PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA Bab 6
MONITORING PERTUMBUHAN TANAMAN DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI 6.1. MONITORING TANAMAN RESTORASI Monitoring terhadap pelaksanaan restorasi dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan informasi terkini terkait dengan progres pelaksanaan kegiatan restorasi yang berfungsi untuk membantu perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan kegiatan restorasi. Monitoring dilakukan secara berkala dan periodik pada saat kegiatan sedang berjalan oleh pelaksana restorasi. Hasil monitoring dicatat dan didokumentasikan untuk digunakan sebagai bahan penyempurnaan pelaksanaan kegiatan restorasi. Monitoring terhadap tanaman restorasi dapat dilakukan dengan beberapa cara yang diuraikan pada bagian berikut. 6.1.1. Penilaian Pertumbuhan Tanaman (survival rate) Kegiatan penilaian pertumbuhan tanaman dilakukan untuk mengukur tingkat pertumbuhan tanaman sebagai pertimbangan teknis dalam kegiatan pemeliharaan tanaman. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.26/Menhut-II/2010 tentang Perubahan Terhadap Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut–II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, kegiatan penilaian tanaman meliputi: pengukuran luas tanaman; jumlah dan jenis tanaman; serta penghitungan persentase tumbuh tanaman sehat. Untuk penilaian tanaman di dalam dan di luar kawasan hutan, metode yang dipakai menggunakan metode Systematic Sampling with Random Start sedangkan untuk pembuatan pengkayaan tanaman dengan metode Purposive Sampling. Besarnya Intensitas Sampling (IS) disesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Prosedur Penilaian Tanaman a)Penilaian tanaman akan dilakukan dengan teknik sampling menggunakan metode systematic sampling with random start dengan intensitas sampling 5 %. - Petak ukur berbentuk empat persegi panjang ukuran 40 m x 25 m (0,1 Ha). Jarak antar petak ukur adalah 100 m arah Utara-Selatan dan 200 m arah Barat-Timur. Jarak antara petak ukur terluar dengan batas tanaman ditentukan minimum 50 m dan maksimum 100 m. - Pada tiap-tiap titik ukur dibuat unit pengukuran berbentuk persegi panjang dengan ukuran 25 m x 40 m yang memanjang searah dengan larikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
54
Monitoring
Salah satu banir/akar papan pohon di hutan primer restorasi Sei Betung
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
57
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Penarikan petak ukur
b) Untuk panduan dalam pembuatan petak ukur akan dibuat diagram skema penarikan contoh petak tanaman, dipetakan dengan skala 1: 5000, dengan mencantumkan koordinat geografis titik ikat yang mudah ditemukan di lapangan. c) Data yang dicatat dan diukur pada setiap petak ukur meliputi data tanaman (jenis, jumlah tanaman yang hidup, tinggi tanaman dan kesehatan tanaman) dan data penunjang (fisiografi lahan, keadaan tumbuhan bawah, kondisi tanah dan gangguan terhadap tanaman). Pengolahan Data Pengolahan data untuk mendapatkan nilai keberhasilan tanaman dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No.26/Menhut-II/2010 dengan sistematis sebagai berikut; a) Persen tumbuh tanaman, dihitung sesuai dengan kondisi petak ukur yang diamati. b) Persen tanaman sehat, yaitu; - sehat apabila tanaman tumbuh segar, batang relatif lurus dan bertajuk, - kurang sehat apabila tajuk menguning atau berwarna tak normal, batang bengkok-bengkok atau percabangan sangat rendah dan - tanaman merana apabila tanaman tumbuhnya tidak normal atau terserang hama penyakit, sehingga kalau dipelihara kecil kemungkinan akan tumbuh dengan baik. Hasil Penilaian Tanaman Pengolahan data untuk mendapatkan nilai keberhasilan tanaman dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No.26/Menhut-II/2010. Persentase tumbuh tanaman pada setiap unit pengukuran (Pi) dihitung dengan cara membandingkan antara jumlah pohon dilapangan (ni) dengan jumlah pohon yang seharusnya ada sesuai jarak tanam (n). ni Pi =
x 100 % (n = banyaknya unit pengukuran) n
Rata-rata persen tumbuh seluruh lokasi penanaman adalah Ni x 100 % (n = banyaknya unit pengukuran)
Pi = N
58
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
6.1.2. UJI COBA LAPANGAN SISTEM PLOT (FIELD TRIAL PLOT SYSTEM) (FTPS)) Apa yang dimaksud dengan FTPS? FTPS merupakan elemen penting dari sebuah proyek restorasi hutan. Uji coba ini terdiri dari sejumlah petak kecil di areal restorasi dan berukuran 30 x 30 m, dimana masing-masing petak/plot ditanam dengan komposisi jenis pohon berbeda untuk diuji dengan perlakuan silvikultur yang berbeda. Setiap musim penananam, plot baru akan ditambahkan pada areal kerja. Di dalam plot tersebut, jenis-jenis pohon yang pada tahun-tahun sebelumnya terbukti kuat dan menunjukkan performa yang baik akan tetap dipertahankan, sementara pohon yang tidak berkembang dengan baik akan dibuang untuk memberi ruang pada spesies baru lainnya untuk diujicoba dengan perlakuan yang ada. FTPS bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan jenis pohon terpilih setelah jenis tersebut ditanam pada kondisi panas, kering, terik dan penuh gulma yang merupakan karakteristik yang umum dijumpai pada area yang akan direstorasi. Selain itu, FTPS juga dapat digunakan untuk mengukur aspek lain dari restorasi seperti rancangan optimum dan pengelolaan plot setelah ditanam (terutama pada pemeliharaan). FTPS yang dirancang dengan seksama tidak hanya menghasilkan data ilmiah, tetapi juga dapat berfungsi sebagai alat peraga yang penting untuk memperlihatkan teknik restorasi hutan paling sukses dan hal-hal yang yang harus dihindari. Apa tujuan dari FTPS? FTPS memiliki 3 tujuan utama: 1) Mengumpulkan data ilmiah untuk menghasilkan satu set “teknik praktis terbaik” (best practice technique) untuk restorasi hutan yang efektif 2) Menguji kepraktisan dari teknik praktis yang diterapkan 3) Menyediakan lokasi demonstrasi untuk pendidikan dan pelatihan dalam metode restorasi hutan. Per tanyaan-per tanyaan ilmiah yang ditangani oleh FTPS harus mencakup: 1) Apakah jenis pohon yang diuji memenuhi kriteria yang menunjukkan skema jenis pohon? (tutupan kanopi, cepat tumbuh, berbuah awal, tahan api). 2) Berapakah jarak tanam optimal? (1 pohon setiap 3 meter di jalur tanam? Atau 1 pohon setiap 2 meter?) 3) Perlakuan silvikultur apa yang dapat memaksimalkan kinerja dari pohon yang ditanam (misalnya frekuensi penyiangan, pemupukan, pemberian mulsa, dan lain lain)? Berapa sering dan berapa lama perlakuan tersebut diterapkan? (Misalnya ; pemberian mulsa setebal 15 cm, ulangi setiap 6 bulan) 4) Bagaimana desain penanaman yang baik? Misalnya berapa banyak spesies per plot? Spesies apa yang bisa tumbuh berdampingan satu sama lain dan spesies apa yang tidak? 5) Seberapa cepat keanekaragaman hayati pulih? Seberapa cepat hutan tercipta (tutupan kanopi)? Berapa komposisi skema jenis yang mendorong regenerasi alami dan perekrutan spesies
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
59
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
tambahan dari sekitar hutan alam? 6) Bagaimana jarak ke hutan terdekat dapat mempengaruhi pemulihan keanekaragaman hayati?
Mempersiapkan rencana ujicoba lapangan Siapkan dokumen kerja yang berisi informasi berikut: 1) Sebuah sketsa peta yang menggambarkan sistem plot, berikan masing-masing plot nama atau kode, dan keterangan perlakuan yang diberikan untuk setiap plot. 2) Daftar spesies yang ditanam dalam plot dan nomor label dari setiap pohon yang ditanam pada setiap plot. 3) Deskripsi dari protokol standar penanaman (mencatat faktor-faktor seperti ; mulsa, pupuk, air, kedalaman lubang). 4) Penjelasan mengenai perlakuan yang akan diterapkan di masing-masing plot dan jadwal pemberian perlakuan.
Sebagai plot yang tumbuh tahun demi tahun, FTPS menjadi lokasi demonstrasi yang ideal untuk mengajarkan para pelajar dan pengunjung tentang "praktik terbaik teknik untuk restorasi hutan". Karena semua pohon di plot tersebut diketahui usia dan spesiesnya. FTPS juga dapat menjadi sumber penelitian bagi para ilmuwan dan mahasiswa penelitian. FTPS menjadi sumber daya pendidikan serta fasilitas penelitian. Dimana seharusnya FTPS ditetapkan? Pilih area yang didominasi lahan kritis, biasanya didominasi oleh ilalang (Imperata cylindrica) atau tempat terbuka. Jika sudah ada spesies pionir yang cukup tumbuh secara alami, daerah tidak perlu ditanami kembali dan teknik ANR perlu di implementasikan. Apa pertimbangan ilmiah? Keseragaman Cobalah untuk memilih daerah yang seragam tingkat kerusakannya. Daerah harus memiliki tutupan pohon yang sangat rendah, anakan atau tunggul pohon hidup juga sedikit. Vegetasi harus didominasi oleh rumput dan beberapa gulma. Pilih daerah gundul daripada kawasan hutan yang terdegradasi. Itu adalah kondisi yang paling tepat untuk membangun FTPS di dalam atau di zona penyangga kawasan lindung seperti taman nasional, cagar alam dan lain-lain di mana konservasi keanekaragaman hayati adalah prioritas Sisa hutan (atau hutan primer) harus tetap ada dalam lansekap setidaknya beberapa kilometer dari lokasi FTPS yang direncanakan, sebagai sumber benih dan untuk mempertahankan populasi satwa pemencar benih. Aksesibilitas Ini adalah hal yang sangat penting,jika tempat tersebut dapat diakses oleh setidaknya sepeda motor, bukan hanya untuk penanaman, pemeliharaan dan pemantauan pohon yang ditanam, tetapi juga memfasilitasi kunjungan ke plot untuk pendidikan dan tujuan demonstrasi proyek. Cobalah untuk menemukan daerah yang dekat dengan pembibitan, pondok restorasi atau masyarakat. Bagaimana seharusnya plot ditetapkan? Tentukan satu prosedur standar yang harus diikuti untuk membangun suatu plot pengamatan. Protokol standar harus didasarkan pada praktek-praktek terbaik yang dikenal saat ini untuk menanam pohon di daerah tersebut, yang dapat diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan pengetahuan lokal atau seperti yang dijelaskan dalam buku pedoman ini. Protokol standar ini dapat ditingkatkan dari dari tahun ke tahun, dengan menggabungkan secara bertahap bentuk perlakuan yang paling sukses berdasarkan analisis hasil percobaan lapangan setiap tahunnya.
60 Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
Jika pengujian perlakuan dilakukan dibeberapa plot, jelaskan dengan tepat bagaimana menerapkan perawatan yang ditentukan (konsistensi adalah kunci). Salah satu penyebab utama kegagalan percobaan adalah aplikasi perlakuan yang tidak konsisten. Tata Waktu 1) Satu bulan sebelum tanam, ukur dan tandai minimal 3 plot (30x30 meter); dengan 5 meter tambahan dari zona penyangga harus disiapkan di sekitar bagian luar plot untuk mengurangi ‘efek tepi’ pada pertumbuhan tanaman dan pembentukan kanopi. Tandai sudut dengan spidol permanen lalu buat peta plot, berikan penamaan atau penomoran setiap plot. Jika pengujian perlakuan terdapat diantara beberapa plot, jelaskan dengan tepat bagaimana menerapkan perlakuan yang ditentukan (konsistensi adalah kunci). Salah satu penyebab utama kegagalan percobaan adalah aplikasi perlakuan yang tidak konsisten. 2) Kemudian, lakukan perebahan gulma sampai ke permukaan tanah, tapi hindari anakan pohon alami (jika sulit untuk mengidentifikasi atau terlalu kecil, tandai dengan label berwarna atau ajir, kemudian dapat diidentifikasi sebagai pra- regenerasi alam yang ada dan termasuk dalam program monitoring). 3) Dua minggu sebelum penanaman, (dan minimal satu minggu setelah setiap tunas rumput telah tumbuh kembali) berikan herbisida non-residual (misalnya glyphosate) untuk menghentikan pertumbuhan gulma. 4) Pada saat penanaman, tanamlah setidaknya 10 jenis pohon yang berbeda, (coba untuk mendapatkan jumlah yang sama dari semua spesies, setidaknya 15 pohon dari masing-masing spesies per plot) setiap 2,5 meter sepanjang jalur tanam dan secara acak di setiap plot. Selanjutnya untuk masing-masing pohon diberi label untuk identifikasi spesies dan jumlah individu pohon. 5) Siapkan lembar data dengan kolom Tinggi, DBH dan Lebar Kanopi. Kemudian catat setiap data tinggi, DBH dan lebar kanopi pohon yang diukur, apabila label hilang pohon perlu di identifikasi kembali dan dilakukan pengukuran.
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
61
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Gambar ini menunjukkan plot FTPS yang didominasi oleh rumput bladey dan semak-semak, berdekatan dengan kawasan hutan alam serta tidak terlalu curam.
6) Setelah sekitar 2-4 minggu (untuk menghitung setiap tanaman mati, ambil pengukuran pertama terhadap tinggi pohon dan lebar kanopi, dan perhatikan mana pohon yang telah mati dan apa penyebabnya. Catatan dapat diambil setiap 3 bulan, atau dua kali setahun atau bahkan setahun sekali. Setelah 3 bulan, pohon-pohon yang bertahan hidup dapat diberikan label yang lebih permanen dengan kolom pencatatan (Tinggi, DBH dan Lebar Kanopi). Ini juga merupakan saat yang tepat untuk dapat memulai kegiatan pemeliharaan. 7) 3 bulan setelah tanam, bersihkan gulma di sekitar pohon dan berikan pupuk organik tambahan dengan menggunakan rumput mati. 8) Ulangi penyiangan dan pemupukan hingga 3 kali setiap tahun sampai kanopi rapat. Di dekat plot, tetapkan plot-plot kontrol atau "ANR" dengan ukuran yang sama (30x30m ) dimana plot disiapkan dalam metode dan skala waktu yang sama persis tetapi tanpa menanam pohon apapun (untuk mengamati dan membandingkan regenerasi alam di daerah ini dan mengevaluasi efektivitas penanaman pohon). Plot-plot "ANR" dapat dilengkapi dengan tenggeran burung buatan untuk menarik dan meningkatkan regenerasi alami melalui penyebaran biji oleh burung. Tindak lanjut dan program pemeliharaan dapat divariasikan untuk menemukan bentuk perawatan rutin yang optimal yaitu dengan biaya efisien dan menjamin pohon yang ditanam dapat membentuk kanopi dalam minimal 3 tahun. Setiap perubahan protokol standar harus konsisten dalam penerapannya dan frekuensi penerapannya harus dicatat.
62
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
Foto ini diambil menggunakan Drone. Anda dapat melihat plot kontrol (30 x 30 m) yang berada di dekat hutan sekunder dan jalur penanaman.
Jenis Perlakuan Apa Yang Harus DiUji Pada Plot Pengamatan? Jenis perlakuan yang diberikan harus didisain untuk mengatasi faktor-faktor utama yang menghambat kelangsungan hidup dan pertumbuhan pohon di lokasi penelitian. Sebagai contoh, jika nutrisi tanah yang menjadi penghambat, lakukan percobaan dengan menggunakan beberapa jenis pupuk dan jumlah pemberian/frekuensi pemberian pupuk. Atau, lakukan eksperimen dengan menambahkan kompos atau pupuk organik ke dalam lubang tanam. Jika persaingan dengan gulma merupakan faktor penghambat yang paling jelas, cobalah beragam teknik pemusnahan gulma dan atau berberapa pilihan frekuensi penyiangan atau pemberian mulsa padat untuk menekan perkecambahan biji gulma di sekitar akar pohon yang ditanam. Berapa banyak pohon yang dibutuhkan untuk pengamatan? Gunakan jarak tanam yang direkomendasikan yaitu 3 X 3 m dengan ukuran plot standar 30 x 30 m, dan membutuhkan sekitar 450 pohon per plot. Dengan ukuran sampel minimum yang dapat diterima adalah 15 individu per spesies. Plot yang lebih besar dapat menampung lebih banyak spesies atau ukuran sampel yang lebih besar untuk setiap spesies.
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
63
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Bagaimana seharusnya pemberian label untuk anakan yang ditanam? Pada awal pertumbuhan, anakan dapat diberi label dasar dengan nomor kode (atau label spesies) yang melekat pada pohon. Setelah sekitar 3 bulan, pohon-pohon yang masih hidup bisa diberi label data permanen lainnya yang mencatat Tinggi, DBH dan Lebar Kanopi (biasanya setelah sekitar 3 bulan untuk memeriksa).
Apa pengukuran lainnya dapat dibuat? 1) Kesehatan Kelangsungan hidup yang tinggi dan tingkat pertumbuhan setelah ditanam adalah karakteristik yang paling penting dari sebuah spesies. Selain itu, catat kondisi umum pohon yang ditanam setiap kali monitoring, dapat menghasilkan informasi yang berguna tentang kekuatan dan ketahanan dari masing-masing spesies yang ditanam terhadap tekanan seperti kebakaran, kekeringan atau serangan hewan. Tambahkan 2 kolom dalam lembar pencatatan data untuk i) skor kesehatan 0 sampai 3 untuk setiap pohon dan ii) catatan singkat dari masalah kesehatan yang jelas diamati (Mis. mahkota telah dimakan, daun tampak kuning, babi hutan telah merusak tanaman). Pastikan tim monitoring mengikuti tingkatan/standar yang konsisten untuk melakukan pengukuran kesehatan - (0 menjadi mati).
Mati
Tampak mati tapi daun masih hijau
Daun hijau dan tumbuh
6.1.3. Penelitian Untuk Memulihkan Ekosistem Hutan Tropis Pencatatan DBH tidak perlu dilakukan sampai pohon-pohon berukuran DBH 10 cm atau lebih, DBH diukur 1,3 m di atas tanah, label dapat ditempel ke batang pohon, tandai titik lingkar berukuran 1,3 m. Informasi minimum pada label adalah jumlah spesies dan jumlah individu pohon. Apapun metode yang digunakan, seharusnya tidak ada dua pohon atau lebih dengan nomor label yang sama.
64
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
65
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
2) Laju Pertumbuhan Ukur ketinggian dan idari pohon yang ditanam dengan pita pengukur, ukur dari pangkal batang (permukaan tanah) sampai ke ujung pertumbuhan untuk tinggi dan ukur diameter tajuk. Pada pengukuran awal, ukur Diameter Lebar Akar (Root Collar Diameter/RDC) dengan menggunakan kaliper di dasar pohon. Setelah pohon cukup besar catat DBH-nya.
6.1.5. Perlindungan dan Keamanan Areal Restorasi (Hama, Penyakit, Potensi Gangguan dan Ancaman) Restorasi hutan yang rusak memerlukan pemeliharaan yang tepat setelah dilakukan penanaman. Aktivitas pemeliharaan yang wajar adalah pembebasan atau penyiangan dari gulma, penjarangan, penggantian tanaman (penyulaman). Diperlukan juga upaya pengendalian terhadap hama dan penyakit serta pencegahan terhadap binatang yang dapat menggangu tanaman (Sutomo, 2009). Upaya mengendalikan hama dan penyakit adalah dengan menghindari penanaman monokultur. Namun apabila masih terjadi serangan hama dan penyakit, diupayakan dengan menggunakan obat organik, misalnya air rendaman tembakau, buah bintaro, larutan cabe, dan lain-lain. Tindakan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merusak seperti kebakaran hutan, penggembalaan ternak, dan kegiatan masyarakat yang dapat merusak tanaman perlu dilakukan patroli secara terus menerus dan secara periodik sampai tanaman tersebut diperkirakan dapat tumbuh dengan baik (Miyakawa dkk, 2014).
6.1.4. Monitoring Kualitatif - Foto Titik Pemantauan Salah satu cara paling sederhana untuk menilai percobaan restorasi hutan adalah dengan mengguanakan fotografi. Foto-foto sering lebih mudah dimengerti dari pada data statistik. Foto dapat memberikan informasi secara visual dan dapat menyampaikan efektivitas penanaman pohon secara keseluruhan dalam memulihkan hutan yang terdegradasi. Kualitas foto yang baik yang menjelaskan keadaan 'sebelum dan setelah penanaman’ bisa menjadi sangat efektif untuk mendemonstrasikan secara visual proses pembentukan kanopi hutan melalui ruang dan waktu. Hal yang perlu diperhatikan adalah dengan membuat tiang permanen sebagai titik pengambilan foto (jika di lokasi restorasi diketahui adanya gajah, maka perlu untuk mempertimbangkan membuat tiang yang fleksibel). Ambil beberapa foto dari atas tiang, yang mewakili keadaan; i) sebelum persiapan lahan; ii) sebelum penanaman; iii) setelah penanaman; dan iv) dua kali setahun sesudah penanaman (atau setiap tiga bulan bersamaan dengan pengambilan data monitoring). Akan sangat membantu untuk menyertakan objek yang mudah dilihat di foto sebagai titik acuan untuk menjaga konsistensi (tunggul pohon besar, gunung) serta posisi cahaya yang menyinari objek (sampai 1/5 gambar mendapat cahaya). Pastikan untuk menggunakan kamera yang sama dan pengaturan yang sama setiap kali (lakukan pencatatan jika diperlukan).
66
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
6.2. EKOSISTEM REFERENSI Ekosistem referensi berperan sebagai model dalam merancang sebuah proyek restorasi yang pada gilirannya dipakai untuk mengevaluasi hasil restorasi. Dimana obyek restorasi terdiri dari dua atau lebih tipe ekosistem, referensi dapat disebut dengan Ekosistem Referensi atau, bila hanya sebagian dari lansekap lokal yang akan direstorasi disebut Unit Ekosistem Referensi. Secara khusus, referensi mewakili satu titik perkembangan yang sudah lanjut yang berada pada satu titik sepanjang jalur (trajectory) perkembangan yang diharapkan dari suatu restorasi. Dengan kata lain ekosistem yang dipulihkan diharapkan pada akhirnya meniru atribut-atribut pada ekosistem referensi dan tujuan serta strategi suatu proyek restorasi dikembangkan sesuai dengan harapan tersebut. Dalam bentuknya yang paling sederhana, ekosistem referensi berupa lokasi yang sebenarnya, deskripsi tertulis tentangnya atau kedua-duanya. Permasalahan dengan ekosistem referensi sederhana adalah bahwa referensi tersebut hanya mewakili tahapan atau ekosistem atribut tunggal. Ekosistem referensi yang dipilih, sebenarnya dapat meliputi berbagai potensi tahapan bergantung pada tingkatan sejarah perkembangan ekosistem itu. Ekosistem referensi mencerminkan kombinasi tertentu dari kejadian acak yang terjadi sepanjang perkembangan ekosistem tersebut. Dengan cara yang sama ekosistem yang direstorasi juga dapat berkembang ke dalam berbagai tingkatan yang mungkin. Suatu tingkatan dapat dianggap sebagai tingkatan restorasi sepanjang dapat diperbandingkan dengan tahapan potensial dimana ekosistem referensi juga diketahui pernah mencapai tahapan itu. Dengan demikian referensi yang sederhana belum cukup menunjukkan konstelasi tahapan yang potensial dan rentang variasi dari sejarah perkembangannya terhadap ekosistem yang direstorasi. Sehingga sebuah referensi sebaiknya merupakan gabungan dari berbagai lokasi referensi dan bila memungkinkan dari sumber lain. Deskripsi gabungan ini memberikan dasar yang lebih realistis bagi perencanaan restorasi.
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
67
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Sumber informasi yang dapat dipakai untuk menggambarkan ekosistem referensi diantaranya terdiri dari: 1) Deskripsi ekologi, daftar spesies dan peta lokasi proyek sebelum terjadi kerusakan; 2) Foto udara dan foto jarak dekat dari berbagai waktu pengambilan yang mengindikasikan kondisi fisik dan biota sebelum terjadi kerusakan; 3) Sisa-sisa lokasi yang mengindikasikan tegakan dan kondisi fisik dan biota sebelum terjadi kerusakan; 4) Deskripsi ekologis dan daftar spesies pada ekosistem serupa yang masih utuh; 5) Spesimen herbarium dan musim; 6) Kondisi masa lalu berdasarkan penuturan lisan dari orang yang mengetahui lokasi proyek sebelum terjadi kerusakan, misalnya dari petugas lapangan atau masyarakat sekitar; 7) Bukti-bukti paleologi, seperti fosil polen, arang, sejarah lingkaran tahun, timbunan dari rodensia. Nilai referensi tersebut bertambah seiring dengan jumlah informasi yang ada, namun lengkap tidaknya sebuah referensi tentunya bergantung pada waktu dan biaya. Setidaknya, sebuah informasi dasar mengenai ekologi dapat menggambarkan atribut yang menonjol dari lingkungan abiotik dan aspek-aspek penting keanekaragaman hayati seperti komposisi spesies dan struktur komunitas. Selain itu, basis informasi dapat mengidentifikasi kejadian-kejadian tekanan periodik secara normal yang menjaga integritas ekosistem. Deskripsi dari referensi mengenai kultur harus mengidentifikasi praktek-praktek budaya dalam restorasi dan selanjutnya dalam mengelola ekosistem. Ada dua masalah dalam deskripsi suatu referensi yang harus direkonsiliasi untuk menjamin kualitas dan kegunaan referensi tersebut. Pertama, lokasi referensi biasanya dipilih bagi areal-areal yang telah mengalami tahap lanjut perkembangan keanekaragaman hayati, sementara lokasi restorasi umumnya menunjukkan tahap awal dari proses ekologis. Dalam kasus seperti ini, referensi perlu diekstrapolasi balik ke fase perkembangan untuk kepentingan perencanaan dan evaluasi. Kedua, tujuan restorasi adalah mendapatkan ekosistem alami, dimana hampir seluruh ekosistem refensi telah mengalami perubahan oleh aktivitas manusia yang harus diacu. Dengan demikian, referensi memerlukan interpretasi untuk menghilangkan sumber-sumber artifisialitas. Untuk itu penyiapan deskripsi suatu referensi memerlukan pengalaman dan penilaian ekologis yang mutakhir. Tujuan proyek restorasi secara tertulis penting untuk menentukan rincian yang diperlukan dalam deskripsi suatu referensi. Untuk restorasi besar dengan skala bentang alam dimana hanya tujuan umum yang ditetapkan, deskripsi suatu referensi dapat dibuat secara umum juga. Dalam hal seperti itu, foto udara mungkin mewakili sumber informasi terpenting dalam menyiapkan suatu referensi. Restorasi dengan skala yang lebih kecil memerlukan informasi referensi yang lebih rinci, seperti data yang dikumpulkan dari plot-plot kecil.
6.3. ATRIBUT KEBERHASILAN RESTORASI Bagian ini menjelaskan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan “pemulihan (recovery)” dalam restorasi ekologis. Suatu ekosistem dikatakan pulih dan telah kembali ketika ekosistem tersebut berisi sumberdaya biotik dan abiotik yang memadai untuk keberlanjutan perkembangan ekosistem tersebut tanpa bantuan atau subsidi dari manusia (Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group, 2004). Ekosistem tersebut secara mandiri akan berkelanjutan baik secara struktur maupun fungsi ekologisnya. Ekosistem tersebut akan menunjukkan daya lenting (resilience) ke kisaran normal apabila mendapatkan tekanan dan gangguan lingkungan. Ekosistem ini akan berinteraksi dengan ekosistem yang bersebelahan dalam hal aliran biotik dan abiotik serta interaksi kultural. Sembilan atribut keberhasilan restorasi di bawah ini merupakan dasar penentuan apakah restorasi telah berjalan sempurna. Memenuhi seluruh atribut ini sepenuhnya bukanlah tujuan utama untuk memperlihatkan keterpulihan. Atribut-atribut ini penting untuk menunjukkan arah lintasan (trajectory) perkembangan ekosistem sesuai dengan tujuan restorasi atau ekosistem referensi. Beberapa atribut dapat diukur segera secara langsung, sedangkan yang lain dinilai secara tidak langsung, termasuk fungsi ekosistem yang tidak dapat dipastikan tanpa riset yang memadai, yang biasanya di luar kemampuan dan angggaran proyek restorasi pada umumnya.
Atribut 1. Suatu ekosistem yang direstorasi dapat dikatakan telah pulih apabila ekosistem tersebut telah berisi karakteristik yang ada berupa spesies yang terdapat pada ekosistem referensi dan ekosistem tersebut telah memperlihatkan struktur komunitas (baik hewan maupun tumbuhan) yang menyerupai ekosistem dimaksud. Dengan demikian apabila spesies yang ada dan strata tajuk telah menyerupai ekosistem referensi maka ekosistem yang direstorasi tersebut dapat dinyatakan telah pulih.
Atribut 2. Spesies pada ekosistem yang dinyatakan telah pulih harus terdiri dari jenisjenis asli setempat. Namun demikian untuk merestorasi ekosistem yang sebelumnya merupakan areal budidaya (misalnya areal tanaman monokultur eks hutan produksi atau areal bekas perambahan yang ditanami jenis-jenis tanaman pangan), dapat diberikan kelonggaran sampai tahap tertentu dapat terjadi adanya spesies eksotik serta spesies ruderal dan segetal yang tidak invasif yang mungkin telah berasosiasi dengan spesies asli dan sulit dieradikasi. Pada tahap tersebut, walaupun masih ada jenis-jenis eksotik di dalamnya, ekosistem tersebut dapat dinyatakan telah pulih, sepanjang tumbuhan eksotik tersebut masih dapat dikontrol dan akhirnya dieradikasi. Ruderal adalah jenis tanaman asing yang biasa mengkoloni areal terganggu, sedangkan segetal biasanya tumbuh tercampur dengan spesies budidaya (crops);
Atribut 3. Suatu ekosistem yang direstorasi dinyatakan telah pulih bila seluruh kelompok fungsional yang mempunyai peran penting di dalam ekosistem untuk mendorong perkembangan ekosistem berlanjut dengan sempurna telah terwakili, atau apabila tidak, kelompok yang belum terwakili masih punya potensi untuk mengkoloni secara alami. Kelompok fungsional adalah kelompok organisme seperti tumbuhan pakan, herbivora, karnivora, dekomposer, nitrogen fixer dan pollinator yang mempunyai peran penting di dalam ekosistem. Keadaan ini dapat dicirikan
68
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
69
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
dengan telah berkembangnya spesies-spesies dominan sehingga dapat mempengaruhi spesies lain pembentuk ekosistem untuk tumbuh dan berkembang;
dan fungsi ekosistem mungkin dapat berubah sebagai bagian dari suatu perkembangan ekosistem yang normal, dan berfluktuasi mungkin juga terjadi seiring adanya gangguan dan tekanan periodik dengan dampak yang mungkin lebih besar. Seperti pada ekosistem yang utuh, komposisi spesies dan atribut lainnya dari ekosistem yang telah pulih mungkin berkembang atau berubah sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan.
Atribut 4. Suatu ekosistem yang direstorasi dinyatakan telah pulih bila lingkungan fisik seperti mata air, aliran air, kondisi tanah, humus, cahaya, suhu udara, suhu tanah, kelembaban dan lain-lain telah mampu mendukung populasi tumbuhan dan satwa untuk berreproduksi. Terutama dari jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang penting bagi stabilitas atau perkembangan ekosistem menuju ke arah sebagaimana kondisi pada ekosistem referensi; Hal ini dapat terjadi karena pada ekosistem rusak, kondisi lingkungan fisik seperti mata air, suhu udara, aliran sungai, suhu tanah, dan lain - lain semuanya rusak dan tidak kondusif bagi spesies-spesies kunci untuk berreproduksi.
Atribut 5. Ekosistem yang telah pulih menampakkan fungsi normal pada tahap perkembangan ekologis tertentu, dan tidak terdapat tanda-tanda adanya disfungsi. Suatu ekosistem dapat dikatakan telah berfungsi normal apabila hubungan timbal balik antara komponen biotik dan fisik tidak terjadi hambatan;
Atribut-atribut lain mungkin relevan dan perlu ditambahkan ke dalam daftar atribut di atas bila merupakan tujuan dari proyek restorasi. Sebagai contoh, misalnya tujuan kita melakukan restorasi adalah menyediakan barang dan jasa ekosistem bagi keuntungan sosial secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini, ekosistem dapat dikatakan telah pulih apabila sudah bisa digunakan sebagai “modal” untuk menghasilkan barang dan jasa ekosistem. Tujuan lain misalnya ekosistem rusak akan direstorasi dengan tujuan utama memulihkan habitat jenis langka tertentu seperti Orangutan, Badak, atau sebagai lokasi sumber plasma nutfah dari jenis-jenis tertentu. Tujuan lainnya misalnya penyediaan sarana rekreasi yang secara sosial melibatkan masyarakat lokal. Ekosistem dapat dikatakan pulih apabila ekosistem telah berfungsi sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut.
Atribut 6. Suatu ekosistem dapat dinyatakan telah pulih apabila ekosistem tersebut telah terintegrasi dengan komponen ekologis atau bentang alam yang lebih luas dengan mana ekosistem berinteraksi melalui aliran atau pertukaran biotik dan abiotik. Dalam kondisi ini aliran materi fisik seperti air, udara, suhu, dan lain - lain telah menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu perpindahan spesies satwa maupun tumbuhan yang dibawa satwa telah terjadi dari dan ke areal yang direstorasi;
6.4. MONITORING KEANEKARAGAMAN HAYATI Restorasi dan ekosistem berkaitan erat dengan keanekaragaman hayati yang dapat diartikan sebagai semua jenis tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang ada dan berinteraksi dalam suatu ekosistem. Suatu ekosistem yang baik pasti mempunyai keanekaragaman hayati sedemikian kaya dan berfungsi dengan baik.
Atribut 7. Suatu ekosistem dikatakan telah pulih apabila potensi ancaman terhadap
Dalam konteks keanekaragaman hayati dan hubungannya dengan restorasi ekosistem, terdapat 3 jenis tipe hutan yaitu ; 1) Hutan sekunder muda; merupakan perpaduan antara tanaman yang tumbuh secara alami (Natural regeneration) dan tanaman yang ditanam, biasanya hutan sekunder ini didominasi oleh jenis tanaman pionir seperti Marak biasa (Macaranga indica), Marak bangkong (Endosepermum diadenum), Sempuyung (Hibiscus macrophyllus) dan banyak jenis pionir lainnya yang tumbuh secara alami. 2) Hutan hasil penanaman; merupakan pohon yang ditanam (direstorasi), 3) Hutan Primer Muda; didominasi oleh jenis dari family Dipterocarpaceae.
kesehatan dan integritas ekosistem dari bentang alam di sekelilingnya telah hilang atau berkurang secara signifikan. Potensi ancaman yang dapat menjadi tekanan (stressor) diantaranya adalah api, badai, banjir, salinitas, dsb. Biota dari suatu ekosistem harus resisten (kemampuan menahan) atau resilien (kemampuan kembali ke tingkat awal). Kesehatan ekosistem merupakan suatu tingkatan dalam ekosistem dimana komponen-komponen ekosistem bekerja secara normal sesuai dengan arah perkembangan ekologisnya.
Atribut 8. Ekosistem yang direstorasi dinyatakan telah pulih apabila ekosistem tersebut cukup mempunyai kelentingan (resilien, yaitu kemampuan untuk kembali ke tingkat asal) apabila menerima kejadian tekanan dalam skala normal secara periodik dan terlokalisir sehingga akan mampu menjaga integritas ekosistem. Ekosistem akan kembali ke tingkat semula setelah mengalami kerusakan akibat kejadian-kejadian tekanan yang bersifat lokal seperti kebakaran lokal, angin besar yang menyebabkan pohon-pohon tumbang, dsb;
Atribut 9. Suatu ekosistem yang dianggap telah pulih akan berkembang sebagaimana terjadi pada ekosistem referensi, serta diyakini akan tetap lestari dalam jangka panjang pada kondisi lingkungan seperti saat ini. Namun aspek-aspek keanekaragaman hayati, struktur vegetasi
70
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
Ketiga tipe hutan ini membentuk satu ekosistem dengan berbagai keanekaragaman hayati didalamnya. Keberadaan tiga tipe hutan tersebut menjadi dasar bagi pelaksanaan kegiatan monitoring keanekaragaman hayati dilokasi restorasi. Ada beberapa kegiatan pemantauan keanekaragaman hayati yang dapat dilakukan di lokasi restorasi, yaitu; 1) Phenology pohon di hutan sekunder dan Primer 2) Survey Sarang Orangutan 3) Identifikasi jenis burung, dan 4) Pemasangan Camera Trap
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
71
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
6.4.1. Phenology Pohon Phenology pohon adalah ilmu yang mempelajari periode fase - fase perkembangan pada tumbuhan, meliputi kapan tanaman berdaun muda, berbunga, berbuah dan berbuah masak (Elliot et al, 2008). Hasil yang diperoleh pada pengamatan phenology ini adalah dapat mengetahui waktu berbunga dan berbuah suatu tanaman dalam periode satu tahun. Menurut Sun et al, (1996) phenology juga berhubungan dengan curah hujan dan temperatur di suatu daerah.
3) Mengamati pohon yang sudah ditandai, adapun yang diamati adalah: Daun Muda (young leaf), Bunga (flower), Buah Mentah dan Buah masak (ripe fruit) dengan menggunakan Binocular.
Metodologi yang digunakan pada pengamatan phenology pohon di kawasan restorasi adalah Road Transect dengan mengikuti jalan utama di kawasan restorasi. Alat yang digunakan dalam pengambilan data phenology adalah binocular dan alat alat tulis untuk mencatat data. Ilustrasi metodologi pelaksanaan kegiatan phenology adalah: 1) Menandai pohon dengan menggunakan plat tagging yang sudah diberi nomor dengan radius 5 meter di kiri dan kanan jalan. Gambar Daun Muda (Kkiri) dan Bunga (kanan) pada pohon Macaranga indica
5 meter
5 meter Keterangan : : Jalan utama : Radius pengamatan 5 meter kiri kanan jalan : Pohon
2) Memberi tanda (tagging) dan mengidentifikasi pohon yang sudah ditandai dengan bahasa lokal dan bahasa latin.
4) Memberi skor terhadap setiap bagian pohon (Daun muda, Bunga, Buah Mentah dan Buah masak) yang diamati. Adapun kriteria skor-nya adalah sebagai berikut : 1. Kelas 0 : Tidak Memiliki Daun Muda, Bunga dan Buah 2. Kelas 1 : 1-10 3. Kelas 2 : 10-100 4. Kelas 3 : 100-500 5. Kalas 4 : 500-1000 6. Kelas 5 : 1000-10000 7. Kelas 6 : > 1000 5) Mencatat ke dalam data tally sheet dan membuat grafik persentasenya. Dengan phenology diharapkan dapat diketahui musim berbunga dan berbuah suatu tanaman. Data hasil phenologi, selain sebagai pedoman untuk memproduksi bibit oleh tim restorasi, data ini juga membantu untuk mengidentifikasi jenis-jenis burung penyebar biji dan melihat hubungan antara pengaruh musim hujan atau musim kering dengan jumlah pohon berbunga dan berbuah. 6.4.2. Survei Sarang Orangutan Di Lokasi Restorasi Survei orangutan dikawasan restorasi Sei Betung bertujuan untuk melihat kepadatan orangutan. Survey dilaksanakan dengan menggunakan metode transek, jarak antar transek 300 meter dengan panjang transek bervariasi mulai dari 200 meter hingga 1600 meter. Arah transek mengarah ke utara dan selatan, sehingga dapat mencakup semua lokasi restorasi. Pengamatan terhadap sarang orangutan dilakukan dengan melakukan penyisiran pada 25 meter kiri dan kanan jalur transek, setelah sarang ditemukan, analisis umur dan posisi sarang diklasifikasikan merujuk pada kriteria menurut Ancrenaz (2004), seperti disajikan dibawah ini :
Gambar memberi tanda (tagging) dan identifikasi pohon
72 Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
73
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
A. Kelas Sarang Kelas Sarang dibagi kepada 5 jenis kelas sarang yaitu 1) Sarang kelas 1 Sarang baru yang masih hijau, keseluruhan sarang masih berwarna hijau dan segar, biasanya sarang berumur 3 hari. 2) Sarang Kelas 2 Bagian bawah sarang tumpukan daunnya masih hijau akan tetapi bagian atas tumpukan daunnya sudah mulai berwarna cokelat 3) Sarang Kelas 3 Secara keseluruhan bagian sarang sudah berwarna cokelat 4) Kelas 4 Sarang berawarna cokelat tua, kerusakan pada sarang sudah bisa dilihat contohnya dengan banyaknya lobang pada sarang. 5) Kelas 5 Sarang orangutan hanya tinggal rangka dan ranting.
6.4.3. Identifikasi Satwa (Terutama Jenis Burung) Salah satu faktor penting dalam keberhasilan restorasi selain aktivitas pembibitan, penanaman, penyisipan dan pemeliharaan adalah keberadaan tanaman yang tumbuh secara alami. Selain orangutan, burung merupakan salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan alami, karena burung berperan dalam memencarkan biji dari buah pohon yang dimakan dan membuang biji dari kotorannya. Kotoran itu akan tumbuh menjadi tanaman baru. Atas dasar itulah penting juga untuk melakukan identifikasi jenis burung di lokasi restorasi.
Selain data sarang orangutan, data lain yang diambil adalah data buah (Fruit trail) dan beringin (Ficus trail) di sekitar Transek pengamatan sarang orangutan. Untuk data buah (Fruit trail) dibagi dalam 2 kelompok yaitu buah jenis berdaging atau di singkat (D) dan jenis buah keras atau disingkat (K), sedangkan untuk data pohon beringin (Ficus trail) dibagi dalam 2 kelas yaitu kelas 1 artinya Kanopi pohon masih sempurna, pohon induk masih ada. Dan kelas 2 artinya pohon induk sudah mati, ficus trail sudah membunuh pohon induk. Hasil dari seluruh pengamatan tersebut di catat di dalam tabel rekapitulasi seperti tabel dibawah ini ;
<100 100-300 300-500 500-700 700-1000 > 1000
Sarang 1 7
2 16
3 38
Fruit Trail 4 30
5 2
D 25
K 15
Ficus Trail Kls 1 23
Kls 2 0
Tabel Rekapitulasi Hasil Survey Sarang Orangutan di Lokasi Restorasi
74
0 m (titik 1)
200 m (titik 2)sampai 800 meter Metode yang digunakan dalam identifikasi burung
B. Posisi sarang Posisi Sarang dibagi menjadi 4 yaitu : 1) Posisi 1 Terletak di batang utama. 2) Posisi 2 Terletak di cabang pohon. 3) Posisi 3 Terletak di bagian atas (puncak) pohon. 4) Posisi 4 Terletak pada dua pohon atau lebih.
Ketinggian (m dpl)
Metode yang digunakan adalah metode titik hitung di transek sepanjang 800 meter (Bibby at al, 2000). Pengamatan dilakukan di setiap 200 meter dengan berdiam diri selama 15 menit. Pendekatan yang dilakukan dalam identifikasi burung dikawasan restorasi adalah dengan mendengarkan suara dan mengambil gambar (foto secara langsung). Identifikasi burung ini dilakukan secara periodik setiap bulan, selama 1 tahun.
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
6.4.4. Pemasangan Camera Trap Salah satu indikator keberhasilan didalam melakukan kegiatan restorasi adalah masuknya satwa ke lokasi restorasi, satwa tersebut akan menjadikan lokasi restorasi sebagai rumah baru mereka dan akan menambah keanekaragaman hayati. Salah satu tujuan dari pemasangan Camera Trap adalah untuk melihat jenis satwa yang masuk kedalam lokasi restorasi. Metode yang digunakan dalam pemasangan Camera Trap adalah dengan sistem acak (random) dengan jarak antar Camera Trap adalah 1 km. Jarak 1 km dipilih untuk menghindari satwa yang sama terekam dalam kamera yang berbeda. Lokasi yang dipilih untuk pemasangan Camera Trap adalah lokasi yang merupakan jalan satwa, ini dipilih karena intensitas satwa yang lewat dijalur tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan lokasi yang bukan merupakan jalan satwa, hal lain yang harus diperhatikan dan diambil dalam pemasangan Camera Trap adalah ; koordinat lokasi, foto lokasi sekitar pemasangan Camera Trap, dan jenis pohon tempat kamera dipasang. (Cheyne et al, 2012) Analisis data dilakukan melalui penyortiran gambar yang diperoleh, yaitu sebagai berikut: (1) Pemilahan gambar yang mengandung spesies satwa sasaran; (2) Pemilahan gambar (1) yang dapat diidentifikasi secara individual; (3) Identifikasi masing-masing individu satwa sasaran yang terpotret. Spesies hewan yang didapatkan disusun dalam daftar invetaris dan dilengkapi dengan foto. Menurut Subagyo dkk (2013), spesies hewan (mamalia) yang tertangkap perangkap kamera diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan pengenalan jenis mamalia (Lekagul & McNeely, 1989; Payne et al, 2000; van Strein, 1983) sedangkan identifikasi spesies burung dengan menggunakan buku lapangan pengenalan jenis burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (McKinnon et al, 2000). Spesies yang sulit diidentifikasi sampai tingkat jenis, hanya diidentifikasi sampai tingkat famili atau marga.
Monitoring Pertumbuhan Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
75
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA Lampiran 1. Tanaman Pionir
Phylanthus spp.
Commesrsonia bartramia
Pteruspermum javanicum
Ficus sumatrana
74
Lampiran
Buah pohon Kandri di lokasi restorasi Sei Betung
Hybiscus macrophyllus
Trema orientalis
Kompasia malacensis
Ficus auriculata
Phyllanthus spp.
Breynia oblogifolia
Calliacarpa petandra
Ficus variegata
Lampiran
77
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA 2. Tanaman Klimaks
Ficus spp.
Mallotus macrostachyus
Mallotus paniculatus
Cassia alata
Leea lubra
78
Lampiran
Ficus fistulosa
Alstonia scholaris
Leea indica
Vitex pubescens
Macaranagan tanarius
Arthocarpus dadah
Styrax benzoides
Archidendron spp.
Myristica sp.
Alseodaphne spp.
Alseodaphne spp.
Durio spp.
Polyalthia laterifolia
Lithocarpus gracilis
Spondias pinnata
Calophylum spp.
Castanopsis sp.
Artocarpus sp.
Toona surenii
Cinnamommum burmanii
Leea indica
Brucea javanica
Artocarpus spp.
Shorea spp.
Artocarpus integra
Lampiran
79
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA Form Pemeliharaan
Form pengecambahan No. kelompok:
No. Spesies: Family: Nama lokal: Tanggal semai: Karakter: Pionir
Nama latin: jumlah: klimaks
Kecambah Biji pertama Biji tengah Biji akhir Pangkal Tengah Ujung
Tanggal
Jumlah kecambah
:
Hari setelah semai
No. Spesies: Family: Nama lokal: Jumlah: Karakter: Pionir Waktu pemeliharaan Pemupukan/ dosis
No. Kelompok: Nama latin: klimaks
Pemangkasan/ daun/akar
Hama dan penyakit
Penyiangan
dalam %
Tanggal pindah ke polybag :
Info tambahan:
tanggal
Jumlah yang dipindahkan : Info tambahan
:
tanggal
Contoh form pengecambahan biji di pembibitan
Contoh form pengecambahan biji di pembibitan
Form pengumpulan biji
Form untuk kegiatan penanaman
no kelompok :
No.spesies : Familly : Nama lokal:
Nama latin :
Tipe Kotur :
Elevasi :
Dominasi Gulma :
Nama pengumpul :
Jumlah Tanaman Alami :
No Label :
Jumlah Jalur :
Jumlah Bibit :
Pionir :
Klimaks :
tanah
Lokasi :
pohon elevasi :
Tipe Hutan :
Waktu Tanam :
Perlakuan untuk biji : Info tambahan
Jarak Tanam : Tanggal Tanam :
Jumlah biji : :
Contoh form isian pengumpulan biji/benih
Lampiran
Luas Areal :
Tanggal pengumpulan :
Diambil di :
80
Nama Plot :
Sampai Dengan : Pagi
Siang
Sore
Info tambahan : Contoh Formulir kegiatan penanaman
Lampiran
81
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Referensi
Laumonier Y, Uryu Y, Stüwe M, Budiman A, SetiabudiB, Hadian O (2010). Eco-floristic sectors and defores tation threats in Sumatra: Identifying new conserva-tion area network priorities for ecosystem-based landuse planning. Biodiversity Conservation. doi: 10.1007/s10531-010-9784-2. http://www.springerlink.com/con-tent/c77376k574051178/
Alam Tani. 2014. Syarat media tanam yang baik. http://alamtani.com/media-tanam-sayuran-polybag.html. Alikodra, HS. 1993. Pengelolaan Satwa liar. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Bibby, C; M. Jones & S. Marsden. 2000. Teknik Ekspedisi Lapangan: Survey Burung. SKMG Mardi Yuana. Bogor. Ancrenaz, M. (2004). Orangutan nesting behavior in disturbed forest of Sabah, Malaysia: Implications for nest sensus. Journal Primatol 25, 5, 983-1000. Cheyne S, Ripoll B, Adul, Macdonald E, Sastramidjaja W.J. 2012. Standard Operating Procedure (SOP) Untuk Pemasangan Kamera Trap. The Orangutan Tropical Peatland Project. Palangka raya. Clewell, A., Rieger J., Munro, J. 2005. Guidelines for developing and managing ecological restoration projects, 2nd Edition. www.ser.org and Tucson: Society for Ecological Restoration. Elliott, S., D. Blakesley and K. Hardwick, 2012. Restoring Tropical Forest : A Practical Guide. Chiang Mai University, Forest Restoration Research Unit, Thailand.
Lekagul, B. & J.A. McNeely. 1988. Mammals of Thailand. Dharashunta Press.Thailand. LIF, The Leuser Ecosistem:Wildlife Paradise. 2008: Leuser International Foundation. MacKinnon J, Karen Phillips, Bas van Balen. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor McConkey, K., Sumatran orangutan (Pongo abelii), in World Atlas of Great Apes and their Conservation, Caldecott, J. and Miles, L., Editors.2005, University of California Press. p. 184-204. Miyakawa, H., dkk. 2014. Panduan Teknis Restorasi di Kawasan Konservasi. Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystems in Conservation Areas. Jakarta. Nasution, U. 1986. Gulma dan pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Tanjung Morawa.
Elliott, S., D. Blakesley and S. Chairuangsri, 2008. Research for Restoring Tropical Forest Ecosystems: A Practical Guide. Chiang Mai University, Forest Restoration Research Unit, Thailand.
Payne, J., C.M. Francis, K. Phillipps and S.N. Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam.The Sabah Society dan Wildlife Conservation Society bekerjasama dengan WWF Malaysia. Jakarta.
FORRU - CMU. How to Plant a Forest:The Principles and Practice of Restoring Tropical Forest. 2006. Forest Restoration Research Unit-Chiang Mai University (FORRU-CMU):Thailand.
Purwaningsih, R. Potensi Konflik Orangutan dalam Analisis Spasial di Taman Nasional Gunung Leuser. 2010.Workshop Konflik Orangutan di Sekitar TNGL. GIS UNESCO Jakarta.
Greenomics Nanggroe. Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh. 2010. (cited : http://greenomicsnanggroe.blogspot.com/2009/05/deforestasi-dan-degradasi-hutan-aceh.html).
Pusparini, W., Wibisono, H.T., 2013.Landscape-level assessment of the distribution of the Sumatran rhinoceros in Bukit Barisan Selatan National Park.Pachyderm 53:59-65.
Goosem, S. and N. I. J. Tucker, 1995. Repairing the Rainforest. Wet Tropics Management Authority, Cairns, Australia. Pp 72. http://www.wettropics.gov.au/media/med_landholders.html
Rahayu, S.,Widodo, R.H., van Noorwidjk, M., Suryadi I.,Verbist, I. 2009. Monitoring air di daerah aliran sungai. Bogor. Indonesia.World Agrofirestry Center – Southeast Asia Regional Office.
Hariadi, B.,W. Novarino, Rizaldi. 2012. Inventarisasi Mamalia di Hutan Harapan Sumatera Selatan. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 1(2): 132 - 138.
Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group. 2004. The SERInternational Primer on Ecological Restoration. www.ser.org & Tucson: Society for Ecological Restoration International.
Heriansyah, I., Susmianto, A., dan Subiakto, A., 2014. Panduan Restorasi Ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser. Jakarta. Unesco Jakarta Office.
Subagyo, A., M. Yunus, Sumianto, J. Supriatna, N.Andayani,A. Mardiastuti, L. Sjahfirdi,Yasman, dan Sunarto. 2013. Survei dan Monitoring Kucing Liar (Carnivora: Felidae) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Indonesia. Seminar Nasional Sains & Teknologi V. Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
Lamb, D., Erskine, P.D., Parotta, J.A. 2005. Restoration of degraded tropical forest landscapes. Science 2005 (310): 1628-1632. DOI: 10.1126/science.1111773.
82 Referensi
Sun, C., B. A. Kaplin, K. A. Kristensen, V. Munyaligoga, J. Mvukiyumwami, K. K. Kajondo, and T. C. Moermond. 1996. Tree Phenology In A Tropical Montane Forest In Rwanda. Biotropica 28: 668–681.
Referensi
83
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA Sutomo. 2009. Kondisi Vegetasi dan Panduan Inisiasi Restorasi Ekosistem Hutan di Bekas Areal Kebakaran Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu Bali (Suatu Kajian Pustaka). Jurnal Biologi. XIII (2) : 45 - 50. Tucker, N. I. J., and T. M. Murphy, 1997. The effect of ecological rehabilitation on vegetation recruitment: some observations from the wet tropics of north Queensland. Journal of Forest Ecology and Management 99: 133-152. UNEP,The Last Stand of the Orangutan - State of emergency: Illegal logging, fire and palm oil in Indonesia’s national parks., Nellemann, C., Miles, L., Kaltenborn, B. P., and Virtue, M., and Ahlenius, H., Editors. 2007, United Nations Environment Programme: Norway. van Strein, N.J. 1989.A field guide to the tracks of mammals of western Indonesia. School of Environmental Conservation Management. Ciawi. Indonesia. Wibisono, H.T., et al. 2011. Population status of a cryptic top predator: an island wide assessment of tigers in Sumatran rainforest. PLOSONE, 6(11): 1-6. Wiratno. 2013. Dari Penebang Hutan Liar ke konservasi Leuser :Tangkahan dan Pengembangan Ekowisata Leuser.YOSL-OIC. Medan. Indonesia. Wiratno, Leuser,Warisan Dunia. 2007, Gunung Leuser National Park Authority. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC). 2009. Guidebook to the Gunung Leuser National Park.Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC). Medan. Indonesia. Yumi dan I. P. Rianti. 2013. Kajian Singkat Assisted Natural Regeneration (ANR). (Cited: http://bp2sdmk.dephut.go.id/emagazine/attachments/article/9/Kajian%20Singkat%20ASSISTED%20N ATURAL%20REGENERATION.pdf)
84 Referensi