MUTU NATA DE MADOE HASIL FERMENTASI ACETOBACTER XYLINUM PADA MEDIA BERBAHAN DASAR MADU AFKIR
SKRIPSI REGINA MORINA SIMANGUNSONG
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN Regina Morina Simangunsong D14080290. 2012. Mutu Nata de Madoe Hasil Fermentasi Acetobacter xylinum pada Media Berbahan Dasar Madu Afkir. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. B. N. Polii, S.U. Pembimbing Aggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M. Si. Madu adalah salah satu jenis pangan yang sangat lengkap kandungan nutrisinya dan kini telah diketahui tidak kurang dari 181 macam zat atau senyawa dalam madu. Madu memiliki sifat higroskopis yang tinggi, yaitu sangat mudah menyerap air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara sehingga memicu peningkatan kadar air madu. Semakin tinggi kadar air dapat mempercepat kerusakan madu sebab memicu pertumbuhan khamir dalam madu. Suatu kasus menarik di penjual yaitu ditemukan sejumlah besar madu hutan afkir yang disimpan di dalam jeriken. Madu hutan afkir ini adalah madu yang tidak laku di pasaran yang ditarik kembali kemudian sebagian dikirim ke peternak untuk dijadikan pakan lebah dan sebagian disimpan di dalam gudang. Karakteristik madu hutan afkir ini adalah adanya perubahan warna yang semakin gelap, aroma yang kurang sedap, rasa yang menjadi asam dan sedikit pahit, kadar air yang sangat tinggi tetapi kadar gula dari madu hutan afkir ini cukup tinggi (72%). Oleh sebab, itu madu hutan afkir ini dapat menggantikan air kelapa dalam pembuatan nata serta tidak perlu penambahan sukrosa sebagai sumber karbohidrat. Pembuatan nata de madoe merupakan suatu diversifikasi produk yang menunjukkan bahwa madu hutan afkir yang hendak dijadikan pakan lebah dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dengan cara fermentasi oleh bakteri nata yaitu Acetobacter xylinum. Pengolahan madu hutan afkir menjadi nata de madoe diharapkan dapat memberikan pilihan pada konsumen dalam pemenuhan kebutuhan pangan fungsional bagi tubuhnya. Pembuatan nata de madoe tidak dapat dihasilkan dari madu saja tapi harus dibantu dengan penambahan nutrisi lain seperti air kelapa sebagai media tumbuh alami Acetobakter xylinum dan whey. Hal ini disebabkan adanya zat anti mikroba yang menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk nata. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2012 di Laboratorium Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari cara pemanfaatan madu hutan afkir untuk mendapatkan produk nata dengan kualitas fisik dan kimia yang memenuhi persyaratan serta diterima oleh panelis. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi kadar gula madu hutan afkir, nilai pH, kadar HMF, pemeriksaan kemurnian dan viabilitas starter Acetobacter xylinum dan penentuan pengenceran madu afkir. Rendemen yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan merupakan indikator keberhasilan nata yang akan digunakan sebagai bahan untuk penelitian utama. Pengenceran madu afkir dengan kadar gula 15% merupakan penghasil rendemen nata tertinggi yaitu 22,905%. Penelitian lanjutan meliputi 3 bagian pengamatan yaitu : karakteristik fisik (rendemen, ketebalan,
i
kekenyalan dan warna nata), karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat makanan) dan tingkat kesukaan (warna, aroma, rasa, kekenyalan dan kesan secara keseluruhan). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola searah (4x1) dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah media fermentasi (madu hutan afkir, madu hutan afkir whey, madu hutan afkir air kelapa dan madu hutan afkir whey air kelapa). Pada penilaian sensori sebelum disajikan nata direndam terlebih dahulu dengan larutan madu dengan kadar gula 15% dan 20%. Perbedaan media fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap rendemen, ketebalan, kekenyalan dan warna nata. Mutu kimia nata terbaik yaitu nata de madoe pada media madu afkir air kelapa adalah sebagai berikut : kadar air 96,4%, kadar abu 0,18%, kadar serat kasar 0,4%, kadar lemak 1,56%, kadar protein 0,9% dan kadar serat makanan 0,11%. Uji hedonik menunjukkan bahwa nata de madoe direndam dengan larutan madu kadar gula 15% lebih disukai dibandingkan dengan nata de madoe direndam dengan larutan madu kadar gula 20% tetapi dari semua sampel yang disajikan panelis lebih menyukai nata de coco komersil dengan kadar gula 15%. Madu hutan afkir dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata dengan bantuan nutrisi tambahan berupa air kelapa dan whey. Nata terbaik dihasilkan dari media fermentasi madu hutan afkir ditambah air kelapa dengan nilai serat makanan sebesar 0,11% memenuhi standar nata dalam kemasan yaitu maksimal 4,5%. Panelis menyukai produk nata de madoe yang direndam larutan madu dengan kadar gula 15%. Kata-kata kunci : madu hutan afkir, nata de madoe, Acetobacter xylinum
ii
ABSTRACT The Quality of Nata de Madoe from Kinds of Fermentation Medium Based Rejected Honey Simangunsong, R. M., B. N. Polii and H. C. H. Siregar Nata is a jelly formed fermented food product from Acetobacter xylinum. Nata has properties such as low calorie, able to facilitate healthy digestion, and consisted of 98% water content. Nata generaly made from water coconut, but in this research nata made from other material that had high sugar content such as honey and so it called nata de madoe. Honey contain essential elements for the body and easily fermented so that reducing honey shelf life. Founded an interesting case in public there are a large amount of honey was returned from the market. This rejected honey content glucose 72%, that can be replaced coconut water as material for nata without the addition of sucrose, but to fulfill nitrogen needed, ammonium sulfate was added. Observing parameters are the physical characteristic and chemical characteristics and test sensory. The variance analyze showed that different fermentation medium influenced significally (P<0,01) to rendemen, thickness, hardness and colour of nata. The best appearance from different media is media rejected honey with coconut water, result analysis proksimat are 96,4 water content, 0,18 ash content, 0,4% crude fiber, 1,56 fat, 0,9% protein and 0,11% dietary fiber. Sensory test showed that nata de madoe soak in 15% honey solution was more preferred than in 20% honey solution but less than commercial nata de coco in 15% sugar solution. Keywords : Nata de madoe, Acetobacter xylinum, honey, ammonium sulfate
iii
MUTU NATA DE MADOE HASIL FERMENTASI ACETOBACTER XYLINUM PADA MEDIA BERBAHAN DASAR MADU AFKIR
REGINA MORINA SIMANGUNSONG D14080290
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Peternakan Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
iv
Judul : Mutu Nata de Madoe Hasil Fermentasi Acetobacter xylinum pada Media Berbahan Dasar Madu Afkir Nama : Regina Morina Simangunsong NRP : D14080290
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
( Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si.)
( Ir. B. N. Polii, SU) NIP : 19480402 198003 2 001
NIP : 19620617 199003 2 001
Mengetahui, Ketua Departermen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
( Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP : 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus:
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1989 di Pematang Siantar. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Mangatur Simangunsong dan Riama Tambunan. Penulis menyelesaikan pendidikan kanak-kanak di TK Santa Theresia Balige pada tahun 1994, pendidikan dasar di SD Katolik Sanfrancesco Balige lulus pada tahun 2001, pendidikan menengah pertama di SLTP Budhi Dharma Balige lulus pada tahun 2004, pendidikan menengah atas di SMA Santo Thomas 2 Medan lulus pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Produksi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur SNMPTN. Selama mengikuti perkuliahan di IPB, Penulis aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan yaitu Persekutuan Mahasiswa Kristen (2008-2012), Komisi Literatur (2009-2011), Persekutuan Okumene Protestan dan Katolik (POPK) pada tahun 20092011, Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER) pada tahun 2009-2011 sebagai anggota divisi keprofesian unggas, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (2011-2012), Ikatan Anak Siantar dan Sekitarnya (IKANMASS) 20082012. Penulis mengikuti program BEST (Building Entrepreneur Student Training) Fakultas Peternakan. Penulis aktif dibidang olah raga menjadi tim basket putri Fakutas Peternakan menjadi pemenang juara II basket putri tahun 2009, juara II basket putri tahun
2010 dan juara I basket putri tahun 2012 tingkat Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga penerima dana penelitian untuk progran kreatifitas mahasiswa (PKM-P) Whey Kefir. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknik Penanganan dan Pengolahan Hasil Ikutan Ternak.
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan karunia-Nya yang tiada pernah berkesudahaan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Mutu Nata de Madoe Hasil Fermentasi Acetobacter xylinum pada Media Berbahan Dasar Madu Afkir”, yang merupakan salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Madu hutan afkir selama ini hanya dipergunakan untuk formulasi pakan lebah. Setelah diteliti ternyata madu hutan afkir memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi untuk dijadikan suatu produk bahan makanan seperti cuka madu dan tidak menutup kemungkinan menjadi produk nata karena memiliki kandungan gula cukup tinggi. Gula pada pembentukan nata diubah
oleh Acetobacter xylinum
menjadi selulosa ekstraseluler. Hasil uji trial and error
menunjukkan bahwa
pembuatan nata dari madu hutan afkir kurang bagus hasilnya sehingga diteliti beberapa media fermentasi yang dapat menghasilkan nata yang mutunya lebih baik dengan penambahan amonium sulfat sebagai nutrisi tambahan untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2012 di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas tentang karakteristik fisik, kimia dan tingkat kesukaan nata de madoe yang berasal dari media fermentasi yang berbeda yaitu madu hutan afkir, madu hutan afkir ditambah whey, madu hutan afkir ditambah air kelapa dan madu hutan afkir ditambah whey dan air kelapa serta madu segar sebagai kontrol. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas, khususnya bagi dunia peternakan serta pembaca pada umumnya.
Bogor, September 2012 Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN…………………………………………………………………....
i
ABSTRACT……………………………………………………………………...
iii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………...
iv
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………...
v
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………………...
vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...
vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. viii DAFTAR TABEL………………………………………………………………..
xi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….
xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….. xiii PENDAHULUAN……………………………………………………………….
1
LATAR BELAKANG……………………………………………………… TUJUAN………………………………………………………………….…
1 2
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………
3
Madu…………………………………………………………………….….. Nata…………………………………………………………………….…… Bahan Pembuatan Nata……………………………………………………... Media…………………………………………………………………... Madu Afkir………………………………………………………... Air Kelapa……………………………………………………….… Whey………………………………………………………….…… Starter Nata (Acetobacter xylinum)…………………………………….. Amonium Sulfat.………………………………………………………. Serat Makanan....….………………………………………………………... Sistem Notasi Warna……………………………………………………….. Penilaian Sensori………..……………………………………………….…. Warna…………………………………………………………………... Rasa…………………………………………………………………….. Aroma…………………………………………………………………..
3 5 7 7 7 8 8 9 12 13 14 16 16 16 16
MATERI DAN METODE…………….…………………………………………
17
Lokasi dan Waktu…………………………………………………………... Materi…………………………………………………………………….…. Prosedur……………………………………………………………...……... Penelitian Pendahuluan………………………………………………… Sifat Kimia Madu Hutan Afkir……………………………………. Kadar Gula……………………………………………………. Nilai pH……………………………………………………….
17 17 17 17 18 18 18
viii
Kadar air……………………………………………………… Kadar abu……………………………………………………... Kadar Hidroksimetilfurfural (HMF)………………………….. Kemurnian dan Viabilitas Starter A.xylinum…………………….... Pengenceran Madu Afkir………………………………………...... Penelitian Utama…………………………………………………….. Rancangan dan Analisis Data………………………………………….. Peubah yang Diamati…………………………………………….... Karakteristik Fisik…………………………………………..... Rendemen…………………………………………...…… Ketebalan……………………………………………….... Kekenyalan…………………………………………...….. Warna……………………………………………………. Karakteristik Kimia…………………………………………... Kadar Serat Kasar………………………………………... Kadar Protein…………………………………………….. Kadar Lemak…………………………………………….. Kadar Serat Makanan…………………………………..... Residu………………………………………………. Filtrat………………………………………………... Serat Makanan Total………………………………... Penilaian sensori..……………………………………………..
18 19 19 20 21 22 23 25 25 25 25 25 26 27 27 27 28 29 29 29 30 30
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………..
31
Penelitian Pendahuluan……………………………………………………... Sifat Kimia Madu Afkir………………………………………………... Kemurnian dan Viabilitas starter A. xylinum…………………………... Pengenceran Madu Hutan Afkir……………………………………….. Penelitian Utama…………………………………………………………. Karakteristik Fisik……………………………………………………... Rendemen…………………………………………………………. Ketebalan………………………………………………………….. Kekenyalan………………………………………………………... Warna……………………………………………………………… Nilai L, a, b dan °Hue………………………………………… Karakteristik Kimia…………………………………………………….. Kadar Air………………………………………………………….. Kadar Abu…………………………………………………………. Kadar Serat Kasar…………………………………………………. Kadar Protein……………………………………………………… Kadar Lemak……………………………………………………… Kadar Serat Makanan……………………………………………... Penilaian Sensori………………………………………………………. Warna……………………………………………………………… Aroma……………………………………………………………... Rasa………………………………………………………………... Kekenyalan………………………………………………………... Kesan Secara Keseluruhan………………………………………...
31 32 33 33 35 36 37 38 39 40 41 42 42 43 44 45 46 46 47 48 49 49 50 50
ix
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………..
52
Kesimpulan…………………………………………………………………. Saran………………………………………………………………………...
52 52
UCAPAN TERIMAKASIH……………………………………………………..
53
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
54
LAMPIRAN……………………………………………………………………...
59
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Komposisi Kimia Madu………………………………………………...
4
2.
Standar Nasional Mutu Madu Indonesia………………………………..
5
3.
Kondisi Optimum untuk Memproduksi Nata pada Media Air Kelapa….
6
4.
Standar Mutu Produk Nata Dalam Kemasan……………………………
7
5.
Komposisi Whey dan Air Kelapa……………………………………….
9
6.
Kategori Warna Menurut Kisaran Nilai °Hue…………………………..
15
7.
Sifat Kimia Madu Hutan Afkir yang Digunakan……………………….
32
8.
Rendemen Nata de Madoe pada Penelitian Pendahuluan………………
34
9.
Nilai pH Media Fermentasi yang Digunakan…………………………...
36
10.
Karakteristik Fisik Nata de Madoe……………………………………...
36
11.
Karakteristik Kimia Nata de Madoe…………………………………….
42
12.
Uji Hedonik Nata de Madoe Terhadap Warna, Aroma, Rasa, Kekenyalan dan Kesan Secara Keseluruhan……………………………
48
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Mekanisme Pembentukan Selulosa oleh Acetobacter xylinum…………
11
2.
Ikatan β (1-4) antar Unit Glukosa pada Selulosa……………………….
14
3.
Acetobacter xylinum yang Digores pada Media MRSA………………...
20
4.
Proses Pembuatan Nata de Madoe pada Penelitian Pendahuluan………
22
5.
Bagan Penelitian…………………...…………………………………....
23
6.
Penetrometer ………………………………………………..………......
25
7.
Chromameter Minolta CR-310………………………………………....
26
8.
Nata yang Terkontaminasi Khamir……………...………………………
31
9.
Morfologi Acetobacter xylinum…………………………………………
33
10. Hasil Nata yang Dihasilkan dari Penelitian Pendahuluan dengan Kadar Gula (a) 15%, (b) 20% dan (c) 25%..............................................
34
11. Nilai Rataan Rendemen dari Kelima Media Fermentasi………….…….
37
12. Nilai Rataan Ketebalan Nata dari Kelima Media Fermentasi……….….
38
13. Nilai Rataan Kekenyalan Nata dari Kelima Media Fermentasi………...
39
14. Warna Nata yang Dihasilkan dari Media Fermentasi (a) Madu Hutan Afkir, (b) Madu Hutan Afkir Whey, (c) Madu Hutan Afkir Air Kelapa, (d) Madu Hutan Afkir Whey Air Kelapa dan (e) Madu Segar..................
41
15. Kadar Air Nata de Madoe……………………………………………….
43
16. Kadar Abu Nata de Madoe……………………………………………...
44
17. Kadar Serat Kasar Nata de Madoe……………………………………...
45
18. Warna Sampel (a) Nata de Madoe dan (b) Nata de Coco Komersil……
48
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Hasil Analisis Ragam Rendemen Penelitian Pendahuluan…………….
60
2.
Hasil Analisis Ragam Rendemen Penelitian Lanjutan Nata de Madoe...
60
3.
Hasil Analisis Ragam Ketebalan Nata de Madoe....................................
60
4.
Hasil Analisis Ragam Kekenyalan Nata de Madoe………………….....
61
5.
Hasil Analisis Nilai Lightness Nata de Madoe…………………………
61
6.
Hasil Analisis Ragam Nilai a Nata de Madoe…………………………..
62
7.
Hasil Analisis Ragam Nilai b Nata de Madoe………………………….
62
8.
Hasil Analisis Ragam Nilai ºHUE Nata de Madoe……………………..
62
9.
Hasil Analisis Ragam Warna pada Uji Hedonik Nata………………….
63
10.
Hasil Analisis Ragam Aroma pada Uji Hedonik Nata………………….
63
11.
Hasil Analisis Ragam Rasa pada Uji Hedonik Nata…………………...
63
12.
Hasil Analisis Ragam Kekenyalan pada Uji Hedonik Nata…………….
63
13.
Hasil Analisis Ragam Kesan Secara Keseluruhan pada Uji Hedonik Nata………………………………………………………..
64
14.
Hasil Uji Analisis Proksimat Nata de Madoe Hedonik…………………
64
15.
Form Uji …………………………..……………………………………
65
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Madu telah dikenal dan dikonsumsi manusia sejak berabad tahun yang lalu. Manusia menyadari bahwa mengkonsumsi madu dapat menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat karena madu merupakan salah satu jenis pangan yang memiliki nutrisi yang sangat lengkap dan telah diketahui 181 macam zat atau senyawa yang terkandung di dalamnya. Madu memiliki komponen nutrisi yang sangat lengkap, sebagian besar terdiri atas gula dan enzim kompleks yang
memungkinkan terjadi beberapa reaksi
biokimia. Reaksi ini dapat mempengaruhi kualitas madu sehingga terjadi perubahan komposisi, rasa, aroma, viskositas dan warna. Madu juga memiliki sifat higroskopis yang tinggi yaitu sangat
mudah
menyerap air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara sehingga memicu peningkatan kadar air madu. Kadar air yang tinggi dapat memicu pertumbuhan khamir seperti Zygosaccharomyces dalam madu sehingga mempercepat kerusakan madu . Ditemukan suatu kasus menarik di tingkat penjual madu yaitu terdapat sejumlah besar madu hutan afkir yang tidak laku lagi di jual. Madu afkir tersebut tidak banyak dimanfaatkan. Sebagian dari madu tersebut ada yang dikembalikan ke peternak untuk diformulasikan lagi sebagai pakan lebah dan sisanya hanya dibiarkan tersimpan di jeriken dan di tumpuk di gudang. Karakteristik madu hutan afkir adalah warna yang semakin gelap, aroma kurang sedap, rasanya asam, sedikit pahit, kadar gulanya tinggi lebih dari 70% dan kadar air lebih dari 29%. Kadar gula madu hutan afkir cukup tinggi sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi Acetobacter xylinum. Madu hutan afkir banyak yang tidak dimanfaatkan, sehingga perlu dicarikan solusi untuk meningkatkan nilai tambahnya. Salah satu upaya cara pemanfaatan madu hutan afkir adalah pembuatan nata de madoe melalui proses fermentasi gula menjadi selulosa dengan bantuan A. xylinum dengan penambahan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Nata merupakan produk makanan hasil fermentasi yang kaya akan serat, berbentuk seperti jeli dan berwarna putih atau sesuai dengan warna media
1
fermentasinya. Selulosa yang dibentuk oleh bakteri A. xylinum mengandung air sekitar 98%, kadar serat kasar sekitar 2,5%. Kandungan seratnya yang tinggi menyebabkan nata sangat membantu dalam proses fisiologis tubuh, yaitu untuk memperlancar pencernaan. Nata juga tergolong makanan rendah kalori dan tidak mengandung kolesterol sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes. Nata pada mulanya dibuat dari air kelapa dan dikenal dengan nama nata de coco. Perkembangan industri yang semakin pesat menghasilkan produk nata yang bervariasi. Nata tidak lagi hanya berbahan dasar air kelapa tetapi dapat dibuat dari bahan lain seperti sari buah yang cukup mengandung gula seperti nenas dengan nama nata de pina, tomat dengan nata de tomato, coklat dengan nata de cacao, whey dengan nata de whey dan madu dengan nata de madoe. Prinsip proses pengolahan semua nata tersebut sama yaitu memanfaatkan A. xylinum
dalam proses
fermentasinya hanya saja media fermentasinya yang berbeda. Beberapa percobaan sebelumnya diketahui bahwa pertumbuhan A. xylinum pada madu hutan afkir kurang bagus sehingga perlu dicari solusi memperbaiki kualitas nata yang dihasilkan antara lain dengan diberikan campuran air kelapa dan whey sebagai sumber nutrisi tambahan. Air kelapa merupakan media fermentasi alami A. xylinum sedangkan whey merupakan produk peternakan hasil ikutan olahan keju yang masih mempunyai kandungan nutrisi cukup banyak. Whey telah diteliti sebelumnya dapat menghasilkan nata dengan kualitas baik sehingga hal ini dapat membantu pertumbuhan A. xylinum dalam pembuatan nata de madoe. Pembuatan nata de madoe diharapkan dapat menambah peluang pengembangan industri rumah tangga. Tujuan Penelitian ini bertujuan mencari cara pemanfaatan madu hutan afkir untuk pembentukan produk nata dengan mutu fisik dan kimia yang memenuhi persyaratan serta diterima oleh panelis.
2
TINJAUAN PUSTAKA Madu Madu adalah zat pemanis alami yang diproduski oleh lebah madu dari nektar tanaman atau sekresi bagian lain dari tanaman atau ekresi dari insekta pengisap tanaman, yang dikumpulkan, diubah dan dikombinasikan dengan zat tertentu dari lebah kemudian ditempatkan, dikeringkan, lalu disimpan dalam sarang hingga matang (Codex, 1989). Standar Nasional Indonesia (2004) mendefinisikan madu adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar) atau bagian lain dari tanaman (ekstra floral nektar) atau eksresi serangga. Lebah memproduksi madu dengan bahan nektar yang merupakan cairan mengandung gula yang disekresikan oleh kelenjar nektari tanaman. Selain nektar, lebah madu juga menggunakan nambur madu (honeydew) sebagai bahan baku madu. Nambur madu merupakan ekskreta serangga yang mengisap cairan floem (Sihombing, 2005). Madu biasanya digolongkan berdasarkan sumber nektarnya.
Madu
monoflora digolongkan sebagai madu yang bersumber dari nektar yang didominasi oleh satu jenis tanaman (bunga) seperti madu randu, madu karet, madu lengkeng dan madu kaliandra. Apabila sumber nektar dari berbagai jenis tanaman, maka madu yang dihasilkan digolongkan sebagai madu multiflora, misalnya madu Nusantara, madu Kalimantan dan madu Sumba. Perbedaan sumber nektar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik madu (Sihombing, 2005) Madu memiliki sifat higroskopis yang tinggi, yaitu sangat mudah menyerap air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara sehingga memicu peningkatan kadar air madu. Kadar air yang semakin tinggi dapat mempercepat pertumbuhan khamir dalam madu. Secara alami madu mengandung khamir yang bersifat osmofilik yang dapat tumbuh pada medium dengan aktivitas air rendah, yaitu 0,62-0,65 (Fardiaz, 1992). Semakin banyak madu menyerap air maka kualitas mutunya semakin rendah sehingga dapat dikategorikan sebagai madu afkir. Zat yang terkandung dalam madu sangat kompleks dan kini telah diketahui tidak kurang dari 181 macam zat atau senyawa dalam madu. Komposisi madu ditentukan dua faktor utama yakni, komposisi nektar asal madu bersangkutan dan
3
faktor-faktor eksternal seperti cuaca dan iklim (Sihombing, 2005). Komposisi kimia madu tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Madu No Komposisi
Satuan
Rataan
Kisaran Nilai
1
Air
%
22,9
16,6-37,0
2
Fruktosa
%
29,2
12,2-60,7
3
Glukosa
%
18,6
6,6-29,3
4
Sukrosa
%
13,4
1,4-53,0
5
Asam bebas
A
41,31
10,33-62,21
6
Lakton
A
1,80
0,0-8,98
7
Total asam
A
43,07
11,31-62,20
8
Abu
%
1,14
0,06-14,68
9
Nitrogen
%
0,113
0,0-0,668
10
pH
-
3,92
3,60-5,34
11
HMF
mg/kg madu
37,1
4,1-187,9
Sumber : Siregar (2002)
Jenis gula yang dominan dalam madu adalah levulosa dan dekstrosa. Levulosa dan dekstrosa mencakup 85-90% dari karbohidrat. Sisanya adalah komponen lain (protein, mineral, dan vitamin) dalam jumlah sedikit (5%). Protein yang terkandung dalam madu antara lain terdiri atas albumin, globulin, dan protease. Mineral dalam madu terdapat 18 unsur mineral esensial dan 19 unsur non-esensial. Mineral yang terkandung dalam madu adalah fosfor, kalium, kalsiun, besi dan natrium sebagai mineral yang dominan (Sihombing, 2005). pH madu dipengaruhi oleh kandungan asam organik dan asam non organik. Asam organik yang dominan dalam madu adalah asam glukonat yang merupakan hasil perombakan glukosa oleh enzim. Asam organik lainnya adalah asam asetat, butirat, sitrat, format, laktat, malat, oksalat, glukosa-6-fosfat, proglutamat, dan 2atau 3-fosfogliserat. Asam organik ini sangat menentukan citarasa, aroma dan daya tahan madu terhadap mikroorganisme (Sihombing, 2005). Setiap negara memiliki standar mutu madu tersendiri untuk layak dipasarkan dan dikonsumsi masyarakat. Standar mutu madu di Indonesia dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia 01-3545-2004 yang dapat dilihat pada Tabel 2.
4
Tabel 2. Standar Nasional Mutu Madu Indonesia No
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
1
Aktivitas enzim diastase
Diastase Number
Maksimal 3
2
Hidroksimetilfurfural (HMF)
mg/kg
Maksimal 50
3
Air
%
Maksimal 22
4
Gula Pereduksi
% b/b
Maksimal 65
5
Sukrosa
% b/b
Maksimal 5
6
Keasaman
ml NaOH 1 N/kg
Maksimal 50
7
Padatan yang tak larut air
% b/b
Maksimal 0,5
8
Abu
% b/b
Maksimal 0,5
Sumber : SNI 01-3545-2004
Kadar HMF di Indonesia maksimal 50% tetapi sering ditemui madu dengan kadar HMF diatas standar. Hal ini disebabkan kadar air madu di Indonesia cukup tinggi sehingga diperlukan perlakuan untuk mengurangi kadar air madu tersebut dengan pemanasan. Pemanasan madu di masyarakat banyak yang tidak terkontrol sehingga memicu peningkatan kadar HMF yang berakibat penurunan kualitas madu dan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Nata Istilah nata diduga berasal dari bahasa Spanyol yaitu nadir yang berarti berenang, Nata juga berasal dari bahasa Latin yaitu nature, yang berarti terapungapung. Nata merupakan
produk fermentasi dihasilkan oleh bakteri Acetobacter
xylinum pada substrat yang mengandung gula. Gula dimanfaatkan untuk aktivitas metabolisme dan membentuk polisakarida yang dikenal dengan extracellular sellulosa berbentuk gel (Setiani, 2007). Hidayat et al. (2006) menyatakan bahwa nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada permukaan media fermentasi air kelapa dan beberapa sari buah masam. Sedangkan menurut Alaban (1961) nata adalah selulosa bakteri dengan tekstur agak kenyal padat dan mempunyai konsistensi yang tegas dan kokoh, hasil sintesa gula oleh A. xylinum dan berwarna putih dan transparan. Nata dapat dibuat dari air kelapa, nenas, whey susu, whey tahu, tomat, lidah buaya, rumput laut, ubi, dll. Nama dagang nata mengacu pada bahan baku yang digunakan (Saragih, 2004). Pemberian nama disesuaikan dengan bahan media
5
fermentasinya, seperti nata de coco untuk produk dari air kelapa, nata de pina dari limbah nenas, nata de soya dari limbah tahu dan dari limbah keju dikenal dengan nama nata de whey, nata de aloe dari lidah buaya, nata de tomato dari tomat, nata de gracillaria dari bahan dasar rumput laut (Suryani et al., 2007). Keberhasilan pembentukan nata dipengaruhi dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrisik berupa kemampuan hidup (viabilitas) A. xylinum dalam mengubah glukosa menjadi selulosa, pH, sumber nitrogen dan sumber karbon (Pambayun, 2006). Faktor ekstrinsik berupa kondisi fermentasi (suhu dan kelembapan) suhu optimum A.xylinum 28 °C, lama fermentasi, ketinggian media dalam wadah, luas permukaan wadah, ukuran wadah dan kebersihan lingkungan fermentasi. Semakin tinggi media dan semakin lama waktu inkubasi akan menghasilkan nata yang tebal (Darmajana, 2004). Kondisi optimum untuk memproduksi nata dari air kelapa tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Kondisi Optimum untuk Memproduksi Nata pada Media Air Kelapa Parameter
Alaban (1961)
Lapuz et al. (1967)
Sumber karbon
Sukrosa (5-8%)
Glukosa dan sukrosa (5%)
Sumber nitrogen
Nitrogen organik
Amonium fosfat
Keasaman (pH)
4–5
5,0 – 5,5
Suhu
28 – 32OC
28OC
Asam cuka glacial
2 – 4%
-
Starter
10 – 20%
-
Lama inkubasi
15 hari
15 hari
Menurut Moat dan Foster (1988), pembentukan selulosa oleh A. xylinum memerlukan gula sebagai unsur utama, protein dan lemak sebagai senyawa perantara, serta mineral sebagai penstimulasi dalam pembentukan selulosa. Nata tergolong sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet karena nilai gizi produk ini sangat rendah. Selain itu nata juga mengandung serat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologis sehingga dapat memperlancar pencernaan. Nata mengandung kalori yang rendah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes (Hidayat et al., 2006).
6
Badan Standarisasi Nasional 01-4317-1996 menetapkan kriteria-kriteria mutu yang harus dipenuhi dalam produksi nata dalam kemasan sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Standar Mutu Produk Nata dalam Kemasan No 1
Komponen
Satuan
Persyaratan
Keadaan -
Bau
-
Normal
-
Rasa
-
Normal
-
Warna
-
Normal
2
Bobot tuntas
%
Min.50
3
Jumlah gula (dihitung sebagai sukrosa)
%
Min. 15
4
Serat makanan
%
Maks. 4,5
5
Pewarna tambahan
Sesuai SNI 01-0222-1995
6
Pengawet
Sesuai SNI 01-0222-1995
Sumber : SNI 01-4317-1996
Nata dipercaya dapat mencegah tubuh dari serangan kanker kolon karena erat kaitannya dengan sifat kimianya yaitu makanan berserat tinggi dan rendah kalori serta ampuh melangsingakan tubuh. Konsumsi serat yang teratur dan seimbang setiap hari di kolon akan difermentasi oleh bakteri kolon yang baik menjadi asam lemak rantai pendek yang berfungsi sebagai anti kanker, asam lemak ini akan mengikat asam empedu yang bersifat karsiogenik dan selanjutnya asam ini akan dibuang bersamaan dengan feses (Metcalfe, 1994). Panen nata dilakukan setelah 14 hari fermentasi. Hasbullah (2001) menyatakan bahwa nata akan mengalami kerusakan oleh mikroba pencemar jika fermentasi tetap dilanjutkan setelah batas akhir waktu optimum pertumbuhan nata. Bahan Pembuatan Nata Media Madu afkir. Madu afkir adalah madu yang telah menurun kualitasnya baik dari segi fisik dan kimia. Penurunan kualitas madu disebabkan adanya rekasi biokimia oleh mikroorganisme pada
madu seperti Zygosaccharomyces dan
penyimpanan madu yang sangat lama dengan kondisi suhu penyimpanan yang tidak terkontrol. Semakin panas suhu penyimpanan maka kadar hidoksimetifurfural (HMF) 7
meningkat (Damanhuri, 2005). Winarno (1982) menyatakan bahwa kadar HMF dapat menjadi indikator kerusakan madu oleh pemanasan yang berlebihan atau karena pemalsuan dengan gula invert. Semakin lama penyimpanan madu semakin tinggi kadar HMF madu tetapi kenaikan kadar HMF tergantung pada suhu penyimpanan. Air Kelapa. Air kelapa adalah bagian dari buah kelapa yang dihasilkan dari endosperma cair. Air kelapa yag berupa cairan jernih mengisi kurang lebih tiga per empat bagian rongga sebelah dalam buah kelapa (Freemond dan Ziller, 1996). Jumlah air kelapa yang terkandung di dalam satu buah kelapa tua sekitar 300 ml yang dipengaruhi oleh ukuran kelapa, varietas, kematangan dan kesegaran kelapa (Tenda, 1992). Air kelapa matang mempunyai nilai pH
4,88 ± 0,05 dengan Aw 0,995 ±
0,003 (Walter et al., 2009). Nilai pH akan menurun selama Berdasarkan penelitian Mashudi (1993),
penyimpanan.
penundaan penggunaan air kelapa
berpengaruh terhadap mutu nata de coco yang dihasilkan. Penundaan pemakaian air kelapa lebih dari sembilan hari sudah tidak dapat menghasilkan nata sedangkan bila kurang dari sembilan hari masih memungkinkan menghasilkan nata tetapi sudah berkurang kualitasnya dibandingkan air kelapa segar. Hal ini diduga karena air yang telah ditunda terlalu lama komposisinya sudah banyak berkurang akibat telah mengalami fermentasi yang mengkontaminasi air kelapa. Selain itu air kelapa yang penggunaannya ditunda lama, pHnya akan semakin turun sehingga berada diluar selang yang memungkinkan A. xylinum untuk dapat hidup. Whey. Whey merupakan produk samping pembuatan keju yang masih mengandung komponen nutrisi berupa protein, laktosa dan mineral (Scott, 1986). Whey memiliki warna kuning kehijauan yang berasal dari riboflavin yakni pigmen yang larut dalam air yang terdapat dalam susu. Komposisi utama whey berupa laktosa (4-7%) dan protein (0,6-1,0%). Komposisi lainnya seperti, -laktalbumin, βlaktoglobulin dan mineral (Marshall, 2004). Media pembuatan nata tidak hanya dari air kelapa, whey sebagai hasil ikutan pengolahan keju juga dapat menghasilkan nata apabila difermentasikan dengan A. xylinum. Menurut Yoneda (2003), pemanfaatan whey melalui proses fermentasi
8
dengan starter A. xylinum dapat menghasilkan nata de whey.
Perbandingan
komposisi antara whey dan air kelapa dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Whey dan Air Kelapa Komponen
Whey
Air Kelapa *
Whey **
----------------------------( % )--------------------------Air
93
91.23
94,35
Lemak
0,36
0.15
0,11
Abu/mineral
0,53
1.06
0,54
Protein
0,85
0.29
0,49
Gula pereduksi
-
2,08
1,15
Laktosa
5
-
-
Sumber : Pescuma et al. (2008), * Woodroof (1979), ** Walstra dan Jennes (1984)
Whey dapat digolongkan menjadi beberapa jenis asam atau enzim yang digunakan dalam pembuatan keju. Whey manis diperoleh dari metode koagulasi yang menggunakan enzim sedangkan whey asam diperoleh dari metode koagulasi yang menggunakan asam Starter Nata (Acetobacter xylinum) Starter merupakan syarat terpenting pada proses fermentasi. Demikian pula dengan pembuatan nata de madoe, penggunaan starter merupakan syarat mutlak. Starter adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi dengan kriteria sehat dan aktif, sifat yang sesuai, digunakan dalam jumlah rendah dibandingkan jumlah medium fermentasi dan bebas kontaminasi. Pembuatan nata de madoe menggunakan starter A. xylinum. Bakteri A. xylinum termasuk golongan acetobacter yang mempunyai ciri-ciri antara lain Gram negatif, berbentuk batang pada media asam, berbentuk kapsul pada media basa, panjang 2-10µm, lebar 0,5-1,0µm, obligat aerobik, nonmotil. Acetobacter xylinum tidak berspora, membentuk asam dari glukosa, mampu mengoksidasi asam asetat, dapat membentuk rantai ataupun tunggal, membentuk lendir yang menyelubungi sel dan tumbuh pada permukaan medium (Lapuz et al., 1967). Acetobacter xylinum tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi H2S, tidak dapat hidup pada suhu 65-70 °C A. xylinum karena berada pada zona
9
suhu kematian (thermal death point) (Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat, 2002). Acetobacter xylinium memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan spesies lain, seperti: A. aceti, A. orleanensis dan A. liquefaciens. Acetobacter xylinum memiliki kelebihan dari spesies acetobacter lainnya yaitu jika ditumbuhkan pada media yang mengandung gula maka bakteri ini akan memecah gula untuk mensintesa suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (Brown, 1996). Thimann (1964) menyatakan bahwa A.
xylinum jika ditumbuhkan pada
media yang mengandung gula, dapat mengubah sampai 19% gula menjadi selulosa. A. xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang tersedia dalam media dan dapat membentuk suatu lapisan yang mengambang di permukaan substrat. Acetobacter
xylinum
dapat membentuk suatu lapisan yang mencapai beberapa
sentimeter pada permukaan substrat cair tempat hidupnya, bakteri itu sendiri terperangkap di dalam massa fibril yang dibuatnya. Selulosa yang dihasilkan A. xylinum berbeda dengan selulosa yang dihasilkan tumbuhan. Selulosa dari A. xylinum merupakan selulosa murni tanpa ada campuran hemiselulosa, pektin dan lignin (Backdahl et al., 2006). Selulosa pada tumbuhan merupakan sintesis selulosa dengan glukosa-diphospat sedangkan
selulosa yang
dibentuk oleh A. xylinum merupakan sintesis selulosa dengan urasil diphospat. Pembentukan selulosa oleh A. xylinum
memerlukan gula sebagai unsur
utama, protein dan lemak sebagai senyawa perantara, serta mineral sebagai penstimulasi dalam pembentukan selulosa (Moat dan Foster, 1988). Keshk dan Someshima (2006) menyatakan selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum mempunyai kapasitas penyerapan air yang tinggi. Selulosa yang dihasilkan A. xylinum dibentuk dari glukosa menjadi glukosa 6-fosfat (Glu6P)
dengan bantuan enzim glukokinase, Glu6P diubah menjadi
glukosa-1-phospat (Glu1P) dengan enzim fosfoglukomutase, selanjutnya dengan bantuan enzim uridil transferas diubah menjadi uridin-5 diphospat glukosa (UDP5Glu) sehingga terbentuklah selulosa dengan bantuan enzim sintetase selulosa dalam mengubah UDP-5Glu menjadi 1,4-β-D glukosil transferase (Masaoka et al., 1993).
10
Mekanisme pembentukan selulosa yang dihasilkan A. xylinum dapat dilihat pada Gambar 1. Glukosa
ATP
Glu-6P
ADP (fosfoglukomutase)
Glu-1P
UTP
UDP-5Glu
P
Senyawa perantara (rantai lipid dan rantai protein) Selulosa (β-1, 4-D-Glu)n Gambar 1. Mekanisme Pembentukan Selulosa oleh Acetobacter xylinum (Moat dan Foster, 1998) Kondisi optimum untuk memproduksi nata pada media air kelapa membutuhkan starter A. xylinum sebanyak 10-20% (Alaban, 1961). Isti (2005) menyatakan bahwa kondisi optimum untuk memproduksi nata rumput laut. membutuhkan starter A. xylinum sebanyak 10%. Nilai pH medium pertumbuhan A. xylinum merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk.
Nilai pH
optimum untuk pertumbuhan A. xylinum adalah 5,4-6,3 (Pambayun, 2006). Hasil penelitian Embuscado et al. (1994) menemukan bahwa
hasil selulosa tertinggi
diperoleh pada pH 4,5 sedangkan menurut Masaoka et al. (1993) pH optimum untuk produksi selulosa adalah 4,0-6,0. Jumlah populasi starter
A. xylinum juga menetukan kualitas nata yang
dihasilkan. Jumlah bakteri yang dibutuhkan dalam pembuatan produk fermentasi yaitu 1,0 x 108 cfu/ml (Makinen dan Bigret, 1998). Saxenaa (2001) menyatakan bahwa starter dengan jumlah koloni 5,5 x 105 cfu/ml telah cukup untuk menumbuhkan nata dengan ketebalan 0,8 cm. Pertumbuhan A. xylinum diawali dengan timbulnya kekeruhan setelah fermentasi 24 jam pada suhu kamar. Di permukaan medium akan terbentuk suatu lapisan tembus cahaya setelah 36 sampai 48 jam fermentasi dan akan menebal secara
11
bertahap dan lapisannya akan lebih kompak. Apabila lapisan diganggu dengan guncangan maka lapisan akan terlepas dari dinding wadah fermentasi dan akan tenggelam, kemudian akan terbentuk lapisan baru pada permukaan media. Amonium Sulfat Amonium sulfat merupakan pupuk buatan berbentuk kristal dengan rumus kimia (NH4)2SO4 yang mengandung unsur hara nitrogen dan belerang, yang juga disebut sebagai pupuk Zwavelzuur Ammoniak (ZA). Indrarti dan Rahmi (2008) menyatakan bahwa amonium sulfat adalah sumber nutrisi yang diperlukan bakteri dalam proses fermentasi untuk membentuk selulosa. Amonium sulfat bersifat tidak higroskopis dan baru akan menyerap air bila kelembapan nisbi mencapai 80% pada suhu 30 °C.
Amonium sulfat sangat
membantu pertumbuhan A. xylinum pada proses pembuatan nata. Kandungan nitrogen dalam SNI 02-1760.2005 minimal 20,8%. Kandungan Nitrogen yang tinggi dapat dimanfaatkan A. xylinum untuk bertahan hidup dan mampu merombak gula menjadi selulosa lebih banyak. Menurut Wijaningsih (1999), ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen akan dipecah menjadi komponen yang lebih sederhana dan melalui transformasi aktif komponen ini akan masuk ke dalam sel untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar untuk biosintesis protein, sehinggga pertumbuhan dan perkembangan A. xylinum dapat dipercepat. Penambahan amonium sulfat juga meningkatkan jumlah polisakarida yang terbentuk, merangsang aktivitas bakteri dalam mensintesis bioselulosa (selulosa yang dihasilkan dari bakteri), meningkatkan rendemen bioselulosa serta meningkatkan kekuatan tarik dan modulus elastisitas bioselulosa. Semakin meningkatnya kerapatan dari serat-serat selulosa dapat meningkatkan interaksi fibril selulosa yang terbentuk sehingga menghasilkan ikatan hidrogen intra dan interfibrilar yang kuat dan akan memberikan peningkatan sifat mekaniknya. Penambahan ammonium sulfat ini harus terkontrol karena apabila penggunaan amonium sulfat yang berlebihan akan menurunkan pH secara drastis sehingga menyebabkan kondisi fermentasi menjadi terlalu asam dan rendemen nata yang dihasilkan juga menurun (Rosario, 1978). Berbagai penelitian menyatakan bahwa persentase kadar penambahan amonium sulfat sebesar 0,5%. Berdasarkan hasil penelitian Setiani (2007) penambahan amonium sulfat 0,5% (w/v) menghasilkan rendemen dan ketebalan nata
12
gracilaria sp (nata rumput laut) tertinggi, dengan rendemen 43,80% dan ketebalan 1,97cm. Indrarti dan Rahmi (2008) juga menyatakan dalam penelitiannya menggunakan amonium sulfat 0,5%
untuk pertumbuhan dan sifat mekanik
bioselulosa dengan medium kulit pisang, ketebalan bioselulosa yang diperoleh sebesar 2,2 cm dan rendemen bioselulosa sebesar 57,15%. Ketebalan nata tertinggi dihasilkan oleh nata dengan penambahan ammonium sulfat 0,45%-0,5% (Jaganath et al., 2008). Nata dengan amonium sulfat
sebagai sumber nitrogen sebenarnya tidak
terlalu membahayakan karena ketika sudah menjadi nata, amonium sulfat tidak lagi berbentuk amonium sulfat. Unsur nitrogen yang terdapat pada amonium sulfat telah difermentasi oleh A. xylinum (Kholifa, 2010). Serat Makanan Serat kasar berbeda dengan serat makanan. Serat kasar adalah komponen sisa hasil hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam kuat selanjutnya dihidrolisis dengan basa kuat sehingga terjadi kehilangan selulosa sekitar 50% dan hemiselulosa 85%. Sementara itu serat makanan adalah bahan makanan yang meliputi semua jenis polisakarida dan lignin serta beberapa jenis oligosakarida yang tahan terhadap yang enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi satu atau lebih fungsi tubuh sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Diplock et al., 1999). Polisakarida terdiri atas polisakarida yang dapat dicerna dan tidak dapat dicerna. Polisakarida yang dapat dicerna biasanya terdapat pada pati dan beberapa jenis glikogen dalam daging. Polisakarida yang tidak dapat dicerna pada umumnya berupa pembentuk tekstur dalam bahan pangan, khususnya pangan nabati (Winarno, 2008). Beberapa contoh polisakarida yang tidak dapat dicerna antara lain selulosa, hemiselulosa dan inulin. Selulosa merupakan polimer rantai lurus dari glukosa dengan ikatan β (1-4) yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim amilase.
Meskipun selulosa bersifat
resistan terhadap pencernaan manusi, bakteri yang terdapat pada usus besar mampu memetabolisme serat dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (asam asetat, propionate dan butirat) sebagai metabolit. Ikatan β (1-4) antar unit glukosa pada selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
13
Gambar 2. Ikatan β (1-4) antar Unit Glukosa pada Selulosa (Jalili et al., 2001) Serat makanan tidak dapat dicerna oleh enzim manusia, tetapi sebagian komponen serat larut air dapat difermentasi oleh bakteri usus menghasilkan produk yang dapat diserap dan dimetabolis menjadi energi (Bender, 2003). Serat makanan tidak tercerna dapat memperbesar volume feses dan menimbulkan efek laksatif serta mempercepat pembuangan feses sehingga mengurangi resiko pembentukan kanker kolon. Sistem Notasi Warna Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik dan objektif untuk menyatakan atau mendeskripsikan suatu jenis warna. Sistem notasi warna ini dinyatakan dalam notasi (simbol) huruf atau angka. Banyak sistem notasi warna yang telah dikembangkan diantaranya, yaitu sistem notasi International Commision on Illumination (I.C.I), sistem notasi Munsel dan sistem notasi Hunter (Andarwulan, 2011). Sistem notasi I.C.I didasarkan pada prinsip bahwa semua jenis warna dapat dibentuk dari tiga warna dasar, yaitu merah (λ = 720 nm), hijau (λ = 520 nm) dan biru (λ = 380 nm). Sistem notasi Munsel pengukuran warna didasarkan
pada
pengamatan warna secara subjektif, dimana notasi warna didasarkan pada tiga atribut subjektif warna, yaitu warna kromatik (hue), kecerahan (value) dan intensitas warna (chroma atau saturation). Warna kromatik meliputi warna monokromatik yang terdiri dari warna pelangi dan warna campurannya, seperti warna ungu-merah, ungu-biru, hijau mudah, biru muda dan lain-lain. Kecerahan (value) menyatakan warna akromatik yang berkisar dari warna hitam pekat sampai putih bersih. Nilai intensitas warna (chroma) berkisar dari nilai tidak berwarna sampai warna penuh (Andarwulan, 2011). 14
Sistem notasi Hunter dikembangkan oleh Hunter pada tahun 1952. Sistem notasi warna Hunter dicirikan dengan tiga parameter warna, yaitu warna kromatik (hue) yang ditulis dengan notasi a, intensitas warna dengan notasi b dan kecerahan dengan notasi L. Notasi L menyatakan parameter kecerahan (lightness) dari hitam (0) sampai putih (100). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik puith, abu-abu dan hitam (Andarwulan, 2011). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah, nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 dampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Berdasarkan nilai a dan b dapat dihitung derajat Hue dengan rumus sebagai berikut : °Hue = tan -1 Kategori Warna Menurut Kisaran Nilai °Hue dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kategori Warna Menurut Kisaran Nilai °Hue Warna
Kisaran nilai °Hue
Merah-ungu
342 – 18
Merah
18 – 54
Kuning – merah
54 – 90
Kuning
90 – 126
Kuning – hijau
126 – 162
Hijau
162 – 198
Hijau – biru
198 – 234
Biru
234 – 270
Biru – ungu
270 – 306
Ungu
306 – 342
Sumber : Hutching (1999)
Pengukuran warna dengan sistem notasi warna Hunter dilakukan secara objektif menggunakan kolorimeter fotoelektrik yang disebut dengan kolorimeter Hunter. Pengukuran warna dengan sistem ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu pengukuran dapat dilakukan secara objektif, prosedur pengukuran cepat dan
15
mudah, notasinya dapat diterjemahkan atau dikonversikan dengan sistem notasi lain, seperti I.C.I dan alat pengukur warna relatif sederhana sehingga harganya relatif rendah. Penilaian Sensori Cara penilaian suatu bahan pangan dibagi menjadi dua cara yaitu secara objektif dan subjektif. Pengujian objektif merupakan suatu pengujian menggunakan alat atau instrument dan faktor manusia dapat diabaikan, sehingga pengukurannya lebih objektif. Pengujian secara subjektif (uji organoleptik) adalah pengujian dengan bantuan panca indera manusia untuk menilai karakteristik mutu yang bertujuan mengetahui sifat-sifat cita rasa makanan serta daya terima terhadap masyarakat. Pengujian secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik (Damayanthi dan Mudjajanto, 1998). Warna. Warna faktor utama yang sangat menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual. Penerimaan warna suatu bahan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis dan aspek sosial masyarakat penerima. Warna dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan (Winarno, 2008). Warna dapat berasal dari pigmen alami bahan pangan itu sendiri, reaksi Maillard, reaksi karamelisasi, reaksi senyawa organik dengan udara dan penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik. Rasa. Tekstur dan konsistensi suatu bahan pangan akan mempengaruhi cita rasa yang timbul. Perubahan tekstur dan konsistensi bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap olfaktori dan kelenjar air liur. Gerakan lidah akan mempercepat timbulnya respon terhadap rasa. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interakasi dengan komponen rasa lain (Winarno, 2008). Aroma. Indera pembau berfungsi untuk menilai aroma suatu produk atau komoditi baik berupa pangan maupun nonpangan. Kepekaan pembauan lebih tinggi dari pencicipan. Aroma atau bau dapat dikenali apabila berbetuk uap dan molekulmolekul baunya menyentuh silia sel olfaktori dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori sehingga bau dapat dideteksi (Winarno, 2008).
16
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juni 2012, di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Research, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan analisis serat makanan dilaksanakan di Balai Besar Industri Agro. Materi Bahan yang digunakan untuk pembuatan nata de madoe adalah madu hutan afkir, madu segar, whey, air kelapa, starter A. xylinum diperoleh dari pabrik nata de coco Ciampea, amonium sulfat,
akuades, H2SO4, NaOH, HCl, MRSA, NaCl
NaHSO3, Zn(CH3COO)).2H2O dan K4Fe(CN)6.3H2O Peralatan yang digunakan dibagi atas dua bagian, yaitu: peralatan dalam proses pengolahan (loyang plastik segi empat, kain saring, aluminium foil, plastik wrap, gelas ukur, laminar air flow, stirrer, mikropipet, timbangan,
hotplate,
pengaduk, termometer dan panci) dan peralatan untuk pengujian analisis (pH meter, hand refractometer, gelas ukur, jangka sorong, penetrometer, chromameter, tabung reaksi, cawan porselin, cawan aluminium, labu Kjedhal, labu Erlemeyer, vortex dan spektrofotometer ). Peralatan untuk uji organoleptik adalah form uji hedonik, gelas dan sendok. Prosedur Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari madu afkir, memeriksa kemurnian dan viabilitas starter A. xylinum konsentrasi gula yang tepat
dan menentukan
dengan cara pengenceran sebagai media untuk
pembuatan nata de madoe. Hasil terbaik dari penelitian pendahuluan ini akan digunakan dalam penelitian lanjutan. Sifat kimia madu hutan afkir yaitu kadar gula, nilai pH, kadar air, abu dan hidroksimetilfurfural.
17
Sifat Kimia Madu Hutan Afkir Kadar gula madu afkir (Badan standardisasi nasional, 2006). Kadar gula madu afkir diukur dengan menggunakan hand refractometer. Air diteteskan satu tetes di atas prisma refraktometer untuk menentukan titik nol atau digunakan sebagai koreksi. Madu hutan afkir diteteskan di permukaan prisma hand refraktrometer. Jangan sampai terbentuk gelembung. Prisma ditutup kemudian hasilnya dilihat di hand refractrometer. Nilai pH (Badan standardisasi nasional, 1992). Sampel madu hutan afkir sebanyak 10 ml disiapkan dalam wadah. pH meter dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dilap dengan tisu, selanjutnya dicelupkan ke dalam sampel madu hutan afkir. Nilai pH ditentukan setelah pH meter menunjukkan angka yang stabil. Kadar air (Association of official analytical chemist, 1999). Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung di dalam satu satuan nata de madoe yang dinyatakan dalam persen. Analisis kadar air pada prinsipnya menguapkan air yang terkandung dalam bahan dengan cara pengeringan oven pada suhu 105 °C sampai diperoleh berat yang tetap. Prosedur kerja analisis kadar air sebagai berikut: cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu 105 °C selama satu jam. Cawan didinginkan di desikator dan ditimbang. Nata de madoe dihancurkan dan diambil sampel lima gram dan ditempatkan pada cawan. Cawan yang berisi sampel nata dimasukkan ke oven bersuhu 105
O
C selama tiga jam. Cawan didinginkan di
desikator lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar air =
x 100%
Keterangan : a = berat sampel (g) b = berat sampel kering + cawan (g) c = berat cawan kosong (g)
18
Kadar Abu (Association of official analytical chemist, 1999). Kadar abu merupakan jumlah residu anorganik yang terkandung dalam satu satuan berat nata. Kadar abu nata de madoe diperoleh dengan cara sebagai berikut: cawan porselen dibakar dalam tanur kemudian didinginkan dalam deksikator dan ditimbang. Nata dihaluskan kemudian ditimbang tiga gram dan diletakkan dalam cawan porselen tersebut. Cawan dibakar di kasa pembakar Bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 550 oC. Pengabuan dilakukan sampai berat cawan konstan selama ± 12 jam. Cawan didinginkan di desikator selama 30 menit lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus: Kadar abu =
x 100%
Keterangan : W
= bobot contoh sebelum diabukan (g)
W1
= bobot contoh + cawan sesudah diabukan (g)
W2
= bobot cawan (g) Kadar Hidroksimetilfurfural (Badan standardisasi nasional, 2004). Kadar
Hidroksimetil-furfural (HMF) diukur dengan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 284 nm dan 336 nm. Tahap pertama, larutan Carez I (15 g ferosianida K4Fe(CN)6.3H2O dilarutkan dengan akuades dan diencerkan sampai 100 ml) dan laruran Carez II (30g seng asetat Zn(CH3COO)).2H2O dilarutkan dengan akuades dan diencerkan sampai 100 ml) dipersiapkan. Sebanyak lima gram sampel madu ditimbang dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditambahkan akuades sampai larutan dalam labu ukur mencapai kurang lebih 25 ml. Sebanyak 0,5 ml Larutan Carez I ditambahkan ke dalam labu ukur kemudian diaduk. Tahap selanjutnya larutan Carez II ditambahkan ke dalam labu ukur kemudian diaduk kembali. Volume campuran ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades, kemudian disaring dengan kertas saring abu. Filtrat hasil penyaringan dipipet lima ml ke dalam dua tabung reaksi berukuran 18 x 150 ml. Tabung pertama ditambahkan lima ml akuades, sedangkan tabung kedua (pembanding) ditambahkan lima ml NaHSO3 0,2%. Campuran diaduk rata dengan menggunakan vortex. Tahap berikutnya sampel diukur absorbannya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 284 nm dan 336 nm dengan sel satu cm. Apabila absorbansi lebih tinggi dari 0,6 larutan sampel 19
diencerkan dengan akuades dan larutan standar NaHSO3 0,1%. Perhitungan kadar HMF dirumuskan sebagai berikut : Kadar HMF = (A284 –A336) x 14,97 x 5 / berat sampel Keterangan : A284 = absorbansi pada 284 nm A336 = absorbansi pada 336 nm 14,97 = faktor koreksi Kemurnian dan Viabilitas Agustrianingsih, 2007)
Starter
Acetobacter
xylinum
(modifikasi
Pemeriksaan kemurnian dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopis dengan bantuan pewarnaan Gram untuk pengamatan morfologi starter yang digunakan. Pemeriksaan kemurnian starter bertujuan untuk menghindari kontaminasi yang berasal dari lingkungan. Pemeriksaan kemurnian starter A. xylinum, terlebih dahulu ditumbuhkan pada media de-Man Rogosa Sharp Agar (MRSA) kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam (Gambar 3).
Object glass terlebih dahulu
difiksasi di atas Bunsen, kemudian isolat A. xylinum diambil dari media MRSA dengan menggunakan ose steril diletakkan pada Object glass lalu dihomogenkan dengan akuades satu tetes, selanjutnya difiksasi di atas api atau di udara sampai kering. Zat warna pertama yang diberikan adalalah Gentiant violet yang ditambah dengan zat warna Lugol masing-masing selama satu menit lalu dicuci dengan air mengalir. Setelah itu diberikan Aseton alkohol selama 20 detik dan segera dicuci dengan air mengalir. Zat warna terakhir yakni Safranin yang diberikan selama satu menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di udara. Selanjutnya di amati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali dan menggunakan minyak emersi.
Gambar 3. Acetobacter xylinum yang Digores pada Media MRSA
20
Pemeriksaan viabilitas starter dilakukan dengan cara menghitung jumlah populasi starter kerja yang akan digunakan dalam penelitian dengan metode spread plate. Pengenceran tujuh kali dilakukan untuk setiap satu ml sampel starter A. xylinum. Perhitungan cawan dimulai dari pengenceran ke tiga sampai pengenceran ke tujuh. Satu ml dari setiap pengenceran dipipet dan dituangkan ke cawan petri yang telah disterilkan secara duplo. Lima belas ml MRSA dituangkan ke cawan petri, dihomogenkan dengan gerakan angka delapan dan dibiarkan selama 15 menit sampai media mengeras. Cawan petri kemudian dibalikkan dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Populasi starter harus memenuhi syarat minimal jumlah bakteri dalam pembuatan produk fermentasi, yaitu 1,0 x 108 cfu/ml (Makinen dan Bigret, 1998). Pengenceran Madu Afkir (Chemistry, 2011) Pengenceran dilakukan untuk memperoleh kadar gula terbaik yang mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum. Perhitungan pengenceran kadar gula total 15%, 20% dan 25% diperoleh dengan rumus: V1 x M1 = V2 x M2 Keterangan : V1 = volume madu afkir (ml) M1 = kadar gula yang diketahui (72%) V2 = volume pengencer (100ml) M2 = kadar gula (15%, 20%, 25%) Pembuatan nata de madoe dilakukan sesuai Gambar 4. Proses pembuatan nata de madoe pada penelitian pendahuluan ini diawali dengan penyaringan madu hutan afkir. Madu diencerkan dengan akuades hingga kadar gula sebesar 15%, 20% dan 25% kemudian diautoclave pada suhu 115 °C selama tiga menit. Madu yang telah disterilkan dituang ke wadah fermentasi yang juga telah disterilkan dan didinginkan pada suhu berkisar 28-32 °C. Starter A. xylinum diinokulasi sebanyak 10% dan ditambahkan amonium sulfat 0,5%. Larutan madu hutan afkir difermentasi selama 14 hari kemudian nata de madoe dipanen dan dihitung persentase rendemennya dengan cara berikut: Rendemen =
x 100%
21
Gambar 4. Proses Pembuatan Nata de Madoe pada Penelitian Pendahuluan Hasil nata terbaik diperoleh dari nilai rendemen tertingi. Hasil rendemen nata yang terbaik dari ketiga pengenceran digunakan sebagai bahan untuk penelitian lanjutan. Penelitian Utama Pembuatan nata de madoe menggunakan pengenceran yang terbaik dari penelitian pendahuluan. Proses pembuatan nata de madoe pada penelitian utama hampir sama dengan penelitian pendahuluan. Namun media fermentasi yang digunakan berbeda, yaitu: madu hutan afkir, madu hutan afkir ditambah whey, madu hutan afkir ditambah air kelapa, madu hutan afkir ditambah whey dan air kelapa dan madu segar sebagai kontrol. Ratio perbandingan media fermentasi diperoleh dari hasil try and error sebelum penelitian lanjutan ini, yakni: madu hutan afkir ditambah whey (2:1) v/v , madu afkir ditambah air kelapa (2:1) v/v dan madu hutan afkir ditambah whey dan air kelapa (3:1,5:1) v/v. Bagan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
22
Gambar 5. Bagan Penelitian Nata yang dipanen kemudian dicuci dengan air tiga kali kemudian di rebus selama 30 menit dan didiamkan satu malam kemudian dicuci kembali dan direbus selama 15 menit tanpa menggunakan penutup agar aroma asam dari nata terlepas ke udara bebas. Nata de madoe yang dihasilkan diuji sifat fisik, sifat kimia dan tingkat kesukaannya.
Nata de madoe yang diuji tingkat kesukaanya terlebih dahulu
direndam pada larutan madu berkadar gula 15% dan 20% sehingga nata yang diuji tidak terasa hambar. Rancangan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap
(RAL) dengan tiga kali pengulangan. Perlakuan yang diberikan adalah media fermentasi yang berbeda yaitu madu hutan afkir, madu hutan afkir ditambah whey, madu hutan afkir ditambah air kelapa dan madu hutan afkir ditambah whey dan air kelapa terhadap rendemen nata de madoe. Media fermentasi madu segar dijadikan sebagai kontrol.
23
Model matematikanya menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut: Yij = µ + αi + εij Keterangan : Yij µ αi εij i j
= Nilai Pengamatan rendemen nata de madoe dengan media fermentasi ke-i pada ulangan ke-j = Nilai rataan dari rendemen nata de madoe = Pengaruh media fermentasi pada taraf ke-i = Pengaruh galat percobaan dengan media fermentasi pada taraf ke-i dan ulangan ke-j. = 1, 2, 3, 4 = 1, 2, 3 Data sifat fisik dianalisis dengan analisis keragaman dan perlakuan yang
berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Tukey untuk melihat perbedaan di antara perlakuan. Analisis nonparametrik dilakukan terhadap hasil uji sensori dengan menggunakan adalah Kruskal Wallis (Steel dan Torrie, 1995). H
=
H’
=
Pembagi
=1
∑
∑
Keterangan : ni = jumlah pengamatan n = total data Ri = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i T = jumlah pengamatan seri dalam ulangan H = statistik Kruskal-Wallis H’ = H terkoreksi Apabila hasil analisis Kruskal Wallis berpengaruh nyata dilakukan uji perbandingan (Multiple Comparison) untuk melihat perbedaan di antara perlakuan, yaitu dengan rumus (Steel dan Torrie, 1995) : Ri – Rj > < Z
/2p
Keterangan : Ri = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j k = jumlah perlakuan N = jumlah total data yang dibandingkan 24
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati meliputi : (a) karakteristik fisik yaitu rendemen, ketebalan, kekenyalan dan warna, (b) karakteristik kimia meliputi kadar air, kadar abu, serat kasar, protein kasar, lemak kasar, dan serat pangan, (c) tingkat kesukaan. Karakteristik Fisik Rendemen (Association of official analytical chemist, 1999). Rendemen nata adalah berat nata yang dihasilkan dari tiap satuan volume media fermentasi yang digunakan, dinyatakan dalam persen. Rendemen nata ditentukan dengan metode gravimetri dan dinyatakan dalam berat per volume (w/v). Rendemen nata dihitung dengan rumus: Rendemen =
x 100%
Ketebalan ( Modifikasi dari Yoneda, 2003). Ketebalan adalah rataan tebal nata yang diperoleh dari hasil perubahan glukosa menjadi selulosa oleh A. xylinum. Ketebalan nata diukur pada lima tempat yang berbeda yaitu pada masing-masing ujung segiempat dan bagian tengahnya.dengan menggunakan jangka sorong digital ditusukkan pada permukaan hingga mencapai dasar nata. Angka yang ditunjukkan oleh jangka sorong menunjukkan tebal nata. Ketebalan dihitung dengan rumus sebagai beikut : Ketebalan = Keterangan : t (1-5) = tebal Kekenyalan ( Modifikasi dari Yoneda, 2003). Kekenyalan adalah daya tahan nata untuk pecah akibat gaya tekan. Kekenyalan nata diukur dengan menggunakan Penetrometer (Gambar 6). Sampel dipotong kotak dengan ukuran 8x8 cm. Pengukuran kekenyalan dilakukan dengan menusukkan jarum penetrometer ke nata.
Gambar 6. Penetrometer 25
Kekenyalan nata diperoleh dari rata-rata penusukan pada lima tempat yang berbeda.
Angka yang ditunjukkan oleh jarum Penetrometer menunjukkan
kekenyalan nata. Satuan pengukuran dinyatakan dalam mm/detik dari berat yang diberikan. Kekenyalan dihitung dengan rumus sebagai beikut : Kekenyalan = Keterangan : k (1-5) = kekenyalan nata Warna (Hutching, 1999). Warna adalah
kesan yang diperoleh mata dari
cahaya yang dipantulkan oleh nata. Analisis warna dilakukan dengan menggunakan sistem notasi warna Hunter dengan alat Chromameter Minolta CR-310 (Gambar 7). Chromameter dikalibrasi terlebih dahulu mengunakan pelat standar warna putih (L=97,15; a=5,35; b=3,37) kemudian dilanjutkan dengan pengukuran warna sampel. Sistem warna yang digunakan adalah sistem L, a, b.
Gambar 7. Chromameter Minolta CR-310 Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, kemudian ditekan tombol start maka akan diperoleh nilai L, a dan b dari sampel. Hasil pengukuran dikonversi ke dalam sistem Hunter dengan notasi L menyatakan parameter kecerahan dari hitam (0) sampai putih (100). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah, nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau.
Notasi b menyatakan warna kromatik
campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 dampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Berdasarkan nilai a dan b dapat dihitung derajat Hue dengan rumus sebagai berikut : °Hue = tan -1 Selanjutnya warna produk ditetapkan berdasarkan °Hue yang diperoleh, seperti yang disajikan pada Tabel 6.
26
Karakteristik Kimia Karakteristik kimia meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat pangan. Karakteristik kimia dilakukan secara komposit di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan serta Balai Besar Industri Agro dan dianalisis secara deskriptif. Prinsip kerja kadar air dan kadar abu sama halnya dengan metode kadar air dan kadar abu pada penelitian pendahuluan. Kadar Serat Kasar (Association of official analytical chemist, 1999). Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam dan alkali mendidih, dan terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan pentosan (Apriyantono et al., 1989). Kadar serat kasar diperoleh dengan cara sebagai berikut : sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram dimasukkan ke labu Erlenmyer 500 ml kemudian ditambahkan H2SO4 25 % sebanyak 50 ml dan didihkan selama 30 menit. Campuran tersebut ditambahkan 50 ml larutan NaOH 3,25% kemudian didihkan 30 menit. Campuran disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Endapan pada kertas saring dicuci dengan H2SO4 1,25%, air panas dan etanol 96%, selanjutnya ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105 oC. Endapan dan kertas saring yang telah kering didinginkan dalam desikator selama 30 menit, selanjutnya ditimbang. Kadar serat kasar dapat dihitung dengan rumus : Kadar serat kasar =
x 100%
Keterangan : W = Bobot sampel (g) W1 = Bobot endapan pada kertas saring (g) W2 = Bobot abu (g) Kadar Protein (Association of official analytical chemist, 1999). Protein merupakan molekul polipeptida berukuran besar yang disusun oleh lebih dari 100 buah asam amino yang berikatan satu sama lain secara kovalen dan dalam urutan yang khas yang disebut ikatan peptida. Penetapan protein pada prinsipnya didasarkan oksidasi bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia. Kadar protein diperoleh dengan cara sebagai berikut : Sampel nata de madoe dihaluskan dan diambil sampel lima gram. Sampel dimasukkan ke labu Kjehdal dan ditambahkan 1,9±0,1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2,0 ± 0,1 H2SO4 dan batu didih. Sampel 27
didihkan
sampai
cairan
berwarna
jernih.
Kemudian
didinginkan
dengan
menambahkan sejumlah air secara perlahan-lahan. Sampel pada labu dipindahkan ke alat destilasi. Labu dicuci lima sampai enam kali dengan 1-2 ml air kemudian air cucian tersebut dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml asam sorbat ditambahkan dengan tetes indikator (campuran 2 bagian metilen merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagiam metilen biru 0,2%
dalam alkohol) lalu diletakan di bawah kondensor. Larutan
NaOH-Na2S2O3 ditambahkan 8-10 ml, kemudian destilasi sampai destilat terapung kira-kira 15 ml dalam Erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan air pencucian ditampung dalam Erlenmeyer yang sama.
Isi tabung Erlenmeyer
diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu setelah itu dilakukan penetapan blanko. Kadar protein dihitung dengan rumus : %N=
x 100%
% Protein = % N x FK Keterangan : %N
= kadar nitorgen
FK
= faktor koreksi = 6,25 Kadar Lemak (Association of official analytical chemist, 1999). Kadar lemak
adalah kandungan lemak yang terdapat pada satu satuan nata de madoe dengan cara mengekstrak lemak dengan pelarut dietil eter. Kadar lemak diperoleh dengan cara sebagai berikut: labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet dikeringkan terlebih dahulu dalam oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Lima gram sampel ditimbang dalam selonsong lemak, kemudian ditutup dengan kertas bebas lemak secukupnya. Selongsong yang berisi sampel tersebut diletakkan ke alat ekstraksi Soxhlet, kemudian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut dietil eter dituang ke labu lemak secukupnya, selanjutnya direfluks selama enam jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven
28
pada suhu 105 °C sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, kemudian labu beserta lemak tersebut ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus : Kadar lemak (%) =
x 100%
Keterangan : W
= berat sampel (g)
W1
= berat labu lemak sesudah ekstrasi (g)
W2
= berat lemak sebelum ekstraksi (g) Kadar Serat Makanan (Association of official analytical chemist, 2005). Serat
makanan adalah serat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi satu atau lebih fungsi tubuh sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Diplock et al., 1999). Pengujian kadar serat makanan dilakukan dengan cara sebagai berikut : sampel kering diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu kamar selama 15 menit. Satu gram sampel bebas lemak (w) dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, selanjutnya ditambahkan 25 ml 0,1 M buffer natrium fosfat dan dibuat suspense. Termamyl sebanyak 0,1 ml ditambahkan lalu labu ditutup dengan alufo dan diinkubasi pada suhu 100 ºC selama 15 menit, diangkat dan didinginkan. Sebanyak 20 ml akuades ditambahkan dan pH diatur menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 4M, lalu ditambahkan lagi 100 mg pepsin, labu kembali ditutup, diinkubasi pada suhu 40 ºC dan diagitasi selama 60 menit. Sebanyak
20 ml akuades ditambahkan hingga pH HCl menjadi 4,5, lalu
disaring dengan crucible kering berporositas 2 yang telah ditimbang bobotnya yang mengandung celite kering (bobot diketahui), lalu dicuci dua kali dengan akuades. Residu (Insoluble Dietary Fiber / IDF). Sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105 ºC sampai berat tetap dan ditimbang setelah didinginkan di dalam desikator (D1). Sampel kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 500 ºC selama minimal lima jam dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat (Soluble Dietary Fiber / SDF).
Volume filtrat diatur dengan
akuades sampai dengan 100 ml, ditambahkan dengan 400 ml etanol 95% hangat (60ºC), diendapkan 1 jam, kemudian disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0,5 gram celite kering dan dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%,
29
2x10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105 ºC hingga berat konstan, didinginkan dalam deksikator dan ditimbang (D2). Sampel diabukan dalam tanur 500 ºC selama minimal lima jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2). Serat Makanan (Totan Dietary Fiber / TDF) dan Blanko.
Serat
makanan total (TDF) ditentukan dengan menjumlahkan nilai SDF dan IDF. Nilai blanko (B) untuk IDF dan SDF diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa menggunakan sampel. Nilai IDF (% b/b)
=
x 100%
Nilai SDF (% b/b)
=
Nilai TDF (% b/b)
= Nilai IDF + SDF
x 100%
Penilaian Sensori (Soekarto, 1990) Penilaian sensori terhadap nata de madoe dilakukan dengan menggunakan uji hedonik. Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu uji penerimaan. Uji hedonik dilakukan pada nata de madoe yang memiliki rendemen, ketebalan, kekompakan selulosa yang terbaik dari lima media fermentasi. Nata de madoe terlebih dahulu dicuci dan direbus dua kali. Perebusan pertama selama 30 menit kemudian air rebusan diganti dengan air baru dan didiamkan selama satu malam. Nata kemudian dipotong-potong dengan bentuk kubus dan dilanjutkan kembali perebusan kedua selama 15 menit. Sebelum disajikan ke panelis nata direndam terlebih dahulu dalam larutan madu selama satu hari dengan kadar gula 15% dan 20%. Uji hedonik dilakukan terhadap warna, kekenyalan, aroma, rasa dan kesan secara keseluruhan nata de madoe dengan skala kesukaan 1 sampai 7, yaitu : (1) sangat tidak suka, (2) agak tidak suka, (3) tidak suka, (4) agak suka (5)suka, (6) sangat suka dan (7) amat sangat suka. Panelis yang digunakan sebanyak 44 orang.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Madu afkir sebagai bahan baku yang digunakan adalah madu hutan yang telah ditarik kembali dari pasaran karena telah mengalami perubahan fisik seperti kadar air tinggi, warna berubah menjadi cokelat pekat, viskosistas semakin encer, aroma semakin asam dan rasanya semakin pahit. Madu hutan afkir tersebut tidak banyak dimanfaatkan. Sebagian dari madu tersebut ada yang dikembalikan ke peternak untuk dijadikan lagi sebagai pakan lebah dan sisanya hanya dibiarkan tersimpan di jeriken dan di tumpuk di gudang. Pengujian trial and error dilakuan sebelum penelitian pendahuluan. uji trial and error tersebut menunjukkan bahwa madu dapat dijadikan nata hanya saja perlu ditambahkan nutrisi lain serta keadaan lingkungan harus diperhatikan. Beberapa hasil uji trial and error menghasilkan nata yang terkontaminasi oleh bakteri selain A. xylinum. Hal ini disebabkan lingkungan fermentasi tidak steril, seperti kertas penutup wadah fermentasi tidak disterilkan terlebih dahulu sehingga mikroba dari kertas tersebut mengkontaminasi nata yang dihasilkan, wadah fermentasi hanya disterilkan dengan air panas dalam satu menit. Hal tersebut ternyata tidak maksimal dalam membunuh mikroba patogen. Contoh nata yang terkontaminasi oleh khamir dapat dilihat pada Gambar 8 .
Gambar 8. Nata yang Terkontaminasi Khamir Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari madu afkir, memeriksa kemurnian dan viabilitas starter A. xylinum
dan menentukan
konsentrasi gula yang tepat. Konsentrasi gula yang tepat dilakukan dengan cara pengenceran sebagai media untuk pembuatan nata de madoe.
31
Sifat Kimia Madu Hutan Afkir Madu hutan afkir yang diperoleh untuk bahan baku pembuatan nata de madoe memiliki kadar gula yang cukup tinggi. Kadar gula pada media nata berpotensi sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri A. xylinum. Pembuatan nata pada umumnya menambahkan sukrosa atau glukosa sebagai sumber karbon sedangkan pada nata de madoe tidak diperlukan lagi karena bakteri pembentuk nata dapat memanfaatkan glukosa yang masih banyak terdapat pada madu hutan afkir. Sifat kimia madu hutan afkir yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sifat Kimia Madu Hutan Afkir yang Digunakan Komponen
Satuan
Nilai
Kadar gula
%
72
pH
-
3,986
Kadar air
%
29,48
Kadar abu
%
0,32
mg/kg
400
HMF
Madu hutan afkir yang digunakan memiliki nilai pH sebesar 3,986. Berdasarkan nilai pH tersebut maka pembuatan nata tidak menambahkan cuka glasial yang pada umumnya sebagai bahan tambahan dalam pembuatan nata untuk menurunkan pH media fermentasi serta pH tersebut telah memenuhi standar optimum pertumbuhan A. xylinum. pH media fermentasi A. xylinum optimum pada pH sekitar 4- 5 (Alaban, 1961). Kadar air dari madu hutan afkir ini 29,48 %. Kadar air madu dipengaruhi oleh sifat higroskopis madu yang tinggi, yaitu sangat mudah menyerap air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara. Kadar air yang semakin tinggi dapat mempercepat pertumbuhan khamir seperti Zygosacharmoycess dalam madu sehingga menyebabkan terjadinya fermentasi. Kadar abu total madu hutan afkir adalah 0,32%. Kadar abu yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam madu hutan afkir masih terdapat mineral yang dapat mesntimulasi pertumbuhan A. xylinum. Mineral yang terkandung dalam madu adalah fosfor, kalium, kalsiun, besi dan natrium sebagai mineral yang dominan (Sihombing, 2005).
32
Kadar HMF madu hutan afkir yang digunakan sebagai bahan baku nata de madoe 400 mg/kg. Kadar ini diluar standar batas kadar HMF madu Indonesia. Berdasarkan SNI 01-3545-2004, standar kadar HMF maksimal adalah 50 mg/kg. kadar HMF madu hutan afkir yang tinggi
dikarenakan madu tersebut telah
mengalami penyimpanan yang lama pada suhu ruang. Penyimpanan yang lama pada suhu ruang meningkatkan kadar HMF yang mengakibatkan perubahan warna menjadi lebih coklat sehingga kurang disukai serta dapat bersifat karsiogenik. HMF madu hutan afkir di luar batas standar kemungkinan juga dikarenakan madu telah mengalami pemanasan ketika dilakukan pengurangan kadar air. Kemurnian dan Viabilitas Starter Acetobacter xylinum Hasil pengamatan terhadap isolat A. xylinum menunjukkan bahwa bakteri ini berbentuk batang dan termasuk golongan Gram negatif. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Lapuz et al. (1967), bahwa A. xylinum termasuk golongan bakteri Gram negatif dan berbentuk batang. Morfologi A. xylinum dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Morfologi Acetobacter xylinum Hasil hitungan cawan menggunakan metode spread plate menunjukkan total populasi awal A. xylinum sebesar 7,48 x 108 cfu/ml. Jumlah tersebut telah memenuhi syarat minimal jumlah bakteri yang dibutuhkan dalam pembuatan produk fermentasi yaitu 1,0 x 108 cfu/ml (Makinen dan Bigret, 1998). Saxenaa (2001) menyatakan bahwa starter dengan jumlah koloni 5,5 x 105 cfu/ml telah cukup untuk menumbuhkan nata dengan ketebalan 0,8 cm. Pengenceran Madu Hutan Afkir Pengenceran madu hutan afkir bertujuan untuk mengatur kadar gula yang akan digunakan sebagai media pembuatan
nata de madoe. Pengenceran yang
dilakukan sebanyak tiga macam yaitu madu hutan afkir dengan kadar gula 15%, 20%
33
dan 25%. Parameter yang diamati pada penelitian pendahuluan yaitu rendemen dari nata de madoe. Hasil rendemen nata de madoe pada penelitian pendahuluan ini dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rendemen Nata de Madoe pada Penelitian Pendahuluan Kadar Gula
Peubah yang diamati Rendemen (%)
15 %
20%
25%
22,905±0,078a
18,450±0,85b
17,25±1,46b
Keterangan : Superskrip a, b menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Analisis ragam menunjukkan bahwa pengenceran madu hutan afkir dengan kadar gula 15%, 20% dan 25% berpengaruh nyata pada rendemen nata de madoe (p<0,05). Nata de madoe dengan pengenceran kadar gula 20% dan 25% memiliki rendemen (w/v) yang nyata lebih rendah daripada pengenceran madu hutan afkir 15%. Rendemen yang tinggi pada kadar gula 15% disebabkan pada kadar gula ini bakteri A. xylinum masih mampu mengubah gula menjadi selulosa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Thimann (1964) bahwa Acetobacter xylinum maksimal 19% dapat mengubah gula menjadi selulosa. Hasil nata yang diperoleh dari penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 10.
(a)
(b)
(c)
Gambar 10. Hasil Nata yang Dihasilkan dari Penelitian Pendahuluan dengan Kadar Gula (a) 15%, (b) 20% dan (c) 25% Rendemen hasil pengenceran madu dengan kadar gula 20% dan 25% lebih rendah karena kadar gula terlalu tinggi. Sesuai dengan konsep osmosis, penambahan konsentrasi gula yang tinggi dapat meningkatkan tekanan osmosis media,
34
sehingga terjadi plasmolisis pada sel-sel bakteri (Indrarti dan Rahmi, 2008). Atih (1979) menyatakan bahwa penambahan gula terlalu banyak kurang menguntungkan, karena selain mengganggu aktivitas bakteri, juga terlalu banyak gula yang diubah menjadi asam dan menurunkan pH secara drastis serta gula terbuang. Pengenceran madu hutan afkir dengan kadar gula 15% dipilih sebagai pengenceran yang terbaik karena menghasilkan rendemen yang tertinggi serta mampu menekan penggunaan madu hutan afkir sebagai bahan baku. Pembuatan nata de madoe pada penelitian pendahuluan menggunakan A. xylinum sebanyak 10%. Berdasarkan hasil penelitiannya Alaban (1961) menyatakan bahwa jumlah inokulasi starter A. xylinum sesuai dengan kondisi optimum untuk memproduksi nata yaitu sebanyak 10-20%. Hal ini juga diperjelas kembali melalui penelitian Isti (2005) yang menyatakan bahwa kondisi optimum untuk memproduksi nata de Eucheuma sp. (nata dari rumput laut) membutuhkan starter A. xylinum sebanyak 10%. Penambahan amonium sulfat harus terukur karena tidak selamanya dapat meningkatkan selulosa dan ketebalan nata. Penggunaan amonium sulfat yang berlebihan akan menurunkan pH secara drastis sehingga menyebabkan kondisi fermentasi menjadi terlalu asam dan rendemen nata yang dihasilkan juga menurun (Rosario, 1978). Amonium sulfat yang digunakan sebanyak 0,5% (w/v). Hasil penelitian Setiani (2007) menunjukkan bahwa penambahan amonium sulfat 0,5% (w/v) menghasilkan rendemen dan ketebalan nata gracilaria sp (nata dari rumput laut) tertinggi, dengan rendemen 43,80 % dan ketebalan 19,7mm. Indrarti dan Rahmi (2008) dalam hasil penelitiannya menggunakan amonium sulfat 0,5%
untuk
pertumbuhan dan daya tarik selulosa pada medium kulit pisang. Ketebalan selulosa yang diperoleh sebesar 22 mm dan rendemen selulosa sebesar 57,15%. Jaganath et al. (2008) menyatakan bahwa ketebalan nata tertinggi dihasilkan oleh nata dengan penambahan ammonium sulfat 0,45-0,5% Penelitian Utama Penelitian utama ini didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan. Jumlah starter A. xylinum yang ditambahkan sebanyak 10% dan penambahan amonium sulfat 0,5%. Sama seperti penelitian pendahuluan, tidak ada penambahan asam asetat glasial karena media fermentasi berada pada pH optimum untuk pertumbuhan A. 35
xylinum adalah 4,0-6,0 (Masaoka et al., 1993). pH media tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai pH Media Fermentasi yang Digunakan Media Fermentasi
Nilai pH
Madu hutan afkir
3,986
Madu hutan afkir + whey
4,59
Madu hutan afkir + air kelapa
4,052
Madu hutan afkir + whey + air kelapa
4,340
Madu segar *
4,014
Keterangan : * madu segar sebagai kontrol
pH media fermentasi madu afkir tidak dinaikkan pH nya karena mendekati nilai pH optimum A. xylinum. Penilaian yang diamati meliputi karakteristik fisik, karakteristik kimia dan penilaian sensori. Karakteristik Fisik Pengamatan terhadap karakteristik fisik nata de madoe meliputi rendemen, ketebalan, kekerasan dan warna nata. Karakteristik fisik nata de madoe dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Fisik Nata de Madoe Peubah yang diamati
Madu Afkir
Madu Afkir +Whey
Madu Afkir+Air Kelapa
Madu Afkir +Whey+Air Kelapa
Madu Segar (Kontrol)
Rendemen (%)
26,22±0,91b
32,48±2,61a
38.028±1,72a
37,30±2,81a
16,35±0,78
Ketebalan (mm)
5,356±0,31c
7,992±0,803b
11,075±0,21a
9,881±1,197a
2,42±0,27
Kekenyalan(mm/s)
6,533±0,32b
7,567±0,21a
5,033±0,153c
6,567±0,31b
2±0,17
L
43,92±0,70a
42,21±0,18ab
37,19±1,33c
41,00±0,73b
60,92±0,05
a
7,35±0,13
6,66±0,06
7,38±0,62
6,78±0,09
0,63±0,01
b
16,78±0,32a
14,38±0,07b
13,05±1,51b
12,90±0,34b
8,40±0,01
66,43±0,06a
65,20±0,10a
60,50±0,87c
62,33±0,40b
85,77±0,06
Warna
O
H
Keterangan : superskrip a,b,c yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nilai peubah sangat nyata (P<0,01)
36
Rendemen Rendemen nata diukur setelah fermentasi selama 14 hari. Hal ini dilakukan karena jika fermentasi tetap diteruskan, nata mengalami kerusakan seperti lubang kecil dan terdapat jamur yang dicirikan dengan adanya miselium di permukaan nata. Hal ini menandakan adanya mikroorganisme pencemar. Nilai rataan rendemen dari
Rende men (%)s
perlakuan media fermentasi dapat dilihat pada Gambar 11. 40 35 30 25 20 15 10 5 0
38.03a
37.30a
32.48a 26.22b
7,93
Madu afkir
Madu afkir Whey
Madu afkir air Madu afkir whey kelapa air kelapa
Madu segar (kontrol)
Gambar 11. Nilai Rataan Rendemen dari Kelima Media Fermentasi. Superskrip a dan b yang berbeda menunjukkan perbedaan nilai peubah sangat nyata (P<0,01). Hasil analis sidik ragam menunjukkan bahwa media fermentasi yang dapat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap rendemen nata de madoe. Media fermentasi madu hutan afkir air kelapa menghasilkan rendemen tertinggi yaitu 38,03% (w/v) sedangkan rendemen terendah dihasilkan oleh media fermentasi madu hutan afkir sebesar 26,22 (w/v). Rendemen nata pada media fermentasi madu hutan afkir ditambahan air kelapa tertinggi dikarenakan air kelapa merupakan bahan utama dan medium asal dari A. xylinum yang digunakan dalam penelitian ini. Penggunan bahan baku media fermentasi yang sama dengan media asalnya mempersingkat waktu adaptasi, sehingga A. xylinum pada media ini lebih cepat tumbuh dibandingkan pada keempat media fermentasinya. Rendemen nata pada media fermentasi madu hutan afkir terndah dikarenakan madu hutan afkir tidak diberikan nutrisi tambahan sehingga pertumbuhan A. xylinum dalam media ini lebih lambat. Berbeda halnya dengan rendemen nata dari media fermentasi madu segar. Rendemen nata pada media fermentasi madu segar paling
37
rendah dari keempat media fermentasi. Hal ini diduga oleh adanya zat anti mikroba yang terkandung dalam madu segar sehingga menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk nata yaitu A. xylinum. Sesuai dengan
pernyataan Truchado et al.
(2009), menyatakan bahwa madu segar memiliki aktivitas air yang rendah (serta terdapat zat antimikroba seperti ekstrak methanol, penolik (methyl syringate) dan asam syringic yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Madu dapat menjadi agen anti mikroba karena nilai awnya rendah sekitar 0,50,6 (Graham, 2000). Aw madu yang sangat rendah mengakibatkan madu sangat jenuh (supersaturated) sehingga disebut medium hiperosmotik.
Jika organisme
bersel satu masuk ke dalam medium ini perbedaan tekanan osmosis yang sangat besar mengakibatkan mikroorganisme kehilangan cairan, serta didukung oleh dehidrasi yang akan membunuh mikroorganisme tersebut. Banyak spesies mikroorganisme yang dihambat oleh madu, seperti khamir yang mampu hidup pada aw berkisar 0,8-0,9, bakteri hidup pada aw 0,9 dan kapang mampu hidup pada aw 0,60,7 (Winarno, 2008). Ketebalan Ketebalan nata yang diperoleh berkorelasi positif dengan rendemen yang dihasilkan, semakin besar rendemen nata yang dihasilkan semakin tebal nata yang diperoleh. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media fermentasi yang berbeda sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap ketebalan nata yang dihasilkan. Nilai rataan ketebalan nata dari kelima media fermentasi dapat dilihat
Ketebalan nata (mm)
pada Gambar 12. 11.08a
12 10 8 6
9.88ab
7.99b 5.36c
4
2,42
2 0 Madu afkir
Madu afkir Whey
Madu afkir air Madu afkir Madu segar kelapa whey airkelapa (kontrol)
Gambar 12. Nilai Rataan Ketebalan Nata dari Kelima Media Fermentasi. Superskrip a, b dan c yang berbeda menunjukkan perbedaan nilai peubah sangat nyata (P<0,01).
38
Ketebalan nata de madoe yang dihasilkan cenderung meningkat seiring dengan adanya nutrisi tambahan seperti protein, lemak, mineral dan vitamin dari air kelapa maupun whey yang mampu menstimulasi perubahan gula menjadi selulosa oleh A. xylinum. Pembentukan selulosa oleh A. xylinum memerlukan gula sebagai unsur utama, protein dan lemak sebagai senyawa perantara, serta mineral sebagai penstimulasi dalam pembentukan selulosa (Moat dan Foster, 1988). Ketebalan nata pada media kontrol paling rendah dari keseluruhan media fermentasi. Hal ini disebabkan tidak adanya penambahan nutrisi yang memicu pertumbuhan A. xylinum, selain itu madu segar masih mengandung zat anti mikroba yang dapat menghambat pertumbuhan A. xylinum. Kekenyalan Kekenyalan nata disebabkan oleh serat yang dibentuk A. xylinum
yang
berasal dari bahan baku maupun bahan tambahan media fermentasi yang digunakan. Struktur fibril dari serat yang membentuk jaringan akan menangkap air dan menyebabkan struktur nata menjadi seperti agar (Rosario, 1978). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kekenyalan nata sangat nyata dipengaruhi oleh media fermentasi (P<0,01). Nilai rataan kekenyalan nata yang dihasilkan dari kelima media fermentasi dapat dilihat pada Gambar 13. 7.57a
8
Kekenyalan mm/s
7
6.57b
6.53b
6
5.03c
5 4 3
2,00
2 1 0 Madu afkir
Madu afkir whey
Madu afkir air madu afkir kelapa whey airkelapa
Madu segar (kontrol)
Gambar 13. Nilai Rataan Kekenyalan Nata dari Kelima Media Fermentasi. Superskrip a, b dan c yang berbeda menunjukkan perbedaan nilai peubah sangat nyata (P<0,01).
39
Perbedaan kekenyalan yang dihasilkan tiap media diduga disebabkan oleh perbedaan jenis bahan baku. Nur (2009) menyatakan bahwa kandungan protein yang terdapat dalam medium turut menentukan tingkat kekenyalan serta lama fermentasi dan sumber nitrogen yang digunakan juga mempengaruhi kekenyalan nata yang dihasilkan. Kekenyalan tertinggi dihasilkan oleh nata dengan media fermentasi madu hutan afkir whey yaitu sebesar 7,57 (mm/s) dan kekenyalan terendah dihasilkan oleh nata dengan media fermentasi madu hutan afkir. Hal tersebut dikarenakan nilai pH media fermentasi tertinggi (4,590) sehingga kekenyalan yang dihasilkan lebih tinggi dari media fermentasi lainnya. Sesuai dengan pernyataan Silva et al. (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi pH maka reaksi antara protein dan pelarut semakin rendah yang menyebabkan terjadinya jaringan (struktur) tiga dimensi dimana gaya tarik menarik dan tolak menolak yang terjadi tidak seimbang. Struktur dari jaringan ini semakin longgar yang dapat memerangkap air dalam jumlah yang besar sehingga dapat meningkatkan kekenyalan produk. Faktor lain dari kekenyalan yaitu protein. Media fermentasi madu hutan afkir ditambah whey mengandung protein yang lebih tinggi dari air kelapa. Protein jika dipanaskan akan terdenaturasi sehingga mampu mengurangi kelarutannya yang mengakibatkan adanya penggumpalan dan pengendapan. Diduga endapan protein saat pemanasan terperangkap dalam matriks selulosa nata sehingga nata yang dihasilkan lebih kenyal. Kekenyalan nata dari madu segar sangatlah rendah.
Hal ini disebabkan
karena nata yang dihasilkan oleh madu segar sangat tipis sehingga kekenyalan yang dihasilkan juga rendah dan dapat diduga bahwa di dalam media fermentasi madu segar terdapat zat anti mikroba yang dapat menghambat pertumbuhan A. xylinum mengubah gula menjadi selulosa, sehingga komponen dan struktur selulosa nata belum kompak. Warna Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat chromameter. Warna nata yang yang dihasilkan dari kelima media fermentasi dapat dilihat pada Gambar 14.
40
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 14. Warna Nata yang Dihasilkan dari Media Fermentasi (a) Madu Hutan Afkir, (b) Madu Hutan Afkir-Whey, (c) Madu Hutan Afkir-Air Kelapa, (d) Madu Hutan Afkir-Whey-Air Kelapa dan (e) Madu Segar Nilai L, a, b dan °Hue Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kecerahan nata yang dihasilkan. Nilai kecerahan tertinggi diperoleh media fermentasi madu hutan afkir (43,92) sedangkan nilai kecerahan terendah diperoleh media fermentasi madu hutan afkir ditambah air kelapa (37,19) seperti yang tercantum pada Tabel 10. Hal ini dapat diduga bahwa kecerahan tergantung pada media fermentasi awal. Media fermentasi madu segar lebih cerah dibandingkan dengan madu afkir yang telah mengalami perubahan menjadi lebih gelap. Peningkatan ratio air kelapa pada media fermentasi madu sangat nyata (P<0,01) menurunkan nilai kecerahan nata (41,00 menjadi 37,19). Pensterilan media fermentasi pada suhu 115 °C selama tiga menit sebelum diinokulasi A. xylinum mengakibatkan terjadinya reaksi Mailard dan karamelisasi gula. Peningkatan suhu dapat meningkatkan reaksi pencoklatan, sehingga menghasilkan warna produk yang lebih gelap (Williams, 1976). Kadar gula air kelapa lebih besar dari whey (Tabel 9) sehingga kecerahan yang dihasilkannya juga lebih rendah. Rataan nilai a dari seluruh perlakuan menghasilkan nilai positif yang menunjukkan bahwa warna nata de madoe yang dihasilkan berada di daerah merah. Nilai a dari media fermentasi madu hutan afkir, madu hutan afkir-whey, madu hutan afkir-air kelapa dan madu hutan afkir-whey-air kelapa menghasilkan nilai yang hampir sama sehingga tidak ada pengaruh dari bahan tambahan terhadap nilai a. Rataan nilai b dari seluruh perlakuan menghasilkan nilai yang positif menunjukkan bahwa warna nata de madoe yang dihasilkan warna kuning. Analisis
41
sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media fermentasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai b nata yang dihasilkan. Warna nata yang dihasilkan oleh kelima media fermentasi berkisar 60,50– 85,77 °H yang berarti berwarna merah kekuningan karena berada dalam kisaran 54º-90 °H dalam tabel kategori warna menurut kisaran nilai derajat Hue. Warna nata pada media fermentasi madu segar lebih mengarah ke warna kuning sedangkan ke empat media fermentasi lainnya merah kekuningan. Warna–warna yang muncul ini merupakan warna hasil campuran dari warna madu dengan adanya reaksi Maillard dan karamelisasi gula akibat pemanasan madu pada saat pembuatan nata de madoe. Karakteristik Kimia Analisis sifat kimia nata de madoe meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar dan kadar serat pangan. Karakteristik kimia nata de madoe dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Karakteristik Kimia Nata de Madoe dari Kelima Media Fermentasi Peubah
Madu Afkir
Madu Afkir+Whey
Madu Afkir+Air Kelapa
Madu Afkir+Whey+Air Kelapa
Madu Segar
------------------------------------- (%) -------------------------------Kadar air
99,86
96,29
96,4
96,77
97,71
Kadar abu
0,14
0,16
0,18
0,21
0,13
Kadar serat kasar
0,1
0,51
0,4
0,22
0,58
Kadar lemak
-
-
1,56
-
-
Kadar protein
-
-
0,9
-
-
Kadar serat makanan
-
-
0,11
-
-
Kadar air, kadar abu dan kadar serat kasar nata yang dihasilkan dianalisis pada kelima media fermentasi, sedangkan analisis kadar protein, kadar lemak dan kadar serat makanan hanya dilakukan pada media yang menghasilkan nata dengan kualitas fisik (rendemen, ketebalan dan kekompakan selulosa) terbaik. Karakteristik fisik yang terbaik diperoleh dari media fermentasi madu afkir ditambah air kelapa.
42
Kadar Air Air yang terdapat pada nata berasal dari mediumnya. Kadar air merupakan jumlah air total yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar air nata de madoe dapat dilihat pada Gambar 15. Kandungan air nata de madoe yang diperoleh sangat tinggi. Kadar air media madu hutan afkir berkisar antara 99,86% sampai 96,29 % sedangkan kadar air dari madu segar yang dijadikan konrol lebih tinggi (97,91%). Hal ini sesuai dengan pendapat Keshk dan Someshima (2006) menyatakan selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum mempunyai kapasitas penyerapan air yang tinggi. 101
Kadar Air (%)
100
99,86
99 97,71
98 97
96,29
96,4
96,77
96 95 94 Madu afkir
Madu afkir whey Madu afkir air kelapa
Madu afkir whey airkelapa
Madu segar
Gambar 15. Kadar Air Nata de Madoe Gambar 15 menunjukkan media fermentasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada kadar air nata yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mashudi (1993) bahwa faktor yang turut menentukan kadar air nata adalah jumlah gula yang ditambahkan, semakin tinggi gula yang ditambahkan maka kadar air akan semakin tinggi pula. Gula akan memperlonggar serat dalam nata, sehingga air akan terperangkap dalam struktur serat selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum. Penelitian ini menggunakan kadar gula yang sama yaitu 15% sehingga kadar air yang diperoleh relatif sama pada kelima perlakuan. Kadar Abu Kadar abu terdiri atas unsur-unsur anorganik atau mineral. Proses pengabuan menguraikan zat-zat organik menjadi air dan CO2. Kadar abu pada nata de madoe yang dihasilkan berasal dari kandungan mineral yang terdapat pada bahan baku.. Madu segar memiliki kadar abu sebesar 0,169% (Sihombing, 2005), madu afkir
43
0,32% (hasil analisis), whey 0,54% (Walstra dan Jennes, 1984) dan air kelapa 1,06% (Woodroof, 1979). Kadar abu nata de madoe yang dihasilkan pada media fermentasi madu hutan afkir berkisar 0,14%-0,21% sedangkan pada media fermentasi madu sebesar 0,13% Kadar abu nata dari media fermentasi madu segar hasilnya paling rendah karena kadar mineral bahan bakunya juga rendah. Kadar abu tertinggi diperoleh oleh media fermentasi madu hutan afkir ditambah whey dan air kelapa. Hal ini diduga bahwa kandungan mineral bahan baku awalnya lebih tinggi yaitu adanya gabungan mineral dari madu hutan afkir, whey dan air kelapa. 0,25
Kadar Abu (%)
0,21 0,2
0,18 0,16
0,15
0,14
0,13
0,1 0,05 0 Madu afkir
Madu afkir whey
Madu afkir air Madu afkir kelapa whey airkelapa
Madu segar
Gambar 16. Kadar Abu Nata de Madoe Kadar abu nata de madoe semakin rendah dibandingkan dari kadar abu bahan baku media fermentasi awal. Hal ini menunjukkan bahwa mineral bahan baku awal telah digunakan bakteri dalam proses metabolisme selulosa. Kadar Serat Kasar Serat merupakan salah satu jenis zat gizi yang sangat diperlukan bagi kesehatan manusia. Ada dua macarm serat yaitu serat kasar (crude fiber) dan serat makanan (dietary fiber). Serat kasar merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel tumbuhan yang terdiri dari lignin serta polisakarida seperti selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia (Irwansyah, 2003). Acetobacter xylinum hanya menggunakan glukosa untuk membentuk selulosa sehingga kadar serat kasar madu hutan afkir lebih rendah dibandingkan dengan madu
44
segar. Hal ini disebabkan glukosa pada madu hutan afkir telah terdekomposisi (perubahan komposisi) menjadi HMF sedangkan pada madu segar tidak terjadi dekomposisi glukosa menjadi HMF dan kadar glukosanya tinggi sebesar 31,3% (Sihombing, 2005). HMF madu hutan afkir sebesar 400 mg/kg sedangkan standar mutu madu yang baik maksimal HMF 50 mg/kg. Sesuai dengan Pratiwi (2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kadar glukosa maka kadar serat kasar yang dihasilkan semakin tinggi. Hasil analisis kadar serat kasar nata de madoe dapat dilihat pada Gambar 17. 0,7 0,58
Kadar serat kasar (%)
0,6
0,51
0,5 0,4 0,4 0,3
0,22
0,2 0,1 0,1 0 Madu afkir
Madu afkir whey Madu afkir air Madu afkir whey kelapa airkelapa
Madu segar
Gambar 17. Kadar Serat Kasar Nata de Madoe Kadar serat kasar media madu hutan afkir ditambah whey lebih tinggi dari madu hutan afkir ditambah air kelapa. Hal ini disebabkan oleh kadar protein dari whey (0,85%) dan kadar lemaknya (0,36 %) lebih tinggi (Pescuma et al., 2008) dibandingkan dengan air kelapa kadar proteinnya (0,29) dan kadar lemaknya (0,15) (Woodroof, 1979). Protein dan lemak dalam pembentukan glukosa menjadi selulosa dapat membantu optimalisasi kerja dari A. xylinum karena protein dan berfungsi sebagai zat perantara. Pernyataan ini diperkuat oleh Moat dan Foster (1988) bahwa protein dan lemak digunakan sebagai senyawa perantara dalam pembentukan selulosa. Kadar Protein Kadar protein yang dianalisis hanya kadar protein hasil terbaik dari kelima media fermentasi yang didasarkan pada rendemen, ketebalan, dan kekompakan
45
selulosa yang dihasilkan. Kadar protein yang dihasilkan dari media fermentasi madu afkir ditambah air kelapa sebanyak 0,9%. Kadar protein ini dihasilkan dari protein bahan baku awal media yaitu madu afkir dan air kelapa serta adanya penambahan amonium sulfat pada media fermentasi. Menurut Wijaningsih (1999), amonium sulfat sebagai sumber nitrogen akan dipecah menjadi komponen yang lebih sederhana dan melalui transformasi aktif komponen ini akan masuk ke dalam sel untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar untuk biosintesis protein, sehinggga pertumbuhan dan perkembangan A. xylinum dapat dipercepat. Kadar Lemak Fungsi lemak di dalam fermentasi nata adalah sebagai senyawa perantara dalam pembentukan selulosa oleh Acetobacter xylinum. dianalisis hanya kadar lemak
Kadar lemak
yang
hasil terbaik dari kelima media fermentasi yang
didasarkan pada rendemen, ketebalan, dan kekompakan selulosa yang dihasilkan. Lemak yang dihasilkan nata de madoe dari media fermentasi madu afkir air kelapa sebesar 1,56%. Lemak yang diperoleh didasarkan pada kandungan lemak dari bahan baku yang digunakan. Air kelapa memiliki kadar lemak sebesar 0,15% (Woodroof, 1979). Kadar Serat Makanan Serat makanan dapat didefinisikan sebagai ingredient pangan fungsional karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi satu atau lebih fungsi tubuh sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Diplock et al., 1999). Serat makanan bermanfaat untuk
memperlancar
buang air besar, menstimulasi aktivitas metabolisme bakteri, detoksifikasi terhadap zat-zat yang berada dalam kolon serta berkontribusi dalam menjada kestabilan ekosistem di kolon (Guillon et al., 2000). Kadar serat makanan nata de madoe yang diperoleh sebesar 0,11%. Hal ini disebabkan aktivitas A. xylinum dalam merubah gula menjadi selulosa. Adanya glukosa sebagai sumber nutrisi bakteri pembentuk nata dapat mempengaruhi jumlah serat makanan yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya glukosa, adanya penambahan ammonium sulfat pada media juga dapat berfungsi sebagai sumber nitrogen dalam pertumbuhan bakteri nata dalam menghasilkan selulosa. Hal lain 46
yang mempengaruhi kadar serat makanan adalah adanya lemak, protein dan vitamin dalam media pertumbuhan yang merangsang pertumbuhan bakteri nata. Serat makanan yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya seperti pada penelitian Setiani (2007) pembuatan nata de Gracilaria Sp. menghasilkan serat makanan sebesar 4,88% sedangkan Isti (2005) dalam penelitiannya menghasilkan serat makanan pada nata de coco sebesar 4,5%. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya pengaruh dari madu yang digunakan adalah madu hutan afkir yang telah mengalami dekomposisi glukosa menjadi HMF, dimana HMF tidak bisa berubah lagi menjadi glukosa sehingga selulosa yang dihasilkan tidak maksimal. Berdasarkan standar mutu produk nata dalam kemasan (SNI 01-4317-1996), serat makanan nata de madoe yang dihasilkan memenuhi standar. SNI 01-43171996 menetapkan standar serat makanan nata dalam kemasan maksimal 4,5% sedangkan serat makanan nata de madoe sebesar 0,11%. Penilaian Sensori Penilaian sensori yang digunakan adalah uji hedonik atau uji kesukaan. Uji hedonik termasuk dalam kelompok uji penerimaan atau acceptance test atau preference test (Soekarto, 1990). Uji ini menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang lain menyukainya. Tujuan dari uji hedonik ini adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensori tertentu dapat diterima oleh masyarakat. Uji Hedonik hanya dilakukan terhadap nata hasil perlakuan media fermentasi madu afkir air kelapa. Hal ini dikarenakan rendemen, ketebalan dan kekompakkan selulosa yang dihasilkan terbaik dari semua perlakuan. Sebelum diuji, sampel nata de madoe terlebih dahulu dipotong-potong dan direndam selama satu hari dalam larutan madu dengan kadar gula 15% dan 20%. Hal ini sesuai dengan SNI 014317-1996 kadar gula nata kemasan minimal 15%. Uji hedonik dilakukan pada tiga sampel yaitu nata de madoe yang disajikan dengan sirup madu dengan kadar gula 15%, 20% dan nata de coco komersil sebagai pembanding. Parameter uji hedonik nata de madoe ini meliputi warna, aroma, rasa, kekenyalan dan kesan secara keseluruhan. Skala hedonik yang digunakan berkisar antara 1-7 yaitu : (1) sangat tidak suka, (2) agak tidak suka, (3) tidak suka, (4) agak
47
suka (5) suka, (6) sangat suka dan (7) amat sangat suka. Jumlah panelis yang digunakan sebanyak 44 orang. Hasil dari uji hedonik terhadap parameter warna, aroma, rasa, kekenyalan dan kesan secara keseluruhan nata de madoe dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Uji Hedonik terhadap Warna, Aroma, Rasa, Kekenyalan dan Kesan Secara Keseluruhan dari Nata de Madoe
Warna
Kadar Gula Nata de Madoe 15% 20% 4,068±0,873B 4,091±0,936B
Aroma
4,614±0,868b
4,795±0,904b
5,136±0,765a
Rasa
4,545±0,951A
4,477±0,731B
4,955±0,861A
Kekenyalan
4,568±0,900ab
4,341±0,987b
4,909±0,772a
Kesan secara keseluruhan
4,545±0,761B
4,636±0,750B
5,318±0,674A
Parameter
15 % ( Nata de Coco Komersil) 5,273±0,788A
Keterangan : A, B, C = huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01) dan a, b, c = huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nyata (P<0,05).
Warna Warna pada produk pangan merupakan atribut mutu yang penting dalam pemasaran walaupun tidak secara langsung menunjukkan kandungan nutrisi, aroma maupun nilai-nilai fungsional lainnya. Warna juga merupakan parameter yang pertama kali mendapat respon dari panelis (Gambar 8).
(a)
(b)
Gambar 18. Warna Sampel (a) Nata de Madoe dan (b) Nata de Coco Komersil Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa warna berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan panelis pada nata de madoe. Warna yang dihasilkan nata de madoe pada larutan madu 15% dan 20% tidak berbeda tetapi berbeda dengan nata de coco komersil. Panelis sangat nyata lebih menyukai warna nata de coco. Hal ini disebabkan warna bahan baku yang digunakan dalam
48
pembuatan nata de coco berwarna putih dan panelis sudah sangat mengenal nata berwarna putih.
Nata de madoe bahan bakunya berwarna merah kekuningan
sehingga warna produk akhir natanya berwarna merah kekuningan. Hasil uji hedonik menunjukkan nilai kesukaan panelis kedua nata de madoe pada angka empat yang artinya panelis agak menyukainya. Aroma Aroma
merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas
makanan. Kesukaan panelis dapat dipengaruhi oleh aroma dari produk itu sendiri. Berdasarkan analisis sidik ragam, aroma berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kesukaan panelis terhadap nata de madoe. Aroma nata de madoe berbeda dengan nata de coco. Aroma madu sangat tercium pada nata de madoe serta aromanya sedikit lebih asam dari nata de coco. Aroma pada nata dipengaruhi oleh waktu proses penghilangan asam dengan cara perebusan. Penelitian ini dilakukan perebusan sebanyak dua kali. Perebusan pertama selama 30 menit dengan kondisi air mendidih kemudian air rebusan diganti dengan air baru dan didiamkan satu malam kemudian air diganti kembali dan dilanjutkan perebusan kembali selama 15 menit. Selama perebusan, panci yang digunakan dalam merebus nata tidak ditutup agar aroma asam menguap ke udara terbuka.
Hal ini sesuai dengan Saragih (2004) yang menyatakan bahwa panci
terbuka dalam perebusan nata akan membantu penguapan asam ke udara bebas. Penilaian panelis terhadap parameter aroma pada nata de madoe yang dicampur dengan larutan madu kadar gula 15% sebesar 4,614 yang berarti aroma yang dihasilkan disukai panelis. Nata de madoe yang dicampur dengan sirup madu kadar gula 20% nilai rataan tingkat penerimaan 4,795 yang berarti aroma yang dihasilkan disukai panelis. Rasa Rasa merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Berdasarkan analisis sidik ragam rasa nata de madoe berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan panelis. Nata de madoe dicampur larutan madu 15% rasanya sama dengan nata de coco tetapi berbeda dengan nata de madoe yang dicampur dengan sirup madu 20%.
49
Penilaian uji hedonik panelis terhadap parameter rasa pada nata de madoe yang dicampur dengan larutan madu 15% sebesar 4,545 menunjukkan bahwa panelis menyukai nata tersebut. Nata de madoe yang dicampur dengan larutan madu 20% nilai rataan tingkat kesukaannya 4,477 yang berarti aroma yang dihasilkan agak disukai panelis. Hal tersebut disebakan rasanya terlalu manis pada nata de madoe yang dicampur sirup madu 20%. Kekenyalan Nata merupakan selulosa bakteri yang mempunyai tekstur agak kenyal, padat, kokoh, putih dan transparan (Astawan dan Astawan, 1990). Penilaian kekenyalan dilakukan dengan cara mengunyah produk nata. Berdasarkan hasil sidik ragam kekenyalan nata de madoe berpengaruh nyata (P<0,05). Hal ini disebabkan adanya perbedaan kadar gula pada sirup madu yang dihasilkan. Nata yang direbus dengan air gula kekenyalannya meningkat. Sesuai dengan penelitian Arsatmodjo (1996) menyatakan bahwa kadar glukosa yang tinggi akan meningkatkan kekenyalan nata (Arsatmodjo, 1996). Nilai rata-rata respon panelis terhadap parameter kekenyalan nata de madoe dicampur larutan madu kadar gula 15% adalah 4,568 yang berarti kekenyalan yang dihasilkan disukai panelis. Nilai rataan respon panelisis terhadap nata de madoe dicampur larutan madu kadar gula 20% adalah 4,341 yang berarti agak disukai oleh panelis. Kesan Secara Keseluruhan Penilaian kesan secara keseluruhan meliputi : warna produk, aroma, rasa dan kekenyalan nata de madoe. Berdasarkan analisis ragam terhadap parameter kesan secara keseluruhan produk nata de madoe berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap tingkat kesukaan panelis. Kesan secara keseluruhan nata de madoe berbeda dengan nata de coco. Hal ini disebakan panelis terbiasa dengan warna nata yang putih. Ketika panelis dihadapkan dengan nata berwarna merah kekuningan merasa warna nata agak aneh, beda dengan warna nata pada umumnya. Kekompakkan selulosa kurang karena pada saat dikunyah ada air yang keluar dari nata. Hal ini disebabkan larutan madu konsentrasinya kurang sehingga tidak dapat mengeluarkan air secara sempurna pada nata de madoe. Tercium rasa yang sedikit asam yang ditimbulkan dari aroma sirup madu dan aroma asam madu hutan afkir pada nata yang 50
dihasilkan. Respon panelis terhadap kesan secara keseluruhan nata de madoe yang direndam larutan madu 15% dan 20% berturut-turut adalah 4,545 dan 4,636 yang berarti panelis suka dengan nata de madoe yang dihasilkan.
51
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Madu hutan afkir dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata hanya saja diperlukan nutrisi tambahan dari media lain seperti air kelapa dan whey. Perbandingan kadar gula yang terbaik untuk fermentasi adalah nata de madoe dengan kadar gula 15% dengan menghasilkan rendemen sebesar 22,905 %. Nata de madoe yang terbaik dihasilkan dari media fermentasi madu hutan afkir ditambah air kelapa yaitu dengan rendemen (38,028%), ketebalan (11,075 mm), kekenyalan (5,033%), warna merah kekuningan, kadar air (96,4%), kadar abu (0,18%), kadar serat kasar (0,4%), kadar lemak (1,56%), Kadar protein (0,9%) dan serat makanan sebesar 0,11% yang telah memenuhi standar nata dalam kemasan yaitu maksimal 4,5%. Warna, aroma, rasa, kekenyalan dan kesan secara keseluruhan berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis. Panelis menyukai produk nata de madoe yang direndam dengan larutan madu dengan kadar gula 15%. Saran Perlu diteliti kadar HMF pada nata de madoe dan kandungan zat antimikroba dalam madu yang dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter xylinum. Melihat adanya potensi madu hutan afkir untuk pembuatan nata maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik mikrobiologi dan daya simpannya.
52
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan penyertaanNya selama menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Ir. B. N. Polii, SU selaku Dosesn Pembimbing Utama, Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si selaku Dosen Pembimbing Anggota yang dengan penuh kesabaran meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan arahan, kritik dan saran, serta motivasi dalam melaksanakan penelitian ini dimulai dari awal hingga akhir. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberi masukan selama Penulis mengikuti perkuliahan di IPB. Terimakasih juga kepada M. Sriduresta, S. S.Pt M.Sc selaku Dosen Penguji seminar dan sidang atas saran dan masukannya. Terimakasih juga kepada Dr Ir. Jajat Jachja F.A. M.Agr selaku Dosen Penguji sidang atas saran maupun masukan yang telah diberikan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua Penulis yaitu Mangatur Simangunsong dan Riama Tambunan, keluarga besar Penulis antara lain Kakak Melda, Kakak Yanti, Abang Nando, Adik Monika, Adek Martina, Opung Doli, Opung Julu, Tante Jojor, Uda Rudi, Tante Lenny, Tante Grace dan lainnya atas cinta, doa, perhatian, semangat dan dukungannya. Terimakasih Penulis sampaikan kepada Devi Murtini, S.Pt., Dwi Febriantini, mas Andi, Hesti Indripurwati, Sindya Erti Sinaga atas masukan, dukungan dan bantuannya selama penelitian. Terimakasih juga saya ucapkan kepada Ibu Ami pengusaha nata de coco yang menyumbangkan starter natanya semoga usaha Ibu semakin berkembang. Terimakasih Penulis sampaikan kepada Carli Nababan atas kasih sayang, dukungan, motivasi dan doanya. Terimakasih Penulis sampaikan kepada Ester, Paingat, Kiki, Amudi, Astra, Adilia, Sagulu, Anita, Winda, Lia, Anggritia, Ade dan Nanda yang telah menjadi saudara dan sahabat berbagi cerita ketika Penulis mengalami masalah dengan penelitian ini. Terimakasih Penulis sampaikan kepada rekan-rekan IPTP 45 dan POPK Fapet atas kebersamaannya. Terimakasih Penulis sampaikan kepada saudara seperjuangan Novia (Tika, Tantri, Hera, Vonika, Sarah, Nita, Patric, Angel dan Rully) atas kebersamaan selama ini. Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung Penulis selama masa perkuliahan dan penelitian yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
53
DAFTAR PUSTAKA Agustriningsih, S. 2007. Karakteristik fisik dan kimua nata de whey yang dikombinasikan dengan sirup whey sinbiotik selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Alaban, C. A. 1961. Studies on the optimum conditions for nata de coco bacterium or formulation in coconut water. Phillipie Agric. (45): 490-515. Andarwulan, N., F. Kusnandar & D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat, Jakarta. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. Puspitasari, Sedarnawati & A. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arsatmodjo, E. 1996. Formulasi nata de pina.Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis, Washington DC. Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Methods of Analysis, Washington DC. Astawan, M. & M. W. Astawan. 1990. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna. Analisa Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Atih, S.H. 1979. Pengolahan Air Kelapa. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia. Backhdal, H., G. Helenius, A. Bodin, U. Nanmark, Johansson & B. Risberg. 2006. Mechanical properties of bacterial cellulose and interactions with smooth muscle cells, J. of Biomaterials (27): 2141-2149. Badan Standardisasi Nasional. 2006. Gula Kristal-Bagian 2: Rafinasi (refined sugar). SNI 01-3140.2-2006. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 2005. Standar Mutu Pupuk Amonium Sulfat. SNI 02-1760-2005. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 2004. Madu. SNI 01-3545-2004. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1996. Nata dalam Kemasan. SNI 01-4371-1996. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 012891-1992. Balai Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Jakarta. Bender, D. A. 2003. Introduction to Nutrition and Metabolism. 3rd ed. Taylor & Francis. London. Brown, R. M. 1996. The biosynthesis of cellulose. J. of Macromolecular Science – Pure and Applied Chemistry(33) : 1345-1373.
54
Chemistry. 2011. Konsep mol. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimiasmk/kelas_x/konsep-mol-2/. [14 Oktober 2011] Codex Alimentarius Commission. 1989. Codex Standars of Sugars (honey). Supplement 2 to Codex Alimentarius Vol. III. Food and Agriculture Organization, Rome. Damanhuri. 2005. Pola fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat dari madu rambutan afkir. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Damayanthi, E. & E. S. Mudjajanto. 1995. Teknologi Makanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Darmajana, D.A. 2004. Pengaruh ketinggian media dan waktu inkubasi terhadap beberapa karakteristik fisik nata de soya. Prosiding. Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat. 2002. Nata de coco. http://warinte_progresio.or.id//ttg/pangan/nata.htm [10 Oktober 2011]. Diplock A.T., P. J. Agget, M. Ashwell, F.Bornet, E. B. Fern & R. Roberfroid. 1999. Functional food science in Europe. Br J. Nutr, S1-27. Embuscado M. E., J. S. Marks & J. N. Miller. 1994. Bacterial cellulose I. Factor affecting the production of cellulose by A. xylinum. J. food Hydro. 8:115-136. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan lanjut. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Freemond, Y. & R. Ziller. 1996. The Coconut Palm. International Potash Institut. Berne. Graham, M. J. 2000. Water activity vs water content. www.Gftc.ac/gfc.htm. [14 Agustus 2012] Guillon F., M. Champ & J. F. Thibault. 2000. Dietary Fiber Functional Product. Woodhead Publishing Limited, England. Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat, Padang. Hidayat, N., M. C. Padaga & S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi, Yogyakarta. Hutching, J. B. 1999. Food Colour and Appearance. 2nd ed. Aspen Publish, Inc.,Gaiterburg. Maryland Indrarti, L & E. Rahimi. 2008. Pengaruh penambahan gula dan amonium sulfat pada medium kulit pisang terhadap pertumbuham dan sifat mekanik bioselulosa. Majalah Polimer Indonesia 11. (1):1-5. Irwansyah. 2003. Kajian analisis serat makanan. http://www.knowledgebank.irri. org/ regionalsites/docs/serat/kasar.pdf [ 18 Oktober 2011] Isti. 2005. Pengembangan Produksi Bernilai Tambah Bandeng Tanpa Duri dan Nata Agar. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Jakarta.
55
Jaganath, A., A. Kalaiselvan, S. S. Manjunatha, P.S. Raju & A.S. Bawa. 2008. The effect of pH, sucrose, ammonium sullphate concetrations on the production of bacterial cellulose (Nata de Coco) by Acetobacter xylinum. World J. Microbial Biotechnol. 24 : 2593-2599. Jalili, T., R. Wildman & D. M. Medeiros. 2001. Nutraceuticals and Fuctional Food. USA: CRC Press. Keshk, S. & K. Sameshima. 2006. Influence of lignosulfonate of crystal structure and productivity of bacterial cellulose in a statistic culture. Enzyme and Microbial Techn 40: 4-8. Kholifah, S. 2010. Pengaruh penambahan ZA dan gula terhadap karakteristik fisik, organoleptik dan kandungan logam nata de coco. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Bogor. Lapuz, M. M., E. G. Gallardo & M. A. Palo. 1967. The nata organism cultural requirements, characteristic and identity. Phillipine J. Sci. 96 : 91-107. Makinen, A. M. & M. Bigret. 1998. Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker, New York. Marshall, K. 2004. Therapeutic applications of whey protein. Alternative Medicine Review. 9 : 2. Masaoka, S. T. Ohe & N. Sakota. 1993. Production of cellulose from glucose by A. xylinum. J. Food Hydro. 6: 28-40. Mashudi. 1993. Mempelajari pengaruh penambahan ammonium sulfat dan waktu penundaan bahan baku air kelapa terhadap laju pertumbuhan dan struktur gel nata de coco. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Moat, A. G. &J. W. Foster. 1988. Microbial Physiology. 2nd ed. John Wiley & Sons Inc. Toronto. Nur, A. 2009. Karakteritik nata de cottoni dengan penambahan dimetil amino fosfat (DAP) dan asam asetat glasial. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pambayun, R. 2006. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius, Yogyakarta. Pescuma,M., E. M. Heberta, F. Mozzia & G. F. de Valdeza. 2008. Whey fermentation by thermophilic lactic acid bacteria: Evolution of carbohydrates and protein content. Food Microbiol 25:442–451. Pratiwi, E. 2006. Karakteristik nata dari pulp kakao mulia (Theobroma cacao L.) dengan penambahan berbagai konsentrasi sukrosa. J. Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian 5 (2):81-85. Rosario, R. R. 1978. Compotition and Utilization of Coconut Water. Phillipines Coconut Research and Development Foundation. Los Banos, Laguna Saragih, P. 2004. Membuat Nata de Coco. Puspa Swara, Jakarta.
56
Saxenaa I. M., R. M. Brown, T. Dandekarb. 2001. Structure-function characterization of cellulosa synthase: Relationship to other glycosyltransferases. Phytochemistry 57: 1135 – 1148. Scott, R. 1986. Cheesemaking Practise. 2nd ed. Elsevier Applied Science Publishers, London and New York. Setiani, A. 2007. Pengaruh konsentrasi sukrosa dan amonium sulfat terhadap mutu nata Gracilaria sp. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sihombing, D.T.H. 2005. Ilmu Ternak Lebah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Silva, J. A., L. Patarata & C. Martins. 1999. Influence of ultimate pH on bovine meat tenderness during ageing. Journal of Meat Science 52, 453-459. Siregar, H. C. H. 2002. Pengaruh metode penurunan kadar air, suhu dan lama penyimpanan terhadap kualitas madu randu. Tesis. Program Pasca Sarjana, Intitut Pertanian Bogor. Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatarkarya Aksara, Jakarta. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan: B.Sumantri. Gramedia, Jakarta. Suryani, A., E. Hambali & P. Suryadarma. 2007. Membuat Aneka Nata. Penebar Swadaya, Jakarta. Tenda, E.T. 1992. Studi mikrobiologi minuman ringan air kelapa karbonat dan nonkarbonat. Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Thimman, K. V. 1964. The Life of Bacteria. Phillipine. Mac Milan Co., New York. Truchado, P., A. Gil-Isquierdo, F. Barberan & A. Allende. 2009. Inhibition by chesnut honey of N-Acyl-L homoserine lactones and biofilm formation in Erwinia carotovora, Yersinia enterocolitica, and Aeromaona hydrophila. J. Agricultural and Food Chemistry 57 (23): 11186-11193. Walstra, P. & R. Jennes. 1984. Dairy Chemistry and Physics. Wiley Interscience Publication, New York. Walter, E. H. M., D.Y. Kabuki, L. M. R. Esper, A. S. Sant’ana & A.Y. Kuaye. 2009. Modeling the growth of Listeria monocytogenes in fresh green coconut (Cocos nucifera L.) water. J.Food Microbiology 26: 653-657. Wijaningsih, W. 1999. Pengaruh starter, sumber nitrogen dan lama fermentasi terhadap mutu nata kulit semangka. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Williams, J. C. 1976. Intermediate Moisture Foods. Applied Science publishers Ltd., London. Winarno, F. G. 1982. Madu : Teknologi, Khasiat dan Analisa. Ghalia Indonesia. Jakarta. Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press, Bogor. 57
Woodroof, J.G. 1979. Coconut Production, Processing, Product. The AVI Published Co., Westport, Connecticut. Yoneda, Y. 2003. Pemanfaatan whey keju dalam pembuatan nata de whey dengan penambahan ammonium sulfat dan glukosa. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
58
LAMPIRAN
59
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Rendemen Penelitian Pendahuluan Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
2
18,2231
9,2116
16,78
0,024
Galat
3
1,6287
0,5429
Total
5
19,8518
Simpangan baku = 0,736823; R-kuadrat = 0,918 Uji Lanjut Tukey HSD untuk Rendemen Pendahuluan Perlakuan Rataan Kehomogenan 1 28,593 A 2 25,435 B 3 24,527 B Alpha = 0,05 Nilai kritis untuk perbandingan = 3,0787 Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Rendemen Penelitian Lanjutan Nata de Madoe Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
3
266,837
88,946
19,22
0,0001
Galat
8
37,022
4,628
Total
11
303.859
Simpangan baku = 2,15124 ; R-kuadrat = 0,8782 Uji Lanjut Tukey HSD untuk Rendemen Penelitian Lanjutan Perlakuan Rataan Kehomogenan 3 38,028 A 4 37,300 A 2 32,484 A 26,222 B 1 Alpha = 0,05 Nilai kritis untuk perbandingan = 5,6228 Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Ketebalan Nata de Madoe Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
3
55,980
18,660
36,67
0,0000
Galat
8
4,433
0,554
Total
11
60,413
Simpangan baku = 0,744420; R-kuadrat = 0,9266
60
Uji Lanjut Tukey HSD untuk Ketebalan Nata Perlakuan Rataan Kehomogenan 3 11,075 A 4 9,881 AB 2 7,992 B 1 5,356 C Alpha = 0, 05 Nilai kritis untuk perbandingan = 1,9457 Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan Nata de Madoe Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
3
9,8158
3,2719
49,70
0,0000
Galat
8
0,5267
0,0658
Total
11
10,3425
Simpangan baku = 0,256580; R-kuadrat = 0,9491 Uji Lanjut Tukey HSD untuk Kekenyalan Nata Perlakuan 2 4 1 3
Rataan 7,5667 6,5667 6,5333 5,0333
Alpha = 0.05
Kehomogenan A B B C
Nilai kritis untuk perbandingan = 0, 6706
Lampiran 5. Hasil Analisis Nilai Lightness Nata de Madoe Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
3
73,443
24,481
34,72
0,0000
Galat
8
5,64
0,705
Total
11
79,083
Simpangan baku = 0,839648; R-kuadrat = 0,9287 Uji Lanjut Tukey HSD untuk Lightness Nata Kehomogenan Perlakuan Rataan 1 43,923 A 2 42,213 AB B 4 41,003 3 37,193 C Alpha = 0.05 Nilai kritis untuk perbandingan = 2,1946
61
Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Nilai a Nata de Madoe Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
3
1,2643
O,4214
4,12
0,048
Galat
8
0,8174
0,1022
Total
11
2,0817
Simpangan baku = 0,319648; R-kuadrat = 0,6073 Uji Lanjut Tukey HSD untuk Nilai a Nata Perlakuan Rataan Kehomogenan 3 7,3800 A 1 7,3533 A 4 6,7833 A 2 6,6633 A Alpha = 0,05 Nilai kritis untuk perbandingan = 0,8355 Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Nilai b Nata de Madoe Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
3
28,9298
9,6433
15,41
0,0001
Galat
8
5,0062
0,6258
Total
11
33,9360
Simpangan baku = 0,791059; R-kuadrat = 0,8525 Uji Lanjut Tukey HSD untuk Nilai b Nata Perlakuan Rataan Kehomogenan 1 16,777 A B 2 14,380 3 13,053 B 4 12,903 B Alpha = 0,05 Nilai kritis untuk perbandingan = 2,0676 Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Nilai ºHUE Nata de Madoe Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
3
65,403
21,801
93,10
0,0000
Galat
8
1,873
0,234
Total
11
67,277
Simpangan baku = 0,483908; R-kuadrat = 0,9722
62
Uji Lanjut Tukey HSD untuk ºHUE Nata Perlakuan 1 2 4 3
Rataan 66,433 65,200 62,333 60,500
Alpha = 0,05
Kehomogenan A A B C
Nilai kritis untuk perbandingan = 1,2648
Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam Warna pada Uji Hedonik Nata Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
2
55121
27560,7
29,6
0,0000
Galat
129
120257
932,2
Total
131
175378
Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam Aroma pada Uji Hedonik Nata Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
2
8283
4141,47
3,57
0,0311
Galat
129
149764
1160,96
Total
131
158047
Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Rasa pada Uji Hedonik Nata Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
2
11493
5746,57
5,00
0,0081
Galat
129
148226
1149,04
Total
131
1591719
Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan pada Uji Hedonik Nata Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
2
10286
5142,80
4,31
0,0154
Galat
129
153859
1192,71
Total
131
164145
63
Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam Kesan Secara Keseluruhan pada Uji Hedonik Nata Sumber Keragaman Perlakuan
Db
JK
KT
F hitung
Nilai P
2
31270
4141,47
15,6
0,0000
Galat
129
129386
1160,96
Total
131
160656
1003,0
Lampiran 14. Hasil Uji Analisis Proksimat Nata de Madoe
64
Lampiran 15. Form Uji Hedonik FORM UJI HEDONIK Nama panelis : Tanggal
:
Komoditi
: nata
Intruksi
: Dihadapan Anda terdapat produk nata, silahkan uji produk yang ada sesuai dengan tingkat kesukaan Anda dengan nilai antara 1-7. Pengujian dilakukan dengan cara melihat warna, mencium aroma, kunyah dan rasakan, kemudian nilai kesan secara keseluruhan dari nata yang Saudara uji. Setelah semua parameter selesai diuji, isilah komentar Anda pada bagian yang telah disediakan.
Parameter
365
428
179
Warna Rasa Aroma Kekenyalan Kesan secara keseluruahan
Komentar :
Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sangat tidak suka Agak tidak suka Tidak suka Agak suka Suka Sangat suka Amat sangat suka
65