Museum Sejarah dan UNAIR Resmi Dibuka
Budaya
UNAIR NEWS – Museum Sejarah & Budaya UNAIR secara resmi dibuka Kamis (1/12). Diresmikannya Museum Sejarah & Budaya UNAIR ini menambah daftar museum yang ada di Universitas Airlangga. Museum resmi dibuka secara langsung oleh Wakil Rektor III Prof., Ir., Moch. Amin Alamsjah M.Si., Ph.D., dan Direktur Sumber Daya Manusia Dr. Purnawan Basundoro, M.Hum. Museum Sejarah & Budaya UNAIR ini dikelola oleh Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), UNAIR, sebagai bagian dari pembelajaran akademik sekaligus wisata museum. Nama ‘Museum Sejarah & Budaya’ diambil karena sebagai identitas sekaligus mewakili koleksi-koleksi yang ada di dalam museum yang merupakan warisan benda-benda sejarah dan budaya. Dalam sambutanya, Prof Amin mengutip kata-kata Bung Karno ‘Jasmerah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’. Karena di dalam sejarah, terdapat peristiwa masa lalu yang dapat diterapkan sebagai pembelajaran di masa kini. “Peresmian Museum Sejarah & Budaya ini mengingatkan kembali urgensi perkataan Presiden pertama RI Ir. Soekarno yaitu ‘Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’ atau disingkat Jas Merah,” kata Prof Amin.
Wakil Rektor III Prof. Amin memberikan tumpeng pertama kepada dr. Haryadi Suparto (depan), disaksikan oleh Gayung Kasuma (Kadep. Ilmu Sejarah), Purnawan Basundoro (Direktur SDM), Samidi (Dosen Sejarah), Wayan (Ketua UP2D FIB) (Foto: Istimewa) “Pembelajaran dari sejarah masa lalu salah satunya diwakili dengan keberadaan museum. Oleh karena itu harapannya, museum ini dapat menjadi media pembelajaran kita bersama untuk menjadi manusia yang lebih baik,” tambahnya. Museum ini dibagi menjadi dua ruangan. Ruangan pertama berisi berbagai buku kuno dan arsip-arsip penting dalam penelitian sejarah. Bagian kedua berisi benda dan foto-foto lama yang merepresentasikan kegiatan sehari-hari manusia pada masa lalu, seperti proyektor kuno, keris, pedang, tombak, dan wayang. Sebagian besar koleksi disumbangkan oleh pengelola Museum Kesehatan Surabaya dr. Haryadi Suparto secara bertahap sejak tahun 2007. Museum yang terletak bersebelahan dengan ruang Departemen Ilmu Sejarah ini memiliki total koleksi benda kuno
sekitar 102 buah, arsip lebih dari 200 buah, dan beberapa jurnal serta majalah lama. Peresmian museum juga dihadiri segenap pimpinan dekanat, kasubbag, ketua prodi dan sekretaris prodi di lingkungan FIB. Dengan hadirnya Museum Sejarah & Budaya di FIB ini, sekaligus sebagai media pembelajaran utama mata kuliah Museologi. Sebelumnya di UNAIR, beberapa museum sudah lebih dulu berdiri, seperti Museum Etnografi (FISIP) dan Museum Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran (FK). Museum Sejarah & Budaya ini terbuka untuk umum, khususnya mahasiswa UNAIR sebagai media belajar alternatif selain dari perpustakaan dan ruang koleksi yang terdapat di setiap fakultas dan prodi. (*) Penulis : Ikhsan Rosyid dan Yudi Wulung Editor : Binti Q. Masruroh
Museum Etnografi FISIP UNAIR Angkat Tema Kematian UNAIR NEWS – Usai direnovasi dan direvitalisasi selama sebulan lamanya, Museum dan Pusat Kajian Etnografi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, kini telah diresmikan. Pada hari Senin (21/3), Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Hilmar Farid meresmikan museum yang berada di bawah naungan FISIP. Hilmar meresmikan museum etnografi itu dengan didampingi oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Harry Widianto, Dirjen Kebudayaan RI tahun 2011-2015 Prof. Kacung
Marijan, Wakil Rektor III UNAIR Prof. M. Amin Alamsjah, Ph.D, dan Dekan FISIP UNAIR Dr. Falih Suaedi, M.Si. Dalam sambutannya, Hilmar menganggap bahwa museum merupakan tempat pengumpulan informasi dan sumber pengetahuan. Namun, permasalahan yang dihadapi oleh museum secara umum adalah kurangnya komunikasi publik. Bagi Hilmar, pengurus museum harus aktif melibatkan publik dalam berbagai program yang diadakan oleh museum. “Saya berharap agar museum ini tidak hanya fokus pada pengumpulan informasi, tetapi juga aktif melakukan komunikasi terhadap publik, agar publik merasa memiliki. Setidaknya, sivitas akademika UNAIR dulu lah harus mempunyai rasa memiliki terhadap museum ini. Saya berharap museum etnografi bisa menjadi contoh bagi museum lainnya,” tutur Hilmar. Dirjen Kebudayaan itu berharap agar pengurus museum etnografi FISIP UNAIR ini aktif mengadakan berbagai program untuk melibatkan partisipasi publik. Apabila pihak FISIP UNAIR mengajukan banyak program bagus yang berkaitan operasional museum, Hilmar berjanji untuk menambah alokasi anggaran untuk museum etnografi FISIP UNAIR. Sebelumnya, museum etnografi FISIP telah memperoleh anggaran sekitar Rp. 300 juta untuk renovasi museum. Senada dengan Hilmar, Falih selaku Dekan FISIP berharap bahwa keberadaan museum dapat dijadikan sebagai instrumen untuk menyebarkan kesadaran tentang pentingnya pendekatan budaya. Oleh karena itu, Falih menganggap bahwa bangsa Indonesia akan semakin kokoh apabila masyarakat mengetahui akar budaya melalui museum.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menandatangani batu tulis sebagai tanda resmi Museum dan Pusat Kajian Etnografi bisa dinikmati masyarakat umum. (Foto: UNAIR NEWS) Museum dan Pusat Kajian Etnografi sebenarnya telah diresmikan oleh Rektor UNAIR pada tanggal 25 September 2005. Museum etnografi milik FISIP UNAIR telah terdaftar sebagai anggota Asosiasi Museum Daerah (AMIDA), Jawa Timur. Sejak masa berdiri hingga sekarang, museum etnografi tak sepi dari prestasi. Pada tahun 2014, museum etnografi meraih juara II bidang tata pamer tingkat provinsi. Sedangkan, pada tahun 2015, museum etnografi meraih juara harapan I bidang tata pamer tingkat provinsi. Museum etnografi ini mengangkat tema tentang Kematian. Kepala Museum dan Pusat Kajian Etnografi FISIP UNAIR, Toetik Koesbardiati, Ph.D, mengatakan bahwa kematian merupakan siklus hidup yang cukup dekat dengan manusia. Walaupun di masyarakat kematian cukup ditakuti dan jarang dibicarakan, kematian merupakan hal yang paling penting dipikirkan oleh manusia. “Hal ini dibuktikan dari sangat beragamnya upacara kematian di Nusantara. Bahkan, upacara kematian itu sendiri memakan biaya yang sangat banyak,” tutur Toetik.
Oleh karena itu, dengan adanya informasi mengenai kematian melalui museum etnografi, masyarakat bisa mengenal tentang ritus kematian berbagai suku dan kehidupan masa lampau. (*) Penulis: Defrina Sukma S