Artikel Penelitian
Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarlian Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan TinggiDuduk
Fatmahr llardinsyah, Boedhihartono, Departemen Or,
*o"Oo*
Tri Budi W. Rahardjo donesia
Abstrqk:
Tuiuan penelitiqn ini adalah untuk mengembangkan persamaan/model prediksi tinggi badan lanjut usia berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, danfaktor-faktor tain seperti wilayah tinggal (desa-kota), jenis kelamin, usia, asupan kalsium usia 25 dan 55 tahun, tingknt alctivitas fisik, dan tingknt sosio-ekanomi (pendidikan akhir dan status pekerjaan usia 25 dan 55 tahun). Sebanyak 812 lansia Suku Jawa dengan tubuh sehat (295 pria, dan 5lZ wanita) usia 55-85 tahun di (Surabaya, Magetan, yogltakarta, Gunung Kidul, semarang, dan Wonogiri) terlibat pada studi eross sectionsl ini. Tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, pinjang depa, dan densitas massa tulang diukur dalam penelitian ini. Analisis biiirtat deigo" uji regressi linier sederhana dilakukan untuk memperoleh estimasi tinggi badan lansia sebagai variabel terikat dengan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk sebagai variabel beiqs. Hasil studi menunjukkan bahwa persamaqn Chumlea dari lansia Ras Kaukasoid memiliki ratarata nilai over-estimasi sebesar 2,78 cm pada lansia laki-laki dan 4,9 cm pada lansia perempuan. Studi ini menunjukkan bahwa panjang depa memiliki korelasi tertinggi dengan tinggi badan pada lansia pria (r:0,815), dan lansiq wanita (r:0,75e. Terdapat perbedaan bermahta pada tinggi badan lansia di desa dan kota, dan tingkat sosio-ekonomi (p<0,05). Peningkila; usiq dihubungkan dengan menurunnya rata-rato tinggi badan, berat badan, panian[ depa, dan tinggi duduk pada kedua jenis kelamin, tetapi tidak untuk tinggi lutut. Disimpulkan bahwa persamaan Chumlea kurang tepat digunaknn pada populasi Suku Jawa yang memiliki postur tubuh lebih pendek dibandingkan Ras Kaukasoid. Panjang depa adalah pr"dikto, yang paling representatif untuk memprediksi tinggi badan lansia Suku Jawa. Koefisien korelasi paniang depa terhadap tinggi badan sebenarnya pada lansia pria tebih besar daripada lansii winiti. Ksta kunci: tinggi badan, tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, Chumlea
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 12, Desember
200g
Predilrsi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut
Predictive Equations for Estimation of Stature in Javanese Elderly People based on Knee Height, Am Span, and Sitting Height Fatrnah, Hardinsyah, Boedhihartono, Tri Budi W. Rahardjo Department of Public Health Nutrition, Faculty of Public Health, University of Indonesia,
Abstract: The objective of this study was to develop a statistical model using lvtee height, arm span, sitting height, and otherfactors such as areas (urban-rural), sex, age, calcium intake at 25 and 55 years old, physical activity level, and socio-economic level (educational background, and working status aged 25 and 55 years. Heahhy Javanese elderly people (295 males, and 517 fenales), aged 55 to 85 years old in the six places (Surabaya, Magetan, Yogtaknrta, Gunung Kidul, Semarang, andWonogiri) participatedinthis toss sectionalstudy. Standingheighlweight, knee height, ann span, sitting height, and bone mass density) were measured. Standing height is an ideal techniquefor estimating the stature ofelderly people, but in some cases it cannot be measured. It can be estimated from prory indicators of stature. Linear regression analysis was carried out to derive predictive equations for estimation ofstature with elderly height as the dependent variable and knee height, arm span, and sitting height as independent variables, stratif.ed based on gender The Chumlea equation tended to be over-estimate the stunre of elderly men (2.78 cm), and elderlywomen (4.9 cm). In this study, arm span showed the stongest cotelation with standing height on elderly men (r=0.815), and elderly women (r=0.754). There was a significant difference of stature inurban and rural areas and across socio-economic level (p<0.05). Advancing age was associated with decreased mean of height, weight, aftn span, and sitting height both on elderly male andfemale, but not on knee height (p<0.01). In conclusions arm span is more representatifto predict height on healthy Javanese elderly people than knee height and sitting height. The correlation cofficient of ann span to actual height was larger in elderly male than infemale. It should be borne in mind that equation derivedfrom taller stature populations (e.g. Chumlea from Caucasians ethnic) may be less accurate when applied to shorter stature populations. Keyuords: height, lmee height, arm span, sitting height, Chumlea
Pendahuluan Dalam dua dekade terakhir tet'adi peningkatan populasi penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia dari 4,48o/o di Tahnn I 97 I (5,3 juta jiwa) meriadi 9,7 7 o di Tahun 20 I 0 (23,9 juta jiwa). Bahkan pada Tahun 2020 diprediksi akan terjadi ledakan jumlah penduduk lansia sebesar I 1,34% atau sekitar 28,8 juta jiwa.t Peningkatan jumlah lansia mempengaruhi aspek kehidupan yaitu munculnya perubahan-perubahan fisik, biologis, psikologis, dan sosial akibat proses penuaan atau munculnya penyakit degeneratif akibat proses penua:ln tersebut. Beberapa perubahan komposisi tubuh yang terjadi seiring pertambahan usia adalah penurunan tinggi badan (TB) akibat penurunan massa tulang yang dapat mengubah struktur tulang, meningkatnya BB, dan meningkatnya massa
lemaktubuh. Tinggi badan merupakan komponen beberapa indikator status gizi sehingga pengukuran TB seseorang secara akurat sangatlah penting untuk menentukan nilai IMT (Indeks
510
Massa Tubuh). Indeks Massa Tubuh berguna sebagai indikator untuk menentukan adanya indikasi kasus KEK (Kurang Energi Kronik) dan kegemukan (obesitas). Pengukuran tinggi badan lansia secara tegak (standing height) tidak dapat diukur dengan tepat dan menimbulkan bias karena dipengaruhi oleh beberapa penyakit antara lain: kifosis dan skoliosis. Untuk mengetahui tinggi badan lansia
dapat diperoleh dari prediksi tinggi lutut (lorce height), panjang depa (arm span), dan tinggi duduk (sitting height). Tinggr lutut dapat digunakan untuk melakukan estimasi TB lansia dan orang cacat. Proses penuaan tidak mempengaruhi panjang hrlang di tangan, kaki (lutut), dan tinggi tulang ver-
tebral. Panjang depa relatif kurang dipengaruhi oleh penambahan usia. Pada kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai panjang depa yang lebih lambat dibandingkan dengan penurunan TB sehingga dapat disimpulkan bahwa panjang depa cenderung tidak banyak berubah sejalan penambahan usia. Panjang depa direkomendasikan sebagai
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 12, Desember
2008
Predil<si Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut parameter prediksi tinggi badan, tetapi tidak seluruh populasi
memiliki hubungan I : 1 antara panjang depa dan tinggi badan. Tinggi duduk juga dapat memprediksi TB lansia, tetapi cenderung menurun seiring penambahan usia. Selanjutnya prediksi TB lansia dianggap sebagai indikator yang cukup valid dalam mengembangkan indeks antropometri dan melakukan interpretasi pengukuran komposisi tubuh. Hal lain yang mendorong perlunya dilakukan pengembangan model prediksi TB lansia Indonesia adalah hingga saat ini Departemen Kesehatan RI belum memiliki rumus persamaan prediksi TB dengan parameter tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk untuk menilai status gizi lansia. Depkes RI6 menggunakan rumus Eleanor D. Sthlenker
Tahun 1993 dalam Buku Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan di Indonesia. Chumlea et aP telah mengembangkan persamaan (equation) untuk melakukan estimasi TB lansia melalui tinggi lutut. Formula ini diperuntukkan bagi kaum Caucasian (Kaukasoid) dan setelah melalui beberapakali pengukuran tinggi lutut lansia ditemukan adanya prediksi nilai yang terlalu trnggi (over-
ini adalahtimbangan injakmerk SECA denganketelitian 0,I kg untuk menimbang berat badan, mikrotois dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengukur tinggi badan, caliper berisi mistar pengukuran dari kayu dengan mata pisau menempel pada sudut 900 uunhrk mengukur tinggi lutut, mistar panjang 2 meter dari kayu untuk mengukw panjang depa, dan pengukuran tinggi duduk dengan alat ukur antropometer terdiri dari bangku duduk sepanjang44 cm bagi lansia pria dan 40 cm bagi lansia wanita. Respondenjuga diwawancara riwayat konsumsi makanan dengan alat ukur semi kuantitatif FFQ (Food Frequency Questionnaire) dan aktivitas fisik terdiri dari kegiatan rutin harian, olahraga, dan waktu luang yang dilakukan ketika berusia 25 dan 55 tahun dalam kuesioner dengan pertanyaan terstmktur. Risiko osteoporosis dinilai melalui pemeriksaan Densitas Massa Tulang (DMT) dengan alat Sahara Clinical Bone Sonometer. Besar minimal sampel
yang digunakan untuk analisis Multiple Regression menggunakan formula Denise F. Polit et aF denganjumlah minimal responden yang dibutuhkan sebanyak 200 lansia laki-laki dan 200 lansia perempuiul.
Metode Two Stages Stratified Random Sampling
estimate).3'5
Belum tersedianya model prediksi TB lansia di Indonesia yang dikembangkan melalui pengukuran TB sebenarnya menyebabkan perhitungan TB lansia tidak akurat dan tepat sehingga akhirnya mempengaruhi penilaian Indeks Massa Tubuhnya. Hasil perhitungan dapat bersifat underestimate atau ov er e s tim at e bila memakaipersamaan Chumlea ataupun persamaan dainegara di luar Indonesia. Akibatnya adalah penilaian status gizi lansia tidak akurat dan bias sehingga berdampak pada perencanaan program gizi lansia oleh pemerintah maupun pihak swasta. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu studi dengan tujuan untuk mengembangkan model prediksi tinggi badan lansia etnis Jawa berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, serta faktor-faktor pendukungnya (wilayah dan ekonomi, tingkat pendidikan akhir dan status bekerja). Metode
Rancangan penelitian adalah cross-sectional yang mengukur variabel-variabel bebas yaitu: tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, wilayah (desa dan kota), dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir dan status bekerja ketika berusia 25 dan 55 tahun), dengan variabel terikat yaitu prediksi tinggi badan pada satu waktu. Penelitian dilakukan di 3 lokasi yang mewakili wilayah perkotaan: Surabaya, Semarang, dan DI Yogyakarta; dan3 wilayah pedesaan: Kabupaten Magetan, Wonogiri, dan Gunung Kidul. Pengumpulan data dilakukan oleh ahli gizi terlatih pada bulan Desember 2007- Pebruari 2008. Pemilihan Kabupaten Magetan, Gunung Kidul, dan Wonogiri yang mewakili wilayah pedesaan di Propinsi Jatim, DI Yogyakarta, dan Jateng karena ketiganya memiliki proporsi penduduk tua terbesar di antara kabupaten lainnya.T Bahan atau alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor:
12, Desember 2008
digunakan untukmemilih lokasi melalui 2 tahap seleksi yaitu di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa. Pemilihan kecamatan dan kelurahan/desa dilakukan secara acak dari seluruh daftar kecamatan dan kelurahan/desa yang ada di tingkat propinsi. Sampel penelitian diambil secara acak dengan menggunakan metode Simple Random Sampling dari tiap-tiap kelurahan/ desa
terpilih. Kriteria inklusi penelitian adalah lansia yang tinggall
berada di masyarakat baik pria maupun wanita dengan usia antara 55-65 tahun, memiliki kedua orang tua berasal dari Suku Jawa asli, tinggal sendiri atau bersama keluarga, kondisi tubuh sehat atau masih mampu berdiri tegak, memiliki status densitas massa tulang normal atau osteopenia atau menderita osteoporosis, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), serta dapat berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi yang tidak masuk dalam penelitian adalah: lansia memiliki salah satu tangan yang tidak dapat direntangkan karena patah atau akibat tertentu, mengalami patah tulangikaki palsu, menderita stroke atau gangguan ingatan, dan gangguan berkomunikasi. Sebanyak 812 responden usia 55 tahun (usia minimum)
hingga 84 tahun (usia maksimum) telah diukur antropometrinya dan diwawancarai di balai desa/posbindu atau posyandu lansialkantor kelurahan/rumah kader posbindu. Salah satu kriteria inklusi responden adalah usia 55-65 tahun, tetapi banyak lansia yang sebelumnya tidak terpilih secara acak dan usianya tidak sesuai kriteria inklusi datang ke tempat penelitian minta diukur dan diwawancarai. Mereka tahu kegiatan pengukuran itu dari teman-temannya maupun dari aparat desalkelurahan setempat. Kumpulan lansia yang tidak memenuhi syarat itu turut dikumpulkan data antropometrinya dan diwawancarai. Total terkumpul 8 12 responden (612 lansia usia 55-65 tahun dan 200 lansia usia 66-84 tahun). Pemilihan
511
Predilrsi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut lansia penelitian berusia 55-65 tahun dilakukan secara acak dari data jumlah dan nama-nama lansia di tiap kelurahan/ desa. Data lansia itu dikumpulkan dari kader posbindu, bidan puskesmas, dan ketua/pengurus RW setempat. Setelah namanama contoh terpilih secara acak, selanjutnya mereka di-
berikan undangan untuk menghadiri acara kegiatan pengukuran di lokasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti dan kader/pengurus RW setempat. Undangan itu dikirimkan secara langsung ke rumah mereka oleh kader/ pengurus RW. Data dianalisis menggunakan uji regresi linier sederhana untuk memperoleh model persamaan tinggi badan prediksi lansia berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk pada lakiJaki dan perempuan. Tinggi badan prediksi dengan persamaan ini lalu dibandingkan dengan
tinggi badan sebenarnya.
Tabel
1.
Hasil Kurs kter isti k A ntr op o m etri
Tabel
I
menggambarkan rata-rata antropometri tinggi
badan (TB), beratbadan (BB), tinggi lutut (TL), panjang depa
(PD), dan tinggi duduk (TD) menurun seiring penambahan usia. Rata-rata tinggi badan lansia laki-laki turun dari I 59,5 cm pada usia 55-59 tahun menjadi I 58,4 cm pada usia di atas 69 tahun. Rata-rata tinggi badan lansia perempuan turun dari 149,2 cmdi usia 55-59 tahunmenjadi 146,3 cmpadausia di atas 69 tahun. Selisih terbesar penurunan tinggi badan pada kedua rentang usia itu adalah pada lansia perempuan sebesar 2,9crn. Berat badan lansia laki-laki meningkat dari 57,2kg di usia 55-59 tahun menjadi 58,1 tahun di usia 60-64 tahun dan terus menurun menjadi 54,5 kg di usia setelah 69 tahun.
Mean Antropometri Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 55-59 tahun
Lakilaki Perempuan Rata-rata SD Rata-rata SD
Parameter
(cm) (kg) Tinggi Lutut (cm) Panjang Depa (cm) Tinggi Duduk (cm)
Tinggi Badan Berat Badan
159,5
6,2
t49,2
57,2
48,8
10,5 a1
56,5 45,7
164,3
8,3
ts3,4
83,8
5,1
78,7
5,0 11,0 2,4 6,4 3,4
Laki-laki
Rata-rata
0,001 0,626 0,001 0,001 0,001
58,1
49,t 163,8
84A
(cm) (kg) Tinggi Lutut (cm) Panjang Depa (cm) Tinggi Duduk (cm)
158,3
Berat Badan
Tabel
2.
55,0
6,4 9,9
49,1
3,4
51,9 45,1
163,4
8,6
152,3
82,8
4,9
77,0
148,9 53,9 45,7 153,2 78,0
6,5 1
1,1
3,2 7,8
<)
5,6 10,8 2,5 7,8 3,7
0,001 0,007 0,001 0,00 I 0,001
\1
0,001 0,008 0,001 0,001 0,001
> 69 tehun
5,3 l 2A 7,3 3,5
147,3
Rata-rata SD
SD
158,5
65-69 tahun Tinggi Badan
60-64 tahun Perempuan
l l,
0,001
158,4
0,007 s4,s 0,001 49,0 0,001 163,0 0,001 82,4
146,3
5,9 8,9
4s,4
9,9 3,4
150,7
8,2
76,2
3,4
49,4
3,7 8,9
{')
Rata-Rata Antropometri Berdasarkan Tinggi Badan, Berat Badan, Tinggi
Lutut, Panjang Depa,
dan
Tinggi Duduk Variabel
Tinggi Badan Rata-rataiSD
Berat Badan Rata-ratatSD
Tinggi Lutut Rata-rata+SD
Panjang Depa Rata-rete + SD
.Tinggi
Duduk Rata-rata + SD
Wilayah: 152,5 + 7,4 151,7 + 7,7
Kota Desa
57,6 54,9
+ 10,6** + 10,8
47,1 + 3,4** 46,8
+
46,1
+ 3,2**
3,3
t57,6 + 8,7** 156,8 + 9,3
80,0 + 4,6 79,9 + 5,5
Tingkat pendidikan
Rendah Tinggi
!
+ 7,2+* + 7,4**
52,4 11,0** 58,4 + 9,5**
+ 5,5** + 7,4** + 7,7**
56,1 + 10,7* *
148,7 151,7 156,3
+ 5,5** + 7,4** + 7,7**
56,1 52,8 58,4
+
152,2
+
54,9
+
150,4 154,7
47,8 + 3,2**
154,9 159,5
+ 9,0** + 8,9**
78,8 + 4,8** 81,5 + 4,9**
Status beke{a usia 25 tahun:
Tidak
informal Beke{a formal Bekerja
148,7 151,7 156,3
52,8 + 11,0** 58,4 +
9,3*
Status beke{a usia 55 tahun:
Tidak Bekerja
Bekerja Total
informal
formal
7,6
+ 10,7** + ll,0** 9,3** 10,8
45,8 + 2,7** 46,6 + 3,2** 48,2 + 3,4**
153,0
+ 7,6** t56,2 + 9,2** 161,4 + 8,9**
78,3 + 3,7** 79,5 + 5,0** 82,2 + 5,1**
+ + 48,2 +
2,7** 3,2**
153,0 + 7,6**
3,4+*
161,4
78,3 79,5 82,2
45,8 46,6
46,8 + 3.3
t56,2 + 9,2**
+ 8,9**
156,8 + 9,3
+ 3,7** + 5,0** + 5,1**
79,9 + 4,9
**p<0,01 perbedaan signi/ikan unlara re,tpon(len luki-luki dun perempuan, independent sample t-test.
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 12, Desember
2008
Predilrsi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut Sebaliknya berat badan lansia perempuan menunjukkan pemrmnan dad 56,5 kg pada usia 55-59 tahun menjadi 49,4 kg setelah mencapai usia di atas 69 tahun. Perbedaan penurunan berat badan lansia tertinggi ditemukan pada lansia perempuan sebesar 6,1 kg daripada lansia laki-laki (2,7 kg). Secara umum, contoh laki-laki memiliki rata-rata tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk lebih tinggi daripada
responden wanita semua kelompok umur. Terdapat perbedaaa bermakna rata-rata seluruh parameter itu antara responden laki-laki dan perempuan. Perbedaan rata-rataTB, BB, TL, PD, dan TD lebih tinggi sedikit pada lansia di kota
dibandingkan desa disajikan pada Tabel 2. Tidak ada perbedaan bermakna antara tinggi badan dan tinggi duduk responden di kota dengan di desa, kecuali berat badan, tinggi lutut, dan panjang depa. Variabel sosio-ekonomi diwakili oleh tingkat pendidikan akhir yang dilalui oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan ada perb edaanrata-rataTB, BB, TL, PD, dan TD pada
kelompok berpendidikan tinggi dibandingkan kelompok pendidikan rendah. Status peke{aan dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu beke{a dan tidak bekerja. Status bekerja dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu bekerja informal dan bekerja formal. Pekerjaan/sektor informal terdiri dari profesi buruh, jasa, danniaga, dan formal terdiri dari pegawai. Ratarata TB, BB, TL, PD, dan TD pada kelompok bekerja lebih tinggi daripada kelompok tidak bekerja. Di antara kelompok bekerja, sektor formal memiliki rata-rata antropometri lebih tinggi daripada sektor informal. Rata-rata antopometri kelima variabel itu berbeda pada kelompokbeket'a dan tidak bekerja, danjugapada sektorformal dan informal di antarakelompok bekerja.
Model Prediksi Tinggi Badan Berdasqrkan Tinggi Lutut, Punjang Depa, dan Tinggi Duduk Tabel 3 menyajikan persamaan regresi linier sederhana untuk mengestimasi tinggi badan dari tinggi lutut, panjang
depa, dan tinggi duduk dalam penelitian ini. Panjang depa menunjukkan nilai korelasi tertinggi pada lansia laki-laki usia 55-65 tahun. Sebenarnya nilai koefisien determinasi (R3) tertinggi dari model regressi linier sederhana panjang depa terhadap tinggi badan aktual berada pada lansia kelompok usia 55-65 tahun. Namun setelah persamaan itu diaplikasikan
dan dibandingkan dengan tinggi badan prediksi dari persamaan Chumlea, dan persamaan regressi lansia kelompok usia 55-85 tahun, temyata rata-rata selisih tiga model regressi linier sederhana kelompok usia 55-85 tahun terhadap tinggi
badan aktual adalah paling rendah sehingga direkomendasikan tiga model prediksi tinggi badan lansia dalam penelitian ini yaitu: I^aki-laki Prediksi tinggi badan : 56,343 + 2,102 tinggi lutut Prediksi tinggibadan : 23,247 + 0,826 panjang depa Prediksi tinggi badan: 58,047 + l,2lOtnggi duduk Perempuan Prediksi tinggi badan: 62,682+ 1,889 tinggi lutut Prediksi tinggibadan : 28,3 12 + 0,7 84 panlang depa Prediksi tinggi badan : 46,55 1 + 1,309 tinggi duduk
Rata-rata perbedaan tinggi badan sebenarnya dalam satuan cm dengan tinggi badan prediksi dari ketiga prediktor dan persamaan Chumlea disajikan dalam Tabel 4. Selisih pa-
ling rendah ditemukan pada tinggi badan prediksi dari panjang depa terhadap tinggi badan aktual dibandingkan tinggi lutut, tinggi duduk, dan persamaan Chumlea. Bahkan rata-rata
selisih tinggi badan prediksi dari persamaan Chumlea terhadap tinggi badan sebenarnya pada lansia laki-laki jauh lebih tinggi (2,78 cm) daripada tinggi badan prediksi dari panjang depa dan tinggi lutut dalam penelitian ini. Pada lansia perempuan, rata-rata perbedaan tinggi badan prediksi dari
persamaan Chumlea dengan tinggi badan aktual adalah terbesar (4,9 cm) dibandingkan tinggi badan prediksi ketiga prediktor.
Tabel 3. Model Regresi Linier Sederhana Tinggi Badan Sebenarnya dengan Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan
Tinggi Duduk Tinggi lutut
Kelompok
Persanaan
Laki-laki usia (tahun): 55 55 66
- 85 - 65 - 85
56,343 52,853
+ 2,102 TL + 2,175 TL
23,247 + 0,826 22,575 + 0,830 25,118 + 0,815
0,732*
+
1,952TL
0,7 56* 0,678 *
+ +
1,889 TL 1,845 TL
0,634* 0,634*
+ 2,025 TL
0,651*
63,660
Tinggi duduk
Panjang depa
Persamaan
R3
PD PD PD
R3
0,822* 0,842* 0,773*
Persamaan
RP
58,047 61,245 48,440
+ 1,210 TD 0,604* + 1,172 TD 0,602* + l,325TD 0,6t2*
46,551
+ + +
Perempuan usia (tahun):
55 55 66
- 85 - 65 - 85
62,682 64,938 55,503
Tl=tinggi lutut, PD:panjang *p<0,05
depa,
285,312 + 0,784 29,761 + 0,776 26,018 + 0,794
PD PD PD
0,789* 0,785* 0,814*
49,t93 33,748
1,309 1,275 1,477
TD TD TD
0,599* 0,582* 0,639*
TD:tinggi duduk
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 12, Desember
2008
513
Predil<si Iinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasqrkon Iinggi Lutut Tabel 4. Rata-rata perbedaan tinggi badan aktual dan prediksi dari panjang depa (PD), tinggi lutut (TL), dan tinggi duduk (TD) lansia lakiJaki dan perempuan
(cm)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Rata-rata
Minimum Maksimum SD
N Perempuan Rata-rata Minimum Maksimum SD
N
Total
Rata-rata
Minimum Maksimum SD
N
Chumlea
2,6t 0,03
10,19
3,15 0,03 12,40
1,94 2,38 295 295 2,56 2,74 0,00 0,01 9,0 1 1,33 1,99 2,01 517 517 2,s8 2,89 0,00 0,01 1
10,19
t2,40
1,97 2,16 812 812
Gambaran yang sama ditunjukkan oleh persentase ratarata perbedaan tinggi badan predilsi dari ketiga prediktor, dan persamaan Chumlea terhadap tinggi badan sebenarnya (Tabel 5). Persentase paling rendah ditemukan pada tinggi badan prediksi dari panjang depa dibandingkan dengan tinggi lutut, tinggi duduk, dan persamaan Chumlea baik pada lansia laki-laki maupun perempuill. Hal ini menunjukkan bahwa
panjang depa adalah prediktor paling akurat dalam menentukan tinggi badan prediksi lansia. Selanjubrya diikuti oleh prediktor tinggi lutut, dan terakhir adalah tinggi duduk. Tabel
5.
Rata-rata persentase perbedaan tinggi badan aktual dan prediksi dari panjang depa (PD), tinggi lutut (TL), dan tinggi duduk (TD) berdasarkan jenis kelamin (o/n)
Jenis Kelanin
Laki-laki
Rata-rata
t,77
Minimum
0,00
Maksimum
7,79
SD
N
Perempuan Rata-rata
t,40 29s
Minimum
3,3s 0,00
Maksimum
10,93
SD
Total
Chumlee
N
2,12 517
Rata-rata
)11
Minimum
0,00
Maksimum
10,93
SD
N
2,04 812
PD
1,38 1,65 1,99 0,00 0,02 0,02 4,32 7,r8 9,05 0,94 t,25 1,56 295 295 295 I ,34 | ,73 1,8s 0,00 0,00 0,01 5,38 6,85 7,57 0,99 r,36 1,36 517 5r7 st7 I,35 1,70 1,90 0,00 0,00 0,01 5,38 7,t8 9,05 0,97 |,32 t,44 812 812 8r2
Diskusi Karakteristik Antr op o m etri Secara umum, rata-rata tinggi badan
laki-laki lebih tinggi daripada perempum. Situasi ini serupa dengan hasil studi
514
lansia menggambarkan bahwa
lakilaki memiliki
mean berat
badan (55,4 kg) dan tinggi badan (146,2 cm) lebih besar daripada perempuan (49,5 kg; 146,2 cm). Penurunan tinggi badan laki-laki terlihat lebih rendah daripada perempuan.
PD
2,78 2,t9 0,01 0,00 11,06 6,82 2,t2 t,49 295 295 4,90 1,99 0,01 0,00 14,61 7,2t 3,00 1,46 517 517 4,13 2,06 0,01 0,00 t4,61 7,21 2,90 |,48 812 812
pada lansia Cina di Malaysiae. Pengukuran antropometri
Menurut Tanchocho et alto linggi badan lansia berkurang 2,7 cm dan perempuan4,2 cm dari usia 60 tahun ke usia di atas 76 tahun. Perempuan mempunyai percepatan kehilangan
hrlang saat 5 tahun pertarna setelah mencapai menopause. Risiko perempuan terpapar osteoporosis lebih besar daripada laki-laki. Laki-laki kehilangan hrlang kortikal lebih lambat dan teq'adi secara alami saat mengalami kehi-langanjaringan.tt Penurunan berat badan terjadi sesuai bertambahnya usia karena berkurangrrya kemampuan fungsional, asupan makanan perhari hanya 50o/o, ganggtan pfoses mengunyah,
rendahnya selera makan, dan rendahnya saliva untuk mengunyah. Hasil penelitian ini sejalan dengan studi Suriah et alt2 yang menyatakan penurunan berat badan lansia perempuan lebih besar daripada laki-laki pada usia 60-69 tahun ke usia 80-89 tahun (bernrut-turut adalah 8,4 kg dan 5,2 kg). Studi Santos et alt3 terhadap lansia di Chili menunjukkan penurunan berat badan sedikit lebih besar pada lansia laki-laki usia 60-64 tahun ke usia di atas 85 tahun sebesar 4,8 kg dan perempuan 4,2 kg. Penelitian membuktikan bahwa ada perbedaan sigrrifikan
rata-rata seluruh parameter berdasarkan jenis kelamin. Temuan ini sejalan dengan studi Tanchocho et alt0 yaifa lansia laki-laki memiliki rata-ratatinggi lutut danpanjang depa lebih tinggi daripada perempuan. Rata-rata tinggi lutut lansia laki-laki adalah 49,1 cmdanperempuan 45,7 cm. Rata-rata panjang depa laki-laki adalah 164,4 cmdanperempuan adalah 153,3 cm. Shrdilansiadi Cinaoleh Wangetalta menunjukkan mean panjang depa lansia perempuan lebih rendah daripada laki-laki (berturut-turut adalah 162,1 cmdan 177,0 cm) serta tinggi duduk laki-laki lebih tinggi (89,8 cm) daripada perempuan (83,8 cm). Studi lain yang turut mendukung temuan penelitian ini adalah studi Santos et al.t3 Rata-rata tinggi lutut lansia lakilaki lebih tinggi daripada perempuan, tetapi nilainya relatif konstan pada semua kelompok umur. Rata-rata ketiga prediktor tinggi badan itu terjadi karena tinggi badan dan aktivitas fisik laki-laki lebih besar daripada perempuan. Korelasi antara panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk dengan tinggi badan cukup tinggi (berturuthrrut adalah 0,834; 0,7 66;dan 0,75 1). Perbedaan tinggi badan pada lansia laki-laki dengan perempuan berhubungan dengan rata-rata ketiga prediktor itu berdasarkan jenis kelamin. Beratbadanterkait erat denganpola makan dan aktivitas fisik. Lansia kota cenderung mengonsumsi pangan tinggi lemak danprotein hewani dibandingkan lansia desa. Aktivitas fisik lansia kota lebih rendah daripada lansia desa. Perbedaan
pola pangan dan aktivitas fisik pada kedua kelompok ini menyebabkan perbedaan nilai tinggi badan. Tinggi lutut dan panjang depa merupakan dua prediktor tinggi badanyang cukup valid dalam mengukurtinggi badan
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 12, Desember
2008
Predilrsi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarken Tinggi Lutut
lansia karena cenderung tidak banyak berubah seiring pertambahan usia. Pola pangan sumber kalsium melalui konsumsi susu di kota lebih tinggi daripada desa sehingga mempengaruhi pengembangan dan kekuatan tulang. Temuaa ini didukung oleh ahli penelitian Lucia et alts danKnous et al.t6 yang menyatakan bahwa tinggi lutut dan panjang depa memiliki korelasi tinggi dengan tinggi badan. Tinggi badan lansia lebih tinggi di kota berhubungan dengan perbedaan mean tinggi lutut dan panjang depa lansia di desa dan kota. Korelasi yang tinggi antara tinggi lutut dengan tinggi badan ditunjukkan oleh studi Bermude z et al.ti P erbedaan signifikan antara tinggi lutut dengan usia juga ditunjukkan pada studi itu. Namun hasil penelitian pada 6 wilayah di Jateng, Jatim, dan DI Yogyakarta ini tidak menemukan adaiyahubungan signifikan antara ketiga prediktor tinggi badan dengan usia. Perbedaan hasil studi ini dengan studi Bermudez et altikarena perbedaan desain studi yaib; cross-sectional dan kohort. Pembagian status bekerja menjadi formal dan informal diasumsikan bahwa sektor/peke{aan informal merupakan j enis peke{ aan tidak teratur; tidak dilindungi oleh pemerintah; tidak ada regulasi atau peraturan seperti perlindungan sosial, keuntungan; dan gaji rendah.l8 Sementara pekerjaan formal adalah sebaliknya. Pembagian kedua kelompok bekerja ini berhubungan langsung dengan variabel sosio-ekonomi yaitu tingkat penghasilan yang mempengaruhi daya beli.
Pencapaian tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk merupakan hasil kombinasi antara faktor-faktor lingkungan dan genetik. Peningkatan standard kehidupan ekonomi dapat memperbaiki pertumbuhan TB manusia melalui gizi dan penyakit. Tinggi badan yang rendah atau pendek dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Tinggi badan merupakan indikator yang baik bagi kondisi kehidupan masa kanak-kanak di negara maju dan negara berkembang. Kemiskinan mempengaruhi pola asupan makanan meng andng zat gizi sehingga individu yang berasal dari keluargakurang mampu cenderungkurang mengkonsumsi makanan bergai antaralain Ca dan P yang penting bagi pertumbuhan tulang.
Model Prediksi Tinggi Budun Lansiu Model prediksi tinggi badan yang dipilih dalam studi ini adalah indikator panj ang depa berdasarkan nilai koefisien determinasi tertinggi (R2). Temuan ini sejalan dengan penelitian Tayie et alte yang menyatakan adanyahubungan sigrrifikan antara panjang depa dan tinggi badan sebenarnya
(10,85 pada lakiJaki dan r:0,86 pada perem-puan). Studi yang dilakukan oleh Rabe et aPo menunJukkan korelasi antan panjang depa dengan tinggi badan pada lansia Indonesia yaitu 0,83 pada perempuan dan 0,81 pada laki-laki. Prediktor tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk
memiliki hubungan signifikan dengan tinggi badan sebenamya berdasarkan jenis kelamin (Tabel 3). Koefisien
korelasi antara panjang depa dengan tinggi badan sebenamya adalah tertinggi pada lansia laki-laki (r
:
0,815),
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 12, Desember 2008
dan perempuan (r
:
0,754) usia 55-65 tahun. Hasil studi
sejalan dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Myers
dan Takiguchi2t, tetapi berlawanan dengan studi Fatmah22. Studi pertama melaporkan lebih tingginya korelasi antara panjang depa dengan tinggi badan daripada tinggi lutut pada lansia pria dan wanita Bangsa Amerika Jepang. Sementara
studi kedua menemukan bahwa koefisien korelasi antara panjang depa dengan tinggi badan adalah tertinggi pada kelompokpria (r : 0,7 65)dan tinggi lutut pada sribyekwanita (r-0,761). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya kecenderungan pemrrunan kecepatan padang depa yang lebih cepat daripadalinggi lutut seiring peningkatan usia. Sorg23 menyatakan bahwa keakuratan
dari sebuah
persulmaan regresi dalam menentukan
tinggi badan seseomng dipengaruhi oleh pola dan hubungan yang proporsional antara berbagai ukuran bagian tubuh, yang dikenal dengan
konsep allometri. Model allomeb:i membe-rikan prediksi frurgsi
fisiologi tubuh manusia yang lebih akurat karena memanfaatkan hubungan antara struktur tubuh yang homolog pada bagian kiri dan kanan tubuh, dan menghilangkan
variabel-variabel perancu. WHCPa merekomendasikan tinggi lutut dan panjang depa sebagai alternatifpengganti untuk mengukur tinggi badan lansia dan atau individu cacat yang harus menggunakan kursi roda atau berbaring karena tidak dapat be{alan. Panjang depa dapat digunakan sebagai pengganti tinggi badan pada lansia, namun hasilnya kurang memuaskan dibandingkan tinggi lutut karena umumnya lansia mengalami kekakuan pada sendi-
sendi pergelangan tangan (joint stiffness) yang dapat mengurangi keakuratan hasil pengukuran. Namun demikian WHO24 merekomendasikan penelitian di masa depan untuk
menentukan jikalau panjang depa merupakan suatu pengukuran yang sama validnya dengan tinggi lutut sebagai
pengganti tinggi badan. Rekomendasi
ini telah terjawab
melalui penelitian pengembangan model prediksi tinggi badan lansia Etnis Jawa. Studi ini berhasil membuktikan bahwa panjang depa memiliki tingkat validitas lebih tinggi daripada tinggi lutut karena memberikan nilai tinggi badan prediksi yang lebih mendekati tinggi badan sebenamya daripada tinggi lutut dan tinggi duduk.
Bagi lansia dengan kondisi tubuh bungkuk atau setengah bungkuk akibat kelainan skoliosis, kifosis, maupun osteoporosis ataupun lansia yang tidak dapat merentangkan
kedua tangannya akibat penyakit, cacat, patah tulang, dan
sebagainya sehingga tidak dapat diukur dengan menggunakan panjang depa, maka digunakan model prediksi tinggi badan dari prediktor tinggi lutut berdasarkan jenis kelamin
kelompok usia 55-65 tahun. Demikian pula lansia yang mengalami kelumpuhan sehingga tidak dapat berdiri atau hanya mampu berbaring saja, maka dilakukan pengukuran tinggi lutut dan selanjutnya dimasukkan ke dalam modeU persamaan tersebut. Pengukuran tinggi duduk dilakukan sebagai alternatif terakhir jika secara teknis sulit mengukur panjang depa dan tinggi lutut karena koefisien korelasi tinggi 515
Predilrsi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdqsqrken Tinggi Lutut duduk dengan tinggi badan aktual adalah paling rendah
5.
dibandingkan kedua prediktor lainnya.
Kesimpulan
Tinggi badan lansia dapat diprediksi,dari tinggi lutut, panjang depa" dan tinggi duduk. Panjang depa memberikan nilai korelasi tertinggi pada lansia laki-laki dan perempuan usia 55-65 tahun dan 66-85 tahun sehingga digunakan sebagai prediktor dalam mengembangkan model tinggi badan prediksi lansia dengan kriteria sehat danmasih mampuberdiri tegak. Namun untuk menghitung tinggi badan prediksi lansia dengan tubuh bungkuk atau setengah bungkuk dapat digunakan modeVpersamaan dengan prediktor tinggi lutut atau tinggi duduk. Tinggi badan aktual lansia pria dan wanita di kota sedikit
lebih tinggi dibandingkan di desa. Lansia dengan tingkat pendidikan akhir tinggi memiliki tinggi badan sebenamya lebih besar daripada lansia berpendidikan rendah. Lansia bekerja saatusia 25 dan 55 tahun memiliki tinggi badanaktual
7.
9.
nilai tinggi badan prediksi melebihi tinggi badan aktual sebesar 2,78 cm pada lansia lakilaki dar4,9 cm pada lnnsia perempuan.
2.
3.
14.
4.
516
(I
et al. Arithropometric measurements in the elderly population of Santiago, Chile. Nutrition 2004;20(5):452-57. Wang FX, Duan Y, Henry M, Kim BT, Seernan E. Body segment lengths and arm span in healthy men and women and patients with vertebral fractures. Osteoporosis International 2004;15:.
43-8.
15. Lucia DE, Lemma F, Tesfaye
F, Demisse T, Ismail S. The Use
of
to assess the nutritional status of adults in four Ethiopean ethnic groups. Eur J Clin Nutrition 2002;(56):
axms pan measurement
9l-5.
16.
Kaous BL, Arisawa M. Estimation of height in elderly Japanese using region-specific knee height equations. Am J Human Biol. 2002;14(3):300-7 . 17. Odilia BI, Becker EI! Tucker KL. Development of sex-specific equations for estimating stature of frail elderly Hispanics living in the Northeastem United States. Am J Clin Nutrition 1999; 69:
992-8.
18. II]NECE
Statistical Divisionl. United Nations Economic Commission for Europe Statistical Division. Labour Statistics: Infor-
mal Employment; without year.
Makmur S. Kebijakan Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Jakarta: Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial R[; 2006. Chumlea, Guo SS, Wholihan K, Cockram D, Kuczmarski RJ, Johnson CL. Stature prediction equations for elderly non-Hispanic White, Non-Hispanic Black, and Mexican-American Persons developed from NHANES III Data. J Am Diet Association 1998:137-42. Suzana S, Ng SP. Predictive equations for estimation of stature in Malaysian elderly people. Asia Pacific J Clin
Denise PF. Data analysis and statistics for nursing research. Stamford, Connecticut: Appleton & Lange; 1996. Suriah A& Chong TJ, Yeoh BY. Nutritional situation of Chinese community. Singapore Med J;1998.
Tanchoco CC, Charmaine AD. Arm span and knee height as proxy indicators for height. Philippine: FNRI; 2005. I l. Pathy J, Sinclair AJ, Morlay JE. Principies and practice of geriatric medicine. 46 edition, vol 2. England: Wiley; 2006. I 2. Suriah A, Zalifah MK, Zatnomi MJ, Shafawi S, Suraya SM, Zarina N, et al. Anthropometric measurements of the elderly. Malaysian J Nutrition 1998;4:55-63. 13. Santos JL, Albala C, Lera L, Garcia C, Arroyo B Perez-Bravo F,
DaftarPustaka
1.
DKI Jakarta
dan Tangerang. Media Gizi dan Keluarga 2006;30(2):48-57. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tatalaksana gizi usia lanjut untuk tenaga kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Ditjen Binkesmas Depkes RI; 2006. Aris A, Arifin EN, Bakhtiar. Report on ethnicity and ageing in Indonesia 2000-2050. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies Singapore; 2005.
10.
lebih tinggi daripada lansia tidak bekerja pada periode usia tersebut. Terdapat perbedaan bermakna tinggi badan aktual berdasarkan wilayah tempat trnggal desa-kota, dan sosioekonomi (tingkat pendidikan tinggi dan rendah, dan status bekerja usia 25 dan 55 tahun). Persamaan Chumlea pada Ras Kaukasoid di Eropa dengan prediktor tinggi lutut tidak tepat digunakan bagi lansia Indonesia khususnya Suku Jawa karena memberikan
Fatrnah. Persamaan tinggi badan lansia di panti werdha
Nutrition. 2003;
19.
20. 21.
Tayie FAII Agyekum S, Owusu-Ahenkora M, Busolo D, AdjeteySorsey E, Amah J, et al. Arm span and half-span as alternatives for height in adults: A sample from Ghana. African Journal of
Food, Agriculture, Nutrition and Developmefi 20A3) (2):1-6. Rabe B, Thamrin MH, Gross R, Solomons NW, Schultink W. Body mass index ofthe elderly derived from height and from arm span. Asia Pacific J Clin Nutrition 1996;5:79-83. Myers, Takiguchi. Stature estimated from knee height in elderly Japanese Americans. J Am Geriatric Society 1994;42(2):157-60.
12
):80-84.
Oktavianus S, Kusumaratna RK, Sudharma NI, Hidayat A. Tinggi lutut sebagai prediktor dari tinggi badan pada lanjut usia. Laporan akhir. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas FK-Universitas Trisakti; 2005.
@"n
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 12, Desember
2008