KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN MELALUI EKSTENSIFIKASI KEGIATAN HUTAN RAKYAT POLA TUMPANGSARI DI KECAMATAN SAMARINDA UTARA Mustika Iriana1, Mustofa Agung Sardjono2 dan Johanes Johny Hang Kueng2 1
Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palu. Laboratorium Sosekhut Fahutan Unmul, Samarinda
2
Abstract. Policy and Implementation of Forest and Land Rehabilitation Program through the Extensification of Private Forest with an Intercropping System at North Samarinda Sub District. The purpose of this research was to analyze the policy of RHL program taken by the government of Samarinda City and community perception toward this program. Furthermore, based on the data obtained, the effort to improve the technical design of RHL in Samarinda was proposed. The research was conducted in three villages: Guntung Lai (Lempake Sub District), Sungai Sering and Pampang Luar (Sungai Siring Sub District), North Samarinda District, East Kalimantan Province. The most important finding in this research were the policy and implementation of Special Fund Allocation for Reforestation Program (DAK-DR) 2001/2002 did not have a technical supporting base, either in the form of regulations or a sufficient technical design. The regulation issued by the regional government focused more on the legal administrative and financial aspect. As a result, the implementation in the field and the activities in designing, organizing, conducting and controlling were not maximum. The internal factors influenced such condition were the unavailability of technical design, the limitation of DAK-DR budget, the unavailability of access to the policy itself, the lack of program socialization and the nontransparent program. Generally, the community felt unsatisfactory with the RHL program because some parts of implementation were not in line with the rules and their aspirations. This could be seen from the negative responses of the community on the location selection, program socialization and counseling, land condition, seedlings, maintenance cost, assistantship/establishment and supervision, decision making, and community satisfaction as well as accomplishment evaluation. In order to improve the RHL implementation, especially in relation to the policy context, a strategy in improving the technical design can be made. The external factors that can support this effort include: the availability of expertise and research findings, non-government organization, RHL work group and the demand for industrial raw materials. Kata kunci: kebijakan, rehabilitasi, hutan rakyat, Smarinda
Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Propinsi Kalimantan Timur merupakan perwujudan konsep otonomi daerah yang melibatkan secara aktif masyarakat sekitar hutan dan penduduk setempat sebagaimana yang telah diatur dalam berbagai perundangan utamanya Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999 jo nomor 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah), UU nomor 25 tahun 1999 139
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (2), OKTOBER 2008
140
jo nomor 33 tahun 2004 (tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah), UU nomor 41 tahun 1999 (tentang Kehutanan), SK Menteri Kehutanan nomor 20/Kpts-II/2001 (tentang Pola dan Standar serta Kriteria RHL) dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Timur nomor 522/K.220/2002 (tentang Pembentukan Kelompok Kerja RHL Propinsi Kalimantan Timur). Salah satu program RHL Pemerintah Kota Samarinda diimplementasikan dalam bentuk kegiatan Hutan Rakyat Pola Tumpangsari seluas 318 ha di Dusun Guntung Lai (Kelurahan Lempake), Sungai Siring dan Pampang Luar (Kelurahan Sungai Siring). Kedua kelurahan tersebut termasuk wilayah Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur. Hasil evaluasi pelaksanaan RHL di Kalimantan Timur menyimpulkan, bahwa nilai untuk implementasi di Samarinda Utara berkisar antara jelek hingga kurang baik (Anonim, 2003a). Demikian pula berdasarkan hasil penelitian Shofiyah (2004), diketahui bahwa Program RHL di kedua lokasi tersebut kurang berhasil, dalam arti realisasi dan capaian kegiatan fisik di lapangan di bawah dari sasaran yang ditetapkan. Rendahnya keberhasilan yang dicapai secara umum disebabkan oleh teknis kegiatan, antara lain: bulan tanam (musim kemarau), kualitas bibit rendah (bibit tidak bersertifikat dan sebagian besar dari biji, bukan cangkokan) serta minimnya bantuan pupuk dan pemberantasan hama. Meskipun demikian, aspek teknis tersebut dipertimbangkan tidak berdiri sendiri, karena aspek kebijakan termasuk rancang teknis RHL yang ditetapkan oleh Pemda Samarinda sendiri merupakan acuan yang perlu juga dievaluasi kesesuaiannya. Terlebih lagi pola yang ditetapkan sangat spesifik yaitu Hutan Rakyat (dengan teknik Tumpangsari), artinya penghutanan (penanaman pohon) pada lahan-lahan yang dimiliki/dikuasai masyarakat dengan kombinasi tanaman semusim. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan program RHL Pemerintah Kota Samarinda melalui ekstensifikasi kegiatan Hutan Rakyat Pola Tumpangsari dan proses implementasinya di masyarakat serta menganalisis kondisi dan persepsi masyarakat sebagai peserta RHL terhadap pelaksanaan dan hasil yang didapat dalam Program RHL melalui ekstensifikasi kegiatan Hutan Rakyat Pola Tumpangsari. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di tiga dusun, yaitu Dusun Guntung Lai (Kelurahan Lempake), Dusun Sungai Siring dan Dusun Pampang Luar (Kelurahan Sungai Siring), Kecamatan Samarinda Utara, Propinsi Kalimantan Timur. Pengambilan sampel responden di masing-masing dusun dari anggota Kelompok Tani yaitu Dusun Guntung Lai 19 orang, Sungai Siring 24 orang dan Pampang Luar 17 orang, sehingga jumlah responden 60 orang. Pengumpulan data dan informasi diperoleh melalui kombinasi studi dokumentasi dan telaahan kebijakan dengan wawancara dan observasi lapangan. Analisis data dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu analisis deskriptif dengan pendekatan empiris dan valuatif dengan aspek internal sebagai bagian dari metode SWOT untuk mengetahui kebijakan dan implementasi program RHL. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi dan persepsi masyarakat terhadap
141
Iriana dkk. (2008). Kebijakan dan Implementasi Program Rehabilitasi
pelaksanaan RHL digunakan analisis deskriptif kualitatif dan untuk upaya penyempurnaan Rancangan Teknis RHL di Samarinda digunakan analisis preskiptif dengan pendekatan normatif dengan aspek eksternal sebagai bagian dari metode SWOT. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Kebijakan dan Implementasi Program DAK-DR 2001/2002 Umum Implementasi Program Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi (DAK-DR) 2001/2002 di Kota Samarinda dilaksanakan setelah keluarnya dana DAK-DR sebesar Rp1.900.000.000 (1%) dari total sebesar Rp190.200.000.000. Jumlah yang diterima oleh Kota Samarinda paling kecil dikarenakan dana ini bersumber dari produksi/luas hutan produksi yang ditebang, padahal luas hutan di Kota Samarinda hanya 24.991 ha dan itupun sebagian besar menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah Hutan Produksi yang tidak lagi produktif (Anonim, 2003b). Sebagaimana dikemukakan oleh Justianto (2005), bahwa secara prinsip DR merupakan bagi hasil sumber daya hutan yang dipungut dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (pada Hutan Produksi). Tahapan ini sesuai UU 25/1999 dengan pembagian 40% untuk daerah penghasil dan 60% untuk Pemerintah Pusat yang diperlukan untuk reboisasi dan rehabilitasi daerah lainnya. Padahal definisi daerah penghasil pada saat itu belum jelas karena belum ada aturan pelaksanaannya. Demikian pula operasionalisasi Program DAK-DR 2001/2002 tampaknya hanya didasarkan pada UU nomor 22/1999, 41/1999 dan 1997 dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25/2000 yang lebih menitikberatkan pada persoalan kewenangan daerah. Bapedalda Samarinda terpilih sebagai penanggung jawab pelaksana, berhubung pada saat itu belum terdapat Dinas Kehutanan Samarinda (baru terbentuk tahun 2003). Perencanaan Bapedalda memilih lokasi DAK-DR di Samarinda Utara dan dengan pendekatan Hutan Rakyat pola Tumpangsari bukan berdasarkan Rancangan Teknis (Rantek) yang berdasarkan penelitian ini belum tersedia saat itu. Dalam pelaksanaan dan penetapan pendekatan Program tampaknya adalah Dokumen RTL-RLKT (1999) dari Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT-Mahakam Berau) sesuai dengan SK Walikota Kepala Daerah Tingkat II Samarinda nomor 660/090.A/HUK-KMS/1999 tentang Rencana Teknis Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT) Sub DAS Karang Mumus (Anonim, 1999). Dari hasil wawancara dengan petani peserta kegiatan RHL yang dimulai dari perencanaan masyarakat tidak dilibatkan, terutama dalam kegiatan pemilihan lokasi, tenaga kerja dan penentuan bibit yang akan ditanam. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pemilihan lokasi ditemui beberapa masalah, di antaranya lokasi penanaman yang berjauhan meskipun dalam satu unit kegiatan penanaman. Pemilihan lokasi diserahkan sepenuhnya kepada Ketua Kelompok Tani. Pemilihan lokasi yang tidak tepat, seperti kasus di ke 3 Dusun sudah ada tanaman sebelumnya, bahkan di Dusun Pampang Luar penanaman
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (2), OKTOBER 2008
142
bahkan di daerah rawa. Selain kasus tersebut beberapa petani tidak mengetahui kalau lahannya dipakai untuk kegiatan RHL. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi, kalaupun ada sosialisasi tetapi tidak semua petani ikut dalam kegiatan sosialisasi tersebut. Petani peserta kegiatan RHL dipilih oleh Ketua Kelompok Tani, sehingga nama yang ada pada pelaksana proyek tidak sesuai dengan nama yang diberikan oleh Ketua Kelompok. Dari hasil wawancara dengan petani peserta kegiatan RHL, ada beberapa nama yang orangnya tidak berada di lokasi pada saat kegiatan dilaksanakan, bahkan ada yang didaftar tapi tidak mempunyai lahan. Ada yang mempunyai lahan, tetapi hanya dipinjam oleh Ketua Kelompok dan tidak mendapat bantuan sama sekali. Menurut Supriadi (1994), fase yang paling penting dari kegiatan pembangunan hutan adalah fase perencanaan, yang mana pada fase ini, produksi, kualitas lingkungan dan partisipasi masyarakat perlu dipertimbangkan secara seksama agar dapat berhasil guna dan berdaya guna. Pengorganisasian Berkaitan dengan aspek pengorganisasian hanya ditemukan tiga Surat Keputusan Walikota Samarinda yang dijadikan dasar legal. Substansi dan implementasi masing-masing dasar legal tersebut, adalah sebagai berikut: a. SK Walikota Samarinda nomor 998/311/HUK-KS/2001 tentang Penunjukkan Pimpinan Proyek dan Bendaharawan Proyek DAK-DR Tahun Anggaran 2001/2002. b. SK Pimpro nomor 05/PRKLDP/Bpdl-KS/XII/2001 tentang Pembentukan Tim Pengarah Teknis Proyek Rehabilitasi Kawasan Lindung dan Daerah Penyangga Kota Samarinda. c. SK Pimpro nomor 08/PRKLDP/Bpdl-KS/IV/2002 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Staf Pengelola Administrasi dan Pengelola Teknis Proyek Rehabilitasi Kawasan Lindung dan Daerah Penyangga Kota Samarinda. Dari Surat Keputusan tersebut di atas, tugas dari Pengelola Administrasi dan Pengelola Teknis sudah jelas, namun implementasi di lapangan berbeda. Dari hasil wawancara dengan pelaksana proyek (Bapedalda) dan data yang diberikan kepada penulis, bahwa secara administrasi pelaksana proyek mempunyai daftar nama petani peserta kegiatan RHL lengkap dengan luas lahannya. Namun kenyataan di lapangan sangat berbeda, bahwa nama yang ada pada pelaksana proyek sebagian besar hanya merupakan nama fiktif, karena pelaksana proyek tidak langsung mendaftar petani peserta, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada ketua kelompok. Pelaksanaan Tidak berbeda dengan pengorganisasian, basis legal pelaksanaan RHL di lokasi penelitian hanya pada tingkat keputusan Pimpinan Proyek. Di samping itu aspek yang menjadi substansi kebijakan hanya berkisar pada administrasi keuangan. Tidak dijumpai landasan teknis yang dikembangkan oleh pihak proyek untuk implementasi RHL, seperti Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) ataupun Petunjuk Teknis (Juknis). a. SK Pimpro nomor 02/PRKLDP/Bpdl-KS/XI/2002 tentang Pembentukan Panitia Penyuluhan Kelompok Masyarakat Rehabilitasi dan Konservasi Lahan.
143
Iriana dkk. (2008). Kebijakan dan Implementasi Program Rehabilitasi
b. SK Pimpro nomor 03/PRKLDP/Bpdl-KS/XI/2001 tentang Pengangkatan Instruktur Penyuluhan Kelompok Masyarakat Rehabilitasi dan Konservasi Lahan. c. SK Pimpro nomor 03/PRKLDP-DR/Bpdl-KS/XII/2001 tentang Pengangkatan Pengawas/Mandor Lapangan. d. SK Pimpro nomor 04/PRKLDP/Bpdl-KS/XI/2001 tentang Bantuan Uang Saku Kepada Peserta Penyuluhan Kelompok Masyarakat Rehabilitasi dan Konservasi Lahan. e. SK Pimpro nomor 05/PRKLDP/Bpdl-KS/XII/2001 tentang Pembentukan Tim Pengarah Teknis Proyek Rehabilitasi Kawasan Lindung dan Daerah Penyangga Kota Samarinda. f. SK Pimpro nomor 08/PRKLDP/Bpdl-KS/IV/2002 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Staf Pengelola Administrasi dan Pengelola Teknis Proyek Rehabilitasi Kawasan Lindung dan Daerah Penyangga Kota Samarinda. Implementasi SK tersebut di lapangan tidak sesuai. Dari beberapa petani peserta di lokasi penelitian, mereka tidak mengetahui kalau ada uang saku untuk para petani yang menghadiri penyuluhan. Pada saat sosialisasi program kegiatan RHL, petani peserta hanya sebagian kecil yang menghadiri. Hal ini tentunya berakibat terhadap petani, karena mereka tidak mengetahui dengan pasti kegiatan apa yang akan dilakukan dan berapa bantuan yang diterima. Pemantauan Penilaian utama dari keberhasilan program RHL adalah penampakan fisik tanaman di lahan yang direhabilitasi, yaitu dengan adanya tanaman yang tumbuh di lahan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani peserta kegiatan RHL, bahwa selama kegiatan berlangsung di ke 3 Dusun tidak pernah ada pemantaun dari instansi terkait. Analisis kekuatan dan kelemahan kebijakan RHL Analisis kekuatan dan kelemahan kebijakan pelaksanaan RHL di Kecamatan Samarinda Utara ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Matriks Analisis Kekuatan dan Kelemahan Kebijakan Pelaksanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Samarinda Utara No. Komponen 1. Peraturan/kebijakan
2. Pendanaan
Kekuatan RHL menjadi prioritas pembangunan kehutanan. Adanya Perda yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan SDH. Adanya dukungan pengelolaan SDA dalam Program Pembangunan Daerah Propinsi. Kalimantan Timur. Adanya dana DAK-DR sebagai stimulan penyelenggaraan RHL. Adanya dana pendamping DAKDR dari pemerintah Kabupaten/Kota.
Kelemahan Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis belum maksimal dilaksanakan. Monitoring dan evaluasi terhadap operasional kegiatan belum maksimal. Penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan dan lahan masih lemah. Dana DAK-DR yang terbatas belum dimanfaatkan secara efektif. Dana pendamping dari pemerintah kabupaten/kota masih sangat terbatas.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (2), OKTOBER 2008
144
Tabel 1 (lanjutan) No. Komponen Kekuatan 3. Perencanaan dari Sebagian DAS/Sub DAS sudah instansi terkait disusun Pola dan RTL RLKT. 4. Organisasi penanggung- Terdapat organisasi penanggung jawab dan pendukung jawab kegiatan RHL (Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten). Terdapat organisasi pendukung RHL (BPDAS, BKH dan KKRHL). 5. Pelaksanaan/evaluasi Terdapat institusi yang memiliki pengalaman teknis dan manajemen. 6. Data dan informasi
7. Teknologi
8. Peranserta masyarakat
9.
10.
11.
Kelemahan Pola RTL RLKT yang ada belum maksimal dimanfaatkan. Persepsi terhadap kegiatan RHL masih beragam. Koordinasi antar instansi terkait belum maksimal.
Penyelenggaraan kegiatan belum melibatkan stakeholder yang terkait. Pengawasan/evaluasi masih lemah. Tersedia data dan informasi untuk Data dan informasi masih lemah menyusun rencana dan dan belum transparan. mengimplementasikan kegiatan RHL. Tersedia teknologi RHL yang Pemanfaatan teknologi lokal belum bersifat spesifik lokal. maksimal. Terdapat lembaga penelitian dan Peran lembaga penelitian belum pengembangan (Litbang), dimanfaatkan secara maksimal. pendidikan dan latihan keterampilan kehutanan (Diklat). Terdapat inisiatif masyarakat Belum ada mekanisme untuk dalam pelaksanaan RHL. melayani dan mengakomodasikan Terdapat LSM yang berbasis inisiatif masyarakat. pelestarian lingkungan. Penyelenggaraan RHL kurang memanfaatkan inisiatif masyarakat. Kebanyakan LSM berada di ibukota propinsi dan kabupaten/kota. Dinamika kelompok sosial Keterbatasan modal. Pemimpin yang karismatik, Keterbatasan modal sehingga petani sebagai penggerak dan kurang berani menghadapi risiko mempunyai persepsi positif kegagalan. terhadap kegiatan RHL. Kebanggaan kelompok Ketiadaan akses terhadap akan keberhasilan yang kebijakan. dicapainya, melalui perencanaan Kebijakan RHL hanya diketahui partisipatif dan publikasi contoh oleh pelaksana proyek, sehingga keberhasilan. informasi yang diperoleh juga terbatas. Pengetahuan budidaya dan Kurangnya sosialisasi program, keterampilan penanaman yang hanya 3 kali selama kegiatan baik, umumnya petani peserta RHL. merupakan pendatang dan Program yang tidak transparan umumnya telah mengenal antara Ketua Kelompok dengan budidaya tanaman pertanian dan anggota. kehutanan.
145
Iriana dkk. (2008). Kebijakan dan Implementasi Program Rehabilitasi
Tabel 1 (lanjutan) No. 12.
Komponen
Kekuatan Kelemahan Persepsi terhadap kegiatan RHL. Adanya ketidakpastianpemilikan/ Petani merasa senang, selain penguasaan atas lahan dan mendapat bibit, sarana produksi, keuntungan/hasil yang dapat upah penyiapan lahan, dinikmati. penanaman juga lahan yang selama ini terlantar dapat dimanfaatkan.
Analisis persepsi masyarakat terhadap implementasi RHL Pelaksanaan rehabilitasi hutan sewajarnya memprioritaskan keterlibatan masyarakat setempat karena mereka mempunyai posisi yang sangat strategis dan potensial. Masyarakat setempat yang mempunyai status yang jelas dan legal seharusnya diberi tanggung jawab pengelolaan rehabilitasi hutan. Menurut Sardjono (2001), hal penting dari situasi perkembangan kebijakan kehutanan yang ada adalah tidak dipertimbangkan manusia sebagai komponen utama ekosistem hutan dan kepentingan peran serta dari “masyarakat lokal” dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Secara umum peraturan kebijakan kehutanan menempatkan komponen manusia atau masyarakat lokal sebagai sumber gangguan daripada “kunci keberhasilan” suatu pengelolaan sumberdaya. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan RHL dapat dilihat melalui tanggapan/pandangan terhadap pertanyaan yang diajukan terkait implementasi RHL serta sesuatu hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Persepsi yang bersifat positif akan memberikan dampak yang positif dan demikian juga sebaliknya persepsi negatif akan memberikan dampak negatif terhadap program RHL di Kecamatan Samarinda Utara secara keseluruhan. Hal ini terutama menyangkut kemungkinan pelaksanaannya kembali di masa yang akan datang. Hasil penelitian terhadap persepsi/respon masyarakat disajikan sebagai berikut: Pemilihan lokasi. Pemilihan lokasi penanaman kegiatan RHL, baik pada Kelompok I, II dan III hanya ketua Kelompok Tani yang dilibatkan untuk mencari lokasi mana yang akan dilakukan penanaman kegiatan RHL. Hal ini tentunya merupakan peluang bagi ketua Kelompok Tani untuk mencatat siapa saja untuk ikut kegiatan RHL, walaupun tidak punya lahan. Demikian pula ada anggota yang mempunyai lahan tetapi tidak diikutkan kegiatan, bahkan orang yang tidak berada di lokasi kegiatan tetap dimasukkan anggota, sehingga banyak nama yang didaftar tapi tidak ada orangnya. Sosialisasi program dan penyuluhan. Pada saat sosialisasi program kegiatan hanya dihadiri oleh sebagian petani peserta. Dari hasil wawancara dengan ketua Kelompok Tani Kelompok I, II dan III, bahwa petani peserta yang ikut sosialisasi hanya sebagian, karena menurut ketua Kelompok hanya yang mewakili saja. Namun menurut penulis, sebaiknya semua petani peserta harus ikut dalam setiap kegiatan terutama sosialisasi, karena kegiatan sosialisasi merupakan bagian terpenting dari semua kegiatan yang harus dilakukan dalam rehabilitasi, apalagi kegiatan tersebut berupa pembuatan Hutan Rakyat. Pada saat sosialisai semua petani peserta harus hadir, sehingga mereka tahu apa yang akan mereka kerjakan, berapa upah yang akan
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (2), OKTOBER 2008
146
diterima, berapa bantuan bibit, pupuk dan peralatan kerja. Dalam hal ini pelaksana proyek sebaiknya pada saat sosialisasi harus mempunyai daftar nama petani peserta sehingga tidak terjadi nama yang didaftar adalah merupakan nama fiktif. Berdasarkan wawancara dengan petani peserta pada Kelompok I, II dan III, bahwa sosialisasi program kegiatan RHL sebanyak 3 kali. Pada sosialisasi pertama yang melakukan sosialisasi adalah dari instansi terkait, yaitu: Bapedalda, PPLH Unmul, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian dan LSM. Pada sosialisasi kedua dan ketiga yang menyampaikan dari Pimpinan Proyek beserta staf, pada sosialisasi ketiga adalah sebelum kegiatan penanaman dimulai. Sosialisasi yang tidak merata bahkan berakibat pada ketidaktahuan sebagian warga, bila lahannya digunakan sebagai areal rehabilitasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani peserta pada Kelompok I, II dan III, bahwa ketua Kelompok hanya mencatat nama walaupun orangnya tidak ada di lokasi bahkan yang tidak punya lahanpun didaftar. Menurut penulis, hal ini bisa dihindari bila pelaksana proyek mempunyai data lengkap tentang nama dan luas lahan dan di mana lokasi penanaman, sehingga ketua Kelompok tidak seenaknya mendaftar, tetapi tidak memberi tahu untuk kegiatan apa dan bantuan yang akan diterima. Kondisi lahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani peserta kegiatan RHL pada Kelompok I sudah ada tanaman sebelum ada kegiatan RHL yaitu: kelapa, kemiri, nangka, mangga, rambutan, salak, durian, sawit, bambu, pisang, jambu, langsat, nenas dan pepaya. Tanaman semusim yaitu: terong hutan, tomat, mentimun dan cabe. Pada Kelompok II juga sudah ada tanaman yaitu: akasia, nangka, kelapa, pisang, rambutan, kopi, pepaya, singkong, petai, jambu mete dan jeruk. Tanaman semusim yaitu: jagung, mentimun, kacang panjang, kacang tanah, bawang merah, kencur, kunyit, jahe, jengkol dan buncis. Tanaman yang menghasilkan (dijual) umumnya pisang dan tanaman semusim. Pada kelompok III sama dengan Kelompok I dan II sudah ada tanaman yaitu: durian, nangka, kelapa, pisang, rambutan, petai dan nenas. Tanaman semusim yaitu: semangka, singkong, jagung, pare, kacang panjang, tomat, mentimun dan cabe. Tanaman yang menghasilkan (dijual) yaitu semangka dan sayuran. Tanaman yang ada sebelum adanya kegiatan RHL merupakan tanaman tahunan. Lokasi penanaman kegiatan RHL adalah di areal kebun kelapa. Dari uraian ini dapat disimpulkan, bahwa implementasi kegiatan di lapangan tidak sesuai dengan ketentuan, lahan yang dijadikan lokasi kegiatan RHL adalah lahan yang kritis dan tidak produktif dan merupakan lahan kosong. Bibit tanaman. Petani peserta kegiatan RHL dalam mendapatkan bibit langsung mengambil di tempat pendistribusian, sehingga pembagian bibit tidak sesuai dengan ketentuan proyek yaitu 60% tanaman kayu dan 40% MPTS. Menurut penulis, pada kasus Kelompok I, II dan III, pendistribusian bibit langsung di lokasi penanaman, sehingga petani langsung mengambil bibit sesuai keinginannya tanpa dikoordinir baik oleh pelaksana proyek maupun oleh ketua kelompoknya. Agar petani peserta mendapatkan bibit sesuai ketentuan proyek, sebaiknya pelaksana proyek bila ada pendistribusian bibit agar petani diberitahu dan bibit langsung dibagikan sesuai daftar nama dari ketua Kelompok Tani, sehingga semua petani mendapat bibit. Biaya pemeliharaan. Sebagian besar warga (responden) menyatakan tidak memperoleh biaya pemeliharaan. Hal ini secara jelas dapat dilihat dari respon masing-masing kelompok. Namun petani tetap memelihara tanaman, walaupun tidak
147
Iriana dkk. (2008). Kebijakan dan Implementasi Program Rehabilitasi
mendapat biaya pemeliharaan, karena lokasi kegiatan RHL berdekatan dengan lahan pertanian dan tempat tinggal. Pendampingan/pembinaan dan pengawasan. Kelompok I petani peserta yang tahu adanya pembinaan oleh Bapedalda dan PPL Pertanian hanya 4 orang (21,05%), sedangkan petani yang tidak tahu sebanyak 15 orang (78,95%), karena tidak diberitahu oleh ketua Kelompok Tani. Kelompok II petani yang tahu adanya pembinaan dari LSM Bumi dan Pengawasan dari Bapedalda, LSM Bumi, Penyuluh Kehutanan dan Pertanian dan dari Koperasi hanya 4 orang (16,67%), sedangkan yang tidak tahu sebanyak 20 orang (83,33%), karena tidak diberitahu oleh ketua Kelompok Tani. Pada Kelompok III, petani yang mengetahui adanya pembinaan dari PPL Pertanian dan Pengawasan dari Badan Pengawasan Keuangan, Badan Pengawasan Kota dan Daerah hanya 3 orang (17,65%), sedangkan petani yang tidak tahu adanya petugas pembinaan dan pengawasan sebanyak 14 orang (85,35%). Pengambilan keputusan. Petani peserta kegiatan RHL dalam pengambilan keputusan tidak dilibatkan, kalaupun dilibatkan hanya mengusulkan penggantian bibit. Pada Kelompok I, dalam pengambilan keputusan hanya ketua Kelompok yang dilibatkan, itupun hanya usul agar bibit rambai dan mengkudu diganti karena tidak laku dijual, petani yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan sebanyak 12 orang (63,16%), karena semua kegiatan sudah ditentukan oleh pelaksana proyek, petani hanya menerima saja, sedangkan petani yang tidak tahu sebanyak 6 orang (31,58%), karena lahannya hanya dipinjam oleh ketua Kelompok. Pada Kelompok II, dalam pengambilan keputusan hanya ketua Kelompok yang dilibatkan, baik mengenai pelaksanaan, waktu dan jenis bibit. Bibit mengkudu diusulkan supaya diganti karena tidak laku dijual, petani yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan sebanyak 23 orang (95,83%), karena semua kegiatan sudah ditentukan oleh pelaksana proyek, sedangkan petani hanya menerima saja (sebagai pekerja). Pada Kelompok III dalam pengambilan keputusan, ketua Kelompok tidak dilibatkan sama sekali. Petani peserta hanya sebagai pekerja saja di lahan sendiri. Kepuasan masyarakat dan penilaian keberhasilan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani peserta kegiatan RHL, hanya sebagian kecil yang merasa senang dengan adanya kegiatan RHL. Hal ini secara jelas dapat dilihat dari respon masingmasing kelompok. Kelompok I menunjukkan bahwa petani yang merasa senang dengan adanya kegiatan RHL hanya 6 orang (31,58%), karena mendapat bibit, pupuk dan lahan yang selama ini terlantar dapat ditanami. Petani yang tidak senang sebanyak 13 orang (64,42%) karena tidak mendapat bantuan (bibit dan pupuk), walaupun lahannya digunakan untuk kegiatan RHL. Kelompok II menunjukkan bahwa petani yang merasa senang dengan adanya kegiatan RHL hanya 7 orang (29,17%), karena mendapat bibit, pupuk dan lahan yang selama ini terlantar dapat ditanami. Petani yang tidak senang sebanyak 17 orang (70,83%) karena tidak mendapat bantuan bibit dan pupuk, walaupun lahannya digunakan untuk kegiatan RHL. Kelompok III menunjukkan bahwa petani yang merasa senang dengan adanya kegiatan RHL sebanyak 5 orang (29,41%), karena mendapat bibit dan pupuk, lahan yang selama ini terlantar dapat ditanami. Petani yang tidak senang sebanyak 12 orang (70,59%) karena tidak mendapat bantuan, bahkan harus membeli pupuk dan pembasmi rumput dari ketua Kelompok Tani, walaupun lahannya digunakan untuk kegiatan RHL. Semua kegiatan mulai dari persiapan lahan sampai saat penanaman
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (2), OKTOBER 2008
148
dilakukan dengan cara borongan, sehingga petani tidak mendapat upah sesuai ketentuan dan banyak bibit yang tidak ditanam. Pada Kelompok I, petani yang yakin hanya 2 orang (10,53%), karena walaupun tidak mendapat biaya pemeliharaan, mereka tetap memelihara, itupun secara tidak langsung karena lokasi penanaman kegiatan RHL berdekatan dengan lahan pertanian dan dekat rumah. Petani yang tidak yakin sebanyak 17 orang (89,47%), karena pada saat penanaman musim kemarau, lokasinya jauh dan tidak ada biaya pemeliharaan. Selain itu juga karena lahan yang mereka tanami bukan lahan milik, jadi mereka tidak serius memelihara karena hasilnya akan menjadi hak pemilik lahan serta bantuan yang tidak merata bahkan ada petani yang tidak mendapat bantuan sama sekali dan kualitas bibit rendah. Pada Kelompok II, petani yang yakin hanya 1 orang (4,17%), karena walaupun tidak mendapat biaya pemeliharaan, mereka tetap memelihara itupun secara tidak langsung karena lahan yang mereka tanami berdekatan dengan lahan pertanian dan dekat rumah. Petani yang tidak yakin sebanyak 23 orang (95,83%), karena pada saat penanaman musim kemarau, lokasinya jauh dan tidak ada biaya pemeliharaan. Selain itu juga karena lahan yang mereka tanami bukan lahan milik, jadi mereka tidak serius memelihara karena hasilnya akan menjadi hak pemilik lahan serta bantuan yang tidak merata, kalaupun diberi bantuan kalau meminta kepada ketua Kelompok, bahkan ada yang harus membeli pupuk dan obat pembasmi rumput (Basmilang) walaupun dengan harga murah, bahkan ada petani yang tidak mendapatkan bantuan sama sekali padahal lahannya dipakai untuk kegiatan RHL. Selain itu juga kualitas bibit rendah. Benih kacang tanah sebanyak 200 kg yang diterima hanya 35 kg yang baik, selebihnya sudah rusak. Pada Kelompok III, petani yang yakin hanya 2 orang (11,76%), karena mendapat biaya pemeliharaan. Petani yang tidak yakin sebanyak 15 orang (88,24%), karena pada saat penanaman musim kemarau, walaupun menurut petani peserta pada saat penanaman masih ada hujan, tetapi karena penanaman dilakukan secara borongan dengan upah harian, sehingga banyak tanaman yang tidak ditanam bahkan ada yang ditanam di daerah rawa. Lokasi penanaman jauh dan tidak mendapat biaya pemeliharaan dari ketua Kelompok Tani. Selain itu juga karena lahan yang mereka tanami bukan lahan milik, jadi mereka tidak serius memelihara karena hasilnya akan menjadi hak pemilik lahan serta bantuan yang tidak merata dan kualitas bibit rendah. Kegiatan penanaman dilakukan pada waktu yang tidak tepat, karena jumlah curah hujan, menunjukkan bahwa jumlah curah hujan tahunan selama enam tahun terakhir (19982003) terendah pada tahun 2002, yang mana kegiatan penanaman kegiatan RHL dilaksanakan. Menurut Sutisna (2002), jumlah curah hujan per tahun yang dapat digunakan untuk melakukan penanaman adalah 2000 mm/tahun. Curah hujan yang besar biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai Januari, sedangkan penanaman rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002 dilakukan pada waktu yang tidak tepat karena jumlah curah hujan terendah (1.676,9 mm) dan penanaman pada bulan Juni yaitu pada musim kemarau, sehingga banyak bibit yang kering dan mati, selain itu pada saat pelaksanaan penanaman bersamaan dengan persiapan lahan untuk musim tanam padi dan tidak adanya alat semprot dari pelaksana proyek.
149
Iriana dkk. (2008). Kebijakan dan Implementasi Program Rehabilitasi
Analisis Rancangan Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rancangan rehabilitasi hutan adalah rencana rinci kegiatan rehabilitasi hutan yang menggambarkan kegiatan apa, di lokasi mana dan kapan dilaksanakan. Rancangan Teknis (Rantek) pada dasarnya harus diselesaikan satu tahun sebelum kegiatan RHL dilaksanakan. Namun demikian, karena berbagai kendala yang belum dapat diatasi hingga saat ini, utamanya yang menyangkut masalah admininstratifbirokratif dan pendanaan, maka Rantek pada umumnya dikerjakan sesaat sebelum, bersamaan atau bahkan penyusunannya telah didahului oleh pelaksanaan kegiatan itu sendiri. Selanjutnya penyusunan Rantek umumnya dikerjakan oleh Konsultan Perencana sesuai dengan ikatan kerja dengan instansi teknis pelaksana kegiatan (Dinas Kehutanan, Bapedalda, Badan Pengendalian Daerah Aliran Sungai). Analisis SWOT digunakan untuk menyusun strategi bagi perencanaan tujuan yang optimal. Langkah awal yang perlu dilakukan untuk melaksanakan metode ini adalah mengenali keadaan terkini dan menetapkan kondisi yang diinginkan merupakan cermin dari kondisi saat ini yang optimal. Kondisi tersebut disebabkan oleh faktor eksternal (Peluang dan Ancaman) yang berfungsi sebagai pendukung keberhasilan pengembangan program RHL kegiatan Hutan Rakyat. Faktor eksternal dapat berasal dari unsur pemerintah, swasta, maupun masyarakat yang sifatnya dapat berupa peluang yang dapat dimanfaatkan serta berupa ancaman yang dapat menggagalkan program RHL kegiatan Hutan Rakyat. Faktor eksternal tersebut antara lain: Peluang a. Adanya tenaga ahli dan hasil penelitian. Universitas Mulawarman merupakan Perguruan Tinggi dan Badan Penelitian Kehutanan mempunyai tenaga ahli yang jumlahnya cukup banyak serta memiliki hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan kegiatan RHL, khususnya Hutan Rakyat yang berkedudukan di Kota Samarinda. Keberadaan kedua lembaga tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kegiatan RHL di Kalimantan Timur agar hasil yang dicapai dapat maksimal. b. Keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) memberikan dukungan yang sangat besar dalam rangka upaya pengorganisasian masyarakat dan pemberdayaan kelembagaan lokal. Kondisi ini dapat dimanfaatkan bagi pelaksanaan program RHL. c. Aksesibilitas lokasi. Aksesibilitas lokasi yang baik, karena lancarnya arus transportasi di tiga Dusun dengan ibukota kecamatan dan bahkan ke ibukota propinsi melalui jalan darat yang beraspal dengan kualitas baik. d. Adanya Kelompok Kerja Rehabilitasi Hutan dan Lahan (KK-RHL). Kelompok Kerja RHL Kalimantan Timur sudah ada sejak tahun 2001 dan keberadaannya sampai kini masih cukup aktif. Kepengurusan KK-RHL terbentuk berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Timur nomor 522/K.220/2002 tanggal 27 Juni 2002 dan yang terakhir SK Gubernur nomor 522.5/K.331/2004 tanggal 6 Desember 2004. Kelompok kerja ini merupakan kelompok konsultatif dalam penyelenggaraan RHL di Kalimantan Timur. Anggota kelompok kerja ini adalah personil yang mempunyai pengalaman, kemampuan dan perhatian
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (2), OKTOBER 2008
150
terhadap RHL, sehingga merupakan potensi yang dapat dimaksimalkan bagi peningkatan keberhasilan program RHL kegiatan Hutan Rakyat. Kondisi ini merupakan peluang dalam mendukung program RHL kegiatan Hutan Rakyat. e. Permintaan bahan baku industri. Pengembangan industri pengolahan kayu yang kurang terkoordinasi akan berakibat terhadap ketidakseimbangan antara kapasitas terpasang mesin dengan ketersediaan bahan baku dari hutan alam. Saat ini pasokan bahan baku dari hutan alam semakin berkurang dengan semakin sulitnya sumberdaya. Kondisi ini merupakan peluang untuk pengembangan kegiatan RHL khususnya Hutan Rakyat sebagai pemasok industri pengolahan kayu. Ancaman a. Ketidakjelasan status pemilikan lahan. Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak milik. Tetapi lahan-lahan yang dikuasai oleh warga di tiga dusun yang menjadi lokasi RHL belum seluruhnya memiliki sertifikat tanah. Kondisi ini dapat menjadi disinsentif dan bahkan keamanan masa depan atau produksi yang dihasilkan dari hutan tanaman. Ketidakpastian pemilikan/penguasaan atas lahan, ketidakpastian keuntungan yang dapat dinikmati oleh masyarakat, kebijakan mengenai kegiatan RHL selama ini belum mampu menjawab berbagai ketidakpastian yang dirasakan masyarakat sebagai mitra sejajar selama ini. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, petani peserta khususnya yang lahan pinjam, petani masih ragu untuk memelihara tanamannya karena hasil akhir belum tahu siapa yang berhak memanen. Ketidakpastian pemilikan lahan bagi masyarakat belum jelas, sehingga kebijakan yang ada selama ini belum mampu menjawab berbagai ketidakpastian yang dirasakan masyarakat selama ini. b. Program/sosialisasi yang tidak transparan. Program yang tidak transparan sehingga banyak kegiatan yang tidak sesuai ketentuan. Seperti kegiatan perencanaan, karena tidak transparan sehingga penetapan lokasi yang harusnya pada lahan kritis tapi implemntasi di lapangan pada lahan yang telah ada tanamannya dan bahkan pada daerah rawa. c. Rendahnya peranserta lembaga pemerintah. Program RHL saat ini masih dianggap hanya merupakan program kehutanan, sehingga lembaga lain belum mempunyai perhatian terhadap program RHL. Hampir semua permasalahan harus diselesaikan oleh Dinas Kehutanan. Hal ini tentunya kurang mendukung pengembangan program RHL, sehingga diharapkan di masa datang dapat terbentuk kelembagaan dengan melibatkan pihak terkait seperti unsur koperasi, industri dan perdagangan. d. Tingginya bahaya kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi mengancam kelangsungan kegiatan RHL. Seperti kasus di Dusun Sungai Siring yang mengakibatkan tanaman mati. Matriks analisis peluang dan anvaman kebijakan pelaksanaan RHL ditampilkan pada Tabel 2.
151
Iriana dkk. (2008). Kebijakan dan Implementasi Program Rehabilitasi
Tabel 2. Matriks Analisis Peluang dan Ancaman Kebijakan Pelaksanaan RHL No. Peluang 1. Adanya tenaga ahli dan hasil penelitian. 2. Keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 3. Aksesibilitas lokasi yang baik. 4. Adanya Kelompok Kerja Rehabilitasi Hutan dan Lahan (KKRHL). 5. Permintaan bahan baku industri.
Ancaman Ketidakjelasan status pemilikan lahan. Program/sosialisasi yang tidak transparan. Rendahnya peranserta lembaga pemerintah. Tingginya bahaya kebakaran hutan dan lahan.
Berdasarkan analisis kekuatan, kelemahan kebijakan dan analisis peluang dan ancaman ditinjau dari aspek peraturan/kebijakan, pendanaan, perencanaan dari instansi terkait, organisasi penanggung jawab dan pendukung, pelaksanaan/evaluasi, data dan informasi, teknologi dan peran serta masyarakat, maka dirumuskan suatu analisis kesesuaian kebijakan program RHL di Dusun Guntung Lai (Kelurahan Lempake), Dusun Sungai Siring dan Pampang Luar (Kelurahan Sungai Siring) dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini didasarkan pada kondisi yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman Tabel 3. Tabel 3. Matriks Analisis SWOT Kesesuaian Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Dusun Guntung Lai, Sungai Siring dan Pampang Luar Kecamatan Samarinda Utara.
Faktor Eksternal
Faktor Internal Kekuatan (Strengths) 1. RHL menjadi prioritas pembangunan kehutanan. 2. Adanya dana DAK-DR. 3. Adanya perencanaan dari intansi terkait. 4. Organisasi penanggung jawab dan pendukung RHL. 5. Tersedia data dan informasi. 6. Adanya peranserta masyarakat. 7. Adanya keterampilan dan pengetahuan budidaya 8. Persepsi yang baik terhadap kegiatan RHL
Peluang (Opportunities) 1. Adanya tenaga ahli dan hasil penelitian. 2. Keberadaan LSM. 3. Aksesibilitas lokasi yang baik. 4. Adanya Kelompok Kerja Rehabilitasi Hutan dan Lahan (KKRHL). 5. Permintaan bahan baku industri. (SO) 1. Memaksimalkan implementasi peraturan perundang-undangan. 2. Mengoptimalkan dana DAKDR dengan target fisik. 3. Memanfaatkan dan memaksimalkan data yang ada. 4. Memaksimalkan pemanfaatan data dan informasi yang tersedia pada instansi terkait. 5. Memaksimalkan peranan LSM. 6. Memaksimalkan proses interaksi masyarakat dan pemerintah. 7. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. 8. Meningkatkan penyuluhan kepada Kelompok Tani.
Ancaman (Threats) 1. Ketidakjelasan status pemilikan lahan. 2. Program/sosialisasi yang tidak transparan. 3. Bahaya kebakaran hutan dan lahan. 4. Rendahnya peranserta lembaga pemerintah. (ST) 1. Meningkatkan sosialisasi program. 2. Meningkatkan penyuluhan dan pelatihan terhadap petani. 3. Meningkatkan kewaspadaan bahaya kebakaran hutan dan lahan. 4. Meningkatkan sistem informasi yang terbuka.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (2), OKTOBER 2008
152
Tabel 3 (lanjutan) Kelemahan (Weakness) 1. Tidak adanya Rancangan Teknis. 2. Keterbatasan Dana DAK-DR. 3. Ketiadaan akses terhadap kebijakan. 4. Kurangnya sosialisasi program. 5. Program yang tidak transparan. 6. Kelembagaan yang belum maksimal.
(WO) 1. Memanfaatkan tenaga ahli dan hasil penelitian. 2. Memaksimalkan pemanfaatan dana DAK-DR dan dana pendamping. 3. Meningkatkan sosialisasi program. 4. Meningkatkan program pelatihan. 5. Memaksimalkan organisasi penanggung jawab dan pendukung RHL. 6. Memaksimalkan koordinasi dan kerja sama instansi terkait. 7. Meningkatkan monitoring dan evaluasi. 8. Kepastian pemilikan lahan.
(WT) 1. Meningkatkan pelibatan petani pada setiap program. 2. Meningkatkan penyuluhan kepada Kelompok Tani. 3. Memaksimalkan peranan LSM. 4. Menyusun sistem informasi yang terbuka dan sederhana. 5. Meningkatkan kewaspadaan kebakaran hutan dan lahan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kota Samarinda memperoleh Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) tahun 2001/2002 sebesar Rp1.900.000.000 atau sekitar 1% dari total DAK-DR Kalimantan Timur. Lokasi kegiatan RHL Kota Samarinda tahun 2001/2002 melalui Hutan Rakyat dengan pola Tumpangsari seluas 318 ha difokuskan pada kawasan lindung, Sub-DAS Karang Mumus, Kecamatan Samarinda Utara. Lokasi RHL berada di Dusun Guntung Lai yang dilaksanakan oleh Kelompok Tani Bina Bersama (160 ha), di Dusun Sungai Siring oleh Kelompok Tani Usaha Karya Tani (65 ha) dan di Dusun Pampang Luar oleh Kelompok Tani Mekar Jaya (93 ha). Implementasi RHL di Kota Samarinda 2001/2002 belum memiliki landasan kebijakan teknis, baik dalam bentuk peraturan maupun rancangan teknis yang memadai. Dasar rujukan yang digunakan seperti Rencana Teknis Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dari BRLKT Mahakam Berau itu sendiri masih bersifat global, tetapi tidak dijabarkan dalam bentuk panduan pelaksanaan. Pelaksanaan kegiatan RHL 2001/2002 sendiri belum terdapat Rancangan Teknis. Peraturan kebijakan yang dikeluarkan terletak pada aspek legal administrasi dan keuangan. Contoh: Penunjukan Pimpinan Proyek dan Bendaharawan, Pembentukan Panitia Penyuluhan, Pengangkatan Instruktur Penyuluh, Pengangkatan Pengawas/Mandor Lapangan, Bantuan Uang Saku kepada peserta Penyuluhan, Pembentukan Tim Pengarah Teknis dan Penunjukan dan Pengangkatan Staf Administrasi dan Pengelola Teknis Proyek. Kondisi ini diduga karena pelaksanaan dilakukan dalam bentuk proyek, sehingga arahnya hanya pada aspek pemanfaatan dan pengamanan finansial dan prosedur keproyekan. Akibatnya hal-hal yang berkaitan dengan aspek teknis kegiatan Hutan Rakyat jadi terabaikan seperti upaya
153
Iriana dkk. (2008). Kebijakan dan Implementasi Program Rehabilitasi
sosialisasi dan pengorganisasian masyarakat sebagai aktor penting kegiatan Hutan Rakyat pola tumpangsari terabaikan. Secara umum masyarakat tidak puas terhadap kegiatan RHL. Hal ini dikarenakan bahwa ada beberapa bagian dari implementasi yang dipandang masyarakat tidak sesuai dengan aturan atau aspirasi mereka. Contoh: pemilihan lokasi yang tidak sesuai, sosialisasi program dan penyuluhan yang belum maksimal, kondisi lahan sudah ada tanaman sebelum ada kegiatan RHL, bibit tanaman yang dibagikan tidak merata bahkan ada yang tidak mendapat sama sekali, biaya pemeliharaan tidak ada pada Kelompok I dan II, pengambilan keputusan masyarakat tidak dilibatkan mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan. Walaupun demikian masyarakat memandang positif mengenai kegiatan RHL, seperti: mendapatkan bantuan bibit, pupuk dan herbisida, lahan yang terlantar dapat ditanami. Berdasarkan hasil penelitian dapat dibuat strategi yang dapat dilakukan dalam bentuk penyempurnaan implementasi RHL, khususnya yang berkaitan dengan konteks kebijakan. Ada 25 strategi yang dapat diajukan dalam rangka penyempurnaan Rancangan Teknis RHL di masa depan khususnya di tiga dusun lokasi penelitian, antara lain: aspek strategi berdasarkan: a) strategi optimalisasi kekuatan untuk memanfaatkan peluang (S-O) yaitu: mengoptimalkan dana DAK-DR dengan target fisik; b) strategi mengurangi kelemahan untuk memanfaatkan peluang (W-O) yaitu: memanfaatkan tenaga ahli dan hasil penelitian; c) strategi penggunaan kekuatan untuk mengurangi ancaman (S-T) yaitu: meningkatkan sosialisasi program dan d) strategi memperkecil faktor penghambat untuk mengurangi ancaman (W-T) yaitu: meningkatkan kewaspadaan kebakaran hutan dan lahan. Saran Penetapan RHL dengan pendekatan Hutan Rakyat pola tumpangsari harus mengedepankan partisipasi aktif masyarakat sebagai “aktor utama” dalam seluruh tahapan pengelolaan (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan). Pengembangan program RHL Hutan Rakyat harus didukung dengan kelembagaan yang baik. Kelembagaan yang ada saat ini masih sangat sederhana dan sifatnya masih informal. Sebaiknya kelembagaan program RHL Hutan Rakyat ini diformalkan, sehingga ada kejelasan peran dan tanggung jawab para pihak yang terkait. Bila program RHL Hutan Rakyat dilanjutkan di lokasi yang sama, maka rancangan teknis harus dibuat secermat mungkin terutama pada pemilihan lokasi, waktu penanaman, jarak tanam dan pola pencampuran. Komoditas yang ditanam harus bernilai ekonomis tinggi dan cepat menghasilkan. Pendampingan/pembinaan, penyuluhan dan komunikasi lainnya yang dimuat dalam rancangan teknis harus dilakukan sesering mungkin agar masalah yang dihadapi petani peserta program RHL Hutan Rakyat cepat diketahui dan solusi yang diambil mengenai sasaran.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (2), OKTOBER 2008
154
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1999. SK Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Samarinda No. 660/090.A/HUK-KMS/ 1999 tentang Rencana Teknis Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Sub DAS Karang Mumus. Anonim. 2003a. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan RHL oleh Kabupaten dan Kota di Propinsi Kalimantan Timur. Balai Pengelolaan DAS Mahakam Berau dan Kelompok Kerja Rehabilitasi Hutan dan Lahan Propinsi Kalimantan Timur. Anonim. 2003b. Laporan Akhir Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Kawasan Lindung dan Daerah Penyangga Kota Samarinda dengan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Reboisasi (DR) Tahun Anggaran 2002. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Samarinda. Justianto, A. 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan terhadap Pendekatan Masyarakat Miskin di Kalimantan Timur. Suatu Pendekatan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor IPB, Bogor. Sardjono, M.A. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari. Makalah pada Seminar Regional Amdal “Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Yang Lestari”. Kerja Sama Silva Mulawarman - PT Petebe Mas Bahagia - Envirosystem Indonesia, Samarinda. 7 h. Shofiyah. 2004. Indeks Kinerja Petani dalam Membangun Hutan Rakyat di Kecamatan Samarinda Utara. Supriadi, R. 1994. Mengikutsertakan Masyarakat Pedesaan dalam Proyek Pengembangan Hutan Berskala Kecil. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan IX (2), Jakarta. Sutisna, M. 2002. Pembangunan Hutan Rakyat Pola Murni dan Pola Kebun di Kabupaten Berau. DAK-DR Tahun Anggaran 2001.