MODEL PREDIKSI TINGGI BADAN LANSIA ETNIS JAWA BERDASARKAN TINGGI LUTUT, PANJANG DEPA, DAN TINGGI DUDUK
FATMAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
MODEL PREDIKSI TINGGI BADAN LANSIA ETNIS JAWA BERDASARKAN TINGGI LUTUT, PANJANG DEPA, DAN TINGGI DUDUK
FATMAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT FATMAH. Predictive Equations for Estimation of Stature in Javanese Elderly People based on Knee Height, Am Span, and Sitting Height. Under the direction of
HARDINSYAH, BOEDHIHARTONO, and TRIBOEDHI S. Height is an important clinical indicator to derive body mass index (BMI) predicting the nutritional status of elderly. However, height measurement in the elderly may impose some difficulties and the reliability is doubtful. Equation estimating height from knee height parameter to predict stature in elderly i.e. Chumlea equation have been developed in European, but it could not be applied in Indonesian elderly due to inaccuracy of the result and the difference of stature. The objective of this study was to develop statistical model using knee height, arm span, sitting height; to analyze the correlation between height and underlying factors i.e. areas, age, sex, physical activity level, economic level, occupational physical activity level, bone mineral density (osteoporosis), and body fat (percentage and visceral fat). There were 812 healthy Javanese elderly people (295 males, and 517 females), aged 55 to 85 years old in the six places (Surabaya, Magetan, Yogyakarta, Gunung Kidul, Semarang, and Wonogiri) who participated in this cross sectional study. Standing height, weight, knee height, arm span, sitting height, bone mass density, and body fat were measured. Standing height is an ideal technique for estimating the stature of elderly people, but in cases it was not to be measured. It can be estimated from proxy indicators of stature. Linear regression analysis was carried out to derive predictive equations for estimation of stature with elderly height as the dependant variable and knee height, arm span, and sitting height as independent variables, according to gender. The Chumlea equation tended to be over-estimate in stature of elderly men (2.78 cm), and elderly women (4.90 cm). In this study, arm span showed the stongest correlation with standing height on elderly men (r = 0.815), and elderly women (r = 0.754). There was a significant difference of stature in urban and rural areas and economic level (p<0.05). Advancing age was associated with decreased mean of height, weight, arm span, and sitting height both on elderly male and female, but not on knee height (p < 0.01). In conclusions arm span has the highest validity to predict height on healthy Javanese elderly people. The correlation coefficient of arm span to actual height was a little bit larger on elderly male than on female. It should be borne in mind that equation derived from taller stature populations (e.g. Chumlea from Caucasians ethnic) may be less accurate when applied to shorter stature populations. The study showed that height had significant correlation with bone density in female elderly, and visceral fat in both sex of elderly. Key words: height, knee height, arm span, sitting height, Chumlea
RINGKASAN FATMAH. Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk. Dibimbing oleh HARDINSYAH, BOEDHIHARTONO, and TRIBOEDHI S. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia meningkatkan kebutuhan interpretasi hasil-hasil pengukuran antropometri untuk mengevaluasi status gizi dan kesehatan mereka. Oleh karena tinggi badan adalah komponen beberapa indikator status gizi, maka pengukuran tinggi badan individu secara tepat sangat penting. Tetapi mendapatkan hasil pengukuran yang akurat pada manusia usia lanjut cukup sulit karena masalah postur tubuh yang berubah, atau harus duduk di kursi roda atau tempat tidur. Tujuan studi adalah untuk mengembangkan model prediksi tinggi badan lansia berdasarkan prediktor tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, wilayah tempat tinggal (desa dan kota), jenis kelamin, usia, asupan zat gizi kalsium tingkat aktivitas fisik, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir). Studi telah dilakukan pada 812 lansia Etnis Jawa di 6 lokasi yaitu Kota Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Kabupaten Magetan, Wonogiri, dan Gunung Kidul. Kriteria inklusi responden adalah lansia yang tinggal/berada di masyarakat baik pria maupun wanita dengan usia antara 55 – 65 tahun, memiliki kedua orang tua berasal dari Suku Jawa asli, tinggal sendiri atau bersama keluarga, kondisi tubuh sehat dan masih mampu berdiri tegak, memiliki status densitas massa tulang normal atau osteopenia atau menderita osteoporosis, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian pada masa lampau dengan cukup baik), serta dapat berkomunikasi dua arah dengan baik. Kriteria eksklusi sampel yang tidak masuk dalam penelitian adalah: lansia memiliki salah satu tangan yang tidak dapat direntangkan karena patah, joint stiffness, atau akibat tertentu, mengalami patah tulang/kaki palsu, menderita stroke atau gangguan ingatan, dan gangguan berkomunikasi. Setengah dari seluruh responden yang diukur dan diwawancarai dalam studi ini memiliki status gizi normal (56,7%). Selebihnya adalah gizi lebih (23,9%), gizi kurang (10,2%), dan kegemukan (9,2%) berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Hampir setengah total responden menderita osteopenia (48,8%), sisanya osteoporosis (32,9%), dan normal (18,3%). Setengah dari total responden memiliki persen lemak tubuh tingkat tinggi (52,3%), dan selebihnya mendekati tingkat tinggi (28,3%), dan normal (19,3%). Sebagian besar responden mempunyai lemak viseral normal (60,5%), dan sebagian kecil mendekati tingkat tinggi (26,7%), dan tinggi (12,8%). Tinggi badan lansia dapat diprediksi dari tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Panjang depa memiliki korelasi dan sensitivitas paling tinggi dibandingkan tinggi lutut dan tinggi duduk. Persamaan Chumlea pada Ras Kaukasoid di Eropa dengan prediktor tinggi lutut tidak tepat digunakan untuk memprediksi tinggi badan lansia Etnis Jawa karena rata-rata selisih terhadap tinggi badan sebenarnya pada lansia laki-laki cukup besar (2,78 cm) dan lansia perempuan (4,90 cm). Tinggi badan memiliki perbedaan bermakna dengan tingkat pendidikan akhir yang dilalui dan beban pekerjaan fisik harian lansia. Tinggi badan berhubungan dengan densitas massa tulang (osteoporosis), dan lemak viseral. Faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan osteoporosis adalah wilayah kota-desa, jenis kelamin perempuan, kelompok umur tua, tingkat pendidikan akhir, beban pekerjaan fisik harian, dan tingkat aktivitas fisik. Faktor risiko paling dominan terhadap osteoporosis adalah jenis kelamin perempuan dengan OR = 2,85. Setengah dari total responden memiliki persen lemak tubuh tingkat tinggi (52,3%), dan selebihnya mendekati tingkat tinggi (28,3%), dan normal (19,3%). Wilayah kota-desa, beban kerja fisik harian usia 25 dan 35 tahun merupakan faktor-faktor risiko peningkatan persen lemak tubuh. Lansia dengan beban kerja ringan ketika berusia 25 tahun paling berpengaruh terhadap peningkatan persen lemak tubuh karena memiliki peluang sebesar 4,32 kali lebih besar daripada lansia dengan beban kerja fisik berat pada usia yang sama. Mayoritas responden mempunyai lemak viseral normal (60,5%), dan sebagian kecil mendekati tingkat tinggi (26,7%), dan tinggi (12,8%). Lemak viseral tingkat tinggi dalam penelitian ini berhubungan dengan faktor-faktor risikonya yaitu: wilayah kota, jenis kelamin, tingkat pendidikan akhir, dan beban kerja fisik harian yang ringan ketika berusia 55 tahun. Beban kerja fisik harian memiliki faktor risiko terbesar dalam peningkatan status lemak viseral lansia karena berpeluang 2,29 kali lebih besar dibandingkan dengan lansia yang memiliki beban kerja fisik berat.
Kata kunci: tinggi badan, tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, Chumlea