MONO NO AWARE DALAM KOKUGAKU
Palupi Tripratiwi, Siti Dahsiar Anwar
Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia.
Email:
[email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas tentang mono no aware, sebagai salah satu ciri khas pemikiran Kokugaku di Jepang. Mono no aware adalah bentuk ekspresi manusia yang terdalam. Secara harafiah, mono no aware berarti tergugah oleh sesuatu. Kokugaku sendiri merupakan sebuah pergerakan yang dilakukan oleh para cendikiawan Kokugaku (Kokugakusha) yang menolak pengaruh pemikiran asing ke Jepang dan mencari pemikiran Jepang yang sebenarnya. Dalam pencarian bagaimana Jepang yang asli, para Kokugakusha mencari lebih dalam tentang masa Jepang sebelum masuknya pengaruh asing dengan kodōron atau teori purbakala melalui penelaahan karya-karya sastra klasik Jepang. Penelitian dengan cara seperti ini dilakukan oleh Motoori Norinaga dan lain-lain.
Mono no Aware in Kokugaku
Abstract This thesis discusses mono no aware, as one characteristic of Kokugaku ideas in Japan. Mono no aware is the deepest form of human expression. Literally, mono no aware means moved by something. Kokugaku itself is a movement by the Kokugaku’s scholars (Kokugakusha) that resist the influence of foreign ideas to Japan and search for real Japanese ideas. In the searching of how is the real Japan, the Kokugakusha looked deeper into era of Japan before the foreign influences by using kodōron or ancient way theory through the study of ancient works of classical Japanese literature. This kind of research is done by Motoori Norinaga and others. Keywords: Japan; Kokugaku; Kodō; Mono no Aware; Motoori Norinaga.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
1. Pendahuluan Jepang dikenal dengan teknologinya yang muktahir, namun Jepang juga dikenal sebagai negara yang masih memegang tradisi dan budaya leluhur Jepang yang sudah ada sejak dulu. Hampir setiap bulannya, ada 祭り(matsuri) yang diselenggarakan di berbagai penjuru Jepang. Matsuri dapat dikatakan sebagai jiwa dari segala kegiatan Shintō. 1 Sebagian besar matsuri dirayakan saat pergantian musim dan berhubungan dengan kegiatan pertanian. Sebagai contoh, setiap tahunnya, keluarga kekaisaran menanam bibit pertama dan memanen hasil pertanian pertama. Hasil panen ini kemudian dipersembahkan kepada 天 照 大 御 神 (Amaterasu Ōmikami) di kuil Ise. Dengan melihat kegiatan ini, terlihat bahwa keagamaan erat kaitannya dalam kehidupan di Jepang, baik itu agama Shintō maupun agama Buddha. Shintō merupakan kepercayaan religi asli Jepang yang mempercayai bahwa keluarga kekaisaran Jepang merupakan titisan dari 天照大御神 (Amaterasu Ōmikami) yang adalah dewa utama bangsa Jepang. Shintō tidak mempunyai naskah suci seperti Kitab Suci dan berakar pada diri orang Jepang dan tradisinya. 2 Istilah 神道 (Shintō) secara harafiah berarti “jalan dewa”. Garis keturunan kekaisaran Jepang bermula dari dari abad ke 6 sebelum Masehi dan bunga chrysanthemum atau seruni dengan 16 kelopak digunakan sebagai lambang keluarga kekaisaran Jepang sejak tahun 1869. 3 Bunga krisan masuk ke Jepang pada zaman nara (710793), dan sejak zaman Heian, bunga ini menjadi bunga favorit kaum bangsawan karena dipercaya dapat mempercayai hidup seseorang. Tennō atau kaisar menjalankan kepemimpinannya dengan dibantu oleh pegawai pemerintahan. Seperti di zaman Yamato (250-552), pemerintahan dipimpin oleh kaisar, tetapi sebenarnya pemerintahan dijalankan oleh para kepala klan (gozoku). Pada zaman Kamakura, keshogunan Kamakura mengungguli pasukan kekaisaran di tahun 1221, dan sejak itu Kaisar dan beberapa pegawai kekaisaran yang berada di Kyoto kehilangan kekuasaanya, 4 Sejak Perang Dunia II berakhir, 天皇 (Tennō) atau Kaisar Jepang menjadi simbol negeri dan tidak memiliki peran aktif di pemerintahan sedangkan kepala pemerintahan negeri dipegang oleh perdana menteri. Pada zaman Edo (1603-1867), klan Tokugawa menjadi keluarga yang berkuasa di Jepang dan pada saat itu, pemikiran dari Cina menjadi inspirasi dasar pandangan hidup. Empat kelas sosial, 士 農 工 商 (shi-nō-kō-shō), di zaman Edo merupakan bentuk hierarki golongan 1
Stuart D. B. Picken, Essentials of Shinto: An analytical Guide to Principal Teachings, (Wesport: Greenwood Press, 1994), 176. http://www.japan-guide.com/e/e2056.html (Waktu akses: 18 Juli 2013, 11.355 WIB) 3 http://www.japan-zone.com/culture/imperial.shtml (Waktu akses: 9 Oktober 2012, 20.05 WIB) http://www.nicjapanese.com/english/e-cul-kiku.html 4 http://www.japan-guide.com/e/e2133.html (Waktu akses: 18 Juli 2013, 11.05 WIB) 2
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
masyarakat yang terinspirasi pemikiran Shushigaku yaitu.neo-Konfusianisme. Shi-nō-kō-shō merupakan sebuah istilah yang mengacu kepada stratifikasi sosial atau kelas masyarakat pada zaman Edo. Kata shi berasal dari kata 武士 (bushi) yang berarti kelas samurai, 農 (nō) adalah singkatan dari 農民 (nōmin), yaitu kelas petani, 工 (kō) adalah 工人(kōnin) yang merupakan kelas yang berprofesi sebagai pengrajin, dan 商 (shō) adalah 商人(shōnin) yang merujuk pada kelas sosial pedagang. Di tengah gencarnya pengaruh Konfusianisme di zaman Tokugawa, muncul kesadaran dari para cendikiawan Jepang ketika itu yang mempertanyakan apa yang membedakan Jepang sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Konfusianisme dan agama Buddha dalam kehidupan sosial budaya orang Jepang. Pertanyaan inilah yang kemudian memicu para cendikiawan Jepang untuk menemukan keaslian atau kemurnian Jepang yang sekaligus dapat dijadikan bagian dari identitas Jepang. 5 Kokugaku dianggap sebagai sebuah kebangkitan dari Shintō. Para cendikiawan Jepang yang mempelajari Kokugaku di zaman Edo, seperti Kada no Azumamaro (1669-1736) dan Kamo no Mabuchi (1697-1769), berupaya memilah-milah pemikiran Cina dan mencoba menemukan pemikiran Jepang sebelum masuknya pengaruh asing. Secara filosofis, pencarian kemurnian Jepang dengan mempelajari kembali karya klasik ini secara tidak langsung merupakan bentuk penolakan terhadap agama Buddha dan pemikiran Konfusianisme. Dalam pandangan 国学者 (kokugakusha), 6 konsep Jepang yang masih murni adalah Amaterasu Ōmikami. Amaterasu Ōmikami adalah landasan utama bagi bangsa dan negeri Jepang sekaligus sebagai leluhur dari kaisar Jepang. Pemikiran ini tersurat secara jelas dalam babad Kojiki dan Nihon Shoki. 7 Motoori Norinaga (1730-1801), seorang kokugakusha, berasal dari keluarga pedagang yang semula berniat untuk mempelajari ilmu kedokteran. Namun, pada akhirnya ia menjadi salah seorang filsuf Kokugaku ternama di Jepang. Pada saat belajar di Kyoto, Norinaga tertarik untuk mencari lebih dalam tentang Jepang yang murni, yaitu Jepang sebelum terkontaminasi oleh pengaruh asing. Menurut Norinaga, Shintō murni merupakan landasan bagi bangsa dan negeri Jepang. Dalam ajaran Shintō diyakini bahwa Amaterasu Ōmikami atau dewa matahari tidak hanya.sebagai obyek pemujaan semata, tetapi Amaterasu Ōmikami merupakan sumber atau dasar pembentukan struktur sosial budaya bangsa Jepang yang berada di bawah naungan dewa matahari. 8 Pemikiran seperti ini terkait dengan 古道論 (kodōron) atau ancient way 5
, Stuart D. B. Picken, Essentials of Shinto: An analytical Guide to Principal Teachings (Wesport: Greenwood Press, 1994), 33. 国学者(kokugakusha) adalah istilah bagi para cendikiawan Jepang yang mempelajari budaya Jepang di masa lampau dan karya sastra klasik 7 Floyd Hiatt Ross, SHINTO The Way of Japan, (Connecticut: Greenwood Press Publishers, 1965), 125. 8 Stuart D. B. Picken, Essentials of Shinto: An analytical Guide to Principal Teachings, (Wesport: Greenwood Press, 1994), 33. 6
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
theory atau teori purbakala, yaitu teori yang menempatkan kaisar pada kedudukan hirarki tertinggi, karena kaisar adalah titisan dari dewa Amaterasu Ōmikami. Selama pemerintahan Tokugawa, Kokugaku yang bergelut pada pencarian kemurnian Jepang yang dimotori oleh Motoori Norinaga semakin populer. Banyak bemunculan kokugaku juku yaitu sejenis shijuku atau sekolah yang diselenggarakan oleh pribadi-pribadi tertentu yang bertujuan untuk mengali atau menemukan kemurnian atau keaslian Jepang. Kepopuleran Kokugaku terus menyebar hingga kalangan pedagang dan juga petani, yang kemudian menjadi pendorong untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memahami jati diri sendiri, memahami pemikiran yang murni Jepang. 9 Dalam pencariannya tentang kemurnian Jepang, Motoori Norinaga berpegang pada karyakarya tulis klasik berupa antologi puisi, prosa, maupun babad
Jepang, seperti 万葉集
(Manyoshu), 古事記 (Kojiki), 日本書記 (Nihonshoki) 10, 源氏物語 (Genji Monogatari) dll. 11
. Dalam kajiannya mengenai Kojiki, antara lain dikemukakan bahwa:
“an investigation into the Way of ancient Japan. The Kojiki was not only a sacred text, but contained the most reliable information on how the Japanese behaved before being infected with Chinese ideas…. The purely Japanese virtues—worship of the [Shintō] gods and of the descendant, the emperor—were contrasted with the superficial, meretricious reasoning of the Chinese and of Japanese infatuated with Chinese thoughts.” 12 Menurut Norinaga, Kojiki bukan hanya teks suci semata, tetapi juga sebuah catatan yang mengadung informasi yang dapat dipercaya tentang bagaimana orang Jepang bersikap atau berperilaku sebelum terpengaruh oleh berbagai aspek kebudayaan Cina. Menurutnya, kebajikan atau nilai murni Jepang, seperti pemujaan terhadap dewa-dewa (dalam agama Shintō) dan keturunannya, berbeda dari pemikiran Cina yang bersifat sangat rasional. Shibun yōryō (1763) merupakan karya tulis Motoori Norinaga analisis Norinaga terhadap Genji Monogatari. Dalam tulisannya, ia menggunakan konsep mono no aware sebagai pisau analisisnya, yang digunakan dalam menganalisa karya Genji Monogatari. Mono no aware dapat diartikan sebagai ekspresi perasaan tergugah yang terdalam terhadap lingkungan alam sekitar, maupun perasaan tergugah yang menyentuh dalam interaksi antar sesamanya. Ekspresi perasaan ini bisa muncul sebagai
kekaguman, kesedihan, keterharuan dan
semacamnya. 9
Richard Rubinger, Private Academies of Tokugawa Japan, (New Jersey: Princeton University Press, 1982), 159. Sebuah catatan pertama mengenai sejarah Jepang yang berasal dari awal abad ke 8. 11 Sebuah karya sastra pertama di Jepang yang ditulis oleh Murasaki Shikibu pada abad awal abad ke 11 yang menceritakan kisah dari Hikaru Genji 12 Kenneth B. Pyle, The Making of Modern Japan, (California: Wadsworth Publishing, 1995), 50. 10
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
Secara harafiah, mono memiliki arti “hal” atau “sesuatu”, sedangkan aware bermakna “tergugah” atau “tergerak”. Untuk melihat penggambaran mono no aware, Norinaga menyarankan untuk mengkaji karya klasik Jepang. 13 Karya sastra klasik Jepang banyak yang mengadung ekspresi dari mono no aware. Salah satu ekspresi mono no aware yang dominan di dalam Genji Monogatari ataupun Heike Monogatari adalah pandangan ketidakkekalan atau 無常感 (mujōkan). Kejatuhan klan Taira yang berkuasa adalah salah satu contoh mono no aware yang memberi makna bahwa kekuasaan tidaklah merupakan suatu yang abadi. Ungkapan-ungkapan mono no aware ini juga muncul dalam karya pada era sekarang ini, seperti dalam banyak lirik lagu masa kini. Mono no aware merupakan bagian dari ciri khas kebudayaan Jepang.
2. Tinjauan Teoritis Penulisan skripsi ini dilandasi oleh 古道論 (kodōron) atau teori purbalaka. yang dikemukan oleh Motoori Norinaga. Teori ini digunakan sebagai landasan untuk mencari keaslian dari Jepang dengan metode penelaahan karya-karya klasik seperti yang dilakukan oleh Motoori Norinaga. Penelitian yang dilakukan oleh Norinaga dalam pencariannya mengenai Jepang yang murni membentuk konsep mono no aware dan konsep ini menjadi ciri khas pemikiran Jepang.
3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik deskriptif-analisis. Dalam teknik pengumpulan data, penulis menggunakan metode studi pustaka dengan menggunakan buku-buku sebagai referensi serta bahan lainnya seperti artikel, jurnal, dan publikasi elektronik tentang Kokugaku dan konsep mono no aware.
4. Kemunculan dan Perkembangan Kokugaku 国学 (Kokugaku) merujuk pada sebuah gerakan intelektual yang berkembang dan menjadi populer di Jepang pada zaman Edo (1603-1867). Istilah 国学 terdiri dari kanji 国, yang dapat 13
Haruo Shirane ed, EnvisioningThe Tale of Genji: Media, Gender, and Cultural Production, (New York: Columbia University Press, 2008), 152.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
dibaca kuni atau koku, yang berarti negeri; tanah air; Jepang, dan 学, yang dapat dibaca manabu atau gaku, yang berarti belajar; mempelajari (lebih dalam); ilmu. Kokugaku dapat diartikan sebagai studi mengenai negeri Jepang yang dilakukan oleh kalangan cendikiawan di Jepang guna mencari Jepang yang murni. Pergerakan ini dilakukan oleh kelompok cendikiawan Jepang yang menentang pengaruh 漢学 (Kangaku) atau ilmu yang berasal dari Cina, seperti Konfusianisme. Para filsuf ini memegang nilai nativisme 14 dan mereka mengganggap bahwa masuknya pengaruh asing dari luar ke Jepang telah melunturkan nilai-nilai murni atau jiwa yang dimiliki oleh orang Jepang. Keinginan untuk kembali mencari nilai murni Jepang dapat dilihat kembali pada akhir abad 17. Keichū (1630-1701) 15 yang dianggap sebagai seorang pionir dalam pergerakan Kokugaku adalah seorang biksu yang merupakan pegawai pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa Mitsukuni. Shogun Mitsukuni memerintahkan untuk mengumpulkan sejarah Jepang secara lengkap atau menyeluruh melalui pembelajaran karya-karya klasik Jepang. Keichū ditugaskan oleh Shogun untuk memberikan komentar mengenai Man'yōshū
16
. Akan tetapi, Keichū
berpendapat bahwa karya klasik Jepang seperti Man'yōshū dan sebagainya tidak dapat dipahami melalui Konfusianisme karena karya-karya klasik dari Jepang merupakan bentuk asli nilai religius orang Jepang terhadap dewa asli Jepang. 17 Kokugaku merupakan gerakan untuk memperlajari jati diri bangsa Jepang melalui karyakarya klasik Jepang seperti, Kojiki, Nihon Shoki, dan Man'yōshū. Yang dianggap sebagai karya yang mewakili nilai-nilai asli Jepang dan menceritakan riwayat dan keadaan negeri Jepang. Penelitian karya klasik Jepang ini berarti juga sebagai pencarian jati diri Jepang yang mencakup pembelajaran ilmu bahasa nasional, sastra, puisi Jepang, geografi dan sejarah Jepang. Apa yang dilakukan Keichū telah mendorong munculnya minat terhadap karya sastra klasik Jepang dan perhatian untuk meneliti lebih lanjut pengaruh Konfusianisme terhadap budaya dan masyarakat Jepang. Mengikuti jejak Keichū, para cendikiawan lain pun mulai mempelajari karya sastra klasik Jepang. Beberapa kokugakusha diantaranya adalah Kada no Azumamaro (1669-1736) 18, Kamo no Mabuchi (1697-1769) 19, dan Motoori Norinaga (17301801). 14
Sebuah sikap atau paham suatu negeri atau masyarakat terhadap kebudayaan sendiri berupa gerakan yang menolak pengaruh, gagasan, atau kaum pendatang (1630-1701) Seorang biksu dari sekte Shingon yang meneliti karya sastra klasik dan waka 16 Sebuah antologi puisi paling tua di Jepang yang dikumpulkan pada akhir abad ke 8 pada zaman Nara. Kumpulan puisi ini terbagi menjadi empat bagian periode waktu. 17 Peter Nosco, Remembering Paradise: Nativism and Nostalgia in Eighteenth Century Japan, (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 56. 18 http://www.britannica.com/EBchecked/topic/309411/Kada-Azumamaro (Waktu Akses: 28 Februari 2013, 15.34 WIB) 15
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
Kada no Azumamaro adalah seorang cendikiawan yang mencetuskan gerakan Fukko Shinto dan mempelajari karya klasik Nihon Shoki. Fukko Shintō adalah sebuah gerakan retorasi atau pembaharuan dari Shintō dalam bentuk sekolah religi pada abad ke 18. Tujuan dari pembentukan sekolah ini adalah untuk mengungkapkan makna murni dari pemikiran Shintō melalui studi yang berkaitan dengan ilmu bahasa karya klasik Jepang. Sekolah ini memberikan pengaruh terhadap pengembangan pemikiran Shintō modern. Ia adalah tokoh pertama yang membedakan nativisme dari pemikiran Konfusianisme. Menurutnya, konsep nativisme bertentangan dengan pemikiran asing, seperti agama Buddha dan Konfusianisme. Pendapatnya ini menjadi dasar bagi pemikiran kalangan Kokugakusha.
20
Pembentukan
sekolah yang dilakukan oleh Kada no Azumamaro merupakan keinginannya untuk mencari dan mengungkapkan nilai murni dari pemikiran Jepang serta membangkitkan minat terhadap pembelajaran mengenai bangsa sendiri, sedangkan Kamo no Mabuchi menuangkan pemikirannya dengan menggunakan bahasa Jepang dalam karya yang ditulisnya. 21
5. Motoori Norinaga Motoori Norinaga (1730-1801) adalah seorang filsuf Kokugaku yang lahir di Matsuzaka di Provinsi Ise (sekarang kota Matsusaka di Provinsi Mie) pada masa pemerintahan Tokugawa Yoshimune dan berasal dari keluarga pedagang tekstil. Ayahnya adalah Ozu Sadatoshi Dōju, seorang pedagang tekstil yang berkembang menjadi pedagang katun yang sukses. Di Kyoto, Motoori Norinaga mempelajari nilai-nilai Konfusianisme, Buddhisme, dan juga tulisan Cina. Pertemuannya dengan Kamo no Mabuchi pada tahun 1764 merupakan sebuah peristiwa penting dalam hidupnya. Kemudian ia menelaah karya klasik Kojiki karena minatnya terhadap buku-buku tentang Shintō sejak masih muda. Minatnya ini menjadi pendorong dalam pencarian nilai murni Jepang zaman dulu. Karya Kojiki-den yang ditulis oleh Norinaga adalah karya penting yang merupakan interpretasinya terhadap babad Kojiki.
(1669-1736) Seorang pendeta di kuil Inari dan pencetus dari pergerakan Fukko Shinto (復古神道) atau Pembaharuan atau Reformasi Shinto yang bebas dari pengaruh Konfusianisme dan Budha. 19 http://www.britannica.com/EBchecked/topic/310700/Kamo-Mabuchi (Waktu Akses: 28 Februari 2013, 16.36 WIB) 20 Peter Nosco, Remembering Paradise: Nativism and Nostalgia in Eighteenth Century Japan, (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 73. 21 Ibid, hal 9. Meskipun pemikiran Kamo no Mabuchi bertentangan dengan pemikiran dari Cina, terutama Kofusianisme, pada kenyataannya, karya tulisnya mengandung istilah yang berhubungan dengan ajaran Tao. Di kemudian hari, para cendekiawan Shinto melihat bahwa ajaran Tao sejalan dengan nilai-nilai Shinto.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
Penelitiannya terhadap Kojiki merupakan bagian dari pencariannya terhadap pemikiran Jepang di zaman kuno. 22
6. Kodō (Ancient Ways) Kokugaku bertujuan mencari atau menemukan nilai-nilai keaslian Jepang. Dalam pencariannya, Motoori Norinaga melakukan pendekatannya dengan 古道論 (kodōron) atau “ancient way theory” atau teori purbakala. Kodōron merupakan teori yang berpijak pada karya atau naskah-naskah kuno untuk menemukan keaslian Jepang. Teori ini menjadi bagian dalam nilai Kokugaku karena dalam pembelajaran mengenai Kokugaku, para cendekiawan melihat bagaimana sikap dan pemikiran dari orang-orang Jepang dahulu kala, sebelum pengaruh asing dari negeri lain seperti Konfusianisme dan agama Buddha masuk ke Jepang. Dalam perkembangannya, menurut para kokugakusha, nilainilai asing ini mempengaruhi kemurnian dari orang Jepang, bahkan menjadi landasan nilai dan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Jepang. Pada zaman dimana Motoori Norinaga hidup, yaitu zaman Edo (1603-1867), kelas sosial terbagi menjadi empat kelas dan keshogunan Tokugawa atau kalangan samurai menjadi kelas soasial tertinggi. Selama hampir tiga ratus tahun, masyarakat Jepang berada di bawah pemerintahan keshogunan dan masa Edo dikenal sebagai masa yang makmur dan terkenal dalam periode sejarah Jepang. Akan tetapi, beberapa masalah yang terjadi di kemudian hari, seperti pemerintahan yang korup, bencana, dan segala hal lainnya, menimbulkan perasaan nostalgia akan sebuah masa yang ideal bagi seluruh rakyat. Teori purbakala yang dipelajari oleh Motoori Norinaga menunjukkan bahwa ada perasaan rindu akan sebuah keadaan harmonis dalam masyarakat. Perasaan nostalgia ini juga dituangkan oleh para sastrawan dari berbagai era. Sebagai contoh, Kakinomoto no Hitomaro (662-710) yang banyak mengekspresikan perasaan nostalgia dari masa ke masa, Murasaki Shikibu (978-1014/1025) dengan karyanya Genji Monogatari, yang berulang kali menceritakan tentang perhatian terhadap hilangnya kesopanan yang anggun, begitu pula karya Hōjōki yang ditulis oleh Kamo no Chōmei (1155-1216), dan Tsurezuregusa yang ditulis oleh Yoshida Kenko (1285-1350), keduanya meratapi hilangnya tata cara dan kebiasaan zaman Heian (794-1185) sebagai zaman
22
Peter Nosco, Remembering Paradise: Nativism and Nostalgia in Eighteenth Century Japan, (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 160.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
kejayaan Jepang di bawah kaum bangsawan. 23 Nostalgia para cendikiawan Jepang pada zaman Edo terhadap masa lampau Jepang yang tercatat dalam Kojiki dan Nihon Shoki telah memicu mereka untuk mengembangkan Kokugaku. Para cendikiawan ini, percaya apabila seorang manusia dapat kembali bersatu dengan hatinya yang tulus, dan mempelajari kembali moral-moral yang ada sejak dulu sehingga dia dapat menemukan kembali kemurnian atau keaslian. Bagi Kamo no Mabuchi, seiring berjalannya waktu, puisi lambat laun menjadi seperti karya tiruan, rumit, dan kehilangan sisi alami dan keasliannya. Sebagai contoh, karya Konkinshū 24 yang bagi Kamo no Mabuchi cenderung menunjukkan sisi feminin. Mabuchi memiliki pendapat terkait pandangan mengenai masa kejayaan Jepang di masa lalu,: 25 “the emperors displayed majesty and manliness in accordance with the way of the heavenly kami, and the officials governed in his service, professing valor and uprightness over all.” Menurut Mabuchi, kaisar menunjukkan keanggunan dan kegagahan yang sesuai dengan jalan para dewa, serta para pegawai pemerintahan di bawahnya memerintah dengan jujur dan berani. Namun, setelah pengaruh asing seperti pemikiran Cina masuk ke Jepang, hal tersebut dapat berubah. Mabuchi berpendapat bahwa kaisar dapat kehilangan kewibawaannya. Mabuchi memandang bahwa feminitas sebagai sebuah aspek negatif, sedangkan menurut Norinaga sisi tersebut adalah sebuah aspek yang natural dan merupakan inti sari dari sifat manusia. Norinaga berpendapat bahwa sifat kegagahan yang diagungkan oleh Mabuchi merupakan sebuah bentuk kesombongan dari manusia. Berbeda dengan Mabuchi yang menganggap bahwa feminitas merupakan hal yang negatif dan tanda dari degaradasi yang akan terjadi. 26 Menurut Motoori Norinaga perhatian terhadap sisi emosional dan kualitas feminin tidak dapat diacuhkan begitu saja. Sisi emosional ini terkait dengan mono no aware yang dirumuskan olehnya di kemudian hari .27 Pemikiran Motoori Norinaga mengenai kodōron secara mendalam merangkul nilai keyakinan agama di Jepang sesuai dengan kepercayaan orang Jepang terhadap 神 (kami) yang dalam hal ini berorientasi terhadap alam. Norinaga mempercayai bahwa pertanggungjawaban terakhir
23
Peter Nosco, Remembering Paradise: Nativism and Nostalgia in Eighteenth Century Japan, (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 6-7. 24 Konkinshū atau Konki Wakashū adalah kumpulan puisi yang bertanggal dari masa Heian. Konkinshū merujuk pada pengertian “Kumpulan dari masa kuno dan modern”. Orang yang mengumpulkan puisi-puisi ini adalah Ki No Tsurayuki pada tahun 905. 25 Shigeru Matsumoto, Motoori Norinaga 1730-1801, (Cambridge: Harvard University Press, 1970), 73. 26 Shigeru Matsumoto, Motoori Norinaga 1730-1801, (Cambridge: Harvard University Press, 1970), 74. 27 Ibid, hal 53.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
untuk semua pemikiran, tindakan, kreativitas, dan produktivitas manusia adalah kepada para dewa. Selain itu, segala aspek dalam kehidupan pada dasarnya misterius dan ajaib. 28 Kesamaan pendapat antara Kamo no Mabuchi dan Motoori Norinaga dalam teori purbakala adalah, keduanya menganggap bahwa ada cara atau prinsip, yang membentuk perilaku manusia yang benar, baik secara pribadi ataupun kelompok. Keduanya juga sependapat bahwa perkenalan dengan budaya dan pemikiran asing yang membuat perubahan dalan cara berpikir orang Jepang. Di dalam Naobi no Mitama 29, Norinaga mengemukakan: 30 “In due course time passedby and writings were introduced. People began studying these writings and later imitated the Chinese practices that lay behind those writings, until eventually countless aspects of Chinese life were adopted.” Seiring berjalannya waktu, dengan diperkenalkannya tehnik penulisan Cina, pada akhirnya berbagai aspek kehidupan Cina pun diserap oleh Jepang. Penyerapan aspek dari Cina ini yang kemudian sedikit banyak mempengaruhi kokoro (心) dari orang Jepang, yang sebelumnya besifat naoku kiyoki (jujur atau lugas dan murni), berubah menjadi kitanaki (tercemar; kotor). Percampuran antara pemikiran Jepang dan pemikiran asing, khususnya dari Cina, sudah berlangsung lama dan secara natural sehingga tanpa disadari pemikiran Cina sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Jepang.
7. Mono no Aware Pada mulanya, mono no aware merupakan konsep yang digunakan Motoori Norinaga sebagai pisau analisisnya dalam menelaah karya sastra Genji Monogatari. Konsep ini pun kemudian berkembang menjadi inti dari filosofinya terhadap karya sastra dan menjadi ide dasar dalam pandangannya terhadap sifat manusia. Mono no aware terdiri dari dua istilah, yaitu mono dan aware. Dalam Isonokami sasamegoto 31
, Motoori Norinaga mengartikan istilah aware sebagai berikut: “Aware is in essence an expression for deep feeling in the heart. In later periods, this word has been used to refer merely to a sad feeling, but that is only one facet of the term… Aware was originally an exclamation, expressing any heartfelt sentiment. It belonged to the same category as ana and aya [both exclamation].”
28
Peter Nosco, Remembering Paradise: Nativism and Nostalgia in Eighteenth Century Japan, (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 161. 29 Naobi no Mitama adalah sebuah karya yang ditulis oleh Motoori Norinaga. Judul Naobi no Mitama memiliki pengertian “memperbaiki jiwa” 30 Ibid, hal 185. 31 Isonokami sasamegoto adalah sebuah karya dari Motoori Norinaga yang ditulis pada tahun 1763. Karya ini merupakan pandangan pribadinya terhadap puisi.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
Istilah aware pada intinya adalah sebuah inti dari ekspresi untuk perasaan hati yang terdalam. Pada dasarnya adalah sebuah kata seru yang mengekspresikan berbagai perasaan hati. Namun, di periode-periode berikutnya, istilah aware merujuk hanya pada perasaan sedih. Menurut Norinaga, istilah aware yang merujuk pada ekspresi sedih kurang tepat. Secara garis besar, kata aware mengekspresikan segala macam perasaan yang mendalam yang dialami oleh manusia baik terhadap suatu hal maupun peristiwa. 32 Mono no aware dapat diartikan sebagai ‘tergugah oleh sesuatu’. Dalam Shibun yōryō 33, Norinaga berpendapat seseorang secara tidak sadar dapat tergugah hatinya. Kenyataan bahwa suatu ketika perasaan seseorang dapat tergerak tidak dapat dihindari meskipun orang tersebut berusaha menghindarinya sekuat tenaga. Sehingga bentuk perasaan yang tergugah ini muncul secara spontan dan alami. 34
8. Mono no Aware dalam Heike Monogatari Dalam karya sastra Heike Monogatari atau Hikayat Heike, konsep mono no aware banyak digambarkan akan ketidakkekalan duniawi yang muncul dalam jalan cerita. Sebagai contoh, dalam bait pembuka Heike Monogatari: ぎおんしょうじゃ
かね
こえ
祇 園 精 舎 の 鐘 の 聲 、Gion shōja no kane no koe, Suara lonceng di kuil Gion しょぎょうむじょう
ひびき
諸 行 無 常 の 響 あり。Shogyōmujō no hibiki ari Menggemakan ketidakkekalan さらそうじゅ
はな
いろ
娑 羅 雙 樹 の 花 の 色 、Sarasōju no hana no iro, Warna bunga di pohon sala しょうじゃひっすい
盛 者 必 衰 のことわりをあらはす。Shōshahissui no kotowari wo arawasu Mengisyaratkan bahwa yang berkuasa akan jatuh
32
Shigeru Matsumoto, Motoori Norinaga 1730-1801, (Cambridge: Harvard University Press, 1970), 44. Shibun yōryō (Essentials of The Tale of Genji) adalah sebuah karya yang ditulis oleh Motoori Norinaga pada tahun 1763. Dalam karya ini, Norinaga mengaplikasikan konsep mono no aware dalam kritik satra. 34 Op.Cit, hal 44. 33
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
ひと
ひさ
おごれる 人 も 久 しからず、Ogoreru hito mo hisashikarazu, Orang yang takabur pun tidak akan lama ただはる
よ
ゆめ
唯 春 の夜の 夢 のごとし。Tada haru ni yo no yume no gotoshi Seperti mimpi di malam musim semi もの
つい
たけき 者 も 遂 にほろびぬ、Takeki mono mo tsui ni horobinu Orang yang hebat pun pada akhirnya jatuh ひとえ
かぜ
まえ
ちり
おな
偏 に 風 の 前 の 塵 に 同 じ。Hitoeni kaze no mae no chiri ni onaji Tidak lebih dari debu yang tertiup angin
Puisi ini sarat dengan penggambaran mujōkan. Ketidakekalan menyiratkan perasaan pasrah terhadap nasib. Pada bagian awal, “Gion shōja no kane no koe, shogyōmujō no hibiki ari serta Sarasōju no hana no iro, Shōshahissui no kotowari wo arawasu” memperlihatkan sebuah isyarat bahwa akan terjadi perubahan dalam kehidupan dalam cerita. Situasi ini diilustrasikan dengan lonceng kuil yang bergema dan warna bunga di pohon sala. Dalam potongan “Ogoreru hito mo hisashikarazu dan Takeki mono mo tsui ni horobinu”, disinggung tentang orang yang takabur dan orang yang hebat. Kedua kutipan ini merujuk pada klan Taira yang semula memiliki kekuasaan hebat. Namun kemudian dalam perang Genpei, klan Minamoto dapat mengalahkan Taira dan membuka babak baru dalam sejarah Jepang. Bagian pembuka ini menyiratkan keadaan yang menyedihkan. Kalimat terakhir, Hitoeni kaze no mae no chiri ni onaji, menunjukkan bahwa manusia sehebat apa pun sangat kecil di dunia ini. Kekuasaan yang dimiliki oleh Taira tidak bertahan lama. Unsur dalam karya ini memperlihatkan bahwa segala hal yang ada di dunia tidak bersifat abadi.
9. Mono no Aware dalam Genji Monogatari Genji Monogatari atau Hikayat Genji menceritakan perjalanan hidup dari Hikaru Genji yang penuh dengan drama. Mono no aware dalam cerita ini digambarkan dengan nuansa alam, rasa kesedihan, kehilangan, yang banyak tergambar didalamnya. Berikut adalah potongan bagian yang dianggap mengambarkan mono no aware. Adegan ini menceritakan saat Hikaru Genji diasingkan ke Suma.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
よ
とのい
もの
ねむ
げんじひとり
ねむ
こと
そうしたある夜 , 宿 直 の 者 も 眠 ってしまい、 源 氏 一 人 、 眠 れぬままに 琴 をすこし おと
き
かきならしてみると、その 音 がひどくものすごく聞こえるので、 こ
おと
うらなみ
恋いわびてなく 音 にまごう 浦 波 は おも
かぜ
ふ
思 うかたより 風 や吹くらん うた
ひとびと
め
げんじ
こころ
な
と、 歌 をよみました。 人 々 も目をさまして、 源 氏 の 心 をおしばかってはすすり泣 くのでした。 Soushita aru yo, tonoi no mono mo nemutteshimai, Genji hitori, nemurenu mama ni koto wo sukoshi kakinara shitemiruto, sono oto ga hidoku mono sugoku kikoerunode, Koiwabitenaku oto ni magou uranami wa Omoukata yori kaze ya fukuran to, uta wo yomimashita. Hitobito mo me wo samashite, Genji no kokoro wo oshibakatte wa susuri nakuno deshita. Arti: Kemudian pada malam itu, para penjaga malam pun mulai mengantuk, Genji seorang diri, tidak bisa tidur dan mulai menyetem koto, lalu terdengar suara yang menyanyikan: Suara rasa rindu yang terputus di garis pantai Dari angin yang berhembus Orang-orang pun terbangun, saat mereka menyelami perasaan Genji, mereka pun menangis.
Hikaru Genji diasingkan ke daerah yang jauh dari ibu kota dengan ditemani para pengawalnya. Rasa rindu kepada orang terkasih dirasakan oleh Genji di tengah malam yang sunyi saat yang lain sedang tertidur. Bagi Genji, kerinduan tidak tertahan sehingga ia memainkan koto dan menyanyikan lagu yang mengungkapkan rasa rindu kepada orang tersayang. Saat Genji sedang memainkan lagu tersebut, para pengawal Genji yang semula tertidur, terbangun. Pada kalimat “Hitobito mo me wo samashite, Genji no kokoro wo oshibakatte wa susuri nakuno deshita”, menceritakan bahwa para pengawal Genji pun menangis setelah mendengar lantunan suara Genji tentang kerinduan. Mereka tidak dapat menahan tangisan karena juga merasakan
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
hal yang sama seperti yang dirasakan oleh Genji. Hal ini merupakan merupakan hal yang alami, saat kita mendengar kesedihan dari orang lain, secara spontan hati akan tergugah.
10. Mono no Aware dalam Lirik Lagu Dalam karya modern, mono no aware tidak hanya terlihat dalam karya sastra semata. Namun, dalam lirik lagu Jepang pun banyak yang memperlihatkan ekspresi mono no aware. Berikut adalah contoh dari lirik lagu-lagu Jepang yang dianggap menggambarkan perasaan mono no aware. 10.1 Mono no Aware dalam Lirik Lagu Mirai e oleh Kiroro みらい
未 来 へ (mirai e) Bahasa Jepang あしもと
Bahasa Latin み
Hora ashimoto wo mitegoran
ほら 足 元 を見てごらん あゆ
みち
これがあなたの 歩 む 道 まえ
Kore ga anata no ayumu michi
み
Hora mae wo mitegoran
ほら 前 を見てごらん みらい
Are ga anata no mirai
あれがあなたの 未 来 はは
やさ
Haha ga kureta takusan no yasashisa
母 がくれたたくさんの 優 しさ あい
いだ
あゆ
く
かえ
Ai wo idaite ayume to kurikaeshita
愛 を 抱 いて 歩 めと繰り 返 した とき
おさな
あの 時 はまだ 幼 くて いみ
Ano no toki wa mada osanakute
Imi nado shiranai
し
意味など知らない わたし
て
にぎ
Sonna watashi no te wo nigiri
そんな 私 の手を 握 り いっしょ
あゆ
Isshoni ayundekita
一 緒 に 歩 んできた ゆめ
そらたか
Yume wa itsumo sora takaku aru kara
夢 はいつも 空 高 くあるから とど
こわ
Todokanakute kowai ne
届 かなくて 怖 いね お
つづ
Dakedo oitsuzukeri no
だけど追い 続 けるの じぶん
自 分 のストーリーだからこそ
Jibun no story dakara koso
Akirametakunai
あきら
諦 めたくない ふあん
て
にぎ
不 安 になると手を 握 り いっしょ
Fuan ni naru tote wo nigiri
あゆ
一 緒 に 歩 んできた
Isshoni ayundekita
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
やさ
とき
いや
Sono yasashi wo toki ni wa iyagari
その 優 しさを 時 には 嫌 がり はな
はは
すなお
Hanareta haha e sunao ni narezu
離 れた 母 へ 素 直 になれず あしもと
み
Hora ashimoto wo mitegoran
ほら 足 元 を見てごらん あゆ
みち
これがあなたの 歩 む 道 まえ
Kore ga anata no ayumu michi
み
Hora mae wo mitegoran
ほら 前 を見てごらん みらい
あれがあなたの 未 来 みらい
Are ga anata no mirai
む
Mirai e mukatte
未 来 へ向かって ある
ゆ
ゆっくりと 歩 いて行こう
Yukkuri to aruite yukou
Arti: Lihat. Perhatikan langkahmu Ini adalah jalan yang kau lewati Lihat, Perhatikan apa yang ada di depanmu Itu adalah masa depanmu Ibu sudah memberikan banyak kebaikan Selalu memberikan pelukan rasa cinta dan mendorong maju Saat itu, aku masih kecil, dan tidak mengerti arti Saat aku merasa tidak aman, ia menggenggam tangan ku Dan berjalan bersama ku Mimpi ku selalu setinggi langit Aku merasa kuatir kalau tidak bisa mencapainya. Tapi aku masih mencoba mengejarnya Ini kisah ku sendiri. Untuk alas an ini aku tidak ingin menyerah Saat merasa tidak aman, ia menggenggam tangan ku Dan berjalan bersama Saat itu aku tidak menyukai kebaikan seperti itu Tidak lagi jujur pada ibu ku yang sudah pergi Lihat. Perhatikan langkahmu Ini adalah jalan yang kau lewati Lihat, Perhatikan apa yang ada di depanmu Itu adalah masa depanmu Menyongsong masa depan Mari kita berjalan perlahan
Lagu ciptaan Kiroro ini menceritakan tentang perasaan takut dan cemas saat melangkah menuju masa depan. Bagi yang baru saja menginjak usia dewasa, akan timbul rasa ketakutan tersendiri. Pada lirik “Yume wa itsumo sora takaku aru kara, Todokanakute kowai ne, Dakedo oitsuzukeri no”, digambarkan ketakutan untuk meraih mimpi yang tinggi. Namun, orang tidak boleh takut dalam meraih impian, seterjal apapun hambatan yang menanti. Saat seseorang berjuang meraih mimpi, ia tidak akan sendiri karena ada keluarga di sisinya.. Dalam lagu ini, diceritakan bahwa ibu selalu berada di samping untuk menggenggam tangan dan memberikan dorongan untuk melangkah maju. Ekspresi ini memperlihatkan wujud kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Hal ini ditunjukkan dengan lirik “Haha ga kureta takusan no yasashisa, ai wo idaite ayume to kurikaeshita”.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
Lirik lagu ini menggambarkan bahwa di dalam kehidupan, seseorang tidak boleh menyerah dalam menyerah impian. Lirik terakhir dalam lagu ini. “Mirai e mukatte, Yukkuri to aruite yukou” memberikan pandangan bahwa dalam menyongsong masa depan dan meraih impian, tidak harus dalam waktu yang cepat. Untuk menuju masa depan, kita melangkah setapak demi setapak. Pada intinya, lagu ini menceritakan ketakutan yang dirasakan seseorang dalam menuju masa depan dan juga memberikan semangat untuk menyongsong masa depan. Hambatan apapun yang menanti di depan, selama kita tidak menyerah, maka pasti dapat dilalui. 10.2 Mono no Aware dalam Lirik Lagu Sakura oleh Ikimono-gakari さくら(sakura) Bahasa Jepang
Bahasa Latin ま
お
お
※さくらひらひら 舞い降りて落ちて ゆ
おも
揺れる 想 いのたけを抱きしめた きみ
はる
ねが
み
ま
かよ
はる
Densha kara mieta no wa
Itsuka no omokage
Futari de kayotta haru no oohashi
Sotsugyou no toki ga kite
Kimi wa machi wo deta
おおはし
ふたりで 通 った 春 の 大 橋 そつぎょう
卒
き
業 のときが来て まち
で
君 は故郷を出た いろ
かわべ
ひ
さが
色 づく 川 辺 にあの日を 探 すの みち はる
Sorezore no michi wo erabi
Futari wa haru wo oeta
Saki hokoru mirai wa
Atashi wo aserasete
Odakyuusen no mado ni
Kotoshi mo sakura ga utsuru
Kimi no koe ga kono mune ni
Kikoete kuru yo
お
ふたりは 春 を終えた ほこ
Irozuku kawabe ni ano hi wo sagasu no
えら
それぞれの 道 を 選 び
さ
Ima mo miete iru yo sakura mai chiru
み
電 車 から見えたのは いつかのおもかげ
きみ
Kimi to haru ni negai shi ano yume wa
ち
今 も見えているよさくら舞い散る※ でんしゃ
Yureru omoi no take wo dakishimeta
ゆめ
君 と 春 に 願 いしあの 夢 は いま
Sakura hirahira mai orite ochite
だ
みらい
咲き 誇 る 明 日 は あせ
あたしを 焦 らせて おだきゅうせん
まど
小 田 急 線 の 窓 に ことし
うつ
今 年 もさくらが 映 る きみ
こえ
むね
君 の 声 がこの 胸 に き
聞こえてくるよ かえ
(※くり 返 し)
(kembali ke ※)
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
か
てがみ
書きかけた 手 紙 には
Kaki kaketa tegami ni wa
“Genki de iru yo” to
Chiisa na uso wa misuka sareru ne
Meguri yuku kono machi mo
Haru wo ukeirete
げんき
「 元 気 でいるよ」と ちい
うそ
みす
小 さな 嘘 は見透かされるね まち
めぐりゆくこの 街 も はる
う
い
春 を受け入れて ことし
はな
今 年 もあの 花 がつぼみをひらく きみ
Kotoshi mo ano hana ga tsubomi wo hiraku
ひび
君 がいない日々を超えて
Kimi ga inai hibi wo koete
Atashi mo otona ni natteiku
おとな
あたしも 大 人 になっていく すべ
わす
こうやって 全 て 忘 れていくのかな ほんとう
“Hontou ni suki dattanda”
Sakura ni te wo nobasu
Kono omoi ga ima haru ni Tsutsumarete iku yo
「 本 当 に好きだったんだ」 て
の
さくらに手を伸ばす おも
いまはる
この 想 いが 今 春 に つつまれていくよ ま
お
お
さくら ひらひら 舞い降りて落ちて ゆ
おも
だ つよ
Yureru omoi no take wo daki yoseta
ことば
Kimi ga kureshi tsuyoki ano kotoba wa
君 がくれし 強 きあの 言 葉 は むね
のこ
ま
Ima mo mune ni nokoru sakura mai yuku
今 も 胸 に 残 るさくら舞いゆく ま
お
お
さくら ひらひら 舞い降りて落ちて ゆ
おも はる
ゆめみ
Tooki haru ni yumemishi ano hibi wa
Sora ni kiete iku yo
き
空 に消えていくよ
ま
お
お
さくら ひらひら 舞い降りて落ちて はる
む
ある
はる
ちか
Sakura hirahira mai orite ochite
だ
春 のその向こうへと 歩 き出す きみ
Yureru omoi no take wo daki yoseta
ひび
遠 き 春 に 夢 見 しあの日々は そら
Sakura hirahira mai orite ochite
だ
揺れる 想 いのたけを抱きしめた とお
Sakura hirahira mai orite ochite
よ
揺れる 想 いのたけを抱き寄せた きみ いま
Kouyatte subete wasurete iku no ka na
す
Haru no sono mukou e to aruki dasu
ゆめ
君 と 春 に 誓 いしこの 夢 を
Kimi to haru ni chikai shi kono yume wo
tsuyoku
Mune ni daite sakura mai chiru
つよ
強 く むね
だ
ま
ち
胸 に抱いてさくら舞い散る
Arti: ※Sakura jatuh berguguran Memeluk hati ku yang berdebar Mimpi yang kuharap denganmu Sekarang pun terlihat sakura berguguran Dari kereta terlihat Jejak dari suatu hari Jembatan di musim semi yang kita lewati Saat datang waktu kelulusan
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
Kau meninggalkan kota Aku mencari hari itu di tepi sungai yang berwarna Kita memilih jalan masing-masing Musim semi kita berdua telah berakhir Masa depan yang akan berkembang Membuat ku menjadi tidak sabar Di jendela kereta Odakyuu Tahun ini pun terrefleksi bunga sakura Suara mu, di dalam hati ku Terdengar (kembali ke ※) Pada surat yang kutulis “Aku baik-baik saja” Kau dapat melihat kebohongan kecil ini ya Kota pun bergerak dengan cepat Menyambut musim semi Tahun ini pun bunga itu membuka kuncupnya Melewati hari-bari tanpa dirimu Aku pun sudah menjadi dewasa Apa aku akan melupakan semuanya “Benar-benar menyukaimu” Aku mengulurkan tangan ku ke sakura Hati ini terselimuti di musim semi sekarang Sakura jatuh berguguran Memeluk hati ku yang berdebar Kata-kata kuat yang kau berikan Sekarang pun tertinggal di hati ku Sakura menari Sakura jatuh berguguran Memeluk hati ku yang berdebar Hari yang aku impikan di musim semi yang jauh Menghilang di langit Sakura jatuh berguguran Aku berjalan menuju musim semi Aku menggengam erat mimpi yang aku janjikan di musim semi dengan mu Memeluknya dengan erat Sakura jatuh berguguran
Judul lagu ini secara langsung merujuk pada nuansa musim semi. Dalam budaya Jepang yang memiliki empat musim, bunga sakura yang mekar melambangkan awal masuk kehidupan baru dan merupakan sebuah mono no aware. Sebagai contoh, semester baru sekolah dan penyambutan karyawan baru di Jepang dimulai saat musim semi. Namun, bunga sakura yang berguguran melambangkan sebuah perpisahan. Situasi yang digambarkan dalam lagu ini adalah perpisahan antara manusia yang terjadi setelah kelulusan. Lirik ini menceritakan perpisahan yang terjadi karena mereka memilih jalan masing-masing, seperti yang tertuang dalam lirik “Sorezore no michi wo erabi, futari wa haru wo eta”. Seiring dengan bergugurannya bunga sakura, maka masa perpisahan pun semakin dekat. Meskipun begitu, dalam lirik selanjutnya, “Saki hokoru mirai wa, Atashi wo aserasete” diperlihatkan juga bahwa ada rasa tidak sabar untuk menyongsong masa depan. Dalam situasi
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
ini, mereka menyadari bahwa perpisahan itu tidak dapat dihindari, yang dituangkan dengan lirik “Sakura hirahira mai orite ochite” yang menggambarkan sakura berguguran. Hal ini menyiratkan ketidakkekalan dalan kehidupan manusia, bahwa saat menyongsong masa depan, masa lalu akan ditinggalkan.
11. Kesimpulan Para Kokugakusha mencari kemurnian kebudayaan Jepang, utamanya pemikiran Jepang yang murni Jepang melalui karya-karya tulis klasik, seperti Kojiki, Nihon Shoki, dan Man'yōshū. Motoori Norinaga menggunakan prinsip 古 道 論 (kodōron) atau teori purbakala yang dianggap sebagai sebuah cara yang tepat untuk mencari pemikiran orang Jepang yang asli. Para Kokugakusha berasumsi bahwa pengaruh asing, terutama dari Cina, telah berhasil mempengaruhi berbagai aspek kebudayaan Jepang, utamanya pemikiran Jepang. Mono no aware adalah sebuah konsep yang dirumuskan oleh Norinaga dari hasil pencariannya melalui karya-karya tulis klasik tersebut. Konsep ini adalah bentuk ekspresi perasaan tergugah seseorang yang terdalam terhadap alam sekitarnya, maupun terhadap hubungan antar manusia sesamanya. Mono no aware banyak ditemukan di dalam karya tulis klasik Jepang. Beberapa yang dikenal luas adalah Heike Monogatari dan Genji Monogatari. Heike Monogatari dan Genji Monogatari banyak menggambarkan nuansa alam dan menyiratkan mujōkan di dalamnya. Ketidakkekalan duniawi dan kepasrahan pada nasib merupakan salah satu ekspresi mono no aware. Dalam lirik-lirik lagu modern pun, tergambar mono no aware. Seperti halnya dalam lirik lagu Mirai e dan lirik lagu Sakura. Rentang waktu yang panjang tidak merubah mono no aware dalam pemikiran orang Jepang. Mono no aware akan selalu eksis dalam setiap aspek kehidupan orang Jepang. Konsep ini memperlihatkan kokoro dari orang Jepang dan mencerminkan perasaan yang tidak lekang ple waktu.
Daftar Referensi Picken,Stuart D. B. 1994. Essentials of Shinto: An analytical Guide to Principal Teachings. Wesport: Greenwood Press.
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013
Ross, Floyd Hiatt. 1965. SHINTO The Way of Japan. Connecticut: Greenwood Press Publishers. Rubinger, Richard. 1982. Private Academies of Tokugawa Japan. New Jersey: Princeton University Press. Pyle, Kenneth B. 1995. The Making of Modern Japan. California: Wadsworth Publishing. Shirane, Haruo (ed). 2008. Envisioning The Tale of Genji: Media, Gender, and Cultural Production. New York: Columbia University Press. Nosco, Peter. 1990. Remembering Paradise: Nativism and Nostalgia in Eighteenth Century Japan. Cambridge: Harvard University Press. Tsunoda, Ryusaku., De Bary, WM. Theodore., Keene, Donald. 1958. Sources of Japanese Tradition Vol II, New York: Columbia University Press Matsumoto, Shigeru. 1970. Motoori Norinaga 1730-1801. Cambridge: Harvard University Press. Kato, Genchi. 2011. A Sudy of Shinto: The Religion of Japanese Nation, New York: Routledge Marra, Michael F. (ed), 2002. Japanese Hermeneutics: Current Debates on Aesthetics and Interpretation. Hawai’i: University of Hawai’i Press. Isomae, Junichi. 2000. Reappropriating the Japanese myths: Motoori Norinaga and the creation myths of the Kojiki and the Nihon Shoki. Journal of Japanese Religious Studies 27. etext.virginia.edu http://www.jpf.org.au/onlinearticles/profile/royalltyler-genji-lect-english.pdf library.uoregon.edu/ec/e-asia/read/heike-whole.pdf (Transactions of The Asiatic Society of Japan Vol. XLVI Part II) http://www.britannica.com/ www.jpopasia.com/search/ www.japan-guide.com http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ http://kampus.okezone.com/read/2013/03/01/373/769608/politeknik-kunci-kemajuanteknologi-jepang http://www.japan-zone.com/culture/imperial.shtml http://www.nicjapanese.com/english/e-cul-kiku.html
Mono No Aware..., Palupi Tripratiwi, FIB UI, 2013