin Simpanan dapat: menjual SBN yang dimilikinya; dan/atau memperoleh pinjaman dari pihak lain. Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan harus
menjual
SBN
yang
dimilikinya
untuk
melakukan penanganan Bank SIB, berdasarkan keputusan KSSK, Bank Indonesia dapat membeli SBN
dimaksud.
jaminan
atas
Pemerintah pinjaman
dapat
memberikan
Lembaga
Penjamin
Simpanan Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank SIB setelah dilakukan upaya, Pemerintah dapat
memberikan
pinjaman
kepada
Lembaga
Penjamin Simpanan. Lembaga
Penjamin
informasi
mengenai
Simpanan
menyampaikan
perkembangan
Bank SIB kepada KSSK.
penanganan
128
2. Restrukturisasi Perbankan Dalam Kondisi Tidak Normal Untuk mengatasi kondisi tidak normal, dibentuk Badan Restrukturisasi
Perbankan
(BRP).
BRP
bertugas
menangani kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional dalam Kondisi Tidak Normal. BRP bertanggung jawab kepada KSSK. Organ BRP terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Eksekutif BRP. Organ BRP beserta tugas dan wewenangnya ditetapkan oleh KSSK. Dewan Eksekutif BRP berwenang mewakili BRP di dalam maupun di luar pengadilan. Dewan Eksekutif BRP berwenang menetapkan Peraturan BRP. Struktur organisasi
dibawah
Dewan
Pengawas
dan
Dewan
Eksekutif BRP tata kerja, sistem kepegawaian, dan penggajian diatur oleh Dewan Eksekutif. BRP
mulai
menjalankan
tugasnya
berdasarkan
penetapan KSSK yang didasarkan pada pertimbangan:. a.
Kondisi Tidak Normal; dan
b.
terdapat
permasalahan
perbankan
yang
membahayakan perekonomian nasional. KSSK menetapkan pengaktifan dan penonaktifan tugas BRP
untuk
meduian
dilaporkan
kepada
Presiden.
Anggaran BRP bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja
Negara,
hasil
pengelolaan
aset
dan
kewajiban Bank-bank yang ditangani, dan sumber lain sesuai
dengan
ketentuan
Peraturan
Perundang-
undangan. KSSK menetapkan masa tugas BRP. Dalam menjalankan tugasnya, BRP berwenang untuk: a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan
129
wewenang rapat umum pemegang saham Bank atau organ lain yang setara; b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang direksi dan dewan komisaris Bank atau organ lain yang setara; c. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak Bank, termasuk kekayaan Bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri; d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat Bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan Badan Restrukturisasi Perbankan merugikan Bank; e. menjual, melelang, atau mengalihkan kekayaan Bank di dalam negeri maupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum; f.
menjual, melelang atau mengalihkan tagihan Bank dan/atau menyerahkan pengelolaanya kepada pihak lain,
tanpa
memerlukan
persetujuan
nasabah
pengelolaan
kekayaan
dan/atau
debitur; g. mengalihkan
manajemen Bank kepada pihak lain; h. melakukan penyertaan modal sementara pada Bank secara langsung atau melalui konversi tagihan Badan Restrukturisasi Perbankan terhadap Bank menjadi saham Bank; i.
menagih piutang Bank yang sudah pasti dengan penerbitan surat paksa;
130
j.
mengosongkan atas tanah dan/atau bangunan milik atau yang menjadi hak Bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;
k. meneliti dan memeriksa untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai Bank dalam
penanganan
Badan
Restrukturisasi
Perbankan, dan pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan
Bank
dalam
penanganan
Badan
Restrukturisasi Perbankan tersebut; l.
menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami Bank
dalam
penanganan
Badan
Restrukturisasi
Perbankan dan membebankan kerugian tersebut kepada
modal
Bank
yang
bersangkutan,
dan
bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan anggota dewan komisaris
atau
organ
yang
setara,
dan/atau
pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan; m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor
oleh
pemegang
saham
Bank
dalam
penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan; n. meminta data, informasi, dan dokumen dari Bank dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan dan dari pihak lain; o. membekukan aset milik pengurus bank, pemegang saham bank, dan/atau pihak terafiliasinya yang terindikasi melakukan tindakan yang merugikan
131
Bank, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri; p. melakukan tugas lain yang ditetapkan oleh KSSK. Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, kewenangan, anggaran, dan penyelenggaraan BRP diatur dengan Peraturan Pemerintah. f)
Insentif
dan/atau
Fasilitas
dalam
Rangka
Penanganan Bank SIB Dalam rangka penanganan Bank SIB, Pemerintah, Bank Indonesia,
Otoritas
Penjamin
Simpanan
Jasa
Keuangan,
dapat
dan
Lembaga
memberikan
insentif
dan/atau fasilitas berupa fiskal dan non fiskal kepada orang atau badan hukum yang berperan dalam rangka tindakan penyelesaian permasalahan Bank SIB. Yang dimaksud insentif fiskal antara lain adalah insentif perpajakan. Yang dimaksud dengan fasilitas non fiskal antara
lain
mengenai
pengecualian
pembatasan
dan/atau
fasilitas
Pemerintah, Otoritas
adalah
Jasa
kepemilikan
ditetapkan
Peraturan
dari
Bank
Keuangan,
dan
ketentuan
Bank.
dalam
Indonesia, Peraturan
Insentif
Peraturan Peraturan Lembaga
Penjamin Simpanan. g) Pendanaan Sumber pendanaan dalam rangka penanganan Kondisi Tidak
Normal
dan/atau
penanganan
permasalahan
Bank SIB meliputi: a. kekayaan Bank Indonesia yang digunakan untuk pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau
132
pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah dan PLK kepada Bank SIB; b. kekayaan
Lembaga
Penjamin
Simpanan
yang
digunakan untuk penanganan permasalahan Bank SIB; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang digunakan untuk: 1. pembayaran jaminan Pemerintah kepada Bank Indonesia untuk pemberian PLK; 2. pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan
untuk
mengatasi
permasalahan
likuiditas Lembaga Penjamin Simpanan; 3. penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal modal Lembaga Penjamin Simpanan kurang dari modal awal Lembaga Penjamin
Simpanan
yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah; dan/atau 4. pendanaan penanganan permasalahan Bank. Penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk 4 (empat) keperluan tersebut di atas yang belum dialokasikan secara khusus dalam Anggaran Pendapatan dilakukan
dan
Belanja
dengan
persetujuan
Negara
terlebih
tertulis
Dewan
tahun
dahulu
berjalan
mendapatkan
Perwakilan
Rakyat
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam hal dana untuk pembiayaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara belum tersedia anggarannya atau melebihi pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pemerintah dapat melakukan pengeluaran dana tersebut
dengan
terlebih
dahulu
mendapatkan
133
persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal pengeluaran dana akan dipenuhi melalui penerbitan SBN, persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat mencakup pula tambahan nilai bersih maksimal SBN yang akan diterbitkan. Persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan dengan keputusan yang tertuang
dalam
kesimpulan
Rapat
Kerja
Badan
Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah, yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat tidak diberikan kepada Pemerintah dalam waktu 1x24 (satu kali
dua
puluh
empat)
jam,
Pemerintah
dapat
melakukan pengeluaran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
anggarannya
Jika
dan/atau
pengeluaran melebihi
belum
pagu
tersedia
yang
telah
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun berjalan dan/atau dilaporkan dalam laporan keuangan Pemerintah pusat. Pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk mengatasi permasalahan likuiditasnya dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh Pemerintah dalam
undang-undang
yang
mengatur
mengenai
perbendaharaan dan undang-undang yang mengatur mengenai keuangan negara. Ketentuan dan tata cara pemberian
pinjaman
kepada
Lembaga
Penjamin
Simpanan untuk mengatasi permasalahan likuiditasnya
134
diatur
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. Dalam hal pengeluaran dana akan dipenuhi melalui penerbitan SBN, persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat mencakup pula tambahan nilai bersih maksimal SBN
yang
akan
diterbitkan.
Penerbitan
SBN
dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan surat utang
negara
Undang
sebagaimana
tentang
Surat
diatur
Utang
dalam
Negara
Undang-
dan
tujuan
penerbitan Surat Berharga Syariah Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah
Negara.
Pemerintah
dapat
melakukan
penerbitan SBN melebihi pagu yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan untuk penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau
penanganan
permasalahan
Bank
SIB.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan SBN untuk penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan Bank SIB diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Bank Indonesia dapat membeli SBN pada pasar perdana namun terbatas pada SBN yang dapat diperdagangkan. Pembelian berdasarkan
SBN
oleh
Bank
keputusan
mempertimbangkan
paling
Indonesia KSSK
sedikit
dilakukan dengan
kesinambungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tingkat kesehatan neraca Bank Indonesia, efektivitas kebijakan moneter, dan kondisi pasar SBN.
135
Dalam hal terdapat selisih kurang antara: a. dana
yang
dikeluarkan
Lembaga
Penjamin
Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank SIB dengan hasil penjualan Bank SIB dimaksud; b. dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk memenuhi penjaminan PLK dengan dana yang diperoleh dari pembayaran kembali PLK oleh Bank SIB; dan/atau c. dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk melakukan
penanganan
Kondisi
Tidak
Normal
dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB dengan pengembalian atas dana yang dikeluarkan dimaksud, Dana yang diperoleh dari pembayaran kembali PLK oleh Bank SIB merupakan pembayaran kembali oleh Bank SIB setelah Bank Indonesia menyerahkan hak tagih atas PLK kepada Pemerintah setelah PLK jatuh tempo. Dana yang diterima oleh Pemerintah berasal dari pembayaran PLK oleh Bank SIB dan/atau hasil eksekusi agunan PLK setelah Bank Indonesia menyerahkan hak tagih atas PLK tersebut kepada Pemerintah Selisih kurang tersebut merupakan biaya penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau permasalahan Bank SIB dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. h) Pertukaran Data dan Informasi Anggota informasi
KSSK
melakukan
pertukaran
data
dan
yang diperlukan dalam rangka pemeliharaan
SSK dan penanganan permasalahannya. Pertukaran data dan informasi dilakukan melalui sekretariat KSSK.
136
Pertukaran data dan informasi tersebut dikecualikan dari
ketentuan
kerahasiaan
yang
diatur
dalam
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangundangan yang dimaksud mencakup undang-undang mengenai perbankan, pasar modal, perpajakan, dan surat berharga negara. i)
Akuntabilitas dan Pelaporan Terkait dengan akuntabilitas, KSSK memublikasikan dan
memberikan
mengenai
akses
keputusan
informasi
KSSK.
kepada
Menteri
publik
Keuangan
memublikasikan pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia memublikasikan pemberian PLK kepada Bank yang mengalami kesulitan likuiditas, Otoritas Jasa Keuangan memublikasikan langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB, Lembaga
Penjamin
Simpanan
memublikasikan
pelaksanaan penanganan Bank SIB. KSSK
memublikasikan
pelaksanaan
tugas
dan
wewenang yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini. Mengenai jenis dan tata cara akses informasi oleh publik, ditetapkan oleh KSSK. Terkait
dengan
pelaporan,
Koordinator
KSSK
melaporkan kepada Presiden mengenai: a. kondisi Stabilitas Sistem Keuangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan; b. penanganan Kondisi Tidak Normal; c. penanganan permasalahan Bank SIB; dan/atau
137
d. pelaksanaan
tugas
Restrukturisasi
dan
wewenang
Badan
dalam
rangka
Perbankan
penanganan permasalahan Bank. j)
Ketentuan Lain-lain Anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK,
dan
pejabat
atau
pegawai
Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini mendapatkan bantuan hukum
dari lembaga yang diwakili atau
menugaskannya dalam menghadapi tuntutan hukum yang
berkaitan
dengan
pelaksanaan
tugas
dan
wewenang KSSK. Dalam hal berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
anggota
sekretariat
KSSK,
KSSK,
sekretaris
dan
pejabat
KSSK,
anggota
atau
pegawai
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lain, sepanjang yang bersangkutan melaksanakan tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ganti rugi dimaksud dibayarkan oleh lembaga yang diwakili atau menugaskannya. Yang dimaksud dengan tuntutan hukum mencakup tuntutan hukum pidana dan perdata. Keputusan
yang
ditetapkan
oleh
KSSK
dan/atau
pelaksanaan dari keputusan tersebut oleh masing-
138
masing lembaga anggota KSSK berdasarkan UndangUndang ini adalah sah dan mengikat setiap pihak. k) Ketentuan Penutup Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Pasal 37A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
1992
Nomor
31,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); b. Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 55 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
Indonesia
(Lembaran
Tahun
1999
Negara
Nomor
66,
Republik Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999
tentang
Undang-Undang Indonesia
Bank
(Lembaran
Tahun
2009
Indonesia Negara
Nomor
7,
Menjadi Republik
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); dan c.
Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
139
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sejak Undang-Undang ini diundangkan, fungsi, tugas, dan
wewenang
Komite
Koordinasi
sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963), dilaksanakan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem
Keuangan
dalam
rangka
melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
Nomor
5253)
sampai
dengan
berlakunya Undang-Undang ini tetap sah dan mengikat. Sebelum wewenang
sekretariat sekretariat
KSSK KSSK
ditetapkan, termasuk
tugas
dan
pengelolaan
140
dokumen
dilaksanakan
oleh
sekretariat
Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan. Undang-Undang diundangkan. memerintahkan dengan
ini
mulai
berlaku
Agar
setiap
orang
pengundangan
penempatannya
Republik Indonesia.
dalam
pada
tanggal
mengetahuinya,
Undang-Undang Lembaran
ini
Negara
141
BAB VI PENUTUP
A.
Simpulan Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan dalam
bab-bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan yaitu: 1.
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum) tidak dapat digunakan untuk menjamin
terselenggaranya
Stabilitas
Sistem
Keuangan
karena hanya disusun untuk penanganan kondisi normal, sehingga
ketentuan
penanganan
Kondisi
tersebut Tidak
tidak Normal
memadai dan
untuk
penanganan
permasalahan Bank SIB untuk memelihara SSK. Selain itu, Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK yang
selama ini
digunakan untuk mengatasi SSK, ditolak oleh DPR sehingga tidak ada ketentuan yang secara materiil mengatur mengenai pemeliharaan SSK dan menangani permasalahannya yang bersifat antisipatif, proaktif, dan koordinatif yang harus dilakukan oleh lembaga/otoritas yang terkait, baik secara sendiri-sendiri maupun terkoordinasi dalam KSSK. 2. Keberadaan UU JPSK akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi lembaga/otoritas dalam melakukan koordinasi dalam suatu kerangka sistem sehingga dapat memelihara SSK dan menangani permasalahannya. 3. Landasan filosofis: bahwa dalam rangka
mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945 diperlukan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan, yang diwujudkan dengan menciptakan perekonomian yang stabil dan tangguh melalui Stabilitas Sistem Keuangan.
142
Dalam
Kondisi
Tidak
Normal,
terdapat
kemungkinan
terjadinya kegagalan sejumlah Bank dalam waktu yang bersamaan nasional.
yang
dapat
Penanganan
memerlukan pengaman
membahayakan
bank-bank
pendekatan sistem
bermasalah
khusus
keuangan
perekonomian
dalam
yang
tersebut
suatu
berbeda
jaring dengan
penanganan permasalahan Bank dalam kondisi normal. Landasan sosiologis: bahwa dalam rangka mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kokoh untuk menghadapi ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dapat mengakibatkan kondisi sistem keuangan yang tidak normal,
diperlukan
jaring
pengaman
sistem
keuangan.
Dengan stabilnya sistem keuangan kita dan tertanganinya permasalahan yang timbul
dalam
Kondisi Tidak Normal
akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan,
karena
jaring
pengaman
sistem
memberikan landasan yang kuat bagi
keuangan
lembaga/otoritas
untuk mengambil keputusan strategis demi kepentingan perekonomian nasional yang lebih luas. Landasan
yuridis
UU
JPSK
dibentuk
dalam
rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun beberapa Nomor
6
kali
1999 tentang
diubah,
Tahun
terakhir
2009
BI
sebagaimana telah
dengan
tentang
Undang-Undang
Penetapan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI Menjadi Undang-Undang, serta Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
143
4.
Sasaran yang ingin diwujudkan adalah Stabilitas Sistem Keuangan yang kokoh dalam menghadapi ancaman Kondisi Tidak Normal. UU JPSK ini akan memberikan landasan hukum dalam mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas terkait
serta
pengambilan
keputusan
yang
terpadu,
transparan, akuntabel, dan cepat untuk menanggulangi Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank SIB sehingga tetap
dapat
terpelihara
SSK
dan
penanganan
permasalahannya SSK. Lingkup materi yang diatur meliputi: (i) koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, (ii) penanganan Kondisi Tidak Normal, serta (iii) penanganan permasalahan Bank SIB, baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak Normal. Dengan demikian, Undang-Undang ini pada dasarnya hanya
memuat
pengaturan
mengenai
penanganan
permasalahan Bank SIB yang tidak dapat ditangani oleh otoritas secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya.
Sedangkan
untuk
Bank
yang
tidak
termasuk dalam Bank SIB, penanganan permasalahan Bank tersebut
dilaksanakan
oleh
otoritas
sesuai
dengan
kewenangan yang diatur dalam undang-undang masingmasing.
Dalam
Kondisi
Tidak
Normal
dan
terdapat
permasalahan perbankan yang masif dan membahayakan perekonomian nasional, KSSK dapat mengaktifkan Badan Restrukturisasi Perbankan untuk mengatasi permasalahan Bank.
144
B.
Saran Berdasarkan
simpulan
tersebut,
dapat
dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut: 1. Terdapat beberapa substansi yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan lembaga/otoritas terkait. 2. Mengingat pentingnya JPSK, pembahasan mengenai RUU tentang JPSK diusulkan untuk dilakukan dalam masa sidang DPR tahun 2015. 3. Untuk mendukung keberhasilan penerapan UU tentang JPSK perlu dilakukan sosialisasi, komunikasi, dan edukasi kepada masyarakat luas khususnya kepada pelaku industri di sektor keuangan.
145
DAFTAR PUSTAKA A. Buku/Makalah Bagehot, W. (1873). Lombard Street: A Description of the Money Market. London: H.S. King. Beck, T. (2003). “The Incentive Compatible Design of Deposit Insurance and Bank Failure Resolution-Concepts and Country Studies”. Bolzico, J, Mascaro, Y and Granata, P (2007). “Practical Guidelines for Effective Bank Resolution” World Bank Policy Research Working Paper no. 4389. Bordo, M. (1990). "The Lender of Last Resort: Alternative Views and Historical Experience" Economics Review 76 (1): 18–29. Basel Committee on Banking Supervision. (2011). “Resolution Policies and Frameworks – Progress so Far”. Diamond, Douglas D and Dybvig, Philip H. (1983). “Bank Runs, Deposit Insurance, and Liquidity” Journal of Political Economy Volume 91 No. 3. Enoch et al. (2001). “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two Years of Living Dangerously 1997-1999” IMF Working Paper WP/01/02. Federal
Deposit
Insurance
Corporation.
“FDIC
Resolutions
Handbook Chapter 5 - Open Bank Assistance Transactions”. Financial Stability Board. (2014). “Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions”. Financial Stability Board. (2014). “Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions, Key AttributesFinancial Stability Board 2014: Peer Review of Indonesia”.
146
Freixas et al. (1999). “Systemic Risk, Interbank Relations, and Liquidity Provision by the Central Bank" Journal of Money, Credit and Banking. Ohio: Ohio State University Press. He, Dong. (2000). “Emergency Liquidity Support Facilities” IMF Working Paper No.WP/00/79. Hoggarth, Glenn and Reidhill, Jack and Sinclair, Peter J. N. (2004). “The Resolution of Banking Crises: Theory and Evidence” Bank of England Working Paper No. 229. International Association of Deposit Insurers. (2005). “General Guidance for Resolution of Bank Failures”. International Monetary Fund. (2015). “Republic of Korea: Crisis Preparedness And Crisis Management Framework, Technical Note” Country Report No. 15/5. International Monetary Fund. (2010). “Indonesia: Financial System Stability Assessment” Country Report No. 14/126. Kaufman, George. (1991). Lender of Last Resort: A Contemporary Perspective. Journal of Financial Services Research Volume 5. Manna, M. (2009) “Emergency Liquidity Assistance at Work: Both Words and Deeds Matter” Studi e Note di Economia Anno XIV No. 2-2009. McGuire, Claire L. (2012). “Simple Tools to Assist in the Resolution of Troubled Banks”. Washington DC: World Bank. Mishkin, Frederic S. (2000). “The International Lender of Last Resort: What Are The Issues?” NBER Working Paper. Nakaso, H. (2001). “The Financial Crisis in Japan During the 1990s: How the Bank of Japan Responded and the Lessons Learnt” BIS Papers No. 6. Schich, Sebastian. (2008), Financial Crisis: Deposit Insurance and Related Financial Safety Net Aspects, Financial Market Trends. OECD.
147
Solow, Robert. (1982). “On the Lender of Last Resort in C. P. Kindleberger and J. P. Laffargue (eds.), Financial Crisis: Theory, History, and Policy”. Cambridge: Cambridge University Press. The Bank of Korea. (2014). Korea Financial Stability Report. Thornton, H. (1802). An Enquiry into the Nature and Effects of the Paper Credit of Great Britain. Fairfield: Augustus M. Kelley. B. Peraturan Perundang-undangan Perpu Nomor 04 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; Undang-Undang
Nomor
6
Tahun
2009
tentang
Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2004
tentang
Lembaga
Penjamin Simpanan; Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 03 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara; Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
148
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang Nomor 27 tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015.