Yuda Dwi Saputra, Hesti Sadtyadi Sutrisno Kuatno, Hariyanto
Penyusunan Konstruk Mettâ Untuk Penilaian Siswa Bagi Guru Pendidikan Agama Buddha Pendidikan Dasar Di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah Nasionalisme Era Postmodern: Konsepsi dan Implementasinya Multimedia Interaktif Pendidikan Agama Buddha Berbasis Lectora Inspire X.6
Untung Suhardi
Kedudukan Orang Tua Sebagai Guru rupâka: Sebuah Upaya Penanaman NilaiNilai Pendidikan Karakter Pada Anak Dalam Kehidupan di Era Globalisasi
Mujiyanto
Efektivitas Penggunaan Kontekstual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Terhadap Motivasi Belajar Siswa Sekolah Minggu Buddha Se-Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung
Tri Yatno dkk
Makna Simbolis “Ruwahan” Pada Masyarakat Buddhis Di Dusun Buling, Desa Bubakan, Kecamatan Girimarto (Studi Kasus Tentang Kegiatan Ritual RUWAHAN Yang Dilakukan Oleh Umat Buddha Di Dusun Buling, Desa Bubakan Kecamatan Girimarto)
Prihadi Dwi Hatmono dkk
Kajian Sejarah Tunggul Wulung Di Dusun Jurang, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri
Agus Subandi dkk
Pengaruh Keteladanan Tokoh Wayang Pandawa Lima Terhadap Moralitas Umat Buddha (Studi Kasus Di Vihara Buddha Ratana, Desa Sampetan, kecamatan ampel, kab. Boyolali)
Sujiono
Kemampuan Produksi Kalimat Pada Anak Prasekolah Di TK Bulusulur I Wonogiri Tahun Pelajaran 2013/2014
Maryani dkk
Manajemen Koordinasi Komunikasi Bidang Pendidikan (Studi Kasus Audit Komunikasi Pesan Pada Tenaga Kependidikan Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Volume 2
Nomor 1
September 2015
ISSN 2406-7601
SUSUNAN PENGURUS Penanggung Jawab Hesti Sadtyadi Editor Tri Yatno Desain Grafis Prihadi Dwi Hatmono
Penyunting Pelaksana Hariyanto Sukarti Situ Asih
Penyunting Bahasa Sujiono Urip Widodo
Penerbit Asosiasi Dosen Raden Wijaya Bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah
Volume 2 Nomor 1 September 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan Sang Tiratana sehingga Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Volume 2 ini dapat terbit. Seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan serta sumberdaya manusia maka hasil-hasil penelitian maupun sanggahan ilmiah dibidang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan perlu dipublikasikan dan dapat diakses dengan mudah, gratis oleh pembaca. Selain itu, publikasi ilmiah di bidang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan yang diterbitkan di jurnal-jurnal masih terbatas sehingga penyebaran hasil-hasil penelitian juga sangat terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut Asosiasi Dosen Raden Wijaya bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah berinisiatif untuk menerbitkan jurnal bidang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan. Tulisan ilmiah hasil penelitian maupun sanggahan ilmiah yang dapat dimuat dalam jurnal ini meliputi: Pendidikan Agama Buddha, Pendidikan, Keagamaan Buddha, dan Ilmu Pengetahuan, dan bidang lain yang berkaitan dengan Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan merupakan pilihan utama masa kini dan masa mendatang untuk digunakan sebagai media diseminasi hasil-hasil penelitian maupun sanggahan ilmiah karena melalui media ini: (1) pembaca akan dapat dengan cepat mengakses informasi (isi) dalam jurnal tersebut, (2) penulis akan lebih cepat melakukan komunikasi dengan penerbit, (3) potensi jumlah pembaca jurnal ini menjadi lebih besar. Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan ini diharapkan dapat terbit secara berkala sekali dalam setahun. Dalam edisi perdana ini, menyajikan sebanyak sembilan jurnal yang terdiri dari bidang pendidikan Agama Buddha, Keagamaan Buddha, Pendidikan, dan Ilmu Pengetahuan. Semoga Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan ini dapat menambah dan melengkapi diseminasi hasil-hasil penelitian di bidang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan serta sebagai ajang komunikasi sesama ilmuwan untuk pengembangan Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan.
ii
ISSN 2406-7601 DAFTAR ISI
Nama Penulis
Yuda Dwi Saputra, Hesti Sadtyadi
Sutrisno Kuatno, Hariyanto Untung Suhardi
Mujiyanto
Tri Yatno dkk
Prihadi Hatmono dkk
Judul
Halaman
Penyusunan Konstruk Mettā Untuk Penilaian Siswa Bagi Guru Pendidikan Agama Buddha Pendidikan Dasar Di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah Nasionalisme Era Postmodern: Konsepsi dan Implementasinya Multimedia Interaktif Pendidikan Agama Buddha Berbasis Lectora Inspire X.6
1 -15
Kedudukan Orang Tua Sebagai Guru rupāka: Sebuah Upaya Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Anak Dalam Kehidupan di Era Globalisasi Efektivitas Penggunaan Kontekstual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Terhadap Motivasi Belajar Siswa Sekolah Minggu Buddha SeKecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung Makna Simbolis “Ruwahan” Pada Masyarakat Buddhis Di Dusun Buling, Desa Bubakan, Kecamatan Girimarto (Studi Kasus Tentang Kegiatan Ritual RUWAHAN Yang Dilakukan Oleh Umat Buddha Di Dusun Buling, Desa Bubakan Kecamatan Girimarto) Dwi Kajian Sejarah Tunggul Wulung Di Dusun Jurang, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri
16 - 30 31 - 52 53 - 64
65 - 78
79 - 95
96 - 106
Agus Subandi dkk
Pengaruh Keteladanan Tokoh Wayang Pandawa Lima Terhadap Moralitas Umat Buddha (Studi Kasus Di Vihara Buddha Ratana, Desa Sampetan, kecamatan ampel, kab. Boyolali)
107 - 118
Sujiono
Kemampuan Produksi Kalimat Pada Anak Prasekolah Di TK Bulusulur I Wonogiri Tahun Pelajaran 2013/2014
119 - 135
Maryani dkk
Manajemen Koordinasi Komunikasi Bidang Pendidikan (Studi Kasus Audit Komunikasi Pesan Pada Tenaga Kependidikan Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta)
136 - 149
iii
1
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Penyusunan Konstruk Mettā Untuk Penilaian Siswa Bagi Guru Pendidikan Agama Buddha Pendidikan Dasar Di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah Construct preparation of Mettā For Students Assessment For Education Teachers Buddhist Religion of Basic Education in Temanggung District Central Java Yuda Dwi Saputra, Hesti Sadtyadi Guru SMA Tri Ratna Sibolga
[email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui indikator dan model penilaian Mettā yang valid dan reliabel. Penelitian ini dikembangkan dengan metode Research and Development (R & D), sesuai dengan model pengembangan Borg and Gall yang telah disesuaikan. Berdasarkan analisis Exploratory Faktor Analysis menunjukkan bahwa instrumen tersebut valid dan reliabel, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) instrumen penilaian Mettā terbagi menjadi 2 yaitu instrumen penilaian diri dan instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha, 2) Instrumen penilaian diri terdiri dari 6 indikator, yaitu: (a) memiliki ketenangan pikiran, (b) memiliki kesabaran untuk tidak membenci, (c) melatih berbicara yang berfaedah, (d) memiliki kebijaksanaan untuk memaafkan, (e) menumbuhkan rasa bersahabat, (f) memiliki kepedulian kepada semua makhluk, 3) Instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha terdiri dari 8 indikator, yaitu: (a) memiliki ketenangan pikiran, (b) memiliki kesabaran untuk tidak membenci, (c) melatih berbicara yang bermanfaat, (d) memiliki kebijaksanaan untuk memaafkan, (e) memiliki kerelaan untuk menolong, (f) menumbuhkan rasa bersahabat, (g) memiliki kepedulian kepada semua makhluk, (h) melatih diri untuk mengurangi keserakahan. Kata Kunci: Konstruk Penilaian Mettā, siswa pendidikan dasar ABSTRACT The purpose of this study was to determine the indicators and scoring models Mettā valid and reliable. This study was developed by the Research and Development (R & D), in accordance with the Borg and Gall development model that has been adjusted. Based on Exploratory Faktor Analysis shows that the instrument is valid and reliable, which can be described as follows: 1) Mettā assessment instrument is divided into 2, they are self-assessment instruments and assessment instruments of Education teacher of Buddhism, 2) self-assessment instrument consisting of six indicators, namely: (a) having peace of mind, (b) having the patience to not hate, (c) practice speaking the utilitarian, (d) having the discretion to forgive, (e) foster a sense of friendship, (f) having concern for all creatures, 3) assessment instruments of Education teacher of Buddhist Religion consists of 8 indicators, namely: (a) having peace of mind, (b) having the patience to not hate, (c) practicing speaking beneficial, (d) having the discretion to forgive, (e) having willingness to help, (f) developing a sense of friendship, (g) having concern for all beings, (h) train themselves to reduce greed. Keywords: Construct Assessment Mettā, basic education students
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
2
PENDAHULUAN Penilaian merupakan salah satu keahlian yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Penilaian dilakukan oleh guru untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Hal tersebut selaras dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 39 ayat (2) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 pasal 1 ayat (1), yang menjelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Salah satu tugas yang penting bagi seorang guru adalah melakukan penilaian. Dengan demikian penilaian penting dilakukan oleh seorang guru untuk mengetahui sejauh mana tingkat kegiatan pembelajaran yang sudah diberikan kepada siswa. Selain untuk memberikan klasifikasi kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa, penilaian juga dapat digunakan sebagai landasan dalam upaya perbaikan sistem pembelajaran ke arah yang lebih baik. Melalui penilaian, seorang guru mampu mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Kemampuan seorang guru dalam menilai siswa sangat penting, sehingga dibutuhkan keahlian dan memiliki kualifikasi lulusan pendidikan yang bagus. Seorang guru harus menjadi sumber inspirasi bagi siswa-siswanya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari segi pengetahuaan (kognitif), sikap (afektif), maupun keterampilan (psikomotor). Peran guru bukan hanya sebagai pembelajar di dalam kelas, tetapi harus mampu menunjukkan sikap dan keahlian yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan apa yang diajarkan kepada siswa. Pelaksanaan pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang berkelanjutan. Virana (2008: p.52) menyebutkan terdapat tiga tahap dalam pelaksanaan Dhamma, yaitu: 1)Pariyatti Dhamma: mempelajari ajaran-ajaran kitab
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
suci Tipitaka/ Dhamma Vinaya, 2)Patipatti Dhamma: mempraktekkan Dhamma Vinaya dalam kehidupan sehari-hari, 3)Pativedha Dhamma: hasil penembusan yaitu hasil menganalisa kejadian-kejadian hidup melalui meditasi Vipassana Bhavana hingga tercapai kebebasan mutlak. Demikian halnya dengan kegiatan pembelajaran di sekolah yang diawali dengan mempelajari materi-materi yang terdapat dalam tiap-tiap mata pelajaran, kemudian mampu mengaplikasikan ilmuilmu yang sudah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, hingga dapat memperoleh hasil atau manfaat dari mengaplikasikan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut. Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti pada tanggal 12 Nopember 2014 terdapat kekurangan dalam pelaksanaan kurikulum di sekolah. Guru kurang memahami bahwa masih banyak hal penting yang harus dilaksanakan sebagai seorang guru profesional. Selain itu, kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru hanya menekankan pada aspek kognitif, sedangkan aspek yang lain kurang diperhatikan. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan dari KKG Temanggung ternyata masih banyak guru yang mengalami kesulitan dalam memberi nilai yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Kondisi yang sama di tempat yang berbeda di SD Negeri Gedong Rejo Giriwoyo Wonogiri sebagai tempat Praktik Pengalaman lapangan (PPL) di sekolah, masih banyak guru yang mengalami kesulitan dalam memberikan penilaian kepada siswa. Selain panduan penilaian yang sulit dipahami oleh guruguru yang sudah lanjut usia, panduan penilaian tidak konsisten dan berbedabeda, sehingga guru bingung dalam menentukan panduan penilaian yang sesuai dengan penerapan kurikulum. Mettā merupakan salah satu materi pembelajaran yang terkandung dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha. Mettā adalah suatu sikap cinta kasih universal yang dapat dipancarkan kepada
3
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
semua makhluk. Arti kata Mettā yang universal sering membuat seorang guru sulit dalam memberikan penilaian terkait dengan pembelajaran tersebut. Penilaian terhadap Mettā yang tepat akan memberikan pengaruh yang positif pada siswa. Siswa yang mempunyai Mettā akan selalu berbicara, bertindak dan berpikir baik, tanpa mengharapkan makhluk lain celaka. Sehingga Mettā merupakan materi pembelajaran yang cukup berperan dalam membentuk karakter dan kepribadian siswa ke arah yang lebih baik. Guru dalam memberikan pembelajaran dan penilaian kepada siswa atas dasar kurikulum yang diterapkan dalam satuan pembelajaran. Bentuk penilaian yang dilakukan dalam kurikulum meliputi penilaian aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Penilaian aspek-aspek tersebut penting dilakukan dalam pendidikan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Selain itu guru akan mengetahui sejauh mana siswa mampu mempraktekkan materi-materi yang sudah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Agama Buddha merupakan salah satu mata pelajaran yang termuat dalam setiap kurikulum. Menurut Nasiman dan Nurwito (2014: p.29) ajaran agama Buddha adalah “Ehiphassiko”, ajaran yang bukan hanya untuk dipelajari dan dihafalkan, tetapi lebih pentingnya adalah untuk mempraktekkan materi yang sudah dipelajari dalam kehidupan seharihari, agar semua yang sudah dipelajari dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Hal ini berarti akan sangat tepat apabila diterapkan kepada siswa beragama Buddha dalam membentuk pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dalam lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya. Keberhasilan kegiatan pembelajaran tidak akan dapat terwujud tanpa di dukung dengan faktor-faktor pembelajaran yang saling mendukung.
Faktor-faktor tersebut antara lain: adanya indikator pembelajaran yang jelas, adanya tenaga pendidik yang profesional, adanya peserta didik, adanya materi pembelajaran yang menunjang dalam capaian belajar, serta memiliki alat penilaian yang dapat digunakan untuk menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Permasalahannya adalah belum ada model penilaian yang dapat digunakan oleh guru untuk menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, khususnya penilaian Mettā siswa. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah indikator apa saja yang dapat digunakan untuk menyusun penilaian Mettā dan bagaimana model konstruk Mettā berdasarkan indikator yang valid dan reliabel. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui indikator apa saja yang dapat digunakan dalam menyusun konstruk penilaian Mettā, serta dapat mendeskripsikan dan menjelaskan cara menyusun konstruk Mettā yang sesuai dengan indikator yang valid dan reliabel. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara ilmiah tentang penyusunan konstruk Mettā dan penilaian konstruk Mettā dalam Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar, serta memberikan informasi, memperluas wawasan, dan meningkatkan pemahaman akan pentingnya praktek ajaran agama Buddha dalam kehidupan sehari-hari.
LANDASAN TEORI Kajian tentang Mettā (Cinta Kasih) Mettā adalah salah satu khotbah yang sudah dibabarkan oleh Buddha kepada lima ratus orang bhikkhu berkaitan dengan manfaat mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk. Sasanasanto Seng Hansun (2013: p.3) mengatakan bahwa Mettā merupakan suatu istilah bermakna luas yang berarti cinta kasih, rasa bersahabat, kehendak baik, kebajikan,
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
4
kekerabatan, kerukunan, tanpa itikad buruk dan tanpa kekerasan. Sayadaw Indaka (2005: p.8-9) menggolongkan Mettā menjadi tiga aspek yang menjadi sumber atau akar dari perwujudan cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari: (1) Mano Kamma Mettā berarti mengembangkan dan menguatkan kualitas Mettā di dalam hati dan pikiran dengan cara mengharapkan kesehatan yang baik dan kebahagiaan bagi semua makhluk, tidak memiliki napsu untuk menyakiti atau menciptakan penderitaan bagi makhluk lain. (2) Vaci Kamma Mettā berarti melatih diri untuk tidak menggunakan ucapanucapan yang dapat menyakiti atau melukai perasaan makhluk lain, serta membuat mereka menderita karena mendengar ucapan yang kita keluarkan. (3) Kaya Kamma Mettā berarti melatih diri untuk tidak melakukan segala tindakan atau perbuatan yang dapat menyakiti dan menyebabkan penderitaan-penderitaan baru bagi makhluk lain. Lebih lanjut Sasanasanto Seng Hansun (2013: p.20) menjelaskan Etika dalam sudut pandang ajaran agama Buddha adalah tindakan benar yang membawa kebahagiaan dan kedamaian pikiran, yang tidak membawa penyesalan, kekhawatiran, atau ketidaktenangan pikiran. Tindakan benar juga akan mengarahkan seseorang pada tumimbal lahir yang membahagiakan, memungkinkan seseorang untuk terus berkembang dalam jalur pembebasan batin yang panjang. Etika dalam ajaran agama Buddha memiliki dua makna penting, yaitu: pemenuhan nilai-nilai kebajikan (caritta), dan anjuran pelatihan diri untuk tidak melakukan tindakan jahat (varitta). Dharma Widya (2008: p.86) menyebutkan manfaat yang dapat dinikmati dan dirasakan oleh seseorang yang mempraktekkan Mettā dalam kehidupan sehari-hari antara lain: tidur nyenyak; bangun dengan bahagia; tiada mimpi buruk; dicintai oleh manusia; dicintai oleh makhluk bukan manusia; dilindungi oleh para Dewa; terlindung dari
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
api, racun maupun senjata; pikirannya mudah terkonsentrasi; kulit wajahnya jernih; meninggal dengan tenang; terlahir di alam bahagia. Pentingnya Penilaian Nana Sudjana (2009: p.3) menjelaskan bahwa penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan dalam kegiatan pembelajaran, sebagai umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar, meliputi: kegiatan belajar siswa, strategi mengajar guru, sebagai dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada orang tuanya melalui penilaian yang diberikan kepada siswa. Tujuan dilaksanakannya penilaian adalah untuk mendeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya. Mengetahui keberhasilan proses pengajaran di sekolah dan menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya. Memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan, meliputi orang tua dan pemerintah yang membantu berlangsungnya kegiatan pembelajaran di sekolah. Langkah-langkah yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan penilaian hasil belajar siswa antara lain: 1) Merumuskan atau mempertegas tujuan-tujuan pembelajaran. Hal ini penting dilakukan untuk memberikan arah terhadap penyusunan alat-alat penilaian. 2) Mengkaji materi pembelajaran berdasarkan kurikulum dan silabus mata pelajaran. Hal ini penting dilakukan untuk mempertegas isi dan sasaran penilaian hasil belajar. 3)
5
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Menyusun alat-alat penilaian, baik tes maupun non tes sesuai dengan kaidahkaidah penulisan soal. 4) Menggunakan hasil-hasil penilaian sesuai dengan tujuan penilaian tersebut, yakni untuk kepentingan pendeskripsian kemajuan siswa, kepentingan perbaikan pengajaran, kepentingan bimbingan belajar, maupun kepentingan laporan pertanggungjawaban pendidikan. Penilaian sangat penting dilakukan kepada siapa saja yang masih memerlukan perbaikan dalam pembelajaran. Pada masa kehidupan Buddha, Buddha memberikan penilaian kepada siswa-siswanya melalui penerapan aturan-aturan moralitas atau yang saat ini dikenal dengan Vinaya Pitaka. Tim Penyusun (2003: p.3) menjelaskan bahwa Buddha mulai memberikan Vinaya Pitaka setelah 20 tahun pencapaian penerangan sempurna. Pada waktu itu mulai muncul perilaku para bhikkhu yang bukan saja dapat merugikan perkembangan spiritualnya sendiri, tetapi memberikan pengaruh negatif terhadap citra Sangha dan agama Buddha. Alasan itulah yang menjadi latar belakang Buddha menetapkan Vinaya Pitaka sebagai pedoman dalam mengendalikan Silᾶ/perilaku para bhikkhu. Dari waktu ke waktu jumlah bhikkhu dalam anggota Sangha semakin bertambah, pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh para bhikkhu juga semakin bertambah dan beragam, sehingga ketika muncul perilaku bhikkhu yang bertentangan dengan Silᾶ dan Vinaya, Buddha membuat aturanaturan baru dalam Vinaya Pitaka. Begitu seterusnya sampai Buddha mencapai Parinibbana. Setelah Buddha mencapai Parinibbana, Vinaya Pitaka dijadikan sebagai pengganti kedudukan Buddha. METODOLOGI PENELITIAN Prosedur Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian pengembangan dalam bidang pendidikan. Menurut Sugiyono (2013: p.407), metode penelitian dan pengembangan atau Research and
Development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut, agar dapat memberikan manfaat yang dapat digunakan di masyarakat. Prosedur pengembangan dalam penelitian ini tetap mengacu pada sepuluh tahapan penelitian dari model Borg & Gall, yang jika disederhanakan akan menjadi 1) Tahap Pendahuluan, 2) Tahap Perencanaan dan Pengembangan Produk Awal, 3) Tahap Uji Coba, Evaluasi, dan Revisi, 4)Tahap Implementasi. Tempat dan Waktu Penelitian Peneliti menentukan tempat penelitian di kabupaten Temanggung, yaitu di SMP Negeri 2 Kaloran dan SMP PGRI 2 Kaloran. Dimana dalam penelitian ini, SMP Negeri 2 Kaloran dijadikan sebagai uji coba pendahuluan, kemudian dilanjutkan uji coba tahap 1 dan 2 dilakukan di SMP Negeri 2 Kaloran dan SMP PGRI 2 Kaloran. Penelitian telah dilakukan pada bulan Nopember 2014 sebagai uji coba pendahuluan, kemudian dilanjutkan pada bulan April 2015 sebagai uji coba 1 dan 2. Subjek dan Sampel Penelitian Subjek Penelitian adalah konstruk Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar. Sampel penelitian meliputi data penilaian diri dan penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha. Data yang diperoleh dari siswa adalah penilaian diri siswa berdasarkan implementasi mata pelajaran Mettā dalam kehidupan seharihari. Data dari guru Pendidikan Agama Buddha adalah penilaian yang diberikan oleh guru Pendidikan Agama Buddha dalam mengamati siswa-siswanya terhadap implementasi mata pelajaran yang sudah diberikan kepada siswa, khususnya dalam materi pelajaran Mettā. Jumlah siswa yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini yaitu: 30 siswa untuk uji coba pendahuluan, 50 siswa untuk uji coba
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
6
tahap 1, dan 52 siswa untuk uji coba tahap 2. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data kualitatif dan data kuantitatif. Jenis data yang dikumpulkan melalui kegiatan diskusi, uji keterbacaan, maupun teknik Delphi adalah data kualitatif, yakni berupa saran maupun tanggapan dari para ahli yang berkompeten di bidangnya sesuai dengan indikator instrumen penilaian Mettā, untuk selanjutnya dilakukan analisis dan diperbaiki sesuai dengan masukan para pakar/ahli. Sedangkan jenis data yang dikumpulkan melalui uji coba instrumen yang meliputi penilaian diri dan penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha adalah jenis data kuantitatif. Teknik Analisis Data Hasil pengumpulan data melalui beberapa teknik seperti survei pendahuluan terhadap kondisi guru Pendidikan Agama Buddha, diskusi dengan guru Pendidikan Agama Buddha, teknik Delphi yang dilakukan dengan beberapa dosen, serta bimbingan secara berkala dengan dosen pembimbing, dianalisis menggunakan metode kualitatif. Sedangkan data hasil uji coba konstruk Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar dianalisis menggunakan metode kuantitatif. Dimana dalam hal ini menggunakan program SPSS 15.0 for windows. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Istilah valid atau validitas berasal dari kata validity yang mempuyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu dimensi atau indikator dikatakan valid apabila indikator tersebut mampu mencapai tujuan pengukuran dari konstruk amatan dengan tepat (Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan, 2014: p.282)
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Mengetahui begitu pentingnya ketepatan suatu tes dalam penelitian, maka seorang peneliti dalam menyimpulkan suatu instrumen harus melihat nilai-nilai yang termuat dalam muatan faktor suatu instrumen. Thalib (2010: p.315) mengatakan bahwa kriteria yang dijadikan sebagai dasar untuk menentukan valid tidaknya instrumen yaitu dengan melihat muatan faktor setiap indikator, bahwa setiap instrumen harus memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,5. Istilah Reliabilitas merupakan terjemahan dari kata Reliability yang berasal dari kata rely dan ability. Reliabilitas dapat diartikan sebagai keterpercayaan, keterandalan atau konsistensi. Hasil suatu pengukuran dapat dipercaya apabila pelaksanaan pengukuran dalam beberapa kali terhadap subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, artinya mempunyai konsistensi pengukuran yang baik (Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan, 2014: p.282). Pengujian reliabilitas suatu instrumen dapat dilakukan menggunakan formula Cronbach Alpha pada program SPSS 15.0 for windows. Formula ini digunakan berdasarkan atas jawaban instrumen yang mengacu pada gradasi atau tingkatan yang diperoleh dari jawaban responden. Kriteria yang digunakan untuk melihat keterandalan instrumen ini adalah bila koefisien gabungan butir (reliabilitas alpha) 0,70 atau lebih, maka instrumen tersebut dinyatakan handal (Nunnaly, 1981: p.245). HASIL DAN PEMBAHASAN Data Hasil Studi Awal Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan dalam bidang pendidikan, yang bertujuan untuk menyusun dan mengembangkan konstruk Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar. Langkah-langkah penyusunan dan pengembangan instrumen Mettā telah dijelaskan dalam BAB III, sedangkan hasil pelaksanaan dan hasil penyusunan
7
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
instrumen Mettā akan dijelaskan dalam BAB ini. Studi pendahuluan dilakukan melalui studi kepustakaan, dimana dalam hal ini mengkaji teori-teori yang mendukung berkaitan dengan model penilaian Mettā dengan berdasar pada hasil observasi dan survei pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap guru-guru Pendidikan Agama Buddha yang dilaksanakan di gedung Dhamma Sekha Temanggung pada bulan Nopember 2014. Hasil studi ini dijadikan sebagai landasan teori dalam BAB II, yang kemudian dijadikan sebagai landasan dalam penyusunan konstruk Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar. Hasil survei ini juga memperoleh data siswa yang cukup untuk dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini yaitu >50 siswa. Tahap lanjutan dilakukan dengan melakukan survei yang dilakukan terhadap guru-guru SMP pada saat hadir dalam kegiatan pembekalan penyusunan RPP Pendidikan Agama Buddha se-Jawa Tengah di Semarang pada tanggal 22 Nopember 2014. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui alat penilaian apa yang digunakan oleh guru dalam menilai sikap siswa dan bagaimana cara yang dilakukan oleh guru dari masing-masing daerah dalam menilai sikap siswa, khususnya dalam menilai Mettā siswa. Dimana dalam penelitian ini diperoleh data bahwa sebagian besar guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar belum memiliki alat penilaian yang dapat digunakan untuk mengukur sikap siswa, khususnya Mettā siswa dalam kehidupan sehari-hari, guru hanya memberikan penilaian berdasarkan pengamatan tanpa berdasar pada alat penilaian yang valid dan reliabel. Dari data inilah yang menjadi landasan bahwa guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar masih mengalami kesulitan dalam menilai Mettā siswa. Berdasarkan penelitian tersebut, maka konstruk penilaian Mettā untuk
penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar, dikembangkan dengan bentuk penilaian diri siswa dan penilaian guru Pendidikan Agama Buddha melalui pengukuran cinta kasih melalui pikiran (Mano Kamma Mettā), cinta kasih melalui ucapan (Vaci Kamma Mettā), dan cinta kasih melalui tindakan atau perbuatan (Kaya Kamma Mettā). Tahap Awal Pengembangan Instrumen Mettā Tahap ini diawali dengan melakukan kajian teoritis mengenai faktor Mettā yang berpedoman pada hasil observasi dan acuan materi pembelajaran Mettā pendidikan dasar. Melalui kajian inilah yang akan membentuk kisi-kisi instrumen Mettā, dimana dalam hal ini komponen dan indikator Mettā disusun berdasarkan teori-teori yang sudah dikemukakan para pakar/ahli. Setelah kisikisi instrumen Mettā terbentuk, dilanjutkan dengan menyusun pertanyaan/pernyataan instrumen penilaian diri dan instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha sesuai dengan indikator yang sudah disusun dalam kisi-kisi instrumen Mettā. Pertanyaan/pernyataan yang dibuat dalam instrumen penilaian Mettā berjumlah 30 soal dengan 5 alternatif pilihan jawaban, pedoman penilaian menggunakan rubrik skala Likert, yakni responden diperbolehkan untuk menjawab satu jawaban atau lebih: skor 1 apabila responden memilih 1 jawaban, skor 2 apabila responden memilih 2 jawaban, skor 3 apabila responden memilih 3 jawaban, skor 4 apabila responden memilih 4 jawaban, dan skor 5 apabila responden memilih 5 jawaban. Sampai dapat diperoleh data untuk menentukan siswa/responden yang memiliki Mettā Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), Kurang Baik (KB), dan Sangat Kurang Baik (SKB). Instrumen yang tersusun dalam tahap ini merupakan Draft awal
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
8
pengembangan konstruk Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar, selanjutnya dilakukan uji coba pendahuluan untuk mengetahui efektifitas penggunaan draft awal instrumen Mettā, serta dilakukan perbaikan sesuai dengan masukkan pengguna yakni guru Pendidikan Agama Buddha, sebelum dilakukan Expert Judgment/ Delpy 1. Expert Judgment/ Delpy 1 Expert Judgment/Delpy 1 dilaksanakan pada tanggal 1-6 April 2015 di lingkungan STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri. Delpy 1 diikuti oleh sejumlah pakar pendidikan dan guru Pendidikan Agama Buddha SMP, yaitu: Dr. Hesti Sadtyadi, S.E.,M.Si., Hariyanto, S.Ag.,M.Pd., Ngadat, S.Pd.B., Sukodoyo, S.Ag.,M.Si., Novianti, S.Pd.B.,M.Pd.B., Situasih, S.Pd.B., dan Eni Lestari, S.Ag.. Delpy 1 difokuskan pada masukan untuk penyempurnaan secara keseluruhan mulai dari susunan kisi-kisi instrumen Mettā, redaksioanal kalimat, dan penggunaan bahasa untuk instrumen. Delpy 1 yang telah dilakukan dengan sejumlah pakar/ahli dianalisis menggunakan analisis kualitatif. Analisis dilakukan dengan mencermati dan mensintesiskan masukan-masukan yang sudah dituliskan oleh para pakar/ahli pada lembar Delpy. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk penyempurnaan isi instrumen Mettā agar dapat terarah pada tujuan yang hendak diukur dalam konstruk Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar. Hasil analisis dari Delpy 1 merupakan bagian dari pengukuran validitas isi instrumen Mettā, yakni dengan mencermati instrumen dari penggunaan bahasa, redaksional kalimat, maupun kesesuian kisi-kisi instrumen, baik dari segi komponen maupun indikator dengan tabulasi teori-teori yang dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan kisi-kisi instrumen tersebut. Sehingga dengan melalui tahap ini, dapat dihasilkan
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
instrumen penilaian Mettā yang lebih sederhana, praktis, dan lebih mudah untuk diinterpretasikan kepada siswa. Deskripsi Uji Coba Tahap 1 Setelah dilakukan perbaikan dalam lembar instrumen Mettā sesuai dengan saran dan masukkan para pakar/ahli. Instrumen Mettā yang terdiri dari instrumen “Penilaian Diri” dan instrumen “Penilaian dari Guru Pendidikan Agama Buddha” kemudian diujicobakan kepada siswa-siswa beragama Buddha di kabupaten Temanggung pada tanggal 9 April 2015. Jumlah responden yang diambil sebanyak 50 siswa yang terbagi menjadi dua sekolah yaitu: SMP Negeri 2 Kaloran dan SMP PGRI 2 Kaloran. Pelaksanaan penelitian diawali di SMP Negeri 2 Kaloran. Jumlah responden yang diambil di SMP ini berjumlah 30 siswa yang semuanya adalah siswa kelas 8 SMP. Kegiatan diawali diskusi dengan guru Pendidikan Agama Buddha mengenai tahapan pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan, sekaligus memberikan penjelasan mengenai bentuk instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha. Selanjutnya peneliti diberi kesempatan untuk bertatap muka dengan responden sekaligus menjelaskan tujuan penelitian yang akan dilakukan serta menjelaskan tata cara pengisian instrumen kepada semua responden yang hadir. Setelah diskusi interaktif terjadi, semua responden mengisi lembar instrumen yang telah disediakan dan dikumpulkan. Penelitian kemudian dilanjutkan di SMP PGRI 2 Kaloran, jumlah responden yang diambil di SMP ini berjumlah 20 siswa yang masing-masing terbagi di kelas 7, 8, dan 9 SMP. Pelaksanaan penelitian yang dilakukan di SMP PGRI 2 Kaloran masih menggunakan tata cara penelitian yang sudah berlangsung di SMP Negeri 2 Kaloran. Setelah semua lembar instrumen terkumpul, data hasil uji coba tahap 1 kemudian dianalisis menggunakan bantuan program SPSS 15.0 for windows, tahap ini
9
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dilakukan untuk mengukur validitas konstruk dan reliabilitas instrumen. Pengukuran validitas konstruk dilakukan untuk mengetahui butir soal yang perlu dilakukan perbaikan yakni dengan mencermati nilai Anti-image Correlation yang ditunjukkan oleh nilai diagonal dari kiri atas ke kanan bawah yang bertanda huruf “a” pada setiap nilainya. Apabila nilai MSA > 0,5 maka butir soal dapat dikatakan valid dan dapat dilanjutkan untuk melakukan analisis faktor. Begitu pula dilakukan pengukuran reliabilitas yakni untuk mengetahui keterandalan atau konsistensi suatu instrumen dalam melakukan pengukuran, dengan melihat nilai Corrected Item-Total Correlation, apabila nilai dari tiap-tiap butir pertanyaan lebih besar dari r tabel, maka pertanyaan tersebut dikatakan reliabel. Pengukuran juga dilakukan dengan melihat nilai Cronbanch‟s Alpha dari hasil pengukurannya. Apabila nilai Cronbanch‟s Alpha sama dengan 0,7 atau lebih, maka instrumen dikatakan reliabel. Hasil Uji Coba Tahap I Uji Coba tahap 1 pada penelitian konstruk Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha terdiri dari 2 instrumen yaitu: instrumen penilaian diri dan instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha, masingmasing instrumen terdiri dari 30 soal dengan 5 alternatif jawaban. Hasil uji coba tahap 1 dianalisis menggunakan bantuan program SPSS 15.0 for windows, analisis yang dilakukan antara lain untuk mengetahui validitas konstruk dan reliabilitas instrumen penilaian Mettā. Berikut ini adalah hasil analisis uji coba tahap 1: Instrumen Penilaian Mettā “Penilaian Diri” Instrumen Penilaian Diri merupakan instrumen penilaian yang diisi oleh siswa dalam menilai Mettā melalui pikiran, ucapan dan perbuatan yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Data hasil
uji coba tahap 1 yang sudah terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam SPSS. Berdasarkan analisis Exploratory Factor Analysis dihasilkan simpulan bahwa instrumen penilaian diri sudah valid dan reliabel, terlihat dari nilai KMO sebesar 0,762 (>0,5) dan p-value Bartlett‟s Test sebesar 0,00 (<0,05) sehingga model faktor instrumen yang terbentuk layak digunakan. Serta dengan melihat nilai Cronbach‟s Alpha sebesar 0,931 (>0,7) berarti instrumen sudah reliabel. Analisis dilanjutkan dengan uji validitas dan reliabilitas tiap butir soal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui soal-soal yang masih memiliki kekurangan dan memerlukan perbaikan dalam teknik Delpy tahap 2. Tabel 1 Hasil analisis SPSS Anti-image Correlation No
Nama Butir
Anti-image Coerrelation
No
Nama Butir
Anti-image Coerrelation
1
Pikir1
0.743(a)
16
Ucap7
0.757(a)
2
Pikir2
0.670(a)
17
Ucap8
0.828(a)
3
Pikir3
0.472(a)
18
Ucap9
0.821(a)
4
Pikir4
0.666(a)
19
Buat1
0.830(a)
5
Pikir5
0.776(a)
20
Buat2
0.842(a)
6
Pikir6
0.726(a)
21
Buat3
0.766(a)
7
Pikir7
0.758(a)
22
Buat4
0.829(a)
8
Pikir8
0.705(a)
23
Buat5
0.752(a)
9
Pikir9
0.738(a)
24
Buat6
0.822(a)
10
Ucap1
0.880(a)
25
Buat7
0.809(a)
11
Ucap2
0.854(a)
26
Buat8
0.655(a)
12
Ucap3
0.726(a)
27
Buat9
0.716(a)
13
Ucap4
0.879(a)
28
Buat10
0.595(a)
14
Ucap5
0.863(a)
29
Buat11
0.376(a)
15
Ucap6
0.800(a)
30
Buat12
0.590(a)
Sumber: Output SPSS 15.0 Berdasarkan hasil analisis SPSS Anti-image Correlation yang sudah dibagankan dalam tabel 1 dapat diketahui bahwa masih ada 2 item soal yang tidak valid dan memerlukan perbaikan yaitu soal nomor 3 (0,472) dan 29 (0,376) karena nilai masing-masing butir < 0,5. Begitu juga dilakukan analisis dengan melihat nilai Corrected Item-Total Correlation. Hasil analisis menunjukkan bahwa masih
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
10
Volume II No. 1 September 2015
terdapat 3 soal yang tidak reliabel dan memerlukan perbaikan yaitu soal nomor 3 (0,275), 29 (0,189) , dan 30 (0,167). Hal ini dikarenakan nilai tiap-tiap butir soal masih < 0,3. Instrumen Penilaian Mettā “Penilaian dari guru PAB” Instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha merupakan instrumen yang diisi oleh guru Pendidikan Agama Buddha dalam menilai Mettā yang dimiliki oleh siswa-siswanya. Data hasil uji coba 1 yang sudah terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam program SPSS. Berdasarkan analisis Exploratory Factor Analysis dihasilkan simpulan bahwa instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha sudah valid dan reliabel, terlihat dari nilai KMO sebesar 0,771 (>0,5) dan p-value Bartlett‟s Test sebesar 0,00 (<0,05) sehingga model faktor instrumen yang terbentuk layak digunakan. Serta dengan melihat nilai Cronbach‟s Alpha sebesar 0,948 (>0,7) berarti instrumen sudah reliabel. Analisis dilanjutkan dengan uji validitas dan reliabilitas tiap butir soal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui soal-soal yang masih memiliki kekurangan dan memerlukan perbaikan untuk selanjutnya agar dapat disempurnakan menjadi instrumen yang lebih bagus dan cocok digunakan oleh guru Pendidikan Agama Buddha dalam menilai Mettā siswa. Tabel 2 Hasil analisis SPSS Anti-image Correlation No
Nama Butir
Anti-image Coerrelation
No
Nama Butir
Anti-image Coerrelation
1
Pikir1
0.741(a)
16
Ucap7
0.710(a)
2
Pikir2
0.737(a)
17
Ucap8
0.806(a)
3
Pikir3
0.661(a)
18
Ucap9
0.795(a)
4
Pikir4
0.666(a)
19
Buat1
0.840(a)
5
Pikir5
0.758(a)
20
Buat2
0.850(a)
6
Pikir6
0.802(a)
21
Buat3
0.814(a)
7
Pikir7
0.883(a)
22
Buat4
0.713(a)
8
Pikir8
0.646(a)
23
Buat5
0.719(a)
9
Pikir9
0.745(a)
24
Buat6
0.829(a)
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
10
Ucap1
0.832(a)
25
Buat7
0.908(a)
11
Ucap2
0.793(a)
26
Buat8
0.697(a)
12
Ucap3
0.792(a)
27
Buat9
0.781(a)
13
Ucap4
0.795(a)
28
Buat10
0.603(a)
14
Ucap5
0.764(a)
29
Buat11
0.596(a)
15
Ucap6
0.761(a)
30
Buat12
0.837(a)
Sumber: Output SPSS 15.0 Berdasarkan hasil analisis SPSS Anti-image Correlation yang sudah dibagankan dalam tabel 2 dapat diketahui bahwa semua item soal memiliki nilai > 0,5. Hal ini menunjukkan bahwa semua item soal instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha sudah valid. Selanjutnya dilakukan analisis dengan melihat nilai Corrected Item-Total Correlation. Hasil analisis menunjukkan bahwa masih terdapat 1 soal yang tidak reliabel (< 0,3) dan memerlukan perbaikan yaitu soal nomor 29 (0,258). Tabel 3 Rangkuman Perbaikan Butir Soal Instrumen Uji Coba Tahap 1 N O
Jenis Instrumen
1
Instrumen Penilaian Diri Instrumen Penilaian Guru PAB
2
Perbaikan Validitas
3 dan 29 Semua valid
Perbaikan Reliabilits
3, 29, dan 30 29
Sumber : Peneliti Expert Judgment/Delpy 2 Expert Judgment/Delpy 2 dilaksanakan pada tanggal 13 – 17 April 2015 di lingkungan STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri. Delpy 2 diikuti oleh sejumlah pakar pendidikan yaitu: Dr. Hesti Sadtyadi, S.E., M.Si., Mujiyanto, S.Ag., M.Pd., Marjianto, S.Pd., M.Pd., Sujiono, S.Ag., M.Pd., dan Ngadat, S.Pd.B.. Dalam pelaksanaan Delpy 2, para pakar/ahli diminta untuk memberikan penilaian pada tiap-tiap butir pertanyaan, terhadap kesesuain instrumen penilaian Mettā dengan kisi-kisi instrumen maupun faktor-
11
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
faktor yang akan diukur dalam instrumen Mettā. Pelaksanaan Delpy 2 difokuskan untuk mengukur validitas isi instrumen Mettā yakni dengan memberikan penilaian secara objektif terhadap lembar Delpy yang sudah disediakan. Pedoman penilaian yang digunakan menggunakan rubrik skala Likert, yakni atas dasar pemberian skor 1 – 5: skor 1 apabila Sangat Tidak Sesuai (STS), skor 2 apabila Tidak Sesuai (TS), skor 3 apabila Cukup (C), skor 4 apabila Sesuai (S), dan skor 5 apabila Sangat Sesuai (SS). Hasil penilaian yang sudah diberikan oleh para pakar/ahli kemudian dianalisis menggunakan validitas aiken dengan bantuan program Microsoft Excel. Hasil penilaian dan analisis dari Delpy 2 diperoleh simpulan: Instrumen Mettā “Penilaian Diri” menunjukkan bahwa semua item soal sudah valid, karena nilai masing-masing item soal > 0,5. Rata-rata yang diperoleh dari instrumen penilaian diri adalah 0, 91. Instrumen Mettā “Penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha” diperoleh simpulan bahwa semua item soal sudah valid, ditunjukkan dengan nilai semua item soal > 0,5. Rata-rata yang diperoleh instrumen penilaian guru Pendidikan Agama Buddha adalah 0,90. Deskripsi Uji Coba Tahap II Setelah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan butir-butir pertanyaan instrumen dari hasil analisis Delpy 2, dilanjutkan dengan uji coba tahap 2 yang dilaksanakan di kabupaten Temanggung pada tanggal 20 April 2015. Uji coba dilakukan terhadap 52 responden yang terbagi menjadi dua sekolah, yaitu SMP Negeri 2 Kaloran 30 responden dan SMP PGRI 2 Kaloran 22 responden. Teknik penelitian yang digunakan dalam uji coba tahap 2 masih mengacu pada teknik penelitian yang sudah dijalankan pada penelitian tahap 1, karena perubahan yang dilakukan pada model instrumen penilaian Mettā tahap 2 tidak terlalu banyak yang
berubah dengan model instrumen Penilaian yang sebelumnya.
Hasil Uji Coba Tahap II Penelitian terhadap intrumen Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar diujicobakan menjadi 2 bentuk penilaian yaitu: instrumen penilaian diri dan instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha. data hasil uji coba tahap II dianalisis menggunakan bantuan program SPSS 15.0 for windows, analisis yang dilakukan antara lain untuk mengetahui validitas konstruk dan reliabilitas instrumen, serta untuk mengetahui faktor dan indikator yang terbentuk pada kisi-kisi instrumen Mettā. Berikut ini adalah hasil analisis uji coba tahap II: Instrumen Penilaian Mettā “Penilaian Diri” Data hasil uji coba instrumen penilaian diri tahap II dimasukkan ke dalam SPSS. Berdasarkan analisis Exploratory Factor Analysis dihasilkan simpulan bahwa instrumen penilaian diri sudah valid dan reliabel, terlihat dari nilai KMO sebesar 0,806 (>0,5) dan p-value Bartlett‟s Test sebesar 0,00 (<0,05), dan nilai Cronbach‟s Alpha sebesar 0,958 (>0,7) sehingga model faktor instrumen yang terbentuk layak digunakan untuk menilai Mettā yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Analisis dilanjutkan dengan uji validitas dan reliabilitas tiap butir soal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui soal-soal yang masih memiliki kekurangan dan memerlukan perbaikan dalam teknik Delpy tahap 2. Tabel 4 Hasil analisis SPSS Anti-image Correlation No
Nama Butir
Anti-image Coerrelation
No
Nama Butir
Anti-image Coerrelation
1
Pikir1
0.840(a)
16
Ucap7
0.844(a)
2
Pikir2
0.841(a)
17
Ucap8
0.781(a)
3
Pikir3
0.738(a)
18
Ucap9
0.796(a)
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
12
Volume II No. 1 September 2015
4
Pikir4
0.745(a)
19
Buat1
0.910(a)
5
Pikir5
0.718(a)
20
Buat2
0.767(a)
6
Pikir6
0.754(a)
21
Buat3
0.596(a)
7
Pikir7
0.702(a)
22
Buat4
0.776(a)
8
Pikir8
0.764(a)
23
Buat5
0.900(a)
9
Pikir9
0.802(a)
24
Buat6
0.807(a)
10
Ucap1
0.894(a)
25
Buat7
0.869(a)
11
Ucap2
0.898(a)
26
Buat8
0.761(a)
12
Ucap3
0.652(a)
27
Buat9
0.864(a)
13
Ucap4
0.746(a)
28
Buat10
0.758(a)
14
Ucap5
0.799(a)
29
Buat11
0.854(a)
15
Ucap6
0.905(a)
30
Buat12
0.857(a)
Sumber: Output SPSS 15.0 Berdasarkan hasil analisis SPSS Anti-image Correlation yang sudah dibagankan dalam tabel 4 dapat diketahui bahwa semua item soal sudah valid, karena semua item soal memiliki nilai MSA (>0,5). Begitu juga dilakukan analisis dengan melihat nilai Corrected Item-Total Correlation. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua item soal sudah reliabel karena semua item soal (>0,3). Analisis dilanjutkan dengan mencermati komponen dan indikator yang terbentuk. Berdasarkan hasil Output SPSS, terlihat pada tabel Total Variance Explained dapat diketahui bahwa instrumen Mettā “Penilaian Diri” tersusun dari 6 indikator yang terbentuk dari 1 komponen. Hal inilah yang dijadikan sebagai acuan untuk perbaikan kisi-kisi instrumen Mettā “Penilaian Diri”. Instrumen Penilaian Mettā “Penilaian dari guru PAB” Data hasil uji coba instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha tahap II dimasukkan ke dalam program SPSS. Berdasarkan analisis Exploratory Factor Analysis, dihasilkan simpulan bahwa instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha sudah valid dan reliabel, terlihat dari nilai KMO sebesar 0,788 (>0,5) dan p-value Bartlett‟s Test sebesar 0,00 (<0,05), nilai Cronbach‟s Alpha sebesar 0,950 (>0,7) sehingga faktor instrumen yang terbentuk layak digunakan untuk menilai Mettā yang dimiliki oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
siswa-siswanya. Analisis dilanjutkan dengan uji validitas dan reliabilitas tiap butir soal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui soal-soal yang masih memiliki kekurangan dan memerlukan perbaikan untuk selanjutnya agar dapat disempurnakan menjadi instrumen yang lebih bagus dan cocok digunakan oleh guru Pendidikan Agama Buddha dalam menilai Mettā siswa. Tabel 5 Hasil analisis SPSS Anti-image Correlation No
Nama Butir
Anti-image Coerrelation
No
Nama Butir
Anti-image Coerrelation
1
Pikir1
0.741(a)
16
Ucap7
0.729(a)
2
Pikir2
0.592(a)
17
Ucap8
0.806(a)
3
Pikir3
0.552(a)
18
Ucap9
0.839(a)
4
Pikir4
0.674(a)
19
Buat1
0.854(a)
5
Pikir5
0.854(a)
20
Buat2
0.903(a)
6
Pikir6
0.831(a)
21
Buat3
0.830(a)
7
Pikir7
0.788(a)
22
Buat4
0.799(a)
8
Pikir8
0.677(a)
23
Buat5
0.726(a)
9
Pikir9
0.752(a)
24
Buat6
0.872(a)
10
Ucap1
0.831(a)
25
Buat7
0.873(a)
11
Ucap2
0.858(a)
26
Buat8
0.776(a)
12
Ucap3
0.779(a)
27
Buat9
0.725(a)
13
Ucap4
0.921(a)
28
Buat10
0.576(a)
14
Ucap5
0.806(a)
29
Buat11
0.808(a)
15
Ucap6
0.841(a)
30
Buat12
0.882(a)
Sumber: Output SPSS 15.0 Berdasarkan hasil analisis SPSS Anti-image Correlation yang sudah dibagankan dalam tabel 5 dapat diketahui bahwa semua item soal memiliki nilai MSA (>0,5). Hal ini menunjukkan bahwa semua item soal instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha sudah valid. Selanjutnya dilakukan analisis dengan melihat nilai Corrected Item-Total Correlation. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua item soal sudah reliabel karena semua item soal (> 0,3). Analisis dilanjutkan dengan mencermati komponen dan indikator yang terbentuk. Berdasarkan hasil Output SPSS dapat diketahui bahwa
13
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
instrumen Mettā “Penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha” tersusun dari 8 indikator yang terbentuk dari 2 komponen. Hal inilah yang dijadikan sebagai acuan untuk perbaikan kisi-kisi instrumen Mettā “Penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha”. Hasil perbaikan kisi-kisi instrumen Mettā “Penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha”.
Kajian Produk Akhir Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan konstruk Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar, sehingga hasil akhir penelitian ini dapat digunakan untuk membantu guru-guru Pendidikan Agama Buddha dalam menilai Mettā siswa, baik melalui instrumen penilaian diri maupun instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha. Instrumen penilaian diri terdiri dari 30 butir pertanyaan/pernyataan, yang terbentuk dari 1 komponen Mettā yaitu Mettā melalui pikiran, ucapan dan perbuatan yang terdiri dari 6 indikator, yaitu: 1) memiliki ketenangan pikiran, 2) memiliki kesabaran untuk tidak membenci, 3) melatih berbicara yang bermanfaat, 4) memiliki kebijaksanaan untuk memaafkan, 5) menumbuhkan rasa bersahabat, 6) memiliki kepedulian kepada semua makhluk. Instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha memiliki 30 pertanyaan/pernyataan, yang terbentuk dari 2 komponen Mettā yaitu Mettā melalui pikiran dan ucapan serta Mettā melalui perbuatan. Mettā melalui pikiran dan ucapan memiliki 4 indikator, yaitu: 1) memiliki ketenangan pikiran, 2) memiliki kesabaran untuk tidak membenci, 3) melatih berbicara yang bermanfaat, 4) memiliki kebijaksanaan untuk memaafkan. Mettā melalui perbuatan memiliki 4 indikator, yaitu: 1) memiliki kerelaan untuk menolong, 2) menumbuhkan rasa bersahabat, 3) memiliki kepedulian kepada
semua makhluk, 4) melatih diri untuk mengurangi keserakahan.
PENUTUP Simpulan Produk Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dalam menyusun konstruk Mettā melalui uji penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Konstruk Mettā dari penilaian siswa dilakukan melalui 2 instrumen yaitu: instrumen penilaian diri dan instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha, dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Berdasarkan uji Exploratory Faktor Analysis pada Instrumen Penilaian Diri dihasilkan komponen Mettā melalui pikiran, ucapan dan perbuatan yang terdiri dari 6 indikator, yaitu: 1) memiliki ketenangan pikiran, 2) memiliki kesabaran untuk tidak membenci, 3) melatih berbicara yang bermanfaat, 4) memiliki kebijaksanaan untuk memaafkan, 5) menumbuhkan rasa bersahabat, 6) peduli kepada semua makhluk. b. Berdasarkan uji Exploratory Faktor Analysis pada Instrumen Penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha dihasilkan 2 komponen Mettā yaitu Mettā melalui pikiran dan ucapan serta Mettā melalui perbuatan. Mettā melalui pikiran dan ucapan memiliki 4 indikator, yaitu: 1) memiliki ketenangan pikiran, 2) memiliki kesabaran untuk tidak membenci, 3) melatih berbicara yang bermanfaat, 4) memiliki kebijaksanaan untuk memaafkan. Mettā melalui perbuatan memiliki 4 indikator, yaitu: 1) memiliki kerelaan untuk menolong, 2) menumbuhkan rasa bersahabat, 3) memiliki kepedulian kepada
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
14
semua makhluk, 4) melatih diri untuk mengurangi keserakahan. 2. Berdasarkan data penelitian instrumen penilaian diri dan instrumen penilaian dari guru Pendidikan Agama Buddha dianalisis menggunakan Exploratory Factor Analysis sebagai berikut: a. Instrumen Penilaian Diri yang diujikan kepada 52 siswa menghasilkan simpulan bahwa semua butir soal sudah valid dan reliabel, terlihat dari nilai KMO sebesar 0,806 (> 0,5), p-value Bartlett‟s Test sebesar 0,00 (< 0,05), nilai Anti Image Correlation menunjukan semua nilai MSA > 0,5 dan nilai Cronbach Alpha 0,958 (> 0,7). Hal ini menunjukkan bahwa model faktor yang terbentuk layak digunakan untuk menilai Mettā siswa. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat pada tabel Total Variance Explained yang menerangkan bahwa bahwa instrumen penilaian diri terbentuk dari 6 indikator. b. Instrumen Penilaian dari Guru Pendidikan Agama Buddha yang diujikan kepada 2 guru Pendidikan Agama Buddha untuk menilai 52 siswa beragama Buddha menghasilkan simpulan bahwa semua butir soal sudah valid dan reliabel, terlihat dari nilai KMO sebesar 0,788 (> 0,5), p-value Bartlett‟s Test sebesar 0,00 (< 0,05), nilai anti image correlation menunjukkan semua nilai MSA > 0,5 dan nilai Cronbach Alpha 0,950 (> 0,7). Hal ini menunjukkan bahwa model faktor yang terbentuk layak digunakan untuk menilai Mettā siswa. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat pada tabel Total Variance Explained yang menerangkan bahwa bahwa instrumen penilaian dari guru
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Pendidikan Agama Buddha terbentuk dari 8 indikator. Saran Pemanfaatan Produk Berdasarkan penelitian dan pengembangan instrumen Mettā untuk penilaian siswa bagi guru Pendidikan Agama Buddha pendidikan dasar dapat disarankan ssebagai berikut: 1. Sebagian besar guru Pendidikan Agama Buddha di Jawa Tengah belum memiliki alat penilaian yang dapat digunakan untuk menilai sikap siswa. Instrumen Penilaian Mettā merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan oleh guru Pendidikan Agama Buddha untuk menilai sikap cinta kasih (Mettā) siswa dalam kehidupan sehari-hari. 2. Instrumen Mettā dapat digunakan untuk mendiagnosa kekurangan pada masing-masing siswa yang merupakan sebagai salah satu fungsi evaluasi. 3. Instrumen penilaian Mettā terbagi menjadi 2 bentuk instrumen, maka akan lebih baik apabila dapat digunkan keduanya untuk mengukur Mettā yang dimiliki oleh siswa agar hasil penilaian lebih objektif. 4. Penelitian ini belum dikembangkan dengan rubrik penilaian Metta siswa, sehingga dapat dikembangkan melalui penelitian lanjutan. 5. Instrumen dalam penelitian ini belum didesiminasikan, sehingga dapat didesiminasi melalui penelitian lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Dharma Widya. (2008). Dharma Ajaran Mulia Sang Buddha. Jakarta: Magabudhi Nana Sudjana. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung:Remaja Rosdakarya.
15
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Nunnaly. (1981). Psychometric Theory (2nd Ed). New York: McGrawHill. Sasanasanto Seng Hansun. (2013). Mettā dan Mangala. Yogyakarta: VidyasenaProduction. Sayadaw Indaka. (2005). Serba-serbi Mettā. Klaten: Wisma Sambodhi. Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan. (2014). SPSS Complete. Jakarta: Salemba Infotek. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Thalib.
(2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Pranada Media Group.
Tim Penyusun. (2003). Materi Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha Kitab Suci Vinaya Pitaka. Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi. Virana.
(2008). Ensiklopedia Buddha Dhamma. Jakarta: CV Santusita
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
16
Volume II No. 1 September 2015
Nasionalisme Era Postmodern: Konsepsi dan Implementasinya Sutrisno Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda
[email protected]
Abstrak Nasionalisme warga Indonesia sangat dinamis dengan semua tantangan yang dihadapinya. Indonesia telah mengalami sebuah gelombang jaman mulai dari sebelum merdeka, setelah merdeka dan nasionalisme modern. Akan tetapi, tantangan menjadi semakin kompleks di era setelah modern. Seperti sebuah ideologi, nasionalism berisi aspek kognitif, tujuan dan strategi bangsa. Tulisan ini bertujuan untuk membahas penerapan yang sesuai dari strategi nasional di jaman setelah modern. Pada tulisan ini menggunakan strategi „Gerilya‟ oleh Tan Malaka (1948) berjudul „Gerpolek‟ sebagai model analisis. Kata kunci: nasinonalisme, globalisasi, postmodern. Abstract Indonesian Nationalism is dynamic with all the challenges it faces. Indonesia has experienced a wave of Pre-Independence, Post-Independence and Modern Nationalism. However, the challenge becomes more complex in the Post-Modern Era. As an ideology, nationalism contains a cognitive aspect, goals and strategies of the nation. This paper seeks to discuss the right implementation of nationalism strategy in the Post-Modern Era. In this paper I used „Gerilya‟ strategy by Tan Malaka (1948) entitled „Gerpolek‟ as model of analyze. Keywords: nationalism, globalization, postmodern. Pendahuluan Salah satu pokok pembicaraan terhangat mengenai nasionalisme belakangan ini berkaitan dengan wacana pro dan kontra bela negara. Wacana itu muncul setelah Kemenhan berencana membentuk kader Pembina dan akan diikuti program kader bela negara di seluruh Indonesia. Targetnya, mulai 2016, dalam 10 tahun ke depan, 100 juta orang bisa mengikuti program tersebut. Menurut Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu program tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan cinta Tanah Air dan rela berkorban, melalui latihan fisik dan psikis. Menurut Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan Laksamana Pertama TNI
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Muhammad Faizal, kegiatan bela negara ini menjadi bagian dari revolusi mental yang akan menjadikan warga negara tanggap terhadap berbagai ancaman (Majalah Detik, 19-25 Oktober 2005). Sejumlah kritik bermunculan, antara lain adanya kekhawatiran akan terjadinya militerisasi sipil; pemerintah dinilai belum memiliki konsep yang jelas dan instrumen perundangan yang memadai; dan upaya menumbuhkan cinta tanah air cukup dilakukan melalui kegiatan pendidikan di sekolah. Di tengah pro dan kontra tersebut, catatan pertama yang harus diberikan untuk selalu diingat adalah bahwa rakyat Indonesia tidak pernah enggan atau gentar untuk melakukan bela negara dalam artian
17
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
fisik sekalipun. Bahkan militansi dan dan pengorbanan rakyat Indonesia dalam sejarah lampau patut dicatat dengan tinta emas. Pada awal abad XX, ketika ideologiideologi besar dunia saling berinteraksi, atau disebut “zaman bergerak” (age in motion) (Shiraishi, 1990), benih-benih kesadaran ideologis sebagai negara-bangsa (nation state), juga kehendak melakukakan perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme asing telah tumbuh di bumi nusantara. Pada masa ini, hadirnya kolonialis Belanda adalah katalis atas kelahiran nasionalisme Indonesia. Eksploitasi ekonomi kolonial Belanda, terutama melalui tanam paksa telah menimbulkan resistensi. Misalnya protes Kaum Samin di Blora tahun 1890, di Pati tahun 1914. Pengejawantarahan penderitaan kaum tani dan penduduk pribumi ke dalam aksi nyata serta meningkatnya kesadaran politis ke dalam nasionalisme yang lebih terartikulasi hanya menanti munculnya elit Indonesia yang nasionalis untuk memimpin semua itu (Kahin, 2013: p.51-60). Hadirnya pejuang terpelajar seperti Soekarno, Sutomo, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Jenderal Besar Sudirman, Bung Tomo, John Lie dan lainnya telah menghidupkan unsur kebangsaan, yaitu patriotisme (Dhakidae, 2014: p.2). Pengalaman tersebut dapat menjadi modal sosial berharga yang tidak dimiliki bangsa manapun. Bila program bela negara yang digagas oleh pemerintah saat ini benar dimaksudkan untuk merealisasikan amanat konstitusi UUD 1945, yakni Pasal 30 Ayat 1, sebenarnya yang diperlukan hanyalah menyampaikan ke publik secara transparan berbasis legalitas, rasionalitas, konteks dan relevansinya. Dalam konteks sebagai kebijakan publik (public policy), bela negara yang digagas pemerintah harus dapat dinilai sebagai alternatif terbaik. Sebab, kebijakan adalah tentang pilihan: pilihan akan tujuan; pilihan mengenai alasan untuk bertindak; pilihan akan instrumen kebijakan; pilihan bagaimana
menanggapi konsekuensi dari output kebijakan tersebut (Kay, 2006: p.2). Catatan kedua di tengah pro dan kontra mengenai bela negara, hal yang pasti bahwa sebagaian besar rakyat Indonesia sepakat isu nasionalisme merupakan persoalan yang penting. Oleh karena itu, ada baiknya wacana nasionalisme dibuka di ruang publik untuk memperoleh tanggapan yang kritis, kreatif dan kontekstual. Hal itu penting untuk menghindari kecurigaan adanya determinasi ideologi baik dari sipil maupun militer dalam memaknai nasionalisme. Dengan kata lain, nasionalisme dibangun di atas konsesus berdasarkan gagasan terbaik. Langkah ini diperlukan, sebab dalam kapasitasnya sebagai ideologi, nasionalisme diharapkan mampu menyatukan seluruh komponen bangsa, membangun paradigma sikap dan perilaku warga bangsa, dan mensinergikan partisipasi warga bangsa terhadap kebijakan negara. Demikian pentingnya, sekedar pembanding, di Eropa Barat, isu nasionalisme dan etnisitas justru menggantikan masalah militer yang selama beberapa dekade menjadi isu utama di kawasan itu (Wardhani, 2011: p.217). Dalam konstruksi konstitusi UUD 1945, sudah tepat bila usaha bela negara menjadi hak dan kewajiban warga negara. Sebab, bela negara adalah bentuk ekspresi aktif dari nasionalisme, aksi cinta bangsa atau lebih tepatnya disebut patriotisme. Sejarawan Taufik Abdullah pernah mengemukakan bahwa nasionalisme yang berintikan patriotisme itu, memang perwujudannya mengalami dialektika yang dinamis di mana tiap generasi mempunyai tantangan (challenge) dan jawaban (response) yang berbeda, tetapi esensi nasionalisme tetaplah sama yaitu rasa cinta yang dalam terhadap bangsa dan tanah airnya. Nasionalisme itu menjadi daya dorong atau e‟lan vital bangsa dalam memperjuangkan cita-cita bersama (Kompas, 18 Agustus 2007). Hingga hari ini, sudah jelas bahwa cita-cita bersama bangsa Indonesia adalah Indonesia Raya
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
18
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Namun, apakah tantangan (challenge) bangsa Indonesia hari ini sudah diidentifikasi dengan akurat, sehingga kita bereaksi atau memberikan jawaban (response) yang tepat. Barangkali sekedar alat bantu, sejumlah tokoh telah menyebut ancaman serius pada abad ini, misalnya Dalai Lama (1999) menyebut „krisis kemanusiaan‟, Samuel P. Huntington (1998), „benturan peradaban‟, Karen Amstrong (2007), „krisis spiritual‟. Seorang ilmuwan, Francis Fukuyama (2005), mengemukakan bahwa ancaman terbesar abad ke-21 adalah fenomena munculnya negara gagal. Penyebab negara gagal adalah ketidakmampuan negara dalam menegakkan hukum dan ketergantungan yang tinggi pada pihak asing. Indikasi negara gagal antara lain meningkatnya kemiskinan, pengangguran, konflik dan kekacauan di masyarakat, serta munculnya teror dari kelompok-kelompok ekstrim (Soedarsono, 2009: p.35). Bahkan dalam hubungannya dengan Indonesia, otoritas Amerika Serikat, pernah memandang Indonesia akan menjadi negara gagal atau bentuk lain dari Yugoslavia. At the dawn of the millennium, many in Washington feared that Indonesia would become another Yugoslavia: a country long held together by authoritarian rule that would fracture along ethnic and religious lines to become a failed state and threat to regional stability (Murphy, 2010: p.362-363). Bila dicermati, ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, lebih banyak bersifat non-konvesional. Meskipun dalam Buku Putih Pertahanan Tahun 2008, dinyatakan bahwa ancaman yang membahayakan keamanan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara itu ada dua yaitu: ancaman militer dan ancaman nirmiliter (Tim Penyusun, 2012: p.173-176). Dalam versi Publik (Dijaring dengan 30 focus group
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
discussion Pokja Revolusi Mental Tim Transisi di Aceh, Jakarta, dan Papua), masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini antara lain: (1) krisis karakter; (2) intoleransi; (3) pemerintah ada tapi tidak hadir; (4) rakyat tidak dilibatkan dan hanya menjadi obyek pembangunan. Sementara menurut Versi Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan: (1) bangsa telah kehilangan nilai-nilai integritas; (2) perekonomian tertinggal dari negara lain karena kehilangan etos kerja, daya juang, daya saing, kemandirian, kreativitas, dan inovasi; (3) krisis identitas karena kehilangan karakter gotong-royong (Majalah Detik, 19-25 Oktober 2005). Menariknya, jauh sebelum Kemenhan mencanangkan program bela negara, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada Upacara Peringatan Hari Bela negara, 19 Desember 2014, menyampaikan bahwa tantangan dan ancaman terhadap kedaulatan bangsa, tidak lagi bersifat konvensional tetapi sifatnya sudah multidimensi. Bersifat multidimensi karena karakter ancaman dapat bersumber dari ideologi, politik, ekonomi sosial budaya. Dengan kata lain, program bela negara yang digagas pemerintah idealnya menjawab tantangan kebangsaan yang sudah berubah tersebut. Kerangka Berpikir Nasionalisme memiliki banyak arti dan penafsiran. Kohn (1891-1971), misalnya memperkenalkan dikotomi nasionalisme sipil (Barat) dan etnis (timur), yang mempengaruhi sejumlah ahli. John Plamenatz (1973), misalnya menyebut nasionalisme Barat sebagai nasionalisme yang lebih jinak dan sipil, sementara nasionalisme non-Barat cenderung “bermusuhan”, “tidak liberal”, “menindas” dan “berbahaya”. Sementara menurut James Kellas (1991), nasionalisme Barat sebagai inklusif dan liberal sedangkan nasionalisme Timur bersifat eksklusif dan sering menyebabkan otoritarianisme. Anthony D. Smith memperluas dikotomi Kohn dengan
19
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
membedakan dua jenis negara, yaitu bangsa teritorial atau sipil Barat dan konsep bangsa etnik Timur (1986). Ahli lainnya, Eric Hobsbawm, Ernest Gellner, Liah Greenfeld, secara kontras menyebut nasionalisme Barat sipil dan politik, sedangkan nasionalisme Timur etnis dan budaya (Jaskułowski, 2010: p.290). Dalam realitasnya, terminologi semacam itu tidak selalu sepenuhnya benar. Dalam konteks nasionalisme India, Timur memang mencerminkan nasionalisme budaya (Raju, 1993: p.1433). Sarvakar, secara tegas meyebut nasionalisme India adalah nasionalisme budaya. Hal itu juga diakui oleh Edward Said (Geeti, 2003: p.3-5). Namun dalam konteks Jepang dan Cina, nasionalisme Timur bersifat politik, sebab hubungan bilateral kedua negara tersebut didasarkan pada isu dan kepentingan negara kontemporer, sehingga dapat terjadi “benturan nasionalisme” (Chan dan Brian Bridges, 2010: 127). Untuk kasus Indonesia, nasionalisme mengandung unsur politik sekaligus budaya. Ketika gelombang kapitalisme dianggap mulai mengancam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden Soekarno menawarkan formula Tri Sakti, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Gagasan itu disampaikan dalam pidatonya yang bertajuk “Tahun Vivere Pericoloso/TAVIP” tanggal 17 Agustus 1964. Dengan kata lain, Soekarno menetapkan standar sukses bangsa Indonesia pada kedaulatan (sovereignty), martabat (dignity), dan karakter bangsa (nationonal character). Selain terminologinya yang bervariasi, nasionalisme juga dipahami dari beberapa sudut pandang. Secara negatif, begitu mendengar nasionalisme orang dapat berpikir tentang aktivitas cuci otak dari negara, terdapat ribuan orang yang siap mengorbankan diri untuk seorang diktator yang haus kekuasaan. Bahkan Albert Einstein menyebut nasionalisme “an infantile disease, the
measles of mankind” (penyakit kekanakkanakan, campak umat manusia). Beberapa ilmuwan politik menyalahkan nasionalisme sebagai penyebab perang sipil dan ambisi teritorial, mulai dari Rwanda dan Yugoslavia hingga Nazi Jerman dan Napoleon Perancis. Banyak ekonom melihatnya sebagai gangguan irasional dari prinsip-prinsip pasar bebas, menghambat pertumbuhan dan mendorong korupsi di seluruh negara berkembang. Ketika pecah perang di masa lalu, nasionalisme sering otomatis diasumsikan sebagai pihak yang bersalah, baik sebagai alat yang akan memungkinkan para pemimpin merekrut rakyat dalam pertempuran, maupun sebagai bahan bakar pemicu kemarahan. Pada titik ini, nasionalisme telah mendapat nama buruk (Casas, 2008: p.51). Namun, publisitas negatif yang membingungkan tersebut tidak seutuhnya menggambarkan sentimen terhadap nasionalisme itu sendiri. Sebab, sejumlah kalangan mengakui keberhasilan nasionalisme. Misalnya Mahatma Gandhi dianggap seorang nasionalis India yang jenius dengan ide antikekerasan (Mukhopadhyay, 2008: p.86). Juga di Sri Lanka, Bhikkhu Gangodawila Soma (1948-2003), dianggap seorang nasionalis yang mampu merefleksikan bagaimana wacana nasionalisme Buddhis terlibat dalam cara yang kompleks dengan kontradiksi modernitas dan globalisasi (Berkwitz, 2008: p.73-74). Contoh-contoh nasionalisme itu lebih menggambarkan persaudaraan luas yang konstruktif. Menurut Casas (2008), nasionalisme adalah perasaan persatuan dengan kelompok di luar keluarga dekat dan teman-teman (Nationalism is a feeling of unity with a group beyond one's immediate family and friends). Oleh karena itu dalam diri seorang nasionalis, tidak ada ruang kondusif bagi bencana perang. Label buruk terhadap nasionalisme merupakan pengecualian yang tergantung pada sudut pandang. Kesimpulan itu diperoleh tanpa mempertimbangkan secara mendalam
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
20
kasus yang lebih umum bahwa nasionalisme bukanlah akar beberapa kejahatan. Selain itu, banyak penelitian sebelumnya tentang penyebab perang, kekurangan satu komponen kunci: ukuran yang memadai tentang nasionalisme. Absennya ukuran itu, menjadikan mustahil untuk mengetahui apakah citra nasionalisme, katakanlah, sebagai poros kejahatan lebih intens daripada kekuatan yang lain menjelang 1939. Namun, sejumlah ilmuwan terlalu cepat menyalahkan nasionalisme untuk sejumlah persoalan (Casas, 2008: p.52). Oleh karena ketidaksepakatan yang luas dalam beberapa aspek tentang nasionalisme, maka untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut perlu ditetapkan komponen atau indikator nasionalisme. Menurut Morris, pada dasarnya nasionalisme berkaitan dengan identitas nasional, kepentingan nasional, dan politik nasionalis (1999: p.363-364). Pertama, identitas nasional mengacu pada perasaan subjektif atau sentimen keterikatan atau loyalitas individu terhadap „komunitas yang dibayangkan‟. Hal ini ditandai dengan intensitas sentimen ini dibandingkan dengan perasaan lain yang menyertainya, sehingga menempa identitas khas yang mendefinisikan kelompok („kita‟) dan individu („saya‟). Faktor-faktor internal identitas nasional, yaitu: ras, etnis, budaya, kekerabatan, bahasa, agama (yang disebut model Timur atau etnik/budaya) dan/atau ideologi politik, keyakinan, atau sejarah bersama (pengaruh eksternal model Barat atau sipil/politik) (Morris, 1999: p.364 -365). Kedua, Kepentingan nasional, mengacu pada gagasan nasionalisme sebagai prinsip politik, doktrin, atau ideologi, bukan sebagai sentimen yang menyertainya. Secara umum, doktrin nasionalis berpendapat bahwa keberadaan orang atau bangsa bersifat unik (sering dalam arti primordial), yang kepentingannya harus menang di atas orang atau bangsa lain. Kehadiran negara diperlukan untuk mempromosikan dan melindungi kepentingan-kepentingan
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
bangsa, dan prinsip ini berlaku universal. Singkatnya, doktrin nasionalis mengabadikan kepentingan nasional, tetapi tidak secara tegas mendefinisikannya. Akibatnya, gagasan kepentingan nasional sering digunakan agak statis dan reduksionis. Pada akhirnya, kepentingan nasional mengacu ke bagian dari nasionalisme yang berkaitan dengan perjuangan „membayangkan masyarakat‟ untuk mendefinisikan legitimasinya (Morris, 1999: p.365). Ketiga, politik nasionalis, menekankan nasionalisme sebagai gaya politik, daripada „rasa‟ atau „ideologi legitimasi‟. Hal itu meliputi gerakan politik baik untuk mencari atau mempertahankan kekuasaan negara „berdasarkan doktrin nasionalis‟. Politik nasionalis memfokuskan secara eksklusif pada pelaksanaan kekuasaan negara, sehingga hanya dapat dikategorikan pada tiga arena kebijakan, yaitu: politik, ekonomi dan budaya. Nasionalisme politik mengacu pada tindakan negara yang mempromosikan kedaulatan negara dan kemerdekaan vis-a-vis negara lain, merupakan upaya pemeliharaan loyalitas kepada negara dan lembaga negara, dan perlawanan terhadap loyalitas politik atau ide-ide yang memecah, melemahkan atau merusak negara. Nasionalisme ekonomi mengacu pada program negara yang melindungi atau mempromosikan kepentingan ekonomi negara dengan diskriminasi terhadap non-warga negara. Kebijakan ini berpusat pada masalah pertumbuhan ekonomi, kepemilikan alatalat produksi dan penggunaan produk nasional. Nasionalisme budaya mengacu pada kebijakan dan program yang memelihara cinta dan kesetiaan kepada budaya (bangsa) yang bertentangan dengan negara lain, dan yang melindungi budaya dari pengaruh asing atau kekuatan internal yang mungkin melemahkan atau merusaknya (Morris, 1999: p.365-366). Indikator yang disusun oleh Morris tersebut, secara tersirat sebangun atau mungkin mengacu kepada definisi bangsa
21
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
yang dikemukakan oleh Benedict Anderson. Menurut Anderson, bangsa didefinisikan sebagai „komunitas‟ politik‟ terbayang–dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat „terbatas‟ secara inheren sekaligus „berkedaulatan‟ (I propose the following definition of the nation: it is an imagined political community-and imagined as both inherently limited and sovereign) (Anderson, 1996: p.7). Berdasarkan definisi ini, bangsa meskipun secara fisik nyata, tetapi dikatakan sebagai komunitas politik terbayang, sebab solidaritas di antara mereka terbangun bukan atas dasar interaksi langsung (face to face), terlebih bagi negara yang memiliki populasi besar dalam wilayah yang luas, tetapi merupakan konstruksi mental dalam batas-batas identitas tertentu. Dengan kata lain, ikatan kesetiakawanan di antara mereka sangat tergantung pada kemampuan anggota komunitas untuk membayangkan dirinya sebagai bagian komunitas tersebut. Dibayangkan sebagai „berdaulat‟ karena bangsa memiliki otoritas untuk menaksir sendiri kebebasannya dalam hubungannya dengan bangsa lain. Bila mengacu kepada pendapat Anderson tersebut, maka faktor kognitif berperan penting bagi eksistensi suatu bangsa. Dengan kata lain, identitas nasional, kepentingan nasional, dan politik nasionalis sangat ditentukan oleh kemampuan warga bangsa untuk membayangkan dirinya. Cara pandang suatu bangsa terhadap diri dan linkungannya menjadi faktor yang krusial bagi persatuan nasional bangsa tersebut. Kondisi ini dapat dikonfirmasikan dengan teori Tantangan Respon (Challengeresponse Theory) Arnold Toynbee (1974). Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa peradaban tak ubahnya seperti makhluk organis: lahir, berkembang, matang dan terkubur. Meskipun terkubur, peradaban tersebut dapat mengalami „kelahiran kembali‟, asalkan terdapat minoritaskreatif yang merespon secara positif berbagai tantangan lingkungan.
Tantangan lingkungan nasionalisme Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia hari ini adalah globalisasi yang mengasilkan modernitas tingkat tinggi. Globalisasi telah melahirkan perubahan yang cepat dan kait mengkait di segala bidang. Globalisasi juga memungkinkan terjadinya eksploitasi sumber daya alam, ekspansi produk oleh kekuatan modal asing atas nama investasi. Di sisi lain, meluasnya informasi yang diproduksi teknologi informasi secara global menjadikan interaksi terjalin secara luas melintasi batas-batas kenegaraan. Menurut Morris (1999), globalisasi dan kebangkitan gerakan etnis dapat menjadi ancaman terhadap kekuatan dan tujuan negara-bangsa dari kedua ujungnya, yaitu terkait isu nasionalisme dan identitas nasional (1999: p.363). Fenomena itu bukanlah teori, tetapi fenomena nyata yang menandai berakhirnya milenium kedua. Oleh karena itu, tugas yang diperlukan dari minoritas kreatif adalah memodifikasi nasionalisme agar berguna dalam memakmurkan bangsa, mengurangi korupsi, dan menekan kejahatan (Casas, 2008: p.51-52). Tiga Gelombang Nasionalisme Indonesia Dalam istilah Yunani Kuno dikenal ungkapan panta rhei, yang berarti semua serba berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Ungkapan ini mirip dengan arti kata Anicca yang berarti ketidakkekalan. Dalam konteks nasionalisme, bangsa Indonesia telah mengalami tantangan yang bervariasi, sehingga menghasilkan konseptualisasi nasionalisme yang bervariasi pula. Kahin mencatat, nasionalisme Indonesia mutakhir berakar dari kondisi abad ke-20, tetapi akarnya menjalar hingga ke lapisan sejarah yang jauh lebih tua (2013: p.1). Berdasarkan dinamikanya, sesuai dengan terminologi Soedjatmoko dan Alisyahbana (1991), nasionalisme Indonesia pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu (1) nasionalisme
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
22
gelombang pertama atau nasionalisme prakemerdekaan; (2) nasionalisme gelombang kedua atau nasionalisme pascakemerdekaan; dan (3) nasionalisme gelombang ketiga atau nasionalisme Indonesia baru (Wiyatmi, 2013: p.179). Bila dilihat dari angkatan yang memperjuangkannya, menurut Sayuti Melik (1963), terdapat tiga angkatan, yaitu angkatan perintis, penegak dan pelaksana ((Feith dan Lance Castles, 1969: p.165). Di era Pra-kemerdekaan, nasionalisme Indonesia dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Pertama, upaya Belanda untuk membuat sekat-sekat politis berbagai daerah yang ada menumbuhkan patriotisme lokal, kemudian sikap tersebut menjelma menjadi antagonistik terhadap penguasa asing karena kekecewaan mereka dan pada akhirnya berkembang menjadi patriotisme kolektif. Kedua, kenangan atas kejayaan masa lalu terutama abad ke-9 dan ke-4 atas Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Ketiga, adanya Volksraad (Dewan rakyat) yakni majelis tertinggi bagi perwakilan orang Indonesia. Majelis ini menyadarkan berbagai tokoh dari berbagai daerah atas kesamaan hubungan yang mereka miliki terhadap Belanda. Keempat, perkembangan bahasa persatuan (lingua franca) Hindia Kuno, yaitu Melayu Pasar menjadi suatu Bahasa Nasional. Bahasa ini berhasil melampui area pemakainya dan menghancurkan solidaritas sempit dalam nasionalisme Indonesia (Kahin 2013: p.51-51). Nasionalisme gelombang pertama ini secara aktif diorganisasikan untuk melawan kolonial Belanda dan merealisasikan cita-cita mencapai Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, maka nasionalisme Indonesia memasuki gelombang kedua. Menurut Roeslan Abdul Gani (1957), nasionalisme Indonesia memiliki tiga aspek. Pertama, secara politik: menggantikan dominasi asing dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Kedua, secara sosial-ekonomi:
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangunkan masyarakat baru yang bebas dari kemiskinan dan kesengsaraan. Ketiga, secara kultural: menghidupkan kembali kepribadian Indonesia yang disesuaikan dengan perkembangan zaman (Feith dan Lance Castles, 1969: 162). Nasionalisme gelombang ketiga terjadi memasuki era 1970-an bersamaan dengan tumbuhnya modernitas di dunia ketiga dan perkembangan ideologi developmentalisme yang dibangun di atas dasar modernisasi (Fakih, 2004: 1). Nasionalisme pada fase ini berkaiatan dengan politik industrialisasi (the politics of industrialization) dan politik kesejahteraan nasional (the politics of national welfare) untuk mengejar negaranegara maju. Kesejajaran dan kerja sama internasional menjadi fokus nasionalisme pada fase ini. Pembangunan menjadi strategi utama mencapai kesejahteraan. Stabilitas politik menjadi sandaran pembangunan ekonomi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ditekankan untuk mencapai produktivitas dan efisisensi di segala bidang. Nasionalisme gelombang ketiga (Indonesia Baru) adalah nasionalisme yang bersifat terbuka, yang tidak hanya merujuk pada batas wilayah kenegaraan dan kebangsaan (Wiyatmi, 2013: p.179-180). Nasionalisme Masa Kini: Nasionalisme Postmodern Globalisasi adalah kata kunci pada dekade ini. Berbagai kalangan wartawan, politisi, eksekutif bisnis, akademisi, dan lain-lain menggunakan kata tersebut untuk menandakan bahwa sesuatu yang mendalam telah terjadi, bahwa dunia telah berubah dalam tatanan ekonomi, politik, dan budaya. Globalisasi telah memproduksi konfigurasi sejarah global baru, relativisme dan tatanan nilai baru. Globalisasi telah membuat lompatan kehidupan modern ke kehidupan postmodern. Hal ini sekaligus menjadi ciri abad ke-21, yaitu modernitas tinggi (hight modernity) (Hikam, 1999: p.109). Sejarah
23
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dunia postmodern dibatasi oleh identitas plural kontemporer (Wurgaft, 1995: p.67). Salah satu perbedaan utama antara modernisme dan postmodernisme berhubungan dengan pengetahuan dan sistem filosofis yang menyeluruh. Bila modernisme bersandar menuju kepatuhan terhadap esensialisme, dimana atribut dari suatu entitas sangat penting sebagai fungsi dan identitas, maka sebaliknya postmodernisme ditandai dengan skeptisisme dan permusuhan terhadap generalisasi (Podoshen, 2014: p.3-4). Cara mudah untuk memahami ini adalah dengan menghubungkannya hakikat hidup manusia, yaitu kerja. Menurut Podoshen, di era kapitalisme modern, antara kerja dan kehidupan pribadi terdapat garis pemisah yang jelas. Namun, di era postmodern saat ini tempat kerja dapat menjadi rumah atau sebaliknya. Semua itu karena kemajuan telekomunikasi yang memungkinkan orang bekerja dari berbagai tempat (2014: p.8). Di era postmodern, orang dapat menciptakan nilai tambah dari manapun. Produksi dan konsumsi tidak lagi terpisah, sehingga kehidupan publik dan privat hampir menyatu. Hal terutama difasilitasi oleh media sosial. Secara lengkap Podoshen mengatakan: …the ubiquity of social media has changed the face of our private and public lives forever. The blending of work and home was clearly facilitated by modern tools, however, as a consumption system, this process of blending deviates sharply from the modern realm whereby consumption and production are no longer separate entities. They are now inexorably intertwined as one can easily create economic value with personal devices, virtually anytime, anywhere. Value creation is no longer left to the office nor is it left between the hours of 9 to 5 (2014: p.8).
Dengan laju globalisasi yang melampui dunia Barat, dan kesukarelaan negara-negera lain untuk membuka diri, maka secara bertahap sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan, termasuk neonasionalisme akan ketinggalan zaman. Tom Nairn (2003), menyebut gejala ini sebagai nasionalisme “ambang modernitas”, dikarenakan postmodernitas politik masih belum selesai (Jakab, 2014: p.2). Kondisi pascamodern ditandai dengan beberapa hal. Pertama, klaim-klaim teoritis dan ideologis yang mapan digugat validitasnya. Kedua, era ini ditandai dengan konsumsi yang tinggi (hyper consumerism). Ketiga, di bidang politik terjadi kecenderungan mengadakan desentralisasi kekuasaan. Keempat, di bidang sosial budaya tercipta komunitas global (Hikam, 1999: 109-111). Walaupun cirinya dapat dikenali, mendefinisikan postmodernisme secara tepat bukanlah hal yang mudah, konsep ini masih samar-samar untuk menggambarkan metodologi, doktrin, atau kerangka statis teori (Hassan, 1987: p.23). Menurut Schwartzman, postmodernisme lebih memenuhi syarat sebagai semangat penyelidikan, sikap yang tidak percaya universalisasi dan mempromosikan wahyu inkonsistensi internal (Schwartzman, 1996: p.1). Singkatnya, postmodern menentang semua kemapanan tatanan yang dibangun di atas konsepsi era modern. Bila modernitas mendambakan stabilitas dan kenyamanan, maka postmodern diliputi ketidakpastian dan kecemasan. Postmodernitas didorong oleh pergeseran dari optimisme manusia modernitas (berdasarkan kepastian ilmiah dan kemajuan teknologi), menuju pesimisme, skeptisisme dan ketidakpastian. Bila di dalam modernitas tersedia semua jawaban, maka di dalam postmodernitas penuh pertanyaan. Bila dalam modernitas manusia menikmati alasan, ilmu pengetahuan dan kemampuan manusia, maka di dalam postmodernitas bergulat (dengan kepuasan atau kecemasan nihilistik) dalam mistisisme, relativisme,
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
24
dan ketidakmampuan mengetahui segala sesuatu dengan pasti. Di dalam postmodern yang menekankan pada perbedaan, pluralitas dan bentuk selektif toleransi terdapat inkosistensi dan absurditas. Sebagai pandangan dunia baru, postmodern bepegang pada prinsip tidak ada pandangan dunia (universalitas). Sebagai sebuah antitesa teori, postmodern menggunakan instrumen teoritis untuk menetralisir semua teori. Postmodern juga menuntut keseragaman untuk melawan keseragaman. Secara lebih sederhana, Hassan (1987) telah menginventarisasi karakteristik menonjol dari postmodernisme, yaitu: (1) mengedepankan ketidakpastian bukan finalitas. Resistensi finalitas ini juga menyiratkan penolakan terhadap teleologi sejarah; (2) pengakuan bahwa realitas adalah fragmentaris dan terputus, sehingga sejarah terputus tidak linear; (3) oposisi terhadap semua otoritas kanonik; (4) campuran bebas dari gaya, genre, dan tradisi; (5) penekanan pada persyaratan dan historisitas teori, yang menawarkan perspektif daripada jawaban akhir; (6) fokus pada proses penciptaan dan interpretasi bukan pada objek atau gagasan statis. Berdasarkan karakteristik di atas, dapat dikatakan bahwa postmodern adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan besar dalam cara berpikir, terutama cara melihat kebenaran dan realitas. Dalam konteks era, postmodern adalah tahap pembeda antara peradaban pra-modern dan modern. Postmodern menyiratkan modernitas tingkat tinggi. Di era pra-modern, agama adalah sumber kebenaran dan realitas. Keberadaan dan wahyu Tuhan seolah merupakan kodrat dalam budaya. Di era modern, ilmu pengetahuan menjadi sumber kebenaran dan realitas. Namun, di era postmodern, tidak ada sumber tunggal untuk menentukan kebenaran dan realitas di luar individu. Dalam dunia postmodern, kebenaran dan realitas secara individual
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
dibentuk oleh sejarah pribadi, kelas sosial, jenis kelamin, budaya, dan agama. Dengan kata lain, postmodern adalah relativisme dan individualisme ekstrim yang diterapkan dalam dunia ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, semua klaim makna universal dipandang sebagai upaya imperialistik yang meminggirkan dan menindas hak orang lain. Nilai yang paling penting dari postmodernitas adalah diterimanya totalitas semua cara untuk memandang setiap dimensi kehidupan. Postmodern menekankan perbedaan, pluralitas dan bentuk selektif toleransi. Untuk menjamin eksistensi sebuah bangsa yang sangat dinamis di era postmodern, yang dibutuhkan adalah patriotisme. Menurutnya, nasionalisme adalah sebuah ideologi, sedangkan patriotisme adalah sentimen. Nasionalisme bersifat statis, sedangkan patriotisme dinamis; nasionalisme memberikan keunggulan untuk identitas nasional yang diwakili dalam dan oleh negara, sementara patriotisme mengharapkan pelayanan kepada negara untuk kebutuhan masyarakat dan budaya; nasionalisme mengandaikan tingkat modernitas, sementara patriotisme lebih cocok untuk post-nasionalis, dunia postmodern (Jayal 2006: p.4513). Pada dasarnya, antara nasionalisme dengan patriotisme tidak dapat dipisahkan. Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme selain mengandung aspek kognitif, juga berisi tujuan dan strategi berbangsa. Kini di era postmodern, yang menjadi persoalan adalah bagaimana merumuskan strategi yang tepat untuk mengimplementasikan nasionalisme tersebut. Untuk menghadapi gempuran globalisasi yang seringkali membawa anomali, Profesor Akio Morita pernah menyarankan, “think globally, act locally” (Senn, 1995: p.2). Dalam konteks menghargai lokalitas, sebagai model analisis, pada kesempatan ini akan dipinjam pemikiran Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka. Dengan mempertimbangkan sejumlah kelemahan dan kekurangan yang
25
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dimiliki oleh bangsa Indonesia saat ini, maka strategi Gerilya yang ditawarkan Tan Malaka dipandang relevan. Gerilya adalah strategi yang ditawarkan oleh Tan Malaka ketika Indonesia didera kegamangan menghadapi kekuatan kolonial pascaKemerdekaan. Kata-katanya berikut dapat dijadikan inspirasi. Saya rasa salah satunya daya-upaya untuk menyelamatkan kapal negara yang terancam karam itu, ialah pembentukan Laskar Gerilya dimana-mana, di darat dan di laut! Perasaan perlunya dibentuk laskar Gerilya dimana-mana itulah yang sangat mendorong saya, merisalah “SANG GERILYA” ini! Taktik Gerilya yang mengacau-balaukan Tentara Napoleon di Spanyol pada abad yang lalu; taktik Gerilya sekepal Laskar-Boor yang mengocar-kacirkan Tentara Inggris yang kuat-modern pada permulaan abad ini di Afrika-Selatan, taktik Gerilya yang memusing-menggilabingungkan Tentara ber-mesinnya Fasis Jerman di Rusia pada perang Dunia kedua yang baru lalu ini….Taktik dan Laskar Gerilya adalah senjata yang maha-tajam bagi Rakyat Miskin tertindas; bersenjata serba sederhana saja, untuk menghalaukan musuh yang bersenjatakan modern. Gerilya yang dimaksud Tan Malaka bukan semata-mata dalam artian fisik, sebab pada bagian Kata Pengantar, buku yang berjudul Gerpolek (1948), Tan mengakui tidak sedang membahas latihan dan teknik perang, tetapi hukum kemiliteran yang berkaitan dengan politik dan ekonomi. Oleh Tan Malaka, Gerpolek merupakan akronim Gerilya, Politik, dan Ekonomi. Tujuan GERPOLEK adalah senjata seorang Sang Gerilya untuk membela PROKLAMASI 17 Agustus dan melaksanakan Kemerdekaan 100%, yang menurutnya kala itu sudah merosot ke bawah 10%.
Saat ini, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia hampir sama. Jika dahulu berhadapan dengan kekuatan modern, kini berhadapan dengan kekuatan postmodern. Lebih beratnya lagi, selain kekuatan teknologi dan modal di dunia postmodern, Indonesia juga menghadapi bangsa sendiri yang berkaitan dengan masalah korupsi, terorisme, narkotika dan konflik komunal. Mungkin juga kemerdekaan kita tinggal tersisa 10%. Sebelum menjawab mengenai bagaimana cara Sang Gerilya menghalau musuh itu. Ada baiknya kita tahu, siapakah SANG GERILYA itu. Kata Tan Malaka: Sang Gerilya, adalah seorang Putera/Puteri, seorang Pemuda/Pemudi, seorang Murba/Murbi Indonesia, yang taatsetia kepada PROKLAMASI dan KEMERDEKAAN 100% dengan menghancurkan siapa saja yang memusuhi Proklamasi serta kemerdekaan 100%. Sang Gerilya, tiadalah pula menghiraukan lamanya tempoh buat berjuang! Walaupun perjuangan akan membutuhkan seumur hidupnya, Sang Gerilya dengan tabah-berani, serta dengan tekad bergembira, melakukan kewajibannya. Yang dapat mengakhiri perjuangannya hanyalah tercapainya kemerdekaan 100%. Sang Gerilya, tiadalah pula akan berkecil hati karena bersenjatakan sederhana menghadapi musuh bersenjatakan serba lengkap. Dengan mengemudikan Taktik Gerilya, Politik dan Ekonomi, tegasnya dengan mempergunakan GERPOLEK, maka Sang Gerilya merasa Hidup Berbahagia, bertempur-terus-menerus, dengan hati yang tak dapat dipatahkan oleh musim, musuh ataupun maut. Seperti Sang Anoman percaya, bahwa kodrat dan akalnya akan sanggup membinasakan Dasamuka, demikianlah pula Sang Gerilya percaya, bahwa GERPOLEK akan
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
26
Volume II No. 1 September 2015
sanggup memperoleh kemenangan terakhir atas kapitalismeimperialisme. Bukankah Sang gerilya yang dimaksud Tan Malaka sama dengan minoritas kreatif yang maksud Toynbee (1974) atau The Concious View dari Roeslan Abdul Gani (1957). Mereka adalah golongan kecil rakyat yang sadar, sadar akan apa yang dirasakan oleh massa secara impulsief dan intuitief pada masanya (Feith dan Lance Castles, 1969: p.159). Hal itu mengingatkan kita, bahwa dalam setiap perubahan sejarah Indonesia selalu ada guru bangsa, tokoh-tokoh, dan angkatan-angkatan muda pejuangnya, mulai 1908, 1945, 1966, hingga 1998. Mereka hadir untuk merespon tantangan yang ada. Sebagaimana dikemukakan oleh Morris (1999) di atas, tantangan tentang nasionalisme berkaitan dengan identitas nasional, kepentingan nasional dan politik nasional. Atau dengan kata lain berkaitan dengan masalah jati diri bangsa, perjuangan mencapai cita-cita nasional, kebijakan negara di bidang politik (kedaulatan), ekonomi (kesejahteraan), dan budaya (cinta budaya). Menumbuhkembangkan nasionalisme di era postmodern untuk mencapai keunggulan kompetitif dan komparatif, merupakan tanggung jawab bersama negara dan warga-bangsa. Dalam menghadapi musuh yang lebih modern kuat dan bersenjatakan lengkap, strategi yang cocok menurut Tan Malaka (1948) adalah Gerilya. Dalam gerilya terdapat taktik Maju-Mundur. MAJU berguna untuk menghancurkan musuh dan MUNDUR supaya jangan dihancurkan oleh musuh. Berbeda dengan strategi lainnya, dalam gerilya, maju-mundur itu harus dilakukan sekaligus. Gagasan ini tidak menunjukkan kepengecutan, tetapi pragmatisme yang cerdik. Dalam konteks pertahanan nasional, budaya bangsa harus dijadikan modal untuk menopang perekonomian dan kedaulatan bangsa. Sebab budaya dapat dijadikan modal
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
pengembangan integrasi nasional, sekaligus alat diplomasi yang paling efektif. Indonesia memiliki ragam seni budaya yang teramat kaya. Bukankah negara-negara yang maju saat ini melakukan gerilya budaya melalui 3f (food, film dan fashion). Contoh yang paling aktual adalah keberhasilan korea menjual K-Pop (Korean Pop). Menurut Tan Malaka, terdapat sembilan taktik yang digunakan dalam perang gerilya. Taktik ini akan dijadikan analogi. Pertama, lakukanlah serangan pura-pura. Pura-pura di sini bukan berarti munafik, tetapi membangun landasan ekonomi, politik dan budaya secara mendasar dan mengakar. Akar yang paling tepat adalah falsafah bangsa Pancasila. Dengan kata lain, ekonomi, politik dan budaya yang perlu dibangun harus bercorak relijius, humanis, demokratis, berkeadilan dan mampu mempersatukan rakyat Indonesia. Kedua, jangan bertempur di lapangan terbuka. Bangsa Indonesia perlu secara selektif memilih potensi-potensi yang dapat dijadikan sarana mencapai keunggulan dalam pergaulan antarbangsa. Sebagai contoh, saat ini ekspansi sumber daya manusia yang kurang terdidik dan terlatih adalah cara yang tidak bijak, sebab akan memperburuk citra dan martabat bangsa. Demikian halnya, memberikan konsesi kepada negara-negara asing terhadap sumber daya alam Indonesia yang membutuhkan teknologi dan kecakapan tingkat tinggi, juga bukan pilihan yang tepat. Dalam artian fisik sekalipun, membuka front untuk berperang dengan negara lain adalah cara yang tidak cerdas. Indonesia perlu membangun, mempersiapkan dan mensinergikan gatragatra yang dimilikinya hingga mencapai taraf unggul. Ketiga, mundurlah, kalau diserang oleh pasukan yang kuat. Adakalanya terjadi tren dunia tertentu yang dapat merusak kepribadian bangsa atau mengancam sendi-sendi ekonomi dan politik nasional, maka cara terbaik untuk
27
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
mengatasinya adalah melakukan filter dan konsolidasi internal. Tren-tren buruk tersebut dapat berupa perilaku intoleransi, free-sex, penggunaan narkotika, kekerasan dan sebagainya yang dapat menyebar melalui berbagai media komunakasi secara masif. Pendidikan cinta tanah air perlu diperkenalkan dan diberikan secara humanis kepada rakyat Indonesia sejak usia dini hingga perguruan tinggi. Keempat, kepung dan hancurkanlah pasukan musuh yang kecil. Taktik ini dapat dimaknai bahwa untuk memenangkan tujuan yang lebih besar perlu dilakukan pembenahan terhadap halhal teknis yang menjadi penghalang. Untuk menciptakan ketertiban umum, penegak hukum harus bersih dan profesional. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kesejahteraan pendidik dan sarana pembelajaran harus diperhatikan. Untuk melindungi tumpah darah Indonesia, alat utama sistem pertahanan harus memenuhi minimum essential force, prajurit harus profesional, pembangunan di daerah tertinggal dan terdepan harus ditingkatkan. Untuk terlibat aktif dalam percaturan internasional, para diplomat harus memiliki wawasan kebangsan yang baik, masalah hak asasi manusia harus diselesaiakan. Kelima, pancinglah musuh ke dalam perangkap. Indonesia perlu menggali dan mempromosikan semua daya pesonanya secara terus menerus. Pesona itu dapat berupa fisik maupun non-fisik. Bentang alam Indonesia yang oleh Soekarno disebut „Zamrut Katulistiwa‟, adalah salah satu daya tarik bagi bangsa lain yang harus dikelola untuk kepentingan nasional. Berbagai adat istiadat disertai sikap ramah rakyat Indonesia adalah modal non-fisik yang bisa digunakan untuk menarik bangsa-bangsa lain berkunjung, sehingga diperoleh nilai tambah bagi bidang ekonomi, budaya dan politik. Keenam, terkamlah musuh dengan sekonyong-konyong. Berbagai persoalan dan ketertinggalan Indonesia saat ini harus segera diselesaikan. Indonesia harus
memiliki target jangka pendek yang sangat revolusioner, misalnya bebas korupsi. Masalah ini tidak cukup diselesaikan dengan slogan revolusi mental, tetapi membutuhkan tindakan yang sangat luar biasa. Langkah ini pernah ditempuh oleh Cina di masa Deng Xiao Ping (19821987), hukum ditajamkan untuk semua golongan. Kepemimpinan yang kuat dan kemauan baik elit dibutuhkan dalam hal ini. Ketujuh, pusatkan tenaga ke urat nadi musuh. Musuh di sini dapat diartikan sebagai segala hambatan dan tantangan yang paling fundamental. Secara internal, persoalan bangsa Indonesia berkaitan dengan masalah karakter. Secara eksternal, persoalan Indonesia berkaitan dengan masalah ketertinggalan di bidang sumber daya manusia. Di era digital, sumber daya manusia Indonesia harus dipersiapkan tidak hanya sebagai pengguna pasif, tetapi sebagai perekayasa aktif yang mampu mengambil peran signifikan. Saat ini, bisnis daring di Indonesia menjadi incaran menggiurkan investor asing. Negara lain juga ingin belajar dari Indonesia. Belum lama ini, beberapa entrepreneur muda Indonesia diundang ke konferensi startup terbesar di Australia, Sydstart, (29-30 Oktober 2015) di Sydney. Kedelapan, samberlah dengan cepat-hebat seperti kilat-petir. Artinya, masyarakat Indonesia harus segera memanfaatkan segala inovasi dan daya kreasinya. Sebab, inovasi dan daya kreasi menjadi kekuatan abad ini. Sumber daya alam yang dimiliki Indonesia harus dikelola dengan sentuhan kreativitas dan inovasi anak negeri sendiri. Perlu dipikirkan agar Indonesia memiliki julukan baru, julukan yang mencengangkan dunia. Kesembilan, menghilanglah dengan cepat-tak-kelihatan seperti topan. Inovasi untuk memajukan budaya harus terus menerus dilakukan hingga suatu saat Indonesia menjadi role model pengembangan budaya. Indonesia harus mengubah diri dari negara pengguna menjadi raksasa pemroduksi di bidang ide,
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
28
ekonomi dan budaya. Contoh menghilang secepat kilat ini dilakukan oleh Jepang dalam mengelola teknologi. Negeri Sakura ini bukanlah negeri tempat penemuan dunia, tetapi berbagai produk unggulan di bidang teknologi dihasilkannya. Jepang dikenal sebagai negara penghasil produk bermutu, bukan sebagai negara pengembang. Semua taktik di atas, akan berhasil bila didukung oleh sejumlah prasyarat. Pertama, pemimpin negara harus membuat rencana dengan cepat-tepat. Apapun rencananya harus diarahkan pada fokus kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kebudayaan nasional. Kedua, pemimpin negara ini harus berintegritas dan tegas sehingga menjadi sumber inspirasi dan ditaati. Ketiga, dalam mencapai cita-cita nasional diperlukan keuletan, tekad, ketabahan dan keberanian dari segenap warga-bangsa. Keempat, mempunyai semangat pantang menyerah dan berjiwa pemenang. Kelima, bisa membaca peluang dan membangun citra positif baru di mata dunia. Keenam, bisa cepat-tepat mengukur kekuatan musuh dan menyerang gelang rantai yang lemah pada saat yang terbaik. Terakhir, sanggup secara terus menerus memegang inisiatif dan menyerang musuh. Kesimpulan Nasionalisme merupakan persoalan yang penting bagi persistensi dan eksistensi bangsa Indonesia. Esensi nasionalisme adalah rasa cinta dan kerelaan berkorban untuk tanah air. Nasionalisme bagi bangsa Indonesia dibutuhkan sebagai spirit untuk mencapai cita-cita bersama bangsa Indonesia, yaitu Indonesia Raya yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Nasionalisme Indonesia mengalami dialektika yang dinamis sesuai dengan tantangan (challenge) yang dihadapinya. Indonesia telah mengalami beberapa gelombang nasionalisme. Gelombang pertama, nasionalisme pra-kemerdekaan; gelombang kedua, nasionalisme pasca-kemerdekaan;
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
gelombang ketiga nasionalisme era modernisasi. Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme mengandung aspek kognitif, juga berisi tujuan dan strategi berbangsa. Sebagai strategi untuk menjawab (response) masalah kebangsaan, nasionalisme pada dasarnya disusun dengan memperhatikan aspek identitas nasional, kepentingan dan politik nasional. Setelah nasionalisme era modern, Indonesia segera memasuki era postmodern dengan tantangan yang lebih kompleks. Era postmodern yang dicirikan dengan perkembangan yang cepat, relativisme dan ketidakpastian. Fenomena ini menjadikan kita harus think unthinkable, believe unbelievable. Keadaan itu perlu dihadapi dengan strategi yang tepat. Dengan mempertimbangkan kondisi Indonesia saat ini, maka konsep Gerilya yang dikemukakan Tan Malaka (1948), dapat dijadikan sebagai model analisis yang paling tepat. Daftar Pustaka Anderson, Benedict. 1996. Imagined Communities: Reflections on The Origin and Spread of Nationalism (Revised Edition). London & New York: Verso. “Bela Negara Tetapi Bukan Tentara”, dalam Detik, 19-25 Oktober 2005. Berkwitz, Stephen C. 2008. “Resisting the Global in Buddhist Nationalism: Venerable Soma's Discourse of Decline and Reform”. Dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 67, No. 1 (Feb., 2008), hal. 73-106. Chan, Che-po dan Brian Bridges. 2006. “China, Japan, and The Clash of Nationalisms”. Dalam Asian Perspective, Vol. 30, No. 1 (2006), hal. 127-156. Casas, Gustavo de las. 2008. “Is Nationalism Good for You?” Dalam Foreign Policy, No. 165 (Mar. - Apr., 2008), hal. 50-56. Dhakidae, Daniel. 2014. Membulatkan Lingkaran Kekuasaan:
29
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Perjalanan dari Negara Kuat ke Masyarakat Kuat, Godaan dan Konsekuensi Kembali ke Negara Kuat. Naskah Orasi Kebudayaan yang dibawakan untuk “Rumah Kebangsaan” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 9 April 2014. Fakih, Mansour. 2004. “Neoliberalisme dan Globalisasi”. Dalam Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004, hal. 1-12. Feith, Herbert dan Lance Castles (Ed.). 1969. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3S. Geeti, Seen. 2003. “National Culture and Cultural Nationalism”. Dalam India International Centre Quarterly, Vol. 29, No. 3/4, India: A National Culture? (Winter 2002-Spring 2003) Gellner, Ernest. 1981. “Nationalism”. Dalam Theory and Society, Vol. 10, No. 6 (Nov., 1981), hal. 753776. Hassan, I. 1987. “Plualism in postmodern perspective”. Dalam M. Calinescu dan D. Fokkema (Eds.), Exploring postmodernism. Amsterdam: John Benjamins. Herbert Feith dan Lance Castles (ed.). 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3S. Hikam, Muhammad A.S. 1999. Politik Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga. Jakab, Dénes-Barna. 2014. “Postmodern Theories and New Nationalisms of The West: The Ideal-Typical Case of Scotland”. Dalam International Relations Quarterly, Vol. 5. No.1. (Spring 2014/1 Tavasz) Jaskułowski, Krzysztof. 2010. “Western (civic) „versus‟ Eastern (ethnic) Nationalism. The Origins and Critique of the Dichotomy”. dalam Polish Sociological Review, No. 171 (2010), hal. 289303.
Jayal, Niraja Gopal. 2006. “Revisiting Nationalism”. Dalam Economic and Political Weekly, Vol. 41, No. 42 (Oct. 21-27, 2006), hal. 45134515. Kahin, George McTurnan. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu. Kay, Adrian. 2006. The Dynamics of Public Policy: Theory and Evidence. UK: Edward Elgar Publishing Limited, Glensanda House, Montpellier Parade, Cheltenham. Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Malaka, Tan. 1948. GERPOLEK (Gerilya Politik - Ekonomi Tan Malaka (1948), Moerhan Collection. Kontributor: Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Maret 2008). Mukhopadhyay, Amitabh. 2008. “Nationalism and History”. Dalam Economic and Political Weekly, Vol. 43, No. 16 (Apr. 19 25, 2008), hal. 86-87. Murphy, Ann Marie. 2010. “US Rapprochement with Indonesia: From Problem State to Partner”. Dalam Contemporary Southeast Asia, Vol. 32, No. 3, America Reengages Southeast Asia (December 2010), hal. 362-387. Naskah Sambutan Presiden Republik Indonesia Pada Upacara Peringatan Hari Bela Negara, 19 Desember 2014 di Jakarta. Podoshen, Jeffrey S. 2014. “Reactionary Modernism: An Essay on the Post-postmodern Condition”. Dalam Journal of Research Consumers, Issue 25, 2014. hal. 1-19. Raju, A. Raghurama. 1993. “Problematising Nationalism”. Dalam Economic and Political Weekly, Vol. 28, No. 27/28 (Jul.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
30
3-10, 1993), hal. 14331435+1437-1438. Senn, James A. 1995. CEO Interview: Global Management Challenges Akio Morita Chairman Sony Corporation©Copyright 1995 James A. Senn. All rights reserved. Schwartzman, Roy. 1996. “Postmodernism and The Practice of Debate”. Dalam Contemporary Argumentation and Debate 17 (1996), hal. 1-18. Tim Penyusun. 2012. Buku Modul Pendidikan Kewarganegaraan Kurikulum Perguruan Tinggi Berbasis Kompetensi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Toynbee, Arnold. 1974. Study of History (Abridged by Somervell). New York and London: Deil Publishing. Wardhani, Baiq. 2011. “ Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer”. Dalam Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011, hal. 217-236. Wiyatmi. 2013. “Konstruksi Nasionalisme dalam Novel-Novel Indonesia Prakemerdekaan (Student Hijo dan Salah Asuhan)”, dalam Kawistara Vol. 3 No. 2, 17 Agustus 2013. Wurgaft, Lewis D. “Identity in World History: A Postmodern Perspective”. Dalam History and Theory, Vol. 34, No. 2, Theme Issue 34: World Historians and Their Critics. (May, 1995), hal. 67-85.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
31
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
MULTIMEDIA INTERAKTIF PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA BERBASIS LECTORA INSPIRE X.6 Kuatno, Hariyanto CST Bhakti Utama Jakarta Barat
[email protected] Abstrak Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk merancang dan membuat media pembelajaran berbasis multimedia interaktif. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (Research and Development) yang dilakukan di SMP PGRI 2 Kaloran, SMP Negeri 2 kaloran, dan SMP Smaratungga Boyolali. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuisioner (angket) yang disebar kepada 30 responden dalam tahap uji coba kelompok kecil dan 50 responden dalam tahap uji coba kelompok besar. Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan dengan teknik Delphi. Analisis data secara kuantitatif dilakukan dengan bantuan program SPSS 15.0 For Windows. Hasil penelitian ini adalah media pembelajaran dinyatakan layak berdasarkan uji kelayakan yang dilakukan oleh ahli media pembelajaran dengan persentase total sebesar 93,9%, ahli materi dengan presentase total sebesar 84,0%, hasil uji coba kelompok kecil dengan persentase total sebesar 87,4%, dan uji coba kelompok besar dengan persentase total sebesar 89,2%. Dari hasil uji di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan Agama Buddha Sekolah Menengah Pertama menggunakan software Lectora Inspire X.6 layak diterapkan dalam proses pembelajaran. Kata Kunci : Lectora Inspire X.6, Media Pembelajaran, Multimedia Interaktif, Pendidikan Agama Buddha.
Abstract This development research aims to design and create Learning Media Based on Interactive Multimedia This study uses the research and development approach being done in SMP PGRI 2 Kaloran, SMPN 2 Kaloran, and SMP Smaratungga Boyolali. Data collection technique uses a questionnaire that is distributed to 30 respondents in the trial testing and 50 respondents in a large group. Qualitative descriptive data analysis is done by using Delphi. Quantitative data analysis performs with SPSS 15.0 for Windows. Results of this study areLearning Media Instructional media declared eligible based on the due diligence performed by the media experts with a total percentage of 93.9%, a material experts with a total percentage of 84.0%, the test results of small groups with a total percentage of 87.4%, and trials large groups with a total percentage of 89.2%. From the test results it can be concluded that Learning Media Based on Interactive Multimedia for Buddhist Religious in Junior High Schoolby using software Lectora Inspire X.6 is feasible in the learning process. Keywords: Lectora Inspire X.6, Learning Media, Interaktive Multimedia, Pendidikan Agama Buddha.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
32
PENDAHULUAN Dewasa ini dunia pendidikan mengalami perkembangan dari berbagai segi, baik dari segi kurikulum, metode, media, maupun strategi pengajarannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa guru tidak hanya dituntut untuk profesional dalam mengajar, namun juga diharapkan mampu menguasai berbagai kemampuan yang dalam hal ini adalah berkaitan dengan media pembelajaran. Penguasaan guru terhadap media pembelajaran mampu memberikan hal positif dalam pelaksanaan pembelajaran karena pembelajaran menjadi lebih bervariasi dan tidak monoton dengan hanya menggunakan kata-kata (verbalisme). Pada prinsipnya pelaksanaan proses pembelajaran melibatkan beberapa komponen yang saling menunjang bagi tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan. Penguasaan media pembelajaran bagi seorang guru sangatlah penting, karena dengan adanya media pembelajaran guru dapat memberikan pembelajaran yang lebih bervariasi sehingga peserta didik tidak merasa bosan dengan pembelajaran yang berlangsung. Guru harus mampu mengembangkan dan memilih media yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Faktor pendukung dalam proses belajar mengajar diantaranya adalah media pembelajaran. Media pembelajaran merupakan sarana bagi guru/pendidik untuk menyampaikan materi dan mempermudah peserta didik dalam memahami materi yang diberikan. Pemaanfaatan media dalam proses pembelajaran merupakan salah satu upaya untuk mengatasi berbagai macam kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran tersebut. Media dalam proses pembelajaran selain sebagai penyaji stimulus juga untuk meningkatkan keserasian pembelajaran terutama dalam menerima informasi. Sehingga media juga berfungsi sebagai perantara. Media pembelajaran yang digunakan dalam dunia pendidikan harus
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
relevan dan efektif dengan kondisi peserta didik. Media pembelajaran merupakan salah satu komponen yang mempunyai peranan penting dalam pembelajaran. Jika dipahami lebih lanjut media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan. Media pembelajaran dapat mempertinggi kualitas proses belajar peserta didik dalam pembelajaran yang pada gilirannya dapat meningkatkan hasil belajar yang dicapainya. Pemanfaatan media seharusnya merupakan bagian yang harus mendapat perhatian dalam setiap kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu guru perlu mempelajari bagaimana menetapkan media pembelajaran agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran pendidikan agama Buddha dapat dilakukan dengan berbagai media dan metode. Namun kenyataan dilapangan seringkali proses pembelajaran tidak sesuai dengan harapan. Pentingnya peran media pembelajaran seringkali tidak dimaksimalkan karena kreativitas guru dalam membuat media pembelajaran sangatlah kurang. Dalam hal ini guru harus mampu mengidentifikasi, menyusun dan mengembangkan serta menilai bahan atau materi, memilih strategi, memilih media dan model pembelajaran yang kreatif dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran. Guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang lebih menyenangkan sehingga memungkinkan peserta didik memiliki hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. Komputer merupakan suatu mesin yang selalu mengalami perkembangan dengan begitu pesatnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun meskipun demikian, dalam bidang pemanfaatannya masih belum maksimal. Banyak sekolah-sekolah yang sudah dilengkapi dengan fasilitas komputer yang hanya digunakan atau dimanfaatkan untuk mempelajari bidang komputer saja. Padahal jika dilihat dari
33
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
segi kemampuannya, komputer dapat dimanfaatkan di bidang yang lain. Misalnya komputer yang menggunakan perangkat lunak multimedia, dapat menggabungkan teks, grafik, dan animasi sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan minat belajar peserta didik sehingga dapat memahami materi yang telah disampikan dengan baik. Teknologi multimedia memberikan kesempatan besar dalam merubah cara seseorang untuk belajar dan mencari informasi. Selain itu multimedia juga menyediakan peluang bagi para guru untuk mengembangkan media pembelajaran interaktif (MPI) yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Bahkan dengan adanya teknologi multimedia peserta didik akan lebih mudah dalam menyerap materi yang diajarkan secara efektif dan efisien, karena tidak hanya terfokus pada buku, teks dan ceramah di kelas. Secara harafiah, Arsyad (2011, p. 3) mengungkapkan bahwa kata media merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang berasal dari bahasa latin “medius” yang memiliki arti “tengah”, “perantara” atau “pengantar”. Oleh karena itu media dapat diartikan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Selain pengertian di atas, Wina Sanjaya (2008, p. 205) juga berpendapat bahwa media pembelajaran adalah meliputi perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Sementara itu, Association for Education and Communication technology/AECT) mendefinisikan media sebagai benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan dengan baik dalam kegiatan belajar mengajar, yang dapat mempengaruhi efektifitas program instruksional (Asnawir, dkk, 2002, p. 11). Garlach & Ely dalam Wina Sanjaya (2008, p. 204) menyatakan “A medium, conceived
is any person, material or event that establishs condition which enable the learner to acquire knowledge, skill and attitude”, yang berarti bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat peserta didik mampu memperoleh pengetahuan, ketrampilan atau sikap. Pada zaman Sang Buddha, dalam Malika Sutta dikisahkan ada seorang Ratu bernama Ratu Malika yang memiliki kecantikan sangat luar biasa hingga kesombongan selalu menyertainya. Dengan kekuatan batin yang luar biasa, Buddha menyadarkan Ratu Malika dengan menciptakan penampakan visual yang menggambarkan proses kehidupan yang secara nyata adalah tidak kekal. Dari penampakan itu kemudian Ratu Malika menyadari bahwa kecantikan yang dimiliki adalah tidak kekal. Dengan menyadari hal tersebut akhirnya Ratu Malika memperoleh pencerahan Batin (Bodhi, 2010, p. 235). Menurut Buddhajayamanggala Gatha, Buddha juga menunjukan bagaimana menyadarkan sesosok naga Nandopananda yang memiliki kesaktian tinggi dan berpengertian salah. Buddha meminta Y.A. Moggallana Thera untuk menaklukannya dengan menjelma menjadi Naga dengan kesaktian yang dimilikinya (Dhammadiro, 2005, p. 111). Lebih dari itu dalam dalam Angutara Nikaya 3.60 Buddha juga menunjukan kepiawaian penggunaan media dalam hal mengajar muridnya. Dikisahkan pada waktu itu ada seorang Bhikkhu yang sangat bodoh bernama Cula Panthaka. Meskipun sudah sudah lama ditahbiskan menjadi Bhikkhu, namun untuk menghafal satu bait ajaran, Bhikkhu Cula Panthaka sangat kesulitan. Sang Buddha yang mengerti akan kondisi batin Bhikkhu Cula Panthaka kemudian memberikan satu potong kain putih dan meminta Bhikkhu Cula Panthaka menggosok-gosok dengan tangannya. Bhikkhu Cula Panthaka menuruti petunjuk Sang Buddha dan akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
34
dengan menyadari bahwa “batin yang tadinya bersih dapat menjadi kotor karena ketamakan, kebencian, dan ketidaktahuan” seperti halnya kain putih yang digosokgosok dan menjadi kotor.(Handaka Vijjananda, 2013, p. 23). Kemudian Gagne & Briggs dalam Arsyad (2002, p. 4) mengemukakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pembelajaran yang terdiri dari : buku, tape recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, televisi dan komputer. Adapun media pembelajaran menurut Ibrahim dan Syaodih (2003, p. 112) diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan peserta didik, sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar. Sedangkan menurut Djamarah, dkk (2002, p. 36) media pembelajaran adalah penyalur informasi belajar atau pesan dari guru kepada peserta didik. Komputer termasuk salah satu media pembelajaran. Penggunaan komputer dalam pembelajaran merupakan penerapan teknologi dalam pendidikan. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa media merupakan sarana atau alat bantu yang digunakan guru dalam rangka meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang disajikan dalam proses interaksi pembelajaran. Penggunan media pembelajaran dapat membantu meningkatkan pemahaman dan daya serap peserta didik terhadap materi pelajaran yang dipelajari. Berikut ini fungsi-fungsi dari penggunaan media pembelajaran menurut Asnawir & Usman (2002, p. 24) : 1) Membantu memudahkan belajar bagi peserta didik dan guru dalam mengajar; 2) Memberikan pengalaman lebih nyata / konkrit;
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
3) Dapat menarik perhatian peserta didik karena pembelajarannya yang menyenangkan; 4) Semua indra peserta didik dapat diaktifkan; 5) Lebih menarik perhatian dan minat peserta didik dalam belajar. Media memiliki manfaat yang begitu besar dalam dunia pendidikan. Edgar Dale dalam Wina Sanjaya (2008, p. 206) mengungkapkan bahwa pengetahuan peserta didik akan semakin abstrak apabila hanya disampaikan menggunakan bahasa verbal tanpa adanya alat bantu berupa media. Dari pendapat tersebut memberikan bukti bahwa media pembelajaran sangatlah dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Sedangkan Kemp & Dayton dalam Sigit Prasetyo (2007, p. 7) mengemukakan manfaat penggunaan media dalam pembelajaran sebagai berikut : 1) Penyampaian materi dapat diseragamkan; 2) Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik; 3) Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif; 4) Efisiensi waktu dan tenaga; 5) Meningkatkan kualitas hasil nelajar siswa; 6) Media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja; 7) Media dapat menumbuhkan sikap positif peserta didik terhadap materi dan proses belajar; 8) Mengubah peran guru ke arah yang lebih positif dan produktif. Dari penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan dari penggunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat mengarahkan perhatian peserta didik sehingga menimbulkan motivasi untuk belajar serta memudahkannya dalam memahami materi yang diajarkan. Media pembelajaran berbasis multimedia interaktif adalah media pembelajaran
35
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dengan alat bantu komputer yang memanfaatkan program multimedia yang tertanam di dalamnya. Penggunaan komputer sebagai media pembelajaran interaktif dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, diantaranya program Computer Asisted Learning (CAL), konferensi komputer, surat elektronik (email), dan komputer multimedia yang kemudian disebut sebagai multimedia pembelajaran interaktif. Multimedia dapat diartikan sebagai gabungan dari berbagai media yang terdiri dari teks, grafis, gambar, animasi, suara dan video yang berfungsi untuk mengantarkan pesan yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan alat yang dapat difungsikan secara bersamaan. Bambang Warsita (2008, p. 153) mengartikan multimedia sebagai komputer yang dilengkapi dengan CD-Player, Sound Card, Speaker dengan kemampannya memproses gambar gerak, audio dan grafis dalam resolusi yang tinggi. Kemudian menurut Murni dalam Bambang Warsita (2008, p. 154) mengartikan multimedia pembelajaran sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (pengetahuan, ketrampilan dan sikap), serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian serta motivasi belajar peserta didik. Dibandingkan dengan jenis media lainnya, program multimedia Interaktif memiliki beberapa kelebihan. Adapun kelebihan dari multimedia Interaktif seperti diungkapkan oleh Bambang Warsita (2008, p. 155) antara lain: 1) Fleksibel Multimedia interaktif memiliki sifat fleksibilitas baik dalam pemberian kesempatan untuk memilih isi setiap mata pelajaran yang disajikan, waktu, atau variasi serta penempatannya untuk di akses. 2) Self-pacing memiliki arti bahwa multimedia interaktif bersifat melayani kecepatan belajar individu, dengan kata lain kecepatan waktu pemanfaatannya sangat tergantung pada kemampuan
dan kesiapan yang dimiliki masingmasing peserta didik dalam menggunakan multimedia interktif tersebut. 3) Content Rich Program menggunakan multimedia interaktif memiliki banyak kandungan isi dan informasi yang dapat disajikan lewat berbagai jenis media yang ada didalamnya. 4) Interaktif Multimedia interaktif merupakan media yang memiliki sifat komunikasi dua arah, artinya media ini memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk memberikan respon dan melakukan berbagai aktivitas yang pada akhirnya juga mendapatkan respon balik dari media tersebut. 5) Individual Multimedia interaktif bersifat melayani kecepatan belajar individu, karena sejak awal memang sudah dirancang dan disedikan untuk memenuhi minat dan kebutuhan belajar individu peserta didik. Multimedia Interaktif selain memiliki kelebihan di beberapa aspek, namun juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Keahlian khusus merupakan hal utama yang perlu diperhatikan ketika ingin membuat multimedia interaktif, sehingga ini merupakan kelemahan utama yang perlu diperhatikan. Lebih lanjut Bambang Warsita (2008, p. 139) juga mengungkapkan beberapa kelemahan dari multimedia interaktif , sebagai berikut : 1) Hanya akan berfungsi untuk hal-hal yang telah diprogramkan saja ; 2) Memerlukan peralatan (komputer) sebagai sarana untuk dapat menggumakannya ; 3) Perlu adanya kemampuan pengoperasian, untuk itu perlu ditambahkan petunjuk penggunaan (user guide) ; 4) Pengembangannya memerlukan adanya tim yang profesional ; 5) Memerlukan waktu yang relatif lama untuk menghasilkan multimedia interaktif yang siap digunakan ; 6) Tidak ada sentuhan manusiawi sehingga ikatan emosional antara guru dengan peserta didik tidak terjadi.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
36
Lectora Inspire X.6 merupakan salah satu software yang digunakan untuk pengembangan konten E-Learning / multimedia pembelajaran dan presentasi dengan bantuan komputer (Computerize). Lectora dikembangkan oleh Trivantis Corporation. Pendirinya adalah Timothy D. Loudermilk di Cincinnati, Ohio, Amerika tahun 1999. (Nur Sidik, 2014, p. 1). Lectora Inspire X.6 sebagai software yang digunakan untuk pengembangan e-learning memiliki banyak fitur pendukung yang sudah tertanam di dalamnya. Fitur pendukung yang disertakan dalam Lectora Inspire adalah berupa program-program yang sangat membantu dalam pengembangan E-Learning menggunakan Lectora Inspire tersebut. Adapun beberapa program tersebut antara lain : 1) Snagit : Program ini digunakan untuk meng-Capture tampilan yang ada di dekstop sehingga tampilan dekstop dapat disimpan dalam bentuk gambar. Program ini memiliki fungsi yang sama dengan program bawaan windows yaitu Snipping tools. 2) Camtasia : Program ini digunakan untuk membuat tutorial video profesional, mengedit video, audio, transisi, serta media audio video lainnya. 3) Flypaper : Program ini digunakan untuk membuat animasi flash, transisi, dan efek spesial. Software Lectora Inspire memliki spesifikasi yang tidak terlalu tinggi sehingga software tersebut dapat beroperasi hampir disemua sistem windows. Namun demikian untuk mendapatkan kinerja yang baik maka ada persyaratan minimum sistem yang harus dimiliki untuk dapat menggunakan sofware Lectora Inspire tersebut. Persyaratan sistem yang harus dimiliki antara lain : Intel atau AMD processor (1.5 GHz), 1 GB RAM, 900 MB Hard Drive kosong, Microsoft Windows XP, Vista, Seven 7, Windows 8, Internet Explore 6.0 ke atas, Mozilla Firefox 1.0 ke atas, Google
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Chrome, Microsoft DirectX 9, Microsoft NET Framework 3.5 SP1, dan Adobe Flash Player V.9.0.115.0.(Nur Sidik, 2014 : 2). Software Lectora inspire dapat diperoleh dengan langsung mendownload dari situs resmiya yaitu www.trivantis.com. Setelah file berhasil didownload maka langkah selanjutnya adalah penginstalan ke komputer/PC. Pastika persyaratan sistem sudah terpenuhi. Berikut ini adalah langkah-langkah penginstala Lectora Inspire ke komputer : 1) Klik file SetupInspireDemo.exe sehingga muncul window lectora dan pilihan bahasa.
Gambar 1 Tampilan Window Lectora dan Instaler Language 2) Pilih English kemudia klik OK dan akan muncul License Agreement. Pilih tombol I Agree.
Gambar 2 Tampilan License Agreement 3) Selanjutnya akan muncul Window Choose Component. Pada bagian
37
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Select Type, pilih Typical lalu tekan Next.
Gambar 3 Tampilan Window Choose Component 4) Langkah selanjutnya cukup tekan tombol Next hingga proses Instalasi program Selesai. Lectora Inspire X.6merupakan sebuah Software yang dapat digunakan untuk membuat slide presentasi dengan tampilan yang menarik. Dengan perangkat lunak tersebut dapat dengan mudah menghasilkan presentasi yang menarik untuk gambar, teks, model video, dan data serta dapat memilih banyak cara untuk menampilkan konten presentasi. Lectora Inspire X.6memiliki banyak kemudahan, diantaranya yaitu: mendukung berbagai jenis konten, seperti gambar, teks, video, tabel, serta navigasi. Perangkat lunak tersebut juga sudah dibekali dengan template yang menarik sehingga pengguna dapat menggunakan template tersebut untuk presentasi. Selain beberapa kemudahan di atas, Lectora Inspire X.6juga dilengkapi dengan fitur Multi-export yaitu meliputi file “gambar”, “xml”, “html5”, “video”, dan “.exe”. Dengan adanya fitur Multi-export tersebut memungkinkan pengguna untuk menggunakan presentasi yang dihasilkan pada semua jenis perangkat yang mendukung tanpa harus menginstal Lectora Inspire X.6terlebih dahulu. Kemudian Muhammad Mas‟ud (2012, p. 2) juga menyampaikan beberapa kelebihan
software Lectora Inspire X.6 antara lain: a) dapat digunakan untuk membuat website, konten e-learning interaktif, dan presentasi produk atau perusahaan; b) fitur yang tersedia sangat mudah digunakan; c) dibekali dengan template yang dapat secara langsung digunakan untuk membuat media pembelajaran; d) lectora sangat memungkinkan penggunanya untuk mengkonversi presentasi dari microsoft powerpoint ke konten e-learning. Apabila dibandingkan dengan software pengembangan media lainnya seperti macromedia flash, adobe director, dan microsoft power point, maka Lectora Inspire X.6. dapat dikatakan sebagai penengah dari program pengembangan media tersebut di atas. Hal ini dilihat dari segi kemampuan menghasilkan suatu produk dan proses pembuatannya. Macromedia flash dan adobe director jika dilihat dari segi kemampuan untuk menghasilkan sebuah media pembelajaran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Lectora Inspire X.6. Namun demikian dalam pengembangannya dibutuhkan keahlian khusus untuk dapat menciptakan hasil yang optimal. Hal ini meliputi penggunaan dan penguaaan script (bahasa pemrograman) yang harus dikerjakan dengan sangat teliti dan memerlukan waktu yang relatif lebih lama dalam proses pembuatannya. Software pengembangan media pembelajaran yang sangat umum dikalangan guru saat ini adalah menggunakan microsoft Power Point. Microsoft Power Point sudah sangat familiar bagi kalangan guru. Jika dibandingkan dengan Lectora Inspire X.6. maka microsoft power point memiliki tingkat kemudahan yang lebih dalam hal pembuatannya. Namun demikian produk yang dihasilkan akan jauh lebih maksimal jika menggunakan Lectora Inspire. Selain itu, Lectora Inspire juga dilengkapi dengan fitur Poweroint integrator yang berfungsi untuk mengkonversi file powerpoint ke dalam file Lectora Inspire.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
38
Perangkat lunak Lectora Inspire X.6 selain memiliki beberapa keunggulan seperti telah disebutkan diatas, juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan bagi pengembang media pembelajaran. Salah satu kelemahan yang dimiliki adalah tidak tersedianya software versi free. Sehingga dalam hal ini pengguna hanya dapat menggunakan versi trial dengan batas waktu 30 hari setelah penginstalan software tersebut. Hal ini tentunya sangat mengganggu bagi pengguna karena jika ingin menggunakan versi full maka harus membayar terlebih dahulu kepada pihak pengembang software Lectora Inspire X.6. Meskipun demikian, bukan berarti software tersebut hanya dapat digunakan selama 30 hari saja. Para pengguna Lectora dapat mensiasati kendala tersebut dengan menggunakan software Time Stopper sehingga batas waktu 30 hari trial dapat terlewati tanpa harus membeli software tersebut. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam pengembangan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif ini adalah penelitian dan pengembangan (research and development/R&D). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian dan pengembangan dalam bidang pendidikan (Educational Research and Development). Menurut Borg & Gall (1983, p. 772) “Educational Research and Development is a process used to develop and validate educational product”,Atau dapat diartikan bahwa penelitian dan pengembangan dalam bidang pendidikan adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Educational Research and Development selain bertujuan untuk mengembangkan dan memvalidasi hasil produk dalam bidang pendidikan, juga bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru melalui penelitian dasar (Basic Research) dan Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
memberikan jawaban atas pertanyaanpertanyaan khusus tentang masalahmasalah yang bersifat praktis melalui penelitian terapan (Applied Research) yang kemudian dapat digunakan untuk meningatkan praktik-praktik pendidikan yang lebih baik. Metode penelitan dan pengembangan juga didefinisikan sebagai suatu metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011, p. 297). Selanjutnya, Sujadi (2003, p. 164) menyatakan bahwa “penelitian dan pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Richey and Klein (2007, p. 1), pengembangan adalah proses penerjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik yang berkaitan dengan desain belajar sistematik, pengembangan evaluasi memproses dengan maksud menetapkan dasar empiris untuk mengkreasikan sebuah produk pembelajaran dan nonpembelajaran yang baru atau model peningkatan pengembangan yang sudah ada”. Berdasarkan pernyataan di atas, maka penelitian ini termasuk kepada penelitian dan pengembangan (R&D), karena hasil dari penelitian ini adalah produk media pembelajaran yang berbentuk perangkat lunak (software), yaitu media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan agama Buddha tingkat sekolah menegah pertama. Borg and Gall (1983, p. 783-795 merumuskan pendekatan Research and Development (R&D) dalam bidang pendidikan meliputi sepuluh langkah. Adapun bagan langkah-langkah penelitiannya sebagai berikut : 1. Studi Pendahuluan (Research and Information Collecting) Pada tahap ini peneliti melakukan beberapa hal yaitu meliputi analisis kebutuhan untuk mengetahui segala aspek yang dibutuhkan dalam mengembangkan sebuah produk,
39
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
studi literatur untuk mengumpulkan temuan riset dan informasi lain yang bersangkutan dengan pengembangan produk yang direncanakan, riset skala kecil untuk mengetahui bebeapa hal tentang produk yang akan dikembangkan. 2. Merencanakan Penelitian (Planning) Perencanaan penelitian (R&D) meliputi: a. Merumuskan tujuan penelitian; b. Memprkirakan dana, tenaga dan waktu; c. Merumuskan kualifikasi peneliti dan bentuk partisipasinya dalam penelitian. 3. Pengembangan Desain (Develop Preliminary of Product) Langkah ini meliputi: a. Menentukan desain produk yang akan dikembangkan; b. Menentukan sarana dan prasarana penelitian yang dibutuhkan selama proses penelitian dan pengembangan; c. Menentukan tahap-tahap pelaksanaan uji desain dilapangan; d. Menentukan deskripsi tugas pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian. 4. Uji Coba Pendahuluan(Preliminary Field Testing) Langkah ini meliputi: a. melakukan uji lapangan awal terhadap desain produk; b. bersifat terbatas, baik substansi desain maupun pihak-pihak yang terlibat; c. uji lapangan awal; c. dilakukan secara berulang-ulang sehingga diperoleh desain layak, baik substansimaupun metodologi. 5. Revisi Produk Utama (Main Product Revision) Langkah ini merupakan perbaikan model atau desain berdasarakan uji lapanganterbatas. 6. Uji Coba Utama (Main Field Test) Langkah ini meliputi: a.melakukan uji efektivitas desain produk; b. uji efektivitas desain, pada umumnya menggunakan teknik eksperimen model pengulangan; c. hasil uji lapanganadalah diperoleh desain yang efektif, baik dari sisi substansi maupun metodologi. 7. Revisi Hasi Uji Lapangan Lebih Luas (Operational Product Revision) Langkah ini merupakan perbaikan kedua setelah dilakukan uji lapangan yanglebih luas dari uji lapangan yang pertama.
8. Uji Kelayakan (Operational Field Testing) Langkah ini meliputi: a. melakukan ujiefektivitas dan adaptabilitas desain produk; b. uji efektivitas dan adaptabilitasdesain melibatkan para calon pemakai produk; c. hasil uji lapangan adalahdiperoleh model desain yang siap diterapkan, baik dari sisi substansi maupunmetodologi. 9. Revisi Final Hasil Uji Kelayakan (Final Product Revision) Langkah ini akan lebih menyempurnakan produk yang sedang dikembangkan. Penyempurnaan produk akhir dipandang perlu untuk lebih akuratnya produk yangdikembangkan. Pada tahap ini sudah didapatkan suatu produk yang tingkatefektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Hasil penyempurnaan produk akhirmemiliki nilai “generalisasi” yang dapat diandalkan. 10. Desiminasi dan Implementasi Produk Akhir (Dissemination andImplementation) Desiminasi dan implementasi dalam model penelitian ini disebut sebagai tahap implementasi. Menurut Borg and Gall ( 1983, p. 570) suatu produk tidak hanya berupa objek materi tetapi dapat juga berupa prosedur dan proses. Studi pengembangan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pragmatis dan konseptual. Secara pragmatis, studi pengembangan adalah suatu proses untuk menghasilkan alat pengembangan, prosedur, atau sistem baru. Secara konseptual, studi pengembangan merupakan penerjemahan teori atau kerangka pemikiran teoritis, prosedur atau sistem baru ke dalam bentuk alat, prosedur atau sistem baru yang kemudian di uji coba secara empirik. Produk yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah berupa media media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan Agama Buddha tingkat sekolah menengah pertama.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
40
Model pengembangan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model prosedural yang diadaptasi dari model pengembangan desain instruksional menurut Dick & Carey dalam Amru Salam Riyadi (2011, p. 57) dan model penelitian pengembangan menurut Borg & Gall, dengan tahap-tahap pengembangan sebagai berikut : 1. Tahap identifikasi Tahap identifikasi meliputi: (a) identifikasi tujuan, karakteristik peserta didik, fasilitas dan peralatan, (b) identifikasi terhadap kurikulum untuk menentukan bahan ajar. 2. Tahap desain dan pengembangan Pada tahap ini akan dilakukan perancangan dan pengembangan dalam bentuk dokumen desain sesuai langkah-langkah yang diadaptasi dari model Dick & Carey, penyusunan flow chart, dan storyboard. Langkah-langkah dalam tahap ini meliputi: a. Perumusan standar kompetensi b. Analisis standar kompetensi c. Identifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik d. Merumuskan kompetensi pembelajaran e. Memilih strategi pembelajaran dan pengalaman belajar f. Penjabaran kompetensi dasar menjadi indikator g. Pengembangan butir uji berdasarkan acuan patokan 3. Tahap produksi Kegiatan dalam tahap ini yaitu membuat seluruh obyek media seperti gambar, clip art, animasi dan video. 4. Tahap evaluasi Tahap evaluasi dilakukan dengan langkahlangkah : a. Validasi dan uji coba yang meliputi : (a) Validasi ahli materi dan ahli media pembelajaran, (b) uji coba perorangan, (c) uji coba kelompok kecil, (d) dan uji coba di lapangan. b. Tahap revisi, ada dua macam yaitu : (a) perubahan terhadap materi pembelajaran dalam penyajian media pembelajaran, (b) hasil revisi berdasarkan masukan dari uji coba
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
yang kemudian akan diperoleh produk akhir. Untuk dapat menghasilkan suatu produk yang layak diterapkan secara meluas, maka diperlukan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan serta dilakukan pengujian terhadap produk yang dibuat untuk mengetahui keefektifan produk tersebut. Adapun produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berupa media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan Agama Buddha menggunakan program Lectora Inspire X.6 . Penelitian ini dilaksanakan dibeberapa sekolah yang memiliki jumlah responden yang cukup untuk memberikan penilaian terhadap media yang dikembangkan. Adapun sekolahan yang dijadikan sebagai tempat penelitian antara lain yaitu: (a). SMP PGRI 2 Kaloran Kabupaten Temanggung; (b). SMP Negeri 2 Kaloran Kabupaten Temanggung; serta (c). SMP Smaratungga Ampel Kabupaten Boyolali. Adapun alasan penetapan sekolah tersebut sebagai tempat penelitian adalah karena sekolah tersebut sudah memenuhi prasyarat untuk dilakukannya sebuah penelitian. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan dimulai pada tanggal 20 April – 20 Juni 2015. Subjek uji coba produk pada penelitian ini adalah siswa beragama Buddha di SMP PGRI 2 Kaloran, SMP N 2 Kaloran, serta SMP Smaratungga Ampel Boyolali. Jumlah subjek secara keseluruhan adalah 80 siswa dengan rincian 30 siswa untuk uji coba kelompok kecil dan 50 siswa untuk uji coba kelompok besar.Uji coba kelompok kecil dilakukan di dua sekolah yaitu di SMP PGRI 2 Kaloran dengan jumlah responden 15 siswa dan di SMP Smaratungga Ampel dengan jumlah responden 15 siswa sehingga untuk keseluruhan jumlah responden pada uji coba kelompok kecil adalah sebanyak 30 siswa beragama Buddha. Kemudian untuk uji coba kelompok besar dilakukan di SMP N 2 Kaloran dengan jumlah responden sebanyak 50 siswa.
41
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Data yang akan dikumpulkan pada tahap pengembangan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif menggunakan Lectora Inspire X.6 adalah berupa data kuantitatif sebagai data pokok dan data kualitatif berupa saran dan masukan daari responden sebagai data tambahan. Semua data tersebut kemudian diolah sehingga memberi gambaran mengenai kelayakan produk yang dikembangkan. Instrumen penelitian merupakan alat ukur dalam penelitian yang menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan suatu penelitian. Menurut Sugiyono (2010, p. 148), alat ukur yang digunakan dalam suatu penelitian harus memiliki kualifikasi yang baik, karena pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran. Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data adalah berupa pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan respon balik sebagai data masukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diarahkan untuk mengetahui respon dari para ahli maupun peserta didik terhadap media pembelajaran yang dibuat. Instrumen yang dipakai adalah berupa instrumen angket yang ditujukan kepada ahli dan peserta didik. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagimenjadi dua buah instrumen, yaitu instrumen validasi ahli, danpenilaian siswa/peserta didik sesuai dengan peran dan posisi responden dalam pengembangan ini. Validitas instrumen adalah derajat yang menunjukan bahwa suatu tes dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur. Dengan kata lain validitas adalah berkaitan dengan “ketepatan” suatu alat ukur. Eko Putro Widyoko (2012, p. 141) mengatakan bahwa untuk mendapatkan data yang valid maka dibutuhkan instrumen yang valid pula. Atau dapat juga dikatakan bahwa jika data yang dihasilkan dari sebuah instrumen valid, maka instrumen tersebut juga valid. Thalib (2010, p. 315) Mengatakan bahwa untuk menentukan kriteria intrumen yang valid atau tidak maka dapat dilakukan
dengan melihat faktor pada tiap indikator dengan asumsi bahwa setiap instrumen harus memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,3 (valid) atau kurang dari 0,3 (tidak valid). Untuk melakukan perhitungan uji validitas instrumen digunakan program SPSS 15. For Windows. Hasil uji validitas menggunakan program SPSS 15. For Windows dapat diketahui bahwa instrumen yang digunakan untuk menguji kelayakan media pembelajaran adalah valid dengan muatan faktor lebih besar dari 0,3. Adapun hasil uji validitas instrumen dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Rangkuman Uji Validitas Instrumen N Butir Hasil Krite Ketera o Soal Analisis ria ngan 1
Navigas ,406(*) i1
> Valid 0,300
2
Navigas ,530(**) i2
> Valid 0,300
3
Navigas ,420(*) i3
> Valid 0,300
4
Navigas ,641(**) i4
> Valid 0,300
5
Navigas ,716(**) i5
> Valid 0,300
6
Navigas ,694(**) i6
> Valid 0,300
7
Navigas ,778(**) i7
> Valid 0,300
8
Navigas ,625(**) i8
> Valid 0,300
9
Kognisi 1
,656(**)
> Valid 0,300
1 0
Kognisi 2
,656(**)
> Valid 0,300
1 1
Kognisi 3
,462(*)
> Valid 0,300
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
42
Volume II No. 1 September 2015
1 2
Kognisi 4
,492(**)
> Valid 0,300
1 3
Kognisi 5
,735(**)
> Valid 0,300
1 4
Kognisi 6
,593(**)
> Valid 0,300
1 5
Kognisi 7
1 6
,547(**)
> Valid 0,300
Kognisi 8
,465(**)
> Valid 0,300
1 7
Kognisi 9
,567(**)
> Valid 0,300
1 8
Informa si Penilaia n1
,603(**)
> Valid 0,300
1 9
Informa si Penilaia n2
,603(**)
> Valid 0,300
2 0
Integras i Media ,620(**) 1
> Valid 0,300
2 1
Integras i Media ,517(**) 2
> Valid 0,300
2 2
Art n Estetika ,714(**) 1
> Valid 0,300
2 3
Art n Estetika ,561(**) 2
> Valid 0,300
2 4
Art n Estetika ,551(**) 2
> Valid 0,300
2 5
Art n Estetika ,775(**) 3
> Valid 0,300
2
Art
n ,610(**)
>
Valid
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
6
Estetika 4
0,300
2 7
Fungsi Keselur uhan 1
,533(**)
> Valid 0,300
2 8
Fungsi Keselur uhan 2
,575(**)
> Valid 0,300
2 9
Fungsi Keselur uhan 3
,651(**)
> Valid 0,300
3 0
Fungsi Keselur uhan 4
,420(*)
> Valid 0,300
Secara garis besar validitas instrumen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu validitas internal (internal validity) dan Validitas eksternal (eksternal validity). Uji validitas terhadap instrumen yang akan digunakan adalah menggunakan uji validitas internal dimana validitas internal adalah berkaitan dengan logika / penalaran atau rasional. Eko Putro Widyoko ( 2012 : 141) mengatakan bahwa instrumen yang mempunyai validitas internal atau rasional apabila kriteria yang ada dalam instrumen secara rasional (teoritis) telah mencerminkan apa yang diukur. Validitas internal tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu: validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construct validity). Data yang terkumpul melalui instrumen penelitian akan di analisis menggunakan statistik deskriptif kualitatif. Analisis dimulai dari pengolahan data-data yang diperoleh menjadi data yang lebih halus dengan cara dikelompokan menjadi dua buah kelompok data, yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif yaitu data yang digambarkan dengan kata-kata yang diperoleh melalui observasi, kemudian dipisahkan menurut kategori untuk memperolah kesimpulan. Sedangkan data kuantitatif yaitu data yang diperoleh dari hasil verifikasi dan validasi serta uji coba,
43
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kemudian diproses dengan statistika deskriptif serta visualisasi data seperti tabel, dan grafik.Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan program SPSS 15.0 for windows. Hasil analisis data digunakan sebagai dasar untuk merevisi produk media yang dikembangkan. Teknik analisis data yang dilakukan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan memaparkan hasil pengembangan produk berupa media pembelajaran berbasis multimedia interaktif serta menguji tingkat validitas dan kelayakan produk untuk dapat diimplementasikan. Menurut Arikunto (1996 : 244), data yang terkumpul diolah dengan cara dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh presentasi. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :
Data yang terkumpul dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif yang diungkapkan dalam distribusi skor dan presentase terhadap kategori skala penilaian yang telah ditentukan. Setelah penyajian dalam bentuk presentase, langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan dan mengambil kesimpulan tentang masing-masing indikator. Kesesuaian aspek dalam pengembangan bahan ajar dan media pembelajaran dapat menggunakan tabel berikut : Tabel 2 Tabel Skala Presentase Menurut Arikunto (1996 : 244) Presentase pencapaian Interpretasi (%) 76 – 100 % Layak 56 – 75 %
Cukup layak
40 – 55 %
Kurang layak
0 – 39 %
Tidak layak
Pada tabel di atas disebutkan presentase pencapaian, skala nilai, dan iterprestasi.
Tabel di atas digunakan sebagai acuan penilaian data yang dihasilkan dari validasi ahli media, ahli materi dan uji coba kelompok kecil serta uji coba kelompok besar. PEMBAHASAN Prosedur pengembangan Media Pembelajaran berbasis Multimedia Interaktif menggunakan Software Lectora Inspire X.6 untuk Pendidikan Agama Buddha adalah sebagai berikut: 1. Hasil Penelitian Pendahuluan Tahap awal penelitian dan pengembangan ini adalah menetapkan mata pelajaran/materi pokok yang akan dikembangkan. Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan penelitian pendahuluan sesuai dengan silabus dengan tujuan untuk memperoleh data kebutuhan apa saja yang diperlukan, serta untuk memperolah data bagaimana konsep media yang akan dibuat. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Pendidikan Agama Buddha di Kabupaten Temanggung kemudian diperoleh beberapa konsep media pembelajaran. Adapun beberapa konsep yang harus ada dalam sebuah Media Pembelajaran yaitu harus dapat menampilkan gambar, video, teks, serta animasi gerak yang mendukung dalam proses pembelajaran. Dari hasil konsep tersebut kemudian dibuat media yang sesuai dengan kebutuhan serta mudah dalam proses pembuatan dan penggunaannya yang dalam hal ini adalah menggunakan Software Lectora Inspire X.6. 2. Hasil Perancangan Materi Media Pembelajaran 3. Perancangan materi untuk media Pembelajaran Pendidikan Agama Buddha Berbasis Multimedia Interaktifmelalui beberapa tahap yaitu sebagai berikut: a. Identifikasi Tujuan Pengembangan Media Pembelajaran Pendidikan Agama Buddha Berbasis Multimedia Interaktif bertujuan untuk mempermudah proses
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
44
pembelajaran, meningkatkan motivasi belajar peserta didik, serta meningkatkan kualitas pendidikan Agama Buddha dalam bidang Teknologi Informasi. b. Analisis Tahap analisis dalam pembuatan materi Pendidikan Agama Buddha dilakukan melalui dua tahap, yaitu analisis kebutuhan pengguna dan analisis instruksional. Tahap analisis kebutuhan dilakukan untuk menelusuri permasalahanpermasalahan apa saja yang muncul dalam proses pembelajaran pendidikan Agama Buddha. c. Tahap analisis instruksional yaitu dengan melakukan penyesuaian antara materi yang ada pada silabus mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Menengah Pertama dengan Materi yang akan disajikan dalam Media Pembelajaran. d. Materi yang disajikan dalam Media Pembelajaran Pendidikan Agama Buddha Berbasis Multimedia Interaktif meliputi tiga Kompetensi dasar yaitu: Menjelaskan Kitab Suci dalam Agama Buddha, Menjelaskan Tempat Ibadah Agama Buddha, serta Menjelaskan lambanglambang dalam Agama Buddha. Sumber atau referensi materi diambil dari buku pelajaran Agama Buddha EHIPASSIKO. Pembuatan Desain Software 1. Desain Software/program merupakan langkah pertama dalam fase pengembangan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif setelah materi pembelajaran disusun. Desain program dilakukan melalu beberapa tahap sebagai berikut: a. Desain Halaman Depan (cover) b. Halaman muka dari media pembelajaran ini terdiri dari beberapa konten seperti teks bertuliskan Multimedia Interaktif di pojok kanan atas, judul Media Pembelajaran di bagian tengah,
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
tombol play di bawah judul media untuk memulai pembelajaran, Animasi Flash sebagai background tampilan program, serta terdapat informasi Pengembang Media Pembelajaran dibagian bawah dengan efek begeser dari kanan ke sebelah kiri.
Gambar 4 Desain Halaman Depan(cover) c. Desain Halaman Pengantar Desain halaman pengantar terdiri dari konten seperti teks dan button/tombol. Pada bagian pojok kiri atas terdapat logo, judul pada bagian tengah atas, jenis media pada bagian kanan atas, menu control yang terdiri dari tombol close dan Help dibawah tulisan jenis media, menu extra yang terdiri dari menu Setting, hiburan dan print halaman dibawah teks judul, kumpulan menu utama dibagian samping kiri, serta panduan/pengantar dibagian samping kanan.
Gambar 5 Desain Halaman Pengantar
45
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
d. Desain Halaman Kompetensi Desain halaman kompetensi tidak berbeda jauh dengan desain halaman pengantar. Perbedaan yang mendasar hanya terletak pada isi konten di ruang sebelah kanan bawah.
Gambar 6 Desain Halaman Kompetensi e. Desain Halaman Materi Halaman materi memiliki format desain yang sama dengan halaman pengantar dan kompetensi. Pada desain halaman materi terdapat button tambahan seperti next dan back sebagai navigasi untuk mempelajari bagian dari sub-sub materi yang diinginkan.
Gambar 7 Desain Halaman Materi 4. Pengumpulan Bahan Pengumpulan bahan merupakan tahap yang dilakukan setelah rancangan desain software disusun. Pengumpulan bahan meliputi berbagai komponen yang dibutuhkan dalam proses pengembangan. Adapun bahan-bahan yang dikumpulkan dalam proses pengembangan antara lain: a.
Gambar/ilustrasi; b. Icon; c. Audio/efek Suara; d. Video; serta animasi yang mendukung dan sesuai dengan materi yang disajikan. Software yang digunakan dalam pembuatan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif ini terdiri dari beberapa Software antara lain: Lectora Inspire X.6 sebagai Program utama, Microsoft Power Point sebagai program pendukung pembuatan Icon, TextAloud untuk membuat efek suara membaca, Adobe Photoshop untuk pengeditan gambar, Format Factory untuk konversi file supaya menjadi cocok dengan program utama, serta Audacity untuk pengeditan file audio. 5. Pengembangan Produk Awal Hasil pengembangan Media Pembelajaran Pendidikan Agama Buddha Berbasis Multimedia Interaktif adalah berupa software media Pembelajaran yang dapat digunakan pada perangkat Komputer. Adapun beberapa tahapan yang dilakukan dalam pengembangan produk awal Media Pembelajaran tersebut antara lain:
a. Analisis Hasil analisis tahap perancangan media pembelajaran ini meliputi dua tahap, yaitu: 1) Analisis Spesifikasi Teknis Tahap analisis spesifikasi teknis adalah bertujuan untuk mengetahui persyaratan minimal yang harus dimiliki sebuah Personal Computer (PC) untuk dapat menjalankan program Media Pembelajaran berbasis Multimedia Interaktif. Media Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif ini dapat bekerja pada sistem operasi windows dengan kapasitas RAM minimal 1GB. Perangkat keras yang dapat digunakan untuk menjalankan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif ini adalah sebuah unit komputer yang
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
46
Volume II No. 1 September 2015
dilengkapi dengan monitor/LCD untuk menampilkan Program, Keyboard, mouse, serta speaker untuk mengakses suara yang ada dalam program media pembelajaran. 2) Analisis Kerja Program Tahap analisis kerja program dilakukan untuk mengetahui kinerja dari media pembelajaran yang telah dibuat. Secara umum kinerja media pembelajaran berbasis multimedia interaktif sudah didesain sedemikian rupa untuk mempermudah pengguna dalam mempelajari materi yang terdapat dalam media tersebut dimana pengguna dapat langsung berinterksi memberikan masukan melalui mouse atau keyboard untuk mendapatkan respon dari komputer berupa animasi, teks, gambar, suara dan video. Analisis kerja program dilakukan dengan menjalankan program dari awal sampai akhir, kemudian mencoba setiap menu, sub menu dan tombol navigasi yang telah diberi perintah hyperlink. Adapun hasil analisis kerja program Media Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif Pendidikan Agama Buddha adalah sebagai berikut: a) Saat program dibuka dan dijalankan maka yang pertama kali muncul adalah halaman pembuka (cover) yang berisi Judul Materi serta berbagai informasi yang terkandung didalam program tersebut. Pada halaman pembuka juga terdapat menu “play” yang berfungsi untuk masuk ke halaman pengantar. b) Pada halaman pengantar terdapat beberapa
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
menu/tombol seperti : Menu Utama yang terdiri dari menu Home untuk kembali ke halaman pembuka, SK/KD untuk membuka Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar, Materi untuk mempelajari materi di dalamnya, Evaluasi untuk menguji kemampuan siswa, Profile untuk melihat pengembang program, dan Referensi untuk melihat sumber baik materi maupun software. Menu Kontrol yang terdiri dari menu Setting untuk mengubah tampilan atau tema, Hiburan untuk memberikan efek suara pada saat menggunakan program, serta Print Halaman untuk mencetak halaman yang sedang dipelajai. Menu Ekstra yang terdiri dari menu Help untuk melihat panduan dan Close untuk menutup program. Pada halaman pengantar juga sudah terdapat petunjuk penggunaan sehingga pengguna akan lebih mudah dalam menggunakan program sesuai panduan yang ada. c) Pada halaman berikutnya semua menu memiliki tata letak yang sama dengan halaman yang lainnya dengan tujuan untuk mempermudah pengguna dalam mengakses menu yang diinginkan. d) Setelah program selesai digunakan dapat ditutup dengan memilih menu Close yang ada di pojok kanan atas.
47
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
b. Implementasi Program Tahap implementasi program merupakan tahap dimana konsep dasar dari sebuah media pembelajaran diterjemahkan ke dalam bentuk media pembelajaran yang sebenarnya. Implementasi program media pembelajaran berbasis multimedia interaktif Pendidikan Agama Buddha menggunakan software Lectora Inspire X.6 adalah sebagai berikut: a) Implementasi Halaman Depan (cover) Implementasi halaman depan(cover) pada media pembelajaran berbasis multimedia interaktif terdiri dari beberapa konten seperti teks bertuliskan Multimedia Interaktif di pojok kanan atas, judul Media Pembelajaran di bagian tengah, dan tombol “play” di bawah judul media untuk memulai pembelajaran. Adapun hasil implementasi desain halaman depan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 8 Implementasi Halaman Depan (cover) b) Implementasi Halaman Pengantar Implementasi halaman pengantar terdiri dari konten seperti teks dan button/tombol. Pada bagian pojok kiri atas terdapat logo, judul pada bagian tengah atas, jenis media pada bagian kanan atas, menu control yang terdiri dari tombol close dan Help dibawah tulisan jenis media, menu extra yang terdiri dari menu Setting, hiburan dan print
halaman dibawah teks judul, kumpulan menu utama dibagian samping kiri, serta panduan/pengantar dibagian samping kanan. Adapun hasil implementasi desain halaman pengantar dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 9 Implementasi Halaman Pengantar c) Implementasi Halaman Kompetensi Implementasi halaman kompetensi terdiri dari konten seperti teks dan button/tombol. Pada bagian pojok kiri atas terdapat logo, judul pada bagian tengah atas, jenis media pada bagian kanan atas, menu control yang terdiri dari tombol close dan Help dibawah tulisan jenis media, menu extra yang terdiri dari menu Setting, hiburan dan print halaman dibawah teks judul, kumpulan menu utama dibagian samping kiri, serta informasi standar kompetensi dan kompetensi dasar dibagian samping kanan. Adapun hasil implementasi desain halaman kompetensi dapat dilihat pada gambar berikut:
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
48
Volume II No. 1 September 2015
pembelajaran yang dikembangkan. Dalam hal Adapun data hasil validasi dari ahli media dan ahli materi adalah sebagai berikut: a. Hasil Penilaian Ahli Media Pembelajaran
Gambar 10 Implementasi Halaman Kompetensi d) Implementasi Halaman Materi Implementasi halaman materi terdiri dari konten seperti teks dan button/tombol. Pada bagian pojok kiri atas terdapat logo, judul pada bagian tengah atas, jenis media pada bagian kanan atas, menu control yang terdiri dari tombol close dan Help dibawah tulisan jenis media, menu extra yang terdiri dari menu Setting, hiburan dan print halaman dibawah teks judul, kumpulan menu utama dibagian samping kiri, serta navigasi untuk membuka materi yang terdapat dalam media pembelajaran. Adapun hasil implementasi desain halaman materi dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 12 Diagram Batang Tingkat Validasi Oleh Ahli Media Berdasarkan data pada gambar 12, maka diperoleh angka rata-rata hasil penilaian dari ahli media pembelajaran sebesar 93,3%. Sesuai dengan skala presentase pada tabel 3.4 di Bab III, maka hasil tersebut masuk dalam kategori layak untuk digunakan. b. Hasil Penilaian Ahli Materi
Gambar 13 Diagram Batang Tingkat Validasi Oleh Ahli Materi Gambar 11 Implementasi Halaman Materi 6. Uji Coba Produk Awal Uji coba produk awal merupakan tahap uji coba secara terbatas terhadap media
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Berdasarkan data pada gambar 13, maka diperoleh angka rata-rata hasil penilaian dari ahli Materi sebesar 84,0%. Sesuai dengan skala presentase pada tabel 3.4 di Bab III, maka hasil tersebut masuk dalam kategori layak untuk digunakan.
49
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
7. Revisi Tahap 1 Produk yang telah diuji coba dan dilakukan validasi dalam uji coba produk awal kemudian dilakukan perbaikan berdasarkan saran dan masukan yang diberikan oleh para ahli. Adapun saran serta masukan dari para ahli yang dijadikan sebagai acuan untuk melakukan perbaikan terhadap media pembelajaran yang dikembangkan adalah sebagai berikut: a. Revisi Ahli Media Media pembelajaran yang telah dibuat dan di uji coba kemudian divalidasi oleh ahli media pembelajaran. Berdasarkan saran dan komentar dari para ahli, media yang dikembangkan masih terdapat beberapa kekurangan. Adapun saran dan komentar yang diberikan ahli media sebagai acuan untuk merevisi produk media yang dikembangkan adalah sebagai berikut: 1) Program hendaknya dapat langsung berjalan ketika pengguna meng-klik menu “klik to play”. 2) Pemberian efek suara pada tiap menu hendaknya disesuaikan dengan isi yang terkandung didalamnya. 3) Label untuk setiap kategori menu sebaiknya diperjelas. 4) Icon yang terdapat pada menu utama sebaiknya disesuaikan dengan isi yang terkandung di dalamnya. 5) Pada bagian materi sebaiknya diberi tombol pilihan untuk memberikan efek suara atau diam. 6) Icon pada materi lambang Budhis sebaiknya diganti yang lebih mendekati aslinya. 7) Sesuaikan efek suara dengan materi yang disajikan. 8) Nilai evaluasi belum muncul. 9) Media sebaiknya portabel dengan semua jenis PC/Laptop. 10) Menu “switch” seharusnya ditambahkan pada bagian materi sehingga pengguna dapat dengan mudah berpindah
kemateri lain yang hendak dipelajari. 11) Tempo efek suara pada bagian materi sebaiknya diperlambat. 12) Pemilihan gambar lebih baik disesuaikan dengan tema. b. Revisi Ahli Materi Berdasarkan saran dan komentar dari para ahli, media yang dikembangkan masih terdapat beberapa kekurangan. Adapun saran dan komentar yang diberikan ahli materi sebagai acuan untuk merevisi produk media yang dikembangkan dari segi materi adalah sebagai berikut: 1) Secara umum materi sudah baik dan perlu dikembangkan lebih detail. 2) Penulisan tanda baca perlu diperjelas. 3) Penggunaan bahasa dibuat sesederhana mungkin. 4) Materi Tripitaka perlu ditambahkan penjelasan singkat tentang isi dari masing-masing bagian. 5) Materi lambang-lambang Budhis perlu ditambah. 6) Soal pada bagian evaluasi hendaknya disesuaikan dengan materi yang sudah disampaikan. 8. Uji Coba Kelompok Kecil Uji coba kelompok kecil dilakukan di SMP PGRI 2 Kaloran dan SMP Smaratungga Ampel dengan jumlah total responden sebanyak 30 siswa.Aspek penilaian dalam uji coba kelompok kecil meliputi: (a). Kemudahan Navigasi; (b). Kandungan Kognisi; (c). Presentasi informasi Penilaian; (d). Integrasi Media; (e). Artistik dan Estetika; (f). Fungsi Keseluruhan. Uji coba kelompok kecil dilakukan untuk memperoleh data dan masukan/saran dari calon pengguna/siswa. Adapun presentase data penilaian uji coba kelompok kecil disajikan pada tabel berikut ini:
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
50
Gambar 14 Diagram Batang Hasil Uji Coba Kelompok Kecil Berdasarkan data pada gambar 14, maka diperoleh angka rata-rata hasil hasil uji coba kelompok kecil sebesar 87,4%. Sesuai dengan skala presentase pada tabel 3.4 di Bab III, maka hasil tersebut masuk dalam kategori layak untuk digunakan. 9. Revisi Tahap 2 Revisi tahap dua dilakukan setelah program diterapkan pada tahap uji coba kelompok kecil. Berdasarkan data yang diperoleh dari uji coba kelompok kecil, media yang dikembangkan tidak memerlukan banyak perbaikan sehingga dapat diterapkan dalam uji coba kelompok besar. 10. Uji Coba Kelompok Besar Uji coba kelompok besar dilakukan untuk memperoleh data dan masukan/saran dari calon pengguna/siswa. Uji coba kelompok besar dilakukan di SMP Negeri 2 Kaloran Temanggung dengan jumlah responden sebanyak 50 siswa.Aspek penilaian dalam uji coba kelompok besar meliputi: (a). Kemudahan Navigasi; (b). Kandungan Kognisi; (c). Presentasi informasi Penilaian; (d). Integrasi Media; (e). Artistik dan Estetika; (f). Fungsi Keseluruhan. Adapun presentase data penilaian uji coba kelompok besar disajikan pada tabel berikut ini:
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Gambar 15 Diagram Batang Hasil Uji Coba Kelompok Besar Berdasarkan data pada gambar 15, maka diperoleh angka rata-rata hasil uji coba kelompok besar sebesar 89,2%. Sesuai dengan skala presentase pada tabel 3.4 di Bab III, maka hasil tersebut masuk dalam kategori layak untuk digunakan. 11. Penyempurnaan Produk Penyempurnaan produk merupakan tahap akhir dari pengembangan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif . Hal ini dilakukan berdasarkan hasil uji coba yang telah dilalui pada tahap sebelumnya. Hasil penilaian terhadap media pembelajaran oleh ahli media ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: (1). Aspek Komunikasi 94,0 % ; (2). Desain Teknis 95,0% ; (3). Format Tampilan 90,0%. Secara keseluruhan, penilaian dari ahli media terhadap media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan Agama Buddha menggunakan Software Lectora Inspire X.6. adalah sebesar 93,3%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa berdasarkan presentase kelayakan pada tabel 3.4 di Bab III, maka media tersebut masuk dalam kategori layak untuk digunakan. Hasil penilaian dari ahli materi Pendidikan Agama Buddha ditinjau dari dua aspek, yaitu: (1). Isi Materi 85,0%; dan (2). Strategi Pembelajaran 80,0%. Secara keseluruhan, penilaian dari ahli materi terhadap media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan Agama Buddha menggunakan Software Lectora Inspire X.6. adalah sebesar 84,0%.
51
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa berdasarkan presentase kelayakan pada tabel 3.4 di Bab III, maka media tersebut masuk dalam kategori layak untuk digunakan. Hasil Penilaian pada tahap uji coba kelompok kecil ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: (a). Kemudahan Navigasi 87,7% ; (b). Kandungan Kognisi 86,9% ; (c). Presentasi informasi Penilaian 86,0% ; (d). Integrasi Media 87,6% ; (e). Artistik dan Estetika 87,0% ; (f). Fungsi Keseluruhan 87,4%. Secara keseluruhan, hasil penilaian pada tahap uji coba kelompok kecil adalah sebesar 87,4%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa berdasarkan presentase kelayakan pada tabel 3.4 di Bab III, maka media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan Agama Buddha menggunakan Software Lectora Inspire X.6. masuk dalam kategori layak untuk digunakan. Hasil Penilaian pada tahap uji coba kelompok besar ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: (a). Kemudahan Navigasi 89,1% ; (b). Kandungan Kognisi 88,3% ; (c). Presentasi informasi Penilaian 90,2% ; (d). Integrasi Media 91,6% ; (e). Artistik dan Estetika 89,9% ; (f). Fungsi Keseluruhan 88,9%. Secara keseluruhan, hasil penilaian pada tahap uji coba kelompok besar adalah sebesar 89,2%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa berdasarkan presentase kelayakan pada tabel 3.4 di Bab III, maka media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan Agama Buddha menggunakan Software Lectora Inspire X.6. masuk dalam kategori layak untuk digunakan. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan data hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Prosedur pengembangan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk pendidikan Agama Buddha menggunakan Software Lectora Inspire X.6adalah: (a).
Metetapkan mata pelajaran; (b). Melakukan penelitian pendahuluan; (c). Pembuatan rancangan desain software; (d). Pengumpulan bahan; (d). Pengembangan produk awal; (e). Validasi oleh Ahli media dan materi; (f). Analisis data; (g). Revisi produk awal; (h). Uji coba kelompok kecil; (i). Analisis hasil uji coba kelompok kecil; (j). Revisi; (k). Uji coba kelompok besar; (l). Analisis hasisl uji coba kelompok besar; (m). Produk akhir. 2. Hasil pengujian kelayakan media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk Pendidikan Agama Buddha menggunakan Software Lectora Inspire X.6 adalah meliputi beberapa aspek, antara lain: (a). Kemudahan Navigasi 89,1% ; (b). Kandungan Kognisi 88,3% ; (c). Presentasi informasi Penilaian 90,2% ; (d). Integrasi Media 91,6% ; (e). Artistik dan Estetika 89,9% ; (f). Fungsi Keseluruhan 88,9%. Secara keseluruhan, hasil penilaian pada tahap uji coba kelompok besar adalah sebesar 89,2%. Hal ini menunjukan bahwa media pembelajaran yang dikembangkan adalah layak untuk digunakan. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah: 1. Media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk Pendidikan Agama Buddha menggunakan Software Lectora Inspire X.6 dapat digunakan oleh guru atau siswa sebagai salah satu media yang patut diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran baik dikelas maupun secara mandiri. 2. Pengembangan Produk Lebih Lanjut Media pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk Pendidikan Agama Buddha menggunakan Software Lectora Inspire X.6 yang telah didisusun, dikembangkan, dan dilakukan uji kelayakan ini, dapat digunakan dan dikembangkan lebih
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
52
Volume II No. 1 September 2015
lanjut sesuai dengan kreatifitas dari masing-masing pengguna.
Oemar Hamalik. (1994). Media Pendidikan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad Azhar. (2002). Media pembelajaran. Jakarta : PT. Raja Govindo Persada.
Richey & Rita C. Klein. (2007). Design and Development Research. London: Lawrence Erlbaum Associates. Inc.
____________. (2011). Media Pembelajaran. Jakarta : Rajawali Pers. Asnawir & Basyrudin Usman. (2002). Media pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers. Bambang Warsita. (2008). Teknologi Pembelajaran – Landasan Dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Bodhi. (2010). Kotbah-kotbah berkelompok Sang Buddha. Jakarta Barat: Dhammacitta. Borg, W.R. & Gall, M.D. Gall. (1983). Educational Research: An Introduction, Fifth Edition. New York: Longman. Dhammadiro. (2005). Paritta Suci. Jakarta: Yayasan Sangha Theravada Indonesia. Djamarah & Aswan. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta. Eko Putro Widyoko. (2013). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sadiman, Arief S. , dkk. (2007). Media Pendidikan: pengertian, pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sigit Prasetyo. (2007). Pengembangan Pembelajaran Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Untuk Pembelajaran Yang Berkualitas. Semarang : UNNES. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta ________. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. ________. (2012). Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: Alfabeta Suharsimi Arikunto. (1996). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sujadi. (2003). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Handaka Vijjananda. (2013). Mukjizat Buddha. Jakarta: Ehipassiko Foundation.
Sukiman. (2012). Pengembangan Media Pembelajaran. Yogyakarta: PT. Pustaka Intan Mandiri.
Ibrahim R & Nana Syaodih.(2003). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Thalib. (2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Pranada Media Group.
Ngalim Purwanto. (2007). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nur Sidik. (2014). Membangun e-learning mudah dan asik dengan Lectora. Tegal: eM Tiga Group.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Wina Sanjaya. (2008 ). Perencanaan Dan Desain Sistem Pembelajaran. Bandung: Prenadamedia group.
53
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
KEDUDUKAN ORANG TUA SEBAGAI GURU RUPᾹ KA : Sebuah Upaya Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Anak Dalam Kehidupan di Era Globalisasi Oleh : Untung Suhardi Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta (Email :
[email protected]) Abstrak Penulisan ini dihadirkan karena untuk mengungkap lebih dalam tentang kedudukan orang tua dalam sastra Hindu. Tulisan ini membahas tentang kedudukan orangtua dalam sastra Veda dan perannya dalam era globalisasi yang ditulis dengan pendekatan fenomenalogis dengan analisis deksriptif kualitatif. Peran orang tua dalam kehidupan yang sangat vital, maka dalam kehidupan yang penuh dengan dinamika dan romatika hendaknya kita sebagai anak harus selalu menghormati kedua orang tua kita karena beliaulah yang telah membesarkan kita dari bayi sampai dengan dewasa seperti sekarang ini. Pada susastra Veda banyak dijelaskan bahwa nasehat yang dilontarkan orangtua kepada kita sesungguhnya kata-kata yang merupakan intisari dari Veda yang dibahasakan dengan sangat sederhana. Dan pribahasa surga ada ditelapak kaki ibu merupakan sebuah ungkapan yang dalam hal ini bukan hal yang tanpa makna, tetapi jauh dari itu menyimpan makna yang sangat dalam, karena sang Ibu inilah yang berani mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkan anakanya bahwa beban tanggungjawab itu melebihi berat bumi. Karena kita sebagai anak mempunyai hutang badan, jasa dan hidup. Kata Kunci : Kedudukan, Orang tua, Veda, Globalisasi Abstract The writing of presented due to uncover more in about a notch parents in hindu literature.This essay will talk about a literary parents in the vedas and their roles in the era of globalization that is written with the approach of fenomenalogis with deksriptif qualitative analysis.The parents very vital, in life then in life full of dynamics and as a romatika should we must always respecting both our parents because beliaulah that has been raising us from baby up to mature like now.On vedic susastra many explained that advice to us actually floated parent of words that forms of the vedas intisari interpretation with a very simple.And eventually there is paradise ditelapak legs mother is a phrase which in this case is nothing without meaning, but it is far from it save the very meaning, because of the mother's dare when it gave birth to the anakanya that the burden of responsibility that exceeds the weight of the Earth. Because we as children have the debt Agency, and service life. Keywords: Status, parents, Veda, Globalization. Pendahuluan Berawal dari pembicaraan tentang adanya sebuah dialog kecil tentang peran dan kedudukan orang tua dalam kehidupan globalisasi. Kemudian berlanjut pada sebuah pemikiran bahwa dalam pembicaraan ini terlihat sebuah gagasan yang sangat menarik untuk ditindaklanjuti
dalam sebuah tulisan yang dalam hal ini penulis ingin berbagi kepada para pembaca bahwa karena kedudukan dan peran yang sangat vital, maka orang tua ditempatkan pada sebuah singgasana yang sangat mulia dan terhomat. Keadaan ini terlihat secara nyata ketika ibu kita sedang mengandung selama 9 bulan kemudian berusaha mendidik dan membesarkan kita sampai
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
54
saat ini, hal ini membuat sebuah kekaguman yang sangat luar biasa kepada orang tua kita terutama adalah ibu. Beberapa pandangan ketika penulis berbincang-bincang kecil dengan teman kerja yang kebetulan dari muslim beliau mengatakan bahwa “kedudukan orang tua terutama ibu adalah 3 kali diatas bapak, oleh karena itu sebuah keharusan kita sebagai anak untuk menghormati kedua orang tua kita”. Berlanjut dari pembicaran ini bahwa penulis ingat tentang adanya sebuah pribahasa bahwa “ada surga ditelapak kaki ibu” hal ini menunjukan bahwa dominasi orang tua kita sangat penting maka dalam ajaran agama manapun menerangkan tentang adanya sebuah sikap untuk menghormati kedua orang tua kita sebagai simbol dari restu Tuhan kepada anak-anaknya. Cerita yang berkembang pada masyarakat juga banyak mengkisahkan tentang tingkahlaku yang melawan orang tua, sebut saja misalnya cerita Malin Kundang yang karena telah tidak mengakui ibunya bukan sebagai ibu kandung, kemudian sang ibu mengutuknya sampai menjadi batu, serta cerita lain yang berkembang di masyarakat. Bukti ini sebenarnya memberikan contoh nyata dalam kehidupan ini bahwa, seharusnya kita sebagai anak harus menghormati kedua orang tua kita bagaimanapun keadaannya. Selain dari pada itu, mengingat adanya sebuah fenomena yang terjadi pada kehidupan yang penuh dengan era tekhnologi budaya untuk menghormati orang tua sudah mulai memudar yang lebih disebabkan oleh faktor lingkungan dan kebutuhan ekonomi. Karena dalam menjalin sebuah pergaulan anak ini lebih banyak bergaul disekolah dan tempat bermainnya dan orang tua sibuk dengan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga tatapmuka anak dengan orang tua sangat jarang dan paling banyak pagi sebelum berangkat kantor dan malam sebelum tidur. Dan yang paling Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
menyakitkan adalah anak itu tidak pernah ketemu dengan orang tuanya dan lebih sering ketemu dengan pengasuhnya karena ketika anaknya bangun pagi si anak tidak melihat orang tuanya karena bangunnya siang sebab pulang kerja sudah larut malam dan pada waktu malam orang tua tidak melihat dan menemani anaknya belajar sebab si anak sudah tidur dan orang tua ini pulang sudah larut malam begitu seterusnya. Keadaan inilah yang perlu untuk sebuah rancangan ulang tentang pola asuh anak yang terkesan hanya sebuah “cibiran yang dipandang sebelah mata” dalam keluarga, tetapi sesungguhnya pola asuh dan pembinaan kepada anak sejak dini adalah sebagai pijakan untuk menempuh sebuah jalan yang akan dilaluinya kelak setelah dewasa untuk menuju rumah kebahagiaan melalui pendidikan budipekerti yang seharusnya diajarkan oleh kedua orang tua dirumah sebagai pendidikan yang pertama. Berangkat dari permasalahan tersebut diatas, maka pada penulisan jurnal ilmiah ini penulis membahas tentang : 1. Bagaimanakah kedudukan orang tua dalam sastra Veda ? 2. Bagaimanakah peran orang tua dalam penanaman nilai pendidikan karakter pada era globalisasi ini ? Melalui tulisan ini penulis mempunyai tujuan untuk menjabarkan kedudukan orang tua dalam sastra Veda dan peran orang tua dalam dalam penanaman nilai pendidikan karakter diera globalisasi. Manfaat penulisan ini adalah memberikan pandangan bahwa orang tua sebagai orang yang telah menghantarkan kita kedunia ini oleh karena itu seyogyanya kita harus menghormati keadaan beliau.
Metode Penulisan Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan pendekatan fenomenalogis yang diuraikan dengan
55
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kualitatif deksriptif melalui studi kepustakaan dan wawancara tidak berstuktur pada informan yang dinilai mempunyai kemampuan dalam hal ini. Tokoh yang memulai dari pendekatan fenomenoligis ini adalah Edmund Husserl yang dalam pemikirannya menjadi sandara bagi para pemikir sejenis selanjutnya. Inti pemikiran Husserl ini adalah untuk mendapatkan kebenaran seseorang harus kembali pada benda-benda itu sendiri yang artinya bahwa untuk mendapatkan objektifitas tidak tergantung pada pernyataan orang atau teori sebelumnya akan tetapi diberikan kesempatan berbicara tentang dirinya sendiri. Fenomenologi dalam kehidupan modern ini menjadi tonggak berpikir bahwa perlunya komunikasi yang menitikberatkan pada pola pemikiran yang obyektif. Buah pemikiran fenomenologi ini banyak disinggung tentang bentuk pelaksanaan dari pendekatan fenomenologis yang dibagi menjadi 3 bagian dari reduksi untuk menndapatkan kebenaran, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eidetis dan reduksi fenomenlogis transendental. Untuk itulah, pendekatan fenomenologi ini digunakan untuk melihat permasalahan hal-hal yang terlait dengan penanaman nilai karakter pada anak.
Pembahasan Orang tua adalah orang yang harus berperan menanamkan nilai-nilai yang pertama dan utama sejak anak masih ada didalam kandungan kemudian setelah anak dilahirkan hingga dia menjadi dewasa. Orang tua hendaknya jangan melempar seluruhnya tanggung jawabnya kepada guru di sekolah. Karena nilai-nilai yang ditanamkan di rumah menjadi bekal untuk dibawa keluar rumah dalam berinteraksi dengan orang lain di masyarakat. Bagaimana berhadapan dengan orang yang lebih tua, bagaiman sopan santun, bagaimana bertutur kata yang benar dan
baik. Kini dapat dirasakan nilai-nilai seperti ini jarang sekali menjadi perhatian orang tua terutama di kota besar, karena orang tua masing-masing terpenjara karena mengejar material untuk kebutuhan hidup.Dalam hal ini diperlukan mendisain ulang pengelolaan waktunya untuk si anak. Anak membutuhkan perhatian dan petunjuk dari orang tua yang mana boleh dan tidak boleh dan yang mana yang benar dan tidak benar, hal lain adalah sangat diperlukan nasehat-nasehat, pitutur dan pengertian-pengertian yang minim sekali diperolehnya dari guru lain selain guru rupaka. Peran Guru rupaka atau orang tua di rumah seingat penulis saat masih kecil sering dilakukan dengan metode dongeng, cerita-cerita yang mengandung petuah dan nilai-nilai luhur sehingga cenderung diminati oleh seorang anak yang belum dewasa, yang mana metode dongeng ini jarang sekali dipraktekan oleh orang tua sekarang ini. Melalui cerita, anak mendapatkan nilai-nilai kebenaran, pengetahuan dan perbendaharan kata, contoh-contoh kebajikan (dharma) yang harus dijunjung tinggi, nilai kejujuran, toleransi, kerjasama, tolong menolong dan masih banyak lagi. Dengan demikian, seorang ibu sebagai pengasuh dan pendidik anak harusah mengajari anak tersebut dengan budi pekerti yang sehat dan moral yang tinggi, karena pendidikan yang harmonis adalah pendidikan yang meliputi kecerdasan akal, pikiran dan mental spiritual. Pendidikan inilah dimulai ketika bayi masih dalam kandungan ibunya sudah mengalami pendidikan yaitu pendidikan prenatal. Oleh karena itu, seorang ibu dalam saat itu haruslah berhati-hati dalam segala pikiran, ucapan dan tindakan Dalam hal ini Napoleon Bonaparte mengatakan “Pengetahuan dan budi pekerti yang luhur yang dimiliki oleh seorang ibu merupakan jembatan emas yang akan dilalui oleh anak-anaknya menuju pantai kebahagiaan”. Dalam hal inilah seorang ibu mempunyai tugas yang berat dalam mendidik anak-anaknya agar dikemudian
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
56
hari anak tersebut menuai kesuksesan. Oleh karena itulah, seorang anak harus menghormati jasa orangtua, karena merekalah yang selalu membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi. Dalam hal kasih sayang ini hati seorang ibu lebih lembut dan mengerti tentang perasaan anaknya, sehingga ada ungkapan bahwa “Sorga ada ditelapak kaki Ibu”. Ungkapan ini bukan hal yang tanpa makna, tetapi jauh dari itu menyimpan makna yang sangat dalam, karena sang Ibu inilah yang berani mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkan anakanya bahwa beban tanggungjawab itu melebihi berat bumi. Karena kita sebagai anak mempunyai hutang badan, jasa dan hidup.
Kedudukan orang tua dalam Sastra Veda Disinilah hal yang menjadi titik tolak pemikiran penulis yang memunculkan sebuah gagasan pemikiran bahwa karena besar jasa dan hutang budi orang tua kepada kita maka, hendaknya kita harus selalu menghormati kedua orang tua kita. Hal pertama yang harus dihormati adalah seorang ibu karena beliaulah yang mampu untuk mengorbankan nyawanya demi untuk sang anak. Sehingga dalam sastra suci Veda dijelaskan bahwa beban yang ditanggung oleh ibu pada saat melahirkan melebihi berat bumi. Bagaimana tidak hal ini ditanggungnya mulai dari janin itu masih dalam kandungan sampai kurang lebih 9 bulan dan pada akhirnya sang ibu melahirkan anak itu kedunia hal ini sungguh sebuah pengorbanan yang sangat mulia. Selanjutnya, ketika anak itu tumbuh besar sang ibu dan ayah selalu merawat dia agar menjadi anak yang suputra yang mampu menyebrangkan orang tuanya dari kesengsaraan. Dalam ajaran Hindu kedudukan perempuan sangatlah dihormati dan mendapat peran yang sangat vital dalam kehidupan ini. Dalam hal ini, dijelaskan
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
dalam berbagai kitab Veda baik sruti mapun smrti. Dalam kitab-kitab tersebut banyak menjelaskan tentang kedudukan perempuan antara lain perempuan sebagai penentu kesejahteraan suatu bangsa (Atharva Veda V.17.3.4), adanya tokohtokoh dalam epos Ramayana dan Mahabharata yang menjadi penentu utama dalam kesejahteraaan rakyat antara lain Sita, Trijata, Anasunya, Sabari, Drupadi, Kunti, dalam Upanisad adanya tokoh Gargi, Maitreyi, Romasa dan lainnya (Titib, 1998). Kemudian, dijelaskan pula dalam Manava Dharmasastra III. 56 yang menjelaskan tentang perempuan harus dihormati, karena sebagai penentu dalam keberhasilan dalam yajna (Pudja dan Sudharta, 2002). Dalam mitologi Hindu banyak disebutkan tokoh-tokoh yang feminis antara lain Saraswati, Durga, laksmi, Parvati, Savitri dan lainnya yang merupakan lambang feminimis yang merupakan pembawa kemakmuran. Kehidupan modern umat Hindu sekarang ini perempuan juga mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan antara lain sebagai ibu, pengasuh anak, pelaksana keagamaan, wanita karier yang bertanggungjawab atas pekerjaan dikantor dan urusan rumah tangganya. Hal ini dijelaskan dalam Srimad Bhagavatam Skanda 7 Adhyaya 12 sloka 8 menyatakan bahwa : Atmā mata guroh patni Brahmani raja patnika Dhenur dhatri tathā pṛ thvi Saptaita matarah smrtaḥ Terjemahan : Ada ibu yang dianggap mulia, yaitu istri dari guru spiritual, istri Brahmana, istri raja, perawat dan bumi (Prabhupada, 1995 : p.686). Berdasarkan sloka diatas, menunjukan bahwa ada 5 ibu mulia yaitu istri guru, istri Brahmana, istri raja, perawat dan bumi. Karena pengorbanannya itu sosok ibu sangatlah dihormati sebagai pendamping sumi, pengurus anak dan
57
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
rumah tangganya. Dan bahkan bumi ini diibaratkan sebagai ibu yang tidak pernah marah yang selalu sabar dan memberikan berkah kepada semua makhluk yang bersandar diatasnya. Hal lain juga dijelaskan karena sungguh besar jasa seorang ibu baik kepada anaknya mapun kepada suami dan seluruh keluarganya, dalam Sarasamuccaya 240 juga mengatakan bahwa kewajiban seorang ibu melebihi beratnya bumi, sehingga sebagai anak haruslah menghormati orang tuanya karena jasa-jasa beliau tidak dapat dibayar walaupun hidup selama 100 tahun. Untuk lebih memahami tentang peranan ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagia, terlebih marilah kita tinjau makna dari perkawinan menurut kitab-kitab Dharmasastra, yaitu: 1. Dharmasampati, suami istri secara bersama-sama melaksanakan ajaran Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban hidup sesuai dengan ajaran agama. 2. Praja, suami istri mampu melahirkan keturunan (putra – putri) yang suputra, berkualitas yang akan melajutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. 3. Rati, suami istri dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan lainnya (Artha dan Kama) yang tidak bertentangan dengan Dharma (kebenaran). Bila setiap rumah tangga dapat mewujudkan ketiga hal tersebut di atas, maka kesejahtraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan rumah tangga itu. Dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya dinyatakan bahwa hubungan antara suamiistri dinyatakan sebagai satu jiwa dalam dua badan “Hendaknya manis bagaikan madu cinta kasih dan pandangan antara suami dan istri, penuh keindahan. Hendaknya senantiasa hidup bersama dalam suasana bahagia tanpa kedengkian. Mereka satu jiwa bagi keduanya” (Atharvaveda VII.36.1). Selanjutnya kitab Manavadharmasastra menyatakan hendaknya suami istri tidak jemu-jemunya
mengusahakan dan mewujudkan kerukunan serta kebahagiaan rumah tangga: “Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan agar mereka tidak bercerai, mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan dan jangan melanggar kesetiaan antara yang satu dengan yang lainnya” (IX.102). “Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus diyakini sebagai hukum yang tertinggi bagi suami-istri”(IX.101). “Keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula istri terhadap suaminya, di sana kebahagiaan pasti kekal abadi”(III.60). Suami dan istri diamanatkan oleh Tuhan Yang Mahaesa dalam kitab suci Veda untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan mengikuti jalan yang benar (mengikuti hukum yang berlaku), memperoleh putra yang perwira, membangun rumah sendiri dan hidup dengan sejahtra dan bahagia di dalamnya : “Wahai suami dan istri hendaknya kamu berbudi pekerti yang luhur, penuh kasih sayang dan kemesraan di antara kamu. Lakukan tugas dan kewajibanmu dengan baik dan patuh kepada hukum yang berlaku. Turunkanlah putra-putri yang perwira, bangunlah rumahmu sendiri dan hiduplah dengan suka cita di dalamnya” (Atharvaveda XIV.2.43). Terjemahan mantra Veda ini sangat relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Seseorang yang telah siap untuk memasuki rumah tangga harus mampu mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Untuk bisa mandiri, seseorang hendaknya memiliki penghasilan yang tetap dan untuk itu peranan pendidikan dan kerja keras yang juga senantiasa ditekankan dalam kitab suci Veda mengantarkan orang dapat mandiri. Demikian pula untuk memiliki putra-putri yang perwira, suputra atau berkualitas, setiap keluarga bila sepenuhnya mengikuti
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
58
ajaran agama (termasuk disiplin dalam hubungan suami sitri), putra- putri yang dicita-citakan akan lalhir pada keluarga itu. Di sinilah agama berperanan penting dalam menyiapkan SDM atau generasi yang berkualitas sesuai harapan setiap keluarga. Idealnya dalam setiap keluarga, suami sebagai kepala rumah tangga (disebut Grhapatya, Grhapati atau disingkat dengan Pati) sedang istri adalah ratu rumah tangga yang disebut Rajni atau Patni. Suami istri sering disebut Patipatni atau Dhampati. Sebelum membahas perana ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagian, marilah kita tinjau tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya . Di dalam Manavadharmasastra IX.2,3,9 dan 11 dapat dirangkumkan sebagai berikut : 1. Suami wajib melindungi istri dan anakanak serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga. 2. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaannya dan menugaskan istrinya untuk mengurusnya juga urusan dapur, upacara agama dalam rumah tangga dan dalam upacara-upacara yang besar bersama suaminya. 3. Suami berusaha menjamin klehiodupan istrinya serta memberikan nafkah, terutama bila dalam suatu urusan atau ketika ia harus melaksanakan tugas ke luar daerah. 4. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian peribadi dan keturunannya serta menjauhkan diri dari segala unsur yang mengakibatkan perceraian. 5. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena bila dalam rumah tangga suami istri selalu merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya. Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
6. Suami wajib menjalankan Dharma Grhastha denganbaik, Dharma kepada keluarga (Kula Dharma), terhadap masyarakat dan bangsa (Vamsa Dharma) serta wajib mengawinkan putra-putrinya pada waktunya. 7. Suami berkewajiban melaksanakan Sraddha, Pitrapuja kepada leluhurnya, memelihara anak cucunya serta melaksanakan Yajna. Demikian antara lain tugas dan tanggung jawab suami sebagai Bapak atau sebagai kepala rumah tangga. Bila dilaksanakan dengan baik, kelangsungan dan kebahagiaan rumah tangga atau keluarga akan dapat diwujudkan. Peranan Ibu dalam keluarga Di dalam Vanaparva Mahabharata (VIII.29) terdapat dialog antara Yudhistira dengan Yaksa yang menanyakan apakah yang lebih berat dari pada bumi dan lebih tinggi dari langit. Yudhistira menjawab : Ibu lebih berat dari bumi dan ayah lebih tinggi dari langit. Penjelasan yang sama dapat kita jumpai dalam Sarasamuccaya 240. Mengapa ibu dilambangkan dengan bumi dan ayah dengan langit. Pengorbanan ibu demikian besar dan tulus.Masyarakat Bali membandingkan saat seorang ibu melahirkan seperti tergantung pada sehelai rambut, sangat berbahaya dan bila salah sedikit ibu atau bayi atau keduanyapun akan korban. Penderitaan ibu saat melahirkan dari ibu tiada taranya. Seorang anak mungkin bisa melupakan kasih ibunya, tetapi seorang ibu tidak akan tidak mencintai anaknya, hal ini dijelaskan dalam Sarasamuccaya 245 : “Demikianlah Ibu, dalam kasih sayang kepada anaknya sama rata, sebab baik anaknya mampu atau tidak mampu, yang baik budi pekertinya atau yang tidak baik, yang miskin atau kaya, anak-anaknya itu semua dicintai dan dijaganya, diasuhnya mereka itu, tidak ada yang melebih kecintaan ibu dalam mencintai dan mengasuh anakanaknya‟ (Kadjeng, 1997).
59
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan kitab suci Veda suami hendaknya mengucapkan janji dan harapan kepada istrinya sebagai berikut: “Wahai istriku menjadilah pelopor dalam hal kebaikan, cerdas, teguh, mandiri, mampu merawat dan memelihara rumah, senantiasa taat kepada hukum seperti halnya bumi pertiwi. Aku memilikimu untuk kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga (Yajurveda XIV.22). “Seorang istri sesungguhnya adalah seorang cendekiawan dan mampu membimbing keluarganya” (Rgveda VIII.33.19). Seorang wanita, istri atau ibu juga diminta berpenampilan lemah lembut :“Wahai wanita, bila berjalan lihatlah ke bawah, jangan menengadah dan bila duduk tutuplah kakimu rapat-rapat” (Rgveda VIII.33.19). “Wahai istri, tunjukkan keramahanmu, keberuntungan dan kesejahtraan, usahakanlah melahirkan anak. setia dan patuhlah kepada suamimu (Patibrata), siap sedialah menerima anugrah-Nya yang mulia” (Atharvaveda XIV.1.42). “Wahai para istri, senantiasalah memuja Sarasvati dan hormatlah kamu kepada yang lebih tua” (Atharvaveda XIV.2.20). “Hendaknya istri berbicara lembut terhadap suaminya dengan keluhuran budi pekerti” (Atharvaveda , III.30.2). Hal lain dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga tidaklah semata tanggung jawab ibu, istri atau suami saja, tapi kedua belah pihak berusaha mewujudkan hal tersebut : “Wahai suami istri, binalah keluhuran keluarga, bekerjalah keras untuk meningkatkan kesejahtraan hidupmu. semoga kemashuran dan kekayaan yang engkau peroleh memberikan kebahagiaan” (Rgveda V.28.3). “Wahai suami-istri, tekunlah dan tetaplah laksanakan kebajikan, hanya orang yang memiliki Sradha (keimanan) yang teguh akan sukses di dunia ini” (Atharvaveda VI.122.3). Suami istri tidak dibenarkan terlalu menurutkan hawa nafsunya dan senantiasa
tekun untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan : “Hendaknya dorongan nafsu seksual tidak menodai kesucian pribadi”(Atharva istri tahan ujilah kamu, rawatlah dirimu, lakukan tapa brata, laksanakan Yajna di dalam rumah, bergembiralah kamu, bekerjalah keras kamu, engkau akan memperoleh kejayaan” (Yajurveda XVII.85). “Jadikanlah rumahmu itu seperti sorga, tempat pikiranpikiran mulia, kebajikan dan kebahagiaan berkumpul di rumahmu itu”(Atharvaveda VI.120.3). “Hendaknya dewi kemakmuran bersedia tinggal disini, tempat yang menyenangkan di rumah ini, dalam keluarga dan juga pada ternakmu” (Yajurveda VI.120.3). Di dalam berbagai susastra Hindu banyak dijumpai petunjuk-petunjuk untuk mewujudkan keharmonisan, kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Kunci keberhasilan untuk mencapai hal itu adalah kerja keras dan tekun melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Mahaesa. Memperhatikan uraian tersebut di atas, ibu sangat menentukan (bersama bapak) dan sangat berperanan dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Menurut tradisi Hindu, ada 6 jenis ibu yang patut dihormati seperti ibu kandung sendiri, yaitu : 1. Ibu kandung yang melahirkan, 2. Bidan atau dukun yang membantu ibu melahirkan. 3. Istri guru yang memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan. 4. Istri pejabat (pemerintah) yang turut serta membangun kesejahtraan kesejahtraan rakyat. 5. Sapi yang membantu petani dalam mengolah tanah dan memberikan susu. 6. Ibu Pertiwi, bumi tercinta yang memberikan kesejahtraan kepada semua makhluk. Demikian antara lain peranan seorang ibu dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga.Untuk itulah, peran ibu yang terdapat dalam sastra Veda sungguh sangat mulia karena restu Hyang Wihdi adalah restu dari orang tua itu sendiri yang harus di hormati dengan melakukan padasevanam dan wujud realnya adalah
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
60
selalu menghormati beliau dalam setiap saat.
Peran dan Kedudukan orangtua dalam penanaman nilai pendidikan karakter di era globalisasi Tanggal 22 Desember setiap tahun bangsa Indonesia memperingati hari Ibu sebagai penghormatan atas jasanya kepada putra-putrinya yang telah melahirkan bangsa ini. Bila kita membicarakan ibu, maka perhatian kita pada sebuah keluarga (keluarga inti) yang terdiri dari ibu, bapak dan anak-anak. Keluarga merupakan tahapan hidup yang kedua bagi setiap orang. Tahapan yang pertama disebut Brahmacari, yakni menuntut ilmu pengetahuan selaras pula dengan perkembangan jasmani dan rohani manusia. Ketika ia mencapai kematangan jasmani dan rohani, mereka memasuki kehidupan berumah tangga yang disebut Grahasthasrama. Kehidupan keluarga ini dimulai dengan upacara perkawinan (Vivaha). Perkawinan tanpa upacara (vivaha tan sinangarkara) tidak dibenarkan dalam agama Hindu dan diyakini sebagai dosa yang membuat kehancuran rumah tangga dan masyarakat. Didalam beberapa sastra suci Veda dikatakan bahwamenghormati ibu dalam aspeknya sebagai pemberi kesejahteraan adalah sama dengan kita menghormati sapi, karena sejah kita lahir sudah diberikan asi oleh ibu kita dan setelah itu kita minum susu yang notabene berasal dari Sapi. Salah satu ajaran Weda yang berhubungan dengan makanan adalah larangan untuk menyakiti dan membunuh sapi. Menyakiti saja tidak boleh apalagi membunuh dan, tentu saja, tidak membunuh berarti tidak memakan karena tidak mungkin kita memakan daging sapi tanpa membunuhnya. Rg Weda sukta 8, adhyaya 11, mantram 15 menyatakan: mata rudranam duhita vasunam
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
svasadityanam amrtasya nabhih pranuvocam cikituse janaya ma gam anagam aditim vadhistha: Sapi adalah Ibu dari sebelas Rudra, putri dari para Vasu, saudari dari putra-putra Aditi, saudari Shri Wishnu, pokok persembahan yajna pada para Dewa. Karena itu, Ku umumkan kepada orang-orang berbudi pekerti dan bijaksana (cikituse janaya), janganlah membunuh sapi yang tidak berdosa dan yang (memang seharusnya) tidak boleh dibunuh. Dalam Rg Weda 10.176.1 disebutkan: pra sunarva rbhunam brhannavanta vrjana kshame ye visvadhayoso‟snandhenum na mataram yang artinya: Seorang anak akan memakan 3 ibu yaitu, ibu bumi/ibu pertiwi, ibu sapi, dan ibu kandung. Ya, sapi disebut sebagai ibu: gawah visvasyah matarah (sapi adalah ibu seluruh duia). Setelah usai meminum air susu ibu (ASI), manusia beralih ke susu yang umumnya terbuat dari susu sapi. Bahkan hingga setelah dewasa. Bagaimana seorang anak memakan ke tiga ibu tersebut? Ketiga ibu dimakan dengan cara yang sama yaitu dimakan tanpa dibunuh. Secara singkat bisa dikatakan ketiga ibu hanya dimakan sarisarinya saja. Ibu kandung dan ibu sapi hanya dimakan susunya sedangkan ibu pertiwi dinikmati hasil alamnya tanpa merusak. Dalam Kakawin Ramayana pun terdapat bait-bait yang mengajarkan larangan menyakiti sapi. Sayangnya, bagian ini tidak populer ditembangkan. Yang paling sering kita dengar hanya bagian “Hana sira ratu ... “ atau “ Prihan temen dharma dumaranang sarat ...”. Baik-bait yang mengajarkan untuk tidak menyakiti sapi antara lain, “lara-laraning asor haneng sapi, sapinaka dipa kadi pwa yawarah, rasany angen-angenku kasihan, mulat i gatinya lana linut mangel” (di antara segala jenis penderitaan dan kesengsaraan yang berat-berat, penderitaan dan kesengsaraan terberat tertimpakan pada sapi.Peradaban parampara/turuntemurun (leluhur dan Weda) mengajarkan bahwa binatang sapi adalah pelita penerang
61
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dalam hidup masyarakat manusia. Aku (Ramadewa) dalam hati betul-betul merasa kasihan melihat nasib sang sapi, yang selamanya ditutupi oleh derita.); “sapi sapinaka rama-rena ya, sapinuji sara sapinrih ing masih, sapinakanaku lot betah mangel, ya matang akuk sapi pih tusyapaku” (menurut literatur Weda sapi adalah sebagai ayah dan ibu semua makhluk hidup. Amerta susu dan kekuatan badannya patut dipuji, rasa kasih sayangnya terhadap yang lain patut ditiru. Binatang seperti aku ini mampu senantiasa menahan banyak derita. Karena itulah aku disebut Sapi. Dan masih ada beberapa lagi. Ajaran Weda untuk melakukan tapa, vrata, yoga, Samadhi mungkin sulit untuk kita lakukan. Perlu waktu khusus, bahkan kesiapan mental dan fisik yang cukup untuk bisa melaksanakan dengan baik. Akan tetapi, untuk tidak menyakiti sapi dan tidak makan makanan dari sapi kecuali susunya (dan produk olahan susu) menurut saya sangat mudah. Banyak pilihan makanan lain dan tidak akan membuat kita kelaparan. Dompet, sepatu, ikat pinggang, dan lain-lain yang terbuat dari bahan imitasi sudah banyak yang berkualitas baik. Sejalan dengan pendapat ini bahwa wujud untuk menghormati orang tua sebagai aspek yang utama dalam menjalankan kewajiban kita sebagai anak. Pernyataan ini sangatlah bermakna mengingat pentingnya sebuah aktualisasi bhakti kita kepada orang tua dengan menuruti nasihat dan mendengarkan wejangan yang telah beliau berikan kepada kita. Ditengah kehidupan modernitas bahwa campur tangan kedua orang tua sangat kurang karena sebagian besar waktu orang tua tersita untuk bekerja di kantor sesuai dengan bidangnya. Untuk itulah dalam kehiduapan ini kita sebagai anak harus pandai membawa diri termasuk dalam pergaulan sehari-hari dan pengaruh lingkungan yang sangat besar pada perkembangan sikap dan mental kita. Akan tetapi, disisi lain banyak orang tua yang secra otoriter mengekang anaknya untuk
bermain diluar rumahnya karena orang tua takut dengan pergaulan yang sangat bebas tanpa kontrol orang tua. Menyikapi hal ini orangtua menurut hemat penulis harusnya memberikan ruang kepada anak untuk mengembangkan potensi dari dirinya akan tetapi orang tua harus mampu mengontrol anaknya dengan cara menyanyakan kegiatan apa yang akan dilakukan sepanjang harinya. Dengan cara inilah anak sebagai pribadi yang berkembang mampu untuk menunjukan jati dirinya yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan orang tua dalam hal ini mempunyai andil yang cukup besar perkembangan anak tersebut. Upaya penerapan nilai-nilai moral cerita mahabharata, Ramayana dan kesusasteraan Hindu dapat dilakukan pada kehidupan keluarga sebagai pendidikan yang pertama untuk kemudian berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, dengan menerapkan nilai moral ajaran dharma merupakan tindakan untuk menimbun karma baik dan hanya dengan karma baik seseorang dapat mencapai kebahagiaan yang abadi. Melanjutkan dari upaya penerapan nilai-nilai moral yang ada dalam kehidupan sosial keagamaan menurut Josephson institute (2012: 1) yang dijelaskan tentang pilar pendidikan character count yang terdiri dari enam pilar yang terdiri dari, dapat dipercaya, pengargaan, tanggungjawab, keadilan, kepedulian dan nasionalisme (Yaumi, 2014 : 62). Mengingat pentingnya penanaman nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita susastra Hindu, maka agama Hindu memberikan jalan yang terbaik sebagai upaya untuk menerapkan pendidikan karakter dalam kehidupan, sebagai berikut : 1. Kejujuran Penanaman nilai kejujuran yang dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari adalah dengan :
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
62
Volume II No. 1 September 2015
a. Berlaku jujur, tidak membohongi, menipu atau mencuri b. Jadilah terpercaya dalam perkataan dan perbuatan
Penanaman nilai rasa keadilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah :
untuk
a. Melakukan tindakan untuk memutuskan sesuatu sesuai dengan aturan
d. Setia berpihak kepada keluarga, teman dan negara.
b. Berkeinginan untuk membagi dan mengambil peran secara bergiliran
c. Memiliki keberanian melakukan hal yang benar
c. Selalu berpikir terbuka mendegarkan orang lain
2. Rasa Hormat Penanaman nilai rasa hormat yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah : a. Memperlakukan orang lain dengan hormat b. Memiliki rasa tolerasni berbagai perbedaan
atas
d. Menghindari dan menjauhkan diri dari upaya mengambil keuntungan dari orang lain. e. Tidak meletakan sesuatu dengan menyelahkan orang lain sembarangan. 5. Kepedulian
c. Menggunakan bahasa yang santun dan berlaku yang santun d. Menjaga dan memerhatikan perasaan orang lain e. Menjaga kedamaian menghindari rasa marah
dan
dan
f. Tidak menghina orang lain karena tidak setuju atau sependapat dengan pandangannya. 3. Tanggungjawab Penanaman nilai rasa tanggungjawab yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah : a. Melakukan sesuatu yang sudah menjadi tugasnya b. Menunjukan ketekunan, kerajinan dan terus berusaha c. Disiplin dan mengontrol diri dalam keadaan apapun d. Selalu mengkaji, menelaa, dan berpikir sebelum bertindak e. Mempertimbangkan dan memperhitungkan semua konsekuensi dari perbuatan. 4. Keadilan
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Penanaman nilai-nilai kepedulian yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah : a. Berupaya untuk menjaga kebaikan bersama orang lain b. Memiliki jiwa yang penuh kasih dan peduli c. Memberi maaf dan memaafkan orang lain d. Membantu membutuhkan
orang
yang
6. Nasionalisme Penanaman nilai nasioanalisme yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah : a. Berbagilah untuk membuat sekolah dan mayarakat menjadi semakin baik b. Bekerjasama dan berkolaborasi c. Memberikan hak dalam pemilihan
suara ketika
d. Mematuhi hukum dan peraturan e. Menghormati kekuasaan atau yang memegang otoritas
63
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
f. Menjaga dan lingkungan.
memelihara
Perkembangan anak ini sebagai aset keluarga dimasa mendatang hendaknya selalu diperhatikan oleh orang tuanya. Dalam beberapa sastra suci Veda dinyatakan bahwa anak adalah cerminan dari kedua orang tuanya, hal ini tentunya benar karena pada dasarnya anak sangat menuruti dari perilaku orang tuanya. Keadaan ini tentunya bisa dipertimbangkan dalam kehidupan modern ini, banyak orang tua yang dengan sikap dan tingkahlakunya sangat terhormat, akan tetapi perilaku anaknya sangatlah tidak mencerminkan kedua orang tuanya. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan dan dalam melakukan pengawasan kepada anak sangat kurang. Dengan demikian pola asuh yang kerkesinambungan antara pola pembinaan dan pengawasan harus seiring sejalan jangan sampai anak itu merasa terkekang atau merasa diawasi dengan rasa terpaksa.
Kesimpulan Bertolak dari pembahasan ini peran serta orang tua sangatlah diperlukan dalam mengiringi perkembangan anak. Pemahaman ini sangatlah diperlukan karena orang tua sebagai guru rupaka yang ada di keluarga. Hal ini juga dijelaskan dalam susastra Veda yang sangat mengagungkan kedudukan orang tua sebagai pendidik pertama sebelum si anak terjun kemasyarakat. Berkaitan dengan peran orang tua dalam kehidupan yang sangat vital, maka dalam kehidupan yang penuh dengan dinamika dan romatika hendaknya kita sebagai anak harus selalu menghormati kedua orang tua kita karena beliaulah yang telah membesarkan kita dari bayi sampai dengan dewasa seperti sekarang ini. Pada susastra Veda banyak dijelaskan bahwa nasehat yang dilontarkan orangtua kepada kita sesungguhnya kata-kata yang
merupakan intisari dari Veda yang dibahasakan dengan sangat sederhana. Dan pribahasa surga ada ditelapak kaki ibu merupakan sebuah ungkapan yang dalam hal ini bukan hal yang tanpa makna, tetapi jauh dari itu menyimpan makna yang sangat dalam, karena sang Ibu inilah yang berani mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkan anakanya bahwa beban tanggungjawab itu melebihi berat bumi. Karena kita sebagai anak mempunyai hutang badan, jasa dan hidup.
Daftar Pustaka Adiputra, I Gd Rudia. 2003. Pengetahuan Dasar Agama Hindu. Jakarta : STAH Dharma Nusantara. Donder. I Ketut. 2006. Brahmavidya Theologi Kasih Semesta. Surabaya : Paramita Hadi, Sumandiyo, 2006. Seni dalam Ritual Agama cet ; III. Yogyakarta : Buku Pustaka. Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Malang : Universitas Muhammadiyah Mantra, IB. 1997. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar : upada sastra, Surabaya : Paramitha. Mas Putra, Ny.IGA. 2000. Panca Yadnya. Denpasar : pemda Tk 1 Bali Maswinara, I Wayan.1999. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya : Paramitha. Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafat) terjemah IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita Puja, G, Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Veda Smrti Compedium Hukum
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
64
Volume II No. 1 September 2015
Hindu. Jakarta: Nursatama Lestari.
CV Felita
Pujileksono, Sugeng. 2007. Petualangan Antropologi (Sebuah Pengantar dalam Antropologi). Malang : Universitas Muhammadiyah Malang. Tim Kompilasi.2006. Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. Jakarta: PHDI Pusat Titib, I Made. 1996. Simbol Agama Hindu. Surabaya : Paramitha Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan). Surabaya : Paramitha Titib, I Made. 2001. Teologi dan Simbolsimbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramitha. To Ihromi. 1996. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Triguna, IBG. Yudha. 2000. Teori Simbol. Denpasar : Widya Dharma Weij, Van Der. 2000. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Wiana, I Ketut. 1995. Yadnya dan Bhakti dari Sudut Pandang Hindu. Jakarta : Wisma Karma. Wijaya, Khrisnanda Mukti. 2003. Wacana Budha Dharma Cet. 2. Jakarta : Yayasan Dharma pembangunan. Zoetmulder, P.J. 2005. AdiParva (Bahasa Jawa Kuno Dan Indonesia). Surabaya : Paramitha.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
65
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Efektivitas Penggunaan Kontekstual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Terhadap Motivasi Belajar Siswa Sekolah Minggu Buddha Se-Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung Mujiyanto STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Penggunaan Strategi Contekstual Teaching and Learning Terhadap Motivasi Belajar Siswa Sekolah Minggu Buddha di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah. Jumlah populasi sebesar 100 orang diputuskan untuk diambil sampel 100 responden. Data dikumpulkan melalui angket langsung yang dijawab oleh responden, selanjutnya dianalisis secara statistik dengan teknik analisis regresi sederhana menggunakan komputer program SPSS Versi 15.0. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa: (1) pengaruh pelaksanaan pembelajaran (x1) terhadap motivasi belajar siswa (y) menghasilkan angka t observasi sebesar (7,396) >1,660 (t tabel). Karena thitung (7,396) > ttabel (1,660), maka H0 ditolak, artinya koefisien regresi signifikan, berarti t hitung lebih besar dari t tabel. Karena t hitung lebih besar dari ttabel maka penggunaan CTL berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa Sekolah Minggu Buddha di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Keputusannya adalah menolak Hipotesis nol dan menerima Hipotesis alternatif. Kesimpulannya, bahwa penggunaan CTL mempengaruhi motivasi belajar siswa sebesar 35,8 %. Variabel penggunaan CTL ini memiliki pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Kata Kunci: Pembelajaran, Contekstual Teaching and Learning, Motivasi ABSTRACT This research aims to know the effect of contextual teaching and learning strategy towards learning motivation of Sunday school students in kaloran district temanggung regency central java province. The number of population is 100 people concluded to be taken 100 respondents. Data collection technique is by using questionnaire answered straightly by the respondent, then it is analyzed statistically by simple regression analysis technique uses SPSS Versi 15.0 computer program. The result of regression analysis shows that: (1) the effect of learning activity (x1) towards students‟ learning motivation (y) results observation t digit amounts (7,396) > 1,660 ( t table). As t count (7,396) > t table (1,660), so H0 is rejected, means regression coefficient is significant, means t count is greater than t table. As t count is greater than t table so the use of CTL effects towards learning motivation of Sunday school students in kaloran district temanggung regency. The decision is rejecting nought hypotheses and accepting alternative hypotheses. The conlusion is that the use of CTL effects students learning motivation amounts 35,8%. This CTL usage Variable has effect towrads students learning motivation. Keywords: Learning, contextual teaching and learning, motivation
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
66
Pendahuluan Pembelajaran merupakan salah satu bagian penting dalam proses pendidikan, dimana dapat menjadikan suasana lingkungan kelas menjadi suatu lingkungan yang nyaman, menyenangkan, dan dapat membntuk hubungan timbal balik atau interaksi antara guru dan siswa. Dengan pembelajaran pula akan menentukan keberhasilan siswa dalam menguasai materi, dapat menjadi tolok ukur keberhasilan suatu sekolah/lembaga pendidikan sebagai trasformer dalam mengolah input menjadi output yang berkualitas atau tidak. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab IV standar proses pasal 19 ayat (1) dinyatakan “Proses pembelajaran dalam satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik”. Pada pasal 20 ayat (1) dinyatakan bahwa Pelaksanaan proses pembelajaran harus memperhatikan jumlah maksimal peserta didik per kelas dan beban mengajar maksimal per kelas, rasio maksimal buku teks pelajaran setiap peserta didik, dan rasio maksimal jumlah peserta didik setiap pendidik; ayat (2) Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis. Sekolah Minggu Buddha (SMB) merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan nonformal di sistem pendidikan nasional, dan khususnya di lingkungan agama Buddha juga merupakan lembaga pendidikan yang sangat penting dalam menunjang keberlangsungan keberadaan umat Buddha. Mengingat betapa pentingnya Sekolah Minggu Buddha tersebut, maka mendapat perlindungan hukum yang sah dan memiliki kekuatan hukum tetap. Sebagaimana di atur dalam
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Peraturan pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bagian Kelima, Pasal 42, ayat (1) “Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk program Sekolah Minggu Buddha, Pabbajja Samanera, dan bentuk lain yang sejenis”. Mengingat pentingnya pendidikan bagi peradaban manusia, maka masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Sehubungan dengan pendidikan keagamaan, pemerintah menjamin sepenuhnya sebagaimana tersebut dalam BAB V Pasal 12, Unadang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan: (a) berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Kenyataan dilapangan bahwa sistem pengelolaan lembaga Sekolah Minggu Buddha sebagian besar masih belum secara sistematis, masih bersifat konvensional, baik pengelolaannya, sumber daya manusianya (guru dan siswanya). Yang terjadi sampai saat ini, manajemen pengelolaannya masih merupakan pekerjaan sambilan dan sukarela, sumber daya manusia yang mengajar juga masih terdapat guru yang belum profesional, dalam mengajar juga masih ditemui dengan menggunakan pendekatan yang monoton atau tidak variatif. Penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariatif, memungkinkan dapat memotivasi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, sehingga muncul semangat atau kegairahan dalam lingkungan belajar, yang akhirnya dapat membangitkan keyakinan peserta didik dalam meyakini
67
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
agamanya. Sejalan dengan banyaknya pendekatan pembelajaran yang dapat dipilih, maka akan memudahkan guru dalam membangkitkan motivasi belajar. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat dipilih pada Sekolah Minggu Buddha, karena Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuik dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata, sehibngga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Contextual Teaching and learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Elaine B. Johnson (Riwayat, 2008). Dari konsep tersebut, ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, CTL menekankan proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong siswa agar dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam
memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan nyata, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana meteri pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupkan, tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata. Motivasi yang muncul karena proses pembelajaran yang menarik, akan menjadi daya penggerak dan pendorong semangat peserta didik untuk ikut aktif dan belajar pada Sekolah Minggu Buddha, sehingga dimungkinkan keyakinan peserta didik dapat tertanam dalam benaknya, yang akhirnya tidak mudah untuk dibujuk rayu pindah ke agama lain dengan berbagai propaganda atau iming-iming. Menurut Mc. Donald (dalam Djamarah, 2008: p.148) yang mengatakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan. Perubahan energi dalam diri seseorang itu dapat berbentuk suatu aktivitas nyata berupa kegiatan fisik. Oleh karena seseorang mempunyai tujuan dalam aktivitasnya, maka seseorang mempunyai motivasi yang kuat untuk mencapainya dengan segala upaya yang dapat dia lakukan. Woodworth dan Marques (Sunarto, 2008), mendefinisikan motivasi sebagai satu set motif atau kesiapan yang menjadikan individu cenderung melakukan kegiatan-kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pendapat tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Chung dan Meggison (Suhaimin), yang mendefinisikan motivasi sebagai prilaku yang ditujukan kepada sasaran, motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
68
Volume II No. 1 September 2015
mengejar suatu tujuan. Motivasi berkaitan erat dengan kepuasan pekerjaan. Menurut Dalyono (2009: p.57), motivasi adalah daya penggerak atau pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan. Sumiati (2007: p. 236), mengatakan bahwa motivasi adalah dorongan yang muncul dari dalam diri sendiri untuk bertingkah laku. Dorongan itu pada umumnya diarahkan untuk mencapai sesuatu tujuan. Sehingga motivasi dapat memberikan semangat yang luar biasa terhadap seseorang untuk berprilaku dan dapat memberikan arah dalam belajar. Motivasi ini pada dasarnya merupakan keinginan yang ingin dipenuhi (dipuaskan), maka ia akan timbul jika ada rangsangan, baik karena adanya kebutuhan maupun minat terhadap sesuatu. Pada Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung memiliki potensi yang cukup baik, dimana Sekolah Minggu Buddha hampir ada di setiap desa, yang memerlukan penanganan yang serius, baik sistem pengelolaan manajemennya, pengelolaan sumber daya manusianya, maupun pengelolaan proses pembelajarannya. Dengan demikian keberadaan agama Buddha dapat dipertahankan dan bahkan dapat berkembang dengan baik. Dari uraian di atas dan kenyataan yang terjadi di sebagian besar Sekolah Minggu Buddha yang ada di Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, maka peneliti akan melakukan penelitian sejauh mana efektivitas penggunaan Contektual Teaching and Learning dalam pembelajaran dengan judul “Efektivitas Penggunaan Contekstual Teaching And Learning Dalam Pembelajaran Terhadap Motivasi Belajar Siswa Sekolah Minggu Buddha Se Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung”.
pengumpulan data, penelitian ini termasuk penelitian ex post facto, sebab akan melihat seberapa besar pengaruh antar variabel dalam penelitian. Pengumpulan data penelitian ini diperoleh setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung atau lewat.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, karena data diperoleh dalam bentuk angka-angka yang kemudian di analisis. Dilihat dari cara
Data hasil penelitian sampel selengkapnya disajikan pada tabel 1 berikut:
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lembaga Sekolah Minggu Buddha se Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Juni 2015. Hal ini dilakukan penelitian, karena Lembaga Sekolah Minggu Buddha merupakan Lembaga pendidikan nonformal yang masih dikelola dengan sistem konvensional, khususnya dalam proses pembelajarannya. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lembaga Sekolah Minggu Buddha se Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung yang berjumlah 20 lembaga. Sampel Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Penentuan ukuran sampel menggunakan rumus yang dekembangakan dari Issac Michael (Sugiyono, 2007: p.69) sebagai berikut: S=
λ2 . N . P . Q 2
d . (N-1) + λ2 . P . Q S = 3,841 (164) (0,5) (0,5) (0,05)2 (163) + 3,841 (0,5) (0,5) s =100
Keterangan: N = 160 P = Q = 0,5 d =5% λ2 =3,841
69
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Tabel 1 Sampel Penelitian siswa NO
1 2
DESA
Kali manggis Tlogo wungu
JML
JUMLAH
POPULASI
SAMPEL
3 3
3
Getas
5
4
Tleter
3
5
Kaloran
3
6
Gandon
3
JUMLAH
20
(100/20 . 3) = 15 (100/20 . 3) = 15 (100/20 . 5) = 25 (100/20 . 3) = 15 (100/20 . 3) = 15 (100/20 . 3) = 15 100
JML
15 15 25 15 15 15 100
Variabel Penelitian Penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel yang terdiri dari: 1 (satu) variabel independen dan 1 (satu) variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Kontekstual Teaching and Learning (X), dan variabel dependennya adalah Motivasi Belajar (Y).
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket atau kuesioner. Angket bersifat tertutup dengan menggunakan skala likert. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data penggunaan Contekstual Teaching and Learning (CTL). Cara mengukur Contekstual Teaching and Learning (CTL) dengan kuesioner yang berbentuk skala likert dengan lima skala. Sedangkan cara mengukur Motivasi Belajar juga menggunakan kuesioner yang berbentuk skala likert dengan lima skala. Cara yang dilakukan untuk pengambilan data penelitian adalah memberikan lembar instrumen sekaligus lembar jawaban, memberikan kesempatan kepada responden untuk tanggapan atas instrumen tersebut dan terakhir mengumpulkan kembali instrumen dan lembar jawaban.
Instrumen Contekstual Teaching and Learning (CTL) berupa kuesioner dengan skala likert. Keseluruhan butir diujicobakan berjumlah 56 butir. Setiap butir mempunyai pilihan jawaban dengan skala 5. Pemberian skor terhadap instrumen ini adalah diberi bobot skor 5, 4, 3, 2, atau 1. Butir no. 1 sampai dengan 50 mengungkapkan tentang Contekstual Teaching and Learning (CTL). Pilihan jawaban adalah SL (selalu), SR (sering), KK (kadang-kadang), JR (jarang), dan TP (tidak pernah). Kisi-kisi instrumen disiplin belajar ditampilkan pada tabel 2 berikut: Tabel 2. Kisi-Kisi Instrumen Pembelajaran Kontekstual Dimensi Pelaksanaan Pembelajaran Komponen Contekstual Teaching and Learning (CTL) Interaksi komponen pembelajaran
Jumlah
Jml
Nomor Butir
1. Guru 2. Isi atau materi pembelajaran 3. Siswa
25
1-25
1. Metode pembelajaran, 2. Media pembelajaran, 3. Penataan lingkungan tempat belajar
25
26-50
50
50
Indikator
b. Instrumen Motivasi Belajar Instrumen motivasi belajar berupa kuesioner dengan skala likert. Keseluruhan butir yang diujicobakan berjumlah 20 butir. Setiap butir mempunyai pilihan jawaban skala 5 (lima). Pemberian skor terhadap instrumen ini diberi bobot skor 5, 4, 3, 2, atau 1. Pilihan jawaban berupa SL (selalu), SR (sering), KK (kadang-kadang), JR (jarang), dan TP (tidak pernah). Kisikisi instrumen motivasi belajar ditampilkan pada tabel berikut:
Instrumen Pengumpulan Data a. Instrumen Contekstual Teaching and Learning (CTL)
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
70
Volume II No. 1 September 2015
Tabel 3. Kisi-Kisi Angket Motivasi BelajarSiswa No item No
Aspek
Indikator
Jumlah Positif
1.
Intrinsik a. Perasaan senang
-
-
b.
Kemauan
-
-
c.
Kecerdasan
-
d. 2.
Kemandirian Extrinsik Dorongan
-
-
-
Jumlah
Senang terhadap pelajaran Pandidikan Agama Buddha Senang terhadap guru Sekolah Minggu Senang mengerjakan Materi Agama Buddha Kemauan siswa mengerjakan soal-soal Agama Buddha. Kemauan siswa mengerjakan PR Kemauan siswa memperoleh nilai baik Kesadaran siswa untuk belajar Agama Buddha Kesadaran siswa untuk mendalami bahan Kesadaran siswa untuk tidak mencontek Dorongan dari orang tua siswa Dorongan untuk berprestasi
Negatif
1,2,3
3
4
1
10,11 6,9
2 5
3
7,8
2
13
14
2
15
16
2
17
20
1 12
1
19
2
18
13
1
7
20
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Supaya instrumen yang dipakai dalam penelitian dapat digunakan dengan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, instrumen terlebih dahulu diujicobakan. Tujuan diadakan uji coba instrumen adalah untuk mengetahui pemahaman isi dan keterbatasan kuesioner. 1. Validitas Instrumen Menurut Azwar (1998: 5) validitas berasal dari kata validity yang memiliki arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Uji validitas terhadap alat ukur dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi product moment dari pearson. Penghitungan validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan komputer dengan progran Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) for Windows Realease 15.0. 2. Reliabilitas Instrumen
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Uji coba reliabilitas instrumen dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui taraf kepercayaan kuesioner atau angket sebagai alat pengumpul data. Instrumen tentang tingkat penyesuaian diri, kualitas pelayanan pendidikan, dan motivasi belajar berbentuk angket atau kuesioner dengan skala likert, maka reliabilitasnya dapat ditujukan berdasarkan rumus alpha cronback (Black, 1999: 274). Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data, maka digunakan teknik analisis statitik deskriptif, dan regresi ganda. 1. Analisis Statistik Deskriptif Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran secara umum. Mengenai data penelitian statistik yang disajikan meliputi skor minimal, skor maksimal, rentang skor, rerata, median, modus, dan simpangan baku untuk masing-masing variabel penelitian. 2. Regresi Ganda Analisis regresi ganda dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh seluruh variabel bebas secara bersamasama terhadap satu variabel terikat (Black, 1999: 678), atau untuk memprediksi besarnya variabel dependen (Y). Berdasarkan variabel independennya (X1 dan X2) untuk mengetahui signifikansi regresi tersebut digunakan uji F. Ketentuan yang digunakan, jika F hitung > F tabel, atau alpha < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh kedua variabel independen (tingkat penyesuaian, kualitas pelayanan pendidikan) yang diteliti secara bersama-sama terhadap variabel dependen (motivasi belajar) adalah signifikan. Dari analisis regresi ganda dapat disusun persamaan regresi: Ŷ = a + b1X1 + b2X2 + b3X3.
71
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Untuk analisis regresi ganda, pengujian uji F dan t harus dilkukan sendiri-sendiri untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel bebas (Ali Muson, 2005: 52). Nilai F tes dapat diketahui dari tabelAnova pada output SPSS, jika nilai sig lebih kecil dari 0,05 berarti hipotesis nol ditolak.
PEMBAHASAN Lokasi Penelitian Kecamatan Kaloran adalah salah satu dari 20 kecamatan di wilayah Kabupaten Temanggung, Jarak dari Kota Temanggung 15 Km dengan luas 6.392 Ha. Dengan rincian Lahan Sawah 1.436 Ha dan Bukan Lahan Sawah 4.956 Ha. Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung dalam pembagian wilayah Administrasi terbagi menjadi 14 Desa, 108 Dusun, 410 RT, 104 RW. dengan jumlah Kades 14, perangkat desa 294 dan anggota BPD 144. Kantor Kecamatan Kaloran Desa di Kecamatan Kaloran adalah: Desa Kaloran, Desa Tlogowungu, Desa Gandon, Desa Tleter, Desa Getas, Desa Kalimanggis, Desa Tempuran, Desa Kemiri, Desa Geblog, Desa Tegowanuh, Desa Keblukan, Desa Tepusen, Desa Gandulan, dan Desa Kwarakan. Wilayah Kecamatan Kaloran terletak pada ketinggian tanah rata-rata 715 m di atas permukaan laut, dengan suhu maksimum 30 derajat celsius dan suhu minimum 20 derajat celcius. Rata-rata jumlah hari hujan 64 hari dan banyaknya curah hujan 22 mm/th. Berdasarkan Registrasi tahun 2012 Kecamatan Kaloran dengan jumlah penduduk 40.717 jiwa yang terdiri dari 20.264 laki-laki, 20.453 perempuan, kepadatan penduduk 631 per Km2 . Angka kelahiran kasar (CBR) - per 1000 jiwa, Angka Kematian Kasar (CDR) - per 1000 jiwa, Jumlah rumah tangga pada tahun 2012 sebanyak 11.671 rumah tangga dengan rata-rata penduduk per rumah tangga sebanyak 3-4 orang per rumah tangga. Jumlah penduduk berusia 5 tahun keatas yang menamatkan perguruan tinggi
hanya 468 jiwa, tamat Akademi / sarjana muda sebesar 558 jiwa, tamat SLTA sederajat sebesar 3.750 jiwa, tamat SLTP sederajat 6.772 jiwa, tamat SD sederajat sebesar 19.347 jiwa, tidak tamat SD sebesar 392 jiwa, Belum tamat SD 4.139 jiwa, Belum/tidak sekolah sebesar 2.222 jiwa. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian masih didominasi oleh sektor pertanian yaitu 20.604 jiwa, Sektor Perternakan sebesar 1.150 jiwa, Sektor perkebunan sebesar 2.194 jiwa, Pertambangan/penggalian sebesar 27 jiwa, yang bekerja pada sektor industri hanya 2.479 jiwa, sektor bangunan 666 jiwa, perdagangan 1.735 jiwa, yang bekerja pada sektor Pengangkutan sebesar 605 jiwa, Bank & lembaga keuangan lainnya 10 jiwa, Jasa 1.220 jiwa dan sektor lainnya 3.900 jiwa. Banyaknya rumah tangga menurut Sumber Air Minum yang menggunakan Leding/PAM sebesar 1.519 jiwa, Sumur sebesar 5.870 jiwa dan Mata air sebesar 4.343 jiwa. Sedangkan rumah tangga menurut sarana penerangan sebanyak 11.732 jiwa menggunakan sarana PLN. Potensi Kecamatan Kaloran berupa tanaman yang dapat dikembangkan di Kecamatan Kaloran antara lain: Padi, Jagung, Ketela Pohon, Kacang Tanah. Untuk Tanaman sayuran antara lain : Kacang Panjang, Lombok. Untuk Buahbuahan antara lain : Durian, Rambutan, Pepaya, Pisang. Tanaman Perkebunan antara lain: Tembakau, Jahe. Peternakan antara lain : Sapi, Kambing/Domba, Ayam Buras, Ayam Ras, Itik. Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung dengan Jumlah Puskesmas 2 buah, Puskesmas Pembantu 4 buah, Posyandu 107 buah, PKD 9 buah. Dalam segi pendidikan, banyaknya Sekolah dan Murid tahun ajaran 2012/2013 TK Swasta 32 buah, murid 983 orang dengan jumlah guru 93 orang, SD Negeri 27 buah, murid 3.019 orang dengan jumlah guru 248 orang, SD Swasta 11 buah, murid 834 orang dengan jumlah guru 99 orang. Untuk
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
72
Volume II No. 1 September 2015
SLTP Negeri 3 buah, murid 920 orang dengan jumlah guru 69 orang, SLTP Swasta 7 buah, murid 666 orang dengan jumlah guru 91 orang. Untuk SLTA Negeri belum ada, SLTA Swasta 1 buah, murid 238 orang dengan jumlah guru 37 orang. Selain itu baru-baru ini terdapat Lembaga Pendidikan Dhammasekha yang didirikan oleh yayasan dengan pelindung Ditjen Bimas Buddha, yang muridnya sekarang sudah mencapai lebih dari 100 orang. Selain itu juga terdapat sekolah non formal buddha yaitu Sekolah Minggu Buddha (SMB) yang terdapat dibeberapa desa/kelurahan.
ujivaliditas yang menunjukkan tingkat signifikansi di bawah 5 % atau 0.05. Tabel berikut menunjukkan hasil uji validitas yang telah dilakukan.
Analisis dan Hasil Penelitian 1. Uji Validitas Sebelum digunakan pada subjek penelitian yang sebenarnya, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini diuji cobakan terlebih dahulu. Tujuan dari uji coba atau try out adalah untuk menyeleksi instrumen manakah yang valid dan reliable agar dapat digunakan dalam penelitian. Uji coba dilaksanakan langsung dengan menggunakan keseluruhan sampel sebanyak 100 responden. Data yang telah diperoleh pada saat uji coba kemudian dianalisis untuk mengetahui kualitas dari alat ukur tersebut, apakah valid dan reliabel. Untuk perhitungan analisis digunakan bantuan komputer dengan program SPSS versi 15.0 for windows . a. Validitas instrumen CTL Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, penelitikemudianmelakukanujivalidita sdenganmengolah data menggunakan SPSS for windows versi 15.0. Dapat diketahui bahwa dari 30 daftar pertanyaan yang diberikan kepada 100 responden, semua memiliki validitas yang cukup baik, hal ini diketahui dari
Nilai KMO sebesar 0,931 menandakan bahwa instrumen valid karena sudah memenuhi batas 0,50 (0,931>0,50), sehingga layak dijadikan instrumen penelitian. Korelasi anti image menghasilkan korelasi yang cukup tinggi untuk masing-maing item nilai Corrected Item-Total Correlation lebihdari 0,1966 (r tabel) (dapat dilihat table terlampir), sehingga dapat dinyatakan bahwa 30 item pertanyaan yang digunkan untuk mengukur konstruk CTL memenuhi criteria sebagai pembentuk konstuk. b. Validitas Isntrumen Motivasi Belajar Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan,peneliti kemudian melakukan uji validitas instrumen motivasi belajar dengan mengolah data menggunakan SPSS for windows versi 15.0. Dapat diketahui bahwa dari20 daftar pertanyaan yang diberikankepada 100 responden, semua memiliki validitas yang cukup baik, hal ini diketahui dari ujivaliditas yang menunjukkan tingkat signifikansi di bawah 5 % atau 0.05. Tabel berikut menunjukkan hasil uji validitas yang telah dilakukan.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Sphericity
Approx. ChiSquare Df Sig.
0,931
5.317,061 435 0,000
73
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Item-Total Statistics KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Sphericity
Approx. ChiSquare Df Sig.
Scale Mean if Item Deleted
0,834
Scale Variance if Item Deleted
Correcte d ItemTotal Correlati on
Cronbac h's Alpha if Item Deleted
VAR00001
88,4700
324,171
0,649
0,917
VAR00002
88,4300
329,783
0,551
0,918
190
VAR00003
88,5200
332,313
0,501
0,919
0,000
VAR00004
88,4600
326,170
0,607
0,917
VAR00005
88,6700
327,011
0,579
0,918
VAR00006
88,4500
328,634
0,563
0,918
VAR00007
88,4700
325,363
0,609
0,917
VAR00008
88,4600
326,089
0,585
0,918
VAR00009
88,4800
328,353
0,576
0,918
VAR00010
88,5400
329,645
0,535
0,918
VAR00011
88,3800
328,440
0,563
0,918
VAR00012
88,5800
331,095
0,506
0,919
VAR00013
88,6100
327,412
0,568
0,918
VAR00014
88,6800
329,674
0,529
0,918
VAR00015
88,6100
328,261
0,538
0,918
VAR00016
88,6800
328,583
0,583
0,918
VAR00017
88,6100
332,947
0,436
0,920
VAR00018
88,5700
335,197
0,384
0,920
VAR00019
88,5200
335,808
0,390
0,920
VAR00020
88,5600
333,966
0,406
0,920
VAR00021
88,5900
331,658
0,441
0,920
VAR00022
88,5700
334,227
0,424
0,920
VAR00023
88,6200
332,258
0,436
0,920
VAR00024
88,6400
331,182
0,486
0,919
VAR00025
88,6300
330,660
0,505
0,919
VAR00026
88,6700
331,920
0,479
0,919
VAR00027
88,5800
332,448
0,431
0,920
VAR00028
88,4600
330,776
0,472
0,919
VAR00029
88,6000
330,929
0,471
0,919
VAR00030
88,5800
333,135
0,449
0,920
1.846,445
Nilai KMO sebesar 0,834 bahwa instrumen valid karena sudah memenuhi batas 0,50 (0,834>0,50), sehingga layak dijadikan instrumen penelitian. Korelasi anti image menghasilkan korelasi yang cukup tinggi untuk masing-masing item nilai Corrected Item-Total Correlation lebih dari 0,1966 (r tabel) (dapat dilihat tabel terlampir), sehingga dapat dinyatakan bahwa 30 item pertanyaan yang digunkan untuk mengukur konstruk motivasi belajar siswa memenuhi kriteria sebagai pembentuk konstuk. 2. Uji Reliabilitas Instrumen a. Reliabilitas Instrumen CTL Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, peneliti kemudian melakukan uji reliabilitas dengan mengolah data menggunakan SPSS for windows versi 15.0. Dapat diketahui bahwa dari 30 daftar pertanyaan yang diberikan kepada 100 responden, semua memiliki reliabilitas yang cukup baik, hal ini diketahui dari uji reliabilitas yang menunjukkan tingkat signifikansi dibawah 5 % atau 0.05. Tabel di bawah ini merupakan hasil uji reliabilitas dari 30 pertanyaan yang diujikan kepada 100 responden memiliki reliabilitas yang baik dilihat dari nilai koefisien Cronbach's Alpha sebesar 0,921 seperti tabel berikut:
Reliability Statistics Cronbach's Alpha 0,921
N of Items 30
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
74
Volume II No. 1 September 2015
Dengan demikian dapat diimpulkan bahwa variabel ini adalah reliabel. b. Reliabilitas Instrumen Motivasi Belajar Siswa Berdasarkan data hasil uji instrumen motivasi belajar siswa yang diperoleh dari lapangan, hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 20 daftar pertanyaan yang diberikan kepada 100 responden, semua memiliki reliabilitas yang cukup baik dilihat dari nilai koefisien Cronbach's Alpha sebesar 0,902, diketahui juga dari uji reliabilitas yang menunjukkan tingkat signifikansi dibawah 5 % atau 0.05 (hasil secara keseluruhan terlampir).
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
0,902
20
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
VAR00001
57,8000
163,616
0,371
0,902
VAR00002
57,8400
164,560
0,338
0,903
VAR00003
57,7400
161,225
0,441
0,900
VAR00004
57,7000
163,020
0,366
0,902
VAR00005
57,7300
163,149
0,359
0,902
VAR00006
57,7200
155,779
0,632
0,895
VAR00007
57,7500
156,351
0,629
0,895
VAR00008
57,7700
157,916
0,566
0,897
VAR00009
57,3600
159,869
0,578
0,897
VAR00010
57,8200
161,260
0,470
0,899
VAR00011
57,6400
161,021
0,493
0,899
VAR00012
57,7000
157,869
0,605
0,896
VAR00013
57,6800
159,998
0,530
0,898
VAR00014
57,7700
159,391
0,532
0,898
VAR00015
57,7500
156,533
0,665
0,894
VAR00016
57,6600
158,045
0,595
0,896
VAR00017
57,8100
156,721
0,632
0,895
VAR00018
57,7800
156,355
0,668
0,894
VAR00019
57,8300
157,395
0,591
0,896
VAR00020
57,9700
155,969
0,642
0,895
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
3. Uji Persyaratan Analisis 1. Uji Normalitas Uji normalias dalam penelitian ini menggunakan Uji Kolmogorov Smirnov. Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji normalitas dengan menggunakan grafik. Konsep dasar dari uji normalitas Kolmogorov Smirnov adalah dengan membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan normal. Jadi sebenarnya uji Kolmogorov Smirnov adalah uji beda antara data yang diuji normalitasnya dengan data normal baku. Seperti pada uji beda biasa, jika signifikansi di bawah 0,05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan, dan jika signifikansi di atas 0,05 maka tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Penerapan pada uji Kolmogorov Smirnov adalah bahwa jika signifikansi di bawah 0,05 berarti data yang akan diuji mempunyai perbedaan yang signifikan dengan data normal baku, berarti data tersebut tidak normal. Lebih lanjut, jika signifikansi di atas 0,05 maka berarti tidak terdapat perbedaan yang
75
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal baku, artinya data yang di uji normal. Berdasarkan hasil uji normalitas yang telah dilakukan, dibawah ini digambarkan hasil uji normalitas dalam bentuk tabel seperti berikut: Discriptive Statistics
N
CTL
Mean
100
MOTIV
Std. Deviation
91,6100
100
18,77452
60,7800
13,25170
Mini mum
N
142 ,00
36,0 0
95, 00
6.228 ,228
88, 71 3
0,0 00
8.278,4 82
57
145,2 37
2,0 69
0,0 08
70,20 6
17.385, 160
99
Positi ve
0,046
0,06 1
R Squar e
Adjusted R Square
0,358
0,352
a. Predictors: (Constant), CTL
b. Calculated from data.
1
Total
0,06 1
a. Test distribution is Normal.
6.228,2 28
60,7 800
0,048
Asymp. Sig. (2-tailed)
0,0 00
91,61 00
Absol ute
Kolmogorov-Smirnov Z
3,5 63
41
Most Extreme Differences
0,048
0,05 3
0,481
0,60 8
0,975
0,85 4
Std. Error of the Estimate 10,66988
Sig .
250,1 16
2.878,4 50
13,2 517 0
F
58
Within Groups
18,77 452
b. Dependent Variable: MOTIV Negati ve
Linea rity
Mean Squar e
14.506, 710
100
Std. Deviat ion
,599(a)
(Com bined )
Devia tion from Linea rity
Model Summary(b)
1
MOTIV Bet * CTL we en Gr ou ps
Df
100 Mean
R
Sum of Squares
MO TIV
Norm al Para meter s(a,b)
Model
ANOVA Table
Mu m
47,0 0
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test CTL
Ma xi
2. Uji Linearitas Dari uji-uji sebelumnya yang sudah memenuhi syarat maka langkah selanjutnya melakukan uji linearitas untuk mengetahui kelinearan variabelvariabel yang diteliti. Uji yang digunakan untuk mengetahui linier atau tidaknya variabel adalah menggunakan uji F.
Berdasarkan ANOVA Table antara variabel pembelajaran strategi ctl dengan motivasi belajar di atas menggambarkan nilai F tabel (Ft) lebih besar dari F hasil analisis (Fa) yaitu (88,713 > 0,000). Setelah didapat harga F hasil analisis (0,000) kemudian dikorelasikan dengan harga F pada tabel (88,713) dengan taraf signifikansi 5%, sehingga dapat dikatakan harga F hasil analisis (Fa) lebih kecil dari F tabel (Ft) maka hubungan kriterium dengan prediktor adalah hubungan linier. 3. Analisis Data Dari hasil penelitian diperoleh data mengenai strategi pembelajaran CTL di sekolah minggu buddha (SMB) Kecamatan Kaloran Temanggung Jawa Tengah terhadap motivasi belajar
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
76
siswa, yang kemudian dianalisis dengan regresi sederhana. Perhitungan analisis ini menggunakan bantuan progaram SPSS versi 15.0 for windows. Tujuan diadakan analisis data adalah untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Analisis regresi sederhanamerupakan salah satu metodi uji regresi yang dapat dipakai sebagai alat inferensi statistik untuk menentukan pengaruh variabel bebas (independent) yaitu strategi pembelajaran CTL terhadap variabel terikat (dependent) yaitu motivasi belajar siswa. a. Koefisien Determinasi Koefesien determinasi digunakan untuk menghitung besarnya peranan atau pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Tabel dibawah ini menunjukkan besarnya koefisien determinasi yang berfungsi untuk mengetahui besarnya persentase variabel terikat (motivasi belajar) yang dapat dijelaskan dengan menggunakan variabel bebas (strategi pembelajaran CTL). Dari analisis tabel diatas dapat diketahui bahwa angka R Square (angka korelasi yang dikuadratkan atau 0,5992) sebesar 0,358. Angka R Square disebut juga sebagai Koefesien Diterminasi. Besarnya angka Koefesien Diterminasi 0,358 atau sama dengan 35,8%. Angka tersebut berarti bahwa sebesar 35,8% dari motivasi belajar siswa yang terjadi dapat dijelaskan dengan menggunakan strategi pembelajaran CTL. Sedang sisanya, yaitu 64,2% (100% - 35,8%) dapat dijelaskan oleh faktor-faktor penyebab lainnya. Dalam kasus diatas berarti faktor-faktor lain yang mempengaruhi motivai belajar yang diprediksi semakin mengecil. Hal ini bermakna bahwa variabel yang dipilih sudah tepat. Perlu untuk diketahui bahwa besarnya R square berkisar antara 0 – 1 yang berarti semakin kecil besarnya R
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
square, maka hubungan kedua variabel semakin lemah. Sebaliknya jika R Square semakin mendekati 1, maka hubungan variabel semakin kuat. Sehingga dapat dikatakan hubungan kedua variabel ini kuat. b. Koefisien Regresi Coefficients(a) M o d e l 1
Unstandardized Coefficients Std. B Error (Co nsta nt) CTL
22,078
5,340
0,422
0,057
Stand ardiz ed Coeffi cients Beta
0,599
T
Sig.
4,134
0,000
7,396
0,000
a. Dependent Variable: MOTIV
Bagian ini menggambarkan persamaan regresi untuk mengetahui angka konstan dan uji hipotesis signifikansi koefisien regresi. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS ver. 15.0 diperoleh bentuk persamaan regresi linear sederhana sebagai berikut: Y = a + bx; Y = 22,078 + 0,422. Di mana Y = motivasi belajar siswa, dan x = strategi pembelajaran CTL. Dari persamaan regresi tersebut terlihat bahwa pengaruh pelaksanaan pembelajaran strategi CTL terhadap motivasi belajar adalah searah (positif), yang artinya bahwa semakin baik pelaksanaan pembelajaran strategi pembelajaran CTL akan mengakibatkan peningkatan motivasi belajar siswa. Hal tersebut ditunjukkan pada koefisien regresi atau nilai b dalam persamaan regresi tersebut yang menunjukkan angka positif sebesar 0,422. Arti persamaan regresi tersebut bahwa setiap peningkatan pelaksanaan strategi pembelajaran CTL sebesar 1 akan diikuti dengan peningkatan motivasi belajar siswa sebesar 0,422. Demikian pula sebaliknya, jika pelaksanaan strategi pembelajaran CTL mengalami penurunan sebesar 1 maka motivasi belajar siswa akan cenderung mengalami penurunan sebesar 0,422.
77
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
c. Pengujian hipotesis Uji t akan digunakan untuk menguji signifikansi konstanta danpelaksanaan pembelajaran. 1) Hipotesis HO = koefisien regresi tidak signifikan. Ha = koefisien regresi signifikan. 2) Keputusan Jika t hitung < t table maka HO diterima. Jika t hitung > t table maka HO ditolak. Dari olah data SPSS didapat t hitung = 7,396 Untuk menghitung t table digunakan ketentuan sebagai berikut: α = 0,05. DF = (jumlah sampel – 2) atau 100-2 = 98. t table = 1,660 (hasil dari tabel t terlampir). Karena t hitung (7,396) > t tabel (1,660), maka H0 ditolak, artinya koefisien regresi signifikan, berarti t hitung lebih besar dari t tabel. Karena t hitung lebih besar dari t tabel maka pelaksanaan pembelajaran strategi CTL berpengaruh pada motivasi belajar siswa. Kesimpulannya, bahwa pelaksanaan strategi pembelajaran CTL mempengaruhi motivasi belajar siswa sekolah minggu Buddha (SMB) di Kecamatan Kaloran Temanggung sebesar 35,8%. Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian yang telah diuraikan bahwa pelaksanaan strategi pembelajaran CTL (x) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap motivasi belajar siswa (y). Besarnyapengaruh tersebut dapat dinyatakan oleh besarnya koefisien determinasi sebesar 35,8%. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis penelitian yang dikemukakan pada Bab II bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pelaksanaan pembelajaran strategi CTL terhadap motivasi siswa sekolah minggu Buddha di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Berdasarkan hasil analisis regresi ditemukannya besarnya pengaruh
yang diberikan pelaksanaan pembelajaran CTL terhadap motivasi belajar siswa Sekolah Minggu Buddha (SMB) di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung dapat dilihat dari persamaan regresi. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh antara pelaksanaan pembelajaran CTL terhadap motivasi belajar siswa Sekolah Minggu Buddha (SMB) di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung adalah positif dan signifikan, dengan persamaan regresi Y = a + b1x1; Y = 22,078 + 0,422, menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu unit skor pelaksanaan pembelajaran CTL akan menyebabkan kenaikan skor motivasi belajar siswa sekolah minggu Buddha sebesar 0,422 unit pada konstanta 22,078. Berkaitan dengan hasil penelitian ini, maka pelaksanaan pembelajaran CTL di sekolah minggu buddha (SMB) Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung Jawa Tengah perlu ditingkatkan agar memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap motivasi belajar siswa. Simpulan Berdasarkan analisis data dan pengujian hipotesis penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa: pelaksanaan pembelajaran CTL (x1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi belajar Siswa Sekolah Minggu Buddha (SMB) di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Variabel pelaksanaan pembelajaran CTL ini memiliki pengaruh kuat terhadap motivasi belajar siswa Sekolah Minggu Buddha (SMB) di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Saran Berdasarkan hasil dan kesimpulan dalam penelitian ini, beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pembelajaran CTL yang terjadi selama ini di Sekolah Minggu Buddha (SMB) di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung perlu
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
78
diperbaiki lagi agar motivasi belajar anak siswa semakin meningkat. 2. Perlu pembinaan guru Sekolah minggu Buddha agar kualitas gurunya semakin meningkat. 3. Perlu ada penelitian yang sejenis dengan tema yang berbeda untuk menguji berbagai teori-teori pembelajaran CTL, serta dengan memilih variabel lainnya untuk mengungkap variabel lain yang berpengaruh terhadap motivasi belajar anak. Daftar Pustaka Azwar, S. (1998). Metodologi Penelitian.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Black. (1999).Sampling Purposive. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Dalyono. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Djamarah Syaiful Bahri dan Zain Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta Johnsosn B. Elaine. 2009. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Learning Center (MLC). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standart Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Agama Dan Keagamaan Buddha Sugiyono. 2007. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sumiati dan Asra. 2007. Mengajar dan Pembelajaran. Bandung: Rancaekek Kencana Sunarto dan Hartono. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta. Uundang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
79
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
MAKNA SIMBOLIS “RUWAHAN” PADA MASYARAKAT BUDDHIS DI DUSUN BULING, DESA BUBAKAN, KECAMATAN GIRIMARTO (Studi Kasus Tentang Kegiatan Ritual RUWAHAN yang Dilakukan Oleh Umat Buddha Di Dusun Buling, Desa Bubakan Kecamatan Girimarto) Tri Yatno, Situ Asih, Kustiani, Pujono STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri (
[email protected]) ABSTRAKSI Maksud dan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan makna simbolis dari ritual Ruwahan yang dilakukan oleh masyarakat Buddhis di Dusun Buling dan untuk menganalisis bagaimana konstruksi sosial masyarakat Buddhis di Dusun Buling terbentuk dari ritual Ruwahan tersebut. Penelitian ini ini bermaksud untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang komprehensif mengenai makna simbolik serta konstruksi sosial masyarakat dalam kegiatan Ritual Ruwahan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat Buddhis di Dusun Buling, Kecamatan Girimarto. Dengan demikian maka strategi penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriftif dengan pendekatan Studi kasus. Dalam penelitian ini pemilihan informan dilakukan berdasarkan teknik Maximum Varians sampling yakni cara mengambil subjek sebagai informan bukan didasarkan pada strata, random atau daerah melainkan berdasarkan pada tujuan tertentu, sehubungan dengan dipilihnya studi kasus sebagai strategi penelitian, maka data diperoleh dari wawancara sebagai data primer. Data wawancara diperoleh dari masyarakat Buddhis dan para tokoh agama serta tokoh masyarakat yang tinggal di dusun Buling. Hasil penelitian ini (1) makna secara keseluruhan dari ritual ruwahan adalah membersihkan pikiran dan batin manusia, agar kembali menjadi pikiran yang “jejeg” atau lurus dan bersih sehingga dalam melaksanakan segala sesuatu dengan penuh kesadaran. (2) Konstruksi sosial terbentuk dari proses dialektika sosial yang meliputi eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Proses tersebut membentuk sebuah pola pikir masyarakat Dusun Buling yang berdampak pada perilaku sehari-hari. Kata Kunci: Makna Simbolik, Konstruksi Sosial, Ruwahan
ABSTRACT The intent and purpose of this study was to describe the symbolic meaning of the ritual Ruwahan performed by the Buddhist community in the Buling orchard and to analyze how the social construction of Buddhist communities in the Buling hamlet formed from the Ruwahan ritual. This study is intended to obtain a comprehensive overview and understanding of the symbolic meaning and the social construction of society in activities Ruwahan ritual performed by Buddhist communities in the Buling orchard, Girimarto district. Thus, the strategic nature of the research is descriptive with case study approach. In this study, the selection of informants is based on Maximum Variance sampling technique that is how to take the subject as an informant is not based on the strata, random or region but is based on a specific purpose, in connection with the chosen case study as research strategy, then the data obtained from the interviews as the primary data. Interview data was obtained from the Buddhist community and religious leaders and community leaders who live in the Buling orchard. Results of this study (1) the overall meaning of the ritual ruwahan is clear the mind
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
80
Volume II No. 1 September 2015
and the human mind, in order to get back to the well-mind that is "jejeg" or straight and clean so as to implement everything with full consciousness. (2) The social construction is formed from social dialectic process that includes externalization, objectivation and internalization. Those process forms a public mindset of Buling orchard citizen and it gives impact on every days behavior. Keywords: Symbolic Meanings, Social Construction, Ruwahan
PENDAHULUAN Seiring lajunya perkembangan zaman di era globalisasi yang semakin canggih dalam teknologi dan ilmu pengetahuan, pelaksanakan tradisi ritual dari berbagai kepercayaan zaman animisme dan dinamisme secara turuntemurun tetap dilakukan. Menurut kepercayaan manusia, dunia dihuni dan didiami oleh berbagai makhluk, baik makhluk yang ada di luar batas panca indranya ataupun makhluk yang dapat diterima panca indra (Koentjaraningrat, 1967:p.218). Akibatnya muncul kepercayaan-kepercayaan terhadap makhluk yang tidak nampak dalam kehidupan masyarakat. Kepercayaan terhadap makhluk yang tidak nampak banyak dianut oleh kaum yang masih primitif atau kaum yang tinggal pedalaman. Kepercayaan ini sering disebut dengan animisme. Secara umum animisme merupakan kepercayaan pada roh nenek moyang yang masih ada dan tinggal atau hidup di lingkungan sekitar manusia (Koentjaraningrat 1967:p.218). Pada zaman sebelum manusia mengenal sejarah (primitive man) atau sebelum ditemukannya tulisan dan sebelum ada perkembangan (Soekamto, 1993:p.321), masyarakat yang hidup pada masa itu cenderung melakukan suatu upacara (ritual) khusus. Tujuan dari ritual adalah untuk menghormati dan menghargai keberadaan makhluk-makhluk yang tidak nampak atau roh nenek moyang mereka. Ritual dilakukan dengan cara memberi sesajian yang biasanya diletakkan di tempat yang dianggap sebagai tempat tinggal makhluk tidak nampak.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Sekarang, kepercayaan terhadap makhluk yang tidak nampak juga masih dianut dan dipercayai oleh masyarakat Jawa, khususnya masyarakat di Jawa Tengah. Kepercayaan pada makhluk yang tidak nampak masih ada sampai sekarang baik pada masyarakat desa ataupun kota yang masih percaya. Masyarakat yang tinggal di Jawa, seperti halnya masyarakat di Dusun Buling, Desa Bubakan, Kecamatan Girimarto yang mempercayai bahwa arwah-arwah atau roh nenek moyang mereka yang sudah meninggal masih ada dan tinggal disekitar kehidupan mereka. Banyak tindakan yang dilakukan supaya mereka dapat memuja atau menghormati roh leluhur. Melakukan suatu ritual merupakan salah satu cara atau sarana yang dilakukan untuk memuja atau menghormati arwah atau mahkluk lain yang tidak nampak, yang tinggal di samping mereka. Ritual yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Buling, Desa Bubakan, Kecamatan Girimarto telah berkembang menjadi suatu tradisi dan masih dilakukan sampai sekarang. Salah satu ritual yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Buling adalah upacara Ruwahan. Ruwahan dilaksanakan setahun sekali pada Hari Selasa Kliwon Bulan Ruwah (Kalender Jawa) di balai pertemuan yang terletak di tengah-tengah dusun. Kegiatan Ruwahan ini bertujuan agar keselamatan dan kesejahteraan senantiasa dilimpahkan pada masyarakat dusun Buling dari para leluhur atau pendiri Dusun Buling yang sudah meninggal dunia atau berbeda alam. Alam yang nampak dan tidak nampak juga dikenal dalam agama
81
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Buddha. Alam yang nampak sering dicontohkan dalam alam manusia dan alam binatang, sedangkan alam yang tidak nampak merupakan alam yang didiami oleh para brahma, dewa dan juga alam yang didiami oleh setan (peta), raksasa (asura), alam neraka (niraya) dan alam lain yang tidak terlihat oleh indra manusia. Alam yang nampak dan tidak nampak dalam agama Buddha sering dikenal dengan 31 alam kehidupan. Buddha menjelaskan bahwa terlahir di salah satu dari 31 alam kehidupan merupakan hasil dari perbuatan atau kamma masing-masing. Setelah meninggal, makhluk yang banyak melakukan perbuatan baik dapat terlahir di alam yang baik, misalnya alam manusia, dewa, ataupun brahma. Sebaliknya, makhluk yang sering berbuat buruk atau jahat akan terlahir di alam rendah atau alam yang menderita yaitu alam binatang, neraka, setan, dan alam raksasa. Tujuan dari pelimpahan jasa adalah untuk berbagi kebahagiaan pada orang atau makhluk yang telah meninggal supaya dalam kehidupan yang akan datang dapat terlahir di alam yang lebih baik. Pelaksanaan pelimpahan jasa juga dilakukan untuk berbagi kebahagiaan dengan makhluk lain, khususnya makhluk yang tidak terlihat oleh mata dan hidup menderita di salah satu dari 31 alam kehidup. Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1) Apa makna simbolis ritual Ruwahan yang dilakukan oleh masyarakat Buddhis di Dusun Buling?, (2) Bagaimana konstruksi sosial masyarakat Buddhis di Dusun Buling terbentuk dari kegiatan ritual Ruwahan? Interaksionisme simbolik Interaksi simbolik secara harafiah adalah interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol. Interaksi simbolik merupakan cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkap apa yang mereka maksud, dan untuk berkomunikasi satu sama lain (suatu minat
interpretif yang ortodoks), dan akibat interpretasi simbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang terlibat selama interaksi sosial (Jones, 2010:p.142). Esensi interaksi simbolik menurut Mulyana adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Sobur, 2004:p.p.197). Teori interaksi simbolik menurut Herbert Blumer bahwa tindakan manusia ditentukan oleh makna yang ada pada dirinya, bertumpu pada tiga premis utama, yaitu: pemaknaan (meaning), bahasa (language) dan pikiran (thought). Ruwahan Kata ruwah memiliki akar kata arwah atau roh. Dari arti kata itulah, sebagian masyarakat Jawa menjadikan Ruwah sebagai bulan untuk mengenang leluhur. Ruwahan memiliki rangkaian acara yang hampir sama dengan kenduri arwah (Nafi, 2014:p.7) Ruwahan merupakan salah satu tradisi “Selamatan” yang dilakukan oleh masyarakat Buddhis di Dusun Buling, yakni salah satu bentuk selamatan yang dilakukan pada bulan Ruwah setiap tahun. Selamatan sendiri merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk meminta keadaan selamat dan bebas dari gangguan, mala petaka, dan kendalakendala lainnya. Seperti pernyataan Geertz (1989:p.18) dengan ungkapan bahasa Jawa ”ga ana apa-apa”. 1. Keselamatan menurut Agama atau Religi Selamatan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang ataupun masyarakat untuk mewujudkan suatu keadaan yang tenang, aman, dan harmonis bebas dari gangguan, bahaya, dan bencana. Dhammananda (2002:p.31) mengungkapkan bahwa keadaan selamat tidak akan diperoleh tanpa adanya usaha dari diri sendiri. Artinya, untuk mencapai keadaan selamat sebenarnya tidak harus dilakukan dengan cara mengadakan upacara-upacara dan bukan merupakan
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
82
pemberian dari makhluk apapun, seperti upacara selamatan yang dilakukan orang Jawa. Agama menekankan pada keselamatan mengandaikan adanya suatu ajaran tentang keselamatan. Agama keselamatan menggambarkan manusia sedang berada dalam situasi berbahaya secara rohani atau terkutuk dalam kehancuran spiritual, maka manusia membutuhkan keselamatan. Agama-agama keselamatan juga menawarkan keselamatan, baik dalam arti pembebasan dari kejahatan dan akibat-akibat kejahatan maupun mencapai kebahagiaan sempurna yang mengatasi waktu, perubahan, dan kematian (Dhavamony, 1995:p.293). Maksudnya dengan adanya hubungan dengan Tuhan, manusia mempercayai Tuhan-lah yang memberikan keselamatan untuk umat manusia. 2. Keselamatan dalam Agama Primitif Minsarwati (2002:p.5), agama primitif merupakan agama yang masih berakar pada tradisi, kepercayaan, dan kebudayaan yang menekankan pada keselarasan dan keseimbangan, baik terhadap diri sendiri, sesama atau dengan Tuhan. Sikap kosmologi masyarakat terhadap lingkungan atau alam merupakan bukti tentang adanya kepedulian agama primitif terhadap alam. Sikap kosmologi masyarakat dapat dipahami sebagai sebuah sikap hidup atau kearifan hidup terhadap lingkungan dan tradisi atau budaya yang selama ini dianut. Seperti yang diungkapkan Dhavamony (1995:p.295) bahwa dalam semua pandangan mengenai keselamatan, letak kepentingannya bukan pertama-tama pada individu atau semacamnya setelah kematian, melainkan pada resiko kehancuran kosmos. Permasalahan tentang keselamatan yang dimaksud bukan hanya keselamatan pada individu melainkan keselamatan semesta alam. Tuhan dalam agama primitif dianggap
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
sebagai pahlawan atau penyelamat tertentu. Agama primitif percaya bahwa keyakinan dasar dari seluruh konsepsi adalah melibatkan keselamatan alam semesta dan bukan semata-mata terletak pada keselamatan individu. Dengan demikian agama primitif lebih menekankan pada keselamatan alam semesta daripada keselamatan individu. 3. Keselamatan Hindu Menurut ajaran agama Hindu keselamatan adalah pembebasan dari kelahiran kembali (Dhavamony, 1995:p.299). Kelahiran kembali merupakan konsekuensi bagi tindakantindakan seseorang. Bagi seseorang yang masih banyak melakukan kejahatan maka lingkaran kelahiran kembali akan terus ada. Sebaliknya, jika seseorang sudah mengurangi perbuatan buruk dan banyak melakukan perbuatan baik maka tidak mengherankan jika seseorang tersebut akan mendapat keselamatan. Jalan rohani menuju keselamatan ditentukan oleh banyaknya kejahatan yang telah dilakukan dan darimana pembebasan atau keselamatan itu mau diperoleh. Untuk melawan tindakan yang merugikan, cara yang semestinya dilakukan adalah berbuat baik dan menghindari yang jahat. Dengan banyak melakukan perbuatan baik keselamatan akan mudah kita peroleh. 4. Keselamatan dalam agama Buddha Keselamatan dalam agama Buddha terdiri dari dua aspek, aspek negatif dan aspek positif (Dhavamony, 1995:p.309). Buddha dalam Dhammacakkhapavatthana Sutta, Saccasamyutta, Samyutta Nikāya (Bodhi, 2000:p.1843-1852) menjelaskan bahwa aspek negatif keselamatan berarti pembebasan dari jahatnya kedukaan atau penderitaan, sedangkan aspek positif dari keselamatan adalah tercapainya Nibbāna. Dalam aspek negatif keselamatan berarti pembebasan dari
83
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
jahatnya kedukaan atau penderitaan, artinya bahwa seseorang yang telah mampu mengendalikan dan membebaskan diri dari penderitaan maka seseorang dapat disebut telah mendapatkan keselamatan dalam dirinya. Penderitaan yang dimaksud bukan berarti harus musnah sampai keakar-akarnya, tapi manusia diharapkan mampu mengendalikan diri sehingga mampu mengikis akar kejahatan yang menjadi sumber penderitaan. Keselamatan dalam aspek negatif lebih ditekankan untuk umat awam dan masih dalam tahapan yang rendah. Aspek positif dari keselamatan adalah tercapainya Nibbāna. Pencapaian Nibbāna bagi umat Buddha bukan merupakan hal yang mudah. Usaha pencapaiannya membutuhkan banyak pengorbanan. Nibbāna dapat dicapai oleh semua orang dengan cara menghilangkan lobha, dosa, moha, dan irsia serta dengan menghilangkan kilesa atau kekotoran batin. Buddha menjelaskan dalam Saraņattayam, Khuddakapātha, Khuddaka Nikāya (Ńānamoli, 2005:p.4), bahwa langkah pertama yang diambil umat Buddha agar selamat adalah dengan berlindung pada Tiratana. Langkah yang kedua adalah melaksanakan Pancasila Buddhis sebagai dasar moral bagi umat Buddha, kemudian Delapan Jalan Utama. Seperti dijelaskan dalam Dhammacakkhapavatthana Sutta, Saccasamyutta, Samyutta Nikāya (Bodhi, 2000:p.1843-1852) bahwa jalan untuk melenyapkan penderitaan atau mendapat keselamatan adalah dengan melaksanakan Delapan Jalan Utama. Selanjutnya langkah terakhir yang ditempuh untuk mendapatkan keselamatan adalah dengan memiliki kebijaksanaan yang akan muncul setelah orang berlindung pada Tiratana dan melaksanakan Delapan Jalan Utama. Kebijaksanaan yang dimaksud
adalah mencapai Nibbāna. Tetapi yang lebih ditekankan untuk mendapatkan keselamatan menurut agama Buddha adalah dengan banyak melakukan perbuatan baik atau dengan menjalankan sīla. 5. Selamatan menurut Tradisi Suku Jawa Menurut Koentjaraningrat (1984:p.344) adat kepercayaan yang dianut oleh Suku Jawa terdiri dari dua agama yaitu agama atau kepercayaan orang Jawa asli yaitu agama Jawa dan kepercayaan yang merupakan hasil sinkretisme antara agama asli dengan agama Islam. Agama atau kepercayaan asli Suku Jawa menganggap bahwa selamatan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat Jawa yang berhubungan dengan roh nenek moyang atau leluhur, kekuatan-kekuatan sakti dan berbagai tindakan lain agar mendapat keselamatan. Menurut Geertz (Beatty, 2001:p.60), selamatan yang dilaksanakan orang Jawa terdiri dari makna-makna yang berbeda-beda adalah persoalan interpretasi yang menyangkut pemahaman-pemahaman dari lapisan luar sampai lapisan dalam. Jadi pemahaman dari masing-masing masyarakat tentang arti dan makna dari selamatan sendiri berbeda-beda. Sebagian orang menganggap bahwa selamatan merupakan upacara yang dimiliki oleh orang Jawa yang menganut agama Jawa untuk meminta keadaan selamat dari para leluhur. Ada yang menganggap bahwa selamatan merupakan suatu pesta ritual yang digunakan sebagai wujud ungkapan syukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikan, terutama atas hasil panen. Meskipun anggapan dari masingmasing masyarakat berbeda, tetapi pada dasarnya makna selamatan adalah untuk menciptakan suatu keadaan yang harmonis antara manusia dengan alam sekitar (Minsarwati, 2002:p.46).
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
84
Volume II No. 1 September 2015
Kontruksi Sosial Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:p.14) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik Berger dan Luckman (Bungin, 2008:p.15) mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Kerangka Pikir Budaya Jawa
Ruwahan
Pesan Simbolik
Interpretasi Makna
Umat Buddha Proses Dialektis: Ekternalisasi Objektivasi Internalisasi
Subjektif Objektif Intersubjektif
Realitas Terkonstruksi
Gambar 1 METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dimana menurut (Yin, 2013:p.4) yang dimaksud Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
dengan penelitian studi kasus adalah penelitian yang memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari berbagai peristiwa dikehidupan nyata. Studi kasus menurut (Slamet, 2006:p.10) memberikan ciri tunggal terhadap data yang sedang dipelajari dan menghubungkan keanekaragaman fakta-fakta terhadap kasus tersebut, sehingga hal ini memberikan kesempatan bagi analisis yang intensif terhadap perincian kusus yang sering diabaikan oleh metode lain. Dalam penelitian ini studi kasus digunakan karena fenomena unik yang terjadi dalam masyarakat Buddhis di Dusun Buling, kecamatan Girimarto. Yang menjadi studi kasus adalah masyarakat Buddhis yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang mayoritas menganut agama Islam, dimana masyarakat Buddhis tersebut berupaya untuk terus mempertahankan ajaran agama Buddha kepada anak cucu dan keturunannya ditengah-tengah pengaruh globalisasi yang kuat sekaligus hidup ditengah masyarakat yang modern. Penelitian dilaksanakan di Dusun Buling, Kecamatan Girimarto, Kabupaten Wonogir. Model analisis yang digunakan dalam penelitian adalah gabungan model analisis yang disampaikan oleh Miles dan Huberman, Spradley dan Yin. Karakteristik Informan diambil dengan menggunakan Maximum Varians Sampling, sehingga peneliti memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Informan terdiri dari tokoh agama, yakni Pandita, Dharmaduta, ketua Vihara, tokoh adat, dan tokoh pemerintahan seperti kepala Dusun dan Kepala Desa serta anggota kelompok masyarakat Buddhis. Karakteristik Informan diambil dengan menggunakan Maximum Varians Sampling, sehingga peneliti memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Informan terdiri dari tokoh agama, yakni Pandita, Dharmaduta, ketua Vihara, tokoh adat, dan tokoh pemerintahan seperti
85
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kepala Dusun dan Kepala Desa serta anggota kelompok masyarakat Buddhis. Ruwahan Di Dusun Buling Ruwahan merupakan tradisi selamatan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Dusun Buling, dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat setiap bulan “Ruwah” penanggalan Jawa, tepatnya pada Hari Kamis Pahing. Tujuan kegiatan Ritual Ruwahan adalah agar seluruh warga masyarakat mendapatkan perlindungan dari para leluhur yang sudah mendahului kita, Agar masyarakat terhindar dari mara bahaya, maka kegiatan ritual Ruwahan dilaksanakan setiap tahun. Acaranya berupa „kondangan” atau kenduri di rumah bapak kadus. Kalau pada jaman dahulu dilakukan di “danyangan” sekarang cukup dilakukan di Rumah Bapak Kadus. Pada saat acara “kondangan” setiap keluarga membawa nasi yang berbentuk tumpeng dan ayam panggang serta lauk secukupnya untuk dimakan beramai-ramai di balai Dusun. Ruwahan bukan hanya tradisi formalitas, tetapi merupakan tradisi yang sudah turun temurun dari jaman dahulu, menurut mbah Karto yang membedakan acara Ruwahan pada zaman dahulu dengan sekarang ini adalah bentuk doa dan beberapa alat yang dipakai. “yen jaman disik, sing disumet kui menyan, saiki gandeng ngrasuk agomo Buddho sing disumet Dupo utowo Hio. Yen mbiyen dongane nganggo Hong Wilaheng, sakiki ndongane nganggo mantra NAMYOHORENGEKYO”. Menurut Pak Kadus yaitu Bapak Maryanto, acara ritual Ruwahan, bukan hanya sekedar acara kondangan dan kirim doa saja, tetapi makna yang paling penting adalah ucapan syukur terimaksih kepada “ibu bumi” yaitu tanah yang kita tempati ini. Bumi ini telah memberikan apapun yang kita butuhkan dari air, makanan yang kita makan, bahkan udara yang kita hirup ini semua kita peroleh dari Ibu Bumi yang kita tempati ini. Kelengkapan yang ada pada saat acara ritual Ruwahan di Dusun
Buling antara lain tumpeng, gedang rojo (pisang ayu), golong, ambengan, panggang (ulam sari), asahan, jenang abang, jenang putih, sego gurih, kinang, apem, dan tontonan badut. Selain ubo rampe untuk kelengkapan acara ritual Ruwahan tersebut di atas, yang membedakan ritual tersebut dengan kondangan atau kenduri yang lain adalah adanya hiburan Badut. Bapak Wito menjelaskan bahwa masyarakat Buling setiap Ruwahan selalu “nanggap” badut karena Ibu Bumi, dan para leluhur yang “ngayomi‟ masyarakat Buling sangat senang dengan tontonan badut, sehingga sebagai ucapan terimakasih kepada para leluhur karena telah melindungi warga dari mara bahaya di tanggap lah badut sebagai tontonan masyarakat. Menurut Pak Kasimin sebagai Ketua Vihara Vimalakirti Buling, semua sarana atau ubo rampe untuk pelaksanaan ritual Ruwahan memiliki arti atau makna masing-masing. “ubo rampe sing digunakke nggo Ruwahan, kui kabeh nduweni makna dewe-dewe” dapat dimungkinkan bahwa makna dari setiap sarana atau ubo rampe itu berbeda dengan makna yang ada di tempat lain. Menurut beberapa informan, masing-masing Ubo Rampe itu memiliki makna simbolik, diantaranya: a. Tumpeng Tumpeng yang digunakan dalam Ruwahan memiliki makna “njejege Pikir” artinya dengan ritual Ruwahan ini diharapkan masyarakat kembali memiliki pemikiran yang tegak, lurus dan bersih, sehingga dapat menanggapi segala sesuatu dengan penuh kesadaran, tidak memiliki pikiran yang penuh dengan rasa iri, dengki, dan dendam. b. Pisang Ayu (gedang rojo) Pisang yang digunakan dalam Ruwahan memiliki makna bahwa manusia sudah seharusnya menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa, serta diharapkan manusia memiliki kedudukan yang tinggi laksana seorang raja yang mampu
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
86
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Volume II No. 1 September 2015
mengayomi masyarakat tanpa membedakan asal-usulnya. Sego Golong “Gilig-Golong, melambangkan bahwa masyarakat Buddhis di Dusun Buling hendaknya memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang tidak dapat dicerai beraikan dengan cara apapun untuk mencapai ketentraman dan kebahagiaan sejati. Ambengan Ambengan memiliki makna, bahwa manusia yang masih tinggal di bumi pertiwi ini harus menghormati saudarasaudara yang sudah meninggal dunia, dalam agama Buddha Niciren Syosyu leluhur yang sudah meninggal dunia selalu didoakan disetiap pagi dan sore ketika melaksanakan Gongyo atau pujabakti. Panggang (Ulam Sari) Bermakna bahwa manusia hidup harus maitri karuna, yaitu memikirkan orang lain dengan cara mencabut penderitaan dan memberikan kegembiraan. Asahan Mencerminkan hari atau “dino”, setiap makhluk lahir di bumi ini membawa harinya sendiri-sendiri, jumlahnya asahan yang dipakai dalam ritual Ruwahan mencerminkan hari lahirnya bumi pertiwi Dusun Buling Jenang Abang Jenang Abang menggambarkan orang tua perempuan, sebagai manusia kita hendaknya memberikan penghormatan atau memiliki rasa bakti kepada ibu Jenang Putih Jenang Putih menggambarkan orang tua laki-laki, artinya sebagai manusia kita juga harus berbakti kepada ayah Sego Gurih Sego gurih atau sekul suci memiliki makna rasa syukur masyarakat Dusun Buling kepada Ibu Bumi yang telah memberikan kenikmatan dan kehidupan, sehingga masyarakat mendapatkan kemudahan dalam mencari rejeki (sandang klawan pangan)
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
j. Kinang Melambangkan bahwa masyarakat Dusun Buling dari tua-muda, laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, janda ataupun duda menjadi masyarakat yang bersatu, guyup rukun sehingga tidak mudah di adu domba k. Apem Merupakan simbol untuk menghantarkan doa masyarakat dusun Buling kepada Tuhan Yang Maha Esa l. Tontonan Badut Sebagai ungkapan rasa gembira dan terimakasih masyarakat Buling kepada para leluhur yang telah meninggal dunia, karena telah memberikan perlindungan sehingga aral rintangan telah sirna dari Dusun Buling Konstruksi Sosial Masyarakat Dusun Buling a. Keterlibatan Masyarakat dalam Ruwahan Ruwahan yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Buling pada dasarnya adalah Ritual yang bukan hanya diikuti oleh masyarakat Buddhis saja, melainkan seluruh warga masyarakat yang tinggal di bumi pertiwi dusun Buling. Menurut Pak Maryanto bahwa Ruwahan yang dilakukan itu bukan milik salah satu kelompok agama atau golongan, akan tetapi merupakan tradisi budaya milik seluruh warga. Namun karena mayoritas masyarakat di Dusun Buling ini menganut agama Buddha, mungkin masyarakat menganggap bahwa Ritual Ruwahan ini miliki umat Buddha saja. “karena sesepuh atau tokoh adat dan kepala Dusun Buling beragama Buddha semua acara dilakukan dengan tata cara agama Buddha” (wawancara dengan pak Maryanto tanggal 24 April 2015) Semua masyarakat di Dusun Buling terlibat dalam Ruwahan ini “rondo-dudo, lanang-wedok, gede-cilik, enom-tuo, kabeh nyawiji, ngumpul neng ngomahe bapak kadus, sakperlu ngirim doa supoyo masyarakat Buling kene diwenehi bagas
87
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
waras, gampang olehe golek sandang klawan pangan” (wawancara dengan Mbah Somo, tanggal 13 April 2015). Seluruh masyarakat Dusun Buling dalam Ruwahan terlibat, bentuk keterlibatanya diantaranya menurut Pak Maryanto sebagai Kapala Dusun adalah sebagai berikut: “semua keluarga membuat nasi tumpeng, panggang ayam dan lauk pauk secukupnya sesuai tradisi yang sudah berlaku di masyarakat Buling” (wawancara tanggal 15 Mei 2015), selain itu menurut Suparmi keluarga yang memiliki perempuan lebih dari satu biasanya secara otomatis sebagian membantu memasak di Rumah ibu Kadus, “biasane mpun diumumke wonten daleme pak Kadus rikolo rapat ngrembag Ruwahan, sintensinten ingkang kepatah mbantu olah-olah bu Lurah”. Para pria memiliki tanggung jawab yang lebih dalam acara Ruwahan, “gih pasang tarub, noto mejo kursi, pados kajeng, pados ron, resik-resik” dari memasang tenda, menata meja kursi, mencari kayu dan daun serta kerja bakti bersih-bersih desa (wawancara dengan Pak Wito, tanggal 18 April 2015). Semua masyarakat bersatu padu untuk lancarnya acara Ruwahan di Dusun Buling. Tidak pernah ada paksaan untuk melakukan semua pekerjaan yang berhubungan dengan ritual Ruwahan, “masing-masing merasa memiliki tanggung jawab yang harus diselesaikan secara bersama-sama, karena semua masyarakat merasa handarbeni, merasa memiliki atas Dusun Buling tercinta ini” (penuturan Pak Maryanto, tanggal 24 April 2015). Sebagai Kepala Dusun, pak Maryanto tidak pernah memaksakan ataupun mengharuskan masyarakatnya untuk ikut dalam ritual ruwahan: “saya tidak pernah mengharuskan atau memaksa masyarakat untuk ikut dalam Ritual Ruwahan, biasanya saya bersama dengan tokoh adat atau sesepuh Dusun Buling berembug untuk menentukan waktu dilaksanakannya Ritual Ruwahan.
Kemudian kami mengundang masyarakat untuk berembug bersama di balai dusun” (penuturan Pak Maryanto, tanggal 24 April 2015) b. Sikap Masyarakat Buling terhadap Ruwahan Masyarakat di Dusun Buling memiliki pemahaman bahwa Ruwahan bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama ataupun peraturan pemerintah, sehingga tidak ada salahnya untuk tetap dilaksanakan. “ruwahan kui tradisi sing ngajarke kabecikan, supoyo masyarakat ndarbeni rasa bekti marang Ibu Bumi, marang leluhur lan sakpodopodo” (Wawancara dengan Mbah Giman, tanggal 26 April 2015) Pak Kasimin sebagai Pandita Agama Buddha (wawancara tanggal 20 April 2015) menuturkan bahwa Ruwahan merupakan kebiasaan baik yang harus dilestarikan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Buddhis di Dusun Buling, “ini merupakan salah satu bentuk penghormatan dan rasa bakti umat Buddha kepada para Leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin bagi masyarakat luar hal ini dikatakan sebagai musrik atau takhayul, tapi bagi umat Buddha ini merupakan bentuk penghormatan kepada para leluhur”. Meskipun untuk Ritual Ruwahan, masyarakat harus mengeluarkan uang ataupun materi yang lain dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat tidak merasa terbebani atau keberatan. “sampun tradisi sing dilakoni saben tahun, dados mboten kraos awrat, wong pisan setahun trus gih bali teng awake dewe kok awrat”(wawancara dengan Suparmi, tanggal 26 april 2015). “Arepo ngetokke dono sing ora setitik, sak jroning aku urip neng Mbuling kene, durung pernah aku krungu ono sing nggresah kabotan melu ritual Ruwahan” (wawancara dengan Mbah Somo, tanggal 13 April 2015) selama kegiatan Ruwahan ini diadakan oleh masyarakat Dusun Buling, belum pernah terdengar ada yang
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
88
mengeluh atau merasa keberatan, justru Ruwahan yang dilakukan setiap setahun sekali merupakan acara yang dinantinantikan oleh seluruh masyarakat, selain pesta tumpeng dan panggang, juga adanya tontonan Badut yang sangat menghibur masyarakat. Ruwahan dianggap oleh masyarakat Dusun Buling sebagai acara untuk kembali meluruskan kehidupan, “selama satu tahun banyak hal yang diperbuat oleh manusia, ada yang srei, dengki marang liyan. Maka dengan mengikuti Ruwahan ini diharapkan hati masyarakat Dusun Buling kembali bersih dan lurus” (wawancara dengan Pak Maryanto, tanggal 24 April 2015). c. Dampak Ruwahan Terhadap Masyarakat Buddhis di Dusun Buling Acara Ruwahan yang dilakukan oleh masyarakat Buddhis setiap tahun baik langsung ataupun tidak langsung memberikan dampak kepada masyarakat. “yang jelas masyarakat menjadi lebih senang, mendapatkan suasana yang baru baik dari tontonan Badut ataupun dari pesta Tumpeng bersama” (wawancara dengan Pak Maryanto tanggal 24 april 2015). Sedangkan menurut Mbah Somo (wawancara tanggal 13 April 2015), secara rohani masyarakat Buling menjadi lebih tenang, “batine luwih ayem lan tentrem, mergo Ruwahan kui ngresikki batin, ngresiki pikir sing ora apik, sing disikke nduweni dengki srei marang liyan, diresiki pas Ruwahan kui” maksudnya bahwa secara batin masyarakat seharusnya menjadi lebih tenang, tentram, karena Ritual Ruwahan bertujuan untuk membersihkan batin yang tidak baik yang diliputi oleh rasa benci, dendam dan rasa yang tidak baik kepada orang lain. Ritual Ruwahan yang dilakukan oleh masyarakat Buling pada dasarnya memiliki tujuan untuk meluruskan kembali batin dan pikiran, “nganggo tumpeng jejeg, sebab kanggo njejegake pikir lan batine masyarakat Mbuling kene, supoyo olehe
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
mbangun bebrayan biso jejeg tinggeng saklawase” hal ini seperti yang disampaikan oleh Mbah Giman (wawancara tanggal 26 April 2015) Menurut Pak Kasimin sebagai Pandita Buddhis di Dusun Buling (wawancara tanggal 24 April 2015), setelah dilaksanakannya Ruwahan masyarakat menjadi lebih aktif lagi dalam kegiatan keagamaan di Vihara, “masyarakat yang sudah merasa kembali jejeg pikir dan batinnya, pasti ingin mempertahankan pikiran-pikiran baik, dan hal ini dapat dilakukan dengan tetap aktif melaksanakan Pujabakti, mendengarkan ceramah Dhamma ataupun diskusi-diskusi tentang ajaran Buddha”. Para perempuan, khususnya bagian ibu-ibu menjadi lebih menghormati dan menghargai orang lain, hal ini seperti yang disampaikan oleh Suparmi (wawncara tanggal 26 April 2015) bahwa “semua masyarakat baik tua muda, laki-laki ataupun perempuan semua ikut datang dalam acara Ruwahan di Dusun Buling, sehingga ketika semua mengucapkan doa agar batin dan pikiran kembali jejeg dan lurus, pasti semua mengingat dan berusaha untuk menjalankan apa yang sudah diucapkan dalam doa, begitu juga ibu-ibu”. Seperti yang disampaikan oleh Mbah Giman, bahwa “sak wise Ruwahan, ati iki dadi ayem. Sebabe opo? Wis bar ndedonga bareng-bareng, njejege pikir, dadi rasane ayem” (wawancara, tanggal 26 April 2015) semua masyarakat menjadi lebih tenang, karena rasa ataupun pikiran buruk yang selama ini ada telah dibuang “sentekluwer lan kabeh sengkolo diilangi lumantar ruwahan iki”. d. Ruwahan dari Masa ke Masa Ritual Ruwahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Buling sudah dimulai sejak jaman dahulu, hal ini seperti yang disampaikan oleh Mbah Somo sebagai sesepuh atau tokoh adat di Dusun Buling. “awit jaman mbiyen, mbuh kapan leh nglekasi, nanging sak elingku Ruwahan kui wis ono kat aku ijik cilik, awake dewe iki
89
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kari neruske budoyo utowo tradisi sing wis ono” (wawancara tanggal 13 April 2015). Sebelum masyarakat di Dusun Buling ini menganut Agama, yakni masih percaya pada Animisme ataupun Dinamisme, menurut Mbah Giman (wawancara tanggal 3 Mei 2015) “biyen kui sak elingku durung ono mesjid, durung ono Vihara, durung ono agomo. Simbah sing mimpin ndonga ngucapke Heng wilaheng, la saiki gandeng poro punggowone nganut agomo Buddha, ndongane nganggo Namyohorengekyo” seingat Mbah Giman, pada jaman dahulu dimana orang-orang belum mengenal masjid, belum mengenal Vihara serta belum mengenal agama, pemimpin yang memimpin acara Ruwahan mengucapkan “Hong Wilaheng” berbeda dengan jaman sekarang karena semua tokoh ataupun Punggawa menganut agama Buddha, maka mantra yang di ucapkan adalah “Namyohorengekyo”. Sebelum acara Kondangan Ruwahan di mulai, pada jaman dahulu tokoh adat menyalakan “menyan” terlebih dahulu kemudian mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama membacakan doa, pada masa sekarang tokoh adat tidak lagi menyalakan Menyan. Menurut penuturan Pak Wito “saiki ora nyumet menyan, gandeng sesepuh, tokoh adat lan pak Kadus kabeh nganut agaomo Buddha, sing disumet sakdurunge ndedonga yoiku Hio utowo dupo”. Jika jaman dahulu tokoh adat sebelum memulai berdoa menyalakan “menyan”, untuk sekarang ini yang dibakar untuk menghantarkan do‟a adalah Hio atau Dupa (wawancara tanggal 18 April 2015) Meskipun dalam hal Ubo Rampe tidak mengalami perubahan, yakni masih ada Tumpeng, panggang, Jenang, ambengan, pisang, asahan dan ubo rampe yang lain, tetapi beberapa perempuan muda di dusun Buling sudah tidak mengetahui makna masing-masing ubo rampe tersebut. Seperti yang dituturkan oleh Suparmi (wawancara tanggal 26 April 2015), “anak muda sekarang kebanyakan
sudah tidak mengetahui makna dari macam-macam olahan yang diperlukan dalam Ruwahan, kalau saya ditanya apa maknanya beberapa jenis saya tidak tahu, pokoke melu wong tuo”. Hal tersebut juga di akui oleh sesepuh atau Tokoh masyarakat di Dusun Buling, “bocah saiki wis bodo wegah ngangsu kawruh soal koyo ngono kui, wong tuo dianggep kuno” anak jaman sekarang sudah tidak mau lagi belajar tentang hal-hal seperti itu, karena sudah dianggap kuno (wawancara dengan mbah Somo tanggal 13 April 2015), namun begitu masyarakat Buling tetap melaksanakan Ritual Ruwahan dengan senang hati, artinya melakukan Ruwahan Tanpa ada paksaan dari tokoh adat, tokoh agama ataupun aparat desa. Meskipun ritual Ruwahan yang dilakukan oleh masyarakat Buling oleh orang atau masyarakat luar dianggap sebagai sesuatu yang “musrik” atau “takhayul”, akan tetapi masyarakat Buddhis di Dusun Buling tetap melaksanakannya, hal ini karena masyarakat menganggap bahwa kegitan Ritual ruwahan bukanlah kegiatan yang melanggar hukum, tidak bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut, yakni agama Buddha, serta bukan jenis kegaiatan yang merugikan orang lain secara materiil ataupun moril. “Ruwahan kui dudu tradisi sing di penging pemerintah, ora nglanggar ukum, ora dilarang agomo lan dudu tradisi sing ngrugekne wong liyo” (wawancara dengan Mbah Karto, tanggal 3 Mei 2015). Ruwahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Buddhis di Dusun Buling, saat sekarang ini sudah mendarah daging, artinya sudah menjadi bagian dari kehidupan di Dusun Buling. Tidak pernah ada suatu paksaan dari siapapun, baik dari tokoh adat, tokoh agama ataupun aparat desa untuk mengikuti ritual Ruwahan, tetapi dengan penuh kesadaran masyarakat mengikuti ritual tersebut.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
90
A. Temuan Studi Dihubungkan Dengan Kajian Teori Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori interaksi simbolik dari Herbert Blumer untuk menjawab rumusan masalah pertama yaitu mengenai makna simbol dari ritual Ruwahan di Dusun Buling, sedangan untuk menjawab rumusan masalah yang kedua menggunakan teori konstruksi sosial dari Peter L Berger. Teori interaksi simbolik menurut Herbert Blumer bahwa tindakan manusia ditentukan oleh makna yang ada pada dirinya. Makna berasal dari proses interpretasi seseorang terhadap berbagai objek di luar dirinya ketika interaksi berlangsung. Teori interaksi simbolik Herbert Blumer bertumpu pada tiga premis utama, yaitu pemaknaan, bahasa dan pikiran. Pemaknaan sebagai premis pertama merupakan proses dalam mencari sebuah makna ritual Ruwahan, yaitu masyarakat Dusun Buling menyakini bahwa melalui ritual Ruwahan mereka mendapatkan berkah keselamatan dan murah rejeki. Hal ini terbukti dengan melakukan proses ruwahan tiap tahun maka Dusun Buling menjadi Dusun yang tentram dan makmur, artinya tidak ada konflik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan secara ekonomi mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik dari hasil kebun, sawah ataupun ternak serta pekerjaan lainnya. Premis kedua adalah bahasa. Bahasa berfungsi sebagai perantara antara objek dan pemaknaan simbol. Pemaknaan diperoleh dari hasil interaksi sosial yang diilakukan dengan orang lain. Artinya, pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan atau suatu objek secara alamiah. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa. Makna kata tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial. Dalam penelitian ini pemaknaan bahasa simbol
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
terlihat dari bentuk-bentuk perlengkapan sesaji dalam acara Ruwahan antara lain tumpeng, gedang rojo (pisang ayu), golong, ambengan, panggang (ulam sari), asahan, jenang abang, jenang putih, sego gurih, kinang, apem dan tontonan badut. Berbagai bentuk perlengkapan sesaji ini mempunyai makna yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pemaknaan perlengkapan sesaji terjadi ketika adanya proses interaksi dalam masyarakat Dusun Buling dan adanya persamaan persepsi mengenai objek sesaji dengan makna sesaji yang dituangkan melalui bahasa. Premis ketiga adalah pikiran. Berfikir merupakan proses perbincangan dengan diri sendiri. Prosses berfikir bersifat refleksi. Sebelum manusia berfikir diperlukan bahasa sebagai proses untuk berkomunikasi secara simbolik. Dalam penelitian ini proses berfikir terjadi ketika objek simbol dalam sesaji ruwahan terbentuk maka manusia melakukan proses berfikir mengenai apa dan bagaimana perlengkapan sesaji ini terbentuk dan manfaat apa yang dipeoleh dalam ritual tersebut. Proses berfikir manusia saling berargumen dalam batin tiap individu sehingga terbentuk kesepakatan akan makna melalui proses negoisasi dalam interaksi sosial. Ketiga premis interaksi sosial dari Herbert Blumer merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk sebuah makna pada ritual Ruwahan melalui berbagai bahasa dan simbol yang tebentuk melalui berbagai argumen dalam tiap individu sehingga terbentuk sebuah makna hasil interaksi sosial masyarakat Buling, yaitu melalui simbol-simbol. Teori yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua terkait konstruksi sosial masyarakat Dusun Buling dengan ritual Ruwahan menggunakan teori dari Peter L Berger. Proses dialektika konstruksi sosial Peter L Berger menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu
91
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Hal ini terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Artinya bahwa masyarakat Dusun Buling saling berinteraksi antara individu yang satu dengan individu yang lain, sehingga terbentuk pola dalam proses dialektika yang saling mempengaruhi. Kondisi ini tercipta kesepakatan hasil negoisasi sosial dalam masyarakat mengenai pelaksanaan ritual Ruwahan dan Dampak pelaksanaan ritual Ruwahan kembali ke masyarakat Dusun Buling tersebut. Terjadinya proses dialektika menurut Peter L Berger melalui tiga tahap yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Pada masyarakat Dusun Buling proses eksternalisasi terlihat bahwa, konon Dusun Buling berisi orangorang memiliki moral yang kurang baik seperti begal, rampok, pencuri dan sebagainya. Suatu saat datang Mbah Sariman yang turun dari Gunung Lawu. Kedatangan Mbah Sariman membawa perubahan terhadap perilaku para begal, maling, dan rampok tersebut. Terbukti dengan penghentian segala bentuk perilaku yang tidak baik menjadi baik , dan mereka “mbeguru” dengan Mbah Sariman. Mbah Sariman mendirikan semacam padepokan, yang akhirnya membentuk sebuah dusun yang dinamakan Buling, yakni timbule wong kang eling, pada akhirnya Mbah Sariman ini adalah tokoh pelopor agama Buddha di Buling. Perubahan perilaku dari yang buruk ke hal yang baik tersebut menjadikan kondisi masyarakat semakin membaik. Sehingga masyarakat Dusun Buling mempunyai gagasan atau ide mengenai cara-cara yang ditempuh supaya Dusun Buling yang mereka tempati menjadi Dusun yang selalu tentram dan
mendapatkan berkah dari Yang Maha Kuasa, salah satunya dengan melakukan ritual Ruwahan. Ide yang muncul tersebut direspon baik oleh masyarakat sehingga menjadi tradisi turun temurun. Ritual Ruwahan yang dilakukan masyarakat Dusun Buling merupakan hal yang unik, dimana banyak sesaji yang dipersembahkan saat acara ritual tersebut. Sesaji ini merupakan proses dialektika sosial yang kedua, yaitu objektivasi. Objektivasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Kondisi ini menghasilkan realitas objektif, dimana masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan manusia menciptakan alat demi kemudahan hidup atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Sesaji yang dipersembahkan dalam ritual Ruwahan merupakan gambaran atau lambang yang digunakan oleh masyarakat, dimana masing-masing sesaji mempunyai arti dalam bentuk bahasa yang tersirat maknanya dalam bentuk materiil. Kondisi ini turun temurun dilakukan dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah budaya kearifan lokal masyarakat Dusun Buling. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir generasi sekarang dan generasi berikutnya. Proses ini merupakan proses ketiga dari dialektika sosial yaitu internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Artinya bahwa pola pikir manusia dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat, baik struktur sosial vertikal dan horisontal, misalnya masyarakat percaya akan adanya kekuatan diluar kekuatan manusia dari leluhur yang mempunyai kekuatan supranatural yang berdampak hingga sekarang. Hal ini mengakibatkan tercipta struktur sosial dari para leluhur yang mempunyai kekuatan supranatural status sosialnya lebih tinggi
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
92
daripada masyarakat biasa. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Konsep internalisasi merujuk pada proses di mana seorang individu belajar dan menerima nilai-nilai sosial serta norma-norma yang relevan bagi kelompok sosialnya secara luas, seperti masyarakat Dusun Buling bahwa melalui ritual Ruwahan yang dilakukan tiap satu tahun sekali di bulan Ruwah tercipta piramida spiritual dan identitas masyarakat Dusun Buling. Spiritual tersebut tercipta sebagain hasil dari kesepakatan dan negoisasi sosial masyarakat Dusun Buling, dimana masyarakat merespon baik dan melestarikan budaya leluhur yang dibentuk melalui norma-norma dan nilai-nilai religiusitas sehingga tercipta spiritualitas dan identitas masyarakat Dusun Buling. Norma yang tercipta antara lain sesaji yang dipersembahkan ada aturan-aturan khusus, dan jika dilanggar akan menimbulkan kondisi yang buruk bagi individu ataupun masyarakat secara luas. Internalisasi ini telah menjadi budaya dan dilestarikan oleh masyarakat Dusun Buling. Tradisi Ruwahan yang dilakukan oleh warga masyarakat Buddhis di Dusun Buling banyak sekali berkah dan manfaatnya bagi perubahan hidup masyarakat juga merupakan sarana untuk memohon hajad (keinginan) agar Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat. Budaya merupakan nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi manusia dalam kehidupan masyarakat, maka dari itu manusia perlu memilih, mengkaji, dan memperdalam budaya lewat suatu pendidikan. Dalam hal ini masyarakat Buling yang merayakan tradisi kebudayaan Ruwahan ingin mengetahui lebih dalam mengenai tradisi ruwahan. Terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam upacara ritual Ruwahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Buling. Nilai yang dimaksud adalah: a. Nilai religius, masyarakat Buddhis biasanya memanjatkan doa secara
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
bersama-sama, hal ini bisa dijadikan suatu pelajaran bagi pelaksanaan ritual Ruwahakn. Dengan adanya kebersamaan ini tidak memandang status sosial, karena dihadapan Ibu Bumi semua manusia adalah sama. b. Nilai Guyup (persaudaraan dan gotong royong), adanya kebersamaan dalam memberikan simpatinya dalam menyelenggarakan tradisi Ruwahan ini dapat mempersatukan kelompokkelompok dalam ikatan yang paling erat untuk hidup bersama dalam kerukunan. Semua ini merupakan gambaran pola hidup gotong royong yang sangat kental bagi masyarakat Indonesia. Dalam tradisi Ruwahan tidak pernah meninggalkan ubo rampe yang salah satunya adalah berbentuk sesaji yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam tradisi ruwahan. Hal ini disesuaikan dengan tujuan dan maksud dilaksanakan dalam tradisi Ruwahan, ada beberapa nilai kebudayaan yang terkandung dalam ubo rampe Ruwahan. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ubo rampe untuk acara Ruwahan ini memiliki makna tersendiri yang sudah diyakini oleh masyarakat, khususnya masyarakat Buddhis di Dusun Buling, sehingga sudah terkontruksi dalam kehidupan sehari-hari, melalui proses dialektika sosial meliputi eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dari generasi ke generasi. Kesimpulan Berdasarkan sajian data dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Makna simbolik dari kegiatan Ruwahan, beberapa makna simbolik yang terdapat dalam ubo rampe Ruwahan. Adapun makna secara keseluruhan dari ritual ruwahan adalah membersihkan pikiran dan batin manusia, agar kembali menjadi pikiran yang “jejeg” atau lurus dan bersih sehingga dalam melaksanakan segala sesuatu dengan penuh kesadaran.
93
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
2. Konstruksi Sosial yang terbentuk dari Ritual Ruwahan Konstruksi sosial terbentuk dari proses diaektika sosial yang meliputi eksternalisasi, onjektivasi dan internalisasi. Proses tersebut membentuk sebuah pola pikir masyarakat Dusun Buling yang berdampak pada perilaku sehari-hari. Terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam upacara ritual Ruwahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Buling yaitu Nilai religius, dan Nilai Guyup. Nilai Religius terlihat bahwa masyarakat Buddhis biasanya memanjatkan doa secara bersama-sama, hal ini bisa dijadikan suatu pelajaran bagi pelaksanaan ritual Ruwahan. Dengan adanya kebersamaan ini tidak memandang status sosial, karena dihadapan Ibu Bumi semua manusia adalah sama. Sedangkan nilai Guyup (persaudaraan dan gotong royong), terlihat dengan adanya kebersamaan dalam memberikan simpatinya dalam menyelenggarakan tradisi Ruwahan yang dapat mempersatukan kelompokkelompok dalam ikatan paling erat untuk hidup bersama dalam kerukunan. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 2009. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta. Rineka Cipta Afrizal. 2014. Metode Penelitian Kualitatif Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta: Rajawali Press. Aslam, Hadi. 1986. Pengantar Filsafat Agama. Jakarta: CV Rajawali. Armstrong, Karen. 2004. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan. Bagir, Zainal Abidin dkk. 2006. Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir dan Manusia. Yogyakarta: CRCS.
Barthes, Roland (terjemahan: Ardiansyah). 2012. Elemen-elemen Semiologi. Yogyakarta: IRCiSoD Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Bodhi. 2000. Connected Discourses of the Buddha (Samyutta Nikāya Vol II). Oxford: The Pali Text Society. Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi (Teori, Paradigma, dan Discourse. Teknologi Komunikasi di Masyarakat). Jakarta: Kencana. Devi, Laxmi (Editor). 1977. Encyclopedia of Social Research. New Delhi:Annol Publications PVT..Ltd. Dhammananda, Sri. 2002. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: Karaniya. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Feagin, J., Orum, A., & Sjoberg, G. (Eds.). 1991. A case for case study. Dalam Winston Tellis Application of a Case Study Methodology. http://www.nova.edu/ssss/QR/QR33/tellis2.htmlThe Qualitative Report, Volume 3,Number 3, September, 1997 (http://www.nova.edu/ssss/QR/QR33/tellis2.html). Geertz, Clifford. Tanpa Tahun. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan oleh Aswab Mahasin. 1989. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
94
Greetz, Clifford. 1992. Kebudayaan Dan Agama. Yogyakarta : Kanisius
Volume II No. 1 September 2015
Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Postmodern. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Moleong, J. L. 2005. Metodeologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hendropuspito. 1984. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Ňānamoli. 2005. The Minor Readings (Khuddkapātha). Oxford: The Pali Text Society.
Howson, Paul & Dubber, John. 2014. Culture Matters. South African: Department of Culture. Jones, Pip (terjemahan Saifuddin, Achmad Fedyani). 2010. Pengantar TeoriTeori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga PostModernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Littlejohn, Stephen W (terjemahan: Hamdam, Mohammad Yusuf). 2014. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika. Pardosi, Jhonson. 2008. Makna Simbolik Umpasa, Sinamot dan Ulos dalam Adat Perkawinan Batak Toba. Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra Universitas Sumatera Utara, Vol IV no 02 tahun 2008.
Nicholas, Abercrombie et el (terjemahan Noviani, Desi dkk). 2010. Kamus Sosiologi. Yogykarta: Pustaka Pelajar Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LKIS. Pemberton, John. 2003. Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa. Peursen, Van. 1985. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rafael Raga Maram. 2000. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Rineka Cipta
Jumiaty. 2013. Makna Simbolik Tradisi To Ma‟badong dalam Upacara Rambu Solo‟ di Kabupaten Tana Toraja. Skripsi: Universitas Hassanudin
Schaifer, Richard T (terjemahan Novenanto, Anto dkk). 2012. Sosiologi: Sociology. Jakarta: Salemba Humanika
Koentjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Tanpa kota: Dian Rakyat.
Slamet, Y. 2006. Metodologi Penelitian Sosial, Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Krueger and F. Rabiee. 2004. Focus Groups: A Practical Guide For Applied Research. Newbury Park: Sage Publications.
Smith Z Jonathan (ed). 1995. The Harper Collins Dictionari of Religion. San Francisco: The American Academy Of Religion Press
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
95
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Kominikasi. Bandung. : PT. Remaja Rosdakarya.
(http://www.foxitsoftware.com For evaluation only)
Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Budaya: Defining Culture and Identities (http://www.sagepub.com/upmdata/45974_Chapter_1.pdf)
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Budaya: (http://www.britishcouncil.org/sites/british council.uk2/files/culture mattersreport.pdf).
Stake, R. 1995. The art of case research. Dalam Winston Tellis Application of a Case Study Methodology. http://www.nova.edu/ssss/QR/QR33/tellis2.htmlThe Qualitative Report, Volume 3,Number 3, September, 1997 (http://www.nova.edu/ssss/QR/QR33/tellis2.html) Susilo,
Rachmad. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak Sosiologi Modern. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media
Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Taerapannya dalam Penelitian, Surakarta: Universitas Sebelas Maret. UNESCO. 2009. The 2009 UNESCO Framework for Cultural Statistics (FCS). Canada: Institute for Statistics (http://www.uis.unesco.org/culture/ Documents/framework-culturalstatistics culture-2009-en.pdf).
Budaya: http://ocw.mit.edu/courses/anthrop ology/21a-245j-powerinterpersonal-organizational-andglobal-dimensions-fall-2005/studymaterials/basic_conc.pdf. Fajar, Nur Alam dkk. 2010. Pengaruh Metode Pemicuan Terhadap Perubahan Perilaku Stop Babs Didesa Senuro Timur Kabupaten Ogan Ilir . Prosiding Seminar Nasional 14 Desember. Penelitian kualitatif: (http://wagner.nyu.edu)/leadership/pub lications/files/ Qualitative_ Research.pdf) Ritual:http://digilib.uin.suka.ac.id/12928/1/BA B%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUS TAKA.pdf Ritual:http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikel\ B4A9004634D3EBA57DBD 272E95E2E181.pdf.
Yin, Robert K. 2013. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sumber Lain: Auguste Comte; Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
96
Volume II No. 1 September 2015
KAJIAN SEJARAH TUNGGUL WULUNG DI DUSUN JURANG, KECAMATAN MANYARAN, KABUPATEN WONOGIRI Prihadi Dwi Hatmono, Novianti, Santi Paramita, dan Sukarti STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah Tunggul Wulung, proses ritual Tunggul Wulung, dan makna simbolik ritual Tunggul Wulung di Dusun Jurang Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian sejarah. Teknik pengumpulan sampel dengan purposive sampling melibatkan individu sebagai subjek atau sampel penelitian kualitatif cenderung bersifat bias kaya informasi karena informasi (data) pada umumnya diperoleh dari orang-orang yang dapat diyakini memang mengetahui persoalan yang diteliti, yang dalam penelitian ini didapatkan dari juru kunci, tokoh masyarakat, dan masyarakat sekitar. Teknik pengumpulan data dengan observasi, dokumentasi, dan wawancara. Hasil penelitian ini adalah (1) Tunggul Wulung di dusun Jurang desa Pijiharjo Kecamatan Manyaran diyakini oleh masyarakat setempat sebagai peninggalan dari kerajaan Majapahit, berupa teken kemeleng (tongkat mengkilat), yang diyakini ada pada masa keruntuhan pemerintahan Prabu Brawijaya yang saat itu melarikan diri karena menolak masuknya Islam; (2) Proses Kirab Tunggul Wulung dibagi menjadi tiga, yaitu kirab menuju hutan untuk melakukan bersih-bersih, kemudian kirab mengelilingi sasono Tunggul Wulung, dan terakhir pembasuhan pusaka yang dilanjutkan dengan upacara sebagai wujud syukur atas keinginan warga yang telah tercapai; (3) Makna simbolik sesaji dalam kirab Tunggul Wulung diantaranya tumpeng robyong sebagai lambang kemakmuran sejati, ubo rampe tumpeng sebagai lambang perjalanan kehidupan manusia, pisang raja melambangkan kehidupan yang indah yang dicapai dengan bersosialisasi dengan masyarakat karena manusia tidak dapat hidup sendiri, kelapa melambangkan kesatuan tekad masyarakat untuk mencapai tujuan bersama-sama, buah-buahan, umbi-umbian (krowotan) dan jajan pasar sebagai lambang kekayaan hasil bumi yang melimpah. Kata kunci: sejarah Tunggul Wulung, proses ritual, makna simbolik ABSTRACT The method used is the historical research. Sample collection technique with purposive sampling involves an individual as a subject or a sample of qualitative research tends to be biased rich information because the information (data) is generally obtained from people who may know something about the problems believed to be studied, which in this study was obtained from the caretaker, figures community, and surrounding communities. The technique of collecting data through observation, documentation, and interviews. Results of this study were (1) Tunggul Wulung in the hamlet village Pijiharjo Canyons District of Manyaran believed by local people as relics of the Majapahit kingdom, in the form of signed kemeleng (sticks shiny), which is believed to exist during the reign of King UB collapse who was fleeing because he refused introduction of Islam; (2) The process of Carnival Tunggul Wulung divided into three, namely the procession into the forest to clean up, and then the procession around the Sasono Tunggul Wulung, and the last washing heritage continued with the ceremony as a form of gratitude for the wishes of citizens which have been achieved; (3) The meaning of the symbolic offerings in procession Tunggul Wulung
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
97
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
including Robyong cone as a symbol of true prosperity, ubo rampe cone as a symbol of human life journey, plantain symbolizes the wonderful life that is achieved by socializing with people as human beings can not live alone, coconut symbolizes the unity of determination community to achieve the goal together, fruits, tubers (krowotan) and snack market as a symbol of wealth abundant crops. Keywords: history Tunggul Wulung, the ritual, symbolic meaning PENDAHULUAN Peninggalan sejarah di wilayah Indonesia pada khususnya dapat ditemukanhampir di seluruh wilayah. Misalnya peninggalan benda yaitu candicandi dari peninggalan kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya di Indonesia sepertikerajaan Majapahit, kerajaan Mataram, kerajaan Sriwijaya dan lainnya.Peninggalan sejarah di Indonesia banyak berkaitan dengan kelompok masyarakatdi suatu desa, kecamatan, atau lainnya yang berhubungan dengan kedaerahan.Menurut Abdullah (1990: p.15), sejarah lokal adalah kisah pada masa lampau dari suatu kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada “daerah geografis” yang terbatas (locality), misalnya desa, beberapa desa, atau kecamatan Di Indonesia sejarah lokal masih belum banyak ditulis karena keterbatasan sumber. Oleh karena itu, sejarah lokal yang terdapat di suatu lokalitas tertentu yang terbatas itu masih berupa kisah-kisah yang dituturkan secara lisan oleh “pemilik sejarah” itu. Kisahkisah tersebut merupakan memori kolektif (collective memory) masyarakat. Tempat bersejarah dan sejarah lokal memiliki kaitan yang erat, karena tempat bersejarah memiliki sejarah lokal, dan sejarah lokal biasanya muncul di tempat bersejarah. Baik tempat bersejarah maupun sejarah lokal, dalam dunia pariwisata merupakan daya tarik wisata, karena keduanya memiliki keunikan yang tidak terdapat di tempat lain. MacIntosh mengatakan bahwa salah satu motivasi orang melakukan perjalanan wisata adalah karena motivasi kultural (cultural motivation), yaitu motivasi yang berhubungan dengan keinginan untuk
melihat aspek-aspek kultural masyarakat di lokalitas tertentu, yang antara lain mencakup: keinginan untuk melihat benda atau peninggalan bersejarah, seperti: monumen, masjid, candi, makam, piramid, dan adat istiadat bangsa lain, seperti: upacara adat, upacara keagamaan, dan lain-lain (Karyono, 1997: p.44-47). Peninggalan sejarah yang berada di wilayah Wonogiri salah satunya berada di Dusun Jurang. Daerah tersebut berada di Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Dusun Jurang memiliki potensi sejarah peninggalan kerajaan Majapahit yang sampai saat ini masih diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat, namun belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Peninggalan tersebut adalah Tunggul Wulung yang berbentuk tongkat.Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu sumber yang mengetahui tentang peninggalan sejarah tersebut didapatkan informasi bahwa Tunggul Wulung adalah peninggalan kerajaan Majapahit. Dari sumber lisan tersebut juga didapatkan informasi bahwa di dusun Jurang akan berkembang agama Buddha suatu saat nanti seperti berkembangnya agama Buddha pada masa kejayaan kerajaan Majapahit. Pada tahun 1967 mulai berkembang agama Buddha di daerah kecamatan Manyaran yang hampir mayoritas masyarakat memeluk agama Buddha. Informasi lain didapat dari sumber yang berbeda bahwa Tunggul Wulung akan muncul pada bulan Besar (penanggalan Jawa) yaitu dalam kurun waktu satu kali setahun. Pada waktu itu akan diadakan arak-arakan di daerah tersebut diantaranya masyarakat akan membawa hasil bumi, hewan ternak dan
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
98
lainnya sebagai sesaji. Ritual tersebut dilakukan karena kepercayaan masyarakat bahwa dengan melakukan ritual tersebut maka akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan di kehidupan mereka. Ritual ini dilakukan secara terus menerus sejak Tunggul Wulung ada dan sampai saat ini masih dilakukan dan menjadi suatu tradisi yang tidak terpisahkan bagi masyarakat. Terhadap penerusan tradisi, dalam Sigalovada sutta Buddha mengatakan bahwa pada waktu yang tepat, orangtua memiliki kewajiban menyerahkan warisan kepada anaknya. Sedangkan kewajiban anak selain menerima warisan adalah mempertahankan keturunan dan tradisi keluarga (D.III.p.189). Hal tersebut menjadi bukti bahwa Buddha juga mengajarkan kepada para siswa-Nya untuk melestarikan budaya kepada generasi berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti bermaksud mengambil judul Kajian Sejarah Tunggul Wulung di Dusun Jurang Kecamatan Manyaran. Peneliti berharap dapat mengetahui sejarah munculnya dan proses pelaksanaan ritual Tunggul Wulung di Dusun Jurang Kecamatan Manyaran. Lebih jauh peneliti ingin mengetahui tentang makna simbolik dari pelaksanaan ritual tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. MenurutM. Nasir dalam Andi Prastowo (2014: p.107), metode sejarah merupakan usaha untuk memberikan interpretasi dari bagian tren yang naik turun dari suatu status di masa lampau untuk memperoleh generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang, dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian inilebih mendasarkan diri pada alasan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu (purposeful selection) sesuai dengan tujuan penelitian. Oleh karena itu, sifat metode
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
sampling dari penelitian ini adalah purposive sampling. Penelitian ini menggunakan purposive sampling karena sesuai dengan tujuan penelitian kemudian informasi yang peneliti dapatkan dari informan kunci, yaitu tokoh masyarakat, juru kunci dan masyarakat sekitar. Penelitian ini menggunakan teknik atau metode pengumpulan data dengan interview, observasidandokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam adalah mengacu pada penelitian historis menempuh tahapan-tahapan kerja seperti yang dikemukakan oleh Notosusanto dalam Sulasman (2014:p.7), yaituheuristis, kritik, interpretasidanhistoriografi. Teknikpengambilankesimpulanmenggunak antriangulasi. TINJAUAN PUSTAKA Istilah sejarah berasal dari bahasa arab, yakni dari kata “syajaratun”, yang memiliki arti pohon kayu. Pengertian pohon kayu disini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan atau pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain ada peneliti yang menganggap bahwa arti kata syajarah tidak sama dengan kata sejarah, sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai pohon keluarga atau asal-usul atau silsilah. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata syajarah dengan kata sejarah, seseorang yang mempelajarai sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian (Sjamsuddin, 1992:p.2). Dengan demikian pengertian sejarah yang dipahami sekarang ini dari alih bahasa inggris yakni history, yang bersumber dari bahasa Yunani kuno historia (dibaca istoria) yang berarti belajar dengan cara bertanya-tanya. Kata historia ini diartikan sebagai pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal ikhwal manusia) dalam urutan kronologis (Sjamsuddin dan Ismaun, 1996:p.4). Hakikat sejarah adalahmempelajari beberapa hal, diantaranya sejarah adalah
99
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
ilmu tentang manusia, sejarah mengkaji manusia dalam lingkup waktu, sejarah mengkaji manusia dalam ruang lingkup, sejarah menjelaskan masa kini, sejarah merupakan dialog antar peristiwa masa lampau dan perkembangan ke masa depan, dan sejarah merupakan cerita tentang perkembangan kesadaran manusia baik dalam aspek individual maupun kolektif (Kochhar, 2008:p.3-6). Pada umumnya, para ahli sepakat untuk membagi peranan dan kedudukan sejarah yang terbagi atas tiga hal, yakni sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cerita (Ismaun, 1993:p.277). 1. Pertama Sejarah sebagai Peristiwa Sejarah sebagai peristiwa adalah sesuatu yang terjadi pada masyarakat manusia di masa lampau. Pengertian sejarah sebagai peristiwa memiliki makna yang sangat luas dan beranekaragam. Para ahli pun mengelompokkan sejarah agar dapat memudahkan kita untuk memahaminya yaitu: pembagian sejarah secara sistematis, yaitu pembagian sejarah atas beberapa tema. Contoh : sejarah sosial, politik, sejarah kebudayaan, sejarah perekonomian, sejarah agama, sejarah pendidikan, sejarah kesehatan, sejarah intelektual, dan sebagainya. Pembagian sejarah berdasarkan periode waktudan pembagian sejarah berdasarkan unsur ruang. Dalam sejarah regional dapat menyangkut sejarah dunia, tetapi ruang lingkupnya lebih terbatas oleh persamaan karakteristik, baik fisik maupun sosial budayanya. Sejarah sebagai peristiwa sering pula disebut sejarah sebagai kenyataan dan serba objektif (Ismaun, 1993:p.279) Artinya, peristiwaperistiwa tersebut benar-benar terjadi dan didukung oleh evidensi-evidensi yang menguatkan, seperti berupa saksi mata(witness) yang dijadikan sumbersumber sejarah (historical sources), peninggalan-peninggalan (relics atau
remains), dan catatan-catatan (records). Selain itu, dapat pula peristiwa itu diketahui dari sumbersumber yang bersifat lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Menurut Sjamsudin (1996:p.78), ada dua macam sumber lisan. Pertama, sejarah lisan (oral history), contohnya ingatan lisan (oral reminiscence), yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai oleh sejarawan. Kedua, tradisi lisan (oral tradition), yaitu narasi dan deskripsi dari orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi. 2. Kedua Sejarah Sebagai Ilmu Menurut Bury (Teggart, 1960:p.56) secara tegas menyatakan History is science no less, and no more. Sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan tidak lebih. Definisi yang cukup simpel dan mudah dipahami diperoleh dari Carr (1982:p.30) yang menyatakan, bahawa history is a continous process of interaction between the historian and this facts, and unending dialogue between the present and the past. Pendapat Carr tersebut sejalan dengan pandangan Colingwood (1973:p.3) yang menegaskan bahwa Every historian would agree, I think that history is a kind of research or inquiry. Pendapat tersebut ditegaskan bahwa sasaran penyusunan sejarah adalah untuk membentuk pemikiran agar kita dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan mencoba menemukan jawabanjawabannya. Sejarah dikategorikan sebagai ilmu karena dalam sejarah pun memiliki “batang tubuh keilmuan” (the body of knowledge), metodologi yang spesifik. Sejarah pun memiliki struktur keilmuan tersendiri, baik dalam fakta, konsep, maupun generalisasinya (Banks,1977:p.211-219;Sjamsuddin, 1996:p.7-19). Kedudukan sejarah di
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
100
dalam ilmu pengetahuan digolongkan ke dalam beberapa kelompok. 3. Ketiga Sejarah Sebagai Cerita/kisah Sejarah sebagai cerita/kisah merupakan sesuatu karya yang dipengaruhi oleh subjektivitas sejarawan. Artinya, memuat unsurunsur dari subjek, si penulis/sejarawan sebagai subjek turut serta mempengaruhi atau memberi “warna”, atau “rasa” sesuai dengan “kacamata” atau selera subjek (Kartodirdjo, 1992:p.62). Dilihat dari ruang lingkupnya, terutama pembagian sejarah secara tematik, Sjamsuddin (1996:p.203-221) dan Burke (2000:p.444) mengelompokkannya dalam belasan jenis sejarah, yaitu sejarah sosial; sejarah ekonomi; sejarah kebudayaan; sejarah demografi; sejarah politik; sejarah kebudayaan rakyat; sejarah intelektual; sejarah keluarga; sejarah etnis; sejarah psikologi dan psikologi histori; sejarah pendidikan; sejarah medis. Notosusanto (1979:p.4-10) mengidentifikasi empat jenis kegunaan sejarah, yakni fungsi edukatif, fungsi inspiratif, fungsi instruktif, dan fungsi rekreasi. 1. Fungsi Edukatif Sejarah memiliki fungsi edukatif membawa dan mengajarkan kebijaksanaan ataupun kearifankearifan. Seperti yang diungkapkan John Seeley yang mempertautkan masa lampau dengan sekarang, we study history, so that we may be wise before the event. Dengan demikian penting juga ungkapan seperti belajarlah dari sejarah atau sejarah mengajarkan kepada kita. 2. Fungsi Inspiratif Mempelajari sejarah dapat memberikan inspirasi atau ilham. Dan juga sejarah dapat memberikan spirit dan moral. Menurut Prancis Henry Bergson sebagai elan vital, yaitu sebagai energi hidup atau daya pendorong hidup yang
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
memungkinkan segala pergerakan dalam kehidupan dan tindak tanduk manusia. 3. Fungsi Instruktif Belajar sejarah bukan hanya sematamata mempelajari peristiwa masa lampau, namun belajar sejarah dapat berperan dalam proses pembelajaran pada salah satu kejuruan atau ketrampilan tertentu, seperti navigasi, jurnalistik, senjata/militer, dan sebagainya. 4. Fungsi Rekreasi Dengan belajar sejarah dapat memberikan rasa kesenangan maupun keindahan. Seorang pembelajar sejarah dapat terpesona oleh kisah sejarah yang mengagumkan atau menarik perhatian membaca, baik itu berupa roman atau cerita-cerita peristiwa lainnya. Selain itu, sejarah dapat memberikan kesenangan lainnya, seperti “pesona perlawatan” yang dipaparkan dan digambarkan kepada kita melalui berbagai evidensi dan imaji. Sebab dengan mempelajari berbagai peristiwa menarik di berbagai tempat negara dan bangsa, kita ibarat berwisata ke berbagai negara di dunia. Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” yang keduanya merupakan hasil karya. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitupun dengan budaya. Keduanya saling mempengaruhi. Kedua kata ini merupakan personifikasi dari sebuah makna hukum tidak tertulis, dan hukum tak tertulis ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar. (Tim Penyusun, 2001:p.1208). Tradisi sebagai sistem budaya menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama (vital). Tradisi juga merupakan suatu sistem yang menyeluruh, yang terdiri dari cara, aspek dan pemberian arti laku ujaran, laku ritual, dan beberapa jenis laku lainnya dari manusia atau sejumlah manusia yang melakukan tindakan satu dengan yang lain. Unsur terkecil dari sistem tersebut adalah
101
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
simbol. Simbol meliputi simbol konstitutif (yang berbentuk kepercayaan), simbol penilaian norma, dan sistem ekspresif (simbol yang menyangkut pengungkapan perasaan) (Mursal Esten, 1999:p.22). Jadi, yang menjadi hal penting dalam memahami tradisi adalah sikap atau orientasi pikiran atau benda material atau gagasan yang berasal dari masa lalu yang dipakai orang di masa kini. Sikap dan orientasi ini menempati bagian khusus dari keseluruhan warisan historis dan mengangkatnya menjadi tradisi. Arti penting penghormatan atau penerimaan sesuatu yang secara sosial ditetapkan sebagai tradisi menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi. Kreativitas, inovasi, enkulturasi, akulturasi di dalamtransmisikebudayaanmenunjukkanba hwamanusiaadalahmakhluk yang aktif (Tilaar, 2004:p.191). Kemampuankreativitasdanaktivitasmanusi aadalahproses pendidikan, sehinggadapatdisimpulkanbahwaantarapen didikandankebudayaansalingterkaitsatuden gan yang lainnya. Kebudayaan mengalami perkembangan (dinamis) seiringdenganperkembanganmanusiaitusen diri, oleh karenanya tidak ada kebudayaan yang bersifatstatis. Faktor-faktor yang menjadipenyebabperubahankebudayaanyai tu (1) perubahanlingkunganalam, (2) perubahan yang disebabkanadanyakontakdengansuatukelo mpoklain, (3) perubahankarenaadanyapenemuan (discovery), (4) perubahan yang terjadikarenasuatumasyarakatataubangsam engadopsibeberapaelemenkebudayaan material yang telahdikembangkanolehbangsa lain di tempatlain, (5) perubahan yang terjadikarenasuatubangsamemodifikasicara hidupnyadenganmengadopsisuatupengetah uanataukepercayaanbaru, ataukarenaperubahandalampandanganhidu pdankonsepsinyatentangrealitasnya (Setiadi, 2006:p.44; lihatMaran, 2007:p.51).
Shil menegaskan bahwa, “Manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka” (Shil, 1981:p.322 dalam Piotr Sztompka, 2007:p.74). Maka fungsi tradisi bagi masyarakat yaitu: 1. Tradisi dalam bahasa klise dinyatakan sebagai kebijakan turun-temurun. Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan norma, dan nilai yang dianut kini serta di dalam benda yang diceritakan di masa lalu. Tradisi pun menyediakan fragmen warisan historis yang dipandang bermanfaat. Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan. 2. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada. Semuanya memerlukan pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Salah satu sumber legitimasi terdapat dalam tradisi. Biasa dikatakan, “Selalu seperti itu” atau, “ orang mempunyai keyakinan demikian” meski dengan resiko yang paradoksial bahwa tindakan tertentu hanya akan dilakukan karena orang lain melakukan hal yang sama di masa lalu atau keyakinan tertentu diterima semata-mata karena mereka telah menerima sebelumnya”(Shil, 1981:p.21 dalam Piotr Sztompka, 2007:p.75). 3. Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi daerah, kota, dan komunitas lokal sama perannya yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang tertentu. 4. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan serta ketidakpuasan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila masyarakat
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
102
berada dalam krisis (Piotr Sztompka, 2007:p.76). Pelaksanaantradisitidakterlepasdari makna symbol.Menurut Turner dalam Endraswara (2003:p.172) menyatakan bahwa: “the syimbol is the amallest unit of ritual witch still retains the speciific propertis of behavior it is the ultimit unit of specific structure in a ritual context”, artinya simbol adalah unit atau bagian terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus. Ritual merupakan gabungan dari bermacam-macam unit kecil tersebut, seperti sesaji, prosesi, dan yang lainnya.Makna simbolik yang terdapat dalam ritual jika dapat dipahami dan diamalkan maka akan membawa manusia ke dalam keselamatan yang dinginkan. Makna simbolik dalam ritual menuntun manusia untuk selalu berbuat baik agar supaya dapat selamat dalam kehidupannya. Agama Buddha muncul diikuti dengan pembudayaan yang memodifikasi budaya yang ada sebelumnya. Apa yang dicapai oleh Buddha Gautama pada saat Penerangan Sempurna merupakan suatu temuan baru tentang Realitas. Wowor (1991: 4-5) mengatakan bahwa dalam hal tertentu Buddha melakukan reinterpretasi, menafsirkan kembali dan memberi makna baru terhadap suatu praktik tradisi (misal tentang mandi di sungai untuk menyucikan diri, cara menghormati leluhur yang sudah meninggal). Tradisi setiap daerah sejak zaman nenek moyang sampai sekarang masih menjadi bagian penting bagi dan dipertahankan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sikap yang membiarkan tradisi pra-Buddhis tetap dipertahankan sering dianggap sebagai suatu bentuk kompromi agar kehadiran agama dapat diterima tanpa menimbulkan perlawanan (Wijaya-Mukti, 2006:p.362). Namun tidak demikian, agama Buddha memberi kebebasan kepada setiap penganut ajaran Buddha untuk mempertahankan tradisi masing-masing. Karena yang penting di dalam ajaran
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Buddha adalah bagaimana usaha yang dilakukan oleh setiap orang dapat membawa kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi individu dan masyarakat. Melalui religiusitas Buddha mengajarkan bagaimana cara untuk memperoleh kebaikan atau kebenaran sejati. Buddha memilih cara damai dalam membabarkan Dhamma sehingga ajaran Buddha selalu menimbulkan keharmonisan dan menghindari permusuhan. Perkembangan manusia bergantung pada proses sosialisasi yaitu proses interaksi terus-menerus yang memungkinkan manusia membentuk identitas diri dan memperoleh keterampilan-keterampilan sosial. Sosialisasi yang berlangsung berupa proses pembelajaran yang dialami oleh seseorang sejak masih usia anak-anak, baik melalui proses permainan, cerita, bacaan, atau juga dari ritual keagaamaan. Melalui cara-cara tersebut seseorang dapat mewarisi kebudayaan masyarakat dimana ia lahir, tumbuh, dan berkembang menjadi dewasa. Pewarisan budaya juga diajarkan oleh Buddha seperti dijelaskan dalam Sigalovada sutta, Buddha mengatakan bahwa orang tua harus memberi warisan kepada anak-anaknya, kewajiban anak selain menerima warisan tersebut adalah menjaga nama baik dan kehormatan keluarga serta melanjutkan tradisi keluarga, hal ini dapat dihubungkan dengan pewarisan kebudayaan (D.III.p.189). Hal tersebut menjadi bukti bahwa Buddha juga mengajarkan kepada para siswa-Nya untuk melestarikan budaya kepada generasi berikutnya.Warisan bukan hanya berbentuk harta kekayaan. Dalam Dhammadayada Sutta Buddha bersabda “Jadilah ahli warisku dalam Dharma, bukan ahli waris benda-benda materiil” (M.I.p.12). Artinya bahwa Dharma sebagai budaya spiritual bukan budaya materiil. Budaya spiritual didasarkan pada sistem nilai agama dan bersifat kontemplatif. Sebuah kebaikan tidak dapat diukur dengan nilai-nilai materiil, melainkan diukur dari nilai moral seperti keluhuran
103
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
budi, kesederhanaan, kejujuran, maupun kebijaksanaan. Upaya yang dilakukan umat Buddha dalam mempertahankan nilai-nilai tradisional di wilayah setempat salah satunya bertujuan untuk memperoleh keselamatan. Keselamatan dalam agama Buddha terdiri dari dua aspek, yaitu aspek negatif dan aspek positif (Dhavamony, 2007:p.309). PEMBAHASAN Tunggul Wulung sebagai salah satu peninggalan sejarah sampai saat ini masih dirawat dan dilestarikan tradisinya oleh masyarakat dusun Jurang, desa Pijiharjo, Kecamatan Manyaran. Munculnya Tunggul Wulung diketahui oleh sesepuh dusun Jurang sebagai salah satu pelarian dari Majapahit. Pada masa hampir runtuhnya kerajaan Majapahit menurut cerita banyak para tokoh dan pengikutnya yang melarikan diri karena serangan Demak. Alasan melarikan diri dipilih oleh para tokoh Majapahit karena menolak kedatangan Islam. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Djafar bahwa pada saat kerajaan Majapahit berada di ambang keruntuhan dengan salah satu faktor penyebabnya adalah mulai masuknya pengaruh agama Islam di Jawa, para tokoh meninggalkan untuk melarikan diri atau mengasingkan diri karena menolak kedatangan agama Islam (Putranto, 2003:p.225). Diantara para tokoh kerajaan Majapahit, termasuk juga dikisahkan bahwa Prabu Brawijaya raja terakhir Majapahit melarikan diri ke wilayah Gunung Kidul bersama para pengikut setianya (Putranto, 2003:p.225). Jika dilihat dari letak geografis, dusun Jurang merupakan daerah berbatasan langsung dengan wilayah Gunung Kidul. Selain itu letak dusun Jurang yang berada di atas bukit dapat menjadi potensi sebagai tempat pelarian pada masa tersebut. Walaupun di atas bukit, namun dusun Jurang merupakan dusun yang tanahnya cukup subur untuk lahan pertanian. Oleh karena itu, tanah
dapat diolah menjadi sawah atau lahan pertaniah basah sehingga menghasilkan hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup penghuninya. Keberadaan Tunggul Wulung sebagai pelarian Majapahit seperti yang diceritakan oleh sesepuh dusun Jurang dapat diakui kebenarannya. Hasil penelitian Putranto (2003:p.228) ditulis bahwa Betara Katong yang nama aslinya Jaka Umbaran sebagai keturunan Prabu Brawijaya meninggalkan kerajaan Majapahit karena menolak kedatangan Islam dan menuju wilayah Gunung Kidul. Selanjutnya keturunan Betara Katong yaitu Mbah Bodo yang tinggal di Betoro, kemudian kedatangan Mbah Sakrip yang beragama Islam dari Bayat, Klaten dan para pengikut Mbah Bodo yang belum beragama Islam akhirnya memeluk agama Islam. Namun Mbah Bodo masih memeluk agama yang juga dianut Betoro Katong hingga memilih pindah ke daerah Dongan Wonogiri dan pindah lagi ke Manyaran. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dipahami bahwa Mbah Bodo yang merupakan keturunan dari Majapahit pernah tinggal di Manyaran, oleh karena itu kesaksian dari sesepuh bahwa Tunggul Wulung merupakan peninggalan kerajaan Majapahit kemungkinan besar benar adanya. Tunggul Wulung yang ada di dusun Jurang, desa Pijiharjo, Kecamatan Manyaran berupa pusaka yang berbentuk “teken” atau tongkat. Mbah Lardi berkata “Pusaka teken, ning kemeleng niko” artinya pusaka tongkat yang mengkilat. Pusaka ini sudah dikenal oleh masyarakat dusun Jurang dan sekitarnya bahkan sampai di luar kota seperti Jogja dan Jakarta. Pusaka ini hanya dapat dilihat oleh juru kunci maupun masyarakat pada hari Kamis Wage bulan Besar dalam penanggalan Jawa atas amanat dari juru kunci sebelum-sebelumnya. Juru kunci yang menjaga dan merawat pusaka ini telah sampai pada keturunan ketiga, karena perawatan hanya diberikan kepada anak pertama. Juru kunci tersebut adalah Mbah
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
104
Kirjo, Mbah Kromo Prawiro dan Bapak Wandi sebagai juru kunci pada saat ini. Pada hari Kamis Wage tersebut banyak orang yang datang ke petilasan tempat Pusaka Tunggul Wulung disimpan dengan membawa makanan, hasil bumi, maupun hasil ternak. Berdasarkan informasi dari juru kunci, orang-orang yang datang ke petilasan sebagai bentuk rasa syukur karena apa yang diharapkan telah tercapai. Tradisi yang dilakukan secara turun temurun di dusun Jurang mengenai Tunggul Wulung disebut sebagai kirab Tunggul Wulung. Acara kirab dilaksanakan setiap setahun sekali pada hari Kamis Wage, bulan Besar (penanggalan Jawa). Dalam kirab Tunggul Wulung diadakan prosesi-prosesi dan juga menyediakan sesaji untuk kelengkapan acara tersebut. Prosesi kirab Tunggul Wulung dilakukan dalam serangkaian acara. Kirab dimulai dengan acara pagi hari yaitu membawa pusaka ke hutan yang terletak di daerah bawah dari petilasan. Di tempat tersebut acaranya bersih-bersih daerah di sekitar hutan tersebut diantaranya menyapu dan membersihkan rumput. Dalam acara bersih-bersih di hutan memakai sesaji yaitu tumpeng robyong lengkap dengan lauk pauk atau ubo rampe, bunga, buah, dan krowotan. Semuanya dibawa dari petilasan menuju hutan, setelah itu pemimpin upacara membacakan doa yang pada intinya memohon kesuburan lahan pertanian mereka dan kemakmuran warga dusun Jurang. Doa yang dipakai adalah doa dalam Bahasa Jawa yang tidak ada unsur agama di dalamnya. Siang hari pusaka kemudian dibawa menuju sasono, yang dianggap sebagai tempat duduk Tunggul Wulung. Disana pusaka hanya dibawa berputar mengelilingi sasono sebanyak tiga kali dengan menabur bunga sembari membaca doa. Dalam mengelilingi pemimpin doa dan juru kunci berada di depan dan dibelakang mengikuti warga sekitar. Sesajen yang dibawa kemudian dibagi-bagi untuk dimakan atau dibawa pulang oleh
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
warga yang menginginkan. Sebagian masyarakat mempercayai bahwa mengambil sesajen dari kirab akan membawa berkah bagi mereka. Setelah selesai mengelilingi sasono, pusaka dibawa kembali ke petilasan. Di petilasan sudah disediakan air kembang untuk membasuh pusaka. Air kembang ini dibuat khusus oleh Ibu Sumiyem yang telah berpuluh-puluh tahun membuatnya dari rendaman air bunga kanthil, kenanga, melati, dan mawar. Pada waktu inilah pusaka ini dibuka dari bungkusnya, kemudian dibasuh dengan air kembang sebagai wujud hormat dan memberikan bau harum terhadap pusaka itu. Dalam upacara ini juru kunci membaca doa yang tidak dapat diketahui oleh orang banyak. Setelah juru kunci membasuh pusaka, maka tugas selanjutnya adalah pemimpin upacara membacakan doa-doa dengan sarana sesajen yang ada seperti tumpeng robyong, kelapa, pisang raja, dan bunga. Acara inti adalah doa wujud syukur yang diucapkan oleh pemimpin upacara yaitu mewakili semua yang hadir dalam upacara yang tujuannya mengucap syukur atas tercapainya keinginan dan keberhasilan hidup mereka. Pada umumnya doa untuk memperoleh kelancaran dalam sekolah, keberhasilan dalam pekerjaan, hasil panen yang melimpah, perolehan suatu jabatan dan kemakmuran hidup warga. Bermacam-macam sesajen yang disediakan dalam upacara kirab pusaka mengandung makna tertentu. Diantaranya tumpeng robyong adalah lambang kemakmuran sejati, dimana tumpeng dibuat mengerucut seperti gunung sebagai simbol bahwa manusia akan mencapai puncak dari keberhasilan atau kemakmuran atas tercapainya keinginannya. Ubo rampe atau lauk pauk dari tumpeng merupakan garis besar dari perjalanan hidup manusia dari ada sampai tiada. Benih kehidupan dilambangkan oleh telur, kemudian sambal kelapa sebagai lukisan embrio manusia, kecambah mengisyaratkan supaya manusia dapat tumbuh terus, kacang panjang
105
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
melambangkan manusia supaya dapat berpikir panjang dengan penuh kesadaran dalam menanggapi segala sesuatu. Tomat sebagai lambang kesadaran menimbulkan perbuatan, brambang sebagai perbuatan yang hendaknya dilakukan secara penuh pertimbangan, kangkung sebagai manusia yang berbuat seperti itu tergolong manusia yang linangkung (tingkat tinggi), bayammelambangkantidak mustahil akan menimbulkan ketentraman hidup jika menjadi manusia dengan kemampuan lebih, lombok abang (cabe merah) melambangkan akan muncul keinginan dan keberanian untuk menyatu dengan Tuhan, dan ingkung sebagai cita-cita menyatu dengan Tuhan akan dicapai jika dilakukan dengan manekung. Selain itu setiap upacara dalam adat Jawa tidak terlepas dari adanya bunga. Bermacam-macam bunga merupakan simbol dari keharuman kehidupan yang penuh dengan belas kasih. Pisang raja merupakan lambang kehidupan yang indah yang dicapai dengan bersosialisasi dengan masyarakat karena manusia tidak dapat hidup sendiri. Kelapa adalah lambang kesatuan tekad masyarakat untuk mencapai tujuan bersama-sama. Buah-buahan dan krowotan sebagai wujud hasil perbuatan yaitu berkah panen yang melimpah. Aneka macam sesajen merupakan simbol dari apa yang ada di kehidupan manusia. Selain itu, makna dari sesajen adalah kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari alam di sekitarnya. Keramahan terhadap lingkungan atau alam sekitar akan membawa umpan balik kepada manusia itu sendiri sehingga alam akan bersikap ramah pula terhadap manusia. Kirab pusaka di dusun Jurang, desa Pijiharjo, kecamatan Manyaran sebagai salah satu penerusan tradisi leluhur. Tujuan sesungguhnya dari kirab adalah penghormatan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa dan alam yang telah ramah dan memberikan kesejahteraan kepada warga dusun Jurang dan sekitarnya. Karena pusaka Tunggul Wulung pada
dasarnya adalah sebagai kesuburan dusun Jurang.
lambang
PENUTUP Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1. Tunggul Wulung di dusun Jurang desa Pijiharjo Kecamatan Manyaran diyakini oleh masyarakat setempat sebagai peninggalan dari kerajaan Majapahit, berupa teken kemeleng (tongkat mengkilat), yang diyakini ada pada masa keruntuhan pemerintahan Prabu Brawijaya yang saat itu melarikan diri karena menolak masuknya Islam. 2. Proses Kirab Tunggul Wulung dibagi menjadi tiga, yaitu kirab menuju hutan untuk melakukan bersih-bersih, kemudian kirab mengelilingi sasono Tunggul Wulung, dan terakhir pembasuhan pusaka yang dilanjutkan dengan upacara sebagai wujud syukur atas keinginan warga yang telah tercapai. 3. Makna simbolik sesaji dalam kirab Tunggul Wulung diantaranya tumpeng robyong sebagai lambang kemakmuran sejati, ubo rampe tumpeng sebagai lambang perjalanan kehidupan manusia, pisang raja melambangkan kehidupan yang indah yang dicapai dengan bersosialisasi dengan masyarakat karena manusia tidak dapat hidup sendiri, kelapa melambangkan kesatuan tekad masyarakat untuk mencapai tujuan bersama-sama, buah-buahan, krowotan dan jajan pasar sebagai lambang kekayaan hasil bumi yang melimpah. Saran: a. Bagi masyarakat Masyarakat dusun Jurang tetap menjaga dan melestarikan keaslian sejarah Tunggul Wulung serta tradisi
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
106
Volume II No. 1 September 2015
kirab pusaka Tunggul Wulung yang dilaksanakan setiap hari Kamis Wage bulan Besar (penanggalan Jawa) yang sudah ada sehingga sejarah tersebut masih dirasakan manfaatnya oleh generasi berikutnya. b. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini merupakan penelitian pertama kali di dusun Jurang mengenai sejarah Tunggul Wulung, sehingga bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih menggali sejarah tersebut lebih mendalam agar tidak ada interpretasi yang berbeda. c. Bagi pemerintah daerah Pemerintah daerah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemeliharaan dan kelestarian benda-benda bersejarah di Kabupaten Wonogiri, khususnya di Dusun Jurang, Desa Pijiharjo, Kecamatan Manyaran. DAFTAR PUSTAKA Andi Prastowo. 2014. Memahami MetodeMetode Penelitian. Jogjakarta : Ar Ruzz Media. Carr, E.H. (1985) What Is History?, Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books, Ltd.
Collingwood, R.G. (1973) “The Historical Imagination” Cetak ulang dalam bukunya The Idea of History, Oxford. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyautama. Ismaun, (1993) Modul Ilmu Pengetahuan Sosial 9: Pengantar Ilmu Sejarah,Universitas Terbuka: Jakarta. Kochhar. (2008). Pembelajaran Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Mursal Esten, 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa. Pawito. 2007. Penelitian komunikasi kualitatif. Yogyakarta: Lkis. Piotr
Stztompka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta; Persada.
Putranto, Andi. Pandangan Masyarakat Gunung Kidul terhadap Pelarian Majapahit sebagai Leluhurnya (Kajian Atas dasar Arkeologi dan Antropologi). Jurnal Humaniora Volume XV, No.2/2003. Sulasman, 2014. Metodologi Penelitian Sejarah. Bandung : Pusaka Setia. Setiadi, dkk. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. Sujarwa. 2005. Manusia dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off Set. Tilaar,H.A.R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.cetakan kedua. Jakarta: Rineka Cipta. Teggartt, (1960) Theory and Process of History, Berkeley and Los Angles:University of California Press. Tim
Penyusun. 2001. Kamus Besar Bahasa.Jakarta: Balai Pustaka.
Wijaya Mukti, Krisnanda. 2006.Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan. Wowor, Cornelis. 1991. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: Nitra Kencana Buana.
107
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Pengaruh Keteladanan Tokoh Wayang Pandawa Lima Terhadap Moralitas Umat Buddha (Studi Kasus Di Vihara Buddha Ratana, Desa Sampetan, Kecamatan Ampel, Kab. Boyolali) Agus Subandi, Mugiyo, Suhartoyo Pusaka Jati, Ari Mariyono STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri ABSTRAK Penelitian ini mengambil sampel 40 umat di Vihara Buddha Sasan, Desa Sampetan, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali yang usianya 18 tahun ke atas. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan Ex Post Facto merupakan penelitian dengan mengumpulkan data kejadian yang sudah berlalu. Penelitian Ex Post Facto sering disebut juga dengan restropective study karena penelitian ini merupakan penelitian penelusuran kembali terhadap suatu peristiwa atau suatu kejadian dan kemudian merunut ke belakang untuk mengetahui factor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut. Kuantitatif artinya mengumpulkan variabel demi variabel, satu demi satu dalam bentuk bilangan. Berdasarkan data danpengolahan data yang penulis teliti secara panjang lebar dalam penelitian ini, maka disimpulkan bahwa keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima berdasarkan tingkat signifikansi (α5%) tampak bahwa koefisien regresi tersebut memiliki tingkat kesalahan dibawah 5%, berarti mempengaruhi moralitas umat sebesar 1,189. Artinya, jika keteladanan tokoh terhadap tokoh wayang Pandawa Lima meningkat 1 satuan maka moralitas umat meningkat sebesar 1,189 dengan asumsi variabel lain konstan. Kata kunci: Tokoh Wayang Pandawa Lima, Moralitas Umat
ABSTRACT The sample of this research is the 40 buddhists at Vihara Buddha Sasana, Village of Sampetan, Subdistrict of Ampel, Regency of Boyolali whose ages are more than 18 years old. Ex Post Facto research is often called as a retrospective study because it traces back past events and investigates it to find out the causing factors of the events. Quantitative in this research means to collect every variable, one by one in number. The characters of Pandavas are worthy to become the role model in public interaction, attitudes, behaviours, and problem solving in the society embedded in the values of responsibility, discipline, tenacity, and honesty. The ideal in the puppet characters of The Five Pandavas is based on α5% of signification rate and the regression coeffisient shows fallacy rate under 5% which influences the buddhist morality by 1,189. It means that, suppose the ideal in the puppet characters of the Five Pandavas increase by 1 unit, the morality will increase by 1,189 assuming that other variables are constant. Keywords: Puppet Characters of the Five Pandavas, People Morality
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
108
PENDAHULUAN Wayang Kulit merupakan kebudayaan Indonesia dan berkembang di tanah Jawa. Wayang kulit purwo menjadi wayang yang pertama kali dipentaskan di tanah jawa. Dalam perkembangannya wayang kulit menjadi beberapa jenis dan bentuk. Wayang kulit belakangan ini telah berkembang baik dalam hal pementasan dan cara penyampaian isi ceritanya. Tetapi, hal ini diharapkan tidak mengurangi pesan moral yang akan disampaikan dari cerita pewayangan tersebut. Wayang sebagai salah satu hasil kebudayaan memang diciptakan oleh manusia, akan tetapi, wayang dapat membentuk kepribadian manusia, terutama penggemarnya (Suhardi, 1996: p. 52). Wayang memiliki berbagai nilai yang terkandung di dalamnya, termasuk makna filosofis yang tinggi. Kisah wayang adalah kisah yang bisa membuat kita bercermin, yakni kisah yang ada merupakan gambaran dari kehidupan yang kita alami dan kita dapat belajar dari kisah-kisah wayang tersebut. Karakter yang diperankan dalam wayang bisa terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari, mulai dari karakter yang berbudi luhur sampai karakter yang berbudi jahat. Cerita dalam Wayang Kulit Purwo tidak lepas dari tokoh-tokoh wayang. Cerita dan tokoh dalam wayang akan dimainkan oleh dalang. Dalang dalam pagelaran wayang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga yang dinyanyikan oleh para pesinden. Setiap wayang memiliki sifat atau karakter yang berbeda-beda. Karakter baik atau jahat dalam kisah pewayangan dapat memberi warna dan mempermudah dalang untuk menyampaikan pesan moral dalam pementasan wayang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pementasan wayang selalu diwarnai dengan adanya tokoh-tokoh wayang yang memiliki karakter dan peran yang
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
beragam. Salah satu tokoh wayang yang sangat terkenal dikalangan masyarakat Indonesia dan khusus masyarakat awam adalah tokoh Semar. Semar sangat identik dengan karakter dan peran seorang Guru dan pembimbing spiritual para satria yang berwatak mulia. Yaitu yang dikenal dengan pandawa lima (Muhammad Z, 2009: p.102). Pandawa Lima merupakan tokoh yang dikenal dengan kebaikannya dalam memberantas keangkaramurkaan. Pandawa terdiri atas lima ksatria yang merupakan putra dari Pandu Dewanata, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Para Pandawa juga memiliki sifaat dan karakter yang berbeda-beda. Para Pandawa tidak hanya memiliki satu nama, melainkan memiliki nama lain. Nama-nama tersebut dibuat bukan tanpa maksud dan tujuan. Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi penamaan. Nama bagi orang Jawa bukan hanya sebagai indentitas diri, melainkan dapat menunjukkan derajat orang yang memiliki nama tersebut (Uhlenbeck, 1982: p.372). Bagi masyarakat Jawa, wayang bukan hanya sebagai bentuk seni pertunjukkan atau hiburan semata, melainkan menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial dan religius (Budi, 2002:2). Wayang sebagai pertunjukkan memimiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana upacara religius, sarana kebersamaan, sarana edukasi, sarana komunikasi, dan hiburan. Fungsi terpenting dari pertunjukkan wayang adalah fungsi edukasi. Hal tersebut karena wayang mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia. Masyarakat agama Buddha di Vihara Dhamma Ratana, Desa Sampetan, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali dalam kehidupan sehari-harinya sangat menjaga nilai-nilai budaya Jawa salah satunya Wayang Kulit. Masyarakat di Desa Sampetan yang terletak dibawah kaki gunung Merbabu sampai saat ini juga masih melaksanakan tradisi Jawa seperti nyadranan atau sedekah bumi. Umat
109
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Buddha di Desa Sampetan berjumlah sekitar dua ribu umat yang menyebar di dusun-dusun di desa tersebut. Umat Buddha yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian adalah umat Buddha di Vihara Buddhasasana yang diketuai oleh Bapak Parjo. Umat Buddha yang terdapat di Vihara tersebut sekitar 60 umat. Umat Buddha di Vihara Buddhasasana menurut ketua vihara sudah mengenal tentang tokoh Pandawa, akan tetapi watak atau karakter yang sesungguhnya masyarakat umat Buddha di daerah tersebut belum mengerti. Tokoh Pandawa memiliki batin serta tindak-tanduk yang satu sama lain dapat mengendalikan atau mengingatkan. Dalam kehidupan sehari-hari umat Buddha di Vihara Buddhasasana kesadaran tentang saling mengingatkan antar umat agar berbuat sesuai dengan Sila, Samadhi dan Panna masih kurang. Contohnya ketika di dalam Vihara umat hendaknya mampu menciptakan suasana yang mendukung dalam pengemabangan Dhamma, tetapi dalam kenyataannya di dalam Vihara umat sering berbicara hal yang tidak perlu dibicarakan. Permasalahan semacam ini mungkin tidak dialami oleh Vihara Buddhasasana saja. Dalam cerita Mahabarata, tokoh Pandawa selalu rajin dan tidak suka membuat keributan ketika mereka berada di dalam asuhan Guru Durna. Hal ini hendaknya dapat dijadikan teladan dalam kehidupan umat Buddha dalam menjaga perilakunya. Selain itu permasalahan yang dihadapi oleh Vihara Buddhasasana adalah kedisiplinan umat dalam melaksanakan kegiatan keagamaan Buddha. Masih dapat ditemukan dalam kegiatan rutin keagamaan umat masih sering telat yang sebenarnya hal ini dapat mengganggu umat lain dalam melaksanakan puja bhakti. Selain itu ketika melaksanakan kegiatan kerja bakti bersama juga masih ditemukan umat yang kesadarannya kurang dalam mengikuti kerja bakti. Wayang yang memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana upacara religius, sarana kebersamaan, sarana
edukasi, sarana komunikasi, dan hiburan. Fungsi terpenting dari pertunjukkan wayang adalah fungsi edukasi. Hal tersebut karena wayang mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia. Tokoh Pandawa lima juga sangat dikenal oleh masyarakat Desa Sampetan akan tetapi dalam pemahaman karakter dari masing-masing Pandawa masyarakat masih belum banyak yang mengerti. Tokoh Pandawa sangat pantas dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pergaulan, tingkah laku atau dalam menghadapi masalah. Berdasarkan uraian di atas peneliti mengambil judul “Pengaruh Teladan Tokoh Wayang Pandawa Terhadap Moralitas Umat Buddha di Vihara Buddhasasana, Desa Sampetan, Kec. Ampel, Kab. Boyolali”. Hal ini dilakukan agar memberikan masukan dan solusi untuk meningkatan minat umat Buddha terhadap Dhamma yang diajarkan dengan memberikan teladan salah satu tokoh dalam pewayangan. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui teladan tokoh wayang pandawa dalam kehidupan sehari-hari dan mengetahui pengaruh keteladanan tokoh wayang Pandawa terhadap perilaku umat Buddha di Vihara Buddha Sasana, Desa Sampetan, Kec. Ampel, Kab. Boyolali. TINJAUAN PUSTAKA WAYANG Istilah wayang diambil dari kata bahasa Jawa yang berarti bayangan. Drama pertunjukkan yang sekarang disebut wayang itu kemudian sudah ada dalam berbagai bentuknya sejak seribu tahun yang lalu. Selanjutnya Paul Stange menerangkan kendati struktur dasar ceritaceritanya diambil dari wiracarita India, Mahabarata, dan Ramayana, tetapi seluruh kerangaka mitologinya mengenai dewadewa telah diubah sedikit demi sedikit,
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
110
dengan sejumlah tambahan dan mitosmitos yang lebih bersifat pribumi. Para tokoh di dalam wiracarita tersebut dianggap merupakan leluhur orang Jawa dan bersemayam di Jawa (Purwadi, 2004: p.79). Wayang purwa adalah lambang kehidupan manusia di dunia ini (Hardjowigoro, 1989: p.11). Dalam seni pewayangan semua cerita banyak mengandung pesan moral dan juga permasalahan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Asal muasal dari semua cerita wayang pada dasarnya adalah cerita tentang dewa yang bernama Hyang Manikmaya atau Betara Guru dan Hyang Ismaya atau Semar. Dari sinilah cerita seperti Ramayana dan Mahabarata terlahir.
TOKOH PANDAWA LIMA Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita (Wahyu Siswanto, 2008: p.142). Sedangkan menurut Herman J. Waluyo (2001:p.14) penokohan erat dengan perwatakan. Penokohan disini adalah proses menampilkan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam pementasan lakon, penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Maka untuk kepentingan tersebut, tokoh-tokoh harus dihidupkan (Soediro Satoto, 1989: p.43). Beberapa jenis pelaku/tokoh atau aktor berdasarkan peranannya dalam cerita yang biasa dipergunakan dalam cerita diantaranya adalah: a. Tokoh Antagonis, tokoh penentang arus cerita. Dalam cerita Mahabarata, tokoh antagonis ini diperankan oleh keluarga Kurawa. Kurawa yang dipimpin oleh Duryudana selalu membuat siasat agar para Pandawa celaka dalam hidupnya. Tujuan dari Kurawa melakukan hal ini
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
tidak lain untuk menduduki Kerajaan Astina. b. Tokoh Protagonis, tokoh yang mendukung cerita Krisna dan Sangkuni merupakan tokoh protagonis dalam kisah Mahabarata. Kedua tokoh ini memiliki peran masing-masing, yaitu Krisna mendukung Pandawa sedangkan Sangkuni mendukung Kurawa. c. Tokoh Thragonis, tokoh pembantu baik tokoh antagonis maupun untuk tokoh protagonis. Pandawa Lima dalam kisah Mahabarata merupakan tokoh sentral dalam cerita. Pandawa merupakan kumpulan lima bersaudara yang memiliki jiwa ksatria. Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta (Pāṇ ḍ ava), yang secara harfiah berarti anak Pandu (Pāṇ ḍ u), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masingmasing) seorang putera darinya (http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa. diakses pada tanggal 27 April 2015, pukul 19.00 WIB). MORALITAS Moralitas atau moral merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin: Mos (jamak: mores) yang berarti cara hidup atau kebiasaan. Secara harafiah istilah moral sebenarnya berarti sama dengan istilah etika, tetapi dalam prakteknya istilah moral atau moril sebenarnya telah
111
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
jauh berbeda dari arti harafiahnya. Moral atau morale dalam Bahasa Inggris dapat juga diartikan sebagai semangat atau dorongan batin dalam diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan dalam pengertian moralitas lebih dipahami sebagai nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh seseorang atau organisasi tertentu sebagai sesuatu yang baik atau buruk, sehingga bisa membedakan mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak sepatutnya dilakukan (Fernanda, 2003: p.2). Moralitas dapat juga disebut, sebagai “Sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus hidup secara baik sebagai manusia” (Salam, 1997: p.3). Pengertian moralitas berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah yang diwariskan melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar benar-benar menjadi manusia baik. Ajaran Buddha, sīla adalah etika Buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku yang baik. Menurut bahasa pali, “sīla” dalam pengertian luas adalah “etika”dan dalam pengertian sempit padanannya adalah “moral”. Sīla dalam pengertian luas termasuk dalam perilaku melalui pikiran sesuai dengan norma baik atau kehendak (cetanā), sedangkan sīla dalam pengertian yang sempit adalah perbuatan lahiriyah berupa ucapan perbuatan jasmani dan mata pencaharian (Rashid, 1997: p.7). Faktor yang Mempengaruhi Moralitas Manusia Kemerosotan moral manusia tidak lepas dari beberapa faktor. Berkaitan dengan gejala kemerosotan moral tersebut menurut Tejanando (2006: p.47-50) maka terdapat dua faktor yang mempengaruhi moralitas manusia yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi unsur-unsur yang berada dalam diri sendiri. Sedangkan faktor eksternal adalah unsur-unsur yang ada di luar individu, yang ikut mempengaruhi tindakantindakan (Tejanando, 2006: p.48). Kedua
faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a. aktor internal Dalam komentar Itivuttaka, Hiri dan Ottapa dianggap sebagai faktor internal, Hiri yang berarti malu untuk melakukan kejahatan, dan Ottapa yang berarti pula takut akan akibat berbuat jahat. Manusia adalah makhluk yang mampu membedakan antara yang layak dilakukan dan yang tidak layak dilakukan sehingga hiri dan ottapa sangat penting. Kesadaran untuk menghindari perbuatan yang tidak layak dikarenakan batin terisi oleh hiri dan ottapa. Dalam era globalisasi ini tampaknya manusia masih kurang memperhatikan nilai yang bersumber dari pendidikan agama. Banyak anakanak dibesarkan dan menjadi dewasa tanpa mengenal pendidikan agama. Terutama pendidikan agama dalam keluarga. Pada hal setiap anak yang lahir belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, serta batas-batas dan ketentuan-ketentuan moral yang berlaku dalam masyarakat. b. aktor eksternal Kesenjangan sosial, kecemburuan sosial yang terus meningkat, ditambah dengan tayangan-tayangan kekerasan, pembunuhan, peperangan dan masih banyak lagi tontonan yang ditayangkan oleh media televisi dan internet yang mendorong emosional seseorang menjadi tinggi. Banyak orang stress menghadapi nilai-nilai sosial masyarakat yang berubah sangat cepat, misalnya perubahan dari pengaruh globalisasi yang mengakibatkan manusia lebih mementingkan nilai kebendaan dan kenikmatan duniawi. Tanpa bekal keyakinan terhadap Dhamma dan kemoralan, seseorang akan dengan mudah terseret ke dalam arus perubahan. Hal ini kembali dilihat betapa pentingnya peran sila (moral)
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
112
dalam diri seseorang yang harus ditanamkan sejak kecil. Hal ini juga tidak lepas dari peran orang tua dalam membina serta mendidik anak-anaknya sebagai bekal hidupnya dalam masyarakat nantinya. Moral Buddhis Dalam Kehidupan Sehari-hari Manusia di dunia berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dan menghindari adanya penderitaan. Kebahagiaan hidup salah satunya dapat dilakukan melalui praktek moral atau pelaksanaan (sīla) dalam kehidupan seharihari. Moral Buddhis salah satunya dapat ditemukan dalam Anguttara Nikāya (Woodward, 2000: p.250), yang terbagi dalam tiga kalimat, yaitu kesucian jasmani, kesucian ucapan, kesucian batin yang tidak dimotori oleh keserakahan (lobha) kebencian (dosa) dan kegelapan batin (moha). Moral Buddhis Sebagai Wujud Etika Dalam Kehidupan Sehari-hari Fenomena yang terjadi sekarang menunjukkan perilaku menyimpang dari norma-norma kemanusiaan. Perilaku menyimpang seperti kekerasan, perampokan, konflik dan peperangan marak terjadi, hal tersebut menunjukkan ketidakharmonisan dan menurunnya kualitas nilai-nilai moral manusia. Buddha mengajarkan Dhamma yang pertama kali untuk membebaskan manusia dari penderitaan. Buddha mengajarkan ajaran dengan pendekatan adanya penderitaan (dukkha), sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Beliau sangat memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan di dunia. Beliau ingin memperbaiki beberapa kondisi hidup manusia, di dalam masyarakat atau secara individual dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi dan pentingnya perdamaian dengan sesama manusia.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
PENELITIAN YANG RELEVAN Penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan ditulis pernah ditulis oleh Ayu Muzayyanah pada tahun 2012, dengan judul Analisis Nama dan Variasi Nama Tokoh-Tokoh Pandawa Dalam Wayang Purwa di Program Studi Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa Universitas Indonesia. Dalam penelitain ini membahas tentang makna nama dan variasi nama tokoh-tokoh Pandawa dalam wayang Purwa. Metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah metode deskriptif interpretative. Teori yang digunakan yaitu teori simbol menurut Bastomi dan teori interpretasi teks menurut Java van Luxemburg. Hasil dari penelitian ini berupa analisis makna nama dan variasi nama tokoh-tokoh Pandawa dalam wayang purwa serta faktor-faktor yang melatarbelakangi variasi nama tokoh-tokoh Pandawa dalam wayang purwa. Penelitian yang relevan yang berhubungan dengan moralitas atau perilaku yaitu penelitian yang dilakukan oleh Haris, 2008, dengan judul Pañcasīla Buddhis Sebagai Dasar untuk Mewujudkan Perdamaian Suatu Bangsa. Skripsi, jurusan Dharma Acarya, STAB Syailendra Semarang. Penelitian ini Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menggambarkan secara objektif ajaran Buddha melalui Pañcasīla Buddhis untuk mewujudkan perdamaian suatu bangsa. Tujuannya adalah menjelaskan pengertian perdamaian suatu bangsa, menjelaskan ajaran moralitas Buddhis bisa difungsikan untuk mewujudkan perdamaian suatu bangsa dan mendeskripsikan sejauh mana signifikansi Pañcasīla Buddhis untuk mewujudkan perdamaian suatu bangsa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dan kajian kepustakaan. Sumber yang digunakan terdiri dari dua macam yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diperoleh dari kitab suci agama Buddha dan sumber sekunder diperoleh dari literatur umum yang dianggap menunjang penelitian seperti
113
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
buku, koran, majalah, sumber artikel dari internet dan tulisan ilmiah yang berkaitan dengan penelitian. KERANGKA BERPIKIR Wayang Sebagai Warisan Budaya
Tokoh Pandawa Lima
Keteladanan Tokoh Pandawa Lima
Perilaku/Moralitas Umat Buddha
Wayang sebagai hasil kebudayaan masyarakat Jawa yang bukan hanya sebagai bentuk seni pertunjukkan atau hiburan semata, melainkan telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial dan religius masyarakat Jawa. Dalam pementasan wayang selalu diwarnai atau dijumpai adanya tokoh-tokoh wayang yang memiliki karakter yang beragam. Salah satu tokoh wayang sangat dikenal adalah Pandawa Lima. Tokoh tersebut identik dengan kepahlawanan, kepemimpinan dan tanggung jawab dalam kehidupan seharihari. Dari karakter tersebut diharapkan dapat menjadikan teladan umat Buddha dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam berperilaku. Ketika masyarakat umat Buddha telah meneladani tokoh Pandawa Lima berarti masyarakat telah ikut menjaga kelestarian budaya wayang dalam kehidupan sehari-hari. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dengan judul Pengaruh Keteladanan Tokoh Pandawa Lima Terhadap Moralitas Umat Buddha di Vihara Buddhasasana, Kec. Ampel, Kab. Boyolali ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan Ex Post Facto. Penelitian kuantitatif pendekatan Ex Post Facto merupakan penelitian dengan mengumpulkan data kejadian yang sudah berlalu. Penelitian Ex Post Facto sering
disebut juga dengan restropective study karena penelitian ini merupakan penelitian penelusuran kembali terhadap suatu peristiwa atau suatu kejadian dan kemudian merunut ke belakang untuk mengetahui factor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut. Kuantitatif artinya mengumpulkan variabel demi variabel, satu demi satu dalam bentuk bilangan. ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN Uji Normalitas Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas terhadap butir instrumen, dapat diketahui bahwa semua butir instrumen adalah valid dan reliabel. Tingkat validitas dapat ditunjukkan dengan nilai r hitung lebih besar dari r tabel dengan tingkat signifikansi 0,05. Begitu pula dengan tingkat reliabilitas dapat diketahui dari jumlah r hitung lebih besar dari r tabel, dengan nilai r tabel 0,312 pada tingkat signifikansi 5%. Sebelum data diolah dengan regresi linier menggunakan program SPSS variabel-variabel diuji normalitasnya dengan menggunakan Chi Square (X2). Data dikatakan normal jika X2 hitung lebih kecil dari X2 tabel (Sugiyono, 2011: 82). Hasil penghitungan uji normalitas dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1 Hasil penghitungan uji normalitas Variabel X2 Derajat Keteran Hitun Kebebas gan g an (dk) Keteladanan 31,58 16 Normal Tokoh Wayang 0 Pandawa Lima Moralitas Umat
9,080
8
Normal
Uji Frekuensi Keteladanan Tokoh Wayang Pandawa Lima Aspek tentang pengaruh keteladan tokoh wayang Pandawa Lima meliputi: pagelaran wayang kulit yang digelar di
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
114
Volume II No. 1 September 2015
desa Sampetan apakah pernah diadakan, ketertarikan umat Buddha dengan setiap pagelaran wayang kulit, melihat pagelaran atau membaca ceritacerrita wayang yang anda senangi, umat pernah melihat pagelaran wayang dari awal sampai selesai, pagelaran wayang di daerah anda dengan mengundang dalang-dalang yang terkenal, tokoh agama juga menceritakan tokoh-tokoh wayang Pandawa Lima, mengadakan diskusi tentang tokoh-tokoh wayang Pandawa Lima, pagelaran wayang yang di lihat, menceritakan kisah keteladanan Pandawa Lima, meneladani tokoh wayang Pandawa Lima, dan masyarakat merespon positif pada setiap pagelaran wayang. Dalam analisis dipergunakan variabel keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima sebagai variabel bebas. Keteladanan tokoh wayang Padawa Lima merupakan tokoh yang pantas diteladani dalam hal kebijaksanaan, kemauan keras, ulet, disiplin dan bertanggung jawab. Umat Buddha memiliki pendapat yang berbedabeda terhadap kemampuan tokoh Pandawa Lima. Ada yang menyatakan keteladanan tokoh Pandawa Lima sering dan kadangkadang mampu mengendalikan moralitas umat, begitu pula sebaliknya ada umat yang menyatakan bahwa para meneladani tokoh wayang Pandawa Lima hanya pernah dan bahkan ada yang tidak pernah. Frekuensi data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 Frekuensi Keteladanan Tokoh Pandawa Lima Nilai
Kriteria Jawaban
Prontase (%)
(1)
(2)
(3)
4
Sering
2
3
Kadang-kadang
41
2
Pernah
50
1
Tidak pernah
7
Jumlah
100,00
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Moralitas Umat Moralitas umat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan yang dirasakan setelah melihat pagelaran wayang kulit, dengan perasaan senang atau tidak senang menimbulkan inspirasi baru tentang tokoh wayang Pandawa Lima yang senangi, umat telah meneladani semua tingkah laku pada tokoh wayang Pandawa Lima, mengetahui sifat Puntadewa yang bijaksana, anda meneladani dalam setiap pengambilan keputusan, setelah mengetahui sifat Bima yang patuh terhadap gurunya,anda anda meneladaninya pada guru-guru anda, mengetahui sifat Arjuna apakah anda mempraktekan perilaku Arjuna yang suka menolong dalam kehidupan sehari-hari anda, mengetahui sifat Nakula, apakah anda mempraktekan perilaku Nakula yang ahli dalam bidang pertanian, jika anda seorang petani, mengetahui sifat Sadewa, apakah anda mepraktekkan sifat nakula yang ahli dalam bidang peternaan, jika anda seorang peternak, menceritakan keteladanan Pandawa Lima kepada saudara atau temanteman anda, merasa selalu bahagia setelah meneladani tokoh-tokoh Pandawa lima. Berdasarkan hasil frekuensi dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3: Frekuensi Moralitas Umat
Nilai
Kriteria Jawaban
Prosentase (%)
(1)
(2)
(3)
4
Sering
0
3
Kadang-kadang
2
2
Pernah
71
1
Tidak Pernah
27
Jumlah
100,00
115
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Uji Regresi Linier Berganda Berdasarkan hasil regresi linier berganda dengan menggunakan program SPSS atas data primer, yang diperoleh dari hasil data kuesioner. Variabel berpengaruh yang meliputi moralitas umat sebagai variabel bebas (independen) dan keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima sebagai variabel terikat (dependen), dihasilkan penghitungan seperti lampiran dan tabel sebagai berikut: Tabel 4.Ringkasan hasil penghitungan regresi linier Varia Koefisi T Signif Ketera bel en hit ikasi ngan yang ung 5% belum distand arkan Cons tant
7,851
4,7 72
1,189 Mora litas Umat
0,000 0,000
7,4 86
Signif ikan
Hasil uji frekuensi menunjukkan bahwa`keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima adalah dalam skala kadangkadang dan pernah, dengan prosentase tertinggi sebesar 50 % yang menyatakan kadang-kadang, sehingga dapat diasumsikan bahwa moralitas umat di Vihara Buddha Sasana, Desa Sampetan, Kec. Ampel, Kab. Boyolali oleh teladan tokoh wayang Pandawa Lima hanya dilakukan kadang-kadang saja. Pernyataan yang menyatakan bahwa moralitas umat hanya dilakukan kadang-kadang, didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan beberapa umat sebagai responden. Faktor yang mempengaruhi moralitas umat dalam kehidupan sehari-hari antara lain, kehidupan tidak lepas dari saling berhubungan, saling bergantung dan saling kerjasama. Dalam hal ini Buddha menjelaskan bahwa orang yang memperhatikan kepentingan orang lain
disamping kepentingan sendiri adalah yang terbaik, dan seseorang tidak akan dapat menolong orang lain sebelum ia menolong dirinya sendiri. Hendaknya seseorang mengembangkan diri dengan sifat-sifat yang memungkinkan menjadi sumber kebaikan dan pertolongan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Hasil keseluruhan data tersebut menunjukkan bahwa moralitas umat hanya kadang-kadang saja dilakukan karena meneladai tokoh wayang Pandawa Lima. Jika dilihat dengan prosentase secara kumulatif sebesar 91% sehingga dapat diasumsikan bahwa hampir semua responden menyatakan bahwa moralitas umat jarang dilakukan dan dipengaruhi oleh teladan tokoh wayang Pandawa Lima. Pernyataan yang dapat mendukung data diatas dapat diketahui dari hasil observasi lapangan. Melalui hasil frekuensi moralitas umat dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan umat sebagai responden menyatakan bahwa moralitas umat kadangkadang saja dilakukan dengan frekuensi sebesar 71%, dan pernah sebanyak 27%. Sedangkan 0% yang termasuk kategori sering. Berdasarkan akumulasi prosentase sebesar 98% umat sebagai responden menyatakan moralitas umat kadang-kadang dan pernah. Kesimpulan dari data tersebut menunjukkan bahwa moralitas umat hanya diadakan kadang-kadang saja dipengaruhi dari meneladani tokoh wayang Pandawa Lima. Hasil keseluruhan data tersebut menunjukkan bahwa moralitas umat tidak hanya dipengaruhi oleh keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima saja. Jika dilihat dengan prosentase pengaruh keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima sehingga dapat diasumsikan bahwa hampir semua responden menyatakan bahwa moralitas umat tidak hanya dipengaruhi oleh teladan tokoh pandawa lima. Pernyataan yang dapat mendukung data diatas dapat diketahui dari hasil observasi lapangan. Wayang merupakan bahasa simbol dari kehidupan manusia yang bersifat
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
116
kerohanian. Wayang terutama wayang kulit yang merupakan bentuk kesenian klasik tradisional mengandung suatu ajaran, menyentuh dasar hakiki manusia. Seperti ajaran moral menyangkut moral pribadi, moral sosial serta moral ketuhanan atau moral religius (Samsunu, 2005: 11). Dengan memahami setiap tokoh dan karakter wayang. Manusia dapat belajar menjadi pribadi yang lebih baik dan bijak. Dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa umat belum terlalu memahami setiap karakter atau tokoh wayang kulit. Moralitas umat merupakan sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus hidup secara baik sebagai manusia. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Abhayanando yang menyatakan bahwa moral setiap bangsa merupakan hal yang mendasar dalam pencapaian kedamaian. Kedamaian tidak terlepas dari peran moralitas, gambaraan nyata, merupakan bentuk sifat keserakahan pada manusia dengan melakukan berbagai bentuk tindakan tidak berperikemanusiaan. Hasil data tersebut dapat digunakan sebagai bahan acuan tentang perlunya intensitas yang lebih tinggi dalam pembinaan umat Buddha yang ada di Vihara Buddha Sasana Desa Sampetan Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Hal ini diperlukan mengingat umat Buddha di Vihara Buddha Sasana mulai berkembang dan usaha untuk lebih mengaktifkan kegiatan dan pembinaan umat agar umat Buddha di Vihara Buddha Sasana dapat memiliki moralitas yang baik dan diharapkan dapat membantu membina hubungan yang baik antar umat beragama di Desa Sampetan. PENUTUP Kesimpulan Keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima dalam kehidupan sehari-hari masih sangat minim. Masyarakat agama Buddha di Vihara Buddha Sasana, Desa Sampetan, Kec. Ampel, Kab. Boyolali dalam kesehariannya masih belum banyak yang mengerti dan meneladani tokoh Pandawa
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Lima. Tokoh Pandawa sangat pantas dijadikan teladan dalam kehidupan seharihari baik dalam pergaulan, tingkah laku atau dalam menghadapi masalah yang terjadi di masyarakat seperti tanggung jawab, kedisiplinan, keuletan, dan kejujuran Berdasarkan data danpengolahan data yang penulis teliti secara panjang lebar dalam penelitian ini, maka disimpulkan bahwa keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima berdasarkan tingkat signifikansi (α5%) tampak bahwa koefisien regresi tersebut memiliki tingkat kesalahan dibawah 5%, berarti mempengaruhi moralitas umat sebesar 1,189. Artinya, jika keteladanan tokoh terhadap tokoh wayang Pandawa Lima meningkat 1 satuan maka moralitas umat meningkat sebesar 1,189 dengan asumsi variabel lain konstan. Saran Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa moralitas umat Buddha di Vihara Buddha Sasana Desa Sampetan Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali juga dipenngaruhi oleh keteladanan tokoh wayang Pandawa Lima. Maka sebaiknya ketua vihara mementingkan pembinaan umat dalam berbagai bentuk. Dari hasil penelitian diharapkan kepada pandita agama Buddha melakukan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan moralitas umat. Contohnya atthasila, pabbaja samanera, dan silacarini/atthasilani. Berdasarkan hasil penelitain ini diharapkan Pemerintah dapat ikut berperan dalam pembinaan moralitas umat Buddha, dan lebih memperhatikan lagi kebutuhan yang harus di berikan pada masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Abhayanando, Bhikkhu. 2003. Cinta Damai dan Kesejahteraan. Dhammacakka, hal 8. Amir, Hazim, 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Jakarta: Sinar Harapan
117
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Boddhi, Bikkhu. 2000. The Conneted Discourses of The Buddha (Samyutta Nikaya), Vol. II. Oxford: The pali Text Society. Buddhagosa. 1975. Jalan Kesucian (Visuddhi magga) Terjemahan Harini dkk. Denpasar-Bali: Mutiara Dhamma. Budi, Setyo. 2002. Buku Ajar Wayang Wahyu Wayang Katolik Surakarta, Spesifikasi dan Karakteristiknya. Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktur Jenderal Pendidikan TInggi Departemen Pendidikan Nasional. Dhammika. S. 2006. Seri Literatur dan Wacana Buddhis Maklumat Raja Asoka. Yogyakarta: Widyasena Production. Fernanda, Desi. 2003. Etika Organisasi Pemerintah. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara-Republik Indonesia. Hardjowigoro. 1989. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka. Hazim Amir, 1994. Nilai-nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Jaya Herman, J. Waluyo. 2001. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita. Horner, I. B. 2000. The Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Vol. I. Oxford: The pali Text Society. Horner, I.B. 2002. The Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Vol. II. Oxford: The Pali Text Society. Koentjaraningrat, 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : Dian Rakyat. Legowo, Eko. 2007. Komunikasi Pemuka Agama Buddha Terhadap Multikulturalisme. Buletin Forum PTAB, Hal 5. Mahendra Sucipto. 2009. Ensiklopedia TokohTokoh Wayang dan Silsilahnya. Yogyakarta: Narasi. Moleong. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhammad Zaaini Haq, 2009. Tasawuf Semar hingga Bagon,Simbo,l Makna, dan
Ajaran Makrifat Dalam Punakawan, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Nanamoli. 1991. The Path Of Purification (Visudhimagga). Sri Lanka: Buddhist Publication Society. Narada. 1998. Sang Buddha dan AjaranAjaranNya. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama. Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Norman, K. R. 2004. The World Of The Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali Text Society. Perera, S. Lakshmana. 2000. Buddhism For The New Millennium. London: Word Buddhist Foundation. Prama, Gede. 2006. Kebahagiaan yang Membebaskan Menghidupkan Lentera di dalam Diri. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Purwadi, 2004. Semar “Jagad Mistik Jawa”. Yogyakarta: Media Abadi. Rashid. 1997. Sila Dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi S. Haryanto. 1992. Bayang-Bayang Adiluhung, Filsafat Simbolis dan Mistik dalam Wayang. Semarang: Dahara Prize S. Haryanto. Pratiwimba Adhiluhung, 1988. Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan. Salam. 1997. Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Samsunu Yuli Nugroho. 2005. Semar dan Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta : Gelombang Pasang. Setyo Budi, 2002. Wayang Wahyu Katolik Surakarta Spesifikasi dan Karakteristiknya, Bandung: Proyek Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Sivaraksa, Sulak. 2001. Benih Perdamaian Visi Buddhis Atas Pembaharuan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Pencerahan dan (HIKMAHBUDHI). Soediro Satoto. 1989. Pengkajian Drama I. Surakarta: UNS Press. Sri Mulyana, 1989. Simbolisme dan Mistikisme Wayang; Sebuah Tinjauan Filosofis. Jakarta: Gunung Agung. Suhardi, Subagyo Wisnu. 1996. Arti dan Makna Tokoh Paewayangan Ramayana dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak. Jakarta : Putra Sejati Raya.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
118
Sujamto. 1992. Wayang & Budaya Jawa. Semarang : Dahara Prize. Tejanando, Bhikkhu. 2006. Fenomena Kehidupan. Denpasar: Vihara Buddha Sakyamuni Uhlenbeck, E. M. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Djambatan. Wahyudi Siswanto. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grassido. Winoto, Irfan, 2006, Parodius : Wayang Dalam Dunia “Resolusi Rendah” Woodward, F.L. 2000. The Book Of The Gradual Sayings (Anguttara Nikaya), Vol. I. Oxford: The Pali Text Society. Zoetmulder, P.J. 1985. Klangwan. Jakarta: Djambatan. Sumber Internet: (http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa. diakses pada tanggal 27 April 2015, pukul 19.00 WIB).
Sumber Jurnal/Skripsi/Tesis: Ayu Muzayyanah, 2012. Analisi Nama dan Variasi Nama Tokoh-Tokoh Pandawa dalam Wayang Purwa. Depok: Unversitas Indonesia. Haris, 2008. Pañcasīla Buddhis Sebagai Dasar untuk Mewujudkan Perdamaian Suatu Bangsa. Skripsi, Semarang: STAB Syailendra.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
119
KEMAMPUAN PRODUKSI KALIMAT PADA ANAK PRASEKOLAH DI TK BULUSULUR I WONOGIRI TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Sujiono STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan : (1) kemampuan produksi kalimat pada anak prasekolah; (2) jenis kalimat yang diproduksi anak prasekolah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah deskriptif kualitatif. Peneliti menjaring data dengan cara menggunakan media gambar aktivitas anak. Peneliti mengambil objek penelitian (informan) sebanyak enam siswa di TK Bulusulur I Wonogiri. Kelayakan informan yang ditetapkan oleh peneliti adalah siswa TK dengan rentan usia antara 5 tahun hingga 6 tahun. Peneliti dalam mengumpulkan data menggunakan alat bantu yaitu recorder, kamera dan kemudian ditranskripsikan untuk olah data. Teknik catat digunakan sebagai pendukung teknik rekam dan teknik simak libat cakap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) anak sudah bisa memahami media gambar dengan baik; (2) anak prasekolah dengan rentan umur 5-6 tahun sudah mampu menyusun kalimat, baik kalimat sederhana dan kalimat deklaratif; (3) dalam memproduksi kalimat sebagian anak tidak menunculkan subjek. Kata Kunci : Produksi Kalimat, Anak Prasekolah ABSTRACT This study aimed to describe: (1) sentence production ability in preschool children; (2) the type of sentence that produced preschoolers. The method used in this research is descriptive qualitative. Researchers to capture data by using media images of children activity. Researchers took the research object (the informant) as much as six students in kindergarten Bulusulur I Wonogiri. Feasibility informant set by the researchers is kindergarten students with vulnerable age between 5 years to 6 years. Researchers in gathering data using tools that recorders, cameras and then transcribed for data processing. Note technique used to support recording technique and technique involved refer to a conversation. The results showed that: (1) the child is able to understand media images properly; (2) pre-school children aged 5-6 years with vulnerable have been able to construct a sentence, both sentences simple and declarative sentences; (3) in producing the majority of children do not menunculkan sentence subject. Keywords: Production sentence, Preschool Children PENDAHULUAN Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan sarana perumusan maksud, melahirkan perasaan, dan memungkinkan kita menciptakan kegiatan sesama manusia, mengatur berbagai aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan rnasa depan kita. Bahasa sebagai alat komunikasi diperoleh manusia
sejak lahir sampai usia lima tahun, yang dikenal dengan istilah pemerolehan bahasa. Kegiatan berbahasa tidak akan lepas dari empat keterampilan yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan yang menjelaskan bahwa keterampilan berbahasa (atau language arts, language skills) dalam kurikulum di sekolah biasanya mencakup empat segi,
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
120
yaitu; (a) keterampilan menyimak/mendengar (listening skills), (b) keterampilan berbicara (speaking skills), (c) keterampilan membaca (reading skills), dan (d) keterampilan menulis (writing skills) (Tarigan, 1994: p. 1). Berdasarkan pendapat Tarigan dapat dijelaskan bahwa keterampilan berbahasa mencakup keterampilan menyimak/mendengar, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Pengembangan kegiatan menyimak, berbicara, membaca dan menulis merupakan kegiatan berbahasa yang dialami manusia. Hal ini terbukti dalam kehidupan sehari-hari manusia menjalin komunikasi dengan manusia yang lain. Pada dasarnya manusia dalam makluk sosial yang tidak bisa lepas dari saling ketergantungan. Melalui kegiatan berbahasa manusia dapat menjalin kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui bahasa manusia mampu menyampaikan pesan kepada lawan tutur dengan baik sehingga lawan tutur dapat memahami maksud dan keinginan penutur. Saat kegiatan berbahasa berlangsung penutur dapat memberikan perintah, arahan, keluhan dan kepada lawan tutur. Kemampuan produksi kalimat merupakan satu proses perkembangan bahasa manusia. Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu isu yang amat mengagumkan dan sukar dibuktikan. Proses produksi kalimat anakanak prasekolah merupakan satu fenomena masalah yang menarik dan cukup menakjubkan bagi peneliti. Penelitian terhadap bahasa anak-anak gencar dilakukan sejak tahun 1960-an. Penelitianpenelitian yang dilakukan pada umumnya ditekankan pada komponen bentuk bahasa, khususnya pada komponen fonologi dan sintaksis, sedangkan penelitian terhadap komponen semantik bahasa anak-anak masih jarang dilakukan (Arnawa, 2009). Hal senada juga diungkapkan oleh seorang ahli psikologi perkembangan dari Lllinois State University bernama E. Berk (1999)
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
setelah mempelajari dan meneliti berbagai aspek perkembangan individu, sampailah dia pada suatu simpulan bahwa perkembangan bahasa merupakan kemampuan khas manusia yang paling kompleks dan mengagumkan (Asrori, 2008: p. 141). Terkait penelitian pemeroleh bahasa anak pernah dilakukan oleh Endang Rusyati (2008). Yang menjadi fokus penelitian Endang Rusyati adalah pemerolehan bahasa anak; usia 2,5 tahun dan pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Hasil penelitian dari Endang Rusyati yaitu Pada umur 2,5 tahun, seorang anak yang normal sudah dapat mengucapkan fonem-fonem, dan kata yang terbatas sesuai dengan lingkungannya dan benda-benda yang ada disekitarnya. Di samping itu, kata-kata yang keluar adalah masih terpotong-potong dan ucapannya masih terpeleset. 2. Pada umur 2,3 sampai 2,5 tahun, kata-kata yang diproduksinya sudah mulai bertambah dan mulai dari kata-kata benda dan kata kerja. Perkernbangan perbendaharaan bahasanya sudah mulai dengan kata-kata benda yang abstrak. Sementara kata-kata benda dan kata kerja juga bertambah diakibatkan oleh repetisi dari pemerolehan baik dari ternan, kakak, maupun orang tuanya secara sadar maupun tidak sadar (Rusyati, 2008: p. 2840). Mengacu pada hasil penelitian Endang Rusyati dapat diketahui bahwa anak-anak memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memproduksi bahasa. Kemampuan produksi bahasa merupakan bentuk perkembangan kegiatan berbahasa. Perkembangan kegiatan berbahasa pada anak merupakan fenomena yang luar biasa mengagumkan. Anak walaupun baru berusia 3 tahun mampu memproduksi beribu-ribu kosa kata. Kemampuan produksi kalimat pada anak prasekolah merupakan hal menarik untuk diteliti, karena setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memproduksi kalimat. Ada anak yang produksi kalimatnya tergolong cepat, namun ada pula yang sangat lamban.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
121
Menurut beberapa ahli psikolinguistik (Tarigan, 1988, Dulay, 1982, Brown, 1964) perkembangan bahasa anak memiliki fase-fase tertentu mulai dari masa penyerapan bunyi, membabel, mengucapkan kata, dll. Namun, tidak setiap fase dilewati oleh setiap anak. Penyerapan bahasa anak dimulai dengan penyerapan bunyi yang berangsur-angsur menjadi suku kata dan kata. Penyerapan kata atau proses morfologis biasanya diiringi dengan penyerapan makna atau proses semantik. Pada akhirnya, anak akan belajar membentuk kalimat lengkap melalui beberapa tahap yang disebut dengan proses penyerapan sintaksis. Orang pada umumnya tidak merasakan bahwa kemampuan produksi kalimat merupakan ketrampilan yang luar biasa rumitnya. Penggunaan kalimat menjadi lumrah karena secara alamiah seorang anak akan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan produksi kalimatnya. Berdasarkan uraikan di atas dan mengingat proses kemampuan produksi anak sangat menarik maka peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian tentang “ Kemampuan Produksi Kalimat Pada Anak Prasekolah di TK Bulusur I Wonogiri Tahun Pelajaran 2013/2014”. LANDASAN TEORI Proses Penguasaan Kalimat Pada dasarnya sejak lahir manusia telah terikat secara kodrati untuk mempelajari bahasa pada waktu tertentu dan dengan cara tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa bahasa komunikasi tidak dapat dilakukan dengan baik dan interaksi sosial pun tidak akan pernah terjadi. Tanpa bahasa siapa pun tidak akan mampu mengekspresikan diri dalam menyampaikan sesuatu pesan kepada orang lain. Brown dan Bellugi (1964) mengungkapkan bahwa ada tiga proses penguasaan kalimat oleh anak-anak, yaitu (1) peniruan dan penyusutan, (2) peniruan dan perluasan, dan (3) pengaruh struktur laten. Anak parsekolah sudah mampu
menyusun kalimat meskipun masih sangat sedarhana. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan (Busri, 2002: p. 37-38). Menurut Putrayasa (2012: p. 1) mendefinisikan kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang berupa klausa, yang dapat berdiri sendiri dan mengandung pikiran lengkap. Berdasarkan kutipan di atas dapat disintesiskan bahwa kalimat adalah bagian terkecil dari teks yang mengungkapkan gagasan yang lengkap yang berupa klausa yang dapat berdiri sendiri. Kalimat dalam wujud lisan diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Menurut Kridalaksana (dalam Putrayasa, 2010: p. 20) berpendapat dalam wujud lisan kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang menencegah terjadinya perpaduan asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Jadi dalam wujud tulisan huruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya atau tanda seru dan sementara itu disertai pula di dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik koma, titik dua dan atau sepasang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu. Tanda titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!), sepadan dengan intonasi selesai, sedangkan tanda baca sepadan dengan jeda. Adapun kesenyapan diwujudkan sebagai ruang kosong setelah tanda titik, tanda tanya dan tanda perintah atau ruang kosong sebelum huruf kapital permulaan. Alunan titi nada pada kebanyakan hal tidak ada pedananya dalam bentuk tertulis. Dipandang dari sudut logika, kalimat didefinisikan sebagai ujaran yang didefinisikan pikiran lengkap yang
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
122
tersusun dari subjek dan predikat. Hal senada diungkapkan oleh Suparman (dalam Putrayasa, 2010: p. 21) minimal, kalimat terdiri atas unsur subjek dan predikat. Kedua unsur itu merupakan unsur yang kehadirannya selalu wajib. Subjek (S) adalah bagian kalimat yang menunjukkan pelaku, tokoh, sosok (benda), sesuatu hal, atau suatu masalah yang menjadi pokok pembicaraan. Subjek pada umumnya diisi oleh jenis kata atau frasa benda (nomina), klausa, atau frasa verba (Rohmadi, 2008: p. 84). Lebih lanjut Rohmadi (2008: p. 84) menjelaskan predikat adalah bagian kalimat yang memberitahu melakukan (tindakan) apa atau dalam keadaan bagaimana subjek (pelaku, tokoh, atau benda di dalam suatu kalimat. Selain memberitahu tindakan atau perbuatan subjek, predikat dapat juga menyatakan sifat, situasi, status, ciri, atau jati diri subjek. Pengertian bahwa subjek adalah tentang apa sesuatu dikatakan dan predikat adalah apa yang dikatakan tentang subjek, yang perlu diperhatikan ialah bahwa istilah subjek dan predikat itu mengacu kepada fungsi, tidak kepada jenis kata. Menurut Rahardi (2009: p. 77) dalam kalimat, subjek tidak selalu di depan predikat. Adakalanya subjek itu terletak di belakang predikat terutama sekali untuk kalimat yang berdiatesis pasif. Kalimat-kalimat yang diucapkan biasanya masih sangat sederhana tetapi sudah dapat berdiri sebagai kalimat. Misalnya Nenek masak, penggalan tuturan itu sudah dapat berdiri sendiri sebagai kalimat karena secara fungsi kalimat tersusun atas Subjek (S) dan Predikat (P). Nenek berkedudukan sebagi S dan masak berkedudukan sebagai (P). Sama halnya dengan Nenek masak di dapur. Nenek berkedudukan sebagai S, makannya berkedudukan sebagai P dan di dapur berkedudukan sebagai keterangan (ket). Secara lisan kata-kata yang diucapkan anak prasekolah sudah dapat dikatakan sebagai kalimat, karena kalimat dalam bahasa lisan diawali kesenyapan disela jeda dan diakhiri kesenyapan pula.
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Jenis-jenis Kalimat Sintaksis membicarakan hubungan antar kata dalam tuturan (speech) (Arifin dan Juniyah, 2008: 1). Di dalam ranah sintaksis akan dijelaskan mengenai jenisjenis kalimat yaitu: a. Kalimat Deklaratif Kalimat deklaratif yang juga dikenal dengan nama kalimat berita. Dalam pemakaian bahasa bentuk kalimat deklaratif umumnya digunakan oleh pembicara/penulis untuk membuat pernyataan sehingga isinya merupakan berita bagi pendengar atau pembacanya. Dalam bentuk tulisnya, kalimat berita diakhiri dengan tanda titik. Dalam bentuk lisan, suara berakhir dengan nada turun (Alwi, dkk, 1998: p. 353). b. Kalimat Interogatif Kalimat integoratif adalah kalimat yang digunakan oleh seorang penutur untuk memperoleh informasi atau reaksi berupa jawaban yang diharapkan dari mitra tuturnya. Kalimat interogatif atau kalimat tanya pada bahasa lisan berintonasi naik dan pada bahasa tulis kalimatnya diakhiri dengan tanda tanya (?) (Rohmadi, 2008: p. 90). Kalimat interogatif yang juga dikenal dengan kalimat tanya, secara formal ditandai oleh kehadiran kata tanya seperti apa, siapa, berapa, kapan, dan bagaimana dengan atau tanpa partikel –kah sebagai penegas. c. Kalimat Imperatif Kalimat Imperatif atau kalimat perintah adalah kalimat yang digunakan apabila seorang penutur ingin menyuruh, memerintah, atau melarang seseorang atau berbuat sesuatu. Kalimat imperatif pada bahasa lisan berintonasi akhir menurun dan pada bahasa tulis kalimat perintah diakhiri dengan tanda seru atau tanda titik (Rohmadi, 2008: p. 90). Lebih lanjut Alwi, dkk (1998: p. 353354), menjelaskan perintah atau suruhan dan permintaan jika ditinjau dari isinya, dapat diperinci sebagai berikut:
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
123
a) Perintah atau suruhan biasa jika pembicara menyuruh lawan bicaranya berbuat sesuatu. b) Perintah halus jika pembicara tampaknya tidak memerintah lagi, tetapi menyuruh mecoba atau mempersilakan lawan bicara sudi berbuat sesuatu. c) Permohonan jika pembicara, demi kepentingannya, minta lawan bicara berbuat sesuatu. Kalimat imperatif memiliki ciri formal sebagai berikut: a) Intonasi yang ditandai nada rendah di akhir tuturan. b) Pemakaian partikel penegas, penghalus, dan kata tugas ajakan, harapan, permohonan, dan larangan. c) Susunan inversi sehingga urutannya menjadi tidak selalu terungkap predikat - subjek jika diperlukan. d. Kalimat Eksklamatif Kalimat yang dipakai penutur untuk mengungkapkan perasaan emosi yang kuat, termasuk kejadian yang tibatiba dan memerlukan reaksi yang spontan (Finoza, 2006: p. 145). Jadi kalimat eksklamatif adalah kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan emosi dan reksi yang spontan. Kalimat tunggal dapat diartikan sebagai kalimat yang terdiri dari satu klausa. Kalimat tunggal ini hanya mengandung satu unusur saja, yaitu S, P, O, Pel, dan Ket (Rohmadi, 2008: P. 86). Jadi kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri dari satu klausa. Kalimat tunggal mengandung satu unsur S, P, O, Pel dan Ket. Tentu saja kelima unsur tersebut tidak harus muncul sekaligus sebab unsur minimal sebuah kalimat adalah S dan P. Berdasarkan jenis kata/frasa pengisi P-nya, kalimat tunggal dapat dibagi lagi menjadi empat macam dan diberi nama sesuai dengan unsur P-nya. Berikut klasifikasi kalimat tunggal: 1. Kalimat nomina 2. Kalimat adjectiva
3. Kalimat verbal 4. Kalimat numeral 5. Kalimat Majemuk Kalimat majemuk adalah kalimat yang merupakan gabungan dari dua atau lebih kalimat tunggal. Mengingat kalimat tunggal hanya terdiri atas satu klausa, maka berarti bahwa kalimat majemuk mengandung lebih dari satu klausa (Finoza, 2006: p. 139). Berdasarkan kutipan di atas dapat simpulkan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TK Bulusulur I yang terletak di Desa Bulusur Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Peneliti memilih TK Bulusur I dengan pertimbangan; 1) sekolah memberikan izin sebagai tempat penelitian; 2) di TK Bulususlur I belum pernah dilakukan penelitian serupa; 3) keterbatasan biaya. Waktu penelitian selama empat bulan yaitu dimulai bulan September 2013 sampai dengan Desember 2013. Menjadi subjek dalam penelitian ini adalah siswa TK Bulusur I kelas B yang berjumlah sebanyak 6 orang siswa. Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2012: p. 4) mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosuder penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Berdasarkan kutipan di atas dapat disumpulkan metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian untuk memperoleh data deskriptif dari informan yang berupa katakata baik tertulis atau lisan. Metode penelitian deskriptif kualitatif dipandang sesuai untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual,
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
124
dan akurat mengenai kemampuan produksi kalimat pada anak usia prasekolah. Data penelitian ini bersifat deskriptif, artinya produksi kalimat yang menjadi data utama penelitian ini adalah sumber deskripsi yang memaparkan mengenai kemampuan produksi kalimat anak prasekolah. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai pengamat partisipan dan kehadiran peneliti di lapangan diketahui oleh subjek penelitian. Di samping itu, peneliti sebagai instrumen kunci yang merencanakan, melaksanakan, menafsirkan, dan menyimpulkan data. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1993: p. 132). Metode simak adalah metode yang digunakan dalam penelitian bahasa dengan cara menyimak penggunaan bahasa pada objek yang akan diteliti. Metode cakap digunakan dalam peneliti bahasa yang objek kajiannya berupa percakapan antara peneliti dan informan. Dalam penelitian ini untuk mendukung pelaksanaan metode simak yaitu dengan teknik catat, teknik rekam, teknik simak libat cakap. Teknik catat berarti peneliti mencatat data yang dinilai tepat dalam kajian analisis kesinambungan wacana. Teknik rekam yaitu peneliti untuk mendapatkan data merekam saat melakukan kegiatan pembicaraan dengan informan dengan menggunakan alat rekam. Teknik simak libat cakap yaitu peneliti terlibat langsung dalam dialog, disamping memperhatikan informan juga ikut serta dalam pembicaraan informan. Teknik Analisis Data Analisis data penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Menurut Bogdan sebagaimana dikutip Sugiyono (2007: p. 244) menyatakan bahwa analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
diperoleh dari hasil pengamatan sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Peneliti menjaring data dengan cara menggunakan media gambar aktivitas anak. Setiap bagian media gambar harus disusun terlebih dulu. Media gambar yang digunakan berisi aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan oleh anak-anak prasekolah dengan tujuan mereka mudah mengenali sehingga mampu mengutarakan apa yang mereka lihat dengan baik. Tahap pertama, objek penelitian harus menyusun mengamati media gambar yang ada dengan benar. Tahap kedua, mereka mulai mengutarakan gambar yang ada di dalam kartu tersebut. Jika objek penelitian tidak dapat atau kesulitan mengutarakan gambar, maka peneliti akan menggunakan teknik pemancingan yaitu dengan memberikan sedikit petunjuk-petunjuk benda yang hampirsama dengan gambar. Peneliti mengambil objek penelitian (informan) sebanyak enam orang. Kelayakan informan yang ditetapkan oleh peneliti adalah siswa TK dengan rentan usia antara 5 tahun hingga 6 tahun. Dalam menjaring data tersebut,peneliti menggunakan alat bantu yaitu recorder, kamera dan kemudian ditranskripsikan untuk olah data. Teknik catat digunakan sebagai pendukung teknik rekam dan teknik simak libat cakap. Teknik ini juga digunakan tersendiri untuk melengkapi dan mengoreksi ulang datadata penelitian yang telah didapat. Datadata pendukung lain diperoleh dari catatan kepala sekolah dan guru, pada waktu mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu dua minggu dengan empat kali pertemuan di TK Bulusulur I yang terletak di Desa Bulusur, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri. Teknik yang digunakan dalam analisis data ini adalah teknik pilah unsur penentu dan teknik hubung banding (Jati, Trimastoyo, 2007: p. 51-53). Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah kembali. Selanjutnya data
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
125
yang sudah diklasifikasikan tersebut dideskripsikan berdasarkan data yang ada. Hasil dan Pembahasan Anak prasekolah adalah dalam masa perkembangan pemerolehan produksi kalimat. Untuk mengetahui kemampuan produksi kalimat diperlukan sebuah media. Media yang digunakan oleh peneliti adalah media gambar. Ada tujuh gambar yang digunakan sebagai media. Gambar-gambar yang digunakan berupa aktivitas seharihari yang sering dilakukan anak prasekolah, dengan objek penelitian mudah mengenali sehingga anak lebih mudah mengutaran tentang gambar yang dilihat. Gambar 1
(sumber gambar : carltonvisual.com) Merupakan gambar anak yang sedang menggosok gigi. Tema dari gambar satu adalah menjaga kebersihan gigi. Adapun kalimat yang biasanya dihasilkan: Saya sedang menggosok gigi. Data yang diperoleh dari gambar 1, subjek 1 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Orang gosok gigi. Pada gambar 1, subjek 1 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar yang dikaitkan dengan orang yang sedang menggosok gigi. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut orang. Berikut uraiannya :
Orang gosok gigi. S P O Data yang diperoleh dari gambar 1, subjek 2 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Gosok gigi. Pada gambar 1 subjek 2 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 1. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Gosok gigi. P O Data yang diperoleh dari gambar 1, subjek 3 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Gosok gigi. Pada gambar 1 subjek 3 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 1. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Gosok gigi. P O Data yang diperoleh dari gambar 1, subjek 4 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Gosok gigi. Pada gambar 1 subjek 4 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 1. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Gosok gigi. P O Data yang diperoleh dari gambar 1, subjek 5 dapat menghasilkan kalimat sebagai berikut; Adik sedang menggosok
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
126
gigi. Subjek 5 memproduksi kalimat deklaratif, kalimat aktif, dan kalimat sederhana. Kalimat deklaratif yang diproduksi bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar. Subjek 5 dapat menyampaikan kalimat yang hampir sesuai dengan gambar. Unsur subjek yang digunakan pada kalimat tersebut adalah adiknya sendiri. Dia bisa menggambarkan adiknya seolah-olah ada pada gambar. Subjek 5 juga dapat memproduksi kalimat aktif, namun tidak ada imbuhan yang digunakan atau prefiks hilang. Berikut uraiannya : Adik sedang menggosok gigi S P O Data yang diperoleh dari gambar I, subjek 6 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Kakak gosok gigi. Pada gambar 1, subjek 6 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar. Subjek 6 dapat menyampaikan kalimat yang hampir sesuai dengan gambar. Unsur subjek yang digunakan pada kalimat tersebut adalah kakanya sendiri, karena subjek enam adalah anak perempuan, padahal yang digambar 1 seorang anak laki-laki maka subjek 6 menggbarkan kakanya yang sedang menggosok gigi . Dia bisa menggambarkan kakaknya seolaholah ada pada gambar. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut kakaknya. Berikut uraiannya : Kakak gosok gigi. S P O
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Gambar 2
(sumber: alwathaniyah.wordpress.com) Merupakan gambar anak yang sedang naik sepeda. Tema dari gambar satu adalah naik sepeda. Adapun kalimat yang biasanya dihasilkan: Saya sedang naik sepeda. Data yang diperoleh dari gambar 2, subjek 1 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Orang naik sepeda. Pada gambar 2, subjek 1 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar yang dikaitkan dengan orang yang sedang naik sepeda. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut orang. Berikut uraiannya : Orang naik sepada. S P O Data yang diperoleh dari gambar 2, subjek 2 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; main sepeda. Pada gambar 2 subjek 2 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 2. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya :
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
127
Main sepeda. P O Data yang diperoleh dari gambar 2, subjek 3 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; naik sepeda. Pada gambar 2 subjek 3 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 2. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Naik sepeda. P O Data yang diperoleh dari gambar 2, subjek 4 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; main sepeda. Pada gambar 2 subjek 4 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 2. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Main sepeda. P O Data yang diperoleh dari gambar 2, subjek 5 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; bermain sepeda.bPada gambar 2, subjek 5 dapat memproduksi kalimat deklaratif,kalimat aktif, dan kalimat tak sempurna. Kalimat tak sempurna yang dimaksud adalah tidak adanya unsur subjek di dalam kalimat yang diproduksi. Kalimat hanya terdiri dari unsur predikat dan objek. Jika dilihat dari segi intonasi, dikategorikan kalimat deklaratif, hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar 2. Subjek 5 juga dapat memproduksi kalimat aktif ,yang ditandai dengan prefiks ber- pada kata bermain.
Berikut uraiannya : Bermain sepeda. P O Data yang diperoleh dari gambar 2, subjek 6 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Kakak naik sepeda. Pada gambar 2, subjek 6 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar 2. Subjek 6 dapat menyampaikan kalimat yang hampir sesuai dengan gambar. Unsur subjek yang digunakan pada kalimat tersebut adalah kakanya sendiri, karena subjek enam adalah anak perempuan dan mempunyai kakak laki-laki. Subjek 6 menggambarkan kakanya yang sedang naik sepeda. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut kakaknya. Berikut uraiannya : Kakak naik sepeda. S P O Gambar 3
(sumber: tbalfabet.wordpress.com) Merupakan gambar anak yang sedang membaca. Tema dari gambar satu adalah membaca. Adapun kalimat yang biasanya dihasilkan: Saya sedang membaca.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
128
Data yang diperoleh dari gambar 3, subjek 1 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Orang baca buku. Pada gambar 3, subjek 1 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar yang dikaitkan dengan orang yang sedang membaca. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut orang. Berikut uraiannya : Orang baca buku. S P O Data yang diperoleh dari gambar 3, subjek 2 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; baca buku. Pada gambar 3 subjek 2 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 3. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Baca buku. P O Data yang diperoleh dari gambar 3, subjek 3 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Baca buku. Pada gambar 3 subjek 3 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 3. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Baca buku. P O
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Data yang diperoleh dari gambar 3, subjek 4 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Membaca buku. Pada gambar 3 subjek 4 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 3. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Subjek 4 dapat memproduksi kalimat aktif yang ditandau dengan perfik mem- pada kata membaca. Berikut uraiannya : Membaca buku. P O Data yang diperoleh dari gambar 3, subjek 5 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; membaca buku. Pada gambar 3, subjek 5 dapat memproduksi kalimat deklaratif, kalimat aktif, dan kalimat tak sempurna. Kalimat tak sempurna yang dimaksud adalah tidak adanya unsur subjek di dalam kalimat yang diproduksi. Kalimat hanya terdiri dari unsur predikat dan objek. Jika dilihat dari segi intonasi, dikategorikan kalimat deklaratif, hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar 3. Subjek 5 juga dapat memproduksi kalimat aktif ,yang ditandai dengan prefiks mem- pada kata membaca. Berikut uraiannya : Membaca buku. P O Data yang diperoleh dari gambar 3, subjek 6 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Baca buku. Pada gambar 3 subjek 6 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 3. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
129
tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Baca buku. P O Gambar 4
(sumber: soerya.surabaya.go.id) Merupakan gambar anak yang sedang menulis. Tema dari gambar satu adalah menulis. Adapun kalimat yang biasanya dihasilkan: Saya sedang menulis. Data yang diperoleh dari gambar 4, subjek 1 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Orang sedang menulis. Pada gambar 4, subjek 1 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar yang dikaitkan dengan orang yang sedang menulis. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut orang. Berikut uraiannya : Orang belajar menulis. S P O Data yang diperoleh dari gambar 4, subjek 2 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Natasia menulis. Pada gambar 4 subjek 2 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 4.
Subjek 4 menggambarkan dirinya sedang menulis. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut dirinya sendiri. Berikut uraiannya : Natasia Menulis. S P Data yang diperoleh dari gambar 4, subjek 3 dapat memproduksi kalimat, sebagai berikut; belajar menulis. Pada gambar 4 subjek 3 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 4. Kalimat sederhana yang diproduksi termasuk kalimat tidak sempurna karena tidak ada unsur subjek dalam kalimat tersebut. Berikut uraiannya : Belajar menulis. P O Data yang diperoleh dari gambar 4, subjek 4 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; orang belajar. Pada gambar 4 subjek 4 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 4. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut orang. Berikut uraiannya : Orang belajar. S P Data yang diperoleh dari gambar 4, subjek 5 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Kakak sedang belajar. Pada gambar 4 subjek 5 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
130
informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 4. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut kakaknya yang sedang belajar Berikut uraiannya : Kakak sedang belajar. S P Data yang diperoleh dari gambar 4, subjek 6 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Kakak menulis. Pada gambar 4 subjek 6 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 4. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut kakaknya yang sedang menulis Berikut uraiannya : Kakak menulis. S P Gambar 5
(sumber: prima1226.blogspot.com) Merupakan gambar ibu sedang memasak. Tema dari gambar satu adalah memasak. Adapun kalimat yang biasanya dihasilkan: Ibu sedang memasak di dapur. Data yang diperoleh dari gambar 5, subjek 1 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Ibu masak. Pada gambar 5, subjek 1 dapat memproduksi kalimat
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar yang dikaitkan dengan orang yang sedang memasak. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut orang. Berikut uraiannya : Ibu masak. S P Data yang diperoleh dari gambar 5, subjek 2 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Ibu masak sayur. Pada gambar 5 subjek 2 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 5. Subjek 2 menggambarkan ibunya sedang memasak. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut dirinya sendiri. Berikut uraiannya : Ibu memasak sayur S P o Data yang diperoleh dari gambar 5, subjek 3 dapat memproduksi kalimat, sebagai berikut; Kardila membantu ibu. Pada gambar 5 subjek 3 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 5. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut dirinya sendiri yang sedang membantu ibu memasak di dapur. Berikut uraiannya :
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
131
Kardila membantu Ibu. S P O Data yang diperoleh dari gambar 5, subjek 4 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Ibu sedang memasak. Pada gambar 5 subjek 4 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 5. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut Ibunya yang sedang memasak. Berikut uraiannya : Ibu sedang memasak. S P Data yang diperoleh dari gambar 5, subjek 5 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Nenek sedang memasak. Pada gambar 5 subjek 5 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 5. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut neneknya Mandala yang sedang memasak. Berikut uraiannya : Nenek sedang memasak. S P Data yang diperoleh dari gambar 5, subjek 6 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Nenek sedang memasak. Pada gambar 5 subjek 6 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 5. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal
terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut neneknya yang sedang menulis memasak. Berikut uraiannya : Nenek sedang memasak. S P Gambar 6
(sumber: https://lh3.googleusercontent.com) Merupakan gambar bermain bola. Tema dari gambar satu adalah bermain. Adapun kalimat yang biasanya dihasilkan: Saya sedang bermain bola. Data yang diperoleh dari gambar 6, subjek 1 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Orang main bola. Pada gambar 6, subjek 1 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar yang dikaitkan dengan orang yang sedang bermain bola. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut orang. Berikut uraiannya : Orang main bola S P O Data yang diperoleh dari gambar 6, subjek 2 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Main bola. Pada gambar 6 subjek 2 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
132
berkaitan dengan gambar 6. sederhana yang diproduksi kalimat tidak sempurna karena unsur subjek dalam kalimat Berikut uraiannya : Main bola P O
Volume II No. 1 September 2015
Kalimat termasuk tidak ada tersebut.
Data yang diperoleh dari gambar 6, subjek 3 dapat memproduksi kalimat, sebagai berikut; Kakak main bola. Pada gambar 6 subjek 3 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 6. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Subjek 3 menggambarkan kakanya sedang bermain bola seperti yang ada pada gambar. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut kakaknya sendiri yang sedang bermain bola. Berikut uraiannya : Kakak main bola. S P O Data yang diperoleh dari gambar 6, subjek 4 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Mas main bola. Pada gambar 6 subjek 4 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 6. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut Kakanya dengan menggunakan kata “Mas” yang berarti kakak. Berikut uraiannya : Mas main bola S P O Data yang diperoleh dari gambar 6, subjek 5 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Kakak bermain bola. Pada gambar 6 subjek 5 dapat memproduksi
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
kalimat deklaratif, kalimat sederhana dan kalimat aktif. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 6. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut Kakaknya subjek 5 yang bermain bola. Subjek 5 juga dapat memproduksi kalimat aktif ,yang ditandai dengan prefiks ber- pada kata bermain. Berikut uraiannya : Kakak bermain bola S P O Data yang diperoleh dari gambar 6, subjek 6 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Kakak main bola. Pada gambar 6 subjek 6 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 6. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut kakaknya yang sedang main bola. Berikut uraiannya : Kakak main bola S P O Gambar 7
(sumber: https://lh3.googleusercontent.com)
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
133
Merupakan gambar makan kue. Tema dari gambar satu adalah makan. Adapun kalimat yang biasanya dihasilkan: Saya sedang makan kue. Data yang diperoleh dari gambar 7, subjek 1 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Orang duduk. Pada gambar 7, subjek 1 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan kalimat yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan gambar 7. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut orang. Berikut uraiannya : Orang duduk S P Data yang diperoleh dari gambar 7, subjek 2 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Natasia makan. Pada gambar 7 subjek 2 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 7. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut nama anak sendiri. Anak menggambarkan bahwa dalam gambar 7 seolah-olah adalah dirinya. Berikut uraiannya : Natasia makan S P Data yang diperoleh dari gambar 7, subjek 3 dapat memproduksi kalimat, sebagai berikut; makan kue. Pada gambar 7 subjek 3 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 7. Kalimat sederhana yang diproduksi tidak lengkap
karena tidak ada subjeknya. Kalimat hanya terdiri dari unsur predikat dan objek. Berikut uraiannya : Makan kue. P O Data yang diperoleh dari gambar 7, subjek 4 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Nanda makan kue . Pada gambar 7 subjek 4 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 7. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut namanya sendiri. Berikut uraiannya : Nanda makan kue S P O Data yang diperoleh dari gambar 7, subjek 5 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Kakak sedang duduk. Pada gambar 7 subjek 5 dapat memproduksi kalimat deklaratif, kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 7. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut Kakaknya. Berikut uraiannya : Kakak sedang duduk S P Data yang diperoleh dari gambar 7, subjek 6 dapat menghasilkan kalimat, sebagai berikut; Kakak duduk. Pada gambar 7 subjek 6 dapat memproduksi kalimat deklaratif dan kalimat sederhana. Hal ini ditandai dengan kalimat yang diproduksi merupakan yang isinya bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat yang berkaitan dengan gambar 7. Kalimat sederhana yang diproduksi juga sudah memenuhi syarat ketentuan sebagai
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
134
kalimat, yaitu minimal terdiri dari subjek dan predikat. Unsur subjek yang hadir dalam kalimat tersebut menyebut kakaknya. Berikut uraiannya : Kakak duduk S P Simpulan Berdasarkan hasil kajian dan penelitian di atas, maka sebagai simpulan dapatlah disampaikan bahwa anak prasekolah di TK Bulusulur I Wonogiri Tahun Pelajaran 2013/2014 memiliki kemampuan yang baik dalam memproduksi kalimat, walaupun sebagian anak tidak memunculkan subjek dalam memproduksi kalimat. Saran Mengaju pada hasil simpulan di atas, peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Guru hendaknya mempelajari jenisjenis kalimat yang mampu diproduksi anak usia pra sekolah. 2. Guru hendaknya memiliki kreativitas dalam menciptakan media pembelajaran untuk anak usia prasekolah. 3. Siswa disarankan tetap semangat dalam belajar, terutama dalam memproduksi kalimat. 4. Kepada kepala dinas pendidikan Kabupaten Wonogiri disarankan memberikan perhatian kepada TK Bulusulur I Wonogiri dengan jalan menyedian sarana pembelajaran untuk anak usia prasekolah.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah,Yusoff dan Che Rabiah Mohamed. 1995. Teori Pembelajaran Sosial dan Pemerolehan Bahasa Pertama. Cahaya Mas. Jakarta. Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Arifin,
Zaenal dan Junaiyah. 2008. Sintaksis. Jakarta: PT Grasindo. Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Brown, R. dan Ursula B. 1964. “Tiga Proses dalam Penguasaan Kalimat pada Anak”. Dalam Sumarsono (Ed). Psikolinguistik, 19 – 46. Singaraja : FKIP Unud. Busri, Hasan. 2002. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Fandika Publisher. Finoza, Lammudin. 2006. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Intan Mulia. Jati, Tri Mastoyo. 2007. Pengantar Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Moleong, Lexy J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nengah Arnawa. 2009. Bahasa Bali Usia Anak-Anak : Kajian Metabahasa Semantik Alami. FPBS IKIP PGRI: Bali. LINGUISTIKA Vol. 16, No. 30. SK Akreditasi Nomor: 007/BAN PT/Ak-V/S2/VIII/2006. Putrayasa, Ida Bagus. 2010. Analisis Kalimat (Fungsi Kategori dan Peran). Bandung: PT Refika Aditama. ________________. 2012. Jenis Kalimat dalam Bahasa Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. Rahardi. R. Kuncana. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Editor. Rikard Rahmat. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
135
Rohmadi, Muhamadi. 2008. Teori dan Aplikasi: Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press).
https://lh3.googleusercontent.com, di undu tanggal 17 September 2013, pukul 22.30 WIB.
Rusyati, Endang. 2008. Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,5 Tahun (Studi Kasus terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini). Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia. http://www file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR.../Pe merolehan_Bahasa_AUD.pdf (di akses 10 Desember 2013). Sudaryanto. 1993. Linguistik: Identitasnya, Cara Penanganan Obyeknya, dan Hasil Kajiannya. Yoyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Tarigan, Henry, Guntur. 1994. Membaca Sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Zulkifley bin Hamid. 1990. Penguasaan Bahasa: Huraian Paradigma Mentalis. Obor Jaya. Jakarta. Sumber gambar: carltonvisual.com, di undu tanggal 17 September 2013, pukul 21.00 WIB. alwathaniyah.wordpress.com, di undu tanggal 17 September 2013, pukul 21.10 WIB. tbalfabet.wordpress.com, di undu tanggal 17 September 2013, pukul 21.17 WIB. soerya.surabaya.go.id, di undu tanggal 17 September 2013, pukul 22.05 WIB. prima1226.blogspot.com, di undu tanggal 17 September 2013, pukul 22.12 WIB.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
136
Volume II No. 1 September 2015
MANAJEMEN KOORDINASI KOMUNIKASI BIDANG PENDIDIKAN (Studi Kasus Audit Komunikasi Pesan Pada Tenaga Kependidikan Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta) Maryani, Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, Sri Hastjarjo Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
[email protected] Abstrak Pesan adalah elemen dasar komunikasi yang dikemas dan disampaikan agar memberi efek bagi pelaku komunikasi melalui percakapan yang dilakukan. Sayangnya percakapan yang terjadi terkadang menimbulkan permasalahan yang berdampak pada manajemen koordinasi komunikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana bentuk-bentuk pesan, produksi pesan dan pengolahan atau interpretasi pesan dalam manajemen koordinasi komunikasi pada tenaga kependidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS). Penelitian ini menggunakan teori-teori tentang pesan yaitu manajemen koordinasi makna, teori akomodasi pesan, teori logika desain pesan dan teori Gadamer. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan audit komunikasi sebagai instrumennya. Penentuan informan dilakukan dengan teknik purposive snowball sampling dan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif. Analisis data diperoleh melalui analisis data interaktif yang dilakukan sebelum, selama dan sesudah penelitian. Sedangkan validitas data dilakukan melalui teknik triangulasi data sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen koordinasi komunikasi tentang pesan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan FISIP UNS berkaitan dengan bentuk-bentuk pesan yaitu pesan verbal, non verbal dan komunikasi bermedia yang dilakukan dalam struktur jaringan formal maupun informal melalui pekerjaan yang bersifat rutin dan insidental. Sebagai instansi pemerintah, produksi pesan dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku di Universitas Sebelas Maret sejalan dengan teori logika desain pesan. Dengan perkembangan media-media komunikasi yang ada mulai dikembangkan produksi pesan dengan memanfaatkan komunikasi bermedia. Interpretasi dan tanggapan terhadap pesan yang dihasilkan berhubungan dengan pemahaman, latar belakang, faktor usia, pengalaman dari tenaga kependidikan itu sendiri. Saat percakapan dilakukan, kendala komunikasi dapat terjadi, baik karena faktor personal, kelompok maupun organisasi sehingga diperlukan identifikasi, perencanaan dan evaluasi secara periodik melalui audit komunikasi. Kata Kunci : Manajemen, koordinasi, audit, pesan, komunikasi
Abstract Message as a basic communication element that is packaged and is uttered to give some effects for the communicator through conversation that is done. Unfortunately conversation happenning emerges some problems that effect on communication coordination management. This research aims to know how forms of message, message production and preparation or message interpretation on communication coordination management on education employee in social and political department of sebelas maret university. this research uses theories about message that are meaning coordination management, message accomodations theory, logical theory, message design and gadamer theory. This research is descriptive qualitative research by using communication audit as the instrument. In determining the informan is by
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
137
using purposive snowball sampling technique and data collection technique through in depth interview and participant observation. Data analysis is obtained through interactive data analysis that is done before, during and after the research. Meanwhile data validity is done through triangulation technique and source data. The result of the research shows communication coordination management about message that is done by education employee of FISIP UNS relates to forms of message that are verbal message, non verbal and media communication that is done in formal network structure or informal through occupation which is routine and incidental. As governmental institute message production is done bases on regulation in Sebelas Maret University in line with message design logical theory. By the developing of communication media, it begins to be developed message production by using communication media. Interpretation and reaction of message which is resulted relates to understanding, background, age, experience of education employees themselves. While conversation is done communication obstacle can happen either as of personal factor, group or organization so that needed identification, plan and evaluation periodically through communication audit. Keywords: Management, Coordination, audit, message, communication PENDAHULUAN Percakapan yang dilakukan dengan orang yang dikenal maupun orang baru, seringkali menimbulkan perasaan ketidakpastian dan kecemasan sehingga menyebabkan berperilaku verbal maupun nonverbal guna menunjukkan tujuan dan maksud dengan menciptakan situasi yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan ketidakpastian dan kecemasan itu sendiri. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) merupakan lembaga pemerintah yang melakukan aktivitas komunikasi melalui interaksi diantara anggotanya baik secara personal, kelompok maupun organisasi. Menurut Teori Weick, proses interaksi dalam organisasi berguna untuk mengurangi ketidakpastian (Littlejohn dan Foss, 2011 : p.297). Proses interaksi dalam percakapan memberi bentuk dan kehidupan organisasi. Menurut Taylor, organisasi merupakan proses sirkulasi antara interaksi dan interpretasi yang berpengaruh satu sama lain. Interaksi terjadi dari pemaknaan percakapan dan teks. Percakapan adalah interaksi atau partisipasi perilaku, katakata dan sikap, sedangkan teks adalah isi dan ide atau gagasan yang ditanamkan dalam bahasa yang digunakan. (Littlejohn dan Foss, 2011: p.301).
Percakapan dapat terjadi dalam struktur jaringan formal maupun informal, sebagai perluasan dari teori Weber tentang organisasi yang didefinisikan sebagai sistem yang bertujuan untuk mengkoordinasi aktifitas–aktifitas individu yang berhubungan dengan birokrasi yaitu penyelarasan tugas-tugas berdasarkan otoritas, spesialisasi dan regulasi. Lebih jauh Weber menyebutkan bahwa otoritas ada bersamaan dengan kekuasaan yang sah dan formal. (Littlejohn dan Foss, 2011: p.295). Makna dan pengaruh pesan ditentukan oleh tanda-tanda, simbol, katakata dan tindakan yang ada dalam pesan serta proses penafsiran yang digunakan oleh pelaku komunikasi. Komunikator dalam merancang pesan berorientasi pada komunikan agar memiliki penafsiran, sikap dan perilaku sesuai yang diharapkan. Karena pertukaran pesan mensyaratkan adanya kesamaan makna antara pengirim dengan penerima pesan. (Kriyantono, 2006: p.3). Walaupun mencari kesamaan makna dalam percakapan yang dilakukan bukan pekerjaan yang mudah. (Ludlow dan Panton, 2000: p.6). Kesalahan dalam memahami pesan menyebabkan kegagalan komunikasi primer dan bisa berkembang menjadi kegagalan komunikasi sekunder yang lebih
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
138
besar. (Tubbs & Moss,1996: p.9-13). Kegagalan komunikasi dapat diakibatkan karena perbedaan status, permasalahan semantik, penyimpangan persepsi, perbedaan budaya, gangguan fisik, ketidaktepatan penggunaan media serta tidak ada umpan balik proses komunikasi. (Ludlow dan Panton, 2000: p.13-15) Setiap organisasi memiliki struktur jaringan komunikasi formal dan informal berupa pesan dan aliran komunikasi yang mengalir disepanjang struktur organisasi. (Desser dan Varkkey, 2009). Menurut Mintzberg dalam Riswandi (2009: p.146151), kewenangan formal pemimpin meliputi peran antar personal, peran informasional dan peran membuat kebijakan. Pesan dan pelaku komunikasi tidak dapat dipisahkan sebagai akibat dari penafsiran yang muncul karena interaksi yang berupa perilaku memilih, memeriksa, menahan, menyusun dan mengubah makna karena pada dasarnya berkomunikasi adalah berbagi simbolsimbol yang digunakan. Audit komunikasi dapat digunakan untuk menciptakan dan meningkatkan efektivitas sistem komunikasi keorganisasian. (Hardjana,2000: p.x). Kegiatan audit di FISIP UNS selama ini berkaitan dengan audit adminitrasi keuangan, kepegawaian, akademik dan kemahasiswaan, sedangkan audit komunikasi belum mendapat perhatian, padahal dalam organisasi proses komunikasi selalu dijalankan. Audit komunikasi telah membantu menemukan bentuk-bentuk komunikasi yang sesuai guna kelancaran komunikasi organisasi di departeman front office Singgasana Hotel Surabaya dalam penyampaian pesan horizontal di instansi tersebut. (Panghegar,2013) Sedikit berbeda dengan organisasi pemerintah tentang penerapan konsep audit komunikasi dalam usaha menilai dan mengevaluasi efektivitas komunikasi organisasinya. (Jiuling. X & Jiangkang, W, 2010). Seperti dalam kasus komunikasi
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
lintas saluran antara Biro Administrasi dan Akademik (BAAK) dan Pusat Komputer di Universitas Negeri Padang, dimana mahasiswa sebagai penerima pesan merasa kurang menerima informasi sehingga menyebabkan distorsi pesan diantara unitunit tersebut, yang kemudian direkomendasikan pentingnya peran spesialis staff yang mampu menjembatani kepentingan yang ada. (Hasmira, 2012). Emmanuel dalam Hardjana (2000: p.18) menyatakan sembilan waktu yang tepat dalam pelaksanaan audit komunikasi, salah satunya adalah saat organisasi mengalami restrukturisasi. Restrukturasi organisasi dan tata kerja Universitas Sebelas Maret, terjadi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014, hal ini berpengaruh pada penataan pegawai di tingkat manajemen baik dalam peran, fungsi, maupun tanggung jawabnya. Dari data-data diatas, peneliti beranggapan ini adalah waktu yang tepat untuk pelaksanaan audit komunikasi khususnya terkait dengan pesan pada tenaga kependidikan FISIP UNS, yang bisa dijadikan sebagai obyek penelitian awal guna penelitian selanjutnya dalam lingkup yang lebih luas serta komplek akan permasalahan penelitiannya. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk pesan, bagaimana pesan diproduksi serta bagaimana pesan diinterpretasikan sebagai komunikasi pada tenaga kependidikan di FISIP UNS melalui manajemen koordinasi komunikasi dibidang pendidikan. TINJAUAN PUSTAKA a. Manajemen Koordinasi Komunikasi (Coordinated management of Meaning-CMM) Teori manajemen koordinasi makna dikembangkan oleh W. Barnett Pearce dan Vernon Crone (1979), merupakan pendekatan komprehensif dalam interaksi sosial dari tindakan dan makna yang dikoordinasi dalam komunikasi. Teori ini
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
139
memperlihatkan koneksi interaksi dalam hubungan dimana pesan dibangun dan diciptakan lebih dari sekedar menyampaikan informasi tetapi juga memberitahu orang lain tentang diri, masa lalu, kebudayaan dan harapan dimasa depan. Teori CMM menggunakan semua konteks komunikasi dari interaksi mikro sampai proses bermasyarakat dan berbudaya (Littlejohn dan Foss, 2011:p.210). Teori CMM menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi, mereka akan melakukan dua hal yaitu memberi makna terhadap situasi, perilaku dan pesan dari orang lain serta memutuskan bagaimana merespon atau bertindak dalam situasi tersebut. Makna itulah pesan yang akan dikirim atau diterima oleh pelaku-pelaku komunikasi. (Littlejohn dan Foss, 2011: p.211). Percakapan merupakan sesuatu yang dibangun tetapi tidak dapat diatur karena merupakan improvisasi para pelaku percakapan. Teori ini membantu melihat pelaku komunikasi dalam menciptakan aturan ketika berinteraksi yaitu berbagi giliran saat berbicara.
b. Pemahaman tentang Pesan b.1 Bentuk-bentuk dan Bahasa pesan Pesan diartikan sebagai seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud dari sumber. (Mulyana, 2005: p.63). Pesan verbal dibagi menjadi dua verbal tertulis (surat, buku, memo) dan verbal lisan (percakapan tatap muka, percakapan telepon dan sebagainya) dan pesan nonverbal yang berupa isyarat, ekspresi muka nada suara dan sebagainya. Muhammad (2005: p.17). Pesan nonverbal dilakukan pada saat pesan-pesan verbal sudah sulit dipercaya, diungkapkan dan dinyatakan. Komunikasi nonverbal ini juga digunakan sebagai penekanan, pengulangan, pelengkap atau pengganti pesan verbal yang disampaikan. (Patel,2014),
Berdasarkan bahasa komunikasinya, Berger et al, (2014: p.107) membagi pesan verbal dan nonverbal serta proses terjadinya pesan yaitu dalam interaksi personal, interaksi interpersonal dan komunikasi berperantara. Komunikasi dianggap sebagai sinonim dari bahasa dan perilaku nonverbal, dimana bahasa memiliki kekuatan untuk melanggengkan sekaligus merusak hubungan, menciptakan sekaligus memperbaiki diskriminasi antar kelompok. Robinson dalam Berger et al (2014: p.107) menambahkan fungsi pesan dalam “the five int” yaitu intentions and interpretations in interpersonal and intergroup interaction (maksud dan interpretasi dalam interaksi individu dan interaksi antarkelompok). Kemajuan teknologi komunikasi memberi pilihan dalam berbahasa dan komunikasi berperantara baik lewat jaringan komputer atau media komunikasi lain yang bertujuan sama dengan komunikasi tatap muka. Walther dalam Berger et al (2014: p.119) memberi tiga alasan pentingnya mempelajari bahasa dan komunikasi berperantara yaitu memahami pengaruh atau perubahan teknologi terhadap penggunaan bahasa, persepsi dan hasilnya. Klasifikasi pesan lainnya dirinci oleh Muhammad (2005: p.97-98) berdasarkan struktur jaringan komunikasinya, hubungan, tujuan, bahasa dan metode difusinya. Berdasarkan struktur jaringan komunikasinya pesan dibedakan dalam pesan formal dan informal. Pesan formal meliputi pesan dari atasan kepada bawahan, pesan dari bawahan kepada atasan, dan pesan dari orang yang berkedudukan sama (pesan horizontal). Sedangkan pesan informal adalah pesan yang dilakukan diluar pesan jaringan formal. Berdasarkan hubungannya pesan dibedakan dalam pesan diadik, pesan kelompok dan pesan publik. Berdasarkan tujuannya pesan dibagi dalam pesan tugas, pesan pemeliharaan, pesan kemanusiaa dan pesan pembaharuan. Berdasarkan
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
140
penerimanya dibedakan pesan internal dan eksternal. Berdasarkan bahasa yang digunakan dibedakan dalam pesan verbal dan nonverbal. Dan pesan berdasarkan metode difusinya dibedakan dalam pesan lisan dan tulisan serta pesan dengan perangkat keras dan lunak. Dari dua pendapat diatas peneliti menyimpulkan pada dasarnya pesan dapat dilihat berdasarkan bahasa, tujuannya dan metode penyalurannya. Berdasarkan bahasanya pesan dapat dibedakan dalam pesan formal verbal lisan dan tulisan, pesan informal verbal lisan dan tulisan, serta pesan nonverbal. Berdasarkan tujuannya pesan dibedakan dalam pesan tugas, pesan pemeliharaan, pesan kemanusiaan dan pesan pembaharuan. Sedangkan berdasarkan metode penyalurannya dibedakan dalam pesan dalam interaksi personal (pesan diadik) dan pesan interpersonal baik yang dilakukan dalam kelompok maupun publik secara langsung maupun berperantara. Model penyusunan pesan menggambarkan skenario kompleks dengan pelaku-pelaku komunikasi yang menyusun pesan berdasarkan situasi yang dihadapi. Fitur struktural tersebut mencerminkan aturan penafsiran yang muncul akibat interaksi yang dilakukan baik interaksi sosial dalam kelompok maupun masyarakat. Teori akomodasi komunikasi (communication acommodation theory-CAT) sesuai dengan penelitian ini, mengingat pesan dalam interaksi yang terjadi dan dilakukan berdasarkan motivasi untuk mengakomo- dasi gaya komunikasi seseorang karena kemiripan atau menegaskan ciri khas yang dimiliki. (Berger etal,2014:109). b.2 Proses Produksi Pesan Kemampuan komunikator dalam memilih sumber pesan menentukan keberhasilan produksi pesan dan efek yang diharapkan, baik melalui kehandalan, daya tarik, kredibilitas, isi dan format pesan yang disampaikan. (Xie et al, 2008) Selain pesan verbal lisan, dalam organisasi terdapat pesan dalam bentuk
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
teks atau naskah. Pesan diciptakan dengan menggabungkan kode-kode bahasa dan perilaku menjadi makna denotasi dan konotasi yang kaya pemenuhan dan pemaknaan berbeda. Efektifitas komunikasi ditentukan oleh interaksi dalam komunikasi dan adanya kesamaan latar komunal dan personal yang dimiliki. Kesamaan komunal berhubungan dengan kepercayaan, asumsi dan pengetahuan, sedangkan kesamaan personal berdasarkan pengalaman yang dirasakan oleh interaktan. Hal ini sejalan Schober dan Brennan dalam Berger, (2014: p.161) bahwa efektifitas komunikasi tidak hanya ditentukan oleh konten percakapan tetapi juga oleh siapa yang berkomunikasi. Teori logika desain pesan (message design logic), oleh Barbara O‟ Keefe, menyatakan bahwa manusia berpikir dengan cara yang berbeda saat berkomunikasi dan menyampaikan pesan serta menggunakan logika dalam memutuskan apa yang dikatakan orang lain sebagai proses pemikiran dibalik pesan yang diciptakan. (Littlejohn dan Foss,2011: p.165). Ada tiga logika desain pesan, yaitu logika ekspresif (expresive logic), adalah model ekspresi diri dimana sifat pesannya terbuka dan reaktif secara alami dengan sedikit memperhatikan keinginan orang lain, logika konvensional (conventional logic) yaitu komunikasi dipandang sebagai permainan yang dilakukan dengan teratur sebagai proses ekspresi berdasarkan aturan dan norma bersama, logika retoris (rhetoric logic) dimana komunkasi dipandang sebagai cara untuk mengubah aturan melalui negosiasi sehingga pesan yang dirancang cenderung fleksibel, berwawasan dan berpusat pada orang. Teori logika desain pesan menyatakan bahwa setiap orang mempunyai alur berpikir yang berbeda yang digunakan dalam memanajemen tujuan-tujuan yang saling bertentangan.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
141
b.3. Pengolahan dan Penafsiran Pesan Teori-teori pesan menekankan penafsiran pesan pada aspek yang berbeda., dimana interpretasi pesan merupakan proses pemahaman yang sadar dan hati-hati melalui pengalaman yang berhubungan dengan penafsiran. Pemahaman sendiri diartikan sebagai sintesis dari kegiatan dan kejadian komunikasi. Pengolahan dan interpretasi pesan terdiri dari tiga asumsi, pertama pesan sebagai tiga proses kognitif dasar manusia yang terdiri dari proses penyandian (encoding), penyimpanan (storage) dan pengingatan kembali (retrieval). (Basil dan Lang dalam Berger et al,2014:190); kedua banyak hal yang membatasi sistem kognitif manusia artinya manusia memiliki keterbatasan memperhatikan banyaknya informasi yang diterimanya; ketiga adanya keterbatasan sumber daya seseorang. (Roskos et al dalam Berger, 2014: p.190). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan filosofi hermeunetik HansGeorg Gadamer dimana prinsip utama teori Gadamer ini adalah memahami pengalaman seseorang sebagai bagian dari masa lalu, berada dimasa kini dan merasakan masa depan. Pengalaman tidak bisa dilepaskan dari bahasa, karena bahasa itulah yang mendasari pengalaman karena dunia dibangun lewat bahasa. (Littlejohn dan Foss, 2011: p.199) Untuk menentukan tujuan pesan yang dilakukan, seorang komunikator menentukan efek yang diharapkan. Penerima pesan adalah calon konsumen, pengguna produk atau jasa, para pembuat keputusan dan orang yang mempengaruhi pembuat keputusan yang bisa bertindak sebagai individu, kelompok maupun publik. (Xie et al, 2008). Pengolahan dan implementasi pesan juga dipengaruhi oleh aliran komunikasi yaitu proses dinamik dimana pesan-pesan diciptakan, ditampilkan, dan diinterpretasikan yang berdampak pada efisiensi, penyesuaian, iklim maupun
inovasi organisasi. (Pace & Faules, 2001: p.170). Aliran komunikasi ditentukan oleh sifat aliran komunikasi, arah aliran komunikasi dan gaya kepemimpinan. Sifat aliran komunikasi organisasi menurut Guetzkow dalam Pace & Faules (2001: p.171) terbagi menjadi serentak, berurutan dan kombinasi keduanya. Dalam struktur jaringan formal penyebaran pesan terjadi melalui komunikasi posisional yaitu hubungan komunikasi yang arah pesannya ditentukan oleh struktur organisasi dan tugas-tugas fungsional anggotanya. (Pace & Faules, 2001: p.203). Konsep hubungan atasan dan bawahan terletak pada otoritas yang berpengaruh pada perbedaan status, hak dan pengawasan yang dimiliki. (Pace & Faules 2001: p.205). Sedangkan dalam struktur jaringan informal, pesan terjadi bersifat pribadi dan kurang stabil dan dilakukan diluar jaringan komunikasi formal. Setiap organisasi memiliki gaya kepemimpinan dimana makna kepemimpinan terwujud dalam gaya kerja yang dilakukan melalui bahasa, tindakan serta hasil yang diinginkan sehingga menghasil kan gaya kepemimpinan tertentu seperti mengendalikan, mengarahkan, memberi tantangan, menjelaskan, mendorong, mendukung, dan sebagainya (Pace dan Faules,2001: p.227). Dengan memahami gaya dasar kepemimpinan, seorang pimpinan dapat menemukan gaya kepemimpinan berdasarkan situasi, kemampuan analisis, fleksibilitas dan kemampuan berkomunikasinya. (Ludlow dan Panton, 2000: p.20). Keinginan menyampaikan pesan secara sederhana dan menyenangkan dapat menganggu esensi pesan baik itu faktor-faktor yang bersifat pribadi maupun organisasi (Muhammad, 2005: p.207-209). Saat komunikasi dilakukan, organisasi atau individu berusaha memisahkan, mengambil, mengungkapkan pengalaman sesuai dengan budaya, bahasa dan perilaku nonverbal bukan sekedar
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
142
menyampaikan informasi melainkan upaya untuk menciptakan dan memahami makna. Hubungan yang terbentuk akan berubah sesuai dengan komunikasi yang terjadi. c. Audit Komunikasi Menurut Che Pa, Taheri dan Abdullah (2012), audit komunikasi dapat digunakan untuk menilai 142sistem dan pengetahuan dalam manajemen melalui pengawasan, dan kualitas isu berdasarkan kelengkapan, efektifitas dan akurasinya . Menurut Broad, Matthew dan Shepard (2003), audit komunikasi digunakan untuk menilai, memeriksa, serta mengontrol penggunaan internet demi efektifitas pembelajaran di perguruan tinggi. Sedangkan Hardjana (2000: p.5) menyatakan bahwa efektivitas komunikasi organisasi dapat dilakukan melalui perbaikan 142sistem komunikasi yang dibangun berdasarkan rekomendasirekomendasi yang dihasilkan dalam audit komunikasi. Konsep audit komunikasi pemerintah Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia nomor 27 tahun 2011 tentang peningkatkan hubungan kelembagaan dan kompetensi dalam memberi layanan informasi guna meningkatkan efektivitas 142komunikasi. Audit komunikasi dapat dilakukan saat organisasi sedang dibangun atau mengalami restrukturisasi. Myron dalam Hardjana, (2000). Audit komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini digunakan untuk menilai pesan yang dibangun dalam manajemen koordinasi komunikasi yang dilakukan tenaga kependidikan FISIP UNS. d. Tenaga Kependidikan Pasal 1 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdi dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan tenaga pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sesuai
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
dengan kekhususannya. Tenaga kependidikan memiliki lingkup yang lebih luas, bertugas merencanakan dan melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. (pasal 39 ayat 1). Dalam penelitian ini tenaga kependidikan adalah semua staf di FISIP UNS yang berada dibawah pengawasan empat kepala sub bagian. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang dirancang agar memiliki kontribusi terhadap teori yang diangkat dari suatu fenomena yang ada. Dengan pendekatan kualitatif peneliti ingin mendeskripsikan manajamen koordinasi komunikasi tentang pesan berhubungan yang dilakukan tenaga kependidikan di FISIP UNS selama ini dengan audit komunikasi sebagai alat ukurnya. Lokasi penelitian di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) dengan unit analisis adalah tenaga kependidikan atau staf FISIP UNS. Penelitian dilakukan mulai bulan Maret – Juli 2015 atau awal restrukturisasi organisasi dan tata kerja di Universitas Sebelas Maret. Pengambilan informan dilakukan melalui teknik purposive snowball sampling yaitu peneliti menunjuk satu orang informan kunci dan meminta pada informan awal untuk menyebutkan beberapa informan lain untuk diwawancarai, guna mengurangi bias komunikasi akibat rekomendasi terhadap seseorang yang memiliki hubungan kedekatan saja. (Lindlof dalam Pawito, 2008:92). Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipan dan wawancara semi struktur, dimana peneliti terlibat dan melibatkan diri dalam lingkungan sosial obyek penelitian dengan mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan namun tetap terbuka untuk menanyakan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
143
pertanyaan lain yang berhubungan dengan pendapat atau ide-idenya diluar daftar pertanyaan, dan dokumentasi sebagai bahan pendukung. Karena data yang dihasilkan merupakan data deskriptif maka bersifat subyektif dan hasilnya bersifat kasusistik dan tidak dapat digeneralisasi. Instrumen pengukuran menggunakan dua sistem dan prosedur baku ICA (International Communication Association) yaitu wawancara dan pengalaman komunikasi. Pelaksanaan audit komunikasi meliputi pencarian fakta (fact finding), analisis (analysis), serta evaluasi dan pelaporan (evaluation and reporting). Analisis data mengacu pada model analisis interaktif Miles dan Huberman (1992: p.15-20) meliputi : reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi data yang berguna untuk menjawab permasalahan berdasarkan fakta dan teori yang ada.
HASIL TEMUAN PENELITIAN 1. Bentuk Pesan di FISIP UNS FISIP UNS sebagai organisasi formal dalam menjaga komunikasi diantara anggota organisasinya berpedoman pada perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. Jalinan komunikasi diantara para anggota terjadi dalam struktur jaringan formal maupun informal yang dilakukan baik secara lisan maupun tertulis dan terjadi dalam pekerjaan yang bersifat rutin maupun insidental. Dalam pekerjaan yang bersifat formal seperti kegiatan rapat atau pertemuan staf banyak dilakukan secara tatap muka atau komunikasi verbal lisan, agar mendapat respon langsung dan bila ada yang dirasa kurang akan diperbaiki saat itu juga. Tenaga kependidikan juga melakukan komunikasi melalui pesan tertulis seperti surat menyurat, memo atau laporan periodik. Pemilihan bentuk pesan ini bertujuan untuk memberikan bukti
tertulis dan administrasi pesan terhadap kegiatan yang dilakukan. Pesan diatur berdasarkan tugas pokok dan fungsi tenaga kependidikan yang melekat dalam analisis jabatan pekerjaan seperti pelimpahan pekerjaan, laporan kegiatan dan konfirmasi kegiatan yang dilakukan. Sedangkan dalam jenis pesan yang bersifat informal tenaga kependidikan cenderung menggunakan bahasa verbal lisan dan nonverbal secara bersama-sama. Pesan yang disampaikan dalam kegiatan ini biasanya bersifat lebih santai dan terbuka. Bentuk bahasa yang digunakan juga menyesuaikan dengan situasi. Misalnya dalam kegiatan yang bersifat formal maka ada kecenderungan setiap tenaga kependidikan menggunakan bahasa verbal lisan sebagai bahasa pengantar, walaupun terkadang ada waktu tertentu menggunakan bahasa nonverbal yang berupa gerakan-gerakan anggota badan yang bertujuan untuk mencairkan suasana formal. Kemajuan teknologi memberi pilihan bagi tenaga kependidikan dalam penyampaian pesan dengan memanfaatkan teknologi tersebut berdasarkan pengalaman yang dimiliki, dari yang sangat mahir, mampu mengoperasikan dan yang hanya sekedar mengetahui saja. Semua bentuk pesan dilakukan dan dipertimbangan oleh pimpinan dan tenaga kependidikan baik saat bertindak sebagai penyampaian maupun penerimaan pesan. 2. Proses produksi pesan FISIP UNS FISIP UNS memiliki beberapa kebijakan komunikasi yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan komunikasi seperti pertemuan atau rapat baik formal maupun informal yang dilaksanakan ditingkat pimpinan dan tenaga kependidikan. Proses produksi pesan di FISIP UNS terdiri dari pesan lisan dan tulisan. Pesanpesan tersebut terjadi karena interaksi diantara tenaga kependidikan yang memiliki kesamaan komunal yaitu
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
144
kesamaan asumsi sebagai tenaga kependidikan dengan pemahaman dan pengetahuan yang tidak banyak perbedaan dengan orientasi pekerjaannya yaitu kegiatan pengolahan, pengadminis- trasian dan pelaporan serta evaluasi pekerjaan. Dilihat dari logika ekspresifnya atau pengungkapan perasaan dan pemikiran sendiri, setiap tenaga kependidikan memiliki keinginan dan harapan tentang diri sendiri serta upaya memperoleh pengakuan akan perasaan yang dimiliki dalam menyampaikan pesannya. Setiap tenaga kependidikan ingin memiliki kesempatan yang sama dalam menyampaikan dan menerima pesan yang dapat menyebabkan rasa puas atau tidak puas, marah atau senang, sedih atau gembira dan lain sebagainya terkait dengan pesan. Setiap tindakan dan langkah civitas akademik FISIP UNS diatur dan dibatasi hak dan kewajibannya berdasarkan tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam analisis pekerjaan masing-masing tenaga kependidikan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan logika produksi pesan kedua yaitu logika konvensional, dimana komunikasi diibaratkan sebagai permainan yang ada dalam peraturan. Setiap pesan yang disampaikan atau diterima dilakukan melalui cara yang sopan dan tepat sasaran yang bertujuan agar pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami. Misalnya penerapan kalender akademik bagi tenaga kependidikan di sub bagian akademik. Kalender akademik menjadi acuan bagi Kepala Sub Bagian Akademik dalam melakukan aktivitas dan evaluasi sekaligus teguran bila tenaga kependidikan tersebut mengalami kesulitan atau hambatan dalam mencapai kinerja yang ditetapkan. Contoh lainnya misalnya di Sub Bagian Umum dan Perlengkapan yang berhubungan dengan tata persuratan, ada mekanisme disposisi persuratan sampai dimana pesan yang ada, dan memastikan pesan sampai pada orang yang sebenarnya. Hal dapat ditelusuri lewat suatu sistem
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
tata persuratan (SIATAP) yang telah diterapkan. Adanya perubahan aturan yang dilakukan melalui kesepakatan atau negosiasi diantara tenaga kependidikan menyebabkan munculnya logika pesan yang ketiga yaitu logika retoris dimana setiap tenaga kependidikan memiliki kemampuan yang berbeda dalam memaknai kesepakatan berdasarkan situasi pada saat komunikasi terjadi. Dalam kondisi ini pesan yang dihasilkan bersifat luwes dan fleksibel. Saat tenaga kependidikan diminta menjelaskan tentang bagaimana pesan-pesan dilakukan di FISIP UNS maka ada kecenderungan tenaga kependidikan tersebut menjawab bahwa pesan formal di FISIP UNS cenderung menggunakan bahasa verbal lisan dan tulisan secara bersama-sama begitu pula saat diminta bagaimana pesan disampaikan pada komunikannya akan cenderung menyampaikan dengan cara yang sama pula. Tetapi saat tenaga kependidikan diminta untuk menilai atau mengevaluasi bagaimana seseorang menyampaikan pesan maka setiap tenaga kependidikan akan memberi penilaian yang berbeda. Hal ini karena cara berkomunikasi atau adanya ciri khas yang membedakan dengan cara berkomunikasi orang lain. Hal ini berkaitan dengan tujuan berkomunikasi , bila tenaga kependidikan merasa pesan yang dilakukan sederhana dan menerima pesan bukan merupakan masalah maka logika penyusunan pesannya akan menghasilkan pesan-pesan yang dimaknai sama, tetapi bila pesan yang disampaikan memiliki tujuan yang beragam dan diindikasikan memiliki permasalahan maka logika penyusunan pesannya akan berbeda sehingga menghasilkan pesan yang berbeda pula. Sehingga teori logika pesan dapat memberi informasi bagaimana logika pesan tersusun tetapi tidak memberi tahu saat pesan diterima atau dipahami. Dari data dilapangan diperoleh informasi bahwa belum semua pesan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
145
kegiatan dalam setiap sub tersebut direncanakan. Hal ini mengakibatkan kekurangsiapan tenaga kependidikan menghadapi jenis pesan pekerjaan yang seharusnya dilaksanakan. Selain itu media atau saluran yang digunakan pun belum sepenuhnya disepakati. Koordinasi pesan dilakukan oleh empat kepala sub bagian di FISIP UNS. Dalam memperoleh pesan berkaitan dengan bidang tugasnya, para informan selain berkonsultasi dengan atasan juga berkomunikasi dengan rekan kerja baik melalui komunikasi tatap muka maupun komunikasi tertulis. Peneliti juga menemukan penyampaian pesan pada saat arisan paguyuban staf administrasi FISIP UNS yang dimanfaatkan oleh pimpinan dalam menyampaikan pesan fakultas kepada tenaga kependidikan. Peneliti juga mendapatkan bentuk komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan tenaga kependidikan melalui media social seperti blackberry messenger, facebook, dan whatshaps dengan argumentasi media tersebut mampu memberi informasi tugas dan fungsi dari tenaga kependidikan sebagai metode baru penyampaian pesan yang memiliki kelebihan dalam kecepatan penyampaian dan penerimaan pesan dalam jangkauan yang lebih luas tanpa batas hierarki organisasi yang tegas. Walaupun media social ini belum sepenuhnya digunakan oleh semua tenaga kependidikan yang ada di FISIP UNS, tetapi dari berbagai isu yang digulirkan dalam media-media social tersebut mampu menggugah tenaga kependidikan lain untuk aktif dalam mencari pesan-pesan baru. Dari 60 orang tenaga kependidikan baik telah menggunakan media komunikasi dalam menyampaikan pesan walaupun dalam tataran yang berbeda. 3. Pengolahan dan Penafsiran PesanPesan di FISIP UNS Pesan yang disampaikan oleh pimpinan dilakukan berdasarkan kebutuhan dan situasi yang ada. Tidak semua pesan disampaikan kepada tenaga kependidikan. Pengolahan dan interpretasi
pesan di FISIP UNS terjadi dalam proses penyandian, penyimpanan dan pengingatan kembali. Proses pengolahan pesan lisan terjadi saat tenaga kependidikan saling berkirim pesan maka penyandian atau penyampaian pesan ada pada tenaga kependidikan itu sendiri, sedangkan proses pengingatan pesan dilakukan saat pesanpesan berusaha disampaikan kembai saat diperlukan. Hal ini berarti proses penyandian dan penyimpanan pesan ada dalam pengalaman setiap tenaga kependidikan yang sewaktu-waktu dapat dibutuhkan untuk diingat kembali baik yang berupa kegiatan maupun memori yang tertulis. Keterbatasan kognitif dalam menerima atau menyampaikan pesan baik lisan maupun tulisan menyebabkan penyimpangan atau distorsi pesan baik yang bersifat menambah atau mengurangi esensi pesan yang sebenarnya. Sebagai organisasi pemerintah pesan-pesan tertulis diagendakan dalam sistem tata persuratan sedangkan dalam pesan-pesan lisan seharusnya ditulis atau dinotulensikan sebagai antisipasi akibat keterbatasan penyimpangan atau menampung pesan yang ada. Pengolahan pesan ini juga dipengaruhi keterbatasan sumber daya tenaga kependidikan dalam mengolah dan menginterpretasi pesan itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan latar belakang, usia, pendidikan dan pengalaman setiap tenaga kependidikan. Pengalaman ini berkaitan dengan masa lalu, masa kini dan orientasi masa depan yang dimiliki. Pengolahan pesan juga dipengaruhi oleh aliran pesan yang berhubungan langsung dengan sifat, arah dan gaya kepemimpinan walaupun dalam penelitian ini tidak dibahas secara mendalam. Saat menyampaikan pesan formal di FISIP UNS, pimpinan cenderung menggunakan bahasa lisan dibandingkan dengan bahasa tulisan walaupun tidak menutup kemungkinan kombinasi dari keduanya. Proses penyampainnya pun
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
146
dilakukan dalam suatu forum formal baik dalam komunikasi interpersonal, antarpersonal maupun komunikasi dengan menggunakan media. PEMBAHASAN Dari temuan data lapangan dan literatur yang ada, manajemen koordinasi komunikasi pesan di FISIP UNS dapat dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan yaitu pekerjaan yang bersifat rutin dan insidental, pesan dilakukan dan terjadi dalam struktur jaringan formal dan informal, dilakukan secara personal maupun interpersonal dalam bentuk lisan maupun tulisan serta komunikasi nonverbal hal ini sejalan dengan pemikiran Muhammad (2005 : p.17) dan Berger et al (2014: p.107). Bentuk-bentuk pesan, produksi pesan serta penafsiran pesan membentuk aktivitas dasar yang berkaitan dengan produksi dan tujuan pesan dilakukan, media pesan yang digunakan serta hambatan komunikasi, sehingga diperlukan upaya manajemen koordinasi komunikasi agar pesan-pesan yang terjadi dapat sesuai dengan situasi, karena pada dasarnya interaksi dimana pesan dibangun dan diciptakan lebih dari sekedar menyampaikan pesan tetapi juga dapat memberi tahu seseorang tentang dirinya, masa lalu, kebudayaan dan harapan dimasa depan. Hal ini sejalan dengan konsep teori manajmen koordinasi makna (CMM) yang menggunakan semua konteks komunikasi baik mikro maupun makro. Seperti organisasi lainnya, proses produksi pesan di FISIP UNS diawali dengan penyandian atau pengonsepan menyesuaikan dengan pesan yang disampaikan. FISIP UNS sebagai instansi pemerintah, dalam menyampaikan pesan cenderung menggunakan bahasa baku yang singkat, padat dan jelas, sedangkan pesan dalam komunikasi informalnya dilakukan dengan cara melihat situasi dan kondisi berdasarkan pengalaman, usia dan pendidikan agar pesan yang disampaikan sesuai dengan tujuan pesan dilakukan, hal
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
ini sejalan dengan teori logika desain pesan dari Barbara O`Keefe karena produksi pesan dilakukan dengan mendasarkan adanya logika ekspresif atau logika yang mendasarkan pada keinginan orang lain sebagai penerima pesan, mendasarkan pada aturan yang berlaku sesuai dengan logika konvensional serta tak jarang melakukan aktifitas negosiasi agar pesan yang disampaikan menjadi lebih mudah diterima oleh pelaku-pelaku komunikasi karena fleksibilitasnya. Penyampaian pesan secara lisan pada tenaga kependidikan FISIP UNS dilakukan karena adanya keinginan mendapatkan jawaban atau respon yang cepat dari lawan bicaranya baik melalui komunikasi tatap muka maupun melalui komunikasi bermedia. Sedangkan untuk pesan yang sifatnya tidak segera bila pesan tersebut formal biasanya dilakukan melalui disposisi persuratan walaupun membutuhkan waktu. Tetapi dengan adanya peralatan komunikasi yang ada saat ini selain melalui jalur tertulis pesan biasanya disusun dan disampaikan juga menggunakan media komunikasi lain. FISIP UNS juga telah memanfaatkan sistem tata persuratan (SIATAP) yang dikembangkan oleh UNS sebagai media melacak pesan tertulis, walaupun pelaksanaannya masih belum sepenuhnya optimal karena hanya sebatas pesan tersebut sampai dimana. Pesan-pesan dalam struktur jaringan formal biasanya berkaitan dengan pesan tugas dan pembaharuan. Sedangkan pesan yang sifatnya informal berkaitan dengan pesan pemeliharaan dan kemanusiaan, hal ini dikarenakan setiap manusia akan berusaha menyampaikan pesan kepada orang lain tanpa menyakiti perasaan penerima pesan itu sendiri. Pesan komunikasi nonverbal tidak dapat dipisahkan dari pesan verbal yang disampaikan, karena dapat berkaitan dengan penekanan atau gambaran yang tidak dapat dilukiskan dalam komunikasi verbal.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
147
Kemajuan teknologi memberi pilihan tenaga kependidikan dan pimpinan dalam proses menyampaikan dan menerima pesan, karena setiap pesan memiliki level penerimaan yang berbeda menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Beberapa kendala dalam menciptakan pesan yang efektif pada tenaga kependidikan FISIP UNS disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pemahaman tenaga kependidikan itu sendiri, penyampaian pesan yang tidak lengkap, serta seleksi pesan yang hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Kedudukan atau posisi seseorang dalam struktur organisasi juga dapat menyebabkan distorsi pesan di FISIP UNS walaupun sebagai lembaga pendidikan tinggi, lebih memungkinkan adanya keterbukaan pesan meskipun tetap ada keterbatasan yang ditentukan oleh organisasi dalam berkomunikasi, terkait banyak informasi serta seleksi pesan yang dilakukan oleh pimpinan Beberapa jenis pekerjaan tenaga kependidikan membutuhkan keahlian, ketrampilan dan pengalaman. Keahlian berkaitan dengan kecakapan dalam menyelesaikan pekerjaan hal ini berkaitan dengan pesan tugas yang menurut Muhammad (2005) digambarkan sebagai pesan yang berkenaan dengan tugas seseorang dalam organisasi. Peneliti menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk pesan, produksi pesan dan interpretasi pesan berkaitan satu dengan yang lain. Keterlambatan pesan dapat terjadi karena sumber daya manusia yang terbatas serta sistem komunikasi yang belum mendukung, sehingga diperlukan perencanaan, program dan evaluasi yang dapat mendukung sistem tersebut. Teori CMM bermanfaat dalam memanajemen komunikasi diantara tenaga kependidikan FISIP UNS sebagai upaya mengevaluasi keefektifan pesan yang terjadi, melalui audit komunikasi maka sistem komunikasi yang ada akan diteruskan, diperbaharui,
atau diganti dengan sistem komunikasi yang baru. KESIMPULAN DAN SARAN Pesan yang terjadi pada tenaga kependidikan FISIP UNS adalah akibat interaksi dalam percakapan yang dilakukan. Bentuk-bentuk pesan terjadi dalam struktur jaringan formal dan informal baik verbal, nonverbal maupun komunikasi dengan media. Dalam proses pesan, pasti ada kendala yang terjadi karena faktor personal, dan interpersonal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pesan, proses produksi pesan dan pengolahan atau interpretasi pesan, sehingga diperlukan model penyampaian pesan yang sesuai dan dapat diakses oleh semua tenaga kependidikan di FISIP UNS. Beberapa tenaga kependidikan di FISIP UNS telah memanfaatkan komunikasi bermedia, sebagai bentuk pesan komunikasi pembaharuan hal ini berkaitan dengan pengalaman dan latar belakang dari masing-masing individu, jenjang pendidikan, gender, usia, perbedaan kepentingan, dan perbedaan tujuan. Saran bagi pembuat kebijakan di FISIP UNS melalui audit komunikasi tentang pesan ini adalah membuka dan optimalisasi saluran komunikasi bagi tenaga kependidikan yang yang bersifat formal maupun informal, memfasilitasi kegiatan sosial sebagai pesan kemanusiaan disertai dengan evaluasi kegiatan berkaitan dengan peran dan fungsi tenaga kependidikan dalam menghasilkan pesan baik sebagai individu maupun anggota organisasi. Sedangkan bagi tenaga kependidikan disarankan agar mau membuka diri dan belajar dari lingkungan sekitar tentang pemanfaatan pesan-pesan komunikasi dalam menjalankan pekerjaan baik yang bersifat rutin maupun incidental karena proses berorganisasi akan senantiasa berkembang.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
148
IMPLIKASI PENELITIAN 1. Implikasi Teoritis Manajemen koordinasi komunikasi pesan dalam organisasi merupakan sesuatu yang krusial guna menghindari kesulitan komunikasi akibat pesan yang dilakukan tenaga kependidikan FISIP UNS. Walaupun dalam penelitian ini teori yang digunakan, cenderung menggunakan pendekatan komunikasi interpersonal, padahal seharusnya produksi pesan dapat dilihat dari perspektif individu serta individu sebagai bagian dari kelompok maupun organisasi. 2. Implikasi Metodologis Audit komunikasi merupakan salah satu instrument penelitian yang dapat digunakan untuk menilai efektitas dan evaluasi komunikasi organisasi, sehingga perlu dikembangkan penggunaan audit komunikasi sebagai metode dan alat ukur dalam penelitian-penelitian yang kompleks lainnya. 3. Implikasi Bagi Penelitian Selanjutnya Peneliti menyadari keterbatasan dalam mendapatkan dan mengalisis data yang mendalam dalam manajemen koordinasi komunikasi pesan semoga dapat diteruskan dan dilengkapi oleh penelitipeneliti lain sehingga menjadi penelitaian yang bersifat komprehensif dan dapat menjawab pertanyaan yang terhadap situasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Broad, Martin John. Mathew, Marian. Shephard, Kerry.2003. Audit and Control of the Use of the Internet for learning and Teaching : Issue for Stakeholders in Higher Education, Managerial Audit Journal. ISSN 0268-6902. Page 244-253 Berger, Charles R., Roloff, Michael E, Ewoldsen, Dafid R.Roskos. 2014. Handbook of Communication Science /Handbook Ilmu Komunikasi terjemahan Derta Sri
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Volume II No. 1 September 2015
Widowatie, Penerbit Nusa Media. Bandung. Chege,Chaterine Njeri. Ombul, Kepha. 2014. “The Role Of Communication On Employee Performance In Non Government Organizations: A Case Of Save The Children”. International Journal of Science and Research (IJSR). Volume 3 Issue 2. ISSN (online) 2319- 7064. page.223-229 Dessler,G. and Varkekey, B. 2009. Human Resource Management (11th Ed.) Pearson Prentice Publicers Ltd, New York Hardjana, Andre.2000. Audit Komunikasi Teori dan Praktek. PT Grasindo. Jakarta. Jiuling, I & Jiangkang,W. 2010. Enterprise Knowledge Management Audit based on Process : Toward an Integrated Conceptual Framework. P.940-945 Hasmira, Mira Hasti. 2012. Audit Komunikasi di UNP (Kasus Komunikasi Lintas Saluran antara BAAK dan Puskom Universitas Negeri Padang). Jurnal Humanus. Volume XI No. 1 . hal 66- 75. Kriyantono, Rachmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relation Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Edisi Pertama.Kencana Prenada Media Group. Jakarta Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen A., 2011, Theories of Human Communication, Waveland Press,Inc. Long Grove. Illionis . Ludlow, Ron. dan Panton, Ferguson. 2000. The Essence of Communication (Komunikasi Efektif). Cetakan ke 2. Andi and Pearson Education Asia Pte. Ltd. Yogyakarta Mulyana,Deddy. 2005, Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung Mambert, W.A. 2001. The element of Effective Communication (3rd Ed.) Acropo lis Publisher, Washington
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
149
Muhammad, Afni. 2005. Komunikasi Organisasi. PT.Bumi Aksara.Jakarta. Cetakan Ketujuh. Pa, Noraini Che; Taheri, Laleh; Abdullah, Rusli. 2012. Survey on Aproaches in Knowledge Audit in Organizations, Asian Transaction on Computers (ATC ISSN:2221-4274) Volume Pace, R, Wayne dan Faules, Don F. 2005, Komunikasi Organisasi : Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Terjemahan Dedy Mulyana. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Pawito, 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. PT.LKis Pelangi Aksara. Yogyakarta. Cet II. Patel, Dipika S.2014. Body Language : An Effective Communication Tool, The IUP Journal of English Studies. Vol IX No 2 Panghegar, Stephani Firmawan. 2013. Audit Komunikasi Organisasi Horisontal Departemen Front Office Singgasana Hotel Surabaya. Jurnal E-Komunikasi Universitas Kristen Petra. Surabaya. Xie,A.,Rau,L.P., Tseng,Y.,Su,H.,Zhao, C.,2008. Cross Cultural Influence on Communication Effectiveness and User Interface Design. International Journal of Intercultural Relation. Vol 3.
Organisasi dan Tata Kerja Universitas Sebelas Maret Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
PERATURAN PEMERINTAH Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No 27 tahun 2011 Tentang Pedoman Audit Komunikasi di lingkungan Pemerintah Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Permen PAN dan RB RI) Nomor 28 tahun 2011 Tentang Pedoman Umum Komunikasi Organisasi di lingkungan Pemerintah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (Permendikbud RI) Nomor 82 tahun 2014 tentang
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Penerbit Asosiasi Dosen Raden Wijaya Bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah