TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA EKOSISTEM PEGUNUNGAN: KASUS DI GUNUNG TALANG KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT (Level of Social Vurnerability to Climate Change at the Mountain Ecosystem: Case at Talang Mountain, Solok Regency, West Sumatra) Yanto Rochmayanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia; e-mail:
[email protected] Diterima 11 Maret 2014 direvisi 5 Juni 2014 disetujui 2 Maret 2015
ABSTRACT Mountain ecosystems are very sensitive to climate change, so that a failure in addressing climate dynamics will have serious consequences for agricultural and forestry sectors. This study aims to determine the level of vulnerability of communities in mountain ecosystems to climate change. The research was conducted in three villages in the Solok Regency, West Sumatra Province, namely Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Batumbuk and Air Dingin. Primary and secondary data was collected through observation and interviews with 30 respondents in each village, and then analyzed with descriptive analysis and scoring. The results show that exposure with a focus on landslides that have a high degree of vulnerability in all villages. Nagari Salayo Tanang BukitSileh and Air Dingin villages have high sensitivity level, while Air Batumbuk village has moderate sensitivity level. The major factors in the formation of the vulnerability of mountain ecosystems are infrastructure (landslide control structures, settlement patterns), ecological factors (forest cover, cliff condition) and economic condition (land / natural resources - based economies). Efforts to reduce the level of vulnerability of the community are by constructing landslide control, settlement arrangement that are resistant to landslides, growing woody plants in the area of agriculture and plantation with slope of > 45°, the enrichment and expansion of community protection forest. Keywords: Social vulnerability, climate change, mountain ecosystem. ABSTRAK Ekosistem pegunungan sangat sensitif terhadap perubahan iklim sehingga kegagalan dalam menangani dinamika iklim akan berdampak serius bagi sektor kehutanan dan pertanian. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan masyarakat pada ekosistem pegunungan terhadap perubahan iklim. Penelitian dilaksanakan di tiga nagari di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, yaitu: Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Batumbuk dan Air Dingin. Data primer dan sekunder diambil melalui observasi dan wawancara dengan 30 responden di setiap nagari, kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif dan skoring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa singkapan dengan fokus longsor memiliki tingkat kerentanan tinggi di semua nagari. Nagari Salayo Tanang Bukit Sileh dan Nagari Air Dingin menunjukkan tingkat sensitivitas tinggi, sedangkan Nagari Air Batumbuk menunjukkan tingkat sensitivitas sedang. Faktor utama pembentuk kerentanan pada ekosistem pegunungan adalah infrastruktur (bangunan pengendali longsor, pola pemukiman), ekologi (tutupan hutan, kondisi tebing) dan ekonomi (mata pencaharian berbasis lahan/sumber daya alam). Upaya pengurangan tingkat kerentanan masyarakat adalah: pembangunan fisik pengendali tebing, penataan pemukiman yang resisten terhadap tanah longsor, pengayaan tanaman berkayu di areal pertanian dan perkebunan yang kemiringannya >45o, pengayaan dan perluasan hutan lindung nagari. Kata kunci: Kerentanan masyarakat, perubahan iklim, ekosistem pegunungan.
189
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 189 - 201
I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan perubahan suhu dan pola curah hujan, kemudian meningkatkan peluang bencana klimatis seperti kekeringan dan banjir (Tim Sintesis Kebijakan Departemen Pertanian, 2008). Kegagalan panen dan kehilangan produksi padi akibat iklim dalam periode 1991-2000 meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 1981-1990 (Boer & Las, 2003). Secara umum, dampak negatif perubahan iklim terhadap perekonomian global diduga menyebabkan hilangnya 5% Gross Domestic Product (GDP) dunia setiap tahun (Pasaribu et al., 2008). Pergeseran musim dan perubahan pola hujan dapat berpengaruh pada berbagai sektor. Perubahan tersebut akan menyebabkan terganggunya musim tanam dan panen yang dapat menimbulkan ancaman terhadap ketahanan pangan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2009). Sistem ekonomi pertanian juga terganggu, antara lain tata niaga pupuk mengalami hambatan dan konsumsi petani mengalami penurunan. Di sisi lain curah hujan yang tinggi dengan intensitas yang meningkat dapat menambah risiko terjadinya longsor, terlebih jika tutupan vegetasinya sangat kurang. Ancaman longsor, stabilitas produksi pangan dan ekosistem hutan umumnya berada di dataran tinggi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (2006) menyatakan bahwa daerah sepanjang Bukit Barisan merupakan daerah rawan longsor. Oleh karena itu dataran tinggi merupakan ekosistem yang rentan terhadap perubahan iklim. Masyarakat merupakan pihak yang paling terdampak oleh perubahan musim dan cuaca ekstrem, baik dampak langsung maupun tidak langsung (Haque et al., 2012). Peningkatan kapasitas masyarakat merupakan hal krusial dalam menjamin keberhasilan adaptasi terhadap perubahan iklim (Wamsler & Brink, 2014), terutama mengubah pendekatan adaptasi reaktif menjadi proaktif (Departement for International Development, 2012). Oleh karena itu, kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim merupakan bagian penting untuk menyediakan informasi yang 190
kompleks di berbagai wilayah yang berbeda, serta sebagai bahan perencanaan tindakan adaptasi yang meningkatkan kapasitas adaptif sistem (Watkiss et al., 2010; Intergovermental Panel on Climate Change, 2001). Namun demikian, pada ekosistem pegunungan belum banyak dieksplorasi kelompok masyarakat mana yang rentan tehadap perubahan iklim dan seberapa rentankah mereka. Apa yang menjadi faktor utama penyebab kerentanan tersebut? Rekomendasi apa yang dapat disampaikan berkenaan dengan tingkat kerentanan dan pola adopsi teknologi adaptasi yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan ekosistemnya. Masalah-masalah tersebut merupakan masalah mendasar dan penting untuk dikaji guna merumuskan strategi adaptasi sehingga dapat dilakukan pengurangan risiko dan penguatan kemampuan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Berdasarkan urain di atas, penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan masyarakat pada ekosistem pegunungan terhadap perubahan iklim. Kerentanan didefinisikan sebagai kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat meningkatkan risiko terhadap dampak bahaya (Herawati & Santoso, 2007). Adapun perubahan iklim adalah situasi iklim global yang mengalami perubahan akibat alam dan faktor antropogenik (intervensi manusia). Gejala perubahan iklim menurut indikator klimatis teridentifikasi dalam skala global dan dapat tidak teridentifikasi dalam skala lokal (Pawitan, 2010). II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di tiga nagari di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, yaitu: 1) Nagari Salayo Tanang Bukit Sileh, Kecamatan Lembang Jaya (altitude ± 1.400 m dpl); 2) Nagari Air Batumbuk, Kecamatan Gunung Talang (altitude ± 1.200 m dpl) dan 3) Nagari Air Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti (altitude ± 1.600 m dpl). Secara astronomis, Kabupaten Solok terletak pada 01o20'27''- 01o2'39" Lintang Selatan dan 100 o25'00”-100o33'43" Bujur Timur. Waktu
Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim… Yanto Rochmayanto
penelitian efektif dilakukan pada bulan FebruariDesember 2011. Secara relatif, posisi desa lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. B. Pengumpulan Data Data primer diambil dengan cara observasi dan wawancara. Pada masing-masing nagari dipilih 30 responden yang mewakili berbagai kelompok masyarakat. Di antara responden tersebut terdapat informan kunci antara lain tokoh masyarakat sebagai local knowledge expert menurut kriteria Davis dan Wagner (2003). Adapun data sekunder diambil di lembaga-lembaga terkait antara lain: Kantor Wali Nagari, Dinas Kehutanan Kabupaten Solok, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Solok dan Balai Penelitian Buah Tropika Solok. C. Analisis Data Penilaian kerentanan dilakukan menggunakan rumusan Intergovermental Panel on Climate Change (2001) bahwa kerentanan merupakan fungsi dari singkapan (exposure), sensitivitas (sensitivity) dan kapasitas adaptif (adaptive capacity). Singkapan merupakan derajat (seberapa jauh) suatu sistem (sosial dan ekosistem) secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Sensitivitas merupakan tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan iklim, termasuk
karakteristik iklim rata-rata, variabilitas iklim, frekuensi serta besaran ekstrem. Kapasitas adaptif merupakan kemampuan satu sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari perubahan atau menyesuaikan diri pada perubahan iklim, mengurangi potensi kerusakan atau mengambil keuntungan dari perubahan iklim tersebut. 1. Singkapan Singkapan diukur dengan analisis kausalitas antara variabel iklim (suhu dan curah hujan) dengan kejadian bencana klimatis (climatic hazard) yang berhubungan dengan kehidupan manusia menurut Economy and Environment Programme for Southeast Asia & International Development Research Center (2009) yang relevan di ekosistem pegunungan, yaitu longsor. Penilaian tingkat singkapan potensi longsor dilakukan menurut pendekatan Suranto (2008) sebagaimana Tabel 1. 2. Sensitivitas Sensitivitas dianalisis dengan metode scoring. Aspek sensitivitas yang dianalisis meliputi aspek sosial, ekonomi, infrastruktur dan ekologi (Benson et al., 2007) dengan melakukan pengembangan kriteria dan indikator sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Total nilai pada setiap lokasi dan atribut/indikator diklasifikasi menggunakan skala interval (SI). Hasil pengolahan nilai skor kemudian diinterpretasi ke dalam tiga kelas kerentanan (sensitivitas), yaitu: tinggi, sedang dan rendah.
Sumber (Source): Safaat (2009).
Gambar 1. Posisi relatif lokasi penelitian di Kabupaten Solok. Figure 1. Relative position of research site in Solok District. 191
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 189 - 201
Tabel 1. Varibel penilaian singkapan longsor Table 1. Exposure assessment variable of landslide No. 1
Penilaian (Assessment)
Variabel (Variable ) Kelerengan (Slope): 0-15% 15-25% > 25% Batuan/tanah penyusun (Rock/soil components): - Endapan lahar gunung berapi (Volcanic lava sediment) - Batuan gunung api tak teruraikan (Volcanic rock irreducibly) Curah hujan (Rainfall): < 1.000 mm/tahun (<1,000 mm/year) 1.000-4.000 mm/tahun (1,000-4,000 mm/year) 4.000-6.000 mm/tahun (4,000-6,000 mm/year)
2
3
Potensi gerakan tanah (Landslide potency)
Skor 1 Skor 2 Skor 3
Rendah-sedang Sedang-tinggi Tinggi
Skor 2 Skor 3
Sedang Sedang-tinggi
Skor 1 Skor 2 Skor 3
Rendah Sedang Tinggi
Sumber (Source): diadaptasi dari Suranto (adapted from Suranto) (2008) Tabel 2. Pengukuran sensitivitas terhadap perubahan iklim Table 2. Measurement of sensitivity to climate change Aspek (Aspect) Sosial
Ekonomi
Kriteria (Criteria)
Cara pengukuran (Measurement technique) - Data BPS - Interview
Tingkat pendidikan
Pendidikan formal (tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA, sarjana)
Aksesibilitas
Aksesibilitas desa (kendaraan, jarak, waktu tempuh, sarana transportasi)
Kuesioner melalui interview
Kelembagaan
- Aktivitas lembaga formal - Aktivitas lembaga non formal - Tupoksi/peran (ekonomi/sosial/sumber daya alam) - Jumlah anggota Sumber pendapatan berasal dari satu atau beberapa jenis sumber
Kuesioner melalui interview
Mata pencaharian utama dan ketergantungan terhadap sumber daya alam
Kuesioner melalui interview
Ketersediaan, jumlah dan fungsi bangunan penahan longsor (sumur resapan, dam, irigasi dan lain-lain)
Kuesioner melalui interview
- Jumlah/proporsi bangunan dan rumah tidak permanen
- Data BPS - Kuesioner
Sumber pendapatan (portofolio) Mata pencaharian
Infrastruktur Bangunan teknik sipil
Pola pemukiman
192
Indikator (Indicator)
- Data BPS - Interview
Penilaian (Assessment) 5: mayoritas tidak sekolah 4: mayoritas SD 3: mayoritas SLTP 2: mayoritas SLTA 1: mayoritas PT 5: tidak bisa jalan darat 4: jalan tanah >75%, terisolasi 3: jalan tanah >75% 2: jalan aspal 50% 1: jalan aspal >75% 5: tidak ada kelembagaan 4: ada tapi tidak aktif 3: salah satu aktif 2: keduanya aktif, satu dominan 1: keduanya aktif, harmonis
5: sumber tunggal 4: sumber ganda 3: tiga sumber 2: empat sumber 1: >4 sumber 5: on farm >80% 4: on farm 60-80% 3: on farm 40-60% 2: on farm 20-40% 1: on farm <20% 5: tidak ada 4: ada rencana 3: ada, tidak berfungsi 2: ada, berfungsi sebagian 1: ada, berfungsi baik 5: di dekat tebing >80% 4: di dekat tebing 60-80%
Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim… Yanto Rochmayanto
Tabel 2. Lanjutan Table 2. Continued Aspek (Aspect)
Kriteria (Criteria) daerah tinggi
Ekologi
Tutupan hutan
Kondisi bantaran tebing
Indikator (Indicator) - Jarak bangunan dengan sumber bencana - Proporsi bangunan pemukiman di areal tebing >45% - Luas/proporsi hutan saat ini - Luas/proporsi hutan yang diubah peruntukannya - Jumlah/proporsi tebing yang labil
Cara pengukuran (Measurement technique) melalui interview
Kuesioner melalui interview
Kuesioner melalui interview
Penilaian (Assessment) 3: di dekat tebing 40-60% 2: di dekat tebing 20-40% 1: di dekat tebing <20%
5: tutupan hutan <10% 4: tutupan hutan 10-20% 3: tutupan hutan 20-30% 2: tutupan hutan 30-50% 1: tutupan hutan >50% 5: labil >80% 4: labil 60-80% 3: labil 40-60% 2: labil 20-40% 1: labil <20%
Sumber (Source): diadaptasi dari Benson et al. (adapted from Benson et al) (2007)
3. Kapasitas adaptif Kapasitas adaptif dianalisis dengan metode scoring. Aspek kapasitas adaptif yang dianalisis meliputi aspek yang sama dengan variabel sensitivitas, yaitu: sosial, ekonomi, infrastruktur dan ekologi (Benson et al., 2007). Jika indikator tersebut menunjukkan sifat melemahkan maka tergolong sensitif, sedangkan jika menguatkan maka tergolong kapasitas adaptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Iklim di Kabupaten Solok Salah satu gejala terjadinya perubahan iklim dapat dilihat pada sifat hujan. Sifat curah hujan merupakan perbandingan antara jumlah curah hujan yang terjadi selama satu bulan dengan nilai rata-rata atau normal dari bulan tersebut di suatu tempat (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2011), yang dapat dikelompokkan menjadi hujan normal (N), di atas normal (AN) dan di bawah normal (BN). Sifat hujan di lokasi penelitian cenderung di bawah normal pada pertengahan tahun dan di atas normal pada akhir tahun. Dinamika tersebut mengindikasikan adanya gangguan atmosfer, minimal gangguan pada skala lokal dan regional sehingga mem-
pengaruhi curah hujan di wilayah Solok dan sekitarnya pada semester dua, tahun 2011. Rata-rata curah hujan bulanan 30 tahun terakhir di Stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sukarami dan Alahan Panjang menunjukkan kecenderungan meningkat. Adapun jumlah curah hujan tahunan di kedua stasiun memperlihatkan tren yang menurun, namun kembali meningkat pada periode akhir pengamatan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa curah hujan pada 30 tahun terakhir tidak stabil (Gambar 2). Masyarakat di lokasi penelitian sudah merasakan adanya perubahan pada suhu dan pola hujan. Seluruh responden menyatakan bahwa masyarakat merasakan peningkatan suhu menjadi lebih panas selama 30 tahun terakhir. Sebagian besar responden (98%) menyatakan terjadinya perubahan pola hujan menjadi tidak teratur, semakin tinggi intensitasnya, tapi semakin pendek durasinya. Masyarakat di pegunungan sebagian besar memiliki mata pencaharian pertanian dengan komoditas hortikultura seperti bawang merah, bawang daun, kol, tomat, jagung dan tanaman lainnya. Tanaman perkebunan yang ada adalah teh (khususnya di Nagari Air Batumbuk). Perubahan suhu dan pola hujan dirasakan oleh masyarakat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas 193
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 189 - 201
panen hortikultura, tapi tidak terjadi terhadap teh (Tabel 3). Penurunan produktivitas ini secara teknis diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara kebutuhan dengan ketersediaan air sehingga menyebabkan gagal panen atau penurunan kualitas dan kuantitas buah. Selain itu, munculnya hama penyakit tanaman yang dipicu oleh perubahan suhu dan pola hujan, juga disinyalir sebagai salah satu penyebab penurunan kualitas dan kuantitas hasil panen. Penurunan produktivitas pertanian di lokasi penelitian lebih tinggi dari hasil studi Muhammad et al. (2011), di mana pada iklim yang lebih basah menyebabkan peningkatan kegagalan pertanian dari 0,24-0,73% menjadi 8,7-13,8%.
B. Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim 1. Longsor sebagai fokus singkapan Berdasarkan hubungan fungsional teoritis, longsor dapat terjadi karena beberapa faktor pengontrol, yaitu: kondisi lereng, kondisi tanah/ batuan penyusun lereng, kondisi geologi, kondisi hidrologi pada lereng dan penggunaan lahan pada lereng. Iklim dan curah hujan bertindak sebagai pemicu terjadinya longsor, yaitu ketika intensitas hujan yang tinggi (lebih dari 70 mm/jam atau 2.500 mm/ tahun) dan/atau intensitas hujan yang kurang dari 70 mm/jam yang terjadi terusmenerus selama beberapa jam, hari atau beberapa minggu (Tabel 4).
Keterangan (Remarks): *) Tidak tersedia data, diestimasi dari tahun sebelumnya (No data, estimated from previous year). Sumber (Source): Rochmayanto et al. (2013).
Gambar 2. Rata-rata curah hujan bulanan dan tahunan di Stasiun Pengamatan Alahan Panjang dan Sukarami, Kabupaten Solok. Figure 2. Monthly and yearly rainfall on the average at climatological station of Alahan Panjang and Sukarami, Solok District. Tabel 3. Dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrem terhadap produktivitas pertanian Table 3. Impact of climate change and extreme weather to agricultural production No.
Komoditi (Comodity)
1 Cabe 2 Kentang 3 Bawang merah 4 Cabe keriting 5 Kol 6 Sawi 7 Kentang 8 Tomat 9 Teh Sumber (Source): Rochmayanto et al. (2013).
194
Penurunan produksi pertanian (Reduction of agricultural production) (%) Nagari Bukit Sileh Nagari Air Batumbuk Nagari Air Dingin 50-60 50 60-70 50 50-75 50-75 60 50 -
20-50 75 50 80 75 25-50 30-50
10 10 30 -
Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim… Yanto Rochmayanto
Tabel 4. Faktor pengontrol gerakan tanah Table 4. Controlling factor of landslide Jenis gerakan tanah (Type of landslide) Faktor pengontrol (Controlling factor) Kemiringan lereng (Slope) Tanah/batuan penyusun (Soil/rock components) - Masa yang bergerak (Moving masses)
- Masa tanah/batuan yang tidak bergerak (Unmovong soil/rock masses) Kondisi geologi (Geological conditions) - Kondisi struktur geologi pada lereng (Geological structure conditions on the slopes) - Sejarah geologi (Geological history) Iklim dan curah hujan (Climate and rainfall) Kondisi hidrologi pada lereng (Hydrological conditions on the slopes)
Runtuhan/jatuhan dan robohan (Dropping and debris)
Luncuran (Glide)
Nendatan (Slump) Kemiringan menengah (20-45o)
Aliran, rayapan, pergerakan laretal (Flow, lateral movement) Kaki pegunungan dengan kemiringan 12-20o
Kemiringan umumnya >45o
Kemiringan menengah hingga curam (20-65o)
Batuan yang terpotong-potong oleh bidang retakan atau kekar umumnya berupa blok-blok batuan Blok-blok batuan yang masih stabil
Tanah lempung jenis - Tanah residu - Tanah residu smectit (latosol/andosol) (latosol/andosol) (monmorilonit dan - Koluvium - Koluvium vermicullit) - Endapan vulkanik - Endapan vulkanik yang lapuk yang lapuk - Rombakan batuan - Rombakan batuan Tanah/batuan dasar yang bersifat lebih kompak dan lebih masif, misalnya batuan dasar berupa breksi andesit dan andesit
Beberapa lereng bergerak karena kehadiran bidang kekar atau bidang perlapisan batuan yang miring searah dengan kemiringan lereng, serta kemiringan lereng lebih curam daripada kemiringan bidang tersebut dan lebih besar dari besar sudut gesekan dalam pada bidang tersebut
Daerah geologi yang aktif yang terletak pada zona penunjaman, umumnya berasosiasi dengan aktivitas gunung api dan morfologi perbukitan - Intensitas hujan yang tinggi (>70 mm/jam atau 2.500 mm/tahun) - Intensitas hujan yang <70 mm/jam yang terjadi terus-menerus selama beberapa jam, hari atau beberapa minggu - Kondisi muka air tanah dangkal pada lereng yang tersusun oleh tanah/dan batuan yang membentuk akuifer yang tertekan - Kondisi muka air tanah dalam namun di atas muka air tanah terdapat ak uifer yang menggantung - Pada lereng terdapat pipa atau saluran alam yang arah alirannya searah kemiringan lereng Lahan pada lereng jenuh air, misalnya akibat adanya persawahan dan salur an air untuk domestik yang mengakibatkan rembesan air ke dalam lereng.
Lain-lain penggunaan lahan pada lereng (Other land uses on the slopes) Sumber (Source): Suranto (2008).
Penilaian potensi/kerentanan longsor dibentuk oleh tiga indikator, yaitu kelerengan, batuan/penyusun tanah dan curah hujan. Berdasarkan indikator kelerengan, ketiga desa memiliki potensi gerakan tanah (longsor) yang tinggi sebab pada umumnya kelerengan tanah >45o. Walaupun topografi berbukit-bergunung dengan kelerengan tinggi, masyarakat tetap memanfaatkan lahan tersebut sebagai lokasi pe-
mukiman dan pertanian. Upaya masyarakat untuk menurunkan peluang longsor hanya menggunakan pengaturan terasering. Berdasarkan indikator tanah penyusun/batuan, potensi gerakan tanah tergolong sedang-tinggi, dengan batuan/penyusun tanah berupa batuan gunung api tak teruraikan dan endapan lahar gunung berapi, dan menurut Prawiradisastra (2007) di Lembah Gumanti tergolong sebagai material vulkanik 195
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 189 - 201
muda yang sangat tidak kompak. Adapun menurut indikator klimatis berupa curah hujan, potensi gerakan tanah pada ketiga desa tergolong sedang, dengan rerata curah hujan tahunan 1.000-4.000 mm/tahun. Berdasarkan gabungan ketiga indikator dengan asumsi masing-masing indikator berbobot sama, maka potensi gerakan tanah tergolong tinggi (Tabel 5 dan Tabel 6). Potensi gerakan tanah yang tinggi tersebut dibuktikan dengan frekuensi kejadian longsor di lokasi penelitian. Longsor besar terakhir terjadi pada tahun 2006 setelah hujan turun selama dua hari sehingga tanah menjadi jenuh air. Longsoran tanah menimpa 10 rumah dan satu mesjid. Korban longsor adalah 18 orang meninggal, 11 luka-luka, 60 keluarga diungsikan, sekitar 15
hektar sawah rusak dan gagal panen. Selain longsor besar terjadi juga berbagai longsor kecil, yaitu gerakan tanah dalam massa yang kecil dan tidak menyebabkan kerusakan masal. Frekuensi longsor kecil di lokasi penelitian sangat tinggi kerena kondisi berbukit, dengan ladang dan kebun penduduk sebagian besar telah gundul. Banyak kebun warga yang longsor dan lokasinya tersebar secara sporadis. Hal ini menegaskan catatan kejadian bencana di Indonesia, bahwa 53% dari total kejadian bencana adalah bencana hidrometeorologi, bencana yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1%) dan longsor (16%) (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2006).
Tabel 5. Penilaian kualitatif singkapan longsor Table 5. Exposure qualitative assessment of landslide No.
Variabel (Variable)
1
Kelerengan (Slope)
2
Batuan/tanah penyusun (Rock/soil components)
Nagari (Village) Salayo Tanang Bukit Sileh Pada umumnya lebih dari 45o Potensi gerakan tanah tinggi - Batuan gunung api tak teruraikan - Endapan lahar gunung berapi - Potensi gerakan tanah sedang-tinggi
3
Curah hujan Rerata 1.302-2.228 (Rainfall) mm/tahun Sumber (Source): data primer/diolah (primary data/processed) (2011)
Air Batumbuk
Air Dingin
Pada umumnya lebih dari 45o Potensi gerakan tanah tinggi - Batuan gunung api tak teruraikan - Endapan lahar gunung berapi - Potensi gerakan tanah sedang-tinggi
Pada umumnya lebih dari 45o Potensi gerakan tanah tinggi - Batuan gunung api tak teruraikan - Endapan lahar gunung berapi - Potensi gerakan tanah sedangtinggi Rerata 1.302-2.228 mm/tahun
Rerata 1.302-2.228 mm/tahun
Tabel 6. Penilaian kuantitatif singkapan longsor Table 6. Exposure quantitative assessment of landslide No.
Indikator (Indicator)
Salayo Tanang Bukit Sileh Skor Bobot Jumlah (Score) (Weight) (Sum)
Skor (Score)
Air Batumbuk Bobot Jumlah (Weight) (Sum)
Kelerengan 3 0,33 0,99 3 (Slope) Batuan penyusun 2 3 0,33 0,99 3 (Rock components) Curah hujan 3 2 0,33 0,66 2 (Rainfall) Jumlah skor (Total of score) 2,64 Tinggi Kategori (Category) Sumber (Source) : data primer/diolah (primary data/processed) (2011) 1
196
Skor (Score)
Air Dingin Bobot Jumlah (Weight) (Sum)
0,33
0,99
3
0,33
0,99
0,33
0,99
3
0,33
0,99
0,33
0,66
2
0,33
0,66
2,64 Tinggi
2,64 Tinggi
Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim… Yanto Rochmayanto
Tabel 7. Tingkat sensitivitas masyarakat di lokasi penelitian Table 7. Sensitivity level of community at the research site No.
Aspek (Aspect)
1
Sosial (Social)
2
3
4
Ekonomi (Economy)
Infrastruktur (Infrastructure)
Ekologi (Ecology)
Kriteria (Criteria)
Bukit Sileh
Nagari (Village) Air Batumbuk Air Dingin
Total faktor (Sum of factor)
Kategori (Category)
- Tingkat pendidikan - Aksesibilitas - Kelembagaan
3
2
3
8
Sedang
1 2
2 2
3 2
6 6
Rendah Rendah
- Sumber pendapatan (portofolio) - Mata pencaharian
3
4
4
11
Sedang
5
5
5
15
Tinggi
- Bangunan teknik sipil - Pola pemukiman daerah tinggi
5
5
5
15
Tinggi
5
5
5
15
Tinggi
- Tutupan hutan - Kondisi bantaran tebing
4 4
4 2
3 4
11 10
Sedang Sedang
Total skor lokasi (Score total of location) 32 31 Kategori (Category) Tinggi Sedang Sumber (Source): data primer/diolah (primary data/processed) (2011)
2. Sensitivitas dan kapasitas adaptif
Faktor sensitivitas serta kapasitas adaptif dipengaruhi oleh empat aspek, yaitu sosial, ekologi, infrastruktur dan ekonomi. Hasil analisis sensitivitas dan kapasitas adaptif disajikan pada Tabel 7. Menurut sebaran spasial tingkat sensitivitas masyarakat terhadap perubahan iklim pada ekosistem pegunungan di lokasi penelitian berada pada kategori sedang dan tinggi. Nagari Air Batumbuk yang berada pada elevasi kisaran 1.200 m dpl teridentifikasi pada kategori tingkat sinsitivitas sedang, sedangkan Nagari Bukit Sileh dan Nagari Air Dingin yang berada pada elevasi 1.400 dan 1.600 m dpl teridentifikasi pada kategori tingkat sensitivitas tinggi. Jika menghubungkan antara elevasi dan tingkat sensitivitas maka ditemukan kecenderungan semakin tinggi elevasi, semakin tinggi juga sensitivitas masyarakat terhadap perubahan iklim. Namun demikian, korelasi tersebut belum teruji oleh pengulangan lokasi pada masing-masing elevasi. Nagari Air Batumbuk yang menunjukkan kategori tingkat sensitivitas sedang dipengaruhi
34 Tinggi
positif oleh tingkat pendidikan, aksesibilitas dan kondisi bantaran tebing yang lebih baik dibanding kedua nagari lainnya. Dalam pengertian yang lain faktor pendidikan, aksesibilitas dan kondisi bantaran tebing menjadi faktor penguat kapasitas adaptif masyarakat Air Batumbuk. Tingkat pendidikan masyarakat mayoritas SLTA, aksesibilitas nagari/pemukiman masyarakat berada dekat jalan lintas Solok-Muaralabuh dan kondisi topografi lebih landai dibanding nagari lainnya. Faktor sosial memberi kontribusi rendah sampai sedang terhadap kerentanan masyarakat. Aspek sosial terdiri atas faktor tingkat pendidikan, aksesibilitas dan kelembagaan. Faktor pendidikan berkontribusi terhadap tingkat sensitivitas pada kategori sedang karena tingkat pendidikan masyarakat di pedesaan mayoritas SLTP. Adapun faktor aksesibilitas dinilai baik, ditunjukkan dengan akses jalan aspal dan perkerasan sampai ke pemukiman terdalam. Di samping itu, kelembagaan menunjukkan peran baik untuk mengurangi senstivitas dan meninggikan kapasitas adaptif masyarakat karena karakteristik kultural Sumatera Barat yang religius dan berpegang teguh terhadap 197
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 189 - 201
norma adat. Tokoh pemerintahan dan adat bersinergi secara harmonis dalam menyelaraskan aktivitas sosial kemasyarakatan. Aspek ekonomi berkontribusi sedang sampai tinggi bagi sensitivitas masyarakat terhadap perubahan iklim. Portofolio mata pencaharian penduduk menunjukkan kategori sedang karena mayoritas memiliki mata pencaharian ganda yang berfungsi sebagai pengaman (safeguard). Namun demikian, sumber mata pencaharian mereka sangat bergantung terhadap sumber daya alam sehingga berkontribusi tinggi terhadap tingkat sensitivitasnya. Aspek infrastruktur yang terdiri atas faktor ketersediaan bangunan teknik sipil dan pola pemukiman daerah tinggi berkontribusi tinggi terhadap tingkat sensitivitas. Di lokasi penelitian tidak menunjukkan upaya pemerintah maupun masyarakat untuk membuat bangunan teknik sipil agar risiko gerakan tanah dapat dikurangi. Pola pemukiman penduduk juga berisiko tinggi, banyak bangunan rumah dan fasilitas umum berada di sisi tebing yang rawan. Bangunan teknik sipil yang banyak digunakan dalam aktivitas pertanian dan pemukiman adalah teras bangku. Aspek ekologi menunjukkan kontribusi sedang, faktor yang mendukungnya adalah tutupan hutan dan stabilitas alami bantaran tebing. Tutupan hutan di lokasi penelitian mengalami deforestasi yang tinggi dan menyisakan hutan di lokasi yang jauh dari pemukiman. Adapun stabilitas tebing menunjukkan kategori sedang, diperkirakan terdapat 20-80% tebing labil dan rawan terjadi gerakan tanah apabila dipicu oleh faktor lain. Banyak studi yang menunjukkan bahwa perakaran pohon meningkatkan kekuatan tanah dan stabilitas lereng (O'Loughlin & Ziemer, 1982; Cammeraat et al., 2005). Vegetasi membantu meningkatkan stabilitas lereng berhutan melalui kekuatan akar dan dengan memodifikasi rezim air tanah. Jika vegetasi ditebang dan sistem perakaran mulai membusuk maka jalinan perakaran dengan tanah secara progresif melemah sehingga stabilitas lereng menurun dan berisiko meningkatkan frekuensi longsor (Ziemer, 1981; Montgomery et
198
al., 2000). Hubungan perakaran dengan tanah ini memberikan peluang dalam pemilihan jenis tanaman prioritas dengan sistem perakaran spesifik untuk mengendalikan erosi (Watson et al., 1999). Kombinasi pohon dengan perakaran yang dalam untuk penahan dan rumput berakar dangkal (untuk menstabilkan tanah lapisan atas) sangat disarankan untuk menstabilkan lereng yang rentan terhadap gerakan massa tanah (Zhou et al., 1997; Hairiyah et al., 2006). Kendati secara konseptual hutan tidak berdiri sendiri dalam mengendalikan longsor, namun memberi kontribusi terhadap risiko yang tinggi apabila terjadi perubahan cuaca yang ekstrem. Herawati dan Santoso (2006) menjelaskan hubungan pengaruh antara vegetasi dengan curah hujan. Peran vegetasi terhadap longsor tidak terlalu besar jika dilihat pada skala kecil, tapi berperan besar pada skala lanskap. Fungsi vegetasi dipengaruhi oleh ketebalan solum tanah. Bila solum tanah cukup tebal namun akar tumbuh tidak terlalu dalam, maka tanaman tidak terlalu berfungsi dalam memperkuat tebing. Vegetasi memengaruhi kestabilan tebing jika dilihat dari sisi mekanika dan hidrologi. Secara mekanis, vegetasi dapat meningkatkan kestabilan lereng melalui proses peningkatan kekuatan tanah namun vegetasi juga akan menjadi beban ekstra bagi tanah. Secara hidrologis, vegetasi mempunyai peran positif yaitu dapat mengintersepsi dan mentranspirasi air hujan namun vegetasi juga meningkatkan infiltrasi air hujan dan permeabilitas tanah di lapisan atas tanah. Apabila dilakukan pemetaan tingkat kerentanan menurut sistem koordinat yang dibangun oleh tingkat risiko singkapan longsor sebagai sumbu Y dan sensitivitas/kapasitas adaptasi sebagai sumbu X, maka pada Gambar 3 terlihat posisi kerentanan masing-masing nagari. Sumbu Y menunjukkan derajat (seberapa jauh) ekosistem pegunungan secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim, sedangkan sumbu X menunjukkan tingkat risiko ekosistem pegunungan terkena dampak sebagai akibat dari perubahan iklim.
Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim… Yanto Rochmayanto
Keterangan (Remarks): - Sensitivitas dan kapasitas adaptif berkorelasi negatif. - Semakin besar poin berarti semakin tinggi sensitivitas masyarakat, tapi semakin kuat kapasitas adaptifnya.
Sumber (Source) : data primer/diolah (primary data/processed) (2011)
Gambar 3. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Figure 3. Vurnerability level of community to climate change. VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim pada ekosistem pegunungan di tiga lokasi p e n e l i ti a n d e n g a n s i ng k a pa n l o n g so r teridentifikasi pada tingkat yang tinggi. Tingkat sensitivitas masyarakat pegunungan tidak berkorelasi dengan ketinggian tempat. Nagari Salayo Tanang Bukit Sileh dan Nagari Air Dingin dengan ketinggian tempat masing-masing 1.200 dan 1.600 m dpl menunjukkan tingkat sensitivitas tinggi, sedangkan Nagari Air Batumbuk dengan ketinggian tempat 1.400 m dpl menunjukkan tingkat sensitivitas sedang. Faktor utama pembentuk kerentanan pada ekosistem pegunungan adalah infrastruktur, faktor ekologi, dan faktor ekonomi. Faktor infrastruktur meliputi: tidak tersedianya bangunan pengendali longsor, serta pola pemukiman sebagian besar berada di daerah tebing. Faktor ekologi meliputi: tutupan hutan <30%, dan kondisi tebing banyak yang labil. Adapun faktor ekonomi adalah mata pencaharian masyarakat memiliki ketergantungan tinggi terhadap lahan dan sumber daya alam. B. Saran Upaya pengurangan tingkat kerentanan masyarakat secara cepat, penting dilakukan
terhadap beberapa hal antara lain: pembangunan fisik pengendali tebing, penataan pemukiman yang rawan terhadap tanah longsor, pengayaan tanaman berkayu di areal pertanian dan perkebunan yang kemiringannya >45o, pengayaan dan perluasan hutan lindung nagari. DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. (2006). Rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana 2006-2009. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. Benson, C., Twigg, J., & Rossetto, T. (2007). Perangkat untuk mengarusutamakan pengurangan risiko bencana: catatan panduan bagi lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan. Switzerland: Provention Consortium. Badan Meteorologi, Klimatologi & Geofisika. (2011). Analisis hujan bulan Agustus 2011 dan prakiraan hujan bulan Oktober, November dan Desember 2011 Sumatera Barat. Sicincin: Stasiun Klimatologi Sicincin. Boer, R. & Las, I. (2003). Sistem produksi padi nasional dalam perspektif kebijakan iklim global. Dalam B. Suprihatno, AK. Makarim 199
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 189 - 201
(Eds.), Kebijakan perberasan dan inovasi teknologi padi (pp. 215-234). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge and New York: Cambridge University Press.
Cammeraat, E., van Beek, R., & Kooijman, A. (2005). Vegetation succession and its consequences for slope stability in Se Spain. Plant and Soil, 278, 135-147.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. (2009). Dampak perubahan iklim. Diunduh 10 Desember 2009 dari www.lapan.org..
Davis, A. & Wagner, J.R. (2003). Who knows? On the importance of identifying “experts” when researching local ecological knowledge. Human Ecology, 31(3), 463-489. Departemen for International Development. (2012). Adaptation stories. Canada: Departmen for International Development – IDRC. Economy and Environment Programme for Southeast Asia & International Development Research Center. (2009). Climate matters in Southeast Asia. Los Banos, Laguna, Philipines: Economy and Environment Programm for Southeast Asia and International Development Research Center. Hairiah, K., Widianto, Suprayogo, D., Lestari, N.D., Kurniasari, V., Santosa, A., …, & van Noordwijk, M. (2006). Root effects on slope stability in Sumberjaya, Lampung (Indonesia). Paper was presented in “International Symposium toward Sustainable Livelihood and Ecosystems in Mountanious Regions” Chiang Mai, 79 March 2006. Haque, M.A., Yamamoto, S.S., Malik, A.A., & R. Sauerborn. (2012). Households' perception of climate change and human health risks: a community perspective. Environmental Health, 11, 1. Herawaty, H. & Santoso, H. (2007). Pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam agenda pembangunan: tantangan kebijakan dan pembangunan. Adaptasi terhadap bahaya gerakan tanah di masa yang akan datang akibat pengaruh perubahan iklim. (Laporan). Dialog Gerakan Tanah dan Perubahan Iklim, 7-8 Desember 2006. Bogor: CIFOR. Intergovermental Panel on Climate Change. (2001). Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third 200
Montgomery, D.R., Schmidt, K.M., Greenberg, H.M., & Dietrich, W.E. (2000). Forest clearing and regional landsliding. Geology, 28(4), 311-314. Muhamad, A., Aryoseno, A., & Yuliantri, R. (2011). Rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Jakarta: Dewan Nasional Perubahan Ikllim. O'Loughlin, C. & RR. Ziemer. (1982). The importance of root strength and deterioration rates upon edaphic stability in steepland forests. Forest Research Institute, Christchurch, New Zealand and USDA Forest Service, Arcata, California. Pasaribu, S.M., Mayrowani, H., Swastika, D.K., Iqbal, M., Zakaria, A.K., Nurasa, ..., & Heslina, J. (2008). Peningkatan kapasitas adaptasi petani di daerah marjinal terhadap perubahan iklim (Laporan Penelitian). Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Pawitan, H. (2010). Arti perubahan iklim global dan pengaruhnya dalam pengelolaan daerah aliran sungai di Indonesia. Makalah Ekspose Hasil Litbang Balai Penelitian Kehutanan Solo: “Pengelolaan DAS dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia”, Surakarta, 28 September 2010. Solo: Balai Penelitian Kehutanan Solo. Prawiradisastra, S. (2007). Bencana tanah longsor di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Alami, 12(2), 66-71. Diunduh dari .(27 Oktober 2012). Rochmayanto, Y., Sakuntaladwi, N., Wibowo, L.R., & Kurniasih, P. (2013). Woman in climate change: gender representation in reducing poverty and protecting livelihood in mountainous ecosystem at Solok District, West Sumatra (397-407). Proceeding the Second International Conference of Indonesian Forestry Researchers (INA-
Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim… Yanto Rochmayanto
FOR), Jakarta, 27-28 Agustus 2013. Bogor: Forestry Research and Development Agency. Safaat, W. (2009). Peta administrasi per kabupaten/kota se-Provinsi Sumatera Barat. D i u n d u h 1 8 Ju l i 2 0 1 4 d a r i h t t p : //wiedzie.blogspot.com/2009_10_01_archi ve.htm. Suranto, J.P. (2008). Kajian pemanfaatan lahan pada daerah rawan bencana tanah longsor di Gunung Lurah, Cilongok, Banyumas. (Tesis). Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Tim Sintesis Kebijakan Departemen Pertanian. (2008). Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian, serta strategi antisipasi dan teknologi adaptasi. Pengembangan Inovasi Pertanian, 1(2), 138-140. Wamsler, C. & Brink, E. (2014). Interfacing citizens' and institutions' practice and responsibilities for climate change adaptation. Urban Climate, 7(March 2014). Diunduh 25 Maret 2014 dari http: //www.sciencedirect. com/science?_ob=ArticleListURL&_metho d=list&_ArticleListID=546991116&_sort=r
&_st=13&view=c&_acct=C000228598&_v ersion=1&_urlVersion=0&_userid=1297551 2&md5=395d498576e3b32a9e9b952a74267 c7d&searchtype=a. Watkiss, P., Downing, T.E., & Dyszynzki, J. (2010). Adapt cost project : analysis of the economic cost of climate change adaptation in Africa. Nairobi: United Nation Environment Programme. Watson, A., Phillips, C., & Marden, M. (1999). Root strength, growth, and rates of decay: root reinforcement changes of two tree species and their contribution to slope stability. Plant and Soil, 217, 39-47. Ziemer, R.R. (1981). The role of vegetation in the stability of forested slopes (297-308). XVII IUFRO World Congress. Japan, 1981. Japan: International Union of Forest Research Organizations. Zhou, Y., Watts, D., Cheng, X., Li, Y., Luo, H., & Xiu, Q. (1997). The traction effect of lateral roots of Pinus yunnanensis on soil reinforcement: a direct in situ test. Plant and Soil, 190, 77-86.
201