www.mercubuana.ac.id
MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK
Aaron Beck adalah psikiater Amerika yang merintis penelitian pada psikoterapi dan mengembangkan terapi kognitif. Ia dianggap sebagai bapak cognitive behavioral therapy. Aaron T. Beck pada awalnya mengikuti pelatihan psikoanalisis (seperti juga Albert Ellis). Beck meneliti depresi dalam pemahaman psikoanalisa bahwa depresi dihasilkan dari kemarahan yang berbalik mengarah ke dalam diri dan melihat isi mimpi klien untuk menemukan sumber kemarahan. Akan tetapi, apa yang menarik perhatiannya adalah bahwa klien yang depresi memiliki bias negatif dalam interpretasi mereka tentang diri mereka sendiri yang mengarah pada rasa rendah diri yang kuat. Ia mulai percaya bahwa kesalahan sistematis dalam berpikir logis lah yang mengakibatkan depresi. Pikiran-pikiran ini dipahami sebagai ‘otomatis’, berasal dari generalisasi masa lalu. Meskipun Beck memulai kajiannya di ranah depresi, selanjutnya ia juga mengkaji gangguan kepribadian borderline dan skizofrenia. Dalam kedua kasus ini, terapi bertujuan untuk mengajak klien melihat bahwa keyakinan keliru mereka tidak didukung oleh bukti. Menariknya, Beck juga mengakui bahwa perasaan-perasaan yang intens dan kuat terkadang mengarahkan pada keyakinan. TEORI Menurut Beck, ‘Jika keyakinan tidak berubah, maka tidak ada peningkatan. Jika keyakinan berubah, maka gejala pun berubah. Keyakinan berfungsi sebagai unit-unit operasional kecil’. Hal ini berarti pikiran dan keyakinan (skema) seseorang mempengaruhi perilaku dan tindakan seseorang berikutnya. Beck yakin bahwa perilaku disfungsi disebabkan karena disfungsi berpikir, dan bahwa berpikir membentuk keyakinan kita. Keyakinan kemudian mengarahkan tindakan kita. Beck diyakinkan bahwa akan ada hasil positif jika klien dapat diajak berpikir secara konstruktif dan meninggalkan pikiran negatifnya.
Pendekatan Kognitif terhadap Depresi Para ahli behaviorist mengemukakan bahwa depresi merupakan hasil dari persepsi psikologis yang keliru dan irasional, mengakibatkan distorsi dalam belajar dan menalar. Pikiran depresif ini dapat menjadi sebuah hasil dari pengalaman traumatis atau ketidakmampuan menghasilkan coping yang adaptif. Orang-orang depresif memiliki persepsi atau keyakinan negatif akan diri mereka sendiri dan lingkungan mereka. Semakin parah pikiran negative seseorang, maka semakin parah pula gejala depresinya. Ahli behaviorist awal percaya bahwa hanya perilaku eksternal yang dapat digunakan sebagai materi psikologis. Psikologi adalah ilmu mengenai perilaku. Akan tetapi, Ellis mengemukakan gagasan tentang model ABC, dimana A merupakan ‘activating event’, B merepresentasikan ‘belief’ atau keyakinan tentang kejadian dan C merepresentasikan ‘consequences’ yaitu konsekuensi emosi dan perilaku yang mengikuti keyakinan. Bagi Ellis, kita adalah apa yang kita pikirkan, dan kita mengusik diri kita ketika kita mengatakan secara berulangulang kalimat irasional pada diri kita, yang kita pelajari dari pengalaman kita. Beck melakukan kritik terhadap pendekatan behaviorist murni dan percaya bahwa cognitive therapy (CT) membantu teknik behaviorist karena kognisi klien berubah seiring berjalannya terapi.
Beck menyatakan tiga disfungsi tema keyakinan atau skema utama yang dialami orang depresif: •
Orang yang depresif melihat diri mereka sebagai orang yang tidak mampu mencapai keberhasilan dan selalu menjadi korban situasi.
•
Orang yang depresif melihat semua pengalaman masa lalu dan masa kini melalui cara pandang negatif, secara terus menerus menkankan pada kekalahan, kegagalan, dan seorang bermental korban.
•
Individu yang depresif melihat masa depan penuh dengan keputusasaan dan tidak ada harapan.
Keyakinan-keyakinan ini memfokuskan perhatian terhadap aspek hidup yang negatif. Saat persepsi menjadi lebih terdistorsi, selective attention diarahkan pada kegagalan dan semua yang dilihat secara negatif. Orang yang depresi secara tidak sadar mengarahkan semua perasaannya kepada ketidakberdayaan. Pada tahun 1961 Beck mengembangkan inventori yang dinamakannya Beck Depression Inventory (BDI) yang memiliki 21 item yang menggunakan skala Likert, untuk melihat tingkat keparahan depresi. Inventori tersebut sangat banyak digunakan sebagai skala untuk mengukur depresi. BECK DAN ELLIS Perbedaan antara Beck dan Ellis sangatlah tipis dan terutama terletak pada teknik dan gaya terapi daripada pada perspektif mereka. Mereka memiliki keyakinan yang sangat mirip mengenai ‘belief’. Beck sepertinya memiliki perhatian utama mengenai proses pikiran tidak logis tertentu (misalnya, pikiran semua atau tidak sama sekali / ‘all or nothing’) yang mengakibatkan gangguan emosi. Sedangkan Ellis tampaknya lebih focus pada pikiran tertentu yang seharusnya tidak terus menerus dipikirkan seseorang. Akan tetapi, teori Beck mengemukakan bahwa proses berasal dari keyakinan utama. Lebih lanjut, Beck secara kuat menentang untuk memberi tahu seseorang bahwa keyakinan irasional tertentu adalah sumber dari masalah mereka, karena bukan keyakinan itu sendiri namun bahwa keyakinan itu bersifat terlalu absolute, luas dan ekstrem pada diri seseorang.
MENGATASI DEPRESI Beck
memberikan
penekanan
pada
pemahaman
dan
perubahan
keyakinan utama sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi depresi. Dengan merestrukturisasi pikiran dekstruktif, ia percaya bahwa perubahan positif dapat terjadi pada klien. Ia menekankan peran penting seorang terapis dalam
penanganan. Terapis terlibat membantu klien dalam penentuan tujuan realistis dan pengambilan tanggung jawab atas tindakan dan pikirannya. Dengan mengubah pikiran dan persepsi, suatu perubahan dapat terjadi pada respon perilaku dan emosi klien. Terapis membantu mengajarkan pada klien konsep tentang pikiran yang keliru (faulty thinking). Gagasan dan cara baru dikembangkan untuk melihat secara positif akan diri sendiri, pengalaman dan lingkungan sekitar. Terkadang tugas-tugas diberikan untuk membantu orang yang depresi untuk melihat kembali dan memahami dampak dari pikiran kelirunya terhadap kesejahteraan perilaku dan emosi. Ia kemudian mengembangkan Beck Scale for Suicidal Ideation, Beck Hopelessness Scale, Beck Anxiety Inventory dan Beck Youth Inventories untuk membantu mengatasi berbagai gangguan mental.
CT DAN DEPRESI Telaah dan control terhadap depresi telah menjadi fokus utama Beck karena penelitian awalnya adalah lebih pada penjelasan psikoanalisa tentang depresi. Dalam kajian-kajian tersebut, ia menemukan bahwa klien yang depresi memiliki bias negatif pada pemahaman mereka tentang diri mereka sendiri, yang mengarahkan pada penerimaan diri yang rendah. Selanjutnya ia menemukan bahwa bias negatif juga mencakup dunia dan masa depan. Beck menyebut ketiga aspek ini sebagai ‘cognitive triangle’ dan memahami bahwa kognisi negatif tentang seseorang, dunia dan masa depan akan menyebabkan depresi. Dua hal mendasar pada CT (dan REBT) adalah, pertama, pikiran dan perasaan adalah fenomena yang berbeda. Jika tangan kita secara tidak sengaja menyentuh kompor panas, kita merasa sensasi atau rasa terbakar. Kita kemudian akan berpikir, ‘Kompor itu panas!’
Menurut ahli kognitif, perasaan
bukanlah sesuatu yang dapat diperdebatkan. Perasaan adalah sesuatu yang hanya bisa dirasakan. Akan tetapi, bila orang yang sama ini berpikir bahwa ia akan mati, kita dapat mempertanyakan kebenaran akan pikiran ini.
Kedua, pikiran mengakibatkan perasaan atau emosi dan perilaku. Hal fundamental ini dapat digunakan ketika menemui seseorang yang mengatakan bahwa ia telah merasa sedih dan menangis selama lebih dari dua minggu. Terapis akan mengeksplorasi akan ‘mengapa’ kesedihan itu muncul dengan menggali informasi, apa yang ia katakan pada dirinya berulang-ulang saat ia merasa sedih. Apa yang dipikirkannya? Beck menekankan pada identifikasi pikiran otomatis yang berulang-ulang yang mengakibatkan depresi. Pada contoh berikut, seorang klien mengalami masalah mood yang kronis. Terapis akan mengarah pada instruksi tentang hubungan antara pikiran dan low mood, dan menanyakan pada klien pikiran-pikiran yang hadir bersama dengan mood depresi tersebut. Klien mungkin merasa bahwa ia tidak berguna dan tidak baik. Yang paling penting dalam CT adalah membangun representasi yang lebih rasional tentang apa yang dipikirkannya. Fundamental ini juga dapat dinyatakan pada seorang klien dengan membuatnya berpikir dan mengatakan pada dirinya ‘Saya tidak akan pernah merasa bahagia lagi’ dan kemudian menuliskan ‘Perasaan ketidakberdayaan’ yang mengikutinya. Akan tetapi, jika klien berpikir, ‘Saya akan menjadi bahagia lagi jika saya mengusahakannya’, maka perasaan yang mengikuti adalah lebih melegakan dan membawa harapan. DEPRESSIVE SCHEMA Beck menyadari dengan baik bahwa pikiran otomatis dengan sendirinya bukan jawaban sepenuhnya dan bahwa klien datang untuk terapi dengan riwayat kekerasan,
kemiskinan,
pembiaran,
atau
ketidakstabilan.
Riwayat
ini
membangun skema depresif yang diaktivasi kapanpun kejadian sensitif terjadi. Sebagai contoh, klien dapat menjadi sangat sensitif terhadap segala jenis kehilangan, karena pada masa kecilnya beberapa kehilangan ia alami, dan membekas baginya. Pengalaman ini mengawali riwayatnya membangun skema kognitif pada situasi kehilangan yang berulang, semakin intens, seiring berjalannya kehidupan. Misalnya, kehilangan salah satu orangtua bagi anak yang masih kecil adalah pemicu signifikan bagi kecemasan atau terjadinya mood depresi yang dapat mengarahkan pada perkembangan ‘loss phobia’. Kondisi
tersebut tidak dapat semata-mata ditangani dengan mendebat pikiran otomatis yang dipermukaan.
DISTORSI PIKIRAN Beck secara esensi percaya bahwa distorsi dalam berpikir menyebabkan akibat gangguan emosi dan perilaku. Sehingga, kita perlu mengindentifikasi tidak hanya pikiran otomatis (misalnya, saya gagal) namun juga jenis distorsi yang muncul dalam pikiran otomatis tersebut. Hubungan antara pikiran otomatis dan distorsi dapat terlihat seperti contoh pada tabel berikut:
AUTOMATIC THOUGHTS
THINKING DISTORTION
I’m a failure
Mislabelling
She thinks I’m unattractive
Mind reading
Nothing I do works out
All-or-nothing thinking
Anyone can do this job – it doesn’t mean anything
Discounting positives
TEKNIK a. Teknik Penurunan Vertikal (Vertical Descent) Beberapa pikiran negatif ternyata tidaklah benar. Jika seseorang mengatakan bahwa ia tidak akan berhasil mengajak perempuan muda karena ia takut perempuan itu akan menolaknya, sebenarnya, ini mungkin merupakan prediksi yang benar. Akan tetapi, apakah ia mungkin menolak tawaran pria itu terapis tidak tahu. Yang dilakukan terapis adalah menanyakan pada klien ‘Apa artinya bagi kamu jika hal itu terjadi?’ ‘Apa yang akan terpikirkan olehmu?’ ‘Apa yang akan terjadi kemudian?’
Skema vertical descent: Saya akan ditolak
Saya adalah pecundang
Saya tidak akan menemukan kekasih Saya akan selalu sendiri
Saya tidak dapat bahagia jika saya sendiri
Saya butuh orang lain untuk bisa bahagia
b. Menilai probabilitas secara berurutan Dengan konstruksi diagram tersebut, klien diminta untuk menentukan probabilitas masing-masing item dalam penurunannya. Terapis menanyakan, seberapa probabilitas hal ini terjadi? Dari 0% - 100%? Sebagian besar dari item tidak dapat diperingkatkan baik 0% maupun 100%. Sehingga jika kamu mengajak perempuan ini berkencan, seberapa mungkin perempuan itu menolak? Jika klien menjawab 90% maka terapis melanjutkan dengan masing-masing pemikiran. Misalkan ke enam fraksi tersebut dinilai .80, .30, .40, .30, .50, .70. kemudian dikalikan maka akan mendapatkan angka 0.01001, bahwa 1 kemungkinan dari 100 bahwa semua pikiran tersebut adalah benar. Merupakan kemungkinan yang sangat tipis. Namun demikian, klien dapat menjawab kembali, ‘Bagaimana jika saya adalah kemungkinan yang 1 itu?’. Terapis dapat menjawab ‘Apakah ada area dalam kehidupanmu dimana kamu dapat menerima
ketidakpastian?’ ‘Bagaimana kamu mentoleransi area tersebut dan tidak pada hal ini?’
c. Teknik menebak pikiran Terkadang klien tidak mampu mengidentifikasi pikiran yang relevan. Mungkin saja emosi begitu kuat dimana berfokus pada pikiran menjadi sesuatu yang sangat sulit. Seseorang perlu untuk mampu merasakan bahwa pikiran tertentu ini terpasangkan dengan emosi yang tidak tepat yang dirasakannya. Terapis akan bertanya pada klien untuk menyebutkan apa yang menjadi pikiran yang sesuai dengan perasaan-perasaan tersebut. Terapis lalu mengatakan bahwa ‘apakah mungkin kamu mengatakan hal-hal ini pada dirimu?’. Di sini letak perbedaan Beck dengan Ellis, dimana pada Ellis terapis tidak menyuruh klien secara langsung untuk memikirkan hal yang membuat ia berpikir rasional ketika klien merasakan perasaan tertentu yang mengganggu.