e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Implementation of Syariah Principle towards Syariah Bank Operational from Financing Perspective: (Case Studies at Bank of Muamalat and Bank of Syariah Bukopin) Muhammad Azhar Muslihin1 Abstract This research aims for knowing the implementation of Syariah principle towards the syariah bank operational viewed from financing perspective in the Bank of Muamalat dan the Bank of Syariah Bukopin in Makassar The method used in the research is qualitative. The data analysis utilized descriptivenarative including reducing the data, presenting the data, and making the conclusion. In qualitative research, the examining of the data quality is so-called validity task where the approach used triangulation and member check. The research designates that the Bank of Muamalat and the Bank of Syariah Bukopin implement syariah principle in their financing operational. The principle consists of profit-sharing principle and sale-purchase principle. The implementation of profitsharing principle are Mudarabah and Musyarakah, while the sale-purchase principle is Murabahah. Keywords:
Syariah
Principle,
Financing,
Mudarabah,
Musyarakah
and
Murabahah A. PENDAHULUAN Upaya insentif pendirian bank Islam (disebut oleh peraturan perundangundangan Indonesia sebagai “Bank Syariah”) di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat perintah mengeluarkan paket kebijaksanaan Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha mendirikan Bank bebas bunga, tapi tidak ada satu pun 1
Dosen IAIN Manado
85
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja
menetapkan bunga
sebesar 0% (nol persen). Secara hukum dan peraturan tampak bahwa pemerintah telah cukup memberikan ruang untuk berkembangnya perbankan syariah di Indonesia UU Perbankan No.10 tahun 1998 dan UU No. 21 tahun 2008 serta di perkuat oleh eksistensi perbankan syariah di Indonesia, Seiring dengan upaya penguatan sistem syariah yang mandiri, perbankan syariah terus menerus memperlihatkan pertumbuhan yang positif. Mungkin akan timbul pertanyaan-pertanyaan mengapa sistem syariah kini lebih banyak diminati, pertanyaan seperti itu adalah kewajaran dalam
sebuah
pertumbuhan.
Terlepas
dari
pertumbuhan
tersebut
kita
memperhatikan prinsip – prinsip syariah yang menjadi landasan/pondasi ataupun pedoman sistem syariah dalam menjalankan aktifitasnya. Pasal 26 UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia, Mengenai
akad
yang
digunakan
dalam transaksi perbankan ini adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau undand-undang syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. (Pasal 1 ayat 13 UU No 21 tahun 2008). Dalam pasal 1 ayat 12 ditegaskan bahwa prinsip syariah yang dimaksud
adalah
prinsip
hukum
Islam
dalam
kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. (Pasal 2 UU No 21 tahun 2008) Prinsip
syariah
yang
dimaksud
adalah
sesuai
dengan
penjelasan pasal 2 UU ini yaitu : Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
86
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjammeminjam
yang mempersyaratkan
mengembalikan
dana
nasabah
penerima
fasilitas
yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasi’ah); b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidak adilan bagi pihak lainnya. Pengertian “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Secara sederhana prinsip syariah adalah apa yang terkandung dalam AlQuran dan Al-Hadits diluar dari itu dianggap menyalahi prinsip. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sebuah lembaga diawalai dari sebuah motif atau prinsip dalam menjalankan kegiatannya, sudah dapat dipastikan bahwa kemajuan serta pertumbuhan positif sistem syariah tidak lepas dari prinsip – prinsip dasar yang tertera diatas. Pada kenyataan masih saja terjadi kekeliruan dalam memahami prinsipprinsip syariah, jika di atas telah diuraikan prinsip dasar syariah menurut UUS (Undang-undang syariah) maka perbankan syariah lebih mengkerucutkan atau lebih mempertegasnya dengan memilahnya menjadi beberapa prinsip perbankan syariah yang dimana hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah nasabah dalam menilai maksud serta motif utama sistem syariah tersebut,. Menurut Antonio, (2001) Prinsip dasar perbankan syariah dibagi menjadi lima, yakni :
87
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
1. Prinsip titipan atau simpanan (Depository / al-wadi’ah), diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. 2. Bagi Hasil (prfofit-sharing), prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu Al-musyarakah, Al-mudharabah, Al-muzara’ah, dan Al-musaqah. 3. Jual beli (Sale And Purchase), terdapat tiga jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ as-salam, dan bai’ al-istishna, 4. Sewa (Operational Lease And Financial Lease), sewa terbagi dua yaitu, AlIjarah Dan Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik, 5. Jasa (Fee-based sevice), prinsip jasa dibagi dalam lima akad yaitu, Alwakalah (Deputyship),
Al-kafalah (Guaranty), Al-Hawalah
(Transfer
Service), Ar-Rahn(Mortgage), dan Al-Qardh (Soft And Benevolent Loan). Dari ke lima prinsip dasar perbankan syariah di atas kendati pun penjelasan kelima prinsip tidak diuraikan secara terperinci sistem operasioanal perbankan syariah menjadikan akad-akad yang terkandung dalam lima prinsip dasar perbankan syariah sebagai acuan dalam pengelolaan operasional bank syariah. Di sinilah peran dari prinsip-prinsip syariah dalam menjaga laju operasionalnya, prinsip ini pun sekaligus yang membedakannya dari perbankan konvesional, dalam prinsip-prinsip tersebut calon nasabah bisa memilih akad yang sesuai
dengan
kemampuan dari
calon nasabah tersebut, dalam
perkembangannya serta data dari OJK selaku lembaga yang mengawasi jasa keuangan seluruh Indonesia menyebutkan bahwa akad mudarabah masih menjadi akad yang diunggulkan dikarenakan dari kebutuhan serta meringankan nasabah dalam proses-prosesnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh
88
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
perbankan konvesional masih terasa dilapangan dikarenakan pengaruh payung dari perbankan Indonesia masih di atur oleh Bank Indonesia yang dimana bank Indonesia masih menganut konsep konvesional oleh karena konsep dasar tersebut dewan pengawas syariah dibuat, bertugas untuk mengawasi penerapan prinsipprinsip yang dianut perbankan syariah. Kendatipun prinsip-prinsip perbankan syariah telah dijelaskan banyak oleh para akademisi serta praktisi tetapi masih saja terdapat perdebatan serta pertanyaan-pertanyaan krusial mengenai perbankan syariah, salah satu artikel yang ditulis oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi yang kemudian dimuat disitus Pengusahamuslim.com, menyatakan bahwa banyak bank-bank syariah yang melanggar fatwa-fatwa dewan syariah nasioal (DSN) MUI
yang terkait
Pembiayaan keuangan syariah seperti, Murabahah (pembiayaan pembelian properti) yang dimana Fatwa dewan syariah nasional (DSN) (Nomor 04/DSNMUI/IV/2000) menyatakan bahwa bank harus membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Namun pada prakteknya, di dalam transaksi murabahah bank hanya bertindak sebagai intermediator antara nasabah dan penjual barang yang diinginkan nasabah. Bank hanya menyalurkan pembiayaan untuk membantu nasabah membeli barang yang diinginkannya, tanpa membeli barang tersebut atas nama bank sendiri. Selanjutnya pada akad Mudharabah (bagi hasil), fatwa dewan syariah nasional (Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000) menyatakan bahwa lembaga keuangan syariah sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian, namun praktek yang beredar luas dilapangan
adalah
nasabah yang mendapatkan fasilitas pembiayaan masih diwajibkan untuk mengembalikan modal secara utuh walaupun dia mengalami kerugian dalam usahanya.
89
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Bisa dikatakan bahwa perbankan syariah nasional sejauh ini masih berada pada tahapan penyempurnaan sistem namun hal itu tidaklah terlalu berpengaruh terhadap prospeknya sampai saat ini, secara regional perkembangan perbankan syariah menunjuk perkembangan yang cukup memuaskan dalam pertumbuhan, salah satunya adalah Sulawesi selatan, sebagai salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak setelah jawa timur. Seperti yang terdapat pada laporan perkembangan keuangan syariah tahun 2013 yang dikeluarkan oleh otoritas jasa keuangan (OJK), Sulawesi selatan berada pada posisi yang baik dibandingkan provinsi lain. Dilangsir dari pelaporan otoritas jasa keuangan (OJK) mengenai perkembangan
perbankan
syariah
di
Makassar,
khususnya
peningkatan
pembiayaannya yang sempat mengalami perlambatan, serta peran prinsip dalam menentukan akad/perjanjian yang dimana memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak maka penulis sangat tertarik untuk melaksanakan penelitian bagaimana prinsip-prinsip tersebut diterapkan di kota Makassar,. Selain hal tersebut penelitian ini juga didasari untuk melakukan penelusuran terhadap pernyataan Dr. Muhammad Arifin Baderi, yang menyatakan bahwa masih ada bank yang belum menerapkan secara utuh prinsip syariah tersebut terutama di bagian pembiayaan, maka penulis merencanakan penelitian dengan judul “Penerapan Prinsip Syari’ah Terhadap Kegiatan Oprasional Bank Syariah Di Makassar Di Tinjau Dari Sisi Pembiayaan”. Untuk melakukan penelusuran tersebut, maka penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif, agar dapat tergali makna mengenai apakah pernyataan tersebut benar atau tidak.
B. FOKUS PENELITIAN Setelah melakukan penjelajahan umum pada dunia ekonomi syariah selama beberapa bulan terakhir, maka situasi yang ditetapkan sebagai tempat penelitian adalah perbankan syariah (BUS) Bank Umum Syariah, secara umum
90
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
yang mempunyai kantor wilayah di Makassar dan lebih dikhususkan pada Bank Muamalat Indonesia dan Bank syariah Bukopin. Dalam perbankan syariah tersebut terdapat prosedur serta skema-skema yang merupakan dasar dari keseluruhan aktifitas perbankan, operasional perbankan merupakan bagian urgent dalam menentukan arah perusahaan, dalam skema tersebut terdapat lima dasar prinsip operasional perbankan syariah, yakni :Prinsip titipan atau simpanan (Depository / al-wadi’ah), Bagi Hasil (Prfofit-sharing), Jual beli (Sale and purchase), Sewa (Operational lease and financial lease), Fokus penelitian ini kemudian dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian, yaitu: a. Apakah Bank Muamalat dan Bank Syariah bukopin di Makassar telah menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam pembiayaan? b. Bagaimana prinsip bagi hasil diimplementasikan pada kegiatan pembiayaan Bank Muamalat dan Bank Syariah Bukopin? c. Bagaimana prinsip jual beli diimplementasikan pada kegiatan pembiayaan Bank Muamalat dan Bank Syariah Bukopin? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah prinsip – prinsip perbankan syariah dalam kegiatan operasional khususnya pembiayaan telah terealisasi sesuai skema yang ditujukan. Namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui apakah Bank Muamalat dan Bank Syariah Bukopin di Makassar telah menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam pembiayaan? b. Untuk mengetahui apakah prinsip bagi hasil telah diimplementasikan pada pembiayaan Bank Muamalat Dan Bank Syariah Bukopin? c. Untuk mengetahui apakah prinsip jual beli telah diimplementasikan pada pembiayaan Bank Muamalat dan Bank Syariah Bukopin? D. METODE PENELITIAN 1. RANCANGAN PENELITIAN
91
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Dalam penelitian ini yang akan diamati adalah sebuah prinsip/acuan yang dijadikan pedoman dalam menjalankan aktifitas yang dimana objek yang melaksanakannya adalah manusia/orang/individu dalam dunia perbankan syariah yang berada dalam lingkup Kota Madya Makassar. Dengan metode kualitatif, maka data yang didapat lebih lengkap, mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.
2.
SETTING LOKASI PENELITIAN Pengambilan data dilakukan di Bank Umum Syariah yakni Bank
Muamalat Dan Bank Syariah Bukopin yang mempunyai kantor wilayah di Makassar 3. TEKNIK PENENTUAN INFORMAN penelitian ini menerapkan teknik non probability sampling yang secara mengkhusus dimaksud adalah snowball sampling, dimana pengambilan sampel ini dilakukan dengan cara, peneliti memilih orang tertentu yang dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan ; selanjutnya berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari informan sebelumnya itu, peneliti dapat menetapkan sampel lainnya dengan pertimbangan informasi yang diberikanakan tetap berkorelasi dengan data yang dibutuhkan oleh peneliti. 4. TEKNIK ANALISIS DATA Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif dalam bentuk narasi dengan langkah sebagai berikut, data reduction, data display, dan conclusion drawing / verification a. Pengumpulan Data Mengumpulkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik beru pacatatan di lapangan, gambar, dokumen, dan lainnya diperiksa kembali, diatur, dan kemudian di urutkan.
92
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
b. Reduksi data Membuat rangkaian pembahasan terhadap data-data dan memproses data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. c. Penyajian data Penyajian data ini untuk melihat gambaran keseluruhandarihasil penelitian yang kemudian disusun secara sistimatis.Penyajian data dalam narasi nantinya peneliti hanya mengutip satu atau lebih narasumber dengan pemikiran adanya kesamaan jawaban antara nara sumber. d. Penarikan kesimpulan Setelah data terkumpul, peneliti akan membuat kesimpulan kemudian diverifikasi. 5. UJI KUALITAS DATA Dalam penelitian kualitatif pengujian kualitas data dinamakan dengan uji validitas data dimana dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan validitas data yakni : a. Triangulasi, diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu. 1.
Triangulasi teknik dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama dengant eknik yang berbedah,yaitu dengan wawancara, obserpasi, dan dokumentasi.
2.
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara menanyakanhal yang sama melalui sumber yang berbeda, dalam hal ini sumber datanya adalah informan.
3.
Trianggulasi waktu pengumpulan data dilakukan pada berbagi kesempatan, pagi, siang, dan sore hari. Dengan triangulasi dalam pengumpulan data tersebut, maka dapat
diketahui apakah narasumber memberikan data yang sama atau tidak.
93
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Kalau narasumber memberikan data yang berbeda, maka berarti datanya belum kredibel. b.
Member check, proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuannya yakni untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti data tersebut valid, sehingga semakin kredibel/dipercaya. Jadi tujuan member check adalah agar informasi yang diperoleh dan akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau informan.
E. PEMBAHASAN 1. Penerapan Prisip Syariah pada Bank Syariah Secara sederhana prinsip syariah adalah apa yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits diluar dari itu dianggap menyalahi prinsip. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sebuah lembaga diawalai dari sebuah motif atau prinsip dalam menjalankan kegiatannya, sudah dapat dipastikan bahwa kemajuan serta pertumbuhan positif sistem syariah tidak lepas dari prinsip – prinsip dasar. Menurut Muhammad (2005) Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaraan uang yang pengoperasiaannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah islam yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadits yaitu tata cara bermuamalat secara islam. Menurut undang-undang Republik Indonesia No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 1 perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit
94
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dari hasil penelitian yang ditemukan penulis dalam segi penerapan prinsip syariah pihak bank pada umumnya menerapkan prinsip tersebut sambil berdaptasi dengan segmen pasar yang ada. Bank Muamalat menerapkan jenis pembiayaan yang ditawarkan berdasarkan segmen seperti
segmentasi komsumtif, modal kerja, dan
investasi dalam pelaksanaan prinsip syariah pada pembiayaannya bank muamalat menerapkan beberapa akad yakni akad Mudarabah, Musyarakah, dan Murabahah. Tapi dari penelitian dan pengakuan pihak Bank Mumalat,
mereka
paling sering menerapka akad Murabahah tetapi tetap menggunakan akak akad yang lain seperti akad Musyarakah Muntanaqisah yakni akad yang menggabungkan akad Musyarakah dan Ijarah. Ijarah menurut Antonio, (2001) Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah, sewa, tanpa di ikuti dengan pemindahan kepemilikan (Ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri Sementara Bank Syariah Bukopin produk-produk bank bukopin syariah untuk pembiayaan, mereka menawarkan pembiayaan konsumtif, investasi dan modal kerja, penerapan prinsip pada pembiayaannya menerapkan akad Mudarabah, Musyarakah, dan Murabaha Terlihat secara umum, baik Bank Muamalat maupun Bank Syariah Bukopin menerapkan prinsip-prinsip syariah. 2. PENERAPAN PRINSIP BAGI HASIL PADA PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT DAN BANK SYARIAH BUKOPIN 95
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Dari hasil penelitian yang dikemukan informan dari bank syariah bukopin penerapan prinsip bagi hasil menggunakan akad mudarabah dan musyarakah,tapi pada penerapannya akad mudarabah digunakan untuk pembiayaan koperasi dan pemindahan pembiayaan dari bank lain TO (take over). Mudarabah adalah di mana bank menpunyai porsi atau modal secara keseluruhan. Sedangkan penerapan pada akad musyawarakah di terapkan pada investasi di mana
bank dan nasabah masing masing mempunyai
prorsi.Menurut informan dari Bank Muamalat, Bank Muamalat menggunakan akad Mudarabah dan Musyarakah pada pembiayaannya, tapi pada penerannya menurut informan dan observasi peneliti akad mudarabah jarang digunakan karena nasabah tidak bisa memperlihatkan bukti secara rill pembukuan keuangan atau penjualannya. Inilah yang menjadi alasan mengapa Mudarabah jarang diterapkan bank Muamalad, karena kebanyakan masyarakat tidak bisa memerlihatkan pelaporan penjualan secara rill dengan jujur, makanya Bank Muamalad memilih tidak menerapakan dari pada harus menerka-nerka proyeksih penjualan nasabah. Untuk tetap menerapkan prinsip bagi hasil pada pembiayaan, Bank Muamalat menerapkan akad Musyarakah di mana bank dan nasabah mempunyai porsi, menurut informan dari hasil wawancara Bank Muamalat menerapkan akad Musyarakah pada pembiayaan modal kerja, namun pada penerapannya ada beberapa jenis akad Musyarakah yakni: a. Musyarakah biasa yakni akad kerja sama antara bank dan nasabah dimana bank nasabah mempunyai porsi masing masing. b. Musyarakah Muntanaqisah adalah akad
kerja sama antara bank dan
nasabah dimana bank dan nasabah masing masing mempunyai porsi dan objek yang di beli akan di sewakan dalam kasus ini si pembeli yang akan wenyewa objek jadi menggunakan dua akad yakni akad Musyarakah dan Ijarah.
96
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
3. PENERAPAN PRINSIP JUAL BELI PADA PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT DAN BANK SYARIAH BUKOPIN Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Menurut Karim (2004). Ba’i murabahah menurut (Asro dan Kholik, 2011) merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus terlebih dahulu memberitahukan harga pokok yang di beli ditambah keuntungan yang diinginkan. Dari hasil wawancara dengan pihak bank diperoleh informasi bahwa dalam pelaksanaanya prinsip jual beli menggunakan Akad Murabahah, melibatkan tiga pihak yaitu penjual, pembeli dan Bank. Bank bertindak sebagai peyedia dana. Sebagai contoh prodak KPR yang menggunakan Akad Jual beli atau Murabaha di Bank Muamalat, pihak pemohon mengajukan fasilitas pembiayaan berdasarkan surat penawaran dari pihak penjual berdasarkan dari surat penawaran penjual, pihak Bank membeli rumah dari pihak penjual atau deplover perumahan, kemudian menjual kembali kepihak pemohon fasilitas dengan tambahan marjin, dengan sistem pembayaran berkala atau secara angsuran, didalam penerapan akad murabahah tetap menggunakan Loan To Value (LTV) atau uang muka di karenakan aturan atau ketentuan dari Bank Indonesia, jadi bank hanya mempasilitasi kekurangan pembiayaannya. Di samping bank sebagai pemberi Fasilitas Pembiayaan menggunakan akad Murabahah Bank juga menggunakan akad Wakalah, Pihak bank memberikan kuasanya (dengan akad wakalah) kepada nasabah untuk menjual barang yang sudah dibelinya kepada pihak pemesan. Akad Wakalah (Kuasa) secara umum adalah suatu perjanjian dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan suatu wewenang (kekuasaan) kepada seseorang lain untuk menyelenggarakan sesuatu urusan, dan orang lain tersebut menerimanya dan melaksanakannya untuk dan atas nama pemberi kuasa. 97
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Merujuk Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 mengenai murabahah terdapat beberapa ketentuan bank tentang murabahah : 1.
Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah;
2.
Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
3.
Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah;
4.
Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa diperjanjikan di muka. Pembiayaan yang dilakukan oleh Bank umum syariah harus
berdasarkan akad (kontrak) yang ditetapkan undang-undang atau akad-akad yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. 4.
HUKUM PENERAPAN PRINSIP YANG MENGGABUNGKAN AKAD ATAU MULTI AKAD Menurut informan dari bank muamalat seperti yang di jelaskan diatas bank muamalat menerapkan prinsip yang menggabungkan akad musyarakah (syirka) dan ijarah atau biasa di sebut musyawarakah muntanaqisah dan akad murabahah dan wakalah. Sedangkan informan bank syariah bukopin hanya menerapkan penggabungan akad murabaha dan wakalah. Multi akad menurut Hammad (2005) adalah Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih, seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharaf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah. Sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad. Sedangkan Sementara itu Abdullah al-“Imrani mendefinisikan multi akad yaitu himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad baik
98
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
secara gabungan maupun secara timbal balik, sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad. Kedua definisi di atas tampaknya mirip dan tidak terdapat perbedaan. Multi akad itu dipandang sebagai satu kesatuan akad dan semua akibat hukum akadakad yang tergabung
tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad. Menurut Asy-Syatibi, penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak hukum dari multi akad tidak sama seperti saat akad itu berdiri sendirisendiri. Akan tetapi harus dicatat, meskipun sudah menjadi satu kesatuan, dalam pembuatan draft kontrak, akad-akad yang tergolong hybrid tersebut ada yang dapat digabungkan dalam satu title kontrak dan ada pula yang dipisahkan. Untuk musyarakah mutanaqishah, akad syirkah, dibuat terpisah dengan akad ijarah, demikian pula akad pembiayaan take over, masing-masing akadnya dipisahkan, namun dipandang sebagai satu kesatuan.
1.
Macam-macam Hybrid Contract Ada empat macam penggabungan akad yakni :
1) Hybrid contract yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama
baru,
seperti
bai’
istighlal,
bai’
tawarruq,
musyarakah
mutanaqishah dan bai’wafa. Jual beli istighlal merupakan percampuran tiga akad, yaitu dua akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur tiga akad. Akad ini disebut juga
three in one. Jual Beli Tawarruq
percampuran dua akad jual beli. Jual Beli pertama dengan pihak pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga. Musyarakah Mutanaqishah. Akad ini campuran akad syirkah milik dengan Ijarah yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan
99
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah. Substansinya hampir sama dengan Ijarah Muntahiya bi Tamlik, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title ini bukan dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu sebutannya ijarah saja. Bai’ wafa adalah percampuran (gabungan) dua akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi satu akad, dengan nama baru yaitu bai’ wafa’.
2) Hybrid Contract yang mujtami’ah/mukhtalitah dengan nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti sewa beli (bai’ takjiri) lease and purchase. Contoh lain ialah mudharabah musytarakah pada asuransi jiwa dan deposito bank syariah. Contoh lainnya ialah menggabungkan wadiah dan mudharabah pada giro, yang bisa disebut tabungan dan giro Automatic Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai dua rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus (dua rekening dlm satu produk). Setiap rekening dapat pindah secara otomatis jika salah satu rekening membutuhkan. Contoh lain ialah sewa beli (lease and purchase). Menurut buku Fiqh Muamalah al-Mu’ashirah, Usman Tsabir, sewa beli hukumnya boleh, tidak terdapat gharar padanya. Menurutnya, “Sesungguhnya ulama berbeda pendapat tentang hukum menggabungkan dua akad; antara jual beli dan ijarah. Sebagian ulama mengatakan boleh, yaitu ulama Malikiyah dan Imam asy-Syafi’iy dalam salah satu pendapatnya, juga Qadhi dari Ulama Hanabilah Sebagian ulama lainnya mengatakan tidak boleh”.
100
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Selanjutnya.Usman Tsbir mentarjih sebagai berikut, “Tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendangan yang membolehkan. Inilah pendapat yang paling nyata (realistis), karena barang (obyek) yang dibeli dan jasa yang dilakukan, keduanya membutuhkan iwadh, bisa berlaku masingmasing dan bisa pula digabung sekaligus. Perbedaan sewa dan beli tidak merusak sahnya akad. Karena perbedaan hukum (ketentuan) dua akad tidak mencegah sahnya akad. Di antara dalil yang menguatkan pendapat yang membolehkan penggabungan akad jual beli dan ijarah (two in one), adalah kaedah dasar dalam pertukaran, Tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hukumnya boleh karena dasar istishab”
3) Hybrid Contract, yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan dipraktikkan dalam suatu transaksi. Contohnya : a) Kontrak akad pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No 31/2002. b) Kafalah wal ijarah serta qardh dan ijarah pada kartu kredit, c) Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, pada pembiayaan rekening koran or line facility d) Murabahah wal wakalah pada pembiayaan murabahah basithah. e) Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS,
General Insurance, dan
Factoring, f) Kafalah wal Ijarah pada L/C, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit. g) Mudharabah
wal
murabahah/ijarah/istisna
pada
pembiayaan
terhadap karyawan koperasi instansi. h) Hiwalah dan syirkah pada factoring i) Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
101
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
j) Dalam transaksi pasar uang antar bank syariah yang menggunakan bursa komoditas dibutuhkan lima akad, yaitu 1) Akad bai’ antara bank surplus (peserta komersial) dengan pedagang komoditas (peserta komersial), 2) Akad murabahah antara bank surplus dengan bank deficit (konsumen komoditas), 3) Akad bai’ antara bank deficit dengan pedagang komoditas ’, 4) Wakalah antara bank deficit kepada agen atau Bursa Berjangka, 5) Akad bai’ muqayadhah, antara sesama pedagang komodity.
4) Hybrid Contract
yang
mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan).
Bentuk ini dilarang dalam syariah. Contohnya menggabungkan akad jual beli dan pinjaman (bai’ wa salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil)
syariah,
yaitu
hadits
Rasulullah
Saw.
Contoh
lainnya:
menggabungkan qardh dengan janji hadiah. Selain itu, ada pula hybrid contract yang mustatir (tersembunyi), Misalnya, tabungan mudharabah di bank syariah. Akad yang digunakan pada saat transkasi hanyalah satu akad yakni mudharabah, namun, sebenarnya dalam akad tersebut tidak cukup hanya satu akad, harus ada akad lain sebagai tambahan, yaitu kafalah, karena ketika nasabah menarik dana di ATM bersama, bukan ATM bank bersangkutan, diperlukan akad kafalah. Namun akad tersebut tidak disebutkan, melainkan tersembunyi (mustatir) karena sudah menjadi ‘urf perbankan dimana setiap tabungan, dapat ditarik di ATM tertentu (ATM bersama). Dalam sukuk ijarah, sebenarnya terdapat tiga akad, yaitu akad bai’ (bai’ al-manfa’ah), akad ijarah dan akad bai’ kembali. Namun, dalam penamaan biasanya disebut sukuk ijarah saja.
102
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Dalam praktek legal (hukum) di lembaga keuangan syariah, ada hybrid contract, yang akad-akadnya harus dipisahkan dan ada pula yang boleh disatukan
dalam
satu
dokumen
(satu
materai).
Akad
syirkah
munataqishah, harus dipisahkan akad-akadnya, akad pertama ialah syirkah milik, dan akad kedua adalah ijarah yang khusus. Semua ulama mengharuskan terpisahnya dua akad tersebut. Dalam Gadai syariah terdapat tiga akad, yaitu rahn, qardh (dayn) dan ijarah. Akad rahn dan dain (hutang), boleh disatukan, karena memang harus bersatu dalam satu kertas, sedangkan akad ijarah sebaiknya dipisahkan, untuk menghindari kesan penafsiran ijarah itu atas dasar hutang (qardh). Ijarah tidak terkait dengan qardh, melainkan terkait dengan penyewaaan tempat, keamanan, dsb. Dalam kartu kredit terdapat dua akad, yaitu kafalah dan ijarah pada ketika pembelian barang di merchant, dan kedua akad qardh dan ijarah, ketika penarikan uang. Dalam pembiayaan take over banyak sekali alternative hybrid contract di dalamnya berdasarkan fatwa DSN MUI No 31/2002. Antara lain, gabungan akad qardh, bai’ dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT) atau murabahah. Jika menggunakan akad murabahah, mirip dengan bai’ al-‘inah, maka seharusnya dihindari. Akad bai’ dalam pembiyaan take over dapat dilakukan di bawah tangan (secara fikih saja, tanpa notaris), karena hanya sebagai bridging of
financing. Peran notaris hanyalah
ketika akad murabahah berlangsung. Dalam praktik hedging (tahawwuth) melalui Islamic swap, akadnya juga hybrid, pertama dapat menggunakan double qardh, kedua sharf biasa dan wa’ad, ketiga, tawarruq timbal balik (double tawarruq).Semuanya adalah hybrid contract.
2. Hybrid Contract Yang Dilarang
103
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan dua bentuk multi akad yang dilarang. (1) Multi akad dalam jual beli (bai’) dan pinjaman (
و
), (2) Dua akad jual beli dalam satu akad jual beli ( ) واﺣﺪة, dan (3) Dua akad dalam satu transaksi ( ) Menggabungkan
akad
واﺣﺪة
Bai’ (jual beli ) dan Salaf dan
(pinjaman). Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad) Misalnya Ali meminjamkan (qardh) sebesar 1000 dirham, lalu dikaitkan dengan penjualan barang yang bernilai 900 dirham, tetapi harga penjualan itu tetap harga 1000 dirham, Seolah-olah Ali memberi pinjaman 1000 dengan akad qardh, dan menjual barang seharga 900, agar mendapatkan margin 100 dirham. Di sini Ali
memperoleh kelebihan 100, karena harga
penjualan barang menjadi Rp 1000. Namun menurut Imrani, tidak selamanya diharamkan, karena jika harga barang sesuai dengan harga pasar, maka tidak menjadi masalah hybrid contract antara qardh dan jual beli. Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan. Namun, jika kedua akad itu terpisah (tidak tergantung, muallaq) hukumnya boleh. Penegasan : Larangan ini hendak menunjukkan bahwa qardh tidak boleh dikaitkan dengan akad apapun, qardh adalah akad tabarru bukan akad bisnis. Bai’atan fi Bay’ataini (dua akad jual beli dalam satu jual beli) Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik) Redaksi hadits yang mirip dengan hadits di atas, adalah shafqatain fi shafqatin wahidah (dua transaksi dalam satu transaksi). Banyak tafsir
104
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
tentang hadits ini Pendapat yang dipilih (râjih) adalah pendapat yang mengatakan bahwa akad demikian menimbulkan ketidakjelasan harga dan menjerumuskan ke riba. Misalnya seorang penjual berkata kepada orang banyak di sebuah jamaah, ”Saudara-saudara, saya menjual barang ini Rp 1 Juta, jika dibayar cash, dan Rp 1,2 juta jika cicilan setahun”. Lalu seorang yang hadir berkata, “Saya beli”. Di sini telah terjadi ijab dan qabul, sementara harganya tidak jelas, karena dipilihkan dua macam harga. Ada pula yang menafsirkan: seseorang menjual suatu barang dengan cicilan, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada orang yang menjual itu dengan harga lebih rendah secara kontan. Akad al-’Inah ini merupakan hîlah dari riba. Inilah yang disebut bai’ al’inah. Menurut Ibnu Qayyim, penafsiran inilah yang paling kuat. 3. Ketentuan (Dhawabith) Hybrid Contract Larangan Hybrid Contract disebabkan beberapa hal, diantaranya: a.
Dilarang karena Nash Agama “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik) Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada nash hadis, “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik). Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad). Selain perspektif nash agama, larangan ini sesungguhnya dikarenakan transaksi itu mengandung riba dan gharar.
b. Dilarang karena Hilah kepada Riba Contohnya ialah Jual Beli al-I’nah. Jual beli dilarang karena hilah kepada riba. Contoh berikutnya ialah praktik tawarruq munazzam yang berputar dan bank surplus bertindak juga sebagai
105
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
wakil pembeli dalam menjual barang ke agen di bursa sebagaimana yang difatwakan ulama. Contoh berikutnya menggabungkan akad tawarruq, wakalah dan wadi’ah untuk pembiyaaan multi guna. Di mana pihak ketiga adalah anak perusahaan dari Bank Islam yang memberikan dana. c. Multi Akad Menyebabkan Jatuh ke Riba. Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh, seperti menggabungkan qardh dengan janji hadiah. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. seperti: multi akad antara akad salaf dan jual beli. Contoh, A meminjamkan uang kepada B sebesar Rp 1 juta, dengan ketentuan B harus membeli hand phone A dengan harga sekian. Multi akad dari gabungan qardh dan hibah/manfaat lain dilarang syariah. Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Misalnya A meminjamkan uang kepada si B, dengan syarat A menempati rumah si B. Contoh lain C meminjamkan kpd D uang Rp 200.000, tetapi C memakai motor D selama 3 hari. Termasuk dalam kategori ini menggabungkan Qardh dgn Ijarah dalam satu transaksi, kecuali ijarahnya sebatas biaya operasional, yaitu untuk menutupi riel cost. Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara akad qardh dengan ijarah. d. Multi Akad Menyebabkan Jatuh ke Gharar. Misalnya sebuah perusahaan multifinance menjual mobil kepada nasabah, dengan harga tertentu, misalkan Rp 250 juta untuk masa 24 bulan, tanpa urbun di awal. Namun perusahaan itu menawarkan beberapa alternatif
besaran urbun, tanpa ditetapkan
106
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
(dipilih) salah satu alkternatif besaran urbunnya. Jika urbun dibayar bulan ke enam, harganya lebih murah, jika bulan ke 13
harga
urbunnya sekian, dst. Dengan beragamnya harga tersebut, maka tidak ada kepastian harga pembelian barang tersebut.Inilah yang disebut dengan gharar.
5. KESIMPULAN Berdasarkan
fokus
penelitian,hasil
dan
pembahasan,
maka
dapat
disimpulkan bahwa : a.
Bank Muamalatdan Bank Syariah Bukopin telah menerapkan prinsip syariah pada penerapan pembiayaannya, Tetapi ada kasus kasus tertentu pada pembiayaan, bank menggunakan dua akad atau penggabungan akad, seperti pada prinsip bagi hasil pada akad Musyarakah yakni penggabungan akad Musyarakah dengan Ijara atau Musyarakah Muntanaqisah, sedangkan pada akad murabaha penggabungan akad Murabahah dengan Wakalah.
b.
Pada prinsip bagi hasil pada pembiayaan akad yang digunakan adalah Mudarabah tetapi akad mudarabah masi jarang
diterapkan karena
nasabah tidak bias memperlihatkan kondisi pembukuan keuangan yang rill, untuk tetap menerapkan prinsip bagi hasil pada bank syariah diterapkan akad Musyarakah sebagai penggantinya. c.
Pada prinsip jual beli pada pembiayaan akad yang digunakan adalah akad Murabahah tetapi akad Murabahah di terapkan tidak lepas dari akad wakalah,akad wakalah adalah akad untuk mewakilkan atau kuasa yang diberikan bank kenasabah untuk pembelian barang yang di butuhkan. DAFTAR PUSTAKA
Antonio, 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Penerbit Gema Insani, Jakarta
107
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Abdurrahman, 2008. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pedoman Hakim Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, Makalah (Jakarta:, MahkamahAgung RI). Faisal, 2013.PeranPembiayaan Bank Syariah Terhadap Pengembangan Sektor Riil (Studi Kasus Pada Bank Jatim Syariah Cabang Surabaya), JurnalI lmiah, JurusanIlmuEkonomi, FE Dan Bisnis UB Malang. Kasmir, 2001.Manajemen Perbankan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kristiyanto, 2008.konsep Pembiayaan Dengan Prinsip Syariah Dan Aspek Hukum Dalam Pemberian Pembiayaan Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia (Persero)Tbk. Kantor Cabang Syariah Semarang, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Kasnaeny, 2012.Model Pengambilan Keputusan Pembelian Berdasarkan Motivasi Belanja Pelanggan KeWarung Kopi (Coffee House) Di Makassar. Disertasi.
Program
Doktor
Ilmu
Manajemen
Pascasarjana
FE
danBisnisUB.Malang Muhammad, 2002.Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer. UII Press, Yogyakarta. Misbach, 2012. Pengaruh Islamic Bank Service Quality Terhadap Kepuasan Dan Kepercayaan Pelanggan. Studi Pada Bank Syariah Di Makassar. Desertasi.Program Doktor Ilmu Manajemen Pascasarjana FE danbisnis UB. Malang. Misbach, 2013, Bank Syariah Kualitas Layanan, Kepuasan, Dan Kepercayaan. Edisi 1, Alauddin University Press, Makassar. Sugiyono,
2012.Memahami
penelitian
Kualitatif.
CetakanKetujuh,
Alfabeta,
Bandung.
108
e-ISSN; 2528-0325 Tasharruf : Journal Economic and Business Of Islam
Vol. 1 No. 1. Juni 2016
Undang-UndangNomor 10 Tahun 1998 TentangPerbankan Ismail, 2011.Perbankan Syariah. Cetakan pertama. Kencana prenada media group,Jakarta. Rivai,Arifin, 2010. Islamic banking, sebuah teori, konsep, dan aplikasi, cetakan pertama.Pt Bumi Aksara,Jakarta Ramadani, 2014. Analisis kesyariahan penerapan pembiayaan murabahah, jurnali lmiah. JurusanIlmuEkonomi, FE danBisnis UB Malang. http://www.pengusahamuslim.com ( 22/03/2015). http://www.bankmuamalat.co.id/ http://www.syariahbukopin.co.id
109