Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
Najmuddin Al-Kubra, Jumadil Kubra dan Jamaluddin Al-Akbar (Jejak Pengaruh Kubrawiyya pada Permulaan Islam di Indonesia)* Martin van Bruinessen1 1
Department of Religious Studies and Theology, Utrecht University Heidelberglaan 2, room 1231, 3584 CS Utrecht, Netherlands. Email:
[email protected] Abstract This paper is to describe the influence of Kubrawiyya sufi order in Indonesia. Kubrawiyya is the great sufi order developed around 13 century. Its greatness laid on the name of its founder Najmuddin al Kubra. Literature has described him as the descendent of the prophet saw and had many followers around the globe, including from The Archipelego. The exploration of his trace in Indonesia conducted through manuscript study, particularly on Sejarah Banten Rante-Rante and Babad Cirebon, and on oral and written tradition of sayyed from Hadramaut who live in Archipelego. Direct interview with sufi order “Akmaliyyah” followers was also conducted to find the trace of Kubrawiya practice. Based on Babad Cirebon and Banten, Najmuddin Kubra ever came to the Archipelego, had many descendents and even died in the region. His grave is strangely located in several places, Semarang, Gresik, Wajo South Sulawesi and others. His descendants included several Javanese saints: Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga and Sunan Giri. Keywords: Najmuddin, Jumadil, Jamaluddin, Kubrawiyya
*Diterjemahkan oleh Mustajib dari Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar; Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian islam, KITLV Journal.
24
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
Pendahuluan Sebuah manuskrip Jawa yang berjudul Sejarah Banten Rante-Rante (dan disini kita singkat menjadi SBR) yang kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Malaysia dengan judul Hikayat Hassanuddin, merupakan kompilasi tulisan yang dibuat pada akhir abad ke-tujuh belas atau awal abad ke-delapan belas. Manuskrip tersebut berisi bahan-bahan yang lebih kuno dengan berbagai tema. Salah satu temanya adalah sebuah studi tentang 1
kehidupan Sunan Gunung Jati di Mekkah . Walaupun kurang mendetail, tema yang sama dapat ditemui pada Babad Cirebon. Sunan Gunung Jati, yang dianggap sebagai salah satu sunan terkemuka di Jawa, merupakan figur yang amat berpengaruh, yang hidup pada pertengahan abad ke-enam belas dan mendirikan kerajaan Islam Banten dan Cirebon. Tradisi–tradisi belakangan menyebut dirinya dengan nama Syarif Hidayatullah: literatur babad menyebutnya dengan berbagai nama; Sa’id Kamil, Muhammad Nuruddin, Nurullah Ibrahim dan Maulana Shaikh Madhkur, dan menyebutkan daerah kelahirannya di Mesir atau di Pasai, Sumatera Utara. Nampak banyak tokoh yang menyejarah dan melegenda lebur menjadi seseorang yang disebut Sunan Gunung jati. Sunan Gunung Jati dan Kubrawiyya Sebenarnya Sunan Gunung Jati bisa jadi tidak pernah mengunjungi Mekkah dan Madinah. Tetapi, studi awal yang menyebutkan dia pernah tinggal disana, tanpa melihat benar dan tidaknya, memberikan informasi tentang Islam di Indonesia di awal abad ke-tujuh belas. Pada awal masa pembelajarannya, orang suci tersebut dikatakan pernah berguru pada Najmuddin al-Kubra di Mekkah, dan kemudian selama dua puluh sampai dua puluh dua tahun dengan Ibnu Ataillah Al-Iskandari al-Shadhih di Madinah. Selama masa pembelajaran tersebut, dia diundang 1
Teks berbahasa Jawa dan Melayu telah diedit dan diterjemahkan ringkasannya oleh Edel (1938). Untuk usaha mencari kapan teks itu ditulis dan bagaimana hubungannya dengan tarikh Cirebon dan dan Banten, lihat Djajadiningrat 1913:195-9
25
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
untuk bergabung dengan aliran tarikat sufi Shadhiliyyah, Shattariyyah dan dan Naqshbandiyah (Edel 1938: 137-9; Brandes dan Rinkes 1911: Canto 13). Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan sumber yang lain, Shattariyya dan Naqshbandiyya berkembang dari Madinah ke Kepulauan Indonesia selama abad ke-tujuh belas, dan hal yang sama mungkin juga terjadi pada aliran Shadhiliyya. Ibnu Ataillah, tentu saja merupakan mistikus yang lebih dikenal tinggal di Mesir pada abad ke-tiga belas daripada tinggal di Madinah pada abad ke 16. Kemunculannya pada narasi tersebut hanya menunjukkan bahwa namanya telah dikenal secara baik di Banten dan di Cirebon – barangkali karena koleksi aphorisme Sufinya, al-Hikam. Jarak spasial dan temporal yang memisahkan Sunang Gunung Jati dengan seseorang yang dianggap sebagai gurunya, Najmuddin al-Kubra, juga amat jauh. al-Kubra hidup dan mengajar di Khwarazm, Asia Tengah dan meninggal di sana pada tahun 1221. Namun SBR, tidak hanya menyebutkan al-Kubra sebagai gurunya, tetapi juga menuliskan seluruh genealogi spiritualnya (silsilah) dan menyebutkan pula dua puluh tujuh teman seperguruan (Rencang Sa’paguron) Sunan Gunung Jati. Penyebutan nama-nama ini jelas menunjukkan bahwa penulisnya mengenal Kubrawiyya, sebuah aliran sufi mistis yang dipimpin oleh Najmuddin al-Kubra Silsilah tersebut identik, walau terdapat sedikit 2 kesalahan penulisan dan dua nama yang hilang. Salah satu dari dua nama tersebut dapat ditemukan pada sumber Kubrawiyya permulaan (Meier 1957:17-9). Al-Kubra memiliki dua guru utama, Ammar Bin Yasir al-Bidlisi dan Isma’il al-Qosri, dan dia mentashbihkan leluhur spiritualnya pada dua orang tersebut. SBR mencatat silsilahnya berdasarkan silsilah Ismai’il al-Qosri, yang berisi nama nama berikut ini (saya melakukan koreksi sedikit terhadap kesalahan pengejaan dan menambahkan dua nama yang hilang dalam tanda kurung).
2
Editor teks, J Edel, membuat juga kesalahan dalam penyuntingannya, membuat beberapa nama menjadi kurang dikenali. Saya telah membaca ms malaysia yang digunakan sebagai dasar penyuntingannya (Leiden Cod.or.1711) untuk mengoreksi beberapa kesalahannya.
26
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
Ismail al-Qasri Muhammad b. Malik al-Matikidi [yang benar: Muhammad b. Mankil] [Dawud b. Muhammad Khadim al-Fuqara'] Abu'l-Abbas Idris Abu'l-Qasim b. Ramadan [Abu Yaqub al-Tabari] Abu Abdallah b. 'Uthman Abu'l-Yaqub al-Nahan Judi [yang benar: al-Nahrajuri] Abu Yaqub al-Susi Abd al-Wahid b. Zayd Kumayl b. Ziyad Ali al-Murtada Muhammad. Silsilah yang sama juga ditemukan dalam karya mistikus Madinah yang terkenal pada abad 17, Ahmad Al-Qushashi, yang 3 berjudul al-Simt al-Majid (Al-Qushashi 1327: 98-9) . Al-Qushashi utamanya dikenal sebagai guru aliran Shattariyya dan Naqsabandiyya, tetapi dia juga diinisiasi di berbagai aliran sufi yang lain, salah satunya Kubrawiyyah. Salah satu muridnya yang berasal dari Indonesia, Abdul Rauf al-Singkili, mengutip Simt 4 (walaupun bukan silsilah ini) dalam salah satu tulisannya . Inisiasi al-Qushaishi dilakukan oleh guru dan pendahulunya, seperti oleh ulama terkenal di Madinah, Ahmad al-Shinnawi (d.1919) dan pada gilirannya dia sendiri menginisiasi Ibrahim al-Kurani, yang melanjutkan kepemimpinannya setelah ia meninggal pada tahun 1661. Hipotesis paling sederhana yang telah saya sebutkan sejauh ini dan yang bisa menjelaskan bahwa acuan SBR dan Babad Cirebon adalah Shattariyya, Naqshbandiyya dan 3
Professor Herman Landolt telah membuat saya tertarik akan hal ini dan silsilah yang terdapat pada karya al-Qushashi. 4 Abd al-Rauf al-Singkili, Tambih al-Mashi al-Mansib ila tariq al-Qushashi (Cod, Jakarta A 101). Rekan sejamannya, Yusuf Makassar, yang juga diajar secara intensif oleh penerus al-Qushashi, Ibrahim al-Kurani, hanya menyebutkan Kubrawiyyah satu kali dalam karya tulisannya (Safina al-Najah), sebagai salah satu dari lima belas aliran sufi yang ia kenal, tetapi tidak memberikan perhatian khusus kepada aliran sufi tersebut.
27
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010 5
Kubrawiyya , adalah kenyataan bahwa pada masa abad 17-an, lingkaran istana tempat teks ini berasal sangat dekat dengan aliran-aliran mistik ini lewat salah satu atau lebih murid Shinawi dan para penerusnya, baik itu mungkin orang-orang indonesia yang melakukan haji maupun yang sengaja berpergian ke luar negeri. Tetapi informasi yang lain juga amat berharga. SBR, sebagaimana telah disebutkan di atas, menyebutkan dua puluh tujuh nama orang yang dianggap belajar bersama dengan Sunan 6 Gunung Jati pada Najmuddin Al-Kubra di Mekkah . Hanya setengah dari nama-nama ini bisa diidentifikasi dengan pasti (penyunting teksnya juga tak memudahkan pengenalan terhadap nama nama tersebut, sehingga kami sendiri harus kembali ke manuskrip aslinya). Sungguh mengejutkan bahwa, sebagaimana juga orang yang diduga gurunya tersebut, mereka hidup tidak sejaman dengan Sunan Gunung Jati atau sejaman dengan murid murid yang lain yang disebutkan di dalam manuskrip tersebut. Tetapi nama-nama itu, sebagaimana sudah diperkirakan, tidak juga dipilih secara acak dari nama-nama orang terkenal. Setidaknya tujuh dari mereka adalah Shaikh Kubrawiyya yang terkenal, dan nama mereka juga mengisi daftar silsilah dua cabang aliran sufi tersebut. Murid-Murid Sejaman Sunan Gunung Jati Pertama saya akan mencatat disini nama-nama mereka yang muncul dalam SBR, dan mengoreksi kesalahan kesalahan minor, menempatkan koreksi koreksi utuh dan komentarnya di dalam tanda kurung. Nama-nama yang diidentifikasi sebagai anggota Kubrawi diberi tanda miring. 1) Jamalluddin Muhammad al-Khalwati 2) Khwaja Azizan Ali Ramqatani (al-Ramitani) 3) Shaikh Abdullah 4) Shaikh Nijamuddin al-Hawari [al-Khwarazmi?] 5) Shaikh Majduddin al-Baghdadi 6) Shaikh Ahmad al-Jasadafani [al-Jurfani] al-Rudbari 5
Bukan Shadhilliyya, Al-Qushashi tidak mencantumkan tarekat ini dalam daftar tarekat yang pernah ia dapatkan inisiasinya. 6 Babad Cirebon tidak menyebutkan murid-murid seperguruannya ini.
28
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
7) Shaikh Mahmud b. Yusuf Rashad Udahali 8) Shaikh Hamiduddln Mahmud al-Samarqandi 7
9) Shah ... 10) Shaikh Mubarak 11) Shihdbuddln al-Dimashqi 12) Shaikh Ala' al-Dawla Astamab [al-Simnani] 13) Mir Shah Raju 14) Sayyid Sadruddin Muhammad b. Ahmad al-Bukhari 15) Mahmud Al-Mazdaqani 16) Shaikh Saranak 17) Shaikh Mahmud b. Jalaluddin al-Bukhari 18) Qad'i Zakariyya' al-Ansari 19) Ishaq Abu'l-Hattan [Ishaq al-Khuttalani] 20) Shaikh Abd al-Wahhab al-Sha’rawi 21) Shah Ali al-Khab 22) Badruddin al-Sa'id Qadi Burhan 23) Shah Ali al-Bidud [al-Bidawazi] 24) Shaikh Abd al-Karim b. Sha’ban 25) Fadl Allah Muhammad Sadr 26) Shaikh Ahmad al-Shinnawi 27) Maulana Abd al-Lafif al-Jami. Enam dari nama-nama ini juga disebutkan dalam silsilah Kubrawi Ahmad al-Qushashi, yang menunjukkan link mata rantai dirinya dengan Najmuddin al-Kubra. Majduddin al-Baghdadi (5) merupakan muridnya yang terkemuka, dan darinya mata rantai 8 ini berlanjut ke Ahmad Al Rudbari (6) , Shihabuddin al-Dimashqi (11), Zakariya al-Ansari (1), Abd Wahhab al-Sha’rani (atau alSha’rawi) (2) dan Ahmad al Shinnawi (26) dan al-Qusashi. Ini bukan silsilah lengkap (untuk yang lebih lengkap lihat tabel 1), hanya nama-nama orang yang terkenal yang ditulis dalam daftar 7
Nama sesungguhnya sepertinya sudah dihilangkan Silsilah Kubrawiyya di Iran Barat dan Asia tengah mencantumkan Ahmad Gurpani (yang diarabkan menjadi al-Jurfani) sebagai kepala Khalifa Majduddin, yang lain, seperti al-Qushashi, menyebutkan Ahmad Rudbari. Daftar di SBR menunjukkan dua Ahmad ini adalah satu atau orang yang sama. 8
29
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010 9
ini, dan setengahnya tidak disebutkan . Ansari dan Sharani, adalah orang-orang yang sangat dikenal di Indonesia karena kontribusinya pada yurisprudensi Islam (Fiqih). Beberapa karyanya telah lama dipelajari di pesantren pada pendidikan tingkat lanjut. Tetapi disini dia lebih dikenal dalam kapasitasnya yang lebih kecil, hanya sebagai mistikus yang berafiliasi (menjadi anggota) Kubrawiyyah. Lima nama Kubrawi terakhir dalam daftar atau tulisan SBR juga menunjukkan garis afiliasi aliran sufi yang lain, yaitu Kubrawiyya Hamdaniyya, diambil dari nama guru yang paling kharismatik aliran sufi ini (lihat tabel 1 dan bandingkan dengan tabel Trimingham 1973 – 56- 7). Hamadani sendiri hilang dari daftar ini, kecuali jika ia dianggap sama dengan Shal Ali al-Khatib (Sang Pendakwah). Orang terakhir Kubrawiyya dalam daftar ini adalah Abd al-Latif Al Jami (d.1555 -6), dimana kita temukan tulisan singkat tapi menarik tentang dirinya dalam kamus biografis orang-orang terkenal pada abad 16 karya al-Ghazzi. Jami yang ada di Asia tengah (yang tidak boleh dicampuradukkan dengan penyair terkenal Abd al Rahman alJami) bukanlah murid utama Muhammad al-Khabusani. Hampir semua sumber tulisan Asia Tengah sepakat status murid utama tersebut disandang oleh Kamaluddin Husain al-Khwarazmi, seorang yang oleh Shah Wali Allah dijadikan garis penghubung 10 dirinya dengan silsilah Hamadaniyya (lihat tabel 1) . Melalui murid yang lain, Khabushani juga merupakan leluhur aliran Dhabiyya, sebuah aliran sufi Syiah di Iran (Gramlich 1965: 10 -16). 9
Al-Qushashi 1327:98-9, al-Sha’rani, dalam Tabaqat al-Kubra menulis biografi singkat tiga pendahulunya yang ada dalam silsilah ini, al Ansari, al-Ghamri dan Ahmad al- Zahid, tetapi tidak menyebutkan nama orang yang lebih terdahulu dari mereka. Dia juga menyebutkan shaikh yang lain, Yusf al-Jami al-Kurani, Kakek Spiritual al Zahid, sebagai datuk garis afiliasi Kubrawi di Mesir (Winter 1982:93, 215). 10 Wali Allah s.a: 120-1. Aktivitas al-Khabushani, al-Khawrazmi, dan penerus alKhawrazmi, Ya’qub al-Kashmiri, dibahas secara mendetail di DeWeese 1988:6777 Lihat bahwa orang berikutnya, dalam silsilah Shah Wali Allah, adalah Ahmad al-Sirhindi, yang dikenal utamanya sebagai pembaharu besar aliran tariqat Naqshbandiyya. Dia dikenal karena memperkenalkan doktrin dan teknik spiritual al-Simnani pada aliran tarekat ini (Wahda al-shuhud yang vis a vis dengan wahda al-wujud; meditasi yang memfokuskan diri pada titik titik subtil di tubuh).
30
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
Berkat silsilah yang ditulis oleh al-Ghazzi (1979, II:182) kita mengetahui bahwa Jami berafiliasi dengan (menjadi anggota) cabang aliran sufi Kubrawiyya ini. Dengan fakta keanggotaan ini, maka kita dapat mengetahui bahwa Shah Ali al-Bidud (no. 23 11 dalam daftar) adalah Shah ali Alisfaraini al Bidawazi , dan juga amat memungkinkan kalau Shaikh Abdullah (nomor 3 dalam daftar) adalah cucu spiritual Hamadani, al Abdullah alBarzishabadi. Karena Jami menunjukkan bagian kecil dari cabang Hamadaniyya dan tidak disebut dalam silsillah selanjutnya, kemunculannya dalam daftar kami memberikan kunci pengetahuan tentang kenapa daftarnya berisi nama-nama tersebut. Potongan-potongan informasi biografis yang ditemukan dalam karya al-Ghazzi dan juga dari berbagai sumber yang lain, jelas menunjukkan mengapa Jami begitu menarik bagi muslim Indonesia kontemporer. Abd al Latif al-Jami dilaporkan melakukan perjalanan haji dengan sejumlah besar muridnya pada tahun 1547. Di tengah perjalanan menuju Mekkah tersebut, ia berhenti di Istambul, dan mendapat sambutan luar biasa dari para pejabat kerajaan. Bahkan Sultan Ottoman sendiri, Sulaiman yang Agung, meminta padanya untuk mengajar zikir Kubrawiyya-Hamadaniyya, dan otoritas administratif dan militer tertinggi di Istambul juga menjadi murid-muridnya. Melanjutkan perjalanannya ke Mekkah, Jami sekali lagi berhenti di Aleppo, dan bertemu dengan kepala otoritas kota yang ingin menerima juga pengajaran darinya. Dia kemudian tinggal di salah satu penginapan para sufi dan mengajar serangkaian doa-doa/wirid (litany) yang dikenal dengan nama Awrad Fathiyya, yang berisi doa doa 12 penghambaan yang khas Hamadaniyya . Wirid-wirid ini berasal dari Ali al-Hamdani, yang juga dipercaya diajarkan sendiri oleh Nabi Muhammad kepadanya dalam pertemuan gaib. 11
Dipanggil juga Shaikh Shah al-Isfra’ini al-Bidawarani oleh al-Ghazzi dan disebut Ali al-Baidawari oleh Trimingham. Tentang Shaikh Kubrawiyya berdasarkan garis keturunan Asia Tengah, lihat DeWeese 1988. 12 Al-Ghazzi 1979, II:181-2, Cf Trimingham 1973:96, yang menyebut Ibn al-Imad, ahli sejarah Syria yang menggantungkan seluruh keterangannya tentang alJami pada tulisan al-Ghazzi
31
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
Kepulangan Shaikh Abd al-Latif ke Asia tengah dari haji juga mendapatkan sambutan yang tidak kurang megahnya dari sambutan sebelumnya di Istambul dan Aleppo. Sultan Sulayman memberikan padanya 300 pengawal, yang menemani mulai dari Asia Kecil ke Kaukasus, melewati sepanjang pantai utara laut 13
Kaspia sampai ke Khwarazm dan Bukhara . Informasi seperti ini bisa kita dapatkan dari karya Laksamana Kekaisaran Ottoman, Sidi Ali Reis, yang juga merupakan murid Shaikh Jami. Pada pertengahan tahun 1556, ketika ia melakukan perjalanan yang sukar dan panjang melalui Khwarazm dari India ke Istambul, dia mendengar kabar kematian Shaik Abdul Latif di kota Wazir. Dia melakukan perjalanan ke kuburan Shaikh dan membaca seluruh ayat al-Quran untuk gurunya tersebut (Sidi Ali Reis 1899:79) Kita tidak memiliki catatan pengaruh kehadiran Shaik Abd Latif al-Jami di Mekkah, ketika ia melakukan ibadah haji, tetapi pastilah juga amat besar. Kedatangan pembimbing spiritual sultan, yang bergerak bersama dengan sejumlah besar pengikut, mustilah susah untuk tidak mendapatkan perhatian dan bisa jadi masih dibicarakan setelah bertahun tahun kemudian Abd al-Latif al-Jami hidup sejaman dengan Sunan Gunung Jati. Tanpa harus berspekulasi apakah Sunan Gunung Jati pernah berkunjung ke Mekkah dan bertemu dengan Guru Kubrawiyya ini, kita dapat menyimpulkan bahwa setidaknya beberapa orang yang berasal dari Banten sudah mengetahui (beberapa aspek) Kubrawiyya sebagaimana diajarkan oleh Jami (mungkin sampai abad 16, karena setelah itu tidak ada lagi nama yang mewakili tarikat ini dalam daftar garis afiliasi atau keanggotaan tersebut). Jika kalimat-kalimat Jami, yang telah menjadikan Sultan Ottoman muridnya, bisa mencapai Banten, maka pastilah bisa meyakinkan para penguasa Jawa bahwa
13
Kekuatan militer ini bisa jadi memiliki fungsi lain selain untuk menghormati dan melindungi Shaikh. Setelah mereka sampai di Bukhara, mereka langsung bergabung dengan penguasa Bukhara, sehingga menimbulkan kecurigaan Iran adanya kerjasama militer antara dua negara Sunni untuk melawan Syiah Iran (Sidi Ali Resi 1899:96-7: cf, pendahuluan Vambery untuk pembahasan ini, hal viviii).
32
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
aliran sufi ini memiliki ilmu yang mumpuni, yang memang harus dipelajari (atau diklaim dimiliki) Silsilah yang berakhir dengan Shinawi barangkali disebabkan adanya kontak kedua kalinya dengan aliran sufi yang sama satu atau dua generasi kemudian. Bisa jadi Sunan gagal dalam mencari lokasi penerus guru aliran besar tersebut dan kemudian dia mencari alternatif lain dengan bergabung dengan cabang Kubrawiyya yang lain, yang direpresentasikan oleh 14 Shinawi . Penerus al-Qushaishi, Ibrahim Al-Kurani (1328:108-9), dan murid generasi kedua dari Ibrahim al-Kur’ani, Shah Wali Allah (S.a: 11-21), mengisi silsilah aliran Kubrawiyya yang lain, yang menunjukkan aliran sufi ini memang memiliki beberapa cabang. Silsilah tambahan ini tidak berisi nama-nama yang ada di dalam daftar kami – yang mengindikasikan bahwa daftar tersebut adalah berasal dari masa Shinawi, atau mungkin yang paling akhir, al-Qushashi. Salah satu nama dalam daftar yang jelas identifikasinya adalah Khwaja Azizan Ali Al Ramitani (D1321 atau 1328). Dia merupakan salah satu mistikus Asia Tengah yang dikenal dengan nama Khwajagan, yang terkenal tergabung dalam aliran sufi 15 Naqshbandi . Dia terkenal karena korespondensinya dengan al-Dawla al-Simnani (Susud 1992:30-2, berdasarkan Abdul Rahman Jami Nafahat Al-Uns) dan oleh karena itu tidak bisa hilang dari daftar mistikus Kubrawiyya. Mir Shah Raju (13) jelas adalah mistikus Sayyid Hibatullah b. Taillah al Farisi, yang secara populer dikenal dengan nama 16 Shah Mir . Sayyid Hibatullah tergabung dengan Kubrawiyya melalui Simnani dan murid Nuruddin al Isfaraini, Aminuddin Abd al-Salam al-Khunji dan bahkan al-Qushashi mengutipnya dalam Simt ketika membahas tentang metode berzikir (Landolt, 1986). 14
Cabang Kubrawiyya-Hamadaniyya jarang disebutkan dalam sumber yang disebutkan terakhir ini, tetapi ada indikasi bahwa ia tetap eksis di Hijaz. Tahun 1731 atau 1732, Abu Tahir Muhammad al-Kurani menginisiasi Shah Wali Allah dalam beberapa tarikat sufi, termasuk cabang Hamadaniyya ini (Wali Allah sa; 120-1). 15 Dalam silsilah standar Naqshbandi, Baha’uddin Naqshband (d.1389), nama yang akhirnya menjadi nama aliran tarekat Naqshabndi, tercatat setelah nama Khwaja Azizan pada generasi ketiga, cf. Van Bruinessen 1992:50. 16 Kemungkinan identitas ini dikatakan kepada saya oleh Hermann Landolt.
33
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
Identifikasi yang lain lebih spekulatif: mungkinkah Nizamuddin “al Hawari” (4) adalah murid Simnani yaitu Nizamuddin Ali (sebagaimana menurut DeWesse 1988:64)? Adanya nama- nama ini dalam daftar silsilah tersebut menunjukkan bahwa pengkompilasinya tidak hanya menyalin begitu saja dua silsilah tersebut tetapi ia memiliki pengetahuan mengenai sejarah aliran sufi Kubrawiyya. Jejak Pengaruh Kubrawiyya terhadap Islam di Indonesia Pertanyaan yang muncul disini adalah apakah terdapat jejak Kubrawiyya, sebagaimana tercatat dalam Babad Cirebon dan SBR, yang lebih pasti dan lebih bertahan dalam Islam di Indonesia. Misalnya, apakah ada doktrin khusus atau teknik spiritual khusus yang bisa dianggap sebagai hasil pengaruh Kubrawiyya di Islam Indonesia? Pengetahuan kita tentang teknik spiritual yang dikembangkan oleh Kubrawiyya permulaan sangatlah tidak sempurna, walaupun sudah ada beberapa karya penting yang membahas hal ini seperti karyanya Meier, Corbin, Algar dan Landolt. Informasi mendetail yang kita miliki hanya berkaitan dengan teknik dzikir (Meier 1957: 200-132: Landolt 1986: 38-50: Elias 1993: cf Razi 198: 70-7:268-78) dan berbagai spekulasi metafisik yang lain (Meier 1957: 93-199: Landolt 1986: 70 -9). Setidaknya beberapa teknik dzikir Kubrawiyya diadopsi oleh aliran sufi Naqshbandiyya melalui mistikus abad ke-14 dari Asia Tengah yang bernama Khwajagan. Dikarenakan kehadiran aliran sufi di Indonesia dimulai sejak abad ke 17, adanya beberapa teknik spiritual seperti ini di Indonesia tidak bisa menunjukkan secara mutlak adanya pengaruh langsung dari Kubrawiyya ke Indonesia. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa teknik mistis dan gerakan ibadah Kubrawiyya, sebagaimana diajarkan oleh Abd al-Latif al-Jami, adalah pembacaan Awrad Fathiyya, yang berasal dari Ali al Hamadani. Zikir seperti ini masih banyak dipakai di dunia muslim sampai sekarang, misalnya pada aliran
34
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia 17
Naqshbandiyya di Turki . Kata Awrad Fathiyya tidaklah dikenal di Indonesia. Tetapi salah satu dari kumpulan zikirnya sangat 18
dikenal di Jawa . Bahkan menjadi salah satu bacaan yang paling umum dan tidak pernah dianggap berhubungan dengan salah satu jenis aliran sufi tertentu. Mungkin kepopuleran pembacaan wirid ini dikarenakan kedudukan Abd al-Latif al-Jami yang dianggap sangat tinggi. Ciri yang paling khas dari aliran sufi Kubrawiyya – atau setidaknya berdasarkan pemikiran pemikiran para pemikirnya, Kubra, Isfra’ini, Najmuddin Razi, Simnani dan Hamadani – adalah penekanan adanya penampakan (visionary perception) cahaya dengan berbagai jenis warna, intepretasi simbolik terhadap warna-warna ini dan penggunaan warna warna cahaya ini untuk membimbing pesuluk menuju kesempurnaan spiritual (lihat Corbin 1978; meier 1957: 115-26; elias 1993). Beberapa ilmuwan melihatnya sebagai peminjaman langsung dari tradisi tantra Hindu dan Budha. Sekarang ini di Jawa banyak sekte-sekte muslim yang menggunakan berbagai teknik meditasi untuk memunculkan persepsi berbagai warna tersebut (di antaranya cahaya warna hitam dan hijau, yang dalam Kubrawiyya memiliki tempat yang amat penting). Anthropolog Woodward di Jogjakarta, umpamanya, mendengar bahwa Sultan Jogja dipercaya melihat 19 cahaya warna hijau ketika melakukan meditasi . Penampakan cahaya warna ini memiliki keterkaitan dengan kategori tertinggi dalam pengalaman spiritual, sebagaimana dikatakan oleh para pendiri Kubrawiyya.
17
Banyak dipakai dalam manual Turkish Naqshbandi, Miftah al-Qulub (elNaksibendi 1979:557-89) 18 Wirid ini diawali dengan kalimat Astaghfir Allah al Azim, astagfir Allah al azim, astagfir Allah al Azim, al ladhi la ilah illa ha al-hayyuqayyum wa atubu ilayhi. Allohumma Anta al salam, wa minka al salam wa ilayka yarjius salam.... salam Naksibendi 1979:564 ff 19 Woodward 1989: 80. Tidak ada satupun informan saya di Jogja yang mengetahui tentang meditasi sultan dan efek yang ditimbulkannya. Di sini dan juga di seluruh bukunya, Woodward nampaknya mendasarkan seluruh data dari para informannya yang memiliki pandangan idiosinkretis, walaupun memang pandangan semacam itu berasal dari tradisi oral.
35
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010 Tabel 1. Silsilah Kubrawiyya: Cabang Hamadaniyya dan garis afiliasi (keanggotaan) al-Qushashi, dengan ekstensi sampai ke Shah Wali Allah (dikompilasikan dari silsilah di al-Kawakib al-Sa’ira karya al-Ghazzi, al-Simt alMajid karya Qushashi, Intibah Karya Wali Allah. Yang diberi garis miring juga terdapat di daftar silsilah di SBR)
Najmuddln al-Kubra (d. 1221) Majduddin al-Baghdadi (d. 1219) Radi al-din 'Ali-yi Lala (d. 1244) Ahmad al-Jurfani [Gurpani] (d. 1270) = Ahmad al-Rudbari Nurrudin Abd al-Rahman al-Isfara'ini (d. 1317) Ala' al-Dawla al-Simnani (d. 1336) Mahmud al-Mazdaqani (d. 1359-60)
Abd al-Rahman al-Sharafi Shihabuddin al-Dimashqi
Al al-Hamadani (d. 1384)
Abu'l-Abbas Ahmad al-Zahid
Ishaq al-Khuttalani (d. 1423)
M.b. Umar al-Wasin al-Ghamri
Abdullah al-Barzishabadi (d. 1467-8) Rashid al-din al-Isfara'ini [al-Bidawazi] Shah Alli al-Isfara'ini al-B'idawazi Muhammad al-Khabushani (d. 1531-2)
Zakariyya' al-Ansari (d. 1520) Abd al Wahhab Al-Sha’rani (d.1520) Ali b. Abd Al-Quddus al-Shinnawi
Yaqub al-Sarfi al-Kashmiri (d. 1594) Ahmad al-Sirhindi (d. 1624) Adam al-Banuri (d. 1663) Sayyid Abdullah
36
Abd al-Rahim (d. 1719)
Ahmad b. Ali Al Shinnawi (d.1619) Ibrahim al-Kurani (d. 1691) Abu Tahir Muhammad al-Kurani (d. 1733)
Shah Walii Allah (d. 1762)
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
Penampakan cahaya yang berwarna (vision of coloured lights) ini nampak pula memiliki tempat yang penting dalam teknik-teknik spiritual Haqmaliyya atau Akmaliyya, sebuah 20
tarekat lokal yang ada di Jawa Barat . Nampak banyak perbedaan signifikan antara berbagai cabang tarekat Haqmaliyya ini, baik dalam praktek maupun intepretasi terhadap penampakan cahaya tersebut: mereka juga canggung untuk mengungkapkan informasi mengenai ajaran ajaran mereka pada orang-orang yang tidak ikut menjadi anggota aliran tersebut,dikarenakan ketakutan memunculkan kesalahpahaman dan memprovokasi tuduhan murtad terhadap mereka. Dari salah satu cabang Haqmaliiyah yang saya ketahui, untuk memancing persepsi cahaya ini, mereka membaca bacaan-bacaan khusus yang dikombinasikan dengan teknik pengendalian atau penutupan panca indra dan pengendalian nafas: telinga ditutup dengan jempol, mata dengan jari telunjuk, lubang hidung dengan jari tengah, dan empat jemari yang lain dengan rapat menutup 21
mulut . Sebagaimana para pencetus Kubrawiyya, para guru teknik khusus ini memiliki sistem intepretasi terhadap cahayacahaya tersebut yang sedikit banyak dikembangkan sendiri, dan para pelakunya yang saya ajak bicara percaya bahwa kemajuan spiritual seseorang terefleksi dalam tingkatan warna-warna cahaya yang dilihat, sebuah cahaya warna gelap hanya muncul pada orang-orang yang meditasinya sudah pada tingkat lanjut. 20
Tiga guru yang beberapa tulisannya diteliti dalam disertasi Drewes (1925) berafiliasi dangn Akmaliyya, tetapi teks-teks tulisan tersebut sama sekali tidak berisi teknik spiritual khusus aliran ini. Tarekat ini berkembang di daerah Cirebon – Banyumas sampai Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan juga di daerah daerah lain, tetapi pengikutnya tidaklah banyak. 21 Cabang ini, didirikan oleh Kiai Kahpi di Garut, dikenal juga dengan nama Muslimin dan Muslimat, mengikuti nama kitab karya anak Kahpi, yang bernama Asep Martawidjaja. Kitab tersebut berisi teks-teks didaktis dalam syair-syair bahasa Sunda (dangding) (1930). Baca juga catatan pendek mengenai sekte ini dan teknik meditasinya di Atjeh 1984:390. Teknik yang sama pernah digambarkan pada saya oleh seorang guru tariqat Samaniyya di Sumatra Barat, Buya Syahruddin dari Berulak, yang mengklaim bahwa mereka telah membentuk sebagian bacaan keseharian Samaniyya, berdasarkan interview pada tanggal 24 Maret 1990
37
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
Beberapa peneliti tergoda untuk menyematkan praktek seperti 22
ini sebagai akibat pengaruh Kubrawiyya . Tetapi, teknik menutup lubang telinga, hidung dan mulut juga digunakan pada 23
praktek tantra di India, dikenal dengan sebutan Yoni Mudra . Di lain pihak, teknik ini tidak terbukti dipakai dalam praktik-praktik spiritual Kubrawiyya. Jadi pertanyaannya adalah, apakah visi (penampakan) terhadap warna warna cahaya tersebut menunjukkan kelanjutan 24
tantra yang berasal dari kebudayaan Jawa pra Islam , atau apakah itu merupakan pengaruh Kubrawiyya? Literatur tertulis sekte ini tidak meninggalkan petunjuk asal muasal teknik meditasi ini. Karya utamanya, Lajang Moeslimin Moeslimat (Martawidjaja 1), menyajikan pengajaran mistik metafisik Wahda al Wujud dalam bentuk dialog antara Raden Muslimin dan adiknya Raden Muslimat dalam bentuk yang hampir mirip dengan bagian pengajaran pada Serat Centhini. 25
Tentu saja ada pengaruh dari karya al-Jili “al-Insan al-Kamil” , tetapi dengan modifikasi yang tipikal indonesia. Teks tersebut, sebagaimana sering ditemui di Indonesia, tidak mendeskripsikan
22
Simnani memilah satu persatu warna-warna cahaya yang muncul di hadapan para mistikus: biru hitam, merah rubi, putih, kuning, hitam dan hijau. Pada jenjang permulaan suluk, mistikus mungkin mengalami kilasan cahaya-cahaya ini sebentar, kekuatan dzikir menentukan warna yang akan dia lihat/dipersepsikan (Elias 1993:72-4). 23 Teknik ini dijelaskan kepada saya oleh pelaku Tantra yang saya temui di Lucknow pada tahun 1984. Informan saya ini lahir sebagai orang Hindu dan kemudian beralih menjadi Muslim: tetapi ia belajar yoni mudra dari orang suci Hindu. Dia tidak mengetahui sistem intepretasi terhadap warna warna itu, dan juga tidak tahu hirarkinya. 24 Teknik meditasi untuk memunculkan penampakan terhadap berbagai warna cahaya telah dikenal di Jawa semenjak periode pra Islam, misalnya berdasarkan karya lama Sang Hyang Kamahayanikan. Lihat misalnya, Kats 1910: 106-7 25 Karya al-Jili adalah satu satunya teks yang amat penting yang juga digunakan oleh cabang Haqmaliyya lainnya. Studi yang didedikasikan terhadap teks yang amat kaya secara konseptual ini oleh Nicholson (1921: bab 2) adalah masih yang terbaik.
38
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia 26
lima tetapi tujuh tingkatan emanasi (martabat tujuh) . Pada jenjang ketiga Wahdiyya, ketika pertama kali substansi spiritual sang nabi (Nur Muhammad) muncul, dikatakan bentuknya adalah cahaya yang berwarna-warni, pertamanya merah, 27
kemudian kuning, kemudian putih, dan kemudian hitam . Pada tingkat lanjutnya dalam proses emanasi ini, cahaya berwarnawarni ini berasosiasi, sebagaimana bentuk tipikal Jawa, dengan empat huruf Arab yang menyusun nama Allah, empat elemen (api, angin, air, dan tanah), empat pembentuk bagian tubuh (daging, sungsum, kulit dan tulang), empat jiwa (nafsu) atau keadaan jiwa (nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu sawiah dan 28
nafsu mutmainah) , dan empat organ panca indra (telinga, mata, mulut dan hidung). Bagian yang lain dalam buku itu menambahkan cahaya gelap dan jernih tanpa warna dan berbagai corak kebiruan sampai pada warna-warna cahaya tertentu, tanpa usaha lebih jauh untuk menempatkannya pada 29
skema pembagian cahaya tersebut .
26
Teori tujuh tingkatan atau jenjang barangkali berasal dari Sufi India abad 17, Muhammad bin Fadlallah Burhanpuri. Untuk pembahasan metafisika martabat tujuh dalam teks Melayu dan Jawa, lihat Johns 1957 dan 1965. 27 Enya eta sorotna nu tadi/tina Johar awal Dat Sipatna Allah/ Hakekat Muhammad eces/ Sipatna padang alus/ bijil cahya opat rupi/ cahya beureum mimitina/ dua koneng kitu. Katilu cahaya bodas/kaopatna cahaya hideung geus pasti/ngaranna Nur Muhammad.’ (Martawidjaja 1930, I:34; pengucapannya diadaptasikan). Bandingkan syair ini dengan deskripsi Simnani tentang warna warna cahaya yang muncul saat meditasi (catatan 22 ke atas) 28 Psikologi tradisional muslim mengenal tiga keadaan nafs atau jiwa kebinatangan: an-nafs al amarra (cenderung untuk jahat dan menghindari kebenaran), an-nafs al-lawamma (jiwa penyesalan, bertobat atas dosa masa lalu) dan an-nafs al-mutma’inna (jiwa yang tenang, yang harmoni dengan kehendak tuhan). Tiga istilah ini berasal dari al-Qur an. Misitisisme Jawa sering menganggapnya tiga jiwa yang berbeda atau tiga kekuatan yang berbeda, dan guna membuat klasifikasi, menambahkan nafsu ke empat yaitu Sawiyya (seperti yang disebutkan disini) atau sufiyya. Karakteristik nafsu ini berbeda pada berbagai sekte, tetapi mutmainnah selalu bermakna harmoni dan altruisme, dan tiga yang lain selalu berkaitan dengan keinginan atau hasrat dunia. 29 Geus gulung pana paningal, caang powek beureum hideung bodas kungin, bulao biru djeung wungu, pendekna sadayana...’ (Martwidjaja 1930, 1:40).
39
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
Teks yang mirip dengan teks Malaysia dan Jawa diedit oleh Jhons (1957, 1965) juga berbicara tentang Nur Muhammad pada tingkatan Wahdiyya, tetapi tidak menyebutkan adanya warna cahaya tertentu, tidak juga mengacu pada empat rangkap klasifikasi tersebut. Spekulasi kosmogenik dan kosmologis seperti ini mengingatkan buku Jawa kuno Hyang Kamahayanikan, dengan perbedaan klaisfikasinya adalah lima rangkap (Kats 1910:106-16). Jika hal tersebut berasal dari budaya pra-islam, pasti sudah melewati masa masa awal islamisasi, dikarenakan istilah yang digunakan dan warna-warna yang dipresentasikan juga bagian dari tradisi mistis Islam. Istilah yang digunakan oleh informan saya yang bersuku Sunda untuk pengalaman penampakan (visionary experience), dan juga teknik untuk menyebabkan hal tersebut, disebut dengan tajalli. Ini adalah sebuah istilah yang amat dikenal dalam dunia sufi, yang biasa disebut dengan teofani atau self manifestation of God. Hal tersebut seringkali terjadi pada orangorang yang sempurna (al Jins al Kamil), yang juga sebuah judul karya al-Jili yang menjadi sumber utama inspirasi Hikmaliyya. AlJili membahas penyingkapan diri Tuhan dalam tindakantindakanNya (tajalli af’al), nama-Nya (tajalli al-asma), sifat-sifatNya (tajalli al-sifat) dan esensi-Nya (tajalli al-dhat). Dilihat dari sisi manusia, tajalli merupakan cahaya dan dengan cahaya itu manusia bisa “melihat” (vision) Tuhan (Nicholson 1921:135). Istilah semacam itu juga dipakai oleh para pencetus Kubrawiyya, dan juga oleh ilmuwan dan sufi India yang terpengaruh oleh ajaran Kubrawiyya, Shah Wali Allah: dalam tulisan-tulisannya, juga disebutkan tentang pengalaman visionary (penampakan) semacam ini (lihat Landolt 1986: index) Bagi sekte Sunda ini, tajalli merepresentasikan dimensi esoteris ibadah ibadah yang dilakukan oleh muslim. Jika disimpulkan dari Lajang Moeslimin-Moeslimat, masing masing tindakan ibadah, selain makna eksternalnya (syariah), ada tiga maknanya yang lebih mendalam, yaitu haqiqah, tariqah dan ma’rifah, yang paling terakhir merupakan yang paling esoteris. Syariah dari sholat terdiri dari gerakan-gerakan tubuh berdiri, ruku, sujud dan duduk; haqiqahnya merupakan tulisan ALLAH, yaitu nama Allah; tariqah adalah sholat sebenarnya, atau tajalli 40
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
absolut; ma’rifah adalah pertemuan langsung dengan nur 30 Muhammad, yaitu empat warna cahaya . Teks Sunda ini, sebagaimana pembaca mungkin perhatikan, tidak menyebutkan cahaya hijau yang paling dianggap penting oleh para pencetus Kubrawiyya. Tetapi informan saya secara spontan mengungkapkan adanya warna hijau ini dan memberikan nilai paling positif untuk cahaya berwarna hijau, hitam dan tanpa warna – yang konsisten dengan catatan catatan sumber Kubrawiyya. Doktrin dan praktek dari sekte Sunda ini, sejauh pengetahuan saya, tidak pernah dipakai dengan kombinasi yang sama pada sekte lain. Mungkin bisa jadi pendiri dari sekte ini, untuk mendapatkan cahaya penampakan semacam itu, menggabungkan saja teknik-teknik pra Islam, konsep klasifikasi Jawa, dan teori emanasi Islam al-Jili. Namun, saya sendiri memiliki spekulasi hipotesis bahwa memang ada inkursi Kubrawiyya, yang dicangkokkan dengan mudah ke tradisi tantris pre islamis dan oleh karenanya memudahkan integrasinya ke mistisisme esoteris islam, dikarenakan aliran sufi tersebut juga telah menggabungkan tradisi yang sama. Barangkali jejak yang paling sedikit diragukan dari pengaruh Kubrawiyya awal di Indonesia adalah nama dari seorang yang hampir menjadi mitos dalam sejarah jawa Islam: Shaikh Jumadil Kubra, dimana semua sunan-sunan dan orang suci di Jawa sepertinya memiliki hubungan dengannya. Nampak bahwa nama ini, yang merupakan salah pengucapan dari nama Najmuddin al-Kubra, tersematkan pada banyak pribadi legendaris dan mistis, namun mereka memiliki hal umum yang sama pada fakta bahwa mereka adalah nenek moyang atau pembimbing para pendiri Islam di jawa—sebagai pengakuan
30
Sareat sholat teh kang rayi/ nya eta nangtung ruku tea/sujud lungguh bukti gawe/ari hakekatna puguh/ alim lam enggeus pasti/terasna lam ha nya eta lapad allah/ henteu salah tantu. Dupi thorekatna sholat/ tetep bae dian keur sholat sajati/tajalining mutlak// Marifatna kudu sing kapanggih/ sareng eta Nur Muhammad tea/ ka cahya opat sing ain/ (Martawidjaja 1981, III:85:6). Salah satu informan saya mengatakan bahwa teknik menutup organ indrawi dengan jemari merupakan “sholat yang sesungguhnya” dan menerangkan bahwa tujuh liang ditambah dengan sepuluh jari apabila dijumlahkan adalah sama dengan tujuh belas rakaat, jumlah rakaat dari sholat lima kali sehari.
41
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
tidak langsung, barangkali, terhadap derajat tinggi dan keutamaan Kubrawiyya pada masa periode islamisasi. Seh Jumadil Kubra Dalam budaya Jawa Barat, Seh Jumadil Kubra dianggap merupakan leluhur Sunan Gunung Jati. Tarikh Banten dan Cirebon, walaupun memiliki sedikit perbedaan, mencatat genealogi pendeknya seperti di bawah ini: Nabi Muhammad Ali dan Fatimah Imam Husain Imam Zainal Abidin Imam Ja’far Sadiq Seh Zainal Kubra ( atau: Zainal Kabir) Seh Jumadil Kubra Seh Jumadil Kabir Sultan Bani Israil Sultan Hud dan Ratu Fatimah Muhammad Nuruddin (yang kemudian disebut Sunan Gunung 31
Jati) . Genealogi ini terdiri dari beberapa bagian. Nama-nama pertama terdiri dari keturunan langsung Nabi Muhammad sampai Imam ke-enam Syiah, Ja’far al-Sadiq (yang ayahnya, imam kelima, Muhammad al-Baqir, tidak pernah disebutkan dalam versi-versi lain yang pernah saya baca). Silsilah beberapa aliran sufi (tidak hanya Kubrawiyya) dimulai dengan nama-nama ini, juga genealogi sayyid–sayyid dari hadramaut: penting juga dicatat bahwa Ja’far adalah nama imam terakhir yang tercatat dalam daftar sayyid tersebut. Bagian terakhir genealogi mencatat dua penguasa mitos di sebuah negeri mitos dalam Islam (yang kadang disebut juga Mesir): nama-nama mereka nampak memiliki hubungan eksplisit dengan tradisi sebelum kenabian Muhammad. Hud merupakan nama nabi Arab paling 31
Edel 1938:123, 149, 253: Brandes dan Rinkes 1911: Canto 13; cf. Djajadiningrat 1913:17,106. Tidak ada nama Ja’far Sadiq dalam SBR dan Babad Cirebon hanya menyebut satu dari dua Jumadi, dan Djajadiningrat mencatat nama yang terakhir dalam susunan terbalik.
42
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
awal dari lima nabi yang ada di sana, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, tetapi dalam al Qur’an, Hud juga kata benda kolektif yang menunjuk kaum Yahudi, Bani Israel, keturunan Israel. Bahkan Hud adalah kata al-Quran yang memang langsung mengacu pada kaum Yahudi, dan juga sering mengacu pada kaum moneteis yang lain (Wensinck dan Pellat 1967; Goitein 1960). Kedua nama ini, oleh karena itu, juga berarti penguasa Yahudi. Yang lebih misterius adalah tiga nama yang kuasi arab dan secara linguistik menyimpang, yang terletak di bagian tengah daftar tersebut. Saya yakin bahwa Jumadil Kubra adalah nama yang paling penting dan dua nama yang lain dibentuk dengan analogi, sedemikian karena nama ini amat aneh. Kata bahasa Arab Kubra (ditulis dengan huruf KBRY) adalah kata sifat dalam gender feminin, superlatifnya kabir (KBYR); agung. Bentuk maskulinnya adalah akbar (AKBR). Maka sangat anamoli menyebut nama al-Kubra, yang teragung atau terbesar, sebagai bagian nama seorang pria. Najmuddin al-Kubra adalah pribadi sejarah yang namanya paling dikenal dalam singkatannya: seringkali ia hanya disebut Kubra. Dalam kasus ini, nama sebenarnya adalah bentuk eliptis dari kalimat al-Qur’an tamma al-kubra, “ Bencana utama” yang digunakan sebagai nama panggilan yang menunjuk pada kemampuannya sebagai pendebat (Algar 1980:300). Dalam bahasa Jawa, pengucapan Najmuddin al-Kubra akan dengan mudah berubah menjadi Najumadinil Kubra dan kemudian, melalui penghilangan suku kata pertama dan kontraksi suku kata keempat dan kelima, nama itu akan menjadi Jumadil Kubra, barangkali sebagian karena dianalogkan dengan nama bulan-bulan Islam Jumadil Ula 32
dan Jumadil Ukhra Nama Jumadil Kabir barangkali hanya merupakan bentuk hypercorrect Jumadil Kubra, demikian pula nama Jumadil Akbar dan Jumadil Makbur, yang juga ditemukan di beberapa teks Jawa yang lain. Jarang orang bisa menemukan kedua nama tersebut 32
Dalam naskah berbahasa Arab, pola dari kedua bentuk nama itu agak sama: NJM ALDYN ALKBRY menjadi JMADY ALKBRY. Bagian pertama nama bulan yang disebutkan diatas juga ditulis JMADY.
43
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
disebut bersama-sama. Nama Zainal Kubra juga bentuk anomali yang lain, dikarenakan setelah Zainal seharusnya kata benda 33
bukan kata sifat . Nama tersebut nampak sebagai produk permutasi (perubahan) elemen dari nama lain dalam genealogi tersebut. Walaupun nama itu begitu aneh, nama tersebut banyak terdapat di teks-teks di berbagai daerah di Jawa sebagai nama yang menghubungkan antara Jumadil Kubra dan keluarga Nabi. Hubungan istimewa nama tersebut dengan keluarga nabi menjadi alasan barangkali mengapa Amangkurat II mengadopsinya sebagai salah satu nama yang dihiaskan pada namanya sendiri ketika naik menjadi raja Mataram : Susuhunan Ratu Amangkurat Senapati Ingalaga Ngabdulrahman Muhammad Zainal Kubra (Ricklefs 1993 n.2) Dari banyak nama fiksional ini, Jumadil Kubra adalah satu satunya orang yang menjadi acuan dari legenda tertulis pada teks literatur Jawa. Babad Cirebon tidak hanya mencatatnya sebagai leluhur sunan Gunung Jati, tetapi juga leluhur wali yang lain, Sunan Bonang dan Sunan Ampel, dan juga Sunan yang paling 34
dimuliakan di Jawa, Sunan Kalijaga . Dalam genealogi nama terakhir, babad juga berisi nama yang lain, setelah Jumadil Makbur, yang menunjukkan hubungan dengan Kubrawiyya, 33
Beberapa genealogi yang ada di dalam teks teks Jawa berisi juga beberapa nama yang dibentuk dalam pola yang sama, seperti Zainal Azim, Zainal Alim, Zainal Kabir, Zainal Husain (Kosasi 1938:137; Hasyim 1979:5; dan genealogi dalam buku juru kunci pada Maqam Jumadil Kubra di Turgo) 34 Kacapa kandi asal mula / para wali Jawa kabeh / Ingkang dhihin Sunan Bonang / iku kamu linira /panceran tedhaking rasul / saking Syekh JumadilKubra// jumadikubra sisiwi/ lanang ika kang paparab/ Syekh Molana Samsu Tamres / Jumeneng pandhita Cempa / Akrama putra Cempa / ing kanane wus amasyhur / pandhita mustaqim akbar / paputra jalu kakalih / kang nama tubagus Rakhmat / ya hiku susunan Ampel / Kalih Tubagus Angejawa / ngajak Islam ming sang Ratu / mapahti datang krasa / ... (Brandes and Rinkes 1911: Canto 14); ‘ Kaping Sekawan Satengah / para wali ing nusa jawi nami / Sunan Kali Jaga Ulu / Tedhak Saking Syekh Aswa / Safaranai kang pancer sang Jumadilmakbur / iku nuli puputra / Arya Shadiq ingkang nami // jujuluk Arya ing Tuban / aputra ika ingkang pernami / Raden Arya Tumenggung / Wilatikta mengkanan/ Wilatikta Raden Sahidun / iku Sunan Kali Jaga/... (Brandes and Rinkes 1911: Canto 15). Babad Cirebon versi Sunda dan Jawa yang lain yang telah dipublikasikan (Hadisuthipto 1979; Hermansoemantri 1984-85) sama sekali tidak menyebutkan Jumadil Kubra
44
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
adalah Shaikh Aswa al-Safaranin (atau dalam manuskrip yang lain Sagharnane, atau Safarana’i), yang pasti merupakan perubahan nama dari Isfara’ini. Kota Iran bagian timur, yang merupakan pusat utama Kubrawiyya, dan beberapa shaikh yang berpengaruh dari aliran sufi tersebut juga memakai nisba ini (namun nama Aswa tidak mirip dengan Isfara’ini yang sudah dikenal ini) Tarikh Jawa tentang Gresik yang diringkas oleh Wiselius juga mencatat Jumadil Kubra sebagai kakek dari wali lainnya, Sunan Giri. Pada tarikh ini, Jumadil Kubra memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik: anaknya, Maulana Ishak, dikirim oleh Sunan Ampel ke Blambangan untuk mengislamkan daerah it. Ishaq kemudian menikah dengan anak perempuan penguasa Blambangan, tetapi gagal untuk menjadikan mertuanya masuk Islam, dan dalam keadaan frustasi karena kegagalan itu, ia pindah ke Malaka, meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Puteri raja meninggal karena melahirkan dan bayinya dibuang ke laut, yang secara ajaib diselamatkan oleh nelayan Gresik. Anak ini kemudian menerima pendidikan Islam yang amat baik dan kemudian menjadi Sunan Giri (Wiselius 1876:467-8). Babad Tanah Jawi juga menceritakan legenda yang hampir sama, tetapi nama ayah Sunan Giri adalah Wali Lanang dan bukan Maulana Ishaq, dan nama Jumadil Kubra tidak disebut sama sekali (Meinsma, 1941:20-1; cf Fox 1991: 25-8 yang membahas berbagai versi lain leluhur Sunan Giri). Tetapi, dalam genealogi pemimpin tarekat Shattariya pada akhir abad ke 17, Shaikh Abdul Muhyi Pamijahan, di Tasik Malaya Selatan, yang mengklaim keturunan Sunan giri, mencatat nama Maulana Ishaq dan Jumadil Kubra di dalamnya (Kosasi 1938 : 137). Legenda populer Jawa di daerah Tengger, Cariose Telaga Ranu, menyebutkan Maulana Ishaq dan Jumadil Kubra sebagai saudara laki laki dari pertapa bernama Ki Seh Dadaputih di Gunung Bromo dan Ki Seh Nyampo di Suku Domas. Maulana
45
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
Ishaq pergi ke Blambangan (ayah Raden Paku/Sunan Giri): 35
Jumadil Kubra menjadi seorang ulama pengajar di Mantingan Redaksi lain dalam Babad Tanah Jawi, Babad Pejajaran, seperti dikutip oleh Djadiningrat (1913:262), menambahkan tema incest dalam legenda Jumadil Kubra. Dalam versi ini, dia adalah sepupu atau kemenakan Sunan Ampel dan hidup sebagai pertapa di hutan di dekat Gresik. Istrinya meninggal karena melahirkan: anak perempuan yang tumbuh menjadi gadis yang amat cantik, dan Jumadil Kubra kemudian melakukan hubungan seksual dengannya. Ketika anak perempuan tersebut melahirkan bayi, Jumadil Kubra merasa amat malu dan bunuh diri dengan melompat ke sungai dan tenggelam. Dia kemudian disemayamkan di Gresik dan kuburannya menjadi tempat ziarah 36
banyak orang. Legenda incest ini juga diceritakan, dalam bentuk yang sedikit berbeda, dalam Sejarah Banten, Jumadil Kubra, yang tidak dihubungkan sama sekali dengan lokalitas tertentu, adalah anak Ja’far Sodiq. Istrinya meninggal dan meninggalkan padanya seorang anak laki laki dan perempuan. Dia kemudian menghamili anak perempuannya, dan setelah melahirkan, anak tersebut ditinggalkan di hutan. Anak tersebut ditemukan dan dibesarkan oleh orang miskin, ketika sudah dewasa, anak itu dikirim belajar kepada Seh Jumadil Kubra, yang kemudian memberikan nama padanya Shamsu Tabris dan mengangkatnya sebagai menantu laki laki. Ketika ia mengetahui identitas Shamsu sesungguhnya, Shaikh meninggal karena malu, dan Shamsu segera melakukan perjalanan jauh bertahun-tahun dalam rangka melakukan penebusan dosa (Djajdiningrat 1913:26, cf261-5 versi yang lain juga diceritakan disini). Banyak legenda Jawa lain yang menyangkut Shamsu Tabris atau Tamres (Drewes: 1930): 35
Cariose Telaga Ranu, Leiden CB 145 (I) A. Saya ingin berterima kasih pada Karel Steenbrink karena mengirimi saya salinan deskripsi dan ringkasan manuskrip ini (dalam bahasa Belanda) karya J. Soegijarto. 36 Teks ini menyatakan Burerah (dari nama Abu Huraira?) sebagai nama asli shaikh; pada Babad Tanah Jawi (Meinsma 1941;20), Burerah adalah putra dari penguasa Champa. Teks secara insidental menuliskan etimologi nama shaikh Dumadil Kubra (Jawa. Dumadi, ‘menjadi’); juga, ia diberi nama Abdul Qadir Kubra.
46
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
karakter mistik ini sangat bisa jadi berhubungan dengan darwis dari Persia bernama Shams-i Tabriz, yang telah diabadikan (dalam karyanya) oleh penyair sufi besar Jalaluddin Rumi (tetapi dalam berbagai legenda Turki dan Kurdi, Shamsi Tabriz lahir dari anak perempuan Rumi yang perawan, yang malah memperkuat tema incest sebelumnya). Dalam babad Cirebon, kita menemukan tema sebelumnya melebur: Shamsu muncul kembali sebagai anak Jumadil Kubra (tetapi tidak ada tema incest di dalamnya): dia menikah dengan puteri raja Champa dan melahirkan dua putera, salah satunya menjadi Sunan Ampel (lihat teks Jawa pada catatan 34). Raffles juga menyimpan legenda lain dari Gresik. Dalam catatannya, Jumadil Kubra bukanlah leluhur tetapi pembimbing Wali Pertama. Raden Rahmat, yang kemudian menjadi Sunan Ampel, lahir dari pertemuan antara ulama Arab dan Puteri Raja dari Champa, pertama kali menginjakkan kakinya di Palembang dan dari sana melakukan perjalanan ke Majapahit. Dia mendarat di Gresik dan berkunjung ke Sheik Molana Jomadil Kobra, seorang saleh yang tinggal di Gunung Jali, dan yang mengatakan pada Raden Rahmat bahwa kedatangannya pada waktu itu sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad; bahwa runtuhnya berhala-berhala akan segera terjadi, dan bahwa ia telah dipilih untuk mendakwahkan doktrin Muhammad di daerah bagian barat Jawa (Raffles 1817:117). Peran Seh Jumadil Kubra yang hampir sama terdapat dalam legenda yang sampai saat ini masih sering diceritakan di desa desa di daerah lereng Gunung Merapi, utara Yogyakarta. Dia dipercaya sebagai sunan Jawa yang tertua, yang berasal dari Majapahit dan tinggal sebagai pertapa di hutan di gunung di daerah itu. Tanpa banyak membahas bagaimana kronologisnya, ia juga disebut-sebut sebagai pembimbing spiritual Sultan Agung, penguasa terbesar Mataram (1613-1646). Setiap 35 hari sekali, pada malam Jum’at Kliwon, ruh sultan mengunjungi Shaikh di gunung angker tersebut (Triyoga 1991:36-7). 37
Berdasarkan sumber tersebut, makam
Shaikh terletak di
37
Bisa Jadi memang itu maqam Sunan, tetapi maqam tidaklah musti sebuah kuburan. Tempat apapun yang dikuduskan karena kehadiran ruh orang suci di
47
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
puncak gunung kedua di dekat Turgo, Gunung Kawastu. Makam itu menarik kunjungan banyak peziarah, banyak di antaranya menghabiskan satu malam atau lebih dalam pencarian kekuatan spiritual dan sensitivitas (prihatin). Turgo bukanlan satu satunya tempat yang membanggakan diri sebagai maqam Seh Jumadil Kubra. Tidak diketahui lagi di mana daerah atau tempat maqam yang disebutkan dalam Babad Pajajaran, tetapi saat ini kuburan muslim di Tralaya, dekat dengan ibukota majapahit, dianggap sebagai satu satunya tempat maqamnya Jumadil Kubra. Maqam ini sering dianggap maqam asli Seh Jumadil Kubra dan paling sering mendapatkan kunjungan. Sangat biasa bagi orang orang yang melakukan ziarah ke sembilan wali Jawa (wali sanga) melakukan kunjungan penghormatan lebih dahulu ke leluhurnya di Tralaya. S ebelum pemilihan umum tahun 1992, maqam tersebut dikunjungi oleh tiga menteri kabinet (ketiganya menjadi menteri kabinet yang baru terbentuk). Ketika Partai Demokrasi Indonesai mengalami konflik dan menggiring adanya kongres Luar biasa di Surabaya pada Desember 1993; delegasi dari Solo berhenti di Tralaya untuk memberi penghormatan ke 38
makam tersebut sebelum melanjutkan perjalanan ke Surabaya, Maqam orang suci tersebut juga disebut-sebut terdapat di Semarang. Salah satu versi Babad Jawi menyebutkan bahwa ia pernah melakukan tapa di bebukitan Bergota bagian selatan 39
yang sekarang ini disebut Semarang . Sebuah maqam yang tempat tersebut bisa disebut maqam dan akan banyak dikunjungi oleh para peziarah untuk meminta dukungan dari sang wali. Beberapa informan saya di Jogja secara empatis mengatakan bahwa maqam di Turgo bukanlah kuburan Jumadil Kubra. Namun, pada tahun 1955, sekelompok orang dari Purowrejo menancapkan batu nisan di Maqam tersebut. 38 Saya mendapatkan informasi ini berdasarkan interview dengan juru kunci Tralaya pada tanggal Januari 6, 1994. Salah satu menteri yang datang ke kuburan tersebut, dikenal sebagai muslim dari aliran yang keras, sementara yang lain adalah orang Kristen Jawa. Delegasi PDI Solo kebanyakan adalah kaum abangan. 39 Ya ta Seh Jumadil Kobra / amertapa anenggih pernah neki / asanget prayoganipun / wonten ardi pragota / pan kathah tiyang kang sami guguru / sanget kabul pandongane / sumungkem saguning murid (budiman 1878:94, mengutip edisi Van dorp dari Babad Tanah Jawi)
48
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
terletak dekat dengan tambak di dekat Terbaya, tidak jauh dari Semarang, disebut-sebut pula sebagai maqam Seh Jumadil Kubra (Budiman 1978: 92). Di tempat lain, juga di daerah Semarang, Sampangan, ada petilasan yang juga berdiri atas namanya (Budiman 1978:93-4). Oleh karenanya, kita temukan bahwa Jumadil Kubra memiliki hubungan dengan empat wilayah berbeda di Jawa (Banten-Cirebon, Gresik-Majapahit, Semarang-Mantingan, dan Yogyakarta) dengan sejumlah cerita legenda yang juga berbeda beda. Seakan-akan ketika muslim Jawa yang baik tempat maupun waktunya berbeda, tiba tiba mengenal nama itu, segera saja mereka menyematkan berbagai karakter yang dianggap tepat untuknya (sesuai waktu dan tempatnya). Banyaknya legenda yang mengitarinya dan luasnya persebaran geografisnya menunjukkan bahwa ia memiliki martabat dan kedudukan yang amat tinggi pada awal persebaran Islam di Indonesia; tetapi ketiadaaan karakteristik yang bisa ditelusuri menyangkut dirinya, di lain pihak, menunjukkan bahwa pengaruhnya sebenarnya dangkal. Shaikh Jamaluddin al-Akbar, leluhur Arab Para Wali dan Kyai Jawa Disamping tradisi babad, Islamisasi Jawa tercatat pula dalam tradisi yang lain. Tradisi itu muncul dan dibiarkan tetap hidup dalam lingkaran Sayyid Hadrami, keturunan Nabi, yang memiliki pengaruh yang amat besar terhadap Islam Indonesia. Kiyai-kiyai Jawa saat ini cenderung menganut versi Sayyid ini dibandingkan menganut babad – yang kedua versi itu sebenarnya memiliki banyak kesamaan. Sebenarnya baru pada abad 19, orang orang Arab dari Hadramaut ini datang ke Indonesia dalam jumlah yang amat besar, walaupun memang ada ulama dan pedagang yang memang sudah tinggal dari beberapa abad sebelumnya, dan menikahi wanita lokal. Menurut tradisi Sayyid Hadramaut (yang tentu saja merupakan tradisi yang baru), para sunan atau orang suci yang mengislamkan Jawa dan berbagai daerah di Asia tenggara lahir dari perkawinan 49
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
semacam ini. Leluhur puncaknya adalah Jamaluddin Husain alAkbar (lihat dalam pohon keluarga di al-Baqir 1986:45). Versi tertulis tertua tradisi sejarah semacam ini, yang pernah saya baca, adalah berasal dari makalah yang ditulis oleh Sayyid Alwi ibn Tahir ibn Abdillah al-Hadar al-Haddad, mufti Johor yang meninggal pada tahun 1962. Tradisi itu sendiri pastilah lebih kuno dari tulisan itu, karena beberapa kyai yang saya kenal mengatakan bahwa mereka mendengar dari kakek mereka bahwa mereka merupakan keturunan dari Jamaluddin al40
Husaini . Namun terdapat hal yang membingungkan dari versi ini. Kuburnya menurut versi ini, terdapat di Madinah, dan kyai Jawa, dengan asumsi bahwa dia adalah nenek moyang mereka, mengunjungi maqamnya setelah berkunjung ke maqom nabi. Patronymnya juga tidak memiliki hubungan dengan genealogi Jamaluddin al-Akbar yang sudah diyakini sebelumnya. Jamaluddin berdasarkan genealogi yang disebutkan terakhir, sebagaimana semua Sayyid dari Hadrami, lahir dari Imam Syiah ke-enam, Ja’far al-Shadiq, melalui cicitnya, Ahmad al-Muhajir, keturunan nabi pertama yang tinggal di Hadramaut. Genealogi enam generasi selanjutnya adalah sama dengan genealogi keluarga Sayyid Hadramaut (e.g, Mahyuddin 1984:40, 47, 50, 54-5; al-Baqir 1986:17, 42). Leluhur terakhir Jamaluddin yang memiliki kesamaan secara umum dengan para sayyid adalah Muhammad Sahib Mirbat; cucu lelakinya, Abdul Malik dikatakan tinggal di Nasrabad, India, keturunannya dikenal sebagai keluarga Adhamat Khan dan menjadi bangsawan, bahkan cucunya yang bernama Ahmad dipanggil Shah (alHaddad 1403/1983:6-7: al Baqir 1986: 42). Anak dari Shah Ahmad yang bernama Jamaluddin dan saudara-saudaranya dikatakan pergi bersama-sama berlayar ke Asia tenggara, Jamaluddin sendiri menjejakkan kakinya pertama kali di Kamboja dan Aceh, dan kemudian berlayar ke Semarang, menghabiskan hidupnya bertahun tahun di Jawa dan kemudian melanjutkan 40
Pada kenyataannya, al-Haddad nampaknya sangat bergantung pada karya Jawa atau Melayu karya Haji Ali bin Khairuddin, “ahli sejarah Jawa”, yang dia kutip sebagai ketrangan kedatangan bungsu (sic!) arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut (al-Haddad 1403/1983:4)
50
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
perjalanannya lebih jauh ke timur ke “Tanah Bugis”, dan di 41
sanalah dia meninggal (al-Haddad 1403/1983:8-11). Anaknya, Ibrahim Zain al-Akbar, menikah dengan putri raja Kamboja dan melahirkan dua putera, Maulana Ishaq dan Rahmatullah, alias Sunan Ampel. Melalui anaknya yang lain, Ali Nur Alam, Jamaluddin menjadi buyut Sunan Gunung Jati, dan melalui anaknya yang ketiga, Zain al-Alim, dia menjadi kakek dari wali 42
yang lain, Maulana Malik Ibrahim . Jamaluddin al-Akbar ini memiliki hal umum yang sama dengan Jumadil Kubra yang diceritakan di babad. Al-Baqir juga melihat kesamaan ini, dan memberikan komentar bahwa bukubuku berbahasa Jawa seringkali salah dalam menulis nama Jamaluddin menjadi Jumadil Kubra (al-Baqir 1986: 43). Saya cenderung percaya ada hal lain di sini. Cerita Jamaluddin ini bagi saya hanya produk usaha untuk meng”koreksi” legenda-legenda Jawa tentangnya di awal abad 20-an. Kubra diganti dengan kosa kata yang lebih benar Akbar, dan Jumadi diganti dengan nama Arab yang mirip dengannya, Jamaluddin. Dan disusunlah genealogi yang dianggap lebih kredibel. Sayyid Hadrami memang memiliki kesamaan dengan Jumadil Kubra yang ada di Babad, merupakan keturunan Ja’far al-Shadiq. Legenda-legenda yang berbeda satu sama lainnya dikombinasikan menjadi lebih koheren. Juga elemen elemen yang tidak Islami, seperti tema incest dihilangkan, demikian pula nama-nama Persia, seperti Shams-i Tabriz. Hipotesis saya bahwa versi sayyid ini merupakan rekayasa yang relatif dilakukan belakangan, mendapat dukungan 41
Tradisi oral diantara kiai dan sayyid di Jawa lebih spesifik lagi bercerita tentang kuburan di tanah Bugis ini. Sebuah kuburan suci di Wajo, Sulawesi Selatan, yang orang lokal menyebutnya “Kramat Mekkah” sangat dipercaya berisi mayat Jamaluddin yang banyak disebut sebut ini. Tetapi baik genealogi di atas maupun peran Jamaluddin dalam islamisasi Jawa nampakrnya tidak menjadi bagian dari pengetahuan orang orang lokal (KH. Ma’ruf Amin, komunikasi personal). 42 Ini meringkaskan sisa keterangan Al Haddad 1403/1983 (yang menghubungkan lagi Jamaluddin dengan banyak orang lain) dan tabel dalam Al-Baqir 1986;45. Al-Baqir menyebutkan sumbernya dari “laporan penelitian’ yang dilakukan oleh Sayyid Zain bin Abdullah Alkaf
51
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
dari observasi Serjeant, bahwa para sayyid dari Hadramaut sendiri juga mengkritiknya (keturunan campuran sayyid di Jawa) dan ayah-ayah Arab mereka yang mengabaikan penjagaan daftar nama-nama keturunan keluarga (Serjeant 1957:25-6). Hanya setelah pendirian Rabita al-Alawiyya pada tahun 1928, sebuah asosiasi keluarga para sayyid, dilakukan usaha sistematis untuk mencatat genealogi keluarga nabi. Seorang yang dinamai Jamaluddin al-Akbar dan genealoginya adalah sangat mungkin produk dari usaha untuk merekonstruksi sejarah Sayyid di Indonesia. Tidak ada protes terhadap rekayasa ini, tidak hanya karena tidak ada dokumen yang bisa mendukung ketidaksetujuan terhadapnya, tetapi juga dikarenakan dua kelompok yang terkait dengannya memperoleh keuntungan dari revisi sejarah ini. Berkat genealogi hasil ‘koreksi” ini, keluargakeluarga kyai Jawa yang terkenal, yang mengklaim dirinya keturunan sunan-sunan Jawa, dapat membuktikan dirinya sendiri sebagai sepupu jauh Sayyid Hadramaut, sementara Sayyid Hadramaut sendiri dengan mudah bisa mengklaim bahwa seluruh islamisasi Jawa adalah berkat orang orang orang yang berasal dari garis keturunan nenek moyang mereka. Kesimpulan Saya berketetapan menulis artikel ini dikarenakan saya terpesona oleh nama-nama Persia dan Asia Tengah pada teksteks Islam awal di Jawa, dari mulai teks teks yang ada di Cirebon sampai di Banten. Kubrawiyya, sebuah aliran sufi yang memiliki hubungan dengan nama-nama ini, sebaliknya, tidak pernah disebut sebut dalam konteks Indonesia. Saya kemudian berusaha mencari kemungkinan adanya praktik-praktik khusus Kubrawiyya dengan nama aliran lain, dengan meneliti tarekat lokal yang praktik meditasinya mengingatkan pada penampakan cahaya yang menjadi ciri khas Kubrawiyya. Salah satu wirid dari aliran tersebut ternyata merupakan bagian dari koleksi wirid terkenal Kubrawiyya. Memang tidak terdapat bukti yang kuat adanya pengaruh Kubrawiyya di Indonesia, tetapi setidaknya ditemukan kesamaan antara praktik Islam Jawa dan Kubrawiyya Asia Tengah. 52
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
Menengok kembali ke belakang, saya yakin bahwa kisah perubahan Jumadil Kubra menjadi Jamaluddin al-Akbar, yang pertamanya hanya muncul karena rasa penasaran saya pribadi, bisa dijadikan paradigma dalam membaca sejarah Islam di Indonesia. Mistikus Asia Tengah yang berbahasa Persia, yang mewarisi tradisi spiritual Iran dan barangkali dipengaruhi pula praktik Tantra, yang menjadikan namanya aliran sufi khusus yang terkenal dan menarik bagi orang-orang Jawa, menjadi orang yang dianggap suci (sunan/saint), pertapa di hutan, dan walinya para wali. Yang paling memiliki kesamaan, dari sembilan wali di 43
Jawa, adalah wali yang paling “Jawa”, Sunan Kalijaga . Seperti halnya Sunan Kalijaga, maqamnya banyak ditemukan di berbagai daerah di Jawa. Arabisasi namanya menjadi Jamaluddin al-Akbar adalah indikasi meningkatnya perhatian untuk mengoreksi bentuk (saya cenderung menuliskan disini “bentuk daripada susbtansi”) dan tentu saja juga berhubungan dengan proyek arabisasi yang dilakukan secara perlahan pada Islam Jawa secara keseluruhan. Semakin mengemukanya sayyid-sayyid dari Hadrami dalam kehidupan keberagamaan orang Indonesia (jumlahnya meningkat secara dramatis pada abad ke-19) merupakan faktor yang amat penting dalam proses ini. Tidak hanya elemen-elemen Jawa, tetapi juga elemen-elemen yang berasal dari India dan Iran (misalnya, saya yakin seperti tokoh Shams-i Tabriz), secara perlahan dihilangkan. Kyai–kyai Jawa tidak lagi mencari leluhur mereka di bekas ibukota Majapahit atau pada pegunungan magis di Jogjakarta tetapi di kota Nabi, Madinah.
43
Tetapi amat perlu dicatat di sini bahwa tidak ada jejak dalam sejarah Jumadil Kubra yang berkaitan dengan sunan Jawa yang lain, Seh Siti Jenar, tentang kemurtadan dan kesyahidannya.
53
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
Daftar Pustaka Algar, Hamid, 1980, 'Kubra', Encyclopaedia of Islam, 2nd edition, V:300-l. Atjeh, H. Aboebakar, 1984, Pengantar sejarah Sufi dan tasawwuf. Solo: Ramadhani. [Second edition.] Baljon, J.M.S., 1986, Religion and thought of Shah Wall Allah Dihlawl, 1703-1762,Leiden: Brill. al-Baqir, Muhammad, 1986, 'Pengantar tentang kaum Alawiyin', in: Allamah Sayid Abdullah Haddad, Thariqah menuju kebahagiaan, pp.11-68, Bandung: Mizan. Brandes, J.L.A., and D.A. Rinkes, 1911, Babad Tjerbon, Batavia: Albrecht / 's Hage: Nijhoff. [Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 59.] Bruinessen, Martin van, 1992, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan. _________, forthcoming, 'Sharica court, tarekat and pesantren: Religious institutions in the Banten sultanate', in: Claude Guillot (ed.), Banten..., Paris: Editions Archipel. Budiman, Amen, 1978, Serharang riwayatmu dulu, Jilid pertama, Semarang: Tanjung Sari. Corbin, Henri, 1978, The man of light in Iranian Sufism, Boulder / London: Shambhala. DeWeese, Devin, 1988, "The eclipse of the Kubraviyah in Central Asia', Iranian Studies 21:45-83. Djajadiningrat, Hoesein, 1913, Critische beschouwing van de Sadjarah Banten, Haarlem: Ensched6. [PhD thesis, Leiden.] Drewes, G.W.J., 1925, Drie Javaansche goeroe's; Hun leven, onderricht en Messiasprediking, Leiden: Vros. [PhD thesis, Leiden.] _______, 1930, 'Sjamsi Tabriz in de Javaansche hagiographie', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, published by the Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 70:267-330. Edel, Jan, 1938, Hikajat Hasanoeddin, Meppel: Ten Brink. [PhD thesis, Utrecht.]
54
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
Elias, Jamal J., 1993, 'A Kubrawi treatise on mystical visions: The Risdla-yi nuriyya of Ala' ad-Dawla as-Simnani', The Muslim World 83:68-80. Fox, James J., 1991, 'Ziarah visits to the tombs of the wali, the founders of Islam on Java', in: M.C. Ricklefs (ed.), Islam in the Indonesian social context, pp. 19-38, Clayton, Vic: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University. al-Ghazzl, Najmuddln, 1979, al-Kawdkib al-sd'ira bi-a'ydn al-mi'a al-cdshira, 3 vols, Beirut: Dar al-afaq al-jadida. [Edited by Jibra'il Sulayman Jabbur.] Goitein, S.D., 1960, 'Banu Isra'il', Encyclopaedia of Islam, 2nd edition, 1:1020-2. Gramlich, Richard, 1965, Die schiitischen Derwischorden Persiens, Erster Teil, Die Affiliationen, Wiesbaden: Steiner. al-Haddad, al-Sayyid Alwi b. Tahir b. Abdallah al-Haddar, 1957, Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh, Jakarta: AlMaktab ad-Daimi. ________, 1403 (h) / 1983, Al-latd'if: Shadhara ta'rlkhiyya, Pekalongan: H. Shaykhan b. Salim b. Yahya al-Alawi. Hadisutjipto, S.Z. (ed.), 1979, Babad Cirebon, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Hasyim, Umar, 1979, Sunan Giri dan pemerintahan ulama di Giri Kedaton, Kudus: Menara. Hermansoemantri, Enoch, 1984-85, Babad Cirebon: Sebuah garapan filologis, Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Ibn al-Imad al-Hanball, Abu'l-Falah cAbd al-Hayy, 1350-51 (h), Shadhardt al-dhahabfl akhbar man dhahab, 8 vols, Cairo: Maktaba al-Quds. Johns, Anthony H., 1957, 'Malay Sufism as illustrated in an anonymous collection of 17th century tracts', Journal of the Malay Branch of the Royal Asiatic Society 30-2:1-111. ______, 1965, The gift addressed to the Prophet, Canberra: The Australian National University. Kats, J. (ed.), 1910, Sang Hyang Kamahayanikan, 's-Gravenhage: Nijhoff. Kosasi, Mohammed, 1938, 'Pamidjahan en zijne heiligdommen', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 55
Jurnal Al-Qurba 1(1): 24-57, 2010
published by the Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 38:121-42. al-Kuraril, Ibrahim b. Hasan, 1328 (h), al-Amam li-lqdz al-himam, Haidarabad. Landolt, Hermann, 1986, 'Etude pre'liminaire', in: Nuruddin Abdurrahman-i Isfarayinl, Le revelateur des mysteres (Kdshif al-asrar), edited and translated by H. Landolt, pp. 9-123, Lagrasse: Verdier. Mahayudin Haji Yahaya, 1984, Sejarah orang Syed di Pahang, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Martawidjaja, Asep, 1930, Lajang Moeslimin-Moeslimat; Pitoewahna adjar padang, 3 djilid, Bandoeng: Winkel 'Masdjoe'. [Reprint, with an Indonesian translation, by the Proyek Penerbitan Buku Sastra Daerah dan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981] Meier, Fritz, 1957, Die fawd'ih al-gamdl wa-fawdtih al-galal des Nagm ad-Din al-Kubra, Wiesbaden: Steiner. Meinsma, J.J., 1941, Babad Tanah Jawi in proza; Javaansche geschiedenis loopende tot hetjaar 1641 der Javaansche jaartelling, 's-Gravenhage: Nijhoff. Mole, Marijan, 1961, 'Les Kubrawiya entre sunnisme et shiisme aux huitieme et neuvieme siecles de l'hegire', Revue des etudes islamiques 29:61-142. el-Naksibendi, El-Hac Mehmed Nuri Semsiiddin, 1979, Tarn Miftdh-ul-kulub; Kalplerin anahtan, Istanbul: Salih Bilici Kitabevi. Nicholson, Reynold Alleyne, 1921, Studies in Islamic mysticism, Cambridge: University Press. al-Qushashi, Safi al-din Ahmad b. Muhammad, 1327 (h), al-Simt al-majid fi sha'n albay a wa al-dhikr wa talqinih wa saldsil ahl al-tawhld, Haidarabad. Raffles, Thomas Stamford, 1817, The History of Java, Vol II, London. [Reprint 1978, Kuala Lumpur: Oxford University Press] Razi, Najm al-Dln (known as Daya), 1982, The path of God's bondsmen from origin to return (Mersad al-ebad men almabda' ela ‘l-ma’ad); A Sufi compendium, translated from 56
van Bruinessen, M. Jejak Kubrawiyya di Indonesia
the Persian, with an introduction and annotations, by Hamid Algar, Delmar, NY: Caravan Books. Ricklefs, M.C., 1993, War, culture and economy in Java, 1677-1726, Sydney: Allen and Unwin. Serjeant, R.B., 1957, The Saiyids of Hadramawt, London: School of Oriental and African studies. al-Sha’rani, Abd al-Wahhab, 1315 (h), al-Tabaqdt al-kubra, 2 vols, Cairo: al-Amira al-sharqiyya. Sidi Ali Rei's, 1899, The travels and adventures of the Turkish admiral Sidi AH Re'is in India, Afghanistan, Central Asia, and Persia, during the years 1553-1556, translated from the Turkish, with notes, by A. Vambery, London: Luzac. Susud, Hasan Liitfi, 1992, Islam tasavvufunda Hacegan hdneddni, 2nd baski, Istanbul: Bogazici yayinlan. Trimingham, J. Spencer, 1973, The Sufi orders in Islam, London: Oxford University Press. Triyoga, Lucas Sasongko, 1991, Manusia Jawa dan Gunung Merapi; Persepsi dan sistem kepercayaannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Waley, Muhammad Isa, 1991, 'Najm al-Din Kubra and the Central Asian school of Sufism (the Kubrawiyyah)', in: S.H. Nasr (ed.), Islamic spiritualism; Manifestations, pp. 80-104, New York: Crossroad. Wali Allah, Shah, s.a., Intibah fi salasil awliya' Allah, Karachi. Wensinck, A.J., and Ch. Pellat, 1967, 'Hud', Encyclopaedia of Islam, 2nd edition, 111:537-8. Winter, Michael, 1982, Society and religion in early Ottoman Egypt; Studies in the writings of Abd al-Wahhab alShacrani, New Brunswick / London: Transaction Books. Wiselius, J.A.B., 1876, 'Historisch onderzoek naar de geestelijke en wereldlijke suprematie van Grisse op Midden en Oost Java gedurende de 16e en 17e eeuw', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, published by the Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 23:458-509. Woodward, Mark R., 1989, Islam in Java; Normative piety and mysticism in the sultanate of Yogyakarta, Tucson: The University of Arizona Press. 57