MODIFIKASI PATI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DENGAN HIDROLISIS ASAM, SIKLUS AUTOCLAVING – COOLING, DAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) UNTUK MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III (RS3)
FATHMA SYAHBANU
ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment (HMT) Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2015
Fathma Syahbanu NIM F24110114
ABSTRAK FATHMA SYAHBANU. Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment (HMT) Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3). Dibimbing oleh DIDAH NUR FARIDAH
Pati garut berpotensi sebagai bahan baku untuk menghasilkan pati resisten. Secara alami sebagaimana sumber pati lainnya, pati garut memiliki kadar pati resisten yang rendah. Metode modifikasi yang digunakan untuk meningkatkan kadar pati resisten pada pati garut dalam penelitian ini meliputi hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling dan proses HMT dengan pemanasan selama 15 menit (HMT15’) dan 60 menit (HMT60’). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari peningkatan kadar pati resisten, kadar amilosa, dan gula pereduksi, serta penurunan daya cerna pati dan total pati pada pati garut termodifikasi; menentukan metode modifikasi pati garut (hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, HMT, dan atau kombinasi antara hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan HMT) yang terpilih untuk menghasilkan kadar pati resisten tertinggi; serta menentukan waktu pemanasan pada tahap HMT yang terbaik antara 15 menit dan 60 menit pada suhu 1210C untuk meningkatkan kadar pati resisten. Modifikasi pati garut menggunakan kombinasi metode hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, serta HMT dengan pemanasan selama 60 menit dapat meningkatkan kadar pati resisten (dari 2.15% hingga 29.63%), kadar amilosa (dari 24.50% hingga 35.83%), dan gula pereduksi (dari 4.92% hingga 10.20%), serta menurunkan daya cerna pati (dari 84.92% hingga 54.12%) dan kadar total pati (dari 98.10% hingga 71.28%). Perlakuan pada pati garut yang dimodifikasi menggunakan metode hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan HMT60 menit (HAAC-HMT60’) meningkatkan kadar pati resisten sebesar 14 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Perlakuan kombinasi tersebut (HAAC-HMT60’) terbukti secara signifikan (P<0.05) telah meningkatkan kadar pati resisten, kadar amilosa, dan gula pereduksi, serta menurunkan daya cerna pati dan total pati dari pati garut termodifikasi. Kata kunci: Amilosa, Daya Cerna Pati, Gula Pereduksi, HMT, Pati Resisten, dan Total Pati.
ABSTRACT FATHMA SYAHBANU. Modification Of Arrowroot Starch (Marantha arundinaceae L.) By Acid Hydrolysis, Autoclaving − Cooling Cycle, and Heat Moisture Treatment (HMT) To Produce Resistant Starch Type III (RS3). Supervised by DIDAH NUR FARIDAH.
Arrowroot starch has potential as raw material to produce resistant starch. Like other sources of starch, arrowroot starch naturally has low resistant starch content. Modification treatment of arrowroot starch for increasing resistant starch content in this research are acid hydrolysis, threeautoclaving-cooling-cycles, and HMT using heated for 15 minutes (HMT15’) and 60 minutes (HMT60’). The objectives of this research are to study the increased of resistant starch, amylose content and reducing sugar content, and also the decreased of starch digestibillity and total starch; to obtain modification method of arrowroot starch (acid hydrolysis, threeautoclaving-cooling-cycles, HMT, and or combination of acid hydrolysis, three-autoclaving-cooling-cycles, and HMT) for producing the highest resistant starch content; and also to obtain the best heat time of HMT between 15 minutes and 60 minutes at 1210C for increasing resistant starch content. Arrowroot starch modification by using combination of acid hydrolysis method, three autoclaving-cooling cycles, and HMT using heated for 60 minutes increased resistant starch content (from 2.15% to 29.63%), amylose content (from 24.50% to 35.83%), and reducing sugar (from 4.92% to 10.20%), and also decreased both starch digestibility (from 84.92% to 54.12%) and total starch content (from 98.10% to 71.28%). Treatment in arrowroot starch modified by using acid hydrolysis method, threeautoclaving-cooling-cycles and HMT60 minutes (HAAC-HMT60’) increased resistant starch content until 14 times fold compared to native arrowroot starch. That combination of treatment (HAAC-HMT60’) has been proven significantly (P<0.05) to increase resistant starch, amylose content, reducing sugar content and also decrease both starch digestibility and total starch from modified arrowroot starch. Keywords: Amylose Content, HMT, Reducing Sugar, Resistant Starch, Starch Digestibility, and Total Starch.
MODIFIKASI PATI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DENGAN HIDROLISIS ASAM, SIKLUS AUTOCLAVING – COOLING, DAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) UNTUK MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III (RS3)
FATHMA SYAHBANU
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah modifikasi pati garut, dengan judul Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving−Cooling, dan Heat Moisture Treatment (HMT) Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Didah Nur Faridah, M.Si selaku pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran serta telah memberi banyak masukan yang berharga selama studi, penyelesaian penelitian hingga penyusunan skripsi. Terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Faleh Setia Budi, MT atas kesediaannya menjadi penguji dalam ujian akhir penulis, serta saran-saran yang diberikan kepada penulis sebagai pendukung dalam penulisan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh teknisi Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, khususnya Mbak Rini Kesenja dan Mbak Nurul Maulidiyah selaku teknisi Laboratorium Biokimia Pangan dan Mikrobiologi Pangan yang memberi banyak bantuan dan saran yang baik selama pelaksanaan penelitian serta Fitria Slameut, Chairul Anand, dan Randy atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian dan bebas laboratorium. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibunda, Ayahanda, dan Adikku tercinta atas segala dukungan, doa, dan kasih sayang yang tak henti. Tak lupa juga ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kak Ratna dan Kak Mutiara atas dukungan yang tak henti diberikan, serta segenap teman-teman ITP 48 tercinta yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, April 2015 Fathma Syahbanu
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
4
Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.)
4
Pati Garut
5
Pati Resisten
6
Modifikasi Pati dengan Metode Hidrolisis Asam (Lintnerisasi)
7
Metode Pemanasan-Pendinginan (Autoclaving−Cooling)
7
Modifikasi Pati dengan Metode HMT (Heat Moisture Treatment)
8
METODE
9
Bahan
9
Alat
9
Metodologi Penelitian
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Karakterisasi Pati Garut Alami dan Termodifikasi Hidrolisis Asam
19
Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Peningkatan Kadar Pati Resisten
20
Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Peningkatan Kadar Gula Pereduksi
22
Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Penurunan Daya Cerna Pati
23
Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Total Pati, Amilosa, dan Amilopektin 25 Hubungan antara kadar pati resisten, gula pereduksi, kadar amilosa, daya cerna pati, dan total pati 28 SIMPULAN
33
SARAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL 1 Komposisi kimia umbi garut kultivar creole dan banana 2 Komposisi kimia pati garut alami dan pati garut termodifikasi hidrolisis asam 3 Kadar pati resisten pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati 4 Kadar gula pereduksi pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati 5 Daya cerna pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati 6 Kadar amilosa pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati 7 Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektin 8 Hasil uji korelasi antar parameter analisis
5 20 22 24 25 27 28 32
DAFTAR GAMBAR 1 Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas 2 Tahapan penelitian dalam proses modifikasi pati garut dan karakterisasinya 3 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan hidrolisis asam 4 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan tiga siklus AC 5 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan HMT 6 Histogram kadar pati resisten 7 Histogram kadar gula pereduksi 8 Histogram daya cerna pati 9 Histogram kadar total pati 10 Histogram kadar amilosa 11 Analisis korelasi gula pereduksi terhadap kadar pati resisten 12 Analisis korelasi daya cerna pati dan total pati terhadap kadar pati resisten 13 Analisis korelasi total pati terhadap kadar gula pereduksi 14 Analisis korelasi kadar amilosa terhadap kadar pati resisten
4 10 11 12 13 22 24 25 26 27 30 31 32 33
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini, pangan fungsional semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat. Fungsi pangan pun semakin meningkat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan zat gizi, tetapi dapat juga untuk memberikan efek fungsional dalam menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Pangan yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan tersebut dikenal dengan pangan fungsional. Seiring dengan perkembangan industri pangan di Indonesia, produk pangan berbasis sumber daya lokal juga terus dikembangkan sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan. Umbi-umbian adalah sumber karbohidrat yang memiliki potensi untuk diversifikasi pangan serta sekaligus mempunyai sifat fungsional, salah satunya adalah umbi garut. Program pengembangan tanaman garut sebagai sumber bahan baku alternatif industri pangan diluncurkan presiden BJ Habibie sejak 1998 sebagai salah satu pemenuhan pangan nasional. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan pati garut untuk dapat mensubtitusi tepung terigu, sesuai dengan niat pemerintah untuk mengubah paradigma impor bahan pangan (Anwar et al. 1999). Karakteristik alami dari umbi garut antara lain mudah dicerna (Purseglove 1975), memiliki IG yang rendah (Faridah et al. 2008), dan dapat tumbuh pada tanah kurang subur, tandus, kering, tandus dan berkapur. Umbi garut sebenarnya merupakan tanaman yang tidak terlalu asing bagi sebagian masyarakat Indonesia namun pemanfaatannya untuk kepentingan pangan secara komersil belum dikaji secara optimum. Modifikasi pati garut bertujuan untuk memperbaiki salah satu karakteristik alami dengan menjadikan pati garut memiliki kadar pati resisten tipe III yang tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis dan memperluas cakupan penggunaan pati garut. Pati resisten atau Resistant Starch (RS) adalah salah satu ingredien bahan pangan yang dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan pangan fungsional (EURESTA 1993; Lehmann dan Robin 2007; Li et al 2011). Pati resisten merupakan karbohidrat yang tidak tercerna dalam sistem pencernaan manusia sehingga berpengaruh positif bagi tubuh (Topping dan Clifton 2001; Li et al 2011), pencegah kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik, berperan sebagai prebiotik, mengurangi resiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak dan meningkatkan absorpsi mineral (Sajilata et al. 2006; Li et al 2011), serta berkalori rendah yaitu sebesar 11.7 KJ/g RS (Bauer et al. 2005) atau secara teori memiliki nilai kalori sebesar 1.9 Kkal/g. Pati resisten (RS) dapat dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu pati resisten yang secara fisik tidak dapat dicerna karena terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan yang tidak bisa dicerna (RS1), pati resisten yang secara alami sangat tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase (RS2), pati resisten yang dimodifikasi secara fisik, pati retrogradasi, maupun pangan yang mengandung pati yang dihasilkan dari proses pengolahan (RS3), pati resisten yang dimodifikasi secara kimia (RS4), dan pati resisten yang diperoleh akibat
2 terjadinya pembentukan kompleks single-helix antara lipid dan amilosa (RS5) (Ratnayake dan Jackson 2008; Sanz et al. 2009; Fuentes-Zaragoza et al. 2010; Ai et al. 2013). Di antara kelima jenis pati resisten tersebut, pati resisten tipe III (RS3) merupakan tipe pati resisten yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Pati resisten tipe III (RS3) dapat dihasilkan dari proses pemanasan suhu tinggi dan pendinginan secara berulang atau disebut siklus autoclaving-cooling (Zabar et al. 2008). Proses autoclaving-cooling merupakan kombinasi proses gelatinisasi (fraksi amilosa keluar dari granula) dan retrogradasi pati (proses kristalisasi amilosa yang bertanggung jawab pada pembentukan RS3) (Sajilata et al. 2006; Mun dan Shin 2006). Proses autoclaving-cooling ini dapat meningkatkan kadar RS3, dimana kadar RS3 secara proporsional berbanding lurus dengan kandungan amilosa dalam bahan pangan (Shu et al. 2007). Pati garut berpotensi sebagai sumber bahan baku RS3. Hasil pengamatan dengan menggunakan difraksi sinar X menunjukkan bahwa pati garut memiliki tipe kristalin A, rantai amilopektin pati garut memiliki derajat polimerisasi (DP) berkisar 9-30 dalam jumlah yang tinggi (96,0%) (Faridah et al. 2014; Srichuwong 2006). Pati garut juga memiliki densitas yang lebih tinggi pada daerah struktur heliks (Wang et al. 1998), proporsi lebih tinggi pada rantai cabang amilopektin yang berukuran pendek (Hizukuri et al. 1983), serta jumlah rantai per klaster yang relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan tipe kristalin B (Takeda dan Hanashiro 2003). Struktur pati garut tersebut sangat mendukung pembentukan RS3 apabila dilakukan proses hidrolisis dengan asam atau pemutusan ikatan cabang α-1,6 amilopektin (debranching) atau kombinasi antara hidrolisis asam dan debranching yang dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Secara alami sebagaimana sumber pati lainnya, pati garut memiliki kadar pati resisten yang rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar pati resisten adalah dengan proses retrogradasi pati yang dapat menghasilkan pati resisten tipe III (RS3). Retrogradasi pati dapat dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi (autoclaving) yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (cooling) secara berulang-ulang (Zabar et al. 2008). Pati lebih mudah mengalami retrogradasi dalam bentuk molekul amilosa rantai pendek dengan derajat polimerasi (DP) berkisar 10-35. Nilai DP sekitar 10-35 adalah nilai yang cukup optimal untuk meningkatkan kadar pati resisten (Schmiedl et al. 2000). Semakin banyak jumlah fraksi amilosa rantai pendek maka semakin besar peluang terbentuknya pati yang teretrogradasi. Jumlah fraksi amilosa rantai pendek dapat ditingkatkan dengan cara menghidrolisis secara parsial ikatan glikosidik pada rantai molekul amilosa dan amilopektin, baik dengan hidrolisis asam maupun secara enzimatis. Proses hidrolisis asam yang dilakukan dengan menggunakan asam kuat, secara parsial dapat menyerang bagian amorf dari granula pati yang dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Hidrolisis secara enzimatis dapat dilakukan secara spesifik dengan memotong ikatan glikosidik pada titik percabangan α-1,6 dari molekul amilopektin (debranching), yaitu dengan menggunakan enzim pullulanase. Hasil hidrolisis secara enzimatis ini pun dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Selain menggunakan perlakuan siklus autoclaving-cooling, peningkatan kadar pati resisten dapat dilakukan menggunakan metode HMT. Sifat resistensi pati berhubungan dengan pembentukan kristalit pada granula pati. Metode HMT
3 dapat menyempurnakan pembentukan kristalit pada granula pati sehingga dapat meningkatkan kadar pati resisten (Chung et al. 2009). Dalam penelitian ini, peningkatan kadar RS3 pada pati garut dilakukan dengan metode modifikasi pati berupa : 1) Proses HMT (Heat Moisture Treatment), 2) hidrolisis asam (lintnerized starch), 3) pemanasan-pendinginan (autoclaving-cooling), 4) hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan proses HMT, 5) hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan pemanasan-pendinginan, 6) kombinasi pemanasan-pendinginan dan proses HMT, serta 7) kombinasi hidrolisis asam dan pemanasan-pendinginan yang dilanjutkan dengan proses HMT. Perumusan Masalah Pati garut berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku untuk menghasilkan pati resisten. Secara alami, pati garut memiliki kadar pati resisten yang rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan pati resisten adalah dengan proses retrogradasi pati yang dapat menghasilkan pati resisten tipe III (RS3). Retrogradasi pati dapat dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi (autoclaving) yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (cooling) secara berulang-ulang. Pati lebih mudah mengalami retrogradasi dalam bentuk molekul amilosa rantai pendek dengan derajat polimerasi (DP) berkisar 10-35. Semakin banyak jumlah fraksi amilosa rantai pendek maka semakin besar peluang terbentuknya pati yang teretrogradasi. Jumlah fraksi amilosa rantai pendek juga dapat ditingkatkan dengan cara menghidrolisis secara parsial ikatan glikosidik pada rantai molekul amilosa dan amilopektin, baik dengan hidrolisis asam. Proses hidrolisis asam secara parsial dapat menyerang bagian amorf dari granula pati yang dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Sifat resistensi pati berhubungan dengan kristalinitas granula pati. Metode HMT berperan dalam menyempurnakan pembentukan kristalit pada granula pati, sehingga dapat meningkatkan kadar RS3 pada pati garut. Dengan adanya kombinasi hidrolisis asam, siklus autoclavingcooling, dan HMT, diharapkan terjadinya peningkatan kadar RS3 pada pati garut.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mempelajari peningkatan kadar pati resisten, kadar amilosa, dan gula pereduksi, serta penurunan daya cerna pati dan total pati pada pati garut hasil modifikasi dengan metode hidrolisis asam (lintnerization), proses pemanasan-pendinginan (autoclaving-cooling), proses HMT (Heat Moisture Treatment), dan atau kombinasi antara hidrolisis asam, proses pemanasan-pendinginan, dan proses HMT. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan metode modifikasi pati garut (hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, HMT, dan atau kombinasi antara hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan HMT) yang terpilih untuk menghasilkan kadar pati resisten tertinggi pada pati garut serta menentukan waktu proses pemanasan (autoclaving) yang terbaik antara lama pemanasan selama 15 menit dan 60 menit pada tahap Heat Moisture treatment (HMT).
4 2. Melakukan karakterisasi sifat kimia pada pati garut alami dan pati garut hasil modifikasi yang meliputi analisis proksimat (hanya dianalisis pada pati garut alami dan termodifikasi hidrolisis asam), analisis kadar air, kadar pati resisten, kadar amilosa, gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat untuk masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya hidup sehat. Diharapkan dari penelitian ini akan dihasilkan RS3 dari pati garut termodifikasi dengan memiliki daya cerna pati yang rendah sehingga memberikan nilai Indeks Glikemiks (IG) yang rendah, sehingga cocok digunakan sebagai salah satu ingredien pangan fungsional. Selain itu, penerapan RS3 dari pati garut termodifikasi sebagai ingredien bahan pangan diharapkan dapat meningkatkan mutu pada produk pangan yang dihasilkan.
TINJAUAN PUSTAKA Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.) Tanaman tegak ini termasuk dalam kingdom Plantae, subkingdom Tracheophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, subkelas Zingiberidae, ordo Zingiberales, famili Marantaceae, genus Maranta, dan spesies Maranta arundinacea L. (Anonim 2009). Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda pada tiap daerah. Di Jawa Tengah, garut disebut dengan angkrik, arus, erus, dan garut, di Jawa Barat dikenal dengan nama patat dan sagu, dan di Madura dinamakan arut, larut, atau selarut. Daerah asal tanaman garut adalah Amerika tropis, yang kemudian tersebar luas ke daerah tropis lainnya termasuk Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 m dpl dan tumbuh baik pada ketinggian 60-90 m dpl pada tempat-tempat dengan tanah lembab yang terlindung dari sinar matahari langsung (Sastrapradja et al. 1977). Visualisasi umbi garut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas (Faridah et al. 2008)
5 Villamajor dan Jurkema (1996) menyatakan bahwa garut mempunyai dua jenis kultivar yang penting, yaitu creole dan banana. Kedua jenis kultivar tersebut memiliki umbi yang berwarna putih meskipun karakteristiknya berbeda satu dengan yang lain. Kultivar creole memiliki umbi yang lebih panjang dan langsing dengan pertumbuhan menyebar dan masuk ke tanah lebih dalam. Kultivar banana mempunyai umbi yang lebih pendek dan gemuk, tumbuh dengan tandan terbuka pada permukaan tanah yang tidak lebih dalam, sehingga lebih mudah dipanen. Kultivar creole mempunyai daya tahan lebih lama, yaitu sekitar tujuh hari dibandingkan kultivar banana yang hanya tahan dua hari. Komposisi zat gizi masing-masing kultivar berbeda-beda. Kandungan zat gizi ini juga dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tempat tumbuhnya (Lingga et al. 1986). Komposisi berbagai kultivar umbi garut dapat dilihat pada Tabel 1. Umbi garut mempunyai kegunaan cukup banyak antara lain sebagai bahan makanan dan ramuan obat-obatan. Umbi garut yang masih muda dapat digunakan sebagai makanan kecil dengan cara dikukus, direbus, atau dibakar terlebih dahulu. Umbi garut rasanya manis, tetapi bila sudah tua akan banyak seratnya. Umbi garut yang sudah tua umumnya dijadikan tepung atau diambil patinya (Yustiareni 2000). Tabel 1 Komposisi kimia umbi garut kultivar creole dan banana Kadar (%)
1
Kultivar Umbi Garut Creole2
Banana3
Air
72.66
72.00
Abu
2.96
4.64
Karbohidrat
90.23
87.14
Protein
5.82
7.86
Lemak
1.02
0.36
Pati
76.66
69.29
Keterangan : 1 Kadar dinyatakan dalam basis kering, kecuali kadar air dalam basis basah; 2 Faridah et al. (2008); 3 Kay (1973) Pati Garut Tanaman garut dibudidayakan terutama untuk diambil patinya. Pati garut mudah dicerna sehingga di beberapa tempat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut juga digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, lem, alkohol, juga tablet yang diinginkan bersifat mudah larut (Kay 1973). Pati garut diperoleh dari rimpang garut yan telah berumur 8-12 bulan (Widowati et al. 2002). Pati dibuat melalui tahapan proses pengupasan, pencucian, perendaman, ekstraksi, pengendapan, pengeringan, penggilingan, pengayakan (Lingga et al. 1986).
6 Pati Resisten Pati adalah sumber utama karbohidrat dalam pencernaan manusia (Ratnayake dan Jackson 2008). Pati dapat diklasifikasikan menjadi pati yang dapat dicerna (digestible starch) dan tidak dapat dicerna (resisten/non-digestible starch). Pati yang dapat dicerna (digestible starch) adalah pati yang dapat dipecah (didegradasi) menjadi glukosa oleh enzim di dalam saluran pencernaan. Pati yang dapat dicerna ini dapat dikategorikan lebih lanjut ke dalam kelompok pati yang dapat dicerna dengan cepat (rapidly digestible starch) dan pati yang dapat dicerna secara lambat (slowly digestible starch) (Liu 2005). Proses ekstraksi pati, terutama pada tahap penggilingan, dapat menyebabkan struktur sel tanaman mengalami kerusakan dan menghasilkan pati yang mudah mengalami gelatinisasi dan menghasilkan pati yang lebih mudah dicerna di dalam usus halus (Faridah 2011). Secara umum, pati yang dapat dicerna, dapat dihidrolisis oleh enzim αamilase, enzim glukoamilase, dan enzim sukrase-isomaltase dalam usus halus menjadi glukosa bebas yang dapat diserap (Nugent 2005). Akan tetapi, tidak semua pati dalam pencernaan manusia dapat dicerna dan diserap di dalam usus halus (Ratnayake dan Jackson 2008). Pati resisten atau pati yang tidak dapat dicerna (non-digestible starch) termasuk ke dalam bagian pati dan produk pati yang sulit untuk dicerna ketika melewati saluran Gastro Intestinal (saluran pencernaan) (Nugent 2005), namun dapat difermentasi secara lambat oleh mikroflora di usus besar (Liu 2005). Pati resisten difermentasi oleh mikloflora pada dinding kolon dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid). Profil SCFA yang diperoleh dari pati resisten banyak mengandung asam asetat, asam propionat, dan asam butirat (Faridah 2011). Karakteristik fisik dari pati resisten adalah memiliki daya ikat air yang rendah, sehingga pati resisten dapat dikatakan sebagai ingredien fungsional (Baixauli et al. 2008). Hal ini dikarenakan pati resisten tidak dapat berkompetisi dengan ingredien lain untuk memperoleh air, lebih mudah untuk diolah, dan tidak menyebabkan lengket (Faridah 2011), serta dapat meningkatkan mutu tekstur terhadap produk pangan akhir (Baixauli et al. 2008). Pati resisten (RS) dapat diklasifikasi menjadi lima tipe berdasarkan pada asal dan proses pembuatannya yaitu RS1, RS2, RS3, RS4, dan RS5. Pembuatan pati resisten biasanya melibatkan perlakuan hidrolisis dengan asam dan perlakuan hidrotermal, pemanasan, retrogradasi, pemasakan dengan cara ekstrusi, modifikasi kimia, dan repolimerisasi (Nurhayati 2011). Lima tipe pati resisten yang terdapat dalam pangan antara lain pati resisten yang secara fisik tidak dapat dicerna karena terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan yang tidak bisa dicerna, seperti pati pada polongpolongan (RS1), pati resisten yang secara alami sangat tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase, serta merupakan pati alami yang berupa granula pati, contohnya pati jagung yang kaya amilosa, pati kentang mentah, dan pati pisang mentah (RS2), pati yang dimodifikasi secara fisik yaitu pati yang sudah mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulang-ulang (RS3). Produksi pati resisten tipe 3 pada dasarnya melalui tiga tahapan proses yaitu pemutusan cabang, gelatinisasi, dan retrogradasi pati native pada kondisi-kondisi yang dioptimalkan yaitu suhu penyimpanan dan konsentrasi pati (Jacobash et al. 2006). Pati resisten tipe 4 merupakan pati yang dimodifikasi secara kimia untuk
7 memperoleh pati yang tahan terhadap enzim amilase pankreas pada saluran pencernaan, seperti pati yang dimodifikasi secara eterifikasi, esterifikasi, dan ikatan silang (cross link) (RS4), serta pati resisten tipe 5 yang diperoleh akibat terjadinya pembentukan kompleks single-helix antara lipid dan amilosa (Sajilata et al. 2006; Ratnayake dan Jackson 2008; Sanz et al. 2009; Fuentes-Zaragoza et al. 2010; Ai et al. 2013). Modifikasi Pati dengan Metode Hidrolisis Asam (Lintnerisasi) Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu agar dihasilkan sifat yang lebih baik, terutama sifat fisiko-kimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya (Aparicio-Saguilan et al 2005). Modifikasi pati dengan asam (lintnerisasi) tergolong ke dalam modifikasi pati secara kimia. Metode hidrolisis asam dilakukan dengan menggunakan asam kuat, seperti asam klorida dan asam sulfat. Asam kuat akan menghidrolisis ikatan glikosida sehingga memperpendek rantai ikatan kimia pada pati dan berat molekul pati menjadi lebih rendah. Selama proses modifikasi asam, asam akan menghidrolisis ikatan glikosidik dan memperpendek panjang rantai pati. Menurut Franco et al. 2002, asam kuat akan menghidrolisis lebih cepat pada bagian amorfous granula pati namun akan lebih lambat pada bagian kristalin. Perlakuan hidrolisis pati secara lambat (lintnerisasi) bertujuan untuk meningkatkan jumlah fraksi amilosa rantai pendek dengan bobot molekul rendah yang merupakan hasil degradasi fraksi amilosa rantai panjang dan titik percabangan α-1,6 inter-klaster dari rantai amilopektin. Apabila jumlah fraksi amilosa rantai pendek meningkat, maka semakin banyak fraksi amilosa yang teretrogradasi, sehingga proses pembetukan RS3 semakin tinggi dan berdampak pada penurunan daya cerna pati. Menurut Aparicio-Saguilan et al. 2005, Zhao dan Lin 2009, fraksi amilosa sebagai struktur linear akan memfasilitasi ikatan silang dengan adanya ikatan hidrogen sehingga struktur amilosa membentuk kristalit yang kompak. Modifikasi pati dengan metode hidrolisis asam (lintnerisasi) tidak mengubah bentuk dari granula pati yang dihasilkan, namun dapat menyebabkan penurunan kemampuan mengembang (swelling), viskositas, dan kestabilan pasta pati selama proses gelatinisasi (Ferrini et al. 2008). Metode Pemanasan-Pendinginan (Autoclaving−Cooling) Metode autoclaving-cooling adalah perlakuan fisik untuk memodifikasi pati alami menjadi pati resisten tipe III (RS3) (Zabar et al. 2008). Proses autoclavingcooling merupakan kombinasi proses gelatinisasi (fraksi amilosa keluar dari granula) dan retrogradasi pati (proses kristalisasi amilosa yang bertanggung jawab pada pembentukan RS3) (Sajilata et al. 2006, Mun dan Shin 2006). Menurut Sajilata et al. (2006), perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving-cooling dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9%. Metode autoclaving-cooling dilakukan dengan mensuspensikan pati dengan rasio penambahan air 1 : 3.5 atau 1 : 5 (b/v), kemudian dipanaskan menggunakan autoklaf pada suhu tinggi. Setelah diautoklaf, suspensi pati tersebut disimpan pada suhu rendah agar terjadi retrogradasi. Siklus tersebut dilakukan secara berulang
8 untuk meningkatkan kadar pati resisten. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-cooling cycling treatment (Zabar et al. 2008). Pratiwi (2008) melaporkan bahwa pati modifikasi 3 siklus dipilih untuk dianalisis karena memiliki daya cerna pati yang tidak berbeda nyata dengan Novelose 330 yang mempunyai daya cerna pati terendah. Daya cerna pati dapat dijadikan sebagai parameter awal dari keberadaan pati resisten. Semakin rendah daya cerna pati maka kadar pati resisten dalam pati tersebut akan semakin tinggi. Berdasarkan pernyataan tersebut disimpulkan bahwa modifikasi pemanasanpendinginan 3 siklus berulang dapat menghasilkan pati resisten tipe III yang optimum. Pemanasan dengan otoklaf dilakukan selama 15 menit pada suhu 1210C supaya pati garut tergelatinisasi. Faktor-faktor penting dalam modifikasi pati menggunakan metode pemanasan-pendinginan berulang antara lain suhu pemanasan lebih tinggi dari suhu gelatinisasi (800C‒1300C) agar pati dapat tergelatinisasi sempurna, penyimpanan pada suhu rendah untuk menstimulir terjadinya retrogradasi, dan suhu pengeringan gel pati yang dihasilkan setelah proses pemanasan-pendinginan selesai dilakukan. Proses autoclaving-cooling pati gandum menghasilkan 9% pati resisten atau meningkat 9 kali lipat dari pati gandum tanpa perlakuan pemasakan. Pati gandum yang diberi perlakuan 3 siklus autoclaving-cooling mengalami peningkatan kadar pati resisten dari 6.2% menjadi 7.8%. Pembentukan pati resisten pada pati biji barley sangat dipengaruhi oleh jumlah siklus autoclaving-cooling, peningkatan jumlah siklus dari 1 hingga 20 menghasilkan pati resisten dari 6% hingga 26% (Siljestrom dan Asp 1985; Szczodrak dan Pomeranz 1991). Modifikasi Pati dengan Metode HMT (Heat Moisture Treatment) Modifikasi HMT adalah metode modifikasi secara fisik melalui perlakuan panas dengan suhu diatas suhu gelatinisasi (800 C-1300C) pada kadar air yang terbatas (<35% w/w) dengan lama pemanasan selama 15 menit ‒ 16 jam, sehingga melibatkan pengaturan kadar air dan perlakuan panas (Hoover 2010; Zavareze dan Dias 2011; Arns et al. 2014). Teknik HMT dapat meningkatkan kecenderungan retrogradasi pati garut yang bertanggung jawab terhadap pembentukan RS3 (Singh et al. 2005). Modifikasi pati dengan metode HMT dapat mengubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati, sehingga dapat meningkatkan kristalinitas pada granula pati (Olayinka et al. 2008; Chung et al. 2009; Hoover 2010; Ambigaipalan et al. 2014). Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosaamilosa dan amilosa-amilopektin pada area amorphous, memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin, meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi serta mengubah derajat kritalinitas pati. Perlakuan HMT akan memberikan efek perubahan yang berbeda tergantung pada sumber pati dan kondisi proses yang diterapkan (Olayinka et al. 2008). Pemanasan pada tahap HMT bertujuan untuk pembentukkan ulang ikatan-ikatan yang ada dalam granula pati, degradasi molekul amilopektin, peningkatan interaksi antar molekul di dalam granula, serta perubahan interaksi antara daerah amorphous dan kristalit (Adebowale et al. 2005; Lawal dan Adebowale 2005;
9 Lorlowhakarn dan Naivikul 2006,). Pembentukan ulang ikatan-ikatan yang ada dalam granula pati ini menyebabkan sejumlah besar fraksi amilosa rantai pendek akan membentuk struktur double helix yang lebih banyak terutama di daerah amorphous granula pati, sehingga dapat menghasilkan struktur yang lebih rapat dan kompak (Ji et al 2015; Lawal dan Adebowale 2005; Watcharatewinkul et al. 2009).
METODE
Bahan Pada penelitian ini bahan yang akan digunakan adalah pati garut dari Kelompok Wanita Tani Yogyakarta. Bahan-bahan untuk analisis yaitu heksana, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH, Na2S2O3, HCl, H3BO3, merah metil dan biru metil, Na2HPO4, NaH2PO4, NaOH, enzim amiloglukosidase (Sigma A-9913), etanol, KOH, enzim pepsin (Sigma P-7000), akuades, KCl, HCl, asam asetat glasial, natrium asetat, asam dimetilsalisilat (DNS), enzim α-amilase (Fluca), pati murni (E Merck), maltosa murni (E Merck), fenol, H2SO4, SDS, glukosa, kertas saring, padatan ferri-amonium sulfat, K4Fe(CN)6 (potasium ferrisianida), Na2CO3, NaHCO3, amilosa murni (Fluca), I2, KI, dan aluminium foil.
Alat Alat-alat yang akan digunakan dalam pembuatan modifikasi pati terdiri dari vibrating screen, oven pengering, otoklaf, gelas beaker, loyang, inkubator, refrigerator, dan freezer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu peralatan gelas, blender, mortar, pH meter, refrigerator, freezer, termometer, neraca analitik, spektrofotometer, vorteks, inkubator, oven, sentrifuse, perangkat Soxhlet, perangkat Kjeldahl, labu destilasi, alat analisa pati resisten dan lain-lain.
Metodologi Penelitian Tahapan penelitian ini dilakukan dalam dua tahap (Gambar 2). Pada tahap pertama dilakukan karakterisasi pati garut alami berupa analisis proksimat, kadar pati resisten, kadar amilosa, gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati. Pada tahap kedua yaitu dilakukan modifikasi pati garut dengan menggunakan metode hidrolisis asam, siklus autoclaving-cooling, proses HMT, serta perlakuan kombinasi hidrolisis asam, siklus autoclaving-cooling, dan proses HMT beserta karakterisasinya berupa analisis proksimat (hanya dianalisis pada pati garut termodifikasi hidrolisis asam), kadar air, pati resisten, kadar amilosa, gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati.
10 Pati Garut
Hidrolisis Asam
Tiga siklus Autoclaving-Cooling
HMT 15 menit dan 60 menit
Pati Garut Termodifikasi
Karakterisasi sifat kimia pati garut alami dan termodifikasi: Analisis kadar air Pati resisten Gula Pereduksi Daya cerna pati Total Pati Kadar Amilosa Analisis proksimat pati garut alami dan pati garut termodifikasi hidrolisis asam Gambar 2 Tahapan penelitian dalam proses modifikasi pati garut dan karakterisasinya
Karakterisasi Pati Garut Alami dan Pati Garut Termodifikasi Hidrolisis Asam Analisis yang dilakukan yaitu analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat), kadar pati resisten, kadar amilosa, kadar gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati. Pembuatan Modifikasi Pati Garut dengan Hidrolisis Asam (Faridah 2011) Sebanyak 250.0 g pati garut disuspensikan dalam larutan HCl (nisbah 1:1 (b/v)) dengan konsentrasi 2.2N. Suspensi pati diinkubasi pada suhu 350C selama 2 jam dengan terus dilakukan pengadukan (pengadukan dilakukan tiap 5 menit). Suspensi pati garut yang telah mengalami perlakuan hidrolisis asam tersebut
11 kemudian dinetralkan dengan menggunakan larutan natrium hidroksida (NaOH 1M) hingga mencapai pH 6.0. Selanjutnya, suspensi pati yang telah dinetralkan tersebut dilakukan pencucian dengan akuades sebanyak 2 kali volume HCl dan didiamkan selama 2 jam. Pencucian suspensi pati dengan akuades dilakukan sebanyak 3 kali pencucian. Selanjutnya, suspensi pati tersebut dikeringkan dengan menggunakan tray dryer pada suhu 500C selama 24 jam hingga mencapai kadar air 10-20%. Setelah kering, pati digiling dengan menggunakan blender dan diayak dengan ayakan 80 mesh, kemudian dikemas dan disimpan di dalam freezer -180C sampai digunakan.
Pati garut alami
Suspensikan ke dalam larutan HCl 2.2N (1:1 (b/v))
Inkubasi 350C selama 2 jam
Penetralan dengan NaOH 1M hingga pH 6.0
Pencucian dengan aquades (sebanyak 3 kali)
Didiamkan selama 2 jam
Pengeringan 500C selama 24 jam
Penggilingan dengan blender
Pengayakan 80 mesh
Pati termodifikasi hidrolisis asam Gambar 3 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan hidrolisis asam
12 Pembuatan Modifikasi Pati Garut dengan Siklus Autoclaving-Cooling (Faridah 2011) Sebanyak 20.0 g pati garut hasil hidrolisis asam atau pati garut alami dalam erlenmeyer 300 mL disuspensikan kembali dalam akuades (20%b/v), kemudian diberi perlakuan pemanasan awal pada suhu 800C selama 5 menit dan dipanaskan di dalam otoklaf 1210C selama 15 menit. Sampel yang telah diberi perlakuan didinginkan selama 1 jam pada suhu ruang dan selanjutnya disimpan dalam refrigerator 40C selama 24 jam. Siklus pemanasan-pendinginan (autoclavingcooling) tersebut dilakukan sebanyak 3 kali. Selanjutnya, sampel pati garut dari perlakuan tersebut dikeringkan, digiling, diayak, dikemas, dan disimpan dalam freezer -180C sampai digunakan. Pati garut alami Suspensikan ke dalam air (20% b/v) Pemanasan awal hingga homogen dan mengental (800C) Diautoklaf selama 15 menit, 1210C
Didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam
3x
Disimpan pada suhu 40C selama 24 jam
Dikeringkan dengan freeze dryer
Penggilingan dengan blender
Pengayakan 80 mesh
Pati termodifikasi 3 siklus AC Gambar 4 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan 3 siklus AC Pembuatan Modifikasi Pati Garut dengan Metode Heat Moisture Treatment Modifikasi pati garut dengan metode HMT mengacu pada Lehmann et al. (2002). Sebanyak 20.0 g pati garut alami atau pati garut hasil modifikasi diatur
13 kadar airnya hingga mencapai 20% dengan menyemprotkan akuades. Jumlah akuades ditentukan berdasarkan neraca massa, sehingga diketahui bobot aquades yang harus ditambahkan. Formulasi perhitungan dari neraca massa untuk penyetaraan kadar air sebagai berikut. (100% - KA1) x BP1 = (100% - KA2) x BP2 Keterangan : KA1 = kadar air kondisi awal (%bb) KA2 = kadar air pati yang diinginkan (%bb) BP1 = bobot pati pada kondisi awal BP2 = bobot pati setelah mencapai KA2 Pati basah yang telah mencapai kadar air 20%b/b selanjutnya ditempatkan di dalam plastik HDPE bertutup. Pati didiamkan pada suhu ruang selama satu malam untuk penyeragaman kadar air. Pati basah tersebut kemudian diberikan perlakuan HMT dengan cara dipanaskan dalam otoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit dan 60 menit untuk memperoleh pati modifikasi. Selanjutnya, sampel pati garut dari perlakuan tersebut dikeringkan dengan tray dryer selama 2 jam pada suhu 500C Pati garut alami Semprotkan aquades hingga kadar air 20% b/v) Pati lembab ditempatkan dalam plastik HDPE, diamkan 1 jam Diautoklaf 1210C selama 15 menit dan 60 menit
Didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam
Dikeringkan dengan tray dryer, 500C, 2 jam
Penggilingan dengan blender
Pengayakan 80 mesh
Pati termodifikasi HMT Gambar 5 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan HMT Analisis Kadar Air (925.10 AOAC 2000) Kadar air sampel pati garut dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu 130 + 3°C
14 selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan yang sudah kering ditimbang sebelum digunakan. Sekitar 2.0 g sampel pati garut ditimbang ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 130 °C selama 1 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 1): Kadar air (%bb) = {[a – (b – c)] / a } x 100 (1) dengan : a = bobot sampel awal (g); b = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g); c = bobot cawan kosong (g). Analisis Kadar Abu (923.03 AOAC 1998) Kadar abu pati garut dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan porselin kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator. Cawan porselin kering tersebut ditimbang dan dicatat bobotnya sebelum digunakan. Sebanyak 3.0-5.0 g sampel pati garut ditimbang di dalam cawan porselen tersebut dan dimasukkan dalam tanur listrik bersuhu 550°C sampai pengabuan sempurna. Setelah pengabuan selesai, cawan contoh didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi kembali hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (persamaan 2 dan 3): Kadar abu (%bb) = (b / a) x 100 (2) Kadar abu (%bk) = [kadar abu (%bb)/ (100 – kadar air)] x 100 (3) dengan: a = bobot sampel awal (g); b= bobot abu (g). Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992) Kadar lemak pati garut dianalisis dengan menggunakan soxhlet. Labu lemak dikeringkan di dalam oven 105°C selama 15 menit, didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebelum digunakan. Sebanyak 1.0-2.0 g sampel pati garut dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas yang berisi sampel disumbat dengan kapas, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80°C selama ± 1 jam. Selongsong kertas tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak. Lemak dalam sampel diekstraksi dengan heksana selama ± 6 jam. Heksana disuling sehingga diperoleh ekstrak lemak. Ekstrak lemak di dalam labu lemak kemudian dikeringkan dalam oven 105°C selama 12 jam, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang beratnya. Pengeringan diulangi sampai diperoleh bobot tetap. Kadar lemak dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan menggunakan rumus sebagai berikut (persamaan 4 dan 5) : Kadar Lemak (%bb) = [(a – b) / c] x 100 (4) Kadar Lemak (%bk) = [kadar lemak (%bb) / (100 – kadar air)] (5) dengan: a = bobot labu lemak setelah proses ekstraksi (g); b = bobot labu lemak sebelum proses ekstraksi (g); dan c = bobot sampel (g). Kadar Protein (960.52 AOAC 1998) Kadar protein pati garut dianalisis dengan menggunakan metode Kjeldahl. Sebanyak 100.0-250.0 mg sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan dengan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40.0 ± 10 mg HgO, 2.0 ± 0.1 mL H2SO4 pekat, dan 2-3 butir batu didih. Sampel dipanaskan dengan kenaikan suhu secara
15 bertahap sampai mendidih selama 1-1.5 jam sampai diperoleh cairan jernih. Setelah didinginkan, isi labu dipindahkan ke dalam labu destilasi dengan dibilas menggunakan 1-2.0 mL air destilata sebanyak 5-6 kali. Air cucian dipindahkan ke labu destilasi kemudian ditambahkan dengan 8.0-10.0 mL larutan 60% NaOH5% Na2S2O3. Di tempat yang terpisah, 5.0 mL larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator merah metil-biru metil dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Labu Erlenmeyer kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di bawah larutan H3BO3. Proses destilasi dilakukan sampai diperoleh sekitar 15.0 mL destilat. Destilat yang diperoleh diencerkan sampai 50.0 mL dengan akuades, kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Volume larutan HCl 0.02 N terstandar yang digunakan untuk titrasi dicatat. Tahap yang sama dilakukan untuk larutan blanko sehingga diperoleh volume larutan HCl 0.02N untuk blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan kadar nitrogen (%N) (persamaan 6). Kadar protein dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan menggunakan faktor koreksi 6.25 sebagai berikut (persamaan 7 dan 8): Kadar N (%) = {[(V1–V2) x NHCl x 14.007 ] / w } x 100 (6) dengan : V1= volume larutan HCl untuk sampel (mL); V2=volume larutan HCl untuk blanko (mL); NHCl= konsentrasi larutan HCl (0,02N); w=berat sampel (mg). Kadar Protein (%bb) = %N x Faktor konversi (6.25) (7) Kadar Protein (%bk) = Kadar Protein (%bb) / (100 – kadar air) (8) Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan metode by difference (persamaan 9 dan 10). Kadar Karbohidrat (%bb) = 100 – ( % air + % abu + % lemak + % protein ) (9) Kadar Karbohidrat (%bk) = kadar karbohidrat (%bb) / (100 – kadar air) (10) Analisis Pati Resisten (Goñi et al. 1996) Kadar pati resisten sampel dianalisis dengan metode spektroskopi yang mencakup tahapan pembuatan kurva standar glukosa dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Glukosa Larutan glukosa murni (0.5 mL) yang masing-masing mengandung 0.0, 10.0, 20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 μg larutan glukosa ditempatkan dalam tabung reaksi. Ke dalam masing-masing tabung reaksi tersebut ditambahkan 0.5 mL fenol 5 %, kemudian diaduk menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi tersebut. Larutan tersebut didiamkan selama 10 menit, kemudian diaduk lagi dengan vorteks. Sampel disimpan pada suhu ruang selama 20 menit sebelum diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan absorbansi (pada sumbu y). Analisis Sampel Sebanyak 50.0 mg pati dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, lalu ditambahkan 5.0 mL larutan buffer KCl-HCl pH 1.5 dan 0.1 mL pepsin (4000 U/10 mL buffer KCl-HCl). Setelah diaduk menggunakan vorteks, sampel diinkubasi pada
16 suhu 400C selama 60 menit pada penangas bergoyang. Sampel kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sebanyak 4.5 mL larutan buffer fosfat pH 6.9 dan 0.5 mL larutan α-amilase (15.2 mg α-amilase per mL buffer fosfat) ditambahkan ke dalam sampel. Sampel kemudian diaduk dengan vorteks dan diinkubasi pada suhu 370C selama 16 jam sambil terus digoyang. Setelah sampel disentrifus (15 menit, 3000 g), bagian residu diambil dan dicuci dengan 10.0 mL akuades. Proses sentrifusi diulang lagi dengan cara yang sama seperti di atas dan residunya kembali diambil dan dicuci. Ke dalam residu sampel di atas ditambahkan 3.0 mL akuades dan 1.5 mL larutan KOH 4 M, lalu diaduk dengan menggunakan vorteks dan didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Secara berturut-turut ke dalam sampel tersebut ditambahkan 2.75 mL 2 M HCl dan 1.5 mL buffer sodium asetat pH 4.75 dan 40 µl enzim amiloglukosidase. Sebelum diinkubasi dalam penangas air bergoyang (suhu 600C selama 45 menit), sampel diaduk menggunakan vorteks. Sampel kemudian disentrifus (15 menit, 3000 g), kemudian bagian supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam labu takar. Bagian residu dicuci dengan 10 mL akuades, lalu disentrifus kembali. Bagian supernatan kemudian dicampurkan dengan supernatan sebelumnya. Sebanyak 25.0-1000.0 mL sampel diencerkan dengan akuades (tingkat pengenceran tergantung pada kandungan pati resisten dalam sampel). Kadar pati resisten (%bb) dihitung dengan mengalikan kadar glukosa dalam sampel dengan faktor 0.9. Nilai g/100g pati = [kadar pati resisten (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Analisis Gula Pereduksi (Takeda et al. 1993) Kadar gula pereduksi sampel dianalisis dengan metode Park-Johnson yang terdiri atas tahapan pembuatan kurva standar glukosa, persiapan sampel, dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Larutan Glukosa Sebanyak 1.0 mL larutan glukosa murni yang masing-masing mengandung 0.0, 2.0, 4.0, 6.0, 8.0, dan 10.0 μg glukosa dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 0.5 mL buffer sodium karbonat-sodium hidrogen karbonat dan 0.5 mL larutan potasium ferisianida. Sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit kemudian didinginkan dalam air mengalir selama 10 menit. Selanjutnya 5.0 mL larutan ferri-amonium sulfat ditambahkan ke dalam sampel, kemudian diaduk menggunakan vorteks. Sampel diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit. Sampel diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 715 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan absorbansi (pada sumbu y). Persiapan Sampel Sebanyak 1.0 g pati dimasukkan secara perlahan ke dalam 100.0 mL etanol 95 % dan dihomogenkan dengan menggunakan pengaduk magnetik. Suspensi pati tersebut kemudian disaring menggunakan kertas saring. Kertas yang berisi residu pati didiamkan semalam di dalam desikator. Setelah kering, pati yang terdapat dalam kertas saring diambil, lalu dihaluskan dengan mortar. Sebanyak 40.0 mg pati yang telah dihaluskan ditambahkan dengan 20.0 mL akuades, kemudian dipanaskan dalam otoklaf 105 0C selama 1 jam. Setelah pemanasan selesai, pasta
17 pati didinginkan pada suhu kamar dan dilakukan 40 kali pengenceran sebelum digunakan. Analisis Sampel Sebanyak 1,0 mL larutan pati dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 0,5 mL buffer sodium karbonat-sodium hidrogen karbonat dan 0,5 mL larutan kalium ferisianida. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit kemudian didinginkan dalam air mengalir selama 10 menit. Sebanyak 2,5 mL larutan feriamonium sulfat ditambahkan ke dalam larutan sampel kemudian diaduk dengan vorteks. Larutan sampel tersebut lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit dan diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 715 nm. Gula pereduksi (dalam persen) ditentukan dengan menggunakan persamaan kurva standar larutan glukosa. Nilai g/100g pati = [kadar gula pereduksi (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Analisis Daya Cerna Pati Secara In Vitro (Anderson et al. 2002) Daya cerna pati in vitro dianalisis secara spektroskopi yang mencakup tahapan pembuatan kurva standar maltosa dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Larutan Maltosa Sebanyak 1.0 mL larutan maltosa standar yang mengandung 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 mg maltosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, kemudian ditambahkan masing-masing 2.0 mL larutan dinitrosalisilat (DNS). Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 10 mL akuades, kemudian diaduk hingga homogen dengan menggunakan vorteks. Sampel diukur absorbansinya dengan spektrotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Analisis Sampel Sebanyak 1.0 g sampel pati garut dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, lalu ditambahkan dengan 100.0 mL akuades. Labu erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan dipanaskan dalam penangas air hingga mencapai suhu 900C sambil terus diaduk, lalu didinginkan. Sebanyak 2.0 mL larutan sampel tersebut dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3.0 mL akuades dan 5.0 mL larutan buffer fosfat pH 7.0. Masing-masing sampel dibuat dua kali, yang salah satunya digunakan sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasikan pada suhu 370C selama 15 menit. Larutan sampel dan blanko diangkat dan ditambahkan 5.0 mL larutan enzim α-amilase (1 mg/mL dalam larutan buffer fosfat pH 7.0). Kedua tabung tersebut diinkubasi kembali selama 30 menit, lalu dipindahkan dalam tabung reaksi bertutup berisi 2.0 mL larutan DNS. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Sebanyak 10.0 mL akuades kemudian ditambahkan, lalu diaduk hingga homogen menggunakan vorteks. Larutan sampel dan blanko tersebut kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Daya cerna pati (dalam persen) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut Daya cerna pati = [(A – a)/ (B – b)] x 100 A = kadar maltosa sampel a = kadar maltosa blanko sampel B = kadar maltosa pati murni
18 b = kadar maltosa blanko pati murni Nilai g/100g pati = [Daya cerna pati (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Kadar Total Gula dan Pati ( Dubois et al. 1956) Kadar total gula dan pati sampel pati garut dianalisis dengan menggunakan metode fenol sulfat yang mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan glukosa, persiapan sampel, dan analisis sebagai berikut : Pembuatan Kurva Standar Larutan Glukosa Larutan glukosa murni (0.5 mL) yang masing-masing mengandung 0.0, 10.0, 20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 μg larutan glukosa ditempatkan dalam tabung reaksi. Ke dalam masing-masing tabung reaksi tersebut ditambahkan 0.5 mL fenol 5 %, kemudian diaduk menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi tersebut. Larutan tersebut didiamkan selama 10 menit, kemudian diaduk lagi dengan vorteks. Sampel disimpan pada suhu ruang selama 20 menit sebelum diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan absorbansi (pada sumbu y). Persiapan Sampel Analisis Total Gula Sebanyak 1 g pati dimasukkan secara perlahan ke dalam 100 mL etanol 95% dan dihomogenkan menggunakan pengaduk magnetik. Suspensi pati kemudian disaring menggunakan kertas saring. Kertas yang berisi residu pati didiamkan semalam dalam desikator. Residu pati ditimbang sehingga diketahui beratnya untuk menghitung pati pada sampel sebelum mengalami pencucian dengan etanol. Setelah pati kering, pati yang terdapat dalam kertas saring diambil, kemudian dihaluskan dengan mortar. Sebanyak 40 mg pati yang telah dihaluskan ditambah dengan 20 ml akuades, lalu diotoklaf pada suhu 1050C selama 1 jam. Setelah diotoklaf, sampel didinginkan pada suhu kamar lalu diencerkan sebanyak 40 kali. Analisis Sampel Sebanyak 0.5 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0.5 mL fenol 5 % dan dihomogenkan menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi. Larutan sampel kemudian didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang, diaduk dengan vorteks dan didiamkan kembali selama 20 menit pada suhu ruang. Nilai absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Kadar total gula (%bb) diperoleh dari kurva standar, sedangkan kadar pati (%bb) dihitung dengan mengalikan kadar total gula dengan faktor 0,9. Analisis Kadar Amilosa ( IRRI 1978) Kadar amilosa dianalisis dengan metode spektroskopi. Analisis kadar amilosa mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan amilosa dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Amilosa Sebanyak 40.0 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam labu tersebut kemudian ditambahkan 1.0 mL etanol 95 % dan 9.0 mL larutan NaOH 1 N. Labu takar kemudian dipanaskan dalam penangas air pada
19 suhu 95 0C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel amilosa yang terbentuk ditambah dengan akuades sampai tanda tera. Larutan amilosa ini digunakan sebagai larutan stok amilosa standar. Dari larutan stok amilosa standar tersebut dipipet 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, dan 5.0 mL untuk dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N. Sebanyak 2.0 mL larutan iod (0.2 g I2 dan 2.0 g KI yang dilarutkan dalam 100.0 mL air destilata) dipipet ke dalam setiap labu, lalu ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan dibiarkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 625 nm. Persamaan dan kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). Analisis Sampel Sebanyak 100.0 mg sampel pati garut dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambahkan 1.0 mL etanol 95 % dan 9.0 mL larutan NaOH 1 N. Labu takar ini lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dari labu takar ini dipipet 5.0 mL larutan gel pati dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N dan 2.0 mL larutan iod, lalu ditambah akuades hingga tanda tera. Larutan sampel ini dibiarkan selama 20 menit pada suhu ruang sebelum diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa (dalam persen) ditentukan dengan menggunakan persamaan kurva standar larutan amilosa. Nilai g/100g pati = [kadar amilosa (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Analisis Statistik Analisis sidik ragam dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaaan di dalam variabel-variabel yang diuji dalam hal ini adalah karakteristik kimia terhadap perlakuan modifikasi pada pati garut. Apabila nilai signifikansi (α) yang dihasilkan dari output ANOVA menunjukkan nilai kurang dari 5% (0.05), maka ada perbedaan yang signifikan antar variabel yang diuji, dan sebaliknya. Αlfa (α) merupakan besarnya kesalahan (error) yang masih bisa diterima dalam pengujian. Setelah ditemukan adanya perbedaan yang signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan. Output yang dihasilkan berupa subset-subset dimana sampel-sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sedangkan sampel-sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki perbedaan yang signifikan pada α = 0.05. Analisis sidik ragam ini menggunakan software SPSS 20.00.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Pati Garut Alami dan Termodifikasi Hidrolisis Asam Komposisi kimia hasil proksimat pada pati garut alami (NA) dan termodifikasi hidrolisis asam (HA) disajikan dalam Tabel 2. Pati garut alami (NA)
20 mengandung kadar karbohidrat (by difference) yang tinggi, yaitu 98.75%. Pati garut termodifikasi hidrolisis asam (HA) juga mengandung karbohidrat (by difference) yang tinggi, yaitu 98.63%. Pati garut alami (NA) dan termodifikasi hidrolisis asam (HA) memiliki kadar total pati yang tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 98.10% dan 95.42% (Tabel 2). Pati garut alami (NA) mengandung kadar amilosa sebesar 24.50% dan 73.60% amilopektin (Tabel 2). Sementara, pada pati garut termodifikasi hidrolisis asam (HA) mengandung kadar amilosa yang lebih tinggi daripada pati garut alami, yaitu sebesar 30.04%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pati dengan kandungan amilosa yang cukup tinggi berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pati resisten tipe III (RS3) (Lehmann et al. 2003; Shu et al. 2007). Pati garut alami (NA) memiliki kadar pati resisten sebesar 2.15% (Tabel 2). Pati resisten dalam pati garut alami ini termasuk jenis pati resisten tipe II (RS2) (Faridah 2011). Sebagai perbandingan, pati pisang memiliki kadar pati resisten sebesar 1.51% (Aparicio-Saguilan et al. 2005), sedangkan pati beras tinggi amilosa memiliki kadar pati resisten sebesar 3.98% (Pongjanta et al. 2009). Tabel 2 Komposisi kimia pati garut alami dan termodifikasi hidrolisis asam Komponen
NA
Kadar (%)1 NA2 HA
Proksimat 11.48 Air 11.26 6.46 0.34 Abu 0.38 1.03 0.24 Protein 0.19 0.06 0.68 Lemak 0.55 0.28 98.74 Karbohidrat (by difference) 98.75 98.63 98.10 Pati 98.10 95.42 24.64 Amilosa 24.50 30.04 75.36 Amilopektin 73.60 65.38 2.12 Pati Resisten 2.15 3.60 4.94 Gula Pereduksi 4.92 5.08 84.35 Daya cerna pati 84.92 83.04 1 Keterangan : Kadar dinyatakan dalam basis kering, kecuali kadar air dalam basis basah. NA = Pati garut alami; HA = Pati garut termodifikasi hidrolisis asam. Sumber : 2 Faridah et al. 2014 Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Peningkatan Kadar Pati Resisten Kadar pati resisten pada pati garut meningkat pada semua perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 6, Tabel 3). Pati garut alami memiliki kadar pati resisten yang cukup rendah yaitu 2.15%. Perlakuan autoclaving-cooling sebanyak 3 siklus pada pati garut alami (AC) meningkatkan kadar pati resisten sebesar 6.5 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami.
21 Jumlah siklus autoclaving-cooling mempengaruhi kadar pati resisten yang dihasilkan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siljestrom dan Asp (1985) yang melaporkan bahwa perlakuan autoclaving-cooling yang diberikan pada pati gandum dapat meningkatkan kadar pati resisten sebesar 9.0 kali lipat dibandingkan dengan pati gandum alami. Demikian juga pati resisten dari biji barley mengalami peningkatan kadar RS3 nya dari 6.00% menjadi 26.00% setelah mengalami perlakuan 20 kali siklus autoclaving-cooling (Szczodrak dan Pomeranz 1991). Kadar RS3 hasil modifikasi pati jagung meningkat dari 4.10% (1 siklus autoclaving-cooling) menjadi 11.20% (6 siklus autoclaving-cooling). Peneliti lain telah melaporkan bahwa siklus autolaving-cooling sebanyak 3 kali dapat meningkatkan kadar RS3, yaitu pada pati gandum meningkat kadar RS3 nya dari 6.20% menjadi 7.80% (Bjorck et al. 1987), kadar RS3 pati barley meningkat dari 3.80% menjadi 7.00% (Vasanthan dan Bhatty 1998), dan kadar RS3 pada pati pisang juga meningkat dari 1.51% menjadi 16.02% (Aparicio-Saguilan et al. 2005). Perlakuan hidrolisis asam menggunakan HCl 2.2N selama 2 jam (HA) yang diberikan pada pati garut hanya meningkatkan kadar pati resistennya sebesar 1.7 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Apabila perlakuan hidrolisis asam dan tiga siklus autoclaving‒cooling dikombinasikan (HAAC), maka terjadi peningkatan kadar pati resisten pada pati garut modifikasi tersebut hingga 9.3 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aparicio-Saguilan et al. (2005), pati pisang yang mengalami hidrolisis asam menggunakan HCl 1M selama 6 jam dan proses autoclavingcooling 3 siklus terbukti meningkatkan kadar RS3 dari 1.50% menjadi 19.34%. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Zhao dan Lin (2009) mengenai pati jagung. Pati jagung yang mengalami hidrolisis dengan asam sitrat 0.1M selama 24 jam dan proses 3 siklus autoclaving-cooling (1210C selama 20 menit dan 40C selama 24 jam) menghasilkan kadar RS3 sebesar 8.60-11.00%. Pati garut yang diberi perlakuan HMT pada suhu 121 0C selama 15 menit (HMT15’) dan 60 menit (HMT 60’) dengan kadar air sebesar 20% mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 3.3 dan 5.3 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chung et al. (2009) yang melaporkan bahwa pati jagung, pati pea, dan pati lentil yang diberi perlakuan HMT pada suhu 1200 C selama 2 jam dengan kadar air sebesar 30%, mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 2.7, 3.2, dan 3.0 kali lipat dibandingkan dengan pati native pada masing-masing sampel. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hung et al. (2015) yang melaporkan bahwa pati beras kaya amilosa, pati beras normal dan pati beras kaya amilopektin yang diberi perlakuan HMT pada suhu 1100C selama 8 jam dengan kadar air sebesar 30% mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 3.6, 3.7, dan 1.8 kali lipat dibandingkan dengan pati beras native pada masing-masing sampel. Li et al. (2011) juga meneliti mengenai pati kacang hijau. Pati kacang hijau yang diberikan perlakuan HMT pada suhu 1200C selama 12 jam dengan kadar air sebesar 20% mengalami peningkatan kadar pati resisten sebesar 4.0 kali lipat dibandingkan dengan pati kacang hijau native. Pati garut yang diberi perlakuan kombinasi hidrolisis asam dan HMT 15 menit serta 60 menit (HA-HMT15’ dan HA-HMT60’) mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 4.2 dan 6.0 kali lipat dibandingkan
22 dengan pati garut alami. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hung et al. (2015) yang melaporkan bahwa pati beras kaya amilosa, pati beras normal dan pati beras kaya amilopektin yang diberi perlakuan kombinasi hidrolisis asam dengan asam sitrat 0.2M dan HMT pada suhu 1100C selama 8 jam dengan kadar air sebesar 30% mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 6.2, 5.6, dan 3.5 kali lipat dibandingkan dengan pati beras native pada masingmasing sampel. Perlakuan kombinasi tiga siklus autoclaving-cooling dan HMT 15 menit serta 60 menit (AC-HMT15’ dan AC–HMT60’) yang diberikan pada pati garut dapat meningkatkan kadar pati resistennya berturut-turut sebesar 8.3 dan 11.6 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Apabila pati garut alami tersebut dikombinasikan antara perlakuan hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling tiga siklus, dan proses HMT dengan pemanasan selama 15 menit dan 60 menit (HAAC‒HMT15’ dan HAAC‒HMT60’) maka dapat meningkatkan kadar pati resisten yang lebih tinggi yaitu berturut-turut sebesar 11.8 dan 13.8 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami.
% Pati Resisten (%BK)1
35.00
29.63l
30.00
25.34k
24.90j 25.00
17.88h
20.00
15.00 10.00 5.00
12.93f
11.34e
19.90i
13.88g
9.05d
7.04c 3.60b
2.15a
0.00 NA
NA HMT 15'
NA HMT 60'
HA
HA HMT 15'
HA HMT 60'
AC
AC HMT 15'
AC HAAC HAAC HAAC HMT HMT HMT 60' 15' 60'
Perlakuan Sampel Gambar 6
Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap kadar pati resisten pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; HMT15’= HMT dengan pemanasan selama 15 menit; HMT 60’= HMT dengan pemanasan selama 60 menit. Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan : 1 Kadar pati resisten dalam satuan g/100g berat sampel
Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Peningkatan Kadar Gula Pereduksi Analisis gula pereduksi merupakan salah satu parameter untuk mengetahui seberapa tinggi hidrolisis pati terjadi. Hidrolisis pati terkait erat dengan pemutusan pati menjadi rantai glukan dengan ujung pereduksi (reducing end). Jumlah rantai glukan dari hasil hidrolisis pati yang semakin banyak menunjukkan kadar gula
23 pereduksi yang semakin tinggi. Kadar gula pereduksi pati garut meningkat pada semua perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 7, Tabel 4). Pati garut alami mengandung kadar gula pereduksi sebesar 4.92%. Pati garut yang mengalami modifikasi dengan hidrolisis asam dan proses autoclaving-cooling (HAAC) memiliki kadar gula pereduksi yang lebih tinggi (8.72%) dibandingkan dengan pati garut yang hanya mengalami hidrolisis asam (HA) (5.08%) atau hanya proses autoclaving-cooling (AC) (6.21%). Apabila dikombinasikan antara hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling, dan perlakuan HMT, maka kadar gula pereduksi menjadi lebih meningkat yaitu 9.63% (untuk HAAC‒HMT15’) dan 10.20% (untuk HAAC ‒HMT60’). Tabel 3 Kadar pati resisten pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati Kadar pati resisten g/100g berat sampel g/100g pati1 NA 2.15 2.19 HMT15' 7.04 7.58 HMT60' 11.34 12.77 HA 3.60 3.77 HA HMT15' 9.05 10.00 HA HMT60' 12.93 14.91 AC 13.88 16.20 AC HMT15' 17.88 21.87 AC HMT60' 24.90 32.72 HAAC 19.90 25.20 HAAC HMT15' 25.34 33.78 HAAC HMT60' 29.63 41.57 1 Keterangan : g/100g pati = [kadar pati resisten (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Perlakuan sampel
Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Penurunan Daya Cerna Pati Daya cerna pati garut mengalami penurunan pada setiap perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 8, Tabel 5). Pati garut yang mengalami modifikasi dengan hidrolisis asam dan proses autoclaving-cooling (HAAC) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah (62.94%) dibandingkan dengan pati garut yang hanya mengalami hidrolisis asam (HA) (83.04%) atau hanya proses autoclaving-cooling (AC) (71.49%). Apabila dikombinasikan antara hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling, dan perlakuan HMT, maka daya cerna pati menjadi lebih rendah yaitu 55.82% (HAAC-HMT15’) dan 54.12% (HAAC-HMT60’).
24
% Gula Pereduksi (%BK)1
12.00
9.28j
10.00
10.20l
8.72i
7.36h
8.00 6.00
9.63k
4.92a
5.38c
5.78e
5.08b
5.57d
6.06f 6.21g
4.00 2.00 0.00 NA
NA HMT 15'
NA HMT 60'
HA
HA HMT 15'
HA HMT 60'
AC
AC HMT 15'
AC HAAC HAAC HAAC HMT HMT HMT 60' 15' 60'
Perlakuan Sampel Gambar 7 Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap kadar gula pereduksi pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; HMT15’= HMT dengan pemanasan selama 15 menit; HMT 60’= HMT dengan pemanasan selama 60 menit Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan : 1 Kadar gula pereduksi dalam satuan g/100g berat sampel
Tabel 4 Kadar gula pereduksi pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati Perlakuan sampel NA HMT15' HMT60' HA HA HMT15' HA HMT60' AC AC HMT15' AC HMT60' HAAC HAAC HMT15' HAAC HMT60'
Kadar gula pereduksi g/100g berat sampel g/100g pati 4.92 5.02 5.38 5.79 5.78 6.51 5.08 5.32 5.57 6.16 6.06 6.99 6.21 7.25 7.36 9.00 9.28 12.19 8.72 11.04 9.63 12.84 10.20 14.31
25 % Daya Cerna Pati (%BK)1
90.00
84.92l 80.14j
80.00
83.04k 75.77h
77.91i
72.82g 71.49f
70.00
66.05e 57.65c
60.00
62.94d 55.82b 54.12a
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 NA
NA HMT 15'
NA HMT 60'
HA
HA HMT 15'
HA HMT 60'
AC
AC HMT 15'
AC HAAC HAAC HAAC HMT HMT HMT 60' 15' 60'
Perlakuan Sampel Gambar 8 Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap daya cerna pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; HMT15’= HMT dengan pemanasan selama 15 menit; HMT 60’= HMT dengan pemanasan selama 60 menit Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan : 1 Daya cerna pati dalam satuan g/100g berat sampel Tabel 5 Daya cerna pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100pati Perlakuan sampel NA HMT15' HMT60' HA HA HMT15' HA HMT60' AC AC HMT15' AC HMT60' HAAC HAAC HMT15' HAAC HMT60'
Daya cerna pati g/100g berat sampel g/100g pati 84.92 86.56 80.14 86.27 75.77 85.34 83.04 87.03 77.91 86.13 72.82 83.99 71.49 83.46 66.05 80.78 57.65 75.76 62.94 79.71 55.82 74.41 54.12 75.93
Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Total Pati, Amilosa, dan Amilopektin Total pati pada pati garut juga mengalami penurunan terhadap semua perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 9).
26 Kadar pati pada pati garut alami sebesar 98.10%. Pati garut yang mengalami modifikasi dengan hidrolisis asam dan proses autoclaving-cooling (HAAC) memiliki kandungan total pati yang lebih rendah (78.96%) dibandingkan dengan pati garut yang hanya mengalami hidrolisis asam (HA) (95.42%) atau hanya proses autoclaving-cooling (AC) (85.66%). Apabila dikombinasikan antara hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling, dan perlakuan HMT, maka kandungan total pati menjadi lebih rendah yaitu 75.02% (HAAC-HMT15’) dan 71.28% (HAAC-HMT60’).
Total Pati (%BK)1
120.00 100.00
98.10l
k
92.89j 88.79h 95.42 90.46i 86.70g 85.66f 81.76e
80.00
d
76.10c 78.96 75.02b 71.28a
60.00 40.00 20.00 0.00 NA
NA HMT 15'
NA HMT 60'
HA
HA HMT 15'
HA HMT 60'
AC
AC HMT 15'
AC HAAC HAAC HAAC HMT HMT HMT 60' 15' 60'
Perlakuan Sampel Gambar 9 Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap kadar total pati pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; HMT15’= HMT dengan pemanasan selama 15 menit; HMT 60’= HMT dengan pemanasan selama 60 menit Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan: 1 Kadar total pati dalam satuan g/100g berat sampel Kadar amilosa pati garut mengalami peningkatan pada setiap perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 10, Tabel 6). Pati garut yang mengalami modifikasi dengan hidrolisis asam dan proses autoclaving-cooling (HAAC) memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi (33.84%) dibandingkan dengan pati garut yang hanya mengalami hidrolisis asam (HA) (30.04%) atau hanya proses autoclaving-cooling (AC) (28.24%). Pati garut yang diberi perlakuan hidrolisis asam (HA) memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati garut yang diberi perlakuan tiga siklus autoclaving-cooling (AC). Perlakuan HMT yang diberikan pada pati garut dapat meningkatkan kadar amilosa sebesar 1.1 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sun et al. (2013) yang melaporkan bahwa beras jenis indica yang diberi perlakuan HMT pada suhu 1100C selama 7 jam dengan kadar air sebesar 28% mengalami peningkatan kadar amilosa sebesar 1.2 kali lipat dibandingkan dengan beras native indica. Apabila dikombinasikan antara hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling, dan perlakuan HMT, maka kadar
27
% Kadar Amilosa (%BK)1
amilosa menjadi lebih meningkat yaitu 34.86% (HAAC-HMT15’) dan 35.83% (HAAC-HMT60’). 40.00 35.00 30.00 25.00
30.04f 31.23 24.50a 25.77
h
33.84j 34.86
32.84i e 28.24d 29.23
b 26.63c
k 35.83l
30.82g
20.00 15.00
10.00 5.00 0.00 NA
NA HMT 15'
NA HMT 60'
HA
HA HMT 15'
HA HMT 60'
AC
AC HMT 15'
AC HAAC HAAC HAAC HMT HMT HMT 60' 15' 60'
Perlakuan Sampel Gambar 10 Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap kadar amilosa pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; HMT15’= HMT dengan pemanasan selama 15 menit; HMT 60’= HMT dengan pemanasan selama 60 menit Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan: 1 Kadar amilosa dalam satuan g/100g berat sampel Tabel 6 Kadar amilosa pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100pati Perlakuan sampel NA HMT15' HMT60' HA HA HMT15' HA HMT60' AC AC HMT15' AC HMT60' HAAC HAAC HMT15' HAAC HMT60'
Kadar amilosa g/100g berat sampel g/100g pati 24.50 24.97 25.77 27.74 26.63 29.99 30.04 31.48 31.23 34.52 32.84 37.88 28.24 32.97 29.23 35.75 30.82 40.50 33.84 42.86 34.86 46.47 35.83 50.27
28 Kandungan amilopektin diperoleh dengan cara menghitung selisih antara kadar total pati dengan amilosa. Kadar amilopektin pati garut alami lebih tinggi sebesar 73.60% dibandingkan dengan pati garut yang telah dimodifikasi berkisar antara 35.45% ‒ 67.12%. Hasil analisis amilopektin dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektina. Perlakuan Sampel Native HMT 15' HMT 60' HA HA‒HMT 15' HA‒HMT 60' AC AC‒HMT 15' AC‒HMT 60' HAAC HAAC‒HMT 15' HAAC‒HMT 60'
Total Pati (%BK) 98.10 92.89 88.79 95.42 90.46 86.70 85.66 81.76 76.10 78.96 75.02 71.28
Amilosa (%BK) 24.50 25.77 26.63 30.04 31.23 32.84 28.24 29.23 30.82 33.84 34.86 35.83
Amilopektin (%BK) 73.60 67.12 62.16 65.38 59.23 53.86 57.42 52.53 45.28 45.12 40.16 35.45
Keterangan : a Seluruh data dilaporkan berdasarkan basis kering. HMT: heat moisture treatment, HA: hidrolisis asam, AC: autoclaving-cooling, 15’ : pemanasan selama 15 menit, 60’ : pemanasan selama 60 menit. Hubungan antara kadar pati resisten, gula pereduksi, kadar amilosa, daya cerna pati, dan total pati Pati garut yang diberi perlakuan modifikasi hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan HMT mengalami peningkatan kadar pati resisten, kadar amilosa, dan gula pereduksi, serta penurunan daya cerna pati dan total pati. Pada proses hidrolisis asam terjadi degradasi pada daerah amorf karena asam berdifusi ke dalam granula pati dan menyerang atom oksigen pada ikatan glikosidik yang terdapat pada α‒1,4 atau α‒1,6 sehingga menghasilkan senyawa intermediet karbokationik yang tidak stabil serta dapat bereaksi dengan air dalam granula pati (Chung dan Lai 2007). Hasil yang diperoleh dari proses hidrolisis asam terhadap granula pati tersebut yaitu fraksi amilosa rantai pendek berbobot molekul rendah dalam jumlah tinggi (Faridah et al. 2010). Bertambahnya fraksi amilosa rantai pendek akan memudahkan pati mengalami retrogradasi saat dilakukan proses tiga siklus autoclaving‒cooling (Leong et al. 2007; Koksel et al. 2007; Mutungi et al. 2009). Retrogradasi mudah terjadi pada sebagian rantai amilosa sebagai struktur linear yang memfasilitasi ikatan silang dengan adanya ikatan hidrogen. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Pada siklus autoclaving‒cooling terjadi penyusunan ulang molekul-molekul pati antara amilosa-amilosa, dan amilosa-amilopektin yang berakibat pada penguatan ikatan hidrogen pada pati (Faridah 2011). Fraksi amilosa akan berikatan dengan fraksi amilosa lainnya melalui ikatan hidrogen membentuk
29 struktur double helix. Struktur double helix berikatan dengan struktur double helix lainnya membentuk kristalit sehingga terbentuk fraksi amilosa rekristalisasi, akibatnya pati menjadi lebih sulit dicerna/dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Haralampu 2000; Mahadevamma et al. 2003; Shin et al. 2004; Adebowale et al. 2005; Lorlowhakarn dan Naivikul 2006). Pati garut alami (NA) dan pati garut termodifikasi hidrolisis asam (HA) memiliki pH sebesar 6.2‒6.4, sehingga pada siklus autoclaving‒cooling ini juga terjadi hidrolisis amilosa atau amilopektin rantai terluar di daerah kristalin akibat adanya perlakuan panas pada suasana asam. Ketika perlakuan hidrolisis asam dan proses autoclaving‒cooling tiga siklus dikombinasikan (HAAC), maka depolimerasi amilosa dan amilopektin menjadi amilosa rantai pendek akan lebih mudah karena pati garut tersebut telah diberi perlakuan hidrolisis asam sebelum diberikan perlakuan autoclaving (Faridah et al. 2010; Vasanthan dan Bhatty 1998; Hung et al. 2015). Sebagai akibatnya, proses pembentukan RS3 lebih banyak dibandingkan dengan pati garut yang hanya diberi perlakuan hidrolisis asam (HA) atau hanya diberi proses autoclaving-cooling (AC). Meningkatnya kandungan amilosa pada pati garut termodifikasi pada saat proses autoclaving disebabkan oleh terjadinya degradasi amilosa rantai panjang menjadi amilosa rantai pendek yang berakibat pada peningkatan kandungan amilosa pada pati garut termodifikasi tersebut (Shin et al. 2004). Kemungkinan lain, amilopektin rantai pendek terluar pada bagian kristalin terdegradasi sehingga bagian amilopektin tersebut terukur sebagai amilosa sehingga kadar amilosa yang terukur pada pati garut termodifikasi tersebut semakin meningkat (Gambar 10). Fraksi amilosa rantai pendek yang dihasilkan dari modifikasi tiga siklus autoclaving-cooling maupun kombinasi antara hidrolisis asam dan tiga siklus autoclaving‒cooling juga terukur sebagai gula pereduksi sehingga kadar gula pereduksi yang terukur pada pati garut termodifikasi tersebut juga semakin meningkat (Gambar 7). Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar pati resisten berkorelasi positif dengan kadar gula pereduksi (R2 = 0.947, α=0.01) (Gambar 11) dan kadar amilosa (r = 0.753, α=0.01) (Tabel 8). Kandungan amilosa pati garut yang diberi perlakuan hidrolisis asam (HA) lebih tinggi (30.04%) dibandingkan dengan kandungan amilosa pati garut yang diberi perlakuan tiga siklus autoclaving-cooling (AC) (28.24%). Hal ini berkaitan dengan struktur pati garut yang tergolong kristalin tipe A yang ditandai dengan struktur yang lebih rapat di bagian heliks pada molekul amilopektin di daerah amorf. Dengan struktur heliks yang lebih rapat tersebut, maka jumlah ikatan α-1,6 dan jumlah rantai per klaster menjadi lebih banyak (Srichuwong et al. 2005). Karena hidrolisis asam lebih mudah menyerang daerah amorf, maka akan lebih banyak titik percabangan α-1,6 yang dapat dihidrolisis asam dan menyebabkan fraksi amilosa rantai pendek berbobot molekul rendah yang terbentuk lebih banyak apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa hidrolisis asam. Pada saat HMT terjadi perubahan karakteristik pati yang disebabkan oleh pembentukan kristal baru atau proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati yang terjadi selama proses modifikasi (Olayinka et al. 2008; Hoover 2010; Ambigaipalan et al. 2014). Pada tahap HMT juga terjadi pembentukan struktur double helix (Ji et al. 2015), serta peningkatan interaksi ikatan antara rantai amilosa-amilosa, rantai amilopektin-amilopektin, serta rantai amilosa-amilopektin sehingga membentuk struktur yang lebih kompak dan stabil, yang terbentuk selama proses HMT (Chung et al. 2009; Arns et al. 2014),
30
% Kadar Gula Pereduksi
akibatnya pati lebih sulit dihidrolisis oleh enzim pencernaan, sehingga daya cerna pati menjadi rendah.Teknik HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara rantai amilosa-amilosa dan atau rantai amilosa-amilopektin pada area amorphous sehingga membentuk struktur yang kompak (Gunaratne dan Hoover 2002; Sun et al. 2013). Kadar RS3, kadar amilosa dan gula pereduksi yang tinggi terjadi pada pati garut yang telah mengalami kombinasi modifikasi hidrolisis asam selama 2 jam, tiga siklus autoclaving‒cooling, dan HMT dengan pemanasan selama 15 menit dan 60 menit (HAAC‒HMT15’ dan HAAC‒HMT60’), sehingga menyebabkan penurunan terhadap daya cerna pati dan total pati. Menurut Brumovsky dan Thompson (2001), Shin et al. (2004), Liu et al. (2014), perlakuan hidrolisis asam secara parsial pada pati sebelum perlakuan pemanasan pada suhu tinggi dapat meningkatkan kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati yang hanya diberi perlakuan pemanasan pada suhu tinggi tanpa perlakuan hidrolisis asam. Hal ini dikarenakan pada tahap hidrolisis asam menghasilkan hidrolisat berbobot molekul rendah (fraksi amilosa berstruktur linear dan percabangan dari fraksi amilopektin). Ketika hidrolisat berbobot molekul rendah (fraksi amilosa rantai pendek) tersebut diberi perlakuan pemanasan pada suhu tinggi, maka pati termodifikasi ini akan menjadi lebih resisten terhadap hidrolisis enzim pencernaan akibat terjadinya pembentukan struktur double helix (Ji et al. 2015) dan peningkatan interaksi antara rantai amilosa-amilosa, rantai amilopektinamilopektin, serta rantai amilosa-amilopektin sehingga membentuk struktur yang lebih kompak. 12.00 10.00 8.00 6.00
y = 0.2124x + 3.872 R² = 0.947
4.00 2.00 0.00 0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
% Kadar Pati Resisten Gambar 11 Analisis korelasi antara kadar gula pereduksi terhadap kadar pati resisten pada pati garut termodifikasi Pati garut yang diberi perlakuan hidrolisis asam, tiga siklus autolavingcooling, dan HMT dengan pemanasan selama 60 menit (HAAC-HMT60’) memiliki kadar amilosa dan kadar gula pereduksi yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi tersebut (HAAC-HMT60’) dapat meningkatkan fraksi amilosa rantai pendek dalam jumlah yang tinggi sehingga menyebabkan kadar amilosa yang terukur semakin meningkat. Perlakuan kombinasi ini (HAAC-HMT60’) juga dapat meningkatkan jumlah rantai glukan
31 hasil hidrolisis pati yang memiliki ujung pereduksi sehingga menyebabkan kadar gula pereduksi yang terukur semakin meningkat. Perlakuan kombinasi HAACHMT60’ juga menghasilkan daya cerna pati yang paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pati tersebut sulit untuk dicerna karena adanya komponen yang sulit atau tidak dapat dicerna. Komponen bahan pangan yang tidak dicerna tersebut berupa pati resisten. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa daya cerna pati berkorelasi negatif dengan kadar pati resisten (R2 = 0.991, α=0.01) (Gambar 12). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar RS3 maka semakin rendah daya cerna patinya. 120.00
y = -0.9626x + 99.344 R² = 0.995
Fraksi sampel (%)
100.00 80.00 60.00
y = -1.2083x + 88.109 R² = 0.991
40.00
% Total Pati 20.00 0.00 0.00
% Daya cerna pati 5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
% Kadar Pati Resisten
Gambar 12 Analisis korelasi antara kadar total pati dan daya cerna pati terhadap kadar pati resisten pada pati garut temodifikasi Kandungan pati total pada pati garut termodifikasi lebih rendah dibandingkan dengan pati garut alami karena terjadi hidrolisis pati pada saat pati garut diberi perlakuan hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving‒cooling dan proses HMT, sehingga mengakibatkan penurunan kadar pati total. Perlakuan kombinasi HAAC-HMT60’ menghasilkan kandungan total pati yang paling rendah. Hasil hidrolisis pati akibat perlakuan kombinasi hidrolisis asam, proses autoclavingcooling, dan HMT mengandung gugus aldosa sehingga terukur sebagai gula pereduksi. Oleh karena itu, kadar total pati berkorelasi negatif dengan kadar gula pereduksi (R2 = 0.944, α=0.01) (Gambar 13). Hasil analisis korelasi pada kadar total pati juga berkorelasi negatif dengan kadar pati resisten (R2 = 0.995, α=0.01) (Gambar 12). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar RS3 maka semakin rendah kandungan pati total pada pati garut.
32 120.00
% Total Pati
100.00 80.00 60.00 40.00
y = -4.295x + 115.23 R² = 0.944
20.00 0.00 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
% Gula Pereduksi Gambar 13
Analisis korelasi antara kadar total pati terhadap kadar gula pereduksi pada pati garut termodifikasi
Tabel 8 Hasil uji korelasi antar parameter analisis Kadar Total Pati Kadar Pati Resisten
Pearson Correlation
-.997**
Daya Cerna Pati
Gula Pereduksi
Kadar Amilosa
-.995**
.973**
.753**
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Kadar amilosa pada pati garut yang diberikan perlakuan hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, HMT, serta kombinasi hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan HMT (NA-HMT15’, NA-HMT60’, HA, HA-HMT15’, HA-HMT60’, NAAC, NAAC-HMT15’, NAAC-HMT60’, HAAC, HAACHMT15’, dan HAAC-HMT60’) memiliki korelasi yang positif terhadap kadar pati resisten, namun memiliki hubungan yang tidak cukup kuat (R2=0.465, α=0.01) (Gambar 14). Hal ini disebabkan oleh adanya fraksi amilosa yang membentuk kompleks dengan lipid, sehingga ketika dilakukan pengukuran kadar amilosa pada tiap perlakuan sampel, senyawa iod tidak dapat berikatan dengan fraksi amilosa. Akibatnya, peningkatan kadar amilosa yang terukur pada tiap perlakuan sampel tidak sesuai dengan peningkatan kadar pati resisten. Kompleks single helix yang terjadi antara fraksi amilosa dan lipid ini berkontribusi terhadap peningkatan kadar pati resisten, sehingga kadar pati resisten pada tiap perlakuan sampel meningkat secara signifikan.
33
40.00
% Kadar Amilosa
35.00 30.00 25.00 20.00
y = 0.2695x + 26.548 R² = 0.465
15.00 10.00 5.00
0.00 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
% Kadar Pati Resisten
Gambar 14 Analisis korelasi antara kadar amilosa terhadap kadar pati resisten pada pati garut termodifikasi
SIMPULAN Semua perlakuan modifikasi pati garut dapat meningkatkan kadar pati resisten (RS3) dan dapat menurunkan daya cerna patinya. Kadar pati resisten tertinggi (29.63%) hasil modifikasi pati garut yang diperoleh dari perlakuan hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving‒cooling dan HMT dengan pemanasan menggunakan otoklaf selama 60 menit. Berdasarkan penelitian ini, maka dapat direkomendasikan bahwa kadar pati resisten (RS3) pada pati garut dapat ditingkatkan dengan proses modifikasi sebagai berikut : pati garut dihidrolisis asam dengan HCl 2.2N selama 2 jam pada suhu 350C. Sebelum dilanjutkan ke tahap autoclaving‒cooling, suspensi pati hasil hidrolisis asam (Lintnerized) (20%b/v) tersebut dipanaskan dalam waterbath bersuhu 800C selama 5 menit, kemudian dilanjutkan dengan tiga siklus autoclaving‒cooling (diotoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit dan pendinginan pada suhu 40C selama 24 jam dilakukan sebanyak tiga siklus). Setelah tahap autoclaving‒cooling, dilanjutkan ke tahap HMT (kadar air 20%) dengan pemanasan selama 60 menit menggunakan otoklaf suhu 1210C. Proses modifikasi tersebut dapat menghasilkan kadar pati resisten sebesar 29.63%, kadar amilosa sebesar 35.83%, kadar gula pereduksi sebesar 10.20%, daya cerna pati sebesar 54.12%, dan kandungan total pati sebesar 71.28%.
34
SARAN Pada penelitian ini hanya menganalisis karakteristik kimia berupa analisis pati resisten, kadar amilosa, gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati dari pati garut alami dan pati garut termodifikasi. Penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik fisik pada pati garut alami dan termodifikasi diperlukan, seperti uji swelling power, uji kelarutan, mengamati struktur dari granula pati alami dan termodikasi dengan menggunakan SEM dan Microscope Light Polarimetry, menguji sifat thermal dari pati garut alami dan termodifikasi menggunakan DSC, serta menguji derajat kristalinitas pati menggunakan XRD. Pati resisten merupakan salah satu ingredien pangan fungsional yang berpotensi untuk dapat diaplikasikan pada penggunaan yang lebih luas dengan mouthfeel yang lebih baik. Kandungan pati resisten pada pati garut dapat ditingkatkan dengan memberikan perlakuan hidrolisis asam dan atau enzimatis yang dikombinasikan dengan tiga siklus autoclaving-cooling dan HMT. Penelitian lebih lanjut mengenai upaya dalam meningkatkan kadar pati resisten melalui metode debranching menggunakan enzim pullulanase diperlukan untuk menyelidiki prosentase peningkatan kadar pati resisten yang terjadi pada pati garut yang diberikan perlakuan debranching menggunakan enzim pullulanase yang dilanjutkan dengan tiga siklus autoclaving-cooling, dan HMT.
35
DAFTAR PUSTAKA [AOAC]. Analysis of the Association of Official Agriculture Chemistry. 2000. Official Methods of Analysis, 17th Edition. AOAC International, Gaithersburg, Maryland, Method 925.10 [IRRI]. International Rice Research Institute. 1978. Rice Research and Production In China : An IRRI Team’s View (Los Banos, Philippenes, International Rice Research Institute). Adebowale KO, Afolabi TA, Olu-Owolabi BI. 2005. Hydrothermal treatments of finger millet (Eleusine coracana) starch. J Food Hydr 19: 974–983. Ai Y, Hasjim J, Jane J. 2013. Effets of lipids on enzymatic hydrolysis and physical properties of starch. J Carbohydr Polym 92(1) : 120-127. Ambigaipalan P, Hoover R, Donner E, Liu Q. 2014. Starch chain interactions within the amorphous and crystalline domains of pulse starches during heat moisture treatment at different temperatures and their impact on physicochemical properties. J Food Chem 143 : 175–184. Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and pasting properties of rice starch heat-moisture treated at the melting Temperature (tm). Starch/Stärke 54: 401–409. Anonim. 2009. www.resistantstarch.com [terhubung berkala]. September 2009. Anwar CH. dan Warsito. 2009. Agribisnis Tanaman Garut (Marantha arundinaceae L.).Jakarta : LSM Gema Pertapa, Departemen Koperasi dan UKM. Aparicio−Saguilan, Flores−Huicochea E, Tovar J, Garcia−Suárez F. Gutiérrez−Meraz F, Bello−Pérez LA. 2005. Resistant starch-rich powders prepared by autoclaving of Native and Lintnerized banana starch: partial characteriation. Starch/ Stärke 57: 405−412. Arns B, Paraginski RT, Bartz J, Schiavon RA, Elias MC, Zavareze ER, et al. 2014. The effects of heat moisture treatment of rice grains before parboiling on viscosity profile and physicochemical properties. Intl J Food Sci and Tech 49 : 1939-1945. Bauer BA, Wiehie T, Knorr D. 2005. Impact of high hydrostatic pressure treatment on the resistant starch content of wheat starch. Starch/Starke 57: 124-133. Baixauli R, Salvador A, Martinez-Cervera S, Fiszman SM. 2008. Distinctive sensory features introduced by resistant starch in baked products. J Food Sci and Tech 41 : 1927–1933. Bjorck I, Nyman M, Pedersen P, Siljestrom M, Asp NG, Eggum BO. 1987. Formation of enzyme resistant starch during autoclaving of wheat starch: studies in vitro and in vivo. J Cereal Sci 6: 159–72. Brumovsky JO, Thompson DB. 2001. Production of boiling-stable granular resistant starch by partial acid hydrolysis and hydrothermal treatments of high amylose maize starch. Cereal Chem 78 : 680–689. Chung HJ, Liu Q, Hoover R. 2009. Impact of annealing and heat moisture treatment on rapidly digestible, slowly digestible, and resistant starch levels in native and gelatinized corn, pea, and lentil starches. J Carbohydr Polym 75(3) : 436-447.
36 Chung YL, Lai HM. 2007. Properties of cast films made of HCl-methanol modified corn starch. Starch/Starke 59:583-592. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Calorimetric Method for Determination of Sugars and Related Substance. Anal Chem 28 : 350-356. EURESTA. 1993. European Flair Concerted Action on Resistant Starch. New Letter, September. Wageningen, The Netherlands : Human Nutrition Department, Wageningen Agriculture University. Faridah DN, Prangdimurti E, Adawiyah DR. 2008. Pangan Fungsional dari Umbi Suweg dan Garut: Kajian Daya Hipokolesterolemik dan Indeks Glikemiknya. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, LPPM-IPB, Bogor. Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan struktur pati garut (Maranta arundinaceae L.) sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam, pemotongan titik percabangan, dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol dan Industri Pangan 21(2): 135-142. Faridah DN. 2011. Perubahan Karakteristik Kristalin Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dalam Pengembangan Pati Resisten Tipe III. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2014. Karakteristik sifat fisikokimia pati garut (Maranta arundinaceae L.). J Agritech 34 (1): 15-21. Ferrini LMK, Rochaa TS, Demiate IM, Franco CLM. 2008. Effect of acidmethanol treatment on the physicochemical and structural characteristics of cassava and maize starches. Starch/Stärke 60: 417-425. Franco CML, Cabrala RAF, Tavares DQ. 2002. Structural and physicochemical characteristics of Lintnerized Native and sour cassava starches. Starch/Stärke 54: 469−475. Fuentes-Zaragoza E, Riquelme-Navarrete MJ, Sánchez-Zapata E, Pérez-Álvarez JA. 2010. Resistant starch as functional ingredient : A review, Food Res Intl 43 : 931-942. Goñi L, García-Diaz L, Mañas E, Saura-Calixto F. 1996. Analysis of Resistant Starch: A Method for Food and Food Products. Elsevier Science Ltd. 56(4): 445-449. Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. J Carbohydr Polym 49 : 425-437. Haralampu SG. 2000. Resistant starch—a review of the physical properties and biological impact of RS3. J Carbohydr Polym 41: 285–92. Hizukuri S, Kaneko T, Takeda Y. 1983. Measurement of the chain length of amylopectin and its relevance to the origin of crystalline polymorphism of starch granules. Biochimica et Biophysicia Acta. 760: 188–191. Hoover R. 2010. The impact of heat moisture treatment on molecular structures and properties of starches isolated from different botanical sources. Critical Rev Food Scie and Nutr 50 : 1-13. Hung PV, Vien NL, Lan-Phi NT. 2015. Resistant starch improvement of rice starches under a combination of acid and heat moisture treatment. J Food Chem.
37 Jacobash G, Dongowski G, Schiemidl D, Schmehl KM. 2006. Hydrothermal treatment of novelose 330 results in high yield of resistant starch type 3 with beneficial prebiotic properties and decreased secondary bile acid formation in rats. Bri J Nutr 95: 1063-1074. Ji N, Li , Qiu C, Li G, Sun Q, Xiong L. 2015. Effects of heat moisture treatment on the physicochemical properties of starch nanoparticles. J. Carbohydr Polym 117: 605-609. Kay DE. 1973. Root Crops. Tropical Product Institute. Foreign and Commonwealth Office. Köksel H, Basman A, Kahraman K, Ozturk S. 2007. Effect of acid modification and heat treatments on resistant starch formation and functional properties of corn starch. Intl J Food Prop, 10(4), 691–702. Lawal OS, Adebowale KO. 2005. Physico-chemical characteristics and thermal properties of chemically modified jack bean starch. J Carbohydr Polym 60 : 331–341. Lehmann U, Jacobasch G, Schmiedl D. 2002. Characterization of resistant starch type III from banana (Musa acuminata). Journal of Agriculture and Food Chemistry 50: 5236-5240. Lehmann U, Rossler C, Schmiedl D, Jacobash G. 2003. Production and physicochemical characterization of resistant starch type 3 derived from pea. Starch/Nahrung/Food 43: 60-63. Lehmann U, Robin F. 2007. Slowly digestible starch- its structure and health implication : A review. Trends in Food Sci and Tech 18 : 346-355. Leong YH, Karim AA, Norziah MH. 2007. Effect of pullulanase debranching and recrystallization on structure and digestibility of waxy maize starch. J Carbohydr Polym 76:214-221. Li S, Ward R, Gao Q. 2011. Effect of heat moisture treatment on the formation and physicochemical properties of resistant starch from mung bean (Phaseolus radiatus) starch. J Food Hyd 25 : 1702-1709. Lingga PB, Sarwono F, Rahadi PC, Raharja JJ, Afistini, Rini W, Apriadi WH. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Penebar swadaya. Jakarta(ID). Liu Q. 2005. Understanding Starches and their Role in Foods. Di dalam: Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications. Cui SW (editor). RC Taylor & Francis, Boca Ratn FL. Liu H, Liang R, Antoniou J, Liu F, Shoemaker CF, Li Y, et al. 2014. The effect of high moisture heat-acid treatment on the structure and digestion property of normal maize starch. J Food Chem 159 :222–229. Lorlowhakarn K, Naivikul O. 2006. Modification of rice flour by heat-moisture treatment (HMT) to produce rice noodles. Kasetsart J. Nat. Sci. 40 (Suppl.): 135-143 Mahadevamma MS, Harish KVP, Tarathanan RN. 2003. Resistant starch derived from processed legumes: purification and structural characterization. J Carbohydr Polym 54: 215-219. Mun SH, Shin M. 2006. Mild hydrolysis of resistant starch from maize. Food Chem 96 : 115-121. Mutungi C, Rosta F, Onyangob C, Jarosa D, Rohma H. 2009. Crystallinity, thermal and morphological characteristics of resistant starch type III
38 produced by hydrothermal treatment of debranched cassava starch. Starch/Starke 61:1-12. Nugent AP. 2005. Health properties of resistant starch. British nutrition foundation. Nutr Bull. 30 : 27–54. Nurhayati. 2011. Peningkatan sifat prebiotik tepung pisang dengan indeks glikemik rendah melalui fermentasi dan siklus peemanasan bertekananpendinginan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). Olayinka OO, Adebowale KO, Olu-Owolabi, BI. 2008. Effect of heat moisture treatment on phsycochemical properties of white shorgum starch. J Food Hyd, 22: 225-230. Pongjanta J, Utaipattanaceep O, Naivikul, Piyachomkwan K. 2009. Effect of preheated treatments on physicochemical properties of resistant starch type III from pullulanase hydrolysis of high amylose rice starch. American J Food Tech 4(2): 79-89. Purseglove JW. 1975. Tropical Crops : Monocotyledons 479-510. London : English Language, Book Society and Longman (UK). Pratiwi R. 2008. Modifikasi Pati Garut (Marantha arundinacea) dengan Perlakuan Siklus Pemanasan Suhu Tinggi-Pendinginan (AutoclavingCooling Cycling) untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). Ratnayake WS, Jackson DS. 2008. Thermal behavior of resistant starches RS 2, RS 3, and RS 4. J Food Sci 73(5) : 356–366. Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant starch-a review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol. 5. Sanz, T, Salvador A, Baixauli R, Fiszman SM. 2009. Evaluation of four types of resistant starch in muffins. II. Effects in texture, colour and consumer response. Eur Food Res and Tech 229(2) : 197–204. Sastrapradja S, Soetjipto NW, Danimiharja S, dan Soejono R. 1977. Ubi-ubian. Lembaga Biologi Nasional. LIPI. Balai Pustaka, Bogor(ID). Schmiedl D, Bauerlein M, Bengs H, Jacobash G. 2000. Production of heat-stable, butyrogenic resistant starch. J Carbohydr Polym 43 : 183-193. Shin S, Byun J, Park KW, Moon TW. 2004. Effect of partial acid and heat moisture treatment of formation of resistant tuber starch. J Cereal Chem 81(2): 194-198. Shu X, Jia L, Gao J, Sing Y, Zhao H, Nakamura Y and Wu D. 2007. The Influence of Chain Length of Amilopectin on Resistant Starch in Rice (Oryza sativa L). Starch/Starke 59 : 504-509. Siljestrom M, Asp NG. 1985. Resistant starch formation during baking. Effect of baking time and temperature and variation in the recipe. Z Lebensm Unters Forsch 4:1–18. Singh N, Raina CS, Bawa AS, Saxena DC. 2005. Effect of heat moisture treatment and acid modification on rheological, textural and differential scanning calorimetry characteristics of sweet potato starch. J Food Sci 70(6): 373-378. Srichuwong S, Sunarti TC, Mishima T, Isono N, Hisamatsu M. 2005. Starches from different botanical sources I: contribution of amylopectin fine structure
39 to thermal properties and enzyme digestibility. J Carbohydr Polym 60(4): 529-538. Srichuwong S. 2006. Starches from Different Plant Origins: From Structure to Physicochemical Properties [Disertasi]. Mie University. Japan(JP). Sun Q, Wang T, Liu, X, Zhao Y. 2013. The effect of heat moisture treatment on physicochemical properties of early indica rice. J Food Chem, 141, 853–857. Szczodrak J, Pomeranz Y. 1991. Starch and enzyme-resistant starch from high amylose barley. Cereal Chem 68(6): 589–96. Takeda Y, Guan HP, Preiss J. 1993. Branching of amylase by the branching isoenzymes of maize endosperm. J Carbohydr Res 240: 253-263. Takeda Y, Hanashiro M. 2003. Examination of the structure of amylase and amylopectin by fluorescent labeling terminal. J Appl Glycosci. 48: 123-130. Topping DL, Clifton PM. 2001. Short-chain fatty acids and human colonic function : Roles of resistant starch and nonstarch polysaccharides. Physiological Rev 81 :1031-1064. Vasanthan T, RS Bhatty. 1998. Enhancement of resistant starch III in amylomaize barley, field pea and lentil starches. Starch/Stärke 50: 286-291. Villamajor Jr., FG, J Jurkema. 1996. Maranta arundinaceae L. Di dalam Plat Yeilding Non-Seed Carbohydrates. Prosea. 9. Wang TL, Bogracheva TY, Hedley CL. 1998. Starch: as simple as A, B, C? Journal of Experimental Botany 49: 481-502. Watcharatewinkul Y, Puttanlek C, Rungsardthong V, Uttapap D. 2009. Pasting properties of a heat–moisture treated canna starch in relation to its structural characteristics. J Carbohydr Polym 75(3) : 505–511. Widowati S, Suismono, Suarni, Sutrisno, dan Komalasari O. 2002. Petunjuk Teknis Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta(ID). Yustiareni E. 2000. Kajian Substitusi Terigu oleh Tepung Garut dan Penambahan Tepung Kedelai pada Pembuatan Mie Kering. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). Zabar S, Shimoni E, Peled HB. 2008. Development of nanostructure in resistant starch type III during thermal treatments and cycling. J Macromol Biosci 8 : 163-170. Zavareze ER, Dias ARG. 2011. Impact of heat moisture treatment and annealing in starches : a review. J Carbohydr. Polym. 83 : 317-328. Zhao XH, Lin Y. 2009. The impact of coupled acid or pullulanase debranching on the formation of resistant starch from maize starch with autoclaving–cooling cycles. Eur Food Res and Tech 230: 179–184.
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 08 September 1993. Penulis merupakan anak pertama dari dua orang bersaudara dalam keluarga Bapak Suryadi dan Ibu Dewi Sari. Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui oleh penulis adalah SDN Rama II dan lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan ke sekolah menengah pertama di SMP Negeri 06 Tangerang dan lulus pada tahun 2008 dan masuk ke SMA Negeri 05 Tangerang serta lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan tingkat lokal antara lain Orde Keramat 2012, HACCP-PLASMA 2013, Techno-F 2013, dan BAUR 2013. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB pada tahun 2012 dan asisten praktikum Prinsip Teknik Pangan pada tahun 2014. Selama masa kuliah penulis menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari Dikti. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan diantaranya Forum Bina Islam Fateta (FBI) pada tahun 2013 dan 2014 serta anggota Himpunan Profesi Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa). Penulis juga pernah menjadi panitia dalam acara lingkup nasional diantaranya FOODIVAL 2014, Halal is Scientific (Hassasin) 2013 dan Hassasin 2014. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penyusunan skripsi dengan judul ”Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment (HMT) Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III” dibawah bimbingan Ibu Dr. Ir. Didah Nur Faridah, MSi.