KARAKTERISTIK MASYARAKAT TANI TAWANGSARI - JAWA TENGAH PADA KEBERHASILAN ADOPSI TEKNOLOGI KONSERVASI (Characteristics of Farmers from Tawangsari-Central Java on The Success of Adopting Soil Conservation Technology)* Nana Haryati Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS), Jl. Jenderal Ahmad Yani Kotak Pos 295 Pabelan, Kartasura, Surakarta, Jawa Tengah 57102 – Indonesia Telp./Fax.: 0271 716709 E-mail :
[email protected]; nana_haryanti @yahoo.com *Diterima : 4 Maret 2013; Disetujui : 15 Agustus 2014
ABSTRACT The success of conservation is depending on community characteristics. This research was aimed to explore characteristics of certain community group who successfully increased community’s income by applying conservation activities. Qualitative research method was applied during the study. Data were collected through in-depth interview and focus group discussion to members of Wana Lestari forest village community (Lembaga Masyarakat Desa Hutan, LMDH), Tawangsari village, Purworejo regency, Central Java province, and observation method was done to gain an overview about respondents’ behaviour on soil conservation. Results showed that the success of land conservation activities in the study area was influenced by community characteristics, namely community homogeneity, awareness, adopter, culture on collective actions, and good perception on conservation movements. The success of soil conservation activities highly depended on the role of rural leaders as an agent of change, risk taker, innovator, coordinator, initiator and their ability to mobilize their community. It also supported by the establishment of rural institution, which was developed on the basis of community driven, effective and efficient, equity and inclusive, having rules for its member, and participative. Some reasons for conserving soil were economic return, land tenure and market opportunities. Keywords : Farmer characteristics, land conservation, leadership characteristics, organization characteristics ABSTRAK Keberhasilan pelaksanaan kegiatan konservasi sangat tergantung pada karakteristik dari suatu masyarakat. Penelitian ini ditujukkan untuk menjelaskan karakteristik kelompok masyarakat yang melaksanakan kegiatan konservasi dan berhasil menambah pendapatan anggotanya. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) terhadap anggota kelompok LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Wana Lestari di Desa Tawangsari, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah serta observasi untuk mendapatkan data mengenai gambaran teknik konservasi yang diterapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan kegiatan konservasi tanah di wilayah kajian sangat dipengaruhi oleh sifat masyarakatnya yang homogen, memiliki kesadaran bersama, bersifat adopter, mengembangkan budaya kolektif dan memiliki persepsi positif pada konservasi. Keberhasilan kegiatan konservasi sangat tergantung pada peran para pemimpin desa yang mampu bertindak sebagai menjadi agen perubahan, pengambil resiko, inovator, koordinator dapat berinisiatif dan mampu memobilisasi warganya serta didukung oleh keberadaan lembaga konservasi yang tumbuh karena keinginan anggotanya bisa bekerja secara efisien dan efektif, adil dan tidak memihak, mampu membuat aturan main bagi anggotanya dan dibangun secara partisipatif. Alasan masyarakat tani hutan melakukan konservasi adalah adanya keuntungan ekonomi dari kegiatan ini, hak penguasaan lahan dan peluang pasar atas hasil tanaman konservasinya. Kata kunci: Karakteristik kepemimpinan, karakteristik organisasi, karakteristik petani, konservasi lahan
145
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
I. PENDAHULUAN Kegiatan pengelolaan lahan dalam kawasan hutan untuk kegiatan pertanian sering kali mengakibatkan berbagai dampak negatif seperti erosi, jika tidak dilakukan menurut kaidah konservasi tanah. Konservasi tanah adalah kegiatan yang ditujukkan untuk mengatasi masalah degradasi lahan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan upaya untuk memulihkan kondisi lingkungan (Giller et al., 2009). Suatu teknik konservasi tanah diperkenalkan kepada petani agar mereka mengadopsi atau menerapkan teknik tersebut dalam pengelolaan lahan. Adopsi merupakan suatu kondisi ketika petani menerapkan inovasi yang didahului dengan serangkaian proses, yaitu pembelajaran (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan keputusan (decision), pelaksanaan (implementation), dan penegasan (confirmation) (Roger, 1983). Rendahnya tingkat adopsi dan penggunaan teknik konservasi lahan yang tidak dilakukan secara berkelanjutan oleh petani diyakini sebagai faktor utama yang mempersulit upaya melakukan pemulihan kondisi lingkungan (Amsalu dan de Graff, 2007). Masalah rendahnya adopsi terhadap teknologi konservasi tanah ini kemudian menjadi isu utama bagi para pengambil kebijakan, peneliti dan masyarakat konservasi yang berkecimpung pada kegiatan pengelolaan sumber daya alam, khususnya dalam pengelolaan kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan pertanian. Mereka kemudian berusaha mengeksplorasi penyebab rendahnya tingkat adopsi petani pada teknologi konservasi tanah. Telah banyak studi mengenai adopsi teknologi pertanian menjelaskan faktor-faktor yang menjadi penghambat proses adopsi inovasi konservasi tanah. Hasil penelitian Amsalu dan de Graff (2007) yang dilakukan di hulu daerah aliran sungai di Ethiopia menunjukkan bahwa besar kecilnya usaha tani, umur petani, persepsi terhadap teknologi dan kemiringan lahan memiliki pengaruh positif terhadap tingkat adopsi. Jumlah ternak yang dimiliki dan kesuburan tanah memiliki pengaruh negatif terhadap kesediaan melakukan konservasi. Penelitian Haryanti (2010) yang dilakukan pada Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Duta Rimba, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Somagede, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Karanganyar, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Selatan memaparkan bahwa persepsi negatif terhadap teknologi konservasi yang diperkenalkan, tingginya investasi yang harus dikeluarkan serta hak pengelolaan lahan (land tenure) yang lemah menjadi faktor penghambat proses adopsi. Sejalan dengan penelitian tersebut Omari (2008) juga menjelaskan dalam penelitiannya bahwa ketika petani harus menyediakan cukup banyak waktu, tenaga dan biaya untuk melakukan konservasi menjadi faktor utama penyebab rendahnya tingkat adopsi petani. Banyaknya hasil penelitian telah membahas kendala proses adopsi teknik konservasi tanah, namun tidak diikuti dengan tersedia akan data dan informasi yang cukup tentang strategi menyelesaikan kendala tersebut dan upaya meningkatkan adopsi (Amsalu dan de Graff, 2007). Akibatnya, upaya mendorong percepatan terjadinya proses adopsi teknik konservasi tanah pada banyak kelompok petani terutama mereka yang mengembangkan pertanian dalam kawasan hutan masih sulit dilakukan. Untuk itu akan sangat bermanfaat apabila pengambil kebijakan, peneliti maupun masyarakat konservasi secara umum memiliki referensi atau contoh suatu kelompok masyarakat yang telah berhasil mengembangkan dan melembagakan kegiatan konservasi tanah dalam kehidupan pertanian mereka. Dengan demikian, contoh keberhasilan dapat digunakan sebagai acuan dalam mengorganisir kelompok masyarakat di tempat lain sebagai pelestari lingkungan, terutama pada masyarakat yang secara intensif melakukan kegiatan pertanian dalam kawasan. Keberhasilan transfer teknologi konservasi tanah dalam pengelolaan sumber daya alam sangat tergantung pada banyak faktor. Lapar dan Pandey (1999) menyatakan bahwa adopsi praktek konservasi tanah sangat tergantung pada tersedianya demo-plot percontohan dan 146
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
karakteristik petani. Pengetahuan mengenai karakteristik suatu masyarakat juga bisa digunakan untuk memilih kelompok masyarakat yang bisa dibina sebagai contoh kelompok masyarakat yang lain. Hal ini penting karena transfer teknologi konservasi tidak akan berjalan baik jika salah memilih petani yang ditunjuk sebagai agen perubahan (cooperator) (Hancock, 1997). Mempertimbangkan temuan pada penelitian tersebut, yaitu memahami karakteristik komunitas petani akan memberikan peluang bagi para pengambil kebijakan, peneliti, penyuluh dan masyarakat konservasi untuk mempersiapkan strategi dalam proses pengenalan teknologi baru. Analisis mengenai adopsi dan transfer teknologi saat ini mulai memperhatikan pentingnya memahami kelembagaan masyarakat tani untuk menentukan faktor apa yang mampu secara positif memengaruhi adopsi teknik konservasi tanah. Keberadaan petani sebagai suatu lembaga ini sangat penting, karena menjamin terjadinya collective action yang sangat bermanfaat dalam pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, beberapa teknologi konservasi akan efektif hanya jika diadopsi secara luas (Knox & Meinzen-Dick, 1999) oleh masyarakat tani. Mengingat bahwa kelestarian praktek konservasi tanah sangat tergantung pada terjadinya collective action di masyarakat (Buyu, 2002), maka perlu dilakukan upaya mengenali tipe dan karakteristik masyarakat tani, dimana suatu teknologi akan diperkenalkan. Hal ini penting agar praktek konservasi tanah secara lestari dilakukan oleh petani dan tidak berhenti manakala kegiatan pendampingan berakhir. Makalah ini ditujukkan untuk mendiskusikan karakteristik masyarakat tani hutan yang melakukan pengelolaan lahan dalam kawasan untuk kegiatan pertanian, karakteristik kepemimpinan dan organisasi kemasyarakatan (Lembaga Masyarakat Desa Hutan, LMDH) yang memiliki pengaruh positif pada adopsi teknik konservasi tanah.
II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di Desa Tawangsari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Pengumpulan data dilakukan pada tahun 2010.
Gambar (Figure) 1. Lokasi penelitian di Desa Tawangsari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah (Research site at Tawangsari village, Kaligesing sub-district, Purworejo district, Central Java)
147
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
Desa Tawangsari terletak pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl) dan masuk dalam wilayah hutan KPH Kedu Selatan dengan luas wilayah petak pangkuan desa 47,50 ha. Hutan petak pangkuan LMDH Wana Lestari seluas 47,50 ha, ditanami tanaman pokok pinus oleh Perum Perhutani yang dikelola oleh 20 orang penyadap, masing-masing menguasai rata-rata 300 batang pinus. Pada umumnya kepala keluarga (305 kk) hanya menguasai lahan garapan seluas 0,4 ha. Oleh karena itu masyarakat mengusahakan kegiatan pertanian pada lahan andil di kawasan hutan milik Perhutani. Terdapat sebanyak 273 pesanggem di Desa Tawangsari yang masing-masing memiliki lahan andil seluas kurang lebih 0,17 ha. Para penyadap pinus harus berbagi dengan para pesangem karena sempitnya luas petak pemangkuan desa. Seorang penyadap yang menguasai kurang lebih lahan sadapan seluas 2,4 ha harus berbagi dengan kurang lebih 13 orang pesanggem yang mengelola lahan bawah tegakan untuk kegiatan pertanian. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain : (1) kuesioner semi terstruktur yang digunakan sebagai panduan wawancara secara mendalam kepada responden, (2) panduan diskusi yang berisi tema-tema yang akan dibahas dalam kegiatan diskusi, (3) catatan lapangan dan foto hasil observasi. Peralatan yang digunakan meliputi alat perekam, kamera dan alat peraga diskusi berupa papan tulis, spidol dan lain-lain. C. Metode Penelitian Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini : 1. Menentukan tema penelitian Terdapat empat tema utama yang menjadi obyek penelitian, yaitu karakteristik masyarakat, karakteristik kepemimpinan, organisasi masyarakat serta faktor-faktor yang turut berperan mendorong terjadinya proses adopsi konservasi. Pemilihan tema tersebut didasarkan pada premis yang dikemukakan Scherr (2000) bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam diantaranya sangat tergantung pada faktor kepemimpinan dan institusi lokal. Scherr (2000) juga menambahkan bahwa faktor karakteristik masyarakat memberikan pengaruh pada cara masyarakat melakukan pengelolaan pada sumberdaya alam. 2. Studi pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk membantu mencari berbagai studi yang telah dilakukan oleh orang lain. Studi pustaka juga dimaksudkan untuk membantu agar lebih memahami berbagai isu yang relevan seputar tema penelitian. 3. Menentukan metodologi yang akan digunakan Studi kasus dipilih karena metode ini memberikan kesempatan untuk dapat mencari tahu dan memberikan penjelasan mengenai suatu fenomena yang muncul dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Studi kasus dapat menjelaskan secara detil bagaimana dan mengapa suatu fenomena muncul melalui pandangan para aktor yang terlibat. Studi kasus memberikan keleluasaan untuk menggali secara mendalam persepsi, pengetahuan dan pengalaman suatu kelompok masyarakat dalam suatu kasus atau contoh. 4. Pengambilan data Penarikan sampel meliputi kegiatan penentuan lokasi penelitian dan responden. Lokasi ditentukan berdasarkan masukan Perum Perhutani dan informasi media, bahwa LMDH Wana Lestari diakui keberhasilannya menjaga kualitas hutan melalui pengelolaan lahan 148
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
bawah tegakan. Responden adalah pesanggem yang menjadi anggota LMDH Wana Lestari. Wawancara mendalam dilakukan terhadap tujuh (2,5%) orang pesanggem yang terdiri dari tiga orang pengurus dan empat orang anggota. Tidak terdapat kriteria khusus bagi responden yang dipilih untuk wawancara mendalam, namun pertimbangan seperti mudah mengemukakan pendapat menjadi acuan pemilihan responden. Penentuan responden untuk wawancara mendalam dilakukan setelah meminta pertimbangan dengan pengurus mengingat tema penelitian ini tidak mudah untuk diuraikan. Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan detail informasi mengenai alasan responden menjadi pesanggem, pandangan terhadap organisasi LMDH Wana Lestari, tanggapan mereka terhadap kepengurusan LMDH dan keuntungan yang didapatkan setelah menjadi pesanggem. Diskusi kelompok dilakukan untuk menjaring informasi yang mungkin terlewat dalam kegiatan wawancara. Sebanyak 50 (18%) orang hadir, terdiri dari 15 orang pengurus dan 35 orang pesanggem. Diskusi dilakukan untuk menjaring informasi sebanyakbanyaknya mengenai perkembangan LMDH, mengambil gambaran mengenai perilaku responden, perasaan dan pengalaman mereka selama menjadi pesanggem dan anggota LMDH Wana Lestari. Sebagai upaya memahami perilaku para pesanggem, dilakukan observasi lapangan untuk mendapatkan dukungan data yang berkaitan dengan gambaran mengenai teknik konservasi tanah yang diterapkan, upaya dan cara mengorganisir diri, pilihan jenis tanaman dan sebagainya untuk mendapatkan konsep yang tepat dari fenomena yang muncul di lapangan. 5. Analisis data Data yang terkumpul kemudian dianalisis melalui serangkaian pengkategorisasian berdasarkan tema atau pola. Selanjutnya, dilihat hubungan pola-pola dalam satu kategori maupun antar kategori. Pada akhirnya, seluruh hubungan pola-pola yang ada bersama-sama diinterpretasikan dan ditarik suatu kesimpulan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sejarah LMDH Wana Lestari Sebelum LMDH didirikan, masyarakat tani Desa Tawangsari tidak banyak mengembangkan variasi jenis tanaman pertanian dalam pengelolaan lahannya. Ketela pohon merupakan tanaman utama yang ditanam para pesanggem dalam kawasan hutan, meskipun tanaman ini dilarang oleh Perum Perhutani karena dianggap merusak tanah baik dari cara pemanenan maupun sifat tanaman yang banyak menyerap unsur hara. Pada tahun 2006 Perum Perhutani bersama masyarakat Desa Tawangsari mendirikan organisasi LMDH yang diberi nama Wana Lestari. Melalui LMDH Perum Perhutani memberikan kesempatan kepada masyarakat Desa Tawangsari untuk mengelola lahan bawah tegakan untuk kegiatan pertanian secara legal melalui pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Setelah LMDH Wana Lestari secara resmi didirikan dan dilegalkan melalui akta notaris, beberapa pengurus LMDH kemudian melakukan studi banding ke LMDH Rimba Mulya yang terletak di Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo sesuai rekomendasi Perum Perhutani. Para pengurus kemudian mempelajari bagaimana LMDH Rimba Mulya berhasil mengelola tanaman salak di bawah tegakan dan mengembangkannya menjadi sentra produksi salak untuk Daerah Banjarnegara dan Wonosobo. Para pengurus LMDH Wana Lestari juga mempelajari cara pengurus LMDH 149
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
Rimba Mulya mengelola anggotanya agar bersedia mengembangkan tanaman pertanian pada lahan yang turut andil untuk meningkatkan pendapatan. Para pengurus LMDH Wana Lestari berusaha mengubah perilaku para pesanggem yang memiliki kebiasaan menanam singkong, yaitu dengan memperkenalkan teknik konservasi tanah dengan minimum pengolahan lahan (minimum tillage conservation system). Tanaman singkong merupakan jenis tanaman yang tidak dianjurkan oleh Perum Perhutani untuk dikembangkan dalam kawasan. Pihak Perum Perhutani menyatakan bahwa singkong mengganggu pertumbuhan tanaman pokok pinus, karena menyerap banyak unsur hara dalam tanah, cara pemanenannya juga cenderung mengakibatkan terjadinya erosi. Oleh karena itu pihak Perhutani menghendaki agar petani tidak banyak melakukan pengolahan lahan dalam kegiatan pertanian bawah tegakan yang dikhawatirkan dapat menyebabkan erosi. Perhutani mengijinkan menanam tanaman pertanian dalam kawasan hutan dengan jenis yang tidak banyak membutuhkan pengolahan lahan. Berdasarkan kesepakatan antara Perhutani dengan pengurus LMDH jenis tersebut adalah kopi dan empon-empon. Beberapa plot percontohan kemudian dibuat untuk memberikan gambaran kepada anggota. Plot-plot tersebut berlokasi pada lahan andil yang menjadi milik pengurus. Para pengurus memberi contoh dengan menanaminya dengan tanaman kopi dan empon-empon. Pada awalnya modal untuk pembelian bibit diperoleh dari meminjam dana milik kelompok wanita tani sebesar Rp. 5.000.000,-. Dana tersebut digunakan untuk membeli polibag dan bibit. Setelah tanaman tersebut tumbuh dengan baik, pesanggem yang lain tertarik untuk mengikuti. Pengurus LMDH kemudian memberikan fasilitas dengan cara meminta bantuan bibit kepada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo untuk dibagikan kepada para pesangem. Lahan andil dikelola oleh 273 pesanggem untuk budidaya kopi, empon-empon dan hijauan pakan ternak (HPT), masing-masing mendapat lahan andil kurang lebih 0,17 ha. Beberapa petani juga mengembangkan kakao. Pilihan jenis tanaman sangat tergantung pada keinginan petani, misalnya tanaman empon-empon, beberapa petani memilih kapulaga namun ketika harga temulawak diprediksi akan bagus, maka petani yang lain membudidayakan temulawak. Hijauan pakan ternak juga menjadi komoditas andalan petani. Permintaan yang tinggi terhadap pakan ternak di Kecamatan Kaligesing karena kegiatan pengembangan kambing etawa, membuat beberapa petani memilih mengembangkan kaliandra, gliricidia dan singkong karet untuk pakan ternak daripada empon-empon. Pola tanam yang umum dilakukan adalah :
Gambar (Figure) 2. Pola tanam yang dikembangkan petani (Cultivation system developed by farmers)
150
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
Sistem agroforestry yang diterapkan membentuk struktur tajuk hutan multi strata, agar penutupan lahan terjaga dengan baik, seksi reboisasi memiliki tanggung jawab melakukan monitoring daerah-daerah kosong kemudian melakukan penataan tanaman agar daerah kosong tersebut segera terisi dengan tanaman pertanian. Seksi reboisasi juga bertanggung jawab menyediakan bibit tanaman pertanian untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Pada awal gerakan, bibit kopi diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo dan dibagikan secara gratis dan masing-masing pesanggem mendapat kuranglebih sebanyak 100 batang, namun selanjutnya jika anggota menghendaki bibit kopi untuk penyulaman misalnya, seksi reboisasi menyediakan bibit yang dikembangkan oleh kelompok dan dijual kepada anggota dengan harga Rp. 1.700,- per batang. Kegiatan pengelolaan pertanian pada lahan andil memberi peluang kepada pesanggem untuk menambah pendapatan keluarga. Rerata pendapatan responden dari kegiatan pertanian pada lahan milik dan lahan andil disajikan pada Tabel 1. Tabel (Table) 1. Rerata dan kisaran pendapatan bersih responden dari kegiatan pertanian (The average and range of respondents net income from agricultural activities)
Jenis tanaman (Plant species)
Melinjo (Gnetum gnemon L.) Kelapa (gula) (palm sugar) Kacang (Arachis hypogaea L.) Cabai (Capsicum frutescens L.) Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) Padi (Oryza sativa L.) Jumlah
6.250.000,-
15.625.000,-
9.375.000,-
Pendapatan tertinggi lahan milik (Rp/th/ha) higher income from Land holding (IDR/year/ha) 17.187.500,-
10.800.000,-
27.000.000,-
13.500.000,-
40.500.000,-
40.000,-
100.000,-
250.000,-
200.000,-
150.000,-
375.000,-
225.000,-
225.000,-
300.000,-
750.000,-
1.125.000,-
600.000,-
2.189.880,-
24.332.000,-
0,-
22.111.111,-
19.729.880,-
68.182.000,-
24. 475.000,-
Rerata pendapatan lahan milik (Rp/th/0.4 ha) (The average income from land holding) (IDR/year/0.4 ha)
Pendapatan terendah lahan milik (Rp/th/ha) lower income from land holding (IDR/year/ha)
3.000.000,-
17.647.059,-
8.823.529,-
80.823.611,Pendapatan tertinggi lahan andil (Rp/th/ha) Higher income from land contract (IDR/year/ha 44.117.647,-
520.000,-
3.058.824,-
4.705.882,-
6.470.588,-
500.000,-
2.941.176,-
1.470.588,-
3.529.411,-
1.200.000,-
7.058.824,-
3.529.411,-
5.294.117,-
24.949.880,-
68.182.000,-
43.004.410,-
59.411.764,-
Pendapatan lahan andil (Rp/th/0,17 ha) (Income from land contract) (IDR/year) Kopi (Coffea arabica L.) Kakao (Theobroma cacao L.) Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) HPT (Calliandra calothyrsus) Jumlah
Rerata pendapatan lahan milik (Rp/th/ha) (The average income from land holding) (IDR/year/ha)
Pendapatan lahan andil (Rp/th/ha) (Income from land contract) (IDR/year/ha)
Pendapatan terendah lahan andil (Rp/th/ha) Lower income from land contract (IDR/year/ha)
Sumber (Source) : Data primer (Primary data)
151
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
Rata-rata banyaknya tanaman kopi yang dimiliki pesanggem adalah 100 batang dan kakao 50 batang. Petani yang memiliki lahan andil bisa memberikan tambahan pendapatan keluarga sebesar kurang lebih Rp. 435.000,- setiap bulannya. Keuntungan lain yang diperoleh petani adalah mereka memiliki cukup banyak pakan ternak, sehingga tidak perlu membeli. Pada saat ini LMDH Wana Lestari telah ditetapkan oleh Perum Perhutani sebagai LMDH Madya. Lembaga Masyarakat Desa Hutan Madya dicirikan dengan keamanan hutan yang kondusif, artinya tidak ada perusakan tegakan pinus karena aktivitas perkebunan di bawah tegakannya. Hasil panen telah berhasil menambah pendapatan keluarga. Lembaga Masyarakat Desa Hutan Madya juga ditandai dengan berkembangnya usaha produktif. Usaha produktif yang dimiliki LMDH Wana Lestari, seperti pembuatan bibit, penyewaan alat pesta dan pengolahan pisang. Bibit yang dibuat oleh kelompok saat ini tidak hanya untuk kepentingan anggota namun telah dijual kepada petani yang membutuhkan. Keuntungan dari penjualan bibit setiap tahunnya mencapai kurang lebih Rp. 3.000.000,- dan masuk menjadi kas LMDH. Keberhasilan yang telah dicapai LMDH Wana Lestari menempatkan mereka sebagai Desa Model PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di wilayah KPH Kedu Selatan. B. Karakteristik Masyarakat Petani Tawangsari Masyarakat (tani) merupakan elemen penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Masyarakat sebagai suatu norma bersama (shared norms), dapat memfasilitasi diselenggarakannya kegiatan konservasi (Agrawal dan Gibson, 1999). Melalui kelompok yang disebut “masyarakat” dimungkinkan dibentuk suatu organisasi sosial untuk tujuan konservasi yang di dalamnya mengatur adanya peran (roles) dan aturan (rules) baik yang berbentuk perintah maupun larangan. Salah satu faktor yang menjadi penentu keberhasilan kegiatan konservasi tanah adalah karakteristik masyarakat tani. Karakteristik pesanggem pada Tabel 2. Tabel (Table) 2. Karakteristik pesanggem (Characteristics of farmers) Karakteristik pesanggem (Farmer characteristics)
Jumlah (Amount)
Jenis kelamin (Sex) : - Laki-laki (Male) - Perempuan (Female)
198 75
Pendidikan (Education) : - Sarjana (Bachelor) - SMA (Senior High School) - SMP (Junior High School) - SD* (Elementary School)
2 6 265 -
Jenis lahan (Type of land holding): - Lahan milik (Land holding) - Lahan andil (Land contract)
Rata-rata (Average)
0,4 0,17
Luas lahan (ha) (Number of land holding) Terendah (Lower) Tertinggi (Higher)
0,18
0,7
Sumber (Source): Data LMDH (LMDH data) *SD= sebelum LMDH didirikan sekitar 164 orang pesangem (60%) berpendidikan SD. LMDH memberi fasilitas kejar paket B sehingga saat ini sudah memiliki ijasah setara SMP. (LMDH facilitaded 164 member of LMDH who only graduated from elementary school to gain junior high school degree through B packet scheme)
152
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
Keberhasilan kegiatan konservasi yang dilakukan oleh Masyarakat Tawangsari sangat didukung oleh kondisi masyarakatnya yang bersifat: 1. Homogen 2. Memiliki kesadaran bersama 3. Adopter 4. Budaya kolektif 5. Persepsi positif pada kegiatan konservasi Masyarakat homogen ditandai dengan karakteristik status sosial-ekonomi, pekerjaan, pendidikan yang hampir sama. Persamaan karakteristik pada masyarakat homogen, seperti masyarakat tani hutan di Tawangsari memungkinkan mereka mengembangkan normanorma konservasi tanah dengan cara melakukan minimum pengolahan lahan pada kegiatan pertanian dalam kawasan. Norma yang dikembangkan dan disepakati (communal norms), yaitu melarang penanaman tanaman singkong dan menganjurkan menanam tanaman perkebunan, empon-empon dan rumput yang tidak banyak membutuhkan pengolahan tanah. Agrawal dan Gibson (1999) menjelaskan bahwa keberadaan norma bersama yang muncul karena kesamaan pandangan, identitas, pengalaman, kepentingan dan sebagainya tersebut yang kemudian diinternalisasi ke dalam perilaku masyarakat mampu memfasilitasi terbentuknya suatu gerakan untuk tujuan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam. Kegiatan konservasi tanah oleh masyarakat, seperti yang terjadi di Tawangsari dilakukan melalui serangkaian proses adopsi. Proses adopsi yang dilalui pesanggem, yaitu tertarik, mengevaluasi dan mengadopsi. Ketertarikan berlangsung ketika melihat para pengurus menanam kopi pada lahan andil mereka kemudian mulai mempertimbangkan untuk mengikuti setelah mengetahui harga kopi yang cukup baik. Adopsi teknik konservasi tanah juga dilakukan melalui serangkaian proses pembelajaran sosial (social learning processes) (Doss, 2006) yang lebih mudah terjadi pada masyarakat yang bersifat homogen. Hal ini disebabkan pada masyarakat homogen tidak muncul perbedaan mendasar dalam masyarakat, misalnya antara pioneer konservasi dan adopter-nya (Doss, 2006). Pada masyarakat heterogen, besar kemungkinan antara pionir dan pengadopsi memiliki status sosial-ekonomi, luas kepemilikan lahan, pendidikan dan sebagainya yang berbeda, sehingga perluasan kegiatan konservasi lebih sulit dilakukan. Masyarakat tani di Tawangsari mampu membentuk organisasi konservasi mandiri, karena mereka memiliki kesadaran bersama akan minimnya sumberdaya alam yang tersedia dibandingkan dengan beragamnya kebutuhan masyarakat. Kesadaran tersebut mampu mendorong kelompok tani hutan di Tawangsari untuk berusaha menanamkan nilainilai konservasi tanah dalam keseharian kehidupan pertanian mereka demi mendapatkan manfaat besar secara ekonomi dari kegiatan konservasi. Keberhasilan konservasi di Tawangsari mungkin terjadi karena dukungan penuh dari masyarakat tani dan tumbuhnya kesadaran diantara mereka bahwa kehidupan akan lestari jika sumberdaya alam yang ada tetap terpelihara. Kesadaran tumbuh melalui beberapa proses, seperti penyuluhan oleh pengurus LMDH dan pendekatan dari pihak Perhutani. Pada kegiatan penyuluhan, pengurus sering meminta bantuan kepada penyuluh kehutanan dan pertanian. Salah satu ciri masyarakat tani hutan di Tawangsari yang mungkin saja tidak terdapat pada masyarakat yang lain, adalah ciri khas adopter. Secara khusus masyarakat tani hutan Desa Tawangsari memiliki karakter sangat terbuka pada ide dan gagasan baru. Sifat keterbukaan inilah yang memungkinkan mereka berubah dan bersedia mengembangkan sistem nilai yang berbeda dari nilai-nilai yang sudah turun-temurun mereka lakukan dalam pengelolaan lahan seperti menanam singkong. Pada banyak kelompok masyarakat, singkong merupakan andalan, karena dianggap mampu memenuhi cadangan pangan 153
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
terutama pada masa-masa sulit. Namun karena jenis tanaman ini dilarang ditanam di wilayah Perhutani sedangkan harga jual dipasar juga sangat rendah maka para pengurus kelompok tani hutan bekerjasama dengan Perum Perhutani berusaha mencari alternatif tanaman pertanian yang dapat berfungsi untuk konservasi tanah dan memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Jenis tanaman baru ini, yaitu kopi, HPT dan empon-empon kemudian disosialisasikan kepada seluruh anggota agar bisa diterima. Ciri umum petani adalah berhati-hati pada jenis tanaman baru, mereka sering kali menolak menanam tanaman baru karena takut mengalami kegagalan. Petani Desa Tawangsari telah mengembangkan sistem yang efektif untuk meneliti jenis tanaman yang secara agroklimat cocok ditanam di wilayahnya dan laku di pasar. Cara yang dilakukan adalah bertanya kepada teman, penyuluh dan pedagang kemudian melakukan ujicoba skala kecil. Dengan demikian tidak ragu melakukan pengembangan jenis tanaman baru. Masyarakat tani hutan di Desa Tawangsari juga mengembangkan upaya bersama untuk menghadapi kemungkinan gagal panen dan pemasaran dengan memanfaatkan organisasi LMDH. Ketika harga pasar tidak baik LMDH bertanggung jawab menampung hasil panen dan memasarkannya. Salah satu yang menjadi kunci keberhasilan petani Desa Tawangsari dalam mengembangkan perilaku dan budaya konservasi tanah adalah semua kegiatan dilakukan secara berkelompok (budaya kolektif). Keuntungan berkelompok antara lain dapat menguatkan ikatan sosial, kepercayaan satu sama lain, kebanggaan dan rasa memiliki. Selanjutnya melalui kelompok konservasi dimungkinkan dikembangkannya pengetahuan lokal, peningkatan tanggung jawab bersama atas kondisi setempat dan efisiensi dari upaya pengelolaan sumber daya (Trotman, 2008) dan yang terpenting dalam kegiatan konservasi adalah pemberian insentif misalnya prioritas mendapatkan berbagai bantuan dari pemerintah seperti bibit dan pupuk bagi pelaku konservasi tanah. Melalui kelompok yang disebut LMDH, petani hutan di Tawangsari mampu mengembangkan harmonisasi diantara anggotanya. Hal ini tampak dari tidak adanya pertentangan dan perselisihan antara penyadap dan pesanggem meskipun mereka mengelola lahan yang sama, toleransi dikembangkan, aturan main dibangun, konflik dalam pengelolaan sumberdaya diselesaikan dengan musyawarah dan pendekatan secara personal. Mereka juga mengembangkan dialog yang intensif dan menggunakan berbagai media rembug desa untuk menyamakan visi anggota dan jika mungkin meminimalkan perbedaan yang muncul diantara anggotanya. Banyak masyarakat tidak mampu memprakarsai perubahan dalam pengelolaan lahannya untuk tujuan konservasi, apalagi jika berakibat pada kestabilan ekonomi rumah tangga (Trotman, 2008), namun masyarakat Tawangsari menyadari bahwa hal tersebut bisa dilakukan jika mereka bekerja sama dalam suatu kelompok. Masyarakat tani Desa Tawangsari memiliki persepsi positif pada kegiatan konservasi. Pada masyarakat dengan sifat seperti ini, kesulitan dianggap sebagai tantangan dan bukan hambatan. Petani pada umumnya sering kali menolak melakukan konservasi dan mengadopsi teknik-teknik konservasi tanah yang disarankan karena khawatir teknik konservasi yang diterapkan akan menurunkan produktivitas pertaniannya. Namun petani di Desa Tawangsari justru melakukan konservasi tanah karena persepsi positifnya bahwa teknologi konservasi tanah yang mereka lakukan pada lahan hutan dengan minimum pengelolaan lahan (minimum tillage conservation system) melalui penanaman kopi, HPT dan empon-empon akan membawa keuntungan secara ekonomi. Hal tersebut dikuatkan oleh Amsalu dan de Graaff (2007) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa adopsi teknik konservasi tidak akan terjadi manakala petani tidak memiliki persepsi bahwa teknologi tersebut akan meningkatkan produktivitas pertanian mereka. 154
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
C. Karakteristik Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pada banyak masyarakat tradisional, seperti Petani Tawangsari, peran pemimpin (pengurus LMDH) sangat penting terutama untuk mengorganisir masyarakat ke arah pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Sebagai salah satu faktor pendorong perubahan, pemimpin dipercaya mampu menjadi penjaga sistem pengetahuan yang dikembangkan secara turun temurun dan memiliki peranan penting dalam menentukan dengan cara seperti apa sumberdaya alam akan dikelola, terutama pada saat ini ketika pola konsumsi manusia membawa dampak merusak pada lingkungan. Manolis (2008) bahkan menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan atribut yang sangat penting yang digunakan sebagai alat dalam mendorong kegiatan konservasi. Taylor (2010) juga menyatakan bahwa pemimpin merupakan inti dan fenomena penting bagi proses terjadinya perubahan lingkungan, karena dianggap menjadi pengaruh, motivator dan sumber inspirasi bagi masyarakat untuk mencapai visi bersama demi keuntungan bersama. Secara umum, masyarakat tani hutan Tawangsari bukanlah masyarakat terdidik yang mampu secara cepat mengidentifikasi munculnya permasalahan di lingkungannya. Sebelum LMDH secara resmi didirikan sekitar 60% pesanggem memiliki pendidikan sekolah dasar. Para pengurus LMDH-lah yang mulai menyadari berkembangnya benihbenih permasalahan yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) bertambahnya jumlah penduduk desa dengan rata-rata pertumbuhan penduduk 0,12% per tahun (BPS, 2010); (2) ketergantungan penduduk yang tinggi terhadap pertanian karena 89,5% kepala keluarga adalah petani dan minimnya ketrampilan di bidang lain dan (3) ketergantungan pada lahan hutan karena keterbatasan luas kepemilikan lahan. Permasalahan ini, jika tidak segera diatur dan ditangani, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial baik antar anggota masyarakat maupun dengan Perhutani. Melalui penggabungan model kepemimpinan tradisional (pemegang kontrol kegiatan atau high control) dan modern (team work, partisipasi, network), para pengurus LMDH berhasil menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang ada secara benar dan bijaksana. Penggabungan model tradisional dan modern ini bisa terjadi karena ada diantara pengurus LMDH yang menjadi perangkat desa, sehingga memiliki pengalaman menjalankan organisasi. Karakter pengurus LMDH yang diadaptasi dari Bodo’ (2004) pada Tabel 3. Agen perubahan ditunjukkan dengan kemampuan bisa memengaruhi orang lain. Petani kecil sangat resisten terhadap perubahan karena bisa mengganggu stabilitas ekonomi rumah tangga, namun mereka umumnya bisa diyakinkan melalui contoh-contoh nyata yang bisa dilihat dan diukur melalui keberhasilan yang dicapai oleh kerabat atau tetangga. Oleh karena itu, para pengurus LMDH memberikan contoh dengan menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi, namun baik untuk konservasi pada lahan-lahan sanggeman mereka. Aksi tersebut diiringi dengan gerakan persuasif kepada masyarakat desa secara luas agar bersedia meniru dan mempraktekkannya. Suatu prasyarat untuk ‘maju’ setiap orang diharapkan berani mengambil resiko, namun petani kecil memiliki berbagai keterbatasan yang tidak memungkinkannya untuk melakukan hal tersebut. Dengan demikian pemimpinlah dalam kasus ini adalah pengurus LMDH yang harus mengambil tanggung jawab sebagai pengambil resiko untuk menciptakan kesempatan-kesempatan bagi kemajuan dan mendorong yang lain untuk berani melakukan hal yang sama (Marquardt, 2000). Keberanian mengambil resiko (risktaker) dengan melakukan inovasi (innovator) pada pola pengelolaan lahannya, melalui serangkaian percobaan penanaman jenis tanaman kopi, HPT dan empon-empon, menempatkan para pengurus LMDH menjadi panutan bagi masyarakat. Cara seperti itu mempermudah penyebarkan ide dan gagasan, karena petani bisa secara langsung menyaksikan, menilai dan membuat keputusan meniru dan mengadopsi inovasi baru yang 155
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
diperkenalkan tersebut. Melalui tindakan nyata akan memberikan kesan yang lebih baik kepada petani, agar petani tidak ragu mengembangkan jenis tanaman yang disarankan karena kekhawatiran dalam pemasaran, para pengurus LMDH juga berusaha membuka informasi pasar untuk produk-produk pertanian dan perkebunan yang dihasilkan dengan cara mencari informasi pedagang kepada teman dan penyuluh. Tabel (Table) 3. Karakteristik pengurus LMDH Wana Lestari (Characteristics of LMDH Wana Lestari administrator) Karakteristik pengurus (Administrator characteristics) Agen perubahan (Agent of change)
Uraian (Description) Seseorang yang berusaha memengaruhi orang lain agar mengambil keputusan sesuai arah yang dikehendaki (A person who influences others to follow his directions)
Pengambil resiko (Risk taker)
Seseorang yang bersedia menghadapi kerugian untuk mendapatkan kemungkinan keuntungan (A person who takes the risk for future gains)
Inovator (Innovator)
Seseorang yang memperkenalkan sesuatu yang baru dan membuat perubahan pada sesuatu yang sudah mapan (A person who introduces new ideas and changes any establishment)
Koordinator (Coordinator)
Seseorang yang bertugas mengorganisir anggota kelompok atau beberapa kelompok untukbekerjasama demi mencapai suatu tujuan (A person who coordinating groups of people to cooperate to achieve goals)
Berinisiatif (Initiator)
Seseorang yang memprakarsai suatu gerakan atau kegiatan (A person who initiate a movement)
Memobilisasi massa Mengerahkan orang untuk beralih pada perilaku dan pola yang baru (A person dan social (Mobilize of who mobilize others to change their behaviors) mass and social) Sumber (Source): Data primer (Primary data)
Konservasi tanah meskipun dengan minimum pengolahan lahan, bagi petani kecil tetap merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan dana yang cukup banyak. Pada awalnya petani harus menyediakan bibit, pupuk dan menanggung biaya penanaman dan pemeliharaan tanaman. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan petani untuk penanaman kopi per luasan lahan rata-rata (0,17 ha) adalah sebesar Rp 1.182.640,- seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel (Table) 4. Rata-rata biaya penananaman kopi (The average cost for coffee cultivation) Bahan/kegiatan (Materials/activities) Bibit kopi (coffee seedling) Pupuk kandang (manure) Ajir (stick) Pemasangan ajir (stick instalment) Pembuatan lobang tanam (planting hole preparation) Penanaman dan Pemupukan (planting & fertilizing) Pembersihan lahan (0,17 ha) (land clearing) Jumlah Sumber (Source): Data primer 2010 (Primary data 2010)
156
Biaya tanaman (Rp/0,17 ha) (Cultivation cost) (IDR/0,17 ha) 272.000 304.640 20.400 54.400 68.000 163.200 300.000 1.182.640
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
Jika petani ingin mengembangkan empon-empon dan kakao mereka harus mengeluarkan biaya tambahan. Harga bibit temulawak untuk 0,1 ha sebanyak 250 kg kurang lebih Rp. 125.000,-, harga bibit kakao berkisar Rp. 2.000,- per batang. Berdasar hasil wawancara, kegiatan pengembangan kopi pada lahan hutan hanya membutuhkan biaya untuk tahun pertama saja. Berikutnya pemeliharaan tanaman seperti penyiangan dilakukan sendiri sewaktu-waktu, pemupukan dilakukan tidak tentu dengan pupuk kandang dari ternak pribadi. Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memulai usaha tani bawah tegakan dengan tujuan konservasi tanah, mendorong pengurus LMDH Wana Lestari untuk membantu meringankan beban anggota. Pemanfaatan modal sosial (social capital) yang mereka miliki yaitu jejaring kerja, pengurus LMDH melakukan koordinasi dengan banyak instansi untuk mendapatkan bantuan. Sebanyak 20.000 polibag bibit kopi dan 2,5 ton bibit temulawak diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo. Bantuan ini memperingan beban anggota LMDH, karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli bibit. Bantuan tersebut merupakan modal awal usaha pertanian dalam kawasan LMDH Wana Lestari yang dilakukan secara lestari. Kegiatan-kegiatan pertemuan dengan tokoh masyarakat tetap dilakukan sebagai cara untuk menghimpun dana. Tujuan pertemuan desa tersebut agar masyarakat bisa berdialog secara langsung dengan pemimpin pemerintahan dan menyampaikan harapan-harapan dan keinginan mereka. Beberapa bantuan lain yang berhasil diperoleh adalah 40 ekor kambing etawa dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, bibit kakao sebanyak 20.000 dari Dinas Pertanian dan Kehutanan, lima buah mesin jahit dan spayer. Berbagai bantuan yang diperoleh dianggap sebagai suatu insentif bagi anggota LMDH. Berbagai bantuan untuk kelompok LMDH tersebut mendorong semangat berpartisipasi pada kegiatan konservasi lahan hutan melalui pemeliharaan tanaman konservasi bawah tegakan. Kemampuan berinisiatif dan memobilisasi anggota membuat gerakan mengkonservasi tanah dengan minimum pengolahan lahan menjadi terlaksana. Suatu kegiatan dipercaya akan berjalan lebih efektif dan mudah diterima masyarakat jika dipimpin oleh orang yang sudah dikenal dan dipercaya, selanjutkan akan mudah menimbulkan rasa memiliki diantara masyarakat. Hal ini dikuatkan oleh McDonald dan Brown (2000) yang menyatakan bahwa petani jarang sekali bersedia meneruskan teknik yang ditawarkan oleh orang luar dalam jangka panjang, kecuali berbagai pertimbangan ekonomi, sosio-kultural, kelembagaan termasuk bio-fisik dan teknis benar-benar dapat meyakinkan mereka. Peran pemimpin yang memiliki visi dan misi ke depan untuk maju, terbukti sangat berpengaruh mengubah perilaku masyarakat. Pemimpin dengan karakteristik polychronic coordinator, yaitu pemimpin yang mampu mengelola dan mengintegrasikan beberapa hal pada saat bersamaan, mampu bekerja sama dengan banyak pihak bahkan pada situasi yang tidak mendukung akan memotivasi masyarakat, khususnya petani kecil dan memberi inspirasi serta mendorong terjadinya proses perubahan. D. Karakteristik Organisasi Masyarakat Tawangsari Organisasi merupakan kumpulan individu yang bekerja mengelola sumberdaya yang sama untuk tujuan bersama. Pada saat ini, bermacam inovasi telah banyak dilakukan oleh organisasi perdesaan, sebagai respon atas tingginya biaya transaksi dan berbagai kendala yang dialami para petani karena sempit dan terisolirnya lahan yang dimiliki. Upaya mengkoordinasikan tindakan dan kepentingan dari para petani dan pelaku pasar yang lain serta pengambil kebijakan, suatu organisasi bisa memfasilitasi tersedianya layanan untuk mengurangi kendala yang diderita petani. Layanan tersebut meliputi penyediaan akses terhadap sumberdaya alam, pasar, pengetahuan dan informasi serta kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan (Herbel et al., 2012), seperti yang terjadi pada 157
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
kelompok tani hutan Wana Lestari. Kharakteristik LMDH Wana Lestari yang diadaptasi dari Bodo’ (2004) adalah : Tabel (Table) 5. Karakteristik LMDH Wana Lestari (Characteristics of LMDH Wana Lestari) Karakteristik organisasi (Characteristics of the organization) Tumbuh karena keinginan anggota (Community driven)
Keterangan (Description) Organisasi didirikan karena anggota membutuhkan wadah untuk memperjuangkan kepentingannya (Organization was developed based on the need of community members to fulfil their interests. Efisien dan efektif Organisasi mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab (Efficient & effective) sesuai rencana (Organization run tasks and responsibilities based on what had been planned) Adil dan tidak memihak Tidak pilih kasih dan memberikan kesempatan yang sama (Equity & fairness) kepada semua anggota (Organization gave the same chances to all members) Aturan yang jelas Kewajiban dan larangan dibuat untuk mengatur aktivitas (Follow the rules of law) anggota (Obligation and prohibition were made to control members activities) Partisipasi (Participation) Keikutsertaan aktif anggota (Active participation of all members) Sumber (Source): Data primer (Primary data)
Salah satu yang menjadi kekuatan kelompok tani hutan (LMDH) Wana Lestari di Desa Tawangsari yang berbeda dari kelompok-kelompok lain adalah terbentuknya LMDH benar-benar atas dasar keinginan anggotanya (community driven). Dengan demikian motivasi dari anggota untuk benar-benar terlibat aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan organisasi sangat tinggi. Franzel et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kelompok konservasi yang terbentuk karena dorongan dari anggotanya akan mudah melakukan perluasan kegiatan konservasi. Banyaknya kasus kelompok tani yang hanya berupa papan nama tanpa adanya kegiatan, dikarenakan kelompok tani tersebut didirikan secara top-down untuk suatu proyek tertentu. Akibatnya, kelompok seperti ini sering kali tidak mampu menjaga motivasi anggotanya untuk terus aktif terlibat dalam kegiatan kelompok dan tidak dapat mengembangkannya menjadi organisasi yang kuat dan mandiri. Pada saat ini LMDH Wana Lestari bisa dikatakan sebagai organisasi yang efisien dan efektif. Mereka telah mampu memanfaatkan sumberdaya yang mereka miliki sebaikbaiknya dan menghasilkan manfaat secara ekonomi sesuai dengan harapan dan keinginan dari anggotanya. Pemanfaatan sumberdaya secara maksimal dilakukan dengan cara melakukan diversifikasi usaha seperti pengembangan usaha pembibitan, pembuatan gula kelapa, penyewaan peralatan pesta, jual beli hasil-hasil pertanian, pemanfaatan usaha produktif seperti pengolahan pisang, kencur dan sebagainya dengan tujuan menyejahterakan anggota dan mengembangkan organisasi. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) diorganisir secara efisien untuk menghadapi para tengkulak yang seringkali mempermainkan harga. Mereka mengembangkan jaringan sosial yang luas untuk mendapatkan pembeli hasil pertanian mereka sesuai harga yang diinginkan. Metode memanfaatkan LMDH terbukti efektif dan murah dibandingkan jika mereka menjual hasil pertaniannya secara sendiri-sendiri. Salah satu yang menjadi ciri khusus LMDH Wana Lestari adalah sifat dari organisasi yaitu adil dan tidak memihak. Pada LMDH Wana Lestari setiap anggota kelompok memiliki hak yang sama untuk mendapatkan bantuan dan tidak merasa dikucilkan atau dibedakan dari anggota yang lain. Perhatian juga difokuskan pada mereka yang memiliki 158
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
ketidakmampuan untuk mendapatkan kesempatan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Untuk itu, suatu skema kredit usaha pertanian dikembangkan, dengan modal simpanan dan iuran wajib dari anggotanya. LMDH juga mengatur agar setiap bantuan yang datangnya dari pemerintah baik dalam bentuk uang maupun sarana produksi usaha tani tersalurkan kepada anggota secara berkeadilan, disesuaikan dengan kemampuan dari anggota yang menerima. Organisasi LMDH Wana Lestari dijalankan menggunakan aturan yang benar-benar ditaati seluruh anggota. Aturan tersebut misalnya tidak boleh ada daerah gundul dalam kawasan, tanaman yang ditanam harus yang memiliki pengaruh positif bagi konservasi tanah, tidak boleh menebang tanaman dalam hutan dan sebagainya. Selanjutnya organisasi dikembangkan dengan prinsip musyawarah mufakat, karena organisasi memiliki sejumlah anggota yang tentunya memiliki pandangan yang berbeda, maka sebagai organisasi yang ingin maju, LMDH Wana Lestari berusaha menjadi mediator berbagai perbedaan kepentingan yang muncul pada anggotanya. Mediasi dilakukan untuk membuat suatu konsensus atau kesepakatan agar berbagai kepentingan dapat terpenuhi tanpa ada yang merasa dikorbankan. Konsensus juga dibuat untuk menetapkan berbagai tujuan (goals) dari organisasi, seperti suatu rencana pengembangan kegiatan. Seluruh anggota menyadari bahwa partisipasi aktif anggota merupakan kunci sukses berjalannya suatu organisasi. Pada LMDH Wana Lestari anggota diorganisir secara baik, kebebasan mengemukakan pendapat terbuka luas dan tidak ada diskriminasi. LMDH Wana Lestari merupakan organisasi yang transparan. Hal ini berarti bahwa semua keputusan diambil berdasarkan aturan main dari organisasi. Pada LMDH Wana Lestari informasi terbuka secara luas dan bisa diakses oleh seluruh anggota. Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lestari sangat menghargai kesetaraan gender dalam organisasi. Sebanyak 27% pesanggem dan 38% pengurusnya adalah perempuan. Mereka mengembangkan beberapa kegiatan yang secara khusus dirancang untuk memberdayakan kaum perempuan dan pemuda desa seperti pembuatan bibit, gula kelapa dan sebagainya. Dasar pemikirannya adalah semua warga merasa nyaman bekerja di desa dan bisa menghasilkan uang untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Selain itu untuk menghindari terjadinya migrasi kaum muda dari desa untuk mencari nafkah di tempat lain, maka didirikan kelompok Taruna Tani. Kelompok Taruna Tani dan Wanita Tani dirancang untuk mempertahankan jumlah tenaga kerja muda di bidang pertanian, sehingga dapat menjaga keberhasilan pembangunan pertanian yang telah dicapai selama ini. E. Faktor-Faktor Pendorong Adopsi Konservasi Tanah Pada Lahan Hutan Kebutuhan untuk melakukan konservasi tanah pada lahan hutan di Desa Tawangsari didasari keadaaan semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk kegiatan pertanian. Desa Tawangsari memiliki luas 195 km2 dengan jumlah penduduk 955 orang, kepadatan penduduk 488 per km2 (BPS, 2010). Kondisi ini membawa konsekuensi terjadinya intensifikasi kegiatan pertanian yang lambat laun mengarah pada perambahan kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Namun demikian, keadaan ini bagi masyarakat Desa Tawangsari tidak berlanjut menjadi suatu kegiatan yang merusak, tetapi mampu membuat mereka mengorganisir diri dan membangun kesadaran bersama untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan lahan hutan. Kondisi ini memaksa masyarakat untuk tidak hanya mempertimbangkan aspek produksi dalam melakukan kegiatan pertanian dan pengelolaan lahan hutan, namun juga memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan dan budaya setempat. Pada umumnya hal ini ditandai dengan adanya upaya adaptasi dengan cara memanfaatkan sumberdaya alam, yaitu lahan yang tersedia dengan efisien namun tetap mempertimbangkan stabilitas kondisi lahan. Pada masyarakat yang melaksanakan pola pengelolaan lahan seperti itu 159
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
produksi pertanian dijaga agar seimbang dengan kondisi alam melalui pemeliharaan proses ekologi (de Aranzabal et al., 2008). Konservasi tanah dilakukan karena terdorong oleh faktor keuntungan ekonomi, hak penguasaan lahan dan adanya peluang pasar komoditas yang dikembangkan. Alasan lain untuk melakukan konservasi tanah pada lahan hutan adalah jaminan adanya keuntungan ekonomi dari kegiatan tersebut. Tekanan ekonomi yang mengarah pada kemiskinan mulai mengakibatkan penurunan produktivitas pertanian, karena ekplotasi luar biasa pada sumberdaya terutama tanah untuk kegiatan pertanian. Namun rasionalitas ekonomi menyadarkan petani Desa Tawangsari bahwa eksploitasi atas tanah harus diikuti upaya khusus agar sumberdaya yang ada bisa terus dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa berhenti untuk mencegah terjadinya krisis. Kesadaran inilah yang membawa mereka melakukan kegiatan konservasi tanah dengan minimum pengolahan pada tanah. Scherr (2000) menjelaskan bahwa salah satu strategi yang dilakukan petani untuk mempertahankan ekonomi rumah tangganya dalam menghadapi degradasi lingkungan adalah dengan cara melakukan rehabilitasi. Lebih lanjut dalam penjelasannya Scheer (2000) menambahkan bahwa adopsi paraktek konservasi tanah hanya dilakukan oleh petani miskin jika mereka yakin praktek tersebut akan meningkatkan produktivitas atau stabilitas panen. Jika tidak ada manfaat secara ekonomi yang bisa diambil dari kegiatan konservasi tanah, petani yang mampu secara ekonomi dan memiliki pengetahuan mengenai dampak degradasi sumberdaya pun kemungkinan tidak bersedia melakukannya. Konservasi dilakukan pesanggem Desa Tawangsari karena adanya hak penguasaan lahan (land tenure). Hak penguasaan lahan memberikan jaminan kepada pesanggem untuk dapat memanfaatkan lahan hutan di bawah tegakan pinus untuk kegiatan pertanian. Adanya hak penguasaan lahan memberikan dorongan kepada petani untuk berani melakukan investasi dalam bentuk konservasi (Gebremedhin & Swinton, 2003; Scheer, 2000). Hak penguasaan lahan sangat penting bagi masyarakat Desa Tawangsari, karena biaya yang dikeluarkan untuk melakukan investasi dalam bentuk pembelian pupuk, pembersihan dan penyiapan lahan bagi petani cukup banyak sedangkan lahan yang dikonservasi merupakan lahan hutan negara dan bukan lahan milik. Hak penguasaan lahan juga digunakan sebagai “jaminan” oleh sebagian petani yang melakukan investasi konservasi tanah dengan biaya pinjaman seperti pinjaman dari kelompok tani atau kelompok arisan. Hak tersebut membuat pesanggem dianggap memiliki aset berupa lahan garapan dan tanaman pertaniannya untuk bisa mengembalikan pinjamannya. Pada umumnya hak diberikan selama dua tahun, namun perjanjian ini tidak diberlakukan ketat terutama karena LMDH Wana Lestari tidak menanam tanaman semusim yang sangat intensif dalam pengolahan tanah. Adanya peluang pasar (market opportunity) bagi tanaman yang dikembangkannya merupakan motivator bagi pesanggem, sehingga berani mengambil keputusan untuk adopsi teknik konservasi tanah. Kemudahan memasarkan hasil pertanian memungkinkan petani segera mendapatkan penghasilan, sehingga bisa membayar input yang sudah dia keluarkan. Upaya mempermudah pemasaran hasil pertanian, pesanggem Desa Tawangsari memilih komoditas-komoditas yang mudah dijual di pasaran, seperti kopi dan empon-empon. Tak jarang mereka juga mengundang pedagang besar pada saat panen raya. Hal ini dilakukan agar proses pemasaran lebih mudah dan murah, karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk memasarkan hasil pertaniannya.
160
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Salah satu strategi untuk membangun masyarakat konservasi adalah dengan melembagakan kegiatan tersebut menjadi suatu norma untuk mengatur perilaku masyarakat. Proses pelembagaan tersebut tidaklah mudah karena sangat tergantung pada karakteristik dari masyarakatnya. 1. Teknologi konservasi akan lebih mudah diterapkan pada masyarakat yang bersifat homogen, memiliki kesadaran bersama, bersifat adopter, mengembangkan budaya kolektif dan memiliki persepsi positif pada konservasi. 2. Pada masyarakat tani proses pelembagaan konservasi juga sangat tergantung pada peran pemimpin yang menjadi generator bagi terjadinya proses perubahan, yaitu pemimpin yang bisa menjadi agen perubahan, pengambil resiko, inovator, koordinator dapat berinisiatif dan mampu memobilisasi warganya. 3. Kegiatan konservasi sebagai bagian dari suatu perubahan juga sangat tergantung pada peran institusi (organisasi) yang mengawal kegiatan konservasi tersebut. Institusi (organisasi) yang tumbuh karena keinginan anggotanya, bisa bekerja secara efisien dan efektif, adil dan tidak memihak, mampu membuat aturan main bagi anggotanya dan dibangun secara partisipatif. Faktor-faktor seperti keuntungan ekonomi dari konservasi, adanya hak penguasaan lahan (land tenure) dan peluang pasar juga menjadi faktor pendorong bagi percepatan adopsi teknik konservasi pada petani. 4. Penyuluh, peneliti dan masyarakat konservasi yang berkepentingan untuk melakukan pengembangan kegiatan konservasi pada masyarakat tani perlu mempertimbangkan untuk memilih agen perubahan dari orang-orang yang dipercaya masyarakat petani. Orang yang pada umumnya memungkinkan untuk melakukan hal tersebut adalah para pemimpin atau tokoh di desa, hal ini penting dilakukan demi menjamin keberhasilan suatu pengenalan teknologi baru dalam kegiatan konservasi. 5. Perlu pula disadari bahwa kegiatan konservasi dapat berjalan baik jika masyarakat memiliki institusi lokal baik berupa lembaga/organisasi desa dan norma-norma yang kuat untuk mendukung kegiatan konservasi tersebut. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan harus lebih dulu dilakukan sebelum pengenalan teknik konservasi dilakukan. B. Saran 1. Penyuluh, peneliti dan masyarakat konservasi yang berkepentingan untuk melakukan pengembangan kegiatan konservasi pada masyarakat tani perlu mempertimbangkan untuk memilih agen perubahan dari orang-orang yang dipercaya masyarakat petani. Orang yang pada umumnya memungkinkan untuk melakukan hal tersebut adalah para pemimpin atau tokoh di desa, hal ini penting dilakukan demi menjamin keberhasilan suatu pengenalan teknologi baru dalam kegiatan konservasi. 2. Perlu pula disadari bahwa kegiatan konservasi dapat berjalan baik jika masyarakat memiliki institusi lokal baik berupa lembaga/organisasi desa dan norma-norma yang kuat untuk mendukung kegiatan konservasi tersebut. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan harus lebih dulu dilakukan sebelum pengenalan teknik konservasi dilakukan.
161
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 2, September 2014: 145-163
DAFTAR PUSTAKA Agrawal, A dan Gibson, C.C. (1999). Enchantment and disenchantment: the role of community in natural resource conservation. World Development, 27, 629-649. Amsalu, A dan de Graff, J. (2007). Determinant of adoption and continued use of stone terraces for soil and water conservation in an Ethiopian highland watershed. Ecologycal Economics. 61, 294-302. BPS. (2010). Kecamatan Kaligesing dalam angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Purworejo. Buyu, G.E.O. (2002). Factors affecting participation in technology development and transfer: case of farmer field schools on water harvesting and soil conservation in Mbeere Kenya. A Research Report Submitted to the Farm-Level Applied Methods of Research for East and Southern Africa in fulfillment of the requirement of the KEN 99- Student Grant funds. Nairobi, Kenya. Bodo, P. (2004). Open and close organizations. Paper presented at seminar International Human Resource Management. Diakses: Desember 2010. (http://www.hrnetwork.hu/szolgaltatasok/open_and_closed_organizations.pdf). de Aranzabal, I., F. Scmitz, M. Aguilera, P. & Pineda F.D. (2008). Modelling of landscape changes derived from the dynamics of socio-ecologycal systems, a case of study in a semiarid Mediteranian landscape. Ecologycal Indicators. 8, 672-685. Doss, C. R. (2006). Analyzing technology adoption using microstudies: limitations, challenges, and opportunities for improvement. Agricultural Economics. 34, 207219. Franzel, S., Denning G.L., Lilleso J.P.B. & Mercado, Jr. A.R. (2004). Scalling up the impact of agroforestry : lessons from three sites in Africa and Asia. Agroforestry Systems. 61, 329-344. Gebremedhin, B., & Swinton, S.M. (2003). Investment in soil conservation in Northern Ethiopia : the role of land tenure security and public programs. Agricultural Economics. 29, 69-84. Giller, K.E., Witter, E., Coorbeels, M., & Tittonell, P. (2009). Conservation agriculture and smallholders in Africa : The heretics’ view. Field Crop Research. 114, 23-34. Hancock, J. (1997). Extension education: conducting effective agricultural demonstrations. Cooperative Extension Service. University of Kentucky. College of Agriculture. USA. Haryanti, N. (2010). Aspek sosiologis adopsi teknologi rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7 (5), 525-536. Herbel, D., Crowley, E, Haddad, N.O., & Lee, M. (2012). Good practices in building innovative rural institution to increase food security. FAO, Rome, Italy. Knox, A & Meinzen-Dick, R. (1999). Property right, collective action, and technologies for natural resource management. CGIAR. System Wide Program on Collective Action and Property Right. Policy Brief. No. 1 October 1999. Lapar, A.L. & Pandey, S. (1999). Adoption of soil conservation: the case of the Philippine uplands. Agricultural Economic. 21, 241-256. Manolis, J. C. (2008). Leadership: a new frontier in conservation science. Conservation Biology. 23 (4), 879-886. Marquardt, M.J. (2000). Action learning and leadership. The Learning Organization. 7 (5), 233-240. McDonald, M. & Brown,K. (2000). Soil and water conservation projects and rural livelihood : option for design and research to enhance adoption and adaptation . Land Degradation Development. 11, 343-361. 162
Karakteristik Masyarakat Tani Tawangsari… (Haryati, Nana)
Omari, R. (2008). Agricultural technology adoption and related policy issues in Ghana”. Paper presented at the conference on Practicing Agricultural Innovation in Africa A Platform for Action, 12th-14th May 2008 at Movenpick Hotel Dar es Salaam, Tanzania. Roger, E. (1983). Diffussion of innovation. New York : The Free Press. Scherr, J. S. (2000). A downward spiral? Research evidence on the relationship between poverty and natural resource degradation. Food Policy. 25, 479-498. Taylor, A. (2010). Using the lever of leadership to drive environmental change: ten tips for practitioners. Proceeding of the Enviro 2010 Conference. 21-23 July 2010, Melbourne, Australia. Trotman, R. (2008). The benefits of community conservation : a literature review. Auckland Regional Council.
163