NANOKRISTALIN SELULOSA DARI SLUDGE PRIMER UNTUK PENGUAT DAN PENGISI KOMPOSIT PLASTIK
IWAN RISNASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Nanokristalin Selulosa dari Sludge Primer untuk Penguat dan Pengisi Komposit Plastik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Iwan Risnasari NIM E 262100021
RINGKASAN IWAN RISNASARI. Nanokristalin Selulosa dari Sludge Primer untuk Penguat dan Pengisi Komposit Plastik. Dibimbing oleh FAUZI FEBRIANTO, NYOMAN JAYA WISTARA, SUCAHYO SADIYO dan SITI NIKMATIN.
Sludge merupakan limbah terbesar yang dihasilkan dari industri pulp dan kertas. Hingga saat ini pengelolaan dan pemanfaatan sludge belum optimal karena sludge dihasilkan dalam jumlah besar, memiliki kadar air tinggi, menghasilkan bau tidak sedap dan memiliki variabilitas yang besar. Potensi pemanfaatan sludge besar karena masih didominasi oleh serat. Salah satu alternatif yang memungkinkan untuk memanfaatkan limbah sludge adalah dengan menggabungkannya dengan bahan lain menjadi produk komposit, dimana serat sludge dapat berfungsi sebagai pengisi dan atau penguat komposit. Serat sludge memiliki sifat higroskopis dan mengandung bahan inorganik maka dapat menyebabkan rendahnya ikatan antara serat dengan matriks pada produk komposit plastik yang dihasilkan. Ikatan yang rendah antara serat dengan matriks dapat mempengaruhi sifat fisis-mekanis pada produk komposit. Untuk meningkatkan penggunaannya sebagai pengisi dan atau penguat, serat sludge dapat diproses lebih lanjut menjadi nanoselulosa. Penelitian ini terdiri atas empat tahap yang meliputi karakterisasi bahan baku (serat sludge), pembuatan nanoselulosa dari serat sludge, aplikasi nanoselulosa dari serat sludge sebagai bahan baku komposit plastik polivinil alkohol/PVA (reinforcement) dan matriks polipropilena/PP (high filler loading). Perlakuan hornifikasi hanya diberikan pada komposit dengan matriks PP guna mengetahui pengaruhnya terhadap interaksi (kompatibilitas) serat dan matriks. Pengujian yang digunakan meliputi sifat kimia dan mekanis untuk mengetahui kekuatan komposit dengan nanokristalin selulosa sebagai penguat dan pengisi pada produk komposit yang dihasilkan. Sementara itu untuk memperkuat analisa data mekanis digunakan pengujian struktur mikro meliputi X-ray diffraction (XRD), gugus fungsi molekul dengan alat fourier transform infrared (FTIR), morfologi permukaan dengan alat scanning electron mycroscope-energy dispersive X-ray spectroscopy (SEM-EDS), karakteristik termal dengan thermogravimetry analysis (TGA), konduktivitas listrik (LCR meter), dan sifat optik (spektrofotometer). Metode yang digunakan untuk menghasilkan nanokristal selulosa adalah secara mekanis (penggilingan) dan kimia (hidrolisis asam-ultrasonikasi). Pembuatan komposit dilakukan dengan menggunakan metode pencampuran mekanis menggunakan instrumen labo plastomill. Hornifikasi dilakukan menggunakan siklus pengeringan dan perendaman statis dengan aquades. Indikator yang dipergunakan dalam menilai kualitas nanoselulosa yang dihasilkan yaitu parameter ukuran nanoselulosa < 100 nm yang akan digunakan dalam penelitian tahap selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat sludge masih didominasi oleh serat utuh dengan ukuran yang bervariasi, yaitu berkisar antara 666.80-5,417.75 mikron dan diameter serat berkisar antara 8.34-50.04 mikron. Sludge memiliki kadar selulosa 60.37% dan kadar abu 33.47%. Perlakuan purifikasi terhadap sludge primer telah mengurangi bahan non-selulosa seperti lignin, hemiselulosa
dan bahan inorganik, sehingga meningkatkan kadar selulosanya menjadi 76.34 %. Perlakuan purifikasi ini juga menyebabkan perubahan selulosa I menjadi selulosa II. Metode pembuatan nanoselulosa yang berhasil memperoleh ukuran dibawah 100 nm adalah metode grinding 20 kali dan hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan proses ultrasonikasi. Namun pada metode grinding nanoselulosa yang dihasilkan masih cenderung heterogen, sehingga lebih efektif metode hidrolisis asam. Analisis X-Ray diffraction menunjukkan bahwa nanokristaln selulosa dari sludge primer juga merupakan selulosa tipe II. Hal ini berpengaruh terhadap sifat stabilitas panasnya yang lebih baik daripada serat sludge. Komposit dengan penguat nanokristalin selulosa meningkatkan sifat fisik dan mekaniknya (sifat konduktivitas, optik, keteguhan tarik,modulus patah dan elongasi patah). Hal ini disebabkan kompatibilitas yang baik antara nanokristal selulosa dengan matriks PVA serta perubahan tipe selulosa I menjadi selulose II pada proses purifikasi. Siklus pengeringan dan perendaman terhadap serat sludge secara berulang mampu meningkatkan sifat hidrofobik serat yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai WRV dan nilai sudut kontak yang tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap interaksi antara serat dengan matriks pada pembuatan komposit plastik, meskipun kompatibilitas yang baik tetap ditunjukkan oleh komposit dengan penambahan agen pengkopel. Kata kunci: nanokristalin selulosa, sludge primer, komposit plastik, penguat komposit, pengisi komposit
SUMMARY IWAN RISNASARI. Nanocrystalline Cellulose from Primary Sludge as a Plastic Composite Reinforcement and Filler. Supervised by FAUZI FEBRIANTO, NYOMAN JAYA WISTARA, SUCAHYO SADIYO and SITI NIKMATIN.
Sludge is the largest waste produced from pulp and paper mill. Until now the management and utilization of sludge is not optimal because the sludge produced in large quantity. Sludge has high water content, resulting in odor and has a great variability. Sludge has great potential benefits because it is dominated by the fibers. Utilization of sludge which probably making sludge as a filler or a reinforcing composites. Hygroscopic properties and inorganic material content of sludge decreasing fibers-matrix bonding of the composite products, that can affect the physical and mechanical properties of the composite product. The usage of fiber sludge can be increased by further processing into nanocellulose. This study consists of four phases that include the characterization of raw materials (sludge), preparation of nanocellulose from sludge, nanocellulose application from sludge as a raw material of PVA plastic composite (reinforcement) and PP matrix (high filler loading). Hornification treatment is only given to composites with PP matrix in order to determine the effect of the interaction (compatibility) fiber and the matrix. Chemical and mechanical properties testing to determine the strength of composites with nanocrystalline cellulose reinforcement and high filler loading. Microstructure Testing was done such as crystallographic (XRD), a molecular functional groups (FTIR), surface morphology (SEM-EDS), thermal characteristics (TGA), electrical conductivity (LCR meter), and optical properties (spectrophotometer). The method used to produce nanocrystalline cellulose is mechanical methods (physics) and chemical (acid hydrolysis-ultrasonication). Preparation of composites conducted by using blending method (Labo plastomill). Hornification conducted using the drying and rewetting cycle in distilled water. The indicators used in assessing the quality of the resulting nanocellulose is the size parameter of nanocellulose <100 nm to be used in the next stage of research. The results showed that the sludge is still dominated by fibers with varying sizes, ranging from 666.80-5.417,75 micron and fiber diameter ranging from 8.3450.04 microns. Sludge has a cellulose and ash content content were 60.37% and 33.47%, respectively. Purification treatment of the primary sludge has reduced non-cellulosic materials such as lignin, hemicellulose and inorganic materials, thereby increasing the cellulose content (76.34 %). This purification treatment also led to changes in cellulose I to cellulose II. Method for making nanocellulose that produces size below 100 nm is 20 times the grinding method and acid hydrolysis followed by ultrasonication process. However the cellulose that produce by grinding method still tend to heterogeneous, so the acid hydrolysis method more effectively. X-ray diffraction analysis showed that nanocrystalline cellulose produced from primary sludge is also a type of cellulose II. This condition affects the properties of thermal stability better than the fiber sludge. Composites with nanocrystalline cellulose reinforcement could improve the physical and mechanical properties (conductivity properties, optical, tensile
firmness, fracture modulus and elongation fracture). This is due to good compatibility between nanocrystalline cellulose with PVA matrix as well as changes in the type of cellulose I to cellulose II in the purification process. Drying cycle and the immersion of the fiber sludge repeatedly able to improve the hydrophobic properties of fiber shown by the low value of WRV and high contact angle values. This condition affects the interaction between the fibers with the matrix in the manufacture of plastic composites, despite good compatibility remains indicated by the composite with the addition of coupling agent. Keywords: Nanocrystalline cellulose, primary sludge, plastic composite, reinforcement, filler
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
NANOKRISTALIN SELULOSA DARI SLUDGE PRIMER UNTUK PENGUAT DAN PENGISI KOMPOSIT PLASTIK
IWAN RISNASARI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Serat dan Komposit
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Akhiruddin Maddu, MS Dr Lisman Suryanegara, MAgr Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Akhiruddin Maddu, MS Dr Sudaryanto, MEng
Judul Disertasi : Nanokristalin Selulosa dari Sludge Primer untuk Penguat dan Pengisi Komposit Plastik Nama : Iwan Risnasari NIM : E262100021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS Ketua
Prof Dr Ir Sucahyo Sadiyo, MS Anggota
Dr Ir Nyoman Jaya Wistara, MS Anggota
Dr Siti Nikmatin, SSi MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Serat dan Komposit
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nyoman Jaya Wistara, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 18 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah bionanokomposit, dengan judul “Nanokristalin Selulosa dari Sludge Primer untuk Penguat dan Pengisi Komposit Plastik”. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof Dr Ir Fauzi Febrianto MS, Dr Ir Nyoman Jaya Wistara MS, Prof Dr Ir Sucahyo Sadiyo MS dan Dr Siti Nikmatin SSi MSi sebagai komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan arahan; 2. Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi/Mayor Teknologi Serat dan Komposit beserta staf yang telah memberikan pelayanan kepada penulis selama menjadi mahasiswa; 3. Prof Dr Ir Wasrin Syafii MAgr dan Dr Siti Nikmatin SSi MSi selaku penguji kualifikasi; Dr Akhiruddin Maddu MSi dan Dr Lisman Suryanegara MAgr selaku penguji pada ujian tertutup serta Dr Sudaryanto MEng dan Dr Akhiruddin Maddu MSi selaku penguji pada ujian promosi atas masukan, kritik dan arahannya; 4. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan bantuan biaya studi melalui BPPS tahun 2010-2014; 5. Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB serta memberikan bantuan studi dan bantuan penelitian; 6. Laboratorium Kimia Hasil Hutan-Fakultas Kehutaan IPB, Laboratoium Biokimia IPB, Laboratorium Fisika IPB, Laboratorium Biomaterial-LIPI Cibinong, Laboratorium Bioteknologi-LIPI Cibinong, Laboratorium Kimia Fisika-Institut Teknologi Indonesia Serpong beserta semua pimpinan dan staf atas ijin pemakaian laboratorium dan bantuannya; Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Iwan Risnasari
DAFTAR ISI RINGKASAN i PRAKATA viii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN x 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 5 Nilai Kebaruan Penelitian 6 Keterkaitan antar Bab 7 2 KARAKTERISTIK KIMIA DAN MORFOLOGI SERAT SLUDGE DARI LIMBAH INDUSTRI DAUR ULANG KERTAS 8 Pendahuluan 8 Bahan dan Metode 9 Hasil dan Pembahasan 11 Simpulan 19 3 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOSELULOSA DARI SLUDGE PRIMER 20 Pendahuluan 20 Bahan dan Metode 21 Hasil dan Pembahasan 22 Simpulan 31 4 NANOKRISTALIN SELULOSA DARI SLUDGE UNTUK PENGUAT KOMPOSIT PLASTIK DENGAN MATRIKS POLIVINIL ALKOHOL/PVA 32 Pendahuluan 32 Bahan dan Metode 33 Hasil dan Pembahasan 35 Simpulan 39 5 PERANAN AGEN PENGKOPEL TERHADAP KARAKTERISTIK KOMPOSIT PLASTIK DENGAN BAHAN PENGISI SLUDGE DAN MATRIKS POLIPROPILENA/PP 40 40 Pendahuluan Bahan dan Metode 40 Hasil dan Pembahasan 42 Simpulan 49
6 METODE SIKLUS PENGERINGAN DAN PERENDAMAN BERULANG (HORNIFIKASI) UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SERAT DENGAN MATRIKS POLIPROPILENA 50 Pendahuluan 50 Bahan dan Metode 50 Hasil dan Pembahasan 52 Simpulan 59 7 PEMBAHASAN UMUM 60 8 SIMPULAN UMUM 62 Simpulan 62 Saran 62 DAFTAR PUSTAKA 63 LAMPIRAN 69 RIWAYAT HIDUP 85
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Komposisi kimia sludge primer Komposisi unsur sludge primer Senyawa kimia sludge berdasarkan pengujian GCMS Perhitungan ukuran kristal sludge purifikasi Perhitungan ukuran kristal nanokristalin selulosa (hidrolisis 30 menit) Perhitungan ukuran kristal nanokristalin selulosa (hidrolisis 60 menit) Karakteristik termal komposit Nilai WRV (%) setelah siklus pengeringan dan perendaman
13 14 17 29 29 29 48 53
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13
14
15 16 17 18
Diagram alir keterkaitan penelitian antar bab Sludge yang terkumpul di industri Diagram alir karakterisasi sludge Sludge (a) perbesaran 10x, (b) perbesaran 45x Foto SEM pada sludge:(a) tanpa perlakuan dan (b) perlakuan purifikasi EDS sludge primer (a) sebelum dan (b) setelah purifikasi Spektra inframerah sludge primer sebelum dan setelah purifikasi Difraksi X-ray pada sludge primer sebelum dan setelah purifikasi Termogram TGA pada sludge primer a) sebelum dan b) setelah purifikasi Diagram alir pembuatan nanoselulosa dari sludge primer Sludge (a) sebelum dan (b) setelah purifikasi Distribusi ukuran partikel pada sludge yang mengalami perlakuan: (a) penggilingan 30 menit, (b) penggilingan 60 menit, (c) penggilingan 90 menit, (d) purifikasi dan penggilingan 30 menit, (e) purifikasi dan penggilingan 60 menit dan (f) purifikasi dan penggilingan 90 menit Selulosa setelah (a) penggilingan 30 kali; (b) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 60 menit; (c) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 90 menit dan (d) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 120 menit Foto SEM selulosa dari sludge dengan (a) penggilingan 10 putaran, ultrasonikasi 60 menit; (b) penggilingan 10 putaran, ultrasonikasi 120 menit; (c) penggilingan 20 putaran, ultrasonikasi 60 menit; (d) penggilingan 20 putaran , ultrasonikasi 120 menit; (e) penggilingan 30 putaran, ultrasonikasi 60 menit; dan (f) penggilingan 30 putaran, ultrasonikasi 120 menit pada perbesaran 10000 dan 300 Slurry sludge hasil hidrolisis asam 40% (a), 50% (b) dan 60% (c) SEM pada sludge primer (a) sebelum dan (b) setelah purifikasi, (c) nanokristalin selulosa-30, (d) nanokristalin selulosa-60 Distribusi ukuran partikel pada (a) nanokristalin selulosa-30 dan (b) nanokristalin selulosa-60 Spektra inframerah sludge primer dan nanokristalin selulosa
7 9 11 12 12 14 15 16 17 22 23
23
24
25 26 26 26 27
19 Difraksi X-ray sludge primer dan nanokristal selulosa 20 Termogram TGA pada (a) sludge, (b) sludge terpurifikasi dan (c) nanokristalin selulosa dari sludge 21 Diagram alir pembuatan komposit dengan matriks PVA 22 Film PVA diperkuat serat dari sludge primer 23 Spektra transmitan UV-Vis pada film komposit PVA dengan penguat sludge primer 24 Nilai konduktivitas listrik pada film komposit PVA dengan penguat sludge primer 25 Kekuatan tarik, modulus young dan elongasi patah pada film komposit PVA dengan penguat sludge primer 26 Stress strain pada film komposit 27 Termogram TGA pada (a) matriks PVA dan (b) komposit PVAnanokristalin selulosa 3% 28 Diagram alir pembuatan komposit plastik dengan matriks PP 29 Nilai kerapatan pada komposit 30 Daya serap air dan pengembangan tebal pada komposit 31 Kekuatan tarik pada komposit plastik 32 Mekanisme reaksi kimia antara serat dengan MAPP 33 Modulus young pada komposit plastik 34 Elongasi patah pada komposit plastik 35 Foto SEM komposit plastik 36 Termogram TGA pada a) sludge; b) film komposit PP; c) film komposit sludge 50%-PP 50% dan d) film komposit sludge 50%-PP 45%-MAPP 5% 37 Termogram TGA pada film komposit:a) PP 50%/nanokristalin selulosa 50% dan b) PP 45%/MAPP 5%/nanokristalin selulosa 50% 38 Diagram alir pembuatan komposit matriks PP dengan pretreatment hornifikasi 39 Sudut kontak pada a) sludge tanpa perlakuan; b) sludge terhornifikasi dan c) sludge terpurifikasi 40 Sudut kontak pada sludge yang mengalami purifikasi dan hornifikasi 41 Sudut kontak pada serat sludge 42 Nilai kerapatan pada komposit 43 Nilai daya serap air dan pengembangan tebal pada komposit 44 Kekuatan tarik pada komposit plastik 45 Modulus young pada komposit plastik 46 Elongasi patah pada komposit plastik 47 Foto SEM komposit plastik
28 30 34 35 36 36 37 38 39 42 42 43 44 44 45 45 46
47 48 52 54 54 55 55 56 56 57 57 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Hasil pengukuran dimensi serat sludge primer Data JCPDS selulosa dan kalsium karbonat Nilai kerapatan film komposit dengan matriks PVA Hasil perhitungan konduktifitas listrik film komposit PVA dan film komposit PVA-sludge 1% 5 Hasil perhitungan konduktifitas listrik film komposit PVA-sludge 3% dan film komposit PVA-sludge 5% 6 Hasil perhitungan konduktifitas listrik film komposit PVAnanokristal selulosa 1% dan film komposit PVA-nanokristal selulosa 3% Hasil perhitungan konduktifitas listrik film komposit PVA7 nanokristal selulosa 5% 8 Nilai distribusi ukuran partikel dalam slurry pada nanokristalin selulosa (dengan waktu hidrolisis 30 menit) 9 Nilai distribusi ukuran partikel dalam slurry pada nanokristal selulosa (dengan waktu hidrolisis 60 menit) 10 Grafik DSC (a) PP murni; (b) komposit PP/sludge; (c) komposit PP/sludge/MAPP
69 75 76 77 78 79 80 81 83
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tuntutan kebutuhan masyarakat terutama di perkotaan berimplikasi terhadap meningkatnya jumlah/kegiatan industri. Masalah yang biasanya muncul dalam kegiatan industri terutama di negara-negara berkembang adalah volume limbah padat dan pengelolaannya (Zhang et al. 2010; Hamzeh et al. 2011). Salah satu limbah padat yang menjadi masalah dalam pengelolaannya adalah sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari industri pulp dan kertas. Sludge menjadi masalah dalam pengelolaannya karena dihasilkan dalam jumlah besar. memiliki kadar air tinggi, menghasilkan bau tidak sedap dan memiliki variabiliatas yang besar (Krigstin dan Sain 2006; Hamzeh et al. 2011). Penanganan sludge biasanya dilakukan dengan cara penimbunan (landfilling), land spreading, pembakaran dan pengomposan. Namun cara-cara tersebut dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan. Penimbunan sludge selain membutuhkan lahan yang luas juga menimbulkan sejumlah resiko. Tingginya kadar air pada sludge dapat menimbulkan pencemaran air tanah oleh polutan. Penanganan sludge dengan cara pembakaran juga menimbulkan beberapa masalah seperti konsumsi energi yang tinggi. menghasilkan emisi karbondioksida dan produk samping berupa fly ash. bottom ash dan garam yang perlu penanganan lebih lanjut (Bednarik et al. 2004). Metode pengomposan juga kurang efektif, karena membutuhkan waktu 7 bulan dalam proses pengomposannya sementara sludge diproduksi setiap hari (Widyati 2009). Kemudian dalam proses pengomposan selama penimbunan akan dihasilkan metana yang diduga akan memberikan dampak terhadap iklim lebih besar daripada karbon dioksida. Selain itu akan muncul masalah sanitasi selama proses pembuangan dan penimbunan sludge seperti sumber infeksi, bau yang menyengat, munculnya hama dan lain-lain (Bednarik et al. 2004). Pembebasan lahan yang harus dilakukan setiap tahunnya oleh perusahaan untuk menimbun limbah tidak jarang menimbulkan konflik dengan masyarakat yang tinggal disekitar industri. Konflik akibat pencemaran air tanah yang akhirnya merusak hasil pertanian/perikanan masyarakat juga kerapkali terjadi. Dengan demikian diperlukan adanya upaya untuk memanfaatkan limbah sludge sekaligus meningkatkan nilai tambah dari limbah tersebut. Konsep pengelolaan limbah yang akan datang adalah minimalisasi, penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycling) dan penggabungan (compounding) dengan bahan lain (Girones et al. 2010; Zhang et al. 2010). Salah satu alternatif yang memungkinkan untuk mengolah limbah sludge adalah dengan menggabungkannya dengan bahan lain menjadi produk komposit, dimana sludge dapat berfungsi sebagai pengisi dan atau penguat. Namun sludge yang memiliki sifat higroskopis dan mengandung bahan anorganik dapat menyebabkan rendahnya ikatan antara serat dengan matriks pada produk komposit yang dihasilkan (Taramian et al. 2007). Ikatan yang rendah antara serat dengan matriks dapat mempengaruhi sifat fisis-mekanis pada produk komposit. Untuk meningkatkan penggunaannya sebagai pengisi/penguat, sludge dapat diproses lebih lanjut menjadi nanoselulosa. Nanoselulosa merupakan selulosa yang
2 diameternya berukuran nano (1-100 nm). Nanoselulosa berbeda dengan selulosa alami karena nanoselulosa memiliki sifat-sifat yang khas seperti rasio aspek tinggi, rasio permukaan terhadap volume yang besar, kristalinitas tinggi, transparans (Jonoobi et al. 2012). Sifat inilah yang membuat nanoselulosa memiliki keunggulan jika digunakan sebagai pengisi dan atau penguat pada produk nanokomposit karena dapat mengurangi berat, meningkatkan sifat-sifat mekanik serta transfer tegangan yang lebih baik (Leão et al. 2012). Keunggulan ini berkaitan dengan sifat nanomaterial yang unik, karena ukurannya kecil sehingga memiliki nilai perbandingan antara luas permukaan dan volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan material sejenis dalam ukuran besar. Kondisi ini membuatnya lebih reaktif, dimana reaktifitas material ditentukan oleh atom-atom dipermukaan yang bersentuhan langsung dengan material lain. Ketika ukuran material menuju orde nanometer maka hukum fisika yang berlaku lebih didominasi oleh hukum-hukum fisika kuantum. Fenomena inilah yang merubah sifat nanokomposit, seperti perubahan warna yang dipancarkan, transparansi, kekuatan mekanik, konduktivitas panas dan magnetisasi. Nanoselulosa dapat diperoleh dengan ekstraksi dari bahan berlignoselulose melalui beberapa metode seperti mekanik, kimia-mekanik serta penggunaan enzim. Sludge memiliki potensi sebagai bahan baku dalam pembuatan nanoselulose karena sebagian telah mengalami proses pemutihan, memiliki kadar lignin dan hemiselulose yang rendah (Leão et al. 2012). Penggunaan bahan sludge sebagai serat nano telah dilakukan oleh Jonoobi et al. (2012) dengan menggunakan metode mekanik (masuko ultra fine grinder) dan Leao et al. (2012) dengan metode kimia-mekanik (hidrolisis asam dan steam explosion). Menurut Oksman dan Mathew (2012) dalam proses pembuatan nanoselulosa dari beberapa sumber limbah biologi (bioresidues), hasil tertinggi diperoleh dari sumber limbah sludge (95%), diikuti oleh limbah chip kayu (48 %), limbah lignin (48%), limbah wortel (20%), limbah gandum (14%) dan limbah rumput-rumputan (13%). Permasalahan didalam pembuatan komposit plastik selama ini adalah kompatibilitas antara selulosa yang bersifat hidrofilik dengan matriks polimer yang bersifat hidrofobik. Kedua bahan baku yang memiliki sifat berbeda ini akan menyebabkan rendahnya ikatan antara serat dengan matriks. Antisipasi dapat dilakukan dengan menggunakan matriks yang bersifat hidrofilik (Leão et al. 2012). Sedangkan pada penggunaan matriks yang bersifat hidrofobik, masalah kompatibilitas dapat diatasi dengan melakukan modifikasi kimia terhadap selulosa. Modifikasi kimia terhadap selulosa ini akan merubah sifat selulosa yang hidrofilik menjadi hidrofobik, sementara struktur kristalinnya tetap utuh. Meskipun sejumlah penelitian telah dilakukan untuk melakukan modifikasi terhadap selulosa, akan tetapi secara praktis industri belum menghasilkan komposit berbasis matriks polimer yang bersifat hidrofobik (Khalil et al. 2012). Sementara itu penggunaan nanoselulosa dalam komposit plastik harus memperhatikan konsentrasi serat yang optimum dalam proses pencampuran. Semakin kecil ukuran serat sampai batas tertentu maka semakin baik sifat fisismekanis dari komposit plastik yang dihasilkan. Salah satu metode yang belum banyak digali untuk meningkatkan interaksi serat dengan matriks adalah dengan melakukan pengeringan dan perendaman pada serat secara berulang. Pengeringan pada serat menyebabkan berkurangnya kemampuan serat untuk mengembang ketika direndam kembali, yang dikenal
3 dengan istilah ‘hornifikasi’(Minor 1994). Mekanisme terjadinya hornifikasi disebabkan oleh meningkatnya ikatan silang diantara mikrofibril akibat penambahan ikatan hidrogen selama proses pengeringan dan pembasahan yang berulang/rewetting (Minor 1994; Diniz et al. 2004). Hornifikasi serat ditentukan melalui sifat pengikatan air oleh serat yaitu dengan mengukur nilai water retention value (WRV) yang diperkenalkan oleh G. Jayme pada tahun 1944 dengan metode sentrifugasi (Diniz et al. 2004). Pengurangan nilai WRV pada serat yang terhornifikasi diharapkan dapat meningkatkan interaksi serat dengan matriks, karena serat menjadi lebih hidrofobik. Sejauh ini belum ada laporan penelitian yang menggunakan perlakuan hornifikasi terhadap nanoselulosa untuk meningkatkan interaksinya dengan matriks polimer yang bersifat hidrofobik. Perumusan Masalah Hingga saat ini limbah berupa sludge dari industri pulp dan kertas di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Balai Besar Pulp dan Kertas Kementerian Perindustrian RI (2011) menyatakan bahwa berdasarkan data dari Repository of Industrial Security Incidents. Indonesia menduduki peringkat ke-9 sebagai produsen kertas dunia pada tahun 2010 dengan produksi kertas 9.951 juta ton pada tahun tersebut. Pada tahun 2011 produksi kertas di Indonesia diperkirakan akan meningkat menjadi 11.5 juta ton. Total produksi sludge diperkirakan sekitar 3.5-4.5 % dari jumlah kertas yang diproduksi dengan kadar air sekitar 45-55% (Hamzeh et al. 2011). Dengan demikian jumlah sludge yang akan dihasilkan diperkirakan 400000-500000 ton/tahun. Sementara Krigstin dan Sain (2006) menyatakan bahwa pabrik tissu yang menggunakan bahan baku recovered paper dapat menghasilkan sludge 40.6% dari bahan baku yang masuk (berdasarkan berat kering). Pabrik kertas koran yang menggunakan bahan baku kertas koran bekas (70%) dan kertas majalah bekas (30%) dapat menghasilkan sludge 20% dari bahan baku yang masuk (berdasarkan berat kering). Penelitian yang terkait dengan pemanfaatan dan pengolahan sludge telah dilakukan seperti pemanfaatannya menjadi pupuk (Widiastuti et al. 2009), bahan amelioran tanah untuk memacu rehabilitasi lahan (Widyati 2009) hingga menggabungkan sludge dengan bahan lain menjadi produk seperti bata beton (Hardiani dan Sugesty 2009), batako (Wattimena et al. 2011) dan papan komposit (Son et al. 2001; Son et al. 2004; Salmah 2005; Gomez dan De Alda 2008; Girones et al. 2010; Hamzeh et al. 2011). Namun pemanfaatan sludge sebagai pupuk dan media tanah masih mengalami kendala dengan adanya pelarangan untuk aplikasi di lapangan terkait dengan dugaan akumulasi logam berat yang dapat mencemari air dan tanah. Sementara itu pemanfaatan sludge dari limbah industri sebagai pengisi dan atau penguat dalam papan komposit plastik telah dilakukan dan menunjukkan hasil bahwa penambahan serat dari sludge cukup memberikan pengaruh pada sifat-sifat komposit. Namun sludge yang memiliki sifat volumenous, higroskopis serta mengandung bahan anorganik dapat menyebabkan rendahnya ikatan antara serat dengan matriks pada produk komposit yang dihasilkan. Ikatan yang rendah antara serat dengan matriks dapat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis pada produk komposit. Untuk meningkatkan penggunaannya sebagai pengisi dan atau penguat, sludge dapat diproses lebih lanjut menjadi nanoselulose dengan diameter kurang dari 100 nm
4 (serat nano). Selanjutnya nanoselulosa yang dihasilkan akan diaplikasikan sebagai penguat dan pengisi pada produk komposit plastik. Adapun sejumlah permasalahan terkait dengan pemanfaatan sludge sebagai penguat dan pengisi dalam komposit plastik yang belum terjawab dalam penelitian-penelitian terdahulu antara lain: 1. Bagaimana karakteristik sludge dari limbah industri pengolahan kertas bekas ? Karena sifat fisik dan kimia sludge tergantung dari beberapa faktor, seperti bahan baku yang digunakan, proses pulping dan pembuatan kertas/daur ulangnya (Suriyanarayanan et al. 2010). Dengan demikian karakteristik limbah sludge bisa sedikit berbeda antara satu industri dengan industri yang lain. Lebih lanjut Girones et al. (2010) menyatakan bahwa karakteristik sludge dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan dan dilakukan sistem pengolahan serat pada masing-masing industri. Akibatnya sifat mekanis dari produk komposit yang dihasilkan tidak dapat diekstrapolasikan terhadap bahan sludge yang diperoleh dari pabrik lain. 2. Bagaimana karakteristik nanoselulose yang dihasilkan dari sludge dengan metode mekanik dan kimia ? Penelitian terdahulu (Jonoobi et al. 2012) memproduksi nano selulose dari sludge (dengan kadar selulosa 95 % dan kadar lignin yang sangat rendah), sehingga pembuatan nanoselulose dilakukan tanpa menggunakan perlakuan awal pada sludge. Sementara bahan baku sludge yang akan digunakan pada penelitian ini diduga masih mengandung lignin dan bahan anorganik yang tinggi, sehingga diperlukan perlakuan awal pada sludge. 3. Bagaimana aplikasi nanoselulose jika digunakan sebagai pengisi dan penguat pada produk komposit plastik dengan matrik polivinil alkohol (PVA) yang bersifat hidrofilik dan matrik polipropilena (PP) yang bersifat hidrofobik ? Aplikasi nanoselulosa dari sludge sebagai bahan baku komposit yang telah dilakukan adalah dengan menggunakan matriks poliuretan yang bersifat hidrofilik (Leao et al. 2012). Pada penelitian tersebut telah dihasilkan nanoselulosa dengan diameter 5-30 nm menggunakan hidrolisis asam dan uap, kemudian dalam aplikasinya juga dihasilkan produk nanokomposit dengan sifat mekanik yang baik. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian aplikasi nanoselulosa dari sludge dengan menggunakan matriks lain yang juga berpotensi untuk dikembangkan yaitu dengan matriks PP atau dengan matriks PVA. 4. Sludge yang memiliki sifat volumenous, higroskopis serta mengandung bahan anorganik dapat menyebabkan rendahnya ikatan antara serat dengan matriks pada produk komposit yang dihasilkan. Ikatan yang rendah antara serat dengan matriks dapat mempengaruhi sifat fisik dan mekanik pada produk komposit. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan interaksi serat dengan matriks adalah dengan melakukan pengeringan dan perendaman pada serat secara berulang. Pengeringan pada serat menyebabkan berkurangnya kemampuan serat untuk mengembang ketika direndam kembali, yang dikenal dengan istilah ‘hornifikasi’(Minor 1994). Mekanisme terjadinya hornifikasi disebabkan oleh meningkatnya ikatan silang diantara mikrofibril akibat penambahan ikatan hidrogen selama proses pengeringan dan pembasahan yang berulang/rewetting (Minor 1994; Fernandez et al. 2004). Hornifikasi serat ditentukan melalui sifat pengikatan air oleh serat yaitu
5 dengan mengukur nilai water retention value (WRV) yang diperkenalkan oleh G. Jayme pada tahun 1944 dengan metode sentrifugasi (Fernandez et al. 2004). Pengurangan nilai WRV pada serat yang terhornifikasi diharapkan dapat meningkatkan interaksi serat dengan matriks, karena serat menjadi lebih hidrofobik. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dilihat apakah dengan perlakuan hornifikasi serat dapat membuat serat nano menjadi lebih hidrofobik? Diharapkan dengan terjawabnya permasalahan-permasalahan tersebut dapat menentukan teknologi yang tepat sehingga dapat menghasilkan poduk komposit plastik berkualitas dari bahan baku limbah tersebut. Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan nanoselulosa dari sludge, kemudian diaplikasikan sebagai penguat dan pengisi pada produk komposit plastik. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Melakukan karakterisasi terhadap sludge dari industri pulp dan kertas, meliputi sifat fisik dan kimia 2. Menentukan optimasi parameter proses dalam pembuatan nanokristalin selulosa dan karakterisasinya 3. Mendapatkan bionanokomposit dengan nanokristalin selulosa sludge sebagai penguat (reinforcement) matriks PVA dan karakterisasinya 4. Menentukan pengaruh hornifikasi nanokristalin selulosa sebagai pengisi (high filler loading) pada produk komposit matriks PP Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan antara lain: 1. Menyediakan data dan informasi mengenai karakteristik sludge dari industri pulp dan kertas 2. Menyediakan informasi tentang karakteristik komposit plastik yang dihasilkan dengan penguat (reinforcement) dan pengisi (high filler loading) nanoselulosa dari sludge 3. Memberikan suatu pengembangan konsep alternatif terhadap pemanfaatan limbah sludge pada industri pulp dan kertas menjadi material baru berbasis nanoteknologi untuk mengurangi penggunaan serat sintetis pada aplikasi komposit Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terdiri atas empat tahap yang meliputi karakterisasi bahan baku (sludge), pembuatan nanoselulosa dari sludge, aplikasi nanoselulosa dari sludge sebagai penguat/reinforcement komposit bermatriks PVA dan pengisi/high filler loading PP. Perlakuan hornifikasi hanya diberikan pada komposit dengan matriks PP guna mengetahui pengaruhnya terhadap interaksi (kompatibilitas) serat dan matriks. Pengujian yang digunakan meliputi sifat kimia dan mekanis guna mengetahui kekuatan komposit. Sementara itu untuk memperkuat analisa data mekanis digunakan pengujian struktur mikro meliputi kristalografi (XRD), gugus
6 fungsi molekul (FTIR), morfologi permukaan (SEM-EDS), karakteristik termal (TGA), konduktivitas listrik (LCR meter), dan sifat optik (spektrofotometer). Metode yang digunakan untuk menghasilkan nanokristalin selulosa adalah secara mekanis (penggilingan) dan kimia (hidrolisis asam-ultrasonikasi). Indikator yang dipergunakan dalam menilai kualitas nanoselulosa yang dihasilkan yaitu parameter ukuran nanoselulosa < 100 nm dan digunakan dalam penelitian tahap selanjutnya. Pembuatan komposit dengan matriks PVA menggunakan metode film casting. Sementara pembuatan komposit dengan matriks PP menggunakan metode pencampuran secara mekanis dengan alat labo plastomill dilanjutkan dengan kempa panas/dingin. Hornifikasi dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan dan perendaman secara berulang kedalam akuades. Nilai Kebaruan Penelitian 1.
2.
Nilai kebaruan dari penelitian ini terletak pada: Pemanfaatan limbah sludge yang diekstraksi dalam bentuk nanokristalin selulosa dan identifikasi kualitas serat berdasarkan struktur mikro, kristalografi serta unsur penyusun serat. Aplikasi nanokristalin selulosa sludge sebagai reinforcement pada matriks PVA dan sebagai high filler loading pada matriks PP dengan perlakuan hornifikasi.
7 Keterkaitan Antar Bab Untuk menghasilkan nanokristalin selulosa yang diaplikasikan pada komposit, diperlukan penelitian dalam bentuk eksperimen di laboratorium dan beberapa pengujian yang saling terkait satu dengan yang lain. Keterkaitan antar bab digambarkan secara sederhana pada diagram alir pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram alir keterkaitan penelitian antar bab
8
2 KARAKTERISTIK KIMIA DAN MORFOLOGI SLUDGE DARI LIMBAH INDUSTRI DAUR ULANG KERTAS Pendahuluan Industri kertas dan pulp baik yang menggunakan kayu murni atau kertas daur ulang sebagai bahan baku menghasilkan produk sampingan yang dikenal sebagai sludge kertas. Sludge terdiri dari serat (biasanya sekitar 50-60% berdasarkan berat kering), mineral yang tersisa dan abu. Namun pabrik kertas yang menggunakan kertas daur ulang sebagai bahan baku memproduksi sludge lebih besar daripada yang menggunakan kayu murni. Industri menghasilkan sludge primer dengan jumlah yang bervariasi, dan sludge yang dihasilkan jelas berbeda dalam komposisi, bahkan diantara pabrik yang menggunakan pulp dan proses pembuatan kertas yang sama. Produksi sludge kering sekitar 4.3% dari produk akhir, meningkat menjadi 20-40% dalam kasus pabrik kertas daur ulang (Mehmood et al. 2010). Sementara Geng et al. (2006) menjelaskan bahwa limbah padat yang dihasilkan dari sumber-sumber industri adalah heterogen dalam komposisi, mulai dari anorganik inert yang (seperti yang diproduksi di bidang pertambangan dan collieries) hingga organik (dalam industri menghasilkan produk konsumen dasar) dan bahkan mungkin termasuk unsur berbahaya (seperti dalam industri pestisida). Sludge adalah produk yang terbesar dari industri pulp dan kertas dan pembuangannya merupakan masalah utama dari limbah padat di industri. Perlakuan air buangan pada pabrik pulp dan kertas biasanya termasuk perlakuan utama (primer) yang terdiri dari netralisasi, screening, dan sedimentasi untuk menghilangkan padatan tersuspensi, yang kemudian dihilangkan airnya menjadi sludge yang memerlukan pembuangan. Sementara perlakuan sekunder dan tersier termasuk untuk mengurangi kandungan organik limbah cair dan menghancurkan organik beracun dan warna. Sludge primer dari industri pulp dan kertas mengandung serat kayu sebagai komponen organik utama, serta filler (bahan anorganik seperti kaolin, CaCO3, TiO2, dan lain-lain), pitch (resin kayu), produk sampingan lignin, padatan inert yang ditolak selama proses kimia, dan abu. Sludge primer tersebut dikelola sebagai bahan limbah atau sebagai produk sampingan (Gomez dan De Alda 2008). Suriyanarayanan et al. (2010) menjelaskan bahwa sifat-sifat fisik dan kimia sludge dari pabrik kertas sangat tergantung pada proses pulping dan pembuatan kertas serta proses daur ulang, proses perlakuan air limbah, serta bahan baku yang digunakan di industri. Sementara Hamzeh et al. (2011) menyatakan bahwa di antara bahan limbah padat, sludge, sisa limbah dari pengolahan pulp dan kertas atau kertas daur ulang, telah membawa tekanan besar pada lingkungan karena dalam jumlah besar diproduksi di industri. Total produksi sludge diperkirakan sekitar 35-45 kg per ton kertas yang diproduksi (3.5-4.5%). Dengan jumlah yang banyak serta kandungan seratnya yang masih dominan, maka sludge berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi alternatif sumber selulosa. Agar pemanfaatan sludge tepat sesuai dengan penggunaannya, maka diperlukan informasi mengenai karakteristiknya.
9 Bahan dan Metode Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah sludge yang diperoleh dari PT. Indah Kiat Pulp and Paper-Serang (Gambar 2). Sludge dikeringkan hingga mencapai kadar air kering udara (4-6 %). Sludge yang telah kering udara biasanya berbentuk gumpalan-gumpalan sehingga harus dihancurkan menjadi serat-serat yang terpisah dengan alat disk mill. Bahan kimia yang digunakan antara lain asam sulfat 95% (H2SO4), etanol, benzena, sodium klorit (NaClO2), asam asetat glasial (CH3COOH), sodium hidroksida (NaOH), air destilata dan asam klorida (HCl).
Gambar 2 Sludge yang terkumpul di industri Metode Perlakuan Purifikasi Perlakuan purifikasi dilakukan umtuk isolasi komponen selulosa pada sludge primer mengacu pada metode Fahma et al. (2010). Pertama, sludge diekstraksi dengan larutan etanol/benzena (1:2 v/v) melalui ekstraksi soklet selama 48 jam, untuk menghilangkan komponen ekstraktif (resin, minyak, lemak dan wax). Selanjutnya serat dicuci dengan etanol untuk menghilangkan benzena, dilanjutkan dengan pencucian dengan air destilata. Setelah itu dilakukan bleaching dengan larutan sodium klorit 1.25 % pada suasana asam (pH = 4-5). Perlakuan bleaching dilakukan pada suhu 70°C selama 4 jam. Serat dicuci secara berulang dengan air destilata hingga pH mencapai netral. Kemudian serat diekstraksi dengan larutan sodium hidroksida 17.5 % selama 2 jam pada suhu 20°C, dan dicuci beberapa kali dengan air destilata untuk menghilangkan alkali. Terakhir, serat diekstraksi dengan larutan asam klorida 1M untuk menghilangkan bahan anorganik. Serat dicuci secara berulang dengan air destilata hingga pH mencapai netral dan selanjutnya dikeringkan pada suhu 50°C. Analisis Sifat Morfologi Sludge diberi warna dengan perendaman didalam larutan safranin. Seratserat yang utuh selanjutnya disusun di atas gelas objek dan ditutup dengan cover glass, kemudian dilakukan pengukuran dimensi serat. Dimensi serat yang diukur meliputi diameter lumen, tebal dinding sel, serta panjang dan diameter serat. Morfologi serat diamati dengan menggunakan SEM (JEOL JSM-6510 LV, Japan) pada resolusi 20 kV.
10 Analisis Komponen Kimia Sludge Komposisi kimia pada sludge (sebelum dan setelah purifikasi) ditentukan dengan mengacu pada standar Technical Association of the Pulp and Paper Industry (TAPPI). Kadar ekstraktif ditentukan dengan mengacu pada standar TAPPI nomor T204 om-88 (TAPPI 1988), kadar abu mengacu pada standar TAPPI nomor T211 om-93 (TAPPI 1993), dan kadar lignin mengacu pada TAPPI T222 om-88 (TAPPI 1988). Kadar holoselulosa (α-selulosa + hemiselulosa) ditentukan melalui perlakuan sodium klorit (Browning 1967), dan kadar αselulosa dilakukan melalui perlakukan dengan larutan sodium hidroksida (Browning 1967); perbedaan antara nilai holoselulosa dan α-selulosa merupakan kadar hemiselulosa. Untuk analisis senyawa kimia sludge, sebanyak 2 mg sampel serbuk kayu berukuran 60 mesh dimasukkan kedalam kapsul seal. Selanjutnya identifikasi dilakukan dengan menggunakan pyrolisis (Frontier Lab, Sink Shot Pyrolizer PY 2020) dan Gas Chromatograph-Mass Spectrometer/GCMS (Shimadzu GCMS QP 2010). Analisis Struktur Mikro Analisis ikatan gugus fungsi molekul dan perubahan pita serapan dilakukan dengan menggunakan ABB MB 3000 (Reliable FTIR Laboratory Analyser, Canada) pada bilangan gelombang 4450-500 cm−1 dengan resolusi 4 cm−1. Analisis sampel dilakukan dengan menempatkan 2 mg sampel dalam serbuk KBr (0.4 g) untuk selanjutnya dibuat KBr-IR pellet. Seluruh spektra akan terekam pada kondisi suhu ruang. Secara khusus prosedur ini menghasilkan data spektra hubungan antara absorbansi dan bilangan gelombang. Untuk mengetahui kristalinitas, struktur dan indeks miller dari serat digunakan instrumen X-Ray Diffraction/XRD (Shimadzu XRD-7000 MaximaX, Japan) pada 40 kV dan 30 mA, sudut 10°-40° dengan filter Ni radiasi CuKα (λ=1.54060 Å) serta analisis JCPDS. Kemampuan sludge dalam menerima panas direpresentasikan dari pengujian Thermogravimetry Analysis (TGA). Sampel ditimbang sekitar 10 mg, kemudian dimasukkan ke dalam crucible. Crucible berisi sampel ditempatkan pada chamber pengujian dengan program pemanasan dari 50°C hingga 600°C dengan kecepatan kenaikan suhu 10°C/menit dan kecepatan aliran gas nitrogen 50 mL/menit. Kemudian ditahan (isothermic) selama 5 menit pada suhu 600°C dan pemanasan dilanjutkan kembali hingga 900°C pada lingkungan gas oksigen dengan kecepatan aliran gas oksigen 50 mL/menit. Diagram alir penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.
11
Gambar 3 Diagram alir karakterisasi sludge Hasil dan Pembahasan Morfologi Sludge Pengamatan secara makroskopis terhadap limbah sludge disajikan pada Gambar 4. Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi serat disajikan pada Gambar 5. Terlihat bahwa limbah sludge masih didominasi oleh serat utuh dengan ukuran yang bervariasi. Panjang serat yang diperoleh dari pengukuran terhadap 200 sampel sludge (Lampiran 1) berkisar antara 666.805884.51 mikron dan diameter serat berkisar antara 8.34-50.04 mikron. Diameter lumen berkisar antara 1.39-38.92 mikron dan tebal dinding sel berlisar antara 1.39-15.75 mikron. Berdasarkan klasifikasi panjang serat menurut International Association of Wood Anatomy, maka sludge yang diteliti memiliki panjang serat bervariasi mulai dari serat pendek (0-900 mikron), serat sedang (900-1600 mikron) dan serat panjang (cukup panjang = 1600-2200 mikron, sangat panjang = Miller (1999) 2200-3000 mikron, dan teramat panjang >3000 mikron). menyebutkan bahwa rata-rata panjang serat dari jenis kayu hardwood adalah sekitar 1000 mikron, dan 3000-8000 mikron dari jenis softwood. Sedangkan diameter serat biasanya berkisar antara 15-45 mikron. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa bahan baku yang digunakan dalam industri pulp dan kertas tersebut merupakan serat campuran dari jenis hardwood dan softwood. Bervariasinya ukuran panjang sludge karena PT Indah Kiat Pulp and Paper (Serang) yang memproduksi kertas medium dan liner (bahan carton box) menggunakan bahan baku serat yang terdiri dari pulp murni (virgin pulp) dan kertas bekas (waste paper).
12
Gambar 4 Sludge (a) perbesaran 10x, (b) perbesaran 45x Pulp asli yang digunakan pada perusahaan tersebut antara lain: 1) leaf bleached kraft pulp, yaitu pulp yang berasal dari tumbuhan yang memiliki serat pendek; 2) needle bleached kraft pulp, yaitu pulp serat panjang yang sudah mengalami proses pemutihan; 3) needle unbleched kraft pulp, yaitu pulp serat panjang yang tidak mengalami proses pemutihan; 4) bleach chemi thermo mechanical pulp, yaitu pulp serat panjang yang diproses secara thermo mekanis dan telah mengalami proses pemutihan. Adapun kertas bekas yang digunakan sebagai bahan baku terdiri dari 2 jenis, yaitu pre consumerized dan post consumerized. Pre consumerized merupakan kertas bekas yang belum pernah dipakai oleh konsumen seperti broke dan sisa yang berasal dari mesin kertas. Sedangkan post consumerized adalah kertas yang sudah sampai kepada konsumen dan telah digunakan, tapi tidak terpakai lagi seperti kertas koran bekas. kertas majalah bekas. American old corrugated carton dan local old corrugated carton. Semua bahan baku tersebut diperoleh melalui pengadaan secara impor maupun diperoleh dari lokal (PT. Indah Kiat Pulp and Paper 2011). Dari pengukuran terhadap 200 sampel sludge, didominasi oleh serat sedang dan serat panjang. Dengan demikian sludge memiliki potensi sebagai penguat yang dapat meningkatkan kekuatan dan kekakuan komposit, karena panjang serat sangat berpengaruh terhadap kekuatan komposit. Brady dan Clavier (1991) menyatakan bahwa serat sebagai penguat harus memiliki panjang sekurang-kurangnya 100 kali diameter atau lebarnya untuk mendapatkan penguatan komposit yang optimal. Karena tegangan yang dikenakan terhadap produk komposit pada awalnya akan diterima oleh matriks, kemudian diteruskan pada serat yang akan menahan beban sampai beban maksimum. Perlakuan awal yang diberikan pada sludge juga dapat mempengaruhi sifat serat tersebut. Gambar 5(a) menunjukkan bahwa sludge tanpa perlakuan awal, selain mengandung serat juga terlihat adanya partikel-partikel kecil pengotor. Perlakuan purifikasi pada sludge dapat mengurangi bahan pengotor tersebut (Gambar 5(b)).
Gambar 5 Foto SEM pada sludge:(a) tanpa perlakuan dan (b) perlakuan purifikasi
13 Komponen Kimia Sludge Sifat kimia diperlukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku, sehingga dapat menentukan perlakuan terhadap bahan baku apakah memerlukan pretreatment atau tidak. Hasil analisis sifat kimia sludge disajikan pada Tabel 1. Sedangkan komponen kimia yang terdapat pada sludge berdasarkan pengujian EDS disajikan pada Tabel 2. Komponen kimia zat terlarut dari sludge lebih tinggi dibandingkan dengan standar TAPPI untuk pulp. Zat terlarut dalam etanol benzena adalah resin, lemak, lilin dan tanin, sedangkan zat terlarut dalam NaOH adalah lignin, pentosan dan heksosan. Tingginya nilai zat terlarut dalam sludge tersebut karena pada saat proses pulping zat terlarut yang terkandung pada serat bahan baku menyatu dengan bahan kimia lainnya. Proses produksi yang dilakukan di PT Indah Kiat Pulp and Paper (Serang) menggunakan 2 kelompok bahan kimia, yaitu bahan kimia fungsional dan bahan kimia pengendali. Bahan kimia fungsional yang biasa ditambahkan antara lain sizing agent, dry strength agent, wet strength agent, filler, dye dan NaOH berfungsi untuk meningkatkan sifat yang berhubungan dengan kekuatan kertas. Sedangkan bahan kimia pengendali ditambahkan untuk mengendalikan proses dan faktor yang dapat mengganggu hasil produksi seperti munculnya pitch, busa dan stime yang menyebabkan terjadinya lubang pada kertas. Bahan kimia pengendali antara lain retention agent, bahan anti pitch dan anti busa. Tabel 1 Komposisi kimia sludge primer Komponen Sludge primer Ekstraktif (%) Holoselulosa (%) Hemiselulosa (%) Alpha-selulosa (%) Lignin (%) Abu (%)
4.49 60.37 20.49 39.87 21.62 33.47
Sludge primer setelah purifikasi 0.61 89.22 12.88 76.34 2.76 4.96
Data pengujian EDS yang bertujuan untuk mengetahui komposisi unsur sludge sebelum dan setelah proses purifikasi disajikan pada Gambar 6 dan Tabel 2. Sludge yang telah mengalami purifikasi menunjukkan adanya peningkatan massa unsur makro C dan O (sebagai unsur penyusun utama selulosa) serta penurunan unsur anorganik terutama pada unsur Ca (Tabel 2). Unsur Ca merupakan penyusun senyawa kalsium karbonat, sebagaimana dinyatakan oleh Girones et al. (2010) bahwa sludge terdiri dari dua komponen; fine fibers dan bahan anorganik (seperti kaolin, tanah liat dan kalsium karbonat). Hilangnya unsur Ca yang ditunjukkan pada Gambar 6 (b) mengindikasikan bahwa perlakuan purifikasi mampu untuk menghilangkan bahan anorganik.
14
Gambar 6 EDS sludge primer (a) sebelum dan (b) setelah purifikasi Tabel 2 Komposisi unsur sludge primer Unsur Sebelum purifikasi keV Massa (%) Galat (%) C 0.277 38.58 0.07 O 0.525 43.65 0.31 Al 1.486 1.11 0.15 Si 1.739 1.50 0.16 S 2.307 0.41 0.15 Ca 3.690 10.63 0.34 Zr 2.042 4.12 0.48
Setelah purifikasi Massa (%) Galat (%) 45.00 0.08 46.97 0.30 1.29 0.18 1.32 0.19 0.31 0.18 0.25 0.40 4.86 0.56
Analisis Infrared Sludge Spektra inframerah pada sludge, sebelum dan setelah purifikasi ditunjukkan pada Gambar 7. Pada puncak sekitar 3410-3448 cm-1 yang terdapat pada semua sampel merupakan representasi dari gugus OH. Sedangkan pada puncak sekitar 1643 cm-1 pada semua sampel merupakan representasi dari deformasi akibat H2O yang menyebabkan penyerapan air. Kedua puncak tersebut menggambarkan adanya ikatan hidrogen dan bending gugus hidroksil pada struktur selulosa sebagai indikasi bahwa komponen selulosa tidak hilang selama perlakuan kimia (Johar et al. 2012). Puncak utama yang menunjukkan adanya perubahan pada sampel adalah puncak-puncak pada 1798 cm-1 dan 1420 cm-1. Puncak pada 1798 cm-1 yang terdapat pada sludge merupakan representasi dari acetyl dan gugus ester uronic pada hemiselulosa atau ikatan ester gugus karboksilat pada asam ferulic dan p-coumaric pada lignin. Puncak ini mengalami penurunan pada sampel yang mengalami perlakuan purifikasi, menunjukkan bahwa telah terjadi pemutusan ikatan ester dari komponen non-selulosa (Zuluaga et al. 2009; Johar et al. 2012). Sementara itu puncak pada 1420 cm-1 yang merupakan representasi berbagai komponen lignin serta deformasi C-H selulosa dan lignin menunjukkan penurunan yang signifikan pada sampel yang mengalami purifikasi akibat bleaching pada proses purifikasi (Zuluaga et al. 2009; Fahma et al. 2010). Puncak 750 cm-1 dan 710 cm-1 dalam spektra FTIR pada selulosa merupakan representasi dari selulose I, Iα and Iβ. Sementara itu hanya puncak 710 cm-1 yang dapat terlihat pada sludge, yang mengindikasikan bahwa selulosa Iβ kristal polimorf lebih dominan pada sludge daripada selulosa Iα (Zuluaga et al.
15 2009; Fahma et al. 2011). Tetapi pada sludge terpurifikasi, puncak pada 710 cm-1 tidak terdeteksi, mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan tipe selulosa.
Gambar 7 Spektra inframerah sludge primer sebelum dan setelah purifikasi Analisis Difraksi X-Ray Pola difraksi x-ray pada Gambar 8 menunjukkan bahwa sludge terdiri dari 2 fasa, yaitu fasa selulosa dan fasa kalsium karbonat (dari penelusuran Join Masingcommittee on Powder Diffraction Standards/JCPDS (Lampiran 1)). masing dengan puncak-puncak dominan muncul pada daerah sudut 2θ antara 15° – 25° (selulosa) dan 29°- 40° (kalsium karbonat). Selulosa tersebut merupakan tipe I yang memiliki sistem struktur kristal monoklinik dengan a = 7.87, b =10.31, c=10.13 dan α=γ=900, β = 120 dengan kristalinitas 49.32 %. Temuan ini menguatkan pernyataan Girones et al. (2010), bahwa sludge terdiri dari dua komponen yaitu serat selulosa halus dan bahan anorganik (seperti kaolin, tanah liat dan kalsium karbonat). Serat selulosa tersusun dari daerah kristalin dan daerah amorf yang masing-masing ditunjukkan oleh sudut 2θ = 220 dan 150. Bagian amorf adalah representasi keberadaan lignin dan hemiselulosa di dalam serat. Hilangnya fasa kalsium karbonat akibat proses kimia/ekstraksi menunjukkan bahwa perlakuan kimia tersebut dapat menghasilkan serat selulosa yang relatif murni. Tiga puncak pada 2θ (hkl) = 15.78° (1 ̅10), 17.90° (110) dan 23.01°(200) menunjukkan bahwa hanya selulosa I yang terdapat pada sludge primer (simpelmonoklinik). Pada serat yang mengalami proses purifikasi terjadi perubahan puncak, yaitu pada 2θ (hkl) = 12.34o (1 ̅10) dan puncak kritalin yang bercabang menjadi 2 puncak pada 2θ (hkl) = 19.95 (110) dan 2θ (hkl) = 21.85 (200), mengindikasikan pembentukan struktur selulosa II (BC-monoklinik) (Yue 2011; Neto et al. 2013). Perubahan ini terjadi karena dalam proses purifikasi dilakukan perlakuan alkali/sodium hidroksida, sebagaimana dilaporkan oleh Yue (2011) dan Zugenmaier (2008) bahwa selulosa tipe I dapat diubah menjadi selulosa tipe II dengan perlakuan menggunakan alkali/sodium hidroksida. Perubahan ini memberikan keuntungan karena selulosa II memiliki faktor tumpukan yang lebih tinggi daripada selulosa I, sehingga lebih stabil dan memiliki sifat mekanik, daya
16 hantar panas serta listrik yang lebih baik ketika digunakan sebagai penguat untuk komposit (Yue 2011). Kristalinitas pada sludge terpurifikasi adalah 47.94 %.
Gambar 8 Difraksi X-ray pada sludge primer sebelum dan setelah purifikasi Analisis Sifat Panas Sludge Pengujian TGA dilakukan untuk mengetahui respon bahan (sludge) terhadap panas, yaitu penurunan massa/berat akibat peningkatan suhu. Gambar 9 menunjukkan termogram TGA sludge sebelum dan setelah purifikasi. Pada proses pemanasan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan adanya perubahan dalam kapasitas termal bahan tersebut. Analisa termal ini digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika (penguapan) dan perubahan kimia (dekomposisi) suatu bahan yang ditunjukkan dengan penyerapan panas (endotermik) untuk mencairkan bahan dan pelepasan panas (eksotermik) untuk menguapkan bahan. Tahapan penurunan berat sludge akibat panas dimulai dengan perubahan berat karena penguapan air dalam serat, yaitu pada kisaran suhu 500C-1500C. Tahapan ini pada sludge sebelum purifikasi mengakibatkan hilangnya berat bahan sekitar 8% sementara pada sludge setelah purifikasi hanya 3.23%. Tahap berikutnya adalah terjadinya perubahan berat yang disebabkan oleh kerusakan awal pada sludge pada suhu antara 200-3500C. Menurut Onggo et al. (2005) pada tahap ini komponen didalam serat mengalami pemecahan rantai karbon yang diikuti dengan keluarnya zat volatil seperti karbondioksida, hidrokarbon dan gas hidrogen. Komponen dengan berat molekul lebih rendah akan mengalami degradasi terlebih dahulu dibandingkan komponen dengan berat molekul lebih tinggi. Dengan demikian pada serat degradasi diawali oleh komponen hemiselulosa, lignin baru kemudian selulosa yang membentuk arang. Selanjutnya perubahan berat terjadi akibat reaksi oksidasi bahan sisa (arang) yang diikuti oleh proses terbakarnya karbon menjadi abu, yaitu terjadi pada suhu antara 400-6000C. Pada proses pengabuan tersebut terjadi penurunan berat sebesar 61.44% pada sludge sebelum purifikasi dan 56.04% pada sludge setelah purifikasi. Selanjutnya pada suhu 6000C terjadi penurunan berat sebesar 16.21% pada sludge sebelum purifikasi dan 13.48% pada sludge setelah purifikasi yang merupakan residu organik. Terlihat bahwa pada setiap tahapan hilangnya bahan pada sludge setelah purifikasi lebih kecil daripada sludge sebelum purifikasi. Hal ini menunjukkan
17 bahwa sludge yang telah mengalami purifikasi lebih stabil, sebagai akibat dari hilangnya sebagian hemiselulosa, lignin dan pektin pada proses purifikasi (Santos et al. 2013).
Gambar 9
Termogram TGA pada sludge primer a) sebelum dan b) setelah purifikasi
Analisis GCMS sludge Untuk mengetahui komponen yang terkandung dalam sludge dilakukan ananisis dengan GCMS. Hasil analisis GCMS pada Tabel 3 menunjukkan bahwa sludge terdiri dari 48 jenis senyawa kimia yang didominasi oleh senyawa kimia yang bersifat asam, diantaranya Cyclopentanetrione, Anhydro-beta-DGlucopyranose, Acetic acid dan methyl ester (CAS) Methyl acetate. Tabel 3 Senyawa kimia sludge berdasarkan pengujian GCMS 1
Waktu retensi 2.92
Konsetrasi Nama senyawa % 3.5 7 Carbamic acid, monoammonium salt (CAS) Ammonium carbamate
2
3.072
1.68 Butanal, 3-methyl- (CAS) 3-Methylbutanal
3
3.147
3.31 1,1-Dimethyldiborane-D10
4
3.383 3.730
5.28 Acetic acid, anhydride (CAS) Acetic oxide
Puncak
5 6 7
3.882
1.90 Methanol,(methyl-onn-azoxy), acetate (ester)(CAS) Methylazoxymethanol 1.52 N,N-Dimethyl-Hydroxylamin
4.032
1.35
2-Butanone, 3-methyl- (CAS) 3-Methyl-2-butanone
18 Tabel 3 (Lanjutan) Puncak 8
Waktu retensi 4.274
Konsetrasi Nama senyawa % 4.86 Acetic acid (CAS) Ethylic acid
9
8.777
10
10.305
1.30 2-Furancarboxaldehyde (CAS) Furfural
11
12.148
1.25 Styrene
12
13.264
2.14 1,2-Cyclopentanedione
13
13.862
0.34 2-pentenoic acid
14
14.141
0.59 1-Octene (CAS) Caprylene
15
14.616
0.54 4-Methylenecyclohexanone
16
15.073
2.05 2,4-Imidazolidinedione, 3-methyl- (CAS) 3-Methylhydantoin
17
15.638
0.89 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl- (CAS) Corylon
18
15.841
0. 70 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl- (CAS) Corylon
29
16.261
0.31 1H-Imidazole, 1-(1-oxopentyl)- (CAS) 1-Valerylimidazole
20
17.029
1.28 2,3-Dihydro-5-hydroxy-6-methyl-4H-pyran-4-one
21
17.365
1.25 Cyclopropyl carbinol
22
17.472
0.31 2-Methyl-1,3-cyclohexanedione
23
17.647
1.47 2-Furanmethanol (CAS) Furfuryl alcohol
24
17.912
0.52 2,4(3H,5H)-Furandione, 3-methyl- (CAS) .Alpha.-Methyltetronic Acid
25
18.429
0.32 7-methyl-1,4-dioxaspiro[2.4]heptan-5-one
26
18.553
0.66 1,3-Cyclopentanedione, 4-hydroxy-2-methyl- (CAS) 2-Methyl 4-Hydroxy
27
18.832
0.39 N,1,3-Trimethylcyclopentylamine
28
19.147
4.41 1-Octene (CAS) Caprylene
29
19.603
1.03 2-Propenoic acid, 2-methyl-, ethyl ester (CAS) Ethyl methacrylate
30
19.872
2.86 2-Furancarboxaldehyde, 5-(hydroxymethyl)- (CAS) HMF
31
20.58
32
20.847
0.90 Phenol, 4-ethenyl-2-methoxy
33
21.236
1.46 2-Heptanol, acetate (CAS) 2-Heptyl Acetate
34
21.555
0.43 Benzene, (3-ethenyl-5,5-dimethylhexyl)- (CAS) Hexane, 2,2-Dimethyl-6-P
35
21.720
0.27 Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol
36
22.635
37
23.217
38
23.874
0.51 Benzaldehyde, 4-hydroxy-3-methoxy- (CAS) Vanillin 0.49 Phenol, 2-methoxy-3-(2-propenyl)- (CAS) Phenol, 3-allyl-2-methoxy(CAS) 3 0.29 Ethanone, 1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS) Acetovanillone
39
24.797
26.20 1,2,4-Cyclopentanetrione, 3-(2-pentenyl)- (CAS) 3,2-Pentenyl-1,2,4-Cycl
40
24.968
10.51 1,6-Anhydro-Beta-D-Glucopyranose (Levoglucosan)
41
25.405
0.43 Alpha.-.Beta.-D-Ribopyranose, 1,3-Di-O-Acetyl-
42
25.964
3.00 1,6-Anhydro-Beta-D-Glucofuranose
43
26.524
0.49 Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)- (CAS) 4-Allyl-2,6 dimethoxyphenol
44
27.174
0.32 Phenol, 4-(3-hydroxy-1-propenyl)-2-methoxy- (CAS) Coniferyl alcohol
45
30.470
0.34 3-Pentanone, 1,5-diphenyl- (CAS) 1,5-Diphenyl-3-pentanone
46
32.192
1.20 1-Penten-3-One, 1,5-Diphenyl-
47
33.456
0.43 3-Pentanone, 1,5-diphenyl- (CAS) 1,5-Diphenyl-3-pentanone
48
36.139
0.57 Benzonitrile, m-phenethyl- (CAS) M-Cyano-1,2-Diphenylethane
1.06 Propanoic acid, 2-oxo-, methyl ester (CAS) Methyl pyruvate
1. 77 Guanosine (CAS) Guo
19 Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sludge masih didominasi oleh serat utuh dengan ukuran yang bervariasi, yaitu berkisar antara 666.80-5884.51 mikron dan diameter serat berkisar antara 8.34-50.04 mikron. Sludge memiliki kadar selulosa 39.87% dan kadar abu 33.47%. Perlakuan purifikasi terhadap sludge primer telah mengurangi bahan non-selulosa seperti lignin, hemiselulosa dan bahan anorganik, sehingga meningkatkan kadar selulosanya menjadi 76.34 %. Perlakuan purifikasi ini juga menyebabkan perubahan selulosa I menjadi selulosa II. Hasil pengujian TGA menunjukkan bahwa pada setiap tahapan hilangnya bahan pada sludge setelah purifikasi lebih kecil daripada sludge sebelum purifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sludge yang telah mengalami purifikasi lebih stabil terhadap panas, sebagai akibat dari hilangnya sebagian hemiselulosa, lignin dan pektin pada proses purifikasi.
20
3 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOSELULOSA DARI SLUDGE PRIMER Pendahuluan Purifikasi pada sludge mengakibatkan berkurangnya bahan anorganik, sehingga meningkatkan kadar selulosanya dari 39.87 % menjadi 76.34 %. Dengan demikian purifikasi dapat menghasilkan serat yang relatif murni dari sludge primer, sehingga dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan nanoselulosa. Nanoselulosa merupakan selulosa yang mengalami perlakuan pemisahan serat menjadi mikrofibril-mikrofibril dengan kisaran diameter 10-100 nm dan panjang beberapa mikrometer (Spence et al. 2011; Winuprasith dan Suphantharika 2013). Mikrofibril selulosa mulai dikembangkan oleh Turbak et al. (1983) melalui perlakuan homogenisasi, Istilah mikrofibril selulosa kemudian dikenal juga dengan istilah nanofibrillar cellulose/nanofibril selulosa, cellulose nanofibers, cellulose nanofibrils/selulosa nanofibril dan nanoselulosa (Siró dan Plackett 2010). Hingga saat ini nanoselulosa selulosa merupakan bahan yang diminati karena memiliki karakteristik, antara lain memiliki luas permukaan spesifik, kekuatan dan kekakuan yang tinggi, memiliki berat yang rendah, bersifat biodegradable dan renewable (Winuprasith dan Suphantharika 2013). Karakteristik tersebut membuat nanoselulosa selulosa memiliki sifat mekanik yang baik, sehingga berpotensi digunakan pada industri komposit, otomotif, pulp dan kertas, elektronik, cat dan coating, dan lain-lain. Kelebihannya sebagai penguat pada komposit selain mengurangi penggunaan komponen berbasis minyak bumi juga mengurangi abrasi pada komponen seperti baja dan keramik (Nakagaito dan Yano 2004; Siqueira et al. 2010; Siró dan Plackett 2010; Spence et al. 2011; Moberg dan Rigdahl 2012). Nanoselulosa dapat dihasilkan melalui beberapa metode, terutama metode mekanik seperti homogenisasi, microfluidization, microgrinding, refining, ultrasonikasi, cryocrushing dan electrospinning Metode refining (penggilingan) dengan disk refiner biasanya dilakukan pada tahap awal untuk mengurangi panjang serat/defibrilasi, terutama sebelum perlakuan homogenisasi dengan high press homogenization. Pada perlakuan homogenisasi seringkali serat menyumbat sistem alat (pada katup in-line), sehingga dilakukan penggilingan dengan disk refiner untuk mengurangi panjang serat. Perlakuan penggilingan saja tidak cukup untuk menghasilkan serat hingga ukuran nano, sehingga harus dikombinasikan dengan perlakuan lain. Metode ultrasonikasi dilakukan untuk memisahkan serat yang terdapat dalam media air melalui proses kavitasi. Proses kavitasi efektif untuk membuka struktur pada serat yang telah mengalami perlakuan penggilingan dan melepaskan mikrofibril yang membentuk dinding sel serat (Spence et al. 2011; Lavoine et al. 2012; Tonoli et al. 2012). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk membuat produk nanoselulosa dari sludge. Sludge terdiri dari serat (50-60 %) dan bahan anorganik seperti mineral dan abu (Mehmood et al. 2010), sehingga memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif sumber selulosa. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan nanoselulosa dari sludge primer beserta karakterisasinya melalui tiga metode. Pertama adalah metode penggilingan dengan grinder, kedua metode kombinasi perlakuan penggilingan (dengan disk
21 refiner) dan ultrasonikasi dan yang ketiga adalah metode kombinasi hidrolisis asam dan ultrasonikasi. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sludge primer dalam kondisi kering udara. Selanjutnya, gumpalan sludge kering ini diurai dengan disk mill untuk menghasilkan serat individu. Serat selulosa diperoleh melalui tahap ekstraksi yang mengacu pada penelitian Fahma et al. (2010), meliputi ekstraksi dengan etanol-benzena, penghilangan lignin dengan sodium klorit, penghilangan hemiselulosa melalui ekstraksi dengan natrium hidoksida 17.5% dan penghilangan bahan anorganik dengan asam klorida. Metode Pembuatan Nanoselulosa Menggunakan Grinder Serat hasil purifikasi dimasukkan ke dalam alat grinder, kemudian dilakukan penggilingan dengan variasi waktu 30, 60 dan 90 menit. Pembuatan Nanoselulosa Menggunakan Kombinasi Disc Refiner dan Ultrasonikasi Sebanyak 100 gram serat hasil ekstraksi direndam didalam 1000 ml air selama ±24 jam. Selanjutnya campuran serat dan air tersebut digiling dengan disk refiner dan secara bertahap ditambahkan ±11000 ml air hingga volumenya mencapai 12000 ml. Variasi penggilingan dilakukan pada 10, 20 dan 30 siklus, setelah penggilingan dilakukan ultrasonikasi, yaitu dengan mengambil 100 ml hasil penggilingan yang diencerkan dengan 100 ml akuades hingga terbentuk slurry. Variasi waktu ultrasonikasi adalah 60, 90 dan 120 menit pada amplitudo 50%. Pembuatan Nanoselulosa Menggunakan Kombinasi Hidrolisi Asam dan Ultrasonikasi Serat selulosa yang telah mengalami pemurnian dihidrolisis dengan larutan asam sulfat 40, 50 dan 60 % pada suhu 45 °C selama 30 dan 60 menit dengan putaran konstan (perbandingan serat dengan larutan 1:20). Hidrolisis dihentikan dengan penambahan air destilata dingin, kemudian dilakukan sentrifuse berulang pada 800 rpm hingga tercapai pH konstan. Kemudian dilakukan ultrasonikasi selama 30 menit pada amplitudo 50 %. Karakterisasi Nanokristalin Selulosa Morfologi serat dan mikrofibril dikarakterisasi dengan scanning electron mycroscope (SEM) tipe JEOL-JSM-6510LV. Dalam analisis morfologi ini, sampel serat diletakkan pada carbontape yang ditempelkan pada pemegang sampel berdiameter 1 cm. Sampel di lapisi dengan emas pada alat coating, kemudian dimasukkan ke alat SEM dan dipindai pada tegangan 15 kV. Untuk mengetahui jenis dan persentase relatif kandungan unsur pada sampel digunakan Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDS). X-Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk menentukan kristalinitas serat dan mikrofibril selulosa, mengetahui fasa dan bahan aditif yang terdapat dalam sludge. Sampel diletakkan diatas gelas pegangan sampel dan dianalisis dibawah kondisi ruang. Difraktogram
22 XRD direkam dengan seri Shimadzu XRD-7000 MaximaX. Radiasi NI disaring dengan CuKα pada bilangan gelombang 1.54060 A. X-ray dioperasikan pada voltase 40 kV dan 30 mA, sudut pindai 2θ sebesar 10-40° setiap 2°/menit. Data RD yang diperoleh digunakan untuk menghitung ukuran kristal sampel dengan menggunakan persamaan Scherrer (Langford dan Wilson 1978) sebagai berikut : 𝑘. 𝜆 𝐷= 𝐵. 𝑐𝑜𝑠 𝜃 dimana D adalah ukuran kristal (nm), k adalah konstanta dengan nilai 0.9, λ adalah bilangan gelombang 1.54, B adalah nilai FWHM (Full Wide Half Maximum) dan ɵ adalah sudut difraksi.
Pengujian fourier transform infrared (FTIR) dilakukan dengan menggunakan ABB MB 3000 (Reliable FTIR Laboratory Analyser, Canada) pada bilangan gelombang 4450-500 cm−1 dengan resolusi 4 cm−1. Ukuran dan distribusi nanokristalin selulosa diukur dengan menggunakan VASCO Particle Size Analyzer (Cordouan Technologies, France). Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Diagram alir pembuatan nanoselulosa dari sludge primer Hasil dan Pembahasan Morfologi Nanoselulosa Metode Grinding Penggilingan dengan grinder dilakukan pada dua kondisi, yaitu sludge tanpa perlakuan purifikasi dan sludge yang mengalami purifikasi (Gambar 11). Sludge tanpa perlakuan purifikasi berwarna kecoklatan karena didalamnya masih
23 terkandung lignin dengan kadar 21.62 %. Perlakuan purifikasi menghasilkan sludge yang berwarna lebih cerah/pucat karena berkurangnya kadar lignin menjadi 2.76 %.
Gambar 11 Sludge (a) sebelum dan (b) setelah purifikasi Analisis DLS digunakan utuk menentukan distribusi statistik partikel pada sludge sebelum dan setelah purifikasi. Gambar 12 menunjukkan kurva penyebaran ukuran berdasarkan jumlah (number) pada sludge (sebelum dan setelah purifikasi) yang diberi perlakuan grinding. Setelah dilakukan pengukuran pada jutaan partikel, rata-rata ukuran partikel pada sludge tanpa purifikasi yang digiling selama 30, 60 dan 90 menit berturut-turut berukuran 925.05 nm, 823.05 nm dan 447.22 nm. Sementara pada sludge terpurifikasi ukuran partikel yang dihasilkan lebih kecil lagi yaitu 253.71 nm, 71.53 nm dan 103.85 nm pada waktu penggilingan 30, 60 dan 90 menit. Ukuran dibawah 100 nm diperoleh pada kondisi sludge terpurifikasi dengan waktu penggilingan 60 menit. Setelah dilanjutkan penggilingan hingga 90 menit ternyata tidak menghasilkan ukuran yang lebih kecil, justru ukurannya meningkat dengan rata-rata ukurannya adalah 103.85 nm. Peningkatan ukuran ini karena semakin lama digiling sludge mengalami penggumpalan. Dengan demikian metode grinding belum mampu untuk menghasilkan nanoselulosa dibawah ukuran 100 nm, karena pada penggilingan 60 menit ukuran serat juga masih heterogen, ditunjukkan oleh adanya endapan didalam slurry.
Gambar 12 Distribusi ukuran partikel pada sludge yang mengalami perlakuan: (a) penggilingan 30 menit, (b) penggilingan 60 menit, (c) penggilingan 90 menit, (d) purifikasi dan penggilingan 30 menit, (e) purifikasi dan penggilingan 60 menit dan (f) purifikasi dan penggilingan 90 menit
24 Metode Kombinasi Perlakuan Penggilingan (Dengan Disk Refiner) dan Ultrasonikasi Gambar 13 menunjukkan sludge hasil perlakuan kombinasi penggilingan dengan disk refiner dan ultrasonikasi. Serat berwarna putih menunjukkan serat tanpa lignin. Peningkatan ultrasonikasi meningkatkan dispersi selulosa di dalam slurry. Hanya saja masih terdapat serat yang mengendap didalam slurry tersebut yang mengindikasikan bahwa sebagian ukuran serat masih dalam skala mikron.
Gambar 13 Selulosa setelah (a) penggilingan 30 kali; (b) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 60 menit; (c) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 90 menit dan (d) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 120 menit Morfologi selulosa setelah perlakuan pengilingan dan ultrasonikasi disajikan pada Gambar 14. Semakin lama perlakuan penggilingan dan waktu ultrasonikasi, maka semakin kecil ukuran diameter selulosa yang dihasilkan. Setelah penggilingan 10 putaran diperoleh ukuran diameter serat sekitar 3.533 µm dengan ultrasonikasi selama 60 menit, dan 1,809 µm dengan ultrasonikasi 120 menit. Sementara pada penggilingan 30 putaran dihasilkan diameter serat sekitar 2.201 µm dengan ultrasonikasi 60 menit dan 0.284 µm dengan ultrasonikasi 120 menit. Perlakuan penggilingan adalah untuk melakukan fibrilasi selulosa melalui gaya gesek. Sementara metode ultrasonikasi adalah dengan menggunakan gelombang ultrasonik untuk menghasilkan tegangan mekanik yang kuat yang dapat menyebabkan kavitasi. Kavitasi adalah peristiwa pembentukan, pertumbuhan dan meledaknya gelembung di dalam cairan yang melibatkan sejumlah energi yang sangat besar, sehingga menghasilkan efek panas yang menyebar kedalam suspensi. Fenomena tersebut yang dimanfaatkan untuk memisahkan serat selulosa kedalam bentuk yang lebih kecil (Chen et al. 2011).
25
Gambar 14 Foto SEM selulosa dari sludge dengan (a) penggilingan 10 putaran, ultrasonikasi 60 menit; (b) penggilingan 10 putaran, ultrasonikasi 120 menit; (c) penggilingan 20 putaran, ultrasonikasi 60 menit; (d) penggilingan 20 putaran , ultrasonikasi 120 menit; (e) penggilingan 30 putaran, ultrasonikasi 60 menit; dan (f) penggilingan 30 putaran, ultrasonikasi 120 menit pada perbesaran 10000 dan 300 Metode Kombinasi Perlakuan Hidrolisis Asam dan Ultrasonikasi Nanoselulosa yang dihasilkan melalui proses hidrolisis dikenal dengan istilah nanokristalin selulosa/Nanocrystalline cellulose atau cellulose nanocrystal, cellulose nanowhiskers, cellulose crystallites, crystals, monocrystals, microcrystals dan microcrystallites (Johar et al. 2012). Gambar 15 menunjukkan slurry hasil hidrolisis asam pada konsentrasi 40, 50 dan 60 % yang dilanjutkan dengan proses ultrasonikasi. Pada slurry hasil hidrolisis asam 40% terdapat endapan yang menunjukkan bahwa sebagian besar selulosa masih berukuran besar, sementara pada hidrolisis asam 50 % slurry cenderung homogen tanpa adanya endapan yang merupakan indikator telah berukuran dibawah 100 nm. Serat yang dihidrolisis pada konsentrasi 60 % menghasilkan slurry yang berwarna kehitaman, menunjukkan bahwa konsentrasi asam sulfat terlalu pekat yang menyebabkan selulosa telah terhidrolisis menjadi glukosa (Aulia et al. 2013). Dengan demikian konsentrasi asam sulfat 60% tidak dapat dilakukan pada proses hidrolisis terhadap sludge, sementara pada serat kayu umumnya konsentrasi asam yang digunakan dalam proses tersebut adalah 64%.
26
a
b
c
Gambar 15 Slurry sludge hasil hidrolisis asam 40% (a), 50% (b) dan 60% (c) Gambar 16 (a dan b) menunjukkan bahwa sludge sebelum dan setelah purifikasi, memiliki diameter serat antara 6 dan 52 µm. Proses purifikasi tidak merusak struktur selulosa, dan terlihat lebih sedikit adanya pengotor. Gambar 16 (c dan d) menunjukkan nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa -60, dimana serat telah terfibrilasi dan ukurannya mengecil menjadi skala nano (dibawah 100 nm). Namun setelah pengeringan seringkali diantara individu nanokristalin selulosa menyatu kembali (terjadi penggumpalan).
Gambar 16 SEM pada sludge primer (a) sebelum dan (b) setelah purifikasi, (c) nanokristalin selulosa-30, (d) nanokristalin selulosa-60 Gambar 17 menunjukkan kurva penyebaran ukuran berdasarkan jumlah (number) pada sampel nanokristalin selulosa dalam bentuk slurry. Pada slurry hasil hidrolisis asam 40% alat PSA tidak mampu mendeteksi ukuran partikel. Sementara itu setelah dilakukan pengukuran pada jutaan partikel, rata-rata ukuran partikel pada slurry nanokristalin selulosa-30 adalah 64.32 nm dan pada slurry nanokristalin selulosa-60 adalah 54.10 nm.
Gambar 17 Distribusi ukuran partikel pada (a) nanokristalin selulosa-30 dan (b) nanokristalin selulosa-60
27 Karakteristik Nanokristalin Selulosa dari Sludge Primer
Karakteristik spektra inframerah pada sludge, serat selulosa dan nanokristalin selulosa ditunjukkan pada Gambar 18. Pada puncak sekitar 34103448 cm-1 yang terdapat pada semua sampel merupakan representasi dari gugus OH. Sedangkan pada puncak sekitar 1643 cm-1 pada semua sampel merupakan representasi dari deformasi akibat H2O yang menyebabkan penyerapan air. Kedua puncak tersebut menggambarkan adanya ikatan hidrogen dan bending gugus hidroksil pada struktur selulosa sebagai indikasi bahwa komponen selulosa tidak hilang selama perlakuan kimia (Johar et al. 2012). Puncak utama yang menunjukkan adanya perubahan pada sampel adalah puncak-puncak pada 1798 cm-1 dan 1420 cm-1. Puncak pada 1798 cm-1 yang terdapat pada sludge merupakan representasi dari acetyl dan gugus ester uronic pada hemiselulosa atau ikatan ester gugus karboksilat pada asam ferulic dan p-coumaric pada lignin. Puncak ini mengalami penurunan pada sampel yang mengalami perlakuan purifikasi, menunjukkan bahwa telah terjadi pemutusan ikatan ester dari komponen nonselulosa (Zuluaga et al. 2009; Johar et al. 2012). Kemudian pada nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60 puncak 1798 cm-1 menghilang karena hemiselulosa dapat dihilangkan melalui hidrolisis asam (Fahma et al. 2011). Sementara itu puncak pada 1420 cm-1 yang merupakan representasi berbagai komponen lignin serta deformasi C-H selulosa dan lignin menunjukkan penurunan yang signifikan pada sampel akibat bleaching pada proses purifikasi (Zuluaga et al. 2009; Fahma et al. 2010). Puncak antara 1034-1065 cm-1 dan 903910 cm-1 yang merupakan representasi C–O stretching pada selulosa, hemiselulosa, lignin dan deformasi C-H pada hemiselulosa, selulosa mengalami peningkatan pada nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60. Peningkatan spektra ini menunjukkan bahwa kandungan selulosa pada nanokristalin selulosa lebih tinggi (Johar et al. 2012; Neto et al. 2013; Silvério et al. 2013b). Puncak kecil 1273 cm-1 pada nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60 merupakan representasi dari vibrasi S=O menunjukkan reaksi esterifikasi (Fahma et al. 2010; Neto et al. 2013). Puncak 750 cm-1 dan 710 cm-1 dalam spektra FTIR pada selulosa merupakan representasi dari selulose I, Iα and Iβ. Pada semua spektra FTIR contoh uji tidak terdeteksi adanya puncak 750 cm-1. Sementara itu hanya puncak 710 cm-1 yang dapat terlihat pada sludge, yang mengindikasikan bahwa selulosa Iβ kristal polimorf lebih dominan pada sludge daripada selulosa Iα (Zuluaga et al. 2009; Fahma et al. 2011). Tetapi pada sludge terpurifikasi, nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60 puncak pada 710 cm-1 tidak terdeteksi, mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan tipe selulosa.
Gambar 18 Spektra inframerah sludge primer dan nanokristalin selulosa
28 Pola difraksi x-ray pada Gambar 19 bahwa tiga puncak pada 2θ = 15.78°(1 ̅10), 17.90° (110) dan 23.01°(200) menunjukkan hanya selulosa I yang terdapat pada sludge primer. Pada serat yang mengalami proses purifikasi terjadi perubahan puncak, yaitu pada 2θ = 12.34o (1 ̅10) dan puncak kritalin yang bercabang menjadi 2 puncak pada 2θ = 19.95 (110) dan 2θ = 21.85 (200), mengindikasikan pembentukan struktur selulosa II (Yue 2011; Neto et al. 2013). Perubahan ini terjadi karena dalam proses purifikasi dilakukan perlakuan alkali/sodium hidroksida, sebagaimana dilaporkan oleh Yue (2011) dan Zugenmaier (2008) bahwa selulosa tipe I dapat diubah menjadi selulosa tipe II dengan perlakuan menggunakan alkali/sodium hidroksida. Pola difraksi pada nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60 sama dengan pola sludge terpurifikasi, menunjukkan bahwa nanokristalin selulosa juga merupakan selulosa II karena perlakuan dengan alkali merupakan proses yang bersifat irreversible (Zugenmaier 2008). Perubahan ini memberikan keuntungan karena selulosa II lebih stabil daripada selulosa I, memiliki sifat mekanik yag lebih baik ketika digunakan sebagai penguat untuk komposit (Yue 2011). Kristalinitas pada sludge terpurifikasi adalah 47.94 % dan meningkat secara signifikan menjadi 70.76 % pada nanokristalin selulosa-30. Peningkatan kristalinitas ini menungkinkan terjadi karena asam sulfat dapat menembus ke daerah amorf, menyebabkan pemutusan ikatan hidrolitik pada ikatan glikosidik dan melepaskan kristalit individu (Johar et al. 2012; Neto et al. 2013; Silvério et al. 2013b; Santos et al. 2013). Namun pada nanokristalin selulosa-60 terjadi penurunan kristalinitas menjadi 69.51 %, menunjukkan bahwa waktu hidrolisis 60 menit tidak hanya merusak daerah amorf tetapi juga terjadi kerusakan pada bagian kristalin (Fahma et al. 2010; Neto et al. 2013; Silvério et al. 2013b). Dengan demikian waktu hidrolisis asam 30 menit pada serat selulosa dari sludge cukup untuk menghilangkan bagian amorf.
Gambar 19 Difraksi X-ray sludge primer dan nanokristalin selulosa Tabel 5-7 menunjukkan hasil perhitungan atomic crystal size/ukuran kristal pada sludge dan nanokristalin selulosa. Ukuran atom kristal yang paling kecil adalah pada nanokristalin selulosa yang dihidrolisis selama 30 menit yaitu 1.31 nm. Semakin kecil ukuran atom kristal menunjukkan bahwa strukturnya semakin kristal, hal ini ditunjukkan dengan nilai kristalinitas yang paling tinggi.
29 Tabel 4 Perhitungan ukuran kristal sludge purifikasi 2 Teta cos 2 teta FWHM (deg) 12.3428 0.976909507 0.68 19.9561 0.94001465 1.24 21.8519 0.928221 2.08 Rata-rata
ACS (nm) 2.086411566 1.189068633 0.717874465 1.331118221
Tabel 5 Perhitungan ukuran kristal nanokristalin selulosa (hidrolisis 30 menit) 2 Teta cos 2 teta FWHM (deg) ACS (nm) 12.3162 0.977008542 0.8067 1.75854 19.9561 0.94001465 1.28 1.15191 21.7721 0.92873799 1.48 1.00834 Rata-rata 1.30627 Tabel 6 Perhitungan ukuran kristal nanokristalin selulosa (hidrolisis 60 menit) 2 Teta cos 2 teta FWHM (deg) ACS (nm) 12.3129 0.977020813 0.68 2.08617 19.9162 0.940251863 1.12 1.31614 21.7322 0.92899581 1.34 1.11338 Rata-rata 1.50523 Gambar 20 menunjukkan termogram TGA pada sludge (sebelum dan sesudah purifikasi) dan nanokristalinselulose dari sludge. Analisis stabilitas panas pada nanokristalin selulosa sangat penting untuk dilakukan, terutama untuk aplikasinya sebagai bahan baku komposit plastik. Karena suhu pengolahan dalam proses pembuatan komposit plastik seringkali dilakukan pada suhu diatas 2000C (Landry et al. 2010). Penurunan berat awal terdeteksi pada suhu sekitar 50-1500C pada semua sampel akibat penguapan air dalam serat dan nanokristalin selulosa. Pada sludge tanpa purifikasi serat mulai mengalami kerusakan pada suhu 2000C. Sementara pada sludge terpurifikasi dan nanokristalin selulosa kerusakan dimulai pada suhu sekitar 2500C. Peningkatan suhu awal kerusakan sludge terpurifikasi dan nanokristalin selulosa karena hilangnya sebagian hemiselulosa, lignin dan pektin pada perlakuan alkali dan bleaching (Santos et al. 2013). Dalam penelitian ini stabilitas panas nanokristalin selulosa tidak mengalami penurunan yang drastis dibandingkan dengan stabilitas panas sludge. Pada umumnya nanokristalin selulosa memiliki stabilitas panas yang rendah, karena perlakuan dengan asam sulfat menyebabkan penurunan yang sangat drastis pada stabilitas panasnya. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya penggabungan gugus sulfat pada permukaan selulosa setelah hidrolisis, yang memiliki pengaruh sebagai katalisator dalam reaksi degradasi panas (Fahma et al. 2010; Santos et al. 2013). Namun pada penelitian ini stabilitas panas nanokristalin selulosa dari sludge primer lebih stabil daripada sludge terpurfikasi, ditunjukkan oleh grafik yang lebih landai pada kisaran suhu 250-6000C. Grafik yang landai ini menunjukkan bahwa nanokristalin selulosa lebih lama dalam menyerap/menahan panas. Stabilitas panas nanokristalin selulosa tersebut meningkat akibat terjadinya perubahan struktur selulose sludge dari tipe I menjadi tipe II setelah perlakuan purifikasi. Yue (2011) menjelaskan bahwa selulosa II lebih stabil daripada selulosa I dan memiliki sifat mekanik yag lebih baik ketika digunakan sebagai penguat untuk komposit.
30
Gambar 20 Termogram TGA pada (a) sludge, (b) sludge terpurifikasi dan (c) nanokristalin selulosa dari sludge
31 Simpulan Metode pembuatan nanoselulosa yang berhasil mendapatkan ukuran dibawah 100 nm adalah metode grinding 20 kali dan hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan proses ultrasonikasi. Namun pada metode grinding nanoselulosa yang dihasilkan masih cenderung heterogen, sehingga lebih efektif metode kombinasi hidrolisis asam dan ultrasonikasi. Ukuran partikel nanokristalin selulosa yang dihasilkan pada waktu hidrolisis 30 menit adalah 64.32 nm dan hidrolisis 60 menit menghasilkan ukuran 54.10 nm. Bertambahnya waktu hidrolisis menjadi 60 menit mengakibat penurunan kristalinitas pada nanokristalin selulosa. Analisis X-Ray diffraction menunjukkan bahwa nanokristalinn selulosa dari sludge primer juga merupakan selulosa tipe II. Hal ini berpengaruh terhadap sifat stabilitas panasnya yang lebih baik daripada sludge.
32
4 NANOKRISTALIN SELULOSA DARI SLUDGE UNTUK PENGUAT KOMPOSIT PLASTIK DENGAN MATRIKS POLIVINIL ALKOHOL/PVA Pendahuluan Pembuatan nanoselulosa pada Bab 3 berhasil dilakukan dengan metode hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan ultrasonikasi. Pada proses hidrolisis asam selulosa pada daerah amorf merupakan bagian yang pertama diserang oleh asam, karena daerah kristalit bersifat resisten terhadap hidrolisis asam. Penetrasi asam pada daerah amorf menyebabkan pembelahan hidrolitik pada ikatan glikosidik dan melepaskan kristalit individu (Fahma et al. 2010). Oleh karena itu nanoselulosa yang dihasilkan melalui metode hidrolisis asam disebut dengan nanokristalin selulosa/Nanocrystalline cellulose atau dikenal juga dengan istilah cellulose nanocrystal, cellulose nanowhiskers, cellulose crystallites, crystals, monocrystals, microcrystals atau microcrystallites (Johar et al. 2012). Nanokristalin selulosa merupakan partikel yang berbentuk seperti batang dengan ukuran diameter 1-100 nm dan panjang puluhan hingga ratusan nanometer (Fan dan Li 2012; Brinchi et al. 2013). Nanokristalin selulosa memiliki kekuatan tinggi karena struktur kristalinnya yang rapat dan teratur, aspek rasio tinggi dan luas permukaan yang besar, sehingga digunakan dalam berbagai penggunaan seperti penguat nanokomposit, packaging (Fan dan Li 2012), aplikasi optik (Fan dan Li 2012), film antimikroba, film transparan, flexible displays, tempat untuk komponen elektronik, membran pemisah, baterai, superkapasitor dan polimer elektroaktif (Silvério et al. 2013b). Metode yang dapat digunakan untuk menghasikan nanokristalin selulosa adalah fermentasi dan hidrolisis asam (Voronova et al. 2013). Namun metode yang paling dikenal dan banyak digunakan adalah metode hidrolisis asam karena memungkinkan dihasilkannya suspensi yang stabil (Lu et al. 2013; Neto et al. 2013; Silvério et al. 2013b). Asam sulfat dan asam klorida biasa digunakan dalam metode hidrolisis asam karena efektif dalam menghidrolisis ikatan glikosidik pada selulosa. Namun asam sulfat lebih disukai karena dapat menghasilkan suspensi yang lebih stabil (Siqueira et al. 2010). Hal ini diakibatkan terbentuknya gugus sulfat pada permukaan selulosa (Durán et al. 2011). Sumber selulosa untuk memproduksi nanokristalin selulosa biasanya dari serat kayu dan tanaman, terutama dari kayu karena kadar selulosanya yang tinggi. Disamping itu penggunaan limbah pertanian dan kehutanan juga mulai banyak dikembangkan, karena ketersediannya yang melimpah, biaya rendah serta mengurangi penumpukan limbah (Brinchi et al. 2013). Diantaranya nanokristalin selulosa telah dihasilkan dari limbah sabut kelapa (Fahma et al. 2011), jerami gandum, sekam kedelai (Neto et al. 2013), ubi jalar (Lu et al. 2013), kentang (Chen et al. 2012), sekam padi (Johar et al. 2012), daun nenas (Santos et al. 2013), rami (Dai et al. 2013), biji mangga (Henrique et al. 2013), pisang (Elanthikkal et al. 2010) dan tandan kosong sawit (Fahma et al. 2010). Selain limbah tanaman, sludge dari industri pulp dan kertas juga menghasilkan sumber selulosa yang potensial. Penggunaan sludge sebagai serat nano telah dilakukan oleh Jonoobi et al. (2012) dengan menggunakan metode mekanik (masuko ultra
33 fine grinder) dan Leão et al. (2012) dengan metode kimia-mekanik (hidrolisis asam dan steam explosion). Polivinil alkohol (PVA) merupakan salah satu polimer yang bersifat biodegradable dan dapat berinteraksi dengan nanoselulosa. Polimer PVA merupakan polimer hidrofilik yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan nanoselulosa. Polimer PVA telah dipelajari sebagai matriks polimer dalam pembuatan film nanokomposit karena fleksibilitas dan luasnya aplikasi yang dapat ditingkatkan dengan menggabungkan struktur nano (Khiar dan Arof 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik nanokristalin selulosa dari sludge primer melalui metode hidrolisis asam dan ultrasonikasi serta aplikasinya sebagai penguat komposit plastik (melalui sifat optik, konduktivitas, mekanik dan sifat stabilitas panasnya). Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sludge primer diperoleh dari PT. Indah Kiat Pulp and Paper. Serang-Banten, asam sulfat (95%), etanol, benzena, sodium klorit (NaClO2), asam asetat, sodium hidroksida, air destilata dan asam klorida. Metode Isolasi Nanokristalin selulosa Serat selulosa yang telah mengalami purifikasi dihidrolisis dengan larutan asam sulfat 50% pada suhu 45 °C selama 30 menit dengan putaran konstan (perbandingan serat dengan larutan 1:20). Hidrolisis dihentikan dengan penambahan air destilata dingin, kemudian dilakukan sentrifuse berulang pada 800 rpm hingga tercapai pH konstan. Kemudian dilakukan ultrasonikasi selama 30 menit pada amplitudo 50%. Pembuatan Film Komposit Pembuatan komposit campuran PVA (10%) dan NCC dengan konsentrasi 1, 3 dan 5% berdasarkan berat kering PVA menggunakan metode film casting. Pencampuran antara NCC (dalam bentuk slurry) dan PVA dilakukan pada suhu 80oC, kecepatan putar 300 rpm selama 1 jam. Campuran PVA dan serat dituang pada cetakan berukuran 15 x 10 cm dan dikeringkan pada suhu ruang selama 24 jam untuk menghilangkan gas akibat pengadukan. Komposit PVA kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 45oC selama 24 jam. Setelah kering, untuk mempersiapkan contoh uji. komposit PVA dipotong berukuran 10 x 2.54 cm. Karakterisasi Film Komposit Pengujian fourier transform infrared (FTIR) dilakukan dengan menggunakan ABB MB 3000 (Reliable FTIR Laboratory Analyser, Canada) pada bilangan gelombang 4450-500 cm−1 dengan resolusi 4 cm−1. Analisis sampel dilakukan dengan menempatkan 2 mg sampel dalam serbuk KBr (0.4 g) untuk selanjutnya dibuat KBr-IR pellet. Seluruh spektra akan terekam pada kondisi suhu ruang. Kristalinitas film komposit diukur menggunakan X-ray diffraction/XRD (Shimadzu XRD-7000 MaximaX, Japan). Sampel diletakkan diatas gelas pegangan sampel dan dianalisis dibawah kondisi ruang. Radiasi NI disaring
34 dengan CuKα pada bilangan gelombang 1.54060 A. X-ray dioperasikan pada voltase 40 kV dan 30 mA, sudut pindai 2θ sebesar 10-40° setiap 2°/menit. Morfologi film komposit diamati dengan menggunakan SEM (JEOL JSM6510 LV, Japan) pada resolusi 20 kV. Dalam analisis morfologi ini, sampel serat diletakkan pada carbontape yang ditempelkan pada pemegang sampel berdiameter 1 cm. Sampel di lapisi dengan emas pada alat coating, kemudian dimasukkan ke alat SEM dan dipindai pada tegangan 15 kV. Sifat optik film komposit dilakukan dengan UV-Vis pada bilangan gelombang 250-850 nm. Konduktivitas listrik film komposit ditentukan dengan menggunakan LCR Hi-Tester Hioki 3522-50. Sampel film komposit ditempatkan antara pelat kapasitor, kemudian konduktansi (G) diukur. Nilai konduktivitas listrik ditentukan dari persamaan (Khiar dan Arof 2009): 𝑙 σ= G 𝐴 di mana σ adalah konduktivitas listrik (Scm-1), l adalah ketebalan sampel (cm), A adalah luas permukaan sampel dan G adalah konduktansi (Siemen). Karakterisasi sifat mekanis (kekuatan tarik, modulus young dan elongasi patah) film komposit dilakukan berdasarkan ASTM D882-75b (Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting) pada kecepatan crosshead 50mm/min. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21 Diagram alir pembuatan komposit dengan matriks PVA
35 Hasil Dan Pembahasan Karakteristik Film Komposit Penampakan komposit PVA dengan penguat sludge primer disajikan pada Gambar 22 dengan kerapatan berkisar antara 0.72-1.61 gcm-3. Komposit PVA dengan penguat nanokristalin selulosa 1% membentuk film transparan seperti film PVA, sementara komposit dengan penguat nanokristalin selulosa 3% dan 5% telah menunjukkan perubahan warna meskipun masih terlihat transparan. Hal ini menunjukkan bahwa penguat nanokristalin selulosa telah terdispersi dengan baik pada matriks PVA membentuk campuran yang homogen. Sedangkan pada komposit PVA dengan penguat sludge (1,3 dan 5%) terlihat adanya penggumpalan serat yang mengindikasikan bahwa kedua komponen tidak tercampur secara homogen.
Gambar 22 Film PVA diperkuat serat dari sludge primer Gambar 23 menunjukkan hasil pengukuran transmitansi cahaya pada panjang gelombang 250-850 nm. Polivinil alkohol merupakan polimer yang bersifat trasparan dengan nilai transmitansi 93 % pada panjang gelombang 600 nm. Film komposit PVA dengan penguat nanokristalin selulosa 1% dan 3% memiliki sifat transparan dengan nilai transmitansi diatas 80% (Khiar dan Arof 2009), sementara komposit dengan penguat nanokristalin selulosa 5% memiliki nilai transmitasi 53.64%. Sifat transparan tersebut karena nanokristalin selulosa terdistribusi secara merata pada matriks PVA (Fortunatia et al. 2013). Sementara film komposit dengan penguat sludge 1, 3 dan 5 % memiliki nilai transparan yang rendah dibandingkan komposit dengan penguat NCC yaitu 35%, 6% dan 4%. Hal ini disebabkan sludge tidak terdistribusi secara merata pada matriks PVA dan terjadi aglomerasi. Aglomerasi ini menyebabkan cahaya UV tidak ditransmisikan, akan tetapi cahaya diserap sehingga nilai transmitannya rendah, sebaliknya nilai absorbansinya yang tinggi.
36 Sementara itu pada Gambar 23 menunjukkan terjadinya quantum size effect, dimana ukuran serat (nanokristalin selulosa) berpengaruh pada terjadinya pergeseran panjang gelombang transmitansi dari serat yang berukuran lebih besar. Hal ini terjadi pada seluruh sampel komposit pada variasi komposisi (1, 3 dan 5%). Pergeseran panjang gelombang pada transmitansi ini sekaligus menguatkan adanya perubahan pada sifat konduktifitas listrik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 24. Pola grafik konduktivitas menjelaskan bahwa komposit PVA dengan penguat sludge memiliki konduktivitas yang lebih rendah (≈10-8 S/cm, pada frekuensi 1000 KHz) dan komposit PVA dengan penguat NCC (≈10-7 S/cm, pada frekuensi 1000 KHz).
Gambar 23 Spektra transmitan UV-Vis pada film komposit PVA dengan penguat sludge primer Polimer pada dasarnya bersifat insulator, dan nilai konduktivitasnya berkisar antara 10-14 – 10-17 S/cm. Gambar 24 merupakan grafik nilai konduktivitas pada film komposit PVA dengan penguat sludge primer. Komposit dengan penguat sludge memiliki nilai konduktivitas di bawah PVA, sementara komposit dengan penguat nanokristalin selulosa konduktivitasnya meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa dispersi serat dan bentuk jaringan kontinyu dari bahan pengisi konduktif berpengaruh pada sifat konduktivitas.
Gambar 24 Nilai konduktivitas listrik pada film komposit PVA dengan penguat sludge primer
37
Gambar 25 menunjukkan sifat mekanik pada komposit, dimana komposit dengan penguat nanokristalin selulosa mengalami peningkatan (pada konsentrasi 1% dan 3%) pada nilai keteguhan tarik, modulus tarik dan elongasi patah dibandingkan dengan film PVA dan komposit dengan penguat sludge. Hal tersebut menunjukkan bahwa nanokristalin selulosa dari sudge primer dapat berfungsi sebagai penguat dalam komposit PVA. Berfungsinya nanokristalin selulosa sebagai penguat dapat dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, nanokristalin selulosa telah terdispersi secara homogen kedalam matriks PVA sehingga meningkatkan pembentukan ikatan hidrogen antara PVA dan nanokristalin selulosa (Fortunatia et al. 2013). Kedua, perlakuan purifikasi pada sludge menyebabkan perubahan struktur selulose I menjadi selulosa II. Perubahan tersebut menyebabkan selulosa lebih stabil, meningkatkan ikatan hidrogen dan sifat mekaniknya (Yue 2011). Sedangkan komposit dengan sludge memiliki sifat mekanik yang lebih rendah dari komposit dengan penguat nanokristalin selulosa. Surface area yang lebih besar, densitas yang lebih kecil dan keunikan yang muncul karena ukuran yang lebih kecil pada nanokristalin selulosa membawa dampak positif dibandingkan ukuran bulk.
Gambar 25 Kekuatan tarik, modulus young dan elongasi patah pada film komposit PVA dengan penguat nanokristalin selulosa dan sludge Gambar 26 menunjukkan grafik stress-strain film komposit, dimana penambahan nanokristalin selulosa kedalam matriks PVA meningkatkan penguatan pada material film komposit. Karena kekakuan nanokristalin selulosa dan interaksinya yang kuat dengan matriks PVA melalui ikatan hidrogen, memungkinkan transfer tegangan yang baik sebagai hasil dari adhesi yang baik melalui ikatan antarmuka yang sempurna (Zhao et al. 2014). Sementara
38 penambahan sludge kedalam matriks PVA menurunkan kekuatannya, sehingga belum dapat berfungsi sebagai penguat.
Gambar 26 Stress Strain pada film komposit Gambar 27 menunjukkan perubahan sifat termal pada film komposit PVA dan komposit PVA dengan penguat nanokristalin selulosa 3 %. Suhu transisi gelas pada matriks PVA (PVA murni) adalah 60 0C. Sebagaimana dinyatakan oleh Frone et al. (2011) bahwa suhu transisi kaca PVA berkisar antara 58-85 0C, tergantung pada karakteristiknya (tingkat hidrolisis, depolimerisasi dan lain-lain). Suhu transisi gelas pada komposit nanokristalin selulosa 3%-PVA tidak berbeda jauh dengan PVA yaitu 58 0C. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran serat yang sangat kecil tidak menyebabkan kerusakan ikatan hidrogen pada PVA. Interaksi yang terjadi antara nanokristalin selulosa dan PVA juga tidak merubah struktur supramolekul dari fase amorf (Frone et al. 2011). Termogram TGA pada Gambar 27 juga menunjukkan adanya 3 tahapan dalam pengurangan berat komposit akibat panas. Pengurangan berat awal terjadi pada suhu 120 0C pada PVA dan 122 0C pada komposit, dimana pada suhu tersebut terjadi penyerapan panas (endotermik) untuk mencairkan bahan dan terjadi penguapan air. Tahap yang kedua adalah pirolisis selulosa dan kerusakan film PVA yang terjadi pada suhu 2850C dan 3020C. Pengurangan berat yang terjadi pada tahap tersebut adalah berkisar 72-75%. Tahap kedua ini meliputi reaksi dehidrasi dan penguapan zat volatil. Kemudian pada tahap ketiga pengurangan berat terjadi pada suhu diatas 4000C yang meliputi dekomposisi pada bahan karbon (Frone et al. 2011). Terlihat bahwa terjadi peningkatan suhu pada setiap tahapan untuk komposit dengan penguat nanokristalinisn selulosa. Sebagaimana dinyatakan oleh Frone et al. (2011) bahwa penambahan selulosa sebagai penguat menyebabkan stabilitas panas yang lebih tinggi dari PVA murni.
39
Gambar 27 Termogram TGA pada (a) matriks PVA dan (b) komposit PVAnanokristalin selulosa 3% Simpulan Komposit dengan penguat nanokristalin selulosa meningkatkan sifat fisik dan mekaniknya (sifat konduktivitas, optik, keteguhan tarik, modulus patah dan elongasi patah). Selulose tipe II memiliki sifat yang lebih stabil sehingga meningkatkan sifat mekanis pada komposit yang dihasilkan. Penambahan nanokristalin selulosa juga meningkatkan stabilitas panas pada komposit plastik.
40 5 PERANAN AGEN PENGKOPEL TERHADAP KARAKTERISTIK KOMPOSIT PLASTIK DENGAN BAHAN PENGISI SLUDGE DAN MATRIKS POLIPROPILENA (PP)
Pendahuluan Peranan sludge sebagai bahan penguat dengan matriks PVA telah dibahas pada Bab 4, selanjutnya akan dipelajari peranannya sebagai bahan pengisi dengan matriks PP. Namun, sebagaimana serat alami, sludge memiliki kelemahan dengan adanya gugus hidroksil dan gugus polar lainnya yang menyebabkan sifat hidrofilik. Sifat tersebut menjadikannya tidak sesuai dengan matriks PP yang bersifat hidrofobik, karena akan menyebabkan rendahnya keterbasahan dan lemahnya ikatan antar muka (interface) (Taramian et al. 2007; Li et al. 2011b; Lima et al. 2014). Ikatan yang rendah antara serat yang bersifat hidrofilik dengan matriks yang bersifat hidrofobik dapat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis pada produk komposit. Faruk et al. (2012) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan ikatan antar muka (interfacial adhesion) antara serat dengan matriks, maka harus dilakukan modifikasi terhadap matriks atau seratnya. Modifikasi terhadap serat dapat dilakukan dengan metode secara fisik dan kimia, dimana metode secara fisik seperti corona/plasma dan merserisasi adalah untuk mempengaruhi ikatan mekanik dengan matriks polimer. Sedangkan modifikasi serat secara kimia adalah untuk membentuk reaksi gugus hidroksil pada serat dengan senyawa reaktif yang tepat untuk membentuk ikatan kovalen. Gugus baru yang terbentuk akan bertindak sebagai interface antara serat dengan matriks sehingga dapat menghasilkan komposit dengan sifat-sifat yang lebih baik. Penggunaan komponen ketiga selain matriks dan serat juga termasuk metode kimia, yang dikenal sebagai pengkompatibel atau agen pengkopel. Agen pengkopel tersebut berfungsi untuk memodifikasi salah satu atau kedua komponen penyusun komposit dengan tujuan meningkatkan adhesinya (Lu et al. 2000). Jenis-jenis agen pengkopel yang telah digunakan pada beberapa penelitian antara lain maleat anhdrida (MAH), maleat anhdrida polipropilena (MAPP), maleat anhdrida polietilena (MAPE), isosianat, silan serta anhidrida lainnya seperti asam dan suksinat anhidridaa (Lu et al. 2000). Agen pengkopel MAPP dan MAPE diperoleh dengan cara mereaksikan antara matriks dan MAH dengan tambahan inisiator. Agen pengkopel yang banyak digunakan dalam pembuatan komposit plastik dengan matriks PP adalah MAPP. Maleat anhdrida memiliki kelebihan anntara lain efektif digunakan pada konsentrasi rendah, memiliki energi permukaan yang rendah, dapat diperoleh secara komersil dan tidak membutuhkan perlakuan awal terhadap serat atau PP sebelum proses pembuatannya (Lu et al. 2000; Lin et al. 2002; Kim et al. 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan MAPP terhadap karakteristik mekanik pada komposit plastik yang dihasilkan. Bahan dan Metode Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sludge primer diperoleh dari PT. Indah Kiat Pulp and Paper, Serang-Banten. Polipropilen impact copolymer (block copolymer) BI9.0GA diperoleh dari PT Chandra Asri
41 Petrochemical, Cilegon. Karakteristik terpenting dari jenis PP impact copolymer (block copolymer) BI9.0GA adalah material yang paling tahan benturan (tidak mudah pecah) dan juga memiliki ketahanan terhadap temperatur rendah (mencapai -30oC), melt flow rate (MFR) 9.0 g/10 menit serta kerapatan 0.9 g/cm3. Agen pengkopel yang digunakan adalah Licocene PPMA 6452 TP merupakan produk dari Clariant Chemical, Ltd. Jerman. Karakteristik Licocene PPMA 6452 TP antara lain bilangan asam 41 mg KOH/g, titik pelunakan (softening point) 143oC, kerapatan 0.93 g/cm3 serta tingkat grafting maleat anhidrida 7%. Bahan kimia yang digunakan antara lain asam sulfat (95%), etanol, benzena, sodium klorit (NaClO2), asam asetat, sodium hidroksida, air destilata dan asam klorida. Pembuatan Komposit Pembuatan komposit dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : pencampuran sludge, matriks PP dan agen pengkopel MAPP menggunakan labo plastomill merk Haake Polydrive pada suhu 1750C, kecepatan 60 rpm selama 20 menit. Komposisi (persentase) bahan yang digunakan sludge/PP/MAPP adalah 40/55/5, 50/45/5 dan 60/35/5. Selanjutnya dari campuran tersebut dibentuk menjadi pelet, kemudian dibuat menjadi lembaran/komposit dengan menggunakan kempa panas pada suhu 180o C selama 20 menit. Setelah itu dikempa dingin selama 10 menit. Selanjutnya komposit yang dihasilkan dikondisikan pada suhu kamar dan selanjutnya dipotong dengan ukuran tertentu untuk dilakukan pengujian. Karakterisasi Komposit Sifat fisis film komposit meliputi daya serap air dan pengembangan tebal dengan ukuran sampel 2x2 cm. Sebelum pengujian berat dan tebal setiap sampel diukur. Selanjutnya sampel direndam dalam aquades pada suhu ruang selama dua hari. Setelah dua hari setiap sampel diseka dengan kertas tisu untuk menghilangkan sisa air dan selanjutnya ditimbang dan diukur ketebalannya. Karakterisasi sifat mekanis (kekuatan tarik, modulus young dan elongasi patah) film komposit dilakukan berdasarkan ASTM D882-75b (Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting) pada kecepatan crosshead 50 mm/min. Morfologi komposit dengan pengisi sludge dikarakterisasi dengan scanning electron mycroscope (SEM) tipe JEOL-JSM-6510LV. Dalam analisis morfologi ini, sampel diletakkan pada carbontape yang ditempelkan pada pemegang sampel berdiameter 1 cm. Sampel di lapisi dengan osmium pada alat coating, kemudian dimasukkan ke alat SEM dan dipindai pada tegangan 15 kV. Karakteristik panas komposit diuji dengan TGA. Sampel komposit ditimbang sekitar 10 mg, kemudian dimasukkan ke dalam crucible. Crucible berisi sampel ditempatkan pada chamber pengujian dengan program pemanasan dari 50oC hingga 600oC dengan kecepatan kenaikan suhu 10oC/menit dan kecepatan aliran gas nitrogen 50 mL/menit. Kemudian ditahan (isothermic) selama 5 menit pada suhu 600oC dan pemanasan dilanjutkan kembali hingga 900oC pada lingkungan gas oksigen dengan kecepatan aliran gas oksigen 50 mL/menit. Diagram penelitian disajikan pada Gambar 28.
42
Gambar 28 Diagram alir pembuatan komposit plastik dengan matriks PP Hasil dan Pembahasan Karakteristik Komposit Plastik Gambar 29 menunjukkan nilai kerapatan pada komposit, dengan kecenderungan semakin banyak serat yang ditambahkan pada matriks PP kerapatan semakin meningkat. Penambahan MAPP pada semua perlakuan juga mengakibatkan peningkatan pada kerapatan komposit, karena interaksi antara matriks PP dengan sludge semakin baik sehingga mengurangi celah/ruang kosong diantara serat dengan matriks.
Gambar 29 Nilai kerapatan pada komposit
43 Gambar 30 menunjukkan sifat daya serap air dan pengembangan tebal pada komposit setelah direndam selama dua hari. Penyerapan air pada semua perlakuan meningkat dengan bertambahnya jumlah serat. Matriks plastik sifat asalnya adalah hidrofobik, dengan demikian air diserap oleh bahan berselulosa didalam komposit (Hamzeh et al. 2011). Penyerapan air berkurang dengan adanya penambahan MAPP pada semua perlakuan. Penambahan MAPP memungkinkan terjadinya ikatan yang lebih baik antara matriks dan serat, karena mengurangi adanya celah/gap pada wilayah antar muka komposit. Selain itu sifat hidrofilik serat akibat adanya gugus hidroksil terhambat/terblokir, karena agen pengkopel meningkatkan ikatan ester antara gugus hidroksil pada serat dengan anhidrida pada MAPP.
Gambar 30 Daya serap air dan pengembangan tebal pada komposit Nilai pengembangan tebal pada komposit, memperlihatkan kecenderungan yang sama pada sifat daya serap air. Bahan berlignoselulosa yang bersifat hidrofilik terutama disebabkan oleh adanya gugus polar, yang menarik molekul air melalui ikatan hidrogen. Hal ini menyebabkan molekul air terperangkap dalam dinding sel serat (serat mengembang) dan juga pda antarmuka serat dengan matriks. Hal ini yang berpengaruh terhadap perubahan dimensi pada komposit plastik, terutama pada ketebalan (Hamzeh et al. 2011). Gambar 31 menunjukan hasil pengujian kekuatan tarik pada komposit plastik dengan pengisi sludge dan nanokristalin selulosa dari sludge berkisar antara 4.23 – 20.03 MPa. Kekuatan tarik semakin menurun dengan meningkatnya jumlah serat pada komposit. Penurunan nilai kekuatan tarik ini diakibatkan oleh ukuran sludge yang heterogen, karena komposit tidak mampu menahan tegangan yang dipindahkan dari matriks ke pengisi. Sebagaimana dijelaskan pada penelitian sebelumnya bahwa sludge (baik kontrol maupun yang telah mengalami purifikasi) memiliki ukuran serat yang heterogen.
44
Gambar 31 Kekuatan tarik pada komposit plastik Komposit dengan pengisi nanokristalin selulosa dari sludge memiliki nilai kekuatan tarik yang paling rendah, karena komposit memiliki struktur yang lebih rapuh. Struktur komposit yang rapuh tersebut diduga akibat perlakuan hidrolisis asam pada sludge. Sebagaimana dijelaskan oleh Spoljaric et al. (2009) bahwa perlakuan hidrolisis pada serat menyebabkan berkurangnya stabilitas termal serat terhadap panas. Penambahan MAPP pada semua komposit meningkatkan kekuatan tariknya. Penguatan pada komposit terjadi karena ikatan yang lebih baik antara serat dan PP. Peningkatan interaksi serat dengan PP terjadi melalui esterifikasi antara gugus anhidrida pada MAPP dengan gugus hidroksil pada serat. Gambar 32 menunjukkan mekanisme reaksi kimia pada pembentukan ikatan antarmuka antara permukaan serat dengan matriks. Reaksi diawali oleh katalis peroksida yang memulai pembentukan radikal pada rantai PP melalui ikatan hidrogen dan pemutusan rantai. Radikal yang terbentuk selanjutnya bereaksi dengan maleat anhidrida untuk membentuk MAPP (Park et al. 2006).
Gambar 32 Mekanisme reaksi kimia antara serat dengan MAPP Gambar 33 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai modulus young pada komposit plastik dengan peningkatan kadar sludge. Modulus young menunjukkan kekakuan komposit. Semakin besar serat yang ditambahkan pada
45 matriks, maka struktur komposit menjadi lebih rigid dan kaku. Penambahan MAPP meningkatkan kekakuan komposit karena terjadi kompatibilitas antara serat dengan matriks. Penurunan modulus young terjadi pada komposit dengan pengisi nanokristalin selulosa dari sludge karena komposit lebih rapuh akibat perlakuan hidrolisis asam, meskipun telah dilakukan dialisis untuk menetralkan asamnya (Johar et al. 2012). Gambar 34 menunjukkan grafik elongasi patah pada komposit, dimana penambahan serat menyebabkan komposit semakin rigid sehingga nilai elongasi patahnya menurun.
Gambar 33 Modulus young pada komposit plastik
Gambar 34 Elongasi patah pada komposit plastik Gambar 35 menunjukkan hasil SEM dari komposit dengan matriks PP pada variasi perlakuan sludge. Terlihat perbedaan morfologi permukaan komposit dengan perbedaan pengisi dan perlakuan pada sludge. Komposit dengan pengisi sludge tanpa purifikasi memperlihatkan adanya celah antara serat dengan matriks yang mengindikasikan tidak terjadinya interaksi antara serat dengan matriks. Sementara pada komposit yang ditambahkan agen pengkopel sudah terlihat adanya interaksi antara serat dengan matriks yang ditunjukkan oleh adanya matriks yang menyelimuti serat sehingga sudah tidak terlihat lagi adanya celah antara serat dengan matriks. Hal serupa juga terjadi pada komposit dengan
46 pengisi sludge yang mengalami purifikasi. Sementara pada komposit dengan pengisi nanokristalin selulosa morfologi permukaannya berbeda dengan komposit lainnya. Interaksi yag lebih baik terjadi antara nanokristalin selulosa dengan matriks yang ditunjukkan oleh morfologi permukaan komposit yang relatif lebih homogen, baik pada nanokristalin selulosa kontrol dan penambahan agen pengkopel. Non purifikasi
Kontrol
MAPP
Purifikasi
Kontrol
MAPP
Nanokristalin selulosa selselulosa
Kontrol Gambar 35 Foto SEM komposit plastik
MAPP
Karakteristik Panas Komposit Plastik Gambar 36 menunjukkan termogram TGA pada sludge, film komposit PP, dan film komposit PP dengan pengisi sludge. Tahapan penurunan berat sludge akibat panas dimulai dengan perubahan berat karena penguapan air dalam serat, yaitu pada kisaran suhu 50-150 0C (Gambar 36 a). Tahap berikutnya adalah terjadinya perubahan berat yang disebabkan oleh kerusakan awal pada sludge pada suhu antara 200-350 0C. Menurut Onggo et al. (2005) pada tahap ini komponen didalam serat mengalami pemecahan rantai karbon yang diikuti dengan keluarnya zat volatil seperti karbondioksida, hidrokarbon dan gas hidrogen. Komponen dengan berat molekul lebih rendah akan mengalami degradasi terlebih dahulu dibandingkan komponen dengan berat molekul lebih tinggi. Dengan demikian pada serat degradasi diawali oleh komponen hemiselulosa, lignin baru kemudian selulosa yang membentuk arang. Selanjutnya perubahan berat terjadi
47 akibat reaksi oksidasi bahan sisa (arang) yang diikuti oleh proses terbakarnya karbon menjadi abu, yaitu terjadi pada suhu antara 400-600 0C.
Gambar 36 Termogram TGA pada a) sludge; b) film komposit PP; c) film komposit sludge 50%-PP 50% dan d) film komposit sludge 50%-PP 45%-MAPP 5% Dekomposisi PP menunjukkan satu tahap degradasi dengan kehilangan berat pada puncak eksotermik, yaitu pada suhu 4200C (Gambar 36 b). Sementara pada komposit PP 50%-sludge 50% dekomposisi terdiri dari dua tahap kehilangan massa. Tahap pertama karena sludge diikuti oleh PP, penggabungan 50% sludge pada matriks PP meningkatkan dekomposisi komponen sludge pada suhu 320 0C (suhu dekomposisi sludge pada 300 0C ). Hal ini menunjukkan bahwa PP yang melindungi serat sehingga menunda degradasi. Tahap kedua adalah dekomposisi PP yang tetap konsisten yaitu pada suhu ≈4200C, menunjukkan bahwa kehadiran sludge tidak banyak berpengaruh pada stabilitas termal atau tingkat kehilangan massa matriks (Spoljaric et al. 2009). Untuk film komposit PP 45%-MAPP 5%-sludge 50% (Gambar 36 d), perubahan yang diamati dalam profil dekomposisi adalah pergeseran dalam tahap kehilangan massa sesuai dengan matriks. Suhu dekomposisi matriks meningkat menjadi 4400C. Tingkat kehilangan massa berkurang sedikit dibandingkan dengan komposit tanpa agen pengkopel. Perubahan ini disebabkan oleh keberadaan agen pengkopel didalam komposit. Interaksi spesifik antara selulosa dan anhidridaa maleat dapat membangun sebuah asosiasi melalui esterifikasi antara gugus anhidridaa dan gugus hidroksil dari selulosa (Spoljaric et al. 2009). Tabel 7 menunjukkan karakteristik termal komposit berdasarkan pengujian DSC (Lampiran 10). Pengukuran DSC dilakukan untuk mengetahui suhu transisi gelas dari polimer yang dihasilkan. Puncak endoterm pertama pada film PP (115
48 ºC) merupakan proses terjadinya transisi gelas meningkat menjadi 125 ºC pada komposit PP dengan pengisi sludge, sementara pada komposit PP-sludge dengan penambahan MAPP suhu transisi gelas sama dengan PP. Puncak endoterm ke dua pada film PP (163.73 ºC) menunjukkan proses pelelehan polimer dari padatan menjadi cairan. Penambahan sludge pada matriks mengakibatkan titik leleh meningkat menjadi 164.40 ºC. Namun penambahan MAPP pada komposit PPsludge meurunkan titik leleh menjadi 160.38 ºC. Nilai ΔH adalah perubahan kalor yang terjadi selama proses penerimaan atau pelepasan kalor, menunjukkan bahwa dengan penambahan MAPP pada komposit perubahan kalor yang terjadi semakin kecil. Tabel 7 Karakteristik termal komposit Sampel PP (murni) Komposit sludge 50%-PP 50% Komposit sludge 50%-PP 45%-MAPP 5%
Transisi gelas (0C) 115 125
Titik leleh (0C) 163.73 164.40
ΔH (J/g) 79.7894 39.1249
115
160.38
35.7662
Komposit dengan pengisi nanokristalin selulosa dari sludge pada Gambar 37 menunjukkan adanya sedikit penurunan stabilitas panas, yaitu ditunjukkan oleh persentase kehilangan berat yang lebih tinggi pada setiap tahapan degradasinya, baik pada komposit tanpa MAPP maupun dengan penambahan MAPP. Perlakuan hidrolisis asam pada sludge mendorong penurunan dari stabilitas termal komposit. Hal ini diduga berasal dari sulphation permukaan yang dihasilkan dari perlakuan asam sulfat (Spoljaric et al. 2009).
Gambar 37 Termogram TGA pada film komposit:a) PP 50%/nanokristalin selulosa 50% dan b) PP 45%/MAPP 5%/nanokristalin selulosa 50%
49 Simpulan Penambahan agen pengkopel berpengaruh terhadap interaksi antara serat dengan matriks pada pembuatan komposit plastik (sifat fisis-mekanisnya meningkat). Komposit dengan pengisi nanokristalin selulosa memiliki sifat mekanis yang lebih kecil (terutama pada modulus young). Hasil SEM pada komposit yang ditambahkan agen pengkopel memperlihatkan adanya interaksi yang baik antara serat dengan matriks, ditunjukkan dengan matriks yang menyelimuti serat sehingga sudah tidak terlihat lagi adanya celah antara serat dengan matriks. Penambahan agen pengkopel juga berperan meningkatkan stabilitas panas pada komposit yang dihasilkan, ditunjukkan oleh peningkatan suhu dekomposisi matriks, tingkat kehilangan massa berkurang dan menurunnya nilai perubahan kalor.
50
6 METODE PENGERINGAN DAN PERENDAMAN BERULANG (HORNIFIKASI) UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SERAT DENGAN MATRIKS POLIPROPILENA Pendahuluan Pengeringan serat menyebabkan berkurangnya kemampuan serat untuk mengembang ketika direndam kembali dalam air. Kondisi ini dikenal dengan ‘hornifikasi’ yang dikemukakan pertama kali oleh G. Jayme tahun 1944 (Minor 1994). Mekanisme hornifikasi melibatkan peningkatan ikatan saling silang diantara mikrofibril akibat penambahan ikatan hidrogen selama proses pengeringan dan pembasahan yang berulang/rewetting (Minor 1994; Diniz et al. 2004). Hornifikasi serat ditentukan melalui sifat pengikatan air oleh serat yaitu dengan mengukur nilai water retention value (WRV) dengan metode sentrifugasi sebagaimana diperkenalkan oleh G. Jayme tahun 1944 (Diniz et al. 2004). Pengurangan nilai WRV serat yang terhornifikasi diharapkan dapat meningkatkan interaksi serat dengan matriks PP, karena serat menjadi lebih hidrofobik. Metode pengeringan dan perendaman berulang telah dilakukan untuk meningkatkan interaksi antara serat alami dan matriks semen. Beberapa penelitian telah menggali bahwa penggunaan serat alami dalam matriks semen memiliki kelemahan. Serat alami memiliki daya tahan yang rendah dalam medium alkali serta rendahnya adhesi terhadap matriks semen (Ballesteros et al. 2015). Perlakuan siklus pengeringan dan perendaman terhadap serat menyebabkan berkurangnya kapasitas penyerapan air oleh serat (nilai WRV rendah) dan meningkatkan stabilitas dimensi serat, sehingga terjadi adhesi serat dan matriks yang diharapkan, ditunjukkan oleh peningkatan sifat mekaniknya. Rendahnya nilai WRV juga menyebabkan pengurangan pembentukan inkrustasi/pengerasan kalsium hidroksida pada lumen dan permukaan serat sehingga mengurangi kerusakan serat dalam matriks semen (Mohr et al. 2005; Claramunt et al. 2010; Claramunt et al. 2011). Komposit berbahan matriks polimer/plastik juga memiliki kelemahan ketika digabungkan dengan serat alami, yang diakibatkan oleh perbedaan sifat plastik (hidrofobik) dan serat alami (hidrofilik). Metode pengeringan dan perendaman berulang belum pernah dilaporkan untuk perlakuan terhadap serat sebagai pengisi pada komposit plastik. Berdasarkan hal tesebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh siklus pengeringan dan perendaman terhadap karakteristik sludge (sifat fisik dan kimia), serta sifat mekanik pada komposit plastik yang dihasilkan. Bahan dan Metode Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sludge primer diperoleh dari PT. Indah Kiat Pulp and Paper, Serang-Banten. Polipropilen impact copolymer (block copolymer) BI9.0GA diperoleh dari PT Chandra Asri Petrochemical, Cilegon. Karakteristik terpenting dari jenis PP impact copolymer (block copolymer) BI9.0GA adalah material yang paling tahan benturan (tidak mudah pecah) dan juga memiliki ketahanan terhadap temperatur rendah (mencapai -30oC), melt flow rate (MFR) 9.0 g/10 menit serta kerapatan 0.9 g/cm3. Agen pengkopel yang digunakan adalah Licocene PPMA 6452 TP merupakan produk dari Clariant Chemical, Ltd. Jerman. Karakteristik Licocene PPMA 6452
51 TP antara lain bilangan asam 41 mg KOH/g, titik pelunakan (softening point) 1430C, kerapatan 0.93 g/cm3 serta tingkat grafting maleat anhidrida 7%. Bahan kimia yang digunakan antara lain asam sulfat (95%), etanol, benzena, sodium klorit (NaClO2), asam asetat, sodium hidroksida, air destilata dan asam klorida. Perlakuan terhadap serat Hornifikasi serat dilakukan pada 2 kondisi sludge (tanpa perlakuan dan perlakuan purifikasi). Perlakuan hornifikasi pada serat dilakukan melalui tahapan pengeringan pada suhu 600C selama 24 jam dan perendaman selama 24 jam dalam air destilata yang dilakukan secara berulang. Pengeringan dan pembahasan kembali dilakukan sebanyak 10 kali/siklus. Pembuatan komposit Pembuatan komposit dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : pencampuran sludge dan matriks polipropilen menggunakan labo plastomill merk Haake Polydrive pada suhu 1750C, kecepatan 60 rpm selama 20 menit. Komposisi bahan yang digunakan sludge:matriks adalah 40:60, 50:50 dan 60:40. Selanjutnya dari campuran tersebut dibentuk menjadi pellet, kemudian dibuat menjadi lembaran/komposit dengan menggunakan kempa panas pada suhu 180o C selama 20 menit. Setelah itu dikempa dingin selama 10 menit. Selanjutnya komposit yang dihasilkan dikondisikan pada suhu kamar dan selanjutnya dipotong dengan ukuran tertentu untuk dilakukan pengujian. Pengukuran WRV pada Sludge Hornifikasi serat ditentukan melalui sifat pengikatan air oleh serat dengan mengukur nilai WRV. Pengukuran WRV mengacu pada metode yang dilakukan oleh Wistara (2000). Sludge sebanyak 1.5 gram (kering oven) diuraikan dalam 800 ml air destilata, kemudian dilarutkan dalam 2000 ml air destilata dan divakum selama 4 jam. Selanjutnya untuk sampel pengukuran WRV dibuat lembaran dari 200 ml adukan pulp/serat. Sampel yang dihasilkan kemudian disentrifugasi selama 15 menit pada 3000 G. Setelah sentrifugasi sampel ditimbang, kemudian dikeringkan pada suhu 103±20C hingga beratnya konstan. Nilai WRV dihitung dengan persamaan: WRV=(A-B)/Bx100 dimana A= berat sampel setelah sentrifugasi, dan B= berat sampel kering oven. Untuk mengetahui derajat kristalinitas dan fasa bahan diuji dengan X-Ray Diffraction (XRD). Selain pengukuran WRV dilakukan pengukuran sudut kontak untuk melihat pengaruh siklus pengeringan dan pembasahan terhadap keterbasahan serat. Pengukuran dilakukan dengan meneteskan aquades ke permukaan lembaran serat. Kemudian diukur perubahan sudut kontaknya setiap 10 detik selama 2 menit. Karakterisasi komposit Karakterisasi sifat mekanis (keteguhan tarik, modulus tarik dan elongasi patah) film komposit dilakukan berdasarkan ASTM D882-75b (Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting) pada kecepatan crosshead 50mm/min. Morfologi komposit dengan pengisi sludge dikarakterisasi dengan scanning electron mycroscope (SEM) tipe JEOL-JSM-6510LV. Dalam analisis morfologi ini, sampel diletakkan pada carbontape yang ditempelkan pada
52 pemegang sampel berdiameter 1 cm. Sampel di lapisi dengan osmium pada alat coating, kemudian dimasukkan ke alat SEM dan dipindai pada tegangan 15 kV. Diagram penelitian disajikan pada Gambar 38.
Gambar 38 Diagram alir pembuatan komposit matriks PP dengan pretreatment hornifikasi Hasil dan Pembahasan Pengaruh siklus pengeringan dan perendaman pada sludge Tabel 8 menunjukkan terjadinya penurunan nilai WRV berdasarkan siklus pengeringan dan pembasahan kembali, baik pada sludge kontrol maupun yang mengalami perlakuan kimia. Siklus pengeringan dan pembasahan kembali (rewetting) pada serat akan menyebabkan penyusutan akibat terbentuknya ikatan hidrogen pada selulosa (hornifikasi). Diduga bahwa hornifikasi disebabkan oleh peleburan pada mikrofibril-mikrofibril selulose yang bersifat tetap. Ketika air dihilangkan dari serat, maka mikrofibril-mikrofibril yang berdampingan menjadi saling berdekatan dan ikatan-ikatan hidrogen terbentuk diantara mereka. Pembasahan kembali (rewetting) hanya mengembalikan kadar air sebagian karena beberapa fibril-fibril tetap terikat (Luo dan Zhu 2011).
53
Tabel 8 Nilai WRV (%) setelah siklus pengeringan dan perendaman Kondisi Siklus Pengeringan/Perendaman Serat Kontro II IV VI VIII X l Sludge (tanpa 85 78 73 64 63 62 perlakuan) Sludge (perlakuan 78 76 54 47 44 44 purifikasi)
Hornifikas i (%) 27.06 43.59
Penurunan nilai WRV pada sludge yang lebih besar ditunjukkan pada serat yang telah mengalami perlakuan kimia. Sebagaimana hasil yang diperoleh pada penelitian Claramunt et al. (2010), bahwa penurunan WRV yang lebih signifikan terjadi pada pulp yang telah mengalami proses pemutihan (bleaching). Lebih lanjut Claramunt et al. (2010) menjelaskan bahwa ada mekanisme interfase ligninhemiselulose pada selulose yang akan mencegah pembentukan ikatan hidrogen diantara mikrofibril selama proses/siklus pengeringan dan pembasahan kembali. Hal tersebut menyebabkan aksesibilitas air menjadi lebih mudah. Namun dengan penghilangan lignin-hemiselulose melaui proses pemutihan, ikatan yang fleksibel antara selulose-hemiselulose diganti dengan ikatan selulosa-selulose yang lebih kaku. Ikatan selulose-selulose yang lebih kaku ini akan menyebabkan aksesibilitas air menjadi sulit. Wan et al. (2010) juga menyatakan bahwa hemiselulose memiliki peranan penting dalam mempertahankan kemampuan serat untuk menyerap air, karena hemiselulosa berada diantara mikrofibril yang menghambat terjadinya peleburan diantara mikrofibril tersebut. Köhnke et al. (2010) melakukan penelitian tentang adsorbsi glukuronoxilan (komponen utama hemiselulosa) terhadap perubahan sifat bleached kraft pulp yang mengalami pengeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorbsi glukuronoxilan dapat mengurangi hornifikasi. Dengan demikian tingkat hornifikasi berkorelasi dengan kadar hemiselulosa. Semakin rendah kadar hemiselulosa, maka tingkat hornifikasi semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6, dimana nilai hornifikasi yang lebih tinggi terdapat pada serat yang mengalami perlakuan kimia (diantaranya adalah penghilangan hemiselulosa). Serat yang terhornifikasi akan menjadi lebih hidrofobik, dan diharapkan dapat meningkatkan interaksi antara serat dan matriks. Sebagaimana Claramunt et al. (2010) yang melakukan penelitian komposit semen berpenguat serat alam menyatakan bahwa serat yang terhornifikasi akan memiliki stabilitas dimensi yang lebih tinggi. Hornifikasi pada serat akan menyebabkan interaksi yang lebih baik antara matriks dengan serat. Data pendukung pengaruh siklus pengeringan dan perendaman pada sludge lainnya adalah keterbasahan serat yang ditunjukkan oleh besarnya sudut kontak ditunjukkan pada Gambar 39 dan Gambar 40. Suduk kontak dapat digunakan untuk mengetahui sifat pembasahan pada bahan padat melalui setetes cairan yang dibuat pada permukaan. Tidak seperti pada bahan/substrat misalnya mika, kuarsa, kaca dan lain-lain yang memiliki permukaan sangat homogen dan datar, pembentukan sudut kontak air pada serat selulosa tidak statis tetapi melalui proses yang dinamis. Pada saat terjadi kontak antara air dengan permukaan serat, maka langsung mengalami proses implantasi. Proses implantasi dapat dibagi
54 menjadi tiga tahap yaitu adhesi, penetrasi, dan kemudian penyebaran. Oleh karena itu, sudut yang dibentuk antara bahan cair bergerak dan permukaan padat disebut sudut kontak dinamis, biasanya digunakan untuk mengukur sifat pembasahan dari serat selulosa dan produk kertas (Li et al. 2011a).
Gambar 39 Sudut kontak pada a) sludge tanpa perlakuan; b) sludge terhornifikasi dan c) sludge terpurifikasi Gambar 39 (C) menunjukkan bahwa serat yang mengalami perlakuan memiliki nilai sudut kontak yang lebih besar meskipun air sama-sama meresap sempurna pada detik ke-20. Gambar 40 menunjukkan bahwa pada serat yang mengalami perlakuan kimia kemudian dilanjutkan dengan hornifikasi terjadi perubahan fisik, yaitu bersifat lebih hidrofobik. Sifat hidrofobik ini ditunjukkan dengan kemampuan serat yang sulit untuk menyerap air.
Gambar 40 Sudut kontak pada sludge yang mengalami purifikasi dan hornifikasi Gambar 41 menunjukkan perubahan sudut kontak berdasarkan fungsi waktu, dimana serat yang tidak mengalami hornifikasi pada detik ke-20 dan detik ke-30 telah menyerap air dengan sempurna. Sementara pada serat yang mengalami perlakuan kimia sekaligus hornifikasi hingga detik ke-120 air masih tertahan pada lembaran serat (rata-rata sudut kontak 79.380). Dengan demikian perlakuan pengeringan/perendaman secara berulang mampu meningkatkan sifat hidrofobik dari serat.
55
Gambar 41 Sudut kontak antara air dengan sludge Karakteristik Komposit Plastik Nilai kerapatan komposit plastik ditunjukkan pada Gambar 42, dengan pola yang hampir sama dengan komposit yang ditambahkan MAPP. Dengan demikian perlakuan hornifikasi dapat berperan untuk mengkatkan kompatibilitas antara serat dengan matriks.
Gambar 42 Nilai kerapatan pada komposit Gambar 43 menunjukkan nilai daya serap air dan pengembangan tebal pada komposit dengan pengisi sludge yang mengalami perlakuan hornifikasi. Hasil tersebut memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan komposit sludge/PP/MAPP, dengan demikian perlakuan hornifikasi juga dapat meningkatkan interaksi yang lebih baik antara serat dengan matriks.
56
Gambar 43 Nilai daya serap air dan pengembangan tebal pada komposit Gambar 44 menunjukan hasil pengujian kekuatan tarik pada komposit plastik. Kekuatan tarik semakin menurun dengan meningkatnya jumlah serat pada komposit. Perlakuan hornifikasi dapat meningkatkan sifat kekuatan tarik dibandingkan komposit dengan pengisi serat tanpa perlakuan hornifikasi.
Gambar 44 Kekuatan tarik pada komposit plastik
57 Gambar 45 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai modulus young pada komposit plastik dengan peningkatan jumlah sludge. Pada beberapa sampel terlihat bahwa perlakuan hornifikasi memberikan hasil pada modulus young yang lebih baik dibandingkan komposit dengan pengisi serat tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan hornifikasi mampu meningkatkan ikatan antar muka antara serat dengan matriks PP.
Gambar 45 Modulus young pada komposit plastik Penambahan nanokristalin selulosa pada matriks PP lebih rendah daripada komposit dengan pengisi sludge berukuran mikro. Bahkan penambahan nanokristalin selulosa 40% memiliki nilai modulus young yang lebih rendah daripada matriks PP. Hal ini diduga bahwa dengan semakin kecilnya ukuran serat maka meningkatkan luas permukaan dari pengisi, sementara jumlah matriksnya tetap, sehingga dimungkinkan adanya sebagian pengisi yang tidak terlapisi oleh matriks PP secara optimal. Selain itu serat yang mengalami perlakuan hidrolisis asam memiliki stabilitas panas yang lebih rendah (Johar et al. 2012), sehingga pada saat proses pencampuran antara serat dengan matriks pada suhu tinggi diduga menyebabkan terjadinya depolimerisasi pada matriks.
Gambar 46 Elongasi patah pada komposit plastik
58 Gambar 47 menunjukkan hasil SEM dari komposit dengan matriks PP pada variasi perlakuan sludge. Terlihat perbedaan morfologi permukaan komposit dengan perbedaan pengisi dan perlakuan pada sludge. Komposit dengan pengisi sludge tanpa purifikasi memperlihatkan adanya celah antara serat dengan matriks yang mengindikasikan tidak terjadinya interaksi antara serat dengan matriks. Pada serat yang mengalami hornifikasi meskipun masih terlihat adanya serat yang tidak terlapisi oleh matriks namun sudah mulai terlihat matriks menyelimuti serat. Hal serupa juga terjadi pada komposit dengan pengisi sludge yang mengalami purifikasi. Sementara pada komposit dengan pengisi nanokristalin selulosa morfologi permukaannya berbeda dengan komposit lainnya. Interaksi yag lebih baik terjadi antara nanokristalin selulosa dengan matriks yang ditunjukkan oleh morfologi permukaan komposit yang relatif lebih homogen, baik pada nanokristalin selulosa kontrol maupun yang mengalami perlakuan hornifikasi. Non purifikasi
Kontrol
Hornifikasi
Purifikasi
Kontrol
Hornifikasi
Nanokristalin selulosa
Kontrol
8 Hornifikasi Gambar 47 Foto SEM komposit plastik
59 Simpulan Siklus pengeringan dan perendaman terhadap sludge secara berulang mampu meningkatkan sifat hidrofobik serat sludge yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai WRV dan nilai sudut kontak yang tinggi. Perlakuan hornifikasi mampu meningkatkan ikatan antar muka antara serat dengan matriks PP, yang ditunjukkan oleh peningkatan sifat fisis-mekanis komposit PP dengan pengisi serat terhornifikasi. Hasil SEM menunjukkan bahwa morfologi permukaan komposit PP dengan pengisi serat terhornifikasi relatif lebih homogen.
60
7 PEMBAHASAN UMUM Sludge terdiri dari unsur utama yaitu serat (yang didominasi oleh fine fiber) yang berkisar antara 50-60% berdasarkan berat kering dan bahan anorganik (seperti kaolin dan kalsium karbonat) serta produk sampingan seperti lignin (Gomez dan De Alda 2008; Girones et al. 2010; Mehmood et al. 2010). Hasil penelitian diperoleh sludge dengan kadar alpha-selulosa 39.87%, lignin 21.62% dan abu 22.47%. Pengujian EDS menunjukkan bahwa selain unsur C dan O (sebagai unsur penyusun selulosa) juga terdapat unsur Ca yang merupakan penyusun kalsium karbonat. Kadar selulosa yang rendah dari biasanya ini karena sludge yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dari industri yang mengolah kertas bekas. Sebagaimna dijelaskan oleh Suriyanarayanan et al. (2010) bahwa sifat sludge dari industri kertas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis bahan baku dan metode pulping yang digunakan serta pengolahan limbahnya. Sehingga sifat sludge yang dihasilkan oleh industri kertas bisa berbeda-beda. Perlakuan purifikasi pada sludge menghasilkan kadar selulosa yang lebih tinggi (76.34%) dan penurunan kadar abu menjadi 4.96%. Sehingga purifikasi efektif untuk menghilangkan pengotor-pengotor, meskipun masih ada komponenkomponen kimia yang tidak bisa dihilangkan, namun masih dapat dihasilkan serat yang relatif murni. Selain itu terjadi perubahan selulosa menjadi selulosa tipe II akibat perlakuan alkali pada proses purifikasi (Yue 2011). Serat tersebut kemudian dikonversi menjadi ukuran yang sangat kecil (ukuran nano), dengan kata lain menjadikannya produk nanoselulosa untuk meningkatkan nilai tambahnya. Karena dari segi sifatnya nanoselulosa berbeda dengan selulosa alami, karena nanoselulosa memiliki sifat-sifat yang khas seperti sangat kuat, rasio permukaan terhadap volume yang besar, kekuatan tarik yang tinggi, jaringan yang halus dan sangat porous sehingga aplikasinya lebih luas (Spence et al. 2010; Winuprasith dan Suphantharika 2013). Dengan pertimbangan efisiensi, maka metode mekanik dicoba dilakukan yaitu dengan menggunakan metode fibrilasi dengan disk refiner serta metode penggilingan (milling). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran dibawah 100 nm diperoleh melalui metode milling 20 kali, namun cenderung sangat heterogen karena dari slurry yang dihasilkan masih terdapat endapan yang menunjukkan bahwa ukuran serat masih dalam skala mikro. Oleh karena itu proses pembuatan nanoselulosa dilanjutkan dengan metode kimia melalui kombinasi hidrolisis asam (dengan waktu hidrolisis 30 dan 60 menit) dan ultrasonikasi untuk memperoleh ukuran yang lebih kecil. Nanoselulosa yang diperoleh melalui proses hidrolisis asam biasa disebut dengan nanokristalin selulosa (Johar et al. 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata ukuran nanokristalin selulosa dengan waktu hidrolisis 30 menit dan 60 menit adalah 64.32 nm dan 54.10 nm. Namun bertambahnya waktu hidrolisis menurunkan nilai kristalinitasnya yaitu dari 70.76% (pada hidrolisis 30 menit) menjadi 69.51% (pada hidrolisis 60 menit). Penurunan kristalinitas terjadi karena semakin lama waktu hidrolisi maka penetrasi asam pada serat tidak hanya merusak bagian amorf, namun juga menyerang bagian kristalin (Fahma et al. 2010; Neto et al. 2013; Silvério et al. 2013a). Sehingga untuk aplikasinya sebagai penguat dan
61 pengisi komposit plastik digunakan nanokristalin selulosa dengan waktu hidrolisis 30 menit. Komposit dengan penguat nanokristalin selulosa meningkatkan sifat fisik dan mekaniknya (sifat konduktivitas, optik, kekuatan tarik, modulus young dan elongasi patah). Hal ini disebabkan kompatibilitas yang baik antara nanokristalin selulosa dengan matriks PVA serta perubahan tipe selulosa menjadi selulosa II pada proses purifikasi. Selulose tipe II memiliki sifat yang lebih stabil sehingga selain meningkatkan sifat mekanik juga meningkatkan sifat stabilitas panas pada komposit yang dihasilkan (Yue 2011). Penelitian aplikasi nanokristalin selulosa sebagai pengisi pada matriks PP adalah dengan memberikan perlakuan pada serat, karena permasalahan yang biasa muncul pada komposit plastik yang bersifat hidrofobik seperti PP adalah rendahnya interaksi dengan serat yang bersifat hidrofilik. Siklus pengeringan dan perendaman terhadap sludge secara berulang mampu meningkatkan sifat hidrofobik kayu yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai WRV dan nilai sudut kontak yang tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap interaksi antara serat dengan matriks pada pembuatan komposit plastik, meskipun kompatibilitas yang baik tetap ditunjukkan oleh komposit dengan penambahan agen pengkopel.
62
8 SIMPULAN UMUM Simpulan
1.
2. 3. 4.
Dari beberapa tahap penelitian dapat disimpulkan bahwa: Sludge memiliki kadar selulosa 39.87%, lignin 21.62 % dan abu 33.47%, perlakuan purifikasi dapat meningkatkan kadar selulosa menjadi 76.34% dan menurunkan kadar lignin dan abu menjadi 2.76% dan 4.96%. Nanokristalin selulosa dapat dihasilkan melalui perlakuan hidrolisis asam selama 30 menit yang dilanjutkan dengan ultrasonikasi. Aplikasi nanokristalin selulosa sebagai penguat pada matriks PVA mampu meningkatkan sifat fisik dan mekaniknya Perlakuan hornifikasi pada serat sludge mampu meningkatkan interaksinya dengan matriks PP. Saran
Hidrolisis asam merupakan metode yang banyak digunakan untuk menghasilkan nanokristalin selulosa, namun memiliki kelemahan yaitu menurunkan stabilitas panasnya. Sehingga untuk aplikasi nanokristalin selulosa sebagai pengisi komposit harus mempertimbangkan titik leleh dari matriksnya.
63 DAFTAR PUSTAKA Aulia F, Marpongahtun, Gea S. 2013. Studi Penyediaan Nanokristal Selulosa dari Tandan Kosong Sawit (TKS). J. Saintia Kimia. 1(2): 1-7. Ballesteros JEM, Fiorelli J, Savastano H, Vidil L. 2015. Evaluation of the Effect of Drying and Rewetting Cycles in Eucalyptus Pulps. Int. J. Eng. Technol. 7(5): 397-400. doi: 10.7763/ijet.2015.v7.826 Bednarik V, Vondruska M, Sild M, Koutny M. 2004. Stabilization/Solidification of Wastewater Treatment Sludge. J. Environ. Eng. 30(12): 1527-1533. 10.1061/(ASCE)0733-9372(2004)130:12(1527 Brinchi L, Cotana F, Fortunati E, Kenny JM. 2013. Production of nanocrystalline cellulose from lignocellulosic biomass: Technology and applications. Carbohydr. Polym. 94: 154-169. DOI: 10.1016/j.carbpol.2013.01.033 Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. New York (US): WileyInterscience Publishers. Chen D, Lawton D, Thompson MR, Liu Q. 2012. Biocomposites reinforced with cellulose nanocrystals derived from potato peel waste. Carbohydr. Polym. 90: 709–716. doi: 10.1016/j.carbpol.2012.06.002 Chen W, Yu H, Liu Y, Chen P, Zhang M et al. 2011. Individualization of cellulose nanofibers from wood using high-intensity ultrasonication combined with chemical pretreatments. Carbohydr. Polym. 83(4): 18041811. doi: 10.1016/j.carbpol.2010.10.040 Claramunt J, Ardanuy M, García-Hortal JA. 2010. Effect of drying and rewetting cycles on the structure and physicochemical characteristics of softwood fibres for reinforcement of cementitious composites. Carbohydr. Polym. 79(1): 200-205. doi: 10.1016/j.carbpol.2009.07.057 Claramunt J, Ardanuy M, García-Hortal JA, Filho RDT. 2011. The hornification of vegetable fibers to improve the durability of cement mortar composites. Cem. Concr. Compos. 33(5): 586-595. doi: 10.1016/j.cemconcomp.2011.03.003 Dai D, Fan M, Collins P. 2013. Fabrication of nanocelluloses from hemp fibers and their application for the reinforcement of hemp fiber. Ind. Crops Prod. 44: 192– 199. doi: 10.1016/j.indcrop.2012.11.010 Diniz JMBF, Gil MH, Castro JAAM. 2004. Hornification-its origin and interpretation in wood pulps. Wood Sci. Technol. 37(6): 489-494. doi: 10.1007/s00226-003-0216-2 Durán N, Lemes AP, Durán M, Freer J, Baeza J. 2011. A minireview of cellulose nanocrystals and its potential integration as co-product in bioethanol production. J. Chil. Chem. Soc. 56: 672-677. doi: 10.4067/S071797072011000200011 Elanthikkal S, Gopalakrishnapanicker U, Varghese S, Guthrie JT. 2010. Cellulose microfibres produced from banana plant wastes: Isolation and doi: characterization. Carbohydr. Polym. 80(3): 852-859. 10.1016/j.carbpol.2009.12.043 Fahma F, Hori N, Iwamoto S, Iwata T, Takemura A. 2010. Isolation, preparation, and characterization of nanofibers from oil palm empty-fruit-bunch (OPEFB). Cellulose 17: 977–985. doi: 10.1007/s10570-010-9436-4
64 Fahma F, Hori N, Iwamoto S, Iwata T, Takemura A. 2011. Effect of pre-acidhydrolysis treatment on morphology and properties of cellulose nanowhiskers from coconut husk. Cellulose. 18: 443–450. doi: 10.1007/s10570-010-9480-0 Fan Js, Li Yh. 2012. Maximizing the yield of nanocrystalline cellulose from cotton pulp fiber. Carbohydr. Polym. 88: 1184-1188. doi: 10.1016/j.carbpol.2012.01.081 Faruk O, Bledzki AK, Fink H-P, Sain M. 2012. Biocomposites reinforced with natural fibers: 2000–2010. Prog. Polym. Sci. 37(11): 1552-1596. doi: 10.1016/j.progpolymsci.2012.04.003 Fortunatia E, Puglia D, Luzi F, Santulli C, Kenny JM et al. 2013. Binary PVA bio-nanocomposites containing cellulose nanocrystals extracted from different natural sources: Part I. Carbohydr. Polym. 97: 825– 836. doi: 10.1016/j.carbpol.2013.03.075 Frone AN, Panaitescu DM, Donescu D, Spataru CI, Radovici C et al. 2011. Preparation And Characterization Of Pva Composites With Cellulose Nanofibers Obtained By Ultrasonication. BioResources. 6(1): 487-512. Geng X, Deng J, Zhang SY. 2006. Effect of Hot-Pressing Parameters and Wax Content on the Properties of Fiberboard Made from Paper Mill Sludge. Wood Fiber Sci. 38(4): 736-741. Girones J, Pelach MA, Pardini G, Mutje P, Vilaseca F. 2010. Recycling of paper mill sludge as filler/reinforcement in polypropylene composites. J. Polym. Environ. 18: 407–412. doi: 10.1007/s10924-010-0169-0 Gomez JA, de Alda O. 2008. Feasibility of recycling pulp and paper mill sludge in the paper and board industries. Resour. Conserv. Recycl. 52. doi: 10.1016/j.resconrec.2008.02.005 Hamzeh Y, Ashori A, Mirzaei B. 2011. Effects of Waste Paper Sludge on the Physico-Mechanical Properties of High Density Polyethylene/Wood Flour Composites. J. Polym. Environ. 19: 120–124. doi: 10.1007/s10924-0100255-3 Hardiani H, Sugesty S. 2009. Pemanfaatan Limbah Sludge Industri Kertas Sigaret Untuk Bahan Baku Bata Beton. Berita Selulosa. 44(2): 86-98. Henrique MA, Silvério HA, Neto WPF, Pasquini D. 2013. Valorization of an agro-industrial waste, mango seed, by the extraction and characterization of its cellulose nanocrystals. J. Environ. Manage. 121: 202-209. doi: 10.1016/j.jenvman.2013.02.054 Johar N, Ahmad I, Dufresne A. 2012. Extraction, preparation and characterization of cellulose fibres and nanocrystals from rice husk. Ind. Crops Prod. 37: 93-99. doi: 10.1016/j.indcrop.2011.12.016 Jonoobi M, Mathew AP, Oksman K. 2012. Producing low-cost cellulose nanofiber from sludge as new source of raw materials. Ind. Crops Prod. 40: 232– 238. doi: 10.1016/j.indcrop.2012.03.018 Khalil HPSA, Bhat AH, Ireana Yusra AF. 2012. Green composites from sustainable cellulose nanofibrils: A review. Carbohydr. Polym. 87(2): 963-979. doi: 10.1016/j.carbpol.2011.08.078 Khiar ASA, Arof AK. 2009. Conductivity studies of starch-based polymer electrolytes. Ionics. 16(2): 123-129. doi: 10.1007/s11581-009-0356-y
65 Kim H-S, Lee B-H, Choi S-W, Kim S, Kim H-J. 2007. The effect of types of maleic anhydride-grafted polypropylene (MAPP) on the interfacial adhesion properties of bio-flour-filled polypropylene composites. Compos. Part A-Appl. S. 38(6): 1473-1482. doi: 10.1016/j.compositesa.2007.01.004 Köhnke T, Lund K, Brelid H, Westman G. 2010. Kraft pulp hornification: A closer look at the preventive effect gained by glucuronoxylan adsorption. Carbohydr. Polym. 81(2): 226-233. doi: 10.1016/j.carbpol.2010.02.023 Krigstin S, Sain M. 2006. Characterization and potential utilization of recycled paper mill sludge. Pulp Pap. Can. T 104. . 107(5): 29-32. Landry Vr, Alemdar A, Blanchet P. 2010. Nanocrystalline Cellulose: Morphological, Physical, and Mechanical Properties. For. Prod. J. . 61(2): 104-114. Langford JI, Wilson A. 1978. Scherrer after sixty years: a survey and some new results in the determination of crystallite size. J. Appl. Crystallogr. 11(2): 102-113. Lavoine N, Desloges I, Dufresne A, Bras J. 2012. Microfibrillated cellulose - its barrier properties and applications in cellulosic materials: a review. Carbohydr. Polym. 90(2): 735-764. doi: 10.1016/j.carbpol.2012.05.026 Leão AL, Cherian BM, Souza SFd, Sain M, Narine S et al. 2012. Use of primary sludge from pulp and papermills for nanocomposites. Mol. Cryst. Liq. Cryst. 556: 254–263. doi: 10.1080/15421406.2012.635974 Li H, Liu H, Fu S, Zhan H. 2011a. Surface hydrophobicity modification of cellulose fibers by layer-by-layer self-asssembly of lignosulfonates. BioResources. 6(2): 1681-1695. Li Z, Zhou X, Pei C. 2011b. Research article effect of sisal fiber surface treatment on properties of sisal fiber reinforced polylactide composites. Int. J. Polym. Sci. 2011: 1-7. doi: 10.1155/2011/803428 Lima PRL, Santos RJ, Ferreira SR, Filho RDT. 2014. Characterization and treatment of sisal fiber residues for cement-based composite application. Eng. Agríc., Jaboticabal. 34(5): 812-825. Lin Q, Zhou X, Dai G, Bi Y. 2002. Some studies on mechanical properties of wood flour/continuous glass mat/polypropylene composite. J. Appl. Polym. Sci. 85(3): 536-544. doi: 10.1002/app.10591 Lu H, Gui Y, Zheng L, Liu X. 2013. Morphological, crystalline, thermal and physicochemical properties of cellulose nanocrystals obtained from sweet 121-128. doi: potato residue. Food Res. Int. 50: 10.1016/j.foodres.2012.10.013 Lu JZ, Wu Q, Harold S. McNabb J. 2000. Chemical Coupling In Wood Fiber And Polymer Composites: A Review Of Coupling Agents And Treatments. Wood Fiber Sci. 32(1): 88-104. Luo X, Zhu JY. 2011. Effects of drying-induced fiber hornification on enzymatic saccharification of lignocelluloses. Enzyme Microb. Technol. 48(1): 92-99. doi: 10.1016/j.enzmictec.2010.09.014 Mehmood S, Khaliq A, Ranjha SA. 2010. The use of post consumer wood waste for the production of wood plastic composites: A review. Di dalam: B. Bilitewski, W. P. Clarke, R. Cossu, T. Matsuto, M. Nelles et al., editor. Third International Symposium on Energy from Biomass and Waste.8-11 November 2010; Venice, Italy (IT): CISA Publisher.
66 Miller RB. 1999. Structure of Wood. Di dalam: F. P. Laboratory, editor. Wood Handbook-Wood as an Engineering Material. Madison (US): Department of Agriculture, Forest Service, Forest Products Laboratory. hlm 2.1-2.4. Minor JL. 1994. Hornification - Its Origin and Meaning. Prog. Pap. Recycl. . 3(2): 93-95. Moberg T, Rigdahl M. 2012. On the Viscoelastic Properties of Microfibrillated Cellulose (MFC) Suspensions. Ann. T. Nord. Rheol. Soc. 20: 123-130. Mohr BJ, Nanko H, Kurtis KE. 2005. Durability of kraft pulp fiber–cement composites to wet/dry cycling. Cem. Concr. Compos. 27(4): 435-448. doi: 10.1016/j.cemconcomp.2004.07.006 Nakagaito AN, Yano H. 2004. The effect of morphological changes from pulp fiber towards nano-scale fibrillated cellulose on the mechanical properties of high-strength plant fiber based composites. Appl Phys A. 78(4): 547552. doi: 10.1007/s00339-003-2453-5 Neto WPF, Silvério HA, Dantas NO, Pasquini D. 2013. Extraction and characterization of cellulose nanocrystals from agro-industrial residue – Soy hulls. Ind. Crops Prod. 42: 480– 488. doi: 10.1016/j.indcrop.2012.06.041 Oksman K, Mathew AP. 2012. High technology nanomaterials from the forest resources. Di dalam: Bioenergi 2012, Forskning för en ny generaron gröna produkter och kemikalier. 14-15 November 2012; Piteå (SE): Wood and Bionanocomposites & Composite Center Sweden, Luleå University of Technology. Onggo H, Subowo W, Sudirman. 2005. Analisis Sifat Termal Komposit Polipropilen-Kenaf. Pros. Simposium Nas. Polim. V.: 149-153. Park J-M, Quang ST, Hwang B-S, DeVries KL. 2006. Interfacial evaluation of modified Jute and Hemp fibers/polypropylene (PP)-maleic anhydride polypropylene copolymers (PP-MAPP) composites using micromechanical technique and nondestructive acoustic emission. Compos. Sci. Technol. 66(15): 2686-2699. doi: 10.1016/j.compscitech.2006.03.014 PT. Indah Kiat Pulp and Paper. 2011. Laporan Tahunan 2011. Jakarta (ID): PT. Indah Kiat Pulp & Paper. Salmah. 2005. The effects of paper sludge and calcium carbonate on tensile properties and water absorption of Polypropylene (PP)/Ethylene Propylene Diene Terpolymer (EPDM) composites. J. Teknol. Proses. 5(1): 53-57. Santos RMd, Neto WPF, Silvério HA, Martins DF, Dantas NO et al. 2013. Cellulose nanocrystals from pineapple leaf, a new approach for the reuse of this agro-waste. Ind. Crops Prod. 50: 707– 714. doi: 10.1016/j.indcrop.2013.08.049 Silvério HA, Flauzino Neto WP, Dantas NO, Pasquini D. 2013a. Extraction and characterization of cellulose nanocrystals from corncob for application as reinforcing agent in nanocomposites. Industrial Crops and Products. 44: 427-436. 10.1016/j.indcrop.2012.10.014 Silvério HA, Neto WPF, Dantas NO, Pasquini D. 2013b. Extraction and characterization of cellulose nanocrystals from corncob for application as reinforcing agent in nanocomposites. Ind. Crops Prod. 44: 427-436. doi: 10.1016/j.indcrop.2012.10.014
67 Siqueira G, Bras J, Dufresne A. 2010. Cellulosic bionanocomposites: A review of preparation, properties and applications. Polymers. 2(4): 728-765. doi: 10.3390/polym2040728 Siró I, Plackett D. 2010. Microfibrillated cellulose and new nanocomposite materials: a review. Cellulose. 17(3): 459-494. doi: 10.1007/s10570-0109405-y Son J, Kim H-J, Lee P-W. 2001. Role of paper sludge particle size and extrusion temperature on performance of paper sludge-thermoplastic polymer composites. J. Appl. Polym. Sci. 82(11): 2709-2718. doi: 10.1002/app.2123 Son J, Yang H-S, Kim H-J. 2004. Physico-mechanical Properties of Paper Sludge-Thermoplastic Polymer Composites. J. Thermoplast. Compos. Mater. 17(6): 509-522. doi: 10.1177/0892705704038471 Spence K, Venditti R, Rojas O, Habibi Y, Pawlak J. 2011. A comparative study of energy consumption and physical properties of microfibrillated cellulose produced by different processing methods. Cellulose. 18(4): 1097-1111. doi: 10.1007/s10570-011-9533-z Spence KL, Venditti RA, Habibi Y, Rojas OJ, Pawlak JJ. 2010. The effect of chemical composition on microfibrillar cellulose films from wood pulps: mechanical processing and physical properties. Bioresour Technol. 101(15): 5961-5968. 10.1016/j.biortech.2010.02.104 Spoljaric S, Genovese A, Shanks RA. 2009. Polypropylene–microcrystalline cellulose composites with enhanced compatibility and properties. Compos. Part A-Appl. S. 40(6-7): 791-799. doi: 10.1016/j.compositesa.2009.03.011 Suriyanarayanan S, Mailappa AS, Jayakumar D, Nanthakumar K, Karthikeyan K et al. 2010. Studies on the Characterization and Possibilities of Reutilization of Solid Wastes from a Waste Paper Based Paper Industry. Global J. Environ. Res. 4(1): 18-22. TAPPI. 1988a. TAPPI (US Technical Association of Pulp and Paper Industry) Method T222 om-88: Acid-Insoluble Lignin in Wood and Pulp. Atlanta,GA (US): TAPPI Press. TAPPI. 1988b. TAPPI (US Technical Association of Pulp and Paper Industry) Method T204 om-88: Solvent extractives of wood and pulp. Atlanta,GA (US): TAPPI Press. TAPPI 1993. TAPPI (US Technical Association of Pulp and Paper Industry) Method T211 om-93: Ash In wood, pulp, paper and paperboard: combustion at 5250C. Atlanta,GA (US): TAPPI Press. Taramian A, Doosthoseini K, Mirshokraii SA, Faezipour M. 2007. Particleboard manufacturing: an innovative way to recycle paper sludge. Waste Manag. 27(12): 1739-1746. doi: 10.1016/j.wasman.2006.09.009 Tonoli GHD, Teixeira EM, Corrêa AC, Marconcini JM, Caixeta LA et al. 2012. Cellulose micro/nanofibres from Eucalyptus kraft pulp: Preparation and properties. Carbohydr. Polym. 89(1): 80-88. doi: 10.1016/j.carbpol.2012.02.052 Turbak A, Snyder F, Sandberg K. 1983. Microfibrillated cellulose: a new cellulose product: properties, uses, and commercial potential. J App. Polym. Sci. 37: 815–827.
68 Voronova MI, Surov OV, Zakharov AG. 2013. Nanocrystalline cellulose with various contents of sulfate groups. Carbohydr. Polym. 98: 465– 469. doi: 10.1016/j.carbpol.2013.06.004 Wan J, Wang Y, Xiao Q. 2010. Effects of hemicellulose removal on cellulose fiber structure and recycling characteristics of eucalyptus pulp. Bioresour. Technol. 101(12): 4577-4583. doi: 10.1016/j.biortech.2010.01.026 Wattimena RBI, Surachman A, Aziz W. 2011. Potensi Penerapan Self-Locking Wall Pada Pemanfaatan Limbah Sludge Deinking Industri Kertas Sebagai Batako Interlok. J. Selulosa. 1(1): 42-50. Widiastuti H, Isroi, Siswanto. 2009. Keefektifan Beberapa Dekomposer Untuk Pengomposan Limbah Sludge Pabrik Kertas Sebagai Bahan Baku Pupuk Organik. Ber. Selulosa. 44(2): 99-110. Widyati E. 2009. Pemanfaatan Sludge Industri Pulp Dan Kertas Sebagai Amelioran Tanah Untukmemacu Rehabilitasi Lahan. Ber. Selulosa. 44(1): 41-48. Winuprasith T, Suphantharika M. 2013. Microfibrillated cellulose from mangosteen (Garcinia mangostana L.) rind: Preparation, characterization, and evaluation as an emulsion stabilizer. Food Hydrocolloid. 32(2): 383394. doi: 10.1016/j.foodhyd.2013.01.023 Wistara N. 2000. Sifat Penyerapan air oleh pulp akibat perbedaan konsistensi penggilingan dan pendauran. J. Teknol. Has. Hutan. 12(1): 36-43. Yue Y. 2011. A comparative study of cellulose I and II fibers and nanocrystals [Thesis]. Louisiana (US): Louisiana State University. Zhang DQ, Tan SK, Gersberg RM. 2010. Review: Municipal solid waste management in China: Status, problems and challenges. J. Environ. Manage. 91: 1623e1633. doi: 10.1016/j.jenvman.2010.03.012 Zhao J, He X, Wang Y, Zhang W, Zhang X et al. 2014. Reinforcement of allcellulose nanocomposite films using native cellulose nanofibrils. Carbohydr. Polym. 104: 143-150. doi: 10.1016/j.carbpol.2014.01.007 Zugenmaier P. 2008. Crystalline Cellulose and Derivatives: Characterization and Structures. Berlin (DE): Springer. Zuluaga R, Putaux JL, Cruz J, Vélez J, Mondragon I et al. 2009. Cellulose microfibrils from banana rachis: Effect of alkaline treatments on structural and morphological features. Carbohydr. Polym. 76(1): 51-59. doi: 10.1016/j.carbpol.2008.09.024
69
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil pengukuran dimensi serat sludge primer No
Panjang Serat
Diameter Serat
Diameter Lumen
Tebal Dinding Sel
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
1
1416.95
24.09
14.83
4.63
2
2417.15
34.29
20.39
6.95
3
2833.9
20.39
13.9
3.24
4
800.16
19.46
11.12
4.17
5
1200.24
14.83
5.56
4.63
6
2517.17
36.14
8.34
13.9
7
1250.25
13.9
5.56
4.17
8
2083.75
29.65
13.9
7.88
9
2667.2
27.8
16.68
5.56
10
1250.25
16.68
10.19
3.24
11
1500.3
16.68
8.34
4.17
12
3050.61
27.8
10.19
8.8
13
1717.01
33.36
16.68
8.34
14
2333.8
26.87
21.31
2.78
15
2250.45
22.24
7.41
7.41
16
2250.45
22.24
5.56
8.34
17
683.47
25.02
16.68
4.17
18
3167.3
14.83
5.56
4.63
19
1383.61
19.46
11.12
4.17
20
1183.57
29.65
24.09
2.78
21
833.5
13.9
8.34
2.78
22
916.85
8.34
2.78
2.78
23
1667
13.9
8.34
2.78
24
916.85
16.68
11.12
2.78
25
3534.04
19.46
2.78
8.34
26
4667.6
40.77
14.83
12.97
27
2833.9
28.73
6.49
11.12
28
1166.9
24.09
12.05
6.02
29
1200.24
17.61
6.49
5.56
30
1583.65
20.39
10.19
5.1
31
2750.55
33.36
24.09
4.63
32
4750.95
46.33
28.73
8.8
33
833.5
28.73
10.19
9.27
34
2000.4
36.14
29.65
3.24
35
4667.6
37.07
16.68
10.19
70 Lampiran 1 (Lanjutan) No
Panjang Serat
Diameter Serat
Diameter Lumen
Tebal Dinding Sel
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
36
1500.3
30.58
21.31
4.63
37
750.15
11.12
5.56
2.78
38
1416.95
31.51
23.17
4.17
39
1333.6
25.02
19.46
2.78
40
5484.43
27.8
12.97
7.41
41
1166.9
13.9
11.12
1.39
42
2667.2
41.7
15.75
12.97
43
1533.64
36.14
14.83
10.66
44
1416.95
16.68
2.78
6.95
45
1650.33
16.68
8.34
4.17
46
4084.15
50.04
19.46
15.29
47
1383.61
21.31
12.05
4.63
48
4500.9
30.58
13.9
8.34
49
1233.58
27.8
15.75
6.02
50
1333.6
42.63
11.12
15.75
51
5884.51
34.29
14.83
9.73
52
1033.54
13.9
2.78
5.56
53
1150.23
17.61
9.27
4.17
54
5401.08
33.36
11.12
11.12
55
3800.76
25.02
2.78
11.12
56
1967.06
16.68
8.34
4.17
57
3750.75
49.11
38.92
5.1
58
3317.33
28.73
22.24
3.24
59
1750.35
14.83
1.39
6.72
60
3667.4
28.73
13.9
7.41
61
1200.24
16.68
8.34
4.17
62
1700.34
13.9
5.56
4.17
63
1083.55
14.83
2.78
6.02
64
1717.01
16.68
9.27
3.71
65
1383.61
13.9
1.39
6.26
66
1583.65
25.02
13.9
5.56
67
2000.4
29.65
16.68
6.49
68
1166.9
13.9
2.78
5.56
69
1583.65
17.61
3.71
6.95
70
1266.92
27.8
22.24
2.78
71
916.85
12.97
3.71
4.63
72
1200.24
15.75
5.56
5.1
71 Lampiran 1 (Lanjutan) No
Panjang Serat
Diameter Serat
Diameter Lumen
Tebal Dinding Sel
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
73
1166.9
10.19
3.71
3.24
74
966.86
20.39
13.9
3.24
75
2633.86
25.95
12.05
6.95
76
916.85
19.46
8.34
5.56
77
1600.32
26.87
15.75
5.56
78
4584.25
28.73
17.61
5.56
79
2667.2
19.46
5.56
6.95
80
1266.92
16.68
8.34
4.17
81
1166.9
11.12
5.56
2.78
82
2083.75
13.9
1.39
6.26
83
1500.3
27.8
11.12
8.34
84
3133.96
31.51
23.17
4.17
85
1500.3
16.68
11.12
2.78
86
2083.75
19.46
8.34
5.56
87
1416.95
22.24
11.12
5.56
89
1500.3
13.9
5.56
4.17
90
2417.15
27.8
13.9
6.95
91
5001
30.58
16.68
6.95
92
933.52
18.53
12.97
2.78
93
1333.6
16.68
11.12
2.78
94
1366.94
13.9
8.34
2.78
95
2000.4
16.68
2.78
6.95
96
4750.95
19.46
8.34
5.56
97
4167.5
27.8
12.05
7.88
98
2250.45
13.9
5.56
4.17
99
1416.95
13.9
5.56
4.17
100
3334
27.8
13.9
6.95
101
4584.25
30.58
15.75
7.41
102
2883.91
27.8
16.68
5.56
103
1250.25
11.12
1.39
4.87
104
1633.66
24.09
12.97
5.56
105
3250.65
44.48
38.92
2.78
106
850.17
16.68
11.12
2.78
107
1583.65
13.9
2.78
5.56
108
2317.13
33.36
22.24
5.56
109
1433.62
19.46
13.9
2.78
110
1333.6
13.9
5.56
4.17
72 Lampiran 1 (Lanjutan) No
Panjang Serat
Diameter Serat
Diameter Lumen
Tebal Dinding Sel
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
111
1216.91
16.68
5.56
5.56
112
916.85
16.68
5.56
5.56
113
833.5
16.68
8.34
114
3334
27.8
13.9
6.95
4.17
115
3250.65
27.8
16.68
5.56
116
2500.5
33.36
16.68
8.34
117
1200.24
16.68
5.56
5.56
118
2917.25
27.8
22.24
2.78
119
2333.8
13.9
5.56
4.17
120
1033.54
11.12
2.78
4.17
121
800.16
11.12
2.78
4.17
122
1333.6
19.46
11.12
4.17
123
4634.26
17.61
7.41
5.1
124
750.15
16.68
11.12
2.78
125
1450.29
27.8
11.12
8.34
126
666.8
19.46
13.9
2.78
127
1466.96
19.46
10.19
4.63
128
1083.55
23.17
19.46
1.85
129
1166.9
16.68
8.34
4.17
130
5417.75
28.73
13.9
7.41
131
1416.95
16.68
11.12
2.78
132
1200.24
13.9
4.63
4.63
133
1000.2
13.9
5.56
4.17
134
1583.65
16.68
3.71
6.49
135
3534.04
19.46
2.78
8.34
136
4667.6
40.77
14.83
12.97
137
2833.9
28.73
6.49
11.12
139
1166.9
24.09
12.05
6.02
140
1200.24
17.61
6.49
5.56
141
1583.65
20.39
10.19
5.1
142
2750.55
33.36
24.09
4.63
143
4750.95
46.33
28.73
8.8
144
833.5
28.73
10.19
9.27
145
2000.4
36.14
29.65
3.24
146
1333.6
25.02
19.46
2.78
147
5484.43
27.8
12.97
7.41
148
1633.66
24.09
12.97
5.56
149
3250.65
44.48
38.92
2.78
73 Lampiran 1 (Lanjutan) No
Panjang Serat
Diameter Serat
Diameter Lumen
Tebal Dinding Sel
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
150
850.17
16.68
11.12
2.78
151
1583.65
13.9
2.78
5.56
152
2317.13
33.36
22.24
5.56
153
1433.62
19.46
13.9
2.78
154
1333.6
13.9
5.56
4.17
155
1216.91
16.68
5.56
5.56
156
916.85
16.68
5.56
5.56
157
1633.66
24.09
12.97
5.56
158
3250.65
44.48
38.92
2.78
159
850.17
16.68
11.12
2.78
160
5884.51
34.29
14.83
9.73
161
1033.54
13.9
2.78
5.56
162
1150.23
17.61
9.27
4.17
163
5401.08
33.36
11.12
11.12
164
3800.76
25.02
2.78
11.12
165
1967.06
16.68
8.34
4.17
166
3750.75
49.11
38.92
5.1
167
3317.33
28.73
22.24
3.24
168
1166.9
24.09
12.05
6.02
169
1200.24
17.61
6.49
5.56
170
1583.65
20.39
10.19
5.1
171
2750.55
33.36
24.09
4.63
172
4750.95
46.33
28.73
8.8
173
833.5
28.73
10.19
9.27
174
2000.4
36.14
29.65
3.24
175
4667.6
37.07
16.68
10.19
176
1500.3
30.58
21.31
4.63
177
750.15
11.12
5.56
2.78
178
1416.95
31.51
23.17
4.17
179
1333.6
25.02
19.46
2.78
180
5484.43
27.8
12.97
7.41
181
1166.9
13.9
11.12
1.39
182
1233.58
27.8
15.75
6.02
183
1333.6
42.63
11.12
15.75
184
5884.51
34.29
14.83
9.73
185
1033.54
13.9
2.78
5.56
186
1150.23
17.61
9.27
4.17
74 Lampiran 1 (Lanjutan) No
Panjang Serat
Diameter Serat
Diameter Lumen
Tebal Dinding Sel
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
(Mikron)
187
5401.08
33.36
11.12
11.12
188
3800.76
25.02
2.78
11.12
189
1967.06
16.68
8.34
4.17
190
3750.75
49.11
38.92
5.1
191
3317.33
28.73
22.24
3.24
192
1233.58
27.8
15.75
6.02
193
1333.6
42.63
11.12
15.75
194
5884.51
34.29
14.83
9.73
195
1033.54
13.9
2.78
5.56
196
1150.23
17.61
9.27
4.17
197
5401.08
33.36
11.12
11.12
198
3800.76
25.02
2.78
11.12
199
1967.06
16.68
8.34
4.17
200
3750.75
49.11
38.92
5.1
Maksimum
5884.51
50.04
38.92
15.75
Minimum
666.8
8.34
1.39
1.39
75 Lampiran 2 Data JCPDS selulosa dan kalsium karbonat
76 Lampiran 3 Nilai kerapatan film komposit dengan matriks PVA Film Komposit
Massa Komposit (g) Panjang (cm)
PVA-sludge 1%
Dimensi Komposit Lebar (cm)
Kerapatan (gcm-3) Tebal (cm)
0.5082
10.082
2.549
0.012
1.647923
0.3671
10.099
2.503
0.011
1.320239
0.3974
10.07
2.508
0.019
0.828166
0.5249
10.072
2.547
0.026
0.786971
Rata-rata PVA -sludge 3%
1.145825 0.4479
9.998
2.425
0.03
0.615793
0.5273
10.022
2.573
0.029
0.705124
0.5344
10.047
2.482
0.035
0.612294
0.4271
9.951
2.515
0.016
1.066608
Rata-rata PVA -sludge 5%
Rata-rata PVA -NCC 1%
Rata-rata PVA -NCC 3%
Rata-rata PVA -NCC 5%
0.749955 0.4294
9.979
2.477
0.025
0.694879
0.4878
10.032
2.533
0.026
0.738322
0.4221
10.043
2.572
0.021
0.778147
0.4698
9.977
2.557
0.027
0.682054 0.72335
0.4895
10.055
2.449
0.015
1.325228
0.4648
10.017
2.552
0.012
1.515188
0.4597
9.995
2.576
0.015
1.190295
0.5224
10.142
2.525
0.016
1.274965 1.326419
0.4228
10.042
2.544
0.011
1.504544
0.5486
10.034
2.575
0.012
1.769389
0.4865
10.017
2.435
0.012
1.66213
0.5969
9.948
2.512
0.016
1.492884 1.607237
0.4373
9.977
2.573
0.013
1.310377
0.5321
10.027
2.543
0.016
1.304235
0.551
9.944
2.537
0.016
1.365055
0.5234
9.951
2.367
0.014
1.587233
0.3635
10.272
2.555
0.01
1.385028
0.3838
10.072
2.321
0.011
1.492524
0.6249
10.001
2.511
0.021
1.184953
0.4448
10.032
2.4
0.01
1.847422
Rata-rata pva
Rata-rata
1.391725
1.477482
77 Lampiran 4 Hasil perhitungan konduktifitas listrik film komposit PVA dan film komposit PVA-sludge 1% Frekuensi Tebal Luas Film komposit PVA Film komposit PVA(KHertz) komposit(cm) penampang sludge 1% komposit (cm)
G (S)
Konduktivitas Listrik (S/cm)
G (S)
Konduktivitas Listrik (S/cm)
8.5E-09
9.44411E-11
1.157E-09
1.285E-11
1
0.025
2.25
1.26896
0.025
2.25
8.7E-09
9.66489E-11
1.133E-09
1.259E-11
1.61026
0.025
2.25
8.96E-09
9.96078E-11
1.163E-09
1.29189E-11
2.04336
0.025
2.25
9.31E-09
1.0349E-10
1.199E-09
1.33189E-11
2.59294
0.025
2.25
9.75E-09
1.08351E-10
1.244E-09
1.38233E-11
3.29034
0.025
2.25
1.03E-08
1.14244E-10
1.293E-09
1.43656E-11
4.17532
0.025
2.25
1.1E-08
1.227E-10
1.313E-09
1.45867E-11
5.29832
0.025
2.25
1.18E-08
1.31211E-10
1.369E-09
1.52111E-11
6.72336
0.025
2.25
1.28E-08
1.42633E-10
1.33E-09
1.47744E-11
8.53168
0.025
2.25
1.37E-08
1.52356E-10
1.387E-09
1.54156E-11
10.82637
0.025
2.25
1.47E-08
1.63111E-10
1.36E-09
1.51156E-11
13.73824
0.025
2.25
1.56E-08
1.73444E-10
1.184E-09
1.31544E-11
17.43329
0.025
2.25
1.56E-08
1.73867E-10
7.87E-09
8.744E-11
22.12216
0.025
2.25
1.5E-08
1.66344E-10
3.775E-09
4.19411E-11
28.07216
0.025
2.25
1.28E-08
1.41956E-10
1.08E-09
1.19944E-11
35.62248
0.025
2.25
7.45E-09
8.28156E-11
3.398E-09
3.77589E-11
45.20354
0.025
2.25
2.26E-09
2.51433E-11
7.345E-09
8.16067E-11
57.36153
0.025
2.25
1.99E-08
2.21544E-10
1.316E-08
1.46211E-10
72.78954
0.025
2.25
4.96E-08
5.51311E-10
2.328E-08
2.58633E-10
92.36709
0.025
2.25
1E-07
1.11111E-09
4.071E-08
4.523E-10
117.21023
0.025
2.25
1.85E-07
2.05556E-09
6.632E-08
7.36844E-10
148.73521
0.025
2.25
3.09E-07
3.43333E-09
1.08E-07
1.2E-09
188.73918
0.025
2.25
5.15E-07
5.72222E-09
1.79E-07
1.98889E-09
239.50266
0.025
2.25
8.55E-07
9.5E-09
2.89E-07
3.21111E-09
303.91954
0.025
2.25
1.39E-06
1.53889E-08
4.58E-07
5.08889E-09
385.66204
0.025
2.25
2.21E-06
2.45333E-08
7.33E-07
8.14444E-09
489.39009
0.025
2.25
3.46E-06
3.84E-08
1.157E-06
1.28556E-08
621.01694
0.025
2.25
5.26E-06
5.83889E-08
1.802E-06
2.00222E-08
788.04628
0.025
2.25
7.75E-06
8.60556E-08
2.752E-06
3.05778E-08
1000
0.025
2.25
1.1E-05
1.22267E-07
4.075E-06
4.52778E-08
78 Lampiran 5 Hasil perhitungan konduktifitas listrik film komposit PVA-sludge 3% dan film komposit PVA-sludge 5% Frekuensi (KHertz)
Tebal komposit (cm)
Luas penampang komposit (cm)
1
0.025
1.26896
Komposit PVA-sludge 3%
Komposit PVA-sludge 5%
G (S)
Konduktivitas Listrik (S/cm)
G (S)
Konduktivitas Listrik (S/cm)
2.25
1.4769E-09
1.641E-11
1.0445E-09
1.16056E-11
0.025
2.25
1.3348E-09
1.48311E-11
9.9646E-10
1.10718E-11
1.61026
0.025
2.25
1.3359E-09
1.48433E-11
1.0074E-09
1.11933E-11
2.04336
0.025
2.25
1.3775E-09
1.53056E-11
1.0228E-09
1.13644E-11
2.59294
0.025
2.25
1.4033E-09
1.55922E-11
1.0389E-09
1.15433E-11
3.29034
0.025
2.25
1.4225E-09
1.58056E-11
1.0493E-09
1.16589E-11
4.17532
0.025
2.25
1.4342E-09
1.59356E-11
1.0646E-09
1.18289E-11
5.29832
0.025
2.25
1.4373E-09
1.597E-11
1.0558E-09
1.17311E-11
6.72336
0.025
2.25
1.4394E-09
1.59933E-11
1.0258E-09
1.13978E-11
8.53168
0.025
2.25
1.4099E-09
1.56656E-11
9.7688E-10
1.08542E-11
10.82637
0.025
2.25
1.3322E-09
1.48022E-11
8.9063E-10
9.89589E-12
13.73824
0.025
2.25
1.1559E-09
1.28433E-11
6.802E-10
7.55778E-12
17.43329
0.025
2.25
8.768E-10
9.74222E-12
3.2842E-10
3.64911E-12
22.12216
0.025
2.25
3.0522E-10
3.39133E-12
2.4221E-10
2.69122E-12
28.07216
0.025
2.25
6.312E-10
7.01333E-12
1.1936E-09
1.32622E-11
35.62248
0.025
2.25
2.2827E-09
2.53633E-11
2.9484E-09
3.276E-11
45.20354
0.025
2.25
4.887E-09
5.43E-11
5.7973E-09
6.44144E-11
57.36153
0.025
2.25
9.3838E-09
1.04264E-10
1.0363E-08
1.15144E-10
72.78954
0.025
2.25
1.6464E-08
1.82933E-10
1.7904E-08
1.98933E-10
92.36709
0.025
2.25
2.8735E-08
3.19278E-10
2.9728E-08
3.30311E-10
117.21023
0.025
2.25
4.7034E-08
5.226E-10
4.9332E-08
5.48133E-10
148.73521
0.025
2.25
7.972E-08
8.85778E-10
8.08E-08
8.97778E-10
188.73918
0.025
2.25
1.25E-07
1.38889E-09
1.31E-07
1.45556E-09
239.50266
0.025
2.25
2.03E-07
2.25556E-09
2.12E-07
2.35556E-09
303.91954
0.025
2.25
0.00000033
3.66667E-09
0.00000034
3.77778E-09
385.66204
0.025
2.25
5.22E-07
5.8E-09
5.41E-07
6.01111E-09
489.39009
0.025
2.25
8.26E-07
9.17778E-09
8.53E-07
9.47778E-09
621.01694
0.025
2.25
1.302E-06
1.44667E-08
1.359E-06
1.51E-08
788.04628
0.025
2.25
2.014E-06
2.23778E-08
2.098E-06
2.33111E-08
1000
0.025
2.25
3.035E-06
3.37222E-08
3.159E-06
3.51E-08
79 Lampiran 6 Hasil perhitungan konduktifitas listrik film komposit PVAnanokristalin selulosa 1% dan film komposit PVA-nanokristalin selulosa 3% Frekuensi (KHertz)
Tebal komposit (cm)
Luas penampang komposit (cm)
Film komposit PVAnanokristalin selulosa 1%
Film komposit PVAnanokristalin selulosa 3%
G (S)
Konduktivitas listrik (S/cm)
G (S)
Konduktivitas listrik (S/cm)
1
0.025
2.25
2.026E-08
2.25122E-10
2.1159E-08
2.351E-10
1.26896
0.025
2.25
2.251E-08
2.501E-10
2.3552E-08
2.61689E-10
1.61026
0.025
2.25
2.439E-08
2.70978E-10
2.5677E-08
2.853E-10
2.04336
0.025
2.25
2.695E-08
2.99489E-10
2.7824E-08
3.09156E-10
2.59294
0.025
2.25
2.714E-08
3.01589E-10
2.8339E-08
3.14878E-10
3.29034
0.025
2.25
5.176E-09
5.75089E-11
4.5349E-09
5.03878E-11
4.17532
0.025
2.25
5.826E-09
6.47311E-11
5.3153E-09
5.90589E-11
5.29832
0.025
2.25
7.586E-09
8.429E-11
5.8053E-09
6.45033E-11
6.72336
0.025
2.25
1.005E-08
1.11644E-10
8.123E-09
9.02556E-11
8.53168
0.025
2.25
1.234E-08
1.37122E-10
9.7569E-09
1.0841E-10
10.82637
0.025
2.25
1.027E-08
1.14111E-10
6.0575E-09
6.73056E-11
13.73824
0.025
2.25
1.269E-08
1.40967E-10
6.1506E-09
6.834E-11
17.43329
0.025
2.25
1.55E-08
1.72222E-10
7.2941E-09
8.10456E-11
22.12216
0.025
2.25
1.943E-08
2.15933E-10
1.18E-08
1.31111E-10
28.07216
0.025
2.25
2.557E-08
2.84089E-10
1.7645E-08
1.96056E-10
35.62248
0.025
2.25
4.058E-08
4.50867E-10
2.8009E-08
3.11211E-10
45.20354
0.025
2.25
4.053E-08
4.50311E-10
2.2688E-08
2.52089E-10
57.36153
0.025
2.25
4.035E-08
4.48333E-10
2.6917E-08
2.99078E-10
72.78954
0.025
2.25
5.315E-08
5.90544E-10
5.2721E-08
5.85789E-10
92.36709
0.025
2.25
8.085E-08
8.983E-10
1.67E-07
1.85556E-09
117.21023
0.025
2.25
2.55E-07
2.83333E-09
2.93E-07
3.25556E-09
148.73521
0.025
2.25
4.26E-07
4.73333E-09
5.06E-07
5.62222E-09
188.73918
0.025
2.25
6.99E-07
7.76667E-09
9.96E-07
1.10667E-08
239.50266
0.025
2.25
1.286E-06
1.42889E-08
1.542E-06
1.71333E-08
303.91954
0.025
2.25
1.968E-06
2.18667E-08
2.388E-06
2.65333E-08
385.66204
0.025
2.25
3.018E-06
3.35333E-08
3.684E-06
4.09333E-08
489.39009
0.025
2.25
4.607E-06
5.11889E-08
5.654E-06
6.28222E-08
621.01694
0.025
2.25
6.898E-06
7.66444E-08
8.436E-06
9.37333E-08
788.04628
0.025
2.25
1.002E-05
1.11378E-07
1.2103E-05
1.34478E-07
1000
0.025
2.25
1.365E-05
1.51611E-07
1.6103E-05
1.78922E-07
80 Lampiran 7 Hasil perhitungan konduktifitas listrik film komposit PVAnanokristalin selulosa 5% Frekuensi (KHertz) 1 1.26896 1.61026 2.04336 2.59294 3.29034 4.17532 5.29832 6.72336 8.53168 10.82637 13.73824 17.43329 22.12216 28.07216 35.62248 45.20354 57.36153 72.78954 92.36709 117.21023 148.73521 188.73918 239.50266 303.91954 385.66204 489.39009 621.01694 788.04628 1000
Tebal komposit(cm) 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025 0.025
Luas penampang komposit (cm) 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25 2.25
G (S) 2.8664E-08 3.2084E-08 3.2805E-08 3.7243E-08 3.8753E-08 7.3091E-09 7.5857E-09 7.3218E-09 7.3318E-09 4.8485E-09 7.9796E-09 9.0394E-09 6.4523E-09 5.601E-09 1.4981E-10 5.9241E-09 4.6899E-11 2.5202E-09 7.2404E-09 0.000000124 0.000000235 0.000000423 0.000000726 0.000001367 0.000002112 0.000003257 0.000004993 0.00000745 0.000010722 0.000014328
Konduktivitas Listrik (S/cm) 3.18489E-10 3.56489E-10 3.645E-10 4.13811E-10 4.30589E-10 8.12122E-11 8.42856E-11 8.13533E-11 8.14644E-11 5.38722E-11 8.86622E-11 1.00438E-10 7.16922E-11 6.22333E-11 1.66456E-12 6.58233E-11 5.211E-13 2.80022E-11 8.04489E-11 1.37778E-09 2.61111E-09 4.7E-09 8.06667E-09 1.51889E-08 2.34667E-08 3.61889E-08 5.54778E-08 8.27778E-08 1.19133E-07 1.592E-07
81 Lampiran 8 Nilai distribusi ukuran partikel dalam slurry pada nanokristalin selulosa (dengan waktu hidrolisis 30 menit)
82 Lampiran 9 Nilai distribusi ukuran partikel dalam slurry pada nanokristalin selulosa (dengan waktu hidrolisis 60 menit)
83 Lampiran 10 Grafik DSC (a) PP murni; (b) komposit PP/sludge; (c) komposit PP/sludge/MAPP
a
b
84 Lampiran 10 (Lanjutan)
c
85
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 19 Agustus 1973 dari ayah A.M Irawan (Alm) dan ibu Suristiani (Almh). Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Bejo Slamet, S.Hut, M.Si pada tahun 2000 dan memiliki 3 putra putri yaitu Fachry Mustafa Salim (14 tahun), Afiffah Mufidah Salmah (11 tahun) dan Nasywah Mazaya Rahmah (6 tahun). Pendidikan SMA ditempuh penulis di SMA Negeri 2 Bondowoso hingga lulus pada tahun 1992. Institut Pertanian Bogor menjadi tujuan penulis menyelesaikan pendidikan tinggi melalui jalur Undangan Masuk IPB (USMI) 1992, dan lulus tahun 1997. Setelah menyelesaikan pendidikan Sarjana, penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada tahun 1999. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan studi Magister Science di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dengan beasiswa BPPS, Kementerian Pendidikan Nasional. Selanjutnya pada tahun 2010 penulis memulai studi program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB pada mayor Teknologi Serat dan Komposit (TSK) dengan beasiswa BPPS Kementerian Pendidikan Nasional. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul ‘Nanokristalin Selulosa dari Sludge Primer untuk Penguat dan Pengisi Komposit Plastik’ dibawah bimbingan Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS, Dr Ir Nyoman Jaya Wistara, MS, Prof Dr Ir Sucahyo Sadiyo, MS dan Dr Siti Nikmatin, S.Si, M.Si. Selama mengikuti program Doktor karya ilmiah yang dihasilkan oleh penulis antara lain makalah dengan judul ‘Morfologi Mikrofibril Selulosa dari Sludge Primer’ telah diterbitkan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis volume 11 nomor 2 tahun 2013. Makalah dengan judul ‘Preparation of Nanocrystalline Celluose by Acid Hydrolysis and Ultrasonication from Primary Sludge’ telah submit (revisi ke-2) pada Bioresources Journal. Kemudian makalah dengan judul ‘Improvement of PVA Composite Film Properties by Reinforcing Nanocrystalline Celluose Isolated from Primary Sludge’ telah dipresentasikan pada The 6th Internasional Symposium of Indonesian Wood Research Society (3 November 2014) di Medan. Makalah dengan judul ‘Pengaruh Siklus Pengeringan dan Perendaman terhadap Sifat Fisik Serat dari Sludge Primer untuk Pengisi Komposit Plastik’ telah submit ke Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis.