Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
2012
LAPORAN AKHIR TIM
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME
Disusun oleh Tim, Di Ketuai oleh :
DR. Yunus Husein, SH.,LL.M
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI Jakarta, 2012
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Tahun 2012
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT, karena Rahmat-Nya bahwa Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (RUU PPTPPT) ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (RUU PPTPPT) ini disusun oleh suatu Tim yang terdiri dari para anggota yang mewakili beberapa kepentingan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kepolisian, Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan serta Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum (BPHN) dan Hak Asasi Manusia RI. Naskah Akademik ini telah disusun dan diawali dengan penelitian yang dilakukan oleh PPATK mengenai perlunya pengaturan di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Penelitian tersebut dilengkapi, disempurnakan dan dikembangkan dalam proses penyusunan naskah akademik yang responsif dan aspiratif.
Naskah Akademik ini merupakan penjelasan teoritis dan
empiris mengenai maksud dan tujuan pembentukan UU PPTPPT. Keberadaan Naskah Akademik dalam sebuah undang-undang merupakan keharusan menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tim telah bekerja keras dan berusaha secara maksimal untuk menghasilkan Naskah Akademik RUU PPTPPT yang komprehensif dan reliable. Penyusunan Naskah Akedemik RUU PPTPPT juga ini telah mengakomodir masukan dari para pihak melalui kegiatan yang diselenggarakan dalam diskusi publik, forum group discussion (fgd) yang melibatkan pakar, akademisi, praktisi dan instansi terkait, serta diskusi dalam Rapat Tim Penyusun. Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Kepala BPHN yang telah mempercayakan Tim untuk menyusun Naskah Akademik RUU PPTPPT dan juga kepada Prof. Dr. Barda Nawawi Arief dan Prof. Hikmahanto Yuwana, PhD, yang telah meluangkan waktu tenaga, dan pikiran menjadi nara sumber, serta berbagai pihak yang telah membantu penyusunan Naskah Akademik ini.
ii
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tim Penyusun berharap Naskah Akademik ini dapat dipedomani dalam pembahasan dan pengesahan RUU PPTPPT yang saat ini sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah.
Jakarta, Oktober
2012,
Ketua Tim Penyusun NA RUU PPTPPT.
Dr. Yunus Husein, SH.,LL.M
iii
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................................................
ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. .........................................................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..............................................................................................
5
C.
Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik .......................
6
D. Metode ........................................................................................................................
6
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis ..............................................................................................................
9
B. Kajian terhadap Asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma 42 C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasahan yang dihadapi masyarakat..........................................................
47
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam UU, terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap keuangan negara...................................................................................
61
BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT A. Kondisi Hukum yangada ........................................................................................
64
B. Keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain ...................
67
C. Harmonisasi Secara Vertikal dan Horizontal ...............................................
68
D. Status Peraturan Perundang-undangan yang ada .....................................
69
BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis..................................................................................................
70
B. Landasan Sosiologis...............................................................................................
70
C. Landasan Yuridis.....................................................................................................
72
iv
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN A. Sasaran Yang Akan diwujudkan, Arah dan Jangkauan Pengaturan ..
75
B. Ruang Lingkup Materi Muatan. ...........................................................................
79
1.
Ketentuan Umum; Memuat Pengertian dan Frase…………………..
80
2.
Materi Muatan yang diatur……………………………………………………. - Ruang Lingkup………………………………………………………………… - Pencegahan dan Pengawasan Kepatutan………………………….. - Pemblokiran dan Cara Penanganannya…………………………… - Pemblokiran Secara Serta Merta (Freezing Without Delay) - Pemblokiran Serta Merta Berdasarkan Publikasi InterNasional…………………………………………………………………………. - Daftar Terduga Teroris dan Organ Teroris Yang Dikeluarkan oleh Pemerintah …………………………………………………….. - Hukum Acara (Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan)………………………………………………………….. - Kerjasama………………………………………………………………………… - Perlindungan Hukum……………………………………………………….. Ketentuan Sanksi; dan …………………………………………………………… Ketentuan Peralihan……………………………………………………………….
81 81 82 84 85
3. 4.
85 86 88 89 90 90 90
BAB VI. PENUTUP A.Kesimpulan ....................................................................................................................
92
B.Rekomendasi.................................................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................................
94
Lampiran: I. RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. II. Penjelasan RUU PPTPPT III. Makalah dan Power Point Prof.DR. Barda Nawawi Arief, SH IV. Power Point Prof. Hikmahanto Yuwono, SH.,LL.M.,Ph.D.
v
Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
2012
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.1 Untuk
mencapai
cita-cita
tersebut
dan
menjaga
kelangsungan
pembangunan nasional dalam suasana aman, tenteram, dan dinamis, baik dalam lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pencegahan terhadap suatu hal yang mengganggu stabilitas nasional. Masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya aksi teror. Meluasnya aksi teror yang didukung oleh pendanaan yang bersifat lintas negara mengakibatkan pemberantasannya membutuhkan kerja sama internasional. Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, berwenang untuk membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam rangka mencegah, menanggulangi, dan memberantas tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan sehubungan dengan politik luar negeri yang bebas aktif, Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1
Penjelasan atas UU No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Internastional Convention the Suppression of the Financing of Terrorisme, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999).
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Tahun 2012
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dengan adanya landasan hukum tersebut, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian, baik bilateral maupun
multilateral,
khususnya
yang
berkaitan
dengan
pencegahan,
penanggulangan, dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Sehubungan dengan hal tersebut dan sesuai dengan komitmen Pemerintah dan Rakyat Indonesia untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam setiap upaya pemberantasan segala bentuk tindak pidana, baik yang bersifat nasional maupun transnasional, terutama tindak pidana terorisme, bangsa Indonesia bertekad untuk memberantas tindak pidana pendanaan terorisme melalui kerja sama bilateral, regional, dan internasional. Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Convention for the Suppression the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional
Pemberantasan
Pendanaan
Terorisme,
1999).
Terorisme
merupakan kejahatan luar biasa dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak yang paling dasar, yaitu hak hidup. Unsur pendanaan merupakan faktor utama dalam setiap aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diyakini tidak akan berhasil seperti yang diharapkan tanpa pemberantasan pendanaannya. Upaya pemberantasan dalam hal ini tindak pidana terorisme yang dilakukan pemerintah telah cukup memuaskan. Namun upaya pemerintah tersebut hanya terbatas pada upaya penangkapan pelaku dan kurang memberikan perhatian terhadap unsur pendanaan yang merupakan faktor utama dalam setiap aksi teror. Oleh karena itu, upaya penanggulangan tindak pidana terorisme dinyakini tidak akan optimal tanpa adanya pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme. Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dengan cara konvensional (follow the suspect) yakni dengan menghukum para pelaku teror, ternyata tidak cukup maksimal untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. Upaya lain yang perlu dilakukan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme adalah dengan menerapkan pendekatan follow the money yang melibatkan PPATK, Penyedia Jasa Keuangan, dan aparat penegak hukum guna mendekteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan atau patut diduga 2
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme, karena suatu kegiatan terorisme tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya pelaku teror yang berperan sebagai penyandang dana untuk kegiatan terorisme tersebut. Pemutusan mata rantai pendanaan terorisme tersebut tentunya membutuhkan landasan hukum yang jelas agar dapat dilaksanakan secara benar dan dapat pula
dipertanggungjawabkan
secara hukum. Dengan telah
diratifikasinya Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999, maka Indonesia juga wajib untuk membuat atau menyelaraskan peraturan perundangundangan terkait pendanaan terorisme sehingga sejalan dengan ketentuanketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme belum mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai dan komprehensif. Pada prinsipnya undang-undang ratifikasi atas suatu konvensi belum sepenuhnya dapat dilaksanakan (in-operative) atau memerlukan pengaturan lebih lanjut. RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme merupakan upaya untuk menindaklanjuti ratifikasi Konvensi
Internasional
Pemberantasan
Pendanaan
Terorisme,
1999
(International Convention for The Suppression of The Financing of Terrorism, 1999) dengan Undang-undang No. 6 Tahun 2006. Dalam hal RUU mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ini telah disahkan, akan berlaku sebagai hukum (positif) nasional Indonesia, yang secara yuridis formal sejajar kedudukannya dengan undang-undang nasional lainnya. Upaya penyelarasan tersebut dilakukan melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Perlunya pengaturan tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dalam sebuah perundang-undangan tersendiri, juga
dipicu
oleh
adanya 9
Recommendation yang
Rekomendasi
dikeluarkan
FATF.
Khusus atau
Rekomendasi
ini
Nine
Special
merupakan
rekomendasi khusus yang digunakan sebagai standar internasional untuk 3
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme menghalangi akses bagi para teroris dan pendukungnya memasuki sistem keuangan. Dengan adanya Nine Special Recommendation FATF, serta banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh beberapa peraturan yang telah ada, yang mengatur tentang tindak pidana pendanaan terorisme, maka diperlukan Undang-Undang tersendiri yang mengatur mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Undang-Undang ini diharapkan akan mengatur secara komprehensif mengenai asas, kriminalisasi tindak pindana pendanaan terorisme dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, pelaporan dan pengawasan kepatuhan, mekanisme pemblokiran, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta kerjasama baik nasional maupun internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.2 Pengaturan tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme disusun dengan tujuan, antara lain untuk: (1) mengatasi celah-celah yang ada dalam peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme sehingga menjamin kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat; (2) mengetahui dan mengatur prosedur dan mekanisme yang jelas dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui pendekatan follow the money namun tidak menghambat kegiatan pengelola jasa keuangan; dan (3) memenuhi Rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) khususnya Nine Special Recommendations.3 Sasaran utama tersebut, adalah (i) ikut memelihara dan menjaga stabilitas ekonomi, sosial budaya, dan keamanan dan ketertiban nasional; (ii) memutus alur pendanaan terorisme sekaligus mencegah terjadinya kembali serangan atau aksi-aksi terorisme di seluruh tanah air; dan (iii) menunjukkan
2
Pada dasarnya Pengaturan tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme ini dimaksudkan untuk membentuk suatu aturan hukum yang baku dan lengkap mengenai Pemberantasan Pendanaan Terorisme sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tujuan nasional, terciptanya penegakan hukum dan ketertiban yang konsisten dan berkesinambungan. 3
Rekomendasi tersebut dikeluarkan FATF pada tahun 1991 dan dimuat dalam laporan yang berisikan 40 Rekomendasi yang memberikan panduan yang komprehensif untuk memerangi tindak pidana pencucian uang. Dipicu oleh adanya peristiwa pemboman gedung WTC di AS yang terjadi pada tanggal 11 September 2001, kemudian FATF mengeluarkan pedoman tambahan untuk memerangi pendanaan terorisme yang kemudian dikenal dengan 8 Rekomendasi Khusus, dan disempurnakan pada tahun 2004 menjadi 9 Rekomendasi Khusus. Dalam perkembangannya 9 rekomendasi khusus ini telah dilebur dalam 14 rekomendasi FATF.
4
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme komitmen
Indonesia
yang
kuat
dan
serius
dalam
pencegahan
dan
pemberantasan pendanaan terorisme. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran tersebut, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam pembinaan hukum membentuk
tim
untuk
menyusunan
Naskah
Akademik
RUU
tentang
Pemberantasan Pendanaan Terorisme dengan melakukan pengkajian dan mempelajari pengaturan serta pengalaman negara lain dalam menangani permasalahan tindak pidana pendanaan terorisme. Dengan adanya Naskah Akademik Rancangan Undang-undang ini nantinya, maka diharapkan upaya pemberantasan pendanaan terorisme di Indonesia menjadi semakin efektif dan efisien, khususnya dalam menjerat para pelaku terorisme yang hendak melakukan aksinya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, maka permasalahan pokok dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk pelanggaran bagi setiap orang yang menyediakan dana untuk seseorang atau badan hukum yang terdapat dalam daftar teroris. 2. Bagaimanakah
pengaturan
pemidanaan
untuk
setiap
orang
yang
merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan aksi terorisme, atau berkonstribusi dalam pelaksanaan anti terorisme yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan untuk membantu kelancaran aksi terorisme. 3. Bagaimana
pengaturan
pendanaan
atas
terorisme
perorangan
dan
penyediaan harta kekayaan untuk organisasi terorisme. 4. Bagaimana upaya dalam rangka memutus rantai pendanaan terorisme dan mitigasinya 5. Apakah tindak pidana pendanaan terorisme dikaitkan dengan adanya aksi terorisme tertentu?. 5
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
C.
Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Tujuan Naskah Akademik RUU ini adalah untuk menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme, yaitu berupa naskah ilmiah yang memuat gagasan tentang perlunya materi-materi hukum yang bersangkutan diatur dengan segala aspek yang terkait, dilengkapi dengan referensi yang memuat konsepsi, landasan dan prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-normanya, yang disajikan dalam bab-bab yang dapat merupakan sistematika suatu rancangan undang-undang. Sedangkan kegunaan penyusunan Naskah Akademik RUU ini adalah merupakan masukan dan pemikiran dalam penyusunan Rancangan UndangUndang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dan/atau sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU tersebut.
D.
Metode Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik RUU, adalah : 1.
Metode yuridis normatif
4
yang bersifat kualitatif.5 Penyusunan Naskah
Akademik RUU ini juga didukung oleh studi perbandingan hukum6 dengan mengambil bahan hukum sekunder yang tidak hanya dari bahan pustaka 4
Yuridis normatif artinya penelitian mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan dan norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Lihat Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Co., 1984), hal. 6-8. 5
Menurut Valerie J. Janesick, “Qualitative design is holistic. It lokks at the langer picture, the whole picture and begin with asearch for understanding of the whole”. Lihar Valerie J. Janesick, “The Dance of Qualitative Research Design, Methapor, Methodology and Meaning”, dalam Norman K. Denzin and Yvonne S. Lincoln, (ed), Handbook of Qualitative Research, (California: Sage Publication, Inc., 1994), hal. 212. 6
Dalam ilmu pengetahuan terdapat tiga konsep pokok yaitu klasifikasi, pengukuran (kuantitatif), dan perbandingan. Perbedaan ketiga konsep tersebut hanya terletak pada cakupan informasi yang tersedia atas suatu objek atau fenomena apapun yang sedang diamati. Di antara ketiga konsep dimaksud, konsep perbandingan (komparatif) adalah konsep yang lebih efektif memberikan informasi karena komparatif memiliki atau terikat oleh suatu struktur hubungan logis yang relatif kompleks dan rumit. Dalam hal ini, konsep perbandingan berperan sebagai perantara antara konsep klasifikasi dan pengukuran. Dengan memakai konsep perbandingan kita dapat mengetahui apa kelebihan dan kekurangan FIU negara lain dibandingkan dengan eksistensi PPATK. Lebih jauh lagi, dengan cara “menggali” pengalaman pemikiran yang berkembang mengenai sistem dan mekanisme penanganan TPPU di negara lain itu kita bisa memahami mengapa dan bagaimana FIU negara lain lebih maju dan efektif jika dibandingkan dengan FIU kita. Yunus Husein, “Kata Pengantar” dalam Tim Penyusun, Sistem dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Lain (Laporan Pelaksanaan Tugas 2003-2006), (Jakarta: PPATK, 2006), hal. iii.
6
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Indonesia maupun asing, tetapi juga bahan-bahan hukum primer seperti peraturan
perundang-undangan
nasional
dan
ketentuan-ketentuan
internasional yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana pendanaan terorisme, yaitu antara lain: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b) Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999. c) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing, 1997. d) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. e) Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, 2004. f) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000. g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. h) International Convention for The Suppression of The Financing of Terrorism, 1999. i) International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing, 1997. j) United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000. k) Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, 2004. l) FATF 40+9 recommendations. m) Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1372. n) Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267. o) Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1373. p) Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1425. q) Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1333. 7
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme r) Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1904. s) Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1988/1989. t) Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, 1970. u) Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1971. v) Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents, 1973. w) International Convention against the Taking of Hostages, 1979. x) Convention for the Suppression of Unlawful Acts at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988. y) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation 1988. z) Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation, 1988. aa) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of /Fixed Platforms located on the Continental Shelf, 1988. bb) Anti Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Act 2006 (Australia). cc) Combating the Financing of People Smuggling and other Measure Act (Australia). dd) KUHP Australia. ee) Freezing of Terrorist Asset (Australia) ff) Charter of the United Nations Act 1945.
2.
Metode empiris atau sosio-legal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif (menelaah) peraturan perundang-undangan, yang dilanjutkan dengan melibatkan ahli/pakar dari kalangan teroritisi, akademisi, praktisi, penguasa, pengurus organisasi dan lain sebagainya sebagai narasumber melalui penyelenggaraan forum dialog, forum komunikasi dan penelitian lapangan untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti.
8
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
BAB II KAJIAN TOERITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A.
Kajian Teoritis Pendanaan Terorisme Dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional Defenisi tentang tindak pidana internasional atau kejahatan internasional (international crimes) menurut Bassiouni7 sebagai berikut: “Tindak pidana internasional adalah setiap tindakan yang telah ditetapkan di dalam konvensi-konvensi multilateral dan yang telah diratifikasi oleh negaranegara peserta, sekalipun di dalamnya terkandung salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana” Bassiouni lebih lanjut menjelaskan kesepuluh karakteristik yang dimaksudkan, sebagai berikut: 1.
Explicit recognition of proscribed conduct as constituting an international crime or a crime under international law (pengakuan secara eksplisit atas tindakan-tindakan yang dipandang sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional).
2.
Implicit recognition of the penal nature of the act by establishing a duty to prohibit, prevent, prosecute, punish or the like (pengakuan secara implisit atas sifat-sifat pidana dari tindakan-tindakan tertentu dengan menetapkan suatu kewajiban untuk menghukum, mencegah, menuntut, menjatuhi hukuman atau pidananya).
3.
Criminalization of the proscribed conduct (kriminalisasi atas tindakantindakan tertentu).
4.
Duty or right to prosecute (kewajiban atau hak untuk menuntut).
5.
Duty or right to punish the proscribed conduct (kewajiban atau hak untuk memidana tindakan tertentu).
6.
7
Duty or right to extradite (kewajiban atau hak untuk mengekstradisi).
Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Pidana Internasional” (Bandung Refika Aditama, 2003), hal.
37.
9
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme 7.
Duty or right to cooperate in prosecution, punishment, including judicial assistance in penal proceeding (kewajiban atau hak untuk bekerjasama di dalam proses pemidanaan).
8.
Establishment of a criminal jurisdiction basis (penetapan suatu dasar-dasar yurisdiksi kriminil).
9.
Reference to the establishment of an international court (referensi pembentukan suatu pengadilan internasional).
10. Elimination of the defense of superiors orders (penghapusan alasan-alasan perintah atasan). Dilihat dari perkembangan dan asal-usul tindak pidana internasional ini, maka eksistensi tindak pidana internasional dapat dibedakan dalam: 1.
Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktik hukum internasional.
2.
Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional.
3.
Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Berdasarkan internasionalisasi kejahatan dan karakterisktik kejahatan
internasional, dalam konteks hukum kejahatan internasional, kejahatan internasional memiliki hirarki atau tingkatan. Sampai dengan tahun 2003 atas dasar 281 konvensi internasional sejak tahun 1812, ada 28 kategori kejahatan internasional, yaitu8: 1. Aggression. 2. Genocide. 3. Crimes against humanity. 4. War crimes. 5. Unlawful possession or use or emplacement of weapons. 6. Theft of nuclear materials. 7. Mercenaries. 8. Apartheid. 9. Slavery and slave-related practices. 10. Torture and other forms of cruel, inhuman, or degrading treatment. 8
Eddy O.S. Hiariej, “Pengantar Hukum Pidana Internasional” (Jakarta Airlangga, 2009), hal.55.
10
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme 11. Unlawful human experimentation. 12. Piracy. 13. Aircraft hijacking and unlawful acts against international air safety. 14. Unlawful acts against the safety of maritime navigation and the safety of platforms on high seas. 15. Threat and use of force against internationally protected persons. 16. Crimes against United Nations and associated personnel. 17. Taking of civilian hostages. 18. Unlawful use of the mail. 19. Attacks with explosives. 20. Financing of terrorism. 21. Unlawful traffic in drugs and related drug offenses. 22. Organized crime. 23. Destruction and/or theft of national treasures. 24. Unlawful acts against certain internationally protected elements of the environment. 25. International traffic in obsence materials. 26. Falsification and counterfeiting. 27. Unlawful interference with submarine cables. 28. Bribery of foreign public officials. Berdasarkan 28 kategori kejahatan internasional tersebut, M. Cherif Bassiouni9 membagi tingkatan kejahatan interasional menjadi tiga. Pertama, kejahatan internasional yang disebut sebagai international crimes adalah bagian dari jus cogens10. Tipikal dan karakter dari international crimes berkaitan dengan perdamaian dan keamanan manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental. Terdapat sebelas kejahatan yang menempati hirarki teratas sebagai international crime, yakni: 1.
Aggression.
2.
Genocide.
3.
Crimes against humanity.
9
Romli Atmasasmita, Op. Cit, hal. 35 Jus Cogens adalah hukum pemaksa yang tertinggi dan harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di dunia sebagai prinsip dasar umum dalam hukum internasional yang berkaitan dengan moral. Lihat, Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal 50. 10
11
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme 4.
War crimes
5.
Unlawful possession or use or emplacement of weapons.
6.
Theft of nuclear materials.
7.
Mercenaries.
8.
Apartheid.
9.
Slavery and slave-related practices.
10. Torture and other forms of cruel, inhuman, or degrading treatment. 11. Unlawful human experimentation. Kedua, kejahatan internasional yang disebut sebagai international delicts. Tipikal dan karakter international delicts berkaitan dengan kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal dari satu negara. Ada tiga belas kejahatan internasional yang termasuk dalam international delicts, yaitu: 1.
Piracy.
2.
Aircraft hijacking and unlawful acts against international air safety.
3. Unlawful acts against the safety of maritime navigation and safety of platforms on the high seas. 4.
Threat and use of force against internationally protected person.
5.
Crimes against United Nations and associated personnel.
6.
Taking of civilian hostages.
7.
Unlawful use of the mail.
8.
Attacks with explosive.
9.
Financing of terrorism.
10. Unlawful traffic in drugs and related drug offenses. 11. Organized crime 12. Destruction and/or theht of national treasures. 13. Unlawful acts against certain internationally protected elements of the environment. Ketiga, kejahatan internasional yang disebut dengan istilah international infraction. Dalam hukum pidana internasional secara normatif, international infraction tidak termasuk dalam kategori international crime dan international delicts. Kejahatan yang tercakup dalam international Infraction hanya ada empat, yaitu: 12
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1.
International traffic in obsence materials.
2.
Falsification and counterfeiting.
3.
Unlawful interference with submarine cable.
4.
Bribery of foreign public official. Kejahatan terkait pendanaan terorisme tersebut merupakan persoalan
yang sedang marak dan terjadi di negara ini. Kondisi ini berkaitan dengan adanya penangkapan-penangkapan teroris atau orang-orang yang dituduh Teroris akhir-akhir ini. Jadi memang tidak tertutup kemungkinan adanya “amanat” intenasional untuk menjaring seseorang atau pentolan organisasi teroris, karena masalah ini masuk dalam dalam katagori (Pendanaan Terorisme) Hukum Pidana Internasional. Walaupun demikian, ada satu hal yang musti diperhatikan oleh Pemerintah khususnya POLRI adalah, apapun dalil dan landasan hukumnya, tetap saja orang-oang yang tertangkap karena terlibat atau dituduh terlibat makar nasional atau Intensional harus tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Dalam Pasal 20 Statuta Roma seperti tertuang dalam salah satu azas Hukum Kejahatan Internasional (Azas Ne bis In) menyebutkan dalam ayat (1), bahwa “Tidak seorang pun diadili di depan mahkamah berkenan dengan perbuatan yang merupakan kejahatan dimana orang tersebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Mahkamah”. Kemudian dalam ayat (2) bahwa ”Seseorang tidak boleh dituntut dua kali di pengadilan atas Perkara yang sama” (Principle of Double Joepardy). Jika mengacu kepada Pasal 11 ayat (1) Deklarasi HAM PBB, berbunyi: Setiap orang yang dituntut karena diduga melakukan suatu tindak pidana, harus dianggap TIDAK BERSALAH sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dan pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua jaminan ynag diperlukan untuk pembelaannya”. Ayat ini sering kita sebut dengan menganut azas praduga tak bersalah. Jangkauan pemahaman Kejahatan Internasional bukan saja termasuk membantu pendanaan teroris melainkan juga genocide, melanggar HAM dan sebagainya. Hanya saja karena berkaitan dengan masalah teroris kita batasi
13
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme dalam hal ini teroris yang berkaitan dengan pendanaannya, ternyata masuk dalam katagori kejahatan internasional.
Memutus Mata Rantai Pendanaan Terorisme Pentingnya perang melawan pendanaan teroris telah tumbuh seiring dengan maraknya aksi-aksi terorisme di seluruh dunia.11 Meskipun tindakantindakan yang digunakan untuk mencegah pendanaan teroris banyak persamaannya dengan yang digunakan untuk pemberantasan pencucian uang, namun perlu diingat, bahwa pendanaan teroris dapat pula berasal dari sumber yang halal. Dengan demikian, sumber pendanaan teroris dapat diperoleh secara halal maupun secara tidak halal, sedangkan sumber uang yang terkena pencucian senantiasa merupakan hasil tindak pidana semata. Pada intinya pendanaan teroris, adalah penyediaan dukungan keuangan untuk terorisme baik bagi yang mendukung, merencanakan atau melakukan terorisme. Apa yang dimaksud dengan terorisme itu sendiri sampai saat ini belum berhasil disepakati.12 Karena kesulitan yang berkepanjangan atau kegagalan dalam merumuskan definisi terorisme dalam berbagai konferensi internasional, maka cara yang ditempuh adalah mengatur terlebih dahulu aspekaspek tertentu dari terorisme dalam berbagai perjanjian internasional secara 11
Kriminalisasi atas perbuatan pendanaan terorisme ini sangat mendesak dijadikan sebagai predicate crime dari tindak pidana pencucian uang. Sangat beralasan jika pendanaan terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana. Dalam hal ini, Indonesia sudah merespons secara positif gagasan yang berkembang dalam masyarakat internasional bahwa terorisme dan pendanaan terorisme merupakan tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, menjadi landasan hukum utama dalam menangani berbagai aksi terorisme di Indonesia. Pengaturan terorisme sebelumnya sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, selanjutnya dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantaan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Dalam UU TPPU tersebut disebutkan bahwa terorisme sebagai salah satu kejahatan masal dari money laundering sehingga uang yang berasal dari aktifitas organisasi teroris dapat dikejar dan dituntut dengan UU TPPU. Namun persoalannya, pemberantasan pendanaan terorisme bukan hal yang gampang. Belum adanya administrasi kependudukan yang tertib, seperti belum adanya kartu identitas tunggal (uniform single ID) bagi setiap orang, seperti halnya dikenal di beberapa negara, antara lain Amerika Serikat dengan Social Security Number. Pembuatan identitas palsu yang mudah dilakukan pun ikut mempersulit upaya deteksi dan penyelidikan kegiatan pendanaan terorisme. Penerapan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer) juga belum sepenuhnya dilakukan, baik karena alasan persaingan antar individu industri, kurangnya penegakan hukum, maupun kurangnya kesadaran nasabah. 12
Datin Paduka Dr. Rohani Abdul Rahim dari Universitas Kebangsaan Malaysia mengemukakan bahwa "Terorime merupakan sebuah tantangan global yang dihadapi pembuat kebijakan di setiap negara dan langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan kerjasama internasional dan mendukung kepentingan keamanan nasional”. Lihat “Seminar Internasional: Pencegahan Terorisme Perlu Kerjasama Semua Negara”, Prasetya Online, 23 Juni 2011.
14
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme sektoral, seperti masalah pendanaan terorisme dengan dikeluarkannya Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme, yaitu International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (selanjutnya disebut Konvensi SFT) pada mulanya hanya diratifikasi oleh beberapa negara. Namun setelah peristiwa tanggal 11 September 200113, semua negara
anggota
PBB
dihimbau
untuk
meratifikasi
konvensi
tersebut
(sebagaimana tertuang dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1372 (2001).14 Pemerintah Republik Indonesia sendiri baru ikut menandatangani Konvensi SFT tersebut pada tanggal 24 September 2001. Berdasarkan Pasal 2 Konvensi SFT, pendanaan terorisme terjadi apabila seseorang dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung, secara tidak sah dan dengan sengaja, menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan agar dana tersebut digunakan atau dengan sadar mengetahui bahwa dana tersebut akan digunakan baik seluruhnya atau pun sebagian daripadanya, untuk menjalankan suatu tindakan teroris. Selengkapnya
Pasal
2
Konvensi
SFT
tersebut
menyatakan,
bahwa tindakan teroris adalah suatu tindakan yang merupakan:
13
Combating Terrorism Financing atau perang terhadap pendanaan terorisme sebenarnya bukan dimulai setelah terjadinya peristiwa pemboman 9/11 di Amerika Serikat (AS). Perang melawan pendanaan terrisme telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh AS dan Inggris. AS semakin serius dalam usahanya mencegah pendanaan teroris dengan mengeluarkan the USA’s Antiterrorism and Effective Death Penalty Act (AEDPA) of 1996. Undang-Undang tersebut mampu mengkriminalkan warga negara AS yang terbukti menyediakan dana atau dukungan material terhadap kelompok yang oleh Sekretariat Negara AS dianggap sebagai Organisasi Teroris Internasional. Bahkan AEDPA ini juga mengatur pembekuan aset organisasi teroris dan penolakan visa kepada anggota atau pemimpin organisasi teroris. Embrio AEDPA of 1996 berawal dari Money Laundering Control Act 1986 yang merupakan Undang-Undang pertama di dunia yang menentukan money laundering (pencucian uang) sebagai kejahatan. Undang-Undang Anti Pencucian Uang Amerika tersebut melarang setiap orang untuk melakukan transaksi keuangan yang melibatkan hasil yang diperoleh dari specified unlawful activity. 14
Masalah terorisme tampaknya merupakan hal yang sulit dilupakan AS (pemerintah dan masyarakatnya), dan karena itu sejak tragedi 11 September 2001 tersebut AS dengan serta-merta mengambil berbagai langkah, tindakan, dan upaya untuk meredam, memerangi, dan menghukum kegiatan pencucian uang internasional dan anti-pendanaan terorisme, yang kemudian mengaturnya dalam "USA Patriot Act" Tahun 2001. Dengan Undang-Undang tersebut, AS ingin meningkatkan pelaksanaan aturan-aturan yang digariskan dan mengefektifkan perangkat investigasinya serta hal-hal yang terkait, baik di AS maupun di negara-negara lain di seluruh dunia. Bagi AS sendiri, Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk memperkokoh dan menyatukan masyarakat/rakyat AS dengan cara, antara lain, menyediakan perangkat yang sesuai dan diperlukan untuk menangkap/menahan, mencegah, dan menghalangi kegiatan terorisme di AS. Lihat: Rijanto, “Memerangi Pendanaan Terorisme”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/29/opini/586741.htm, diakses tanggal 12 Desember 2011.
15
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme (i) pelanggaran dalam pencakupan dari, dan didefinisikan dalam, salah satu perjanjian intrenasional berikut ini, yaitu: -
Konvensi Penindasan terhadap Pengambilan Alih yang Tidak Sah atas Pesawat Terbang (Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, 1970);
-
Konvensi Penindasan Tindakan yang Melawan Hukum terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil (Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1971);
-
Konvensi Pencegahan dan Hukuman terhadap Tindak Pidana terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Secara Internasional, termasuk Agen-Agen Diplomat (Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents, 1973);
-
Konvensi
International
memerangi
Pengambilan
Sandera
(International Convention against the Taking of Hostages, 1979); -
Konvensi Penindasan Tindakan yang Melawan Hukum dengan Kekerasan di Bandara yang Melayani Penerbangan Sipil Internasional, tambahan atas Konvensi Penindasan terhadap Tindakan yang Melawan
Hukum
terhadap
Keselamatan
Penerbangan
Sipil (Convention for the Suppression of Unlawful Acts at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988); -
Protokol untuk Penindasan terhadap Tindakan Melawan Hukum Di Bandara yang melayani Penerbangan Sipil Intenasional (Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation 1988);
-
Konvensi Penindasan terhadap Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation, 1988);
-
Protokol Penindasan terhadap Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Kebijakan yang telah Ditetapkan yang terletak di Wilayah Kontinental (Protocol for the Suppression of Unlawful Acts 16
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme against the Safety of /Fixed Platforms located on the Continental Shelf, 1988); dan -
Konvensi Internasional Penindasan terhadap Pemboman Teroris (International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, 1997).
(ii) setiap tindakan lainnya yang dimaksudkan untuk mengakibatkan kematian atau cedera badan berat terhadap seorang sipil, atau terhadap setiap orang lainnya yang tidak mengambil peran aktif dalam permusuhan-permusahan dalam suatu keadaan perselisihan bersenjata, apabila tujuan tindakan demikian, dalam sifat dan konteksnya, adalah untuk mengintimidasi suatu komunitas penduduk, atau memaksakan suatu Pemerintahan atau organisasi internasional untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu tindakan. Konvensi SFT secara garis besar juga mengatur tentang berbagai kewajiban negara pihak seperti untuk: 1. menentukan tindak kejahatan menurut Konvensi ini sebagai “criminal offences” dan sanksinya dalam perundang-undangan nasional masingmasing; 2. mengambil langkah-langkah yang diperlukan yang bertujuan untuk tidak membenarkan tindak kejahatan yang diatur Konvensi 1999 berdasarkan alasan-alasan politik, philosophi, ideologi, rasial, ethnis, agama atau “other similar nature” ; 3. mengambil langkah-langkah yang layak sesuai dengan legislasi nasional masing-masing vis-à-vis identifikasi,
deteksi,
pembekuan
atau
penyitaan “any funds used or allocated for” tindak kejahatan yang diatur dalam Pasal 2 ; 4. mengadili “alleged
offender”,
apabila
negara
tersebut
tidak
mengekstradisikannya. Secara tegas Konvensi SFT menyatakan, bahwa tindak kejahatan dalam Konvensi ini termasuk sebagai “extraditable offences”; dan 5. melaksanakan kerjasama internasional baik dalam rangka investigasi, proses ekstradisi dan “mutual legal assistance”.
17
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Kewajiban-kewajiban sebagaimana tersebut diatas, sebagian besar telah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan nasional atau dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia seperti antara lain: 1. Kriminalisasi pendanaan terorisme yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah disahkan
berdasarkan Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2003
(selanjutnya disebut Undang-Undang Terorisme). Undang-Undang Terorisme tersebut menyatakan, bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme”. 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU TPPU), jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, juga telah menjangkau pendanaan terorisme. UU TPPU menyatakan, bahwa “Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan, disamakan sebagai hasil tindak pidana”. 3. Undang-Undang Terorisme telah diatur berbagai tindak kejahatan yang juga dikatagorikan sebagai tindak pidana terorisme dan diancam dengan pidana yang sama (purely terrorism). Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 6 Konvensi SFT yang meminta Negara Pihak untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk tidak membenarkan tindak kejahatan yang diatur Konvensi SFT. Bahkan Undang-Undang Terorisme mengatur secara lebih luas dan lebih rinci atau tidak hanya sebatas pada 9 (sembilan) perjanjian internasional yang merupakan lampiran atau annex dari Konvensi SFT. Menurut Undang-Undang Terorisme tersebut, ada 18
18
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme (delapan belas) tindak kejahatan yang juga dikatagorikan sebagai tindak pidana terorisme antara lain: -
menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
-
dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;
-
dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;
-
dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;
-
dan lain sebagainya.
4. Undang-Undang Terorisme serta UU TPPU cukup sejalan dengan ketentuan Konvensi SFT. Pada intinya pasal-pasal dalam kedua UndangUndang tersebut menyatakan: -
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
-
untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme.
-
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada 19
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. 5. Terkait dengan masalah ekstradisi, Perpu Terorisme dengan tegas menyatakan, bahwa tindak pidana terorisme yang diatur dalam Perpu ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi. Dengan
demikian,
tindak
pidana
terorisme
termasuk
pendanaan terorisme merupakan “extraditable offences”. 6. Dengan telah disahkannya RUU tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, maka akan semakin melengkapi perundang-undangan yang menjadi dasar dan pedoman bagi pelaksanaan kerjasama internasional di bidang hukum dalam perkara pidana (international legal cooperation in criminal matters) yang meliputi ekstradisi dan MLA. Hal ini telah sejalan dengan Pasal 12 Konvensi SFT. Sebagai gambaran, mulai tahun 2008 hingga 2010 PPATK menemukan sebanyak 128 transaksi keuangan yang diduga terkait dengan pendanaan kegiatan terorisme di sejumlah wilayah Indonesia. Sebanyak 35 transaksi keuangan yang mencurigakan telah dilaporkan kepada penegak hukum (Harian Waspada, 29 Desember 2010). Dalam rangka membantu PJK mendeteksi transaksi keuangan para teroris, maka BI mengedarkan daftar konsolidasi yang dikeluarkan oleh PBB (UN Consolidated list) secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali, sebagai pelaksanaan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1267 dan 1373. Selain itu, PPATK telah
membangun
suatu hiper-link
pada
situs
PPATK
(http://www.ppatk.go.id) yang tersambung ke daftar konsolidasi yang dikeluarkan oleh PBB tersebut.15 Sehingga PJK dapat melakukan verifikasi untuk memastikan adanya kemiripan atau kesamaaan nama nasabahnya dengan nama-nama dalam daftar tersebut. Dalam hal ditemukan kemiripan atau kesamaan nama, maka PJK melaporkan kepada PPATK sebagai 15
Terkait dengan daftar teroris, Australia memilki 3 (tiga) sumber, yakni berdasarkan putusan pengadilan, berdasarkan daftar yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, atau berdasarkan daftar yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri. Lihat “Laporan Pelaksanaan Counter Financing of Terrorism Study Tour”, SydneyAustrala, 25-29 September 2011.
20
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme laporan transaksi keuangan mencurigakan, disamping kewajiban PJK untuk memblokir rekening nasabahnya tersebut.16 Dengan telah diakomodasinya kewajiban-kewajiban Negara Pihak, sebagaimana yang ditentukan dalam Konvensi SFT, maka ratifikasi atau pengesahan Konvensi SFT oleh Pemerintah dan DPR lebih bersifat mengukuhkan atau mempertegas komitmen Pemerintah Indonesia untuk memberantas tindak pidana pendanaan terorisme. Namun demikian, ratifikasi atau pengesahan Konvensi SFT menjadi sangat penting dalam rangka memperkokoh pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Ratifikasi atau pengesahan Konvensi SFT sangat terkait dengan rekomendasi
khusus
Financial
Action
Task
Force
on
Money
Laundering (FATF). Sebagaimana diketahui, bahwa dalam rangka memerangi pendanaan teroris, FATF juga telah mengeluarkan Rekomendasi-rekomendasi Khusus untuk Pendanaan Teroris (The Financial Action Task Force Special Recomendations
on
Terrorist
Financing).
Rekomendasi
tersebut
16
Aliran dana ke para teroris ternyata sudah berlangsung lama. PPATK mencatat, hingga bulan Maret 2010 sudah ditemukan 97 aliran dana ke teroris. Transaksi dilakukan melalui beberapa bank besar di Indonesia sejak tahun 2003. Mereka yang diduga teroris tersebut biasanya melakukan penarikan dana antara Rp. 400 ribu hingga Rp. 5 juta setiap kali transaksi. Semua transaksi dilakukan oleh orang dalam negeri. Dalam hal ini, PPATK terus melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia untuk menelisik aliran dana yang diduga terkait dengan aksi terorisme. Kerjasama tersebut merupakan upaya mengoptimalkan tugas masingmasing dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Sebelumnya, BI juga sudah mengeluarkan peraturan terkait pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/3/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencuciaan Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank. Aturan ini berlaku efektif pada 1 Maret 2010. Dalam PBI ditegaskan bahwa istilah know your customer (KYC) principles menjadi customer due dilligence (CDD). CDD merupakan langkah identifikasi, pencocokan, dan pemutakhiran informasi nasabah yang dilakukan oleh pedagang valas untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil nasabah. Langkah CDD oleh pedagang valas bukan bank ini wajib dilakukan ketika melakukan transaksi dengan nasabah atau beneficial owner (Beneficial owner adalah setiap orang yang memiliki dana, mengendalikan transaksi nasabah dan memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi, juga mereka yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian). Bank Indonesia juga mewajibkan pedagang valas melakukan CDD jika si pedagang valas meragukan kebenaran infromasi yang disampaikan oleh nasabah. CDD dilakukan melalui beberapa prosedur, yakni meminta dan mencocokkan informasi nasabah dengan dokumen pendukung yang memuat informasi nasabah. Pedagang valas juga harus mendapatkan informasi bahwa nasabah yang melakukan transaksi valas tersebut bertindak untuk diri sendiri atau untuk atau atas nama beneficial owner. Lihat: “Dana Teroris Ditransfer dari Bank Besar”, http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=36576, diakses tanggal 10 Desember 2011. Adanya potensi penyalahgunaan produk dan layanan jasa keuangan (bank dan non bank) untuk menyembunyikan atau menyamarkan dana-dana yang ditujukan untuk kegiatan terorisme, maka Penyedia Jasa Keuangan (PJK) perlu melakukan identifikasi terhadap transaksi keuangan yang terkait dengan pendanaan terorisme serta melaporkannya sebagai transaksi keuangan yang mencurigakan kepada PPATK. Untuk itu telah dikeluarkan Keputusan Kepala PPATK Nomor : KEP-13/1.02.2/PPATK/02/08 tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme Bagi Penyedia Jasa Keuangan.
21
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme merupakan standar internasional yang baru. Tujuannya adalah untuk menghalangi akses bagi para teroris dan pendukungnya untuk masuk ke sistem keuangan internasional. Rekomendasi Khusus FATF mengenai pendanaan terorisme tersebut merupakan reaksi langsung terhadap kejadian tanggal 11 September 2001. Rekomendasi ini diluncurkan pada bulan Oktober 2001, yang mencakup beberapa masalah tertentu secara sangat rinci dibandingkan dengan Konvensi SFT dan Resolusi 1373 (2001)
dari
Dewan
Keamanan
Rekomendasi-rekomendasi
Perserikatan
tersebut
telah
Bangsa
menjadi
Bangsa.
standar
yang
disepakati secara universal. Adapun substansi dari 9 Rekomendasi Khusus (special recommendations) FATF tersebut adalah sebagai berikut: I.
Meminta semua negara untuk meratifikasi Konvensi SFT untuk melaksanakan Resolusi PBB yang terkait pendanaan teroris. Dengan demikian, setiap negara seharusnya segera mengambil langkahlangkah untuk secara keseluruhan meratifikasi dan melaksanakan Konvensi SFT. Ratifikasi berarti bahwa semua negara harus mengambil
langkah-langkah
legislatif
atau
eksekutif
untuk
mensahkan konvensi, sementara pelaksanaan berarti bahwa semua negara harus mengadopsi kebijakan dan mengambil tindakan untuk memastikan
pelaksanaan
berdasarkan
sistem
yang
hukum
efektif
nasional
atas
Konvensi
SFT
masing-masing negara
tersebut. Semua negara terikat dengan persyaratan dan ketentuan dalam konvensi yang telah ditandatangani dan diratifikasinya. Dengan demikian semua negara yang telah meratifikasi Konvensi SFT memiliki kewajiban hukum untuk mengikutsertakan perjanjianperjanjian
internasional
tersebut
kedalam
legislasi
dalam
negerinya. Resolusi 1372 (2001) Perserikatan Bangsa Bangsa dan Rekomendasi Khusus FATF memanggil semua negara anggota untuk menjadi pihak dalam Konvensi SFT. II.
Meminta semua negara untuk memidanakan pendanaan teroris, tindakan teroris dan organisasi teroris. Pendanaan terorisme merupakan suatu pelanggaran pidana yang terpisah. Pemidanaan pendanaan terorisme terjadi apabila “seseorang dengan cara 22
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme apapun, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, secara melawan
hukum
dan
dengan
sengaja,
menyediakan
atau
mengumpulkan dana dengan tujuan agar dana tersebut digunakan atau dengan pengetahuan bahwa dana tersebut akan digunakan, baik secara keseluruhan atau secara sebagian, untuk melaksanakan” suatu tindakan teroris oleh sebuah organisasi teroris atau perorangan. Dua unsur merupakan kunci di sini: (1)
Unsur
mental: tindakan harus dilaksanakan secara sadar dan sengaja, atau dengan
pengetahuan
akan
penggunaan
ilegal
dana
tersebut; (2) Unsur materi: secara luas, ini merupakan kenyataan adanya penyediaan atau pengumpulan dana. Rekomendasi ini dikembangkan dengan sasaran agar semua negara memiliki kapasitas hukum untuk mengadili dan memberlakukan sanksi pidana terhadap semua orang yang mendanai terorisme. Mengingat hubungan yang dekat antara terorisme internasional dan inter alia pencucian
uang,
maka
sasaran
lainnya
adalah
untuk
menekankan semua negara untuk mengikut-sertakan semua pelanggaran pendanaan teroris sebagai pelanggaran predikat kejahatan (predicate offence) untuk pencucian uang. Adapun yang menjadi dasar mempidanakan pendanaan teroris adalah Konvensi SFT. III.
Mengharuskan semua negara untuk “mengadopsi dan melaksanakan tindakan-tindakan, termasuk tindakan yang memperbolehkan badan berwenang untuk mengambil alih dan menyita harta yang merupakan hasil dari, atau yang digunakan dalam, atau bertujuan atau dialokasikan untuk penggunaan dalam pendanaan terorisme, tindakan teroris atau organisasi teroris.” Negara harus dapat menghentikan atau menahan dana atau instrumen pembawanya yang dicurigai terkait dengan pendanaan teroris atau pencucian uang.
IV.
Mewajibkan semua lembaga keuangan untuk segera melaporkan transaksi-transaksi yang mencurigakan kepada badan berwenang, apabila mereka “mencurigai atau mempunyai dasar yang cukup 23
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme memadai untuk mencurigai bahwa dana yang berhubungan atau terkait dengan, atau akan digunakan untuk terorisme, tindakan teroris atau oleh organisasi teroris.” Sebagai suatu pra-syarat atas kewajiban melaporkan semua transaksi mencurigakan, semua lembaga keuangan diharuskan melaksanakan kewajiban uji tuntas nasabah atau (Pasal 18 Konvensi SFT). V.
Menyatakan, bahwa “setiap negara harus memberikan kepada negara lain bantuan sebesar mungkin sehubungan dengan penyelidikan dan cara kerja mengenai kriminil, pemberlakuan hukum perdata dan penyelidikan administratif sehubungan dengan pendanaan terorisme, tindakan teroris dan organisasi teroris.” — Kerjasama internasional dalam memerangi pendanaan terorisme sangat diperlukan untuk keberhasilan dalam perang melawan terorisme pada tingkat-tingkat global and nasional. Konvensi SFT (pasal-pasal 10,11,12-15,18.3) telah menetapkan seperangkat norma yang komprehensif untuk kerjasama internasional, sedangan resolusi 1373 (2001) Dewan Keamanan PBB mencakup hal tersebut dalam tingkat yang lebih luas (paragraf 2.c, 2.d dan 2.f).
VI.
Meminta semua negara untuk memastikan bahwa semua jasa transmisi uang dan nilai adalah berdasarkan standar internasional khusus FATF. Pengalaman menunjukkan bahwa semua sistem pengiriman uang memang telah digunakan untuk mendanai operasional para teroris. Rekomendasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua negara menjalankan persyaratan AML/CFT terhadap semua bentuk sistem pengiriman uang dan nilai, baik yang formal maupun yang informal.
VII. Meminta semua negara untuk mengaplikasikan sebuah standar khusus mengenai pengiriman uang secara telegrafis/elektronis yang tidak secara langsung dicerminkan dalam teks Konvensi SFT dan resolusi Dewan Keamanan. Rekomendasi Khusus VII FATF mewajibkan semua negara untuk mengambil berbagai tindakan tertentu
untuk
memastikan
bahwa
perantara
keuangan:
(1) memiliki informasi yang tepat dan bermanfaat mengenai 24
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme pengirim/originator (nama, alamat, nomor rekening) termasuk dalam pengiriman dana secara elektronis atau pesan yang terkait padanya; ( 2) menyimpan informasi pengirim dengan pengiriman dana tersebut atau pesan yang terkait padanya melalui rantai pembayaran. Bank koresponden merupakan bagian dari rantai tersebut; (3) meningkatkan penelitian terhadap pengiriman dana secara elektronis yang tidak mengikut sertakan informasi mengenai si pengirim dan harus berjaga-jaga terhadap kemungkinan adanya transaki yang mencurigakan. VIII. Meminta semua negara untuk memusatkan perhatian pada risiko pelanggaran atau penyalahgunaan oleh organisasi para teroris dan pendana teroris terhadap badan atau lembaga yang secara sah didirikan berdasarkan hukum nasional. Dengan demikian tujuannya adalah untuk mencegah orang-orang sektor hukum diperalat sebagai tameng atau sebagai cara untuk mendanai kegiatannya. Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa pendanaan bagi terorisme dapat berasal dari sumber yang sah. Meskipun bersumber dari usaha-usaha yang terlihat sah, dapat badan atau lembaga tersebut digunakan sebagai tabir untuk mengumpulkan dana bagi para teroris serta organisasinya. Untuk alasan-alasan inilah semua negara harus memastikan bahwa hukum mengenai pendanaan teroris mencakup pula dana yang diperoleh dari sumber-sumber yang sah dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah pendanaan sejenis itu. IX.
Terkait dengan tindakan membawa
uang tunai atau nilai
setaranya melintasi perbatasan nasional. Berdasarkan Rekomendasi ini, semua negara ditentukan untuk memantau transportasi uang tunai atau instrumen jual-beli atas nama, baik oleh perorangan atau melalui pos atau angkutan. Ini berarti bahwa negara tidak hanya memerlukan
sebuah
sistem
untuk
menyatakan
atau
mengungkapkan transportasi uang tunai atau nilai setaranya melintasi perbatasan, akan tetapi mereka juga perlu agar dapat
25
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme mendeteksi operasi-operasi demikian apabila terdapat kecurigaan adanya kegiatan pidana. Dari uraian diatas, terlihat keterkaitan antara Konvensi SFT dengan Rekomendasi Rekomendasi Khusus FATF. Bahkan Rekomendasi Khusus I FATF secara eksplisit telah menyatakan, bahwa semua negara diminta untuk meratifikasi Konvensi SFT. Diharapkan dengan telah disahkannya Konvensi SFT oleh Pemerintah dan DPR, akan menjadi bahan pertimbangan bagi FATF dalam menilai kepatuhan
Indonesia
terhadap
standar
internasional
di
bidang
pencegahan dan pemberantasan TPPU yang dikenal dengan FATF 40+9 recommendations.
Implementasi Standar Internasional Di kawasan Asia-Pasifik, APG merupakan salah satu lembaga yang dibentuk guna melakukan penilaian atas kepatuhan negara-negara anggota dalam menerapkan standar international terkait upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan Pendanaan Terorisme seperti penerapan FATF 40 Recommendation + 9 Special Recommendation. APG juga melakukan penelitian terhadap tipologi-tipologi yang terkait dengan TPPU dan Pendanaan Terorisme, memberikan bantuan teknis serta training-training yang dibutuhkan oleh negara-negara di dalam rangka penguatan sistem Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.17 Pada hakikatnya, pendekatan yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan Pendanaan Terorisme adalah pendekatan “follow the 17
Menurut David Shannon, sebagai salah seorang reviewer untuk Indonesia dalam proses ME (Mutual Evaluation) Tahun 2008, tantang yang dihadapi Indonesia dalam memenuhi standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme khususnya 9 Special Recommendation of FATF, antara lain: (a) terdapatnya berbagai organisasi teroris yang sangat aktif yang mengumpulkan dana dan melakukan aktivitas terorisme di Indonesia dan di sejumlah jurisdiksi di Asia Tenggara; (b) berdasarkan Resolusi 1267, sejumlah nama dan pihak masih teridentifikasi berafiliasi dengan Al Qaeda dan Taliban; (c) Jemaah Islamiyah (JI) yang masih ditengarai menjadi ancaman teroris di Indonesia; (d) sejumlah orang yang telah ditangkap maupun dihukum sebagai pelaku teroris. Adapun kerentanan lain yang dihadapi oleh Indonesia, adalah: (a) kondisi geografis Indonesia yang sangat luas yang dapat menjadi kesulitan di dalam menyelidiki kegiatan terorisme; (b) terbatasnya penggunaan undang-undang yang ada untuk mengidentifikasi dan menginvestigasi tindak pidana pendanaan terorisme, hanya ada 2 kali dakwaan atas pendanaan terorisme; dan (c) belum dipenuhinya secara keseluruhan sebagaimana ditentukan dalam UN Terrorist Financing Convention yang meliputi aktivitas mengumpulkan dana untuk kegiatan teroris perorangan maupun organisasi teroris. Secara keseluruhan, Indonesia masih menjadi negara teresiko dalam pelaksanaan pendanaan terorisme. Lihat: “Laporan Pelaksanaan Counter Financing of Terrorism Study Tour”, Sydney-Australa, 25-29 September 2011.
26
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme money”, yang menyakini bahwa uang dan segala bentuk property yang dimiliki oleh individual terrorist maupun terrorist group adalah merupakan jantungnya kegiatan pendanaan terorisme itu. Key tools yang dipakai dalam strategi pemberantasan Pendanaan Terorisme haruslah ditujukan bagi: Detection, Disruption, Prevention (termasuk melakukan upaya perlawanan atas radikalisasi teroris, dll), dan Response. Pencegahan dan pemberantasan Pendanaan Terorisme membutuhkan respon dari multi-agensi, yang meliputi: -
penetapan mekanisme pencegahan yang efektif, dan juga kemampuan khusus di dalam investigasi pelaku pendanaan terorisme.
-
koordinasi-koordinasi kebijakan antar lembaga
-
instrument-instrumen penegakan yang memadai
-
sasaran yang ditujukan dengan jelas untuk mencegah dan memberantas pendanaan terorisme.
-
peranan dan kesadaran dari lembaga-lembaga yang masih belum dapat merasakan bahwa keterlibatan lembaga mereka sangat penting, dan untuk itu mereka juga harus memperluas keikutsertaan mereka di dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme tersebut, seperti kantor pajak, lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai yayasan-yayasan sosial18, atau lembaga charity lainnya. Selain itu, perlu pula dikuatkan mekanisme kerjasama internasional
karena mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme mengikuti hakikat keberadaannya yang transnasional, yang membutuhkan adanya kerjasama internasional
untuk
pencegahan
dan
pemberantasannya.
Kerjasama
internasional yang perlu dikuatkan tersebut antara lain kerjasama antar Financial Intellegence Units (FIUs), lembaga-lembaga pengawas dan pengatur 18
Pada Workshop “Menuju Organisasi Nirlaba (Non Profit Organization) yang mempunyai tata kelola yang baik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Pendanaan Terorisme”, tanggal 28-29 November 2011 di Hotel Alila, Pecenongan, Jakarta, Wakil Kepala PPATK Agus Santoso menyampaikan bahwa ada sekitar 21.000 NPO yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM di Indonesia dan ada 10 lembaga Pemerintah, 8 Kementerian dan 2 Lembaga Negara menangani NPO dan banyak ditemukan kasus penyalahgunaan NPO/LSM yang menerima dana hibah dalam rangka pencucian uang dan juga pendanaan terorisme serta penipuan. Lihat: ykai.net, tanggal 2 Desember 2011, http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=857:upaya-pencegahan-danpemberantasan-tppu-dan-pendanaan-terorisme&catid=117:terkini&Itemid=136, diakses 26 Desember 2011.
27
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme mengenai charity, regulator sektor finansial (Bank Sentral), Kepolisian, Kepabeanan, Pengadilan, dll. Komunitas internasional telah menyetujui standar-standar yang harus dipedomani dalam rangka penguatan rezim Counter Financing of Terrorism meliputi bidang-bidang pertukaran informasi, baik yang informal, bersifat intellegence, maupun yang dapat digunakan sebagai bukti adanya keterlibatan orang secara pribadi ataupun group dalam pendanaan terorisme tersebut. Kriminalisasi pendanaan terorisme ditentukan dalam SR II dan SR III dari 9 Special Recommendation of FATF. Pada hakikatnya perbuatan yang harus dikriminalisasikan sebagai tindak pidana pendanaan terorisme adalah meliputi tindakan menyediakan atau mengumpulkan dana yang dimaksudkan untuk digunakan oleh organisasi teroris atau teroris perorangan, untuk semua tujuan. Oleh karena itu, ruang lingkup pendanaan terorisme harus diperluas sehingga menjadi sebagai berikut: -
Dana-dana (termasuk di dalamnya semua property) yang digunakan untuk pendanaan terorisme diperoleh dari sumber-sumber yang sah (legitimate) maupun yang haram (illegitimate).
-
Dana-dana tersebut yang walaupun pada kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan kegiatan terorisme tertentu.
-
Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris perorangan, yang dilakukan di tempat yang sama maupun di tempat yang berbeda dari penanggung jawab di bidang keuangan terorisnya. Selain itu, kriminalisasi harus pula meliputi perbuatan-perbuatan pidana
lainnya, seperti percobaan, penyertaan, konspirasi. Jika dibandingkan dengan konvensi, maka elemen-elemen yang terkandung dalam SR II lebih luas, meliputi perbuatan untuk menyediakan atau mengumpulkan dana, yang sengaja disediakan untuk digunakan oleh organisasi teroris atau teroris perseorangan untuk tujuan apapun. Tantangan-tantangan yang dihadapi dalam implementasi, antara lain, bahwa berdasarkan kriteria penting yang ada di dalam SR II. 1, pengaturan mengenai pendanaan terorisme belum seluruhnya meliputi pendanaan 28
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme terorisme untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme dan individual terorisme. Tidak semua treaty tentang kejahatan-kejahatan sebagaimana ada dalam lampiran konvensi telah mencakup mengenai kegiatan pendanaan terorisme. Negara-negara yang belum menjadi peserta dalam suatu treaty dapat melakukan kriminalisasi atas kegiatan pendanaan terorisme. Untuk proses penuntutan harus pula dapat dibuktikan bahwa tindak pidana yang dilakukan ditujukan untuk tujuan khusus tertentu, seperti untuk melakukan intimidasi pada suatu pemerintah tertentu, dll. Kegiatan Pendanaan yang dilakukan untuk tindak pidana lainnya hanya dapat diterapkan pada perbuatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan untuk mengintimidasi atau memaksa masyarakat ataupun pemerintahan manapun. Pada hakikatnya kriminalisasi atas tindak pidana Pendanaan terorisme harus berdiri sendiri, tidak sama dengan tindak pidana terorisme. Tantangannya adalah
bahwa
banyak
anggapan
bahwa
pendanaan
terorisme
itu
dikriminalisasikan semata-mata sebagai suatu bentuk dukungan pada kegiatan terorisme seperti perbantuan, permufakatan, percobaan, ataupun konspirasi atas tindak pidana terorisme. Boleh dikatakan bahwa hanya sedikit negara yang telah benar-benar memiliki keinginan dan kemampuan untuk mengimplementasikan sistem-sistem yang telah memenuhi standard dalam rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Kegagalan dari pihak yang berwenang untuk menentukan kebijakan nasional yang memiliki visi holistik dan memenuhi standard yang telah ditentukan oleh FATF maupun oleh UN. Masih sulitnya untuk melakukan pembekuan atas aset teroris di berbagai jurisdiksi. Terkait dengan standar internasional untuk pembekuan dana/aset, SR III mengharuskan negara-negara untuk melakukan pembekuan dana ataupun aset lainnya dari orang-orang yang telah ditentukan oleh UNSC Resolution No. 1267, yaitu Al Qaeda dan Taliban, termasuk di dalamnya adalah orang atau organisasi, kelompok, perusahaan maupun asosiasi-asosiasi lainnya yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan Taliban tersebut.
29
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Nama-nama tersebut dikirimkan kepada delegasi Dewan Keamanan PBB dan kemudian diedarkan kembali kepada negara-negara yang berwenang. Prosedur pembekuan aset-aset untuk kelompok tersebut haruslah “without delay and without prior notice to targets”. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah dilakukannya pemindahan aset oleh mereka yang akan mengakibatkan sulitnya pelacakan dan pembekuan aset. Pembekuan dana atau aset lainnya dari Orang yang telah ditentukan oleh PBB sebagai teroris menurut masing-masing Pemerintah negara, berdasarkan Resolution Number 1373, misalnya LTTE di Malaysia, dll. Resolusi ini tidak diperuntukkan bagi Taliban atau Al Qaeda, dan tidak termasuk nama-nama yang sudah masuk dalam daftar teroris yang dikeluarkan oleh UN. Diaturnya prosedur pelacakan, pembekuan, penyitaan aset-aset teroris dalam proses penyidikan kasus terorisme maupun dalam proses lainnya dalam kasus pendanaan terorisme. Dalam hubungan ini, setiap negara juga diwajibkan untuk memiliki hukum dan prosedur untuk: -
Melakukan pembekuan dana dan aset lainnya dari teroris maupun pihakpihak lain yang berafiliasi dengan prinsip without delay and without prior notice to targets;
-
Menerima permohonan negara lain atas diterapkannya Resolusi 1373 dalam rangka tindakan pembekuan asetnya;
-
Mengkonfirmasi mengenai permohonan oleh negara tersebut apakah yang menjadi landasan pengajuannya, apakah berdasarkan pada alasan yang reasonable atau memiliki dasar hukum yang tepat untuk dimintakannya tindakan pembekuan tersebut;
-
Melakukan
tindakan
untuk
membekukan
aset
untuk
merespon
permintaan tersebut, jika sesuai, dilakukan tanpa ditunda dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada orang yang diduga melakukan pendanaan terorisme tersebut. Sebagai response atas Resolusi 1267 dan 1373, maka pada pelaksanaan rezim extraordinary ini menghendaki 2 (dua) hal, yaitu: a. Mensyaratkan kemungkinan tetap dilakukannya pembekuan atas aset sekalipun tiada penuntutan.
30
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme b. Dapat melingkupi proses administratif dan juga proses peradilan, dengan maksud adalah: -
Untuk tetap menjaga dana tetap dibekukan selama proses pembuktian ataupun prses investigasi terhadap tindak pidana pendanaan terorismenya berjalan.
-
Harus menyertakan keterlibatan institusi keuangan secara langsung di dalam
melaksanakan
kewajibannya,
serta
orang-orang
yang
memegang aset untuk melakukan pembekuan without undue delay. Lingkup
penerapan
Resolusi
1267
dan 1373
pada
hakikatnya
menghendaki adanya perluasan makna pelaksanaan freezing atau pembekuan yaitu terhadap dana ataupun aset lainnya: -
yang seluruhnya atau yang secara bersama-sama dimiliki atau dikuasai, secara langsung maupun tidak langsung, oleh orang-orang yang telah ditetapkan, sebagai teroris, yang memberikan pendanaan untuk kegiatan terorisme pada teroris ataupun organisasi teroris; dan
-
yang dihasilkan atau didapatkan dari dana atau aset lainnya yang dimiliki atau dikontrol secara langsung ataupun tidak langsung oleh orang-orang yang telah ditetapkan sebagai teroris, yang memberikan pendanaan untuk kegiatan terorisme pada teroris ataupun organisasi terorisme. Berdasarkan c. III. 5 Resolusi 1267 dan 1373, maka diwajibkan bagi
negara-negara untuk dapat menerapkan mekanisme komunikasi kepada sektor keuangan maupun pihak-pihak lainnya terkait dengan prosedur freezing. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan efektif, mengingat proses freezing menjadi hal penting dalam konteks pendanaan terorisme, dan harus dilaksanakan dengan sifatnya yang urgen. Berdasarkan c. III.6 Resolusi 1267 dan 1373, maka untuk menciptakan proses freezing yang efektif, negara-negara harus membuat pedoman yang jelas bagi institusi-institusi keuangan dan pihak-pihak lain atau badan hukum yang mungkin menguasai dana-dana atau aset-aset yang menjadi target pembekuan. Terkait dengan SR III, maka seharusnya terdapat sistem monitoring yang memadai untuk memantau kepatuhan dari pihak-pihak di bawah rezim freezing terhadap ketentuan hukum yang relevan, peraturan dan kebijakan, dan menerapkan sanksi bagi pihak-pihak yang non compliance secara tepat. 31
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Mekanisme lain yang seharusnya diterapkan pula berdasarkan Resolusi 1267 dan 1373, adalah bahwasanya negara-negara harus mengimplementasikan pula prosedur pemberitahuan kepada publik untuk: -
Permintaan untuk melakukan delisting (c.III.7);
-
Permintaan dilakukannya unfreezing atas dana-dana atau aset dari orang yang dimintakan delisting tersebut (c.III.7);
-
Permintaan untuk unfreezing atas dana-dana atau aset dari orang atau badan hukum lainnya yang terkena imbas dari mekanisme pembekuan, misalnya beberapa kasus yang telah diverifikasi karena adanya kesalahan identitas atau terjadi kekeliruan (c.III.8);
-
Pihak-pihak atau perusahaan yang dana atau asetnya telah dibekukan tersebut diperbolehkan melakukan CHALLENGE kepada pengadilan atas tindakan pembekuan yang telah dilakukan. Menurut c. III.9 Resolusi 1267 sejalan dengan Resolusi 1425, ada pula
kewajiban dari pihak berwenang untuk mengakses dana atau aset yang dibekukan untuk menentukan biaya-biaya dan pembayaran atas berbagai tipe tambahan biaya, seperti biaya hipotek, biaya-biaya yang telah dikeluarkan lainnya. Setiap negara hendaknya selalu melakukan refleksi atas rezim anti pendanaan terorisme, dengan melakukan secara efektif hal-hal sebagai berikut: -
Apakah dana-dana dan aset teroris telah mampu diidentifikasi?
-
Apakah sudah diambil tindakan untuk melakukan pembekuan atas pihakpihak yang ditentukan dalam Resolusi 1267, maupun 1373, maupun untuk beberapa kasus pendanaan terorisme lainnya?
-
Seberapa banyak aset maupun dana yang telah dibekukan, dan berapa lama porses tersebut dilakukan?. Jika tidak ada aset yang dibekukan, maka harus berkontempelasi, mengapa tidak ada?
-
Prosedur apakah yang diambil oleh negara untuk memperoleh informasi dari sektor privat lainnya? Ketentuan mengenai penundaan transaksi dan pembekuan aset harus
memenuhi syarat sebagaimana ditentukan di dalam SR maupun Resolusi, yaitu harus tanpa menggunakan limit waktu. Ada kewajiban without undue delay.
32
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Kewajiban lainnya yang harus dilakukan setelah pembekuan aset adalah dilakukannya tindakan oleh Pengadilan dan kemudian pengadilan yang akan menetapkan penyitaan. Untuk proses penyitaan juga harus memenuhi kewajiban without delay.
Pembiayaan Organisasi dan Operasi Teroris Pada dasarnya ada 2 (dua) aspek penting yang perlu diperhatikan dalam hal pendanaan terorisme, yakni pendanaan operasi terorisme khusus dan pendanaan
terhadap
organisasi
lintas
batas
negara
yang
melakukan
pembangunan infrastruktur dan/atau penyebarluasan ideologi terorisme. Pergerakan arus pendanaan terorisme selama ini umumnya dapat melalui sektor keuangan formal (Bank, lembaga keuangan bukan bank, serta penyedia jasa keuangan lainnya), pergerakan uang tunai secara fisik, sistem perdagangan internasional, dan sistem pembayaran alternatif19, sumbangan-sumbangan melalui organisasi sosial/amal, dimana teroris seringkali menyalahgunakan hasil sumbangan/amal untuk kegiatan teroris, melakukan penyusupan terhadap kepengurusan organisasi sosial amal tersebut, melakukan pengumpulan dana dengan itikad tidak baik, dll. Untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang efektif di bidang anti pencucian uang dan pendanaan terorisme maka diperlukan komitmen politik, peraturan perundang-undangan yang proporsional, intelijen keuangan yang kuat, pengawasan sektor keuangan, penegakan hukum, dan kerjasama internasional. Sebagai perbandingan di Australia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan pendanaan terorisme: 1) Anti Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Act 2006 -
Peningkatan pengawasan terhadap aktivitas perbankan, sektor keuangan lainnya, termasuk pengawasan terhadap aktivitas profesiprofesi yang rentan terkait pendanaan terorisme dan pencucian uang,
19
Hal tersebut terjadi umumnya karena belum adanya aturan yang baik sebagaimana aturan mengenai perbankan, pemerintah umumnya tidak memiliki data dan kontrol yang jelas mengenai pelaku usaha di bidang sistem pembayaran alternatif, menggunakan data dan identitas yang tidak jelas dalam proses pengiriman dan penerimaan uang melalui sistem pembayaran alternatif.
33
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme seperti lawyers, akuntan, agen real-estate, pedagang logam mulia, dan sebagainya. -
Kewajiban-kewajiban terorisme:
prinsip
pokok
dalam
kepatuhan
regulasi
anti
pendanaan
konsumen/nasabah,
mekanisme
pelaporan yang baik, pengumpulan dan pengolahan data yang akurat, serta programprogram lainnya yang mendukung implementasi regulasi tersebut dalam praktek. 2) Combating the Financing of People Smuggling and other Measures Act -
Telah disetujui oleh Parlemen Australia pada bulan Juni 2011 sebagai amandemen
dari
Undang-Undang
Anti-Money
Laundering/
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme; -
Undang-Undang ini memuat ketentuan yang berorientasi untuk mengurangi resiko pengiriman uang melalui penyelenggara transfer dana yang bertujuan untuk pembiayaan kegiatan terorisme and beberapa kejahatan serius lainnya,
3) KUHP Australia Kriminalisasi terhadap: -
setiap orang yang dengan sengaja menerima dana dari atau menyediakan dana untuk organisasi teroris, baik secara langsung maupun tidak langsung dan orang tersebut mengetahui bahwa organisasi tersebut adalah organisasi teroris, diancam dengan maksimum pidana 25 tahun [Pasal 102.6 (1)];
-
setiap orang yang dengan sengaja menerima dana dari atau menyediakan dana untuk organisasi teroris, baik secara langsung maupun
tidak
langsung,
sedangkan
orang
tersebut
karena
kelalaiannya tidak mengetahui bahwa organisasi tersebut adalah organisasi teroris, diancam dengan maksimum pidana 15 tahun [Pasal 102.6 (2)]; -
setiap orang yang dengan sengaja memberikan dukungan atau menyediakan sumber bagi organisasi teroris dan orang tersebut mengetahui bahwa organisasi tersebut adalah organisasi teroris diancam dengan maksimum pidana 25 tahun [Pasal 102.7 (1)];
34
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme -
setiap orang yang dengan sengaja memberikan dukungan atau menyediakan sumber bagi organisasi teroris meskipun orang tersebut karena kelalaiannya tidak mengetahui bahwa organisasi tersebut adalah organisasi teroris diancam dengan maksimum pidana 15 tahun [Pasal 102.7 (2)];
-
setiap orang yang dengan sengaja atau kelalaiannya menyediakan dan/atau mengumpulkan dana, baik secara langsung/tidak langsung untuk, atas nama, atau melalui seseorang/organisasi terorisme dengan tujuan memfasilitiasi atau terkait dengan kegiatan terorisme diancam dengan pidana penjara maksimum seumur hidup (Pasal 103.1 dan Pasal 103.2) .
Ketentuan dalam KUHP ini dapat berlaku bagi setiap orang dan korporasi (termasuk organisasi nirlaba), serta tidak mensyaratkan bahwa dana tersebut harus secara nyata atau dengan percobaan telah digunakan untuk kegiatan terorisme. Sumber hukum lainnya: Charter of the United Nations Act 194520, Freezing of Terrorist Asset, dan UNSC Resolutions No. 1267 dan No. 1373 Hal-hal penting lain yaitu: -
pertanggungjawaban pidana yang diperluas hingga mencakup percobaan, pembantuan, penghasutan, konspirasi untuk kegiatan pendanaan terorisme;
-
kegiatan pendanaan terorisme merupakan salah satu tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang; dan
-
ketentuan mengeni penundaan dan penyitaan aset dalam KUHAP Australia 2002 dapat digunakan oleh para Jaksa dalam melakukan penuntutan.
Kewajiban dan panduan Hukum bagi organisasi Nirlaba di Australia: -
Mewujudkan upaya-upaya yang rasional untuk menjamin agar dana tersebut tidak di transfer kepada organisasi teroris.
20
Charter of the United Nations Act 1945 melakukan kontrol pada pemberian/integritas izin, yang mengatur bahwa: (a) adalah tindak pidana memberikan informasi palsu atau menyesatkan sehubungan dengan Peraturan, termasuk aplikasi ijin (bagian 28); dan (b) ijin yang diperoleh dengan menggunakan informasi palsu atau menyesatkan akan dibatalkan ab initio (bagian 13A dan 22B).
35
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme -
Mematuhi kewajiban-kewajiban hukum, khususnya prinsip due diligence dan update terhadap daftar kelompok teroris.
-
Memahami dan mengantisipasi resiko penyalahgunaan oleh kelompok teroris.
-
Kerjasama Internasional dapat dilakukan melalui MLA, Ekstradisi, kerja sama antar intelijen keuangan (the Egmont Group), standar internasional FATF, dan International Cooperation Review Group (ICRG).
Pembekuan Aset Teroris Pasal 39 Piagam PBB telah mengatur tindakan terhadap setiap ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian, dan untuk memutuskan tindakan yang akan diambil dalam rangka memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Selanjutnya, Pasal 25 mengatur bahwa Anggota (PBB) secara hukum terikat untuk menerima dan melaksanakan keputusan Dewan Keamanan. Dalam hal ini sanksi berupa tindakan yang tidak melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata (Pasal 41). Adapun beberapa Resolusi PBB yang Terkait Terorisme sebagai berikut: -
RES 1267/1333: berkaitan kegagalan Pemerintah Taliban dalam menyangkal
memberikan
perlindungan
dan
pelatihan
teroris
internasional serta bekerja sama dengan upaya untuk membawa teroris ke pengadilan, didakwa sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional. -
RES 1373: setiap tindakan terorisme internasional merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional.
-
RES 1904: mengecam Al-Qaeda, Usamah bin Laden, Taliban dan individu lainnya, kelompok, usaha dan badan/entitas terkait dengan mereka karena tindakan kriminal dan terorisme. Sedangkan sanksi keuangan yang diberikan oleh DK PBB terkait RES1267,
OP4 (b) dan RES1333, OP8 (c) , sekarang RES1988 / 1989) RES1373, OP1 (c) dan (d) adalah: -
Membekukan/memblokir tanpa penundaan dana, segala aset keuangan lain dan sumber daya ekonomi (yang berada di wilayah mereka), yang dimiliki atau dikendalikan oleh orang atau badan dimaksud. 36
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme -
Memastikan pencegahan penyediaan dana, aset keuangan atau sumber daya ekonomi oleh warga negara mereka, atau oleh orang atau badan dalam wilayah mereka, atau untuk kepentingan orang atau badan dimaksud. Berkaitan dengan sanksi tersebut, maka terminologi yang dipergunakan
oleh PBB adalah sebagai berikut : -
Memblokir adalah: melarang transfer, konversi, pelepasan atau pergerakan dana atau aset lainnya. Dana beku atau aset lainnya tetap menjadi milik orang tersebut atau badan yang mereka selenggarakan pada waktu pemblokiran.
-
Tanpa penundaan: dalam hitungan jam berdasarkan penetapan DK PBB (RES 1267), karena berdasaran RES 1373 terdapat alasan untuk mencurigai atau percaya terhadap penetapan orang atau badan dalam OP1 (c) RES1373.
-
Dana: aset keuangan lainnya dan sumber daya ekonomi: keuangan aset, properti dari setiap jenis, apakah berwujud atau tidak berwujud, bergerak atau tidak bergerak. Berdasarkan RES 1373, Orang atau badan yang diidentifikasi sebagai
subjek sanksi keuangan adalah: -
orang yang melakukan atau mencoba untuk melakukan tindakan teroris atau berpartisipasi atau memfasilitasi tindakan teroris;
-
badan/entitas yang dimiliki atau dikendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh orang-orang tersebut;
-
orang dan badan yang bertindak atas nama atau dalam kendali orang atau badan tersebut. Beberapa orang atau badan yang telah diidentifikasi dikenakan sanksi
keuangan berdasarkan resolusi adalah: 1. RES 1267 / 1333 (sekarang RES1988): a. Al-Qaeda; b. Individu, kelompok, usaha dan entitas terkait, sebagaimana dimaksud dalam daftar yang dibuat berdasarkan RES1267. 2. RES 1267 / 1333 (sekarang RES1989): a. Taliban; 37
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme b. individu, kelompok, usaha dan entitas terkait, sebagaimana dimaksud dalam daftar yang dibuat berdasarkan RES1989. DK PBB telah memberikan pedoman terkait pelaksanaan resolusi dimaksud, sebagai berikut: 1. Diharapkan masing-masing negara anggota menunjuk institusi/otoritas dan memiliki prosedur dalam mengidentifikasi orang atau badan serta memasukkannya dalam daftar (domestic list). Daftar tersebut ditetapkan dalam keputusan eksekutif atau yudikatif. Penyusunan daftar tersebut harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: -
dilakukan sendiri atau atas permintaan pemerintah asing;
-
didasarkan pada “alasan/dasar" standar pembuktian;
-
diterapkan tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada orang/badan yang ditetapkan tersebut;
-
tidak bersyarat atas adanya proses pidana;
-
mengirimkan nama-nama Al Qaeda/Taliban rekan untuk Komite 1267.
2. Memberikan kesempatan bagi orang/badan yang ditetapkan dalam daftar untuk mengajukan permohonan peninjauan ulang kepada otoritas berdasarkan bukti-bukti. 3. Melakukan review secara periodikal atas penetapan tersebut berdasarkan masukan negara anggota. 4. Memungkinkan delisting/unfreezing terhadap orang/badan dan asetnya yang tidak lagi masuk dalam daftar. 5. Pemblokiran dan larangan berurusan dengan aset orang yang masuk dalam daftar (pasca penetapan resolusi). -
Setiap Orang, bukan hanya lembaga keuangan, dalam yurisdiksinya wajib melakukan pemblokiran atas aset Orang/badan yang masuk dalam daftar tersebut.
-
Pemblokiran aset tersebut bersifat "tanpa penundaan".
6. Penyusunan strategi komunikasi diperlukan dalam rangka memastikan publikasi kepada masyarakat, berkenaan dengan: -
sanksi dan penerapan hukumnya;
-
persyaratan kepatuhan; 38
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme -
komprehensif penetapan orang/badan dalam daftar;
-
penetapan keputusan;
-
contact person/help desk.
Perampasan dan Penyitaan Aset Teroris Sejalan dengan semangat pemberantasan terorisme secara global, sebagai Negara
Anggota
FATF
seyogiyanya
menjalankan
secara
komprehensif
rekomendasi-rekomendasi FATF, baik dalam pemberantasan Money Laundering maupun dalam pendanaan terorisme. Dalam pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme, rekomendasi-rekomendasi FATF yang perlu diadopsi antara lain, Special Recommendation III mengenai Terrorist Financing, Recommendation 3 FATF dan Recommendation 38 FATF mengenai Anti-Money Laundering. Special Recommendation III FATF21 merekomendasikan bahwa setiap Negara wajib menerapkan langkah-langkah untuk membekukan dana tanpa penundaan (freeze without delay) atau aset teroris lainnya, mereka yang membiayai terorisme dan organisasi teroris sesuai dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Di samping itu, setiap negara juga wajib mengadopsi dan menerapkan
langkah-langkah,
termasuk
dalam
perundang-undangan
nasionalnya, yang akan memungkinkan pihak yang berwenang untuk merampas dan menyita harta yang merupakan hasil dari, atau digunakan dalam, atau dimaksudkan atau dialokasikan untuk digunakan dalam, pendanaan terorisme, tindakan teroris atau organisasi teroris. Pemberantasan
tindak
pidana
pendanaan
terorisme,
meskipun
merupakan rezim pengaturan yang berbeda dengan tindak pidana pencucian uang, namun selalu memiliki keterkaitan yang sejalan dengan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.22 Sehubungan dengan hal tersebut maka 21
Special Recommendation III FATF terdiri dari dua kewajiban, yaitu: (a) menerapkan langkahlangkah yang sesuai dengan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB terkait perampasan dana teroris atau aset lainnya tanpa penundaan; dan (b) mengambil langkah-langkah yang memungkinkan untuk merebut atau merampas dana teroris atau aset lainnya atas dasar perintah atau mekanisme yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang atau pengadilan. 22
Dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme, Pemerintah Australia juga memiliki dasar yang berasal dari hukum nasional Australia, yaitu
39
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme dalam pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme perlu diperhatikan juga Recommendation 3 FATF
dan Recommendation 38 FATF dalam
pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Recommendation 3 FATF menyebutkan bahwa tindakan yang dilakukan Pemerintah tersebut harus termasuk kewenangan untuk mengidentifikasi, melacak dan mengevaluasi harta kekayaan yang akan dirampas, melaksanakan langkah-langkah sementara, seperti pembekuan dan menyita, untuk mencegah transaksi, transfer atau penghilangan harta tersebut. Dalam kaitannya dalam pelaksanaan Mutual Legal Assistance (MLA) dengan negara lain, Recommendation 38 FATF menyebutkan bahwa setiap negara wajib memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan cepat dalam menanggapi permintaan oleh negara-negara lain untuk mengidentifikasi, membekukan, menyita dan menyita properti dicuci, hasil dari pencucian uang atau tindak pidana asal, sarana-sarana yang digunakan dalam atau dimaksudkan untuk digunakan dalam tindak pidana. Setiap Negara juga memiliki pengaturan untuk mengkoordinasi proses penyitaan dan perampasan aset teroris. Kerja sama internasional dilakukan atas dasar mekanisme perjanjian atau pengaturan lainnya untuk melakukan bantuan hukum timbal balik atau pertukaran informasi (termasuk agency to agency channels), yang paling memungkinkan dalam pemberian bantuan dalam kaitannya dengan tindak pidana, penegakan hukum sipil, dan investigasi administratif, pertanyaan, dan proses yang berkaitan dengan pendanaan terorisme, tindakan teroris dan organisasi teroris.23
Commonwealth Criminal Code dan Proceeds of Crime Act 2002. Sistem hukum Australia tersebut memungkinkan adopsi langsung dari hukum internasional seperti rekomendasi-rekomendasi PBB dan rekomendasi-rekomendasi FATF. Australia memiliki pendekatan yang sangat tegas dalam hal tindak pidana pencucian uang. Division 400, Commonwealth Criminal Code berisi tindak pidana pencucian uang utama di Australia. Divisi 400 tersebut dimasukkan ke dalam Commonwealth Criminal Code melalui Proceeds of Crime Act 2002 pada Januari 2003. Saat ini ada 19 pelanggaran yang berbeda dari pencucian uang yang tersedia di bawah Commonwealth Criminal Code, dan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu: (a) mereka yang terkait dengan hasil kejahatan (dana yang dihasilkan oleh aktivitas ilegal); dan (b) mereka yang terkait dengan instrumen kejahatan (dana yang digunakan untuk melakukan kegiatan ilegal). Lihat “Laporan Pelaksanaan Counter Financing of Terrorism Study Tour”, Sydney-Australa, 25-29 September 2011. 23
Sebagai contoh bentuk kerjasama antar negara, Australia dan Indonesia telah memiliki dasar hukum melalui Treaty Between Australia and the Republic of Indonesia on Mutual Assistance in Criminal Matters yang ditandatangani tanggal 27 Oktober 1995. Mutual Assistance tersebut meliputi proses: (a) membuat daftar orang yang diduga terkait dalam pendanaan teroris berdasarkan daftar PBB; (b) melakukan lokalisasi aset; (c) melakukan penahanan aset; (d) melakukan perampasan aset; dan (e) melakukan pengambalian kepada negara yang meminta proses mutual assistence, baik hartanya maupun pelakunya. Pengembalian dalam lingkup
40
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
Monitoring Oleh Penyedia Jasa Keuangan Pendanaan
Terorisme
adalah
segala
perbuatan
dalam
rangka
menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana baik langsung maupun tidak langsung digunakan atau yang diketahui akan digunakan untuk terorisme, Organisasi Teroris, atau Teroris. Pendanaan Terorisme banyak dilakukan dengan menggunakan transaksi keuangan yang dilakukan melalui penyedia jasa keuangan (PJK), yaitu setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan baik secara formal maupun nonformal. Terminologi “formal” atau “nonformal” dapat diartikan sebagai PJK berbentuk badan hukum (formal) atau perorangan/tidak berbadan hukum (nonformal) Sementara itu, pengertian Orang dapat pula meliputi perseorangan dan korporasi (badan hukum atau tidak berbadan hukum). UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana telah mengatur bahwa dalam melakukan kegiatan usahanya, Penyelenggara Transfer Dana (PTD) harus mendapatkan ijin dari Bank Indonesia. Untuk melindungi kepentingan masyarakat, PTD yang menyelenggarakan kegiatan transfer dana tanpa ijin, akan dikenai ancaman hukuman pidana (PTD ilegal). Pada prinsipnya, PJK merupakan PTD karena menyelenggarakan kegiatan transfer dana, sehingga harus memiliki ijin (formal).
Dalam hal ini upaya
pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dilakukan melalui: a.
penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa Keuangan;
a.
pelaporan dan pengawasan kepatuhan Pengguna Jasa Keuangan;
b.
pengawasan kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer atau pengiriman uang melalui sistem lainnya; dan
c.
pengawasan pengumpulan dan penerimaan sumbangan.
PJK harus melaporkan transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme kepada PPATK, yaitu terkait: pengembalian pelaku tindak pidana dilakukan melalui proses ekstradisi yang berlaku berdasarkan perjanjian. Dalam hal ini, Australia dan Indonesia memiliki Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. Pelaksanaan ekstradisi antara kedua negara tunduk kepada perjanjian dan prosedur yang berlaku di setiap negara tersebut. Sehingga dalam hal tertentu terdapat batasan-batasan yang menyebabkan ekstradisi tidak dapat diberikan, namun ada juga dalam batasan-batasan tersebut dapat diberlakukan berdasarkan kebijakan. Lihat “Laporan Pelaksanaan Counter Financing of Terrorism Study Tour”, Sydney-Australa, 25-29 September 2011.
41
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme a.
transaksi yang patut diduga menggunakan dana yang terkait atau berhubungan dengan atau akan digunakan untuk tindak pidana terorisme; atau
b.
transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris.
B.
Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
Pendanaan teroris adalah merupakan bagian dari persoalan kejahatan global yang sudah ada sejak lama dan terkait erat dengan dana-dana ilegal yang bergerak menyeberang lintas batas antar negara. Sumber pendanaan teroris di Asia Tenggara, sebagaimana dikemukakan oleh Arabinda Acharya24 berasal dari sumbangan (donations), pemanfaatan uang dari yayasan amal agama Islam, keuntungan dari pendapatan bisnis yang sah dan berasal dari kejahatan. Sumbangan (donasi) untuk terorisme diberikan dalam bentuk yang berbeda-beda dan yang diberikan secara sukarela atau diperoleh melalui unsur paksaan. Pada umumnya uang tersebut dikumpulkan anggota-anggota kelompok sebagai suatu kewajiban dari anggota. Seperti halnya yang diatur dalam PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al–Jamaah Al–Islamiyah) sebagai Piagam Anggaran Dasar Jemaah Islamiyah yang menuntut anggota-anggotanya berpartisipasi pada organisasi.25
24
Arabinda Acharya, Terorist Financing in Southest Asia dalam Terrorism in South and Southest Asia in The Coming Accade, Editor Daljit Singh, Institute of Southest Asian Studios, Singapore, 2009, hal. 96 104 , 25 Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyah (PUPJI) yang isinya antara lain : a. Ushulul–Manhaj Al-Harakiy Li Iqomatid-Dien atau pokok-pokok pedoman gerakan menegakkan agama yang berisi prinsip-prinsip dalam memahami Ad-Dien sebagai landasan langkah-langkah sistematis yang wajib ditempuh dalam rangka menegakkan Ad-Dien. Menegakkan Ad-Dien yang dimaksud adalah menegakkan Daulah Islamiyyah atau Negara Islam dan selanjutnya menegakkan Khilafah Islamiyyah atau pemerintahan Islam. Ushulul–Manhaj Al-Harakiy Li Iqomatid-Dien ini berfungsi sebagai pedoman pokok yang menjadi dasar dalam penyusunan Al-Manhaj Al Hirakiy Li Iqomatid-Dien. b. Al-Manhaj Al Hirakiy Li Iqomatid-Dien atau pedoman gerakan menegakkan agama mengandung pengertian sebagai pedoman mengenai langkah-langkah sistematis yang wajib ditempuh dalam rangka menegakkan Dien. Fungsi Al-Manhaj Al Hirakiy Li Iqomatid-Dien adalah sebagai penjabaran dari Ushulul– Manhaj Al-Harakiy Li Iqomatid-Dien dan sebagai pedoman dasar dalam penyusunan Al-Manhaj Al-Amaliy. c. Al-Manhaj Al-Amaliy atau pedoman operasional mengandung pengertian sebagai pedoman umum operasi.
42
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Sumber dana terorisme juga dilakukan dengan penyalahgunaan yayasan amal yaitu menyelewengkan uang yang dikumpulkan melalui zakat dengan dalih untuk ijtihad. Dalam hal ini penyumbang zakat menganggap bahwa uang itu dizakatkan sebagai kewajiban keagamaan yang digunakan untuk tujuan utama beribadah. Pengelola dana zakat menginvestasikan dalam bentuk bermacammacam sumbangan atau subsidi pada organisasi-organisasi amal. Uang zakat tersebut dapat disalahgunakan tanpa sepengetahuan penyumbang, pemberi zakat atau bahkan tidak diketahui oleh anggota pengelola/pengurus dan staf organisasi itu sendiri. Uang tersebut diselewengkan oleh pegawai atau pengurus lainnya. Dengan cara ini sumbangan amal dapat dilibatkan untuk mendukung kegiatan kelompok-kelompok teroris. Sumber dana juga dapat diperoleh kelompok teroris dengan membangun usaha mereka sendiri melalui perdagangan dan perputaran uang. Bisnis wirausaha tingkat menengah adalah sesuatu yang ideal, bukan hanya menghasilkan pendapatan, tetapi juga menjadi kedok transaksi keuangan untuk menghindari pelacakan. Bisnis ini meliputi perusahaan konstruksi, agen perjalanan (travel agencies), jasa pengiriman (courier service), jasa pengiriman uang dan bahkan sekolah-sekolah.
d. Nidhom Asasi atau aturan dasar atau anggaran dasar, yang antara lain mengatur Jama’ah, bahwa jama’ah bernama Al-Jama’ah Al-Islamiyah yang merupakan Jama’atun minal-Muslimin yaitu sebuah Jama’ah yang anggotanya terdiri dari sebagian kaum muslimin, bukan seluruh kaum muslimin di dunia, dengan sasaran perjuangan mewujudkan tegaknya Daulah Islamiyah sebagai basis menuju wujudnya kembali Khilafah Alaa Minhajin Nubuwwah atau pemerintahan berdasarkan ajaran Nabi dengan menempuh jalan antara lain jihad fii sabilillah. Jama’ah dipimpin oleh seorang Amir atau pemimpin, yang dalam melaksanakan tugasnya Amir dibantu oleh majelis – majelis Qiyadah atau Dewan Kepemimpinan, Majelis Syuro atau Dewan Pertimbangan, Majelis Fatwa atau Dewan Penasehat dan Majelis Hisbah atau Dewan Pengawas. Majelis Qiyadah terdiri dari Majelis Qiyadah Markaziah atau Dewan Pimpinan Pusat, Majelis Qiyadah Manthiqih atau Dewan Pimpinan Wilayah dan Majelis Qiyadah Wakalah atau Dewan Pimpinan Tingkat Perwakilan. Tugas dan wewenang Amir antara lain menerima mubaya’ah atau pembai’atan anggota, Amir mengangkat dan memberhentikan anggota majelis syuro, anggota majelis qiyadah markaziyah, anggota majelis fatwa dan anggota majelis hisbah, Amir menyelenggarakan musyawarah majelis-majelis tingkat markas, mengutip infaq dari anggota jama’ah yang baik yang bersifat rutin maupun incidental, memberi sanksi anggota jama’ah yang melanggar peraturan jama’ah. Amir membela dan melindungi anggota, mengadakan hubungan dengan pihak lain yang dipandang membawa kemashlahatan jama’ah dan menunjuk pejabat sementara apabila berhalangan dalam menjalankan tugasnya. Amir juga mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengesahkan keputusan musyawarah. Untuk melaksanakan Ushulul–Manhaj Al-Harakiy Li Iqomatid-Dien, Al-Manhaj Al Hirakiy Li Iqomatid-Dien, Al-Manhaj Al-Amaliy dan Nidhom Asasi antara lain dengan Tandzim Siri atau organisasi rahasia, Pembinaan At-To’ah atau ketaatan / loyalitas, Tajnid atau rekrut kemiliteran, Pendidikan dan Pelatihan, Tamwil atau pendanaan dan Jihad Musallah atau jihad dengan senjata. Jihad Musallah diartikan sebagai Qital yakni perperang untuk melawan musuh Allah dan Rasul-Nya antara penguasa kafir, musyrik, murtad, zindiq, mustabdil dan pembantunya tanpa menjelaskan alasan dibolehkannya jihad Qital (berperang). (Disalin dari Surat Dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 12 Oktober 2004 dalam perkara terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad alias Abu Bakar Ba’asyirbin Abud Ba’asyir)
43
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Seringkali kelompok teroris itu sendiri yang akan mengambil tindakan menyebarkan uang untuk memulai suatu bisnis yang sah. Salah satu tujuannya disini adalah untuk menghasilkan pendapatan atau untuk mencampurkan hasil pencucian uang seolah-olah berasal dari usaha yang sah. Kelompok teroris juga menggunakan sekolah-sekolah swasta untuk mendukung pendanaan dalam aktifitas mereka. Beberapa sekolah yang sudah mapan juga membayar orang-orang upahan untuk operasi teroris. Arabinda Acharya menyebut nama Zubair seorang warga negara Malaysia, menjadi anggota Al Qaeda, membangun aktifitas kelompok melalui jaringan sekolah perawat, taman kanak-kanak dan yatim piatu. Zubair bertanggung jawab untuk operasi dari Om-Al-Qura Foundation, suatu sekolah Islam di Cambodia 26. Modus operandi pendanaan terorisme sebagaimana digambarkan diatas adalah merupakan salah satu bentuk perbuatan yang akan dikriminalisasikan
27
dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme. Menurut Mardjono Reksodiputro28 untuk menguji suatu kriminalisasi primair (rumusan tindak pidana) perlu diperhatikan sejumlah asas, yaitu : (1) Asas bahwa kerugian yang digambarkan oleh perbuatan tersebut harus masuk akal, adapun kerugian ini dapat mempunyai aspek moral (moralitas individu – kelompok – kolektifitas), tetapi selalu harus merupakan “public issue”. (2) Asas adanya toleransi (tenggang-rasa) terhadap perbuatan tersebut penilaian atas terjadinya kerugian, berkaitan erat dengan ada atau tidak adanya toleransi ; toleransi didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan tanggung jawab individu) ; (3) Asas subsidiaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan apakah kepentingan hukum yang terlanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi dengan cara lain ; hukum pidana hanyalah ultimum remedium) ;
26
Arabinda Acharya, loc.cit, hal. 101. Kriminalisasi menurut Mardjono Reksodiputro mengandung pengertian : primair untuk menyatakan sebagai tindak pidana perbuatan dalam abstracto dan secundair untuk memberi label pelanggar hukum pidana pada orang dalam concreto (sekedar catatan sementara tentang Kriminalisasi, Politik Kriminal dan AsasAsasnya (Makalah disampaikan pada FGD-PPATK, Senin, 5 Januari 2008) 28 (ibid) 27
44
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme (4) Asas proporsionalitas (harus ada keseimbangan antara kerugian yang digambarkan dengan batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi, dan dengan reaksi atau pidana yang diberikan) ; (5) Asas legalitas, apabila a sampai dengan d telah dipertimbangkan, masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan dengan baik hingga kepentingan hukum yang akan dilindungi, tercakup dan pula jelas hubungannya dengan asas kesalahan, yang merupakan sendi utama hukum pidana ; (6) Asas penggunaannya secara praktis, dan efektifitasnya berkaitan dengan kemungkinan penegakannya serta dampaknya pada prevensi umum (practical use and effectivity). Perumusan tindak pidana pendanaan terorisme dapat dipandang telah memenuhi asas-asas kebijakan kriminal tersebut diatas, yaitu : (1) Sifat kerugian yang ditimbulkan perbuatan pendanaan terorisme dapat menimbulkan kerugian baik dari aspek moral maupun public issue. Aspek moral dapat digambarkan dari kerugian mereka yang secara ikhlas menyumbang atas dasar kewajiban agama yang disalurkan melalui badanbadan keagamaan seperti badan zakat, yayasan keagamaan ternyata telah disalahgunakan orang lain untuk membantu pendanaan terorisme. Upaya menghentikan pendanaan terorisme bukan saja menjadi issu domestik tetapi juga sudah menjadi issu global. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1373 (2001) tertanggal 28 September 2001 telah memutuskan agar semua negara mencegah dan menindas pendanaan tindakan–tindakan teroris. Resolusi juga meminta kepada semua negara untuk menjadikannya suatu kejahatan untuk setiap perbuatan yang dengan sengaja memberi atau mengumpulkan dengan cara apapun baik langsung atau tidak langsung dengan maksud bahwa dana tersebut akan digunakan untuk melaksanakan tindakan-tindakan teroris. (2) Memenuhi asas toleransi (tenggang-rasa) dalam arti bahwa akibat perbuatan pendanaan dapat mengakibatkan tindakan terorisme yang menimbulkan kerugian sangat besar bagi masyarakat berupa korbanharta benda maupun korban manusia. Masyarakat tidak dapat lagi mentolerir
45
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme perbuatan pendanaan terorisme yang menimbulkan kerugian luar biasa bagi masyarakat. (3) Asas subsidiaritas telah terpenuhi mengingat tidak ada cara lain untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat, selain dengan menggunakan hukum
pidana
sebagai
ultimum
remedium.
Alternatif
usaha
lain
memberantas pendanaan terorisme dipandang tidak akan memadai, berhubung analisa biaya dan hasil, dukungan publik yang kuat baik nasional maupun
internasional
terhadap
pemberantasan
terorisme
melalui
penghentian pendanaan. (4) Asas proporsionalitas sebagai persyaratan kebijakan kriminal dapat digambarkan dengan adanya keseimbangan antara kerugian menurut batas – batas asas toleransi dengan reaksi atau pidana yang akan diberikan. Ancaman sanksi pidana merupakan sarana yang efektif untuk menekan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pendanaan teroris. (5) Asas legalitas akan terpenuhi melalui perumusan undang-undang yang jelas, konkrit sejalan dengan asas lex sricpta (dirumuskan sebagai aturan hukum pidana tertulis), asas lex certa (perumusan jelas dan tidak multi tafsir), dan asas lex stricta (aturan itu harus ditafsirkan secara sempit dan tidak digunakan analogi). (6) Asas penggunaannya secara praktis dan efektif dalam penerapannya akan dapat dipenuhi manakala waktu merumuskan tindak pidana sudah memiliki prediksi dalam praktik penegakan hukumnya. Tindak pidana pendanaan terorisme merupakan tindak pidana yang mendahului terjadinya tindak pidana terorisme. Terorisme tidak akan dilakukan tanpa dana. Oleh karena sifat tindak pidana ini adalah tindak pidana yang kemungkinan menimbulkan ancaman bahaya, terjadinya pelanggaran atas kepentingan hukum tidak ditunggu, tetapi hukum pidana dapat dikatakan melakukan upaya preventif. Hukum pidana tidak menunggu munculnya akibat perbuatan (kerugian), namun langsung bekerja begitu “ancaman” terhadap kepentingan hukum yang hendakdilindungi muncul29 ancaman bahaya dalam
29
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, diterjemahkan oleh Pascal Moeljono, SH. LLM, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 62.
46
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme perumusan tindak pidana, Jan Remmelink menunjuk adanya dua cara yaitu delik yang menimbulkan bahaya abstrak, suatu cara merumuskan suatu perbuatan tertentu sebagai tindak pidana berdasarkan pengalaman, perbuatan tertentu sangat mudah berujung pada pelanggaran kepentingan kepentingan hukum, tanpa merumuskan lebih terperinci kepentingan-kepentingan hukum seperti apa yang rentan terhadap resiko tersebut. Sebaliknya yang kedua, delik yang menimbulkan bahaya konret, yaitu ia juga dapat merumuskan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, apabila tindakan tersebut “in concreto” telah menimbulkan bahaya yang dirumuskan dalam undang-undang. Katagori tindak pidana tersebut berkembang menjadi pemilahan antara delik formal dan delik materiil. Delik yang menimbulkan bahaya abstrak hanya melarang suatu perilaku, sedangkan delik yang menimbulkan bahaya konkret melarang suatu tindakan dan munculnya akibat yang menimbulkan bahaya bagi kepentingan-kepentingan hukum tertentu. Mencermati cara perumusan tindak pidana sebagaimana tersebut diatas, maka tindak pidana pendanaan terorisme pada dasarnya adalah merupakan suatu perbuatan yang merujuk pada kelakuan yaitu melakukan suatu perbuatan dengan segala cara, langsung atau tidak langsung, secara melawan hukum dan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan maksud akan digunakan melakukan terorisme. Tentang akibat perbuatan, berupa terorisme sebagai kepentingan hukum yang dilanggar, masih belum tentu terjadi akan timbul. Dengan demikian perumusan tindak pidana pendanaan terorisme, lebih tepat dirumuskan sebagai “delik formal”.
C.
Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat
Pendanaan terorisme merupakan “urat nadi” dari terjadinya suatu kegiatan terorisme. Dalam melakukan suatu aksi teror dibutuhkan dana dalam jumlah besar. Berdasarkan kenyataan ini upaya pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme dianggap sebagai upaya terkini untuk memberantas kegiatan terorisme itu sendiri. 47
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Teorisme memerlukan dana untuk mendapatkan senjata dan bahanbahan peledak yang belakangan ini banyak digunakan. Kelompok-kelompok teroris yang sudah sangat terorganisir mengguunakan peralatan-peralatan yang lebih canggih, baik untuk senjata maupun sarana komunikasi. Selain itu, agar tenaga-tenaga dapat terlatih untuk menjalankan aksinya mereka perlu membuat pelatihan. Dibutuhkan adanya tempat untuk menampung para teroris sehingga mereka dapat hidup dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Semua kegiatan dan kebutuhan diatas membutuhkan dana yang dapat dibilang tidak sedikit. Sehingga, apabila setiap negara dapat memotong aliran dana bagi para teroris maka tindakan terorisme dapat dicegah. Indonesia
telah
mengkriminalisasi
kegiatan
terorisme
dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 yang berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003 telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Perpu ini sendiri baru dikeluarkan setelah terjadinya pemboman pada 12 Oktober 200 di Sari Club dan Paddy’s Club, Kuta Bali. Pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 tahun 2002 guna mengisi kekosongan hukum (rechsvacuum) tentang penindakan kejahatan terorisme.30 Penerbitan Perpu ini sejak awal telah banyak mengundang kontroversi dari berbagai pihak dan kalangan. Kontroversi yang timbul dari mulai sifat retrokatif atau berlaku surut hingga Perpu ini dapat diterapkan terhadap aksi pemboman di Bali. Perdebatan yang juga terjadi atas terbitnya Perpu ini adalah perihal penangkapan 7x24 jam hingga laporan intelijen yang digunakan sebagai alat bukti. Pengaturan ini dianggap telah melanggar hak asasi dari pelaku tindak pidana. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemerintah Indonesia telah mengatur pendanaan terorisme. Ketentuan pendanaan terorisme ini diatur secara bersamaan dengan kegiatan terorisme dalam undang-undang tersebut. Namun undang-undang ini tidak secara tegas menggunakan istilah pendanaan terorisme atau bahkan memberikan pengertian apa itu pendanaan terorisme. Dalam ketentuan yang mengatur pendanaan terorisme hanya melarang tindakan-tindakan untuk memberikan bantuan dana bagi kegiatan
30
Sidik, ibid, hal. 8-9.
48
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme terorisme yang disamakan dengan kegiatan pendanaan terorisme atau Financing of Terrorism. Hingga saat ini belum ada undang-undang yang khusus membahas perihal pendanaan terorisme. Namun, dalam perkembangannya ternyata ketentuan pendanaan terorisme diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu Undang-Undang No. 25 tahun 2003 yang merubah dan menambah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencuian Uang. Uang. UU No. 15 Tahun 2002 ini diundangkan sebelum adanya undang-undang tentang tindak pidana terorisme. Namun, Pasal 2 ayat (1) huruf n UU No. 15 tahun 2002 telah memasukkan tindak pidana terorisme sebagai salah satu bentuk kejahatan asal pada pencucian uang. Diaturnya terorisme dalam undang-undang ini adalah untuk meng-cover apabila kemudian diundangkannya UU tentang Tindak Pidana Terorisme. Setelah adanya perubahan dan penambahan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), yaitu dengan dikerluarkannya UU No. 25 Tahun 2003 barulah pendanaan terorisme diatur dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh karena itu perkembangan kedepan atau permasalahannya tentu saja semakin kompleks kepentingan dan didukung oleh berbagai peralatan yang semakin canggih. Aksi-aksi teror yang ada sekarang ini jauh lebih berbahaya dari aksi teror yang dikenal sebelumnya. Selain itu, sulit dideteksi apa, bagaimana, dimana dan siapa yang menjadi sasaran berikutnya.31 Namun dari awal dan perkembangnya terorisme didapai satu hal yang tidak akan erubah bahwa kegiatan atau aksi teror pastilah membutuhkan dana.
Kewajiban Pelaporan dan Pelaksanaan Monitoring 1.
Penerapan Program Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) Bagi Bank Umum Dalam rangka mencegah digunakannya bank sebagai media pendanaan
teroris, bank wajib memelihara database daftar teroris yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 (enam) bulan sekali berdasarkan data yang dipublikasikan oleh PBB.
31
Ibid. hal. 5
49
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Informasi mengenai Daftar teroris antara lain dapat diperoleh melalui website PBB (http://www.un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml), dan pihak berwenang seperti informasi dari PPATK, dan INTERPOL, sehingga bank dapat secara aktif mengkinikan Daftar Teroris tanpa harus menunggu daftar yang dikirim Indonesia. Kegiatan pemantauan yang wajib dilakukan bank terkait dengan database Daftar teroris yang dimiliki adalah: a.
Memastikan secara berkala terdapat atau tidasknya nama-nama nasabah bank yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama yang tercantum dalam database tersebut.
b.
Dalam hal terdapat kemiripan nama nasabah dengan nama yang tercantum dalam databse Daftar teroris, bank wajib memastikan kesesuaian identitas nasabah tersbeut dengan informasi lain yang terkait.
c.
Dalam hal terdaspat kesamaan nama nasabah dan kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum daslam database Daftar Teroris, bank wajib melaporkannya dalam Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK. Sebagai upaya efektivitas pelaksanaan pemantauan terhadap database
Daftar teroris diperlukan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai khususnya yang terkait kegiatan pendanaan terorisme, Sehubungan dengan
hal tersebut, bank wajib menyelenggarakan
pelatihan mengenai upaya pencegahan pendanaan terorisme kepada seluruh karyawan khususnya bagi karyawan yang berhadapan langsung dengan nasabah, melaksankan tugas pengawasan pelaksanaan program pencegahan pendanaan terorisme, atau melakukan pelaporan LTKM kepada PPATK. Untuk membantu pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap dasna-dana yang diindikasikan terkait dengan pendanaan terorisme, bank wajib menatausahakan dokumen yang terkait dengan data nasabah atau WIC dengan jangka waktu 5 (lima) tahun, dan dokumen keuangan dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Dokumen Perusahaan.
50
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme 2.
Penerapan Program Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) Bagi Bank di Australia32 Lembaga yang memiliki kewenangan dalam melakukan pengaturan dan
monitoring pelaksanaan dan pemenuhan kepatuhan pihak pelapor terhadap ketentuan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Australia adalah AUSTRAC. AUSTRAC didirikan pada tahun 1989 berdasarkan the Financial Transaction Reports Act 1988 (FTR Act).
Secara umum pendekatan yang
dilakukan berdasarkan FTR Act 1988 adalah “prescriptive”. Selanjutnya berdasarkan anti-Money Laundering/Counter Terrorism Financing atau yang dikenal dengan AML/CFT Act 2006, pendekatan dilakukan berdasarkan “riskbased”. AUSTRAC merupakan Financial Intelligence Unit (FIU) yang bertipe Administratif dan merupakan menjadi bagian dari Australian Government Attorney-Generals Department. Keberadaan AUSTRAC dalam AML/CFT Act 2006 tercantum dalam bagian 209. AUSTRAC memiliki 6 kantor yang terdiri dari 1 kantor pusat di New South Wales dan 5 kantor regional di 5 state yang berbeda (Victoria, ACT, Qld, WA, dan SA). AUSTRAC memiliki peran ganda yaitu: •
sebagai regulator dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan dan pemenuhan kepatuhan pihak pelapor terhadap ketentuan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Australia (the AML/CTF Act and FTR Act); dan
•
sebagai lembaga di bidang intelijen keuangan /financial intelligence unit AUSTRAC menerima, menganalisis dan menyediakan atau menyampaikan informasi kepada pihak terkait yang berwenang di dalam negeri (partner agencies) maupun di luar negeri (international counterparts). Informasi AUSTRAC digunakan oleh pihak terkait dimaksud dalam penyelidikan berbagai tindak pidana seperti pencucian uang, penipuan/fraud, obat terlarang, penyelundupan, dan kejahatan serius lainnya.
32
Presentasi disampaikan oleh Ms. Suzanne Robinson dan Mr. Gavin Raper dari Australian Transaction Reports and Analysis Centre (AUSTRAC).
51
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme Jenis laporan yang diterima AUSTRAC dari pihak pelapor sesuai AML/CFT Act terdiri dari Suspicious Matter Reports (SMR), Threshold Transaction Report (TTR), dan International Fund Transfer Instruction (IFTI) serta Cross Border Movement (CBM). Berkenaan dengan domestic dan international coordination diketahui pada saat ini yang menjadi domestic partner agencies AUSTRAC meliputi law enforcement, national security, social justice, revenue collection, regulatory. Sedangkan jumlah FIU yang telah menandatangi MOU dengan AUSTRAC sebanyak 59 FIU. Pihak-pihak yang diatur dan diawasi oleh AUSTRAC terdiri dari pihak pelapor yang melakukan kegiatan salah satu dari 71 designated services, yang meliputi: -
Provision of an account
-
Pemberian pinjaman (Making a loan)
-
Leasing dan penyewaan (Some leasing and hire purchase agreement)
-
Penerbitan kartu debit, money order, travel cek atau store value card
-
Penerimaan taruhan dan atau pembayaran kepada pemenang taruhan (accepting bets and/or paying winnings) Berdasarkan FTR Act dan AML/CFT Act, pihak-pihak
yang memiliki
kewajiban pelaporan kepada AUSTRAC yakni: -
lembaga keuangan (financial institutions);
-
pedagang valuta asing (bureau de changes)
-
pedagang emas dan permata (bullion sellers);
-
penyedia jasa pengiriman uang (money transfer remmitters);
-
pembawa uang tunai/ cash carriers;
-
perjudian/casinos;
-
penyelenggara undian/TAB/bookmakers. AUSTRAC menyampaikan informasi kepada pihak terkait sesuai dengan
AML CFT Act 2006 section 126. Pihak terkait yang menerima SUSTR/SMR dapat menggunakan / tidak menggunakan informasi tersebut. SUSTR/SMR bisa diminta secara on line oleh pihak terkait dan dapat disampaikan sebagai bagian dari suatu laporan keuangan intelijen. Dalam kondisi tertentu SUSTR/SMR dapat
52
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme disampaikan kepada beberapa pihak terkait. SUSTR/SMR tidak dapat dipergunakan sebagai barang bukti dalam proses pengadilan. Struktur organisasi AUTRAC mengalami 3 (tiga) kali perubahan sejak diundangkannya AML/CFT tahun 2006 yaitu pada tanggal 30 Juni 2006, tanggal 30 Juni 2007 dan April 2010. Sebelum berlakunya AML/CTF Act 2006, fungsi compliance hanya merupakan bagian dari Regulatory Compliance. Namun saat ini compliance dalam struktur organisasi merupakan satu dari dua fungsi besar Austrac selain intellegence. Penyelenggaran pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu major reporters (yang jumlahnya hanya sekitar 10 pihak pelapor) dan other reporters. (yang jumlahnya sekitar 17.000 yang dibagi pengawasannya terbagi ke dalam beberapa region). Fokus compliance memang lebih ditekankan pada major reporters karena walaupun jumlahnya hanya 10 namun dari sisi pelaporan (SMR, TTR dan IFTI), ke-15 pihak pelapor tersebut menyumbang 70% dari laporan yang diterima oleh Austrac. Untuk itu prosedur pengawasan major reporters berbeda dengan pihak pelapor lainnya. Pendekatan pengawasan pihak pelapor juga mengalami evolusi dari sebelumnya hanya menekankan pada risiko pihak pelapor (sebagaimana ditentukan oleh program CREST) menjadi “Compliance Behavior Based Supervision”. Artinya pola-pola pelaporan dari pihak pelapor dianalisa sedemikian rupa untuk menentukan perlunya audit atau education-visit terhadap pihak pelapor. Seluruh major reporter adalah pihak pelapor yang telah diawasi oleh regulator lain (APRA/ASIC). Tujuan assessment pihak pelapor pada major reporters lebih ditekankan pada kualitas laporan yang telah diberikan ke Austrac. Hal ini agar data yang nantinya diberikan Austrac ke LEA juga bisa berkualitas terutama tidak terdapatnya kesalahan data KYC yang dilakukan oleh pihak pelapor. Tekanan pengawasan adalah pada desk-review (off site supervision) walaupun terhadap pihak pelapor tertentu dilakukan assessment secara khusus secara on-site. Jangka waktu assessment terhadap satu pihak pelapor berkisar antara 3-4 bulan (beberapa pihak pelapor dapat di-assess pada waktu bersamaan). Prosedur assessment dimulai dengan preliminary research, 53
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme talk to organization, asking for more information, audit visit, reporting dan terakhir follow-up. Bagian enforcement di AUSTRAC terpisah dari bagian compliance (lihat bagan). Apabila pihak pelapor tidak kooperatif dan tidak bisa ditangani lagi oleh bagian compliance maka kasusnya akan dilimpahkan ke bagian enforcement untuk dipertimbangkan diberikan sanksi. Apabila kasus dilimpahkan ke bagian enforcement maka bagian compliance mengirimkan surat resmi ke pihak pelapor bahwa kasusnya sudah dilimpahkan ke bagian enforcement. AUSTRAC menggunakan system yang digunakan untuk memprioritisasi laporan mencurigakan yang diterima yaitu “BUSINESS RULES ENGINE” (BRE). Hal-hal terkait benefit dari BRE antara lain sebagai berikut: -
Memungkinkan pengguna/user untuk menulis aturan-aturan yang terkait dengan atribut-atribut tertentu dalam laporan.
-
Memungkinkan identifikasi risiko tinggi, nilai dolar yang tinggi, dan laporan menarik lainnya.
-
Mengidentifikasi laporan yang berisiko rendah yang tidak perlu dilakukan evaluasi/analisis oleh analis.
-
Penerusan laporan ke partner agencies secara otomatis.
Dalam rangka prioritisasi terdapat beberapa hal antara lain: -
SMRs/SUSTRs dimasukkan ke dalam daftar urutan pekerjaan yang harus dilakukan (work queue).
-
-
SMRs/SUSTRs disaring oleh: •
Business Rules Engine
•
Senior Analyst/manager
Pembagian prioritas laporan terdiri dari : Very High, High, Moderate, Low, very Low
3.
Penerapan Program Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) Bagi Bank di Amerika
3.1.
Kerangka Insitusional Dalam Pemberantasan Pendanaan Terorisme di Amerika Serikat A.
U.S. Department of the Treasury (Treasury), memiliki beberapa kantor yang mengembangkan kebijakan dan strategi AML/CFT, antara lain: 54
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1. Office of Terrorism and Financial Intelligence (TFI): TFI dan bagian organisasinya (termasuk the Office of Terrorist Financing and Financial Crime dan the Office of Intelligence and Analysis). TFI bertanggung jawab terhadap pengawasan arah kebijakan dan integrasi the Office of Foreign Assets Control (OFAC) dan Treasury Executive Office for Asset Forfeiture (TEOAF), dan pengawasan terhadap FinCEN. TFI juga bertanggung jawab untuk hal sbb: (1) pengembangan dan pengimplemntasian strategi
pemerintah
terorisme
baik
US
untuk
domestik
memberantas
maupun
pendanaan
internasional;
(2)
pengembangan dan pengimplementasian the National Money Laundering Strategy, juga kebiajakan dan program lain untuk memeragi kejahatan keuangan; (3) bekerja sama dengan FinCEN untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan dan peraturan pemerintah US dalam mendukung BSA dan USA PATRIOT Act, termasuk pengawasan kepada sektor swasta; (4) mewakili
US
dalam
badan/lembaga
internasional
yang
mendedikasikan diri untuk memerangi pendanaan terorisme, pencucian uang, dan kejahatan keuangan lain; dan (5) mengawasi
dan menyediakan
pedoman
kebijakan
untuk
implementasi dan administrasi dari program dan peraturan mengenai sanksi ekonomi negara. 2. Office of Terrorist Financing and Financial Crime (TFFC): TFFC is responsible for the policy and strategy functions within TFI concerning money laundering, terrorist financing, and other financial
crimes. TFFC
represents the
U.S. at relevant
international bodies, including heading the U.S. delegation to the FATF and FATF-style regional bodies (FSRBs). TFFC works closely with Treasury’s Office of International Affairs and Office of Domestic Finance in the formulation of AML/CFT policy and strategies. 3. U.S. Department of Justice (DOJ): The DOJ adalah badan pemerintah utama yang bertanggung jawab untuk mengawasi 55
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme penyidikan dan penuntutan pencucian uang dan pendanaan terorisme di tingkat federal. DOJ dipimpin oleh Jaksa Agung. , terbagi dalam 40 organisasi terpisah, antara lain: the FBI, the Drug Enforcement Administration (DEA) and the Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives (ATF); dan the U.S. Marshals Services (USMS). 4. Asset Forfeiture and Money Laundering Section, Criminal Division (AFMLS): The AFMLS adalah divisi kriminal dibawah DOJ untuk pelaksanaan perampasan aset dan penegakan hukum AML. AFMLS mengelola secara terpusat program perampasan aset DOJ dan
menjamin
maksimalnya
potensi
penegakan
hukum,
termasuk mengkoordinasikan dan mereview pengajuan legistatif dan kebijakan yang berdampak pada program perampasan aset dan lembaga penegakan hukum pencucian uang. B.
State Department/Departemen Luar Negeri The State Department mewakili pemerintah US dalam beberapa institusi multilateral, termasuk the UN 1267 Sanctions and CounterTerrorism Committees, dan the FATF. Personil State Department berpartisipasi aktif dalam misi diplomatik multi-agency diplomatic terkait AML/CFT.
C.
Law Enforcement Agencies 1. Drug Enforcement Administration (DEA): The DEA bertanggung jawab untuk penyidikan perdagangan obat-obat terlarang. 2. Federal Bureau of Investigation (FBI): FBI adalah lembaga utama yang bertanggung jawab untuk menyidik kejahatan federal. Selain itu, FBI terlibat dalam multi agency Joint Terrorism Task Forces (JTTF) yang bertanggung jawab untuk penyidikan terorisme dan pendanaan terorisme. Sebagai tambahan, FBI mempromosikan penyidikan dan penuntutan pencucian uang dalam keseluruhan penyidikan kwjahatan-kejahatan tersebut diatas. 3. Department of Homeland Security, Immigration and Customs Enforcement (ICE): ICE bertanggung jawab untuk melindungi US 56
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan warga negaranya dengan menghalangi, melarang, dan menyidik ancaman ML/TF yang timbul dari perpindahan orang dan barang ke dalam dan ke luar wilayah US. 4. Department of Homeland Security, Customer and Border Protection (CBP): CBP adalah lembaga perbatasan terpadu negara, yang bertugas untuk mengelola, mengawasi, dan melindungi lintas batas negara, di dan antara pelabuhan masuk resmi. CBP bekerja sama dengan ICE untuk melakukan penyitaan baik uang tunai dan instrumen pembayaran moneter. 5. Internal Revenue Service Criminal Investigation (IRS-CI): The IRS-CI menegakkan UU pencucian uang, pendanaan terorisme, dan kejahatan perpajakan. Target IRS-CI adalah penyidikan highprofile money laundering, khususnya yang secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan kepatuhan terhadap perpajakan. 6. U.S. Postal Inspection Service: The U.S. Postal Inspection Service dibebankan untuk menjaga lebih dari 200 milyar surat per tahun and melindungi lebih dari 700,000 pekerja perposan, 38,000 fasilitas perposan, 200,000 kendaraan perposan, and milyaran dolar aset perposan. 3.2.
Kriminalisasi Pendanaan terorisama (Criminalization of Terrorist Financing) a. Federal laws: Ada 4 (empat) tindak pidana federal terkait pendanaan teroris dan organisasi teroris (1)
2339A–penyediaan
dukungan
18 USC
ma t e r i a l unt uk
me l a kuka nt i nda kpi da nat e r t e nt u; (2)
18 USC 2339B–me nye di a ka n dukunga n ma t e r i a la t a us umbe r da yaunt ukde s i gna t e dFTOs ; a nd
(3)
( C)18 USC 2339C( a ) me nye di a ka n da n me ngumpul ka n da na t e r or i s
57
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me (4)
18 USC 2339C( c ) me nga bur ka na t a u me nyama r ka n ma t e r i a l ba i kunt ukme ndukungFTOsa t a u da naya ngdi g una ka na t a u a ka ndi guna ka nunt ukke gi a t a nt e r or i s .
b.St a t el a ws : Se t i da knya 2 ne ga r a ba gi a nt e l a h me mbe r l a kuka nt i nda k pi da na pe nda na a nt e r or i s mediAr i z onada nNe w Yor k.Ti da ka dai nf or ma s i ya ngt e r s e di ame nge na ia pa ka hne ga r aba gi a nl a i nme mi l i kipe r a t ur a n me nge na ipe nda na a nt e r or i s me . c. Ef e kt i f i t a stindak pidana pendanaan terorisme The U. S.me nye di aka n dokume n ya ng me nunj ukka n ba hwa 126 i ndi vi dut e l a hdi t unt utde nga npi da nape nda na a nt e r or i s me( c ont oh: 18USC2339A,2339B,da n2339C) .Da r i126ya ngdi t unt utt e r s e but , 54i ndi vi dut e l a hme nga kube r s a l a ha t a u di hukum ka r e nat e r bukt i ba i kme l a ngga r18USC2339Aa t a upun2339B. 3. 3. Ca t a t a nMERAme r i kaSe r i ka t : 1)Ke s ul i t a nut a made nga nke t e nt ua nUSme nge na ipe nda na a nt e r or i s me a da l a h“ t i da kma ndi r i ” .Ka t akunc is e pe r t i“ t e r r or i s ta c t ” ,“ t e r r or i s t a c t i vi t y”da n“ f or e i gn t e r r or i s tor ga ni z a t i on”di de f i ni s i ka n de nga n me r uj ukpa dal e gi s l a s il a i n.Ke but uha nunt ukr uj uka ns i l a ngke pa da l e gi s l a s il a i nme nye babka nke s ul i t a nunt ukme ma ha mie l e me nt i nda k pi da nape nda na a nt e r or i s me . 2)Le bi hpe nt i ngl a gi , j a ks ape nunt utumum t e l a hme ngkonf i r ma s iba hwa ha lt e r s e butme na mba h ke s ul i t a n da l a m pe nunt ut a n,s e ba ga i ma na ha ki m da nj ur iha r usdi pa nduunt ukme ma ha mir a nt a il e g i s l a s iya ng kompl e ksdi s e ba bka nme r uj ukpa dal e gi s l a s il a i nt e r s e but . 3)Ba hka n ke t e nt ua n pe nda na a nt e r or i s meya ngt e r ba r u da nt e r j e l as ( 2339C)t i da ks e pe nuhnyama ndi r ide nga ne l e me nkunc it e r r or i s ta c t . Te r r or i s t a c t di de f i ni s i ka n de nga n me r uj uk/me nga c u pa da s e r a ngka i a n t r ea t i e s ya ng di i mpl e me nt a s i ka n ol e h t he U. S. Pr os e c ut or s ,ya ng ha r us pe r t a ma me mbukt i ka n ba hwa t e r da kwa me l a kuka nha lya ngdi l a r a ngda l a m s a l a hs a t uda r i9i nt e r na t i ona l t r e a t i e sda ns e l a nj ut nyame mbukt i ka nba hwaba gi a nda r it r e a t yt e l a h di i mpl e me nt a s i ka nol e hU. S. 58
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me 3. 4. Pe mbe kua nDa naYa ngDi guna ka nUnt ukPe ndana a nTe r or i s me a .US me ngi mpl e me nt a s i ka n ke wa j i ba n t e r ka i ts a nks i ke ua nga n be r da s a r ka n
Uni t e d
Na t i ons Sec ur i t y Counc i l Re s ol ut i on
S/RES /1267( 1999)da nS/RES /1373( 2001)me l a l uiEx e c ut i veOr de r ( EO)13224.“ Bl oc ki ngPr ope r t ya nd Pr ohi bi t i ngTr a ns a c t i onswi t h Pe r s onsWhoCommi t ,Thr e a t e nt oCommi t ,orSuppor tTe r r or i s m” ( EO 13224)ya ngdi ke l ua r ka n ol e h U. S.Pr e s i de ntpa dat a ngga l23 Se pt e mbe r2001,s e ba ga ir e s pona t ass e r a ngant e r or i spa dat a ngga l 11Se pt e mbe r2001. b.EO13224,ya ngt e l a hdi a ma nde me n,me mbe r i ka nwe we na ngke pa da Se c r e t a r i e soft heTr e a s ur ya ndSt a t e, de nga nbe r kons ul t a s ipa daDOJ da nt he DHS,unt uk me ngi mpl e me nt a s i ka n ke we na nga n Pr es i de n unt uk me mbe r a nt a s t e r or i s , or ga ni s a s it e r or i s , da n j a r i nga n pe ndukung t e r or i s ,s e c a r as i s t e ma t i s da ns t r a t e gi s .EO 13224 me l a r a ngs e t i a por a ngUSa t a ue nt i t a sunt ukme l a kuka nt r a ns a ks ida n be r hubunga nde nga ni ndi vi duda ne nt i t a sya ngdi mi l i kia t a udi kont r ol ol e h,be r t i nda k unt uk da na t a s na ma ,s e c a r a ke ua nga n,s e c a r a t e knol ogi ,a t a us e c a r ama t e r i a lme mba nt ua t a ume ndukung,a t a uha l l a i n ya ng di hubungka n de nga n SDGTs ,or a ngor a ng ya ng di da f t a r da l a mt heEx e c ut i veOr de ra t a udi t unj uk/di t a r ge t( de s i gna t e d)ol e h Se c r e t a r i e soft heTr e a s ur yda nne ga r aba gi a nbe r da s a r ka nde f i ni s i t heEx e c ut i veOr de r .TheEx e c ut i veOr de rj ugame mbl oki rs e mua pr ope r t ida nbungat e r ka i tpr ope r t ida r ior a ngya ngdi t unj uk/di t a r ge t di US. Pe nunnj uka n/pe na r ge t a n di l a kuka n ex
parte
t a npa
me mbe r i t a huka nke pa dapi ha kya ngt e r l i ba t /t er ka i t . c . Da f t a r OFAC ( ya ng di a dmi ni s t r a s i ka n ol e h Tr e a s ur y) j uga me ma s ukka n FTOs ya ng di s e but be r da s a r ka n Ba gi a n 219 UU I mmi gr a t i ona ndNa t i ona l i t yAc tda nBa gi a n302UU Ant i t e r r or i s m a nd Ef f e c t i ve De a t h Pe na l t y( AEDPA) .Pe nunj uka n/pe na r ge t a ni ni ha nyabe r l a kuunt ukor ga ni s a s it e r or i s .Da f t a rFTOdi a dmi ni s t r a t i ka n ol e hSt a t eDe pa r t me nt /Ke me nt e r i a nLua rNe ge r i . d.OFACbe r f ungs is e ba ga ipe nga dmi ni s t r a s ida npe l a ks a nas a nks iEO 13224t e r ha da pt e r or i sda nor ga ni s a s it e r or i s ,s eba ga i ma nas a nks i 59
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me e konomi da n pe r da ga nga n US t e r ha da p ne ga r a a s i ng yg di t unj uk/ di t a r ge t ,pe nge da roba t oba tt e r l a r a ng i nt e r na s i ona l ,da n or a ngya ngt e r l i ba tda l a ms e nj a t apr ol i f e r a s i . e .EO13224me me be r i ka nwe we na ngke pa dapeme r i nt a hunt uk: (1)
Me ngi de nt i f i ka s ida nme nunj uk/me nt a r ge tt e r or i sda ns t r ukt ur pe ndukungya ngbe r hubunga nde nga nor ga ni s a s it e r or i s( t da k t e r ba t as ,t a pij ugat e r ma s ukpi ha kpi ha kya ngdi t a r ge t /di t unj uk UN1267Commi t t e eda nbe r hubunga nde nga nAl Qa i da ,Us a ma bi nLa de n, da nt heTa l i ba n) ;
(2)
Me l a r a ng or a ngUS unt uk me mi l i kihubunga n de nga n pi ha kpi ha kya ngdi t unj uk/di t a r ge tt e r s e but ;
(3)
Me mi nt aor a ngUSunt ukme mbl oki ra s e tya ngbe r hubunga n de nga npi ha kya ngdi t unj uk/ di t a r ge tda nme l a por ka nke gi a t a n t e r s e butke pa daOFAC.
f . Ta r ge tEO13224buka nha nyaAl Qa i dada nTa l i ba n,t e t a pit e r ma s uk gr oupt e r or i ss e pe r t iHa ma s ,Hi z ba l l a h,t heFARC,t heRe a lI RA,da n i ndi vi dus e r t ae nt i t a st e r ka i t . g.Pe nunj uka n/pe nt a r ge t a ni nime j a di ka n pe r bua t a n me l a wa n hukum ba gior a ngya nga dadiUSa t a us ubj e kya ngt undukpa dayur i s di ks i a pa bi l a be r hubunga n de nga n or a ng ya ng di t unj uk/di t a r ge t ,ya ng di s e but SDGT.Se t i a pi ns t i t us i ke ua nga n US ya ng me nge nt a hui me nge na ike pe mi l i ka norpe ngua s a a nda naol e hSDGTa t a ua ge nnya , ha r usme l a por ka nke pa daOFAC.Umumnya ,l e mba gake ua nga ndiUS ha r usme mbl oki ra t a ume mbe kuka nda naya ngdi s e t or ka nol e ha t a u a t a sna mai ndi vi dua t a ue nt i t a sya ngdi bl oki r , ya ngdi ki r i mka nkea t a u me l a l uie nt i t a sya ngdi bl oki r ,a t a u di s e t or kan s e hubunga n de nga n t r a ns a ks i di ma nae nt i t a sya ngdi bl oki rme mi l i ki ke pe nt i nga n. h.Pe ne ga khukum OFAC da pa tme l a ya nipe r mi nt a a n bl oki rt e r ha da p or a ngya ngdi t unj uk/ di t a r ge tdiUS. Ti nda ka ni nida pa tme nye ba bka n ke ma t i a nme nye l ur uhpa dae nt i t a st e r s e butdanpe ne mpa t a npr ope r t i no f i na nc i a lda l a m pe nyi mpa na n pe r ma ne n.Se ka l ida na di bl oki r , me r e kaha nyada pa tdi l e pas ka n ha nyaol e h ot or i s a s is pe s i f i k da r i Tr e a s ur y.Sa mpa ibul a nJ ul i2005,438or a ngt e l a hdi t unj uk/di t a r ge t 60
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me s e j a kpe r mul a a npr ogr a mt e r or i s mebe r da s a r ka nEO 13224.ha mpi r 330or a ngdi t a r ge t /di t unj ukba i ks e c a r abi l a t e r a lma upunme l a l uiUN. i . Ti da ks e muaor a nga t a ue nt i t a sya ngdi t unj uk/di t a r ge tbe r da s a r ka n S/RES /1267( 1999)da nS/RES/1373( 2001)di t e r i maol e hUSunt uk di ma s ukka nda l a m EO13224,ka r e naUSme mpe r t i mba ngka nba hwa t i da kt e r da pa ti de nt i f i ka s ida ni nf or ma s iya ngc ukupunt ukme mbua t pe nda f t a r a n/l i s t i ng na ma na ma t e r s e but s e c a r a ope r a s i ona l kons t r ukt i f .Se ba ga ikons e kue ns i nya ,ha nya1or a ngda r i143na ma Ta l i ba n di t e mpa t ka n da l a m da f t a r OFAC,ka r e na kekha wa t i r a n me ni mbul ka n e f e k kont r a pr odukt i f ka r e na ke bi ngunga n da n ke t i da kpa s t i a nda l a m da f t a rt e r s e butbi s amenye babka nbl oki rya ng t i da ka di l . j . Ti da nka nme mbl oki rs e s ua ide nga nEO13224be r l a kuunt uks e mua pr ope r t ida n“ bunga /ke pe nt i nga nda l a m pr ope r t i ”ya ngma s ukkeUS a t a ua ka nmas ukkeUS,a t a uya ngs e t e l a hma s ukkeUSme j a dimi l i k a t a u di ba wa h ke kua s a a n wa r ga US.I s t i l a h“ “ bunga /ke pe nt i nga n da l a m pr ope r t i ”a r t i nyas e t i a p bunga ,ke pe nt i nga n da l a ms e ga l a be nt uk,ba i kl a ngs ung ma upun t i da kl a ngs ung,s e ba gi a na t a u ke s e l ur uha nnya ( CFR
594. 306) . De f i ni s ya ng l ua s da r i
“ bunga /ke pe nt i nga nda l a m pr ope r t i ”da pa tme mpe nga r uhis e ba gi a n be s a rpr odukda nj a s aya ngdi s e di a ka nol e hi s nt i t us ike ua nga nya ng be r l oka s i di US a t a u di s e l e ngga r a ka n be r da s a r ka n hukum US, t e r ma s uk c a ba ng l ua rne ge r i . pr ope r t iya ng di bl oki rt i da k da pa t di a l i hka n, di t a r i k, di e ks por , di ba ya r , a t a udi t a nga nit a npape r s e t uj ua n l bi hdul uda r i OFAC.
D.
Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur Dalam UU terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya terhadap Keuangan Negara §
Me nga t urt e nt a ngbe nt ukpe l a ngga r a nba gis e t i a por a ngya ng” me nye di a ka n da na ”unt uks es e or a nga t a uba da nhukum ya ngt e r da pa tda l a m da f t a rt e r or i s me nur utRe s ol us iDe wa nKe a ma na nPBB1267.
61
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me §
Me nga t ur a npe mi da na a nunt uks e t i a por a ngya ngme r e nc a na ka nda n/a t a u me ngge r a kka n or a ng l a i n unt uk me l a kuka n a ks it e r or i s me ,a t a u be r kont r i bus ida l a m pe l a ks a naa na nt it e r or i s me ya ng di l a kuka n ol e h s e ke l ompok or a ng de nga n t uj ua n unt uk me mba nt u ke l a nc a r a n a ks i t e r or i s me .
§
Me nc a nt umka nuns ur” a l a s a nya ngkua tunt ukme ya ki nia t a uuns ur uns ur l a i n”ya nga ka nme ndukungpe mbukt i a nbe r da s a r ka nke j a di a nya ngf akt ua l da nobj e kt i f .
§
Me nga t ur a n pe ngumpul a n da n pe nye di a a n ha r t a ke kaya a n ba i ks e c a r a l a ngs ungda nt i da kl a ngs ung.
§
Me nga t ur a nunt ukpe nda na a na t a st e r or i spe r or a nga nda npe nye di a a nha r t a ke ka ya a nunt ukor ga ni s a s it e r or i s .
§
Me nj a t uha nhukuma nha r use f e kt i f ,pr opor s i ona lda npr e ve nt i f ,t e r ma s uk hukuma nde ndaba gis ubj e khukum pe r or a nga nda nhukuma na dmi ni s t r a t i f ya nge f e kt i fba gikor por a s i .
§
Me ns ya r a t ka nba hwat i nda kpi da nape nda naa nt e r or i s meha r usdi ka i t ka n de nga na da nyaa ks i t e r or i s met e r t e nt u.
§
Me nga t urt e nt a ngt a nggungj a wa bkor por a s i . Ha li niha r usha r usdi pa s t i ka n unt uk me nc e ga h ke t i mpa nga n t e r ka i t de nga n ke t e nt a un me nge na i t a nggungj a wa bpi da nakor por a s ida pa tdi a t a s i .
§
Me nga t ur a n s e c a r a t e gas a ga r pi ha k ya ng be r we na ng da pa t me mpe r t i mba ngka nunt ukme nga dops is e bua hpe nde ka t a ndi ma nas e l ur uh da kwa a nt e nt a ng t i nda k pi da nape mbi a yaa nt e r or i s mei niha r usbe r upa da kwa a n kumul a t i fya ngme me r l uka ns a t u put us a n khus usunt ukt i nda k pi da nape nda na a nt e r or i s me .
§
I ndone s i a be l um me mi l i ki hukum a t a u pr os e dur ya ng e f e kt i f unt uk me mbe kuka n as e t a s e tt e r or i sl a i nnyada r ipi ha kpi ha k ya ng me mbi a ya i t e r or i s meda n or ga ni s a s i or ga ni s a s it e r or i s” t a npape nunda a n da nt a npa pe mbe r i t a hua n”s e be l umnyas e pe r t iya ngdi pe r s ya r a t ka nFATF.I ndone s i a s e l a mai nime nga nda l ka n pr os e spe nye l i di kan da nl a ngka hl a ngka h ya ng di a t urda l a m KUHAPunt ukme mbe kuka nas e te nt i t a s e nt i t a sya ngt e r da f t a r da l a m Da f t a rt e r or i ss eba ga i ma naconsolidated list United Nations Security Council Resolution ( UNSCR)1267,ka r e naba giI ndone s i a ,t e r da f t a rs eba ga i 62
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me t e r or i sbe l um da pa tdi j a di ka nda s a runt ukdi l a kuka nnyape mbekua na t a u pe mbl oki r a n( freezing without delay) .Ke kua s aa n umum unt uk me nyi t a s e pe r t iya ngdi a t urda l a m Pas a l3849KUHP me nga t urba hwape nyi t a a n ha nyadi ba t a s ipa daba r a ngba r a ngya ngdi dugame r upa ka nba r a ngc ur i a n, a t a uda l a m pr os e sme nj ua lba r a ngc ur i a nt e r s e but . Ke c i lke mungki na nunt uk da pa tme ne r a pka n ke t e nt ua ni niunt uk ha r t a ke ka yaa ns es e or a ng ya ng mungki nt e l a hme l a kuka na ks it e r or i s me . Pa s a l3849j ugat i da kme mbe r i ka n kua s aunt ukme nyi t aha r t ake ka ya a nt a npadi da hul uia da nyake c ur i ga a n ba hwa s ua t ut i nda k pi da na t e l a ht e r j a di .De nga n de mi ki a nt i da ka da ke we na nga nunt ukme nyi t aha r t ake ka yaa nha nyaa t asdas a rba hwaha r t a ke ka ya a nt e r s e butme r upa ka nha kmi l i kda r is e bua he nt i t a sa t a uke l ompok t e r or i s , di l ua rkont e kst i nda kpi da nat e r or i s met e r t e nt u. §
Me nga t urSya r a tpe mbukt i a n uns ur” di ke t a huia t a u di dugake r a sde nga n a l a s a nya ngc ukup”ya ngdi a t urda l a m Pa s a l29UUPe mbe r a nt a s a nTi nda k Pi da naTe r or i s mei nit e r l a l ut i nggiunt uk di pe nuhike t i kas e da ngda l a m pr os e s me ngumpul ka n i nf or ma s i me nge na i ka s us kas us pe mbi a ya a n t e r or i s mei ni , s e be l um pe r i nt a hpe mbe kua nda pa tdi ke l ua r ka n.
§
Me nga t ura dake j e l a s a nba giPol r iunt ukme ngguna ka nda s a rhukum a pa ( a pa ka hme ngguna ka nKUHAP, UUTi nda kPi danaTe r or s i me , a t a uUUTPPU) da l a m me me r i nt a hka npe mbl oki r a na kunba nks e t i a por a nga t a ukor por a s i ya ngdi dugat e r ka i tde nga na ks it e r or i s me .
§
Ti da k me mbe nt uk l e mba ga ba r u me l a i nka n me ndukung l e bi he f e kt i f t e r ha da pl e mba gaya ngkebe r a daa nnyas uda hdi a kuis e l a mai ni .
63
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A.
Kondisi Hukum Yang Ada
Konve ns ii nt e r na s i ona l Pe mbe r a nt as a n Penda na a n Te r or i s me , 1999 s a mpa is a a ts e ka r a ng i ni ,s e l a ma l e bi h 11 ( s e be l a s )t a hun, pe r ma s a l a ha n t e r or i s me da n khus us nya pe nda na a nt e r or i s me t e l a h be r ke mba ng s e ma ki n kompl e kss e i r i ngde ngnt r e ndt e r or i s meya ngt e r j a dida l a mt i ngka tna s i ona l , r e gi ona lma upuni nt e r na s i ona l .Upa yape mber a nt a s a nt e r or i s meol e hne ga r a ne ga r adiduni a , t e r nya t aj ugame munc ul ka nke gi a t a nt e r or i s mede nga ns t r a t e gi da nt a kt i kya ngba r u.Ke bi j a ka n kr i mi na l i s a s ime l a l uipe mbe nt uka n unda ngunda ng, me me r l uka n s i nkr oni s a s i da n ha r moni s a s i di a nt a r a be r ba ga i pe r unda ngunda nga nya ngt e r ka i t . Be r ka i t a nde nga nha l ha lt e r s e butdi a t a s , da l a mr a ngkame nyus unna s ka h a ka de mi kt e nt a ngpe mbe r a nt as a n pe nda naa nt e r or i s me ,ma ut i da kma u da n t i da k da pa tdi l e pa s ka n unt uk me ngguna ka nr uj uka n Konve ns iI nt e r nas i ona l Pe mbe r a nt as a n Pe nda na a n Te r or i s me ,1999 ya ng s uda h me nj a dihukum na s i ona lme l a l uir a t i f i ka s iol e h Unda ng – Unda ng Nomor 6 t a hun 2006. Di s a mpi ng,unda ngunda ngya ngt e r ka i ts e pe r t iPe r puNomor1t a hun2002j o Unda ng-Unda ngNomor15t a hun2003da nUnda ng-Unda ngNomor8t a hun 2010t e nt a ngPe nc e ga ha nda nPe mbe r a nt as a nTi nda kPi da naPe nc uc i a nUa ng, s e r t aUnda ng–Unda ngNomor1t a hun2006t e nt a ngBa nt ua nTi mba lBa l i k Da l a m Ma s a l a h Pi da nape r l u di pe r ha t i ka ns e ba ga ir uj uka n,a ga rpe r umus a n unda ngunda ngya nga ka ndi s us uni nit i da ks a l i ngt umpa ngt i ndi ha t a us a l i ng be r t e nt a nga ns a t ude nga nya ngl a i n. Se ba ga i ma nat e l a h di ke muka ka n da l a ml a t a rbe l a ka ng dia t a s ,da pa t di l i ha tur ge ns iunt uks e ge r adi be nt uknyape r at ur a npe r unda ng unda nga nya ng s e c a r akompr e he ns i fme nga t urt e nt a ngpe mbe r a nt a s a npe nda na a nt e r or i s me . Hukum na s i ona lya ng s e l a ma i nidi guna ka n,ya kniunda ngunda ng t e nt a ng pe mbe r a nt a s a nt e r or i s medi ni l a ibe l um s e c a r akompr e he ns i fme nga t urt e nt a ng 64
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me pe mbe r a nt a s a npe nda na a nt e r or i s meda nma s i hme mi l i kiba nya kke kur a nga ndi a nt a r a nya : 1. Be l um a dape nga t ur a nt e nt a ngbe nt ukpe l a ngga r a n ba gis e t i a p or a ng ya ng ” me nye di a ka n da na ”unt uk s es e or a ng a t a u ba da n hukum ya ng t e r da pa tda l a m da f t a rt e r or i sme nur utRe s ol us iDe wa nKe a ma na nPBB 1267. 2. Be l um a da pe nga t ur a n pe mi da na a n unt uk s e t i a p or a ng ya ng me r e nc a na ka nda n/a t a ume ngge r a kka nor a ngl a i nunt ukme l a kuka na ks i t e r or i s me ,a t a u be r kont r i bus ida l a m pe l a ks ana a na nt it e r or i s meya ng di l a kuka n ol e hs e ke l ompok or a ng de nga nt uj ua n unt uk me mba nt u ke l a nc a r a naks i t e r or i s me . 3. Pe mbe r a nt as a nt e r or i s meme mba t as iuns urpe nge t a hua nde nga nuns ur ” de nga ns e nga j a ”s a j ana munt i da kme nc a nt umka nuns ur” a l a s a nya ng kua tunt uk me ya ki nia t a u uns ur uns url a i n”ya ng a ka n me ndukung pe mbukt i a nbe r da s a r ka nkej a di a nya ngf a kt ua lda nobj e kt i f . 4. Be l um a da pe nga t ur a n unt uk pe ngumpul a n da n pe nye di a a n ha r t a ke ka ya a nba i ks e c a r al a ngs ungda nt i da kl a ngs ung. 5. Be l um a dape nga t ur a n unt ukpe nda na a na t ast e r or i spe r or a nga n da n pe nye di a a nha r t ake ka ya a nunt ukor ga ni s a s it er or i s . 6. Pe nj a t uha nhukuma nha r use f e kt i f , pr opor s i ona lda npr e ve nt i f , t e r ma s uk hukuma n de nda ba gi s ubj e k hukum pe r or a nga n da n hukuma n a dmi ni s t r a t i fya nge f e kt i fba gikor por a s i . 7. Ma s i hme ns ya r a t ka nba hwat i nda kpi da nape nda na a nt e r or i s meha r us di ka i t ka nde nga na da nyaa ks it e r or i s met e r t e nt u. 8. Da l a m KUHPt i da kdi ke na lt a nggungj a wa bpi da naunt uks ubj e khukum j a ma k,ba i kbe r upas e ke l ompokor a ng, kor por a s ima upunnonkor por a s i , s e da ngka nda l a m UU t e nt a ngPe mbe r a nt a s a nTi nda kPi da naTe r or i s me di a t urt e nt a ngt a nggungj a wa bkor por a s i . Ha li niha r usha r usdi pa s t i ka n unt uk me nc e ga h ke t i mpa nga nt e r ka i t de nga n ke t e nt a un me nge na i t a nggungj a wa bpi da nakor por a s ida pa tdi a t a s i . 9. Be l um a dape nga t ur a ns e c a r at e gasa ga rpi ha kya ngbe r we na ngda pa t me mpe r t i mba ngka n unt uk me nga dops is e bua h pe nde ka t a n di ma na s e l ur uhda kwa a nt e nt a ngt i nda kpi da nape mbi a ya a nt e r or i s mei niha r us 65
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me be r upada kwa a nkumul a t i fya ngme me r l uka ns a t uput us a nkhus usunt uk t i nda kpi da nape nda na a nt e r or i s me . 10. I ndone s i a be l um me mi l i kihukum a t a u pr os e durya ng e f e kt i funt uk me mbe kuka nas e t as e tt e r or i sl a i nnyada r ipi ha kpi ha kya ngme mbi a ya i t e r or i s meda nor ga ni s a s i or ga ni s a s it e r or i s” t anpape nunda a nda nt a npa pe mbe r i t a hua n” s e be l umnya s e pe r t i ya ng di pe r s ya r a t ka n FATF. I ndone s i as e l a mai nime nga nda l ka n pr os e spe nye l i di ka nda nl a ngka hl a ngka h ya ng di a t urda l a m KUHAP unt uk me mbe kuka na s e te nt i t a s e nt i t a sya ngt e r da f t a rda l a m Da f t a rt e r or i ss e ba ga i ma naconsolidated list United Nations Security Council Resolution ( UNSCR)1267,ka r e naba gi I ndone s i a ,t e r da f t a rs e ba ga it e r or i sbe l um dapa tdi j a di ka ndas a runt uk di l a kuka nnya pe mbe kua na t a u pe mbl oki r a n( freezing without delay) . Ke kuas a a numum unt ukme nyi t as e pe r t iya ngdi a t urda l a m Pa s a l3849 KUHP me nga t urba hwape nyi t a a n ha nyadi ba t a s ipa daba r a ngba r a ng ya ngdi dugame r upa ka nba r a ngc ur i a n, a t a uda l a m pr os e sme nj ua lba r a ng c ur i a nt e r s e but .Ke c i lke mungki na nunt ukda pa tme ne r a pka nke t e nt ua n i niunt ukha r t ake ka ya a ns e s e or a ngya ngmungki nt e l a hme l a kuka na ks i t e r or i s me . Pa s a l3849j ugat i da kme mbe r i ka nkua s aunt ukme nyi t aha r t a ke ka ya a nt a npadi da hul uia da nyake c ur i ga a nba hwas ua t ut i nda kpi da na t e l a ht e r j a di .De nga n de mi ki a nt i da ka dakewe na nga n unt ukme nyi t a ha r t a ke ka ya a n ha nya a t as das a r ba hwa ha r t a ke ka ya a nt e r s e but me r upa ka nha kmi l i kda r is e bua he nt i t a sa t auke l ompokt e r or i s ,di l ua r kont e kst i nda kpi da nat e r or i s met e r t e nt u. 11. Sya r a tpe mbukt i a n uns ur” di ke t a huia t a udi dugake r a sde nga na l a s a n ya ngc ukup”ya ngdi a t urda l a m Pe mbe r a nt a s a nTi nda kPi da naTe r or i s me i ni t e r l a l u t i nggi unt uk di pe nuhi ke t i ka s e da ng da l a m pr os e s me ngumpul ka ni nf or ma s ime nge na ika s us ka s uspe mbi a ya a nt e r or i s me i ni , s e be l um pe r i nt a hpe mbe kua nda pa tdi ke l ua r ka n. Be l um a dake j e l a s a n ba giPol r iunt uk me ng guna ka n da s a rhukum a pa ( a pa ka hme ngguna ka nKUHAP,UU Ti nda kPi da naTe r or s i me ,a t a uUU TPPU) da l a m me me r i nt a hka npe mbl oki r a na kunba nks e t i a por a nga t a ukor por a s iya ng di dugat e r ka i tde nga na ks i t e r or i s me .
66
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me B.
Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan lain;
1.
Unda ngUnda ngRINomor6Ta hun2006t e nt a ngPe nge s a ha nInternational Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999.
2.
Unda ngUnda ng RI Nomor 5 Ta hun 2006 Te nt a ng Pe nge s a ha n International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing, 1997.
3.
Unda ngUnda ng Nomor15 Ta hun 2003 t e nt a ng Pe ne t a pa n Pe r a t ur a n Pe me r i nt a h Pe ngga nt iUnda ngUnda ng Nomor1 Ta hun 2002 Te nt a ng Pe mbe r a nt as a nTi nda kPi da naTe r or i s me .
4.
Unda ngUnda ngRINomor15Ta hun2008t e nt a ngPe nge s a ha nTreaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, 2004.
5.
Unda ngUnda ng RINomor5 Ta hun 2009 t e nt a ng Pe nge s a ha n United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000.
6.
Unda ngUnda ng Nomor 8 Ta hun 2010 t e nt a ng Pe nc e ga ha n da n Pe mbe r a nt as a nTi nda kPi da naPe nc uc i a nUa ng.
7.
International Convention for The Suppression of The Financing of Terrorism, 1999.
8.
International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing, 1997.
9.
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000.
10.
Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, 2004.
11.
FATF 40+9 recommendations.
12.
Re s ol us iDe wa nKea ma na nPBBNomor1372.
13.
Re s ol us iDe wa nKea ma na nPBBNomor1267.
14.
Re s ol us iDe wa nKea ma na nPBBNo. 1373.
15.
Re s ol us iDe wa nKea ma na nPBBNo. 1425.
16.
Re s ol us iDe wa nKea ma na nPBBNo. 1333.
17.
Re s ol us iDe wa nKea ma na nPBBNo. 1904.
18.
Re s ol us iDe wa nKea ma na nPBBNo. 1988/ 1989.
19.
Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, 1970.
20.
Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1971.
21.
Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents, 1973. 67
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me 22.
International Convention against the Taking of Hostages, 1979.
23.
Convention for the Suppression of Unlawful Acts at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988.
24.
Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation 1988.
25.
Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation, 1988.
26.
Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of /Fixed Platforms located on the Continental Shelf, 1988.
27.
Anti Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Act 2006 (Australia).
28.
Combating the Financing of People Smuggling and other Measure Act (Australia).
C.
29.
KUHP Australia.
30.
Freezing of Terrorist Asset (Australia)
31.
Charter of the United Nations Act 1945.
Harmonisasi Secara Vertikal Dan Horizontal;
1.
Unda ngUnda ngDa s a rNe ga r aRe publ i kI ndone s i a1945.
2.
Unda ngUnda ngRINomor6Ta hun2006t e nt a ngPe nge s a ha nInternational Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999.
3.
Unda ngUnda ng RI Nomor 5 Ta hun 2006 Te nt a ng Pe nge s a ha n International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing, 1997.
4.
Unda ngUnda ng Nomor15 Ta hun 2003 t e nt a ng Pe ne t a pa n Pe r a t ur a n Pe me r i nt a h Pe ngga nt iUnda ngUnda ng Nomor1 Ta hun 2002 Te nt a ng Pe mbe r a nt as a nTi nda kPi da naTe r or i s me .
5.
Unda ngUnda ngRINomor15Ta hun2008t e nt a ngPe nge s a ha nTreaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, 2004.
6.
Unda ngUnda ng RINomor5 Ta hun 2009 t e nt a ng Pe nge s a ha n United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000.
68
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me 7.
Unda ngUnda ng Nomor 8 Ta hun 2010 t e nt a ng Pe nc e ga ha n da n Pe mbe r a nt as a nTi nda kPi da naPe nc uc i a nUa ng.
D.
Status Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang baru.
Ti nda kPi da naTe r or i s met e r ka i tde nga npe l a ngga r a nPa s a l11,Pa s a l13 hur ufa , da nPa s a l14Pe r a t ur a nPe me r i nt a hPe ngga nt iUnda ngUnda ngNomor1 Ta hun 2002 t e nt a ng Ti nda k Pi da naTe r or i s me( Le mba r a n Ne ga r aRe publ i k I ndone s i a Ta hun 2002 Nomor106,Ta mba ha n Le mba r a n Ne ga r a Re publ i k I ndone s i aNomor4232)s e ba ga i ma nat e l a hdi t e t a pka nme nj a diUnda ngUnda ng Nomor15 Ta hun 2003 t e nt a ngPe ne t a pa n Pe r a t ur a n Pe me r i nt a h Pe ngga nt i Unda ngUnda ng Nomor1 Ta hun 2002 me nj a diUnda ngUnda ng ( Le mba r a n Ne ga r aRe publ i kI ndone s i aTa hun2003Nomor45, Ta mba ha nLe mba r a nNe ga r a Re publ i kI ndone s i aNomor4284)ya ngdi l a kuka ns e be l um be r l a kunyaUnda ngUnda ng i ni ,di pe r i ks a da n di put usbe r da s a r ka n ke t e nt ua n da l a m Pe r a t ur a n Pe me r i nt a hPe ngga nt iUnda ngUnda ngNomor1Ta hun2002t e nt a ngTi nda k Pi da naTe r or i s me( Le mba r a nNe ga r aRe publ i kI ndone s i aTa hun2002Nomor 106,Ta mba ha nLe mba r a nNe ga r aRe publ i kI ndone s i aNomor4232)ya ngt e l a h di t e t a pka nme nj a diUnda ngUnda ngde nga nUnda ngUnda ngNomor15Ta hun 2003 t e nt a ng Pe ne t a pa n Pe r a t ur a n Pe me r i nt a h Pe ngga nt iUnda ngUnda ng Nomor1 Ta hun 2002 me nj a diUnda ng Unda ng( Le mba r a n Ne ga r aRe publ i k I ndone s i a Ta hun 2003 Nomor 45,Ta mba ha n Le mba r a n Ne ga r a Re publ i k I ndone s i aNomor4284) .
69
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
A.
Landasan Filosofis
Da s a rf i l os of i sa da l a hpa nda nga nhi dupba ngs aI ndone s i ada l a m be r ba ngs a da nbe r ne ga r a ,ya i t uPa nc a s i l a .Pe nj aba r a nni l a i ni l a iPa nc a s i l adida l a m hukum me nc e r mi nka ns ua t uke a di l a n,ke t e r t i ba n,danke s ej a ht e r aa nya ngdi i ngi nka n ol e h ma s ya r a ka tI ndone s i a .Rumus a n Pa nc a s i l a ya ng t e r da pa t di da l a m Pe mbuka a n( preambule)Unda ngUnda ng Das a r Ne ga r a Re publ i kI ndone s i a t a hun 1945 ( UUD 1945)t e r di r ida r ie mpa te l i ne a .Al i neake e mpa tme mua t r umus a nt uj ua nne ga r aI ndone s i aa da l a hme l i ndungis e ge na pba ngs aI ndone s i a da ns e l ur uh t umpa h da r a hI ndone s i a ,me ma j uka n ke s e j a ht e r aa n umum, me nc e r da s ka nke hi dupa nba ngs ada ni kuts e r t ada l a m me me l i ha r ake t e r t i ba n duni aya ngbe r da s a r ka nke me r de kaa n,pe r dama i a na ba dida nkea di l a ns os i a l , ma kamut l a kdi pe r l uka npe ne ga ka nhukum da nke t e r t i ba ns e c a r akons i s t e nda n be r kes i na mbunga n. Unt uk me nc a pa it uj ua nt e r s ebut ,pe me r i nt a h wa j i b me me l i ha r a da n me ne ga kka nke da ul a t a nda nme l i ndungis e ge na pwa r gane ga r a nyada r is e t i a p a nc a ma na t a ut i nda ka n des t r ukt i fba i kda r ida l a m ne ge r ima upun da r il ua r ne ge r i .Te r or i s meme r upa ka nke j a ha t a nt e r ha da pke ma nus i aa nda npe r a da ba n s e r t ame r upa ka ns a l a hs a t ua nc a ma ns e r i ust e r ha da pke da ul a t a ns e t i a pne ga r a ka r e nat e r or i s mes uda hme r upa ka nke j a ha t a nya ngbe r s i f a ti nt e r nas i ona lya ng me ni mbul ka nba ha yat e r ha da pke a ma na n,per da ma i a nduni as e r t ame r ugi ka n ke s ej a ht e r aa n ma s ya r aka ts e hi ngga pe r l u di l a kuka n pe mbe r a nt a s a ns e c a r a t e r e nc a na da n be r kes i na mbunga ns e hi ngga ha ka s as ior a ng ba nya k da pa t di l i ndungida ndi j unj ungt i nggi .
B.
Landasan Sosiologis
Ma s ya r aka tI ndone s i ada nma s ya r a ka tduni as a a ti nis e da ngdi ha da pka n pa da ke a daa n ya ng s a nga tme ngkha wa t i r ka na ki ba tma r a knya a ks it e r or . Ra ngka i a n pe r i s t i wa pe mboma n ya ng t e r j adidiwi l a ya h Ne ga r a Re publ i k 70
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me I ndone s i aya ngmul a it e r j a dis e j a ka khi rt a hun1990a nt e l a hme nga ki ba t ka n hi l a ngnya nya wa t a npa me ma nda ng kor ba n, me ni mbul ka n ke t a kut a n ma s ya r a ka ts e c a r al ua s ,da n ke r ugi a n ha r t a be nda ,s e hi ngga me ni mbul ka n da mpa kya ngl ua st e r ha da pke hi dupa ns os i a l ,e konomi ,pol i t i k,da nhubunga n i nt e r na s i oa nl . Ada punke gi a t a nt e r or i s mei nipa dake nya t aa nnyas uda hme mi l i ki j a r i nga nya ngkua tba i kdida l a m ma upundil ua rne ge r i .Upa yape mbe r a nt a s a n t i nda kpi da nat e r or i s mede nga nc a r akonve ns i ona l( follow the suspect)ya kni de nga n me nghukum pa r ape l a ku t e r ori nit e r nya t abuka ns a t us a t unyac a r a unt ukme nc e ga h da n me mbe r a nt a st i da kpi da nat e r or i s mes e c a r amaks i ma l . Upa yal a i n ya ngpe r l u di l a kuka n unt uk me nc e ga h da n me mbe r a nt a st i nda k pi da nat e r or i s mea da l a hde nga nme ngguna ka ns i s t e m da nme ka ni s mefollow the money de nga nme l i ba t ka npe nye di aj as ake ua nga n,a pa r a tpe ne ga khukum,da n ke r j as a ma i nt e r na s i ona lunt uk me nde t e ks ia da nya s ua t ua l i r a n da naya ng di guna ka na t a udi dugadi guna ka nunt ukpe nda na a nke gi a t a nt e r or i s m,ka r e na s ua t uke gi a t a nt e r or i s met i da kmungki nda pa tdi l a kuka nt a npaa da nyape l a ku t e r or ya ng be r pe r a ns e ba ga ipe nya nda ng da na unt uk ke gi a t a nt e r or i s me t e r s e but . Me l ua s nyaa ks it e r orya ngdi dukungol e hpe nda na a nya ngbe r s i f a tl i nt asne ga r a me nga ki ba t ka n pe mbe r a nt a s a nnya me mbut uhka n ke r j a s a ma i nt e r nas i ona l da l a m pe mbe nt uka ns ua t ua t ur a nI nt e r na s i ona lya ngme nj a dir uj uka nbe r s a ma . Me l a l uime ka ni s mefollow the money de nga nme ne l us ur ia l i r a nda name l a l ui t r a ns a ks ike ua nga nme r upa ka nc a r aya ngpa l i ngmuda hunt ukme nde t e ks ida na ya nga ka ndi guna ka na t a udi dugaa ka ndi gunaka nunt ukke gi a t a nt e r or i s meda n pe l a kut e r orya ngbe r pe r a ns e ba ga ipe nya ndangda na ,s e hi nggada pa ts es e ge r a mungki ndi l a kuka nt i nda ka nhukum pe nc e ga ha nt e r ha da pupa yape ngguna a n da nat e r s e butol e hpa r ape l akut e r or .Se ba ga i ma naha l nyape mba nguna nr e z i m a nt ipe nc uc i a n ua ng,pr i ns i p ut a ma da l a m me me r a ngit e r or i s me a da l a h ba ga i ma name mut usma t ar a nt a ipe nda na a n unt ukme ngur a ngike ma mpua n t e r or i sda l a m me l a kuka nt i nda ka nnya .Apa bi l ama t ar a nt a ipe nda na a ni ngi n di put usma kas e muane ga r aha r usme nga mbi lt i nda ka n be r da s a r ka n hukum be r upa pe mbe kua n,pe nyi t a a n da n pe r a mpa s a n as e tya ng t e r ka i tde nga n t e r or i s me .
71
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me Ha lya ngme nj a dipe r be da a npa dapr a kt i kpe nc uc i a nua ngde nga npe nda na a n t e r or i s mea da l a hpa dape nc uc i a nua ngs e c a r akhus usme l i ba t ka npe nga l i ha n ha s i l ke j a ha t a n ya ng s i gni f i ka n ke da l a m t r a ns a ks il e ga l me l a l uiupa ya pe nye mbi nyi a na t a u pe nya ma r a n,s e da ngkan pe nda na a nt e r or i s me da pa t me l i ba t ka nha s i lke j a ha t a nde nga nha s i lus a haya ngs a hya ngdi g una ka nunt uk t uj ua npe nda na a nke gi a t a nt e r or i s me .Se t i a por a ngya ngbe r hubunga nde nga n hukum,me s ki punus a ha us a haya ngdi j a l a nka na da l a hs a h,na munda pa ts a j a di guna ka ns e ba ga it a bi runt uk me ngumpul ka n da naba gipa r at e r or i ss e r t a or ga ni s a s i nya .Unt uk a l a s a na l a s a ni ni l a hs emua ne ga r a ha r usme ma s t i ka n ba hwade f i ni s ihukum me nge na ipe nda na a nt e r or i sme nc a kuppul ada naya ng di pe r ol e hda r is umbe r s umbe rya ngs a hda nme nga mbi ll a ngka hl a ngka hya ng di pe r l uka nguname nc e ga hpe nda na a ns e j e ni si t u. De nga n de mi ki a n kr i mi na l i s a s ipe nda na a nt e r or i s me s e ba ga is ua t ut i nda k pi da nas a a ti nimul t a kdi pe r l uka n,ka r e nape nya nda ngda naj ugaa da l a hpe l a ku da r it i nda kpi da nat e r or i s me , ba i kl a ngs ungma upunt i da kl a ngs ung.
C.
Landasan Yuridis
Ke t e nt ua n da l a m pe mbuka a n Unda ngUnda ng Da s a r Ne ga r a Re publ i k I ndone s i aTa hun1945,Ne ga r aI ndone s i ame l i ndungis e ge na pba ngs aI ndone s i a da ns e l ur uh t umpa h da r a hI ndoe ns i a da n unt uk me ma j uka n ke s e j a ht e r aa n umum,me nc e r da s ka n ke hi dupa n ba ngs a dan i kutme l a ks a na ka n ke t e r t i ba n duni aya ngbe r da s a r ka nke me r de ka a n,pe r dama i a na ba dida nkea di l a ns os i a l ma kape r l u di l a kuka nt i nda ka nt e ga st e r ha da ps e ga l abe nt uka nc a ma n ya ng me ngga nggu r a s aa ma n wa r ga ne ga r a da n me ngga nggu ke da ul a t a n ne ga r a t e r ma s uk a nc a ma nt i nda k pi da na t e r or i s me da na kt i f i t a sya ng me ndukung t e r j a di nyaa ks it e r or i s me . Uns urpe nda na a nme r upa ka ns a l a hs a t uf akt orut a mada l a ms e t i a paks i t e r or i s mes e hi nggaupa yape na nggul a nga nt i nda k pi da nat e r or i s medi ya ki ni t i da k opt i ma lt a npa di i kut ide nga n upa ya pe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt a s a n t e r ha da ppe nda na a nt e r or i s me . De nga nt e l a h di r a t i f i ka s i nya Konve ns iI nt er na s i ona l Pe mbe r a nt as an Pe nda naa n Te r or i s meme nj a diUU No.6 Tahun 2006,Pe me r i nt a hI ndone s i a 72
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me be r ke wa j i ba n unt uk me mbua ta t a u me nyel a r a s ka n pe r a t ur a n pe r unda ng unda nga nt e r ka i tpe r da na a nt e r or i s me s e hi ngga s e j a l a n de nga n ke t e nt ua nke t e nt ua nya ngdi a t urdi da l a m konve ns i . Ke t e nt ua n ya ng a da be r ka i t a n de nga n pe nda na a nt e r or i s me be l um me nga t urt e nt a ngpe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt a s a nt i nda k pi da nape nda na a n t e r or i s mes e c a r ame ma da i da nkompr e he ns i f ; Upa ya me mas uka nt i nda k pi da na t e r or i s me s e ba ga is a l a hs a t ut i nda k pi da naa s a l( predicate crime)da l a m UU TPPU t e r nya t ama s i h be l um da pa t di i mpl e me nt a s i ka ns e c a r ae f e kt i fda l a m me nc e ga h da n me mbe r a nt ast i nda k pi da nape nda na a nt e r or i s me .Ba hka nUnda ngUnda ngNomor15Ta hun2003 t e nt a ngPe ne t a pa nPe r a t ur a nPe me r i nt a hPe ngga nt iUnda ngUnda ngNomor1 Ta hun2002t e nt a ngPe mbe r a nt a s a nTi nda kPi da naTe r or i s meMe nj a diUnda ngUnda ng ya ng t e l a h me ngkr i mi na l i s a s ipe nda na a nt e r or i s me s e ba ga it i nda k pi da nat e r nya t amas i hme nyi s a ka n“ loopholes”s e hi nggape nga t ur a nnyabe l um me nj a mi nke pa s t i a nhukum da nke t e r t i ba nhukum da l a m ma s ya r a ka t .Da l a m upa yame nc e ga hda nme mbe r a nt a st i nda kpi da nape nda naa nt e r or i s me ,ma ka pe r l ua da nyake pas t i a nhukum da npe ne ga kanhukum ya ngbe r ke a di l a nya ng ha r usdi l a ks a na ka ns e c a r akons i s t e nda nbe r ke l a nj ut a n. Ra t i f i ka s iKonve ns ime r upa ka npe me nuha nke wa j i ba nI ndone s i as e ba ga i a nggot aPBB t e r ha da pRe s ol us iDe wa nKe mana nPBB Nomor1373.Re s ol us i t e r s e but me mi nt a s e t i a p ne ga r a a nggot a unt uk me nga mbi ll a ngka h pe mbe r a nt a s a nt e r or i s me ,t e r ma s uk me r a t i f i ka s i12 Konve ns iI nt e r na s i ona l me nge na it e r or i s me .Ra t i f i ka s ii nime nunj ukka n komi t me nI ndone s i ada l a m pe mbe r a nt a s a npe nda na a nt e r or i s me . Pe nyus una nRUUt e nt a ngPe nc e ga ha nda n Pe mbe r a nt as a n Pe nda naa n Te r or i s meme nj a dis e ma ki ns t r a t e gida nr e l e va n de nga n di r a t i f i ka s i nya International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 ( Konve ns iI nt e r nas i ona lPe mbe r a nt as a nPe nda na a n Te r or i s me , 1999)be r da s a r ka nUnda ngUnda ngNomor6Ta hun2006. Sa l a hs a t u ke wa j i ba ns e s ua iPas a l2Konve ns iPBB me nge na iPe mbe r a nt a s a nPe nda na a n Te r or i s me a da l a h pe ne r a pa n ke wa j i ba n ba gi l e mba ga ke ua nga n unt uk me l a por ka nt r a ns a ks iya ng me nc ur i ga ka n ke pa da i ns t a ns ibe r we na ng s e r t a be ke r j as a maunt uks a l i ngt uka r me nuka ri nf or ma s ida l a mr a ngkape nc e ga ha n da npe mbe r a nt as a na l i r a nda naunt ukt i nda kpi da nat e r or i s me . Konve ns ii nij uga 73
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me me wa j i bka n s e t i a p ne ga r a pi ha k ( state
party) unt uk me nga t ur
pe ngi de nt i f i ka s i a n,pe nde t eks i a n,da npe mbe kua nda naya ngdi guna ka nunt uk me mbi a ya it i nda kpi da nat e r or i s me .
74
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
A.
Sasaran Yang Akan diwujudkan, Arah dan Jangkauan Pengaturan
DiI ndone s i at i nda k pi da na t e r or i s me me r upa ka ni s u pe nt i ng ya ng me nda pa t ka npe r ha t i a npe nuhda r is e mual a pi s a nmas ya r aka tda nPe me r i nt a h. Te r j a di nyape r i s t i wape mboma ndiBa l ipa dat a hun200233 hi nggape mboma n hot e lJ W Ma r r i otpa dat a hun2009me r upa ka nbukt ikua tba hwat i nda kpi da na t e r or i s meme r upa ka ns ua t ua nc a ma nnya t ayangda pa tme r ongr ongke da ul a t a n ba ngs ada nne ga r a ,s e hi nggaa kt i f i t a st e r or i s meda ni ns t r ume npe ndukungnya 34 t e l a hme nda pa tpe r ha t i a nkhus usda r ipe me r i nt a hI ndone s i a .
Pa r ape l akut e r or i s mes uda hpa s t it i daka ka npe r na hbe r ha s i lme l a kuka n a ks i nyat a npaa da nyabe r ba ga ibe nt ukf as i l i t a sda ni ns t r ume npe dukungl a i nnya , di ma nas a l a hs a t unyaa da l a hdukunga npe ndana a n.Da l a m ke gi a t a nt e r or i s me , da nas a nga tdi but uhka nunt ukme mpr omos i ka ni de ol og i ,me mbi a ya ia nggot a t e r or i sda nke l ua r ga nya ,me nda na ipe r j a l a na nda npe ngi na pa n,me r e kr utda n me l a t i h a ngg ot a ba r u, me ma l s uka n i de nt i t a s da n dokume n, me mbe l i 35O pe r s e nj a t a a n, da nunt ukme r a nc a ngda nme l a ks a na ka nope r as i . l e hs e babi t u,
33
Pengamat terorisme Wawan Purwanto mengatakan bahwa aksi terorisme di Indonesia tidak lagi disokong dana dari Timur Tengah, khususnya dari kelompok Al-Qaidah. Sejak Bom Bali I pada 2002, aksi terorisme dalam negeri praktis didanai secara swadaya oleh para teroris dengan dibantu simpatisan mereka. Lihat: “Pendanaan teroris Indonesia Tak Lagi dari Al-Qaidah”, Tempo Interaktif, 4 Mei 2011. 34
Menurut Pimpinan Direktorat Perizinan dan Pengaturan Perbankan BI Zainal Abidin, maraknya kasus terorisme di Indonesia disinyalir karena sokongan dana yang terus mengalir. Bank sebagai tempat penyaluran dana dinilai lalai dalam menganalisa identitas nasabah. Identitas teroris saat akan melakukan transaksi keuangan bisa dipastikan palsu, karena yang dipakai adalah identitas pinjaman yang seringkali fiktif, dan bank kerap terkecoh. Bank sering segan untuk mengkroscek identitas nasabah yang akan membuka rekening. Standar operasionalnya, sebelum melakukan hubungan dengan nasabah, bank wajib meminta informasi sedetil-detilnya dari si nasabah. Saat ini para teroris cenderung menggunakan identitas orang terdekatnya yang dianggapnya aman. Modusnya lebih rapi. Rekening salurannya bisa milik sopir atau bahkan pembantu. Harusnya bank curiga kalau penghasilan naik tiba-tiba dengan angka yang drastis, padahal pekerjaan tetap. Lihat: ”Karena Lalai, Aliran Dana Terorisme Terus Mengalir di Bank”, detikBandung.com, 23 Maret 2010. Sementara Kapolri Bambang Hendarso Danuri mengungkapkan bahwa pola penyaluran dana kelompok teroris bukan hanya melalui cara tradisional seperti menggunakan kurir (Hawala), melainkan juga memanfaatkan teknologi perbankan seperti phone banking dan lain-lain. Lihat: ”Kapolri: Pendanaan Teroris Gunakan Jasa Phone Banking”, detiknews, 3 September2009. 35
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai mengatakan, bahwa kematian Usamah Bin Ladin tidak akan menggoyang keberadaan kelompok teroris yang ada di dalam negeri.
75
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me dukunga nda l a m be nt ukua nga t a uda name r upa ka ns a l a hs a t uf a kt orpe nt i ng da l a ma ks it e r or i s me ,s e hi nggaupa yape na nggul a nga nt e r or i s meha r uspul a di i kut ide nga n upa ya pe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt as a nt e r ha da p pe nda naa n t e r or i s me . Pa da i nt i nya pe nda na a n t e r or i s me a da l a h pe nye di a a n dukunga n ke ua nga nunt ukt e r or i s me , ba i kba giya ngme mf a s i l i t a s i , me r e nc a naka n, ma upun 36 ya ngme l a kuka na ks it e r or i s me .
Pe nt i ngnyape r a ngme l a wa n pe nda naa nt e r or i s medi da s a r ka n ke pa da ke nya t aa n ba hwa pe nda na a nt e r or i s me me ndukung us a ha pe r e kr ut a n da n pe mbe r i a nmot i va s ime l a l uii ns e nt i fke ua nga ns e r t ama mpume nj a gake kua t a n mor a lda n mot i va s ide nga n ke be r ha s i l a n pe r e nc a na a n da n pe l a ks a naa na ks i t e r or nya . Na mun, t e r or i sj ugama s i hme me r l uka ni nf r a s t r ukt urs i s t e m ke ua nga n unt uk me mobi l i s a s i da n me nya l ur ka n da na nya . Ada pun ya ng me mbua t pe nda na a nt e r or i s meme nj a dis a nga tbe r ba hayadi ba ndi ngka nbe nt ukkr i mi na l l a i nnyadi ka r e na ka ns t r a t e gime r e kada l a m me ngguna ka nor ga ni s a s ia ma la t a u ni r l a bas e ba ga is umbe rpe nda naa nda nke mampua nnyame ngi nf i l t r a s is i s t e m ke ua nga n ne ga r a ne ga r a mi s ki n da n be r kemba ng.Se l a i ni t u,s umbe rda na t e r or i s me da pa tpul a be r a s a lda r is umbe r ya ng ha l a la t a ul e ga ls e hi ngga me mpe r s ul i tpe ne l us ur a n da n pe mbukt i a na l i r a n da nat e r or i s me .Pe ma l s ua n i de nt i t a sj ugamuda hdi l a kuka nka r e nas e maki nme nj a mur nyae-business da n ke muda ha nt r a ns a ks ike ua nga n vi ai nt e r ne tdie r a gl oba l i s as ii nis e ma ki n me mpe r s ul i tpe ne ga khukum unt ukme l a c a ka l i r a nda nat e r or i s .
Soalnya, pelaku teror domestik tidak lagi mengandalkan dana dari Timur Tengah, khususnya dari kelompok Al-Qaidah pimpinan Usamah. Pendanaan tidak semata-mata dari Al-Qaidah. Pemerintah Indonesia, terutama aparat keamanan dan intelijen, harus juga mencermati kegiatan-kegiatan yang berpotensi dijadikan sumber pendanaan kelompok teroris. Seperti gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang merekrut anggota baru, mencuci otak mereka, dan menarik infak dari mereka sebagai sumber pendanaan. Contoh lain adalah sejumlah aksi perampokan terhadap bank dan toko emas yang terjadi beberapa bulan lalu, dengan alasan fa'i. Namun, setelah diselidiki dan diusut polisi, perampokan itu dilakukan untuk menggalang dana guna melakukan aksi teror. Lihat: “Pendanaan teroris Indonesia Tak Lagi dari Al-Qaidah”, Tempo Interaktif, 4 Mei 2011. 36
Kepala PPATK Yunus Husein mengemukakan bahwa PPTAK memiliki peran penting dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme, terutama dengan memberikan informasi dan intelejen keuangan penelusuran dana. Penelusuran dana bisa dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Penelusuran aliran dana dimulai dari identifikasi kegiatan pendanaan untuk terorisme setelah menuju kepada tokoh-tokoh penting dalam terorisme selanjutnya adalah mengidentifikasi lokasi pelaku dan aksi teroris tersebut. Lihat “Seminar Internasional: Pencegahan terorisme Perlu Kerjasama Semua Negara”, Prasetya Online, 23 Juni 2011.
76
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me Sa l a hs a t uupa yaya ngda pa tdi l a kuka nol e ha pa r a tpe ne ga khukum unt uk me nc e ga hda nme mbe r a nt a st i nda kpi da nat e r or i s meya ngt e r j a didiI ndone s i a da pa tdi l a kuka nde nga nme mut usa l i r a npe nda na a nke pa dape l a kut e r or i s me . De nga n me mut us a l i r a n da na a ka n me nc i pt a ka nl i ngkunga n ya ng t i da k be r s a haba t ba gi t e r or i s me ,s e r t a me mba t a s i ke ma mpua n t e r or i s unt uk me l a nc a r ka na ks ibr ut a l nya .Pe mut us a nt e r ha da p ma t ar a nt a ipe nda na a n t e r or i s me me ngha r us l a n a da nya pe r l i ndunga n s i s t e mi kt e r ha da p s i s t e m ke ua nga n da n pe r ba nka n da r i pe r bua t a n pi da na ,me ngi nga ts e ns i t i f nya i nf or ma s iya ngdi i nf or ma s i ka nol e hi nt e l i j e nkont r a t e r or i s me .Ef e kt i f i t a spi ha k be r we na ng da l a m me nde t e ks i da n me nye l i di ki a kt i f i t a st e r or i s da pa t di t i ngka t ka ns e c a r as i gni f i ka nke t i kai nt e l i j e nkont r a t e r or i s meda ni nf or ma s i 37 f i na ns i a ldi guna ka ns e c a r abe r s a maa n.
Pe mut us a n ma t a r a nt a i pe nda na a n t e r or i s me t e r s e but t e nt unya me mbut uhka nl a nda s a nhukum ya ngj e l a sa ga rda pa tdi l a ks a na ka ns e c a r abe na r da n da pa t pul a di pe r t a nggungj a wa bka n s e c a r a hukum. De nga n t e l a h di r a t i f i ka s i nya Konve ns iI nt e r nas i ona lPe mbe r a nt a s a n Pe nda na a n Te r or i s me me l a l uiUnda ng Unda ngNomor6Ta hun2006t e nt a ngPe nge s a ha nInternational Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999,maka I ndone s i aj ugawa j i bunt ukme mbua ta t a ume nye l a r a s ka npe r a t ur a npe r unda ngunda nga nt e r ka i tpe nda na a nt e r or i s me s e hi ngga s e j a l a n de nga n ke t e nt ua nke t e nt ua nya ngdi a t urda l a m konve ns it e r s ebut . Pe r l unyape nga t ur a nt e nt a ngPe mbe r a nt a s a nPe nda naa nTe r or i s meke da l a m s e bua h pe r unda ngunda nga nt e r s e ndi r i ,s e be na r nya j uga di pi c u ol e h a da nya Nine Special Recommendation FATF.Re kome nda s ii ni me r upa ka n r e kome nda s ikhus us ya ng di guna ka ns e ba ga is t a nda ri nt e r na s i ona lunt uk me ngha l a ngia ks e s ba gipa r at e r or i s da n pe ndukungnya me ma s ukis i s t e m ke ua nga n.De nga na da nya konve ns ii nt e r na s i ona l ya ng t e l a h di r a t i f i ka s i 37
Lihat FATF, Terrorist Financing Typology Report , 2008. Menurut John Tanujaya, bahwa kunci keberhasilan Pemerintah di negara manapun untuk melemahkan dan menghancurkan jaringan teroris hanya satu, yaitu menghentikan money line. Semenjak terjadinya serangan di New York City, London dan Spain, Pemerintah di negara-segara tersebut melakukan monitor money traffic. Jadi bukan hanya mereka melakukan pengamanan di perbatasan (Airport, Seaport, Land port) tetapi yang mereka utamakan adalah pengawasan money traffic. Yang mereka lakukan adalah menghentikan: (1) praktik pencucian uang; (2) transfer uang lewat yayasan no profit; dan (3) transfer uang lewat sistim Hawala. Lihat: John Tanujaya, “Hentikan Pendanaan Jaringan Teroris di Indonesia Sekarang!”, http://ec2-175-41-177-36.ap-southeast1.compute.amazonaws.com, diakses tanggal 12 Desember 2011.
77
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me ( International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999) da l a ma t ur a nhukum I ndone s i ada nNine Special Recommendation FATF,s e r t a ba nya knyake l e ma ha nya ngdi mi l i kiol e hbe be r a pape r a t ur a nya ngt e l a ha da , ya ngme nga t urt e nt a ngt i nda kpi da nape nda na a nt e r or i s me ,ma kadi pe r l uka n Unda ngUnda ngt e r s e ndi r iya ngme nga t urme nge na iTi nda kPi da naPe nda naa n Te r or i s me .Unda ngUnda ngi nime nga t urs e c a r akompr e he ns i fme nge na ia s as , kr i mi na l i s a s it i nda kpi nda nape nda na a nt e r or i s meda nt i nda kpi da nal a i nya ng be r ka i t a n de nga n t i nda k pi da na pe nda naa n t e r or i s me , pe l a por a n da n pe nga wa s a nke pa t uha n,me ka ni s mepe mbl oki r a n,pe nyi di ka n,pe nunt ut a nda n pe me r i ks a a n dis i da ng pe nga di l a n,s e r t a ke r j a s a ma ba i k na s ona lma upun i nt e r na s i ona lda l a m pe nc e ga ha nda npe mbe r a nt a s a nt i nda kpi da nape nda naa n 38 t e r or i s me .
Ma ka a r a h pe nga t ur a n Pe mbe r a nt as a n Ti nda k Pi da na Pe nda naa n Te r or i s mea da l a hunt uk:( 1)me nga t a s ic e l a hc e l a hya nga dada l a m pe r a t ur a n ya ngbe r ka i t a nde nga nt i nda kpi da nape nda naa nt e r or i s mes e hi nggame nj a mi n ke pa s t i a n hukum da n ke t e r t i ba n da l a m ma s ya r a ka t ;( 2) me nge t a huida n me nga t ur pr os e dur da n me ka ni s me ya ng j e l a s upa ya pe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt a s a nt i nda kpi da nat e r or i s meme l a l uipe nde ka t a nfollow the money na munt i da kme ngha mba tke gi a t a npe nge l ol aj a s ake ua nga n;da n( 3)me me nuhi Re kome nda s i Financial Action Task Force on Money Laundering ( FATF) khus us nyaNine Special Recommendations. Sa s a r a nya ngaka ndi wuj udka na da l a h( i )i kutme me l i ha r ada nme nj a ga s t a bi l i t a sekonomi ,s os i a lbuda ya ,da nke a mana nda nke t e r t i ba nna s i ona l ;( i i ) me mut usa l urpe nda na a nt e r or i s mes e ka l i gusme nc e ga ht e r j a di nyake mba l i s e r a nga na t a ua ks i a ks it e r or i s medis e l ur uht a na ha i r ;da n( i i i )me nunj ukka n komi t me n I ndone s i a ya ng kua t da n s er i us da l a m pe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt a s a npe nda naa nt e r or i s me .
38
Pada dasarnya Pengaturan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ini dimaksudkan untuk membentuk suatu aturan hukum yang baku dan lengkap mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tujuan nasional, terciptanya penegakan hukum dan ketertiban yang konsisten dan berkesinambungan. Ibid.
78
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me B.
Ruang Lingkup Materi Muatan
Pe nga t ur a nt e nt a ngPe mbe r a nt a s a nPe nda na anTe r or i s medi s us unde nga n me mpe r t i mba ngka nke t e nt ua nya nga dada l am Pe mbuka a nUUD1945,di ma na ne ga r awa j i bme l i ndungis e ge na pba ngs ada ns e l ur uht umpa hda r a hI ndone s i a , me ma j uka n kes e j a ht e r a a n umum,me nc e r da s ka n ke hi dupa n ba ngs ada ni kut me l a ks a naka nke t e r t i ba nduni abe r da s a r ka nke me r de ka a n,pe r da ma i a na ba di da n ke a di l a ns os i a l .Ol e hs e ba bi t u,t e r ha dap s e ga l a be nt uk a nc a ma n ya ng me ngga nggu r a s aa ma n wa r ga ne ga r a da n me ngga nggu ke da ul a t a n ne ga r a , t e r ma s uk a nc a ma nt i nda k pi da na t e r or i s me da na kt i f i t a sya ng me ndukung t e r j a di nyaa ks it e r or i s me , pe r l udi l a kuka nt i nda ka nt e ga s . Da l a m a ks it e r or i s me ,uns urpe nda na a n mer upa ka ns a l a hs a t uf akt or ut a ma ,s e hi nggaupa yape na nggul a nga nt i nda kpi da nat e r or i s medi ya ki nit i da k a ka n opt i ma lt a npa di i kut ide nga n upa ya pe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt as a n t e r ha da p pe nda na a nt e r or i s me .De nga nt e l a h di r a t i f i ka s i nya International Convention for The Suppression of The Financing of Terrorism, 1999)de nga n Unda ngUnda ng RI Nomor 6 Ta hun 2006,ma ka Pe me r i nt a hI ndone s i a be r ke wa j i ba n unt uk me mbua ta t a u me nye l a r a s ka n pe r a t ur a n pe r unda ngunda nga nt e r ka i tpe r da na a nt e r or i s me s e hi ngga s e j a l a n de nga n ke t e nt ua nke t e nt ua n ya ng di a t urdida l a m konve ns it er s e but .Ha li t u pe r l u di l a kuka n me ngi nga tke t e nt ua nya nga dabe r ka i t a nde nga npe nda na a nt e r or i s mebe l um me nga t urupa ya pe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt a s a nt i ndak pi da na pe nda na a n t e r or i s me s e c a r a me ma da i da n kompr e he ns i f . Be r da s a r ka n be be r a pa pe r t i mba nga ni t ul a hs e hi ngga pe r l u me mbe nt uk Unda ngUnda ng t e nt a ng Pe mbe r a nt as a nPe nda naa nTe r or i s me . Me ngi nga tPa s a l5a ya t( 1)da nPa s a l20Unda ngUnda ngDa s a rNe ga r a Re publ i kI ndone s i a Ta hun 1945;Pe r a t ur a n Pe me r i nt a h Pe ngga nt iUnda ngUnda ng RINomor 1 Ta hun 2002 t e nt a ng Pe mbe r a nt a s a n Ti nda k Pi da na Te r or i s me ,s e ba ga i ma na t e l a h di t e t a pka n me nj a diUnda ngUnda ng de nga n Unda ngUnda ng RINomor 15 Ta hun 2003 t e nt a ng Pe ne t a pa n Pe r a t ur a n Pe me r i nt a h Pe ngga nt iUnda ngUnda ng RINomor 1 Ta hun 2002 me nj a di Unda ngUnda ng; da n Unda ngUnda ng RI Nomor 6 Ta hun 2006 t e nt a ng Pe nge s a ha nInternational Convention For The Suppression Of The Financing Of 79
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me Terrorism, 1999;ma kade nga nPe r s e t uj ua nBe r s a maa nt a r aDPRda nPr e s i de nRI me mut us ka n unt uk me ne t a pka n Unda ngUnda ng t e nt a ng Pe mbe r a nt a s a n Pe nda naa nTe r or i s me .
1.
Ketentuan Umum: Memuat Pengertian Istilah dan Frase Pe nga t ur a n t e nt a ng Pe mbe r a nt a s a n Pe ndana a n Te r or i s me i ni da l a m ke t e nt ua n umum a ka n di r umus ka ns e pe r t i:( 1)Pe nda na a n Te r or i s me ;( 2) Ti nda kPi da naTe r or i s me ;( 3)Se t i a pOr a ng;( 4)Kor por a s i ;( 5)Tr a ns a ks i ;( 6) Tr a ns a ks iKe ua nga n Me nc ur i ga ka n Te r ka i tPe nda na a n Te r or i s me ;( 7)Ha r t a Ke kaya a n;( 8)Da na ;( 9)Pe mbl oki r a n Se me nt a r a ;( 10)Pus a tPe l a por a n da n Ana l i s i sTr a ns a ks iKe ua nga nya ngs e l a nj ut nyadi s i ngka tPPATK;( 11)Pe nye di a J a s aKe ua nga nya ngs e l a nj ut nyadi s i ngka tPJ K;( 12)Pe nggunaJ a s aKe ua nga n; ( 13)Le mba gaPe nga wa sda n Pe nga t urya ngs e l a nj ut nyadi s i ngka tLPP;( 14) Pe r s oni lPe nge nda l iKor por a s i ; da n( 15)Dokume n. Ti nda kpi da naPe nda na a nTe r or i s meda pa tt er j a dika r e nadi s ebabka nol e h pe r bua t a n ma nus i aa t a u pun kor por a s i( ba da n hukum) .Da l a m ha li ni ,ya ng di ma ks ud de nga nt i nda kpi da naPe nda na a n Te r or i s mea da l a h“ Se t i a p Or a ng ya ng de nga n s e nga j a me nye di a ka n, me ngumpul ka n, me mbe r i ka n, a t a u me mi nj a mka n Da na ba i kl a ngs ung ma upun t i da kl a ngs ung,de nga n ma ks ud di guna ka ns e l ur uhnyaa t a us e ba gi a nunt ukme l a kuka nTi nda kPi da naTe r or i s me . Apa bi l a Ti nda k Pi da na Pe nda naa n Te r or i s me di l a kuka n ol e h Kor por a s i , ma kat unt ut a nda npe nj a t uha npi da nadi ke na ka nt e r ha da pKor por a s i , pe ngur us , da n/a t a u Pe r s oni lPe nge nda l iKor por a s i .Khus us unt uk kor por a s i ,pi da na di j a t uhka nt e r ha da pnya a pa bi l a Ti nda k Pi da na Pe nda naa n Te r or i s me :( a ) di l a kuka na t a udi pe r i nt a hka nol e hPe r s oni lPe nge nda l iKor por a s i ;( b)di l a kuka n da l a mr a ngkape me nuha nma ks udda nt uj ua nKor por a s i ;( c )di l a kuka ns e s ua i de nga nt uga sda nf ungs ipe l a ku a t a u pe mbe r ipe r i nt a h;a t a u( d)di l a kuka n de nga nma ks udme mbe r i ka nma nf a a tba giKor por a s i . Se l a i nya ngdi ke muka ka ndia t a s ,t e r da pa tpul as ej uml a ht i nda kpi da nal a i n ya ngbe r ka i t a nde nga nTi nda kPi da naPe nda na a nTe r or i s me .Pertama,Pe j a ba t a t a upe ga wa iPPATK,pe nyi di k,pe nunt utumum,ha ki m,a t a uSe t i a pOr a ngya ng me mpe r ol e hdokume na t a uke t e r a nga nbe r kai t a nde nga nTr a ns a ks iKe ua nga n Me nc ur i ga ka n Te r ka i t Pe nda na a n Te r or i s me da l a m r a ngka pe l a ks a naa n 80
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me t uga s nya ,wa j i b me r a ha s i a ka n Dokume na t a u ke t e r a nga nt e r s e but .Kedua, Pe j aba ta t a u pe ga wa iPPATK,pe nyi di k,pe nunt utumum,ha ki m,a t a u Se t i a p Or a ng ya ng me l a ngga rke t e nt ua ns e ba ga i ma na di ma ks ud,di pi da na de nga n 39 Ketiga,D pi da na pe nj a r a pa l i ng l a ma 4 ( e mpa t )t a hun. i r e ks i ,komi s a r i s ,
pe ngur us ,a t a u pe ga wa iPe nye di aJ a s a Ke uanga n di l a r a ng me mbe r i t a huka n ke pa daPe nggunaJ as aKe ua nga na t a upi ha kl a i n,ba i ks e c a r al a ngs ungma upun t i da kl a ngs ung, da nde nga nc a r aa pa pun, me ng e na il a por a nTr a ns a ks iKe ua nga n Me nc ur i ga ka n Te r ka i tPe nda na a n Te r or i s meya ngs e da ngdi s us un a t a ut e l a h di s a mpa i ka nke pa daPPATK. Te t a pi ,ke t e nt ua nme nge na il a r a nga ns eba ga i ma nadi ma ks udt i da kbe r l a ku unt ukpe mbe r i a ni nf or ma s ike pa daLe mba gaPe nga wa sda n Pe nga t ur .Unt uk Le mba ga Pe nga was da n Pe nga t ur ( LPP) ,ba i ks e c a r al a ngs ung a t a ut i da k l a ngs ung,de nga nc a r aa pa pun,di l a r a ng me mbe r i t a huka nl a por a n Tr a ns a ks i Ke ua nga nMe nc ur i ga ka nTe r ka i tPe nda naa nTe r or i s meke pa daPe nggunaJ as a Ke ua nga nya ngt e l a hdi l a por ka nke pa daPPATK.
2.
Materi Yang Akan Diatur Ruang Lingkup Pe nga t ur a nt e nt a ng t e nt a ng Pe mbe r a nt as a n Pe nda na a n Te r or i s me i ni be r l a ku t e r ha da ps e t i a p or a ng,da na ( fund) ,ne ga r al a i n,t i nda k pi da na pe nda na a nt e r or i s met e r ka i tde nga nt i nda kpi da nat e r or i s me . Ba hwaUnda ngUnda ngAnt iPe nda na a nTe r or i s mei nibe r l a kut e r ha da p: ( a )Se t i a p Or a ngya ngme l a kuka na t a u be r ma ks ud me l a kuka nt i nda kpi da na Pe nda naa nTe r or i s mediwi l a ya hne ga r aRe publ i kI ndone s i ada n/a t a udil ua r wi l a ya h ne ga r aRe publ i kI ndone s i a ;da n/a t au ( b)Da naya ngt e r ka i tde nga n Pe nda naa nTe r or i s mediwi l a ya hne ga r aRe publ i kI ndone s i ada n/a t a udil ua r wi l a ya hne ga r aRe publ i kI ndone s i a .Se l a i ni t uUnda ngunda ngi nij ugabe r l a ku t e r ha da pt i nda k pi da na Pe nda na a n Te r or i s me ya ng t e r j a didi l ua r wi l a ya h I ndone s i aa pa bi l a :( a)di l a kuka nol e hwa r gane ga r aI ndone s i a ;( b)t e r ka i tde nga n Ti nda kPi da naTe r or i s met e r ha da pwa r gane ga r aI ndone s i a ;( c )t e r ka i tde nga n
39
Namun, ketentuan sebagaimana dimaksud tersebut tidak berlaku terhadap Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, atau setiap orang apabila dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
81
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me Ti nda k Pi da naTe r or i s met e r ha da pf a s i l i t aspe me r i nt a hI ndone s i at e r ma s uk pe r wa ki l a nI ndone s i aa t a ut e mpa tke di a ma npe j a ba tdi pl oma t i ka t a ukons ul e r da r iI ndone s i a ;( d)t e r ka i tde nga n Ti nda kPi da naTe r or i s meya ngdi l a kuka n s e ba ga iupa yaunt uk me ma ks ape me r i nt a hI ndone s i ame l a kuka na t a ut i da k me l a kuka ns ua t ut i nda ka n;( e )t e r ka i t de nga n Ti nda k Pi da na Te r or i s me t e r ha da ppe s a wa tuda r aya ngdi ope r a s i ka nol e hne ga r aI ndone s i a ;( f )t e r ka i t de nga n Ti nda k Pi da na Te r or i s me dia t a s ka pa lya ng be r be nde r a ne ga r a I ndone s i aa t a u pes a wa tuda r a ya ng t e r da f t a r be r da s a r ka n unda ngunda ng I ndone s i apa das a a tt i nda kpi da nai t udi l a kuka n;a t a u( g)di l a kuka nol e hSe t i a p Or a ngya ngt i da kme mi l i kike wa r ga ne ga r a a nda nbe r t e mpa tt i ngga ldiwi l a ya h ne ga r aRe publ i kI ndone s i a .
Pencegahan dan Pengawasan Kepatuhan Upa yape nc e ga ha nTi nda kPi da naPe nda na a nTe r or i s medi l a kuka nme l a l ui : pe ne r a pa n pr i ns i p me nge na l i Pe ngguna J a s a Ke ua nga n, pe l a por a n da n pe nga wa s a n ke pa t uha n Pe ngguna J a s a Ke ua nga n, pe nga was a n ke gi a t a n pe ngi r i ma nua ngme l a l uis i s t e mt r a ns f e ra t a upe ngi r i ma nua ngme l a l uis i s t e m l a i nnya ;s e r t ape nga wa s a npe ngumpul a nda npe ne r i ma a ns umba nga n.Da l a m pe ne r a pa n Pe ne r a pa n Pr i ns i p Me nge na l iPe nggunaJ a s aKe ua nga n,Le mba ga Pe nga wa s da n Pe nga t ur ( LPP) me ne t a pkan ke t e nt ua n pr i ns i p me nge na l i Pe nggunaJ a s aKe ua nga nt e r ma s ukPe nggunaJ a s aKe ua nga nya ngt e r ka i tTi nda k Pi da na Pe nda na a n Te r or i s me . Pe nga t ur a n me nge na i ke t e nt ua n pr i ns i p me nge na l iPe nggunaJ a s aKe ua nga ns e ba ga i manadi ma ks udda pa tdi a t urs e c a r a t e r s e ndi r ia t a ube r s a made nga nke t e nt ua nme nge na it i nda kpi da nape nc uc i a n ua ng.Da l a m ha li ni ,PJ K wa j i bme ne r a pka npr i ns i pme nge na l iPe nggunaJ as a Ke ua nga nya ngdi t e t a pka nol e hs e t i a pLPPs e baga i ma nadi ma ks ud. Da l a m ha lpe nga wa s a nya ngdi l a kuka nt e r ha da pke gi a t a npe ngi r i ma nua ng me l a l uis i s t e mt r a ns f e r , PJ Kya ngme l a kuka nTr a ns a ks ipe ngi r i ma nua ngme l a l ui s i s t e mt r a ns f e rwa j i bme mbe r i ka ni de nt i t a sdani nf or ma s iya ngbe na rme nge na i pe ngi r i ma s a l ,a l a ma tpe ngi r i ma s a l ,pe ne r i ma ,j uml a hua ng,j e ni sma t aua ng, t a ngga lpe ngi r i ma nua ng,s umbe rda nada ni nf or ma s il a i nya ngbe r da s a r ka n ke t e nt ua n pe r a t ur a n pe r unda ngunda nga n wa j i b di be r i ka n ke pa da PJ K. I nf or ma s is e ba ga i ma nadi ma ks uddi s a mpa i ka nol e hPJ Kde nga nme ngi s if or mul i r 82
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me ya ngdi s e di a ka nol e hPJ K de nga nme l a mpi r ka ndokume npe ndukung.Apa bi l a Pe nggunaJ a s aKe ua nga nt i da kme mbe r i ka ni nf or ma s iya ngdi mi nt as e ba ga i ma na di ma ks ud,ma ka Pe nye di aJ a s a Ke ua nga n wa j i b me nol a k pe ngi r i ma n ua ng me l a l ui s i s t e mt r a ns f e rt e r s ebut . Se hubunga nde nga npe nga wa s a ni ni ,PJ K di wa j i bka nme mi nt ai nf or ma s i ya ngl e ngka pke pa daPe nggunaJ a s aKe ua nga nme nge na ipe ngi r i ma s a l ,a l a ma t pe ngi r i ma s a l , pe ne r i ma , j uml a hua ng, j e ni smat aua ng, t a ngga lpe ngi r i ma nua ng, s umbe r da na da ni nf or ma s il a i n ya ng ber da s a r ka n ke t e nt ua n pe r a t ur a n pe r unda ngunda nga n wa j i b di mi nt aol e h PJ K.Unt uki t u,PJ K pe ngi r i m wa j i b me nyi mpa ns e muai nf or ma s iya ngdi pe r l uka nunt ukme nge na l is e muape ngi r i m a s a lda n pe ne r i maki r i ma n pa l i ngs i ngka t5 ( l i ma )t a hun s e j a k be r a khi r nya Tr a ns a ks i pe ngi r i ma n ua ng me l a l ui s i s t e m t r a ns f e r . Se da ngka n unt uk pe nga wa s a n ke gi a t a n pe ngi r i ma n ua ng me l a l uis i s t e m l a i nnya ,PJ K waj i b me mpe r ol e hi z i nda r i da n/a t a ut e r da f t a rpa daLe mba gaPe nga wa sda nPe nga t ur , da ndi wa j i bka npul ame nya mpa i ka nl a por a nt e r t ul i sme nge na ipe nye l e ngga r a a n 40 ke gi a t a npe ngi r i ma nua ngke pa daLPP.
Unt uk ke pe nt i nga n pe r l i ndunga n ma s ya r a ka tda n pe nc e ga ha nt i nda k pi da nape nda naa nt e r or i s mes e r t ame mut usr a nt a ipe nda na a nda l a m ke j a ha t a n t e r or i s me , l i ngkuppe nga t ur a nda l a m UUi nime l i put ipul ape l a ks a na a nt r a ns a ks i ke ua nga nya ngdi l a kuka nme l a l uiPJ Kf or ma lma upunPJ Knonf or ma l . Ba gipe l a ku ya ng di duga t e r l i ba tda l a m pe nda na a nt e r or i s me ya ng di l a kuka nde nga nt r a ns aks ike ua nga nme l a l uiPJ Kya ngbe r ba da nhukum a t a u t i da kbe r ba da nhukum di ke na ia nc a ma nhukuma ns e ba ga i ma nadi a t urda l a m UU i ni . Ba gipe l a ku ya ng di duga t e r l i ba tda l a m pe nda na a nt e r or i s me ya ng di l a kuka nde nga nt r a ns a ks ike ua nga nme l a l uiPJ Kya ngt i da kbe r i j i nt e t a pda pa t di ke na ia nc a ma nhukuma ns e ba ga i ma nadi a t urda l a m UUi ni . Se me nt a r ai t u, PTD ya ngt i da kme mi l i kii j i nda nt e r bukt it e r l i ba tda l a m pe nda na a nt e r or i s me , da pa t di ke na ide nga na nc a ma nhukuma ns eba ga i manadi a t urda l a m UUi ni ,ma upun di a nc a m de nga nhukuma npi da nas e ba ga i ma nadi a t urda l a m UUTr a ns f e rDa na .
40
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan penyelenggaraan kegiatan pengiriman uang dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan masing-masing LPP.
83
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me
Pemblokiran dan Cara Penanganannya Pe mbl oki r a ndi l a kuka nt e r ha da pDa nada nha r t akeka ya a nya ngs e c a r a l a ngs unga t a ut i da kl a ngs ung, pa t utdi dugadi g una ka na t a ua ka ndi guna ka nba i k s e l ur uha t a us e ba gi a nunt ukTi nda kPi da naTe r or i s me . Pe mbl oki r a ndi l a kuka nol e hPPATK, pe nyi di k, pe nunt utumum, a t a uha ki m de nga n me mi nt aa t a u me me r i nt a hka n PJ Ka t a u pi ha k be r we na ng unt uk me l a kuka nPe mbl oki r a n.Pe mbl oki r a ndi l a kuka nda l a m wa kt upa l i ngl a ma90 ( s e mbi l a n pul uh)ha r i .PJ Ka t a u pi ha k ya ngbe r we na ngwa j i b me nye r a hka n be r i t aa c a r ape l a ks a na a nPe mbl oki r a nke pa daPPATK, pe nyi di k, pe nunt utumum, a t a u ha ki m da l a m wa kt u pa l i ng l a ma 1 ( s a t u) ha r ike r j as e j a kt a ngga l pe l a ks a na a nPe mbl oki r a n.PJ Ka t a upi ha kya ngbe r we na ngya ngme l a ks a naka n pe r i nt a hPe mbl oki r a nt i da kda pa tdi t unt utba i ks e c a r ape r da t ama upunpi da na da l a m pe l a ks a na a nPe mbl oki r a nbe r da s a r ka nke t e nt ua nda l a m Unda ngUnda ng i ni , ke c ua l it e r da pa tuns urpe nya l a hguna a nwe we na ng. Me nge na ikebe r a t a n,Se t i a pOr a ngda pa tme nga j uka nke be r a t a nt e r ha da p pe l a ks a na a n Pe mbl oki r a n. Pe nga j ua n ke be r a t a n t e r ha da p pe l a ks a naa n Pe mbl oki r a ndi s a mpa i ka nke pa daPPATK, pe nyi di k, pe nunt utumum, a t a uha ki m. Pe nga j ua nke be r a t a ndi l a kuka nda l a m wa kt upa l i ngl a ma7( t uj uh)ha r is e j a k di ke t a hui nya Pe mbl oki r a n.Da l a m ha lkebe r a t a n di t e r i ma ,ha r us di l a kuka n pe nc a but a n pe l a ks a na a n Pe mbl oki r a n ol e h PJ Ka t a u pi ha k ya ng me l a kuka n Pe mbl oki r a n be r da s a r ka n pe r mi nt a a n PPATK a t a u pe r i nt a h da r ipe nyi di k, pe nunt ut umum,a t a u ha ki m.Da l a m ha l ke be r a t a n di t ol a k,pi ha k ya ng me nga j uka nke be r a t a nda pa tme ngaj uka nkepenga di l a n. Da l a m ha lt i da ka da or a ng da n/a t a u pi ha k ke t i ga ya ng me nga j uka n ke be r a t a nda l a m wa kt u90( s e mbi l a npul uh)ha r is e j a kt a ngga lPe mbl oki r a n, PPATKa t a upe nyi di kme nye r a hka npe na nga nanDa naya ngdi ke t a huia t a upa t ut di dugat e r ka i tTi nda kPi da naTe r or i s meke pa dape nga di l a nne ge r i . Da l a m wa kt u 30( t i gapul uh)ha r is e j a kdi umumka n:( a )t e r da pa tpi ha kya ngke be r a t a n, ma ka pe nga di l a n ne ge r ime l a kuka n pe me r i ks a a n guname mut us ka n Da nat e r s ebut di ke mba l i ka nke pa daya ngbe r ha ka t a udi r a mpa sunt ukne ga r a ;da n/a t a u( b) t i da ka dake be r a t a n,ma kape nga di l a n me mut us ka n Da nat e r s e butdi r a mpa s unt ukne ga r aa t a udi mus na hka n. 84
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me
Pemblokiran Secara Serta Merta (Freezing without delay) Pe mbl oki r a n Se r t a me r t aa da l a ht i nda ka n me nc e ga h pe nt r a ns f e r a n, pe nguba ha n be nt uk, pe nuka r a n, pe ne mpa t a n/pe mba gi a n, pe r pi nda ha n/ pe r ge r a ka nDa naya ngdi l a kuka nol e hPJ K,PPATK,pe nyi di k,pe nunt utumum, ha ki m,da ni ns t a ns iya ngbe r we na ngdi ma naDa naya ngdi bl oki rt e t a pme nj a di mi l i kTe r or i sa t a uOr ga ni s a s iTe r or i sya ngme mi l i kike pe nt i nga nt e r ha da pDa na ya ngdi bl oki rda nda pa tt e r usdi ke l ol aol e hPe nye di aJ as aKe ua nga na t a upi ha k l a i nya ngdi t e t a pka nol e hTe r or i sa t a uOr ga ni s a s iTe r or i ss e be l um di l a kuka n pe mbl oki r a n. Pe mbl oki r a nSe r t a me r t adi l a kuka nt e r ha da p: a .Da naya ngs e c a r al a ngs unga t a ut i da kl a ngs ung, pa t utdi dugadi guna ka na t a u a ka ndi guna ka nba i ks e l ur uha t a us e ba gi a nunt ukt i nda kpi da nat e r or i s me ; a t a u b.Da na ya ng t e r ka i tde nga n Te r or i sa t a u Or g a ni s as iTe r or i ss e ba ga i ma na t e r c a nt um da l a m publ i ka s iya ngdi ke l ua r ka nol e hor ga ni s a s ii nt e r nas i ona l da n/a t a upe me r i nt a h.
Pemblokiran Serta Merta Berdasarkan Publikasi Internasional Te r ha da pda f t a rTe r or i sa t a uOr ga ni s a s iTe r or i sya ngdi ke l ua r ka nol e h De wa nKe a ma na nPBB, pe r l udi a t urme ka ni s meunt ukpe mbl oki r a ns e r t ame r t a t e r ha da pda naa t a ua s e tya ngdi mi l i kia t a udi kua s a iol e hor a nga t a ue nt i t a s na ma nyaya ngt e r c a nt um da l a m Da f t a rTe r or i sa t a uOr ga ni s a s iTe r or i s .Upa ya t e r ha da p pe mbl oki r a ns e r t a me r t ai nime r upa ka n ba gi a n pe nt i ng da l a m pe l a ks a na a nRes ol us iDe wa nKea ma na nPBB1267. Se l a nj ut nya t e r ha da p t i nda ka n pe mbl oki r a n t e r s e but di a t ur me ka ni s me ke be r a t a n.De nga n de mi ki a ns e t i a p Or a ng da pa t me nga j uka n ke be r a t a n t e r ha da pda f t a rTe r or i sda nOr ga ni s a s iTe r or i sya ngdi ke l ua r ka nol e hor ga ni s a s i i nt e r na s i ona l .Kebe r a t a nt e r ha da p daf t a r yang di ke l ua r ka n ol e h or ga ni s a s i i nt e r na s i ona ldi s a mpa i ka nke pa daor ga ni s a s ii nt e r na s i ona lme l a l uiMe nt e r iLua r Ne ge r i .Me nt e r iLua rNe ge r ime ne r us ka n kebe r a t a nt e r s e butke pa daDe wa n Ke a ma na nPe r s e r i ka t a nBa ngs a Ba ngs a .
85
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me Pe mbl oki r a n Se r t a me r t ada pa tdi ke c ua l i ka n unt uk t uj ua n pe me nuha n ke but uha n pokok Te r or i s be s e r t a ke l ua r ga ,t e r ma s uk pe mba ya r a n unt uk ma ka na n,s e waa t a uhi pot i k,oba t oba t a nda npe r a wa t a nme di s ,pa j a k,pr e mi a s ur a ns ida nbi a yape l a ya na npubl i k,pe mbayar a nbi a yapr of e s i ona lya ngwa j a r da npe ngga nt i a nbi a yaya ngdi ke l ua r ka nt e r ka i tde nga npe nye di a a nj a s ahukum, a t a ubi a yaa dmi ni s t r a s ir ut i npe me l i ha r a a nDa naya ngdi bl oki r . Pe r mohona npe nge c ua l i a n di s a mpa i ka n ol e hor a ngpe r s e or a nga na t a u pi ha k ya ng me mi l i ki hubunga n l a ngs ung de nga n Da na ya ng di bl oki r . Pe r mohona n pe nge c ua l i a n di s a mpa i ka n ke padada n di put us ka n ol e h Ke pa l a PPATKa t a upe j aba tya ngbe r we na ngs e s ua it i ngka tpe me r i ks aa npe r ka r a .
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Yang Dikeluarkan Oleh Pemerintah. Ke pa l aKe pol i s i a n Re publ i kI ndone s i ame nga j uka n pe r mohona n ke pa da Pe nga di l a n Ne ge r iJ a ka r t a Pus a tunt uk me ne t a pka n pe nc a nt uma ni de nt i t a s or a nga t a uKor por a s ikeda l a m Da f t a rt e r dugaTe r or i sa t a uOr ga ni s as iTe r or i s . Ke t uaa t a uWaki lKe t uaPe nga di l a nNe ge r iJ a kar t aPus a tha r uss e ge r ame me r i ks a da nme ne t a pka npe r mohona nt e r s e butda l a m wa kt upa l i ngl a ma30( t i gapul uh) ha r ike r j as e j a kdi t e r i ma nyape r mohona nApa bi l ada l a m pe me r i ks aa n, dokume n da n/a t a uI nf or ma s iya ngdi a j uka nda pa tdi j a di ka nda s a runt ukme nc a nt umka n i de nt i t a sor a nga t a uKor por a s ikeda l a m Da f t art e r dugaTe r or i sa t a uOr ga ni s a s i Te r or i s ,ma kaKe t uaa t a uWa ki lKe t uaPe nga di l a nNe ge r iJ a ka r t aPus a ts e ge r a me ne t a pka ni de nt i t a sor a nga t a ukor por a s it e r s e buts e ba ga ior ga ni s a s it e r r or i s . Se t e l a hme mpe r ol e hpe ne t a pa nKe t uaPe nga di l a nNe ge r iJ a ka r t aPus a t ,Ke pa l a Ke pol i s i a n Re publ i kI ndone s i as e ge r a me nc a nt umka ni de nt i t a s or a ng a t a u Kor por a s ike da l a m Da f t a rt e r duga Te r or i sa t a u Or ga ni s a s iTe r or i s .Da f t a r t e r dugaTe r or i sa t a u Or ga ni s a s iTe r or i sdi ke l ua r ka n ol e h Ke pa l aKe pol i s i a n Ne ga r aRe publ i kI ndone s i abe r da s a r ka npe net a pa nPe nga di l a nNe ge r iJ a ka r t a Pus a t .Ke pa l aKe pol i s i a n Re publ i kI ndone s i ame mbe r i t a huka ns e c a r at e r t ul i s ke pa daor a nga t a uKor por a s ida l a m wa kt upa l i ngl a mba t30( t i gapul uh)ha r i ke r j a . Ke pa l a Ke pol i s i a n Re publ i kI ndone s i a me nya mpa i ka n da f t a rt e r duga Te r or i sa t a u Or ga ni s a s iTe r or i ss e r t as e t i a p pe r uba ha nnya ke pa da i ns t a ns i 86
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me pe me r i nt a ht e r ka i t da n LPP unt uk s e l a nj ut nya di s a mpa i ka n ke pa da PJ K. Pe nya mpa i a n da f t a r di s e r t a ipe r mi nt a a n Pe mbl oki r a ns e c a r as e r t a me r t a t e r ha da ps e l ur uhHa r t aKe kaya a nda nDa naya ngdi mi l i kia t a udi kua s a i ,ba i k s e c a r al a ngs ungma upunt i da kl a ngs ungol e hor a nga t a uKor por a s i .I ns t a ns i pe me r i nt a ht e r ka i ta t a uPJ Kwa j i bme l a kuka nPe mbl oki r a ns e c a r as e r t ame r t a t e r ha da ps e muaHa r t aKeka ya a n da n Da naya ngdi mi l i kia t a u di kua s a iba i k s e c a r al a ngs ungma upunt i da kl a ngs ungol e hor a nga t a uKor por a s ibe r da s a r ka n da f t a rt e r dugaTe r or i sa t a u Or ga ni s a s iTe r or i sya ng t e l a h di ke l ua r ka n ol e h Ke pa l a Ke pol i s i a n Ne ga r a Re publ i k I ndone s i a be r da s a r ka n pe ne t a pa n Pe nga di l a nNe ge r iJ a ka r t aPus a t . Or a nga t a uKor por a s ida pa tme nga j uka nke ber a t a nt e r ha da ppe l a ks a na a n Pe mbl oki r a nke pa daKe pa l aKe pol i s i a nNe ga r aRe publ i kI ndone s i a .Da l a m ha l ke be r a t a n di t e r i ma ,Ke pa l a Ke pol i s i a n Ne ga r a Re publ i kI ndone s i as e ge r a me mi nt ai ns t a ns ipe me r i nt a ht e r ka i ta t a u PJ K ya ngme l a kuka n Pe mbl oki r a n unt ukme nc a butPe mbl oki r a nya ngdi t ua ngka nda l a m be r i t aa c a r ape nc a but a n Pe mbl oki r a n. I de nt i t a sor a nga t a uKor por a s idi ha pus ka nol e hKe pa l aKe pol i s i a nNe ga r a Re publ i kI ndone s i ada r ida f t a rt e r dugaTe r or i sa t a uOr ga ni s a s iTe r or i ska r e na : ( a )t e l a h me l a mpa ui1 ( s a t u)t a hun t e r hi t ung s e j a kt a ngga lpe nc a nt uma n i de nt i t a st e r s ebutol e hKe pa l aKe pol i s i a nNega r aRe publ i kI ndone s i a ,ke c ua l i pe nc a nt uma nt e r s e butdi pe r pa nj a ngbe r da s a r ka npe ne t a pa nPe nga di l a nNe ge r i J a ka r t a Pus a t .( b)t e r da pa tpe ne t a pa n Pe nga di l a n Ne ge r iJ a ka r t a Pus a t ;( c ) t e r da pa tpe ne t a pa nPe nga di l a nNe ge r iJ a ka r t aPus a t,da n/a t a u( d)a l as a nde mi hukum. Apa bi l ape nc a nt uma ni de nt i t a sor a nga t a uKor por a s ida l a m da f t a rt e r duga Te r or i sa t a u Or ga ni s a s iTe r or i st e l a h me l a mpa ui1 ( s a t u) t a hun,Ke pa l a Ke pol i s i a n Ne ga r a Re publ i k I ndone s i a da pa t me nga j uka n pe r mohona n pe r pa nj a nga n ke pa daPe nga di l a n Ne ge r iJ akar t aPus a t . Pe r pa nj a nga n da pa t di be r i ka npa l i ngba nya k2( dua )ka l ima s i ngma s i ngt i da kme l a mpa ui1( s a t u) t a hun. Se t i a p Or a ng a t a u Kor por a s ida pa t me nga j uka n ke be r a t a nt e r ha da p pe nc a nt uma ni de nt i t a s nyada l a m daf t a rt e r dugaTe r or i sa t a uOr ga ni s a s iTe r or i s ke pa daPe nga di l a nNe ge r iJ a ka r t aPus a tunt ukme mpe r ol e hpe ne t a pa nt e nt a ng 87
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me pe ngha pus a ni de nt i t a s nyada r ida f t a rt e r dugaTe r or i sa t a uOr ga ni s a s iTe r or i s . Pe r mohona nha r usdi s e r t a ia l a s a nya ngme mpe r kua tpe r mohona n. Pe l a ks a naa nPe mbl oki r a nda pa tdi ke c ua l i ka nt e r ha da ps e ba gi a nda r iHa r t a Ke kaya a n da n Da na unt uk pe me nuha n ke but uha n pokok. Pe r mohona n pe nge c ua l i a ndi s a mpa i ka nol e hor a nga t a uKor por a s iya ngme mi l i kike pe nt i nga n l a ngs ungde nga nHa r t aKe ka yaa nda nDa naya ngdi bl oki r .
Hukum Acara (Penyidikan, Penuntan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan) Unda ngunda ngt e nt a ngPe mbe r a nt a s a npe nda na a nt e r or i s mes e ba i knya j uga me mua tke t e nt ua n me nge na iHukum Ac a r aa t a u ke gi a t a n pe yi di ka n pe nunt ut a nda npe me r i ks a naa ndis i da ngpe nga di l a nt e r ha da ppe r ka r a pe r ka r a pe da na a nt e r or i s me . Ma t e r imua t a nme nge na iHukum Ac a r aya ngdi a t urda pa tbe r s i f a tkhus us a t a us pes i a l i s ,a nt a r al a i n pe nga t ur a n me ngena ipe r mi nt a a n ke t e r a nga n da r i pe nye di aj as ake ua nga nya ngme nge s a mpi ngka nda r ike t e nt ua nr a ha s i aba nk ba nk,pe nga t ur a n me nge na ia l a tbukt iya ng di pe r l ua s( di t e r i ma a l a tbukt i e l e kt r oni k) ,t i nda ka npe mbl oki r a n, da nl a i nl a i n. Pe nyi di ka n,pe nunt ut a n,da n pe me r i ks a a n dis i da ng pe nga di l a ns e r t a pe l a ks a na a nput us a nya ngt e l a hme mpe r ol e hke kua t a nhukum t e t a pt e r ha da p t i nda k pi da na pe nda na a nt e r or i s me di l a kuka ns es ua i de nga n ke t e nt ua n pe r a t ur a n pe r unda ngunda nga n,ke c ua l idi t e nt uka nl a i n.Se da ngka n unt uk ke pe nt i nga npe me r i ks a a nda l a m pe r ka r aTi nda kPi da naPe nda na a nTe r or i s me , pe nyi di k,pe nunt utumum,a t a uha ki m be r we na ngunt ukme mi nt ake t e r a nga n da r iPe nye di aJ a s a Ke ua nga n me nge na iDana da r i :( a ) or a ng ya ng t e l a h di l a por ka n ol e h PPATK ke pa da pe nyi di k;( b)t e r s a ngka ;a t a u( c )t e r da kwa . Da l a m me mi nt ake t e r a nga n,t e r ha da p pe nyi di k,pe nunt utumum,a t a uha ki m t i da kbe r l a kuke t e nt ua nunda ngunda ngya ngme nga t urme nge na ir a ha s i aba nk da nke r a ha s i a a nTr a ns aks ike ua nga nl a i nnya . Al a t bukt i ya ng s a h da l a m pe mbukt i a n Ti nda k Pi da na Pe nda na a n Te r or i s mei a l a h:( a )a l a tbukt is e ba ga i ma nadi ma ks ud da l a m Hukum Ac a r a Pi da na ;( b) a l a tbukt il a i n be r upa i nf or ma s iya ng di uc a pka n,di ki r i mka n, di t e r i ma ,a t a u di s i mpa ns e c a r ae l e kt r oni k de nga na l a topt i ka t a ua l a tya ng 88
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me s e r upa opt i k;da n/a t a u( c ) Dokume n.( Pa s a l36) .Pe me r i ks a a n dis i da ng pe nga di l a nt e r ha da p Ti nda k Pi da na Pe nda na a n Te r or i s me da pa tdi l a kuka n me l a l uia l a tkomuni ka s ia udi ovi s ua lya ngdi s e s ua i ka nde nga nke but uha nda n kondi s i ya ngdi ha da pi . Pe me r i ks aa n Pe r ka r a Ti nda k Pi da na Pe nda na a n Te r or i s me da n Pe me r i ks aa nPe r ka r aPe r da t aa t a sPe ngaj ua nKe be r a t a nPe mua t a nDa l a m Da f t a r Te r dugaTe r or i sda nOr ga ni s a s iTe r or i sYa ngDi ke l ua r ka nOl e hPe me r i nt a h. Me me nuhi a z a s pr a duga t a k be r s a l a h, RUU me nga t ur me nge na i pe nga j ua nkebe r a t a nya ngdi l a kuka nol e ht e r dugat e r or i sa t a uor ga ni s a s it e r or i s ya ng ma s uk da l a m da f t a r Publ i kas iPe me r i nt a ht e r ka i tha lt e r s e but ,ya ng di a j uka nme l a l ui Pe nga di l a nNe ge r i . Da l a m ha li nipe me r i ks a a n pe r ka r at e r ha dap duga a nt i nda k pi da na pe nda na a nt e r or i s me ya ng di t uduhka n ke pada ybsda pa tdi l a kuka ns e c a r a s i mul t a nde nga npe me r i ks a a npe r da t aa t a spe nga j ua nke be r a t a nt e r s e but .
Kerja Sama Da l a m me nc e ga hda nme mbe r a nt a sTi nda kPi da naPe nda naa nTe r or i s me , i ns t a ns ipe ne ga k hukum,PPATK,da nl e mba ga l a i n ya ng t e r ka i t de nga n pe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt as a n Ti nda kPi danaPe nda naa n Te r or i s me ,da pa t me l a kuka nke r j as a ma , ba i kda l a ml i ngkupna s i ona lma upuni nt e r na s i ona l . Da l a m r a ngka me nc e ga h da n me mbe r a nt a sTi nda k Pi da na Pe nda na a n Te r or i s me ,Pe me r i nt a hda pa tme l a kuka nke r j as a mai nt e r na s i ona lya ngme l i put i e ks t r a di s i ,ba nt ua n hukum t i mba lba l i k da l a m ma s a l a h pi da na ,da n/a t a u ke r j a s a mal a i nnyas e s ua ike t e nt ua nya ngbe r l a ku,ba i kdi l a kuka nbe r da s a r ka n pe r j a nj i a na t a upr i ns i pr e s i pr os i t a s . Ne ga r aa t a u yur i s di ks ias i ng da pa tme nya mpa i ka n pe r mi nt a a n ke pa da Pe me r i nt a hI ndone s i a unt uk me l a kuka n Pembl oki r a na t a sDa na da n ha r t a ke ka ya a n ya ng di duga be r a da a t a u be r a da diI ndone s i a mi l i k or a ng a t a u Kor por a s iya ngi de nt i t a s nyat e r c a nt um da l a m da f t a rTe r or i sa t a u Or ga ni s a s i Te r or i sya ngdi ke l ua r ka nol e hne ga r aa t a uyur i s di ks ia s i ng.
89
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me Perlindungan Hukum Ke c ua l it e r da pa tuns urpe nya l a hguna a nwe we na ng, PJ Kda nSe t i a pOr a ng ya ngbe r we na ngme l akuka nPe mbl oki r a nSe r t a me r t at i da kda pa tdi t unt utba i k s e c a r ape r da t ama upunpi da nada l a m pe l a ks a na a npe mbl oki r a nbe r da s a r ka n ke t e nt ua nda l a m Unda ngUnda ngi ni .
3.
Ketentuan sanksi; dan Da l a m ha l Pe l a por a n,PJ K wa j i b me nya mpa i ka nl a por a n Tr a ns a ks i Ke ua nga nMe nc ur i ga ka nTe r ka i tPe nda naa n Te r or i s meke pa daPPATK pa l i ng l a ma3( t i ga )ha r ike r j as e t e l a hPJ K me nge t ahuia da nyaTr a ns a ks iKe ua nga n Me nc ur i ga ka nTe r ka i tPe nda na a nTe r or i s met e r s e but .PJ Kya ngde nga ns e ngaj a me l a ngga rke t e nt ua ns e ba ga i ma na di ma ks ud di ke na ka n de nda a dmi ni s t r a t i f pa l i ng ba nya k Rp1. 000. 000. 000, 00 ( s a t u mi l i a rr upi a h) .Pe nge na a ns a nks i 41 D a dmi ni s t r a t i fs e ba ga i ma na di ma ks ud di l a kuka n ol e h LPP. a l a m r a ngka
pe nga wa s a n ke pa t uha n PJ Ka t a s ke wa j i ba n pe l a por a n Tr a ns a ks iKe ua nga n Me nc ur i ga ka n Te r ka i tPe nda na a n Te r or i s medi l a kuka n ol e h PPATK da n LPP ya ng be r we na ng.Da l a m ha lLPP me ne muka na da nya Tr a ns aks iKe ua nga n Me nc ur i ga ka n Te r ka i t Pe nda naa n Te r or i s me ya ng t i da k di l a por ka n ol e h Pe nye di aJ as aKe ua nga nke pa daPPATK, LPPt e r ha da pPJ Ks e ge r ame nya mpa i ka n t e mua nt e r s e butke pa daPPATK.Pe l a ks a naa n ke wa j i ba npe l a por a nTr a ns a ks i Ke ua nga nMe nc ur i ga ka nTe r ka i tPe nda na a n Te r or i s meol e hPJ K di ke c ua l i ka n da r ike t e nt ua nke r a ha s i aa nya ngbe r l a kuba giPJ Kya ngbe r s a ngkut a n.Ke c ua l i t e r da pa tuns urpe nya l a hguna a nwe we na ng,PJ K,pej a ba t ,da npe ga wa i nyat i da k da pa tdi t unt ut ,ba i ks e c a r ape r da t ama upunpi da naa t a spe l a ks a na a nke waj i ba n pe l a por a nTr a ns a ks iKe ua nga nMe nc ur i ga ka nTe r ka i tPe nda na a nTe r or i s me .
4.
Ketentun Peralihan Ba bt e nt a ngke t e nt ua npe r a l i ha ni nidi t e t a pka nunt ukme nga nt i s i pa s it e r j a di nya ke kos onga n hukum da l a m pe nc e ga ha n pe mbe r a nt a s a n pe nda naa nt e r or i s me , de nga nme nga komodi rpe r a t ur a npe r unda ngunda nga nt e r ka i t , a ga rda pa tl e bi h
41
Penerimaan hasil denda administratif sebagaimana dimaksud dinyatakan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak atau penerimaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
90
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me e f e kt i fda l a m pe na nga na n pe nda naa nt e r or i s me ya ng be l um di a t ur da l a m pe r unda ngunda nga ns e be l umnya .
91
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me
BAB VI PENUTUP A.
Kesimpulan 1.
Pa daha ki ka t nyape mbe r a nt a s a nt e r or i s mememe r l uka ns e bua hl a nda s a n hukum ya ngkua tda nt e pa t ,ya ngme l i put ipe mbe kua n,pe nyi t aa n,da n pe r a mpa s a n as e tt e r or i s ,s e r t a ke r j a s ama i nt e r na s i ona l da l a m pe mbe r a nt a s a npe nda naa nt e r or i s me ;
2.
Me ka ni s me ke r j as a ma i nt e r nas i ona ldi pe r kua t me ngi nga ts i f a t da n ha ki ka tpe nda na a nt e r or i s meya ng me ngi kut iha ki ka tke be r a da a nnya ya ng t r a ns na s i ona l , s e hi ngga me mbut uhka n a da nya ke r j as a ma i nt e r na s i ona lunt uk pe nc e ga ha n da n pe mbe r a nt a s a nnya .Ke r j a s a ma i nt e r na s i ona lya ng di kua t ka nt e r s ebut a nt ar al a i n ke r j a s a ma a nt a r Financial Intellegence Units ( FI Us ) ,l e mba gal e mba ga pe nga wa s da n pe nga t urme nge na icharity,r e gul a t ors e kt orf i na ns i a l( Ba nk Se nt r a l ) , Ke pa be a na n, Ke pol i s i a n, Kej a ks aa n, Pe nga di l a n, da n Le mba ga Pe ma s ya r a ka t a n.
3.
Ke bi j a ka nnas i ona ldibi da ngpe mbe r a nt a s a npe nda na a nt e r or i s meha r us me mi l i kivi s ihol i s t i kda nme me nuhis t a nda r d, ba i kya ngt e l a hdi t e nt uka n ol e hPBB,FATFma upunl e mba gada nor ga ni s a s ii nt e r na s i ona ll a i nya ng kompe t e ndibi da ngpe nc e ga ha nda npe mbe r a nt a s a nor ga ni s a s i ,ope r a s i da npe nda na a nt e r or i s me .
4.
Unt ukda pa tme wuj udka npe r a t ur a npe r unda ngunda nga nya nge f e kt i fdi bi da nga nt ipe nda naa nt e r or i s mema kadi per l uka n komi t me n pol i t i k, pe r a t ur a n pe r unda ng unda nga n ya ngpr opor s i ona l ,i nt e l i j e n dibi da ng ke ua nga nya ngkua t ,pe nga wa s a ns e kt orke ua nga n,pe ne ga ka nhukum, da nke r j as a mai nt e r nas i ona l .
B.
Rekomendasi 1.
Se ba ga i pe r a ngka t pe ndukung pe l a ks a naa n pe nga t ur a n t e nt a ng pe mbe r a nt a s a n pe nda naa nt e r or i s me ,pe r l u me nye l a r a s ka n de nga n pe r a t ur a npe r unda ngunda nga nt e r ka i ta nt a r al a i nke t e nt ua nme nge na i
92
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me t i nda kpi da nape nc uc i a n ua ngs e r t ape r a t ur a n ya ngdi ke l ua r ka n ol e h ma s i ngma s i ngl e mba gape nga wa sda npe nga t ur . 2.
me ngi nga tupa ya pe mbe r a nt a s a n pe nda na a nt e r or i s me diI ndone s i a di ha r a pka ns e ma ki ne f e kt i fda ne f i s i e n,khus us nyada l a m me nj e r a tpa r a pe l a kut e r or i s meya nghe nda kme l a kuka na ks i nyadiwi l a ya hNKRI .
93
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me PUSTAKA
Abi di n,Za i na l ,” Ka r e naLa l a i ,Al i r a nDa naTe r or i s meTe r usMe nga l i rdiBa nk” ,detik Bandung.com, t a ngga l23Ma r e t2010. At ma s a s mi t a, Roml i , “ Pe nga nt a rHukum Pi da naI nt e r na s i ona l ”Ba ndungRe f i kaAdi t a ma, 2003. Boul de n,J a ne& We i s s ,Thoma sGe or ge ,( Edi t or )“ Te r r or i s m AndTheUN Be f or ea nd Af t e rSe pt e mbe r11, I ndi a naUni ve r s i t yPr es s , Uni t e dSt a t e sofAme r i c a , 2004. Da nur i , Ba mba ngHe nda r s o, ” Ka pol r i :Pe nda na anTe r or i sGuna ka nJ a s aPhoneBa nki ng” , detiknews,t a ngga l3Se pt e mbe r2009. Di r e kt or a tJ e nde r a lPe r a t ur a nPe r unda ngunda nga nKe me nt e r i a nHukum da nHAM RI , “ Sos i a l i s a s iRa nc a nga nUnda ng-Unda ngt e nt angPe nc e ga ha nda nPe mbe r a nt a s a n Ti nda k
Pi da na
Pe nda na a n
Te r or i s me ” ,
ht t p: / /www. dj pp.
de pkumha m. g o. i d/ke gi a t a numum/1108s os i a l i s a s i r uut e nt a ngpe nc e ga ha nda npe mbe r a nt a s a nt i nda kpi da na pe nda na a nt e r or i s me . ht ml ,di a ks est a ngga l12 De s e mbe r2011. Dwor ki n, Rona l d, Legal Research, Da e da l us : Spr i ng, 1973. FATF, Terrorist Financing Typology Report, 2008. Fr i e dma n, La wr e nc eM. , American Law, Ne wYor k: W. W. Nor t on&Co. , 1984. Harian
Sumut
Pos, “ Da na
Te r or i s
Di t r a ns f e r
da r i Ba nk
Bes a r ” ,
ht t p: / /www. ha r i a ns umut pos . c om/a r s i p/? p=36576, di a ks e st a ngga l10De s e mbe r 2011. Ha r i a nWas pa da , ” Di a ngga r ka nRp25, 8M be r a nt a st e r or i s ” , t a ngga l30Agus t us2011. Hi a r i e j , Eddy. O. C, “ Pe nga nt a rHukum Pi da naI nt e r na s i ona l ”J a ka r t aAi r l a ngga , 2009. Hus e i n,Hus e i n,“ Ka t a Pe nga nt a r ” da l a m Ti m Pe nyus un, Sistem dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Lain (Laporan Pelaksanaan Tugas 2003-2006), J a ka r t a: PPATK, 2006. J a nes i c k,Va l e r i eJ . ,“ TheDa nc eofQua l i t a t i veRe s ea r c hDe s i gn,Me t ha por ,Me t hodol ogy a ndMe a ni ng” ,da l a m Nor ma nK.De nz i na ndYvonneS.Li nc ol n,( e d) , Handbook of Qualitative Research, Ca l i f or ni a : Sa gePubl i c a t i on, I nc . , 1994. Mba i ,Ans yaa d,“ Pe nda na a nt e r or i sI ndone s i a Ta k La gida r iAl Qa i da h” ,Tempo Interaktif,t a ngga l4Me i 2011.
94
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me Pr a s e t yaOnl i ne , “ Se mi na rI nt e r na s i ona l :Pe nc ega ha nt e r or i s mePe r l uKe r j as a maSe mua Ne ga r a ” , t a ngga l23J uni 2011. Pur wa nt o,Wa wa n, “ Pe nda naa nt e r or i sI ndone s i aTa kLa gida r iAl Qa i da h” ,Tempo Interaktif, t a ngga l4Me i 2011. Re mme l i nk,J a n,“ Hukum Pi da na ,Kome nt a ra t a sPa s a l pa s a lTe r pe nt i ngda r iKi t a b Unda ngUnda ngHukum Pi da naBe l a ndada nPa da na nnyada l a m Ki t a bUnda ngUnda ngHukum Pi da naI ndone s i a ,di t e r j e ma hka nol e hPa s c a lMoe l j ono,SH. , LL. M, Gr a me di aPus t a kaJ a ka r t a, 2003. Ri j a nt o, “ Me me r a ngi Pe nda na a n Te r or i s me ” , ht t p: / /www. kompa s . c om/kompa s c e t a k/0309/29/ opi ni /586741. ht m, di a ks e st a ngga l12de s e mbe r2011. Soe ka nt o,Soe r j ono,Pengantar Penelitian Hukum,Ce t a ka nKe t i ga ,J aka r t a:UI Pr e s s , 1986. Ta nuj a ya ,J ohn,“ He nt i ka n Pe nda na a nJ a r i nga n Te r or i s diI ndone s i a Seka r a ng! ” , ht t p: / /e c 21754117736. a ps out he a s t 1. c omput e . a ma z ona ws . c om,
di a ks es
t a ngga l12De s e mbe r2011. Ti m Pe nyus un,“ La por a n Pe l a ks a na a n Counter Financing of Terrorism Study Tour” , Sydne yAus t r a l a , 2529Se pt e mbe r2011. ykai.net,t a ngga l2 De s e mbe r 2011,ht t p: // www. yka i . ne t /i nde x .php? opt i on=c om_ c ont e nt &vi e w=a r t i c l e &i d=857: upa ya pe nc e ga ha nda npe mbe r a nt a s a nt ppuda npe nda na a nt e r or i s me &c a t i d=117: t e r ki ni &I t e mi d=136, di a ks e s26Des e mbe r2011.
95
La por a nAkhi rTi m Na s ka hAka de mi kRUUPe mbe r a nt as a nPe nda na a nTe r or i s me LAMPIRAN
I . RUUTENTANGPENCEGAHANDANPEMBERANTASANTI NDAKPI DANA PENDANAANTERORI SME I I . PENJ ELASANRUUPPTPPT I I I . MAKALAHDANPOWERPOI NTPROF. DR. BARDANAWAWIARI EF, SH ( Di s kus i Publ i kdi Hot e lPa nda na r a nSe ma r a ngJ a waTe nga h) I V. POWERPOI NTPROF. HI KMAHANTOYUWONO, SH. , LL. M. , Ph. D. ( Di s kus i Publ i kdi Hot e l Sof ya nBe t a wiJ a ka r t a ) .
96