MODIFIKASI ASAM AMPAS SAGU DAN PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT FISIK MEKANIK BIOFOAM
AHMAD TAUFIQURRAHMAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Ahmad Taufiqurrahman NIM F34090094
ABSTRAK AHMAD TAUFIQURRAHMAN. Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam. Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI. Styrofoam merupakan bahan baku kemasan yang banyak digunakan, padahal bahan baku kemasan tersebut berasal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Bahan polimer alami seperti pati dan serat dapat digunakan sebagai bahan baku kemasan alternatif biofoam. Ampas sagu mengandung pati dan serat dalam jumlah yang besar, namun secara alami pati dan serat memiliki kelemahan karena bersifat hidrofobik, karena itu perlu dimodifikasi untuk meningkatkan hidrofobisitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh modifikasi asam terhadap karakteristik ampas sagu yang dihasilkan, dan karakteristik fisik mekanik biofoam yang dihasilkan. Modifikasi asam dilakukan dengan perendaman ampas sagu dalam larutan HCl 0.144% dalam methanol selama 0, 60, 120, 180 dan 240 jam. Biofoam dihasilkan dengan metode thermopressing dengan mencampurkan ampas sagu dengan pati sagu, polimer sintetik PVA, dan aditif lainnya. Hasil memperlihatkan bahwa semakin lama perendaman terbukti menyebabkan kerusakan pada pati. Dibandingkan ampas sagu alami, perendaman juga menyebabkan penurunan kristalinitas, bahkan pola kristalinitasnya berubah setelah perendaman 60 jam. Hal ini mempengaruhi karakteristik biofoam yang dihasilkan. Pencucian tanpa perendaman (perlakuan 0 jam) menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik mekanik yang lebih dibandingkan ampas sagu alami, berupa penurunan daya serap air (57.13%), peningkatkan kuat tarik (19.14 MPa), kuat lentur (358.21 MPa) dan kuat patah (7.25 MPa). Jika dibandingkan dengan styrofoam, maka biofoam yang dihasilkan ampas sagu termodifikasi memiliki keunggulan dalam kuat patah (1.61-7.25 MPa) dan kuat lenturnya (104.62-358.21 MPa). Kata kunci: ampas sagu, metanol asam, modifikasi asam.
ABSTRACT AHMAD TAUFIQURRAHMAN. Acid modified of sago hampas and its effect to the physical mechanic properties of biofoam. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI. Styrofoam is one of packaging materials that are widely used, and produced from non-renewable resources. Natural polymeric materials such as starch and fiber can be used as an alternative raw material for biofoam production. Sago hampas contains large amounts of starch and fiber, but naturally starch and fiber has disadvantages because its moisture sensitivity and poor mechanical properties, so it needs to be modified to improve its properties. This study aimed to assess the effect of acid modification on the characteristics of sago hampas produced, utilization of acid modified sago hampas for biofoam production, and characterization of biofoam‘s physical mechanical properties. Acid modification
is conducted by soaking the sago hampas in 0.144% of HCl solution in methanol for 0, 60, 120, 180 and 240 hours. Biofoam was produced from the mixture of sago hampas, sago starch, synthetic polymer (polyvinyl alcohol), and additives; and then molded by thermopressing method. The results showed that the longer soaking time proved to cause the damage of the starch. Compared to native sago hampas, acid soaking also caused a decreasing in crystallinity, even crystallinity pattern changed after 60 hours of soaking time. This affected to the characteristics of the biofoam produced. Washing the sago hampas without soaking (treatment 0 hours) resulted biofoam with better physical mechanical characteristics compared to native sago hampas, as decreasing in water absorption (57.13%); increasing the tensile strength (19.14 MPa), modulus of elasticity (358.21 MPa) and modulus of rupture (7.25 MPa). Compared to styrofoam, the biofoam which produced from modified sago hampas has better mechanical properties in modulus of rupture (1.61-7.25 MPa) and modulus of elasticity (104.62-358.21 MPa). Keywords: acid methanol, acid modification, sago hampas.
MODIFIKASI ASAM AMPAS SAGU DAN PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT FISIK MEKANIK BIOFOAM
AHMAD TAUFIQURRAHMAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam Nama : Ahmad Taufiqurrahman NIM : F34090094
Disetujui oleh
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam” dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi selaku dosen pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Ayahanda Akhmad Jazuli, Ibunda Iis Aisyah, adik-adik beserta keluarga besar atas doa dan dukungannya. 3. Laboran TIN atas kesediaannya membantu penulis selama penelitian. 4. Keluarga besar TIN 46 atas kebersamaannya serta semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian sampai penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. 5. Kepada Rojali, Jadda, Castro penulis mengucapkan banyak terimakasih atas semangat dan inspirasinya selama penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang teknologi pertanian.
Bogor, Februari 2014 Ahmad Taufiqurrahman
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Bahan
2
Alat
2
Metode Penelitian
2
Proses Produksi Biofoam
3
Prosedur Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Karakteristik Ampas Sagu
5
Modifikasi Asam Ampas Sagu
6
Karakteristik Ampas Sagu Termodifikasi
8
Produksi Biofoam SIMPULAN DAN SARAN
11 14
Simpulan
14
Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
13
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Formulasi biofoam dalam 69.5 g bahan kering Komposisi ampas sagu (basis kering) Karakteristik ampas sagu hasil hidrolisis asam Pengaruh modifikasi asam terhadap derajat kristalinitas ampas sagu Karakteristik fisik dan mekanik biofoam Karakteristik sifat fisik dan mekanis biofoam dan styrofoam
3 6 8 10 12 13
DAFTAR GAMBAR 1 Diagram alir proses modifikasi asam 2 Diagram alir proses pembuatan biofoam 3 Pengaruh lama perendaman terhadap rendemen ampas sagu termodifikasi dan total gula yang terlarut dalam cairan 4 Bentuk granula pati (Δ) dan serat (□) ampas sagu hasil pengujian SEM untuk (a) ampas sagu alami; ampas sagu hasil hidrolisis asam (b) 0 jam; (c) 60 jam; (d) 120 jam; (e) 180 jam; dan (f) 240 jam. 5 Profil kristal ampas sagu hasil (Lai et al. 2013) 6 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD hasil hidrolisis asam
4 5 7
9 11 11
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Prosedur analisis karakterisasi bahan baku Prosedur analisa karakterisasi ampas sagu termodifikasi Prosedur analisa karakterisasi biofoam Analisa statistik ampas sagu dan biofoam
17 20 22 24
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini styrofoam berbahan baku minyak bumi sudah menjadi hal yang lumrah. Padahal bahan baku dari kemasan tersebut termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbarui yang saat ini produksinya pun terbatas. Di Indonesia saja menurut Ditjen Migas (2012) cadangan minyak mentah hanya 3.6 milyar barrel dengan tingkat produksi 314,666 ribu barrel per hari diperkirakan akan habis dalam kurun waktu tiga belas tahun. Styrofoam yang dikenal dengan nama dagang polistirena diketahui menyimpan bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia. Bahan utama styrofoam yakni polistirena apabila terpapar dapat menyebabkan gangguan syaraf dan penurunan kadar hemoglobin (Dowly et al. 1976). Disisi lain, penggunaan styrofoam sebenarnya kurang tepat untuk mengemas makanan karena dapat terjadi migrasi bahan kimia (Lickly et al. 1995). Masalah lain yang ditimbulkan dari styforoam ini yaitu limbah hasil penggunaan styrofoam yang berdampak buruk terhadap lingkungan karena sulit terurai di alam sehingga dapat menyebabkan penumpukan yang memperparah kondisi alam. Betapa besarnya dampak buruk dari penggunaan styrofoam, oleh karena itu harus ada upaya untuk mencari kemasan alternatif pengganti styrofoam. Bahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biopolimer yang berasal dari limbah pertanian seperti pati dan selulosa yang memilki keistimewaan yaitu dapat diperbaharui, tersedia melimpah, dan harganya murah (Davis et al. 2006). Salah satu sumber bahan yang potensial adalah ampas sagu yang merupakan limbah dari pengolahan pati sagu. Ampas sagu dipilih karena komposisinya yang terdiri dari 58% pati, 23% selulosa, 9.2% hemiselulosa, dan 3.9% lignin (Linggang et al. 2012). Kandungan pati pada ampas sagu berpengaruh pada pencetakan biofoam baik pada proses gelatinisasi maupun proses ekspansinya. Sedangkan serat berfungsi sebagai penguat (reinforcement) yang berpengaruh besar pada sifat mekanik biofoam (Lawton et al. 2004). Pada umumnya pemilihan bahan baku untuk pembuatan biofoam menimbang dari segi sifat fisik dan mekanis biofoam yang tidak jauh berbeda dari styrofoam komersial. Penelitian mengenai modifikasi pada bahan baku biofoam menjadi tema objek penelitian yang menarik. Penggunaan modifikasi khususnya hidrolisis asam akan mendegradasi daerah amorf pada granula pati hingga amilosa menjadi berantai pendek dan bobot molekulnya rendah yang diharapkan dapat meningkatkan daya ikat dan menurunkan viskositas (Bloembergen et al. 2005). Menurut Buleon et al. (1998), struktur granula pati terdiri dari daerah amorf dan daerah kristalin. Kedua daerah tersebut letaknya berselang-seling pada granula pati. Daerah amorf sendiri merupakan daerah yang sebagian besar tersusun atas amilosa dan titik-titik percabangan amilopektin. Lain hal dengan daerah kristalin yang sebagian besar tersusun dari ikatan-ikatan pendek dari amilopektin yang membentuk klaster. Sedangkan pada serat ampas sagu pengaruh hidrolisis asam akan mendegradasi hemiselulosa dan bagian amorf selulosa sehingga hanya tersusun bagian selulosa nanokristalin yang memiliki nilai modulus elastisitas tinggi sekitar 150 GPa sehingga diharapkan mampu meningkatkan sifat mekanik biofoam (Samir et al. 2004).
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan ampas sagu untuk menghasilkan biofoam sebagai pensubstitusi kemasan styrofoam, selain itu untuk mengetahui pengaruh perlakukan hidrolisis asam metanol terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan, dan untuk mengetahui pengaruh perbedaan waktu perendaman terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah penggunaan ampas sagu yang berasal dari industri rumah di Bogor. Pembuatan biofoam menggunakan teknik thermopressing dan juga penggunaan PVA sebagai polimer sintetik.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan dan Laboratorium Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain itu beberapa analisa juga dilakukan di Badan Teknologi Atom Nasional (BATAN), Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas sagu kering yang diperoleh dari rumah industri di Bogor. Bahan lain yang digunakan pada pembuatan biofoam seperti pektin, polivinil alkohol (PVA), magnesium stearat (MgSt), dan pati sagu. Bahan yang digunakan untuk hidrolisis asam diantaranya HCl, metanol, NaHCO3, dan akuades. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain, H2SO4 pekat, fenol 5%, NaOH, dan indikator pp. Alat Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat molding untuk mencetak biofoam. Alat yang digunakan untuk hidrolisis asam adalah wadah plastik bertutup, pompa plastik, dan timbangan. Alat yang digunakan untuk analisis yaitu peralatan gelas, spektrofotometer, pH meter, Scanning Electron Microscop (SEM), Texture Analyzer, cawan aluminium, oven, dan penangas air. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan dan karakterisasi bahan baku, tahap modifikasi asam ampas sagu dan karakterisasinya, serta tahap pembuatan biofoam dan karakterisasinya.
3 Penyiapan dan Karakterisasi Bahan Baku Penyiapan bahan baku dilakukan dengan penjemuran, penggilingan, dan pengayakan 40 mesh ampas sagu dan pati sagu. Karakterisasi bahan baku utama yaitu ampas sagu meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, analisa komponen serat, dan kadar pati. Prosedur analisa untuk karakterisasi bahan ini disajikan pada Lampiran 1. Modifikasi Asam Ampas Sagu Modifikasi asam ampas sagu dilakukan dengan metode rekomendasi Lin et al. (2003). Ampas sagu sebanyak 100 g (basis kering) direndam dengan 1000 ml metanol dengan penambahan 4 ml larutan HCl (0.144%) dengan rentang lima waktu berbeda yaitu 0 (pencucian tanpa perendaman atau perendaman dengan waktu singkat), 60, 120, 180, dan 240 jam pada suhu 25ºC. Kemudian dinetralisasi dengan larutan NaHCO3 1 M dan dicuci dengan larutan etanol. Setelah itu dilakukan pengeringan dengan suhu 40ᴼC. Setelah kering ampas sagu digiling dan diayak dengan ukuran 40 mesh, kemudian disimpan dalam plastik sampai digunakan. Diagram alir proses modifikasi asam disajikan pada Gambar 1. Filtrat yang dihasilkan dari proses penyaringan pada produksi ampas sagu termodifikasi dianalisa total gula sebagai penduga tingkat hidrolisis asam terhadap pati. Analisa total gula dilakukan dengan metode fenol-asam sulfat yang disajikan pada Lampiran 2. Karakterisasi Ampas Sagu Termodifikasi Karakterisasi ampas sagu termodifikasi meliputi kadar pati, analisa komponen serat, dan kadar air. Prosedur karakterisasi ampas sagu termodifikasi disajikan pada Lampiran 2. Proses Produksi Biofoam Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan metode rekomendasi dari Iriani et al. (2012). Pertama terlebih dahulu dilakukan dengan mencampurkan ampas sagu, pati sagu, polivinil alkohol (PVA), pektin, magnesium stearat, dan air sehingga membentuk adonan. Kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan mixer selama 10 menit hingga bahan tercampur merata. Selanjutnya adonan dicetak dengan alat thermopressing selama 4 menit dengan suhu 150ºC. Formulasi seluruh bahan tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Formulasi biofoam dalam 69.5 g bahan kering Bahan Jumlah Ampas Sagu 7.5 g Pati Sagu 30 g Pektin 15 g Polivinil Alkohol 15 g Magnesium Stearat 2g Air 130 ml
4 Karakterisasi Biofoam Karakterisasi biofoam meliputi sifat fisik yang terdiri dari ketebalan, daya serap air, dan densitas kamba, sedangkan sifat mekanik diantaranya kuat tarik, kuat lentur, dan kuat patah. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 3, sementara itu proses pembuatan biofoam disajikan pada Gambar 2.
Ampas Sagu Alami
Metanol-HCl (0.144%)
Perendaman ᴼ (T = 25 C)
Penetralan
Filtrat
NaHCO3 1N
Penyaringan
Pengeringan ᴼ (T=40 C)
Ampas Sagu Termodifikasi Gambar 1 Diagram alir proses modifikasi asam Prosedur Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan percobaan acak lengkap dengan faktor yaitu lama hidrolisis asam. Pada rancangan percobaan ini akan dilihat pengaruh faktor tersebut terhadap karakteristik residu hidrolisis asam serta karakteristik fisik dan mekanik biofoam. Taraf untuk faktor lama hidrolisis asam yaitu 0, 60, 120, 180, dan 240 jam. Bentuk hipotesis yang akan diuji ialah: H0 : semua τi = 0 (i = 1, 2, ..., t) H1 : tidak semua τi = 0 (i = 1, 2, ..., t) Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis ragam (ANOVA). Jika pengujian ANOVA menghasilkan penolakan terhadap H0 maka dilakukan uji lanjut. Uji lanjut yang digunakan adalah Duncan’s Multiple Range Test.
5 Bahan Baku Ampas Sagu Pencampuran bahan kering Pembuatan adonan dengan mixer 10 menit
Air ( 1:1.8)
Pencetakkan menggunakan thermopressing machine Pendinginan
Ampas Sagu Termodifikasi Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan biofoam
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ampas Sagu Karakteristik bahan baku sangat mempengaruhi kemampuan ekspansi biofoam. Karakteristik bahan baku yang meliputi kadar air, pati, lemak, protein, serat dan rasio amilosa terhadap amilopektin akan berpengaruh pada aliran dan kekentalan dari pati atau tepung (Chinnaswamy dan Hanna 1988). Ampas sagu yang digunakan pada penelitian ini terlebih dahulu dilakukan proses pengeringan dan pengecilan hingga 40 mesh. Proses pengeringan dimaksudkan menurunkan kadar air ampas sagu sehingga mempermudah proses pengecilan dan juga menghindari tumbuhnya mikroorganisme selama penyimpanan. Proses pengecilan yang dilakukan juga berguna untuk memperluas bidang kontak permukaan antara ampas sagu dengan bahan-bahan lainnya sehingga pada saat pembuatan adonan seluruh ampas sagu tercampur merata. Komposisi ampas sagu disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan pada Tabel 2, komposisi ampas sagu hasil penelitian dengan pustaka memiliki perbedaan terutama pada kadar pati dan kadar serat. Perbedaan pada kadar serat hasil penelitian dapat disebabkan pada proses penyaringan ampas sagu banyak serat yang terbuang sehingga mengurangi rendemen serat. Pada hasil pengujian kadar pati perbedaan yang terjadi kemungkinan karena adanya zat-zat ekstraktif pada ampas sagu yang termasuk dalam penghitungan kadar pati.
6 Pertimbangan ampas sagu sebagai bahan baku pembuatan biofoam yaitu ketersediannya memadai dan harganya terbilang sangat murah mengingat ampas sagu merupakan limbah hasil pengolahan pati sagu. Dilihat dari komposisinya yang terdiri dari kadar protein dan kadar lemak yang relatif rendah yang berpengaruh terhadap kemampuan ekspansinya untuk produksi biofoam. Tabel 2 Komposisi ampas sagu (basis kering) Sumber Pustaka* Pati (%) 30-45 Serat Kasar (%) 30-35 Protein (%) 1 Tidak Lemak(%) terdeteksi Air (%) Abu (%) * Sumber: Adeni et al.(2009) Komposisi
Hasil Pengamatan 49.94 19.22 1.95 0.84 11.00 8.60
Komponen protein juga berperan untuk membantu memperkuat matriks polimer yang dihasilkan pati. Namun kandungan protein sebaiknya tidak tinggi agar biofoam mudah dilepaskan dari alat cetak akibat kerak dari protein yang terdenaturasi. Lemak memiliki pengaruh baik pada proses pembuatan biofoam yang berguna untuk membantu pelepasan biofoam dari alat cetak. Selain itu yang dilaporkan Poovarodom (2006) bahwa lemak juga dapat berfungsi sebagai plasticizer dan untuk meningkatkan hidrofobisitas biofoam karena sifatnya yang hidrofobik. Komponen lemak sebaiknya tidak tinggi agar biofoam yang dihasilkan tidak tengik karena mudah dihidrolisis. Komponen serat pada ampas sagu berperan meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan biofoam (Andersen dan Hodson 1996). Serat juga menurut Lawton et al. (2004) dan Salgado et al. (2008) mampu meningkatkan hidrofobisitas biofoam. Penambahan serat juga dapat berpengaruh pada proses ekspansi biofoam. Pati merupakan polimer glukosa yang terdiri dari amilosa yang berantai lurus dan amilopektin yang memiliki rantai bercabang. Struktur amilosa yang berantai lurus ini yang menyebabkan pati memiliki kedekatan karakteristik dengan polimer sintetis sehingga peneliti membuat biofoam dengan bahan baku dari pati. Namun ternyata biofoam yang dihasilkan memiliki nilai sifat fisik dan mekanik yang rendah. Hal ini disebabkan pati yang mudah sekali menyerap air (Glenn et al. 2001). Amilosa dan amilopektin pada pati akan menyebabkan perbedaan sifat fungsional pati seperti kemampuan membentuk gel dan kekentalannya sehingga akan berpengaruh pada kelarutan dan derajat gelatinisasi pati pada biofoam yang dihasilkan Rapaille dan Vanhemelrijck (1994). Modifikasi Asam Ampas Sagu Pengaruh lama perendaman ampas sagu terhadap nilai total gula filtrat dan rendemen residu disajikan pada Gambar 3, dapat diketahui bahwa nilai rendemen ampas sagu termodifikasi yang dihasilkan berkisar antara 91-94% sedangkan nilai total gula yang terlarut pada filtrat antara 0.39-87.73 ppm. Pada Gambar 3
7 memperlihatkan pola yang cenderung menurun pada rendemen ampas sagu termodifikasi. Namun, grafik total gula cenderung meningkat. Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lama perendaman ampas sagu nilai rendemen semakin rendah. Penurunan ini karena adanya degradasi yang dilakukan oleh hidrolisis asam pada polisakarida ampas sagu menjadi gula sederhana yang tampak pada meningkatnya nilai total gula pada filtrat. Berdasarkan analisa statistik pada Lampiran 2, pengaruh modifikasi asam signifikan tiap perlakuan jam sedangkan pada rendemen penurunan signifikan pada jam ke-120. Hal ini menandakan banyaknya polisakarida yang dilepaskan yang terhitung dalam total gula yang menyebabkan terjadinya penurunan rendemen ampas sagu.
Gambar 3 Pengaruh lama perendaman terhadap rendemen ampas sagu termodifikasi dan total gula yang terlarut dalam cairan Modifikasi asam yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan konsentrasi rendah dan pada suhu ruang. Perlakuan asam menyebabkan bagian amorf pada pati terdegradasi sehingga menghasilkan pati kristalin. Penggunaan pelarut metanol dimaksudkan agar mempengaruhi permukaan dan struktur granula pati pada saat degradasi sehingga granula menjadi kasar, berlubang dan ukurannya mengecil (Lin et al. 2003). Perubahan struktur pada granula ini diharapkan mampu memperkuat biofoam karena daya ikatnya yang tinggi. Pada umumnya granula pati terdiri dari daerah amorf dan daerah kristalin yang tersusun atas amilosa dan amilopektin. Asam kuat yang digunakan pada hidrolisis akan memotong rantai-rantai amilosa rantai panjang dan percabangan amilopektin yang terdapat pada daerah amorf hingga menjadi amilosa rantai pendek dengan bobot molekul yang rendah Ma et al. (2008). Modifikasi asam menghasilkan pati yang memiliki daya ikat yang tinggi dan viskositas yang rendah (Bloembergen et al. 2005). Hidrolisis asam juga tidak hanya mendegradasi komponen pati namun juga mendegradasi komponen non-pati lainnya yaitu serat seperti yang diungkapkan Radley (1976), bahwa asam akan menghidrolisis semua jenis polisakarida yang mampu terhidrolisis. Pada serat yang tersusun dari lignin, selulosa, dan hemiselulosa perlakuan asam akan mendegradasi bagian-bagian amorf dari serat. Hemiselulosa yang tersusun dari bagian amorf akan terhidrolisis dan juga daerah amorf pada selulosa. Hidrolisis ini akan menghasilkan selulosa nanokristalin yang diharapkan dapat meningkatkan sifat mekanis dari biofoam (Samir et al. 2004).
8
Karakteristik Ampas Sagu Termodifikasi Kandungan pati pada bahan baku biofoam mempengaruhi kemampuan ekspansinya pada saat proses pencetakan. Hal ini karena rasio amilosa dan amilopektin yang dikandungnya. Amilosa menurut Fritz (1994), berekspansi secara maksimal pada suhu 225 ᴼC sedangkan amilopektin pada suhu 135 ᴼC. Dengan demikian pati yang memiliki kadar amilosa yang tinggi membutuhkan suhu yang tinggi. Selain itu, pengembangan amilosa cenderung memanjang sedangkan amilopektin radial. Menurut Iriani et al. (2012), semakin banyaknya amilosa yang dikandung pati maka semakin besar daya serapnya terhadap air karena pada struktur amilosa masih bersifat amorf yang tingkat sensitifitas terhadap airnya tinggi pada gugus hidroksilnya. Hal inilah yang menjadi alasan dilakukannya modifikasi asam. Berdasarkan analisa statistik, kadar pati ampas sagu termodifikasi signifikan pada tiap jam perlakuan. Terlihat pada Tabel 3, kadar pati dari ampas sagu alami dengan ampas sagu yang telah dilakukan perendaman pada jam ke-0 terjadi penurunan. Hal ini disebabkan karena terlarutnya sejumlah zat ekstraktif pada ampas sagu oleh HCl-metanol. Tabel 3 Karakteristik ampas sagu hasil hidrolisis asam Waktu (jam) Parameter Kontrol 0 60 120 180 49.94 Kadar pati (%) 48.07a 42.94b 40.02c 25.72d 4.97 Lignin (%) 4.32a 4.70a 4.83a 5.71a 15.10 Selulosa (%) 15.31b 14.00ab 11.37a 13.04ab a a a 5.33 Hemiselulosa (%) 5.87 4.98 4.58 5.04a 11.00 Kadar air (%) 7.68b 7.77b 5.42a 5.75a
240 19.38e 3.11a 14.20ab 5.91a 5.58a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji 5%
Selulosa adalah homopolisakarida dengan glukosa sebagai monomernya dan juga merupakan molekul organik yang terdapat pada tumbuhan. Selulosa adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Pada umumnya di alam selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple 1993). Secara alamiah molekul-molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril-fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Fibril-fibril ini membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh lignin. Komposisi kimia dan struktur yang demikian membuat kebanyakan bahan yang mengandung selulosa bersifat kuat dan keras. Hasil analisis kadar selulosa disajikan pada Tabel 3. Hidrolisis asam yang dilakukan pada penelitian ini tidak merusak komponen selulosa karena berlangsung pada suhu kamar. Menurut Kusuma (2012), selulosa akan terhidrolisis apabila menggunakan konsentrasi asam 2% dengan suhu 121 οC selama 45 menit. Berdasarkan analisa statistik, pengaruh hidrolisis asam tidak signifikan terhadap kadar selulosa yang dihasilkan.
9 Hemiselulosa merupakan heteropolimer kompleks yang memiliki kandungan utama xilosa dan juga sejumlah arabinosa, manosa, glukosa dan galaktosa (Burchardt dan Ingram 1992). Fengel dan Wegener (1995) menyebutkan bahwa selain arabinosa, manosa dan glukosa, beberapa hemiselulosa juga mengandung galaktosa dan senyawa tambahan yaitu asam uronat. Analisis kandungan hemiselulosa disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan analisa statistik, pengaruh hidrolisis asam tidak signifikan terhadap kadar hemiselulosa yang dihasilkan. Lignin merupakan bahan organik bukan karbohidrat yang berbentuk amorf dan tersusun atas satuan-satuan fenol (Chang et al. 1981). Pada tanaman, lignin yang membungkus selulosa dan hemiselulosa. Kandungan lignin disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan analisa statistik, pengaruh hidrolisis asam tidak signifikan terhadap kadar lignin yang dihasilkan. a
b
c
d
e
f
Gambar 4 Bentuk granula pati (Δ) dan serat (□) ampas sagu hasil pengujian SEM untuk (a) ampas sagu alami; ampas sagu hasil hidrolisis asam (b) 0 jam; (c) 60 jam; (d) 120 jam; (e) 180 jam; dan (f) 240 jam, dengan perbesaran 500×.
10 Pengaruh hidrolisis asam terhadap morfologi granula ampas sagu dapat dilihat menggunakan mikroskop, yakni SEM. Granula pati pada ampas sagu memiliki ukuran diameter 29.41 μm hampir sama dengan ukuran granula pati sagu yang memiliki ukuran 28.43 μm (Lai et al. 2013). Berdasarkan hasil analisa SEM, granula pati ampas sagu yang telah dihidrolisis asam masih memilki bentuk dan ukuran yang sama dengan ampas sagu alami. Ini mengindikasikan bahwa proses hidrolisis asam merusak daerah amorf pada granula tanpa mempengaruhi bentuk dan ukurannya. Lama waktu hidirolisis asam dapat berpengaruh terhadap derajat kristalinitas ampas sagu. Ini terlihat dari Tabel 4 bahwa kristalinitas ampas sagu alami adalah 80.73% sedangkan setelah dihidrolisis nilai kristalinitas ampas sagu menurun. Hal ini menunjukkan bahwa hidrolisis asam turut juga mendegradasi daerah kristalin pada ampas sagu. Perusakan daerah kristalinitas oleh asam terlihat signifikan ini mengacu dari analisa filtrat total gula yang telah dilakukan sebelumnya, dimana total gula dalam filtrat meningkat tiap jam perlakuan. Tabel 4 Pengaruh modifikasi asam terhadap derajat kristalinitas ampas sagu Sampel Ampas sagu alami 0 60 120 180 240
Derajat kristalinitas (%) 80.73 57.33 64.37 62.68 52.22 58.55
Pola difraksi sinar X dari ampas sagu disajikan pada Gambar 6. Ampas sagu menurut Ahmad dan Williams (1999) dan Pukkahuta dan Varavinit (2007) memiliki tipe kristalinitas diantara sereal (tipe–A) dan umbi (tipe-B). Peak dari ampas sagu menunjukkan bahwa ampas sagu memilki campuran dari pati sagu dan serat ampas sagu. Ampas sagu yang dimodifikasi pada jam 0, 60, dan 120 jam memiliki pola kristalinitas yang sama dengan pati alaminya hanya peak tidak terlalu tinggi dengan pati alami. Pengaruh modifikasi hanya merusakkan daerah amorf hingga didapatkan pati yang lebih bersifat kristalin dan tidak mengalami perubahan struktur. Namun ampas sagu yang dimodifikasi pada jam 180 dan 240 jam memiliki pola kristalinitas yang berbeda dengan pati alami. Terlihat bahwa pola kristalinitas pada ampas sagu 180 dan 240 jam memiliki pola yang lebih landai dari pati alami dan persis seperti pola kristalinitas serat ampas sagu. Hal ini dikarenakan terjadi degradasi pada pati ampas sagu. Perubahan ini diduga karena terbukanya struktur double helix pada daerah kristalin. Selain itu juga mungkin terjadi proses terkristalinisasinya amilosa rantai pendek yang membentuk double helix sehingga dapat menyebabkan perubahan bentuk kristalin dalam granula pati dan terjadi penurunan derajat kristalinitas.
11
Gambar 5 Profil kristal ampas sagu hasil (Lai et al. 2013) 23.4ᴼ 17.2ᴼ
17.8ᴼ
Intensitas
15.1ᴼ
Ampas Ampas sagu biasaalami 0 jam 60 jam 120 jam 180 jam 240 jam
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 2θ Gambar 6 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD hasil hidrolisis asam Produksi Biofoam Teknologi pembuatan biofoam yang digunakan pada penelitian ini adalah thermopressing karena dapat dibentuk sesuai yang diinginkan. Alat yang digunakan berupa dua cetakan besi atau baja yang kemudian dipanaskan di bagian atas dan bawahnya. Bagian atasnya akan menekan adonan sehingga akan terbentuk biofoam yang sesuai cetakan. Pada proses ini pati tergelatinisasi, air perlahan-lahan berimbibisi ke dalam granula bolak-balik, setelah itu terjadi pengembangan granula dengan cepat karena penyerapan air cepat sehingga kehilangan sifat birefrigent. Sifat birefrigent adalah sifat dari granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna kuning dan biru. Ketika suhu terus naik molekul yang terdapat pada amilosa terdifusi keluar (McCready 1970). Proses gelatinisasi menyebabkan pengerusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan ini bertanggung jawab mempertahankan struktur granula. Pembengkakan yang terjadi
12 pada granula saat gelatinisasi dikarenakan adanya gugus hidroksil bebas yang akan menyerap air. Pada pembuatan biofoam penggunaan suhu 150ºC dilakukan mengingat titik leleh polivinil alkohol 148ºC (Iriani et al. 2012) dan titik leleh sagu tertinggi 120ºC (Maaruf et al 2001). Dengan mempertimbangkan masing-masing titik leleh bahan serta titik leleh pektin tertinggi sekitar 153ºC, maka suhu proses pembuatan biofoam sekitar 150ºC. Penggunaan bahan pektin berperan sebagai pengikat air bebas dan menjaga kekompakan biofoam. Sementara magnesium stearat berguna sebagai demolding agent. Tekanan yang diberikan pada pembuatan biofoam memang tidak dikontrol namun tekanan pada alat thermopressing sekitar 155-600 Bar. Hasil pengukuran densitas kamba biofoam ini berkisar antara 0.0126-0.0207 3 g/cm . Bila dibandingkan dengan styrofoam yang sebesar 0.035 g/cm3 densitas biofoam penelitian ini lebih rendah. Tentu sebagai produk kemasan, biofoam sebaiknya memiliki densitas yang rendah karena akan berpengaruh pada bobot produk, daya serap air, dan sifat mekanisnya (Iriani et al. 2012). Berdasarkan analisa statistik, pengaruh perlakuan asam tidak berpengaruh nyata pada densitas biofoam yang dihasilkan. Namun, pada Tabel 5 densitas biofoam cenderung meningkat seiring bertambahnya waktu perendaman. Tingginya densitas suatu biofoam akan berpengaruh pada rendahnya daya serap air. Proses ekspansi pada pembuatan biofoam menghasilkan struktur yang berongga. Rongga-rongga ini dapat terisi oleh air. Apabila serat ditambahkan ke dalam adonan biofoam akan membuat rongga-rongga tersebut mengecil karena proses ekspansi terhambat oleh serat. Jika rongga kecil air yang mengisi pun sedikit sehingga nilai daya serap air pun berkurang (Iriani et al. 2012). Tabel 5 Karakteristik fisik dan mekanik biofoam Perlakuan Waktu Perendaman (jam) Parameter
Waktu (menit)
Daya serap air (%)
3 5
Densitas kamba (g/cm3) Kuat tarik (N/mm2) Kuat Lentur (MPa) Kuat Patah (MPa)
Ampas Sagu Alami 110.88
0
60
120
180
240
57.13a
54.68a
36.99a
40.58a
43.13a
224.68 131.96a 108.66a 136.9a 127.2a 94.28a 0.0026 0.0126a 0.0127a 0.0145a 0.0213a 0.0207a 14.44 19.14a 20.34a 21.43a 16.92a 13.71a 186.71 358.21c 215.51b 282.50c 159.53b 104.62a 3.39 7.25e 4.74d 4.94c 2.01b 1.61a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji 5%
Pada Tabel 6 diketahui bahwa nilai daya serap air biofoam tinggi bila dibandingkan dengan styrofoam komersial. Berdasarkan analisa statistik, perlakuan hidrolisis asam tidak signifikan terhadap nilai daya serap air biofoam. Secara keseluruhan nilai daya serap air biofoam meningkat. Nilai daya serap air yang tinggi dapat dipengaruhi oleh porositas dari biofoam dan penggunaan pati (Vercelheze et al. 2011). Menurut Dubat (2004), pati alami mampu menyerap air sebesar 0.4 berat mula-mula pati. Selain itu, penambahan serat juga dapat meningkatkan penyerapan air yang lebih besar karena struktur morfologi yang
13 lebih padat dan viskositas yang cenderung kental (Iriani et al. 2012). Sedangkan penurunan daya serap air dapat terjadi karena pada pati yang telah dirusak bagian amorfnya oleh hidrolisis asam cenderung menurun sensitifitasnya terhadap air. Pengujian kuat lentur pada biofoam ini berkisar antara 104 MPa sampai 358 MPa. Sementara nilai kuat lentur styrofoam komersial berkisar antara 105 MPa sampai 280 MPa. Biofoam pada penelitian ini memiliki nilai kuat lentur pada selang nilai kuat lentur styrofoam komersial. Berdasarkan analisa statistik, penurunan nilai kuat lentur biofoam signifikan pada 0 jam, 60 jam dan 240 jam. Menurut Glenn et al. (2001) bahwa kekuatan dan fleksibilitas pati biofoam dapat ditingkatkan dengan penambahan serat. Namun penambahan serat yang tidak rata pada adonan biofoam akan mengurangi elastisitas karena bagian yang tidak terisi oleh serat pada biofoam akan menjadi titik lemah untuk elastisitas biofoam. Nilai kuat patah pada biofoam berkisar antara 1.6 MPa sampai 7.2 MPa. Nilai kuat patah pada biofoam ini lebih tinggi dibanding nilai kuat patah styrofoam komersial yang berkisar antara 1.3 MPa sampai 1.39 MPa. Ini berarti biofoam pada penelitian ini mampu sebagai pensubstitusi styrofoam komersial sebagai bahan pengemas berkadar air rendah. Berdasarkan analisa statistik, nilai kuat patah biofoam signifikan pada tiap perlakuan. Tingginya nilai kuat patah pada biofoam ini tidak terlepas dari adanya serat yang ditambahkan. Penambahan serat yang tepat menurut Lawton et al. (2004) menyebabkan serat terdistribusi merata dan melekat sempurna pada matriks pati biofoam sehingga meningkatkan kekuatan biofoam. Begitu pula menurut Andersen et al. (1999) bahwa serat dapat digunakan sebagai bahan pengisi biofoam yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan biofoam. Adanya penurunan nilai patah dapat disebabkan serat tidak terdistribusi merata pada biofoam. Tidak meratanya serat dikarenakan terjadi penggumpalan serat pada adonan biofoam akibat pencampuran yang tidak baik (Lawton et al. 2004). Tabel 6 Karakteristik sifat fisik dan mekanis biofoam dan styrofoam Styrofoam Biofoam Hasil Parameter Uji Biofoam Komersial Penelitian a Ketebalan (mm) 2.3 2.60 3 a Densitas (g/cm ) 0.063 0.012 b Daya serap air (%) 0.02 36.99 cd Kuat lentur (MPa) 105-280 358 Kuat Patah (MPa) 1.3-1.39c 7.2 a
Glenn et al. (2000) Cowd (1991) c Glenn et al. (2001) d Shogren et al. (1998) b
Nilai kuat tarik disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan analisa statistik, nilai kuat tarik tidak signifikan di tiap perlakuan. Namun, secara umum adanya kecenderungan penurunan nilai kuat tarik terhadap lamanya hidrolisis asam. Adanya penurunan kuat tarik diakibatkan karena tidak terdistribusinya serat secara merata pada formulasi biofoam. Menurut Buzarovska et al. (2008) penuruan yang terjadi diduga karena rendahnya gaya adhesi antara serat dengan pati sehingga menyebabkan perbedaan fasa antara pati dan serat. Biofoam yang ditambahkan
14 serat memungkinkan menurunnya kemampuan ekspansi biofoam sehingga biofoam tidak memiliki rongga-rongga yang cukup. Hal ini akan menyebabkan biofoam akan lebih mudah dipatahkan atau dibengkokkan (Cinelli et al. 2006).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ampas sagu mengandung komponen terbesar pati dan serat sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan baku biofoam. Semakin lama perendaman terbukti menyebabkan kerusakan pada pati. Dibandingkan ampas sagu alami, perendaman juga menyebabkan penurunan kristalinitas, bahkan pola kristalinitasnya berubah setelah perendaman 60 jam. Hal ini mempengaruhi karakteristik biofoam yang dihasilkan. Pencucian tanpa perendaman (perlakuan 0 jam) menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik mekanik yang lebih dibandingkan ampas sagu alami, berupa penurunan daya serap air, peningkatkan kuat tarik, kuat lentur, dan kuat patah. Jika dibandingkan dengan styrofoam, maka biofoam yang dihasilkan ampas sagu termodifikasi memiliki keunggulan dalam kuat patah dan kuat lenturnya. Saran Biofoam pada penelitian ini dapat diaplikasikan sebagai pengganti styrofoam komersial namun ada beberapa karakteristik yang harus diperbaiki, terutama nilai sifat fisik. Pengurangan daya serap air pada biofoam ini dapat dilakukan dengan mengganti plasticizer yang hidrofobik. Penentuan waktu pencampuran juga diperhatikan supaya bahan-bahan pada adonan tercampur merata. Dibutuhkan juga penelitian suhu penyimpanan biofoam yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA Adeni DSA, Janggu U, Abd-Aziz S, Bujang KB, Yee PL . 2009. Glucose Recovery from Sago Hampas for Ethanol Fermentation. Di dalam: Iskandar ZS, Tahlim S, Hiroshi E, Suwardi Iskandar L, Sintho WA, editor. Proceedings of the 10th International Sago Symposium; 2011 Oct 29-30; Bogor. Indonesia (ID): IPB Pr. hlm 27. Ahmad FB, Williams PA. 1999. Effect of salts on the gelatinization and rheological properties of sago starch. J Agric Food Chem. 47(8):3359–3366. Andersen P, Kumar A, Hodson S. 1999. Inorganically filled starch ased reinforced composite foam materials for food packaging. Res Innovation. 3:2-8. Andersen PJ, Hodson SK. 1996. Molded articles having in inorganically filled organic polymer matrix. US Patent 5545450. [AOAC] The Association Official Analytical Chemists. 2006. Washington (USA): Official Methods of Analysis. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.
15 [ASTM] American Society for Testing and Materials. Standard Test Methods for Flexural Properties of Unreinforced and Reinforced Plastics and Electrical Insulating Material. Philadelpia, USA, ASTM (Annual Book of ASTM Standards). Bloembergen S, Kappen F, Beelen B. 2005. Environmentally friendly biopolymer adhesives and applications based thereon. US Patent 6921430 B2. Buleon A, Colonna P, Planchot V, Ball S. 1998. Starch granules: structure and biosynthesis. Int J Biol Macromol. 23:85-112. Burchardt G, Ingram LO. 1992. Conversion of Xylan to Ethanol by Ethalogenic Strains of Escherichia coli and Klebsiella oxytoca. Appl Environ Microbiol. 58:1128-1133. Buzarovska A, Gaceva B, Grozdanov A, Avella M, Gentile G, Errico M. 2008. Potential use of rice straw as filler in ecocomposite materials. Aust J Crop Sci. 1(2): 37-45. Chang M, Chon TC, Tsao GT. 1981. Structure Pretreatment and Hydrolysis Cellulose. Adv Biochem Eng. 20: 14-25. Chinnaswamy R, Hanna MA. 1988. Relationship between amylose content and extrusion-expansion properties of corn starches. Cereal Chem. 65:138-143. Cinelli P, Chiellini E, Lawton JW. 2006. Foamed articles based on potato starch, cornfibers and polyvinyl alcohol. J Polym Degrad Stabil. 91:1147-1155. Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Bandung (ID): ITB Pr. Davis G, Song JH. 2006. Biodegradable packaging based on raw material from crops and their impact on waste management. J Ind Crops Prod. 23:147161. Dowly BJ, Laseter JL, Storet J. 1976. Transplacental migration and accumulation in blood of volatile organic constituents. J Pediatr Res.10: 696–701. Dubat A. 2004. The Importance and Impact of Starch Damage and Evolution of Measuring Methods. New York (USA): CRC Pr. Fengel D, Wegener D. 1995. Kimia Kayu, Reaksi Ultrastruktur: Terjemahan S. Hardjono. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Fritz HG, Seidenstucker T, Bolz U, Juza M. 1994. Study On Production of Thermoplastics and Fibres Based Mainly on Biological Materials., German (GE): University Stuttgrat. hlm 350. Glenn GM, Orts WJ. 2000. Properties of starch-based foam formed by compression: explosion processing. J Ind Crops Prod. 13:135-143. Glenn GM, Orts WJ, Nobes GAR. 2001. Starch, fiber, CaCO3 effect on the physical properties of foams made by a baking process. J Ind Crops Prod. 14:201-212. Holtzapple MT. 1993. Cellulose. In: Encyclopedia of Food Science, Food Technology and Nutrition. London (UK): Academic Pr. hlm 2731-2738. Iriani ES, TT Irawadi, TC Sunarti, N Richana, I Yuliasih. 2012. Effect of polyvinyl alcohol and corn hominy on improvement of physical and mechanical properties of cassava starch based foam. Eur J Sci Res. 81(1): 83-87. Kusuma AH. 2012. Proses Hidrolisis Asam Senyawa Polisakarida Rumput Laut Caulerpa racemosa, Sargassum crassifolium, dan Gracilia salicornia. [Skripsi]. Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor.
16 Maaruf AG, YB Che Man, BA Asbi, AH Junainah, JF Kennedy. 2001. Effect of water content on the gelatinisation temperature of sago starch. Carbohydr polym. 46:331-337. Ma X, Jian R, Chang PR, Ju Y. 2008. Fabrication and characterization of citric acid-modified starch nanoparticles/ plasticized-starch composites. Biomacromolecular. 9(11):3314-3320. McCready RM. 1970. Starch and dextrin method in food analysis. New York (USA): M. A. Joslyn Academic Pr. Lai JC, Rahman WAWA, Toh WY.2013. Characterisation of sago pith waste and its composites. J Ind Crops and Prod. 45: 319-326. Lawton JW, Shogren RL, Tiefenbacher KF. 2004. Aspen fiber addition improves the mechanical properties of baked cornstarch foams. J Ind Crops Prod.19:41-48. Lickly TD, Lehr KM, Welsh GC. 1995. Migration of styrene from polystyrene foam food-contact articles. Food Chem Toxic. 33(6):475-481. Linggang S, Phang LY, Wasoh MH, Abd-Aziz S. 2012. Sago Pith Residue as an Alternative Cheap Substrate for Fermentable Sugars Production. Appl Biochem Bioetanol. 167:122-131. Lin JH, Lee SY, Chang YH. 2003. Effect of acid–alcohol treatment on the molecular structure and physicochemical properties of maize and potato starches. Carbohydr Polym. 53: 475–482. Poovarodom N. 2006. Non-synthetic biodegradable starch-based composition for production of shaped bodies.US Patent 7067651. Pukkahuta C, Varavinit S. 2007. Structural transformation of sago starch by heatmoisture and osmotic-pressure treatment. Starch-Starke. 59(12): 624– 631. Radley, JA. 1976. Examination and Analysis of Starch and Starch Products. London (UK): Applied Science Publishers. Rapaille A, Vanhemelrijck J. 1994. Modified starch. London (UK): Champman and Hall. Salgado PR, Schmidt VC, Ortiz SEM, Mauri AN, Laurindo JB. 2008. Biodegradable foams based on cassava starch, sunflower proteins and cellulose fibers obtained by baking process. J Food Eng. 85: 435-443. Samir M, Alloin F, Paillet M, Dufresne A .2004. Tangling effect in fibrillated cellulose reinforced nanocomposites. Macromolecules. 37:4313–4316 Shogren RL, Lawton JW, Tiefenbacher KF, Chen L. 1998. Starch-poly(vinyl alcohol) foamed articles prepared by a baking process. J Appl Polym Sci. 68:2129-2140. Tien R, Muchtadi, dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor (ID): IPB Pr. Vercelheze AES, Fakhouri FM, Antonia LHD, Urbano A, Youssef EY, Yamashita F, Mali S. 2011. Properties of baked foams based on cassava starch, sugarcane bagasse, fibers and montmorillonite. Carbohydr Polym. 87:1302-1310.
17 Lampiran 1 Prosedur analisis karakterisasi bahan baku 1. Kadar air metode oven (AOAC 2006) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (a). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (b) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (c). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: (
( )
)
2. Kadar abu metode tanur (AOAC 2006) Cawan porcelen dibakar dalam tanur (550 oC) selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (a). Sampel sebanyak 2–3 g (w) ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 550 oC selama 6 jam. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik (x). Kadar abu diukur dengan cara sebagai berikut: adar abu (%) =
(x a)
x 100%
3. Kadar protein kasar metode mikro Kjeldahl (AOAC 2006) Sebanyak 0.1 g sampel ditimbang kemudian ditambahkan katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dengan perbandingan 5:6 dan 2.5 H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai bening (hijau). Didinginkan dan dicuci dengan aquades secukupnya. Selanjutnya didestilasi dengan penambahan NaOH 50% sebanyak 15 mL. Hasil destilasi ditampung dengan HCl 0.02 N. Proses destilasi dihentikan apabila volume destilat telah mencapai dua kali volume sebelum destilasi. Hasil destilasi dititrasi dengan NaOH 0.02 N dan indikator mensel (campuran metil merah dan metil biru). Kadar protein kasar dapat dihitung dengan cara berikut : adar protein kasar (%) = dimana, b s n m f
(b s) n 14 (m 1000)
f
x 100%
= volume titrasi blanko (ml) = volume titrasi sampel (ml) = normalitas NaOH = berat sampel (g) = faktor konversi dari nitrogen ke protein (tepung 6.25; beras 5.95)
18 4. Kadar lemak kasar metode soxhlet (AOAC 2006) Sampel ditimbang 3 g lalu dimasukkan ke kertas saring berbentuk tabung (selongsong). Labu lemak/soxhlet dimasukkan ke dalam oven, lalu ditambahkan batu didih dan ditimbang sebagai bobot kosong. Selongsong dimasukkan ke dalam soxhlet, kemudian labu lemak dihubungkan dengan soxhlet dan ditambahkan pelarut heksan 150 mL melewati soxhlet. Labu lemak dan soxhlet dihubungkan dengan penangas dan diekstrak selama 4 jam. Setelah ekstraksi selesai, labu lemak dievaporasi untuk menghilangkan pelarut. Selanjutnya labu lemak dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC selama 1 jam. Setelah dingin ditimbang sebagai bobot akhir (bobot labu dan lemak). Kadar lemak kasar dapat dihitung dengan cara berikut : adar lemak kasar (%) =
(c
b) a
x 100%
dimana, a = bobot sampel (g) b = bobot labu lemak dan batu didih (g) c = bobot labu lemak, batu didih, dan lemak (g) 5. Kadar serat kasar (AOAC 2006) Sebanyak 0.5 g sampel yang telah digunakan pada penetapan lemak ditimbang lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan 100 mL asam sulfat 1.25% dan dipanaskan sampai mendidih. Setelah 1 jam ditambahkan 100 mL NaOH 3.25%, dipanaskan kembali sampai mendidih selama 1 jam, kemudian didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Endapan dicuci dengan asam sulfat encer dan alkohol, lalu kertas saring dan endapan dikeringkan dalam oven dan ditimbang. Kadar serat kasar dapat dihitung dengan cara berikut : adar serat kasar (%) =
(b c) x 100% a
dimana, a = bobot sampel (g) b = bobot endapan (g) c = bobot abu (g) 6. Kadar pati (Apriyanto et al. 1989) Sebanyak 3 g sampel ditimbang (w), dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL, ditambahkan aquades sebanyak 80 ml, dan dipanaskan dengan pengangas air hingga terjadi gelatinisasi. Setelah tergelatinisasi, larutan ditambahkan 0.1 ml enzim α-amilase. Pemanasan dilakukan pada suhu 90 oC hingga hidrolisis pati sempurna yang ditandai dengan warna jingga larutan saat diteteskan larutan iod 2%. Larutan dalam erlenmeyer ditera hingga 250 mL. Sebanyak 1 ml sampel diambil dari erlenmeyer dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 0.5 mL fenol 5% dan 2.5 mL H2SO4 pekat. Larutan dibiarkan hingga dingin, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Kadar pati dihitung dengan rumus berikut:
19 adar pati (%) =
c 250
fp
0.
x 100%
dimana, c = konsentrasi pati sampel dari kurva standar fenol sulfat (mg/ml) w = bobot residu sampel (g) fp = faktor pengenceran
20 Lampiran 2 Prosedur analisa karakterisasi ampas sagu termodifikasi 1. Penetapan ADF (Apriyanto et al. 1989) Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan kedalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 100 ml larutan ADF, didihkan pada pendingin tegak selama 60 menit. Lalu saring dengan filter gelas 2-G-3, endapan yang diperoleh dicuci dengan aquades panas beberapa kali. Endapan dicuci kembali dengan aseton beberapa kali. Kemudian endapan beserta filter gelas di oven 100 ᴼC selama 8 jam . Setelah itu ditimbang. Endapan kemudian diabukan dengan tanur pada suhu 450500 ᴼC selama 3 jam kemudian ditimbang. Kadar ADF dihitung dengan rumus : adar A F (%) =
(a b)
x 100%
dimana, a = bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g) b = bobot filter dan endapan setelah diabukan (g) w = bobot awal sampel (g) 2. Penetapan NDF (Apriyanto et al. 1989) Sebanyak 0.5 gram sampel dimasukkan kedalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 30 ml larutan α-amilase dan inkubasi pada suhu 40 ᴼC selama 16 jam. Setelah itu, tambahkan 200 ml larutan NDF dan 0.5 gram Na2SO3. Kemudian direfluks pada pendingin tegak selama 60 menit. Saring campuran melalui filter gelas 2-G-3 dan cuci dengan dengan aquades panas beberapa kali. Endapan dicuci kembali dengan aseton beberapa kali. Kemudian endapan beserta filter gelas di oven 100 ᴼC selama 8 jam . Setelah itu ditimbang. Endapan kemudian diabukan dengan tanur pada suhu 450-500 ᴼC selama 3 jam kemudian ditimbang. Kadar NDF dihitung dengan rumus : adar A F (%) =
(a b)
x 100%
dimana, a = bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g) b = bobot filter dan endapan setelah diabukan (g) w = bobot awal sampel (g) 3. Penetapan Lignin (Apriyanto et al. 1989) Sebanyak 0.5 gram sampel dimasukkan kedalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 100 ml larutan ADF, didihkan pada pendingin tegak selama 60 menit. Lalu saring dengan filter gelas 2-G-4. Setelah itu, tempatkan filter gelas yangberisi residu pada gelas piala 100 ml. Tambahkan 25 ml H2SO4 72% dingin (15 ᴼC) kedalam filter gelas, aduk dengan gelas pengaduk sampai berbentuk pasta halus. Biarkan selama 3 jam pada suhu 20-30 ᴼC sambil diaduk-aduk setiap 1 jam sekali. Kemudian disaring dengan bantuan vakum. Lalu cuci dengan dengan aquades panas beberapa kali. Endapan dicuci kembali dengan aseton beberapa kali. Kemudian endapan beserta filter gelas di oven 100 ᴼC selama 8 jam . Setelah itu ditimbang. Endapan kemudian diabukan dengan tanur pada suhu 450-500 ᴼC selama 3 jam kemudian ditimbang. Kadar NDF dihitung dengan rumus :
21
adar Lignin (%) =
(a b)
x 100%
dimana, a = bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g) b = bobot filter dan endapan setelah diabukan (g) w = bobot awal sampel (g)
4. Total Gula pada Filtrat dengan Metode Fenol-Sulfat Sampel sebanyak ml (mengandung ≤ 100 μg karbohidrat) ditambahkan dengan 0.5 ml larutan fenol 5% kemudian dikocok-kocok dengan vortex agar homogen. Dilakukan penambahan 2.5 ml H2SO4 secara langsung pada bagian permukaan (tanpa menyentuh dinding tabung reaksi). Reaksi pencampuran didiamkan tanpa gangguan selama 10 menit. Pembacaan nilai absorbansi dilakukan minimal 30 menit setelah pengocokan pada panjang gelombang 490 nm. Pembacaan pada spektrofotometer memberikan nilai dalam satuan absorbansi sehingga untuk mengetahui jumlah total gula dalam sample tesebut, terlebih dahulu dibuat kuva standar glukosa. Untuk pembuatan kuva standar glukosa digunakan glukosa standar (0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 ppm). Masingmasing diambil 1 ml sesuai dengan prosedur pengukuran total gula. Hasil pembacaan pada spektrofotometer dikumpulkan dan dicari persamaannya, dari persamaan inilah dapat diketahui jumlah total gula yang terdapat di dalam sampel. 1,2 y = 0,0157x + 0,0105
Absorbansi
1,0
R² = 0,9935
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 0
10
20
30
40
50
Konsentrasi glukosa (mg/l)
60
70
22 Lampiran 3 Prosedur analisa karakterisasi biofoam 3.1 Analisa Sifat Fisik Biofoam 1. Uji Ketebalan (Vercelheze et al. 2011) Produk Biofoam dilakukan pengujian ketebalan dengan menggunakan alat ukur ketebalan digital. Pengujian ketebalan dilakukan pada enam titik berbeda tiap sampel. 2. Densitas Kamba (Tien 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering (kerupuk beras goreng) dan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur (a) kemudian sampel dimasukkan dalam gelas ukur 50 ml. Gelas ukur yang telah berisi sampel diketuk-ketukkan ke meja hingga tidak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi 50 ml kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b). Nilai densitas kamba dapat diperoleh dari perhitungan berikut : ensitas kamba (g mL) =
(b a) g 80 ml
3. Uji Daya Serap Air Pengujian daya serap air diawali dengan memotong sampel berukuran 2.5 x 2.5 cm. Contoh uji (D1) ditimbang kemudian direndam dalam air dingin selama 3 menit, 5 menit, 10 menit, dan 15 menit.Contoh uji ditimbang kembali (D2) dan dihitung daya serap air dengan menggunakan rumus : A (%) =
( 2
1) 1
x 100%
dimana, WA = water absorption (%) D1 = bobot awal (g) D2 = bobot setelah perendaman (g)
3.2 Analisa Sifat Mekanik 1. Uji Kuat Lentur (D790M-91 ASTM 1991) Pengujian diawali dengan menyiapkan sampel berukuran 2.5 x 10 cm dalam kondisi kering. Uji MOE ini dilakukan dengan menggunakan alat Universal Testing Macine (UTM). Nilai MOE papan partikel dapat dihitung menggunakan rumus: MO (kgf cm2 ) =
PL3 4 ybh3
23 Keterangan: P = Perubahan beban yang digunakan (kgf) L = Panjang bentang (cm) y = Perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm) b = Lebar sampel (cm) h = Tebal sampel (cm) 2. Uji Kuat Patah (D790M-91 ASTM 1991) Pengujian diawali dengan menyiapkan sampel berukuran 2.5 x 10 cm dalam kondisi kering. Uji MOR ini dilakukan dengan menggunakan alat Universal Testing Macine (UTM). Nilai MOR papan partikel dapat dihitung menggunakan rumus: MO (kgf cm2 ) =
3PL 2bh2
Keterangan: P = Beban maksimum (kgf) L = Panjang bentang (cm) b = Lebar sampel (cm) = Tebal sampel (cm) h 3. Uji Kuat Tarik Disiapkan sebanyak 2 lembar sampel dan dihitung rata-rata tebalnya. Pengujian dilakukan dengan cara kedua ujung sampel dijepit mesin penguji. Tombol ‘start’ dinyalakan dan alat akan menarik sampel hingga putus dan dicatat gaya kuat tarik (F) serta panjang setelah putus. Selanjutnya dilakukan pengujian lembar berikutnya. Ketahanan tarik (N/mm2) = Gaya kuat tarik (F) / Luas permukaan (A)
24 Lampiran 4 Analisa statistik ampas sagu dan biofoam a. Rendemen ampas sagu SS Perlakuan 12.127 1.4228 Galat 13.5498 Total
Perlakuan
N
240 jam 120 jam 180 jam 60 jam 0 jam Sig.
2 2 2 2 2
df 4 5 9
MS F Sig. 3.03176 10.6542* 0.01157 0.28456
Subset for alpha = 0.05 1 2 91.345 91.5 91.685 93.145 94.155 0.561 0.117
b. Total gula SS Perlakuan 29465.8 Galat 836.427 Total 30302.2 Perlakuan N 0 jam 60 jam 120 jam 180 jam 240 jam Sig.
df 4 25 29
MS F 7366.442 220.176* 33.457
Sig. 0
Subset for alpha = 0.05 2 3 4
1 5 6 0.3917 6 51.6967 6 72.21 6 79.6183 6 87.7283 1 1 1 1 1
c. Kadar pati SS Perlakuan 1177.701 Galat 3.839 Total 1181.540
df 4 5 9
MS 294.425 0.768
F 383.456*
Sig. 0
25 Waktu
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 4 48.07 42.95 40.02 25.73
N
0 jam 60 jam 120 jam 180 jam 240 jam Sig.
2 2 2 2 2
5
19.38 1
1
1 0.859
d. Kadar air Perlakuan Galat Total Waktu 120 jam 240 jam 180 jam 0 jam 60 jam Sig.
SS 11.146 0.324 11.469
df 4 5 9
MS 2.786 0.065
F 43.027*
Subset for alpha = 0.05 1 5.42 5.585 5.755
N 2 2 2 2 2
0.256
e. Selulosa SS df Perlakuan 17.435 4 Galat 6.928 5 Total 24.363 9
Waktu 120 jam 180 jam 60 jam 240 jam 0 jam Sig.
N 2 2 2 2 2
MS F Sig. 4.359 3.146* 0.120 1.386
Subset for alpha = 0.05 1 2 11.37 13.04 13.04 14.00 14.00 14.20 14.20 15.31 .069 .122
Sig. 0
2
7.685 7.775 0.738
26 f. Hemiselulosa Perlakuan Galat Total
SS 2.765 3.884 6.649
Waktu
N
60 jam 240 jam 120 jam 0 jam 180 jam Sig.
2 2 2 2 2
df 4 5 9
MS 0.691 0.777
F 0.890*
Sig. 0.532
Subset for alpha = 0.05 1 4.98 5.91 4.58 5.87 5.04 0.204
g. Lignin Perlakuan Galat Total Waktu 240 jam 0 jam 60 jam 120 jam 180 jam Sig.
SS 7..118 9.912 17.031 N 2 2 2 2 2
df 4 5 9
MS 1.780 0.395
F 0.898*
Sig. 0.528
Subset for alpha = 0.05 1 31.150 43.200 47.050 48.300 57.100 .136
h. Moe SS Perlakuan 77991.1 Galat 2449.55 Total 80440.7
df 4 5 9
MS 19497.786 489.91
F 39.799*
Sig. 0.001
27 Waktu
N
240 jam 180 jam 60 jam 120 jam 0 jam Sig.
2 2 2 2 2
Subset for alpha = 0.05 1 2 111.60619 182.09983 230.85352
1
3
312.528 357.558 0.098
0.079
i. Mor SS 42.045 0.312 42.357
Perlakuan Galat Total Waktu
N
240 jam 180 jam 120 jam 60 jam 0 jam Sig.
2 2 2 2 2
df 4 5 9
1 1.28645
MS F 10.511 168.475* 0.062
Sig. 0
Subset for alpha = 0.05 2 3 4
5
2.40494 4.57091 5.59429 1
1
1
1
6.8912 1
j. Ketebalan SS 1.288 0.054 1.342
Perlakuan Galat Total
Waktu 240 jam 180 jam 120 jam 60 jam 0 jam Sig.
N
df 4 10 14
MS 0.322 0.005
Subset for alpha = 0.05 2 3 4
F 59.475*
1 5 3 2.34333 3 2.56333 3 2.76333 3 2.99333 3 3.16333 1 1 1 1 1
Sig. 0
28 k. Densitas kamba Perlakuan Galat Total
Waktu
SS 0 0 0
N
0 jam 60 jam 120 jam 240 jam 180 jam Sig.
2 2 2 2 2
df 4 5 9
MS 0 0
F 1.144*
Sig. 0.432
Subset for alpha = 0.05 1 0.01262 0.01271 0.01451 0.02078 0.02138 0.2
l. Daya Serap air menit ke-3 SS Perlakuan 633.78 Galat 2109.06 Total 2742.84
Waktu 120 jam 180 jam 240 jam 60 jam 0 jam Sig.
N 2 2 2 2 2
df 4 5 9
MS 158.445 421.812
F 0.376
Sig. 0.818
Subset for alpha = 0.05 1 36.99353 40.58515 43.13943 54.68739 57.13978 0.382
m. Daya serap air menit ke-5 SS Perlakuan 2541.16 Galat 3816.34 Total 6357.5
df 4 5 9
MS 635.291 763.267
F 0.832*
Sig. 0.558
29
Waktu
N
240 jam 60 jam 180 jam 0 jam 120 jam Sig.
2 2 2 2 2
Subset for alpha = 0.05 1 94.28428 108.66237 127.20042 131.9693 136.90627 0.196
n. Kuat tarik SS Perlakuan 75.366 Galat 164.8 Total 240.166 Waktu
N
240 jam 180 jam 0 jam 60 jam 120 jam
2 2 2 2 2
df 4 5 9 Subset for alpha = 0.05 1 13.71123 16.92299 19.14623 20.34439 21.43612
MS 18.842 32.96
F 0.572
Sig. 0.696
30
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 28 Oktober 1991 dari Bapak Akhmad Jazuli dan Ibu Iis Aisyah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA N 1 Kota Serang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama diperkuliahan penulis aktif di UKM Merpati Putih. Penulis juga aktif diberbagai kepanitian acara Himpunan Teknologi Industri Pertanian. Bulan Juni-Agustus 2012 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PUSLITKOKA (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao), Jember dengan judul Mempelajari Aspek Penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) Pada Pengolahan Biji dan Produk Kakao.